hukum hak cipta

28
e. Hak Cipta Dalam Prespektif Islam A. Pendahuluan Kelebihan istimewa yang dimiliki manusia adalah kemampuannya dalam menalar, merasa, dan mengindra. Dengan menalar manusia mampu mencipta dan mengembangkan pengetahuannya, dan hal inilah yang secara prinsip membedakan antara makhluk tingkat rendah dengan makhluk tingkat tinggi, yaitu manusia. Ilmu menjadi furqan (pembeda) antar makhluk, bahkan pembeda kualitas antar manusia itu sendiri. Kemampuan manusia dalam berfikir dan mengembangkan ilmu pengetahuan telah melahirkan temuan-temuan baru yang belum ada sebelumnya seperti; ditemukannya Mesin Cetak oleh Johann Gutenberg (1400-1468) pada tahun 1436, Mesin Pintal atau tekstil oleh Sir Richard Arkwrigt (1732-1792) dan Jemes Hargreves (?- 1778), Mesin Uap oleh James Watt (1736-1819), teori grafitasi, kalkulus, dan spectrum cahaya oleh Isaac Newton (1642-1727), dan lain sebagainya. Selain memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, ditemukannya hal-hal baru tersebut telah melahirkan kesadaran akan adanya hak baru di luar hak kebendaan atau barang. Pengakuan atas segala temuan, ciptaan, dan kreasi baru yang ditemukan dan diciptakan baik oleh individu atau kelompok telah melahirkan apa yang disebut dengan Hak Milik Intelektual (HAMI) atau Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Pada abad Kuno, hak cipta belum dikenal oleh masyarakat, sekalipun banyak karya cipta yang dihasilkan masyarakat saat itu. Karya cipta dianggap sebagai hal biasa yang eksistensinya tidak perlu dilindungi oleh peraturan perundang- undangan (Gesetez). Mereka menganggap bahwa hak cipta tidak memiliki arti yang strategis dalam kehidupan manusia, seperti; rumah, tanah, atau benda lainnya. Adalah Corpus Juris yang pertama kali menyadari kehadiran hak

Transcript of hukum hak cipta

Page 1: hukum hak cipta

e.

Hak Cipta Dalam Prespektif Islam

A. Pendahuluan

Kelebihan istimewa yang dimiliki manusia adalah kemampuannya dalam menalar, merasa, dan mengindra. Dengan menalar manusia mampu mencipta dan mengembangkan pengetahuannya, dan hal inilah yang secara prinsip membedakan antara makhluk tingkat rendah dengan makhluk tingkat tinggi, yaitu manusia. Ilmu menjadi furqan (pembeda) antar makhluk, bahkan pembeda kualitas antar manusia itu sendiri.

Kemampuan manusia dalam berfikir dan mengembangkan ilmu pengetahuan telah melahirkan temuan-temuan baru yang belum ada sebelumnya seperti; ditemukannya Mesin Cetak oleh Johann Gutenberg (1400-1468) pada tahun 1436, Mesin Pintal atau tekstil oleh Sir Richard Arkwrigt (1732-1792) dan Jemes Hargreves (?-1778), Mesin Uap oleh James Watt (1736-1819), teori grafitasi, kalkulus, dan spectrum cahaya oleh Isaac Newton (1642-1727), dan lain sebagainya.

Selain memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, ditemukannya hal-hal baru tersebut telah melahirkan kesadaran akan adanya hak baru di luar hak kebendaan atau barang. Pengakuan atas segala temuan, ciptaan, dan kreasi baru yang ditemukan dan diciptakan baik oleh individu atau kelompok telah melahirkan apa yang disebut dengan Hak Milik Intelektual (HAMI) atau Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Pada abad Kuno, hak cipta belum dikenal oleh masyarakat, sekalipun banyak karya cipta yang dihasilkan masyarakat saat itu. Karya cipta dianggap sebagai hal biasa yang eksistensinya tidak perlu dilindungi oleh peraturan perundang-undangan (Gesetez). Mereka menganggap bahwa hak cipta tidak memiliki arti yang strategis dalam kehidupan manusia, seperti; rumah, tanah, atau benda lainnya.

Adalah Corpus Juris yang pertama kali menyadari kehadiran hak milik baru yang merupakan ciptaan dalam bentuk tulisan atau lukisan di atas kertas. Namun demikian pendapatnya belum sampai kepada pembeda antara benda nyata (Materielles Eigentum) dan benda tidak nyata (immaterielles Eigentum) yang merupakan produk kreatifitas manusia. Istilah Immaterielles Eigetum inilah yang sekarang disebut dengan hak milik intelektual (HAMI), atau hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang merupakan terjemahan dari dari kata “geistiges eigentum”, atau “intellectual property right”.

Di Indonesia, pengakuan dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual telah dilakukan sejak dahulu. Sebagai Negara bekas jajahan Belanda, maka sejarah hukum tentang perlindungan HAMI di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah hukum serupa di Belanda pada masa itu, karena hampir seluruh pelaturan yang berlaku di Belanda waktu itu juga diberlakukan di Indonesia (Hindia Belanda). Undang-undang hak cipta (UUHC) yang pertama berlaku di Indonesia adalah UUHC tanggal 23 September 1912 yang berasal dari Belanda yang diamandemen oleh UU No 6 tahun 1982 yang mendapat penyempurnaan pada tahun 1987.

Page 2: hukum hak cipta

Departemen Kehakiman pada tahun 1989 mengeluarkan UUHP, pada tahun 1992 mengeluarkan UUHM, dan yang terakhir UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dengan demikian, hak cipta diakui dan mempunyai perlindungan hukum yang sah, dan pelanggarnya dapat dituntut dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun dan atau denda maksimal Rp 5.000.000.000.00.

Ulasan di atas adalah pandangan hukum positif terhadap masalah hak cipta. Bagaimana padangan Islam terhadap masalah tersebut? Apakah perhatian Islam yang sangat besar terhadap masalah harta kekayaan dan hak individu juga membahas masalah tersebut? Serta bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap pembajakan kekayaan intelektual (hak cipta)? Masalah-masalah inilah yang akan coba dipaparkan dalam makalah ini.

B. Pembahasan.

1. Pengertian Hak Cipta.

Yang dimaksud dengan hak cipta sebagaimana diungkapkan dalam pasal 1 ayat 1 UUHC No. 16 tahun 2002 adalah; Hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.

2. Teori Hak Dalam Islam.

Apabila menelusuri dalil-dalil yang terkandung dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, masalah hak cipta belum mempunyai dalil atau landasan nash yang eksplisit. Hal ini karena gagasan pengakuan atas hak cipta itu sendiri merupakan masalah baru yang belum dikenal sebelumnya. Namun demikian, secara implisit, perlindungan terhadap hak cipta ditemukan dalam sistem hukum Islam. Hal ini dikarenakan konsep hak itu sendiri dalam prespektif hukum Islam, tidak baku dan berkembang secara fleksibel dan implementasinya tetap akan sangat tergantung kepada keadaan.

Di antara para pemikir Islam, Imam al-Qurafi adalah tokoh Islam pertama yang membahas masalah hak cipta. Dalam kitabnya yang berjudul al-Ijtihadat Imam al-Qurafi berpendapat bahwa hasil karya cipta (hak cipta) tidak boleh diperjual belikan, karena hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari sumber aslinya. Namun demikian pendapat Imam al-Qurafi tersebut dibantah oleh Fathi al-Daraini yang berpendapat bahwa hak cipta merupakan sesuatu yang bisa diperjual belikan, karena adanya pemisahan dari pemiliknya. Dalam masalah hak cipta ini Fathi al-Daraini mensyaratkan harus ada standar orisinalitas yang membuktikan keaslian ciptaan tersebut.

