PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

146
PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL- URBAN DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2014 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Disusun Oleh: MAYLI FAROH NABILA 1110101000032 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

Transcript of PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

Page 1: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL-

URBAN DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2014

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun Oleh:

MAYLI FAROH NABILA

1110101000032

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2014

Page 2: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL
Page 3: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL
Page 4: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL
Page 5: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

iii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

Skripsi, 06 November 2014

Mayli Faroh Nabila, NIM: 1110101000032

Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban di

Kabupaten Bogor Tahun 2014

ABSTRAK

Latar Belakang: Perubahan gaya hidup pada masyarakat mengakibatkan

peningkatan angka kejadian hipertensi. Prevalensi hipertensi meningkat cepat

disinyalir karena adanya urbanisasi Perubahan ini berkontribusi pada prevalensi

hipertensi yang lebih tinggi pada masyarakat urban ketika dibandingkan dengan

masyarakat rural. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan

antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban di Kabupaten Bogor

tahun 2014.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan sampel

yang terbagi dalam 2 wilayah yakni rural dan urban. Wilayah rural diwakili oleh

Desa Pabuaran di Kecamatan Sukamakmur sedangkan wilayah urban diwakili

oleh Desa Jampang di Kecamatan Kemang. Analisis statistik yang digunakan

yakni uji chi-square.

Hasil: Kejadian hipertensi berdasarkan kelompok usia pada masyarakat urban dan

rural paling banyak pada kelompok usia yang sama, yakni 55-64 tahun. Kejadian

hipertensi berdasarkan jenis kelamin pada masyarakat rural lebih banyak pada

perempuan, sedangkan pada masyarakat urban perbedaan pada laki-laki dan

perempuan tidak begitu jauh. Kejadian hipertensi akibat konsumsi makanan asin,

konsumsi makanan berlemak, tidak konsumsi buah dan sayur, dan obesitas lebih

banyak terjadi pada masyarakat rural dibandingkan urban. Sedangkan kejadian

hipertensi akibat perilaku merokok dan kurang aktivitas fisik lebih banyak terjadi

pada masyarakat urban dibandingkan rural. Tidak ada perbedaan antara kejadian

hipertensi pada masyarakat rural dan urban (p=0,874).

Simpulan: Tidak ada perbedaan antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural

dan urban di Kabupaten Bogor tahun 2014. Namun, perubahan gaya hidup

masyarakat rural yang mengikuti gaya hidup masyarakat urban harus segera

ditindaklanjuti dengan penanggulangan penyakit hipertensi seperti peningkatan

pengetahuan tentang hipertensi dan deteksi dini faktor risiko.

Kata kunci: Kejadian Hipertensi, Masyarakat Rural, Masyarakat Urban

Daftar Bacaan: 96 (1994-2014)

Page 6: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

iv

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM

EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION

Undergraduate Thesis, 06 November 2014

Mayli Faroh Nabila, NIM: 1110101000032

The Differences of Hypertension Occurrence On Rural-Urban Communities

in Kabupaten Bogor 2014

ABSTRACT

Introduction: The prevalence of hypertension increase as well as lifestyle

changes because of urbanization. The enhancement has shown in urban

community clearer than rural community. This study aim is to find the differences

of hypertension occurrence on rural-urban communities in Kabupaten Bogor

2014.

Method: This cross-sectional study has sample which is divide to two

communities, rural and urban. Rural area represented by Desa Pabuaran in

Kecamatan Sukamakmur, while urban community represented by Desa Jampang

in Kecamatan Kemang. Statistic analysis use chi-square test.

Result: Hypertension occurrence based on age group on rural and urban

communities has the most on 55-64 years old. Based on sex, on rural community,

women more than men, while on rural community, men and women have not too

difference. The occurrence hypertension on rural community higher on urban

community based on frequency of salty food consumption, frequency of fatty food

consumption, frequency of fruit and vegetable consumption, and obesity. While

the occurrence of hypertension on urban community higher on rural community

based on physical activity and smoking behavior. There is no difference between

hypertension occurrence on rural and urban communities (p=0,874).

Discussion: There is no difference between hypertension occurrence on rural and

urban communities in Kabupaten Bogor 2014. But, the lifestyle changes of rural

community must be solved by the improvement of knowledge and early detection

of hypertension.

Keyword: Hypertension Occurrence, Rural Community, Urban Community

Reading List: 96 (1994-2014)

Page 7: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

v

RIWAYAT HIDUP PENULIS

A. Identitas Pribadi

Nama Lengkap : Mayli Faroh Nabila

Tempat, Tanggal Lahir : Jember, 09 September 1992

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Dusun Krajan 01 RT 003 RW 002 Desa

Karang Duren Kecamatan Balung Kabupaten

Jember 68161

Nomor Telepon : 085781334456

Email : [email protected]

B. Pendidikan Formal

1998-2004 : SD Islam Sabilillah Malang

2004-2007 : SMP Islam Sabilillah Malang

2007-2010 : SMA Darul Ulum 2 Unggulan BPPT RSBI

Jombang

2010-2015 : S1-Peminatan Epidemiologi, Program Studi

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 8: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan sembah sujud penulis haturkan di hadapan Allah, atas

nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat serta salam tetap tercurah dan terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi

Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari jalan jahilliyah

menuju jalan yang terang benderang.

Skripsi ini berjudul Perbandingan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat

Rural-Urban di Kabupaten Bogor tahun 2014. Tema ini diangkat karena hingga

saat ini belum banyak orang yang meneliti tentang perbandingan kejadian

hipertensi pada masyarakat rural dan urban. Perbedaan kejadian hipertensi pada

dua golongan masyarakat ini akan berdampak pada perbedaan cara

penanggulangan hipertensi pada kedua wilayah tersebut. Penulis berharap adanya

skripsi ini dapat berkontribusi terhadap pengendalian penyakit hipertensi di

Indonesia.

Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-

banyaknya kepada:

1. Ibu Fajar Ariyanti, M. Kes, Ph.D selaku Kepala Program Studi

Kesehatan Masyarakat serta penanggungjawab Mata Kuliah Skripsi

Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2014.

2. Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS selaku dosen pembimbing skripsi

atas konsultasi, arahan serta bimbingannya selama penyusunan skripsi.

3. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.Kes selaku

penanggungjawab Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan

Page 9: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

vii

Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta dosen pembimbing

skripsi atas arahan dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini.

4. Keluarga penulis, Bapak H. Khariri Machmud, Ibu Nanik Ni’matus

Sa’diyah, dan Fika Hilmiyatu Durry, atas do’a serta dukungan yang tak

hentinya diberikan.

5. Keluarga besar penulis di Pondok Pesantren MHI, di Yayasan

Pendidikan Al-Hidayah, dan di Pondok Pesantren Mambaul Islah, atas

dukungan, semangat, motivasi, dan doanya. Semoga ilmu yang penulis

dapatkan bisa berguna di yayasan pendidikan milik keluarga ini.

Amiinn.

6. Bapak Wahyudi, Ibu Lilik Surti Purwani, Arga Indera dan Ainun

Anugerah, atas semangat dan doa yang terus diberikan kepada penulis.

7. Bapak Darmawan, Ibu, Firas, Yasmin, dan Zahra, atas dukungan teknis

dan support yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini. Semoga Allah membalas seluruh kebaikan kalian dengan

keberkahan dan kebaikan yang berlipat ganda. Amiinn.

8. Teman-teman Kesehatan Masyarakat tahun 2010 UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang terus memberikan semangat dan dukungan

untuk menyelesaikan skripsi ini

9. Teman-teman seperjuangan di peminatan epidemiologi, Tika, Ati,

Rizka, Zata, Wiwid, Ii, Najah, Lutfi, Mba Putri, Ana, Nida, Karlina,

Harun, Bayu, yang memberikan segala bantuan yang diberikan, dan

selalu ada dalam suka dan duka.

Page 10: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

viii

10. Teman-teman seperjuangan di CSS MoRA khususnya pengurus

nasional periode 2013-2015 dan CSS MoRA UIN Jakarta 2010,

teman-teman seperjuangan dari Pondok Pesantren Darul Ulum

Jombang (Puput, Fuad, Desy, dan Angger) yang tak hentinya

mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan penelitian pada skripsi ini

masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan

kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak agar penulis dapat

menyusun laporan penelitian yang lebih baik dimasa yang akan datang.

Semoga segala keberkahan selalu dilimpahkan kepada kita semua, dan penulis

berharap, skripsi ini dapat membawa manfaat bagi banyak orang yang

membacanya.

Ciputat, 03 Juni 2014

Penulis

Page 11: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

ix

DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii

ABSTRAK ............................................................................................................. iii

ABSTRACT ........................................................................................................... iv

RIWAYAT HIDUP PENULIS ............................................................................... v

KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 6

1.3 Pertanyaan Penelitian..................................................................................... 7

1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 7

1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 8

1.6 Ruang Lingkup .............................................................................................. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 9

2.1 Hipertensi ....................................................................................................... 9

1. Pengertian ................................................................................................. 9

2. Klasifikasi ............................................................................................... 11

3. Gejala ...................................................................................................... 13

4. Etiologi ................................................................................................... 13

5. Patogenesis ............................................................................................. 15

6. Tatalaksana ............................................................................................. 17

2.2 Epidemiologi Hipertensi .............................................................................. 20

2.3 Epidemiologi Deskriptif .............................................................................. 21

1. Variabel Orang ....................................................................................... 22

2. Variabel Tempat ..................................................................................... 41

3. Variabel Waktu ....................................................................................... 48

2.4 Masyarakat Rural-Urban ............................................................................. 50

2.5 Kerangka Teori ............................................................................................ 52

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 55

3.1 Kerangka Konsep......................................................................................... 55

Page 12: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

x

3.2 Definisi Operasional .................................................................................... 58

3.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 61

BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 62

4.1 Desain Penelitian ......................................................................................... 62

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................................... 62

4.3 Populasi dan Sampel .................................................................................... 62

4.4 Metode Pengumpulan Data.......................................................................... 64

4.5 Alur Pengumpulan Data .............................................................................. 64

4.6 Instrumen Penelitian .................................................................................... 64

4.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data ........................................................ 65

BAB V HASIL ...................................................................................................... 67

5.1 Distribusi Karakteristik Responden Masyarakat Rural-Urban berdasarkan

Orang, Tempat, dan Waktu .......................................................................... 67

1. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Kelompok Usia ......... 67

2. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin............ 67

3. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Perilaku Merokok ..... 68

4. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Makanan Asin ........................................................................................ 69

5. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Makanan Berlemak ................................................................................ 69

6. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Sayur dan Buah ...................................................................................... 70

7. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Aktivitas Fisik ........... 70

8. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Status Indeks Massa

Tubuh ..................................................................................................... 71

9. Distribusi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban .............. 72

5.2 Gambaran Epidemiologi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural dan

Urban berdasarkan Orang, Tempat, dan Waktu .......................................... 72

1. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia pada

Masyarakat Rural-Urban ........................................................................ 73

2. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin pada

Masyarakat Rural-Urban ........................................................................ 73

3. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada

Masyarakat Rural-Urban ........................................................................ 74

Page 13: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

xi

4. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Makanan Asin pada Masyarakat Rural-Urban ...................................... 75

5. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Makanan Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban ............................... 76

6. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Buah

dan Sayur pada Masyarakat Rural-Urban .............................................. 76

7. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik pada

Masyarakat Rural-Urban ........................................................................ 77

8. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Obesitas pada Masyarakat

Rural-Urban............................................................................................ 78

5.3 Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban .................. 78

BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 80

6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 80

6.2 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia pada

Masyarakat Rural-Urban ............................................................................. 81

6.3 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin pada Masyarakat

Rural-Urban (cari penelitian di perempuan rural, perempuan urban) ......... 83

6.4 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada

Masyarakat Rural-Urban ............................................................................. 86

6.5 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan

Asin pada Masyarakat Rural-Urban ........................................................... 88

6.6 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan

Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban .................................................... 90

6.7 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi Buah dan

Sayur pada Masyarakat Rural-Urban........................................................... 92

6.8 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik pada

Masyarakat Rural-Urban ............................................................................. 93

6.9 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Indeks Massa Tubuh pada

Masyarakat Rural-Urban ............................................................................. 96

6.10 Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban .................. 97

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 102

7.1 Simpulan .................................................................................................... 102

7.2 Saran .......................................................................................................... 103

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 104

Lampiran ............................................................................................................. 111

Page 14: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kriteria Wilayah Perkotaan (BPS, 2010) 48 51

Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Kelompok Usia 67

Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin 68

Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Perilaku Merokok 68

Tabel 5.4. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Makanan Asin 69

Tabel 5.5. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Makanan Berlemak 69

Tabel 5.6. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Sayur dan Buah 70

Tabel 5.7. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Aktivitas Fisik 71

Tabel 5.8. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Status Obesitas 71

Tabel 5.9. Distribusi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural dan Urban 72

Tabel 5.10. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia pada

Masyarakat Rural-Urban 73

Tabel 5.11. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin pada

Masyarakat Rural-Urban 74

Tabel 5.12. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada

Masyarakat Rural-Urban 74

Tabel 5.13. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Konsumsi Makanan

Asin pada Masyarakat Rural-Urban 75

Tabel 5.14. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Konsumsi Makanan

Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban 76

Tabel 5.15. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Makanan Buah dan

Sayur pada Masyarakat Rural-Urban 77

Tabel 5.16. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik pada

Masyarakat Rural-Urban 77

Tabel 5.17. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Obesitas pada

Masyarakat Rural-Urban 78

Tabel 5.18. Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban 79

Page 15: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring perkembangan zaman, penyakit yang banyak diderita

masyarakat di Indonesia mulai bergeser dari penyakit menular menuju

penyakit tidak menular. Hal ini dapat dilihat dari hasil Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang menunjukkan adanya peningkatan kasus

penyakit tidak menular, antara lain penyakit kardiovaskuler dan kanker

secara cukup bermakna, menjadikan Indonesia mempunyai beban ganda

(double burden), sedangkan kontribusi penyakit menular terhadap angka

kesakitan dan kematian semakin menurun (Kemenkes, 2012). Penyakit

kardiovaskuler yang memiliki dampak paling besar adalah hipertensi,

karena penyakit ini dapat berkembang lebih lanjut menjadi penyakit jantung

koroner dan stroke, yang dapat menyebabkan penderitanya mati mendadak.

Berdasarkan Riskesdas tahun 2007, prevalensi hipertensi di Indonesia

adalah 37,1% untuk penduduk dewasa. Namun, hanya 7,2% penduduk yang

sudah mengetahui bahwa ia menderita hipertensi dan hanya 0,4% kasus

yang minum obat hipertensi (Kemenkes, 2007). Sedangkan berdasarkan

hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi hipertensi di

Indonesia menurun menjadi 26,5%. Penduduk yang mengetahui bahwa ia

menderita hipertensi juga meningkat menjadi 9,4%. Namun, penduduk yang

mengkonsumsi obat antihipertensi menurun menjadi 0,1% (Kemenkes,

2013).

