HUBUNGAN KADAR LAKTAT DARAH DAN SKOR PELOD (PEDIATRIC .../Hubungan... · PICU : Pediatric Intensive...

99
i HUBUNGAN KADAR LAKTAT DARAH DAN SKOR PELOD (PEDIATRIC LOGISTIC ORGAN DYSFUNCTION) TERHADAP MORTALITAS PASIEN DI PICU RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama : Ilmu Biomedik Kesehatan Anak Oleh : AISYAH S5906003 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Transcript of HUBUNGAN KADAR LAKTAT DARAH DAN SKOR PELOD (PEDIATRIC .../Hubungan... · PICU : Pediatric Intensive...

i

HUBUNGAN KADAR LAKTAT DARAH DAN

SKOR PELOD (PEDIATRIC LOGISTIC ORGAN DYSFUNCTION)

TERHADAP MORTALITAS PASIEN DI PICU RSUD

DR. MOEWARDI SURAKARTA

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Program Studi Kedokteran Keluarga

Minat Utama : Ilmu Biomedik Kesehatan Anak

Oleh :

AISYAH

S5906003

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

ii

HUBUNGAN KADAR LAKTAT DARAH DAN SKOR PELOD (PEDIATRIC LOGISTIC ORGAN DYSFUNCTION)

TERHADAP MORTALITAS PASIEN DI PICU RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

Disusun oleh :

Aisyah

S5906003

Telah disetujui dan disahkan oleh Pembimbing

Pada tanggal :

Jabatan Nama Tanda tangan

Pembimbing I Prof. DR. dr. B. Soebagyo, SpA (K) NIP. 19431216 197603 1 001 ........................

Pembimbing II dr. Pudjiastuti, SpA (K)

NIP. 19650330 199903 2 001 ........................

Surakarta, Juni 2010

Ketua Program Studi

Magister Kedokteran Keluarga

Prof. DR. Didik Tamtomo, dr, MM,M.Kes,PAK NIP. 19480313 197610 1 001

iii

HUBUNGAN KADAR LAKTAT DARAH DAN SKOR PELOD (PEDIATRIC LOGISTIC ORGAN DYSFUNCTION)

TERHADAP MORTALITAS PASIEN DI PICU RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

Disusun oleh :

Aisyah

S5906003

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji

Pada tanggal :

Dewan Penguji

Jabatan Nama Tanda tangan

Ketua Prof. DR. dr. Harsono Salimo, SpA(K) NIP. 19441226 197310 1 001 .......................

Sekretaris Prof. Bhisma Murti,dr, M.Sc, MPH, Ph.D NIP. 19550121 1999412 1 001 .......................

Anggota Prof. DR. dr. B. Soebagyo, SpA (K) NIP. 19431216 197603 1 001 ........................

dr. Pudjiastuti, SpA (K)

NIP. 19650330 199903 2 001 ........................

Mengetahui Surakarta, Juni 2010

Direktur PPS UNS Ketua Program Studi

Magister Kedokteran Keluarga

Prof. Drs. Suranto, M.Sc, PhD Prof. DR. Didik Tamtomo, dr, MM,M.Kes,PAK NIP. 19570820 198503 1 004 NIP. 19480313 197610 1 001

iv

PERNYATAAN

Nama : Aisyah

NIM : 5906003

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis dengan judul Hubungan Kadar

Laktat Darah dan Skor PELOD (Pediatric Logistic Organ Dysfunction) terhadap

mortalitas pasien di PICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta adalah betul-betul

karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi

dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia

menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari

tesis tersebut.

Surakarta, Juni 2010

Yang membuat pernyataan

Aisyah

v

KATA PENGANTAR

Atas berkat rahmat Allah SWT tesis dengan judul Hubungan Kadar

Laktat Darah dan Skor PELOD (Pediatric Logistic Organ Dysfunction) terhadap

mortalitas pasien di PICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta dapat penulis

selesaikan dengan bantuan dari pembimbing dan berbagai pihak. Tesis ini disusun

untuk memenuhi persyaratan sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis

Anak dan mencapai derajat Magister Kedokteran Keluarga.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para

pembimbing yaitu Prof. Dr. B. Soebagyo, dr. SpA(K) dan dr. Pudjiastuti, SpA(K)

yang telah membuka wawasan penulis dan memberikan petunjuk sehingga penulis

dapat menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof.

Dr. Harsono Salimo, dr, SpA(K) sebagai Ketua Program Studi PPDS I IKA FK

UNS?RSDM yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan

tesis dan semua tugas di bagian IKA FK UNS.

Penulis menyampaikan terima kasih pula kepada Prof. DR. Moch.

Syamsulhadi, dr, SpKJ(K) selaku Rektor UNS, Prof. Drs. Suranto, MSc, PhD selaku

Direktur Program Studi Pascasarjana Universitas Sebelas Maret dan Prof. DR. Didik

Tamtomo, dr, MM, Mkes, PAK selaku Ketua Program Studi Kedokteran keluarga

yang telah membimbing penulis dalam mengikuti pendidikan mencapai derajat

Magister Kedokteran Keluarga di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

vi

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Direktur

RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk

melaksanakan penelitian di lingkungan RSUD Dr. Moewardi surakarta sampai

selesai.

Kepada yang saya hormati dan cintai ayahanda H. Abdul Kadir, SH dan

ibunda Hj. Dra. Fatum, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas

do’a, dorongan semangat dan kasih sayang yang tiada habisnya sehingga penulis

berhasil melalui semua cobaan dalam menyelesaikan pendidikan ini. Semoga Allah

SWT selalu memberikan limpahan kasih sayang, kesehatan dan balasan terbaik

kepada ibu dan bapak. Kepada ayahanda mertua penulis (Alm) H. Mardjuni dan

ibunda Hj. Maryati, penulis berterima kasih atas do’a, perhatian dan kasih sayang

selama ini. Semoga Allah SWT memberikan tempat dan balasan terbaik untuk

almarhum dan ibu diberikan kasih sayang dan kesehatan.

Kepada yang saya cintai, suami, teman sejati yang Allah berikan, Rochman

S, SIP, penulis mohon maaf selama pendidikan ini kurang perhatian terhadap

keluarga. Terima kasih atas pengertian dan kesabaran untuk penulis dan anak-anak

kita. Untuk anak-anakku tersayang, Shafiyyah Hanan IR dan Izdihar Yumna AR,

penulis memohon maaf karena berkurangnya waktu yang tersedia untuk kalian.

Terima kasih telah menjadi anak-anak penyejuk mata dan jiwa yang dapat

menghilangkan kelelahan dan kesedihan, Kalian adalah titipan dari Allah SWT yang

paling berharga.

vii

Untuk kakakku dr. Abdul Aziz dan Nur Laela, SP serta keponakanku

Fedya, penulis mengucapkan terima kasih atas do’anya. Kepada adik-adikku Arif

Rachman dan Achmad Rachim, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuannya

dan semoga kalian segera dapat menyelesaikan pendidikan. Kepada kakak ipar

penulis Drs. Agus Setyono, MM, Dra. Dewi Respati, Drs. Djatiwiyono, Anik W, SPd

dan M. Djuhartono Sdp, terima kasih atas dukungan baik moril maupun materiil.

Untuk adik-adik ipar penulis dr. Rochmah Tutik E dan Rochmah Diar AS serta

seluruh keponakanku Ozy, Ari, Tio, Nuri dan Gani, penulis mengucapkan terima

kasih atas do’a dan support yang diberikan.

Untuk dr. Zusta’in NA, dr. Retno Purwaningtyas dan dr. Hari Wahyu,

penulis mengucapkan terima kasih atas kerja sama selama pendidikan, kenangan kita

tak akan terlupakan. Penulis memohon maaf bila dalam pertemanan kita ada hal-hal

yang tidak berkenan.

Kepada dr. Fadhilah TN, dr. Imelda P, dr. Sukmawan, dr. Evi R, dr. Diah

Rahmi K, dr. Dr. M. Rikki AA, dr. Irdian NT, dr. Mas Ardi N, dr. Rifia I, dr. Maria

Galuh K, dr. Wasis Rohima, dr. Siti Ariffatus Saroh, kisah hidup bersama kalian tidak

terlupakan. Khusus dr. Anggayasti yang telah menemani stase terakhirku di KBRT

sebulan terakhir, banyak sekali hikmah dan ibroh dari sebulan kebersamaan kita,

penulis mengucapkan terima kasih dan semoga kita selalu saling beramar makruf,

amiiin. Untuk teman residen lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,

terima kasih atas semua dukungan dan do’a yang diberikan.

viii

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada segenap kepala perawat dan

perawat di ruang PICU, KBRT, Melati 2 dan Poliklinik anak. Penulis mohon maaf

apabila banyak kata dan sikap penulis yang tidak berkenan. Kepada para dokter

muda, terima kasih atas bantuan yang diberikan pada penulis selama tugas di bangsal

anak maupun tugas di luar kota.

Akhirnya penulis mengharapkan tesis ini bermanfaat bagi dunia kedokteran

terutama di bidang Ilmu Kesehatan Anak. Penulis memohon maaf apabila ada

penulisan dan kata yang salah. Segala masukan dan kritik akan penulis jadikan

perbaikan untuk menjadi lebih baik lagi.

Terima kasih.

Surakarta, Juni 2010

Penulis

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................ii

HALAMAN PERNYATAAN.....................................................................................iii

KATA PENGANTAR.................................................................................................iv

DAFTAR ISI..............................................................................................................viii

DAFTAR TABEL........................................................................................................xi

DAFTAR GAMBAR...................................................................................................xii

DAFTAR SINGKATAN............................................................................................xiii

DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................................xiv

ABSTRAK..................................................................................................................xv

ABSTRACT.................................................................................................................xvi

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

A. Latar belakang masalah...........................................................................1

B. Rumusan masalah....................................................................................3

C. Tujuan penelitian.....................................................................................3

D. Manfaat penelitian...................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5

A. Definisi dan klasifikasi peningkatan kadar laktat darah...........................5

1.Epidemiologi.........................................................................................7

2.Pemeriksaan laboratorium laktat...........................................................7

3. Metabolisme laktat...............................................................................9

x

4.Hubungan kadar laktat darah dengan

mortalitas.............................................................................................13

B. Skor PELOD...........................................................................................15

C. Hubungan kadar laktat darah dan skor PELOD terhadap

mortalitas................................................................................................20

D. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kadar laktat darah dan skor

PELOD...................................................................................................23

E. Kerangka berpikir...................................................................................24

F. Hipotesis.................................................................................................25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN..............................................................26

A. Desain penelitian....................................................................................26

B. Tempat dan waktu...................................................................................26

C. Populasi...................................................................................................26

D. Sampel dan cara pemilihan sampel........................................................26

E. Besar sampel…………………………………………………………...27

F. Identifikasi variabel penelitian………………………………………...28

G. Definisi operasional variabel………………………………………......28

H. Cara kerja……………………………………………………………....30

I. Izin subyek penelitian………………………………………………….35

J. Alur penelitian…………………………………………………………36

K. Pengolahan data………………………………………………………..37

L. Jadwal kegiatan………………………………………………………...38

xi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................39

A. Hasil Penelitian………………………………………………………….39

B. Pembahasan……………………………………………………………..45

C. Kelemahan Penelitian…………………………………………………...51

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................53

A. Kesimpulan………………………………………………………………53

B. Saran……………………………………………………………………..53

C. Implikasi Penelitian……………………………………………………...54

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..56

LAMPIRAN-LAMPIRAN…………………………………………………………..60

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Indeks hipoperfusi jaringan akibat sepsis………………………………...6

Tabel 2.2 Klasifikasi asidosis laktat menurut Cohen dan Wood…..………………...7

Tabel 2.3. Nilai normal laktat darah……………………………………………........8

Tabel 2.4. Daftar organ produsen dan konsumen laktat………………….………...12

Tabel 2.5. Kriteria disfungsi organ…………………… …………………………...16

Tabel 2.6. Skor PELOD (Pediatric Logistic Organ Dysfunction)……………….…19

Tabel 3.1. Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale)...............................................32

Tabel 4.1 Karakteristik dasar subyek penelitian.......................................................39

Tabel 4.2 Hubungan karakteristik dasar subyek penelitian dan mortalitas ........... ..40

Tabel 4.3 Karakteristik data kontinyu subyek penelitian........................................41

Tabel 4.4 Hubungan antara kadar laktat darah dan mortalitas..................................41

Tabel 4.5 Hubungan antara skor PELOD dan mortalitas..........................................42

Tabel 4.6 Hubungan antara lama sakit dan mortalitas..............................................42

Tabel 4.7 Hubungan antara status gizi dan mortalitas..............................................43

Tabel 4.8 Hubungan antara status gizi dan kadar laktat darah..................................43

Tabel 4.9 Hasil analisis regresi logistik ganda hubungan skor PELOD dan kadar

laktat darah dengan mortalitas..................................................................44

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Metabolisme asam laktat.......................................................................10

Gambar 3.1 Alur penelitian.......................................................................................36

Gambar 4.1 Hubungan antara kadar laktat darah dan skor PELOD..........................45

xiv

DAFTAR SINGKATAN

ATP : Adenosin Triphosphate

CO2 : Karbondioksida

CRT : capillary refill time

GCS : glasgow coma scale

HCO : hidrogen carbon monoksida

JAMKESMAS: Jaminan Kesehatan Masyarakat

LDH : enzim laktat dehidrogenase

MODS : multiple organ dysfunction syndrome

NAD : nukleosida adenin dinukleotida

NADH : nukleosida adenin dinukleotida hidrogenase

PDH : enzim piruvat dehidrogenase

PELOD : Pediatric Logistic Organ Dysfunction

PICU : Pediatric Intensive Care Unit

PT : protrombin time

SD : stándar deviasi

SIRS : Systemic Inflammatory Response Syndrome

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Penjelasan penelitian

Lampiran 2. Formulir persetujuan mengikuti penelitian dan tindakan medis

Lampiran 3. Formulir data penelitian

Lampiran 4. Ethical clearance

Lampiran 5. Hasil pengolahan data

xvi

ABSTRAK

Aisyah, S5906003. 2010. Hubungan kadar laktat darah dan skor PELOD (Pediatric Logistic Organ Dysfunction) terhadap mortalitas pasien di PICU RSDM. Tesis: Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar belakang: Sindrom disfungsi multi organ umum dijumpai di PICU dan meningkatkan mortalitas pasien. Penanda laboratorium atau fisiologis organ diperlukan untuk mendeskripsikan adanya disfungsi organ. Skor PELOD mendeskripsikan beratnya sindrom disfungsi multi organ pada anak. Peningkatan kadar laktat darah yang terjadi pada hipoperfusi jaringan secara tidak langsung menunjukkan keseluruhan beratnya disfungsi organ.

Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar laktat darah dengan skor PELOD dan hubungan keduanya dengan mortalitas.

Metoda: Penelitian kohort di PICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan April-Juni 2009 dan Oktober-Desember 2009 dengan 90 sampel. Pada 6 jam pertama pasien menjalani pemeriksaan kadar laktat darah dan 10 macam pemeriksaan yang tercakup dalam skor PELOD. Pasien mendapat perawatan sesuai standar pelayanan di PICU, kemudian dicatat keadaan saat keluar (hidup atau meninggal). Hubungan antara kadar laktat darah, skor PELOD dan mortalitas dianalisis dengan regresi logistik berganda.

Hasil: Data penelitian menunjukkan kasus bedah sebanyak 57,8 % dan kasus non bedah sebanyak 42,2 %. Kadar laktat darah 3,2 mmol/L memiliki hubungan yang bermakna dengan mortalitas (τ 0,5; p < 0,001). Skor PELOD > 0 memiliki hubungan bermakna dengan mortalitas (τ 0,8; p < 0,001). Regresi linier kadar laktat darah dengan skor PELOD diperoleh nilai R2 0,32. Regresi logistik berganda kadar laktat darah dengan mortalitas OR 1,62 (p 0,433). Regresi logistik berganda skor PELOD dengan mortalitas OR 19,34 (p < 0,001).

Simpulan: Kadar laktat darah dan skor PELOD dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas pasien di PICU.

Kata Kunci: PICU, skor PELOD, kadar laktat darah, mortalitas

xvii

ABSTRACT

Aisyah, S5906003. 2010. The relationship between lactate concentration and PELOD Score with mortality at PICU Dr. Moewardi Hospital Surakarta. Thesis: Master Program in Family Medicine, Post-Graduate Program, Sebelas Maret University Surakarta.

Background: Multi organ disfunction syndrome commonly occurs at PICU and can increase mortality. Marker of laboratory or organ functions is important to describe organ dysfunction. PELOD score describes severity of multiorgan dysfunction syndrome in children. Increase of lactate concentration in tissue hipoperfusion indirectly describes severity of organ dysfunction.