Mengkaji masalah hak cipta dalam tinjauan Islam, penulis akan memulainya dengan membahas pandangan Islam terhadap hak itu sendiri. Hak (al-haqq) secara etimologi berarti milik; ketetapan dan kepastian. Menurut terminologi, ada beberapa pengertian hak yang dikemukakan para ulama fiqh. Sebagian ulama mutaakhkhirin (generasi belakangan) hak adalah suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara. Syeikh al-Khafifi (ahli fiqh Mesir) mengartikannya sebagai kemaslahatan yang diperoleh secara syara. Mustafa Ahmad az-Zarqa (ahli fiqh Yordania asal Suriah) mendefinisikannya sebagai suatu kekhususan yang padanya ditetapkan syara suatu

Page 3: hukum hak cipta

kekuasaan. Lebih singkat lagi, Ibnu Nujaim (w. 970 H/1563 M) ahli fiqh Madzhab Hanafi mendefinisikannya sebagai suatu kekhususan yang terlindung.

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy membagi pengertian hak kepada dua bagian, yaitu pengertian secara khusus dan umum. Hak secara khusus didefinisikan sebagai “Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur dasar-dasar yang harus ditaati dalam hubungan sesama manusia, baik mengenai individu (orang), maupun mengenai harta”. “Kekuasaan menguasai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas seseorang atas yang lainnya”.

Secara umum, hak diartikan sebagai “Suatu ketentuan yang dengannya syara’ menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum”.

Sumber hak itu sendiri menurut Ulama fiqh ada lima, yaitu; Pertama, syara’, seperti berbagai ibadah yang diperintahkan. Kedua, akad, seperti akad jual beli, hibah, dan wakaf dalam pemindahan hak milik. Ketiga, kehendak pribadi, seperti janji dan nazar. Keempat, perbuatan yang bermanfaat, seperti melunasi utang. Kelima, perbuatan yang menimbulkan kemadaratan bagi orang lain, seperti mewajibkan seseorang membayar ganti rugi akibat kelalaiannya dalam menggunakan barang milik orang lain.

3. Teori Pemilikan Harta Dalam Islam.

Dalam UUHC Pasal 3 disebutkan bahwa; (1) hak cipta dianggap sebagai benda bergerak, (2) hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruh atau sebagian kerena; Pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, maka hak cipta termasuk harta yang bisa dimiliki oleh seseorang secara sah.

Apabila melihat khazanah fiqh Islam, ditemui beberapa teori tentang harta. Harta (al-Mal) asal kata mala (condong atau berpaling dari tengah kesalah satu sisi), dimaknai sebagai; “Segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara. Baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat”. Ulama Madzhab Hanafi mendefinisikan harta dengan; “Segala sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan ketika dibutuhkan”, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan. Jumhur Ulama mendefinisikan harta sebagai “segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya”.

Bagi Jumhur Ulama harta tidak hanya bersifat materi, tetapi juga termasuk manfaat dari suatu benda. Hal ini berbeda dengan Ulama Madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa pengertian harta hanya bersifat materi, sedangkan manfaat termasuk kedalam pengertian milik. Oleh karena itu, ulama madzhab Hanfi berpendirian bahwa hak dan manfaat tidak bisa diwariskan, karena hak waris-mewariskan hanya berlaku dalam persoalan materi, sedangkan hak dan mafaat menurut mereka bukan harta. Sedangkan menurut Jumhur Ulama, hak waris-mewariskan itu tidak hanya yang menyangkut materi, tetapi juga berkaitan dengan hak dan manfaat, karena semua itu mengandung makna harta (materi), sesuai dengan sabda Rasulullah SAW;”Siapa yang wafat meninggalkan harta dan hak, maka (harta dan hak) menjadi milik ahli warisnya…(HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal).

Page 4: hukum hak cipta

Pendapat Jumhur Ulama bahwa “orang yang merusaknya wajib menanggung”, memberi isyarat tentang pandangan mereka terhdap nilai (qimah) sesuatu. Artinya, setiap yang mempunyai nilai, maka mempunyai manfaat, sebab segala sesuatu yang mempunyai nilai pasti memberi manfaat. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak memiliki nilai dan manfaat tidak dipandang sebagai harta. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa nilai merupakan sandaran sesuatu yang dipandang sebagai harta, dan nilai itu sendiri dasarnya adalah manfaat. Maka dapat disimpulkan bahwa manfaat merupakan asal dalam memberi nilai dan memandang sesuatu. Sesungguhnya manfaat adalah maksud yang nyata dari semua benda.

Ibn ‘Arafah berpendapat bahawa; “Harta secara lahir mencakup benda (‘ain) yang bisa diindra dan benda (‘ard) yang tidak bisa diindra (manfaat). Ia mendefinisikan al-‘aradl sebagai manfaat yang secara akal tidak mungkin menunjuk kepadanya. Hal ini mencakup karya cipta yang sebenarnya merupakan pemikiran manusia yang tidak mungkin dimanfaatkan kecuali mengaitkannya kepada pencipta dan sumbernya, yang mengambil bentuk materi, seperti buku dan lain sebagainnya. Apabila manfaat dikategorikan sebagai harta sebagaimana berlakunya sifat kehartaan kepada benda, maka terhadap manfaat juga belaku hak milik sebagaimana terhadap benda, selama pemanfaatannya tersebut dibolehkan menurut syara’.

Teori tentang harta di atas memberi kesimpulan bahwa hasil karya cipta (hak cipta) adalah pekerjaan dan merupakan harta yang bisa dimiliki baik oleh individu maupun kelompok. Basisi milik pribadi adalah menghormati hak individu dan menghargai harapan dan keinginan untuk leluasa berkehendak, berkreativitas, dan berimovasi. Islam ingin mendorong siapa saja untuk berupaya dan bekerja semakasimal mungkin dan mengharapkan hasil jerih payahnya.

4. Hukum Pembajakan Hak Cipta

Permasalahan mengenai Hak Cipta (HAKI) akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Cipta. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Cipta (HAKI). Dengan adanya perlindungan hukum terhadap hasil karya cipta, maka pencipta atau penerbit memiliki dan menguasai hasil karya ciptanya tersebut.

Dalam pasal 29 dan 30 UUHC dijelaskan, yang termasuk hak cipta adalah; buku, famplet, dan semua hasil karya tulis, drama, tari kreografi, segala bentuk seni rupa, seni batik, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, arsitektur, alat peraga, peta, terjemahan, saduran, tafsir, program computer, sinematografi, database, dan lain sebagainnya.

Dalam pasal selanjutnya, yakni pasal 49 ayat 1 UUHC dijelaskan bahwa; Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberi izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya. Pada ayat 2 juga dijelaskan bahwa; Produser rekaman suara meiliki hak eksklusif untuk memberi izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak dan/atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyi. Kemudian dalam pasal 72 ayat 1 dijelaskan bahwa;

Page 5: hukum hak cipta

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 atau pasal 49 ayat 1 dan 2 dipidana dengan pidanan 1 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000.00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah). Dengan demikian, jelaslah bahwa pelanggaran terhadap hak cipta merupakan tindak kejahatan pidana yang bisa dikenai hukuman.

