Hubungan Sistem Pemetaan Penangkapan Ikan Dengan Pengantar Ekonomi Sdp

83
HUBUNGAN SISTEM PEMETAAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN PENGANTAR EKONOMI SDP Di susun Oleh : Nama : Muhammad Tawakkal Nim : 1211101010040 Jurusan : Ilmu Kelautan ILMU KELAUTAN FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH 2015

description

habitat

Transcript of Hubungan Sistem Pemetaan Penangkapan Ikan Dengan Pengantar Ekonomi Sdp

HUBUNGAN SISTEM PEMETAAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN PENGANTAR EKONOMI SDPDi susunOleh :

Nama : Muhammad Tawakkal Nim: 1211101010040Jurusan : Ilmu Kelautan

ILMU KELAUTANFAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANANUNIVERSITAS SYIAH KUALABANDA ACEH2015

PENDAHULUAN

Pesisir merupakan wilayah yang rentan terhadap perubahan, baik perubahan yang terjadi karena proses alami dan perubahan karena campur tangan manusia. Kegiatan - kegiatan di kawasan pesisir seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya (tambak), pelabuhan, pariwisata, permukiman dan suaka alam dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem dangeomorfologi kawasan pesisir. Konversi lahan dan pemanfaatan lahan di kawasan pesisir menjadi salah satu penyebab utama terjadinya permasalahan pada kawasan pesisir yang mempengaruhi penyimpangan tata guna lahan di kawasan tersebut.Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic country) yang terdiri dari 17.506 pulau dengan luas wilayah perairan yakni kira-kira 5,3 juta km 2 dan panjang pantai adalah 81.000 km (telah berkurang setelah pisahnya Timor-Timur). Sebagai negara kepulauan, wilayah pesisir Indonesia memiliki sumberdaya kelautan (SDK) yang sangat melimpah. Salah satunya adalah potensi sumberdaya perikanan (SDI) laut. Potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia yakni sebesar 6,7 juta ton per tahun. Potensi sumberdaya perikanan berperan penting sebagai sumber devisa bagi negara, penyokong penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta menjadi sumber penghidupan bagi penduduk yang menempati wilayah pesisir terutama penduduk yang mata pencahariannya sebagai nelayan. Sebelum diberlakukan otonomi daerah, peranan pemerintah pusat sangat mendominasi dalam usaha pemanfaatan sumberdaya. Hampir semua kebijakan yang mengatur pengelolaan sumberdaya, termasuk sumberdaya perikanan, bersifat sentralisme dan antipluralisme hukum adat/aturan lokal. Sentralisme kebijakan dan anti-pluralisme hukum tidak kalah destruktifnya, karena keduanya secara sinergis telah menciptakan konflik antar pelaku perikanan dan tumpang tindihnya wilayah penangkapan ikan (Kusumastanto dan Solihin 2004). Disamping itu, juga mengakibatkan terjadinya degradasi dan mengabaikan kepentingan-kepentingan lokal. Perikanan merupakan sistem yang kompleks karena banyak pihak yang berkepentingan untuk memanfaatkannya. Pihak yang paling vital adalah nelayan kecil yang merupakan lapisan yang cukup banyak. Mereka ini sebagian hidup di wilayah terpencil dengan alternatif pekerjaan yang terbatas sehingga mereka hidup dalam kemiskinan. Dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar (baik nelayan skala usaha menengah maupun nelayan kecil) merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia (Sumintarsih et al. 2005).2 Sumberdaya perikanan-kelautan yang sifatnya lintas wilayah, perlu mendapatkan perhatian yang cermat mengingat kemungkinan timbulnya konflik kewenangan sangat terbuka. Sumberdaya ini telah lama diketahui membawa permasalahan yang kompleks terkait dengan hak kepemilikannya (property rights) 1 . Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, permasalahan banyak muncul seperti kesalahpahaman dalam menginterpretasikan makna dari batasan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Di tingkat instansi pemerintah kewenangan dimaknai sebagai kedaulatan teritorial laut yang batasannya 12 mil untuk provinsi dan 4 mil laut untuk kabupaten/kota, memunculkan gagasan dari kalangan pemerintah dan nelayan yang salah satunya berupa gagasan untuk membagi perairan laut Indonesia menjadi wilayah eksklusif provinsi atau bahkan kabupaten yang melarang nelayan daerah lain memasuki wilayah perairannya. Wajar jika argumen seperti ini muncul karena selama ini (pra otonomi daerah) kekayaan laut di suatu wilayah hasilnya banyak dinikmati oleh nelayan daerah lain, sementara nelayan dan pemerintah daerah setempat nyaris tidak mendapatkan bagian apapun. Akibatnya antar kabupaten/kota seringkali terjadi konflik yang bersifat vertikal pada tataran birokrasi. Sedangkan di tingkat masyarakat, yaitu nelayan ditafsirkan sebagai pengkavlingan laut yang ternyata disinyalir telah menimbulkan konflik horisontal, misalkan konflik dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan antara nelayan tradisional dengan nelayan pendatang akibat dikukuhkannya kembali aturan-aturan/nilai-nilai lokal pemanfaatan sumberdaya yang lama tenggelam pada masa orde baru. Meskipun demikian, konflik horisontal tersebut belum tentu ada hubungannya dengan otonomi daerah karena sudah berlangsung sejak dulu (Satria et al. 2002). Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dan terjadi ketika tujuan dalam masyarakat tidak sejalan (Fisher et al. 2001). Konflik nelayan adalah ketidakharmonisan diantara pengguna sumberdaya 1 Kekeliruan antara konsep common property dan open access dimana common property sering disalahartikan sebagai open access (Charles 2001) dari munculnya tragedy of the commons (Hardin 1968 diacu dalam Charles 2001).3 perikanan (nelayan) karena belum adanya atau dilanggarnya norma dan kesepakatan dalam prinsip pemanfaatan sumberdaya perikanan (Anonim 2001). Konflik dapat muncul karena adanya kesenjangan antara tujuan, sasaran, perencanaan, dan fungsi antara berbagai pihak yang terkait. Akar permasalahan konflik ini sering berasosiasi dengan faktor sosial, ekonomi, budaya dan bio-fisik yang mempengaruhi kondisi lingkungan pesisir. Status pemanfaatan sumberdaya perikanan pada wilayah Laut Selat Madura, provinsi Jawa Timur diduga sudah melebihi kapasitas kemampuan stok sumberdaya ikan untuk melakukan pemulihan secara alami (PUSLITKAN 2004). Konsentrasi aktivitas penangkapan ikan di perairan ini mengindikasikan suatu kawasan dengan jumlah nelayan yang padat, namun sumberdaya laut yang tersedia terbatas. Di wilayah laut lainnya, seperti pada wilayah perairan Selatan Jawa Timur yang termasuk dalam kawasan perairan Samudera Hindia dan merupakan wilayah ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), status pemanfaatan sumberdaya perikanannya masih dalam kondisi layak tangkap dimana tingkat penangkapan ikan masih belum optimal. Berbagai kasus konflik kenelayanan dalam usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan, misalnya pada kasus di wilayah perairan Selat Madura terjadi karena sumberdaya perikanan merupakan public property2 yang akan mendorong setiap orang mengeksploitasi secara bebas/tanpa pembatasan akses untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Pada saat hasil tangkapan memberikan keuntungan ekonomi akan terjadi peningkatan eksploitasi (free entry) secara bebas. Pada kondisi ini sumberdaya mengalami tekanan karena eksploitasi berlebih (overfishing) yang akhirnya berdampak pada terpuruknya ekonomi nelayan skala kecil, disamping juga menyebabkan kelangkaan sumberdaya ikan. Pada saat yang bersamaan kemungkinan nelayan mengalami kesulitan beralih pada mata pencaharian lain sebagai pengganti usaha penangkapan karena akan berhadapan dengan resiko dan ketidakpastian untuk berinvestasi

Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia

Indonesia berada di posisi 94o 40' BT141o BT dan 6o LU11o LS, terletak di antaraSamudera Pasifik dan Samudera Hindia; dan antara Benua Asia dan Benua Australia, sertaterletak di atas tiga lempeng aktif yaitu lempeng Indo Australia, Eurasia, dan Pasifik.Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki sekitar 17.508 pulau, dan garispantaisepanjang81.290km,yangdisatukanolehlautseluas5,8jutakm2,denganwilayahdaratan seluas 1.860.359,67 km2. Luas laut Indonesia dapat dirinci sebagai berikut :NoPerairanLuas(km2)1.PerairanKepulauan/LautNusantara2,3juta2.PerairanTerritorial0,8juta3.PerairanZEEIndonesia2,7juta

Jumlah5,8 juta

Berdasarkan konvensi hukum laut (United Nations Convention on the Law of theSea/UNCLOS), perairan dibagi dalam beberapa zona seperti gambar di bawah.

TUJUAN DAN KEGUNAAN

1. Mengidentifikasi hubungan antara hasil tangkapan ikan dengan faktor oseonografi di Sebuah Perairan 2. Memetakan daerah potensial penangkapan ikan dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis di suatu perairan

3. Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai informasi kepada nelayan, pelaku industri penangkapan ikan serta pemerintah setempat mengenai kondisi daerah penangkapan ikan di suatu perairan sehingga potensinya dapat dimanfaatkan secara optimall dan berkelanjutan oleh masyarakat. 4. Mengetahui penerapan dan aplikasiSystem Informasi Geografi (SIG)terhadap bidang kelautan dan pengembangan wilayah pesisir.

5.Mengetahui proses dan langkah-langkah mengoptimalkan pembangunan maupun pengelolaan wilayah wilayah pesisir kelautan.

6.Mengetahui aplikasi software SIG dalam bidang pariwisata dan budidaya.

PENJELASAN

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) adalah sistem yang dapat digunakan untuk menangkap, menyimpan, menganalisa, serta mengelola data dan karakteristik yang berhubungan yang secara spasial mengambil referensi kebumi.Sistem informasi geografi bukan sekedar sistem komputer untuk pembuatan peta, melainkan juga merupakan alat analisis, Keuntungan alat analisis adalah memberi kemungkinan untuk mengidentifikasi hubungan spasial diantarafeaturedata geografis dalam bentuk peta.

