PENCIPTAAN ADAM DALAM Al-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50293... ·...
Transcript of PENCIPTAAN ADAM DALAM Al-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50293... ·...
PENCIPTAAN ADAM DALAM Al-QUR’AN
(KAJIAN KRITIS ATAS PENAFSIRAN ṬABĀṬABĀ’Ī)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun Oleh:
Muhammad Solihin
NIM: 1113034000153
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2020 M
ii
ABSTRAK
Muhammad Solihin
Penciptaan Dalam Al-Qur’an (Kajian Kritis Atas Penafsiran
Ṭabāṭabā’ī)
Dari beberapa penafsiran yang penulis teliti tentang penafsiran
penciptaan Adam sebagai khalifah, penulis menemukan perbedaan yang
mendasar. Beberapa penafsiran tersebut hanya fokus pada penciptaan yang
dikaitkan dengan penciptaan Adam yang berkaitan dengan terjadinya
penciptaan secara fisik, baik itu penciptaan dari tanah sampai kepada
peniupan ruh. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menyajikan penafsiran
yang berbeda dengan terfokus kepada penafsiran Adam atas kritis penafsiran
Ṭabāṭabā’ī dalam tafsirnya yaitu Tafsir Al-Mīzan Fī Tafsīr Al-Qur’an.
Penulis mengunakan metode penelitian sebagai dasar penulis yaitu
dengan menggunakan (Library research) atau metode pengumpulan data
kepustakaan. Penelitian ini dilakukan dengan teknik pengumpulan data,
dengan cara mencari, mengamati, dan menelaah sumber-sumber terkait.
Seperti beberapa penafsiran, buku-buku, skripsi, jurnal, artikel, tesis atau
sumber-sumber yang lainnya yang berkaitan dengan tulisan ini.
Berdasarkan hasil penelian, penulis menjelaskan bahwa kritis atas
penafsiran penciptaan Adam ini bukan karena seolah-olah penulis ingin
mengkritisi penafsiran secara langsung, namun penulis menemukan
perbedaan pentafsiran dikalangan mufassir tergantung kepada keilmuan dan
latar belakang ideologi yang berbeda dari kalangan mufassir tersebut. Namun
dari segi keilmuan akan menimbulkan khazanah penafsiran yang begitu luas,
sehingga menjadi tolak ukur dalam memperkenalkan penafsiran dikalangan
mendatang yang mengkaji tentang penciptaan. Perbedaan dalam penafsiran
ini akan membawa para pembacanya untuk menemukan kembali fungsi
mengapa khalifah diciptakan.
Kata Kunci: Adam, Penciptaan, Khalifah.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillāhirabbilal’āmīn segala puji bagi Allah Sang Pencipta
alam semesta yang menyayangi semua makhluk ciptaan-Nya. Dengan segala
taufik dan hidayah-Nya penelitian ini berjudul “PENCIPTAAN ADAM
DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN KRITIS ATAS PENAFSIRAN
ṬABĀṬABĀ’Ī)” dapat selesai. Kepada-Nya penulis meminta pertolongan
dan memohon segala kemudahan dari urusan yang dihadapi. Semoga Allah
senantiasa memberikan pertolongan kepada hamba-Nya. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda al-Alamin, baginda
Rasulullah saw. beserta para keluarga, sahabat dan para pengikutnya.
Sebagai karya yang mempunyai banyak kekurangan, terutama di
dalam penelitian ini terdapat banyak kesalahan, dikemudian hari ditemukan
oleh para peneliti yang menela’ah penelitian ini. Penulis menyadari bahwa
penelitian ini tidak akan selesai tanpa ada usaha yang terus menerus, do’a
dan semangat yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis, serta
bantuan dari keluarga, sahabat, teman kumpul, seperantauan, seperjuangan,
organisasi, senior, maupun dosen pembimbing yang telah memberikan
masukan hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga Allah senantiasa
memberikan keberkahan yang melimpah dan mendapatkan balasan kebaikan
atas do’a-do’a mereka. Amin.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari kontribusi lembaga
dan orang-orang tertentu yang membantu penulis, baik secara moral atau
materil. Atas segala bantuan tersebut, penulis ingin menyampaikan ungkapan
terima kasih yang sedalam-dalamnya, khususnya kepada:
1. Ibu Prof. Hj. Amany Lubis, M.A selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
iv
2. Bapak Dr. Yususf Rahman, M.A selaku Dekan dan Dosen
Pembimbing Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag selaku ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir serta bapak Fahrizal Mahdi MIRKH selaku Sekertaris
Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Isa Salam, MA. selaku dosen pembimbing akademik, serta
seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang meluangkan waktu dan bimbingannya serta memberikan penulis
berbagai macam ilmu.
5. Kedua Orang Tua penulis Bapak H. Saleh dan Ibu Husna dan saudara
penulis Hermansyah, Syafi’i yang selalu memberikan kasih sayang,
motivasi, keteladanan, bimbingan, pendidikan, dan pengajaran
kehidupan serta senantiasa mendo’akan penulis untuk mencapai
kesuksesan dimasa depan, sehingga penulis bisa sampai pada tahap
sekarang ini. Tidak lupa kepada keluarga tercinta yang berada di
pulau Lombok dan pulau Sumbawa yang memberikan semangat
kepada penulis dan terus menjaga silaturrahmi antar keluarga.
Semoga Allah senantiasa menjaga dan melindunginya.
6. Sahabat-sahabat penulis yang selalu ada dalam senang maupun susah,
teman ngopi M. Hamim, M. Fadel, M. Sadam, Faris Rasyid, Faqih,
Salman, Nurul Orok, Rio Blo, Iqbal Syahid, Irul Iyung, Aslakhul
Dul, serta teman makan bareng Nindy, Ganis, Tati, Echa, Echi,
Azizah, Ulfah Qutul, ka Adi, Ka Doko dan teman seperantauan yang
telah berbagi ilmu, pengalaman dan pengetahuan kepada penulis.
7. Teman-teman penulis angkatan 2013/2014, teman teman organisasi
HMI KOMFUF Cabang Ciputat, tongkrongan PIUSH, organisasi
pripordial IMSAK Jakarta, organisasi IRMAFA, forum diskusi Saung
dan keluarga besar Kenduri Cinta TIM. semoga kita dibeikan
v
kesuksesan dan semagat dalam menjalani kehidupan. Serta teman-
teman seperjuangan di pondok pesantren Al-Halimy yang tak henti-
hentinya meberikan motivasi kepada penulis untuk lebih giat lagi
dalam belajar untuk para guru-guru penulis, TGH (Tuanguruhaji) di
pondok.
8. Rekan-rekan kerja penulis dalam membangun potensi dalam berkarya
dan mengembangkan keilmuan.
9. Terakhir untuk orang-orang yang bertemu dan mengenal penulis,
berdiskusi bareng, bertukar pikiran bareng penulis.
Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan sebaik-baik
balasan. Amiin...
Jakarta, 16 Desember 2019
Muhammad Solihin
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi hasil keputusan bersama (SKB) Mentri Agama dan
Mentri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomer. 1987 dan Nomer:
0543b/U/1987.
1. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak di lambangkan Tidak di lambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ṡ Es dengan titik di atas ث
J Je ج
Ḥ Ha dengan titik di bawah ح
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Ż Zet dengan titik di atas ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
Ṣ Es dengan titik di bawah ص
Ḍ De dengan titik di bawah ض
Ṭ Te dengan titik di bawah ط
Ẓ Zet dengan titik di bawah ظ
vii
ʻ_ Apostrof terbaik ع
G Ge غ
F Ef ف
Q Qi ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ’_ ء
Y Ye ي
2. Vocal
Vokal terdiri dari dua bagian, ialah vokal tunggal dan vokal rangkap,
transliterasi vokal tunggal sebagai berikut:
Tanda Vokal Vokal Latin Keterangan
A Fathah ا
I Kasrah ا
U Ḍammah ا
viii
Berikut ini adalah vokal rangkap berupa gabungan antara harakat dan
hurup.
Tanda Vokal Vokal Latin Keterangan
ـ ي Ai a dan i
Au a dan u ـ و
3. Vokal panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang bahasa arab dilambangkan dengan
harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan topi di atas ا
Ī i dengan topi di atas ا
Ū u dengan topi di atas ا
4. Kata Sandang
Kata sandang dilambangkan dengan huruf ال dialih aksara menjadi ‘I’
baik di sandangkan dalam huruf syamsiyah maupun di sandangkan
dengan huruf qamariyah. Contoh: al-ẓikr bukan az-ẓikr.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau Tasydīd dalam sistem tulisan arab dilambangkan dengan
sebuat tanda Tasydīd ( ), dalam translit ini dilambangkan dengan perulangan
huruf (konsonan ganda) yang di beri tanda Tasydīd. Contoh:
ix
بن ا ين ا rabbanā : ر ق najjaīnā : ن ج al-ḥaqq : ا لح
6. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bukan,
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahukui oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandang. Contoh: Abȗ Hâmid al-Ghazâlî bukan Abȗ
Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis
dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian
seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun
akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-
Palimbani tidak’Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nȗr
al-Dîn al-Rânîrî.
7. Cara penulisan kata
Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara
terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan
diatas:
x
كز لن االذ ن ز Innā naḥnu nazzalnā al-żikra إ نان حن
اٱلنب ي ون Yaḥkumu bihā al-nabiyyūna ي حك م ب ه
Istuḥfiẓū ٱست حف ظ وا
8. Singkatan
Huruf Latin Keterangan
Swt. Subḥanahu wa ta‘ālā
Saw. Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallam
QS. Quran Surat
M Masehi
H Hijriah
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................. vi
DAFTAR ISI............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Batasan Masalah.............................................................................. 5
C. Rumusan Masalah ........................................................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 6
E. Metode Penelitian............................................................................ 6
F. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................. 7
G. Sistematika Penulisan ..................................................................... 9
BAB II KIPRAH PERJALANAN HIDUP ṬABĀṬABĀ’Ī ................ 11
A. Biografi Muhammad Husein Ṭabāṭabā’ī ....................................... 11
B. Guru-guru dan Muridnya .............................................................. 17
C. Karir dan Karya-karya Ṭabāṭabā’ī ................................................ 18
D. Pandangan Ulama Terhadap Ṭabāṭabā’ī ....................................... 22
E. Metode dalam Penafsiran .............................................................. 24
BAB III ANALISIS PENAFSIRAN TERHADAP AYAT-AYAT
PENCIPTAAN ........................................................................................ 31
A. Penafsiran Ulama Klasik ............................................................... 31
1. Tafsir Ibnu Katsir ....................................................................... 31
2. Tafsir Ath-Thabari...................................................................... 39
xii
B. Penafsiran Ulama Kontemporer .................................................... 42
1. Tafsir Al-Azhar .......................................................................... 42
2. Tafsir Al-Misbah ........................................................................ 45
BAB IV KONSEP PENCIPTAAN ADAM DALAM TAFSIR
ṬABĀṬABĀ’Ī ......................................................................................... 52
A. Proses Penciptaan Adam Dalam Al-Qur’an .................................. 52
B. Tahap Penciptaan Adam ............................................................... 56
C. Khalifah di Bumi ........................................................................... 62
BAB V PENUTUP ................................................................................. 65
A. Kesimpulan ................................................................................... 65
B. Saran-saran .................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menganugrahkan manusia dengan status spiritual yang tinggi dan
diberikan kepercayaan untuk mewakilinya sekaligus mengemban amanah
untuk dipercayai pada suatu misi menjadi khalifah atau wakil di bumi dan
mencerminkan kualitas-kualitasnya.1 Kisah penciptaan manusia di dalam
al-Qur’an yang dimulai dari suatu pemberitahuan dari Allah kepada para
malaikatnya. Sebagaimana firman Allah swt. dalam al-Qur’an yaitu.
ك ال رب قفسد فيها واذ جعل فيها من ي
تا ا
وال ق
ليفة
رض خ
ي جاعل فى ال
ة ان
ك ى
مللل
مون وعل
عل ت
م ما ل
علي ا
ال ان
ك ق
س ل
د قح بحمدك ون
سب حن ن
ء ون
ما
م ويسفك الد
سم دم ال
نتم ا
ء ان ك
ؤل
ء ه سما
وني با
بـنال ا
قة ف
ك ى
ل ى ال
م عرضهم عل
ها ث
لء ك
ا
حكيم عليم ال
ت ال
نك ا متنا ان
ما عل
ال
نام ل
عل
نك ل وا سبح
الدقين ق ص
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
QS.2:30-32.
Pemaparan penciptaan dalam al-Qur’an telah melahirkan berbagai
pemahaman pada orang yang membacanya, terutama ketika cerita itu
1Zulfan Taufik, Dialektika Islam Humanis, Pembacaan Ali Sharia’ati,
(Ciputat: Onglam Books, 2015), 61.
2
menyisakan ruang-ruang yang perlu diisi imajinasi. Sejak lama muncul
pencerita yang berusaha menghubungkan antara cerita yang terdapat
dalam al-Qur’an dengan daya tangkap manusia selalu ingin lebih banyak
dari apa yang tersurat. Jadilah cerita tentang Nabi Adam yang disangkakan
berasal dari kitab al-Qur’an yang mengandung bagian-bagian yang tidak
masuk akal. Ketika itu ditelusuri dalam al-Qur’an sendiri, ternyata tidak
terdapat pijakan disitu.2
Sebelum ada ruang dan waktu, tidak ada satupun yang menyertai
Allah. Ia ingin menciptakan makhluk atau benda-benda alam. Maka
berkatalah Ia: “Jadilah” pada saat itu pula apa yang ia inginkan terwujud:
ruang dan waktu, langit dan bumi, planet, bintang, binatang melata, dan
segala wujud yang ditampakkan oleh kemampuan tersembunyi yang tidak
diketahui. Kemudian Allah menginginkan untuk mewujudkan makhluk
berakal yang memiliki pengetahuan, ialah manusia. Barangkali inilah
makna yang terdapat dalam hadis qudsi yang telah dihafalkan sejak kecil,
dan dikatakan oleh Allah swt. tentang dirinya sendiri: “Aku adalah harta
yang tersembunyi Aku ingin dikenal, sehingga Aku menciptakan makhluk.
Melaluinya, ketahuilah Aku.3
Pendapat bahwa Adam merupakan simbol manusia, dapat juga dilihat
kecocokanya secara etimologis bahwa istilah ‘Adam’ berasal dari bahasa
Ibrani yang berarti tanah, manusia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn
Faris, dinamakan Adam karena diciptakan dari permukaan bumi/tanah
(adamat al-ard). Istilah tersebut lazimnya berfungsi sebagai kata benda
kolektif yang lebih mengacu pada manusia (spesies) daripada manusia
laki-laki. Rifaat Hasan juga mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an, istilah
2Abdus Shabur Syahin, Penciptaan Nabi Adam: Mitos atau Realitas
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2004), x. 3Abdus Shabur Syahin, Penciptaan Nabi Adam: Mitos atau Realitas, 1.
3
Adam dalam dua puluh satu kasus, mengacu pada umat manusia. Di sini
penting untuk dicatat bahwa, kendatipun istilah Adam sebagian besar tidak
mengacu pada manusia secara khusus, tetapi benar-benar menunjuk pada
manusia dengan cara yang khusus.4
Jika mayoritas ulama salaf telah sepakat bahwa Adam adalah
makhluk dan sesuatu yang diciptakan pertama, maka sebenarnya sebagian
mereka telah manganut teori yang jauh dari hal tersebut. Mereka
menggambarkan makhluk ini sebagai wujud yang membentang di
sepanjang zaman, sebelum Adam, barang kali sampai pada jutaan tahun.
Yang penting, seseorang yang mengikuti teori ini tidak boleh dianggap
bodoh dibandingkan dengan pengikut teori yang lain. Karena telah muncul
pendapat-pendapat yang saling bertentangan satu dengan yang lain,
sehingga menemukan dan melihat bagaimana Allah menyinari matahati
para ilmuan terdahulu hingga pendapat-pendapat mereka sampai ke masa
pra-sejarah diatas bumi ini yang beragam mengikuti keragaman imajinasi
sehingga apa yang diperhitungkan adalah mereka ini berpijak pada bukti-
bukti materil, bahkan murni imajinasi yang ditunjukkan oleh
kecenderungan logis mereka kepada bukti-bukti tersebut dalam konteks
dunia.5
Ṭabāṭabā’ī menerangkan dalam tafsirnya kenapa manusia dikirim ke
dunia sebagai khalifah di bumi dan ciri-ciri khusus atas kualitas
kehalifahanya, sehingga Ṭabāṭabā’ī memberikan ciri-ciri khusus dalam
penafsirannya. Ada proses yang berbeda yang dilakukan oleh Adam as.
sehingga akibat dari proses itu bukan sebuah dosa dan Allah tidak
4Zulfan Taufik, Dialektika Islam dan Humanisme: Pembacaan Ali Shari’ati,
59. 5Abdus Shabur Syahin, Penciptaan Nabi Adam: Mitos atau Realitas, 34.
4
menghukumi Adam as. Dua sisi ini terlihat kontradiktif.6 Sebagaimana
misi utama diciptakan manusia mempunyai tujuan yang jelas. Ada tiga
misi utama yang diberikan pertanggung jawaban dalam penciptaannya,
yaitu misi utama untuk beribadah (al-Zariyat/51:56), misi fungsional
sebagai khalifah (al-Baqarah/2:30), dan misi bekerja untuk memakmurkan
bumi (Hud/11:61).7
Asumsi yang dibangun oleh seluruh umat manusia bahwa benar
ummat manusia adalah sebagai khalifah atau wakil administratif yang
diberikan oleh Allah,8 Sejalan dengan pandangan pemikiran Ali Shari’ati
bahwa konsep adanya Adam merupakan sebuah simbol, pendapat ini
pararel dengan interpretasi pemikiran Muhammad Iqbal yang mengatakan
bahwa kisah Adam dalam teks-teks ayat al-Qur’an bukanlah kisah nyata
dalam sejarah umat manusia terdahulu. Akan tetapi Istilah Adam yang
tertera dalam bebarapa ayat-ayat al-Qur’an bukan dimaksudkan sebagai
atau menunjuk pada nama seseorang atau individu manusia yang konkreat.