Dalam Islam, digariskan bahwa segala sesuatu yang diperoleh dengan cara yang sah (benar dan halal) seperti; harta yang diperoleh dari hasil kerja keras, harta yang diambil dari benda yang tidak bertuan, harta yang diambil atas dasar saling meridlai, harta yang diperoleh dari waris, wasiat, hibah, dan lain sebagainnya, adalah wajib dilindungi baik oleh individu maupun masyarakat. Dalam penjelasan terdahulu telah dijelaskan bahwa hak cipta atau hak intelektual adalah harta yang diperoleh dengan cara yang sah yaitu hasil kerja kreatif baik individu maupun kelompok, dalam hal ini Bahesti berpendapat bahwa kerja kreatif adalah sumber utama kepemilikan manusia. Oleh karena itu, hak cipta termasuk salah satu milik (kekayaan) yang harus dijaga baik oleh si pemilik maupun masyarakat.

Allah SWT berfirman; Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta yang beredar di antara kamu dengan cara batil. Dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman; Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Darulqutni dari Anas Rasulullah SAW bersabda; Tidak halal harta milik orang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya. Pencurian atau pembajakan dalam syari’at Islam berlaku hanya terhadap benda bergerak yang bermateri, sebab pencurian menuntut adanya syarat yang harus dipenuhi, yaitu benda yang dicuri berupa benda bergerak, dianggap sebagai harta (berharga), dihormati, memiliki tempat penyimpanan yang layak, dan penjagaan.

Dalam fiqh jinayat disepakati bahwa selain benda bergerak yang bermateri seperti benda-benda yang maknawi semacam hak (huquq), ciptaan (ibtikar) dalam berbagai bentuknya tidak cocok untuk dijadikan sebagai objek pencurian. Harta ini apabila telah menjadi bentuk materi seperti buku, kaset, cd, dan lain sebagainya, maka menjadi benda bergerak dan bermateri yang pantas untuk dijadikan sebagai objek pencurian. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya kejahatan terhadap hak cipta apabila sudah menjadi benda bergerak dan bermateri.

Luthfi as-Syaukanie berpendapat bahwa segala usaha yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain adalah haram untuk dilakukan. Pembajakan hak cipta dilarang oleh syara’ karena diqiyaskan dengan mengambilalih barang milik orang lain secara haram. Usaha seperti ini sama artinya dengan perbuatan mencuri, yaitu mencuri harta kekayaan yang berbentuk produk pemikiran. Menggandakan atau menjual hak cipta orang lain tanpa izin pencipta dianggap sebagai jenis usaha memperoleh harta kekayaan secara haram. Keharamannya terjadi karena karya cipta merupakan harta kekayaan yang dihasilkan dari kemampuan intelektual. Dengan kata lain, karya cipta adalah produk pemikiran yang menghasilkan uang.

M. Hutauruk berpendapat bahwa jual beli peroduk bajakan mengandung bahaya (dlarar), karena merugikan orang lain dan tidak mematuhi undang-undang. Bahaya itu bisa berwujud materi atau

Page 6: hukum hak cipta

moral walaupun dari satu sisi kelihatannya seolah-olah menolong masyarakat banyak dengan harganya yang lebih murah. Bentuk kerugian itu di antaranya; Pertama, pembajak tidak menyadari dan menghargai jerih payah pencipta untuk menghasilkan karyanya yang telah menghabiskan waktu, tenaga, dan dana. Kedua, pembajak tidak mengakui jasa pencipta untuk kemajuan ilmu pengetahuan, kesusastraan, dan kesenian. Ketiga, pembajak tidak mengakui adanya jasa orang atau perusahaan/penerbit yang dengan penuh resiko menyediakan modal untuk menyiarkan, mencetak, dan memperbanyak karya cipta tersebut. lebih dari itu, perusahaan atau percetakan harus membayar berbagai pajak dan royalty pencipta. Sedangkan pembajak, selain melakukan pembajakan mereka juga tidak membayar pajak royalty dari bajakannya tersebut sehingga selain merugikan pencipta dan perusahaan, pembajak juga telah merugikan Negara.

Abdul Bari Azed Direktur Jenderal HAKI Departermen Kehakiman dan HAM berpendapat bahwa dari aspek moral pembajakan terhadap hak cipta akan menghambat tumbuhnya kreativitas dalam berkarya karena keengganan para pencipta untuk bekerja menciptakan sebuah karya cipta baru. Hal ini tentunya akan sangat merugikan bagi perkembangan dan kemajuan ilmu penegtahuan dan masyarakat secara umum.

Namun demikian, tidak semua pembajakan dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap hak cipta. Dalam UUHC pasa 14 dan 15 dijelaskan bahwa; Tidak termasuk sebagai pelanggaran hak cipta apa bila pengambilan atau perbanyakan sebuah ciptaan baik sebagian atau seluruhnya yang digunakan untuk; pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, pusat dokumentasi, dan lain sebagainnya yang bersifat non komersial. Namun demikian pengecualian ini tidak berlaku bagi program-program computer.

C. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hak cipta termasuk harta yang bisa dimiliki secara sah, dan pemiliknya mempunyai hak penuh atas hartanya tersebut. Hal ini didasarkan pada; Pertama, hak cipta lahir dari hasil kerja keras yang dilakukan sang pencipta dalam mewujudkan ciptaannya. Kedua, cakupan harta dalam Islam tidak hanya terbatas pada yang berbentuk materi, tetapi juga termasuk manfaat dari suatu benda. Hal ini tercermin dalam pendapat jumhur ulama yang mendefinisikan harta sebagai segala sesuatu yang mempunyai nilai. Dalam teori hak Islam, hak cipta termasuk salah satu bagian (macam) dari hak al-Maliyah (hak kekayaan).

Oleh karena merupakan harta yang dimiliki secara sah, maka hak cipta merupakan harta yang dilindungi syara’. Dengan demikian, segala sesuatu yang bersifat merugikan, mendlalimi pemilik hak cipta tersebut adalah dilarang. Pembajakan terhadap hak cipta dilarang karena; Pertama, pembajakan berarti mengambil hak milik orang lain dengan cara batil. Kedua, pembajakan terhadap hak cipta telah merugikan bukan hanya materil tetapi juga moril si pemilik hak cipta, dan Negara. Ketiga, pembajakan akan menghambat kemajuan peradaban manusia karena menghambat tumbuhnya kreativitas dalam berkarya menciptakan sebuah karya cipta baru. Namun demikian, tidak semua pembajakan terhadap hak cipta dianggap sebagai tindakan batil, karena dengan alasan tertentu sebagaimana telah dijelaskan di atas pembajakan dibolehkan atau

Page 7: hukum hak cipta

tidak dianggap sebagai tindak kejahatan.

Berikut ini sekedar tulisan saya yang menjiplak dari beberapa sumber yang terbatas tentang pandangan hukum Islam dalam intellectual property rights (IPR). Karena masalah ini sering ditanyakan dan diperdebatkan, terutama berkaitan dengan pembajakan software, saya mencoba melihat masalah ini dalam perspektif agama Islam. Maksudnya, Islam dalam perspektif saya pribadi, tanpa bermaksud mengatas namakan bahwa beginilah menurut Islam. Oleh karena itu segala kesalahan dan kekurangan yang ada di dalamnya adalah tanggung jawab pribadi. Oleh karena itu silakan dibantah, didebat, dan dikritisi.

Mohon maaf, bagi rekan yang beragama lain, bukan bermaksud untuk membicarakan yang khusus dalam forum bersama ini, topik ini bisa dijadikan topik bersama tanpa melihat latar belakang agama. Anggap saja ini cetusan dari seseorang dalam kacamata agamanya, dan silakan kalau rekan-rekan juga menambahkan dari perspektif yang lain, perspektif apa saja.

Secara ringkas tulisan ini mulai dari menguraikan hukum mencuri di dalam Islam, masalah hak-hak yang diatur di dalam Islam, apakah IPR termasuk dalam kategori mencuri, dan berbagai perdebatan tentang kemaslahatan IPR.