Aplikasi SIG berlajan sangat lamban berkembang di sektor perikanan dan kelautan, hal ini disebabkan kompleksitas proses yang terjadi di laut ditunjukkan komponen yang harus diperhatikan ketika menerpkan SIG dalam sektor perikanan dan kelautan. Teknologi ini juga dapat mendeskripkan karaketristik objek pada peta dan menentukan posisi kordinatnya, melakukan query dan analysis spasial serta mampu menyimpan, mengelola, mengupdate data secara terrorganisir dan efisien.

Deskripsi SIG (Sistem Informasi Geografis)

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) adalah sistem yang dapat digunakan untuk menangkap, menyimpan, menganalisa, serta mengelola data dan karakteristik yang berhubungan yang secara spasial mengambil referensi kebumi. Lebih jauh, system ini dapat didefinisikan sebagai system computer untuk memadukan, menyimpan, membagi, serta menampilkan informasi yang mengambil acuan geografis.Dalam bidang perairan, ilmu ini memiliki peranan yang sangat penting. Menata ruang suatu wilayah membutuhkan dukungan data dan informasi, baik spasial maupun non spasial, yang akurat dan terkini, terutama data dan informasitemati yang mengilustrasikan kondisi suatu wilayah. Perubahan kondisi wilayah pada daerah yang akan disusun rencana tata ruangnya, perlu dipahami dengan baik oleh para perencana, karena kualitas rencana tata ruang sangat ditentukan oleh pemahaman para perencana terhadap kondisi fisik wilayah perencanaan.

Sistem informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu piranti lunak yang banyak digunakan dalam penentuan keputusan spasial, dengan menganalisis data-data spasial (dalam bentuk peta), data lapangan dan data sosial ekonomi. Karena kompleksnya masalah dalam penentuan kawasan konservasi maka dalam pengambilan keputusan spasial juga harus menggunakan metode yang kompleks. Salah satu metode yang selama ini yang sering digunakan dalan penentuan keputusan dalam bidang manajemen dan pengelolaan sumberdaya adalah metode Multicriteria Decision Making.

Komponen utama Sistem Informasi Geografis dapat dibagi kedalam lima komponen utama yaitu:1.Perangkat keras (Hardware)2.Perangkat Lunak (Software)3.Pemakai (User)4.Data5.Metode

2.4 Aplikasi SIG Terhadap Wilayah Lautan dan Pesisir

1.Deteksi daerah potensial penangkapan ikanSalah satu factor penentu keberhasilan operasi penangkapan ikan adalah tersedianya informasi daerah penangkapan ikan yang potensial(potential fishing ground). Nelayan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencari gerombolan ikansehingga trip operasi menjadi lebih lama dan biaya operasi menjadi lebih mahal. Lokasi keberadaan ikan dapat diduga dari kondisi perairan yang merupakan habitat suatu spesies ikan, yang biasanya digambarkan dengan sebaran parameter oseanografi. Salah satu indicator untuk mengetahui keberadaan spesies ikan pelagis seperti tongkol adalah suhu permukaan laut. Pada umumnya setiap spesies ikan termasuk tongkol memiliki kisaran suhu optimum untuk penyebarannya. Ikan memilih suhu tertentu untuk hidup sehingga akan mempengaruhi penyebaran dan keberadaannya. Oleh karena itu suhu optimum sangat disenangi ikan tongkol yang mungkin bervariasi sesuai dengan perubahan temporal dan spasial perlu diketahui (Simbolon, 2006).

Alat yang digunakan dalam pengindraan jauh adalah berupa sensor , umumnya sensor akan dipasang pada wahanayaitu salah satunya dengan menggunakan wahana satelit . Penggunaan satelit akan memungkinkan untuk memonitor daerah yang sulit dijangkau dengan metode dan wahana lain. Satelit dengan orbit tertentu dapat memonitor seluruh permukaan bumi. Satelit-satelit yang digunakan dalam pengindraan jauh terdiri dari satelit lingkungan, cuaca dan sumberdaya alam.

2.Pemetaan daerah ekosistemDengan metode pembuatan software dan system informasi mengenai pulau-pulau kecil yang ada diwilayah Indonesia menggunakan pendekatan atribut-atribut pulau-pulau kecil yang dibuat secara khusus untuk dapat diisi guna melengkapi inventarisasi informasi suatu pulau.

Pesisir mempunyai arti dan fungsi tersendiri karena pesisir merupakan wilayah yang membatasi antara laut dan darat. Pesisir merupakan transisi antara ekosistem dan laut dengan ekosistem kehidupan darat. Pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir belum dilaksanakan oleh pemerintah daerah secara optimal karena hal ini sangat berhubungan dengan kewenangan yang dimilikinya. Sejalan dengan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, maka daerah akan mengelola dan memanfaatkan daerah pesisir secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah. Dewasa ini, penerapan teknologi informasi semakin berkembang pada segala aspek kehidupan masyarakat. Salah satunya dimanfaatkan untuk memberikan informasi dan pemetaan mengenai potensi daerah pesisir dalam bentuk sistem informasi geografis. Dengan penerapan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk pemetaan potensi daerah pesisir, dapat membantu Pemerintah Daerah Bali yang khusus ditujukan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Bali dalam hal pemetaan.

