Hubungan Jam Kerja Dan Kejadian Hipertensi Pada Karyawan Tata Usaha Fakultas Kedokteran Unhas
description
Transcript of Hubungan Jam Kerja Dan Kejadian Hipertensi Pada Karyawan Tata Usaha Fakultas Kedokteran Unhas
HUBUNGAN JAM KERJA DAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA KARYAWAN TATA USAHA FAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS (FK UNHAS)
I. PENDAHULUAN
Tekanan darah merupakan faktor yang amat penting pada sistem sirkulasi. Peningkatan
atau penurunan tekanan darah akan mempengaruhi homeostatsis di dalam tubuh. Tekanan
darah selalu diperlukan untuk daya dorong mengalirnya darah di dalam arteri, arteriola,
kapiler dan sistem vena, sehingga terbentuklah suatu aliran darah yang menetap.1 Jika
sirkulasi darah menjadi tidak memadai lagi, maka terjadilah gangguan pada sistem
transportasi oksigen, karbondioksida, dan hasil-hasil metabolisme lainnya. Di lain pihak
fungsi organ-organ tubuh akan mengalami gangguan seperti gangguan pada proses
pembentukan air seni di dalam ginjal ataupun pembentukan cairan cerebrospinalis dan
lainnya. Terdapat dua macam kelainan tekanan darah darah, antara lain yang dikenal
sebagai hipertensi atau tekanan darah tinggi dan hipotensi atau tekanan darah rendah.1
Hipertensi telah menjadi penyakit yang menjadi perhatian di banyak Negara di dunia,
karena hipertensi seringkali menjadi penyakit tidak menular nomor satu di banyak negara.
Tekanan darah tinggi, atau yang sering disebut dengan hipertensi, merupakan salah satu
faktor risiko penyakit kardiovaskuler dengan prevalensi dan kematian yang cukup tinggi
terutama di negara-negara maju dan di daerah perkotaan di negara berkembang, sepertinya
halnya di Indonesia. Hipertensi disebabkan oleh adanya tekanan darah yang tinggi
melebihi normalnya. Hipertensi dikenal juga sebagai silent killer atau pembunuh
terselubung yang tidak menimbulkan gejala atau asimptomatik seperti penyakit lain. Pada
umumnya, sebagian penderita tidak mengetahui bahwa dirinya menderita tekanan darah
tinggi. Oleh sebab itu sering ditemukan secara kebetulan pada waktu penderita datang ke
dokter untuk memeriksa penyakit lain. Kenaikan tekanan darah tidak atau jarang
menimbulkan gejala-gejala yang spesifik. Pengaruh patologik hipertensi sering tidak
menunjukkan tanda-tanda selama beberapa tahun setelah terjadi hipertensi.2 Menurut
Boedhi-Darmojo dan Parsudi (1988), 43,9% penderita hipertensi tidak mengetahui bahwa
mereka menderita hipertensi.3
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi dua golongan yaitu hipertensi esensial
yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder yang diketahui penyebabnya
seperti gangguan ginjal, gangguan hormon, dan sebagainya. Jumlah penderita hipertensi
esensial sebesar 90-95%, sedangkan jumlah penderita hipertensi sekunder sebesar 5-10%.4
Untuk itu, hipertensi esensial lebih menuntut perhatian dalam upaya pencegahan dan
pengobatanya. Hal ini disebabkan penderita hipertensi esensial pada umumnya tidak
merasakan adanya gejala.