SalamAji Hermawan

FIQH 'INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS'

Saat ini pembajakan perangkat lunak, patent, lisensi, dan lain-lain merupakan salah satu masalah yang sering menjadi perdebatan. Apakah pembajakan terhadap apa yang sekarang ini disebut sebagai 'intellectual property rights' (IPR) merupakan tindak pidana pencurian di dalam hukum Islam? Tulisan ini mencoba untuk mencoba menjawab masalah tersebut dengan mengutip dari beberapa sumber. Karena saya bukan ahli hukum Islam, tulisan ini sangat terbuka dan perlu untuk dibantah dan dikritisi oleh siapa saja.

Secara ringkas tulisan ini menguraikan hukum mencuri di dalam Islam, masalah hak-hak yang diatur di dalam Islam, kedudukan IPR dalam hukum Islam, dan berbagai perdebatan tentang kemaslahatan IPR.

Hukum mencuri

Di dalam Islam, hukum mencuri ditegaskan di dalam Al-Quran:

'Laki-laki yang mencuri dan peempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasan dan Maha Bijaksana' (Q.S. Al Maidah (5) : 38 ).

Page 8: hukum hak cipta

Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda tentang bahaya mencuri bagi suatu masyarakat dan ketegasan hukumnya:

'Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya.' (Riwayat Bukhari)

Ketegasan aturan mengenai 'mencuri' ini menunjukkan pengakuan Islam akan hak milik, perlindungannya, dan mengatur perpindahannya secara adil. (Tulisan ini tidak akan membahas apakah format hukum potong tangan harus dilakukan sekarang). Di dalam Islam, mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang yang dicuri secara individual, tapi juga secara sosial masyarakat luas, sebuah bangsa, atau kemanusiaan itu sendiri. Bahkan secara vertical mencuri itu juga termasuk men-dholimi Allah SWT.

Hukuman potong tangan, yang sering dipandang sebagai tidak manusiawi bagi yang menentangnya atau sebagai hukuman yang serta merta dijalankan apa adanya bagi pendukung literalnya, pada prakteknya tidaklah dilakukan tanpa konteks. Para ahli hukum Islam sering mencontoh kisah yang terjadi dalam masa khalifah kedua Umar bin Khaththab yang tidak menghukum pencuri tapi justru mengancam akan menghukum yang dicuri atau tuan sang pencuri.

Misalnya, dikisahkan ketika suatu ketika terjadi paceklik, ada kasus pencurian yang dilaporkan kepada Umar untuk dihukum, tetapi Umar menolak menghukumnya, alasannya karena musim paceklik mungkin orang itu terpaksa mencuri karena takut mati kelaparan. Sebaliknya Umar malah pernah mengancam, "Kalau kamu terus menerus melaporkan pencuri hartamu padahal kamu kaya, malah nanti tangan kamu yang akan saya potong, karena kamu yang menjadi sebab orang ini lapar." Dalam kisah lain disebutkan ada dua orang hamba sahaja yang mencuri dari tuannya karena tidak diberi makanan yang cukup, Umar tidak menghukumnya, tapi justru mengancam akan memotong tangan tuannya. . Kisah serupa juga bisa didapati pada suatu kisah ketika beberapa budak milik Hathib bin Abi Balta'ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan menyembelihnya. Umar bin Khattab menerima pengaduan tetapi tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab-musabab mengapa sampai mencuri. Ternyata mereka benar-benar terpaksa untuk mengisi perut karena ditelantarkan oleh majikannya. Umar benar-benar marah, Hathib segera dipanggil dan dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri budak-budaknya. Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala tuntutan.

Ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya hukum itu melihat konteks atau pre-kondisinya. Setiap keputusan hukum memiliki apa yg disebut sbg 'illat (sebab, rasio-logis tentang kenapa hukum itu ditetapkan). Jadi kalau pre-kondisinya tidak terpenuhi maka hukum itu tidak bisa dijalankan.

Bahkan lebih jauh lagi, Yusuf Qardhawi dalam bukunya Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh (ditermahkan dalam Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah), berpendapat bahwa pelaksanaan hukum Islam sebenarnya cenderung untuk menutupi dan memaafkan hukuman sebagaimana dikenal dalam kaidah popular "Dar'ul Hudud bisy-

Page 9: hukum hak cipta

syubahaat", yang artinya menolak hukuman dengan adanya syubuhat (kemungkinan-kemungkinan untuk membatalkan). Ada sebuah hadist yang berbunyi:

"Tolaklah hudud itu dari kaum Muslimin semampu kamu, jika kamu mendapatkan jalan keluar untuk seorang Muslim maka lepaskanlah jalannya, sesungguhnya apabila seorang imam salah dalam memaafkan, itu lebih baik daripada salah dalam menghukum." (HR. Hakim)

Hadist ini diperkuat dengan hadist : "Tolaklah hudud itu dengan syubuhat."

Kasus pembebasan pencuri oleh Umar, menurut Qardhawi menunjukkan penerapan hal ini. Ini bukan bentuk mengugurkan hukuman tapi karena pre-kondisinya belum wajib untuk diterapkannya hukum itu. Seperti tidak wajibnya suatu perintah karena sebelum memenuhi seluruh rukun dan syaratnya.

Hak Milik Intelektual

Setelah sekilas kita membahas hukum mencuri, kita perlu membahas apa yang dimaksud dengan hak di dalam Islam. Berikut ini pandangan tentang hak Mustofa Zarqa' (dikutip, diringkas, dan diolah dari Pesantren Virtual: http://www.pesantrenvirtual.com). Hak didefnisikan sebagai "kekhususan yang diakui oleh syariat Islam, baik itu berupa otoritas atau pembebanan".

Dengan demkian ini mencakup antara lain

1. Hak Allah yang dibebankan kepada hambanya, seperti shalat, puasa dan zakat;2. Hak sipil/privat seperti hak untuk memiliki atas benda3. Hak sosial, seperti hak orang tua kepada anak dan hak suami terhadap isteri;4. Hak publik, seperti kewajiban negara untuk melindungi rakyatnya;5. Hak yang berkaitan dengan harta seperti nafkah;6. Hak yang berkaitan dengan otoritas seperti perwalian7. Hak asasi yang mencakup hak untuk hidup bebas, dll.

Hukum Islam dalam kaitannya dengan hak, menetapkan langkah-langkah hukum sebagai berikut:

1. Memberikan hak kepada yang berhak. Misalnya zakat harus diberikan oleh mereka yang berkewajiban kepada yang berhak. Sholat wajib dlakukan oleh mereka yg berkewajiban, ditujukan kepada Allah, dlsb.

2. Melindungi Hak. Syariat Islam memberikan perlindungan hak dari segala bentuk penganiayaan, kecurangan, penyalahgunaan dan perampasan sepuluh abad sebelum deklarasi Hak Asasi Manusia. Perlindungan hak yang diberikan berupa perlindungan: jiwa (nyawa/fisik), akal, harta, nasab/keturunan, dan agama, atau yang biasa disebut maqaashid al-syariah al-khomsah. Imam Ghozali menambahkan hak untuk tidak dirusak kehormatannya (detailnya bisa dilihat pada buku Syathibiy 'Al-Muwafaqat').

3. Menggunakan hak dengan cara yang sah dan benar. Setiap manusia diberi wewenang menngunakan haknya sesuai dengan yang diperintahkan dan diizinkan oleh syariat

Page 10: hukum hak cipta

namun dalam menngunakan haknya tidak boleh melapaui batas dan tidak boleh menimbulkan kerugian padapihak lain, baik yang sifatnya personal maupun publik.