3.Kelayakan lokasi untuk pengembangan, misalnya pariwisata dan budidaya perikananSektor pariwista bahari merupakan sektor yang paling efisien dalam bidang kelautan, sehingga pengembangan kepariwisataan bahari perlu mendapatkan prioritas. Pembangunan wisata bahari dapat dilaksanakan melalui pemanfaatan obyek dan daya tarik wisata secara optimal. Berbagai obyek dan daya tarik wisata yang dapat dimanfaatkan adalah wisata alam (pantai), keragaman flora dan fauna (biodiversity). seperti taman laut wisata alam (ecotourism), wisata bisnis wisata budaya, maupun wisata olah raga. Dengan potensi wisata bahari yang tersebar di hampir sebagian besar kabupaten/kota yang memiliki pesisir akan membawa dampak langsung yang sangat besar kepada pendapatan masyarakat lokal dan pemerintah daerah.

Pengembangan budidaya laut merupakan usaha meningkatkan produksi dan sekaligus merupakan langkah pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang dalam rangka mengimbangi pemanfaatan dengan cara penangkapan. Usaha budidaya merupakan salah satu bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perairan yang berwawasan lingkungan. Penggunaan teknologi SIG dapat membantu analisis untuk memilih lokasi yang tepat berdasarkan data pengukuran parameter fisika dan kimia perairan.

Penggunaan SIG dibidang perikanan antara lain: 1) Perencanaan zonasi sumberdaya air; 2) Pemetaan zonasi spesies biota air; 3) Pengaruh lingkungan terhadap produksi ikan secara intensif; 4) Identifikasi daerah dimana inovasi kegiatan perikanan kemungkinan menyebar. Penggunaan SIG sebagai teknik untuk analisis sumberdaya dan pemilihan lokasi berperan penting dalam pengembangan budidaya (Aguilar-Manjarrez dan Ross 1993). SIG telah banyak diterapkan untuk sektor budidaya skala regional atau nasional (Kapetskyet al.1988; Meaden dan Kapetsky 1991; Nathet al. 2000). Sejumlah penelitian telah mengeksploitasi kapasitas pemodelan dari SIG, yaitu pembangunan model lokasi budidaya ikan di Red River Delta, Vietnam (Tran dan Demaine 1996), pembangunan model lokasi budidaya udang di Meksiko (Aguilar-Manjarrez 1996), manajemen akuakultur di pesisir Thailand (Jarayabhand 1997), dan lokasi potensi budidaya udang dan ikan di Bangladesh (Salam dan Ross 2000). Manajemen sumberdaya perairan suatu area yang belum terintegrasi dengan ekonomi pedesaan, dapat dibangun untuk memenuhi peningkatan permintaan terhadap protein ikan di suatu area. Dalam hal tersebut, pembentukan berdasarkan suatu pengambilan keputusan terstruktur dan skema perencanaan dapat dilayani dengan baik oleh SIG.

PEMBAHASAN

Hubungan Aplikasi SIG dengan Potensi Penangkapan IkanMasalah yang umum dihadapi adalah keberadaan daerah penangkapan ikan yang bersifat dinamis, selalu berubah/berpindah mengikuti pergerakan ikan. Secara alami, ikan akan memilih habitat yang sesuai, sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi kondisi oseonografi perairan. Dengan demikian daerah potensial penangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh factor oseonografi perairan. Kegiatan penangkapan ikan akan lebih efektif dan efisien apabila daerah penagkapan ikan dapat diduga terlebih dahulu, sebelum armada penagkapan ikan berangkat dari pangkalan. Salah satu cara untuk mengetahui daerah potensial penangkapan ikan adalah melalui study daerah penangkapan ikan. Pada umumnya, aktivitas penangkapan ikan sebuah perairan tentu nya menggunakan alat tangkap pole and line. Dalam operasi penangkapan ikan , Salah satu kendala dalam berburu ikan adalah lemahnya informasi fishing ground baik secara spasial maupun temporal. Kondisi iklim global yang berubah-ubah semakin menyulitkan dalam menentukan fishing ground ikan Cakalang, sehingga perburuan Cakalang menjadi kurang efektif, boros waktu dan bahan bakar namun hasilnya kurang optimal. Kegiatan penangkapan ikan akan menjadi lebih efisien dan efektif apabila daerah penangkapan ikan dapat diduga terlebih dahulu, sebelum armada penangkapan ikan berangkat dari pangkalan.