Melainkan istilah Adam tersebut hanyalah merupakan sebuah konsep.9
Mengapa tema ini sangat menarik untuk dibahas, penulis ingin
memaparkan pendapat tentang penciptaan dari sudut pandang Muhammad
Husain Ṭabāṭabā’ī. Seperti yang di gambarkan dalam bukunya, yang
mengindikasikan bahwa ada satu mahkluk sebelumnya yang pernah
menghuni bumi sebelum adanya umat manusia.10 Terlebih beberapa
pendapat tentang penciptaan Adam, sangatlah berbeda dengan pandangan
6 Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i,
2004), 111. 7 Kementrian Agama RI, Penciptaan Manusia Dalam Perspektif Al-qur’an
dan Sains, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012), 2. 8 Muhammad Husain Ṭabāṭabā’ī, Tafsir Al-Mizan, jilid 1, terj. Ilyas Hasan
(Jakarta: Penerbit Lentera, 2010), 235. 9 Zulfan Taufik, Dialektika Islam dan Humanisme: Pembacaan Ali Shari’ati,
59. 10 Muhammad Husain Ṭabāṭabā’ī, Tafsir Al-Mizan, 237.
5
ulama kontemporer saat ini. Tulisan ini akan membuktikan penafsiran al-
Qur’an yang memiliki karakter berbeda dengan penafsir yang lainnya.
Untuk itu, penulis ingin memaparkan beberapa penafsiran dari tiga
ayat al-Qur’an yang menggambarkan karakteristik pendapat Muhammad
Husain Ṭabāṭabā’ī tentang ayat-ayat penciptaan Adam. Ayat-ayat tersebut
adalah mulai dari Surat al-Baqarah ayat 30,31,32.
Berdasarkan konteks di atas, penulis mencoba menganalisa
pergeseran panafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Maka dari itu, penulis
memberi judul dalam tulisan ini yaitu: PENCIPTAAN ADAM DALAM
AL-QUR’AN (KAJIAN KRITIS ATAS PENAFSIRAN
ṬABĀṬABĀ’Ī) pembahasan ini berawal dari asumsi penulis bahwa
terjadi perkembangan penafsiran dari satu penafsiran ke panafsiran yang
lain, karena kondisi sosial ekonomi dan budaya yang melingkupi
penafsiran.
B. Batasan Masalah
Seperti yang dikemukakan dalam latar belakang yang ada di atas,
maka perlu adanya batasan masalah agar penulisan ini lebih terarah dan
tidah jauh dari tema yang diangkat. Untuk itu penulis membatasi masalah
dalam penelitian ini dengan mengkaji penafsiran Muhammad Husain
Ṭabāṭabā’ī yang terdapat pada ayat-ayat tentang penciptaan Adam. Maka
untuk menghindari bias dalam pemaknaan tidak melebar, perlu ada
batasan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan.
Adapun pokok pembahasan yang akan dikaji pada pembahasan ini
yaitu:
6
Bagaimana Muhammad Husain Ṭabāṭabā’ī dalam menafsirkan
penciptaan Adam pada QS. Al-baqarah: 30,31,32.
C. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah yang sudah ditetapkan di atas, maka Penulis
rumusan masalah dari tulisan ini adalah sebagai berukut: Bagaimana
penafsiran tentang proses penciptaan Adam dan apa saja kelemahan dari
penafsiran Ṭabāṭabā’ī.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan batasan dan rumusan masalah yang diatas, tujuan pokok
dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pendapat Muhammad
Husain Ṭabāṭabā’ī dalam memaparkan tafsirannya tentang penciptaan
manusia khususnya Nabi Adam dan mengetahui apa saja kelemahan dari
tafsiran tersebut.
Adapun tujuan membahas skripsi ini adalah bagaimana pandangan
Muhammad Husain Ṭabāṭabā’ī dalam Menafsirkan Ayat-ayat Penciptaan
Adam? Apakah ada perbedaan dan persamaan dengan mufassir yang lain,
ulama kontemporer, dan bagaiman kaitan diantara penafsiarannya?
Manfaat dari penelitian ini adalah menemukan keterhubungan tentang
penafsiran Muhammad Husain Ṭabāṭabā’ī yang membahas tentang
penciptaan Adam dan dapat menganalisa setiap hal yang berkaitan
tentang penciptaan yang dijelaskan oleh al-Qur’an.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan telaah pustaka (library research).
Penelitian kepustakaan memperoleh data dan informasi dari buku, jurnal,
7
skripsi, arsip, dokumen dan tulisan lainnya yang berkaitan tengan tema
yang sedang diteliti. Ada dua jenis dalam penelitian ini yaitu: data primer
dan sekunder. Data primer adalah sumber kepustakaan yang berasal dari
sumber utama yang digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan data
sekunder adalah data pendukung yang berkaitan dengan tema penelitian
ini. Adapun data primer dalam penelitian ini adalah mufassir kontemporer
Muhammad Husain Ṭabāṭabā’ī al-Mīzan Fī Tafsīr al-Qur’an, juz. 1
diterbitkan di Lebanon, Bairut, 1998. Sedangkan data skunder adalah
buku-buku dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan penciptaan Adam
antara lain: Dialaektika Islam dan Humanisme, Pembacaan Ali Syari’ati
yang diterbitkan oleh Ongklam Books, Kementrian Agama RI Tahun
2012, Penciptaanm Manusia Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, M.
Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan
Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Cet. III dan beberapa sumber lain
yang mendukung.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif-
komparatif, yaitu metode yang menjelaskan data apa adanya dan
mengkomprasikannya dengan data yang lain. Selain menggunakan
deskriptif-analitif, penulis juga melakukan analisis kebahasaan dan
penafsiran. Teknis penulisan dalam penelitian ini merujuk pada buku
pedoman penulisan skripsi, tesis dan disertasi.11
11 Hamid Nasuhi, dkk., “Pedoman Penulisan (Skripsi, Tesis dan Disertasi)”
dalam Tim Penyusun, Pedoman Akademik Unuversitas Ilam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta 2013-2014, (Jakarta: Biro Administrasi Akademik dan
Kemahasiswaan Unuversitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012),
379-436.
8
F. Tinjauan Kajian Terdahulu
Sebelum penulis beberapa tahun kebelakang, sudah ada yang mengulas
tentang proses penciptaan dari sudut pandang al-Quran hadis agama
maupun sains, namun penulis belum menemukan tulisan yang membahas
secara spesifik tentang penafsiran Ulama Syiah tentang penciptaan.
Adapun yang membahas tentang penciptaan Adam yang peneliti temukan
diantara tulisan karya ilmiah yaitu:
1. Nidaa Ulhusna; skripsi Ushuluddin 2013, Konsep penciptaan Alam
Semesta (Study Komparatif Antara Tafsir Ilmi Penciptaan Jagat Raya
Kementrian Agama RI Dengan Stephen Hawking), Membandingkan
Penciptaan Alam Semesta menurut Stephen Hawking dengan tafsir Ilmi
Penciptaan Jagat Raya Kementrian Agama RI.
2. Nur’aeni; proses Penciptaan Manusia dalam al-Qur’an (sebuah
kajian tematik tentang NUTFAH DAN ‘ALAQAH), kajian tentang
penciptaan yang hanya fokus terhadap kata-kata NUTFAH DAN
‘ALAQAH yang terkait di dalam al-Qur’an.
3. Lesmadona Ferutama, Skripsi; Konsep Manusia dalam Perspektif
Ali Syari’ati. Kajian ini tentang bagaimana penciptaan menurut sudut
pandang Ali Syari’ati? Dan Sejauh mana landasan filosofis dan teologis
mempengaruhi pemahaman Ali Syari’ati terhadap konsep Manusia
(insan).
4. Mustholih; Tujuan Hidup Manusia dalam al-Quran. Kajian ini
lebih menekankan kepada pengklasifikasian pada tema-tema al-Qur’an
yang dibuat olehnya tentang nama-nama manusia dan tujuan
diciptakannya manusia dan konsep manusia yang sempurna pada ayat Q.S.
al-Ahzab ayat 72, Q.S. al-Dzariat ayat 56, Q.S. al-Baqarah ayat 30, dan
Q.S. Ali ‘Imran ayat 110.
9
5. Cici Zulaika; Ushuluddin 2018, Penciptaan Alam Menurut Imam
Al-Ghazali, Pandangan penciptaan dari pemikiran Imam Al-Ghazali yang
terpokus pada penciptaan alam yang bersumber kepada kekuatan Tuhan
yang Maha Pencipta.
6. Mursidah; Ushuluddin 2018, Konsep Penciptaan Alam Menurut
Ibn Rusyd, skripsi ini membahas tentang konsep penciptaan alam.
Pertama, ayat-ayat yang dikutip Ibn Rusyd tentang ayat-ayat penciptaan
alam. Kedua, pemikiran Ibn Rusyd tentang keqadiman alam. Ketiga,
penciptaan dari ada (al-Khalq min al-Syay’).
7. Dani Cahya Rahayu; Ushuluddin 2015 Peniupan Ruh Pada
Manusia (Studi Komparatif Penafsiran Fakhr al-Din al-Razi dan Tantawi
Jauhari), Pandangan skripsi ini membahas tentang bagaimana pendapat
Fakhr al-Din al-Razi dan Tantawi Jauhari tentang konsep peniupan Ruh
pada manusia yang merupakan tahap akhir sebuah penciptaan dalam kitab
al-Jawahir fi tafsir al-Qur’an danMafatih al-Ghaib? Dan apa persamaan
dan perbedaan mendasar dari setiap tafsir terdahulu terhadap konsep
peniupan Ruh pada manusia.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini disusun berdasarkan bab per bab.
Pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun di atas akan menjadi kerangka
acuan dan gagasan utama masing-masing bab. Skripsi ini terdiri dari lima
bab yaitu:
Bab I adalah pendahuluan. Dalam pendahuluan ini membahas tentang
latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat,
metodelogi penulisan dan penelitian, sistematika penulisan dan kajian
pustaka.
10
Bab II adalah Tinjauan umum ini tentang kiprah Muhammad Husain
Ṭabāṭabā’ī yang membahas tentang penafsiran.
Bab III adalah penafsiran penciptaan Adam dalam al-Qur’an,
penafsiran penciptaan ini akan terfokus pada surat al-Baqarah ayat 30 – 32
dari kalangan mufassir.
Bab IV adalah kritis atas penafsiran Muhammad Husain Ṭabāṭabā’ī
tentang penafsiran penciptaan Adam (al-Baqarah ayat 30-32).
Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang
diakhiri daftar putaka. Kesimpulan yang akan menerangkan secara singkat
berbagai hal yang penting yang menjadi jawaban dari permasalahan,
sedangkan saran-saran adalah berisi tentang hikmah yang dapat diambil
dari kajian ilmiah, agar dapat memunculkan penelitian yang lebih lengkap.
11
BAB II
KIPRAH PERJALAN HIDUP ṬABĀṬABĀ’Ī
Salah satu mufassir yang menceritakan kejadian penciptaan Adam
berlatar belakang dari kejadian para malaiakat mengajukan pertanyaaan
terhadap Allah tentang kejadian khalifah dalam tafsir al-Mizan. Penafsiran
tersebut memberikan pemahaman dalam kandungan ayat al-Qur’an dari
sudut pandang yang berbeda dan dengan ketelitian yang mendalam,
sehingga menjadikan penafsiran tersebut begitu mudah dalam
memahaminya. Oleh sebab itu, pada bab ini penulis mencoba menggali
pemikiran Ṭabāṭabā’ī dalam menafsirkan al-Qur’an, terlebih dalam
menelusuri biografi singkat kehidupan penulis, serta perjalanan
intelektualnya dan metode dalam kitab tafsirnya, serta segala sesuatu yang
berkaitan dengannya.
A. Biografi Muhammad Husein Ṭabāṭabā’ī
Ṭabāṭabā’ī memiliki nama lengkap Allamah 1 Sayyid 2 Muhammad
Husein bin al-Sayyid 3 Muhammad Husein bin al-Mirza ‘Ali Asghar
Syaikh al-Islam Ṭabāṭabā’ī al-Tabrizi al-Qadhi, beliau dilahirkan pada
tanggal 29 Dzulhijjah 1321 H/ 1903 M di kota Tabriz, beliau dilahirkan
dari keluarga yang terkenal dengan ilmu dan
1 Allamah adalah ungkapan atau gelar kehormatan dalam bahasa Arab Persia
dan bahasa –bahasa Islam lainya yang berarti “sangat terpelajar, atau sangat pandai,”
Lihat: Syaarif Ali bin Muhammad al-Jurjan, al-Ta’rifat (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islam,
2012), 163. 2 Kata Sayyid adalah gelar yang menunjukkan bahwa ia keturunan Nabi
Muhammad. Lihat: Syarif Ali bin Muhammad Juraini, al-Ta’rifat, 132 3 Sayyid adalah gelar yang menunjukan bahwa beliau keturunan Nabi
Muhammad, Lihat: Syaarif Ali bin Muhammad al-Jurjan, al-Ta’rifat (Jakarta: Dar al-
Kutub al-Islām, 2012), 132.
12
kemuliannya di kota Tabriz.4 Beliau dilahirkan dari keluarga yang selama
empat belas generasi melahirkan sarjana-sarjana islam terkemuka, 5
kakeknya al-Sayyid Muhammad Husein adalah seorang murid terbaik dari
pengarang kitab al-Zawir dan Syaikh Musa Kasyif al-Ghita. Jika diruntut
sampai ke atas, nasab beliau dan keluargannya bersambung hingga kepada
sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib.6
Pada tahun 1911 sampai 1917, beliau mulai belajar al-Qur’an. Selama
masa beliau belajar selam tujuh tahun (1918-1925), beliau mulai
mempelajari ilmu bahasa Arab, melakukan kajian islam, dan teks-teks
klasik agama Islam yang seluruhnya beliau habiskan di kota kelahirannya,
Tibriz.7
Dalam perkembangan keilmuannya, Ṭabāṭabā’ī tidak pernah
meninggalkan negrinya di Persia. Kota-kota Persia seperti Qum, Tabriz,
dan Taheran adalah beberapa kota yang membentuk karakter keilmuan
Ṭabāṭabā’ī.8 Ketiga kota ini dianggap sebagai sebagai kota suci di Iran,
yang telah melahirkan banyak ulama besar dan para mujahid dari zaman
persia sampai masa Iran.9
Tibriz adalah kota kelahiran Ṭabāṭabā’ī, di kota ini beliau pertama kali
menerima pendidikan dari sanak saudara dan keluarganya yang terkenal
4 ‘Ali al-Alwi, Tasdir al-Mīzan fī Tafsir al-Qur’an (Beirut: Mu’assasah al-
A’lamili al-Matbu’ah, 1973), 3. 5 Sayyid Muhammad ‘Ali Iyazi, al-Mufassirun hayatuhum wa manhajuhum, 1”
ed. (Taheran” Wazarat al-Irsyad al-Islami, 1212 H), 704. 6 Evra willya, “Ṭabāṭabā’ī dan Tafsir al-Mizan” dalam Hubungan Antar Umat
Beragama Menurut Ṭabāṭabā’ī dalam tafsir al-Mizan, (Disertasi S3 Pascasarjana.,
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), 23. 7 Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir, Kumpulan Kitab-Kitab
Tafsir dari Masa Klasik Sampai Masa Kontemporer (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an,
2013), 185. 8 Khairunnas, “Pengaruh Pemikiran Husain Ṭabāṭabā’ī dalam Tafsir al-Misbah”,
Jurnal Ushuluddin, vol. 17, No.2 (juli 2011): 25. 9 Evra willya , ‘Ṭabāṭabā’ī dan Tafsir al-Mizan”, 25.
13
sebagai keturunan ulama, beliau juga menguasai bahasa arab kuno dan
ilmu-ilmu keislaman pada kali pertama menerima pendidikan dasar di kota
ini. 10 ayah Ṭabāṭabā’ī sendiri sangat berkeinginan menjadikan
Thabathaba’i mengikuti tradisi keluarganya yaitu menjadi seorang ulama.
Oleh karena itu ayahnya memberikan pendidikan terbaik buat Ṭabāṭabā’ī
serta seorang saudaranya. Namun di tengah perjuangannya tersebut,
ayahnya meninggal dunia. Sepeningalan kedua orang tuanya, Ṭabāṭabā’ī
dan saudaranya di serahkan kepada seseorang pengembala, yang bertindak
sebagai seorang wali yang mengurusi segala keperluan mereka, untuk
meneruskan pendidikannya, keluarga menyerahkan tanggung jawab
urusan tersebut kepada seorang guru privat yang setiap hari datang ke
rumah.11
Pada usia 20 tahun Ṭabāṭabā’ī kemudian melanjutkan pendidikan di
Universitas Syi’ah yang terkenal di Najaf, Iran. 12 Di Universitas ini
kebanyakan mahasiswa hanya menekuni ilmu-ilmu naqliyah.
Thabathaba’i selain mempelajari ilmu-ilmu tersebut juga mempelajari
ilmu-ilmu di bidang aqliyah. Ṭabāṭabā’ī selain itu juga mempelajari ilmu-
ilmu ushul fikih dari dua gurunya yaitu syaikh Muhammad Husein al-
Na’ini dan syaikh Muhammad Husein al-Kamyani, beliau juga
mempelajari ilmu filsafat dari gurunya Sayyid Husein al-Badikubi, ilmu
matematika tradisional kepada gurunya Saayyid Abi al-Qasim al-
Khawansari, dan ilmu akhlak kepada al-Hajj Mizra ‘Ali al-Qadhi.13 Selain
itu beliau juga mempelajari filsafat Islam tradisional dari kitab al-Syif
Ibnu Sina, Asfar Mulla Sadra, dan ‘aqa Ali Mudarris Zanusi. Dalam
10 Ṭabāṭabā’ī, Tafsir al-Mizan: Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan, ter.