4. Menjamin perpindahan hak dengan cara benar dan sah. Hukum Islam melindungi perpindahan hak melalui prosedur dan cara yang benar, baik itu melalui transaksi seperti jual beli, atau pelimpahan seperti dalam kasus jaminan hutang atau hak yang berkaitan dengan wewenang, atau berpindahnya hak perwalian dari orang tua ke anak sepeninggalan orang tua.

5. Menjamin hangus/terhentinya hak dengan cara benar dan sah Hukum Islam melindungi hangusnya hak, atau terhentinya hak melalui prosedur dan cara yang sah, misalnya hangusnya hak suami isteri melalui perceraian atau pengguguran hak secara sukarela, seperti tidak menggunakan hak menuntut ganti rugi.

Setelah melihat jenis dan aturan mengenai hak lalu dimanakah letak hak milik intelektual. Apakah hak milik intelektual ini bisa disamakan dengan maal (harta) dan mengikuti hukum-hukum tentang harta. Tampaknya masalah ini adalah masalah yang relatif baru bahkan dalam dunia modern masalah ini adalah juga bukan masalah yang final. Bahkan masalah ini setiap kali muncul dalam forum-forum yang membicarakan perdagangan internasional, seperti di WTO (World Trade Organization).

Di dalam hukum Islam, karena tidak adanya dalil yang ekplisit yang membahasnya, maka sumber hukum yang digunakan biasanya adalah adalah maslahah mursalah (kemaslahatan umum), yaitu bahwa setiap sesuatu atau tindakan yang sesuai dengan tujuan syariat Islam, dan mempunyai nilai mendatangkan kebaikan dan menghilangkan kerusakan, hukumnya harus ditegakkan. Dengan kata lain, hukum harus diterapkan untuk memaksimumkan kebaikan dan meminimumkan kerugian bagi masyarakat.

Ketika kita berbicara 'kemaslahatan umum' maka mau tak mau kita bersentuhan dengan berbagai macam pandangan dalam apa yang disebut sekarang ini sebagai ilmu-ilmu sosial. Misalnya dalam ekonomi, kemaslahatan umum dalam kacamata ekonom neo-liberalist akan sangat berbeda dengan kemaslahatan umum menurut kelompok neo-Marxist. Bagaimana kemashlahatan umum menurut Islam? Karena ini sudah di luar atau tidak eksplisit dalam nash (dalil-dalil Quran dan Hadist), maka kita akan kesulitan menemukan pendapat yang agak definitive di dalam Islam. Kalau kita tidak bisa menemukan secara 'teoritis' pandangan Islam mengenai hal ini maka kita bisa menarik ke level yang lebih tinggi yaitu 'filsafat sosial Islam'. Namun kita juga akan keteteran mencarinya.

Yang mungkin terpenting agar kita bisa dengan mudah mengajukan 'pandangan Islami' atas berbagai fenomena social adaah mengembangkan 'Epistemologi atau paradigma Islam'. Dengan paradigma inilah kita bisa membedah setiap persoalan yang muncul dengan pisau yang sama. Masalahnya kita juga akan kesulitan menemukan itu. Ini adalah suatu PARADOX BESAR di dalam pemikiran Islam. Dimana kita sering mendengar teriakan-teriakan adanya perang pemikiran atau 'qhazwul fikr', padahal kalau kita masuk ke medan pertempuran itu kita tidak akan menemukan 'pemikiran Islam' yang sedang ikut berperang.

Page 11: hukum hak cipta

Agar tidak panjang-panjang membahasanya ke yang lebih rumit, kita balik saja lagi membahas pemikiran-pemikiran yang sudah ada tentang hak milik intelektual dilihat dari sudut kemaslahatan umum (dengan kacamata yg sudah ada saja).

Pendapat pertama, menyatakan bahwa hak milik intelektual (Intellectual Property Rights - IPR) itu harus dilindungi karena merupakan prasyarat inovasi dan pembangunan. Kalau tidak dilindungi maka orang akan malas menemukan sesuatu akibatnya inovasi terhambat, dan ujung-ujungnya kira-kira pembangunan akan terhambat pula. Kemakmuran bangsa akan berkurang dan ini jelas merugikan. Seorang penemu juga telah menginvestasikan waktu, tenaga, uang, dan sumberdaya lainnya, sehingga sangat pantas apabila apa yang sudah dikeluarkan itu dihargai.

Jika kita sepakat dalam pandangan ini, maka pencurian terhadap hak milik intelektual sama saja dengan pencurian terhadap hak-hak lain yang dilindungi. Islam jelas melarang tindakan zalim suatu pihak terhadap pihak lain.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa hak milik intelektual ini justru merugikan kepentingan publik (kemaslahatan umum) karena akan semakin memperkecil hak-hak publik menjadi hak-hak private (individu atau perusahaan).

Pendapat yang menarik bisa dilihat pada tulisan George Monbiot, di Guardian, tanggal 12 Maret 2002, yg berjudul 'Patent Nonsense'. (akan saya forward). Dari tulisan itu kita bisa memahami bahwa rejim patent hanya menguntungkan segelintir perusahaan swasta bukan masyarakat umum. Dibuktikan pula melalui analisis sejarah ekonomi Erich Schiff, bahwa tidak benar bahwa kalau patent tidak dilindungi maka inovasi akan terhambat. Dicontohkan bahwa Swiss dan Belanda, adalah dua negara yang dalam sejarahnya tidak mau menerapkan undang-undang patent, banyak industrinya yang mencuri patent, namun justru saat itulah berkembang penemuan-penemuan dan perusahaan-perusahaan besar dari sana. Beberapa perusahaan Swiss seperti Nestle dan Ciba; juga perusahaan Belanda seperti Unilever dan Philips, adalah perusahaan yang tumbuh karena 'berkah' mencuri patent atau tidak adanya aturan patent itu. Namun perusahaan-perusahaan itu sekarang berbalik melakukan lobby-lobby untuk memperketat aturan patent.

Kalau kita mengikuti pendapat kedua ini, maka kita akan melihat betapa justru perlindungan hak milik intelektual ini justru akan merugikan masyarakat luas. Kalau merugikan, maka Islam justru harus membuat aturan akan kerugian masyarakat ini minimal.

Tarik menarik di antara dua kubu inilah, paling tidak, bisa memberi gambaran kepada kita bagaimana kita bisa pintar-pintar mengambil keputusan.

Kalau dikembalikan kepada hukum Islam maka kita bisa memakai kaidah: "Idza Taa'radal Maslahatan, Quddima A'dlamu huma" yang maksudnya apabila terjadi dua maslahat yang bertentangan, maka ambillah yang memiliki kemaslahatan yang lebih besar. Masalahnya lagi, yang lebih besar menurut siapa?

Dalam stuktur masyarakat seperti sekarang ini, perusahaan-perusahaan besar terus akan berjuang untuk mempertahankan dominasi mereka demi kemaslahatan mereka sendiri. Negara-negara kuat akan terus mengkhotbahkan perdagangan bebas agar produk-produk negaranya bisa menorobos

Page 12: hukum hak cipta

masuk ke seluruh penjuru dunia, sambil mereka menutup rapat pasar dalam negerinya dalam bentuk subsidi, tariff dan non tariff barriers. Contohnya Amerika mengenakan tariff impor yang tinggi terhadap impor kapas hanya utuk melindungi petani kapasnya yg jumlahnya tidak sampai 25.000. Kalau Amerika mau membuka impor pasar kapasnya, maka nilainya itu jauh lebih tinggi daripada bantuan Amerika ke SELURUH negara Afrika. Tapi ia lebih senang 'membantu' negara-negara miskin di Afrika dan memproteksi pasar kapasnya, sambil berkhotbah kemana-mana tentang pentingnya 'liberalisasi perdagangan dunia' untuk kemaslahatan bersama, termasuk satu paket di dalamnya adalah TRIPs (trade related intellectual property rights). Ini baru contoh dari satu komoditi saja.