Page 16: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

2

Penurunan prevalensi hipertensi di Indonesia, tidak diiringi dengan

penurunan proporsi faktor risiko hipertensi pada masyarakat Indonesia.

Faktor risiko penyakit hipertensi antara lain perilaku merokok, konsumsi

alkohol, kurangnya asupan sayur dan buah, konsumsi lemak tinggi, hingga

obesitas dan kurang olahraga (Aisyiyah, 2009). Berdasarkan Riskesdas

2013, proporsi perokok semua umur sebesar 29,3% dengan rata-rata jumlah

batang yang dihisap mencapai 12,3 batang. Penduduk laki-laki umur 10

tahun ke atas yang merupakan perokok tiap hari sebesar 47,5%. Menurut

pendidikan, proporsi tertinggi dijumpai pada penduduk tamat SMA (28,7%)

(Kemenkes, 2013).

Faktor risiko hipertensi selain merokok adalah aktivitas fisik. Proporsi

aktivitas fisik kurang aktif penduduk Indonesia adalah 26,1% (Kemenkes,

2013). Mayoritas penduduk Indonesia banyak yang melakukan perilaku

sedentari. Perilaku sedentari adalah perilaku santai antara lain duduk,

berbaring, dan lain sebagainya dalam sehari-hari baik di tempat kerja (kerja

di depan komputer, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll),

di perjalanan /transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu

tidur.

Perilaku sedentari merupakan perilaku berisiko terhadap salah satu

terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan

bahkan mempengaruhi umur harapan hidup. Laporan Riskesdas 2013

menunjukkan sebanyak 42,0% penduduk kelompok umur ≥10 tahun dengan

perilaku aktifitas sedentari 3-5,9 jam, sedangkan sedentari ≥6 jam per hari

meliputi hampir satu dari empat penduduk (Kemenkes, 2013).

Page 17: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

3

Konsumsi makanan asin dan berlemak juga merupakan faktor risiko

hipertensi. Konsumsi makanan asin di Indonesia meningkat dari 24,5%

menjadi 26,2% di 2007 ke 2013 (Kemenkes, 2013).

Dilihat dari faktor risikonya, memang secara garis besar dapat

dikatakan bahwa hipertensi disebabkan oleh gaya hidup seseorang. Gaya

hidup yang tidak sehat berkembang seiring dengan arus globalisasi. Efek

dari globalisasi ini secara nyata lebih terlihat efeknya di daerah urban

(Modesti, et al., 2013).

Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi hipertensi di wilayah urban

lebih tinggi daripada rural. Prevalensi hipertensi di wilayah urban sebesar

26,1% sedangkan di wilayah rural sebesar 25,5% (Kemenkes, 2013).

Namun hal ini tidak menjamin proporsi faktor risiko hipertensi pada

masyarakat Indonesia lebih tinggi di daerah urban dibandingkan rural.

Berdasarkan Riskesdas 2013, pada faktor risiko perilaku merokok,

proporsi penduduk merokok setiap hari di wilayah rural lebih tinggi

daripada wilayah urban. Proporsi penduduk merokok setiap hari di wilayah

urban sebesar 23,2%, sedangkan di wilayah rural sebesar 25,5%. Pada

kategori perilaku sedentari, proporsi penduduk yang melakukan aktivitas

sedentari <3 jam dan 3-5,9 jam di wilayah rural jumlahnya lebih tinggi

dibandingkan wilayah urban. Aktivitas sedentari di wilayah rural <3 jam

sebesar 35,4% sedangkan di wilayah urban sebesar 32,3%. Aktivitas

sedentari 3-5,9 jam di wilayah rural sebesar 42,5% sedangkan di wilayah

urban sebesar 41,6%.

Page 18: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

4

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 5 pulau besar

yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Pusat

pemerintahan Indonesia berada di Pulau Jawa. Oleh karena itu, Pulau Jawa

memiliki jumlah penduduk yang paling besar dibandingkan dengan pulau-

pulau besar lainnya.

Berdasarkan Riskesdas 2013, provinsi dengan prevalensi hipertensi

tertinggi di Pulau Jawa adalah Jawa Barat. Hal ini didukung dengan

proporsi faktor risiko hipertensi pada masyarakat Jawa Barat yang

menduduki peringkat atas dalam beberapa kategori. Dalam kategori

kebiasaan merokok, proporsi perokok setiap hari di Jawa Barat mencapai

27,1%, menjadi peringkat kedua nasional setelah Kepulauan Riau (27,2%),

dan menjadi peringkat pertama di Pulau Jawa. Untuk perilaku sedentari,

Jawa Barat menduduki peringkat empat tertinggi nasional proporsi

penduduk yang melakukan perilaku sedentari lebih dari 6 jam (33,0%).

Angka ini melebihi angka nasional perilaku sedentari yakni sebesar 24,1%

(Kemenkes, 2013).

Berdasarkan analisis Riskesdas 2013 mengenai konsumsi makanan

berlemak, berkolesterol tinggi, dan gorengan, provinsi Jawa Barat

menduduki peringkat ketiga tertinggi nasional (50,1%). Angka ini berada

diatas proporsi nasional yakni 40,7%. Untuk kategori konsumsi makanan

asin, proporsi provinsi Jawa Barat sebesar 45,3%, berada diatas rata-rata

nasional yakni 26,2%. Dalam kategori makanan hewani berpengawet,

proporsi Jawa Barat sebesar 5,4%, sedangkan rata-rata nasional sebesar

4,3%. Dalam kategori makanan berpenyedap, Jawa Barat memiliki proporsi

Page 19: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

5

sebesar 87,1%, sedangkan rata-rata nasional sebesar 77,3%. Begitu juga

minuman berkafein, proporsi Jawa Barat sebesar 34,2% sedangkan rata-rata

nasional sebesar 31,5% (Kemenkes, 2013). Dari data ini, dapat disimpulkan

bahwa masyarakat Jawa Barat cukup berpotensi terkena hipertensi.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang cukup besar di

Jawa Barat. Wilayah Kabupaten Bogor berbatasan dengan wilayah

perkotaan seperti DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten

Bekasi. Hal ini menyebabkan arus urbanisasi di Kabupaten Bogor cukup

deras. Dampak dari urbanisasi ini juga terlihat dari wilayah Kabupaten

Bogor dimana sebagian dapat diklasifikasikan sebagai perkotaan, sedangkan

lainnya diklasifikasikan sebagai pedesaan (BPS, 2010). Pola penyakit yang

ada di masyarakat Kabupaten Bogor juga mulai bergeser dari penyakit

menular ke arah penyakit tidak menular (Dinkes Bogor, 2012).

Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Bogor tahun 2012, penyakit

Hipertensi menempati urutan pertama pola penyakit penderita rawat jalan di

puskesmas pada kelompok umur 45-69 tahun (11,21%) dan kelompok umur

>70 tahun (18,7%). Penyakit hipertensi juga menempati urutan delapan

besar pola penyakit kasus rawat jalan di rumah sakit pada kelompok umur

5-44 tahun (3%), menjadi peringkat pertama pola penyakit rawat jalan di

rumah sakit pada kelompok umur 45-69 tahun (17,46%) dan kelompok

umur >70 tahun (19,02%). Pada kategori pola penyakit kasus rawat inap di

rumah sakit pada kelompok umur 5-44 tahun, hipertensi merupakan

penyakit terbanyak kedelapan (3,38%), menjadi penyakit kedua terbanyak

(7,51%) pada kelompok umur 45-69 tahun, serta peringkat pertama

Page 20: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

6

(11,94%) pada kelompok umur >70 tahun. Dari segi faktor risiko,

berdasarkan Survei Kesehatan Daerah Kabupaten Bogor tahun 2007,

diketahui persentase perokok aktif di Kabupaten Bogor sebesar 27,1%,

angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase perokok aktif di

Jawa Barat (26,7%) dan secara nasional (23,7%). Data ini menunjukkan

potensi besar adanya kemungkinan peningkatan angka morbiditas akibat

hipertensi di Kabupaten Bogor (Dinkes Bogor, 2012).

Menurut peneliti, perlu dilakukan penelitian mengenai hipertensi

rural-urban untuk mewaspadai prevalensi penyakit tidak menular agar tidak

menjadi fenomena gunung es, karena selama ini penelitian mengenai

penyakit tidak menular lebih difokuskan kepada daerah perkotaan (Pradono

dkk., 2013 dan Sirait dkk, 2012). Selain itu, penelitian yang membahas

tentang perbandingan hipertensi pada masyarakat rural-urban belum banyak

dilakukan (Badar, 2010). Oleh karena itu, peneliti akan mengangkat tema

tentang Perbedaan Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Rural-Urban Di

Kabupaten Bogor Tahun 2014

1.2 Rumusan Masalah

Peningkatan prevalensi hipertensi yang cepat disinyalir dikarenakan

adanya urbanisasi. Di Kabupaten Bogor, prevalensi hipertensi meningkat

dari tahun ke tahun. Hipertensi telah menjadi penyakit yang paling banyak

diderita oleh masyarakat. Faktor risiko yang dimiliki oleh masyarakat

berbanding lurus dengan jumlah kasus yang terus meningkat. Faktor

geografis kini terbukti menjadi salah satu faktor risiko penyakit degeneratif,

seperti hipertensi. Masyarakat yang tinggal di wilayah yang semakin

Page 21: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

7

mendekati pusat pemerintahan, maka lebih berisiko terkena

hipertensi.Masalah yang hendak diangkat dari penelitian ini adalah

Perbedaan Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Rural-Urban Di Kabupaten

Bogor Tahun 2014

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran epidemiologi kejadian hipertensi pada

masyarakat rural dan urban berdasarkan orang, tempat, dan waktu?

2. Apakah ada perbedaan antara kejadian hipertensi di masyarakat rural

dan urban?

1.4 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Perbedaan

Kejadian Hipertensi Pada Masyarakat Rural-Urban Di Kabupaten

Bogor Tahun 2014

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

a. Mengetahui gambaran epidemiologi kejadian hipertensi pada

masyarakat rural dan urban berdasarkan orang, tempat, dan

waktu.

b. Mengetahui perbedaan antara kejadian hipertensi di masyarakat

rural dan urban.

Page 22: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

8

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Tambahan referensi dan acuan penelitian mengenai hipertensi

pada masyarakat rural-urban.

2. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor

a. Bahan referensi dalam perencanaan program pengendalian

penyakit hipertensi dan memproyeksikan perkembangan

penyakit hipertensi.

3. Bagi Puskesmas Kecamatan Setempat

a. Acuan dan bahan pertimbangan untuk perencanaan dan evaluasi

program pengendalian penyakit hipertensi.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Perbedaan Kejadian

Hipertensi Pada Masyarakat Rural-Urban Di Kabupaten Bogor Tahun 2014.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November 2014. Metode penelitian

ini adalah penelitian epidemiologi analitik dengan desain studi cross-

sectional dengan jumlah sampel sebanyak 160 yang terdiri atas 80

responden masyarakat rural dan 80 responden masyarakat urban. Faktor

yang diteliti antara lain umur, jenis kelamin, konsumsi makanan asin,

konsumsi makanan berlemak, konsumsi buah dan sayur, aktivitas fisik, dan

indeks massa tubuh. Kemudian, faktor-faktor tersebut dilihat perbedaannya

antara lokasi tempat tinggal responden di rural dan urban. Cara

pengambilan sampel menggunakan teknik multistage random sampling.

Page 23: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

1. Pengertian

Hipertensi adalah penyakit yang makin banyak dijumpai di

Indonesia, terutama di kota-kota besar. Hipertensi adalah

peningkatan tekanan sistole, yang tingginya tergantung umur

individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi dalam batas-batas

tertentu, tergantung posisi tubuh, umur, dan tingkat stres yang

dialami. Hipertensi juga sering digolongkan sebagai ringan, sedang,

atau berat, berdasarkan tekanan diastole. Hipertensi ringan bila

tekanan darah diastole 95-104, hipertensi sedang tekanan diastole-

nya 105-114, sedangkan hipertensi berat jika tekanan diastole-nya

>115 (Tambayong, 2000).

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan

diastolik dengan konsisten diatas 140/90 mmHg. Diagnosis

hipertensi tidak berdasarkan pada peningkatan tekanan darah yang

hanya sekali. Tekanan darah harus diukur dalam posisi duduk dan

berbaring (Baradero, 2008).

Hipertensi dengan peningkatan sistole tanpa disertai

peningkatan tekanan diastole lebih sering pada lansia, sedangkan

hipertensi peningkatan tekanan diastole tanpa disertai peningkatan

tekanan sistole lebih sering terdapat pada dewasa muda. Hipertensi

Page 24: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

10

dapat pula digolongkan sebagai essensial atau idiopatik, tanpa

etiologi spesifik, yang paling sering dijumpai. Bila ada penyebabnya,

disebut hipertensi sekunder (Tambayong, 2000).

Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah

sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90

mmHg (Price & Wilson, 2006). Sedangkan menurut WHO,

hipertensi atau tekanan darah tinggi yaitu tekanan darah sistole sama

dengan atau diatas 140 mmHg, diastole di atas 90 mmHg (Mansjoer,

2000). Hipertensi merupakan tekanan darah tinggi yang bersifat

abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang

berbeda (dilakukan 4 jam sekali). Dianggap mengalami hipertensi

apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari 140 mmHg sistolik atau

90 mmHg diastolik (Corwin, 2000).

Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana seseorang

mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal yang

mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka

kematian (mortalitas) (Basha, 2008). Hipertensi atau penyakit darah

tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang

mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa oleh darah

terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi

seringkali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent Killer), karena

termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-

gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya (Sustrani,

2006).

Page 25: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

11

Ada dua macam hipertensi, yaitu hipertensi esensial (primer)

dan sekunder. Sembilan puluh persen dari semua kasus hipertensi

adalah primer. Tidak ada penyebab yang jelas tentang hipertensi

primer, sekalipun ada beberapa teori yang menunjukkan adanya

faktor-faktor genetik, perubahan hormon, dan perubahan simpatis.

Hipertensi sekunder adalah akibat dari penyakit atau gangguan

tertentu (Baradero, 2008).

2. Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua

golongan, yaitu (Mansjoer, 2000):

a. Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui

penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik, terdapat sekitar

95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti

genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis,

sistem renin-angiotensin, efek dalam ekskresi Na, peningkatan

Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan

risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.

b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal, terdapat sekitar 5%

kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan

estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,

hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing,

feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan

dengan kehamilan, dan lain-lain.

Page 26: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

12

Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu

hipertensi sistolik dan hipertensi diastolik. Pertama yaitu hipertensi

sistolik adalah jantung berdenyut terlalu kuat sehingga dapat

meningkatkan angka sistolik. Tekanan sistolik berkaitan dengan

tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut

jantung). Ini adalah tekanan maksimum dalam arteri pada suatu saat

dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan

atas yang nilainya lebih besar. Kedua yaitu hipertensi diastolik

terjadi apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal,

sehingga memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang

melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan darah

diastolik berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung berada

dalam keadaan relaksasi diantara dua denyutan. Sedangkan faktor

yang mempengaruhi prevalensi hipertensi antara lain ras, umur,

obesitas, asupan garam yang tinggi, adanya riwayat hipertensi dalam

keluarga (Arjatmo, 2001).

Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua

yaitu primer dan sekunder. Hipertensi primer merupakan jenis yang

penyebab spesifik tidak diketahui. Sedangkan hipertensi sekunder

merupakan jenis yang penyebab spesifiknya dapat diketahui.

Penderita hipertensi sekunder ada 5%-10% kasus. Pada hipertensi

penyebab dan patofisiologinya sudah diketahui sehingga dapat

dikendalikan dengan obat-obatan atau pembedahan (Arjatmo &

Hendra, 2001). Penyebab paling sering dari hipertensi sekunder

Page 27: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

13

adalah adanya kelainan dan keadaan dari sistem organ lain seperti

ginjal (gagal ginjal kronik, glomerolus nefritis akut), kelainan

endokrin (tumor kelenjar adrenal, sindroma cushing) serta bisa

diakibatkan oleh penggunaan obat-obatan (kortikosteroid dan

hormonal) (Sustrani, 2006).

Ada lagi istilah hipertensi benigna dan maligna, tergantung

perjalanan penyakitnya. Bila timbulnya berangsur, disebut benigna;

bila tekanannya naik secara progresif dan cepat, disebut hipertensi

maligna, dengan banyak komplikasi, seperti gagal ginjal, CVA,

hemoragi retina, dan ensefalopati (Tambayong, 2000).

3. Gejala

Bila timbul gejala, penyakit ini sudah lanjut. Gejala klasik

yaitu sakit kepala, epistaksis, pusing, dan tinitus yang diduga

berhubungan dengan naiknya tekanan darah, ternyata sama

seringnya dengan yang terdapat pada yang tidak dengan tekanan

darah tinggi. Namun gejala sakit kepala sewaktu bangun tidur, mata

kabur, depresi, dan nokturia, ternyata meningkat pada hipertensi

yang tidak diobati. Empat sekuele utama akibat hipertensi adalah

stroke, infark miokard, gagal ginjal, dan ensefalopati (Tambayong,

2000).

4. Etiologi

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang

beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak

diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini

Page 28: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

14

tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Kelompok lain dari

populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang

khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab

hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab

hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-

pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Ditjen Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).

a. Hipertensi primer (esensial)

Hipertensi primer adalah suatu peningkatan persisten

tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan

mekanisme kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak

diketahui penyebabnya dan mencakup ± 90% dari kasus

hipertensi. Pada umumnya hipertensi esensial tidak disebabkan

oleh faktor tunggal, melainkan karena berbagai faktor yang

saling berkaitan. Salah satu faktor yang paling mungkin

berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi esensial adalah

faktor genetik karena hipertensi sering turun temurun dalam

suatu keluarga. (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,

2006).

b. Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan

penderita hipertensi sekunder dari berbagai penyakit atau obat-

obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah.

Disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit

Page 29: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

15

renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering.

Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat

menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan

menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat

diidentifikasi, dengan menghentikan obat atau

mengobati/mengoreksi penyakit yang menyertai merupakan

tahap awal penanganan hipertensi sekunder (Ditjen Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).

5. Patogenesis

Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan

perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan

tekanan perifer akan mempengaruhi tekanan darah seperti asupan

garam yang tinggi, faktor genetik, stres, obesitas, faktor endotel.

Selain curah jantung dan tahanan perifer sebenarnya tekanan darah

dipengaruhi juga oleh tebalnya atrium kanan, tetapi tidak

mempunyai banyak pengaruh. Dalam tubuh terdapat sistem yang

berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang

disebabkan oleh gangguan sirkulasi yang berusaha untuk

mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang.

(Beevers et al, 2002).

Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks.

Pengendalian dimulai dari sistem yang bereaksi dengan cepat

misalnya reflek kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflek

kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari

Page 30: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

16

atrium, arteri pulmonalis otot polos. Dari sistem pengendalian yang

bereaksi sangat cepat diikuti oleh sistem pengendalian yang bereaksi

kurang cepat, misalnya perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler

dan rongga intertisial yang dikontrol hormon angiotensin dan

vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem yang poten dan

berlangsung dalam jangka panjang misalnya kestabilan tekanan

darah dalam jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang

mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.

Peningkatan tekanan darah pada hipertensi primer dipengaruhi oleh

beberapa faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal

dan membrane sel, aktivitas saraf simpatis dan renin, angiotensin

yang mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan natrium dan

metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan faktor endotel.

(Beevers et al, 2002).

Akibat yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain

penyempitan arteri yang membawa darah dan oksigen ke otak, hal

ini disebabkan karena jaringan otak kekurangan oksigen akibat

penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak dan akan

mengakibatkan kematian pada bagian otak yang kemudian dapat

menimbulkan stroke. Komplikasi lain yaitu rasa sakit ketika berjalan

kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada organ mata yang dapat

mengakibatkan kebutaan (Beevers et al, 2002). Gejala–gejala

hipertensi antara lain sakit kepala, jantung berdebar-debar, sulit

bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja, mudah

Page 31: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

17

lelah, penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering

buang air kecil terutama di malam hari telingga berdering (tinnitus)

dan dunia terasa berputar (Sustrani, 2006).

6. Tatalaksana

Penatalaksanan untuk menurunkan tekanan darah pada

penderita tekanan darah tinggi dapat dilakukan dengan farmakologi

dan non farmakologi.

a. Penatalaksanaan Farmakologi

Penatalaksanaan farmakologi adalah penatalaksanaan

tekanan darah tinggi dengan menggunakan obat-obatan

kimiawi. Beberapa jenis obat antihipertensi yang beredar saat

ini, antara lain:

1). Diuretik

Diuretik adalah obat antihipertensi yang efeknya

membantu ginjal meningkatkan ekskresi natrium, klorida

dan air (Setiawati & Bustami, 2005). Meningkatkan

ekskresi pada ginjal akan mengurangi volume cairan di

seluruh tubuh sehingga menurunkan tekanan darah (Sheps,

2002).

2). Penghambat Adrenergik

Menurut Sheps (2002), penghambat adrenergik merupakan

sekelompok obat yang terdiri dari alfa-bloker, beta-bloker,

dan alfa-beta-bloker (abetol). Penghambat adrenergik

berguna untuk menghambat pelepasan rennin, angiotensin

Page 32: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

18

juga tidak akan aktif. Angiotensin I tidak akan dibentuk

dan angiotensin II juga tidak akan berubah. Angiotensin II

inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan TD

(Setiawati dalam Rezky, 2011).

3). Vasodilator

Vasodilator adalah obat-obat antihipertensi yang efeknya

memperlebar pembuluh darah dan dapat menurunkan

tekanan darah secara langsung (Setiawati dalam Rezky,

2011). Obat vasodilator mempengaruhi pembuluh darah

untuk melebar dengan merelaksasikan otot-otot polos

arteriol (Setiawati dalam Rezky, 2011).

4). Penghambat Enzim Konversi Angiotensin

Penghambat ACE mengurangi pembentukan angiotensin

II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi

aldosteron yang menyebabkan terjadinya ekskresi natrium

dan air, serta retensi kalsium. Akibatnya terjadi penurunan

tekanan darah pada penderita hipertensi (Setiawati dalam

Rezky, 2011).

5). Antagonis Kalsium

Menurut Sheps (2002), cara kerja antagonis kalsium

hamper sama dengan vasodilatot. Antagonis kalsium

adalah obat antihipertensi yang memperlebar pembuluh

darah.

Page 33: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

19

b. Penatalaksanaan Non Farmakologi

Penatalaksanaan non farmakologis merupakan bagian

yang tidak dapat dipisahkan dalam mengobati tekanan darah

tinggi. Beberapa contoh penatalaksanaan non farmakologis

antara lain:

1). Berhenti Merokok

Rokok dapat mempengaruhi kerja beberapa obat

antihipertensi. Obat bisa tidak bekerja dengan optimal atau

tidak memberi efek sama sekali. Dengan berhenti merokok

efektifitas obat akan meningkat (Sheps, 2002).

2). Tidak Mengkonsumsi Alkohol

Alkohol dalam darah merangsang pelepasan epineprin

(adrenalin) dan hormon-hormon lain yang membuat

pembuluh darah menyempit dan penumpukan lebih

banyak natrium dan air. Minum minuma beralkohol yang

berlebihan juga menyebabkan kekurangan gizi yaitu

penurunan kadar kalsium dan magnesium (Sheps, 2002).

3). Diet

Penurunan diet natrium dari 180 mmol (10,5 gr) per hari

menjadi 80-100 mmol (4.7 - 5.8 gr) per hari dapat

menurunkan tekanan darah sistolik 4-6 mmHg (Joewono,

2003). Untuk mengendalikan hipertensi, kita harus

membatasi asupan natrium dalam makanan. Selain

membatasi natrium, mengurangi makanan berlemak,

Page 34: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

20

makan lebih banyak biji-bijian, buah-buahan, sayuran dan

produk susu rendah lemak akan meningkatkan kesehatan

kita secara menyeluruh dan memberikan manfaat khusus

bagi penderita tekanan darah tinggi (Sheps, 2002).

4). Olahraga teratur

Olahraga teratur mampu menurunkan jumlah lemak serta

meningkatkan kekuatan otot terutama otot jantung.

Berkurangnya lemak dan volume tubuh, berarti

mengurangi resiko tekanan darah tinggi juga (Shep, 2002).

5). Penanganan Faktor Psikologis dan Stress

Hormon epineprin dan kortisol yang dilepaskan saat stress

menyebabkan peningkatan tekanan darah dengan

menyempitkan pembuluh darah dan meningkatkan denyut

jantung. Besarnya peningkatan tekanan darah tergantung

pada beratnya stress dan sejauh mana kita dapat

mengatasinya. Penanganan stress yang adekuat dapat

berpengaruh baik terhadap penurunan tekanan darah

(Sheps, 2002).

2.2 Epidemiologi Hipertensi

Pada awal mula istilah epidemiologi hanya terbatas pada penyakit

menular, namun sesuai dengan perkembangan zaman, terjadi transisi

epidemiologi ke arah penyakit tidak menular, seperti penyakit degeneratif,

penyakit akibat populasi, penyakit kanker, bahkan kecelakaan lalu lintas

(Wahyuningsih, 2009).

Page 35: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

21

Pada penyakit hipertensi, diperkirakan 80% kenaikan kasus hipertensi

terutama di negara berkembang tahun 2025, dari sejumlah 639 juta kasus di

tahun 2000, diperkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi

ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan

penduduk saat ini (Armilawati et al., 2007).

Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesia telah banyak

dikumpulkan dan menunjukkan di daerah pedesaan masih banyak penderita

yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Baik dari segi case

finding maupun penatalaksanaan pengobatannya. Jangkauan masih sangat

terbatas dan sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan.

Prevalensi terbanyak berkisar antara 6 sampai dengan 15%, tetapi angka

prevalensi yang rendah terdapat di Ungaran, Jawa Tengah sebesar 1,8% dan

Lembah Balim Pegunungan Jaya Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6%

sedangkan angka prevalensi tertinggi di Talang Sumatera Barat 17,8%

(Wade, 2003 dalam Levanita, 2010).

2.3 Epidemiologi Deskriptif

Penelitian deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi individu dan

populasi yang memiliki risiko paling besar terkena suatu penyakit, untuk

menentukan tanda-tanda sebagai etiologi penyakit, serta untuk memprediksi

kejadian penyakit melalui pemahaman hubungan antara suatu penyakit

dengan beberapa faktor risiko yang ada (Arias, 2009). Epidemiologi

deskriptif adalah studi yang ditujukan untuk menentukan jumlah atau

frekuensi dan distribusi penyakit di suatu daerah berdasarkan variabel

orang, tempat, dan waktu (Masriadi, 2012).

Page 36: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

22

Menurut Mausner dan Bahn, epidemiologi deskriptif mencakup orang,

tempat, dan waktu, sebagai konsep-konsep dasarnya yang akan digunakan

untuk mendeskripsikan kejadian dan kegiatan yang melingkupi atau

mungkin mempengaruhi terjadinya KLB penyakit (Timmreck, 2004).

Analisis data epidemiologis berdasarkan variabel orang, tempat, dan

waktu digunakan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang

morbiditas dan mortalitas yang dihadapi. Dengan demikian, memudahkan

untuk mengadakan penanggulangan, pencegahan, atau pengamatan

(Budiarto, 2002).

1. Variabel Orang

Variabel orang dalam menjawab siapa yang terkena masalah,

biasanya berupa variabel umur, jenis kelamin, suku, agama,

pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Faktor tersebut biasa disebut

sebagai variabel epidemiologi atau demografi. Kelompok orang yang

potensial atau punya peluang untuk menderita sakit atau mendapat

risiko biasanya disebut population at risk (Masriadi, 2012).

Untuk mengidentifikasi seseorang terdapat variabel yang tak

terhingga banyaknya, tetapi hendaknya dipilih variabel yang dapat

digunakan sebagai indikator untuk menentukan ciri seseorang. Untuk

menentukan variabel mana yang dapat digunakan sebagai indikator,

hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan serta

sarana yang ada (Budiarto, 2002). Dalam penelitian ini, variabel

orang dijelaskan sebagai faktor risiko hipertensi.

Page 37: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

23

Faktor risiko hipertensi meliputi umur, jenis kelamin, riwayat

keluarga mengalami hipertensi, obesitas yang dikaitkan dengan

peningkatan volume intravaskular, aterosklerosis (penyempitan

arteria-arteria dapat membuat tekanan darah meningkat), merokok

(nikotin dapat membuat pembuluh darah menyempit), kadar garam

tinggi (natrium membuat resistensi air yang dapat menyebabkan

volume darah meningkat), konsumsi alkohol dapat meningkatkan

plasma katekolamin, dan stres emosi yang merangsang sistem saraf

simpatis (Baradero, 2008)

Menurut beberapa penelitian yang pernah dilakukan, faktor

risiko hipertensi antara lain usia (Syahrini, 2012), jenis kelamin

(Sigarlaki, 2006), ras/budaya (Fitriani, 2012), konsumsi makanan

tertentu (asin (Wahiduddin, 2012), berlemak (Syahrini, 2012),

berkolesterol tinggi (Almatsier, 2003), gorengan (Aisyiyah, 2009)),

kurangnya asupan sayur dan buah (Dauchet, et al., 2007), perilaku

merokok (Pradono, 2013), konsumsi alkohol (Hartono, 2006),

perilaku sedentari (Kemenkes, 2013), kurangnya aktivitas fisik

(Rabaity, 2012), obesitas (Syahrini, 2012), faktor genetik

(Wahiduddin, 2012), dan stres (Lewa, 2010). Faktor-faktor risiko

tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Usia

Usia atau umur adalah lamanya keberadaan seseorang

diukur dalam satuan waktu di pandang dari segi kronologik,

individu normal yang memperlihatkan derajat perkembangan

Page 38: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

24

anatomis dan fisiologik sama (Nuswantari, 1998 dalam

Manurung, 2013). Insidens hipertensi berbanding lurus dengan

usia. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun dengan

jelas menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian

prematur (Tambayong, 2000). Hal ini diperkuat dengan penelitian

yang dilakukan oleh Farida Nur Aisyiyah (2009), yang

menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang, maka

semakin tinggi pula tekanan darahnya . Penelitian yang dilakukan

oleh Nurlyna Nur Syahrini, dkk (2012), yang menyatakan bahwa

ada hubungan yang bermakna antara umur dengan hipertensi.