Syamsuri Rifa’i, (Jakarta: Firdaus, 1990), i. 11 Evra willya, ‘Thabathaba’i dan Tafsir al-Mizan”, 28. 12 Ṭabāṭabā’ī, Tafsir al-Mizan: Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan, i. 13 ‘Ali al-Alwi, Tasdir dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, ii.
14
bidang ilmu kabatinan Ṭabāṭabā’ī telah mencapai tingkat ma’rifah dan
kasyaf, beliau mempelajari ilmu tersebut dari gurunya Mizra ‘Ali al-
Qadhi, beliau juga telah menguasai kitab Fushush al-Hikam karya Ibnu
‘Arabi,14 disebutkan bahwa beliau tidak di bimbing gurunya selain dari
kalangan Syi’ah yang membimbing keilmuan beliau.15
Ṭabāṭabā’ī menghabiskan waktunya di kota Najaf selama 40 tahun, dari
tahun 1925 sampai tahun 1935 M. Setelah itu beliau kembali ke kampung
halamannya di kota Tibriz, karena faktor ekonomi. Di kota ini beliau tidak
dapat menghindar dari kebutuhan ekonomi untuk dapat bertahan hidup.
Mata pencaharian Ṭabāṭabā’ī selama di kota Tibriz adalah bertani.
Kehidupan bertani digeluti Ṭabāṭabā’ī selam 10 tahun, dan inilah masa-
masa yang kering dalam hidup beliau juga jauh dari kegiatan ilmiah dan
pemikiran.16 Tidak lama kemudian Ṭabāṭabā’ī berhijrah ke kota suci Qum
karena alasan politik. Qum adalah kota yang memiliki nilai-nilai sejarah
dan tempat yang disucikan di negara Iran dan dunia Islam. Qum kemudian
menjadi salah satu daerah tujuan utama para pencinta ilmu untuk
menyelami khazanah ilmu intelektual Islam klasik. Karena di Qumm,
seperti pada dua kota lainya Tibriz dan Najaf, berdiri beberapa perguruan
tinggi, Masjid, serta perkumpulan ilmiah untuk mengkaji warisan
peningglan islam.17
Tepatnya pada tahun 1945 M Ṭabāṭabā’ī pindah dari Tibriz ke kota
Qum, dengan modal pendidikan yang telah di gelutinya secara mendalam
dan keilmuan yang kuat dari berbagi aspek yang telah dibimbing oleh
14 Ṭabāṭabā’ī, Tafsir al-Mizan: Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan, i. 15 Khairunnas Jamal, “Pengaruh Pemikiran Husain Ṭabāṭabā’ī Dalam Tafsir
al-Misbah”, 205. 16 Evra willya, ‘Ṭabāṭabā’ī dan Tafsir al-Mizan”, 31. 17 Evra willya, ‘Ṭabāṭabā’ī dan Tafsir al-Mizan”, 27-28.
15
guru-guru yang handal dalam bidangnya, kemudian Ṭabāṭabā’ī mulai
mengajar di kota ini. Sebagai seorang Mujtahid, ia menitik beratkan pada
pengajaran Tafsir al-Qur’an, Filsafat, dan Taswwuf.18
Dengan ilmu beliau yang sangat luas dan penampilan yang sangat
sederhana, membuat beliau mempunyai daya tarik tersendiri, khususnya di
kalangan murid-muridnya. Ṭabāṭabā’ī telah mencetak murid-murid yang
menjadi ulama intlektual seperti Murtadha Mutahhari yaitu seorang tokoh
dikalangan Islam Syi’ah yang demikian terkenal dan tidak saja dari
kalangan Syi’ah tetapi juga dari kalangan masyarakat Sunni, beliau juga
merupakan seorang besar di Universitas Taheran, dan Sayyid Jalalluddin
Asytiyani yaitu guru besar di Universitas Masyhad. 19 Adapun murid-
murid yang lain yang juga terkenal adalah Sayyid Musa al-Shadr, Sayyid
al-Duktur Bahsyati, Sayyid al-Duktur Miftah, Syaikh al-Jawad al-Amȃli,
Syaikh Muhammadi, dan Syaikh Mishbah al-Yazdi.20
Dalam perjalanan hidupnya, Ṭabāṭabā’ī berhasil menjadi seorang ulama
besar di kalangan Syi’ah yangg cukup berpengaruh, selain dikenal sebagai
seorang mufassir al-Qur’an, beliau juga di kenal sebagai seorang tokoh
filosof Persia klasik pada abad 20. 21 Ali Iyazi mengatakan bahwa
Ṭabāṭabā’ī adalah satu dari hanya segelintir orang yang memberikan
sumbangan pemikiran keIslaman kontemporer dengan memberikan
mereka pemikiran secara mendalam, dan merupakan salah seorang
mufassir kontemporer Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah.22
18 Ṭabāṭabā’ī, Tafsir al-Mizan: Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan, i. 19 Ṭabāṭabā’ī, Tafsir al-Mizan: Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan, i. 20 ‘Ali al-Alwi, “Tasdir” dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 1, iv. 21 Salahuddin ahmed, a dictionary of Muslim Names, (New Delhi: Ranjeet
Nagar, 1999), 14. 22 Ali Iyazi, al-Mufassirûn Hayatuhum wa Manhȃjuhum, 704.
16
Selain menulis, membimbing masyarakat, mengajarkan al-Qur’an dan
filsafat dengan melakukan kunjungan ke berbagai kota, beliau juga
mengajarkan tentang pengetahuan dan pemikiran keislaman kepada tiga
kelompok masyarakat yaitu: murid-murid tradisional yang menyebar ke
seluruh negri Iran, bahkan luar negri Iran sekalipun; kelompok mahasiswa
pilihan tentang ilmu ma’rifat dan tasawuf; dan orang-orang Iran
berpendidikan modern.23
Kepada mahasiswa-mahasiswa tertentu, Ṭabāṭabā’ī juga mengajarkan
pengetahuan yang mendalam mengenai ilmu ma’rifat dan seluk-beluk
perbandingannya, dimana dalam pertemuan tersebut, menghasilkan
diskusi atas teks-teks agama yang mengajarkan ilmu dan ajaran-ajaran
mistik, seperti Tao Te Ching, Upanishad dan Injil Yahya. Dalam kuliah-
kuliah tersebut Ṭabāṭabā’ī selalu berbuat perbandingan dengan tasawuf
dalam ajaran Islam.24
Usaha pembaharuan yang dilakukan Ṭabāṭabā’ī terlihat dari
keteguhannya dalam mengedepankan gagasan-gagasan filosofis Islam dan
menentang pemikiran-pemikiran materealistik yang pada saat itu mulai
membanjiri negara-negara Islam, termasuk Iran pada waktu itu. Dengan
komitmen yang demikian mendalam memegang nilai-nilai Islam,
Ṭabāṭabā’ī menggencerkan pemikiran filsafat dan spiritual Islam. Melalui
gagasan Mulla Sadra, beliau menentang filsafat dam pemikiran yang
berasal dari barat. Sebagaimana yang dikemukakan Sayyid Husein Nasr,
23 Dewi Murni, Kecerdasan Emosional Menurut Perspektif Al-Qur’an, Jurnal
Syahadah, Vol. V, No. 1, (April 2016), 6. 24 Ahmad Baidowi, Mengenal Thabathaba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh,
(Bandung: Nuansa Cendekia, 2005), 42.
17
beliau merupakan salah seorang ulama yang sangat berperan bagi
kebangkitan kembali filsafat Islam tradisional di Iran.25
Kemudian Ṭabāṭabā’ī meninggal dunia pada tahun 1981 M. di kota
Qum, kabar meninggalnya tersebut, tersebar ke seluruh penjuru negeri.
Beliau dikuburkan di dekat pemakaman Sayyidah Fatimah al-ma’shumah
yaitu puteri dari imam Musa bin Ja’far.
B. Guru-guru dan Muridnya
Nama Allamah Ṭabāṭabā’ī sebagai ilmuan dan filosof dikenal bukan
hanya di Iran tapi juga di mancanegara. Banyak pemikir barat yang
datang ke Iran untuk bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar ini, di
antaranya adalah pemikir terkenal di kalangan ilmuan Prancis, Henry
Corbin. Salah satu kelebihan yang ada pada diri Ṭabāṭabā’ī adalah
penguasaannya atas berbagai bidang disiplin ilmu. Ketekunan dalam
belajar telah membawanya menjadi salah satu ulama dan tokoh besar.26
Berikut nama-nama gurunya:
1. Miẓra Muhammad Husaini al-Naini (Ushul fiqh)
2. Syaikh Muhammad Husin al-Bimbani (Ushul fiqh)
3. Sayyid Abu Hasan Silwah (Ilmu Gramatikal)
4. Mizra ali al-Qadhi (Ilmu Tasawuf)
5. Sayyid Abu Qasim dan Husain al-Badikubi (Filsafat)
Dari beberapa bidang ilmu yang beliau pelajari, Ṭabāṭabā’ī lebih
tertarik pada pengetahuan-pengetahuan akliyah, oleh karena itu pemikiran
25 Ahmad Baidowi, Mengenal Thabathaba’i dan Kontroversi Nasikh mansukh,
41. 26 Purkon Hidayat, Politik Global dan Wacana Etika Religius Antara Tabatabai
dan Hamka, Jurnal ICMSES Volume 2, No 2, (Desember 2018), 138.
18
Ṭabāṭabā’ī sangat dipengaruhi oleh gurunya Sayyid Abu al-Qasim dan
Mizra Ali al-Qadhi dalam bidang filsafat dan tasawuf.
Berikut murid-murid beliau:
1. Sayyid Abdullah Syirazi
2. Ayatullah Montazeri
3. Murtaḍā Muṭhārī
4. Ali Qouddusi
5. Dari para murid beliau yang terkenal dikalangan ulam Syi’ah maupun
Sunni adalah Murtaḍā Muṭhārī, banyaknya tulisan-tulisan beliau yang
tersebar luas di Indonesia.27
C. Karir dan Karya-karya Ṭabāṭabā’ī
Ṭabāṭabā’ī sebagai mana yang dikemukakan oleh Sayyed Hosein
Nasr, merupakan seorang ulama berbagai bidang disiplin ilmu
pengetahuan maupun keagamaan, juga meliputi Fikih, ushul fiqh, tasawuf
sampai kepada ilmu matematika dan filsafat sekalipun. Sebagai seorang
filosof, kecendrungannya terhadap filsafat bahkan sangat mewarnai
karya-karta intelektualnnya, termasuk kitab tafsirnya sendiri, Al-Mīzan fī
Tafsīr al-Qur’ān. Oleh Muhammoud Ayyub, kitab tafsir tersebut bahkan
dinilai sebagai karya yang selain bersifat filsafat juga bersifat hukum,
teologi, mistik, sosial dan ilmiah bahkan moderat dan polemis.
Sebenarnya bukan hal yang mengherankan apa bila karya Ṭabāṭabā’ī
sangat di warnai filsafat, mengingat, selain bahwa beliau adalah seorang
filosof, dan beliau juga seorang ulama yang dididik dari keluarga
beraliran Syi’ah. Sedangkan dalam Syi’ah, filsafat memperoleh posisi
27 Sayyid Ḥusein naṣr, Islam Syi’ah: Asal-usul dan Perkembangannya,
terj. Djohan Efendi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), 22.
19
yang sangat cukup penting sebagai salah satu cara untuk memahami
Islam. Sebagian besar karya beliau bahkan merupakan karya-karya
kefilsafatan.28
Ketika beliau memulai pelajaran-pelajaran dengan gramatika dan
sintaksis, ia begitu tetarik dan tak mampu betul-betul memahaminya.
Selama empat tahun beliau belum terlalu paham tentang ilmunya.
Seketika anugerah ilahi menyentuh dan mengubahnya, sehingga beliau
begitu antusias terhadap pelajaran dan tak sabar untuk mempelajari hal-
hal yang baru.29
Ṭabāṭabā’ī menggoreskan kepribadiannya yang mulia dengan mengisi
setiap waktunya dengan keilmuan, perjuangan, dan menulis beberapa
buku. Leluasan wawasan intlektual Ṭabāṭabā’ī tampak dengan karya-
karya besar yang telah ditulisnya, karya-karya tersebut ada yang berupa
buku, kitab, dan esai.30 Berikut ini adalah karangan-karangan beliau yang
di tulis ketika belajar di Najaf:
1. Resale dar Borhan (Risalah [Monografi] tentang Penalaran)
2. Resele dar Moghalata (Risalah tentang Sofistri)
3. Resale dar Tahiti (Risalah tentang Analisis)
4. Resale dar Tarkit (Risalah tentang Susunan)
5. Resale dar E’tebariyat (Risalah tentang Gagasan-gagasan mengenai
Asal-Usul Manusia)
28 Ahmad Baidowi, Mengenal Ṭabāṭabā’ī dan Kontroversi Nasikh mansukh,
(Bandung: Nuansa Cendekia, 2005), 45. 29 ‘Allamah sayyid Muhammad Husain Ṭabāṭabā’ī, Inilah Islam: Upaya
Memahami Islam Secara Mudah, terj. Ahsin Muhammad (Jakarta: Sadra Pres, 2011),
11. 30 ‘Ali al-Alwi, “Tasdir” dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 1, v.
20
6. Resale dar Nobovvat va Manamat (Risalah tentang Nubuat dan
Mimpi-mimpi).
Selain itu beliau juga membuat karya-karya selama tinggal di Tibriz.
Karya-karya itu antara lain adalah:
1. Resale dar Nonovvat va Manat (Risalah tentang Nubuat dan Mimpi-
mimpi)
2. Resale dar Asma’ va Safat (Risalah tentang Nama-nama dan Sifat-
sifat)
3. Resale dar Af’al (Risalah tentang Perbuatan-perbuatan [ilahiah])
4. Resale dar Vasa’et Miyan-e Khoda-e Khoda va Ensan (Risalah
tentang Perantaraan antara Tuhan dan Manusia)
5. Resale dar Ensan Qabl ad-Donya (Risalah tentang Manusia Sebelum
Kehidupan di Dunia
6. Resale dar Ensan fi’d-Donya (Risalah tentang Manusia di Dunia)
7. Resale dar Ensan Ba’d ad-Donya (Risalah Tentang Manusia Sesudah
Kehidupan di Dunk)
8. Resale dar Velayat (Risalah tentang Wilayah)
9. Resale dar nobovvat (Risalah tentang Kenabian)
(Dalam risalah-risalah ini, dibuat perbandingan antara bentuk
pengetahuan rasional dengan bentuk pengetahuan naratif Ketab-e Selsela-
ye Tabattata’i dar Azarbayjan [Kitab Silsilah Thabathaba’i di
Azerbaijan]).
Berikut adalah karya-karya yang di tulis di Qum:
1. Tafsir Al-Mizan, diterbitkan ke dalam 20 jilid. Di dalam karya ini, Al-
Qur’anul Karim dijelaskan dengan cara yang belum pernah dilakukan
orang sebelumnya, penafsiran ayat dengan ayat yang lainya.
21
2. Ushu-e Falsafe (Ravesh-e Re’alism) (Prinsip-prinsip filsafat [Metode
Realisme]). Karya ini membahas tentang filsafat-filsafat Barat dan
filsafat Timut, lima jilid.
3. Anotasi untuk Kifayat Al-Ushul
4. Anotasi untuk Mulla Sadra, Al-Asfar Al-Arba’ab, diterbitkan ke
dalam sembilan jilid.
5. Veby, ya Sho’ure-e Marmuz (Wahyu atau Kesadaran Mistik).
6. Do Resale dar Velayat va Hokumat-e Eslami (Dua Risalah tentang
Pemerintah Islam dan Wilayah)
7. Mosabeha-ye Sal-e 1338 ba Propesor Korban, Mostashreq-e
Faransavi (Wawancara-wawancara tahun 1959 dengan Professor
Henry Corbin, Orientalis Prancis. Baru-baru ini diterbitkan kembali
dalam satu jilid dengan judul Shi’a [Syi’ah]).
8. Mosabaha-ye Sal-e 1339 va 1340 ba Profesor Korban. Wawancara-
wawancara tahun 1960 dan 1961 dengan Profesor Henry Corbin.
Diterbitkn dalam satu jilid dengan judul Resalat-e Tashayyo’ dar
Donya-ye Emruz (Misi Syi’ah di Dunia Masa Kini).
9. Resale dar E’jaz (Risalah tentang Mukjizat).
10. Ali wa Al-Fasafab Al-Ilahiyah (‘Ali dan Falsafat Ketuhanan). Juga
diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Parsi.
11. Shi’a dar Eslam (Islam Syi’ah).
12. Qor’an dar Eslam Qu’an dalam Islam.
13. Majmu’e-ye Maqalat, Porsheshha va Posokha, Bahsha-ye Motafarge-
ye ‘Elmi, Falsafi, va ... (Kumpulan artikel, pernyataan, dan jawaban,
serta diskusi keilmuan, filosofis, dan lain-lain).
22
14. Sunan Al-Nabi (Sunah-Sunah Nabi). Diterbitkan ke dalam 400
halaman dengan disertai terjemahan dan kajian oleh Mohammad Hadi
Feqhi.31
Keseluruhan karya-karya Ṭabāṭabā’ī, sebagai mana yang diungkapkan
dalam majalah Shawt al-Ummah, mencapai sekitar 50 buah. Di antaranya
berupa artikel-artikel yang dimuat oleh media massa. Kitab beliau, Tafsir
al-Mizan yang terdiri dari 20 jilid merupakan karyanya yang paling besar
dan monumental, yang oleh Shawt al-Ummah dinilai sebagai tafsir al-
Qur’an yang paling Agung dan paling baik. Hal ini terlihat jelas dalam
berbagai kajian yang dilakukanya sebagaiman yang tertuang dalam
berbagai karyanya. Bahkan Islam Syi’ah misalnya, sangat
memperlihatkan keteguhan Ṭabāṭabā’ī berpegang pada mazhab Syi’ah.32
Di bidang akhlak praktis, Thabathaba’i meninggalkan karya yang di
beri judul Lubbul Lubab. Selain itu beliau juga menulis buku tentang
sejarah dan pesan moral Nabi Muhammad SAW yang berjudul Sunan al-
Nabi yang merupakan kumpulan materi pelajaran ahklak beliau.