Tekanan darah tinggi adalah penyakit multifaktorial yakni penyakit yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu ciri-ciri individu seperti umur, jenis kelamin dan suku, faktor
genetik serta faktor lingkungan yang meliputi obesitas, stres, konsumsi garam, merokok,
konsumsi alkohol, dan sebagainya.5 Beberapa faktor yang mungkin berpengaruh terhadap
timbulnya hipertensi biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi secara bersama-sama sesuai
dengan teori mozaik pada hipertensi esensial. Teori tersebut menjelaskan bahwa terjadinya
hipertensi disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi, dimana faktor
utama yang berperan dalam patofisiologi adalah faktor genetik dan paling sedikit tiga
faktor lingkungan yaitu asupan garam, stres, dan obesitas.6
Hipertensi merupakan salah satu kasus kardiovaskular yang banyak dijumpai. Lima
puluh juta penduduk AS memiliki hipertensi. Dari jumlah tersebut 68% menyadari
diagnosis penyakit mereka, 53% menerima pengobatan, dan 27% dipanatau pada nilai
ambang batas 140/90 mmHg. Jumlah individu yang mengalami hipertensi meningkat
sejalan dengan meningkatnya usia dan hal ini lebih banyak dijumpai pada orang kulit
hitam dibandingkan orang kulit putih. Laju mortalitas untuk stroke dan penyakit jantung
koroner yang merupakan komplikasi utama hipertensi, telah menurun sampai 60 % dalam
3 dekade terakhir, akan tetapi sekarang laju tersebut menetap.6
Menurut Boedhi-Darmojo (2001) di Indonesia angka prevalensi hipertensi berkisar
antara 0,65-28,6%, Biasanya kasus terbanyak ada pada daerah perkotaan. Angka tertinggi
tercatat di daerah Sukabumi, diikuti daerah Silungkang, Sumatera barat (19,4%) serta yang
terendah didaerah lembah Bariem, Irian Jaya.2
Berdasarkan penelitian hipertensi Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) 2001
menunjukkan proporsi hipertensi pada pria 27% dan wanita 29%. Penyakit sistem sirkulasi
dari hasil SKRT tahun 1992, 1995, dan 2001 selalu meduduki peringkat pertama dengan
prevalensi terus meningkat yaitu 16,0%, 18,9%, dan 26,4%. Survei faktor risiko penyakit
kardiovaskular (PKV) oleh proyek WHO di Jakarta, menunjukkan angka prevalensi
hipertensi dengan tekanan darah 160/90 mmHg masing-masing pada pria adalah 13,6%
(1988), 16,5% (1993), dan 12,1% (2000). Pada wanita, angka prevalensi mencapai 16%
(1988), 17% (1993), dan 12,2% (2000). Secara umum, prevalensi hipertensi pada usia
lebih dari 50 tahun berkisar antara 15%-20%. Survei di pedesaan Bali menemukan
prevalensi pria sebesar 46,2% dan 53,9% pada wanita.2,3
Hasil penelitian Zamhir (2004) menunjukkan prevalensi hipertensi di Pulau Jawa
41,9%, dengan kisaran di masing-masing provinsi 36,6%-47,7%. Prevalensi di perkotaan
39,9% (37,0%-45,8%) dan di perdesaan 44,1% (36,2%-51,7%). Semarang sebagai ibukota
provinsi Jawa tengah memiliki angka prevalensi sebesar 8,2% dari berbagai profesi. Data
tentang jumlah kasus baru penyakit-penyakit tidak menular di rumah sakit umum
pemerintah di provinsi jawa tengah tahun 1998 menunjukkan bahwa penyakit hipertensi
diderita oleh 145.263 (32%) pasien rawat jalan. Sedangkan menurut kelompok umur
penyakit hipertensi pada usia 15-44 tahun menempati urutan ke tiga dan pada kelompok
umur > 45 tahun menduduki urutan pertama dari 10 besar penyakit pada tahun 1996-
1997.7
Semua studi tentang prevalensi tekanan darah tinggi tersebut merupakan studi pada
populasi umum atau semua yang kelompok beresiko maupun kelompok tidak beresiko.