Saya pribadi memandang barang/konsep seperti 'intellectual property rights' dan konco-konconya (globalisasi, privatisasi, desentralisasi, bahkan ilmu-ilmu ekonomi yang melandasinya) bukanlah barang/konsep yang netral. Minimal untuk bisa menganggap netral atau polos perlu kita lucuti dulu 'pakaian kebesarannya'.

Selanjutnya terserah kepada kita, apakah menganggap Nabi Muhammad yang kita jadikan suri tauladan itu diutus kedunia untuk membela kaum mustadh'afien atau membela para pebisnis yang terus mengakumulasi keuntungan. Dengan kata lain Nabi itu 'The Prophet of The Oppressed' atau 'The Prophet of Private Profit'?

SalamAji Hermawan

Hak Cipta / Copy Right

Secara umum, hak atas suatu karya ilmiyah, hak atas merek dagang dan logo dagang merupakan hak milik yang keabsahaannya dilindungi oleh syariat Islam. Dan merupakan kekayaan yang menghasilkan pemasukan bagi pemiliknya. Dan khususunya di masa kini merupakan `urf yang diakui sebagai jenis dari suatu kekayaan dimana pemiliknya berhak atas semua itu. Boleh diperjual-belikan dan merupakan komoditi. (lihat Qoror Majma` Al-Fiqh Al-Islami no.5 pada Muktamar kelima 10-15 Desember 1988 di Kuwait).Namun dalam prakatek kesehariannya, ada juga hal-hal yang perlu diperhatikan selain demi kemashlahatan para pemilik hak cipta itu, yaitu hak para konsumen yang ternyata juga terhalang haknya untuk mendapatkan karya yang seharusnya.

Diantara pokok masalah itu antara lain :

1. Hak Cipta

Bila ditelusuri dalam sejarah Islam, hak cipta atas karya ilmiyah berupa tulisan maupun penemuan ilmiyah memang belum ada. Saat itu para ulama dan ilmuwan berkarya dengan tujuan satu, yaitu mencari ridha Allah SWT.?

Semakin banyak orang mengambil manfaat atas karyanya, semakin berbahagia-lah dia, karena dia melihat karyanya itu berguna buat orang lain. Dan semua itu selain mendatangkan pahala buat pembuatnya, juga ada rasa kepuasan tersendiri dari segi psikologisnya. Apa yang mereka

Page 13: hukum hak cipta

lakukan atas karya-karya itu jauh dari motivasi materi / uang. Sedangkan untuk penghasilan, para ulama dan ilmuwan bekerja memeras keringat. Ada yang jadi pedagang, petani, penjahit dan seterusnya. Mereka tidak menjadikan karya mereka sebagai tambang uang.

Karena itu kita tidak pernah mendengar bahwa Imam Bukhori menuntut seseorang karena dianggap menjiplak hasil keringatnya selama bertahun-tahun mengembara keliling dunia. Bila ada orang yang menyalin kitab shohihnya, maka beliau malah berbahagia.?

Begitu juga bila Jabir Al-Hayyan melihat orang-orang meniru / menjiplak hasil penemuan ilmiyahnya, maka beliau akan semakin bangga karena telah menjadi orang yang bermanfaat buat sesamanya.

Hak cipta barulah ditetapkan dalam masyarakat barat yang mengukur segala sesuatu dengan ukuran materi. Dan didirikan lembaga untuk mematenkan sebuah `penemuan` dimana orang yang mendaftarkan akan berhak mendapatkan royalti dari siapa pun yang meniru / membuat sebuah formula yang dianggap menjiplak.

Kemudian hal itu menjalar pula di tengah masyarakat Islam dan akhirnya dimasa ini, kita mengenalnya sebagai bagian dari kekayaan intelektual yang dimiliki haknya sepenuhnya oleh penemunya.

Berdasarkan `urf yang dikenal masyarakat saat ini, maka para ulama pada hari ini ikut pula mengabsahkan kepemilikan hak cipta itu sebagaimana qoror dari majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami di atas.

2. Monopoli Produk

Dalam perkembangan berikutnya, hak cipta dan hak paten ini berkembang kearah monopoli produk. Karena begitu sebuah perusahaan memegang hak paten atas formula produknya, secara hukum hanya mereka yang berhak untuk memproduksi barang tersebut atau memberikan lisensi.?

Dan otomatis, mereka pulalah yang menentukan harga jualnya. Bila ada orang yang menjual produk yang sama tanpa lisensi dari pihak pemegang paten, maka kepada mereka hanya ada dua pilihan, bayar royalti atau dihukum baik dilarang berproduksi, didenda atau hukum kurungan.

Masalahnya timbul bila pemegang paten merupakan perusahaan satu-satunya yang memproduksi barang tersebut di tengah masyarakt dan tidak ada alternatif lainnya untuk mendapatkan barang dengan kualitas sama, padahal barang itu merupakan hajat hidup orang banyak. Bila pemegang hak paten itu kemudian menetapkan harga yang mencekik dan tidak terjangkau atas barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, maka jelas telihat unsur ketidak-adilannya. Dengan kata lain, produsen itu ingin mencekik masyarakat karena mereka tidak punya pilihan lain kecuali membeli dengan harga yang jauh di atas kemampuan mereka.

Kasus pematenan pembuatan tempe beberapa waktu yang lalu oleh pihak asing adalah contoh hal yang naif tentang dampak negatif pematenan ini. Bagaimana mungkin tempe yang entah sudah

Page 14: hukum hak cipta

berapa generasi menjadi makanan orang Indonesia, tiba-tiba dipatenkan oleh orang dari luar negeri atas namanya.

Jadi bila nanti ada orang Indonesia membuat pabrik tempe yang besar dan bisa mengekspor, harus siap-siap diklaim sebagai pembajak oleh mereka. Karena patennya mereka yang miliki. Bayangkan bahwa setiap satu potong tempe yang kita makan, sekian persen dari harganya masuk ke kantong pemegang paten. Padahal mereka barangkali pemegang paten itu sendiri tidak pernah makan tempe atau tidak doyan tempe. Dalam kasus seperti ini, bagaimana mungkin kita dikatakan sebagai pencuri hasil karya mereka ? Padahal tempe adalah makanan kebangsaan kita, bukan ?

3. Pengkopian Di Era Digital

Di zaman industri maju saat ini, pengcopy-an sebuah karya apapun bentuknya adalah kerja yang sangat mudah dan murah. Apalagi bila kita bicara tekonologi digital.

Saat ini meski banyak undang-undang telah dibuat untuk membela pemilik copy right, pengcopy-an semua bentuk informasi dalam format digital adalah sebuah keniscayaan. Silahkan perhatiakan semua peralatan elektronik di sekeliling kita.

Semua PC dilengkapi dengan floppy disk dan kini CDRW sudah sangat memasyarakat, sarana paling mudah untuk meng-copy. Radio Tape dan VCR yang ada di rumah-rumah pun dilengkapi dengan tombol [rec] untuk merekam. Mesin photo copy dijual secara resmi dan itu adalah sarana pencopyan paling populer. Koran dan majalah kini terbit di Internet dimana seluruh orang dapat mem-browse, yang secara teknik semua yang telah dibrowse itu pasti tercopy secara otomatis ke PC atau ke Hardisk.