Thabathaba’i juga menulis “Ringkasan Pelajaran Agama Islam dan
Hubungan Sosial dalam Islam” dalam upaya untuk mengenalkan agama
Islam secara singkat dan padat.33
D. Pandangan Ulama terhadap Ṭabāṭabā’ī
Pandangan Jalaluddin Rahmat mengemumakan pendapatnya bahwa
penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an dinilai oleh para ulama sebagai
paling shahih. Para mufassir telah menyepakati bahwa menjelaskan ayat
31 ‘Allamah sayyid Muhammad Husain Ṭabāṭabā’ī, Inilah Islam: Upaya
Memahami Islam Secara Mudah, 13. 32 Ahmad Baidowi, Mengenal Ṭabāṭabā’ī dan Kontroversi Nasikh mansukh, 47. 33 Purkon Hidayat, Politik Global dan Wacana Etika Religius Antara Tabatabai
dan Hamka, 139.
23
dengan alat yang lain dan kedua ayat itu saling menerangkan salah satu
diantara keduanya. Pendapat ini senada juga dengan pandangan al-
Asfahani, bahwa tidak semua ayat tidak bisa dipahami secara akal karena
ada ayat-ayat yang berkaitan dengan ayat-ayat yang lain. Khusus bagi
kalangan ulama Syi’ah, Fazlurrahman menilai bahwa Ṭabāṭabā’ī
meminimalkan subyektifitas.34 Bahkan Sayyed Husein nashr mengatakan
bahwa Ṭabāṭabā’ī merupakan lambang kepermanenan tradisi keserjanaan
pengetahuan Islam.35
Menafsirkan al-Qur’an dengan cara mangaitkan ayat yang satu
dengan yang lain (yang kemudian dikenal dengan penafsiran al-Qur’an
dengan al-Qur’an) yang oleh Ṭabāṭabā’ī dinilai sebagai cara yang valid
ini, pada dasarnya merupakan hal yang umum dikalangan mufassir, meski
dalam aplikasinya kemudian terjadi berbagai perbedaan pendapat, dan
Ṭabāṭabā’ī digolongkan sebagai para filosof dan pemikir besar yang di
dunia modern.36
Menurut Abu al-Qasīm Razzīqī bahwa tafsir yang di karang oleh
Ṭabāṭabā’ī memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik dan intruksi
yang lebih efektif untuk sampai memahami pada makna yang tersirat
dalam teks yang paling tinggi kedudukannya dalam islam, kemudian
gagasan-gagasan materealistik telah sangat mendominasi, menjadi sebuah
kebutuhan besar bagi wacana rasional dan filosofis yang kemungkinan
mengelaborasikan prinsip-prinsip intelelektual dan doktrin dalam islam
34 Jalaluddin Rahmat, Pengantar Islam dan Tentang Modernitas (Bandung:
Mizan, 1989), 27. 35 Ahmad Baidowi, Mengenal Ṭabāṭabā’ī dan Kontroversi Nasikh mansukh, 1. 36 Ibn Taimiyah, Muqaddimah Fī Ushūl Tafsīr (Beirut: Dar al-Fikr, 1392), 93.
24
dengan mengemukakan argument-argument rasional dalam rangka
mempertahankan posisi Islam.37
E. Metode dalam Penafsiran
Dalam Islam, keberadaan al-Qur’an menempati posisi sentral sebagai
sumber hukum yang utama. Ketinggian posisi al-Qur’an itu
menempatkannya menjadi satu pandangan hidup yang harus dijadikan
sebagai parameter dalam setiap aktivitas kehidupan umat Islam.
Pandangan inilah yang harus mendasari bahawa al-Qur’an menjadi mutlak
harus dipahami. Sebab, tanpa al-Qur’an itu bisa dipahami, maka mustahil
umat Islam akan berhasil mengamalkan pesan-pesan yang dikandungnya
secara utuh dan benar.38
Metode penafsiran yang digunakan oleh Ṭabāṭabā’ī dalam
menafsirkan al-Qur’an sejauh ini penulis dapat menyimpulkan sebagai
metode tahlili39, yaitu suatu metode yang digunakan oleh sebagian para
penafsir dalam menafsirkan al-Qur’an. Melalui penguraian makna yang
terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan mengikuti tata tertib urutan
surat dan ayat-ayat al-Qur’an yang diikuti oleh sedikit banyak analisa
tentang kandungan ayat-ayat tersebut. 40
37 Abu al-Qasīm Razzīqī, Pengantar pada Tafsir al-Mizan, terj. Nurul Agustina
(Jakarta: Al-Hikmah,1991), 6. 38 Ahmad Baidowi, Mengenal Ṭabāṭabā’ī dan Kontroversi Nasikh mansukh
(Bandung: Nuansa Cendekia, 2005), 51. 39 Metode tahlili, berasal dari kata hallala yahallilu, Tahlili yang berarti
menguraikan atau menganalisi. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-
Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung didalanya sesuai
urutan bacaan yang terdapat didalam al-Qur’an Mushaf Usmani. Tafsir ini disebut juga
dengan tajz’i (parsial). Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim, 5. Lihat
juga: Manna al-Qatan, Sejarah Ulumul al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), 172-
179. 40 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2009), 103.
25
Menafsirkan al-Qur’an dengan cara mengaitkan satu ayat dengan ayat
yang lainya (yang kemudian dikenal penafsiran al-Qur’an dengan al-
Qur’an) yang oleh Ṭabāṭabā’ī dinilai sebagai cara menafsirkan yang paling
valid ini pada dasarnya merupakan hal yang umum di kalangan mufassir,
meski dalam aplikasinya kemudian terjadi berbagai perbedaan. Beberapa
mufassir, seperti Ibn Taimiyah dan Al-Zamakhsyari menilai cara
penafsiran tersebut sebagai yang paling baik. Fazlur Rahman menilainya
sebagai cara yang dapat meminimalkan subyektifitas. Kalangan ulama
Syi’ah sendiri berpendapat, bahwa menafsirkan al-Qur’an dengan al-
Qur’an merupakan metode yang dipraktikkan oleh ahlul bait dan
karenanya harus diikuti.41
Ṭabāṭabā’ī dalam karya monumentalnya, tafsir al-Mīzan membahas
berbagai macam isu penting secara mendalam yang masih relevan hingga
kini. Ia menanggapi wawancara yang datang dari Timur dan Barat dan
menyampaikan pandangannya dengan baik, yang kadang disertai
kritikannya yang tajam.42 Sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Ṭabāṭabā’ī
bahwa dalam menafsirkan al-Mizan menggunakan metode atau kaidah
tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, konsisten termasuk menyangkut
masalah akidah dan kisah-kisah. Sementara metode penafsiran metode
tahlili ini menggunakan dua pendekatan sekaligus yaitu bi al-ma’tsur dan
bi al-ra’yi, adapun menurut ‘Ali al-Usi dan al-Iyazi. Jenis bi al-ma’tsurnya
al-mizan adalah dengan cara maudu’i.
Namun, jenis al-ma’tsurnya tafsir al-Mīzan berbeda, misalnya, dengan
tafsir al-Thabari. Hal ini, karena al-Mizan, sebagai kitab tafsir yang
bercorak syi’ah, juga di dasarkan pendapat oleh para imam yang diyakini
41 Ahmad Baidowi, Mengenal Ṭabāṭabā’ī dan Kontroversi Nasikh Mansukh, 57. 42 Jurnal ICMES Volume 2, No. 2 Desember 2018, 139.
26
sebagai orang maksum.bahkan Ṭabāṭabā’ī juga menggunakan rasio untuk
memahami ayat, terutama ayat-ayat yang menuntutnya untuk dijelaskan
secara filosofis dan login, seperti masalah tauhid, ‘ishmah, keadilan
Tuhan, perbuatan manusia antara jabr dan qadr.43
Tafsir ini mulai disusun oleh Ṭabāṭabā’ī ketika beliau menetap dan
mengajar di Qum, tafsir ini ditulis bukan saja sebagai respon atas
permintaan para ulama untuk membangkitkan kajian ayat al-Qur’an saja,
akan tetapi yang lebih dominan pada waktu itu kajian filsafat dan fiqh, dua
ilmu ini masih menjadi primadona atau mahkota ilmu-ilmu rasional dan
ilmu-ilmu tradisional dimana antara ulama keduanyan saling bertentangan,
namun juga karna di Hamzah belum ada program kajian rafsir, permintaan
itu ditanggapi secara positif oleh Thabathaba’i dengan menggunakan
kajian tafsir dan filsafat setiap malam kamis yang dihadiri oleh sejumlah
murid yang kelak kemudian hari menjadi pewaris pandangan-
pandangannya.44
Adapun sistematika penulisan kitab tafsir ini mengikuti sistematika
tartib mushafi, yaitu menyusun tafsir berdasarkan susunan ayat-ayat dan
surat-surat dalam penyusunan mushaf al-Qur’an yang di awali dengan
surat al-Fatihah hingga diakhiri dengan surat al-Nas. 45 Secara umum,
sistematika yang dipakai oleh Ṭabāṭabā’ī di dalam kitab tafsirnya tidak
jauh berbeda dengan sistematika dalam karya-karya tafsir yang lainya.
‘Ali al-Awsi memetakan sistematika yang di pakai Ṭabāṭabā’ī dalam
menyusun kitab tafsirnya ini. Ṭabāṭabā’ī di dalam menafsirkan ayat-ayat
43 Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir, Kumpulan Kitab-Kitab
Tafsir dari Masa Klasik Sampai Masa Kontemporer, 190. 44 Ṭabāṭabā’ī, Millah Ibrahimiyyah dalam Tafsir Al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an,
h. 87. 45 M. Zen Assegaf, Konsep Tawhid Ṭabāṭabā’ī dalam Tafsir al-Mizan
(Tangerang: Penerbit YPM, 2012), 7.
27
membaginya menjadi kelompok tersendiri yang dipandang sebagai satu
topik, sehingga terkadang muncul satu ayat, atau beberapa ayat yang
lainya, bahkan sepuluh ayat atau lebih yang dirangkum menjadi satu
kelompok.46
Dalam penafsiranya Ṭabāṭabā’ī merujuk pada masa penafsiran priode
pertama yang menfsirkan ayat per ayat yang di jekaskan oleh ayat yang
lainya serta berhubungan dengat ayat-ayat yang di jelaskan dari beberapa
riwayat saja. Dengan begitu Ṭabāṭabā’ī mengambil nama al-Mizan
(dengan judul aslinya al-Mīzan Fī Tafsīr al-Qur’an), yang memiliki
pertimbangan makna suatu yang digunakan untuk mengukur penafsiran
pada masa itu. Oleh karena itu beliau menggabungkan corak penafsir pada
masa priode awal dan priode kedua untuk menjelaskan tafsir al-Qur’an
melalui penafsiran ayat per ayat yang kemudian dijelaskan lagi oleh
riwayat-riwayat pada masa sebelumnya.
Ṭabāṭabā’ī melihat pada zaman Rasulullah, seperti Ibnu Abbas,
Abdullah bi Umar, Ubay bin Ka’ab dan para penafsir lain pada masa
priode pertama, penafsiran pada masa itu tidak lebih menjelaskan ayat-
ayat sekalian dengan sastra dan asbab an-nuzul47, dan sedikit sekali yang
menjelaskan ayat dengan ayat, demikian juga sedikit yang menggunakan
riwayat dari Nabi tentang peristiwa sejarah, realita dan yang lain-lain.
46 ‘Ali al-Alwi, “Tasdir” dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, vol. 1, viii. 47 Asbab an-nuzal adalah merupakan salah satu manifestasi kebijak sanaan Allah
dalam membimbing hamba-Nya. Dengan adanya asbab an-nuzul, akan lebih tampak
keabsahan al-Quran bebagai petunjuk yang sesuai dengan kebutuhan dan kesanggupan
manusia. Sebagai mana menurut al-Zarkasyi sebab turunya ayat al-Qur’an ada dua
kemungkinan: 1. Adanya pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi; dan 2. Adanya
peristiwa tertentu yang bukan dalam bentuk pertanyaan. Kemungkinan yang pertama,
misalnya turunya atay 85 dari al-Isra’, dan yang kedua,misalnya, turunnya, ayat 113 dari
surat at’Taubah, Lihat: Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar. 2005), 132.
28
Ṭabāṭabā’ī mengatakan bahwa setiap mufassir telah memandang al-
Qur’an dari sudut pandang intelektual yang menginterpretasikan
berdasarkan keinginan. Atas dasar itulah beliau mencoba mengangkat satu
corak penafsir bukan hanya dari satu kandungan al-Qur’an, akan tetapi
beliau menghubungkan satu ayat dengan ayat yang lainya maupun dari
riwayat satu ke yang lainnya, serta kisah-kisah yang berkaitan dengan ayat
yang di tafsirkan.48
Ṭabāṭabā’ī menjelaskan ayat dengan berpedoman kepada para pakar
dari berbagai pakar ilmu, seperti tafsir, hadis, tarikh, dan lain-lain, baik
yang bersumber dari para Imam Syi’ah Imamiyah, maupun dari kalangan
ulama sunni. Ini dimaksudkan untuk menyingkap sisi-sisi pembahasan
yang dikehendaki oleh tema tersebut dan menjaga kejujuran pandanganya
terhadap pandangan yang dibahas.
Misalnya tentang kedudukan basmallah, baik dalam surat al-Fatihah,
maupun surat-surat yang lainya. Ṭabāṭabā’ī mengambil beberapa riwayat
dari para imam, di antaranya:
عليه وسلم كان عن أمير المؤمنين عليه السلام أنها من الفاتحة وأن رسول الله صلي الله يقرؤها ويعدهاأيةمنها ويقول فاتحة الكتاب هي السبع المثاني
“Dari Amir al-Mu’minin (‘Ali bin Abi Thalib) as. Bahwasanya
basmalah termasuk dai surat al-Fatihah, dan Rasulullah Saw.
Selalu membacanya, serta menganggapnya sebagian darinya.
Beliau juga bersabda: ‘surat al-Fatihah adalah al-sab’ al-Masani’.”
Hadis tersebut menyatakan bahwa basmalah adalah salah satu ayat
dari al-Fatihah. Sementara, dalam beberapa riwayat yang lain menyatakan
bahwa basmalah juga termasuk salah satu ayat dari semua surat yang ada
dalam al-Qur’an, kecuali surat al-Bara’ah, dan ini tidak ada perselisihan
pendapat diantara mereka.
48 Muhammad Husain Ṭabāṭabā’ī, Al-Mizan Fi tafsir al-Qur’an, jilid 1 (Taheran:
Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1392), 10.
29
Selanjutnya, beliau juga mengambil beberapa riwayat dari ulama
sunni, diantaranya adalah riwayat Muslim, al-Daruqutni, dan Abu Daud.
Misalnya dalam riwayat Muslim:
الرحمن ورة فقرأ : بسم الله رسول الله صلي الله عليه وسلم: أنزل علي انفا س عن أنس قال ر(...الرحيم )انا أعطيناك الكوث
“Dari Anas, Rasulullah Saw. Bersabda: baru saja turun kepadaku satu
surat, lalu beliau membaca رالكوثبسم الله الرحمن الرحيم انا أعطيناك ”
Berdasarkan pada kedua hadis di atas, Ṭabāṭabā’ī memberikan
kesimpulan bahwa basmalah, baik di kalangan Syi’ah maupun sunni
sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim di atas, bukan hanya
bagian dari surat al-Fatihah saja, namun ia termasuk dari salah satu ayat
dari seluruh surat yang ada dalam surat al-Qur’an selain surat al-Bara’ah.
Sementara, di kalangan ulama sunni terdapat perbedaan pendapat tentang
hukum basmalah ini, yang terbagi dalam tiga pendapat: pertama,
basmalah termasuk salah satu ayat dari al-Fatihah dan surat-surat yang
lain; kedua, basmalah bukan termasuk bagian dari ayat, baik al-Fatihah
maupun surat lainnya; ketiga, basmalah termasuk salah satu ayat al-
Qur’an, yang berfungsi untuk memisahkan antara satu surat dengan surat
yang lainnya, dan bukan termasuk salah satu ayat dari surat al-Fatihah.
Dalam teknik penafsirannya, Ṭabāṭabā’ī mengambil beberapa ayat,
lalu disusun dalam satu konteks bahasan. Selanjutnya dijelaskan tujuan
pokok dan kandungan globalnya, kemudian dijelaskan ayat per ayat.49
Kaitanya dalam memahami masalah dalam pemahaman ayat al-
Qur’an, Thabathaba’i berasumsi bahwa seluruh ayat al-Qur’an, tanpa
kecuali, bisa dipahami. Al-Qur’an yang merupakan hudan li al-ālamīn
bukanlah sebuah kitab suci yang sia-sia kehadirannya. Sebagai hudan li
al- ālamīn, tak satupun di antara ayat-ayat al-Qur’an yang maknanya tak
49 Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir, Kumpulan Kitab-Kitab
Tafsir dari Masa Klasik Sampai Masa Kontemporer, 192.
30
bisa diketahui. Dalam pandangan Ṭabāṭabā’ī, al-Qur’an berbicara kepada
manusia dengan bahasa yang sederhana dan jelas. Bukti bahwa al-Qur’an
itu sederhana dan jelas adalah bahwa, setiap orang yang bisa memahami
bahasa Arab dapat mengetahui makna ayat-ayatnya secara persis dan
mendalam sebagaimana ia mengetahui perkataan Arab.50
Ṭabāṭabā’ī melaui perenungan yang mendalam mengatakan bahwa
ada beberapa alasan mengapa menyembah berhala itu adalah bentuk
pelarangan, karena penyembahan semacam itu merupakan bentuk
kepatuhan kepada selain Allah, bukan berarti semata-mata menyembah
berhala namun bahkan menyembah syetan. Padahal Allah menyatakan
bahwa, alam a’had ilaikum yā banī ādam an ka ta’budū al-syayhān (Qs.