Tekanan darah cenderung meningkat seiring bertambahnya

usia, kemungkinan seseorang menderita hipertensi juga semakin

besar. Pada umumnya penderita hipertensi adalah orang-orang

yang berusia 40 tahun namun saat ini tidak menutup

kemungkinan diderita oleh orang berusia muda. Boedhi Darmoejo

dalam tulisannya yang dikumpulkan dari berbagai penelitian yang

dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa 1,8%-28,6%

penduduk yang berusia diatas 20 tahun adalah penderita

hipertensi (Beevers at al, 2002).

Secara fisiologis, pembuluh darah manusia mengalami

perubahan seiring pertambahan umurnya. Pembuluh darah

manusia saat umur 1-10 tahun akan bersifat licin dan elastis. Pada

usia ini pembuluh darah berfungsi normal. Memasuki usia 10-20

tahun, muncul bercak lemak pada pembuluh darah. Hal ini

Page 39: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

25

dipengaruhi oleh gaya hidup dan pola makan seseorang. Bercak

lemak ini sebagian mengalami regresi tetapi sebagian akan terus

berkembang menjadi plak fibrosa dan akhirnya menjadi ateroma.

Proses ini muncul pada usia 20 tahun ke atas. Munculnya plak di

pembuluh darah ini menyebabkan penyempitan, sehingga ketika

volume darah yang melewati pembuluh darah ini tetap, maka

akan muncul kenaikan tekanan darah (Price & Wilson, 2006).

Perubahan struktur dan fungsional pada sistem perifer

bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi

pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,

hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi

otot polos pembuluh darah, yang kemudian menurunkan

kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.

Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya

dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa jantung,

mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan

perifer (Bruner dan Suddarth, 2001 dalam Sagala, 2010).

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah istilah yang mengacu pada status

biologis seseorang, terdiri dari tampilan fisik yang membedakan

antara pria dengan wanita; misalnya, struktur genetik (kromosom

seks), hormon seks, organ kelamin interna dan genitalia eksterna

(Henderson, 2005). Pada umumnya insidens pria lebih tinggi

daripada wanita, namun pada usia pertengahan dan lebih tua,

Page 40: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

26

insidens pada wanita mulai meningkat, sehingga pada usia di atas

65 tahun, insidens pada wanita lebih tinggi (Tambayong, 2000).

Banyak penelitian juga telah menyatakan ada hubungan antara

jenis kelamin dengan hipertensi, seperti penelitian yang dilakukan

oleh Wahiduddin, dkk (2012) yang menyatakan bahwa sebagian

besar kasus hipertensi berjenis kelamin laki-laki.

Wanita penderita hipertensi diakui lebih banyak dari pada

laki-laki. Tetapi wanita lebih tahan dari pada laki-laki tanpa

kerusakan jantung dan pembuluh darah. Pria lebih banyak

mengalami kemungkinan menderita hipertensi dari pada wanita.

Pada pria hipertensi lebih banyak disebabkan oleh pekerjaan,

seperti perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan. Sampai usia

55 tahun pria beresiko lebih tinggi terkena hipertensi

dibandingkan wanita. Menurut Edward D. Frohlich seorang pria

dewasa akan mempunyai peluang lebih besar yakni satu di antara

5 untuk mengidap hipertensi (Sustrani, 2006).

Munculnya perbedaan risiko seseorang terkena hipertensi

berdasarkan jenis kelamin dikarenakan adanya perbedaan hormon

yang dihasilkan antara pria dan wanita. Adanya hormon estrogen

sebelum awitan menopause dianggap merupakan faktor pelindung

utama untuk menghindari timbulnya penyakit kardiovaskular

(Price&Wilson, 2006).

Page 41: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

27

c. Ras/Suku

Secara garis besar ras penduduk dunia dibagi berdasarkan

warna kulit yaitu kelompok Kaukasia, Negroid, dan Mongoloid.

Ada penyakit yang diturunkan secara genetik pada ras tertentu

seperti Sickle Cell Anemia pada ras Negroid, kanker lambung

pada orang Amerika keturunan Jepang dan Hemofilia pada

keturunan Tsar Rusia. Selain faktor keturunan, terdapat faktor lain

yang ikut mempengaruhi terjadinya penyakit atau kematian pada

ras dan etnis tertentu, seperti adat istiadat, kebudayaan, gaya

hidup, hobi, dan lain-lain (Chandra, 2009).

Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua

kalinya pada yang berkulit putih. Akibat penyakit ini umumnya

lebih berat daripada yang berkulit hitam (Tambayong, 2000). Ras

di Indonesia tidak terlalu beragam. Sebagian besar ras orang

Indonesia adalah ras Mongoloid, bagian dari ras Asia (Sumolang,

2010). Namun, jika berbicara mengenai ras, maka Indonesia

memiliki keragaman lain, yakni suku. Keragaman suku yang ada

di Indonesia mempengaruhi ragam kuliner yang ada.

Dalam bidang makanan, apa yang kita konsumsi tidak

hanya masalah ekonomi atau lingkungan tetapi juga merupakan

suatu kategori budaya sehingga menjadi salah satu faktor

penyebab penyakit degeneratif (hipertensi) (Fitriani, 2012).

Kebudayaan yang melekat dalam suatu masyarakat mengenai

makanan, terkadang tidak mempertimbangkan nilai gizi yang

Page 42: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

28

terkandung di dalam makanan tersebut, sehingga masyarakat

tersebut rentan terkena penyakit yang disebabkan oleh suatu zat

makanan tertentu.

d. Konsumsi Makanan Tertentu

Konsumsi makanan yang mempengaruhi tekanan darah

adalah konsumsi makanan bergaram tinggi, berlemak, atau

berkolesterol tinggi. Konsumsi makanan yang seperti ini

mengandung zat-zat yang dapat meningkatkan tekanan darah

seperti natrium dan kolesterol.

Studi epidemiologi pada berbagai populasi menunjukkan

adanya peranan garam dalam kejadian hipertensi. Masyarakat

perdesaan yang mengkonsumsi garam dalam jumlah kecil

(70mEq/hari) terbukti memiliki riwayat hipertensi yang lebih

rendah, yang mengalami peningkatan tekanan darah seiring

dengan meningkatnya umur dan modernisasi masyarakat.

Populasi lain dari 24 komunitas memiliki kebiasaan konsumsi

jumlah natrium yang berbeda, yaitu 100 mEq/24 jam,

berhubungan dengan penurunan 10 mmHg TDS pada orang

dewasa berumur 60-69 tahun. Peningkatan TDS karena penuaan

(umur >30 tahun) berkurang 9 mmHg dan peningkatan TDD

berkurang 4.5 mmHg jika rata-rata konsumsi natrium lebih

rendah dari 100 mEq/ hari (Krummel 2004). Salah satu

rekomendasi pencegahan hipertensi di Amerika adalah dengan

Page 43: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

29

membatasi konsumsi garam 6 g/hari (100 mEq atau 2400 mg Na

per hari) (Aisyiyah, 2009).

WHO (1990) menganjurkan pembatasan konsumsi garam

dapur hingga 6 gram sehari (sama dengan 2400 mg Natrium).

Konsumsi garam memiliki efek langsung terhadap tekanan darah.

Masyarakat yang mengkonsumsi garam yang tinggi dalam pola

makannya juga adalah masyarakat dengan tekanan darah yang

meningkat seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, masyarakat

yang konsumsi garamnya rendah menunjukkan hanya mengalami

peningkatan tekanan darah yang sedikit, seiring dengan

bertambahnya usia (Beevers et al, 2002).

Natrium bersama klorida yang terdapat dalam garam dapur

dalam jumlah normal dapat membantu tubuh mempertahankan

keseimbangan cairan tubuh untuk mengatur tekanan darah.

Namun natrium dalam jumlah yang berlebih dapat menahan air

(retensi), sehingga meningkatkan volume darah. Akibatnya

jantung harus bekerja lebih keras untuk memompanya dan

tekanan darah menjadi naik (Sustrani, 2006).

Konsumsi jenis pangan yang digoreng (deep frying)

berpengaruh meningkatnya asupan energi dari lipid. Makanan

yang digoreng memiliki rasa yang gurih, renyah, enak dan kaya

lemak. Hal ini menyebabkan seseorang ingin makan terus

menerus, sehingga memiliki densitas energi yang tinggi dan

tingkat kepuasan yang rendah. Rendahnya tingkat kepuasan dapat

Page 44: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

30

berpengaruh terhadap kemampuan respon insulin dan leptin,

hormon yang menstimulasi rasa lapar-kenyang (Aisyiyah, 2009).

Konsumsi pangan tinggi lemak juga dapat menyebabkan

penyumbatan pembuluh darah yang dikenal dengan

aterosklerosis. Lemak yang berasal dari minyak goreng tersusun

dari asam lemak jenuh rantai panjang (long-saturated fatty acid).

Keberadaannya yang berlebih di dalam tubuh akan menyebabkan

penumpukan dan pembentukan plak di pembuluh darah.

Pembuluh darah menjadi semakin sempit dan elastisitasnya

berkurang. Kandungan lemak atau minyak yang dapat

mengganggu kesehatan jika jumlahnya berlebih lainnya adalah:

kolesterol, trigliserida, low density lipoprotein (LDL) (Almatsier

2003)

e. Konsumsi Sayur dan Buah

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kerusakan

pembuluh darah bisa dicegah dengan mengkonsumsi antioksidan

sejak dini. Dalam hal ini antioksidan mampu menangkap radikal

bebas dan mencegah dimulainya proses kerusakan pembuluh

darah. Radikal bebas adalah suatu molekul oksigen dengan atom

pada orbit terluarnya memiliki elektron yang tidak berpasangan.

Karena kehilangan pasangannya itu, molekul lalu menjadi tidak

stabil, liar, dan radikal. Dalam hal ini, antioksidan mampu

menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan

elektronnya dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari

Page 45: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

31

pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stress

oksidatif. Antioksidan terbagi atas dua jenis, yakni antioksidan

endogen dan eksogen. Antioksidan endogen berupa enzim dalam

tubuh, misalnya superoksida dismutase (SOD), glutathion, dan

katalase. Sedangkan, antioksidan eksogen mencakup beta karoten,

vitamin C, vitamin E, zinc (Zn), dan selenium (Se). Menkonsumsi

sayur-sayuran dan buah-buahan dalam porsi yang memadai akan

menjadi sumber asupan antioksidan bagi tubuh (Almatsier 2003).

Konsumsi buah dan sayur >400 gram per hari dapat

menurunkan risiko hipertensi dengan semakin bertambahnya

umur. Hal ini tidak saja disebabkan oleh aktivitas antioksidan

dalam buah dan sayur, tetapi juga karena adanya komponen lain

seperti serat, mineral kalium, dan magnesium. Orang yang

mengkonsumsi buah dan sayur biasanya memiliki kebiasaan yang

lebih sehat, seperti: melakukan aktivitas fisik lebih banyak, tidak

merokok, dan tidak mengkonsumsi alkohol; yang secara

keseluruhan dapat menurunkan risiko hipertensi (Dauchet et al.

2007). Pasien hipertensi dianjurkan mengkonsumsi sayur dan

buah yang mengandung serat pangan minimal 30 mg/hari

(Hartono 2006).

Tingginya konsumsi biji-bijian dengan kulit berhubungan

dengan penurunan hipertensi pada orang dewasa dan lansia

wanita (Wang et al. 2007). Konsumsi tinggi sayur dan buah serta

rendah karbohidrat dan lemak dapat digunakan sebagai pola

Page 46: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

32

makan untuk penurunan berat badan. Penelitian yang dilakukan

oleh Ledikwe et al. (2007) pada 810 orang penderita prehipertensi

dan hipertensi ringan, menemukan hubungan nyata antara

konsumsi pangan yang memiliki densitas energi rendah dengan

penurunan berat badan (p<0.001). Pola konsumsi rendah densitas

energi dapat menurunkan asupan energi dan penurunan berat

badan. Pola konsumsi rendah densitas energi dapat dilakukan

dengan peningkatan konsumsi buah, sayur, serat, vitamin dan

mineral. Serat pangan dapat membantu meningkatkan

pengeluaran kolesterol melalui feces dengan jalan meningkatkan

waktu transit bahan makanan melalui usus kecil. Selain itu,

konsumsi serat sayuran dan buah akan mempercepat rasa

kenyang. Keadaan ini menguntungkan karena dapat mengurangi

pemasukan energi dan obesitas, dan akhirnya akan menurunkan

risiko hipertensi (Krisnatuti & Yenrina 2005).

Kesibukan dan aktivitas tinggi pada masyarakat yang

bekerja dan tinggal di daerah perkotaan menuntut gaya hidup

yang serba cepat dan instan. Keadaan yang seperti ini

dimanfaatkan oleh produsen makanan cepat saji. Oleh karena itu,

tumbuh suburlah restoran-restoran cepat saji di daerah perkotaan.

(Genis Ginanjar,2009).

Pola makan masyarakat perkotaan tidak seimbang yaitu

karbohidrat tinggi (terutama gula dan lemak) pada masyarakat

perkotaan menimbulkan masalah gizi lebih, selain itu pola makan

Page 47: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

33

yang tidak seimbang ini juga meningkatkan timbulnya penyakit

degenerative, misalnya hipertensi, diabetes, dan jantung.

(Rahmat,2004).

f. Perilaku Merokok

Asap rokok (CO) memiliki kemampuan menarik sel darah

merah lebih kuat dari kemampuan menarik oksigen, sehingga

dapat menurunkan kapasitas sel darah merah pembawa oksigen ke

jantung dan jaringan lainnya. Laporan dari Amerika Serikat

menunjukkan bahwa upaya menghentikan kebiasaan merokok

dalam jangka waktu 10 tahun dapat menurunkan insiden penyakit

jantung koroner (PJK) sekitar 24.4% (Karyadi 2002).

Tandra (2003) menyatakan bahwa nikotin mengganggu

sistem saraf simpatis yang mengakibatkan meningkatnya

kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan

merokok, nikotin juga meningkatkan frekuensi denyut jantung,

tekanan darah, dan kebutuhan oksigen jantung; merangsang

pelepasan adrenalin, serta menyebabkan gangguan irama jantung.

Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian

tubuh lainnya.

Merokok dapat mengubah metabolisme kolesterol ke arah

aterogenik. Merokok dapat meningkatkan kadar kolesterol darah

dan dapat menurunkan kadar HDL Rokok dapat meningkatkan

kadar LDL dalam darah dan menurunkan kada HDL.