Penelitian epidemiological telah menyarankan bahwa lingkungan kerja, terutama stres saat
bekerja, memainkan peran penting dalam pengembangan hipertensi. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa jam kerja yang panjang juga dapat menjadi sebuah faktor risiko
untuk hipertensi.8
Beberapa studi Jepang telah menemukan hubungan positif antara jam kerja yang
panjang dan hipertensi. Hayashi dkk menunjukkan bahwa pengukuran tekanan darah rawat
jalan (baik sistolik dan diastolik) pekerja dengan 88 jam lembur per bulan secara
signifikan lebih tinggi daripada orang-orang yang bekerja hanya 25 jam per bulan. Selain
itu, tekanan darah diastolik pekerja rawat inap dengan 88 jam lembur di musim sibuk
secara signifikan lebih tinggi dari kelompok pekerja selama musim kurang sibuk.8
Jam kerja pegawai negeri sipil yang diatur sesuai Keppres No. 68 Tahun 1995 tentang
Hari Kerja di Lingkungan Lembaga Pemerintah yaitu dari jam 7.30 – 16.00 selama 5 hari
tiap minggu. Mengurangi jam istirahat, jam kerja PNS yaitu 37,5 jam per minggu.
Sementara itu menurut KEP./102/MEN/VI/2004, jam kerja lembur adalah jam yang
melebihi 40 jam per minggu. Menurut penelitian di California, pekerja yang bekerja
selama 40 jam per minggu memiliki kemungkinan 15 % terjadinya hipertensi.8,9 Pegawai
tata usaha di Fakultas Kedokteran Unhas memiliki jam kerja yang cukup bervariasi dan
berpotensi untuk terjadinya hipertensi. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk meneliti
hubungan jam kerja dan kejadian hipertensi pada pegawai tata usaha Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
.
II. TUJUAN
II.1Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai hubungan jam
kerja dengan hipertensi.
2.2 Tujuan Khusus
Menganalisis hubungan jam kerja dan kejadian hipertensi pada karyawan tata usaha
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Jam Kerja atau Shift Kerja
3.1.1. Pengertian shift kerja
Tayari and Smith (1997) menjelaskan tentang definisi shift kerja sebagai
periode waktu 24 jam yang satu atau kelompok orang dijadwalkan atau diatur
untuk bekerja di tempat kerja10. Selanjutnya Oxord Advanced Learner’s
Dictionary (2005) mendefinisikan shift kerja sebagai suatu periode waktu
yang dikerjakan oleh sekompok pekerja yang mulai bekerja ketika kelompok
yang lain selesai11.
Menurut Bhattacharya dan McGlothlin (1996) definisi shift kerja yang
mendasar adalah waktu dari sehari seorang pekerja harus berada di tempat
kerja. Dengan definisi ini, semua pekerja yang dijadwalkan berada di tempat
kerja secara teratur, termasuk pekerja siang hari, adalah pekerja shift12. Monk
dan Folkard dalam Silaban dalam Wijayanti (2005) mengkategorikan 3 jenis
sistem shift kerja, yaitu shift permanen, sistem rotasi cepat, dan sistem rotasi
shift lambat13
3.1.2. Manajemen Kerja Shift
Menurut Tayari F and Smith J.L. (1997) ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan untuk manajemen kerja shift adalah sebagai berikut.
Jika memungkinkan lamanya kerja shift malam dikurangi tanpa mengurangi
kompensasi dan keuntungan lainnya.
Jumlah karyawan shift malam yang diperlukan seharusnya dikurangi untuk
mengurangi jumlah hari kerja pekerja shift malam.
Lamanya kerja shift tidak melebihi 8 jam.
Tiap shift siang atau malam seharusnya diikuti dengan paling sedikit 24 jam
libur dan tiap shift malam dengan paling sedikit 2 hari libur, sehingga
pekerja dapat mengatur kebiasaaan tidur mereka.
Memungkinkan adanya interaksi sosial dengan teman kerja.
Menyediakan fasilitas kegiatan olah raga seperti permainan bola baskket,
khususnya untuk pekerja shift malam.
Musik yang tidak monoton selama bekerja shift malam sangat berguna.