1. Penyebaran Ikan

Penyebaran ini dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu penyebaran horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan penyebaran vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan. Penyebaran Cakalang sering mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus garis konvergensi diantara arus dingin dan arus panas merupakan daerah yang kaya akan organisme dan diduga daerah tersebut merupakan fishing ground yang sangat baik untuk perikanan tuna dan Cakalang. Dalam perikanan tuna dan cakalang pengetahuan tentang sirkulasi arus sangat diperlukan, karena kepadatan populasi pada suatu perairan sangat berhubungan dengan arus-arus tersebut (Nakamura, 1969). Menurut Uktolseja et al (1989), penyebaran Cakalang di perairan Indonesia meliputi samudra Hindia (perairan barat Sumatra, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara), Perairan Indonesia bagian timur (Laut Sulawesi, Maluku, Arafuru, Banda, Flores dan Selat Makassar) dan samudra Fasifik (perairan utara Irian Jaya) dengan daerah penyebaran terbesar disekitar daerah khatulistiwa Selain itu pula, distribusi ikan Cakalang sangat ditentukan oleh berbagai factor, baik factor internal ikan itu sendiri maupun factor eksternal dari lingkungan. Factor internal meliputi jenis (genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku (behavior). Perbedaan genetis ini menyebakan perbedaan dalam morfologi, respon fisiologis dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Factor eksternal merupakan factor lingkungan, diantaranya adalah parameter oseonografi sperti suhu, salinitas, kedalaman, arus, dan kandungan klorofil-A sebagai produktifitas primer (Supadiningsih & Rosana, 2004) Kedalaman renang cakalang bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya tuna dan cakalang dapat tertangkap pada kedalaman 0-400 m. salinitas perairan disukai berkisar 32-35 ppt atau diperairan oseanik. Suhu perairan berkisar 17-310C (Supadiningsih & Rosana, 2004) 2. Musim Penangkapan

Secara garis besarnya, Cakalang mempunyai daerah penyebaran dan migrasii yang luas, yaitu meliputi daerah tropis dan sub-tropis. Daerah penangkapan merupakan salah satu factor penting yang dapat menentukan suatu operasii penangkapan. Dalam hubungannya dengan alat tangkap, maka daerah penangkapan tersebut haruslah baik dan dapat menguntungkan. Dalam arti ikan berlimpah, bergerombol, daerah aman, tidak jauh dari pelabuhan dan alat tangkap mudah dioperasikan. (Waluyo, 1987). Lebih lanjut Paulus (1986), menyatakan bahwa dalam memilih dan menentukan daerah penangkapan, harus memenuhi syarat-syarat antara lain : Kondisi daerah tersebut harus sedemikian rupa sehingga ikan dengan mudah datang dan berkumpul. Daerahnya aman dan alat tangkap mudah dioperasikan. Daerah tersebut harus daerah yang secara ekonomis menguntungkan.

Hal ini tentu saja erat hubungannya dengan kondisi oseanografi dan meteorologist suatu perairan dan faktor biologi dari ikan tuna itu sendiri. Musim penangkapan tuna di perairan Indonesia bervariasi. Musim penangkapan tuna di suatu perairan belum tentu sama dengan perairan yang lain. Nikijuluw (1986), menyatakan bahwa penangkapan tuna di perairan Indonesia dapat dilakukan sepanjang tahun dan hasil yang diperoleh berbeda dari musim ke musim dan bervariasi menurut lokasi penangkapan. Bila hasil tangkapan lebih banyak dari biasanya disebut musim puncak dan apabila dihasilkan lebih sedikit dari biasanya disebut musim paceklik. B. Parameter Oseonografi 1. Salinitas

Salinitas merupakan faktor kimiawi perairan yang penting bagi organisme yang hidup didalamnya. Hampir sama dengan suhu perubahan keadaan salinitas akan mengakibatkan migrasi ikan. Mengingat suatu spesies ikan cenderung untuk menuju tempat yang memiliki kesesuaian salinitas yang disukainya. Salinitas Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air sungai. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kira-kira setebal 50-70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Di lapisan dengan salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen, baru dibawahnya terdapat lapisan pegat dengan degradasi densitas yang besar yang menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah (Nontji, 1987). 2. Kedalaman Perairan

Perairan indonesia umumnya dibagi dua yakni perairan dangkal yang berupa paparan dan perairan laut dalam. Paparan atau perairan laut dangkal terhitung mulai garis sudut terendah hingga pada kedalaman sekitar 200 m, yang kemudian biasanya disusul dengan lereng yang lebih curam kearah laut (Nontji, 1993). Hutabarat dan evans (1986) mengemukakan bahwa kedalaman berhubungan erat dengan stratifikasi suhu vertical, penetrasi cahaya, densitas dan kandungan zat-zat hara. 3. Suhu

Suhu adalah salah satu faktor penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Pada umumnya bagi organisme yang tidak dapat mengatur suhu tubuhnya memiliki proses metabolisme yang meningkat dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu 10 0C (Nybakken, 1992). Selanjutnya dikatakan walupun fluktuasi suhu air kurang bervariasi, tetapi tetap merupakan faktor pembatas kerana organisme air mempunyai kisaran toleransi suhu sempit (stenoterm). Perubahan suhu air juga akan mempengaruhi kehidupan dalam air. Selain itu suhu berpengaruh terhadap keberadaan organisme di perairan, banyak organisme termasuk ikan melakukan migrasi karena terdapat ketidak sesuaian lingkungan dengan suhu optimal untuk metabolisme.