Objective: To determine the relationship between lactate concentration and PELOD score and both of them with mortality.

Methods: A cohort study was conducted in PICU Dr. Moewardi Hospital Surakarta fromApril-June 2009 and October-Desember 2009 with 90 samples. In the first 6 hours, all of the patients had evaluation of lactate concentration and 10 examinations from PELOD score. The patients received standard treatment, then were followed until they were discharged from PICU (death/alive). The relationship between lactate, PELOD score and mortality was analyzed by multiple logistic regression.

Results: The results showed that surgery cases were about 57,8% and non surgery cases were 42,2%. Lactate concentration 3,2 mmol/L has significant correlation with mortality (rho 0,5; p < 0,001). PELOD score > 0 has significant correlation with mortality (rho 0,8; p < 0,001). Linear regression between lactate concentration and PELOD score with R2 0,32. Multiple logistic regression between lactate concentration and mortality OR 1,62 (p 0,433). Multiple logistic regression between PELOD score and mortality OR 19,34 (p < 0,001).

Conclusion: Both of lactate concentration and PELOD score can be used as a predictor of mortality for patients in PICU

Key Words: PICU, PELOD score, lactate concentration, mortality

xviii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sindrom disfungsi multi organ umum dijumpai pada unit perawatan intensif

anak (PICU) (Leteurtre dkk,2003). Terjadinya sindrom disfungsi multi organ

meningkatkan mortalitas pasien. Angka mortalitas sindrom distres respirasi akut

sendiri mencapai 40 – 50 % sedangkan tambahan disfungsi sistem organ yang lain

meningkatkan mortalitas sampai 90 % (Sharma dan Eschun,2006). Hipoperfusi

jaringan adalah faktor penting dalam terjadinya disfungsi organ. Pada hipoperfusi

jaringan terjadi maldistribusi aliran darah pada organ atau mikrovaskuler dan /atau

ketidakmampuan sel menggunakan oksigen (hipoksia sitotoksik) (Cavazzoni dan

Delinger,2006). Hipoksia sitotoksik mengakibatkan terjadinya metabolisme

anaerobik di sitosol yang akan meningkatkan pembentukan laktat (Ellis dkk,2005).

Seluruh sel dan jaringan tubuh dapat memproduksi dan mengkonsumsi laktat kecuali

eritrosit, tak dapat menggunakan laktat. Peningkatan produksi laktat pada jaringan

yang mengalami kerusakan dibawa ke hepar untuk di metabolisme, hal ini akan

memperlama keberadaan laktat dalam darah sampai saat kapasitas metabolik di hepar

terlampaui (Gladden,2004). Peningkatan kadar laktat darah secara tidak langsung

menunjukkan keseluruhan beratnya disfungsi organ yang berhubungan dengan

peningkatan risiko mortalitas (Duke,1999).

Penanda laboratorium atau fisiologis organ diperlukan untuk mendeskripsikan

adanya disfungsi organ. Hal ini diperlukan dalam mendefinisikan lebih spesifik telah

xix

terjadinya sindrom disfungsi multi organ yang berguna dalam klasifikasi atau skoring

disfungsi organ (Jhonson dan Mayers,2001). Sistem skor secara keseluruhan

merupakan pengukuran yang obyektif khususnya dalam pengukuran sindrom

disfungsi multi organ dan bertujuan menggambarkan beratnya penyakit atau

prognosis pasien di perawatan intensif (Metta dkk,2006; Lacroix dan Cotting,2005).

Penilaian prognosis di unit perawatan intensif anak penting dilakukan sebagai

dasar dalam memberi penjelasan yang obyektif kepada orangtua pasien dan untuk

melibatkan mereka pada proses pembuatan keputusan medis (Russel,2006; Pollack

dkk,1999). Hanya satu skor yang dapat mendeskripsikan beratnya sindrom disfungsi

multi organ pada anak yaitu skor PELOD. Skor PELOD dibuat berdasarkan

pengalaman klinis intensivist anak, penelusuran kepustakaan medis dan skor lain

yang digunakan di PICU melalui penelitian konsekutif prospektif di beberapa PICU.

Seluruh variabel klinis dan biologis yang digunakan berdasarkan kriteria disfungsi

organ pada anak dan dewasa, seluruh variabel skor prediktif (PRISM, PIM dll)

(Lacroix dan Cotting,2005). Penelitian kohort multisenter dilakukan di 7 PICU (2 di

Perancis, 3 di Kanada dan 2 di Swiss) dengan sampel 1806 pasien telah membuktikan

bahwa skor PELOD mempunyai validitas yang baik untuk mengukur beratnya

sindrom disfungsi multi organ di PICU (Leteurtre dkk,2003).

Tingginya kadar laktat darah pada awal pemeriksaan dan kadar yang tetap

tinggi, berhubungan dengan outcome yang buruk. Duke dkk melakukan penelitian

secara prospektif pada 31 anak sepsis berat di PICU, ia menemukan bahwa laktat

darah adalah prediktor mortalitas paling awal yang diketahui saat pengukuran sedini-

xx

dininya 12 jam setelah masuk perawatan intensif. Kadar laktat darah > 3 mmol/L

pada 12 jam setelah masuk PICU mempunyai nilai duga positif untuk kematian

sebesar 56 % (Agraval,2004). Belum pernah dilakukan penelitian untuk mengetahui

hubungan kadar laktat darah yang menilai beratnya keadaan awal pasien saat masuk

perawatan intensif dengan skor PELOD yang menilai disfungsi organ secara

keseluruhan terhadap mortalitas pasien di PICU.

B. Rumusan masalah

1. Apakah ada hubungan kadar laktat darah dengan skor PELOD ?

2. Adakah hubungan kadar laktat darah dan skor PELOD dengan mortalitas

pasien di PICU RSDM?.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui hubungan kadar laktat darah dengan skor PELOD dan hubungan

keduanya dengan mortalitas pasien di PICU RSDM.

2. Tujuan khusus

i. Mendapatkan rata-rata kadar laktat darah pada pasien dari bermacam

diagnosis penyebab dirawat di PICU RSDM

ii. Mendapatkan skor PELOD pada pasien yang dirawat di PICU

iii.Mendapatkan hubungan kadar laktat darah dan mortalitas pada pasien

PICU

xxi

iv. Mendapatkan hubungan skor PELOD dengan mortalitas pada pasien PICU

v. Mendapatkan hubungan kadar laktat darah dengan skor PELOD

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bidang akademik

Mengetahui kadar laktat darah dan skor PELOD pada pasien di PICU dan

hubungannya dengan mortalitas pasien

2. Manfaat bidang pelayanan

i. Memberikan informasi kepada orangtua pasien beratnya keadaan awal saat

dirawat di PICU dari kadar laktat darah

ii. Mengetahui kadar laktat darah sebagai penilaian laboratorium yang penting

sebelum pemeriksaan spesifik untuk disfungsi organ maupun penilaian skor

PELOD terutama di pusat pelayanan kesehatan dengan fasilitas laboratorium

yang terbatas

iii. Melibatkan orangtua pasien dalam semua keputusan medis seawal

mungkin berdasarkan penilaian kadar laktat darah

iv. Memberikan terapi yang maksimal pada pasien dengan

mempertimbangkan disfungsi organ yang telah terjadi

3. Manfaat bidang kedokteran keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan prediksi mortalitas pasien

yang dirawat di ruang rawat intensif anak sehingga terapi yang diberikan

dapat meningkatkan harapan hidup penderita.

xxii

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan klasifikasi peningkatan kadar laktat darah (hiperlaktatemia)

Peningkatan laktat dapat terjadi dengan atau tanpa asidosis metabolik. Kadar

laktat darah normal adalah < 3 mg/dl. Hiperlaktatemia merupakan peningkatan kadar

laktat darah diatas nilai normal, biasanya ada pada kondisi perfusi jaringan yang

terpelihara dan sistem bufer yang cukup, yang mengkompensasi turunnya pH.

Hiperlaktatemia juga tampak pada keadaan yang berhubungan dengan peningkatan

konsentrasi piruvat, seperti transaminasi, penurunan regulasi enzim piruvat

dehidrogenase (PDH) dan terjadi sebagai konsekuensi dari faktor yang meningkatkan

glikolitik glukosa seperti pemberian katekolamin dan alkalosis (Luft,2001;

Brooks,2002; Agrawal dkk,2004). Hal ini sering terjadi pada anak sakit berat dengan

keadaan hipermetabolik seperti sepsis, luka bakar dan trauma. Tapi pada kondisi ini

bufer tubuh dapat mengurangi setiap penurunan pH yang disebabkan peningkatan

laktat. Pada asidosis laktat tejadi hal sebaliknya, asidosis laktat berhubungan dengan

disregulasi metabolik mayor pada keadaan hipoperfusi jaringan, efek obat atau

abnormalitas metabolik, pengeluaran laktat oleh sirkulasi dan konsumsi dan bersihan

laktat oleh jaringan (Nicks,2005; Griffiths,2007; Sharma,2006; Brandis,2005). Pada

keadaan syok septik yang ditandai oleh adanya hipotensi walaupun telah diberikan

cairan yang cukup, digunakan untuk memahami adanya sindrom klinis sepsis

persisten yang menyebabkan hipoperfusi jaringan. Tekanan darah sendiri tidak

xxiii

mencukupi untuk identifikasi ada atau tidaknya hipoperfusi jaringan pada pasien

sepsis karena pada pasien sepsis yang menyebabkan hipoperfusi dapat menunjukkan

tekanan darah yang normal. Sehingga penting untuk menunjukkan tanda-tanda lain

adanya hipoperfusi jaringan (L’her dan Sebert,2001; Meregalli dkk,2004). Penanda

hipoperfusi jaringan dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu indeks

hipoperfusi global dan indeks hipoperfusi organ (Cavazzoni dan Dellinger,2006).

Cohen dan Wood mengklasifikasikan asidosis laktat menjadi tipe A dan B

berdasarkan penyebab peningkatan laktat. Selanjutnya juga diklasifikasikan sebagai

tipe I dan II berdasarkan proporsi relatif laktat dan piruvat. Pada tipe I, rasio

Ukuran Keterangan Indeks hipoperfusi global

Hipotensi Takikardi Oliguri Perlambatan capillary refill Sensorium yang berkabut Peningkatan laktat darah Saturasi oksigen menurun

Indeks hipoperfusi organ

Penanda fungsi organ Jantung : iskemia miokardium Ginjal : penurunan output urin, peningkatan BUN dan kreatinin Hepar : peningkatan transaminase, peningkatan enzim laktat dehidrogenase, peningkatan bilirubin Splancnik : stress ulcer, ileus, malabsorpsi

Pengukuran langsung Tonometri : peningkatan CO2 mukosa gaster Kapnometri sublingual : peningkatan CO2 sublingual Spektroskopi infra merah : penurunan saturasi oksigen jaringan Pencitraan spektral polarisasi ortogonal (orthogonal polarization spectral imaging) : penurunan skor kecepatan aliran

Sumber : Cavazzoni dan Dellinger, 2006

Tabel 2.1. Indeks hipoperfusi jaringan akibat sepsis

xxiv

laktat/piruvat normal, menunjukkan peningkatan proporsional laktat dan piruvat.

Sedangkan pada tipe II, peningkatan laktat relatif lebih besar daripada piruvat.

Meskipun terdapat kekurangan pada klasifikasi A dan B, klasifikasi ini masih

digunakan (tabel 2) (Nicks,2005; Sharma,2006; Fall dan Szerlip,2005).

1. Epidemiologi

Prevalensi hiperlaktatemia dan asidosis laktat tidak diketahui dan sulit

diteliti meskipun metabolisme laktat abnormal sering dijumpai pada pasien sakit

berat. Tingginya laktat darah tidak menunjukkan respon terapi secara umum tetapi

mengindikasikan beratnya gangguan fisiologis yang berhubungan dengan

peningkatan risiko mortalitas (Duke,1999).

2. Pemeriksaan laboratorium laktat

Kadar laktat dapat diukur dalam plasma, serum atau darah. Beberapa

penelitian menunjukkan hasil yang lebih baik dengan sampel darah, membutuhkan

Tipe A (klinis hipoksia jaringan)

Tipe B B1 (AL dengan penyebab dasar)

B2 (AL karena obat/toksin)

B3 (AL karena kelainan metabolisme bawaan)

Syok Hipoperfusi regional Hipoksemia berat Anemia berat Keracunan CO Asma berat Hipoglikemia

asidosis D-laktat

DM Penyakit hepar Keganasan Sepsis Feokromasitoma Def. tiamin

Alkohol Etilen glikol Fruktose sorbitol Xilitol Salisilat Asetaminofen Epinefrin Terbutalin, sianida Nitroprusid, isoniazid

G 6 PD Def. Fruktose 1,6 difosfat Def. Piruvat karboksilase Defek fosforilasi

oksidativ

Sumber : Nick, 2008

Tabel 2. 2 Klasifikasi asidosis laktat menurut Cohen dan Wood

xxv

jumlah yang lebih sedikit, hasil yang lebih cepat dan dapat dikerjakan dengan alat

portabel yang dapat digunakan dalam laboratorium bed side. Jika alat tersebut tidak

tersedia, kadar laktat dapat diperiksa menggunakan autoanalisa dengan darah sitrat

yang disimpan dalam es setelah sampel darah diambil dan dikirim untuk dianalisa

secepatnya. Beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan heparin untuk sampel

darah yang diambil. Pada individu normal jarang ditemukan kadar laktat lebih dari 4

mg/dl, meskipun penelitian lain melaporkan nilai yang berbeda (Luft,2005; Agrawal

dkk,2004; Maciel dan Park,2007). Formularium anak dalam buku Harriet Lane

memberikan nilai normal sebagai berikut (tabel 3).

Nilai ideal diperoleh dari sampel darah arteri, tapi beberapa penelitian

menemukan adanya perbedaan kadar laktat arteri dengan vena dan mengkorelasikan

nya dengan kekurangan oksigen di regional atau organ tertentu, sedangkan penelitian

lain melaporkan pada pasien sakit berat dengan hemodinamik yang stabil, kadar

laktat sama pada arteri dan vena. Konsentrasi laktat pada darah lengkap dapat

dipengaruhi kadar hematokrit. Kadar laktat juga dipengaruhi penggunaan infus ringer

Tabel 2.3 Nilai normal laktat darah

Sumber sampel Nilai laktat (mg/dl) Nilai laktat (mmol/L) Darah kapiler

Bayi baru lahir Anak

< 27

5 - 20

0,0 – 3,0

0,56 – 2,25

Vena 5 - 20 0,5 – 2,2 Arteri 5 - 14 0,5 – 1,6

Sumber : Agrawal, 2004

xxvi

laktat, khususnya jika sampel darah diambil dari kateter infus tersebut (Nicks,2005;

Griffiths,2007; Sharma,2006; Brandis,2005).

3. Metabolisme laktat

Kadar laktat darah normal adalah 1,0 ± 0,5 mmol/L. Konsentrasi laktat

tergantung pada kecepatan produksi dan konversi oleh berbagai organ dan secara

normal dipertahankan dibawah 2 mmol/L. Pada beberapa penelitian dilaporkan

regulasinya mencapai 1300 mmol per 24 jam (Kellum,2004; Fencl dkk,2000;

Luft,2001; Fall dan Szerlip,2005).

Laktat dihasilkan oleh glikolisis. Selama glikolisis, dalam proses anaerobik

di sitosol, dihasilkan 2 molekul ATP bersama piruvat per molekul glukosa yang

dihidrolisa. Pada keadaan potensial redox jaringan yang sesuai, piruvat yang

dihasilkan memasuki siklus Kreb untuk metabolisme selanjutnya dan memproduksi

lebih banyak ATP. Jika potensial redox tidak sesuai, piruvat akan dikonversi menjadi

laktat (gambar 1) (Yassen dkk,1999; Brooks,2002; agrawal dkk,2004).

Konversi menjadi laktat adalah proses yang reversibel dikatalisasi oleh

enzim laktat dehidrogenase (LDH). Laktat dikonversi kembali menjadi piruvat yang

selanjutnya memasuki siklus Kreb dalam mitokondria untuk dimetabolisme atau

digunakan dalam glukoneogenesis. Piruvat digunakan jaringan aerob melalui 2 proses

oksidativ yaitu konversi menjadi asetil-CoA oleh enzim kompleks piruvat

dehidrogenase dengan adanya NAD+ atau melalui glukoneogenesis (Philp dkk,2005;

Schurr,2006; Gunnerson dkk,2006).

xxvii

Gambar 2.1 Metabolisme asam laktat

Sumber : Agrawal dkk, 2004

Gangguan fungsi metabolik mitokondria pada keadaan hipoksia

mengakibatkan penumpukan laktat. Keadaan ini akibat peningkatan produksi piruvat

dan penurunan bersihan (clearance) melalui 2 jalur tersebut dan pada dasarnya

meenunjukkan besarnya energi yang hasilkan pada keadaan anaerob (Philp,2005;

Schurr,2006; Gunnerson dkk,2006). Langkah paling penting pada keseimbangan

laktat adalah reaksi reversibel perubahan laktat menjadi piruvat dan sebaliknya.