3.1.3. Regulasi
Pada sidang ke-77 di Jenewa tanggal 26 Juni 1990 dibahas mengenai standar
Internasional bagi pekerja malam. Standar yang dimaksud adalah The Night
Work Convention and Recommendation. The Night Work
Conventionmembahas mengenai kesehatan dan keselamatan, transfer kerja
siang hari, perlindungan bagi kaum wanita, kompensasi dan pelayanan
sosial.Recommendation membahas mengenai batas waktu kerja normal, waktu
istirahat yang minimum antar shift, transfer kerja siang pada situasi khusus,
kesempatan pelatihan
Menurut pasal 76 Undang-Undang No. 13 tahun 2003, pekerja perempuan
yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara
pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, yang artinya pekerja perempuan diatas
18 (delapan belas) tahun diperbolehkan bekerja shift malam (23.00 sampai
07.00). Perusahaan juga dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil
yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00.
Perusahaan memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan
Undang-Undang No.13/2003 yang lebih lanjutnya diatur dalam
Kep.224/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan
Pekerja Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00.
Waktu Kerja Normal menurut Keputusan Menteri Tenaga kerja dan
Transmigrasi, No. Kep. 102/MEN/VI/2004. Untuk 6 hari kerja : Waktu Kerja 7
jam/hari (hari ke1-5), 5 jam/hari (hari ke-6) , 40 jam/minggu. Untuk 5 hari kerja
: Waktu Kerja 8 jam/hari, 40 jam/minggu. Lebih dari waktu ini dihitung waktu
kerja lembur.9,10
3.1.4 Simulasi Pengaturan Jadwal Kerja Shift
Pengaturan Jadwal kerja shift di Industri manufacture Indonesia terdapat
beberapa model yang disesuaikan dengan kondisi perusahaan itu sendiri.
Penjadwalan Kerja Shift yang biasa digunakan antara lain :
1. Empat (4) Grup Tiga (3) Shift
Penjadwalan model ini digunakan untuk aktivitas manufacture selama 24 jam
sehari dan beroperasi penuh selama sepanjang tahun, terhenti pada hari besar
Idul fitri dan Tahun Baru . Besarnya output produksi yang ditetapkan dan
aktivitas engineering yang menuntut aktivitas ini berlangsung terus.
Karyawan terbagi kedalam 4 Grup, Bekerja selama 5 hari kerja dengan
working hours 7 + 1. Pergantian Shift dari 3 ke 1, karyawan mendapat libur 2
hari. Model ini menyebabkan Hari Libur karyawan tidak menentu.
Shift 1 : Pk. 07.00 – 15.00 , Shift 2 : Pk.15.00 – 23.00 , Shift 3 : Pk. 23.00
– 07.00.
Urutan Putaran shift Shift 3 -> Shift 2 -> Shift 1 ( 3-2-1 ) , Pergesaran
Shift menuju dan setelah Shift 3 ada perlakuan khusus. Setelah Shift 3
karyawan mendapat libur lebih banyak ( 2 hari ) sebelum memasuki
jadwal shift 1.
Dua hari sebelum libur sebelum shift 3, aktual libur adalah 1 hari. Satu
harinya lagi merupakan hari pertengahan, tapi karyawan harus mulai
masuk pada malam harinya (Pk. 23.00)
2. Tiga (3) Grup Tiga (3) Shift
Penjadwalan shift model ini, memberikan peluang istirahat / Libur secara
Teratur. Karyawan bekerja dari Senin – Sabtu, minggu istirahat. Dibanding
model 4 Grup, Total karyawan yang dibutuhkan pastinya lebih sedikit, begitu
pula untuk out put volume Produksinya. Jam kerja perhari 7 + 1 ( 7 jam
kerja, 1 jam istirahat ), kecuali hari sabtu 5 Jam kerja dengan Total jam kerja
40 jam Seminggu. Jam kerja ini fleksibel, jika diperlukan pada hari terakhir
bisa dibuat overtime ( otomatis ) selama 2 Jam.
Jam Kerja Shift fleksibel, untuk Shift 1, bisa dimulai di Pk. 06.00 atau
07.00, Shift berikutnya menyesuaikan.