4. Arus

Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut, maupun oleh gerakan bergelombang panjang, misalnya pasang surut. Di laut terbuka, arah dan kekuatan arus di lapisan permukaan sangat banyak ditentukan oleh angin. Arah arus permukaan memiliki hubungan yang erat dengan angin (Nontji, 1993) Dalam pengoperasian alat tangkap khususnya yang menggunakan jaring seperti purse seine, trawl, cantrang, bagan dan gillnet, faktor arus sangat mempengaruhi keberhasilan operasi penangkapan. Umumnya alat tangkap jaring hanya dapat memberikan toleransi terhadap kecepatan arus sampai kecepatan 3 knot. Misalnya pada purse seine, ketika kecepatan lebih dari 3 knot maka kegiatan pelingkaran akan sangat susah untuk dilaksanakan bahkan umumnya terjadi kegagalan (Sudirman dan Mallawa,2004) 5. Klorofil-a

Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya fitoplaknton pada suatu perairan tertentu dan dapat digunakan sebagai petunjuk produktivitas perairan. Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di Laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Namun pada daerahdaerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik massa air, dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan ( Presetiahadi, 1994).C. Sistem Informasi Geografis (SIG)

SIG merupakan suatu system informasi spasial berbasis computer yang mempunyai fungsi pokok untuk menyimpan, memanipulasi, dan menyajikan semua bentuk informasi spasial. SIG juga merupakan alat bantu manajemen informasi yang terjadi dimuka bumi dan bereferensi keruangan (spasial). Sistem Informasi Geografi bukan sekedar system computer untuk pembuatan peta, melainkan juga merupakan juga alat analisis. Keuntungan alat analisis adalah memeberikan kemungkinan untuk mengidentifikasi hubungan spasial diantara feature data geografis dalam bentuk peta (Prahasta, 2004)

D. Pemetaan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) Pada proses pembuatan peta Zona Penangkapan Potensial Ikan Cakalang terdapat beberapa tahapan kegiatan yaitu: a. Tahap Pertama Memasukkan peta digital Pulau Sulawesi untuk mendapatkan gambaran lokasi penelitian. Dan sekaligus penentuan batasan wilayah penelitian yang masuk dalam wilayah tersebut. b. Tahap Ke Dua Melakukan suatu topologi yakni penyusunan atau pemasukkan semua data atribut/database CSV/txt dalam bentuk file Database (*dbf) berupa data parameter oseanografi seperti suhu, salinitas, arus, klorofil-a, kedalaman serta hasil tangkapan. Hal ini dilakukan untuk membangun hubungan antara data spasial dengan data atribut setiap parameter yang digunakan dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3. c. Tahap Ke Tiga Melakukan interpolasi terhadap hasil tangkapan lapangan dan hasil tangkapan prediksi (hasil analisis) dengan tujuan untuk mendapatkan peta tematik dalam bentuk data spasial. Metode yang digunakan untuk interpolasi adalah Inverse Distance Weightness (IDW) yang mengasumsikan bahwa tiap titik input mempunyai pengaruh yang bersifat lokal yang berkurang terhadap jarak. Metode ini memberi bobot lebih tinggi pada sel yang lebih jauh. Titik-titik pada radius tertentu dapat digunakan dalam menentukan nilai luaran tiap lokasi. Setelah interpolasi dilakukan, maka akan terlihat pembagian zonasi secara otomatis oleh perangkat lunak ArcView GIS 3.3. d. Tahap Ke Empat Dalam tahap ini, dimana hasil analisis dapat disajikan, berupa grafik tabel dan gambar dalam bentuk zona potensi penangkapan ikan dan disertai penjelasan deskriptif. Menampilkan peta hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3 dan melayoutnya.

Keberhasilan usaha penangkapan ikan sangatditentukan kemampuan fishing master untuk menduga daerahpenangkapan yang potensial. Banyak penelitian yang telahdilakukan mengungkapkan bahwa keberadaan ikan yangmenjadi tujuan penangkapan dipengaruhu kondisi parameterparameteroseanografi seperti suhu, salinitas, kandunganfitoplantok, arus dan faktor lainnya. Masing-masing jenisikan mempunyai respon yang spesifik terhadap kondidiparameter-parameter oseanografi tersebut. Sebagai contohikan tuna mata besar optimum tertangkap pada suhu 10-150C, Salinitas 34.5-35.5 %o dan kandungan oksigen > 1ml/L. Penentuan daerah potensial penangkapan ikanberdasarkan inputlayer-layerfaktor oseanografi. Permasalahannya hingga saatini, kriteria yang spesifik terhadap jenis ikan tertentubelum banyak diteliti. Parameter oseanografi yang dapatditurunkan dari sensor satelit maupun hasil observasilapang seperti suhu, kandungan klorofil, tinggi paras laut (Juanda, 2003).

Gambar 3 : Overlay faktor-faktor oseanografi untuk penentuan fishing ground

Aplikasi SIG berlajan sangat lamban berkembang di sektor perikanan dan kelautan, hal ini disebabkan kompleksitas proses yang terjadi di laut ditunjukkan komponen yang harus diperhatikan ketika menerpkan SIG dalam sektor perikanan dan kelautan.