Yāsīn: 60). Dengan analisis yang lain diketahui bahwa tidak ada
perbedaan antara ketaatan pada diri sendiri dan ketaatan pada yang lain
karena mengikuti hawa nafsu merupakan satu buah penyembahan kepada
selain Allah, seperti firmannya, afarayta man ittakhadza ilāhah hawah
(Qs. Al-Jatṣiyah 23).51
50 Ahmad Baidowi, Mengenal Ṭabāṭabā’ī dan Kontroversi Nasikh mansukh, 52. 51 Ahmad Baidowi, Mengenal Ṭabāṭabā’ī dan Kontroversi Nasikh mansukh, 59.
31
BAB III
ANALISIS PENAFSIRAN TERHADAP AYAT-AYAT
PENCIPTAAN
Pada bagian ini penulis akan membahas penafsiran ayat-ayat tentang
penciptaan adam dari beberapa kalangan ulama tafsir klasik hingga
modern yang kemudian akan memperlihatkan beberapa sudut pandang
diantara mereka. Selain itu, penciptaan Adam yang dimaksud pada bab ini
secara universal dalam pandangan ulama klasik dan modern yang merujuk
kepada penelitian-penelitian yang terkait dengan penafsiran penciptaan
adam.
A. Penafsiran Ulama Klasik
1. Tafsir Ibn Katsīr
فسد جعل فيها من يتا ا
وال ق
ليفة
رض خ
ي جاعل فى ال
ة ان
ك ى
ملك لل ال رب
قفيها واذ
مون عل ت
م ما ل
علي ا
ال ان
ك ق
س ل
د قح بحمدك ون
سب حن ن
ء ون
ما
٣٠ويسفك الد
ؤل
ء ه سما
وني با
بـنال ا
قة ف
ك ى
ل ى ال
م عرضهم عل
ها ث
لء ك
سما
دم ال
م ا
وعل
نتم ء ان ك
دقين حكيم ٣١ص عليم ال
ت ال
نك ا متنا ان
ما عل
ال
نام ل
عل
نك ل وا سبح
ال ٣٢ق
“dan (ingatlah) ketika tuhanmu brtfirman kepada para malaikat,
“Aku Hendak Menjadikan khilafah dimuka bumi”. Mereka berkata
“Apakah Engkau hendak menjadikan seorang yang merusak dan
menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-
Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman “Seungguh, Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Ibn Katsir memulai pendaparnya dengan mengartikan bahwa Allah
Swt. menggambarkan perihal karunia yang dianugerahkan-Nya
32
kepada Bani Adam,1 yaitu sebagai mahluk yang mulia dengan menyebut
keistimewaan di hadapan makhluk yang tinggi yaitu para malaikat
sebelum menciptakannya. Yakni suatu kaum yang akan menggantikan
satu sama lain, masa demi masa, dan generasi demi generasi, sebagaimana
yang difirmankan oleh Allah, “Dialah yang menjadikan kamu sebagai
khalifah-khalifah di bumi.” (fathir: 39) Oleh sebab itu penafsiran khalifah
yang benar itu seperti yang di atas, bukan pendapat orang yang
mengatakan bahwa Adam merupakan khalifah Allah di bumi dengan
berdalilkan firman Allah “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah
di bumi”.2
Allah Ta’ala berfirman,
ة ك ى
ملك لل ال رب
ق (٣۰)البقرة: واذ
“Ingatlah ketika Tuhan-Mu berfirman kepada para Malaikat. (Al-
Baqarah: 30)
Yakni yang dimaksud ialah ‘hai wahai Muhammad, ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, dan ceritakanlah hal ini kepada
kaummu’.
Pengertian lahiriah Nabi Adam a.s. saat itu masih belum keliatan di
alam wujud. Karena jikalau sudah ada, berarti ucapan para malaikat yang
disitir oleh firman-Nya dinilai kurang sesuai, yaitu:
ء ما
فسد فيها ويسفك الد جعل فيها من يت (٣۰)البقرة: ا
1 Al-Imām Abī Al-Fidā’ Al-Hāfīz Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur’an Al-
Azīm, Juz I (Beirut: Maktabah Al-Nûr Al-‘Ilmiyyah,1992), 358. 2 Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisīru al-Aliyyul Qadīr li Ikhtisāri Tafsir Ibn
Katsīr, jilid I (Jakarta: Gema Insani, 1999), 104
33
“Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?
(Al-Baqarah: 30)”
Karena sesungguhnya mereka (para malikat) bermaksud bahwa di
antara jenis makhluk ini ada orang-orang yang melakukan hal tersebut,
seakan akan mereka mengetahui hal tersebut melalui ilmu yang khusus,
atau melalui apa yang mereka pahami dari watak manusia. Karena Allah
Swt. Memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan
makhluk dari jenis manusia yang diciptakan dati tanah liat kering yang
berasal dari lumpur hitam. Atau mereka berpemahaman bahwa yang
dimaksud dengan khilafah ialah orang yang melerai persengketaan
diantara manusia, yaitu memutuskan hukum terhadap apa yang terjadi di
kalangan mereka menyangkut perkara-perkara penganiayaan, dan
melarang mereka melakukan perbuatan –perbuatan yng diharamkan serta
dosa-dosa.
Selanjutnya bahwa Ibnu Katsir mengatakan bahwa ucapan para
malaikat ini bukan dimaksudkan menentang atau memprotes Allah, bukan
pula karena dorongan dengki terhadap manusia, sebagaiman yang diduga
oleh sebagian para ulama tafsir. Sesungguhnya Allah Swt. mensifati para
malaikat; mereka tidak pernah mendahului firman Allah Swt., yakni tidak
pernah menanyakan sesuatu kepada-Nya yang tidak diizinkan bagi mereka
mengemukakannya.
Dalam ayat ini (diriwayatkan bahwa) ketika Allah memberitahukan
kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan di bumi suatu makhluk –
menurut Qatadah-, para malaikat telah mengetahui sebelumnya bahwa
makhluk-makhluk tersebut gemar menimbulkan kerusakan padanya (di
bumi) maka mereka mengatakan:
34
جعل فيه تء ا
ما
فسد فيها ويسفك الد (٣۰)البقرة: ا من ي
“Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?
(Al-Baqarah: 30)”
Pernyataan Ibn Katsir Sesungguhnya kalimat ini merupakan
pertanyaan meminta informasi dan pengetahuan tentang hikmah yang
terkandung di dalam penciptaan itu. Mereka mengatakan, “Wahai Tuhan
kami, apakah hikmah yang terkandung dalam penciptaan mereka, padahal
diantara mereka ada orang-orang yang suka membuat kerusakan di muka
bumi ini dan menumpahkan darah? Jika yang dimaksudkan agar Engkau
disembah,” yakni kami akan selau beribadah kepada-Mu, sebagaimana
yang akan disebutkan nanti. Dengan kata lain (seakan-akan para malaikat
mengatakan), “kami tidak melakukan sesuatu hal apapun dari itu
(kerusakan dan menumpahkan darah), maka mengapa Engkau tidak cukup
hanya dengan kami para malaikat saja?”3
Allah Swt. Berfirman menjawab pertanyaan tersebut:
مون عل ت
م ما ل
علي ا
(٣۰)البقرة: ان
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.
(Al-Baqarah: 30)”
Dengan kata lain, Ibnu Katsir mengatakan seakan-akan Allah
bermaksud bahwa sesungguhnya Aku mengetahui hal-hal yang tidak
kalian ketahui menyangkut kemaslahatan yang jauh lebih kuat dalam
proses penciptaan dari jenis makhlu ini daripada kerusakan-kerusakan
yang kalian sebut itu. Karena sesungguhnya Aku akan menjadikan dari
kalangan mereka nabi-nabi dan rasul-rasul; diantara mereka akan
3 Al-Imām Abī Al-Fidā’ Al-Hāfīz Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur’an Al-
Azīm, 361.
35
melahirkan para siddiqin, para syuhada, orang saleh, ahli ibadah, ahli
zuhud, para wali, orang-orang bertakwa, para muqarrabin, para ulama
yang mengamalkan ilmunya, orang-orang yang khusuk dalam beramal
saleh, dan orang-orang yang cinta kepada Allah Swt. Serta mengikuti jejak
para rasul-rasul-Nya.
Maksudnya, keberadaan iblis diantara kalian dan keadaan penciptaan
ini tidaklah sebagaimana yang kalian gambarkan itu. Menurut pendapat
yang lain, bahkan ucapan para malaikat tersebut disebutkan dalam firman-
Nya:
ك س ل
د قح بحمدك ون
سب حن ن
ء ون
ما
فسد فيها ويسفك الد جعل فيها من يت)البقرة: ا
٣۰)
“Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
“padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30)”
Ayat ini menggunakan makna permintaan mereka kepada Allah untuk
menghuni bumi sebagai ganti dari Bani Adam, lalu Allah Swt. berfrman
kepada mereka:
مون عل ت
م ما ل
علي ا
(٣۰)البقرة: ان
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.
(Al-Baqarah: 30)”
Ibnu Katsir mengutip perkataan As-Saddi yang mengatakan,4 Allah
bermusyawarah dengan para malaikat tentang penciptaan Adam.
Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim As-Saddi mengatakan
4 Al-Imām Abī Al-Fidā’ Al-Hāfīz Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur’an Al-
Azīm,, 362.
36
bahwa hal semisal diriwayatkan pula oleh Qatadah. Ungkapan ini
mengandung sikap gegabah jika tidak dikembaliakan kepada pengertian
pemberitahuan. Ungkapan Al-Hasan serta Qatadah dalam riwayat Ibnu
Jarir merupakan ungkapan yang lebih baik.
Firman Allah, “Khalifah” menurut As-Saddi yang di kutip oleh Ibnu
Katsir di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari
Abu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud serta dari sejumlah
sahabat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”
Mereka bertanya, “Wahai Tuhan kami, siapakah Khalifah tersebut?” Allah
berfirman, “kelak dia mempunyai keturunan yang suka membuat
kerusakan di muka bumi, saling mendengki, dan saling membunuh
sebagian dari mereka membunuh yang lain atau menumpahkan darah.”5
Selanjutnya Ibn Katsīr berpendapat bahwa sebagian ulama
mengatakan bahwa sesungguhnya para malaikat mengatakan, “mengapa
Engkau menjadiakan khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah?” karena Allah telah
mengizinkan mereka menanyakan hal tersebut sesudah Allah
memberitahukan kepada mereka menanyaan hal tersebut sesudah Allah
memberitahukan kepada mereka bahwa hal itu akan terjadi di kalangan
Bani Adam. Lalu para malaikat bertanya kepada Allah Swt. dengan
ungkapan mengandung pengertian aneh terhadap hal tersebut, “mengapa
mereka berbuat durhaka terhadap-Mu, wahai Tuhan, padahal Engkaulah
yang menciptakan mereka?”.6
5 Al-Imām Abī Al-Fidā’ Al-Hāfīz Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur’an Al-
Azīm,, 363. 6 Al-Imām Abī Al-Fidā’ Al-Hāfīz Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur’an Al-
Azīm, 372
37
ؤل
ء ه سما
وني با
بـنال ا
قة ف
ك ى
ل ى ال
م عرضهم عل
ها ث
لء ك
سما
دم ال
م ا
نتم ء ان وعل
ك
حكيم عليم ال
ت ال
نك ا متنا ان
ما عل
ال
نام ل
عل
نك ل وا سبح
الدقين ق -٣٢ )البقرة: ص
٣۱) “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para malaikat, lalu
berfirman, “Sebutkan lah nama benda-benda itu jika kalian
memang orang-orang yang benar!” Mereka menjawab, “Maha suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang
Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (Al-Baqarah: 31)
Hal ini merupakan sebutan yang dikemukakan oleh Allah swt. di
dalamnya terkandung keutamaan Adam atas malaikat berkat apa yang
telah di khususkan oleh Allah baginya berupa ilmu tentang nama-nama
segala sesuatu, sedangkan para malaikat tidak mengetahuinya. Hal ini
terjadi setelah para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Adam.
Ibn Katsīr berpendapat bahwa Sesungguhnya bagian ini didahulukan
atas bagian tersebut (yang mengandung perintah Allah kepada para
malaikat untuk mersujud kepada Adam) karena bagian ini mempunyai
kaitan erat dengan ketidak tahuan para malaikat tentang hikmah
penciptaan khalifah, yaitu di saat mereka menanyakan hal tersebut.
Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia mengetahui apa yang
mereka ketahui. karena itulah Allah menyebutkan bagian ini sesudah hal
tersebut, untuk menjelaskan kepada mereka keutamaan Adam, berkat
kelebihan yang dimiliki atas mereka berupa ilmu pengetahuan tentang
nama-nama segala sesuatu. Untuk itu Allah Swt. berfirman, “Dan Dia
38
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya” (Al-
Baqarah: 31).7
Makna hal tersebut ialah bahwa Allah Swt. berfirman, “Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda yang telah Kukemukakan kepada kalian,
hai malaikat yang mengatakan, ‘Mengapa Engkau hendak menjadiakan
khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan
menumahkan darah? Apakah dari kalangan selain kami atau dari kalangan
kami? Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
senantiasa menyucikan Engkau,’ jika kalian memang orang-orang yang
benar dalam pengakuannya. Jika Aku menjadiakan khalifah-Ku di muka
bumi dari kalangan selain kalian, niscaya dia durhaka kepda-Ku, begitu
pula keturunannya, lalu mereka berbuat kerusakan dan menumpahkan
darah. Tetapi jika Aku menjadikan khalifah di bumi dari kalangan kalian,
niscaya kalian taat kepada-Ku dan mengikuti semua perintah-Ku. Apabila
kalian tidak mengetahui nama-nama mereka yang Kuketengahkan kepada
kalian dan kalian saksikan sendiri, berarti terhadap sumua hal yang belum
ada dari hal-hal yang akan ada –hanya belum diwujudkan- kalian lebih
tidak mengetahui lagi.” Mereka (para malaikat) menjawab:
حكيم عليم ال
ت ال
نك ا متنا ان
ما عل
ال
نام ل
عل
نك ل (٣٢)البقرة: سبح
“Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa
yang engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau lah yang
Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana. (Al-Baqarah: 23)
Ayat ini menerangkan tentang sanjungan para malaikat kepada
Allah dengan menyucikan dan membersihkan-Nya dari semua
pengetahuan yang dikuasai oleh seseorang dari ilmu-Nya, bahwa hal itu
7 Al-Imām Abī Al-Fidā’ Al-Hāfīz Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur’an Al-
Azīm, 380
39
tidak ada kecuali menurut apa yang dikehendaki-Nya. Dengan kata lain
tidaklah mereka mengetahui sesuatu pun kecuali apa yang diajarkan oleh
Allah Swt. kepada mereka.8
2. Tafsir Al-Ṭabari
فسد جعل فيها من يتا ا
وال ق
ليفة
رض خ
ي جاعل فى ال
ة ان
ك ى
ملك لل ال رب
قفيها واذ
مون عل ت
م ما ل
علي ا
ال ان
ك ق
س ل
د قح بحمدك ون
سب حن ن
ء ون
ما
ويسفك الد
)٣۰رة:)البق
“Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi’.
Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu
siapa yang akan membuat kerukakan padanya dan menumpahan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji-Mu’? Tuhan
berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui”. (Qs. Al-Baqarah: 30)
Perwakilan Firman Allah: واذ قال ربك ”Dan ingatlah ketika Tuhanmu
berdirman.”
Aṭ-Ṭabari mengutip perkataan Abu Ja’far yang mengatakan bahwa
sebagian ahli bahasa dari Bashrah mengira bahwa firman-Nya: واذ قال ربك
maknanya adalah قال ربك (Tuhanmu berkata) dan اذ adalah huruf
tambahan yang maknanya dihilangkan. Pendapat ini berdalil dengan syair
Aswad bin Ya;far seperti berikut:
“Huruf اذ tidak memiliki keraguan, dan dunia mengganti kebaikan
dengan keburukan”
8 Al-Imām Abī Al-Fidā’ Al-Hāfīz Ibn Katsīr Al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur’an Al-
Azîm, 387.
40
Kemudian Abdi Manaf bin Riba’ Al-Hudzali menyambung dengan
syairnya “Hingga mereka memasukkannya dalam Qutaidah, secara paksa
seperti pemilik unta yang mengusir unta yang nakal”
Kemudian Abu Ja’far berkata maknanya adalah sebaliknya, karena
huruf اذ berarti balasan dan menghindarkan waktu yang tidak diketahui,
maka dari itu tidak boleh dihapuskan, dan jika dihapuskan maka
maknanya tidak akan sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penyair. Yang
di malsud oleh Aswad bin Ya’far dengan syairnya yang diatas adalah yang
sedang kita alami dan yang berlalu dari kehidupan kita. Ia mengisyaratkan
bahwa kehidupan yang sedang dilaminya tidaklah banyak bernilai dan
tidak diberikan kontribusi yang baik, karena dunia tidak semakin baik tapi
semakin memburuk.
kemudian makna yang ditulis oleh penyair Abdi Manaf bin Riba’
yang di kutip oleh al-Ṭabari jika huruf اذ dihilangkan maka maknanya
tidak akan sesuai dengan yang dimaksud oleh penyair. Maksudnya adalah
hingga ketika mereka memaksudkanya kedalam Qutaidah, mereka
memasukkanya dengan paksa. Namun ketika ia telah diindikasikan oleh
huruf اذ maka disembunyikan. Demikianlah kebiasaan orang Arab, yaitu
menyembunyikan sesuatu kata yang dianggap telah diindikasikan oleh
perkataan sebelumnya.9
Pendapat Abu Ja’far yang dikutitip oleh Al-Ṭabari ketika para
malaikat menjawab pernyataan Allah: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah dimuka bumi,” mereka tidak menisbatkan
kerusakan dan pertumpahan darah kepada khalifah-Nya di muka bumi,
9 Muhammad Ibn Jarīr Aṭ-Ṭabari, Jami’ al-Bayan Fī Tafsir Al-Qur’an (Beirut:
Dar al-Fikr, 1988), 518.