(persamaan 1) (Agrawal dkk,2004; Tuhay dkk,2008).

Piruvat + NADH laktat + NAD+ + H+

xxviii

Keseimbangan dari persamaan tersebut menyerupai pembentukan laktat dan

kadar laktat pada individu yang normal 4 – 10 kali lebih tinggi daripada kadar

piruvat. Dari persamaan tersebut terdapat 3 faktor yang menentukan konsentrasi

laktat sitosol yaitu konsentrasi piruvat, rasio NADH/NAD+ (potensial redox) dan

konsentrasi ion hidrogen intraseluler. Konsentrasi piruvat ditentukan oleh kecepatan

glikolisis yang dikontrol oleh konsentrasi NAD+. Rasio NADH/NAD+ berubah pada

keadaan hipoksia dan disfungsi mitokondria. Rasio ini yaitu penurunan oksidasi

NAD, menunjukkan rasio laktat: piruvat. Pada suatu saat kecepatan glikolisis

meningkat dengan potensial redox yang normal dimana rasio laktat:piruvat stabil. Hal

ini karena peningkatan laktat dan piruvat terjadi secara proporsional satu sama lain.

Tapi, jika potensial redox tidak sesuai, kadar laktat meningkat jauh daripada kadar

piruvat (Agrawal dkk,2004; Tuhay dkk,2008; Chrusch dkk,2000). Pada persamaan

diatas, peningkatan ion H+ intrasel akan meningkatkan akumulasi laktat, tetapi

kuatnya pengaruh pH terhadap salah satu enzim yang membatasi kecepatan glikolisis

yaitu fosfofruktokinase, akan mengakibatkan efek sebaliknya. Enzim ini dihambat

pada keadaan asidosis intrasel sedangkan pada alkalosis intrasel akan meningkat

(Agrawal dkk,2004; Behmanesh dan Kempski,2000; Adams dkk,2006; Voltarelli

dkk,2002; Emeis dkk,1998).

Seluruh jaringan tubuh mengalami glikolisis, tapi kecepatannya lebih tinggi di

otak, otot skeletal, jantung dan mukosa intestinal. Seluruh sel dan jaringan tubuh

dapat memproduksi dan mengkonsumsi laktat kecuali eritrosit, tak dapat

menggunakan laktat. Sejumlah kecil laktat diproduksi di hepar oleh transaminasi dan

xxix

di ginjal selama ammoniagenesis. Beberapa jaringan tubuh memproduksi dan

mengkonsumsi laktat lebih banyak daripada yang lain (Gladden,2004). Berikut adalah

jaringan produsen dan konsumen laktat.

Peningkatan produksi laktat pada jaringan yang mengalami kerusakan

dibawa ke hepar untuk di metabolisme. Hal ini memperlama keberadaan laktat dalam

darah arteri sampai saat kapasitas metabolik di hepar terlampaui (Agrawal,2004;

Gladden,2004; Ewaschuk dkk,2005).

Hepar mempunyai kapasitas yang besar untuk metabolisme laktat,

kemampuan ini meningkat pada keadaan hiperlaktatemia. Dengan metabolisme dan

Produsen laktat Konsumen laktat

Kulit

Eritrosit

Leukosit

Trombosit

Limfosit

Otak

Mukosa intestinal

Otot skeletal

Medula renal

Mata

Hepar

Kortex renal

Jantung

Kelenjar-kelenjar ludah

Tabel 2. 4 Daftar organ produsen dan konsumen laktat

Sumber : Gladden, 2004

xxx

ambilan laktat di hepar, terjadi sintesa glukosa dengan pembentukan HCO. Ekstraksi

laktat oleh hepar adalah faktor penting, peningkatan aliran darah menurunkan

ekstraksi sampai lebih rendah dari 25 % normal. Hepar sendiri menjadi sumber

penting produksi laktat ketika aliran darahnya menurun menjadi sekitar 75 %. Sama

halnya konsumsi laktat renal meningkat pada keadaan hiperlaktatemia melalui jalur

metabolik dan oksidativ (Iscra dkk,2002; Bellomo,2002).

4. Hubungan kadar laktat darah dengan mortalitas

Konsentrasi laktat yang tinggi tampak pada keadaan syok sirkulasi karena

perdarahan, kegagalan miokardial, luka bakar, sepsis setelah operasi

cardiopulmonary bypass , dan setelah transplantasi hepar. Asidosis laktat tidak hanya

dijumpai pada pasien hipotensi dan output jantung yang rendah tapi juga ditemukan

pada pasien normotensi dengan output jantung yang normal atau tinggi.

Hiperlaktatemia dapat terjadi pada keadaan dimana kecepatan glikolisis melebihi

kecepatan penggunaan piruvat oleh siklus Kreb termasuk alkalosis dan pelepasan

katekolamin yang berlebihan. (Duke,1999; Agrawal dkk,2004; Gladden,2004; Sontag

dkk,1998).

Hubungan asidosis laktat dengan peningkatan mortalitas pasien sakit berat,

telah diakui. Pada penelitian 126 pasien dewasa yang sakit berat dalam kelompok

heterogen yang mengalami asidosis metabolik (didefinisikan sebagai pH arteri ≤ 7,35

atau defisit basa > 6 mmol/l dan laktat ≥ 5 mmol/L, Stacpoole dkk, menemukan

konsentrasi laktat yang lebih tinggi pada pasien yang meninggal (mean 12,2; SD 5,9

mmol/L) dibandingkan yang hidup (mean 9,2; SD 4,9 mmol/L; p = 0,004). Kurang

xxxi

dari 17 % pasien pada penelitian ini hidup saat keluar dari RS (Duke,1999; Forni

dkk,2005). Duke dkk melakukan penelitian secara prospektif membandingkan nilai

prediktif beberapa variabel mortalitas dan gejala sisa mayor pada 31 anak sepsis

berat di unit perawatan intensif. Variabel tersebut yaitu : tekana arteri rata-rata,

frekuensi denyut jantung, pH arteri, defisit basa, pH intramukosa gaster dan laktat

darah. Variabel ini diukur pada saat masuk, 12, 24 dan 48 jam kemudian. Hasilnya

didapatkan 10 pasien meninggal dan 21 hidup. Laktat darah adalah prediktor

mortalitas paling awal yang diketahui saat pengukuran sedini-dininya 12 jam setelah

masuk perawatan intensif. 12 jam setelah masuk, laktat darah > 3 mmol/L

mempunyai nilai duga positif untuk kematian sebesar 56 % dan kadar laktat ≤ 3

mmol/L mempunyai nilai duga positif untuk hidup sebesar 84 %. Pada 24 jam laktat

> 3 mmol/L mempunyai nilai duga positif untuk kematian sebesar 71 % dan laktat ≤

3 mmol/L memiliki nilai duga positif untuk hidup sebesar 86 %. Tidak ada variabel

lain untuk identifikasi kematian sedini-dininya pada 12 jam pasien yang hidup

(Duke,1999; Agrawal dkk,2004).

Hiperlaktatemia ringan dengan alkalosis respirasi tidak mempunyai nilai

prognosis yang sama dengan hiperlaktatemia pada asidosis. Beberapa peneliti

mengatakan peningkatan laktat yang ringan bukan sebagai indikasi patologi yang

serius, tergantung mekanisme yang terlibat (Agrawal,2004; Iscra dkk,2002; Oud dan

Haupt,1999).

Pada pasien sakit berat, terdapat beberapa nilai tren perubahan laktat

digunakan untuk menilai respon terhadap terapi dan prognosis. Vincent dkk

xxxii

menggambarkan laktat darah waktu tertentu pada dewasa yang respon resusitasi

volume cepat saat syok sirkulasi. Pada seluruh kasus, selama satu jam pertama

sedikitnya tejadi 10 % penurunan laktat darah. Hal ini berlawanan pada pasien yang

meninggal dimana tidak terjadi perubahan laktat dengan pemberian resusitasi.

Tuchschmidt dkk meneliti pasien dewasa dengan sepsis, menemukan bahwa

meskipun konsumsi oksigen sama (VO2) setelah resusitasi awal, konsentrasi laktat

menurun pada pasien yang hidup dan tidak pada yang mati (Agrawal dkk,2004;

Chrusch dkk,2000).

B. Skor PELOD (Pediatric Logistic Organ Dysfunction)

Saat ini telah dilakukan peninjauan tentang kriteria disfungsi organ pada

anak dan sistem skor untuk mengukur disfungsi organ pada anak. Tujuan primer yaitu

untuk mengetahui penilaian disfungsi organ yang dapat diulang kembali

(reproducible) sesuai perubahan fungsi organ. Meskipun kriteria disfungsi organ pada

dewasa telah digunakan pada anak, kriteria tersebut tidak memiliki validitas yang

cukup untuk digunakan secara luas pada anak. Konsensus yang dihasilkan dari

konferensi internasional tentang sepsis menyepakati kriteria disfungsi organ pada

anak disebutkan pada daftar dibawah ini (Goldstein,2005).

xxxiii

DISFUNGSI KARDIOVASKULER

Tanpa memandang pemberian cairan intravena isotonis ≥ 40 ml/kg dalam 1 jam v Penurunan tekanan darah (hipotensi) < P5 menurut usia atau tekanan sistolik <

2 SD ATAU v Memerlukan obat vasoaktif untuk memelihara tekanan darah dalam nilai

normal (dopamin > 5 µg/kg/mnt atau dobutamin, epinefrin atau norepinefrin dosis berapapun) ATAU

v Dua dari kriteria berikut : Asidosis metabolik yang tak dapat dijelaskan : defisit BE > 5,0 mEq/L Laktat arteri meningkat > 2 kali batas atas nilai normal Oliguri : output urin < 0,5 ml/kg/hr CRT memanjang > 5 detik Beda suhu sentral dan perifer > 30 C

RESPIRASI v PaO2/FiO2 < 300 tanpa adanya penyakit jantung sianotik atau penyakit paru

ATAU v PaCO2 > 65 torr atau 20 mmHg dibawah nilai normal PaCO2 ATAU v Pemberian oksigen atau FiO2 > 50 % untuk memelihara saturasi ≥ 92 %

ATAU v Menerima ventilasi mekanik invasif atau non-invasif

NEUROLOGI v Glasgow Coma Score (GCS) ≤ 11 ATAU v Perubahan status mental dengan penurunan GCS ≤ 3 poin dari nilai awal

HEMATOLOGI v Trombosit < 80.000/mm3 atau penurunan 50 % angka trombosit dari nilai

tertinggi yang dicatat selama 3 hari terakhir (untuk pasien hemato-onkologi) v I/T ratio > 2

RENAL v Kreatinin serum ≥ 2 kali lipat diatas nilai normal

HEPATAL v Bilirubin total ≥ 4 mg/dl (tidak diaplikasikan untuk bayi baru lahir) v AST 2 kali diatas nilai normal

Sumber : Godlstein dkk, 2005

Tabel 2.5 Kriteria disfungsi organ

xxxiv

Telah disebutkan dalam kepustakaan beberapa sistem skor untuk mengukur

sindrom disfungsi multi organ pada anak. Sistem skor tersebut yaitu skor disfungsi

multi organ pada anak (Pediatric Multiple Organ Dysfunction Score / P-MODS), skor

kegagalan sistem multi organ (Multiple Organ System Failure Score), skor logistik

disfungsi organ pada anak (Pediatric Logistic Organ Dysfunction Score /PELOD)

dan skor disfungsi multi organ pada anak (Pediatric MODS). Hanya satu skor yaitu

skor PELOD yang telah divalidasi dalam penelitian multisenter (Goldstein,2005;

Lacroix dkk,2005; Metta dkk;2006). Konsensus yang dihasilkan dari konferensi

internasional tentang sepsis pada anak tidak menganjurkan penggunaan hanya satu

skor disfungsi multi organ tetapi menggunakan kriteria disfungsi organ berdasarkan

kriteria yang digunakan pada skor PELOD, P-MODS dan skor MOSF. Kriteria

dipilih berdasarkan atas keseimbangan spesifisitas, sensitivitas dan luasnya

ketersediaan uji laboratorium (Goldstein,2005). Skor agregasi (kumpulan)

menghitung beratnya masing-masing organ yang mengalami disfungsi dan

keseluruhan beratnya disfungsi organ. Skor agregasi juga dapat menunjukkan

prediksi mortalitas berdasarkan mortalitas organ yang diamati menggunakan sistem

skor yang ada. Selanjutnya pada skor MODS, peningkatan satu skor merupakan

skala yang menunjukkan perubahan mortalitas dari 5% menjadi 6%. Beberapa

disfungsi organ (jantung, sistem saraf pusat) mempunyai nilai prognosis yang lebih

tinggi maknanya dan memberikan nilai prognosis yang lebih besar. Idealnya, sistem

skor harus sederhana, mempunyai realibilitas inter dan intra observer yang baik,

xxxv

dapat diterapkan sepanjang waktu dan di ruang perawatan intensif yang berbeda serta

tidak tergantung pada terapi (Jhonson dan Mayer,2001).

Skor PELOD dapat digunakan untuk mewakili outcome kematian di PICU.

Saat ini insiden kematian di ICU merupakan ukuran standar outcome pada uji klinis

pasien dewasa di ICU. Pembenaran utama dari hal ini karena kematian merupakan

data kasar dan kesulitan mendapat bias outcome. Insiden sindrom disfungsi multi

organ di PICU sekitar 18% sampai 25%, insiden tersebut secara bermakna lebih

tinggi dari kematian yaitu sekitar 4% sampai 6% (Lacroix dan Cotting,2005).

Menurut definisinya, outcome pengganti merupakan ukuran outcome disamping

sebagai baku standar. Dalam hal ini harus terdapat hubungan yang baik dengan baku

standar, khususnya antara sindrom disfungsi multi organ dimana sindrom disfungsi

multi organ hampir terjadi pada seluruh anak sakit kritis yang meninggal. Harus

terdapat hubungan sebab akibat antara outcome pengganti dan baku standar. Sindrom

disfungsi multi organ adalah penyebab kematian paling banyak anak sakit kritis yang

meninggal di PICU (Proulx dkk,1996). Leteurtre dkk menemukan rata-rata skor

PELOD secara bermakna lebih tinggi pada pasien yang meninggal (31 dan SD 1,2)

dibandingkan pada pasien yang hidup (9,2 SD 0,2) (Leteurtre dkk,2003). Penelitian

Thukral dkk mendapatkan adanya hubungan antara mortalitas dengan skor PELOD.

Mortalitas pada sedikitnya 2 organ disfungsi yaitu sebesar 15,7 % dan meningkat 6,3

% pada tambahan 1 disfungsi organ bahkan mencapai 100 % pada disfungsi 6 organ.