Komponen yang bekerja dalam aplikasi SIG untuk perikanan dan kelautan

Pada umumnya untuk aplikasi di darat wilayah GIS hanya memperhatikan komponen 1, 2 dan 4, sedangkan untuk kelautan dan perikanan juga harus memperhatikan aspek 3, 5, 6, dan 7. Hal ini disebabkan karena aktivitas perikanan dan kelautan dilakukan dalam lingkungan atau tata ruang 3 dimensi dan juga merukan lingkungan yang sebagian besar adalah dalam keadaan terus bergerak (dinamis). Sebagai gambaran Meaden (2000) menunjukkan hasil penelusurannya mengenai publikasi yang menggunakan SIG untuk bidang perikanan dan kelautan.

Teknik Pengambilan DataTeknik pengambilan data pada suatu penelitian berdasarkan pada sumberdata yang akan dipilih. Terdapat dua pilihan tipe sumber data pada suatupenelitian yaitu data primer dan data sekunder

2.1.1 Data Primer

Merupakan sumber data yang dapat diambil secara langsungbersentuhan dengan obyek penelitian yang akan diamati. Data yang diambilsecara langsung ini bisa didapat dengan cara observasi langsung, wawancara danpartisipasi aktif sehingga dapat mendukung hasil dari penelitian yang dilakukan(Suryabrata, 1963).

2.1.2 Data Sekunder

Merupakan sumber data yang cara memperolehnya tidak didapatkansecara langsung melainkan dari lembaga pemerintah, laporan ilmiah, instansiterkait penelitian ilmiah, laporan ilmiah dan laporan lainnya yang bisamendukung penelitian yang diambil (Nazir, 1988).Pada Praktek Kerja Lapang(PKL) ini sumber data yang akan digunakan dengan cara data primer dandata sekunder.

2.2 Partisipasi Aktif2.2.1 Wawancara

Wawancara merupakan percakapan yang ditujukan dengan maksudtertentu.percakapan yang dilkukan oleh dua pihak yaitu pewawancara 15(interviewer)yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interview)yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu(Lincoln dan Guba,1985).Wawancara yang akan dilakukan pada Praktek Kerja Lapang (PKL) iniadalah dengan pembimbing dari pihak Lembaga Penerbangan dan AntariksaNasional (LAPAN).

2.2.2 Observasi

Menurut Patton (1990) menegaskan observasi merupakan metodepengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian denganpendekatan kualitatif.Agar memberikan data yang akurat dan bermanfaat,observasi sebagai metode ilmiah harus dilakukan oleh peneliti yang sudahmelewati latihan-latihan yang memadai, serta telah mengadakan persiapanyang teliti dan lengkap.Observasi yang akan dilakukan dalam Praktek Kerja Lapang (PKL) iniadalah dengan mengamati hasil peta potensial penangkapan ikan yang telahdilakukan sebelumnya.

2.3 Teknik Pemetaan

Penelitian ini berdasarkan pengolahan data citra satelit AQUA MODISuntuk pembuatan peta daerah potensial penangkapan ikan di daerah PA 20.Pengolahan data dilakukan menggunakan software ER Mapper 7.1 dan ArcView9.3 yang hasilnya berupa peta yang dapat dianalisa

Gambar 5 : Publikasi Aplikasi SIG untuk Perikanan danKelautan

a.Site selection atau pilihan untuk budidaya lautHal ini merupakan awal untuk menggunakan GIS dalam bidang perikanan. Hal ini umumnya dilakukan di ruang skala kecil, namun sebenarnya dapat digunakan dalam skala besar. Pemilihan lokasi ini menjadi penting karena semakin banyaknya hambatan yang dihadapi dalam budidaya laut dan payau, misalnya masalah penyakit ikan secara massal di beberapa negara seperti Thailand,Sri Lanka, Indonesia dan banyak penyakit wabah lainnya yang dapat menyebabkan masalah dalam perikanan budidaya.

Salah satu faktor penentu keberhasilan dalam usaha penangkapan ikan adalah ketepatan dalam menentukan suatu daerah penangkapan ikan (DPI) yang layak untuk dapat dilakukan operasi penangkapan ikan. Pada umumnya nelayan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mencarischoolingikan, karena dalam menentukan daerah penangkapan ikan hanya berdasarkan intuisi/insting sehingga tidak efektif karena hasil tangkapan tidak pasti. Pendugaan daerah penangkapan ikan dapat didekati dengan mencari indikator-indikator yang dapat mempengaruhi daerah penangkapan ikan. Indikator tersebut antara lain adalah SPL dan kesuburan perairan (yang diamati dari kandungan klorofil di laut). SPL dan konsentrasi klorofil-a dapat diestimasi dengan teknik penginderaan jauh, dimana saat ini akurasi estimasi konsentrasi klorofil-a dengan menggunakan algoritma global untuk perairan lepas pantai adalah 70%, sedangkan untuk SPL lebih tinggi tingkat akurasinya(Muklhis, 2008).