41
akan tetapi mereka mengatakan: “mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah,” dan mungkin saja Allah telah memberitahukan
kepada mereka bahwa khalifah tersebut akan memiliki keturunan yang
membuat kerusakan dan menumpahkan darah, sehingga mereka
mengatakan: wahai Tuhan kami, adakah Engkau hendak menjadikan
padanya orang yang membuat kerusakan dan menumpahkan darah?
Seperti kata Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas juga sependapat dengannya. 10
Penakwilan firman-Nya: “mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah,”
Jika ada yang bertanya: bagaimana malaikat dapat mengatakan hal ini
ketika itu Allah menginformasiakan bahwa Dia hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi, padahal waktu itu sang khalifah belum
diciptakan apalagi keturunannya? Apakah mereka mengetahui yang ghaib
sehingga mengatakan demikian, ataukah sekedar prasangka? Jika
prasangka berarti ia mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya, dan ini
menyalahi sifat aslinya, atau bagaimana sebenarnya.
Jawabanya Ath-Thabari, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini,
dan kami akan menyebut pendapat-pendapat mereka lalu menjelaskan
mana yang paling benar diantaranya.11
10 Muhammad Ibn Jarīr Aṭ-Ṭabari, Jami’ al-Bayan Fī Tafsir Al-Qur’an, 520. 11 Muhammad Ibn Jarīr Aṭ-Ṭabari, Jami’ al-Bayan Fī Tafsir Al-Qur’an, 526.
42
B. PENAFSIR ULAMA KONTEMPORER
1. Tafsir Al-Azhar
فسد جعل فيها من يتا ا
وال ق
ليفة
رض خ
ي جاعل فى ال
ة ان
ك ى
ملك لل ال رب
قفيها واذ
مون عل ت
م ما ل
علي ا
ال ان
ك ق
س ل
د قح بحمدك ون
سب حن ن
ء ون
ما
ويسفك الد
(٣۰رة:)البق
“Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi’.
Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu
siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji-Mu’? Tuhan
berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui”. (Qs. Al-Baqarah: 30)
Artinya setelah Allah menyatakan maksud-Nya, maka malaikatpun
mohon penjelasan. Khalifah manakah lagi yang dihendaki oleh Tuhan
yang hendak menjadikan?.
Di dalam ayat terbayanglah oleh kita bahwa malaikat, sebagai
makhluk Ilahi, yang tentu saja pengetahuannya tidak seluas pengetahuan
Tuhan, meminta penjelasan, bagaimana agaknya corak khalifah itu
?apakah tidak mungkin terjadi dengan adanya khalifah, kerusakan yang
akan timbul dan penumpahan darahlah yang akan terjadi ? padahal alam
dengan kudrat kiradat Allah Ta’ala telah tentram, sebab mereka, malaikat,
telah diciptakan tuhan sebagai makhluk yang patuh, taat, tunduk, dan setia.
Bertasbih, bersembahyang mensucikan Allah.rupanya ada sedikit
pengetahuan dari malaikat itu bahwasanya yang akan diangkat menjadi
khalifah itu ialah satu jenis makhluk. Dalam jalan pendapat malaikat,
bilamana jenis makhluk itu telah ramai, mereka akan berebut kepentingan
diantara satu dengan yang lainnya. Kepentingan satu orang bahkan satu
golongan berebut dengan golongan yang lain, maka beradulah yang keras
43
timbullah pertentangan dan dengan demikian timbullah kerusakan bahkan
pertumpahan darah. Dengan demikian ketentraman yang ada dengan
adanya makhluk, para malaikat yang patuh, taat serta setia, kemudian
menjadi hilang.
Pertanyaan dan kemuskilan itu kemudian dijawab oleh Allah:
‘Sesungguhnya aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
Artinya, dengan jawaban itu, Allah Ta’ala tidak membantah pendapat
dari MalaikatNya, Cuma ingin menjelaskan bahwasanya pendapat dan
ilmu mereka tidaklah seluas dan sejauh pengetahuan Allah. Bahkan Tuhan
memungkiri bahwa kerusakan pun akan menimbulkan perpecahan dan
pertumpahan darah, akan tetapi ada maksud lain yang lebih jauh dari itu,
sehingga kerusakan dan pertumpahan darah hanyalah sebagai pelengkap
saja dan pembangunan dan pertumpahan darah hanyalah satu tingkat
perjalanan hidup saja didalam menuju kesempurnaan.
Dengan jawaban Tuhan yang seperti itu, malaikatpun senantiasa
meneriama dengan penuh khusuk dan taat. 12 “Dan telah diajarkanNya
kepada Adam nama-nama nya semuanya” (Al-Baqarah: 31).
Artinya diberilah oleh Allah kepada Adam itu semua
ilmu:“kemudian Dia kemukakan semuanya kepada malaikat. Lalu Dia
berfirman: beritakanlah kepadaKu nama-nama itu semua, jika adalah
kamu makhluk-makhluk yang benar.” (Al-Baqarah: 31).
Sesudahnya Adam dijadikan, kepadanya telah diajarkan oleh
Tuhan nama-nama yang dapat dicapai oleh kekuatan manusia, baik dengan
panca indra ataupun dengan akal, semuanya diajarkan kepadanya.
Kemudian Tuhan panggillah malaikat-malaikat itu dan Tuhan tanyakan
adakah mereka tahu nama-nama itu ? jika benar pendapat mereka selama
ini bahwa jika khalifah itu terjadi akan timbul bahaya kerusakan dan
12 Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), 202.
44
perumahan darah, sekarang cobalah jawab pertanyaan Tuhan : Dapatkah
mereka menunjukkan nama-nama itu? “Mereka menjawab : Maha Suci
Engkau! Tidak ada pengetahuan bagi kami, kecuali apa yang Engkau
ajarkan kepda kami. Karena sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Tahu,
lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 32).
Di sini nampak jawaban para malaikat yang mengakui kekurangan
mereka. Mereka tidak dibekali ilmu pengetahuan, kecuali apa yang
diajarkan Tuhan kepada mereka. Mereka memohon ampun dan karunia,
dan menyucikan Allah bahwasanya pengetahuan mereka tidak lebih dari
apa yang diajarkan juga. Yang mengetahui akan semua hanya Allah. Yang
bijaksana membagi-bagikan ilmu kepada barang siapa yang Dia
kehendaki.13
Dari beberapa penafsiran dalam konteks penciptaan adam, menjadi
sangat penting karena memberikan gambaran pandangan berbagai ulama
tafsir yang disebutkan diatas. Pembaca akan disuguhi pandangan seputar
penciptaan adam yang dikaitkan dengan penciptaan manusia pertama dari
berbagai macam ulama tafsir klasik hingga modern. Dengan pandangan-
pandangan tersebut, diharapkan mampu memudahkan pembaca dalam
mengintegrasikanya dengan al-Qur’an. Maka dengan landasan tersebut
penulis berusaha mencapai tujuan dengan menjadiakan al-Qur’an sebagai
landasan hidup dan menghubungkanya dengan kehidupan masa kini.
13 Hamka, Tafsir al-Azhar, 204.
45
2. Tafsir Al-Misbah
ال قفسد فيها واذ جعل فيها من ي
تا ا
وال ق
ليفة
رض خ
ي جاعل فى ال
ة ان
ك ى
ملك لل رب
مون عل ت
م ما ل
علي ا
ال ان
ك ق
س ل
د قح بحمدك ون
سب حن ن
ء ون
ما
ويسفك الد
)٣۰)البقرة:
“Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi’.
Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan di bumi itu
siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji-Mu’? Tuhan
berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui”. (Qs. Al-Baqarah: 30)
Ada beberapa bagian ayat-ayat yang di kelompokkan oleh Quraish
Shihab, Salah satunya adalah Kelompok ayat ini dimulai dengan
menyampaikan keputusan Allah kepada para malikat tentang rencana-Nya
menciptakan manusia di bumi. Penyampaian kepada mereka penting,
karena malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia. Dan
yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas
memeliharanya, ada yang membimbingnya, dan sebagiannya.
Penyampaian itu juga, kelak ketika diketahui manusia, akan mengantarnya
bersukur kepada Allah atas anugerah-Nya yang tersimpul dalam dialog
Allah dengan para malaikat’. Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
khalifah di dunia, demikian penyampaian Allah swt. penyampaian ini bisa
jadi setelah melalui peoses penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk
dihuni manusia pertama (Adam). Para malalaikat bertanya tentang makna
penciptaan tersebut.14 Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak
dan menumpahkan darah. Dengan itu mungkin dengan pengalaman
mereka sebelum terciptanya manusia, dimana ada makhluk yang
14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an, jilid 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 139.
46
berprilaku demikian, atau bisa juga berdasarkan asumsi bahwa karena
yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, maka pasti
makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih dengan selalu
menyucikan Allah swt. Pertanyaan mereka juga bisa lahir dari penamaan
Allah terhadap makhluk yang akan dicipta itu dengan khalifah. Kata ini
mengesankan makna pelerai perselisihan dan menumpahkan darah. Bisa
jadi seperti dugaan malaikat sehingga muncul pertanyaan mereka.
Semua itu adalah dugaan, namun apapun latar belakangnya,yang pasti
mereka para malaikat bertanya kepada Allah, bukan karena keberatan
dengan rencana-Nya. Apakah, bukan “mengapa”, seperti dalam beberapa
terjemahan, Engkau akan menjadikan khalifah di bumi itu siapa yang
akan kerusakan dan menumpahan darah? Bisa saja bukan Adam yang
mereka maksud merusak dan menumpahkan darah, tetapi anak cucunya.
Rupanya mereka menduga bahwa dunia hanya dibangun dengan
tasbih dan tahmid, karena itu para malaikat melanjutkan pertanyaan
mereka: sedang kami menyucikan, yakni menjauhkan zat, sifat, dan
perbuatan-Mu dari segala yang tidak wajar bagi-Mu, sambil memuji-Mu
atas segala nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami, termasuk
mengilhami kami menyucikan dan memuji-Mu.15
Quraish Shihab menegaskan pada hal ini para malaikat menyucikan
terlebih dahulu, lalu kemudian baru memuji. Penyucian mereka itu
mencakup penyucian pujian yang mereka ungkapkan, sehingga pujian
tersebut tidak sesuai dengan kebesaran-Nya. Menggabungkan pujian dan
penyucian dengan mendahulukan penyucian, ditemukan banyak sekali
dalam ayat-ayat al-Qur’an.
15 M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an,
139.
47
Mendengar pertanyaan mereka, Allah menjawab singkat tanpa
membenarkan atau menyalahkan, karena memang akan ada di antara yang
diciptakan-Nya itu berbuat seperti yang didugakan oleh para malaikat.
Dan Allah langsung menjawab singkat dan tegas, “Sesunguhnya aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
Dalam pandangan Quraish Shihab yang perlu dicatat bahwa kata
khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang sudah (خلىففة)
datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar ini , ada yang
memahami kata khalifah di sini dalam arti yang mengantikan Allah dalam
menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan–ketetapan-Nya,
tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia
berkedudukan sebagai Tuhan. Tidak! Allah bermaksud dengan
pengangkatan itu untuk memuji manusia dan memberinya penghormatan.
Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang menggantikan makhluk lain
dalam menghuni bumi ini.16
Allah swt. menyampaikan rencana-Nya kepada malaikat,
penyampaian itu boleh jadi ketika proses kejadian Adam sedang dimulai,
seperti halnya seorang yang sedang menyelesaikan satu karya sambil
berkata bahwa, “ini saya buat untuk si A”. hal ini menunjukkan bahwa
Allah tidak meminta pendapat kepada malaikat apakah Dia mencipta atau
tidak.
Ibn Asyur yang di kutip oleh Quraish Shihab lebih lanjut mengatakan
bahwa ayat ini oleh para mufassir dipahami sebagai semacam “permintaan
pendapat” sehingga ia merupakan pengajaran dalam bentuk
penghormatan. Seperti halnya keadaan seorang guru yang mengajar
16 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an,
140.
48
muridnya dalam bentuk tanya jawab, dan agar mereka membiasakan diri
untuk melakukan dialog menyangkut aneka persoalan.
Setelah menguraikan pendapat para mufassir sebagaimana dikutip di
atas, mengemukakan pendapatnya bahwa (استشارة( istisyarah/permintaan
pendapat itu, dijadikan demikian supaya ia menjadi satu subtansi yang
bersamaan dalam wujudnya dengan penciptaan manusia pertama, agar ia
menjadi bawaan dalam jiwa anak cucunya, karena situasi dan ide-ide yang
menyertai wujud sesuatu dapat berbekas dan menyatu antara sesuatu yang
wujud itu dengan situasi tersebut.17
ؤل
ء ه سما
وني با
بـنال ا
قة ف
ك ى
ل ى ال
م عرضهم عل
ها ث
لء ك
سما
دم ال
م ا
نتم وعل
ء ان ك
دقين (٣۱)البقرة: ٣١ص
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para malaikat, lalu
berfirman, “Sebutkan lah nama benda-benda itu jika kalian
memang orang-orang yang benar!” Mereka menjawab, “Maha suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 31)
Qurais Shihab meyakini bahwa Allah mengajar Adam nama-nama
seluruhnya, yakni memberinya potensi pengetahuan tentang nama-nama
atau kata-kata yang digunakan menunjuk benda-benda.
Ayat ini menginformasikan bahwa manuasia dianugerahi Allah
potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda,
misalnya fungsi api, fungsi angin, dan sebagainya. Dia juga dianugerahi
potensi untuk berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak
kecil) bukan dimulai dengan mengajarkan kata kerja, tetapi
17 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an,
142.
49
mengajarkannya terlebih dahulu nama-nama. Ini Papa, ini mama, itu mata,
itu pena, dan sebagainya. Itulah sebagian makna yang dipahami oleh para
ulama dari firman Allah Dia mengajarkan Adam nama-nama
seluruhnya.18
Setelah pengajararan Allah dicerna oleh Adam as., sebagaiman dari
kata kemudian, Allah memaparkan benda-benda itu kepada para malaikat
lalu berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama-nama benda itu, jika kamu
orang yang benar dalam dugaan kamu bahwa kalian lebih wajar menjadi
khalifah”. Sebenarnya perintah ini bukan bertujuan penugasan menjawab,
tetapi bertujuan penugasan menjawab, tetapi bertujuan membuktikan
kekeliruan mereka.
Para malaikat yang ditanya itu secara tulus menjawab sambil
menyucikan Allah, Tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami, Sesungguhnya Engkaulah yang
Maha Mengetahui (lagi) Maha Bijaksana. Maksud mereka, apa yang
Engkau tanyakan itu tidak pernah Engkau ajarkan kepada kami. Engkau
tidak ajarkan itu kepada kami bukan karena Engkau tidak tahu, tetapi
karena ada hikmah dibalik itu.
Demikian jawaban malaikat yang bukan hanya mengaku tidak
mengetahui jawaban pertanyaan akan tetapi sekaligus mengakui
kelemahan mereka dan kesucian Allah swt. dari segala macam kekurangan
atau ketidakadilan, sebagaimana dipahami dari penutup ayat ini.19
18 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an,
141. 19 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-
Qur’an, 144.
50
Jawaban para malaikat Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui
(lagi) maha Bijaksana, juga mengandung makna bahwa sumber
pengetahuam adalah allah swt. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu,
termasuk siapa yang wajar menjadi khalifah, dan Dia Maha Bijaksana
dalam segala tindakan-Nya, termasuk menetapkan makhluk yang wajar
menjadi khalifah. Jawaban mereka ini juga menunjukkan kepribadian
malaikat dan dapat menjadi bukti bahwa pernyataan mereka pada ayat 31
di atas bukanlah keberatan sebagaimana diduga sementara orang.
Di antara ulama-ulama yang memahami pengajaran nama-nama
kepada Adam as. dalam arti mengajarkan kata-kata, ada yang berpendapat
bahwa kepada beliau dipaparkan nama-nama benda-benda itu, dan pada
saat yang sama beliau mendengar suara yang menyebut nama benda yang
dipaparkan itu. Ada juga yang berpendapat bahwa Allah mengilhamkan
kepada Adam as. nama benda itu pada saat dipaparkanya sehingga beliau
memiliki kemampuan untuk memberi kepada masing-masing benda nama-
nama yang membedakan dari benda-benda yang lain. Pendapat yang ini
lebih baik dari pendapat yang pertama. Ia pun tercakup oleh kata mengajar
karena mengajar tidak selalu dalam bentuk mendiktekan sesuatu atau
menyampaikan suatu kata atau ide, tetapi dapat juga dalam arti mengasah
potensi yang dimiliki peserta didik sehingga pada akhirnya potensi itu
terasah dan dapat melahirkan ilmu pengetahuan yang baru.20
Ucapan malaikat Sesungguhnya Engkau Maha Suci. Kata Engkau
yang mereka kemukakan sebelum menyampaikan ketidaktahuan mereka,
menunjukkan betapa tidak bermaksud membantah atau memproses
ketetapan Allah menjadikan Manusia sebagai khalifah di bumi dan
20 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-
Qur’an, 144.
51
sekaligus sebagai pertanda “penyesalan” mereka atas ucapan atau kesan
yang ditimbulkan oleh pertannyaan itu.21
21 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-
Qur’an, 145.