Skor PELOD dapat mendeteksi disfungsi organ bahkan pada pasien dengan tingkat

mortalitas yang rendah (Thukral dkk, 2007). Penggunaan skor PELOD untuk

xxxvi

mengetahui prognosis pasien di PICU RS. Hasan Sadikin menemukan bahwa rata-

rata skor PELOD pada pasien yang hidup 13,5 (SD 8,5) dan rata-rata pada yang

meninggal memiliki skor PELOD 22,2 (SD 10,1) (Metta dkk, 2005). Berikut ini

adalah skor PELOD yang merupakan gabungan skor disfungsi organ pada 6 sistem

organ yang dinilai berdasarkan kriteria disfungsi organ sesuai konsensus dari

konferensi internasional tentang sepsis pada anak tahun 2002 di Texas (Goldstein

dkk,2005).

xxxvii

Sistem organ dan variabelnya

Poin yang menunjukkan tingkat beratnya disfungsi organ

0 1 10 20

Sistem respirasi PaO2 (mmHg)/ rasio FiO2

(kPa/%) PaCO2 (mmHg atau kPa) Ventilasi mekanis

>70 (9,3) dan

≤90 (11,7) dan tanpa ventilasi

- -

Ventilasi

≤ 70 (9,3) atau

> 90 (11,7)

-

- - -

Sistem kardiovaskuler Denyut jantung (denyut/menit)

<12 tahun ≥12 tahun

Tekanan darah sistolik (mmHg) < 1 bulan 1 bln – 1 tahun 1 – 12 tahun ≥ 12 tahun

≤ 195 ≤ 150

dan > 65 > 75 > 85 > 95

- - - - - -

> 195 > 150

atau

35 – 65 35 – 75 45 – 85 55 – 95

- -

< 35 < 35 < 45 < 55

Sistem neurologi Skor GCS Reflek pupil

12 – 15 dan

keduanya reaktif

7 – 11

-

4 – 6 atau

keduanya tetap

3 -

Sistem hepatal ALT atau SGOT (IU/L) PT (% standar), INR

< 950 dan

> 60 atau < 1,4

≥ 950 atau

≤60 atau< 1,4

- -

- -

Sistem renal: kretinin µmol/L (mg/L)

< 7 hari 7 hari – 1 tahun 1 – 12 tahun ≥ 12 tahun

< 140 (1,59) < 55 (0,62) < 100 (1,13) < 140 (1,59)

- - - -

≥ 140 (1,59) ≥ 55 (0,62) ≥ 100 (1,13) ≥ 140 (1,59)

- - - -

Sistem hematologi Leukosit (109 /L) Trombosit (109/L)

> 4,5 dan

≥ 35

1,5 – 4,4 atau

< 35

< 1,5

-

- -

Seluruh variabel diukur setidaknya sekali, Jika tidak diukur, untuk kepentingan skoring, dianggap berada dalam batas normal. Jika diukur lebih dari sekali dalam 24 jam, nilai yang paling berat digunakan dalam penghitungan skor. Dalam penghitungan skor PELOPD, setiap disfungsi organ memberikan poin untuk variabel tunggal yang dihubungkan dengan poin yang terbesar. Contohnya, jika denyut jantung paling buruk dalam sehari adalah 200 kali/menit (PELOD 10 poin) dan tekanan darah sistolik 30 mmHg (PELOD 20 poin), maka PELOD 20 poin digunakan untuk sistem kardiovaskuler. Poin tidak ditambahkan menjadi poin 30 untuk disfungsi organ tersebut; maksimum poin untuk satu organ adalah 20 dan skor PELOD maksimum adalah 71. Untuk skor PELOD harian, jika variabel tidak diukur maka diasumsikan nilainya sama dengan pengukuran terakhir (jika dokter menganggap nilainya tidak berubah) atau normal (jika dokter berasumsi nilainya normal).

Sumber : Leteurtre dkk, 2003

Tabel 2.6 Skor PELOD (Pediatric LogisticOrgan Dysfunction)

xxxviii

Probabilitas kematian pada skor PELOD dihitung dari persamaan berikut :

Pengukuran PaO2 hanya dari darah arteri sedangkan PaCO2 dapat dari darah arteri,

kapiler atau vena. Penggunaan masker tidak disamakan dengan ventilasi mekanis.

Penilaian denyut jantung dan tekanan darah tidak dilakukan saat anak menangis atau

ketakutan iatrogenik. Digunakan nilai terendah (jika pasien dalam keadaan sedasi,

untuk menilai GCS dilakukan sebelum sedasi; penilaian hanya pada pasien yang

diduga atau diketahui mengalami penyakit pada sistem saraf pusat).

C. Hubungan kadar laktat darah dengan skor PELOD terhadap mortalitas

Hipoperfusi akut terjadi pada ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen

dengan hantaran oksigen jaringan. Telah diketahui bahwa kerusakan organ terjadi

akibat gangguan metabolisme yang disebabkan hantaran oksigen yang tidak cukup.

Hipoperfusi secara luas berhubungan dengan risiko kegagalan multi organ. Secara

klinis dan eksperimental diketahui bahwa terjadi peningkatan kadar laktat darah

akibat hantaran oksigen yang tidak cukup memelihara oksigen jaringan yang normal.

Kadar laktat darah sangat berhubungan dengan outcome pasien (Meregalli dkk,

2004). Telah banyak penelitian membuktikan kadar laktat darah memiliki nilai

prognosis pada pasien dengan gejala klinis syok. Pasien dengan sepsis yang

mengalami asidosis dengan kadar laktat yang tinggi memiliki mortalitas yang tinggi.

Keseluruhan mortalitas pasien dengan asidosis laktat sekitar 60 – 70 % dan menjadi

Probabilitas kematian = 1

1 + exp (7,64 – 0,3 X PELOD)

xxxix

100 % bila terjadi hipotensi karena terapi yang tidak sesuai dan tidak optimal.

Hiperlaktatemia yang menetap selama > 6 jam dan diikuti peningkatan rasio laktat

piruvat berhubungan dengan peningkatan mortalitas. Kadar laktat saat datang > 5

mmol/L memiliki efikasi diagnosis yang maksimal untuk mortalitas. Pada pasien

yang meninggal didapatkan kadar laktat mencapai nilai puncak atau hiperlaktatemia

menetap setelah 24 jam terapi. Penggunaan laktat darah dapat memberi manfaat

langsung untuk mengetahui beratnya keadaan awal, respon terhadap terapi dan

outcome yang diharapkan (Agrawal dkk, 2004).

Istilah MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome) diadopsi dan

didefinisikan dari konsensus yang dihasilkan dari konferensi ACCP (American

College of Chest Physicians) dan SCCM (Society of Critical Care Medicine) pada

tahun 1992 yaitu terdapatnya penurunan fungsi organ pada pasien sakit berat

sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Berbagai definisi

yang lebih spesifik digunakan untuk mengklasifikasikan organ mengalami disfungsi

dengan cara yang mudah menggunakan penanda fisiologis atau laboratorium.

Berbagai mekanisme dapat menimbulkan MODS (kerusakan jaringan mekanis, invasi

mikroba, pelepasan endotoksin, iskemia-nekrosis, iskemia-reperfusi) (Jhonson dan

Mayers, 2001). Beberapa sistem skoring dapat digunakan untuk mengukur MODS

pada anak. Hanya skor PELOD yang telah divalidasi dalam penelitian multi senter.

Skor PELOD merupakan skor kumulatif (skala agregat) yang menyatakan beratnya

kerusakan tiap organ dan secara keseluruhan beratnya disfungsi organ. Skor ini

xl

selanjutnya menginterpretasikan nilai duga atau prediksi mortalitas berdasarkan

mortalitas yang diamati pada pasien (Lacroix dan Cotting, 2005).

Secara teori terdapat hubungan yang jelas antara kadar laktat darah dengan

disfungsi organ sehingga secara tidak langsung juga terdapat hubungan dengan skor

yang menyatakan disfungsi organ yaitu skor PELOD. Hubungannya dengan

mortalitas baik kadar laktat maupun skor PELOD telah dibuktikan pada penelitian

yang terpisah.

Disfungsi organ yang dapat diukur dengan skor PELOD merupakan proses

yang berlanjut akibat respon tubuh yang tidak adekuat dalam terjadinya inflamasi

atau trauma yang pada akhirnya menyebabkan mortalitas pada penderita (Sharma dan

Eschun, 2006). Pada penelitian berbasis populasi yang berusaha memperjelas

hubungan berbagai faktor yang mempengaruhi mortalitas pada bayi dan anak

menghasilkan 2 model analisa hubungan tersebut. Dua model analisa itu terdiri dari

faktor proksimal dan faktor distal. Faktor proksimal meliputi faktor biomedis dan

biodemografis yang secara langsung berhubungan dengan kematian pada bayi dan

anak. Faktor proksimal termasuk interaksi antara malnutrisi dengan penyakit infeksi

dan faktor maternal. Faktor distal meliputi meliputi faktor sosial, budaya dan kondisi

ekonomi termasuk hubungan antara kematian bayi dan anak dengan pendidikan ibu

dan pendapatan keluarga. Hal ini telah terbukti mempengaruhi usia harapan hidup di

banyak negara berkembang (Aguirre, 2007; Katz dkk,2003; Shew C dkk, 2005).

Faktor pendidikan ibu dan pendapatan keluarga sangat mempengaruhi keputusan

xli

untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang optimal (Tim Adair, 2004; Hosani dkk,

2003).

D. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kadar laktat dan skor PELOD

Dalam klasifikasi asidosis laktat menurut Cohen dan Wood terdapat

beberapa hal yang mempengaruhi produksi laktat. Obat-obat dan zat kimia yang

mengganggu glukoneogenesis seperti ethanol, etilen glikol, salisilat dan fenformin

dapat meningkatkan konsentrasi laktat. Kelainan kongenital pada fungsi mitokondria

seperti defisiensi glukosa 6 fosfat, defisiensi 1,6 difosfat juga menimbulkan

hiperlaktatemia. Produksi laktat juga tergantung pada ketersediaan substrat. Pada

penelitian dengan sampel pasien gizi buruk yang mengalami syok ternyata

mempunyai kadar laktat yang lebih rendah dibandingkan anak dengan gizi yang baik

pada derajat hipoksia yang sama (Duke,1999; Agrawal dkk,2004; Gladden,2004;

Sontag dkk,1998). Berdasarkan penelitian Fletcher dan Hopkins ditemukan bahwa

peningkatan asam laktat selama latihan otot disebabkan karena kekurangan oksigen

untuk produksi energi yang dibutuhkan dalam kontraksi otot terutama pada proses

fosforilasi oksidatif (Gladden, 2004).

Skor PELOD meliputi data yang dapat diubah oleh intensivist selama

perawatan di PICU dan karena itu tidak dapat membedakan antara terapi dan beratnya

penyakit (Thukral dkk, 2007). Dari penelitian sebelumnya diketahui adanya

xlii

keterbatasan penggunaan skor PELOD sebagai prediktor mortalitas yaitu tidak

disertakannya aspek lain yang juga mempengaruhi mortalitas seperti status gizi,

imunodefisiensi, pasca bedah, lamanya sakit dan terapi yang didapatkan sebelumnya

(Metta dkk, 2005).

E. Kerangka berpikir

Inflamasi dan atau infeksi

Anti-inflamatory host

Respon sistemik

Hemodinamik n Vasodilatasi n Disfungsi

miokard n Redistribusi dan

shunting

Mikrovaskuler n Disfungsi endotel n Mikroemboli n Gangguan perfusi

usus

Penggunaan O2 n Organ n Sel n Mitokondria

Skor PELOD

Kerusakan sel / apoptosis Kerusakan organ

n Sistem respirasi n Sist. Kardiovaskuler n Sist. Neurologi n Sist. Hematologi n Sist. Hepatologi n Sist. renal

Mortalitas

Status imunitas Status gizi Beratnya penyakit Sosial ekonomi

Kelelahan fisik

Obat-obatan

Penyakit mitokondria

Status gizi

Imunodefisiensi

Lama sakit

Terapi sebelumnya

Ruang lingkup penelitian

Laktat darah

Pro-inflamatory host

xliii

Keterangan : Adanya infeksi atau trauma akan menyebabkan reaksi inflamasi yang

dapat mengakibatkan ketidakseimbangan anti-inflamatory dan pro-inflamatory host

yang pada akhirnya dapat menimbulkan respon sistemik pada pasien. Respon

sistemik dipengaruhi beratnya penyakit, status imunitas, status gizi dan sosial

ekonomi. Akibat respon sistemik yang tidak adekuat terjadi gangguan hemodinamik,

mikrovaskuler dan penggunaan oksigen. Gangguan penggunaan oksigen terjadi di

organ, sel dan mitokondria. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya metabolisme

glikolisis anaerob dengan peningkatan produksi laktat. Hiperlaktatemia bisa juga

terjadi akibat kelelahan fisik, penggunaan obat-obatan yang mempengaruhi glikolisis

dan penyakit metabolik mitokondria. Respon sistemik yang tidak adekuat

mengakibatkan kerusakan sel yang pada akhirnya dapat menyebabkan disfungsi

organ. Skor PELOD (Pediatric Logistic Organ Dysfunction) merupakan skor

akumulatif disfungsi organ yang meliputi 6 organ yaitu sistem respirasi,

kardiovaskuler, neurologi, sistem hematologi, sistem renal dan hepatal. Skor PELOD

secara langsung mengukur beratnya disfungsi organ yang telah terjadi dan dapat

memprediksi angka mortalitas pasien sehingga secara tidak langsung berhubungan

dengan kadar laktat darah yang menunjukkan akumulasi hipoperfusi organ yang

terjadi yang mengakibatkan sindrom disfungsi multi organ. Pada pasien yang dirawat

di PICU, skor PELOD juga dipengaruhi status gizi, imunodefisiensi, lama dirawat

dan terapi sebelumnya.

F. Hipotesis

xliv

Ada hubungan antara kadar laktat darah dengan skor PELOD terhadap

mortalitas pasien di PICU RSDM.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain penelitian

Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif untuk mengetahui hubungan

kadar laktat darah dengan skor PELOD terhadap mortalitas pasien di PICU (ruang

rawat intensif anak).

B. Tempat dan waktu

Penelitian dilakukan di PICU Bagian/SMF IKA FK UNS RSUD Dr.

Moewardi antara bulan November 2008 – Maret 2009

xlv

C. Populasi

Populasi target pada penelitian ini adalah semua pasien berusia lebih dari 1

bulan dan kurang dari 18 tahun yang di rawat di PICU. Populasi terjangkau pada

penelitian ini adalah pasien berusia lebih dari 1 bulan dan kurang dari 18 tahun yang

di rawat di PICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta antara bulan November 2008 –

Maret 2009.

D. Sampel dan cara pemilihan sampel

Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara konsekutif.

1. Kriteria inklusi

Semua pasien yang berusia > 1 bulan dan < 18 tahun di PICU RSDM

yang masuk saat dilakukan penelitian, berada di PICU lebih dari 6 jam

2. Kriteria eksklusi

Orangtua tidak menandatangani informed consent penelitian

E. Besar sampel

Besar sampel untuk studi kohort menggunakan uji hipotesis efek pada dua

kelompok dihitung dengan rumus :

n = jumlah subyek

(Zα√ 2PQ + Zβ√ P1Q1 + P2Q2)

2 n =

(P1 – P2)2

xlvi

Zα = deviasi baku normal untuk α = 0,05 (2 arah) maka Zα = 1,96

Zβ = deviasi baku normal. Bila power 80 %, β = 0,2 (2 arah) maka

Zβ = 0,842

P1 = insidens efek kelompok dengan faktor risiko = 0,29

P2 = insidens efek kelompok tanpa faktor risiko = 0,06

P = ½ (P1 + P2) = 0,175

Q = (1 – P) = 0,825

Q1 = (1 – P1) = 0,71

Q2 = (1 – P2) = 0,94

n =

n = 40

Besar sampel yang diperlukan = 2 x n = 80

F. Identifikasi variabel penelitian

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kadar laktat darah (skala

pengukuran numerik) dan skor PELOD (skala pengukuran numerik). Variabel

tergantung dalam penelitian ini adalah mortalitas dinilai dalam hidup dan mati (skala

pengukuran nominal). Variabel perancu dalam penelitian ini adalah status gizi, lama

sakit sebelumnya dan penggunaan obat–obatan jangka lama yang mempengaruhi

metabolisme laktat.

(1,96√ 2x0,175x0,825 + 0,842√ (0,29x0,71) + (0,06x0,94)2 (0,29 – 0,06)2

xlvii

G. Definisi operasional

1. Kadar laktat darah

Kadar laktat darah adalah hasil akhir glikolisis dalam keadaan anaerobik di

sitosol. Peningkatan kadar laktat merupakan indeks hipoperfusi global karena

glikolisis terjadi diseluruh sel tubuh (Cavazzoni dan Dellinger,2006;

Yassen,1999; Brooks,2002). Peningkatan kadar laktat darah adalah kadar

laktat darah lebih dari nilai normal berdasarkan formularium anak dalam buku

Harriet Lane yaitu lebih dari 2,25 mmol/L pada sampel yang diambil dari

darah kapiler (Agrawal, 2004).

2. Skor PELOD

Sistem skoring gabungan yang menggambarkan disfungsi organ pada anak

dengan mengukur variabel yang berhubungan dengan sistem respirasi, sistem

kardiovaskuler, neurologi, renal, hepatal dan sistem hematologi (Goldstein

dkk,2005). Leteurtre dkk menemukan skor PELOD rata-rata pada pasien yang

meninggal adalah 31 (Leteurtre, 2003). Sedangkan di PICU RS. Hasan

Sadikin didapatkan skor PELOD rata-rata pada pasien yang meninggal

sebesar 22,2 (Metta dkk, 2005).