Gambai 1: Teknologi Pengindraan jauh dalam pemanfaatan zonasi penagkapan ikan

Salah satu Kabupaten yang terdapat di propinsi Kepulauan Riau dengan wilayah pesisir yang cukup luas adalah Kabupaten Natuna. Kabupaten ini memiliki beberapa gugusan pulau, yaitu; gugusan Jemaja, gugusan Anambas dan gugusan Bunguran. Gugusan kepulauan Bunguran terdiri dari Pulau Bunguran Besar, Pulau Midai, Pulau Subi dan Pulau Serasan. Sebagaimana daerah kepulauan lainnya di Indonesia, beberapa komponen masyarakat yang tinggal dan berdomisili di wilayah Kabupaten Natuna menggantungkan hidupnya dengan melakukan aktifitas di bidang perikanan, baik itu penangkapan maupun budidaya. Aktifitas ini umumnya memliki sentra di desa-desa yang terdapat diwilayah pesisir (Syofyan, 2010).

Gambar 2 : Peta daerah pesisir Kabupaten Natuna Riau

Pentingnya database bagi system informasi kelautan dan perikanan Indonesia tidak dapat diragukan lagi. Database telah menjadi isu sentral dalam pemberdayaan system informasi perikanan di negara kita.Untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan kita yang cukup besar diperlukan adanya system daya yang sistematis, lengkap dan terpadu seperti data perikanan tangkap dan data lingkungan laut. Data tersebut dapat digunakan untuk mempelajari secara selektif berapa besar potensi stok ikan yang kita miliki, dimana stok ikan tersebut bias ditangkap dan kapan musim ikan tersebut akan berlimpah (Zainuddin, 2006).

Dulu, pengembangan SIG dimulai dari awal sekali (nol), dengan menggunakantoolsyang sangat terbatas baik jumlah maupun kemampuannya seperti sistem operasi dancompilersuntuk bahasa pemrograman komputer yang digunakan untuk mengembangkantoolsSIG pada saat itu. Tetapi pada saat ini, SIG dikembangkan dengan menggunakan sistem-sistem manajemen basis data (DBMS) yang telah lahir sebelumnya.Dengan menggunakan software GIS (system informasi geografi), daerah potensial ikan tuna dapat dideteksi dari indikator lingkungan yangsuitable(cocok) dengan menggunakan peta prediksi sederhana dan peta kontur.Kemudian daerah itu diperjelas (Enhancement) menggunakan peta peluang (Environmental probability map) dari gabungan faktor-faktor lingkungan dan data perikanan. Potensial habitat ini selanjutnya diuji menggunakan model statistik untuk memastikan dan memprediksi daerah penangkapan yang produktif. Dan, dari hubungan kelimpahan ikan dengan indikator faktor lingkungan yang sesuai digunakan untuk mensimulasikan jalur migrasi ikan tuna dengan basis database dari suhu lingkungan(Yunike, 2001).

Masalah yang umum dihadapi adalah keberadaan daerah penangkapan ikan yang bersifat dinamis, selalu berubah/berpindah mengikuti pergerakan ikan. Secara alami ikan akan memilih habitat yang lebih sesuai, sedangkan habitat tersebut dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan. Dengan demikian daerah potensi penangkapan ikan dipengaruhi oleh faktor oseanografi perairan. Kegiatan penangkapan ikan akan menjadi lebih efisien dan efektif apabila daerah penangkapan ikan dapat diduga terlebih dahulu sebelum armada penangkapan ikan berangkat dari pangkalan. Salah satu cara untuk mengetahui daerah potensial penangkapan ikan adalah melalui studi daerah penangkapan ikan dan hubungannya dengan fenomena oseanografi secara berkelanjutan.Dengan menggunakan SIG gejala perubahan lingkungan berdasarkan ruang dan waktu dapat disajikan, tentunya dengan dukungan berbagai informasi data, baik melalui survey langsung maupun dengan penginderaan jarak jauh (INDERAJA). Proses perubahan lingkungan perairan tersebut menjadi studi dalam penentuan Daerah Penangkapan Ikan(Syafrudin, 2002).

Dunia kelautan merupakan dunia yang sangat dinamis, disini hampir semunya bergerak kecuali dasar lautan . Di wilayah yang merupakan bagian bumi terbesar ini, terdapat banyak sumber daya alam yang bisa menghasilkan pendapatan yang tinggi untuk suatu daerah atau pemerintahan, contohnya adalah sumber daya ikan. Indonesia merupakan suatu negara yang sangat luas dan memiliki sumber daya perikanan yang sangat besar juga. Dengan luas lautan sekitar 5,8 juta km2 dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, maka potensi pendapatan ekonomi dari bidang perikanan akan sangat besar sekali. Kurangnya pemanfaatan teknologi dalam eksploitasi sumber daya ikan2 tersebut menyebabkan tidak optimumnya pemanfaatan sumber daya ikan yang ada (Selamat, 1994).

Berdasarkan analisis regresi Cobb-Douglas dengan metode backward diperoleh hasil akhir bahwa faktor klorofil-a, suhu dan kedalaman mempengaruhi hasil tangkapan secara signifikan. Nilai signifikan dari variabel klorofil (X1) diperoleh nilai probabilitas (sig) sebesar 0,01