Putaran Shift Shift 3 -> Shift 2 -> Shift 1 (3-2-1). Jadwal ini bisa
diterapkan untuk putaran 2 Grup, 2 Shift
Berdasarkan Keputusan Menteri, Kep.102/MEN/2004, Pasal 3 ayat 1, “
waktu Kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1
hari dan 14 jam dalam 1 minggu”. Khusus shift 1 bisa diberlakukan Long
Shift ( Pk.07.00 – 19.00 ), dengan istirahat, selama maksimal 15
Jam/orang perminggu.
3. Non Shift
Non Shift, pada umumnya diperuntukkan bagi departemen yang
memerlukan koordinasi internal dan eksternal saat jam-jam kerja pagi – siang.
Jam Kerja normal fleksible, Pk.08.00-16.00. Jadwal kerja Non Shift ada 2
model, 6 hari kerja dan 5 hari kerja. Meski beda lama jam kerja sehari namun
tetap total jam kerja seminggu 40 Jam.13
3.2 Hipertensi
Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi
peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). Penderita yang
mempunyai sekurang-kurangnya tiga bacaan tekanan darah yang melebihi 140/90
mmHg saat istirahat diperkirakan mempunyai keadaan darah tinggi. Tekanan darah
yang selalu tinggi adalah salah satu faktor resiko untuk stroke, serangan jantung, gagal
jantung dan aneurisma arterial, dan merupakan penyebab utama gagal jantung
kronis.14
Batasan mengenai hipertensi mengalami perkembangan seperti terlihat dari
berbagai klasifikasi yang banyak mengalami perubahan. Kaplan (1985) menyusun
klasifikasi dengan membedakan usia dan jenis kelamin. Klasifikasi tersebut adalah
pria yang berusia <45 tahun dinyatakan hipertensi jika tekanan darah pada waktu
berbaring 130/90 mm Hg atau lebih, sedangkan yang berusia >45 tahun dinyatakan
hipertensi jika tekanan darahnya 145/95 mm Hg atau lebih. Sedangkan wanita yang
mempunyai tekana darah 160/95 mm Hg atau lebih dinyatakan hipertensi.5
The sixth of the joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of Hight Blood Pressure (1997), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
hipertensi adalah apabila tekanan darah sisitoliknya sama atau diatas 140 mm Hg atau
tekanan darah diastoliknya sama atau diatas 90 mm Hg.15 Selain itu untuk penderita
dalam pengobatan antihipertensi, batasan klasifikasinya sebagai berikut :
Gambar 1. Klasifikasi Tekanan Darah
Klasifikasi menurut WHO (1999) disebut bahwa yang dikatakan hipertensi apabila
mempunyai tekanan darah sisitoliknya _ 140 mm Hg dan tekanan darah diastoliknya _
90 mm Hg.14
Patogenesis hipertensi dimulai dari tekanan darah yang dipengaruhi oleh curah
jantung dan tahanan perifer serta dipengaruhi juga oleh tekanan atrium kanan. Pada
stadium awal sebagian besar pasien hipertensi menunjukkan curah jantung yang
meningkat dan kemudian diikuti dengan kenaikan tahanan perifer yang
mengakibatkan kenaikan tekanan darah yang menetap. Peningkatan tahanan perifer
pada hipertensi esensial terjadi secara bertahap dalam waktu yang lama sedangkan
proses autoregulasi terjadi dalam waktu yang singkat.1
3.3 Jam kerja dan Kejadian Hipertensi
Jam kerja yang panjang dapat meningkatkan risiko pengembangan hipertensi
melalui beberapa jalur. Pertama, jam kerja lebih panjang berarti waktu yang lebih
singkat untuk pemulihan, dan tidak mencukupi waktu untuk tidur diduga terkait
dengan disrupsi proses fisiologis.8
Kedua, jam kerja yang panjang yang dianggap terkait dengan risiko hipertensi yang
berhubungan dengan gaya hidup dan perilaku, termasuk merokok, pola makan tidak
sehat, dan gaya hidup.8
Selain itu, jam kerja yang panjang mengekspos pekerja untuk waktu yang cukup
lama sebagai faktor psikososial berbahaya dalam lingkungan kerja, seperti ketegangan
pekerjaan dan yang diyakini gairah biologis. Faktor-faktor risiko, pada gilirannya,
dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang permanen, seperti hipertensi.8