3. Status gizi

Kriteria status gizi pada anak ditentukan berdasarkan kesan klinis dan

pengukuran antropometri berat badan dan tinggi badan yang disesuaikan

dengan melihat grafik WHO. Gizi buruk yaitu bila klinis anak sangat kurus

dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh dan

xlviii

berdasarkan penghitungan antropometri BB/TB < -3 SD. Gizi kurang bila

klinis anak tampak sangat kurus dengan BB/TB ≥ -3 SD - <-2 SD. Gizi baik

bila klinis anak tampak sehat dengan BB/TB -2 SD - +2 SD (Depkes RI,

2005).

4. Obat-obatan

Pengertian obat-obatan yaitu penggunaan obat-obatan jangka lama yang

mempengaruhi metabolisme asam laktat seperti alkohol, etillen glikol,

salisilat, asetaminofen, epinefrin, terbutalin, sianida, xilitol (Nicks,2005).

5. Mortalitas

Pengertian mortalitas yaitu menghilangnya tanda-tanda kehidupan secara

permanen

6. Ruang rawat intensif

Ruang yang berfungsi untuk merawat dan memonitor pasien dengan kondisi

fisik mengancam jiwa

H.Cara kerja

Semua anak yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dilakukan

pemeriksaan kadar laktat darah dan skor PELOD.

1. Pemeriksaan kadar laktat darah

xlix

Pemeriksaan kadar laktat darah menggunakan alat portable lactate analyzer

Accutrend® Plus / Accutrend® Lactate Accusport dari ROCHE. Dengan

menggunakan lanset yang tersedia, sampel darah diambil dari ujung jari atau

telinga. Letakkan sampel darah tepat pada area aplikasi yang berwarna kuning

pada test strip. Darah harus diaplikasikan dalam 15 detik untuk menghindari salah

pembacaan karena terjadi penggumpalan. Untuk pemeriksaan laktat hasil akan

tampak setelah 60 detik. Setelah pembacaan selesai, hasil akan tampak pada layar.

Hasil yang berada diluar range akan ditandai dengan ”LO” (dibawah batas) atau

”HI” (diatas batas). Range untuk kadar laktat yaitu 0,8 – 22 mmol/L.

2. Pemeriksaan sistem respirasi

Pemeriksaan sistem respirasi pada skor PELOD meliputi pemeriksaan analisa gas

darah dan kebutuhan pemakaian ventilasi mekanis (ventilator). Cara pemeriksaan

analisa gas darah yaitu dengan spuit injeksi 1 cc dibasahi dengan antikoagulan

heparin. Darah dapat diambil dari arteri radialis atau arteri femoralis sebanyak 1

cc kemudian jarum spuit injeksi yang telah terisi darah ditusukkan ke karet.

Pemeriksaan dilakukan di laboratorium RSDM dengan menggunakan alat

Dimension RXL Behring. Pengukuran PaO2 harus dari darah arteri sedangkan

PaCO2 dapat dari sampel darah arteri, vena atau kapiler. Penggunaan ventilasi

masker tidak disamakan dengan ventilasi mekanis (Lacroix dan Cotting,2005).

3. Pemeriksaan sistem kardiovaskuler

Pada skor PELOD variabel yang diperiksa dari sistem kardiovaskuler yaitu

denyut jantung dan tekanan darah sistolik.

l

a. Pemeriksaan denyut jantung

Denyut jantung dihitung didaerah apex jantung selama satu menit penuh dengan

menggunakan stetoskop. Untuk hasil yang paling baik, stetoskop yang

digunakan disesuaikan dengan besar bayi atau anak

(Matondang,2003).Pemeriksaan denyut jantung tidak dilakukan selama pasien

menangis atau ketakutan iatrogenik (Lacroix dan Cotting,2005).

b.Pemeriksaan tekanan darah

Pasien berbaring terlentang dengan lengan lurus disamping badan. Alat yang

digunakan adalah sfigmomanometer pegas. Lebar manset yang dipakai harus

mencakup ½ sampai 2/3 panjang lengan atas. Manset dipasang melingkari

lengan atas dengan batas bawah lebih kurang 3 cm dari siku atau lipat siku.

Dengan cepat manset dipompa sampai denyut nadi arteri radialis tidak teraba

kemudian teruskan dipompa sampai 20 – 30 mmHg lagi. Sambil mendengar

dengan stetoskop pada arteri brakhialis (di fosa kubiti), kosongkan manometer

perlahan-lahan dengan kecepatan 2 – 3 mmHg tiap detik. Tekanan sistolik

adalah saat mulai terdengarnya bunyi Korotkoff I (bunyi yang pertama kali

terdengar, berupa bunyi detak yang perlahan) sedangkan tekanan diastolik

adalah saat bunyi Korotkoff V (bunyi menghilang) (Matondang dkk,2003).

Pemeriksaan tekanan darah tidak dilakukan selama pasien menangis atau

ketakutan iatrogenik (Lacroix dan Cotting,2005).

4. Pemeriksaan sistem neurologi

li

Variabel yang diperiksa dari sistem neurologi pada skor PELOD yaitu

pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS) untuk menentukan derajat kesadaran

dan pemeriksaan reflek pupil.

a. Pemeriksaan GCS

Terdapat 3 aspek yang diperiksa pada GCS yaitu mata, respon motorik dan respon

verbal. Nilai yang diperoleh pada GCS yaitu penjumlahan dari 3 aspek tersebut.

Digunakan nilai terendah (jika pasien dalam keadaan sedasi, penilaian GCS

dilakukan sebelum diberi sedatif; penilaian hanya pada pasien yang dicurigai atau

diketahui mengalami penyakit yang mengenai sistem saraf pusat) (Lacroix dan

Cotting,2005).

Tabel 3.1. Pemeriksaan Glagow Coma Scale

Respon Mata Membuka mata spontan 4 poin

Membuka mata dengan perintah atau panggilan 3 poin

Membuka mata dengan rangsangan nyeri 2 poin

Tidak membuka mata 1 poin

Respon verbal Menjawab dengan terarah / sesuai 5 poin

Kebingungan , jawaban pertanyaan tidak sesuai 4 poin

Respon tidak sesuai, jawaban tak dapat dipahami 3 poin

Pembicaraan tidak dapat dipahami 2 poin

Tidak ada respon 1 poin

Respon motorik Patuh pada perintah untuk bergerak 6 poin

Bergerak spontan menghindari rangsang nyeri 5 poin

lii

Menghindari nyeri 4 poin

Flexi abnormal (spastik) 3 poin

Respon ekstensor (rigid) 2 poin

Tidak ada respon motorik 1 poin

(www.unc.edu/~rowlett/units/scales/glasgow.htm)

b. Pemeriksaan reflek pupil

Sebagai sumber cahaya digunakan pen light. Pen light digerakkan dari bawah

keatas pada satu mata kemudian dinilai. Mata normal akan memberi respon pada

pupil yang mengalami konstriksi dan respon yang sama pada mata yang lain.

Selanjutnya mata yang satu diperiksa juga dengan cara yang sama. Respon yang

normal adalah kedua mata akan mengalami konstriksi pupil dengan kecepatan

yang sama. Disebut non reaktif pupil jika diameter pupil > 3 mm dan tidak dinilai

setelah dilatasi pupil iatrogenik (Lacroix dan Cotting,2005)..

5. Pemeriksaan sistem hepatal

Pemeriksaan sistem hepatal pada skor PELOD mencakup pemeriksaan SGOT dan

PT, INR.

a. Pemeriksaan SGOT

Darah vena diambil sebanyak 1 cc kemudian didiamkan selama 30 menit agar

membentuk bekuan. Darah yang telah membeku dipusingkan dengan kecepatan

2500 rpm selama 5 menit. Serum ditempatkan dalam cup sampel. Sampel

kemudian diperiksa menggunakan alat Dimension RXL Behring.

liii

b. Pemeriksaan PT, INR

Spuit injeksi dibasahi dengan natrium sitrat sebanyak 0,2 ml. Selanjutnya dengan

spuit tersebut diambil darah vena sebanyak 1,8 ml. Sampel diperiksa dengan

koagulogram.

6. Pemeriksaan sistem renal

Untuk pemeriksaan sistem renal pada skor PELOD hanya diperiksa kadar kreatinin

darah dengan cara yang sama dengan pemeriksaan SGOT yaitu Darah vena diambil

sebanyak 1 cc kemudian didiamkan selama 30 menit agar membentuk bekuan.

Darah yang telah membeku dipusingkan dengan kecepatan 2500 rpm selama 5

menit. Serum ditempatkan dalam cup sampel. Sampel kemudian diperiksa

menggunakan alat Dimension RXL Behring.

7. Pemeriksan sistem hematologi

Pada skor PELOD untuk sistem hematologi dilakukan pemeriksaan angka lekosit

dan trombosit dengan cara darah vena diambil sebanyak 3 ml kemudian

dimasukkan kedalam tabung EDTA. Sampel kemudian diperiksa menggunakan

alat automatik Serono.

8. Penghitungan skor PELOD

Skor PELOD terdiri dari 6 kelompok yaitu sistem respirasi, sistem kardiovaskuler,

sistem neurologi, sistem hepatal, sistem renal dan sistem hematologi. Skoring

PELOD selengkapnya dapat dilihat pada tabel 6. Penghitungan skor PELOD

liv

merupakan penjumlahan poin dari 6 sistem yang diperiksa dilakukan secara

manual dan digital menggunakan kalkulator medis yang diunduh dari

www.sfar.org/scores2/pelod2.html , kemudian dari penghitungan tersebut didapat

pula angka prediksi kematian.

9. Penghitungan status gizi

Penghitungan status gizi berdasarkan klinis dan pengukuran antropometri berat badan

dan tinggi badan dengan melihat grafik WHO.

a. Berat badan diukur dengan menggunakan alat timbangan geser International Health

Meter buatan Indonesia yang telah ditera dengan kapasitas maksimal 160 kg dan

ketelitian 0,1 kg. Anak ditimbang dengan pakaian ICU. Angka dibaca dalam

kilogram.

b. Tinggi badan diukur dengan menggunakan alat Mikrotoise yang sudah ditera

untuk mengukur tinggi badan dengan kapasitas maksimal 200 cm, dengan

ketelitian 0,1 cm. Anak diukur tanpa sepatu, saat pengukuran kedua tumit

merapat, tumit anak, pantat, bahu dan kepala menempel pada tembok. Angka

dibaca sampai dengan millimeter. Bila pasien tidak dapat berdiri, pengukuran

dilakukan diatas tempat tidur pasien.

I. Izin subyek penelitian

Penelitian ini dilakukan atas persetujuan orangtua atau wali dengan cara

menandatangani informed consent yang diajukan oleh peneliti, setelah sebelumnya

mendapat penjelasan mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut.

lv

J. Alur penelitian

Setiap pasien yang masuk ruang rawat intensif anak RSUD Dr. Moewardi ditentukan

apakah memenuhi kriteria inklusi. Dilakukan pengisian formulir penelitian kemudian

pemeriksaan fisik dan lab. Setelah 6 jam dilakukan pemeriksaan kadar laktat darah

dan penghitungan skor PELOD. Setelah itu pasien diikuti sampai keluar dari ruang

rawat intensif dan dicatat lama rawat dan diagnosa keluar serta keadaan saat keluar.

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Pengisian formulir penelitian

Pemeriksaan fisik dan lab sesuai dengan skor PELOD (AGD,

tensi darah, denyut jantung, GCS, reflek pupil, PT/INR,

SGOT, kreatinin darah, jumlah lekosit dan trombosit

Pemeriksaan kadar laktat darah

Penghitungan skor PELOD

Pasien diikuti sampai keluar kemudian

dicatat lama rawat dan diagnosa keluar

ANALISA

Pasien masuk PICU

lvi

Gambar 3.1 Alur penelitian

K. Pengolahan data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan program SPSS 16.0.

Karakteristik dasar subyek (usia, jenis kelamin dan diagnosis masuk) dideskripsikan

dalam persentase. Variabel bebas dideskripsikan dalam nilai numerik. Variabel

tergantung dideskripsikan dalam nilai nominal (hidup-meninggal). Untuk menguji

hubungan diantara 2 variabel bebas (kadar laktat darah dan skor PELOD) dilakukan

uji korelasi Pearson. Bila tidak memenuhi syarat, dilakukan uji korelasi Spearman.

Untuk menguji hubungan tiap-tiap variabel bebas terhadap variabel tergantung (kadar

laktat darah terhadap mortalitas dan skor PELOD terhadap mortalitas), variabel bebas

dideskripsikan dahulu dalam nilai nominal (dibawah titik potong dan diatas titik

potong). Cara menghitung titik potong menggunakan median. Untuk menguji

pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung (kadar laktat darah terhadap

mortalitas dan skor PELOD terhadap mortalitas) dilakukan uji Chi2. Apabila tidak

memenuhi syarat uji parametrik maka dilakukan uji Fischer. Hasil tersebut bermakna

jika nilai p < 0,05. Variabel lain yang berpengaruh yaitu status gizi, obat-obatan yang

lvii

digunakan jangka lama dan lama sakit dilakukan analisa regresi logistik. Selanjutnya

data dari hasil analisis statistik ditampilkan dalam tabel, diagram dan tekstular.

L. Jadwal kegiatan

Bulan November 2008 – Maret 2009

KEGIATAN WAKTU

Sept Okt Nov Jan Mar Apr Mei Juni

Penelusuran kepustakaan

Penyusunan naskah

Pengajuan usulan penelitian

Pelaksanaan penelitian

Pengolahan data

Penyusunan laporan penelitian

Presentasi hasil penelitian

lviii

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian dimulai dari bulan April 2009 sampai Juni 2009 dan bulan Oktober

2009 sampai Desember 2009 di ruang rawat intensif anak RSDM Surakarta dengan

perkiraan besar sampel sejumlah 80 subyek. Pasien yang dirawat selama 6 bulan

tersebut sebanyak 143 orang. Peneliti mendapatkan 90 sampel yang memenuhi

kriteria inklusi serta kriteria eksklusi. Subyek dikelompokkan berdasar diagnosis

masuk post operasi dari bagian bedah dan non bedah (dari bagian anak dan THT).

Semua pasien mendapat perawatan sesuai dengan prosedur terapi yang diterapkan di

ruang rawat intensif anak. Karakteristik dasar subyek penelitian dapat dilihat pada

tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik dasar subyek penelitian

lix

Variabel Frekuensi Persentase

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

59

31

65,6

34,4

Diagnosis masuk

Bedah

Non Bedah

52

38

57,8

42,2

Analisis data menunjukkan subyek dengan jenis kelamin laki-laki 65,6 % dan

jenis kelamin perempuan 34,4 % dari total subyek. Dari total 90 pasien setelah

dikelompokkan berdasarkan diagnosis masuk ruang rawat intensif anak terdapat 57,8

% dari bagian bedah dan 42,2 % dari bagian non bedah yang terdiri dari bagian anak

dan THT. Kasus dari bagian anak yang masuk ruang rawat intensif sebagian besar

terdiri dari gangguan respirasi yang membutuhkan ventilator, gangguan sistem saraf

pusat, gangguan gastrointestinal dan dengue shock syndrome. Kasus bedah terdiri

dari kasus bedah digestif, bedah thoraks dan bedah saraf.

Tabel 4.2 Hubungan karakteristik dasar subyek penelitian dan mortalitas

Variabel Mortalitas X2 p

Hidup n (%)

Meninggal n (%)

Total n (%)

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

34 (57)

19 (61)

25 (43)

12 (39)

59 (100)

31 (100)

0,113 0,737

Diagnosis masuk

Non Bedah

Bedah

14 (36)

39 (75)

24 (64)

13 (25)

38 (100)

52 (100)

13,204 < 0,001

lx

Dari tabel 4.2 diketahui pasien laki-laki yang hidup sebanyak 34 orang dan

pasien perempuan yang hidup sebanyak 19 orang. Jenis kelamin memiliki hubungan

yang tidak bermakna dengan mortalitas (X2 = 0,113; p = 0,737). Berdasarkan

diagnosis masuk didapatkan 24 pasien non bedah meninggal atau 64 % dari seluruh

pasien non bedah. Sedangkan hanya 13 pasien bedah meninggal atau 25 % dari

seluruh pasien bedah. Diagnosis masuk memiliki hubungan yang signifikan dengan

mortalitas (X2 =13,204; p < 0,001).

Tabel 4.3 Karakteristik data kontinyu subyek penelitian

Variabel n Mean Median SD Min Maks

Umur (bulan) 90 43,6 12,5 48,45 1 156

Laktat darah (mmol/L) 90 3,53 3,2 1,38 1,8 8,4

Skor PELOD 90 6,14 0 9,12 0 31

Lama sakit (hari) 90 4,3 1 10,98 0 90

Dari tabel 4.3 dapat diketahui karakteristik data kontinyu subyek penelitian.