Artinya secara tekonologi, fasilitas untuk mengcopy suatu informasi pada sebuah media memang tersedia dan menjadi kelaziman. Dan pengcopy-an adalah sebuah hal yang tidak mungkin dihindari.

Bila dikaitkan dengan undang-undang hak cipta yang bunyinya cukup ‘galak’, semua itu menjadi tidak berarti lagi. Atau silahkan buka buku dan simaklah di halaman paling awal : “Dilarang keras menterjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit”.

Itu artinya anda dilarang mempotocopy sebuah buku walau pun hanya setengah halaman saja. Tapi lihatlah deretan kios photo copy yang tersebar di seluruh negeri, bukankah diantara kerja mereka adalah mempotocopy buku (sebagian atau seluruhnya) ?

4. Bentuk Pengcopy-an.

Sesungguhnya para produsen produk digital sudah yakin bahwa pengcopy-an seperti itu mustahil diberantas. Dan secara neraca keuangan, bila ada seorang mencopy sebuah program / software untuk dirinya, tidak akan berpengaruh.

Page 15: hukum hak cipta

Yang sebenarnya ingin dihindari adalah pengcopy-an secara massal untuk dijual lagi kepada konsumen. Bentuk inilah yang diistilahkan dengan pembajakan hak cipta. Dan memang untuk itulah undang-undang hak cipta dibuat untuk melindungi pordusen dari kerugian. Selain itu untuk menghindari pembajakan massal itu, mereka juga sudah memiliki strategi jitu, yaitu dengan menurunkan harga serendah-rendahnya mendekati harga produk bajakan.

Itu bisa dilihat bila kita bandingkan VCD original dan bajakan yang kini harganya tidak terpaut jauh, sedangkan dari segi kualitas suara dan gambar, tenju saja sangat berbeda jauh. Buat konsumen yang normal, pasti mereka lebih memilih VCD original ketimbang menonton versi bajakan yang di dalamnya ada gambar penonton keluar masuk, bersuara berisik atau layar yang berbentuk trapesium.

Tetapi kenapa pembajakan itu timbul ? Salah satu penyebabnya barangkali `ketakamakan` produsen sendiri yang memasang harga terlalu tinggi antara biaya dan harga jual di pasar. Bila VCD bajakan bisa dijual seharga Rp. 3.000,- perkeping, mengapa dulu VCD original mematok harga hingga Rp. 50.000,-. Ini jelas terlalu tinggi.

Maka wajar bila mereka sendiri yang kena getahnya dengan adanya pembajakan. Sekarang mereka sadar, dalam dunia digital, tidak mungkin mengambil keuntungan dengan memark-up harga jual, tetapi justru dengan memproduk barang sebanyak-banyaknya lalu menjual semurah-murahnya sehingga mengundang jumlah pembeli yang lebih banyak. Dengan cara ini maka pembajakan masal sudah tentu mati kutu.

Kesimpulan :

Kembali ke masalah hukum, maka menimbang persoalan di atas, bila seseorang mengcopy sebuah program khusus untuk pribadi karena harganya tidak terjangkau sementara isinya sangat vital dan menjadi hajat hidup orang banyak, maka banyak ulama yang memberikan keringanan. Namun bila seseorang membeli mesin pengcopy massal lalu `membajak` program tersebut secara massal dimana anda akan mendapatkan keuntungan, disitulah letak keharamannya.

Hukum Islam sendiri pada hari ini mengakui ada hak cipta sebagai hak milik atau kekayan yang harus dijaga dan dilindungi. Dan membajak atau menjiplak hasil karya orang lain termasuk bagian dari pencurian atau tindakan yang merugikan hak orang lain. Hukum Islam memungkinkan dijatuhkannya vonis bersalah atas orang yang melakukan hal itu dan menjatuhinya dengan hukuman yang berlaku di suatu sistem hukum.

Namun memang patut disayangkan bahwa sebagian umat Islam masih belum terlalu sadar benar masalah hak cipta ini, sehingga justru di negeri yang paling banyak jumlah muslimnya ini, kasus-kasus pembajakan hak cipta sangat tinggi angkanya. Barangkali karena masalah hak cipta ini memang masih dianggap terlalu baru dan kurang banyak dibahas pada kitab-kitab fiqih masa lampau.

Hukum Barang Bajakan

Asalamu’alaikum Wr. Wb.

Page 16: hukum hak cipta

Ustadz Dr. Setiawan Budi Utomo uaang saya hormati, perkenankanlah saya menanyakan masalah mu’amalah yang terkait dengan barang-barang ilegal.

Bagaimana kita menyikapi pembajakan, baik itu barang elektronika, CD, program komputer dan lain sebagainya. Sedangkan kita tahu bersama, contohnya CD, ketika kita menggunakan aplikasi yang asli tidak terbayangkan besarnya ongkos yang harus kita keluarkan. Sedangkan dengan menggunakan CD bajakan, aplikasi yang akan kita gunakan bisa kita dapatkan dengan harga yang murah?

Abdullah, Jakarta

Jawaban

Pada akhir-akhir ini sering terjadi pelanggaran terhadap hak cipta dalam bidang ilmu, seni, dan sastra (intelectual property). Pelanggaran pada hak cipta terutama yang berupa pembajakan buku-buku, kaset-kaset yang berisi musik dan lagu, dan film-film dari dalam dan luar negeri, sudah tentu menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, tidak hanya menimpa kepada para pemegang hak cipta (pengarang penerbit, pencipta musik/lagu, perusahaan film, dan perusahaan rekaman kaset, dan lain-lain), melainkan juga negara yang dirugikan, karana tidak memperoleh pajak penghasilan atas keuntungan yang diperoleh dari pembajak tersebut.

Pembajakan terhadap intelektual property (karya ilmiah, dan lain-lain) dapat mematikan gairah kreatifitas para pencipta untuk berkarya, yang sangat diperlukan untuk kecerdasan kehidupan bangsa dan akselerasi pembangunan negara. Demikian pula pembajakan terhadap hak cipta dapat merusak tatanan sosial, ekonomi dan hukum di negara kita. Karena itu tepat sekali diundangkannya undang-undang No.6 tahun 1982 tentang hak cipta yang dimaksudkan untuk melindungi hak cipta dan membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang ilmu, seni dan sastra.Namun di dalam pelaksanaan undang-undang tersebut masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak cipta. Berdasarkan laporan dari berbagai asosiasi profesi yang berkaitan erat dengan hak cipta di bidang buku dan penerbitan, musik dan lagu, film dan rekaman video, dan komputer, bahwa pelanggaran terhadap hak cipta masih tetap berlangsung; bahkan semakin meluas sehingga sudah mencapai tingkat yang membahayakan dan mengurangi kreativitas untuk mencipta, serta dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam arti seluas-luasnya.

Karena itu lahirlah UU No.7 Tahun 1987 tentang hak cipta yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan materi UU No.6 Tahun 1982 tentang hak cipta agar lebih mampu memberantas/menangkal pelanggaran-pelanggaran terhadap hak cipta. Di bawah ini sedikit ilustrasi tentang perbandingan antara UU No.6 /1982 dan UU No.7/19987 tentang hak cipta.

Dengan diklasifikasinya pelanggaran terhadap hak cipta sebagai tindakan pidana biasa, berarti bahwa tindakan-tindakan negara terhadap para pelanggar hak cipta tidak lagi semata-mata didasarkan atas pengaduan dari pemegang hak cipta. Tindakan negara akan dilakukan baik atas pengaduan pemegang hak cipta yang bersangkutan maupun atas dasar laporan/informasi dari

Page 17: hukum hak cipta

pihak lainnya. Karena itu aparatur penegak hukum diminta untuk bersikap lebih aktif dalam mengatasi pelanggaran hak cipta itu.