Framingham Heart Study yang meneliti pria dan wanita sekitar 20

Page 48: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

34

– 49 tahun dilaporkan bahwa kadar kalesterol HDL lebih rendah

4.5 – 6.5 % pada perokok, dan pada studi lain dilaporkan bahwa

pria yang merokok lebih dari 20 batang sehari akan mengalami

penurunan HDL hingga 11% dibandingkan bukan perokok

(Karyadi 2002). Selain itu, merokok juga dapat meningkatkan

pengaktifan platelet (sel-sel penggumpal darah) (Khomsan 2004).

Risiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang

dihisap per hari, dan bukan pada lama merokok. Seseorang yang

merokok lebih dari satu pak rokok sehari menjadi dua kali lebih

rentan terhadap penyakit aterosklerosis daripada mereka yang

tidak merokok. Yang diduga menjadi penyebab adalah pengaruh

nikotin terhadap pelepasan katekolamin oleh sistem saraf otonom.

Namun efek nikotin tidak bersifat kumulatif, mantan perokok

tampaknya berisiko rendah seperti pada bukan perokok

(Price&Wilson, 2006).

g. Konsumsi Alkohol

Konsumsi alkohol diakui sebagai faktor penting yang

berhubungan dengan tekanan darah. Kebiasaan konsumsi alkohol

harus dihilangkan untuk menghindari peningkatan tekanan darah

(Hartono 2006). Jika dibandingkan dengan orang yang bukan

peminum alkohol, maka terdapat perbedaan yang signifikan

dalam hal tingginya tekanan darah. Konsumsi alkohol 3 kali per

hari dapat menjadi pencetus meningkatnya tekanan darah, dan

berhubungan dengan peningkatan 3 mmHg. Konsumsi alkohol

Page 49: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

35

seharusnya kurang dari 2 kali per hari (24 oz bir, 10 oz wine, atau

2 oz whiskey murni) pada laki-laki untuk pencegahan

peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang yang

memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih dari

1 kali minum per hari (Krummel 2004). Namun akan lebih baik

jika konsumsi alkohol tidak dilakukan.

h. Perilaku Sedentari

Perilaku sedentari merupakan perilaku berisiko terhadap

salah satu terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah,

penyakit jantung dan bahkan mempengaruhi umur harapan hidup.

Perilaku sedentari adalah perilaku santai antara lain duduk,

berbaring, dan lain sebagainya dalam sehari-hari baik di tempat

kerja (kerja di depan komputer, membaca, dll), di rumah (nonton

TV, main game, dll), di perjalanan /transportasi (bis, kereta,

motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur (Kemenkes, 2013).

i. Kurang Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot

tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas

fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk

bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan

tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen

ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh

(Supariasa 2001).

Page 50: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

36

Seseorang dengan aktivitas fisik yang kurang, memiliki

kecenderungan 30%-50% terkena hipertensi daripada mereka

yang aktif. Penelitian dari Farmingharm Study menyatakan

bahwa aktivitas fisik sedang dan berat dapat mencegah kejadian

stroke. Selain itu, dua meta-analisis yang telah dilakukan juga

menyebutkan hal yang sama. Hasil analisis pertama

menyebutkan bahwa berjalan kaki dapat menurunkan tekanan

darah pada orang dewasa sekitar 2% (Kelley 2001). Analisis

kedua pada 54 randomized controlled trial (RCT), aktivitas

aerobik menurunkan tekanan darah rata-rata 4 mmHg TDS dan

2 mmHg TDD pada pasien dengan dan tanpa hipertensi

(Whelton et al. 2002). Peningkatan intensitas aktivitas fisik, 30 –

45 menit per hari, penting dilakukan sebagai strategi untuk

pencegahan dan pengelolaan hipertensi. Olah raga atau aktivitas

fisik yang mampu membakar 800-1000 kalori akan

meningkatkan high density lipoprotein (HDL) sebesar 4.4

mmHg (Khomsan 2004).

Kemajuan teknologi seperti transportasi dan alat bantu

komunikasi berkontribusi pada meningkatnya prevalensi

kegemukan. Tersedianya sarana transportasi membuat orang

lebih memilih naik kendaraan daripada berjalan kaki walaupun

pada jarak yang tidak jauh. Orang lebih memilih naik eskalator

atau lift daripada naik tangga. Selain itu, diciptakannya mesin-

mesin yang dapat menggantikan tugas manusia semakin

Page 51: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

37

membuat ”manja”, serta membuat enggan mengeluarkan

tenaganya. Akibatnya aktivitas fisik menurun yang berarti

makin sedikit energi yang digunakan dan makin banyak energi

yang ditimbun (Rimbawan dan Siagian 2004). Hasil analisis

Korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan antara

aktivitas fisik (pengeluaran energi) dengan status gizi remaja

(p<0.01). Hal ini membuktikan bahwa semakin aktif secara fisik

maka kemungkinan semakin baik status gizi (Amelia 2008).

Olahraga lebih banyak dihubungkan dengan pengelolaan

hipertensi karena olahraga isotonik dan teratur dapat

menurunkan tekanan darah. Kurangnya melakukan olahraga

akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika

asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya

hipertensi (Arjatmo & Hendra, 2001). Meskipun tekanan darah

meningkat secara tajam ketika sedang berolahraga, namun jika

berolahraga secara teratur akan lebih sehat dan memiliki tekanan

darah lebih rendah dari pada mereka yang melakukan olah raga.

Olahraga yang teratur dalam jumlah sedang lebih baik dari pada

olahraga berat tetapi hanya sekali (Beevers et al, 2002).

j. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks massa tubuh dipakai sebagai standar klinis dalam

menilai kelebihan bobot badan dan obesitas seseorang. IMT

didefinisikan sebagai bobot badan dalam kilogram dibagi

dengan luas permukaan tubuh yang diukur dalam meter. IMT

Page 52: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

38

biasanya dinyatakan tanpa satuan, namun satuan yang disepakati

adalah kg/m2

(Ansel, 2006).

Hubungan antara kelebihan berat badan dengan hipertensi

dapat dijelaskan sebagai perubahan fisiologis, yaitu resistensi

insulin dan hiperinsulinemia; aktivasi sistem saraf simpatik dan

sistem renin-angiotenin; serta perubahan organ ginjal.

Peningkatan asupan energi juga berhubungan dengan

peningkatan insulin plasma, yang berperan sebagai faktor

natriuretik dan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium

ginjal sehingga menyebabkan meningkatnya tekanan darah

(Krummel 2004).

Pada orang yang terlalu gemuk, tekanan darahnya

cenderung tinggi karena seluruh organ tubuh dipacu bekerja

keras untuk memenuhi kebutuhan energi yang lebih besar

jantungpun bekerja ekstra karena banyaknya timbunan lemak

yang menyebabkan kadar lemak darah juga tinggi, sehingga

tekanan darah menjadi tinggi Cara mudah untuk mengetahui

termasuk obesitas atau tidak yaitu dengan mengukur Indeks

Masa Tubuh (IMT) Rumus untuk IMT adalah berat badan (kg)

dibagi dengan tinggi badan dikuadratkan (m2) (Soeharto, 2001).

. Obesitas mempengaruhi tekanan darah karena obesitas

meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan

berperan dalam gaya hidup pasif. Lemak tubuh yang berlebihan

Page 53: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

39

(terutama obesitas abdominal) dan ketidak-aktifan fisik berperan

dalam terbentuknya resistensi insulin (Price&wilson, 2006).

k. Faktor Genetik

Kasus hipertensi esensial 70%-80% diturunkan dari orang

tuanya. Apabila riwayat hipertensi di dapat pada kedua orang

tua maka dugaan hipertensi esensial lebih besar bagi seseorang

yang kedua orang tuanya menderita hipertensi ataupun pada

kembar monozygot (sel telur) dan salah satunya menderita

hipertensi maka orang tersebut kemungkinan besar menderita

hipertensi. Penelitian yang dilakukan pada orang kembar yang

dibesarkan secara terpisah atau bersama dan juga terdapat pada

anak-anak bukan adopsi telah dapat mengungkapkan seberapa

besar tekanan darah dalam keluarga yang merupakan akibat

kesamaan dalam gaya hidup. Berdasarkan penelitian tersebut

secara kasar, sekitar separuh tekanan darah di antara orang-

orang tersebut merupakan akibat dari faktor genetika dan

separuhnya lagi merupakan akibat dari faktor pola makan sejak

masa awal kanak-kanak (Beevers et al, 2002).

l. Stress

Stress dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang

mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat

meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah,

dan meningkatkan retensi air dan garam (Syaifuddin 2006).

Pada saat stress, sekresi katekolamin semakin meningkat

Page 54: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

40

sehingga renin, angiotensin, dan aldosteron yang dihasilkan juga

semakin meningkat (Klabunde 2007). Peningkatan sekresi

hormon tersebut berdampak pada peningkatan tekanan darah.

Faktor psikososial dari waktu terdesak/tidak sabar, prestasi

kerja, kompetisi, permusuhan, depresi dan rasa gelisah

berhubungan dengan kejadian hipertensi. Studi kohort pada

orang dewasa berusia 18-30 tahun menunjukkan adanya

hubungan nyata antara tingginya waktu terdesak/tidak sabar dan

permusuhan terhadap kejadian hipertensi pada keseluruhan

sampel yang diikuti selama 15 tahun. Nilai OR dari

perbandingan waktu terdesak/tidak sabar terhadap skor terendah

sebesar 1.51 (95% CI, 1.12-2.03) p<0.01, dan permusuhan 1.06

(95% CI, 0.76-1.47) p<0.01 (Yan et al. 2003). Penelitian

Gangwisch et al. (2006) pada subjek berusia 32-59 tahun

menyebutkan bahwa waktu tidur yang sedikit (≤ 5 jam per

malam), berhubungan nyata dengan peningkatan kejadian

hipertensi (hazart rasio, 2.19; 95% CI, 1.58-2.79).

Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka

mengalami stress berhubungan dengan pekerjaan mereka. Hal

ini dapat dipengaruhi karena tuntutan kerja yang terlalu banyak

(bekerja terlalu keras dan sering kerja lembur) dan jenis

pekerjaan yang harus memberikan penilaian atas penampilan

kerja bawahannya atau pekerjaan yang menuntut tanggungjawab

bagi manusia. Stres pada pekerjaan cenderung menyebabkan

Page 55: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

41

hipertensi berat. Sumber stres dalam pekerjaan (Stressor)

meliputi beban kerja, fasilitas kerja yang tidak memadai, peran

dalam pekerjaan yang tidak jelas, tanggungjawab yang tidak

jelas, masalah dalam hubungan dengan orang lain, tuntutan kerja

dan tuntutan keluarga (Smet, 1994).

Beban kerja meliputi pembatasan jam kerja dan

meminimalkan kerja shift malam. Jam kerja yang diharuskan

adalah 6-8 jam setiap harinya. Sisanya (16-18 jam setiap

harinya) digunakan untuk keluarga dan masyarakat, istirahat,

tidur, dan lain-lain. Dalam satu minggu seseorang bekerja

dengan baik selama 40-50 jam, lebih dari itu terlihat

kecenderungan yang negatif seperti kelelahan kerja, penyakit

dan kecelakaan kerja (Suma’ mur, 1998 dalam Wahyudi, 2014).

Stres dapat meningkatkan tekanan darah dalam waktu yang

pendek, tetapi kemungkinan bukan penyebab meningkatnya

tekanan darah dalam waktu yang panjang. Dalam suatu

penelitian, stres yang muncul akibat mengerjakan perhitungan

aritmatika dalam suatu lingkungan yang bising, atau bahkan

ketika sedang menyortir benda berdasarkan perbedaan ukuran,

menyebabkan lonjakan peningkatan tekanan darah secara tiba-

tiba (Beevers et al, 2002).

2. Variabel Tempat

Variabel tempat merupakan salah satu variabel penting dalam

epidemiologi deskriptif karena pengetahuan tentang tempat atau

Page 56: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

42

lokasi kejadian luar biasa atau lokasi penyakit-penyakit endemis

sangat dibutuhkan ketika melakukan penelitian dan mengetahui

sebaran berbagai penyakit di suatu wilayah. Batas wilayah dapat

ditentukan berdasarkan (Budiarto, 2002):

a. Geografis, yang ditentukan berdasarkan alamiah, administratif

atau fisik, institusi, dan instansi. Dengan batas alamiah dapat

dibedakan negara yang beriklim tropis, sub tropis, dan negara

dengan empat musim. Hal ini penting karena dengan adanya

perbedaan tersebut mengakibatkan perbedaan dalam pola

penyakit baik distribusi frekuensi maupun jenis penyakit.

b. Batas institusi dapat berupa industri, sekolah atau kantor, dan

lainnya sesuai dengan timbulnya masalah kesehatan.

Tempat terjadinya penyakit dapat menyebabkan adanya perbedaan

antara angka kesakitan dan kematian pada masyarakat atau

kelompok masyarakat berdasarkan tempat tinggal. Perbedaan ini

dapat bersifat internasional antara negara dengan negara, nasional

dengan propinsi, kabupaten, kotamadya atau lokal antara kota

dengan desa. Tempat tinggal di kota dan di desa juga dapat

menimbulkan terjadinya perbedaan angka kesakitan dan kematian

(Chandra, 2009).

Faktor tempat atau distribusi geografis memegang peran yang

sangat penting dalam melakukan penelitian karena pada geografis

yang berbeda, maka akan berbeda pula pola penyakitnya, misalnya

pola penyakit daerah perkotaan dengan pedesaan, demikian pula

Page 57: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

43

terjadi perbedaan antara daerah pantai dengan pegunungan

(Budiarto, 200).

Perubahan gaya hidup akibat urbanisasi dan modernisasi

menyebabkan penyakit degeneratif banyak terjadi di kalangan

masyarakat perkotaan. Menurut WHO, penyakit degeneratif

menambah peliknya kondisi kesehatan sebagian negara di dunia

yang selama ini dihimpit dengan banyaknya kasus penyakit menular

dan infeksi yang tergolong non degeneratif (Purwanto, 2011 dalam

Firdausi, 2012).

Prevalensi hipertensi meningkat cepat di negara berkembang

karena adanya transisi epidemiologi, peningkatan ekonomi,

urbanisasi, dan harapan hidup yang lebih panjang. Beberapa

penelitian di China juga telah menduga bahwa ada westernisasi gaya

hidup masyarakat. Perubahan ini berkontribusi pada prevalensi

hipertensi yang lebih tinggi pada masyarakat urban ketika

dibandingkan dengan masyarakat rural (Ma et al.,2013).

Urbanisasi umumnya diasosiasikan dengan peningkatan

pendapatan serta adopsi gaya hidup yang tidak sehat. Salah satunya

adalah tren konsumsi makanan tidak sehat, yaitu yang kaya akan

kandungan garam, lemak jenuh dan karbohidrat kualitas rendah

(seperti makanan cepat saji). Hal ini diperparah dengan kurangnya

aktivitas fisik akibat tuntutan pekerjaan (Bharati, et al., 2010).

Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata antara populasi

kelompok daerah kurang makmur dengan daerah maju, seperti

Page 58: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

44

bangsa Indian Amerika Selatan yang tekanan darahnya rendah dan

tidak banyak meningkat sesuai dengan pertambahan usia dibanding

masyarakat barat (Gray, 2005).

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37

Tahun 2010 tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di

Indonesia, wilayah Indonesia dibagi kedalam beberapa tingkat

wilayah administratif, yaitu provinsi, kabupaten/kota (dahulu disebut

kotamadya), kecamatan, dan desa atau disebut dengan nama lain

yang merupakan wilayah administratif terkecil. Sebagai wilayah

administratif terkecil, desa sering kali dijadikan sebagai unit

penelitian. Seperti diketahui, pada setiap desa mempunyai

karakteristik sosial ekonomi, kondisi dan akses ke fasilitas

perkotaan, ciri dan tipologi lingkungan yang berbeda-beda dan akan

terus berubah seiring dengan kemajuan tingkat pembangunan di

suatu desa. Kondisi yang berbeda dan terus berubah tersebut oleh

BPS dijadikan sebagai indikator untuk menggolongkan suatu desa

kedalam desa perkotaan atau desa perdesaan (BPS, 2010).

Penggolongan desa menjadi desa perkotaan dan desa perdesaan

biasanya dilakukan oleh BPS untuk keperluan statistik dan keperluan

lainnya yang berhubungan dengan analisis dan perencanaan

pembangunan. Sebagai contoh, BPS biasanya menggunakan

klasifikasi desa perkotaan perdesaan sebagai dasar untuk

merencanakan kegiatan sensus atau survei. Disamping itu bila

sampelnya memungkinkan, dalam penyajian dan analisis data juga

Page 59: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

45

dibedakan menurut daerah perkotaan dan daerah perdesaan (BPS,

2010).

Perkotaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat

desa/kelurahan yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah

perkotaan. Sedangkan perdesaan adalah status suatu wilayah

administrasi setingkat desa/kelurahan yang belum memenuhi kriteria

klasifikasi wilayah perkotaan. Desa adalah wilayah administrasi

terendah dalam hierarki pembagian wilayah administrasi Indonesia

di bawah kecamatan. Kelurahan adalah wilayah administrasi

terendah dalam hierarki pembagian wilayah administrasi Indonesia

di bawah kecamatan. Wilayah administrasi terendah dalam hierarki

pembagian wilayah administrasi Indonesia di bawah kecamatan,

selain desa/kelurahan adalah Nagari, Unit Pemukiman Transmigrasi

(UPT), dan Pemukiman Masyarakat Terasing (PMT) (BPS, 2010).

Kriteria wilayah perkotaan adalah persyaratan tertentu dalam hal

kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan

keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan, yang dimiliki suatu

desa/kelurahan untuk menentukan status perkotaan suatu

desa/kelurahan. Fasilitas perkotaan sebagaimana dimaksud adalah

(BPS, 2010):

a. Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK);

b. Sekolah Menengah Pertama;

c. Sekolah Menengah Umum;

d. Pasar;

Page 60: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

46

e. Pertokoan;

f. Bioskop;

g. Rumah Sakit;

h. Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon;

i. Persentase Rumah Tangga yang menggunakan Telepon; dan

j. Persentase Rumah Tangga yang menggunakan Listrik.

Penentuan nilai/skor untuk menetapkan sebagai wilayah

perkotaan dan perdesaan atas desa/kelurahan, yaitu:

a. Wilayah perkotaan, apabila dari kepadatan penduduk, persentase

rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas

perkotaan yang dimiliki mempunyai total nilai/skor 10 (sepuluh)

atau lebih; dan

b. Wilayah perdesaan, apabila dari kepadatan penduduk,

persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada

fasilitas perkotaan yang dimiliki mempunyai total nilai/skor di

bawah 10 (sepuluh).

Nilai/skor kepadatan penduduk, persentase rumah tangga

pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang

dimiliki ditetapkan sebagai berikut:

Page 61: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

47

Kriteria Keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan

Kepadata

n

pendudu

k per

km2

Nilai

/

Skor

Persentase

rumah

tangga

pertanian

Nilai

/

Skor

Fasilitas perkotaan Kriteria Nilai/

Skor

< 500 1 >70,00 1 a. Sekolah Taman

Kanak-Kanak Ada atau

≤ 2,5

km*)

>2,5

km*)

1

0

500-

1249

2 50,00-

69,99

2 b. Sekolah Menengah

Pertama

1250-

2499

3 30,00-

49,99

3 c. Sekolah Menengah

Umum

2500-

3999

4 20,00-

29,99

4 d. Pasar Ada atau

≤ 2 km*)

>2 km*)

1

0 4000-

5999

5 15,00-

19,99

5 e. Pertokoan

6000-

7499

6 10,00-

14,99

6 f. Bioskop Ada atau

≤ 2 km*)

>2 km*)

1

0 7500-

8499

7 5,00-9,99 7 g. Rumah Sakit

>8500 8 <5,00 8 h. Hotel/Bilyard/Diskote

k/

Panti Pijat/Salon

Ada

Tidak

Ada

1

0

i. Persentase RT

Telepon ≥ 8,00

< 8,00

1

0

j. Persentase RT Listrik ≥90,00

<90,00

1

0

Tabel 2.1. Kriteria Wilayah Perkotaan (BPS, 2010)

Kriteria wilayah perkotaan diimplementasikan pada seluruh wilayah

administrasi setingkat desa/kelurahan untuk menghasilkan klasifikasi

perkotaan/perdesaan desa/kelurahan seluruh Indonesia. Apabila ada

pemekaran desa/kelurahan, maka status perkotaan/perdesaan

desa/kelurahan baru, mengikuti status perkotaan/perdesaan

desa/kelurahan induk. Apabila ada pembentukan

desa/kelurahan/UPT baru, di mana desa/kelurahan baru tidak

memiliki desa/kelurahan induk, maka status perkotaan/perdesaan

Page 62: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

48

dari desa/kelurahan baru tersebut harus ditentukan dengan

mengimplementasikan kriteria wilayah perkotaan yang sama.

3. Variabel Waktu

Variabel waktu merupakan variabel penting dalam epidemiologi

yang berkaitan erat dengan perubahan meteorologi, migrasi

penduduk, bencana alam dan perang, program pelayanan kesehatan,

dan lain-lain (Budiarto, 2002). Kejadian suatu penyakit berhubungan

juga dengan waktu. Faktor waktu dapat berupa satuan jam, hari,

minggu, bulan, hingga tahun dan musim. Beberapa hal yang

berkaitan dengan timbulnya penyakit yang mengalami perubahan

dari waktu ke waktu antara lain:

a. Adanya kegiatan faktor penyebab penyakit pada waktu tertentu

b. Adanya perubahan komposisi dan jumlah penduduk menurut

waktu

c. Adanya perubahan lingkungan menurut waktu (lingkungan fisik,

biologis, dan sosial)

d. Adanya perubahan kriteria dan alat diagnosis, kemajuan

pengobatan, teknologi kedokteran dari waktu ke waktu (Masriadi,

2012).

Dalam penelitian ini, variabel waktu digunakan untuk mengetahui

tren penyakit hipertensi yang ada pada daerah rural dan urban.

Kapan terjadinya penyakit dihitung dalam satu periode waktu

tertentu, dapat berupa waktu yang pendek atau panjang bahkan dapat

sampai bertahun-tahun atau dekade. Berdasarkan lamanya waktu dan

Page 63: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

49

besar kecilnya frekuensi penyakit yang terjadi di masyarakat, maka

terdapat suatu kecenderungan atau trend penyakit yang akan terjadi

di masyarakat yaitu (Chandra, 2009):

a. Tren Sekuler (Secular Trend)

Perubahan pada frekuensi penyakit dihitung dalam suatu periode

waktu yang lama sampai bertahun-tahun atau dekade. Sebagai

contoh frekuensi penyakit TBC dan Demam Tifoid di negara

barat dalam waktu 50 tahun belakangan ini cenderug menurun,

sebaliknya frekuensi penyakit organik seperti diabetes melitus,

kanker dan sistem kardiovaskular cenderung meningkat.

b. Tren Musiman (Seasonal Trend)

Berhubungan dengan perubahan musim. Puncak dari epidemi

kolera terjadi pada musim kemarau dan berangsur-angsur

menurun setelah datang musim penghujan.

c. Tren Siklus (Cyclic Trend)

Frekuensi penyakit berfluktuasi dalam periode waktu yang

pendek seperti frekuensi penyakit campak mempunyai siklus

setiap 2-3 tahun.

Kecenderungan yang akan dibahas dalam penelitian ini termasuk

dalam Tren Sekuler. Hal ini dikarenakan penyakit hipertensi

memiliki masa inkubasi yang lama, tergantung pada banyaknya

faktor risiko yang dimiliki seseorang.

Page 64: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

50

Pengetahuan tentang pergeseran tren penyakit yang tampak pada

tren sekuler dapat digunakan dalam penilaian keberhasilan upaya

pemberantasan dan pencegahan penyakit. Kecenderungan sekuler

juga dapat digunakan untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada

mortalitas. Dalam mempelajari kecenderungan sekuler tentang

mortalitas, harus dikaitkan dengan sejauh mana perubahan pada

insidensi dan sejauh mana perubahan tersebut menggambarkan

kelangsungan hidup penderita. Angka kematian akan sejalan dengan

angka insidensi pada penyakit yang fatal dan bila kematian terjadi

tidak lama setelah diagnosis karena memenuhi kriteria diatas

(Budiarto, 2002).

2.4 Masyarakat Rural-Urban

Secara umum dan sederhana, masyarakat mengenal dua bentuk

karakteristik wilayah, yaitu Desa dan Kota. Desa dianggap sebagai suatu

wilayah agraris dengan peri-kehidupan yang cenderung tradisional, dan

pengaruh kebudayaan yang cenderung kental. Kota, sebaliknya dianggap

sebagai wilayah yang non-agraris dengan peri-kehidupan yang serba

modern, dan pengaruh kebudayaan yang sudah tidak begitu lekat dengan

masyarakat yang hidup di dalamnya. Walaupun begitu, baik desa maupun

kota sama-sama merupakan suatu wilayah/tempat konsentrasi penduduk

dengan segala aktivitasnya (Purnandias, dkk., 2012).

Pedesaan adalah gambaran orang, tempat dan hal – hal yang berkaitan

dengan kehidupan masyarakat desa yang sebagian besar

bermatapencaharian bertani.

Page 65: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

51

Menurut Paul H. Landis, desa adalah pendudunya kurang dari 2.500

jiwa. Dengan ciri ciri sebagai berikut:

1. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara

ribuan jiwa.

2. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap

kebiasaan

3. Cara berusaha (ekonomi)adalah agraris yang paling umum yang

sangat

4. Dipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam ,kekayaan alam,

sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan

(Gunawan, dkk., 2007)

Komunitas desa adalah, sekumpulan orang yang tinggal jauh dari

daerah perkotaaan yang jumlah penduduknya kurang dari 2500 jiwa dan

sebagian besar bermatapencaharian bertani karena masih sangat bergantung

pada alam.

Kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan

kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan

corak kehidupan yang materialistik.

Masyarakat perkotaan sering juga disebut urban community.

Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupan serta

ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan.

Masyarakat kota memiliki tatanan yang heterogen sehingga kelompoknya

lebih dinamis. Masyarakat kota mempunyai daya tarik bagi masyarakat desa

untuk melakukan urbanisasi.

Page 66: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

52

Perhatian khusus masyarakat kota tidak terbatas pada aspek-aspek

seperti pakaian, makanan dan perumahan, tetapi mempunyai perhatian lebih

luas lagi.

2.5 Kerangka Teori

Kerangka teori berisi prinsip-prinsip teori yang mempengaruhi dalam

pembahasan. Prinsip-prinsip teori itu berguna untuk membantu gambaran

langkah dan arah kerja. Kerangka teori akan membantu penulis dalam

membahas masalah yang diteliti. Kerangka teori itu harus dapat

menggambarkan tata kerja teori tersebut (Arifin, 2008).

Faktor risiko hipertensi secara epidemiologi deskriptif dapat dijabarkan

menurut variabel orang, tempat, dan waktu. Berdasarkan variabel orang,

faktor risiko hipertensi adalah usia (Syahrini, 2012), jenis kelamin

(Sigarlaki, 2006), ras/budaya (Fitriani, 2012), konsumsi makanan tertentu

(asin (Wahiduddin, 2012), berlemak (Syahrini, 2012), berkolesterol tinggi

(Almatsier, 2003), gorengan (Aisyiyah, 2009)), kurangnya asupan sayur dan

buah (Dauchet, et al., 2007), perilaku merokok (Pradono, 2013), konsumsi

alkohol (Hartono, 2006), perilaku sedentari (Kemenkes, 2013), kurangnya

aktivitas fisik (Rabaity, 2012), IMT berlebih (Syahrini, 2012), faktor genetik

(Wahiduddin, 2012), dan stres (Lewa, 2010). Variabel ini menggambarkan

karakteristik seseorang yang berisiko terkena hipertensi. Berdasarkan

variabel tempat, diihat dari tempat tinggal masyarakat, yakni wilayah urban

dan rural (BPS, 2010). Seseorang akan semakin besar kemungkinannya

terkena hipertensi ketika tempat tinggalnya semakin dekat dengan pusat

pemerintahan (Modesti, et al., 2013) atau tinggal pada daerah yang lebih

Page 67: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

53

makmur (Gray, 2005). Sedangkan berdasarkan variabel waktu, dapat dilihat

kecenderungan (tren) sekuler, dimana kecenderungan dapat dilihat dalam

periode waktu yang lama. Kecenderungan ini dapat menggambarkan

penilaian keberhasilan upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit

(Budiarto, 2002).

Adapun skema yang didapat adalah sebagai berikut:

Page 68: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

54

Gambar 2.2. Kerangka Teori

Sumber: Masriadi (2012), Syahrini (2012), Sigarlaki (2006), Fitriani (2012), Wahiduddin (2012), Almatsier (2003), Lewa (2010),

Rabaity (2012), Aisyiyah (2009), Dauchet (2007), Pradono (2013), Kemenkes (2013), dan Hartono (2006)

Kejadian Hipertensi

Tempat

1. Geografis (rural, urban)

2. Institusi (sekolah,

kantor)

Orang

a. Usia

b. Jenis Kelamin

c. Ras/Budaya

d. Konsumsi Makanan

Tertentu

e. Kurangnya Asupan

Sayur dan Buah

f. Perilaku Merokok

g. Konsumsi Alkohol

h. Perilaku Sedentari

i. Kurangnya aktivitas fisik

j. IMT

k. Faktor Genetik

l. Stres

Waktu

1. Tren Sekuler

2. Tren Musiman

3. Tren Siklik

Page 69: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

55

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Penelitian epidemiologi deskriptif merupakan penelitian yang

bertujuan menggambarkan suatu penyakit yang ditinjau dari aspek orang,

tempat dan waktu. Variabel orang menjelaskan siapa yang berisiko terkena

penyakit hipertensi, yang kemudian dijabarkan dalam faktor risiko

hipertensi, yang secara statistik bermakna dan secara biologis terbukti dapat

mempengaruhi tekanan darah seseorang, yakni usia, jenis kelamin,

ras/budaya, konsumsi makanan tertentu, kurangnya asupan sayur dan buah,

perilaku merokok, konsumsi alkohol, perilaku sedentari, kurangnya aktivitas

fisik, obesitas, faktor genetik, dan stres. Dalam penelitian ini, variabel yang

diteliti adalah usia, jenis kelamin, konsumsi makanan asin, Konsumsi

makanan berlemak, kurangnya asupan sayur dan buah, perilaku merokok,

kurangnya aktivitas fisik, dan IMT.