Usia rerata subyek adalah 43,6 bulan dengan usia termuda 1 bulan dan usia tertua 156

bulan. Kadar laktat darah rata-rata 3,53 mmol/L dengan nilai minimal 1,8 mmol/L

lxi

dan nilai maksimal 8,4 mmo/L. Rata-rata skor PELOD 6,14 dengan nilai minimal 0

dan nilai maksimal 31. Lama sakit rerata adalah 4,3 hari sedangkan lama sakit

terpendek 0 hari dan lama sakit terlama 90 hari.

Tabel 4.4 Hubungan antara kadar laktat darah dan mortalitas

Variabel Mortalitas X2 p

Hidup n (%)

Meninggal n (%)

Total n (%)

Kadar laktat

≤ 3,2 mmol/L

> 3,2 mmol/L

39 (81)

14 (33)

9 (18)

28 (67)

48 (100)

42 (100)

21,24 < 0,001

Total 53 (58) 37 (42) 90 (100)

Hubungan antara kadar laktat darah dengan mortalitas tampak pada tabel 4.4

dimana 48 anak memiliki kadar laktat ≤ 3,2 mmol/L, diantaranya 39 (81%) pasien

hidup dan 9 (18%) anak meninggal. Sedangkan kadar laktat > 3,2 mmol/L terdapat

pada 42 anak, diantaranya 14 (33%) anak hidup dan 28 (67%) anak meninggal.

Hubungan kadar laktat darah dengan mortalitas secara statistik sangat bermakna (X2

=21,24; p < 0,001).

Tabel 4.5 Hubungan antara skor PELOD dan mortalitas

Variabel Mortalitas X2 p

Hidup n (%)

Meninggal n (%)

Total n (%)

Skor PELOD

≤ 0

> 0

49 (92)

4 (10)

4 (8)

33 (90)

53 (100)

37 (100)

59,98 < 0,001

Total 53 (58) 37 (42) 90 (100)

lxii

Dari tabel 4.5 diketahui hubungan antara skor PELOD dan mortalitas.

Terdapat 53 anak dengan skor PELOD ≤ 0, diantaranya 49 (92 %) anak hidup dan 4

(8 %) anak meninggal. Skor PELOD > 0 terdapat pada 37 anak, diantaranya 4 (10 %)

anak hidup dan 33 (90 %) anak meninggal. Hubungan skor PELOD dan kadar laktat

secara statistik sangat bermakna (X2 =59,98; p < 0,001).

Tabel 4.6 Hubungan antara lama sakit dan mortalitas

Variabel Mortalitas X2 p

Hidup n (%)

Meninggal n (%)

Total n (%)

Lama sakit

≤ 1 hari

> 1 hari

37 (75)

16 (31)

12 (25)

25 (69)

49 (100)

41(100)

12,27 < 0,001

Total 53 (58) 37 (42) 90 (100)

Hubungan antara lama sakit dan mortalitas terlihat pada tabel 4.6, dimana

lama sakit ≤ 1 hari terdapat pada 49 anak dengan 37 (75 %) anak meninggal dan 12

(25 %) anak hidup. Sedangkan lama sakit > 1 hari terdapat pada 41 anak, diantaranya

16 (31 %) anak hidup dan 25 (69 %) anak meninggal. Hubungan lama sakit dengan

mortalitas secara statistik sangat bermakna (X2 = 12,27; p < 0,001).

Tabel 4.7 Hubungan antara status gizi dan mortalitas

Variabel Mortalitas X2 p

Hidup n (%)

Meninggal n (%)

Total n (%)

Status gizi

kurang

22 (57)

16 (43)

38 (100)

0,03 0,870

lxiii

baik 31 (59) 21 (41) 52 (100)

Total 53 (58) 37 (42) 90 (100)

Dari tabel 4.7 diketahui hubungan antara status gizi dan mortalitas, dimana 38

anak termasuk gizi kurang dengan 22 (57 %) anak hidup dan 16 (43 %) anak

meninggal. Status gizi baik terdapat pada 52 anak, diantaranya 31 (59 %) anak hidup

dan 21 (41 %) anak meninggal. Hubungan status gizi dan mortalitas secara statistik

tidak bermakna (X2 = 0,03; p = 0,870).

Tabel 4.8 Hubungan antara status gizi dan kadar laktat darah

Variabel Kadar laktat (mmol/L) X2 p

≤ 3,2 n (%)

> 3,2 n (%)

Total n (%)

Status gizi kurang

baik

16 (42) 32 (61)

22 (58) 20 (39)

38 (100) 52 (100)

3,33 0,068

Total 48 (53) 42 (47) 90 (100)

Hubungan status gizi dan kadar laktat darah tampak pada tabel 4.8, dimana 38

pasien dengan gizi kurang terdapat 22 (58 %) pasien memiliki kadar laktat darah >

3,2 mmol/L dan 16 (42 %) pasien kadar laktat ≤ 3,2 mmol/L. Terdapat 52 pasien

dengan gizi baik diantaranya 32 (61 %) pasien memiliki kadar laktat ≤ 3,2 mmol/L

dan 20 (39 %) pasien dengan kadar laktat darah > 3,2 mmol/L. Status gizi tidak

memiliki hubungan yang bermakna dengan kadar laktat darah (X2 = 3,33; p = 0,068).

Tabel 4.9 Hasil analisis regresi logistik ganda hubungan skor PELOD dan kadar laktat darah dengan mortalitas

lxiv

D

Tabel 4.9 menunjukkan hasil analisis regresi logistik berganda pada titik

potong kadar laktat darah > 3,2 mmol/L dan skor PELOD > 0 dengan

Dari perhitungan didapatkan kadar laktat darah > 3,2 mmol/L memiliki risiko

terjadinya mortalitas 1,62 kali dibandingkan kadar laktat darah ≤ 3,2 mmol/L secara

statistik tidak signifikan (p = 0,433). Skor PELOD > 0 memiliki risiko terjadinya

mortalitas sebesar 19,34 kali dibandingkan skor PELOD ≤ 0 secara statistik

signifikan (p < 0,001).

Variabel OR p CI 95 %

Batas bawah Batas atas

Kontrol 0,13 < 0,001

Laktat

≤ 3,2 mmol/L

> 3,2 mmo/L

1

1.62

-

0,433

-

0,485

-

5,420

Skor PELOD

≤ 0

> 0

1

19,34

-

< 0,001

-

5,789

-

64,586

N observasi = 90

Log likelihood = 79,413

Nagelkerke R square = 0,502

P < 0,001

lxv

Gambar 4.1 Hubungan antara kadar laktat darah dan skor PELOD

Dari gambar 4.1 diagram baur (scatter plot) hubungan antara kadar laktat

darah dan skor PELOD terlihat lemah dari terlihatnya garis yang hampir mandatar

dengan R2 = 0,32. Hal ini berarti bahwa skor PELOD mampu menjelaskan variasi

kadar laktat sebesar 32 %.

B. Pembahasan

Penelitian ini merupakan studi kohort yang dilakukan PICU RS. Dr. Moewardi

Surakarta dengan mengambil rentang waktu antara bulan April-Juni 2009 dan

Oktober-Desember 2009. Pasien yang masuk ke PICU sebanyak 143 orang. Sampel

yang didapatkan sebanyak 90 orang. Dari hasil pengamatan terdapat 37 subyek yang

meninggal dan 53 orang subyek yang hidup. Dari 37 subyek yang meninggal,

diantaranya 25 laki-laki dan 12 perempuan. Menurut hasil perhitungan statistik, tidak

lxvi

ada hubungan antara jenis kelamin dengan mortalitas (X2= 0,11; p= 0,737). Hal ini

sesuai dengan penelitian Thukral di India tahun 2007 (Thukral dkk, 2007).

Distribusi diagnosis masuk PICU subyek yang dirawat cukup bervariasi.

Selain menerima pasien dari bagian anak, ruang PICU juga menerima dari bagian lain

diantaranya dari bagian THT dan bedah. Bagian bedah menempati lebih dari separuh

kasus yaitu 57,8% sedang sisanya 42,2% dari bagian non bedah. Hasil ini sesuai

dengan penelitian Mayasari di PICU RS Dr. Moewardi Surakarta tahun 2008

(Mayasari, 2008). Hal ini karena RSDM adalah RS rujukan dengan fasilitas

pelayanan dokter subspesialis sehingga banyak pasien dari luar daerah yang dirujuk

ke RSDM. Hampir seluruh pasien pasca operasi yang dirawat di ruang PICU

memiliki kecenderungan untuk mengalami gagal napas dan membutuhkan bantuan

ventilator. Kasus non bedah sebanyak 42,2% terdiri dari kasus pneumonia dengan

gagal nafas, meningoencefalitis, syok hipovolemik e/c diare akut dehidrasi berat dan

dengue shock syndrome.

Nilai median kadar laktat darah yang diperiksa 6 jam setelah masuk ruang

PICU sebesar 3,2 mmol/L digunakan sebagai nilai nominal untuk mencari hubungan

kadar laktat dan mortalitas dengan uji X2 . Terdapat hubungan ynag signifikan antara

kadar laktat > 3,2 mmol/L dengan mortalitas (X2 = 21,24; p < 0,001). Korelasi

nonparametrik Spearman’s rho menunjukkan koefisien korelasi yang lemah sebesar

0,507. Penelitian yang dilakukan Duke tahun 1999 menemukan 12 jam setelah masuk

perawatan intensif, kadar laktat darah > 3 mmol/L memiliki nilai duga positif untuk

kematian sebesar 56% dan kadar laktat ≤ 3 mmol/L mempunyai nilai duga positif

lxvii

untuk hidup sebesar 84% (Duke, 1999; Agrawal dkk, 2004). Separuh lebih pasien

(53,3%) memiliki kadar laktat ≤ 3,2 mmol/L, hal ini secara tidak langsung

menunjukkan pasien bedah yang masuk ke ruang PICU memiliki kadar laktat yang

rendah. Hampir seluruh pasien bedah yang masuk ruang PICU tidak mengalami

gangguan sirkulasi ataupun jika mengalami gangguan sirkulasi dapat teratasi dengan

1 atau 2 kali bolus cairan kristaloid 20 cc/kgBB secepatnya. Hal ini berbeda dengan

pasien anak yang masuk ruang PICU dengan keadaan yang berat yang seringkali

berlanjut menjadi MODS.

Skor PELOD terdiri dari 10 macam pemeriksaan yang terbagi dalam 6 fungsi

organ. Nilai median skor PELOD sebesar 0 digunakan sebagai nilai nominal untuk uji

X2 mencari hubungan skor PELOD dengan mortalitas. Terdapat hubungan yang

signifikan skor PELOD > 0 dan mortalitas (X2 = 59,98; p < 0,001). Koefisien korelasi

Spearman’s rho menunjukkan korelasi yang kuat sebesar 0,816. Terdapat 37 pasien

(41,1%) dengan skor PELOD >0, diantaranya 33 (90 %) pasien meninggal dan hanya

4 (10 %) pasien yang hidup. Hampir seluruh pasien dengan skor PELOD > 0 adalah

pasien anak dengan sakit berat dan keluar dari ruang PICU dengan MODS.

Hasil penelitian ini sangat berbeda dengan hasil penelitian Metta dkk di RS

Hasan Sadikin tahun 2005 yaitu rata-rata skor PELOD pada pasien yang hidup 13,5

dan rata-rata pasien yang meninggal memiliki skor PELOD 22,2 (Metta dkk, 2005).

Hal ini dapat disebabkan karena dalam penelitian Metta dkk terdiri dari 32 pasien dan

diantaranya hanya 3 pasien bedah sedangkan pada penelitian ini 52 (57,8%) pasien

dari 90 pasien penelitian adalah kasus bedah sehingga didapatkan skor PELOD yang

lxviii

sangat rendah. Dalam penelitian ini hanya 6 pasien bedah yang akhirnya meninggal

karena MODS akibat komplikasi sepsis. Keterbatasan obat-abatan yang diperoleh

pada pasien JAMKESMAS turut berperan dalam pengelolaan pasien sehingga terjadi

MODS pada pasien bedah.

Lama sakit rata-rata pasien 4,3 hari dengan nilai median 1 hari. Nilai median

ini digunakan sebagai nilai nominal untuk mencari hubungan lama sakit dengan

mortalitas. Lama sakit > 1 hari terdapat pada 41 pasien, diantaranya 25 (69 %) pasien

meninggal dan 16 (31 %) pasien hidup. Terdapat hubungan yang signifikan antara

lama sakit dengan mortalitas (X2 = 12,27; p < 0,001). Lama sakit merupakan

penilaian yang kurang obyektif dan dalam penelitian ini didapatkan rata-rata dan nilai

median lama sakit yang pendek karena pada penelitian ini sebagian besar kasus bedah

merupakan kelainan kongenital seperti megakolon kongenital dan pasca operasi

atresia ani yang lama sakitnya sulit dinilai dalam hari. Penilaian lama sakit ini lebih

sesuai untuk kasus anak seperti pneumonia, meningoencefalitis dan diare akut

dehidrasi berat yang perjalanan penyakitnya dapat berubah dalam hitungan jam.

Beberapa pasien anak yang meninggal dalam perawatan ≤ 24 jam, masuk ke ruang

PICU dalam keadaan sangat berat dengan MODS yang membutuhkan ventilator.

Tidak ada penelitian sebelumnya yang menilai hubungan lama sakit sebelum

perawatan di ruang PICU dengan mortalitas.

Status gizi kurang terdapat pada 38 pasien diantaranya 22 (57 %) pasien hidup

dan 16 (43 %) pasien meninggal. Hubungan status gizi dan mortalitas secara statistik

tidak bermakna (X2 = 0,03; p = 0,870). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan

lxix

penelitian Onis tahun 2000 bahwa di negara sedang berkembang, malnutrisi berat

memiliki 6,8 kali risiko kematian dibandingkan anak dengan gizi baik (Schroeder dan

Brown, 1994; Onis, 2000). Hal ini kemungkinan karena

sampel penelitian hanya 90 pasien dan tidak satupun yang mengalami gizi buruk atau

malnutrisi berat. Status gizi baik terdapat pada 52 pasien diantaranya 32 (61 %)

pasien memiliki kadar laktat darah ≤ 3,2 mmol/L dan 20 (39 %) pasien dengan kadar

laktat > 3,2 mmol/L. Hubungan status gizi dan kadar laktat darah secara statistik tidak

bermakna (X2 = 3,31; p = 0,068). Hal ini dapat terjadi karena pasien dalam penelitian

tidak ada yang mengalami gizi buruk sehingga status gizi tidak berhubungan dengan

kadar laktat darah. Menurut Duke dapat terjadi gangguan produksi laktat seperti pada

keadaan malnutrisi akibat deplesi penyimpanan glukosa, tapi belum pernah diuji

adanya abnormalitas metabolik pada anak dengan shock septik yang tidak pernah

mengalami hiperlaktatemia (Duke, 1999).

Hasil analisis regresi logistik berganda pada titik potong kadar laktat darah >

3,2 mmol/L dan skor PELOD > 0 dengan mortalitas, didapatkan kadar laktat darah >

3,2 mmol/L memiliki risiko terjadinya mortalitas 1,6 kali dibandingkan kadar laktat

darah ≤ 3,2 mmol/L secara statistik tidak signifikan (p = 0,433). Hubungan kadar

laktat darah dan mortalitas ini menunjukkan kekuatan yang sedang tapi secara

statistik tidak bermakna. Nilai p yang sangat jauh dari nilai 0,05 menunjukkan

kekuatan hubungan tersebut tidak dipengaruhi oleh besar sampel.

lxx

Skor PELOD > 0 memiliki risiko terjadinya mortalitas sebesar 19,34 kali

dibandingkan skor PELOD ≤ 0 secara statistik signifikan (p < 0,001). Hubungan skor

PELOD dan mortalitas ini menunjukkan kekuatan hubungan yang sangat kuat dan

secara statistik bermakna dengan nilai p < 0,001. Skor PELOD dapat digunakan

sebagai prediktor mortalitas pada pasien yang dirawat di PICU. Skor PELOD

merupakan skor kumulatif (skala agregat) yang menyatakan beratnya kerusakan tiap

organ dan secara keseluruhan beratnya disfungsi organ. Skor ini selanjutnya

menginterpretasikan nilai duga atau prediksi mortalitas berdasarkan mortalitas yang

diamati pada pasien (Lacroix dan Cotting, 2005). Disfungsi organ yang dapat diukur

dengan skor PELOD merupakan proses yang berlanjut akibat respon tubuh yang tidak

adekuat dalam terjadinya inflamasi atau trauma yang pada akhirnya menyebabkan

mortalitas pada penderita (Sharma dan Eschun, 2006). Skor PELOD meliputi data

yang dapat diubah oleh intensivist selama perawatan di PICU dan karena itu tidak

dapat membedakan antara terapi dan beratnya penyakit (Thukral dkk, 2007). Dari

penelitian sebelumnya diketahui adanya keterbatasan penggunaan skor PELOD

sebagai prediktor mortalitas yaitu tidak disertakannya aspek lain yang juga

mempengaruhi mortalitas seperti status gizi, imunodefisiensi, pasca bedah, lamanya

sakit dan terapi yang didapatkan sebelumnya (Metta dkk, 2005).