52
BAB IV
KONSEP PENCIPTAAN ADAM DALAM TAFSIR
ṬABĀṬABĀ’Ī
Pada bagian ini penulis akan menguraikan penafsiran Ṭabāṭabā‟ī yang
secara khusus tentang penciptaan Adam. Penafsiran ayat-ayat tentang
penciptaan Adam ini dilakukan dalam rangka mencari pembelajaran dan
hikmah yang terkandung di dalamnya, serta memperlihatkan kritik dari
berbagai pemikiran tafsir kasik hingga modern yang tidak bisa
terpisahkan. Selain itu, penulis akan membatasi pembahasan penafsiran
penciptaan adam dari segi penciptaan khalifah yang dikaitkan dengan
kejadian penciptaan manusia pertama. Pembatasan ini menjadi sangat
penting yang agar pembahasan yang ada di dalamnya memiliki sistematika
yang baik dan tidak keluar dari rumusan masalah yang ada di dalam bab
sebelumnya.
A. Proses Penciptaan Adam Dalam Al-Qur’an
Ṭabāṭabā‟ī menjelasakan dalam tafsirnya alasan utama manusia
dikirim ke dunia, dan urgensi keberadaan manusia sebagai khalifah (wakil
administratif) Allah untuk mendiami bumi ini, Ia ingin menjelasan secara
terperinci apa saja ciri-ciri atau aspek-aspek khusus dari kekhalifahan. Hal
ini menjadi penting karena tidak seperti kisah-kisah yang lain yang
diceritakan dalam al-Qur‟an.1
Dari beberapa pandangan para mufassir yang mengaitkan tentang
tema ini sangat menarik perhatian para ulama untuk mengkaji dari
berbagai macam aspek yang berkaitan tentang penciptaan manusia.
1 Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, terj Ilyas
Hasan (Jakarta: Lentera, 2010), 228.
53
Pandangan-pandangan itu menimbulkan berbagai macam perdebatan dari
kalangan ilmuan. Tidak hanya itu saja, berkaitan dengan akibat manusia
ini menimbulkan masalah yang sangat sulit dipecahkan. Beberapa
kalangan ulama ada yang memiliki satu pandangan dengan Darwinisme
yang mengatakan bahwa ibu bapak manusia itu berasal dari kera.2
Penciptaan bakal khalifah tersebut ditunjuk langsung oleh Allah swt.3
Maurice Bucaille mencoba menjelaskan dengan lebih lengkap asal usul
dan proses kejadian penciptaan manusia itu sendiri. Manusia sebagai
makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai proses dan fase-
fase tertentu. Menurutnya di dalam al-Qur‟an telah diuraikan asal usul
kehidupan manusia secara umum. Al-Qur‟an memberikan ruang bagi
tranformasi pembentukan manusia yang dilakukan secara berulang-ulang,
menekankan fakta bahwa Tuhan membentuk manusia sesuai dengan yang
dikehendakinya.4
Ṭabāṭabā‟ī dalam tafsirnya menerangkan bahwa ketika Allah
mengatakan, “akankah Engkau tempatkan di sana mereka yang membuat
kerusakan didalamnya dan memuji kesucian-Mu?”: Para malaikat
mendengar pernyataan, “Aku mau menciptakan di bumi satu khalifah”,
dan pada saat itu malaikat menyimpulkan bahwa akan ada khalaifah yang
akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah. Nampaknya
para malaikat memahami perilaku yang akan terjadi pada khalifah itu dari
kata-kata, “di bumi”. Bakal khalifah yang ditunjuk untuk mengisi bumi
tentunya diciptakan dari unsur-unsur meterial yang melekat pada diri
2 Maurice Bucaile, Dari Mana manusia Berasal? Antara ilmu pengetahuan,
Bibel dan Al-Qur’an, terj Rahmani Astuti (Bandung: Mizania, 2208), 191. 3 Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 230.
4 Maurice Bucaile, Dari Mana manusia Berasal? Antara ilmu pengetahuan,
Bibel dan Al-Qur’an, 191.
54
khalifah, yaitu keinginan dalam melakukan segala hal apapun dan
mengontrol amarah.5
Seperti yang kita ketahui bahwa bumi mempunyai tempat khusus
untuk memperjuangkan segala hal yang tiada henti dan tempat untuk
saling mengadu-domba satu dengan yang lain. Sumberdaya terbatas,
kesempatan untuk melakukan segala hal terbatas, namun khasrat dan
keinginan bakal khalifah tersebut tiada batas.6 Sehingga makhluk-makhluk
yang ada di bumi akan mengalami perubahan dan kehancuran, namun
bumi merupakan tempat dimana satu dengan yang lainnya tidak dapat
hidup tanpa satu kelompok yang sama ciri atau jenisnya.
Dengan mempertimbangkan bakal khalifah ini para malaikat
memahami bahwa apa yang akan diciptakan oleh Allah bukan satu jenis
saja, melainkan satu spesies kelas atau kelompok. Spesies dari kelompok,
kelas dan jenis lainnya akan hidup berdampingan bekerja sama dengan
yang lain.7 dengan demikian mereka harus membuat tatanan sosial atau
bentuk masyarakat. Dengan demikian mereka akan tidak terlepas dari
perbuatan menumpahkan darah dan membuat kerusakan.
Ṭabāṭabā‟ī menafsirkan para malaikat mengetahui khalifah ini akan
menempatkan satu tempat yang sama atau obyek untuk mengantikan
entitas yang lain, tidak bisa dibanyangkan jika khalifah tersebut adalah
bukan merupakan kopi akurat dari pendahulunya dalam segala bentuk
karakteristik, ciri-ciri dan jenis yang sama. Maka Allah menegaskan
bahwa akan menjadikan khalifah di bumi.8 Allah memiliki sifat yang
berbeda dengan para makluknya, dengan nama-nama terbaik, sifat-sifat
5 Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 229.
6 Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 229.
7 Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 229.
8 Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 229.
55
teragung, terindah dan tertinggi, sehingga rahmat dan kuasanya
mempuanyai keistimewaan yang berbeda dengan makhluk-makhluk yang
lainnya, tidak mempunyai celah kekurangan, kelemahan, atau cacat
sedikitpun.
Sebelum menciptakan Adam, Allah terlebih dahulu menciptakan
langit, bumi, dan malaikat. Dan ketika itu Allah menciptakan makhluk lain
yang nantinya akan menghuni dan memelihara bumi sebagai tempat
tinggal untuknya. Sebelum Allah menciptakan Adam, Allah
memberitahukan rencana tentang penciptaan Adam tersebut kepada
malaikat. Rencana penciptaan itu menimbulkan tanggapan yang tidak
biasa dari malaikat bahwa akan ada makhluk yang akan membangkang
dan membuat kerusakan di bumi.9
Pernyataan para malaikat atas kejadian penciptaan khalifah yang akan
mendiami Bumi Allah, tidak lain hanya sebuah pertanyaan. Bukan sebuah
keberatan dan sebuah protes kepada Allah, melainkan mereka ingin
mengetahui kebenarannya. Para malaikat tidak diberikan pengetahuan
yang lebih, sehingga untuk mengetahui kejadian itu malaikat melayangkan
pertanyaan. Kemudian malaikat menegaskan keimanan mereka kepada
Allah, dan mereka percaya kepada-Nya10
Al-Qur‟an sebagai kitab suci agama Islam dan kitab suci agama-
agama Ibrahim menjelaskan kejadian penciptaan Adam dalam bentuk
kisah penciptaan.11
Setelah menciptakan Adam, Allah senantiasa
menghilangkan prasangka tidak baik terhadap sifat sinis malaikat terhadap
9 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Penciptaan Manusia Dalam Perspektif
Al-Qur’an dan Sains (Jakarta: Widya Cahaya, 2017), 18. 10
Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 230. 11
Zulfan Taufik, Dialektika Islam Humanisme Pembacaan Ali Syari’ati
(Jakarta: Ongklam Books, 2015), 58.
56
Adam, dan meyakinkan kepada malaikat akan hikmah dan kebenaran atas
kekhalifahan adam di bumi.12
Ilmu sosiologi melihat bahwasanya manusia adalah makhuk yang
tidak mampu hidup dengan sendirinya, memiliki hubungan yang bersifat
interdependensi baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan jenis
yang lainnya, sehingga para ahli yang mendalami ilmu dibidang etika
menilai bahwa ciri-ciri yang membedakan manusia dengan manusia yang
lainya adalah pertanggung jawabannya. Manusia dituntut oleh akal, hati
nuraninya dan lingkungan sekitarnya. Tuhan tindak akan bertanggung
jawaban atasnya.13
B. Tahap Penciptaan Adam
Penunjukan bakal khalifah yang akan mendiami bumi ini tidak lain
adalah cara Allah agar khalifah bisa mewakili Allah dalam hal
memanjatkan pujian dan rasa syukur kepada-Nya dan menunjukkan
eksistensinya agar para khalifah mengagungkan dan menghormati-Nya.
Akan tetapi bumi alam yang ada di bumi tidak serta merta membiarkan
melakukan hal demikian dan akan menariknya agar melakukan kejahatan
dan penumpahan darah. Namun jika Allah menghendaki anugerah kepada
kita, maka kita akan mendapatkan gelar sebagai khalifah yang akan
mewakili Allah dalam mendiami bumi ini.14
Dalam tahap penciptaan Adam, Ṭabāṭabā‟ī mengatakan bahwa
seluruh umat manusia dijadikan sebagai khalifah atau wakil administratif
Allah. Untuk dapat dipahami bahwa ketika Allah berfirman sebagai
12
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Penciptaan Manusia Dalam
Perspektif Al-Qur’an dan Sains, 19. 13
M. Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999), 227. 14
Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 230.
57
berikut: Dan ingatlah (wahai kaum Ad!) ketika Dia menjadikan kamu
pengganti-pengganti kaum Nuh.(QS.al-A‟raf: 69); kemudian kami jadikan
kamu pengganti-pengganti di bumi setelah mereka. (QS. An-Naml: 14);
dan Dia menjadikan kamu pengganti-pengganti di bumi (QS. An-Naml:
63). Kata “pengganti yang diterjemahkan dalam dua surat ini sama
dengan kata yang diterjemahkan pada surah al-Baqarah ayat 30 sebagai
kata “khalifah” pada ayat tersebut.15
Dalam penciptaan adam, sebagian ulama berpendapat bahwa ayat
yang digunakan dalam surat al-Baqarah pada ayat 30 tersebut
menggunakan kata ja’ala (jā’ilun). Dengan kata lain Allah tidak
menggunakan kata khalaqa (khalīqun) dalam menciptakan adam, dalam
artian Allah hendak mejadikan (mengevolusikan) seorang manusia di
bumi, sebagai khalifah (pengganti) generasi sebelumnya.16
Dalam buku Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an” Kajian
Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an Ismail Haqy
mengatakan bahwa sebelum Adam diciptakan, bahkan sebelum ayat yang
dibahas di atas turun telah ada makhluk yang menghuni bumi, yang
disebut dengan Banu al-Jann (keturunan Jin). Dengan demikian maka
makhluk tersebut telah berbuat kerusakan dan minimbulkan pertumpahan
darah diantara mereka sehingga mereka punah di atas bumi ini.17
Bahkan
Abduh, dalam buku tersebut yang ditulis oleh Umar Shihab, mengatakan
bahwa makhluk yang di sebut dengan al-bann merupakan generasi
15
Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 231. 16
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an” Kajian Tematik Atas Ayat-ayat
Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Penamadani, 2005), 121. 17
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an” Kajian Tematik Atas Ayat-ayat
Hukum dalam Al-Qur’an, 122.
58
pertama, sedangkan al-Jann merupakan generasi kedua, dan makhluk al-
nas (manusia) merupakan generasi ketiga yang mendiami bumi ini.18
Pernyataan Ṭabāṭabā‟ī dalam tafsirnya menyatakan bahwa Allah tidak
mengatakan bahwa bakal khalifah tidak melakukan kerusakan atau
pertumpahan darah, dan Dia juga tidak menolak atas pernyataan itu. Dan
para maliakat berargumen bahwa memanjatkan pujian dan
mengagungkan kebesaran-Nya. Para malaikat menyadari tindakan
keduanya, namun ada satu hal yang membuat para malaikat tidak bisa
mengemban amanah itu, yaitu tanggung jawab. Sedangkan bakal khalifah
yang akan mendiami bumi ini dapat memikulnya.19
Pembicaraan yang menyangkut mengenai penciptaan manusia sangat
berkaitan dengan tema studi Manusia: Asal-Usul dan Masyarakatnya,
Kali ini merupakan posisi yang sangat penting karena berbicara mngenai
perubahan dalam terminologi sejarah mengenai manusia. Ketika al-
Qur‟an membahas tentang manusia (insan atau basyar), Ia merupakan
salah satu tema utama yang dibicarakan, terutama mengenai asal-usul
kejadian dengan konsep dari penciptaan tersebut, kedudukan dan
masyarakat, serta tujuan hidup dari manusia tersebut. Hal tersebut
merupakan keharusan karena al-Qur‟an diyakini oleh para pemeluk kaum
muslimin sebagai firman Allah yang ditunjukkan kepada manusia.20
Manusia diberikan keistimewaan untuk menjaga amanah sebuah
rahasia Allah. Namun para malaikat dan sifat-sifatnya yang diberikan
oleh Allah kepadanya tidak mampu mengetahui dan memahaminya. Dan
18
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an” Kajian Tematik Atas Ayat-ayat
Hukum dalam Al-Qur’an, 122. 19
Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 232. 20
Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia Peran Rasul sebagai Agen
perubahan, (Jogjakarta: LkiS, 2009), 31.
59
Allah memberikan karunia itu agar mengimbangi dan meminimalisir akan
terjadi kerusakan dan penumpahan darah.21
sehingga bakal khalifah ini
bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat agar mendapatkan gelar sebagai
wakil Allah yang mendiami bumi atau disebut sebagai khalifah.
Ṭabāṭabā‟ī memberiakan petunjuk lain untuk menjelaskan bahwa
adam sebagai wakil administratif atau khalifah yang akan mendiami
bumi. Dengan mengutip kejadian yang digambarkan pada ayat berikut:
“(para malaikat) sujud kecuali Iblis. Dia menolak dan memperlihatkan
keangkuhannya, dan dia adalah salah satu dari mereka yang kafir”.22
Terlihat bahwa Iblis kafir pada waktu itu, dan Iblis menolak untuk sujud
karena kekufurannya atas apa yang ia sembunyikan pada waktu itu.
Ketika moment sujudnya para malaikat dan penolakan atas sujudnya Iblis
itu terjadi, dan pada waktu itu juga Allah berfirman kepada mereka
“Tentu saja Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.23
Penjelasan
ini seketika menjelaskan alasan Allah dari kalimat sebelumnya menjadi,
“Sesungguhnya Aku mengetahui kegaiban (rahasia-rahasia) di langit dan
di bumi”24
Penciptaan yang digambarkan oleh al-Qur‟an cenderung ditafsirkan
sebagai salah satu proses sebagaimana pematung membuat patung.
Pemahaman seperti itu sejalan dengan peran budaya yang tercermin
dalam pandangan tentang penciptaan Adam. jika dikaitkan dengan kata
lain yang berbentuk jamak (athwār ) yang disebutkan dalam QS. Nuh, 14.
Jika kata athwār dapat ditafsirkan sebagai perkembangan janin dalam
rahim, maka kemungkinan kata tersebut adalah kata yang paling kuat
21
Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 232. 22
QS. Al-Baqarah, 34. 23
QS. Al-Baqarah, 34. 24
QS. Al-Baqarah, 33.
60
untuk menunjuk pada tahap pertumbuhan penciptaan manusia. Sehingga
kata athwār dapat dikatagorikan menjadi salah satu kunci yang menunjuk
proses penciptaan manusia.25
Tentu bukan karena sebuah argumen yang dapat meyakinkan Allah
untuk mengajarkan Adam sebuah nama-nama dan kemudian menjadi
bukti terhadap para malaikat.26
Namun Adam mendapatkan gelar sebagai
khalifah karena Adam diberikan pengetahuan tentang nama-nama, dan
Adam menginformasikannya kepada malaikat. Itulah penyebab para
malaikat melayangkan pujian “Maha Suci Engkau! Para malaikat tidak
diberikan pengetahuan kecuali apa yang diajarkan kepada kami”. Dan
mereka menerima itu.27
Al-Qur‟an menggambarkan proses penciptaan manusia, akan tetapi al-
Qur‟an hanya menyatakan bahwa penciptaan manusia berasal dari tanah.
Secara umum al-Qur‟an tidak menjelaskan bagaimana format penciptaan
Adam tersebut. Apakah pola penciptaan Adam dibentuk langsung dari
tanah atau melalui proses evolusi. Dari sini terdapat hikmah yang
terkandung dalam al-Qur‟an tidak langsung menjelaskan secara terinci
terhadap persoalan-persoalan untuk menjadi bahan pemikiran manusia.
Hal ini yang membuat manuasia untuk memikirkan dan menganalisa,
termasuk ayat yang dijadikan dasar dari teori-teori itu sendiri, sehingga
apapun hasil ilmiah yang telah dicapi oleh manusia tidak mengurangi
25
Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia Peran Rasul sebagai Agen
perubahan, (Jogjakarta: LkiS, 2009), 38. 26
Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 233. 27
Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 234.
61
eksistensi manusia untuk mencapai tujuan menjadi makhluk yang mulia
disisi-Nya.28
Kisah penciptaan manusia di setiap surah dalam al-Qur‟an
mempunyai berbagai macam gambaran. Jika diambil garis besarnya,
kisah tersebut memiliki alur sebagai berikut: 1) pernyataan penciptaan
manusia; 2) perintah penghormatan kepada Adam; 3) godaan iblis ketika
diperintahkan untuk bersujud; 4) dosa adam; 5) pengampunan Adam; 6)
pengusiran iblis; 7) pilihan kepada manusia untuk memilih apakah
mengambil jalan yang lurus atau mengambil jalan kesesatan. Pada setiap
surah terdapat unsur penekanan dalam “peringatan”-Nya. Seperti kisah
yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah 30-39 ditandai dengan dialog antara
Allah dengan para malaikat pada saat penciptaan dan pemberian
pengetahuan kepada adam, dan dialog setelah pengutukan iblis, serta do‟a
penyesalan Adam, lalu ditutup dengan peringatan atas godaan setan.29
C. Khalifah di Bumi
Penciptaan bakal khalifah menyangkut tujuan utamanya yaitu
memanjatkan pujian dan mengagungkan kesucian.30
Kisah yang
diceritakan oleh al-Qur‟an tentang kejadian manusia sebagai khalifah,
dimulai dari firman Allah kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan
menjadikan seorang khalifah di muka bumi” ayat ini digambarkan oleh
cendikiawan muslim yaitu Ali Syari‟ati, menunjukkan bahwa betapa mulia
nilai kemanusiaan dalam kacamata Islam. Bahkan pada tempat
kemanusiaan itu muncul di Eropa pasca-Renaisans, tidak mampu
28
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an” Kajian Tematik Atas Ayat-ayat
Hukum dalam Al-Qur’an, 125. 29
Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia Peran Rasul sebagai Agen
perubahan, 110. 30
Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 230.