Variabel tempat menjelaskan dimana seseorang tinggal dan

menjalani hidupnya. Tempat tinggal dan lingkungan seseorang

mempengaruhi perilaku dan gaya hidupnya. Sebagai contoh, tempat tinggal

masyarakat dimana ketika masyarakat tinggal di daerah yang semakin dekat

dengan pusat pemerintahan (daerah urban), maka kecenderungan untuk

melakukan gaya hidup yang modern dan serba instan akan meningkat,

sehingga probabilitas untuk terkena penyakit degeneratif seperti hipertensi

Page 70: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

56

makin tinggi. Pada penelitian ini, variabel tempat dilihat dari letak geografis

ia tinggal yang dikelompokkan menjadi wilayah rural dan urban.

Variabel waktu menjelaskan kecenderungan penyakit hipertensi

dalam suatu batasan waktu. Namun dalam penelitian ini tidak diteliti karena

desain studi yang digunakan adalah desain studi cross-sectional dimana

antara pajanan dan efek diteliti secara bersamaan.

Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai variabel penelitian yang

tidak diteliti akan dibahas sebagai berikut:

1. Variabel ras tidak diteliti karena penduduk Indonesia merupakan

keturunan ras Mongoloid, begitu juga penduduk Kabupaten Bogor.

Dalam segi suku, penduduk Kabupaten Bogor mayoritas adalah suku

Sunda, sehingga tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan

antara adat istiadat dan kuliner yang mereka konsumsi sehari-harinya.

2. Variabel konsumsi alkohol tidak diteliti karena terdapat perbedaan

kadar alkohol pada masing-masing minuman keras, sedangkan kadar

alkohol ini mempengaruhi risiko seseorang terkena hipertensi.

3. Perilaku sedentari tidak diteliti karena variabel ini berbanding terbalik

dan saling berkaitan dengan variabel aktivitas fisik. Jika aktivitas fisik

seseorang tinggi, maka perilaku sedentarinya akan rendah, dan

begitupun sebaliknya. Peneliti sudah meneliti aktivitas fisik

responden, sehingga dirasa tidak perlu meneliti variabel perilaku

sedentari.

4. Faktor genetik atau riwayat hipertensi pada keluarga tidak diteliti

karena variabel ini memerlukan penelitian lebih lanjut menggunakan

Page 71: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

57

sampel biologis untuk membuktikan faktor genetik terhadap kejadian

hipertensi.

5. Variabel stres tidak diteliti karena menurut peneliti variabel ini tidak

bisa diukur dalam sekali pengukuran. Selain itu, penyebab,

penanggulangan, serta dampak stres pada masing-masing individu

akan berbeda, bergantung pada latar belakang seseorang dan

metabolisme tubuhnya, sehingga dikhawatirkan akan menjadi bias.

Pada kerangka teori, telah dijelaskan bahwa penelitian ini ditinjau

dari aspek orang, tempat, dan waktu. Peneliti bermaksud membandingkan

gambaran epidemiologi penyakit hipertensi pada masyarakat yang tinggal di

wilayah rural dan masyarakat yang tinggal di wilayah urban. Adapun

kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

Kejadian Hipertensi di

wilayah rural dan urban

a. Usia

b. Jenis Kelamin

c. Perilaku Merokok

d. Konsumsi Makanan Asin

e. Konsumsi Makanan Berlemak

f. Konsumsi Buah dan Sayur

g. Aktivitas Fisik

h. Indeks Massa Tubuh

Page 72: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

58

3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur

1 Kejadian

Hipertensi pada

masyarakat rural

urban

Status hipertensi yang

dinyatakan oleh tenaga

kesehatan yang diderita oleh

masyarakat yang tinggal di

wilayah rural dan urban

Sphygmomanomter Mengukur

tekanan darah

responden dalam

keadaan duduk

1. Hipertensi

2. Tidak Hipertensi

Ordinal

2 Usia Lamanya hidup responden

dalam tahun yang dihitung

sejak dilahirkan

Kuesioner Wawancara

dengan

responden

1. 25-34 tahun

2. 35-44 tahun

3. 45-54 tahun

4. 55-64 tahun

5. 65-74 tahun

6. >75 tahun

(Kemenkes, 2013)

Ordinal

3 Jenis Kelamin Identitas responden sesuai

dengan ciri-ciri biologis dan

fisiknya

Kuesioner Wawancara

dengan

responden

1. Laki-Laki

2. Perempuan

(Kemenkes, 2013)

Ordinal

4 Perilaku

Merokok

Kegiatan menghisap rokok

yang dilakukan oleh responden

selama hidupnya

Kuesioner Wawancara

dengan

responden

1. Ya, jika responden merokok

setiap hari, merokok kadang-

kadang, dan pernah merokok

2. Tidak, jika responden tidak

pernah merokok sama sekali

selama hidupnya

(Kemenkes, 2013)

Ordinal

5 Konsumsi

Makanan Asin

Asupan makanan yang

mengandung natrium yang

berlebihan yang dikonsumsi

Kuesioner Wawancara

dengan

responden

1. Sering, jika responden

mengkonsumsi makanan asin

≥ 1 kali sehari

Ordinal

Page 73: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

59

oleh responden. Makanan asin

yang dimaksud antara lain telur

asin, ikan asin, sayur asin,

kecap asin, kripik kentang,

keju, daging kaleng, saos tomat,

saos cabe, mie instan, dll.

2. Jarang, jika responden tidak

mengkonsumsi makanan asin

< 1 kali sehari

(Kemenkes, 2013)

6 Konsumsi

Makanan

Berlemak

Asupan makanan yang

mengandung lemak yang

berlebihan yang dikonsumsi

oleh responden. Makanan

berlemak yang dimaksud antara

lain sop buntut, sate, pizza,

burger, makanan gorengan,

daging sosis, daging kaleng,

kulit ayam/bebek, daging

kambing, jeroan, makanan

bersantan, kuning telur, susu

dan sejenisnya, mentega,

minyak kelapa sawit, gajih.

Kuesioner Wawancara

dengan

responden

1. Sering, jika responden

mengkonsumsi makanan

lemak ≥ 1 kali sehari

2. Jarang, jika responden tidak

mengkonsumsi makanan

lemak < 1 kali sehari

(Kemenkes, 2011)

Ordinal

6 Konsumsi Buah

dan Sayur

Jumlah porsi buah dan sayur

yang dikonsumsi oleh

responden dalam sehari yang

diakumulasikan dalam

seminggu.

Kuesioner Wawancara

dengan

responden

1. Sering, jika konsumsi sayur

dan buah <5 porsi/minggu

2. Jarang, jika konsumsi sayur

dan buah ≥5 porsi per minggu

(Kemenkes, 2013)

Ordinal

7 Aktivitas Fisik Kegiatan yang dilakukan oleh

responden setiap hari pada saat

olahraga, bekerja, dan waktu

luang.

Kuesioner Wawancara

dengan

responden

1. Aktivitas ringan

2. Aktivitas sedang

(Baecke, 1982)

Ordinal

Page 74: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

60

8 Indeks Massa

Tubuh

Rasio standar antara berat

badan dan tinggi badan yang

digunakan sebagai indikator

status gizi responden

Kuesioner Wawancara

dengan

responden

1. Obesitas, jika IMT responden

≥ 25

2. Tidak obesitas, jika IMT

responden <25

(Ansel, 2006)

Ordinal

Page 75: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

61

3.3 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis penelitian yang dibangun pada penelitian ini

adalah ada perbedaan kejadian hipertensi antara masyarakat rural dan urban.

Page 76: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

62

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain

studi cross-sectional. Desain studi cross-sectional disebut juga studi

prevalensi, karena dapat memberikan gambaran sekilas tentang populasi,

memperlihatkan distribusi relatif dari kondisi, penyakit, cedera, dan

ketidakmampuan dalam kelompok dan populasi. Desain studi ini juga

bermanfaat untuk memprediksi penyebaran penyakit tertentu di masa depan

dalam populasi (Timmreck, 2004).

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan bulan Juni-November 2014. Penelitian ini dilakukan

di dua kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor yakni Kecamatan

Sukamakmur dan Kecamatan Kemang. Kecamatan Sukamakmur dipilih

sebagai representasi dari wilayah rural, sedangkan kecamatan Kemang

dipilih sebagai representasi dari daerah urban.

4.3 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Kabupaten

Bogor. Sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini berusia ≥ 25 tahun dan

tidak sedang hamil.

Sedangkan sampel penelitian yang dibutuhkan dalam penelitian ini akan

dihitung berdasarkan rumus berikut (Dahlan, 2010):

Page 77: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

63

( √ √

)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di India, diperoleh

proporsi masyarakat urban yang menderita hipertensi sebesar 15,3%,

sedangkan proporsi masyarakat rural yang menderita hipertensi sebesar

5,1% (Millet, 2013), α=5% (Zα= 1,96), β= 20% (Zβ=0,84), dan P1-

P2=10,2%, sehingga,

( √ ( )( ) √( )( ) ( )( )

)

n = 136 responden.

Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan desain

kompleks, sehingga peneliti juga harus memperhitungkan desain efek.

Desain efek atau yang sering disingkat deff, adalah rasio antara varians yang

diperoleh pada teknik survei dengan sampel yang kompleks dengan varians

yang diperoleh jika survei tersebut dilakukan dengan teknik acak sederhana.

Nilai deff untuk penelitian ini adalah 2, sehingga jumlah sampel harus

dikalikan 2 menjadi 272 responden pada wilayah rural dan 272 responden

pada wilayah urban.

Sampel dipilih dengan metode cluster random sampling. Peneliti

memilih secara acak kecamatan dimana seluruh kelurahannya tergolong

dalam kategori pedesaan dan kecamatan yang seluruh kelurahannya

tergolong dalam kategori perkotaan berdasarkan klasifikasi dari BPS

mengenai pedesaan dan perkotaan. Dari proses tersebut, terpilihlah

Kecamatan Sukamakmur sebagai representasi dari wilayah rural dan

Page 78: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

64

Kecamatan Kemang sebagai representasi dari wilayah urban. Selanjutnya,

peneliti mencari 272 orang responden yang tinggal di sekitar Kantor

Kecamatan tersebut.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan data primer. Data

primer diperoleh dengan mengumpulkan data dari responden menggunakan

kuesioner. Kuesioner yang digunakan peneliti berisi tentang faktor risiko

hipertensi yang ada pada diri responden.

4.5 Alur Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, peneliti mengumpulkan data di wilayah sekitar

Kantor Kecamatan Sukamakmur atau Kantor Kecamatan Kemang.

Kuesioner diberikan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kantor

tersebut yang diberikan secara acak. Pengumpulan data ini dilakukan hingga

jumlah sampel yang dibutuhkan peneliti terpenuhi.

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sphygmomanometer dan kuesioner. Sphygmomanometer digunakan untuk

mengukur tekanan darah responden. Kuesioner yang digunakan berisi

tentang pertanyaan-pertanyaan seputar faktor risiko hipertensi yang ada

pada diri responden.

Kuesioner yang digunakan peneliti berupa 3 macam kuesioner. Kuesioner

pertama merupakan pertanyaan tentang data diri responden dan perilaku

merokok. Kuesioner kedua merupakan adaptasi dari instrumen deteksi dini

Page 79: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

65

PJPD yang digunakan oleh Kementerian Kesehatan. Kuesioner ketiga

mengenai aktivitas fisik responden yang diadaptasi oleh peneliti dari Baecke

(1982).

4.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Pada pengolahan data, peneliti menggunakan alat perangkat lunak

yaitu software komputer dan EpiData. Selanjutnya, data yang telah

dikumpulkan akan diolah dengan melalui tahapan-tahapan berikut ini:

1. Editing data

Dilakukan pengecekan data yang telah terkumpul, Bila terdapat

kesalahan dan kekeliruan dalam pengumpulan data, maka akan dilakukan

pengumpulan data ulang.

2. Coding Data

Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya

kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan

komputer.

3. Entry Data

Data yang telah dibersihkan kemudian dimasukkan ke dalam program

komputer.

4. Cleaning Data

Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan kedalam komputer guna

menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.

Analisis data dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat. Analisis

univariat bertujuan untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit

hipertensi pada masyarakat rural dan masyarakat urban. Analisis bivariat

Page 80: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

66

bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara

kejadian hipertensi di wilayah urban dan rural. Uji statistik yang digunakan

adalah uji chi-square.

Page 81: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

67

BAB V

HASIL

5.1 Distribusi Karakteristik Responden Masyarakat Rural-Urban

berdasarkan Orang, Tempat, dan Waktu

1. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Kelompok

Usia

Distribusi karakteristik responden berdasarkan usia dapat

dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan

Kelompok Usia

Dari tabel diatas diketahui bahwa responden di wilayah urban

dan rural paling banyak berusia 25-34 tahun, yakni sebanyak 32,5%

di daerah rural dan sebanyak 33,8% di daerah urban.

2. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

dapat dilihat dari tabel berikut:

Usia (Tahun) Rural Urban Jumlah

n % n % n %

25-34 26 32,5 27 33.8 53 33,125

35-44 21 26,2 15 18.8 36 22,5

45-54 15 18,8 20 25 35 21,875

55-64 12 15 14 17,5 26 16,25

65-74 6 7,5 2 2,5 8 5

>75 0 0 2 2,5 2 1,25

Total 80 100 80 100 160 100

Page 82: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

68

Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis

Kelamin

Berdasarkan tabel, diketahui bahwa responden di kedua

wilayah lebih banyak berjenis kelamin perempuan dibandingkan

laki-laki. Proporsi jumlah responden perempuan di wilayah rural

yakni 83,8%, sedangkan proporsi jumlah responden perempuan di

wilayah urban yakni 57,5%.

3. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Perilaku

Merokok

Distribusi karakteristik responden berdasarkan perilaku

merokok dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Perilaku

Merokok

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa diantara wilayah rural

dan urban, proporsi responden yang merokok di wilayah urban lebih

besar daripada responden di wilayah rural, meskipun proporsi

responden yang tidak merokok lebih besar di kedua wilayah.

Proporsi responden yang merokok yakni sebesar 36,2% pada

wilayah urban dan hanya 10% di wilayah rural.