Pada penelitian ini juga dilakukan pendataan obat-obat jangka lama yang

digunakan pasien yang mempengaruhi kadar laktat darah pada 6 jam pertama saat

dirawat di PICU, tapi hanya didapatkan 3 pasien yang menggunakan obat-obatan

yaitu asetaminofen dan epinefrin. Pasien yang menggunakan epinefrin adalah rujukan

lxxi

dari RS luar yang telah mengalami perawatan di PICU. Penggunaan obat yang lain

yang mempengaruhi kadar laktat darah tidak didapatkan, hal ini dapat terjadi karena

pada anak-anak jarang digunakan obat simptomatis jangka lama dan pengaruh

pendidikan ibu (sebagian besar pasien adalah pasien JAMKESMAS dengan

pendidikan orangtua yang rendah) dalam mengetahui obat yang diminum anaknya

juga menyebabkan data tentang obat tidak obyektif.

Dari diagram baur hubungan kadar laktat dengan skor PELOD didapatkan R2

= 0,32 dengan garis yang hampir mendatar menunjukkan hubungan yang sangat

lemah. Hal ini berarti bahwa skor PELOD mampu menjelaskan variasi kadar laktat

sebesar 32 %. Sehingga 68 % adalah penyebab selain kadar laktat darah. Hal ini

kemungkinan terjadi karena pasien yang masuk dalam penelitian memiliki skor

PELOD rata-rata yang rendah dan sebagian besar dengan skor PELOD 0 yang tidak

mengalami disfungsi organ sehingga peningkatan kadar laktat akibat terjadinya

disfungsi organ tidak dapat terwakili dari sampel penelitian tersebut. Belum pernah

dilakukan penelitian untuk mencari hubungan kadar laktat darah dengan skor

PELOD.

C. Kelemahan penelitian

Jumlah subyek yang kurang mewakili kasus dengan disfungsi organ

memberikan pengaruh terhadap analisis data yang bertujuan mencari hubungan kadar

laktat dengan skor PELOD. Diperlukan penelitian dengan jumlah subyek yang lebih

besar terutama yang mewakili kasus dengan disfungsi organ sehingga dapat

lxxii

mendapatkan hasil yang lebih baik yang dapat menggambarkan keadaan

sesungguhnya dalam populasi.

Pengukuran kadar laktat yang dilakukan hanya sekali tidak dapat

menggambarkan kondisi pasien yang berubah sesuai derajat berat penyakitnya.

Sebaiknya kadar laktat diukur serial dalam periode waktu tertentu sehingga dapat

diketahui perubahan kadar laktat darah.

Pengukuran skor PELOD yang dilakukan hanya sekali saja setelah pasien

dirawat 6 jam di PICU, tidak mewakili perkembangan kondisi dari waktu ke waktu

karena sebagian besar sampel masuk tanpa disertai disfungsi organ. Sebaiknya

dilakukan penilaian skor PELOD harian sesuai dengan penelitian validasi skor

PELOD untuk menilai disfungsi organ.

Penelitian ini merupakan studi kohort yang menggambarkan perjalanan

penyakit, tetapi pada penelitian ini penilaian kadar laktat darah dan skor PELOD

tidak dilakukan serial sehingga perubahan terjadinya disfungsi organ tidak dapat

ditentukan waktunya.

lxxiii

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari penelitian ini terdapat 90 subyek penelitian dengan 42 pasien dengan kadar

laktat darah > 3,2 mmol/L, diantaranya 28 pasien meninggal dunia dan 14 pasien

hidup. Kadar laktat darah > 3,2 memiliki hubungan yang bermakna secara statistik

dengan mortalitas (X2=21,24; p < 0,001). Dari 90 pasien yang masuk dalam

penelitian, 37 pasien memiliki skor PELOD > 0, diantaranya 33 pasien meninggal

dan hanya 4 pasien yang hidup. Skor PELOD > 0 memiliki hubungan yang bermakna

secara statistik dengan mortalitas (X2=59,98; p < 0,001).

lxxiv

Analisis regresi linier kadar laktat darah dan skor PELOD menghasilkan garis

yang mendekati nilai nol, R2 = 0,32, sehingga secara statitik didapatkan hubungan

yang lemah.

Analisis regresi logistik berganda antara kadar laktat darah, skor PELOD dan

mortalitas didapatkan hasil kadar laktat darah > 3,2 mmol/L memiliki risiko

terjadinya mortalitas 1,62 kali dibandingkan kadar laktat darah ≤ 3,2 mmol/L secara

statistik tidak signifikan (p = 0,433). Skor PELOD > 0 memiliki risiko terjadinya

mortalitas sebesar 19,34 kali dibandingkan skor PELOD ≤ 0 secara statistik

signifikan (p < 0,001).

B. Saran

Pada penelitian ini kadar laktat darah diukur dengan alat portable yang dapat

digunakan sebagai laboratorium bed side dan secara biaya lebih ekonomis

dibandingkan pemeriksaan dengan mesin autoanalisa dan pemeriksaan laboratorium

yang diperlukan pada skor PELOD. Pemeriksaan kadar laktat darah pada awal

perawatan terutama pada pasien yang sakit berat dapat sebagai prediktor keadaan

disfungsi organ dan secara tidak langsung mortalitas pasien terutama pada fasilitas

kesehatan dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Dari hasil penelitian ini, kadar

laktat darah 6 jam setelah dirawat di ruang PICU RSDM sebesar 3,2 mmol/L

memiliki hubungan yang bermakna dengan mortalitas. Hal ini sesuai dengan

penelitian sebelumnya, sehingga perlu dilakukan tata laksana yang lebih agresif

sesuai prosedur perawatan. Skor PELOD > 0 pada 6 jam pertama setelah dirawat di

lxxv

ruang PICU atau adanya disfungsi organ pada pasien mempunyai hubungan yang

bermakna secara statistik dengna mortalitas, sehingga perlu pengawasan yang lebih

ketat pada pasien yang mengalami disfungsi organ agar tidak terjadi penambahan

disfungsi organ selanjutnya akibat perjalanan penyakit yang semakin berat.

C. Implikasi Penelitian

1. Bagi Bidang Akademik

Pemeriksaan kadar laktat serial penting untuk memantau keberhasilan terapi

khususnya resusitasi sehingga perfusi organ dapat dipertahankan normal. Kadar laktat

yang tetap tinggi selam pemeriksaan serial; sebagai petanda penting keadaan pasien

yang memburuk. Skor PELOD harian perlu dilakukan disamping skor PELOD awal

saat masuk di ruang rawat PICU untuk mengetahui perkembangan khususnya

bertambahnya disfungsi organ dan untuk memberikan keterangan yang lebih obyektif

kepada orangtua pasien agar dapat turut serta dalam membuat keputusan medis.

2. Bagi Bidang Pelayanan Kedokteran Keluarga

Bagi seorang dokter keluarga, pemahaman tentang perjalanan penyakit yang

menuju pada disfungsi organ multipel dengan segala faktor yang mempengaruhinya

perlu diketahui. Adanya kondisi yang berat dalam perjalanan penyakit yang

membutuhkan perawatan di ruang PICU membutuhkan perhatian dan kewaspadaan

yang tinggi dari dokter yang merawatnya sehingga dapat memaksimalkan potensi

sarana dan prasarana untuk keberhasilan terapi.

lxxvi

DAFTAR PUSTAKA

Adams BD, Bonzani TA, Hunter CJ. 2006. The anion gap does not accurately screen for lactic acidosis in emergency department patients. Emerg Med J, 23, 179-182

Aguirre GP. 2007. Child mortality and reproductive patterns in Bolivia, 1993-1998.

Diunduh dari http://ccp.ucr.ac.cr/revista (15 Oktober 2008).

lxxvii

Agrawal S, Sachadev A, Gupta D, Chugh K. 2004. Role of lactate in critically ill children. Indian J Crit Care Med, 8, 173-181

Behmanesh S, Kempski O. 2000. Mechanisms of endothelial cell swelling from

lactacidosis studied in vitro. Am J Physiol Heart Circ Physiol, 279, 1512-17 Bellomo R. 2002. Bench-to-bedside review: Lactate and the kidney. Critical Care, 6,

322-326 Brandis K. 2005. Acid –base physiology : Lactic acidosis. Diunduh dari

http://www.anaesthesiaMCQ.com. (16 Juli 2008). Brooks GA. 2002. Lactate shuttles in nature. Biochemical Society Transactions, 30,

258-364 Cavazzoni SLZ, Dellinger RP. 2006. Hemodynamic optimization of sepsis-induced

tissue hypoperfusion. Critical Care, 10(suppl 3),S2 Chrusch C, Bands C, Bose D, Li Xing, Jacobs H, Duke K et al. 2000. Impaired

hepatic extraction and increased splanchnic production contribute to lactic acidosis in canine sepsis. Am J Respir Crit Care Med, 161, 517-526

Depkes RI. 2005. Penentuan status gizi anak. Dalam: Buku bagan tatalaksana anak

gizi buruk. Jakarta.h. 2

Duke T. 1999. Dysoxia and lactate. Arch Dis. Child, 81, 343-50

Emeis M, Sonntag J, Willam C, Strauss E, Walka MM, Obladen M. 1998. Acidosis activates complement system in vitro. Mediators of Inflammation, 7, 417-420

Ewaschuk JB, Naylor JM, Zello GA. 2005. D-lactate in human and ruminant

metabolism. J Nutr, 135, 1619-25 Fall PJ, Szerlip HM. 2005. Lactic acidosis: From sour milk to septic shock. Intensive

Care Med, 20, 255-71 Fencl V, Jabor A, Kazda A, Figge J. 2000. Diagnosis of metabolic acid-base

disturbances in critically ill patients. Am J Respir Crit Care Med, 162, 2246-2251

Forni LG, McKinnon W, Lord GA, Treacher GF, Peron JM, Hilton PJ. 2005.

Circulating anions usually associated with the Krebs cycle in patient with metabolic acidosis. Critical Care, 9, R591-R595

lxxviii

Gladden LB. 2004. Lactate metabolism: a new paradigm for the third millennium. J Physiol, 558, 5-30

Goldstein B, Giroir B, Randolph A and the Members of the International Consensus

Conference on Pediatric Sepsis. 2005. Definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. International pediatric sepsis consensus conference. Pediatr Crit Care Med, 6, 1-8

Griffiths J. 2007. Lactic acidosis – physiology and management. Diunduh dari

http://www.frca.co.uk. (16 Juli 2008). Gunnerson KJ, Saul M, He Shui, Kellum JA. 2006. Lactate versus non-lactate

metabolic acidosis: a retrospective outcome evaluation of critically ill patients. Critical Care, 10, R22

Hosani HA, Brebner J, Bener AB, Norman JN. 2003. Study of mortality risk factors

for children under age 5 in Abu Dhabi. Eastern Mediteranean Health J, 9, 333-343

Iscra F, Gullo A, Biolo G. 2002. Bench-to-bedside review: Lactate and the Lung.

Critical Care, 6, 327-329 Johnson D, Mayers I. 2001. Multiple organ dysfunction syndrome: a narrative

review. Canadian J of Anesthesia, 10, 502-508 Katz J dkk. 2003. Risk factors for early infant mortality in Sarlahi district, Nepal.

Bulletin of the World Health Organization, 81, 717-725. Kellum JA. 2004. Metabolic acidosis in patients with sepsis: Epiphenomenon or part

of the pathophysiology?. Critical Care and Resuscitation, 6, 197-203 Lacroix J, Cotting J. 2005. Severity of illness and organ dysfunction scoring in

children. Pediatr Crit Care Med, 6, 126-134. Leteurtre S, Martinot A, Duhamel A, Proulx F, Grandbastien G, Cotting J et al. 2003.

Validation of the paediatric logistic organ dysfunction (PELOD) score: prospective, observational, multicentre study. The Lancet, 362, 192-197

L’her E, Sebert P. 2001. A global approach to energy metabolism in an experimental

model of sepsis. Am J Respir Crit Care Med, 164, 1144-47. Luft FC. 2001. Lactic acidosis update for critical care clinicians. J Am Soc Nephrol,

12, S15-S19

lxxix

Mayasari D. 2009. Skor Pediatric Risk of Mortality III (PRISM III) sebagai prediktor mortalitas pasien di ruang rawat intensif anak RSUD DR. Moewardi surakarta; tesis, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Meregalli A, Oliveira RP, Friedman G. 2004. Occult hypoperfusion is associated with

increased mortality in hemodynamically stable, high-risk, surgical patients. Critical Care, 8, R60-R65

Metta D, Soebardja D, Hudaya D. 2006. The use of pediatric logistic organ

dysfunction (PELOD) scoring system to determine the prognosis of patients in pediatric intensive care units. Pediatrica Indonesiana, 46, 1-6.

Maciel AT, Park M. 2007. Unmeasured anions account for most of the metabolic

acidosis in patients with hyperlactatemia. Clinics, 62, 55-62 Nicks BA. 2006. Lactic acidosis. Diunduh dari

http://www.emedicine.com/EMERG/topic291.htm. (16 Juni 2008) NN. 2000. Glassgow Coma Scale. Diunduh dari

www.unc.edu/~rowlett/units/scales/glasgow.htm (20 September 2008) NN. 2005. PELOD Score. Diunduh dari www.ChangBioscience.com (15 September

2008). Onis M. 2000. Measuring nutritional status in relation to mortality. Bulletin of The

World Health Organization, 78 (10), 1271-74. Oud L, Haupt MT. 1999. Persistent gastric intramucosal ischemia in patient with

sepsis following resuscitation from shock. Chest, 115, 1390-1396

Philp A, MacDonald AL, Watt PW. 2005. Lactate – a signal coordinating cell and systemic function. The Journal of Experimental Biology, 208, 4561-4575

Pollack MM, Marcin JP, Patel KM, Sprague BM, Ruttiman UE. 1999.

Prognostication and certainty in the paediatric intensive care unit. Pediatrics, 104, 868-873.

Proulx F, Fayon M, Farrell CA dkk. 1996. Epidemiology of sepsis and multiple organ

dysfunction syndrome in children. Chest, 109, 1033-1037. Schroder DG, Brown KH. 1994. Nutritional status as a prediction of child survival:

summarizing the association and quantifying its global impact. Bulletin of The World Health Organization, 72 (4), 569-79.

lxxx

Schurr A. 2006. Lactate: the ultimate cerebral oxidative energy substrate?. Journal of

Cerebral Blood flow & Metabolism, 26, 142-152 Sharma S. 2006. Lactic acidosis. Diunduh dari

http://www.emedicine.com/med/TOPIC1253.HTM. (16 Juni 2008). Sharma S, Eschun G. 2006. Multisystem organ failure of sepsis. Diunduh dari

http://www.emedicine.com/med/topic3372.htm. (2 Juli 2008) Shew C dkk. 2005. The contribution of causes of death to socioeconomic inequalities

in child mortality: New Zealand 1981-1999. J New Zealand Med Association, 118, 1-9.

Sontag J, Erneis M, Strauss, Obladen M. 1998. In vitro activation of complement and

contact system by lactic acidosis. Mediators of Inflammation, 7, 49-51 Tim Adair. 2004. Child mortality in Indonesia’s mega-urban regions: Measurement,

analysis of differentials and policy implications. Dalam 12th Biennial Conference of the Australian Population Asssociation.

Thukral A, Kohli U, Lodha R, Kabra SK, Arora NK. 2007. Validation of the PELOD

Score for Multiple Organ Dysfunction in Children. Indian Pediatrics, 44, 683-686.

Tuhay G, Pein MC, Masevicius FD, Kutscherauer DO, Dubin A. 2008. Severe

hyperlactatemia with normal base excess: a quantitative analysis using conventional and Stewart approaches. Critical Care, 12, R66

Yassen KA, Galley HF, Lee A, Webster NR. 1999. Mitochondrial redox state in the

critically ill. British Journal of Anaesthesia, 83, 325-7 Voltarelli FA, Gobatto CA, Mello MAR. 2002. Determination of anaerobic threshold

in rats using the lactate minimum test. Braz J Med Biol Res, 35, 1389-1394

Lampiran 2

PENJELASAN PENELITIAN

lxxxi

Hubungan kadar laktat darah dengan skor PELOD (Pediatric Logistic Organ Dysfunction) terhadap mortalitas pasien di PICU RSDM Surakarta

Saat ini di Bagian Pediatri Gawat Darurat IKA FK UNS/RSUD Dr. Moewardi

Surakarta sedang melakukan penelitian hubungan kadar laktat darah dengan skor PELOD terhadap mortalitas pasien PICU RSDM Surakarta.