62
membayangkan kemulian manusian.31
Pertanyaan yang dilontarkan oleh
para malaikat bukanlah sebuah protes dan keberatan, dan mereka
sesungguhnya mengetahui kajadian sebenarnya.32
Muhammad Qathab dalam bukunya mengatakan bahwa manusia
adalah khalifah yang diperintahkan Allah untuk mendiami Bumi “ اني جاعل
,ini mengandung makna yang sangat global ”خليفة“ Kata .”في الارض خليفة
bentuk yang disebut sebagai khalifah itu adalah manusaia yang memiliki
kemampuan yang sangat berbeda dengan makhluk-makhluk lain yang
diciptakan oleh Allah, memiliki suatu kepentingan individu dalam
menjadikan kehidupan ini, serta memiliki peran penting sebagai khalifah
yang dipilih Allah untuk menjaga bumi. Oleh karena itu Allah membekali
manusia dengan prasarana dan berbagai pasilitas kekhalifahan.33
Lanjut
Muhammad Qathab menjelaskan ciri-ciri Manusia yaitu:
1. Manusia memiliki perbedaan dengan makhluk yang lainya.
2. Manusia dibekali daya kemampuan, yang tidak lain adalah
pengetahuan, kemauan, kemampuan meneriama wahyu, dan mengikuti
garis besar hidayahnya.
3. Manusia memiliki sifat yang lembut seperti mencintai kepada syahwat,
dan lupa kepada janji Allah dan petunjuk-petunjuknya.
31
Zulfan Taufik, Dialektika Islam Humanisme Pembacaan Ali Syari’ati, 60. 32
Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 230. 33
Muhammad Qathab, Dirāsah al-Nafsi al-Insanīyah (Beirut: Dar al-Syaruq, tt),
29.
63
4. Manusia memiliki suatu kebiasaan untuk melawan, menganggat
derajatnya sendiri ke tingkat yang tinggi, dan memiliki kemampuan
menjatuhkan dirinya ketingkat yang paling bawah.34
Ketika Allah memperkenalkan manusia sebagai khalifah kepada
malaikat. Kata khalifah artinya „yang menggantikan‟ atau „yang datang
sesudah sesudah siapa yang datang sebelumnya‟ bahkan ada yang
memahami kata khalifah ini dalam arti yang menggantikan Allah dalam
melakukan tindakan dan menetapkan ketetapan-ketetapan-Nya, akan tetapi
bukan karena Allah tidak mampu menjadikan manusia mempuyai
kedudukan sebagai Tuhan, melainkan hanya untuk menguji dan
memberikan penghormatan.35
Kebebasan manusia dalam berbuat dan bertindak akan mengantarkan
manusia itu untuk mencapai kualitas. Akan tetapi, kebebasan yang
dimaksud adalah tidak melepaskan diri dari sifat kerohanian dan akal
sehat, dengan melakukan upaya yang berlebih terhadap dirinya sendiri,
dengan melakukan dorongan untuk meninggalkan suatu yang negatif dan
naluri yang destruktif. Agar kebebasan yang diinginkan adalah upaya
untuk mewujudkan kualitas yang dinilai sebagai khalifah di bumi Allah
yang bertanggung jawab. Akan tetapi kualitas dan nilai manusia memiki
kemampuan untuk mengarahkan kebebasannya berdasarkan akal
pertimbangan yang dimilikinya berdasarkan karunia Allah, dan dibimbing
oleh cahaya iman yang menerangi nuraninya.36
34
Muhammad Qathab, Dirāsah al-Nafsi al-Insanīyah, 34. 35
Zulfan Taufik, Dialektika Islam Humanisme Pembacaan Ali Syari’ati, 60. 36
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an” Kajian Tematik Atas Ayat-ayat
Hukum dalam Al-Qur’an, 110.
64
Allah menggunakan sebuah kalimat untuk menunjuk bakal khalifah
dengan mengajarkan mereka nama-nama.37
Sebagai bentuk kesiapan
bahwa khalifah yang akan mendiami bumi ini, dengan meyakinkan para
malaikat atas keunggulan Adam yang diajarkan nama-nama sesuatu oleh
Allah, akan tetapi tidak sedikitpun keraguan bahwa hal itu mengajarkan
pada gagasan tentang ilmu pengetahuan dan pendidikan yang diberikan
oleh Allah kepada Adam. simbol yang menunjukkan tentang nama-nama
tersebut adalah bentuk definisi dan konseptual benda. Allah mengajarkan
hal itu agar manusia bisa menggambarkan dan mampu memahami semua
kebenaran terhadap dunia.38
Salah satu tujuan utama diciptakannya manusia sebagai khalifah yang
dikutip oleh jurnal AL-MU‟ASYIRAH Vol. 13 dalam pandangan
Muhammad Qathab meliputi segala hal ataupun sangat luas, meliputi
segala macam aktivitas dalam menjalankan kehidupan demi kemakmuran
di bumi. Sebab manusia yang diberikan kelebihan oleh Allah sebagai
khalifah harus mengetahui seluruh sumberdaya yang ada di alam ini,
dengan menggunakan akal dan fikirannya untuk meningkatkan derajat
bagi kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah. Untuk itu manusia
perlu untuk melakukan cara yang sesuai dengan syariat yang di tentukan
oleh Allah agar tercapainya aturan Ilahi yang dirahasiakan di alam ini.39
37
Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī, Tāfsir Al-Mīzan: fī Tafsīr Al-Qur’an, 230. 38
Zulfan Taufik, Dialektika Islam Humanisme Pembacaan Ali Syari’ati, 62. 39
Muhammad Thaib Muhammad, “Kualitas Manusia dalam Pandangan Al-
Qur‟an”. AL-MU’ASYIRAH Vol. 13, No. 1, (Januari 2016): 4.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemahaman pada uraian bab-bab yang telah dipaparkan
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa penafsiran yang telah
dilakukan oleh Ṭabāṭabā’ī dalam penafsirannya tentang penciptaan Adam
dalam al-Qur’an merujuk kepada penafsiran yang dinilai sangat berwarna
dan mempunyai wawasan yang tinggi dalam menafsirkan al-Qur’an.
Demikian pula penafsiran yang dilakukan oleh Ṭabāṭabā’ī terhadap
penafsiranya tentang penciptaan Adam.
Penafsiran yang dilakukan oleh Ṭabāṭabā’ī pada ayat-ayat penciptaan
Adam, baik yang berkaitan tentang ayat-ayat turunnya kekhalifahan dan
penciptaan manusia secara umum serta perkembangan pemahaman yang
berkaitan tentang ayat-ayat penciptaan. Penafsiran Ṭabāṭabā’ī mencoba
memperluas pemahamannya sehingga dalam menafsirkan al-Qur’an
Ṭabāṭabā’ī melakukan perenungan yang sangat dalam dan mendapatkan
ketaatan yang tidak didasari oleh hawa nafsu.
Penulis menilai apa yang ditafsirkan oleh Ṭabāṭabā’ī berdasarkan
kepada apa yang menjadi dasar pada keilmuannya. Ṭabāṭabā’ī yang
bermazhab Syiah mempertahankan keilmuanya dalam menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an, sehingga menghasilkan berbagai pemahaman tertang ayat-
ayat yang ditafsirkan.
Dalam menafsirkan ayat yang bertemakan tentang penciptaan pada
bab-bab sebelumnya, Ṭabāṭabā’ī menggambarkan banyak perbedaan di
66
kalangan mufassir. Yang menjadi dasar perbedaan di kalangan mufassir
ayat-ayat tersebut ditafsirkan dengan mazhab-mazhab yang berbeda. Oleh
karena itu penulis beranggapan bahwa Ṭabāṭabā’ī berbeda dengan
mufassir-mufassir yang lainnya dalam menafsirkan ayat tentang
penciptaan.
Perbedaan yang mendasari Ṭabāṭabā’ī dalam menafsirkan ayat-ayat
tentang penciptaan adalah ketika para malaikat melayangkan pertanyan
kepada Allah swt, dan ketika itu malaikat terburu-buru mengambil
kesimpulan bahwa khalifah yang akan diciptakan itu akan berbuat
kerusakan dan akan menumpahkan darah, sehingga penulis berkesimpulan
bahwa yang membedakan mufassir yang lain dengan apa yang ditafsirkan
Ṭabāṭabā’ī sangat berbeda.
Menarik dalam menganalisa penafsiran Ṭabāṭabā’ī tentang ayat
penciptaan adalah loyalitasnya sebagai mufassir menggunakan rasionalitas
dalam menafsirkan al-Qur’an. Pemahaman-pemahaman yang dibagun
dalam tafsirannya menggunakan argumentasi rasional dan filosofis,
sehingga memberikan ruang yang luas untuk memahaminya.
B. Saran-saran
Berdasarkan hasil dari penafsiran Ṭabāṭabā’ī tentang penafsiran
penciptaan adam dalam tafsirannya, penulis mengajukan beberapa saran
sebagai berikut.
1. Al-Qur’an yang begitu luas dalam memahaminya perlu ada berbagai
sudut pandang yang harus ditempuh oleh para pemikir, agar tidak
terfokus pada satu surat ini saja.
2. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang membahas mengenai
penciptaan, dan tujuan utamanya adalah agar manusia bisa mengambil
pembelajaran dari berbagai sudut pandang yang lain.
67
3. Kepada peneliti yang lain agar disarankan jika ingin meneliti tentang
ayat ini agar membahas dengan lengkap dari dari awal turunyan ayat
ini, karena penulis hanya mengambil beberapa ayat saja dalam
melakukan penelitian ini.
4. Penafsiran yang dilakukan oleh Ṭabāṭabā’ī ini sudah dilakukan oleh
beberapa mufassir dan tokoh-tokoh agama lainnya, namun masih
banyak kekurangan dalam melakukan penafsiran atau kajian-kajian.
Sehingga peneliti selanjutnya memberikan argumentasi atau
pandangan yang berbeda dan mengembangkan kajian ini untuk
menambah wawasan keilmuan islam dan menjadiakan al-Qur’an
sebagai tolak ukur agar memudahkan pembaca dalam memahaminya.
5. Penulis berharap agar ada yang menelitian tentang bagaimana asal
mula penciptaan sehingga ayat ini dapat dipahami dengan mudah,
bukan hanya sekedar kutipan para ilmuan dan riwayat hadist-hadist
terdahulu.
6. Hasil penelitian ini masih jauh dari apa yang dibayangkan oleh para
pembacanya, karena keterbatasan pengetahuan penulis dan sumber-
sumber yang digunakan oleh penulis. Namun ini menjadi ruang yang
terbuka untuk para pemikir dalam melakukan penelitian dan
menjadikan tulisan ini sebagai objek peneliti selanjutnya.
67
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. Filsafat Manusia Memahami Filsafat Manusia
Melalui Filsafat. Bandung: Rosdakarya, 2013.
Al-Hāfīz, Al-Imām Abī Al-Fidā’ Ibn Katsīr Al-Dimasyqī. Tafsir Al-
Qur’an Al-Azīm, Juz I. Beirut: Maktabah Al-Nūr Al-‘Ilmiyyah,
1992.
Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi. Jakarta: Paramadina, 1997.
al-Qattān, Mannā. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Muzakkir AS
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
Amal, Taufik Adnan. Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an. Jakarta:
Divisi Muslim Demokratis, 2011.
Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Cet. II. Ciputat: Mazhab
Ciputat, 2013.
Anwar, Rosihan Ilmu Tafsir, Cet. III. Bandung: CV Pustaka Setia,
2005.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari
Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Assegap, M. Zen. Konsep Tauhid Thabathaba’i dalam Tafsir Al-
Mizan. Tangerang: Penerbit YPM, 2012.
Aṭ-Ṭabarī. Muhammad Ibn Jarir Jami’ al-Bayan Fī Tafīr Al-
Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Azra, Azyumardi. Histografi Islam Kontemporer Wacana, Aktual,
dan Aktor Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Baidowi, Ahamad. Mengenal Thabathaba’i dan kontroversi
Nasikh Mansukh. Bandung: Nuansa Cendekia, 2005.
Bucaile, Maurice. Dari Mana manusia Berasal? Antara ilmu
pengetahuan, Bibel dan Al-Qur’an, terj Rahmani Astuti.
Bandung: Mizania, 2208.
Ferutama, Lesmadona. “Konsep Manusia dalam Perspektif Ali
Syari’ati” Skripsi S1., Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008.
68
Hakim, Husnul IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir Kumpulan
Kitab-kitab Tafsir dari Masa Klasik Sampai Masa
Kontemporer. Depok: Lingkar Studi al-Qur’an.
Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
Haryo, Agus Sudarmojo. Benarkah Adam Manusia Pertama?
Interpretasi Baru Ras Adam Menurut Al-Qur’an dan Sains.
Sleman: PT Bentang Pustaka, 2013.
Hitami, Munzir. Revolusi Sejarah Manusia Peran Rasul sebagai
Agen perubahan. Jogjakarta: LkiS, 2009.
Izzan, Ahmad. Metodelogi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur, 2009.
Kementrian Agama RI Tahun 2012. Penciptaan Manusia Dalam
Perspektif Al-Qur’an dan Sains.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an. Penciptaan Manusia
Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains. Jakarta: Widya
Cahaya, 2017.
Madjid, Nurcholis. Khazanah Intlektual Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1987.
Muthahhri, Murtadha. Manusia dan Takdirnya. Bandung:
Paperbacks, 2011.
Nasher, Sayyid Hussein. Islam Syi’ah: Asal-usul dan
Perkembangannya. terj. Djohan Efendi Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1989.
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran.
Bandung: Mizan, 1996.
Nur’aeni. “Proses Penciptaan Manusia dalam al-Qur’an (sebuah
kajian tematik tentang NUTFAH DAN ‘ALAQAH),” Skripsi
S1., Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2012.
Rahmat, Jalaluddin. Pengantar Islam dan Tentang Modernitas.
Bandung: Mizan, 1989.
Razzaqi, Ibnu al-Qasim. Pengantar pada Tafsir al-Mizan, terj.
Nurul Agustina, Jakarta: Al-Hikmah, 1991.
69
Saleh, Hairus. “Filsafat Manusia (Studi Komparatif antara
Abdurrahman Wahid dan Murtadla Muthahhari),” Skripsi
S1., Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014.
Setiaji, Rahmat. “Proses Penciptaan Perempuan dalam Al-Qur’an
Studi perbandingan antara Penafsiran Ibnu Katsir dan
Muhammad Abduh tentang Q.S. An-Nisa ayat 1,” Skripsi
S1., Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2012.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan
keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002
-------, Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1999.
-------, Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan
Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Cet. III, Bandung:
Mizan, 2001.
Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an” Kajian Tematik Atas
Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, Jakarta: Penamadani,
2005.
Thohir, Moch. “Perspektif Ibnu Katsir tentang Eksistensi Adam”
Skripsi S1., Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2012.
Suharto, Gatot. Alam Manusia dan Tuhannya. Jakarta: Ajib
Publising, 2014.
Syafe’i, Imam. Manusia Ilmu dan Agama. Jakarta: Quantum Press,
2009.
Syahin, Abdus Shabur. Penciptaan Nabi Adam: Mitos atau
Realitas. Elsaq Press, 2004.
Syari’ati, Ali. Tentang Sosiologi Islam. terj. Saifullah Mahyudin,
Yogyakarta: Ananda, 1982.
-------. Ummah Imamah. terj. Muhammad Faishol Hasanuddin,
Jakarta: YAPI, 1990.
70
Ṭabāṭabā’ī, Muhammad Husein. Inilah Islam Upaya Memahami
Islam Secara Mudah, terj. Ahsin Muhammad, Jakarta: Sadra
Pres, 2011.
-------. Millah Ibahim dalam Tafsir Al-Mizan Fii Tafsir Al-Qur’an,
-------. Tafsir Al-Mīzan: fī tafīr Al-Qur’an, terj Ilyas Hasan
Jakarta:Lentera,2010.
-------. Tafsir al-Mizan: Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan, terj.
Syamsul Rifa’i, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990.
-------. Al-Mīzan Fī Tafsīr Al-Qur’an, jilid 1, (Taheran: Dar al-
Kutub al-Islamiyah, 1392).
Taimiyah, Ibnu. Muqaddimah Fi Ushul Tafsir. Beirut: Dar al-Filr,
1392.
Taufik, Zulfan. Dialektika Islam Humanisme Pembacaan Ali
Syari’ati. Jakarta: Ongklam Books, 2015.
Thaib, Muhammad. “Kualitas Manusia dalam Pandangan Al-
Qur’an”, AL-MU’ASYIRAH Vol. 13, No. 1, Januari 2016.
Ulhusna, Nidaa. “Konsep penciptaan Alam Semeste Study
Komparatif Antara Tafsir Ilmi Penciptaan Jagat Raya
Kementrian Agama RI Dengan Stephen Hawking,” Skripsi
S1., Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014.
Willya, Evra. Ṭabāṭabā’ī dan Tafsir al-Mizan” dalam Hubungan
Antar Umat Beragama Menurut Ṭabāṭabā’ī dalam Tafsir al-
Mizan, Disertasi S3 Pascasarjana, Universitas Islam Negri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Zulaika, Cici. "Penciptan Alam Menurut Imam Al-Gazali" Skripsi
S1., Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018.