Stres menurut Greenberg (2002) adalah interaksi antara seseorang dengan
lingkungan termasuk penilaian seseorang terhadap tekanan dari suatu kejadian dan
kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi tekanan tersebut, keadaan ini diikuti
respon secara psikologis, fisiologis, dan perilaku. Respon secara psikologis antara lain
berupa emosi, kecemasan, depresi, dan perasaan stres. Sedangkan respon secara
fisiologis dapat berupa rangsangan fisik meningkat, perut mulas, badan berkeringat,
jantung berdebar-debar. Respon secara perilaku antara lain mudah marah, mudah lupa,
susah berkonsentrasi.16
Hal yang mempengaruhi fungsi tubuh diatas dipercaya dapat meningkatkan
tekanan darah menjadi hipertensi. Penelitian Supargo dkk (1989) menyatakan bahwa
orang yang mengalami stres mempunyai risiko untuk menderita hipertensi sebesar 2,5
kali dibandingkan dengan orang yang tidak stres.17
Menurut WHO (1999), individu yang terus menerus menggunakan tembakau
cenderung meningkatkan risiko hipertensi, hal ini disebabkan karena adanya konsumsi
komulatif dari penggunaan tembakau.14 Merokok dapat meningkatkan tekanan darah,
meskipun pada beberapa penelitian didapatkan kelompok perokok dengan tekanan
darah lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak merokok.6
William (2004) dalam jurnal penelitiannya menyebutkan bahwa kafein
meningkatkan tekanan darah secara akut. Efek klinis yang terjadi tergantung pada
respon tekanan darah responden yang diuji dengan mengkonsumsi kafein setiap hari.
Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan ada kenaikan tekanan darah pada
responden yang mengkonsumsi kafein >250 mg per hari selama 5 hari.18
Pengaruh jam kerja pada hipertensi dapat dimediasi oleh pekerjaan dan status
sosial ekonomi. Orang yang bekerja berjam-jam dengan status pekerjaan yang lebih
tinggi dan pendapatan yang lebih tinggi mungkin mengalami sedikit dampak
kesehatan negatif, dibandingkan dengan status pekerjaan yang lebih rendah dan
pendapatan rendah. Hal ini penting untuk mengontrol pribadi faktor risiko, gaya hidup
dan perilaku, dan faktor pekerjaan dalam mempelajari hubungan antara jam kerja
yang panjang dan hipertensi.8
IV. METODE
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif cross sectional yang mengkaji
hubungan jam kerja dan kejadian hipertensi pada karyawan tata usaha Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin (FK Unhas).
4.2 Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 25 Maret 2013 – 30 Maret 2013.
4.3 Lokasi Penelitian
Tempat penelitian di Bagian Tata Usaha Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
4.4 Populasi Dan Sampel
4.4.1 Populasi
Semua pegawai di Bagian Tata Usaha Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
4.1.2. Sampel
Semua pegawai di Bagian Tata Usaha Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin yang berada di lokasi pada saat berlangsung penelitian serta
bersedia menjadi responden penelitian. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini secara simple random sampling yaitu teknik pengambilan sampel
dilakukan secara acak sederhana.
4.5 Sumber Data Penelitian
Sumber penelitian diperoleh dari data primer, dengan menggunakan kuesioner
yang berisikan pertanyaan yang didesain khusus untuk penelitian ini. Adapun
pertanyaan yang diberikan adalah berupa pertanyaan dengan jawaban terbuka dan
tertutup (gabungan). Pada pertanyaan tertutup responden diberi pilihan antara ya atau
tidak berserta penjelasan. Dengan memberikan pertanyaan terbuka, hal ini sangat baik
untuk menambah pengetahuan peneliti akan masalah yang diutarakannya serta
membolehkan responden untuk menjawab sedetil atau serinci mungkin atas apa yang
ditanyakan peneliti sehingga pendapat responden dapat diketahui dengan baik oleh
peneliti.