Hak Cipta Menurut Pandangan Islam

Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang mewajibkan penyebarluasan ilmu dan ajaran agama seperti dalam Surat Al-Maidah ayat 67 dan Yusuf ayat 108. Dan di samping itu terdapat pula beberapa ayat yang melarang (haram), mengutuk dan mengancam dengan azab neraka pada hari akhirat nanti kepada orang-orang yang menyembunyikan ilmu, ajaran agama, dan mengkomersialkan agama untuk kepentingan dunia kehidupan duniawi, seperti dalam surat Ali Imran ayat 187; Al- Baqoroh ayat 159-160; dan ayat 174-175.

Kelima ayat dari surat Ali Imran dan Al-Baqoroh tersebut menurut historisnya memang berkenaan dengan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani). Namun sesuai dengan kaidah hukum Islam “yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafalnya (redaksi), bukan kekhususan sebabnya.”

Maka peringatan dan ketentuan hukum dari kelima ayat tersebut di atas juga berlaku bagi umat Islam. Artinya, umat Islam wajib menyampaikan ilmu dan ajaran agama (da’wah Islamiyah) kepada masyarakat dan haram menyembunyikan ilmu dan ajaran agama, serta mengkomersilkan agama untuk kepentingan duniawi semata (Vide Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, vol. II/ 51)

Demikian pula terdapat beberapa hadits yang senada dengan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut di atas, antara lain hadits Nabi riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Hakim dari Abu Hurairah ra.:“barang siapa ditanyai tentang sesuatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan diberi pakaian kendali pada mulutnya dari api neraka pada hari kiamat.”

Yang dimaksud dengan ilmu yang wajib dipelajari (fardhu ‘ain) dan wajib pula disebarluaskan ialah pokok-pokok ajaran Islam tentang akidah, ibadah, mu’amalah dan akhlak. Di luar itu, hukumnya bisa jadi fardhu kifayah, sunnah atau mubah, tergantung pada urgensinya bagi setiap individu dan umat (al-Zabidi, Taisirul Wusul ila Jami’ al-Ushul, vol. III, Cairo, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1934, hlm. 153)

Mengenai hak cipta seperti karya tulis, menurut pandangan Islam tetap pada penulisnya. Sebab karya tulis itu merupakan hasil usaha yang halal melalui kemampuan berfikir dan menulis, sehingga karya itu menjadi hak milik pribadi. Karena itu karya tulis itu dilindungi hukum, sehingga bisa dikenakan sanksi hukuman terhadap siapapun yang berani melanggar hak cipta seseorang. Misalnya dengan cara pencurian, penyerobotan, penggelapan, pembajakan, plagiat dan sebagainya.

Islam sangat menghargai karya tulis yang bermanfaat untuk kepentingan agama dan umat, sebab itu termasuk amal saleh yang pahalanya terus menerus bagi penulisnya, sekalipun ia telah meninggal, sebagaimana dalam hadits Rasul riwayat Bukhari dan lain-lain dari Abu Hurairah ra.:“apabila manusia telah meninggal dunia, terputuslah amalnya, kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan dia.”

Page 18: hukum hak cipta

Karena hak cipta itu merupakan hak milik pribadi, maka agama melarang orang yang tidak berhak (bukan pemilik hak cipta) memfotokopi, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk bisnis. Demikian pula menterjemahkannya ke dalam bahasa lain dan sebagainya, juga dilarang, kecuali dengan izin penulisnya atau penerbit yang diberi hak untuk menerbitkannya.

Perbuatan menfotokopi, mencetak, menterjemahkan, membaca dan sebagainya terhadap karya tulis seseorang tanpa izin penulis sebagai pemilik hak cipta atau ahli warisnya yang sah atau penerbit yang diberi wewenang oleh penulisnya, adalah perbuatan tidak etis yang dilarang oleh Islam. Sebab perbuatan semacam itu bisa termasuk kategori ‘pencurian’ kalau dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan diambil dari tempat penyimpanan karya tulis itu; atau disebut ‘perampasan/ perampokan’ kalau dilakukan dengan terang-terangan dan kekerasan; atau ‘pencopetan’ kalau dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan di luar tempat penyimpanannya yang semestinya; atau ‘penggelapan/khianat’ kalau dilakukan dengan melanggar amanat/perjanjiannya, misalnya, penerbit mencetak 10.000 eksemplar padahal menurut perjanjian hanya mencetak 5.000 eksemplar, atau ghasab kalau dilakukan dengan cara dan motif selain tersebut di atas.

Adapun dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan dasar melarang pelanggaran hak cipta dengan perbuatan-perbuatan tersebut di atas antara lain:

1. al-Qur’an Surat Al-Baqoroh:188 “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil….”

2. Hadits Nabi riwayat Daruqutni dari Anas (hadits marfu’) : “tidak halal harta milik seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.”

3. Hadits Nabi:“Nabi bertanya, ‘apakah kamu tahu siapakah orang yang bangkrut (muflis, Arab) itu?’ jawab mereka (sahabat): ‘orang yang bangkrut di kalangan kita ialah orang yang sudah tidak punya uang dan barang sama sekali’. Kemudian Nabi bersabda: ‘sebenarnya orang bangkrut (bangkrut amalnya) dari umatku itu ialah orang yang pada hari kiamat nanti membawa berbagai amalan yang baik, seperti shalat, puasa dan zakat. Ia juga membawa berbagai amalan yang jelek, seperti memaki-maki, menuduh-nuduh, memakan harta orang lain, membunuh dan memukul orang. Lalu amalan-amalan baiknya diberikan kepada orang-orang yang pernah dizalimi/dirugikan dan jika hal ini belum cukup memadai, maka amalan-amalan jelek dari mereka yang pernah dizalimi itu ditransfer kepada si zalim itu, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka’.”

Ayat dan kedua hadits di atas mengingatkan umat Islam agar tidak memakai/menggunakan hak orang lain, dan tidak pula memakan harta orang lain, kecuali dengan persetujuannya. Pelanggaran terhadap hak orang lain termasuk hak cipta juga bisa termasuk ke dalam kategori muflis, yakni orang yang bangkrut amalnya nanti di akhirat.

Islam menghormati hak milik pribadi, tetapi hak milik pribadi itu bersifat sosial, karena hak milik pribadi pada hakikatnya adalah hak milik Allah yang diamanatkan kepada orang yang kebetulan memilikinya. Karenanya, karya tulis itu pun harus bisa dimanfaatkan oleh umat, tidak boleh dirusak, dibakar atau disembunyikan oleh penulisnya.

Page 19: hukum hak cipta

Penulis atau penerbit tidak dilarang oleh agama mencamtumkan “dilarang mengutip dan/atau memperbanyak dalam bentuk apapun bila tidak ada izin tertulis dari penulis/penerbit”, sebab pernyataan tersebut dilakukan hanya bertujuan untuk melindungi hak ciptanya dari usaha pembajakan, plagiat dan sebagainya yang menurut peraturan perundang-undangan di negeri kita juga dilindungi (vide UU No. Tahun 1982 jo UU NO.7 Tahun 1987 tentang hak cipta). Jadi, pernyataan tersebut jelas bukan bermaksud untuk menyembunyikan ilmunya, sebab siapapun dapat memperbanyak, mencetak dan sebagainya setelah mendapat izin atau mengadakan perjanjian dengan penulis/ahli waris atau penerbitnya.

Jumat, 07/11/2008 11:21 WIB | email | print