Penelitian ini mempunyai latar belakang untuk mengetahui beratnya kondisi awal saat pasien masuk ruang rawat intensif dan hubungannya dengan keadaan pasien saat keluar dari ruang rawat intensif. Informasi tersebut penting diketahui oleh dokter dan orangtua karena menyangkut terapi yang diberikan dan harapan hidup bagi pasien.

Dalam penelitian ini diperlukan pemeriksaan fisik dan laboratorium pada pasien. Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan tekanan darah, denyut jantung, reflek pupil mata, derajat kesadaran. Pemeriksaan darah meliputi analisa gas darah, fungsi liver, fungsi ginjal, jumlah sel darah putih, trombosit dan faktor pembekuan. Akibat tindakan ini akan timbul rasa sakit pada bekas suntikan dan timbul kebiruan ditempat bekas suntikan pada beberapa anak, yang akan menghilang sendiri. Pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menimbulkan bahaya pada pasien.

Biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan ini tidak dibebankan pada pasien atau walinya. Hasil pemeriksaan ini akan kami informasikan pada bapak/ibu dan semua data hasil pemeriksaan akan diperlakukan secara rahasia sehingga tidak diketahui oleh orang lain.

Kami sangat berharap bapak/ibu dapat memberi izin pada anak bapak/ibu untuk dapat berpartisipasi dalam penelitian ini. Harapan kami hal ini akan memberi manfaat pada anak dan juga bapak/ibu. Apabila ada hal-hal yang kurang jelas menyangkut penelitian ini, bapak/ibu dapat menghubungi kami, dr.Aisyah di bagian anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta atau melalui telepon dengan nomor HP 08882989940. Demikian penjelasan yang kami berikan dan kami mengucapkan terima kasih atas partisipasi dan kepercayaaan yang diberikan kepada kami.

Hormat saya, Dr. Aisyah

lxxxii

Lampiran 2

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

DAN TINDAKAN MEDIS

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Alamat :

Telepon

Pekerjaan :

Adalah orangtua atau wali dari :

Nama :

Umur :

Jenis kelamin : L / P

Menyatakan bersedia mengikuti penelitian dan tidak berkeberatan untuk

dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium, setelah mendapatkan keterangan yang

jelas dan lengkap tentang tujuan penelitian.

Surakarta,

Mengetahui Orangtua/wali

peserta penelitian

Peneliti,

Dr. Aisyah .........................................

Saksi

...................................

Lampiran 3

lxxxiii

FORMULIR DATA PENELITIAN

Pasien nama dan tanggal masuk :

Umur dan jenis kelamin :

BB (kg) dan TB (cm) :

Status gizi :

Diagnosa masuk :

Diagnosa keluar :

Jumlah disfungsi organ :

Total Skor PELOD :

Prediksi angka kematian :

Kadar laktat darah : mmol/L

Lama rawat : (jam) atau (hari)

Keadaan saat keluar PICU: hidup atau mati

Lama sakit sebelumnya : (hari)

Penggunaan obat jangka lama : ya atau tidak

n alkohol

n etillen glikol

n salisilat

n asetaminofen

n epinefrin

n terbutalin

lxxxiv

SKOR PELOD

Sistem organ dan variabelnya Poin yang menunjukkan tingkat beratnya disfungsi organ

0 1 10 20 Sistem respirasi

PaO2 (mmHg)/ rasio FiO2 (kPa/%) PaCO2 (mmHg atau kPa) Ventilasi mekanis

>70 (9,3) dan ≤90 (11,7) dan tanpa ventilasi

- -

Ventilasi

≤ 70 (9,3) atau

> 90 (11,7) -

- - -

Sistem kardiovaskuler Denyut jantung (denyut/menit)

<12 tahun ≥12 tahun

Tekanan darah sistolik (mmHg) < 1 bulan 1 bln – 1 tahun 1 – 12 tahun ≥ 12 tahun

≤ 195 ≤ 150 dan > 65 > 75 > 85 > 95

- - - - - -

> 195 > 150 atau

35 – 65 35 – 75 45 – 85 55 – 95

- -

< 35 < 35 < 45 < 55

Sistem neurologi Skor GCS Reflek pupil

12 – 15 dan keduanya

reaktif

7 – 11

-

4 – 6 atau

keduanya tetap

3 -

Sistem hepatal ALT atau SGOT (IU/L) PT (% standar), INR

< 950 dan

> 60 atau < 1,4

≥ 950 atau

≤ 60 atau < 1,4

- -

- -

Sistem renal: kretinin µmol/L (mg/L) < 7 hari 7 hari – 1 tahun 1 – 12 tahun ≥ 12 tahun

< 140 (1,59) < 55 (0,62)

< 100 (1,13) < 140 (1,59)

- - - -

≥ 140 (1,59) ≥ 55 (0,62)

≥ 100 (1,13) ≥ 140 (1,59)

- - - -

Sistem hematologi Leukosit (109 /L) Trombosit (109/L)

> 4,5 dan

≥ 35

1,5 – 4,4 atau

< 35

< 1,5

-

- -

Seluruh variabel diukur setidaknya sekali, Jika tidak diukur, untuk kepentingan skoring, dianggap berada dalam batas normal. Jika diukur lebih dari sekali dalam 24 jam, nilai yang paling berat digunakan dalam penghitungan skor. Dalam penghitungan skor PELOPD, setiap disfungsi organ memberikan poin untuk variabel tunggal yang dihubungkan dengan poin yang terbesar. Contohnya, jika denyut jantung paling buruk dalam sehari adalah 200 kali/menit (PELOD 10 poin) dan tekanan darah sistolik 30 mmHg (PELOD 20 poin), maka PELOD 20 poin digunakan untuk sistem kardiovaskuler. Poin tidak ditambahkan menjadi poin 30 untuk disfungsi organ tersebut; maksimum poin untuk satu organ adalah 20 dan skor PELOD maksimum adalah 71. Untuk skor PELOD harian, jika variabel tidak diukur maka diasumsikan nilainya sama dengan pengukuran terakhir (jika dokter menganggap nilainya tidak berubah) atau normal (jika dokter berasumsi nilainya normal).

lxxxv

Lampiran 4

lxxxvi

Lampiran 5

lxxxvii

Frequencies

Statistics

90 90 90

0 0 0

43.57 .66 .58

12.50 1.00 1.00

4a 1 1

48.449 .478 .497

1 0 0

156 1 1

Valid

Missing

N

Mean

Median

Mode

Std. Deviation

Minimum

Maximum

UMURJenis

KelaminDiagnosis

Masuk

Multiple modes exist. The smallest value is showna.

Frequency Table

Jenis Kelamin

31 34.4 34.4 34.4

59 65.6 65.6 100.0

90 100.0 100.0

Perempuan

Laki-Laki

Total

ValidFrequency Percent Valid Percent

CumulativePercent

Diagnosis Masuk

38 42.2 42.2 42.2

52 57.8 57.8 100.0

90 100.0 100.0

Non Bedah

Bedah

Total

ValidFrequency Percent Valid Percent

CumulativePercent

Frequencies

Statistics

90 90 90

0 0 0

3.5289 6.14 4.30

3.2000 .00 1.00

2.60 0 0

1.37688 9.166 10.978

1.80 0 0

8.40 31 90

Valid

Missing

N

Mean

Median

Mode

Std. Deviation

Minimum

Maximum

Laktat darah PELOD Lama Sakit

lxxxviii

Nonparametric Correlations

Crosstabs Mortalitas * LAKTAT

Crosstab

9 28 37

19.7 17.3 37.0

24.3% 75.7% 100.0%

18.8% 66.7% 41.1%

10.0% 31.1% 41.1%

39 14 53

28.3 24.7 53.0

73.6% 26.4% 100.0%

81.3% 33.3% 58.9%

43.3% 15.6% 58.9%

48 42 90

48.0 42.0 90.0

53.3% 46.7% 100.0%

100.0% 100.0% 100.0%

53.3% 46.7% 100.0%

Count

Expected Count

% within Mortalitas

% within LAKTAT

% of Total

Count

Expected Count

% within Mortalitas

% within LAKTAT

% of Total

Count

Expected Count

% within Mortalitas

% within LAKTAT

% of Total

Meninggal

Hidup

Mortalitas

Total

<= 3,2 > 3,2

LAKTAT

Total

Chi-Square Tests

21.244b 1 .000

19.311 1 .000

22.112 1 .000

.000 .000

21.008 1 .000

90

Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test

Linear-by-LinearAssociation

N of Valid Cases

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is17.27.

b.

Correlations

1.000 .507 **. .000

90 90.507 ** 1.000.000 .

90 90

Correlation CoefficientSig. (2-tailed)NCorrelation CoefficientSig. (2-tailed)N

Laktat darah

Mortalitas

Spearman's rhoLaktat darah Mortalitas

Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).**.

lxxxix

Symmetric Measures

.437 .000

90

Contingency CoefficientNominal by Nominal

N of Valid Cases

Value Approx. Sig.

Not assuming the null hypothesis.a.

Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.b.

Mortalitas * PELOD

Crosstab

4 33 37

21.8 15.2 37.0

10.8% 89.2% 100.0%

7.5% 89.2% 41.1%

4.4% 36.7% 41.1%

49 4 53

31.2 21.8 53.0

92.5% 7.5% 100.0%

92.5% 10.8% 58.9%

54.4% 4.4% 58.9%

53 37 90

53.0 37.0 90.0

58.9% 41.1% 100.0%

100.0% 100.0% 100.0%

58.9% 41.1% 100.0%

Count

Expected Count

% within Mortalitas

% within PELOD

% of Total

Count

Expected Count

% within Mortalitas

% within PELOD

% of Total

Count

Expected Count

% within Mortalitas

% within PELOD

% of Total

Meninggal

Hidup

Mortalitas

Total

<= 0 > 0

PELOD

Total

Chi-Square Tests

59.989b 1 .000

56.664 1 .000

68.197 1 .000

.000 .000

59.322 1 .000

90

Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio

Fisher's Exact Test

Linear-by-LinearAssociation

N of Valid Cases

Value dfAsymp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is15.21.

b.

xc

Symmetric Measures

.632 .000

90

Contingency CoefficientNominal by Nominal

N of Valid Cases

Value Approx. Sig.

Not assuming the null hypothesis.a.

Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.b.

Logistic Regression

Case Processing Summary

90 100.0

0 .0

90 100.0

0 .0

90 100.0

Unweighted Casesa

Included in Analysis

Missing Cases

Total

Selected Cases

Unselected Cases

Total

N Percent

If weight is in effect, see classification table for the totalnumber of cases.

a.

Dependent Variable Encoding

0

1

Original ValueMeninggal

Hidup

Internal Value

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

0 37 .0

0 53 100.0

58.9

ObservedMeninggal

Hidup

Mortalitas

Overall Percentage

Step 0Meninggal Hidup

Mortalitas PercentageCorrect

Predicted

Constant is included in the model.a.

The cut value is .500b.

Variables in the Equation

.359 .214 2.814 1 .093 1.432ConstantStep 0B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

xci

Variables not in the Equation

.027 1 .870

12.274 1 .000

12.344 2 .002

GIZI

LM_SAKIT

Variables

Overall Statistics

Step0

Score df Sig.

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

12.588 2 .002

12.588 2 .002

12.588 2 .002

Step

Block

Model

Step 1Chi-square df Sig.

Model Summary

109.319 .131 .176Step1

-2 Loglikelihood

Cox & SnellR Square

NagelkerkeR Square

Classification Tablea

25 12 67.6

16 37 69.8

68.9

ObservedMeninggal

Hidup

Mortalitas

Overall Percentage

Step 1Meninggal Hidup

Mortalitas PercentageCorrect

Predicted

The cut value is .500a.

Variables in the Equation

-.133 .471 .080 1 .777 .875 .347 2.205

-1.590 .467 11.615 1 .001 .204 .082 .509

1.211 .452 7.198 1 .007 3.358

GIZI

LM_SAKIT

Constant

Step1

a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: GIZI, LM_SAKIT.a.

xcii

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Jenis Kelamin * Mortalitas 90 100.0% 0 .0% 90 100.0%

Jenis Kelamin * Mortalitas Crosstabulation

Count

Mortalitas

Total Meninggal Hidup

Jenis Kelamin Perempuan 12 19 31

Laki-Laki 25 34 59

Total 37 53 90

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .113a 1 .737

Continuity Correctionb .012 1 .912

Likelihood Ratio .113 1 .737

Fisher's Exact Test .823 .458

Linear-by-Linear Association .111 1 .739

N of Valid Casesb 90

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.74.

b. Computed only for a 2x2 table

xciii

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Diagnosis Masuk * Mortalitas 90 100.0% 0 .0% 90 100.0%

Diagnosis Masuk * Mortalitas Crosstabulation

Count

Mortalitas

Total Meninggal Hidup

Diagnosis Masuk Non Bedah 24 14 38

Bedah 13 39 52

Total 37 53 90

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 13.204a 1 .000

Continuity Correctionb 11.675 1 .001

Likelihood Ratio 13.408 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 13.058 1 .000

N of Valid Casesb 90

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.62.

b. Computed only for a 2x2 table

xciv

Graph

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Lama Sakit * Mortalitas 90 100.0% 0 .0% 90 100.0%

Lama Sakit * Mortalitas Crosstabulation

Count

Mortalitas

Total Meninggal Hidup

Lama Sakit <=1 12 37 49

> 1 25 16 41

Total 37 53 90

xcv

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 12.274a 1 .000

Continuity Correctionb 10.813 1 .001

Likelihood Ratio 12.508 1 .000

Fisher's Exact Test .001 .000

Linear-by-Linear Association 12.138 1 .000

N of Valid Casesb 90

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16.86.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value

Asymp. Std.

Errora Approx. Tb Approx. Sig.

Interval by Interval Pearson's R -.369 .098 -3.728 .000c

Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -.369 .098 -3.728 .000c

N of Valid Cases 90

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.

c. Based on normal approximation.

Correlations

Correlations

Mortalitas pelod

Mortalitas Pearson Correlation 1 .816**

Sig. (2-tailed) .000

xcvi

N 90 90

pelod Pearson Correlation .816** 1

Sig. (2-tailed) .000

N 90 90

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Nonparametric Correlations

Correlations

Mortalitas pelod

Spearman's rho Mortalitas Correlation Coefficient 1.000 .816**

Sig. (2-tailed) . .000

N 90 90

pelod Correlation Coefficient .816** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 90 90

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Status Gizi * laktat 90 100.0% 0 .0% 90 100.0%

Status Gizi * laktat Crosstabulation

Count

laktat Total

xcvii

<= 3,2 > 3,2

Status Gizi Kurang 16 22 38

Baik 32 20 52

Total 48 42 90

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 3.331a 1 .068

Continuity Correctionb 2.596 1 .107

Likelihood Ratio 3.345 1 .067

Fisher's Exact Test .088 .053

Linear-by-Linear Association 3.294 1 .070

N of Valid Casesb 90

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.73.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value

Asymp. Std.

Errora Approx. Tb Approx. Sig.

Interval by Interval Pearson's R -.192 .104 -1.839 .069c

Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -.192 .104 -1.839 .069c

N of Valid Cases 90

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.

c. Based on normal approximation.

Logistic Regression

Case Processing Summary

xcviii

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 90 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 90 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 90 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of

cases.

Dependent Variable

Encoding

Original

Value Internal Value

hidup 0

mati 1

Block 0: Beginning Block

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant -.405 .215 3.551 1 .060 .667

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables laktat 12.507 1 .000

pelod 38.559 1 .000

Overall Statistics 38.913 2 .000

Block 1: Method = Enter

xcix

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 41.729 2 .000

Block 41.729 2 .000

Model 41.729 2 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R

Square

Nagelkerke R

Square

1 79.413a .371 .502

a. Estimation terminated at iteration number 5 because

parameter estimates changed by less than .001.

Classification Tablea

Observed

Predicted

Mortalitas Percentage

Correct hidup mati

Step 1 Mortalitas hidup 46 8 85.2

mati 7 29 80.6

Overall Percentage 83.3

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95.0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a laktat .483 .616 .614 1 .433 1.621 .485 5.420

pelod 2.962 .615 23.173 1 .000 19.337 5.789 64.586

Constant -2.027 .457 19.721 1 .000 .132

a. Variable(s) entered on step 1: laktat, pelod.