4.6 Kriteria Seleksi
4.6.1 Kriteria Inklusi
Semua pegawai di Bagian Tata Usaha Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
4.6.2 Kriteria Eksklusi
Pegawai yang tidak ingin mengisi kuesioner dan yang tidak mengembalikan
kuesioner.
4.7 Tehnik Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dalam beberapa proses yaitu :
a. Editing
Dalam penelitian ini digunakan data primer di mana data diperoleh melalui
kuisioner yang dibagikan kepada responden, Memeriksa data dengan cara melihat
kembali hasil pengumpulan data untuk menghindari kesalahan data.
b. Entry
Proses pemasukan data dalam suatu program computer.
c. Tabulating
Menyusun data dengan mengorganisir data sesuai variabel yang diteliti.
4.8 Etika Penelitian
1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak pemerintah setempat
sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian
2. Setiap subjek penelitian akan mendapatkan penjelasan secara lisan, setelah subjek
bersedia secara lisan, maka diberikan kuesioner untuk selanjutnya di isi.
3. Setiap informasi yang diberikan subjek yang bersifat pribadi akan dirahasiakan,
sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ibnu M. Dasar-dasar fisiologi kardiovaskuler. Jakarta : EGC, 1996.
2. Boedhi-Darmojo. Mengamati perjalanan epidemiologi hipertensi di Indonesia.Medika
2001; 7: 442-448.
3. Boedhi-Darmojo., R. Pasudi Imam. Survei Hipertensi di Masyarakat. Medika 1988; 8:
757-759.
4. Budiyanto,K.A.M. Gizi dan kesehatan. Edisi I. Malang : Universitas Muhammadiyah
Malang Press ; 2002.
5. Kaplan. Non Drug Treatment of Hypertension. Ann Intern Med 1985; 102: 359-73.
6. Susalit E, Kapojos JE & Lubis HR. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam II. Jakarta : Balai
penerbit FKUI; 2001.
7. Azwar, A. Epidemiologi Hipertensi. Cermin Dunia Kedokteran 1989; 56 :11-14.
8. Haiou Yang, Peter L. Schnall, Maritza Jauregui, Ta-Chen Su and Dean Baker. Work
Hours and Self-Reported Hypertension Among Working People in California. 2006
American Heart Association, Inc
9. Tayyari, F., and J.L., Smith, 1997, Occupational Ergonomics Principles and applications,
T.J. Press Ltd, Great Britain, hal. 350
10. Oxford University Press, 2005, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, United
Kingdom, hal. 1400
11. Bhattacharya A.,and J.D. Glothlin, 1996, Occupational Ergonomics Theory and
applications, Marcel Dekker, Inc. hal. 404
12. Wijayanti, Sri Ramadhani. 2005. Shift Kerja dan Karakteristik Individu dengan Kinerja
Perawat di Ruang ICU Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2004 [Skripsi]. Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
13. Tatman, J. Circadian Rhythm Disorders [Online]. 2011 [diakses 18 Januari 2011].
Available from URL: http://www.drtatman.com/circadian-rhythm.asp
14. WHO. World Health Organization-International Society of Hypertension Guidelines far
the Management of Hypertension. Journal of Hypertension 1999; 17: 151-183
15. Joint National Committeon Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of Hight
Blood Pressure. The sixth of the joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment oh Hight Blood Pressure. National Institute of Hight Blood
Pressure 1997 : 98-480.
16. Greenberg JS. Comprehensive Stress Management
17. Sriwahyuni, Endah. Penurunan Kewaspadaan Perawat Dengan Kerja Bergiliran (Shift)
Pada Rumah Sakit ’X” di Jakarta dan Faktor-Faktor Yang Berhubungan. 2003, Badan
Litbang Indonesia: Jakarta.
18. Kiongdo, Penatalaksanaan Faktor-faktor Risiko Kardiovaskuler pada Penderita
Hipertensi. Medika 1977; 33(1): 30-35.