Jenis Kelamin Rural Urban Jumlah

n % n % n %

Laki-Laki 13 16,2 34 42,5 47 29,375

Perempuan 67 8 3,8 46 57,5 113 70,625

Total 80 100 80 100 160 100

Perilaku Merokok Rural Urban Jumlah

n % n % n %

Ya 8 10 29 36,2 37 23,125

Tidak 72 90 51 63,8 123 76,875

Total 80 100 80 100 160 100

Page 83: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

69

4. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Makanan Asin

Distribusi karakteristik responden berdasarkan frekuensi

konsumsi makanan asin dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.4. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Makanan Asin

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa responden di

wilayah rural lebih sering mengkonsumsi makanan asin daripada

responden di wilayah urban. Proporsi responden yang sering

mengkonsumsi makanan asin di wilayah rural sebesar 85%,

sedangkan di wilayah urban hanya 45%.

5. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Makanan Berlemak

Distribusi karakteristik responden berdasarkan frekuensi

konsumsi makanan berlemak dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.5. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Makanan Berlemak

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa responden di

wilayah rural lebih sering mengkonsumsi makanan berlemak

Konsumsi Makanan

Asin

Rural Urban Jumlah

n % n % n %

Sering 68 85 36 45 104 65

Jarang 12 15 44 55 56 35

Total 80 100 80 100 160 100

Konsumsi Makanan

Berlemak

Rural Urban Jumlah

n % n % n %

Sering 64 80 36 45 100 62,5

Jarang 16 20 44 55 60 37,5

Total 80 100 80 100 160 100

Page 84: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

70

daripada responden di wilayah urban. Proporsi responden yang

sering mengkonsumsi makanan berlemak di wilayah rural sebesar

80%, sedangkan di wilayah urban hanya 45%.

6. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Sayur dan Buah

Distribusi karakteristik responden berdasarkan frekuensi

konsumsi sayur dan buah dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.6. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Sayur dan Buah

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa diantara kedua

wilayah, kejadian hipertensi pada masyarakat rural lebih banyak

yang jarang mengkonsumsi sayur dan buah daripada responden di

wilayah urban, meskipun proporsi responden yang sering

mengkonsumsi sayur dan buah lebih banyak di kedua wilayah.

Responden di wilayah rural yang jarang mengkonsumsi sayur dan

buah sebanyak 41,2% sedangkan responden di wilayah urban

sebanyak 38,8%.

7. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Aktivitas Fisik

Distribusi karakteristik responden berdasarkan aktivitas fisik

dapat dilihat dari tabel berikut:

Konsumsi Sayur dan

Buah

Rural Urban Jumlah

n % n % n %

Sering 47 58,8 49 61,2 96 60

Jarang 33 41,2 31 38,8 64 40

Total 80 100 80 100 160 100

Page 85: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

71

Tabel 5.7. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Aktivitas

Fisik

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa responden di wilayah

urban memiliki tingkat aktivitas fisik ringan lebih banyak jumlahnya

dibandingkan di wilayah rural. Responden di wilayah rural yang

aktivitas fisiknya tergolong pada aktivitas fisik ringan sebanyak

66,2% sedangkan responden di wilayah urban aktivitas fisiknya

tergolong pada aktivitas fisik ringan sebanyak 76,2%.

8. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Status Indeks

Massa Tubuh

Distribusi karakteristik responden berdasarkan status indeks

massa tubuh dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.8. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Status

Indeks Massa Tubuh

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa diantara kedua

wilayah, responden di wilayah rural lebih banyak yang obesitas

daripada responden di wilayah urban, meskipun responden di kedua

wilayah lebih banyak yang tidak obesitas. Responden di wilayah

Aktivitas Fisik Rural Urban Jumlah

n % n % n %

Aktivitas Ringan 53 66,2 61 76,2 114 71,25

Aktivitas Sedang 27 33,8 19 23,8 46 28,75

Total 80 100 80 100 160 100

Indeks Massa Tubuh Rural Urban Jumlah

n % n % n %

Obesitas 5 6,2 2 2,5 7 4,375

Tidak Obesitas 75 93,8 78 97,5 153 95,625

Total 80 100 80 100 160 100

Page 86: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

72

rural yang obesitas sebanyak 5 responden (6,2%) sedangkan

responden di wilayah urban yang obesitas sebanyak 2 responden

(2,5%).

9. Distribusi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban

Distribusi karakteristik responden berdasarkan kejadian

hipertensi dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.9. Distribusi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural dan

Urban

Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa diantara kedua

wilayah, responden di wilayah urban lebih banyak yang menderita

hipertensi daripada responden di wilayah rural, meskipun di kedua

wilayah, responden lebih banyak yang tidak hipertensi. Responden

di wilayah rural yang hipertensi sebanyak 43,8% sedangkan

responden di wilayah urban yang hipertensi sebanyak 46,2%.

5.2 Gambaran Epidemiologi Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural

dan Urban berdasarkan Orang, Tempat, dan Waktu

Gambaran epidemiologi penyakit hipertensi pada masyarakat rural

dan urban berdasarkan orang, tempat, dan waktu akan dijelaskan sebagai

berikut:

Hipertensi Rural Urban Jumlah

n % n % n %

Ya 35 43,8 37 46,2 72 45

Tidak 45 56,2 43 53,8 88 55

Total 80 100 80 100 160 100

Page 87: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

73

1. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia

pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan usia pada

masyarakat rural-urban dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.10. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok

Usia pada Masyarakat Rural-Urban

Simpulan yang dapat diambil dari tabel diatas adalah bahwa

pada masyarakat rural dan urban, kejadian hipertensi paling banyak

terjadi pada kelompok usia 55-64 tahun. Dari 35 kejadian hipertensi

pada masyarakat rural, sebanyak 28,6% berusia 55-64 tahun. Begitu

juga dengan 37 kejadian hipertensi pada masyarakat urban, sebanyak

29,7% berusia 55-64 tahun.

2. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin

pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan jenis kelamin

pada masyarakat rural-urban dapat dilihat dari tabel berikut:

Usia (Tahun)

Hipertensi

Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n %

25-34 tahun 4 11,4 4 10,8 22 48,9 23 53,5

35-44 tahun 8 22,9 8 21,6 13 28,9 7 16,3

45-54 tahun 9 25,7 10 27 6 13,3 10 23,3

55-64 tahun 10 28,6 11 29,7 2 4,4 3 7

65-74 tahun 4 11,4 2 5,4 2 4,4 0 0

>75 tahun 0 0 2 5,4 0 0 0 0

Total 35 100 37 100 45 100 43 100

Page 88: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

74

Tabel 5.11. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin

pada Masyarakat Rural-Urban

Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak

85,7% adalah perempuan. Namun, pada masyarakat urban, dari 37

kejadian hipertensi perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak

terlalu besar. Proporsi kejadian hipertensi pada perempuan di

wilayah urban sebesar 48,6%.

3. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok

pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan perilaku

merokok pada masyarakat rural-urban dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.12. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku

Merokok pada Masyarakat Rural-Urban

Dari tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat

rural dan urban, kejadian hipertensi lebih banyak terjadi pada

responden yang tidak merokok. Dari 35 kejadian hipertensi pada

masyarakat rural, sebanyak 88,6% responden yang tidak merokok.

Jenis

Kelamin

Hipertensi

Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n %

Laki-Laki 5 14,3 19 51,4 8 17,8 15 34,9

Perempuan 30 85,7 18 48,6 37 82,2 28 65,1

Total 35 100 37 100 45 100 43 100

Perilaku

Merokok

Hipertensi

Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n %

Ya 4 11,4 18 48,6 4 8,9 11 25,6

Tidak 31 88,6 19 51,4 41 91,1 32 74,4

Total 35 100 37 100 45 100 43 100

Page 89: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

75

Sedangkan dari 37 kejadian hipertensi pada masyarakat urban,

perbedaan antara responden yang merokok dan tidak merokok tidak

begitu berbeda.

4. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Makanan Asin pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan frekuensi

konsumsi makanan asin pada masyarakat rural-urban dapat dilihat

dari tabel berikut:

Tabel 5.13. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Makanan Asin pada Masyarakat Rural-Urban

Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak

80% mengkonsumsi makanan asin. Sedangkan dari 37 kejadian

hipertensi pada masyarakat urban, hanya 35,1% yang

mengkonsumsi makanan asin. Dari data tersebut, dapat disimpulkan

bahwa proporsi kejadian hipertensi pada masyarakat rural yang

sering mengkonsumsi makanan asin lebih banyak dibandingkan pada

masyarakat urban.

Konsumsi

Makanan

Asin

Hipertensi

Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n %

Sering 28 80 13 35,1 40 88,9 23 53,5

Jarang 7 20 24 64,9 5 11,1 20 46,5

Total 35 100 37 100 45 100 43 100

Page 90: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

76

5. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Makanan Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan frekuensi

konsumsi makanan berlemak pada masyarakat rural-urban dapat

dilihat dari tabel berikut:

Tabel 5.14. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Makanan Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban

Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak

74,3% mengkonsumsi makanan berlemak. Sedangkan dari 37

kejadian hipertensi pada masyarakat urban, hanya 43,2% yang

mengkonsumsi makanan berlemak. Dari data tersebut, dapat

disimpulkan bahwa proporsi kejadian hipertensi pada masyarakat

rural yang sering mengkonsumsi makanan berlemak lebih banyak

dibandingkan pada masyarakat urban

6. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Buah dan Sayur pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan frekuensi

konsumsi makanan buah dan sayur pada masyarakat rural-urban

dapat dilihat dari tabel berikut:

Konsumsi

Makanan

Berlemak

Hipertensi

Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n %

Sering 26 74,3 16 43,2 38 84,4 20 46,5

Jarang 9 25,7 21 56,8 7 15,6 23 53,5

Total 35 100 37 100 45 100 43 100

Page 91: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

77

Tabel 5.15. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi

Konsumsi Buah dan Sayur pada Masyarakat Rural-Urban

Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa proporsi kejadian

hipertensi pada masyarakat rural yang jarang mengkonsumsi buah

dan sayur lebih banyak dibandingkan pada masyarakat urban. Dari

35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak 42,9% tidak

mengkonsumsi buah dan sayur. Begitu juga dengan 37 kejadian

hipertensi pada masyarakat urban, sebanyak 37,8% tidak

mengkonsumsi buah dan sayur.

7. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik

pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan aktivitas fisik

pada masyarakat rural urban dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.16. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas

Fisik pada Masyarakat Rural-Urban

Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak

71,4% memiliki tingkat aktivitas fisik ringan. Begitu juga dengan 37

Konsumsi

Buah dan

Sayur

Hipertensi

Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n %

Sering 20 57,1 23 62,2 27 60 26 60,5

Jarang 15 42,9 14 37,8 18 40 17 39,5

Total 35 100 37 100 45 100 43 100

Aktivitas Fisik

Hipertensi

Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n %

Aktivitas Ringan 25 71,4 27 73 28 62,2 34 79,1

Aktivitas Sedang 10 28,6 10 27 17 37,8 9 20,9

Total 35 100 37 100 45 100 43 100

Page 92: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

78

kejadian hipertensi pada masyarakat urban, sebanyak 73% memiliki

tingkat aktivitas fisik ringan. Dari data tersebut dapat disimpulkan

bahwa pada perilaku aktivitas fisik, masyarakat rural dan urban

memiliki perilaku yang tidak jauh berbeda.

8. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Obesitas pada

Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi berdasarkan indeks massa

tubuh pada masyarakat rural urban dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.17. Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Indeks

Massa Tubuh pada Masyarakat Rural-Urban

Dari 35 kejadian hipertensi pada masyarakat rural, sebanyak

8,6% memiliki status gizi obesitas. Namun, dari 37 kejadian

hipertensi pada masyarakat urban, semua responden tidak memiliki

status gizi obesitas. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa

masyarakat rural memiliki peluang yang lebih besar terkena

hipertensi akibat obesitas daripada masyarakat urban.

5.3 Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban

Perbandingan kejadian hipertensi pada masyarakat rural urban dapat

dilihat pada tabel berikut:

Indeks Massa

Tubuh

Hipertensi

Ya Tidak

Rural Urban Rural Urban

n % n % n % n %

Obesitas 3 8,6 0 0 2 4,4 2 4,7

Tidak Obesitas 32 91,4 37 100 43 95,6 41 95,3

Total 35 100 37 100 45 100 43 100

Page 93: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

79

Tabel 5.18. Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban

Wilayah

Tekanan Darah

Total P-

value Hipertensi

Tidak

Hipertensi

n % n % n %

Rural 35 43,8 45 56,2 80 100

0,874 Urban 37 46,2 43 53,8 80 100

Total 72 45 88 55 160 100

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat rural

yang menderita hipertensi sebanyak 43,8%. Sedangkan masyarakat urban

yang menderita hipertensi sebanyak 46,2%. Hasil uji statistik menunjukkan

nilai p-value sebesar 0,874, artinya pada alpha 5%, tidak ada perbedaan

antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban.

Page 94: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

80

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan pada penelitian ini terletak pada saat pengambilan

sampel. Jumlah sampel yang diteliti tidak memenuhi jumlah minimal

sampel sehingga penelitian ini tidak dapat digeneralisir. Selain itu, proses

pengambilan sampel pada penelitian ini tidak menggunakan prosedur yang

seharusnya. Dalam penelitian ini, peneliti seharusnya menggunakan teknik

multistage random sampling, dimana pemilihan sampel dilakukan

bertingkat. Kemudian, untuk memilih unit elementer, peneliti seharusnya

menggunakan teknik simple random sampling atau mengambil seluruh

masyarakat yang tinggal di kecamatan terpilih sebagai sampel. Namun

kenyataannya, peneliti hanya mencari responden yang berada di sekitar

kantor kecamatan terpilih. Hal ini mengakibatkan seluruh masyarakat di

kecamatan terpilih tidak memiliki probabilitas yang sama untuk dipilih

menjadi sampel.

Keterbatasan pada penelitian ini juga terletak pada saat peneliti

mengukur variabel konsumsi makanan berlemak. Penelitian ini dilakukan

pada saat masyarakat sedang merayakan Hari Raya Idul Fitri (lebaran),

sehingga pada saat mengukur konsumsi makanan berlemak, peneliti harus

memberikan penjelasan yang lebih rinci kepada responden mengenai pola

Page 95: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

81

konsumsi makanan berlemak yang dilakukan oleh responden di hari-hari

biasa (bukan lebaran).

6.2 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Kelompok Usia pada

Masyarakat Rural-Urban

Usia atau umur adalah lamanya hidup seseorang diukur dalam satuan

waktu dipandang dari segi kronologik, individu normal yang

memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik sama

(Nuswantari, 1998 dalam Manurung, 2013). Tekanan darah cenderung

meningkat seiring bertambahnya usia. Seiring dengan bertambahnya usia

seseorang kemungkinan menderita hipertensi juga semakin besar. Pada

umumnya penderita hipertensi adalah orang-orang yang berusia 40 tahun

namun saat ini tidak menutup kemungkinan diderita oleh orang berusia

muda (Beevers at al, 2002)

Pada penelitian ini, kelompok umur yang paling banyak terkena

hipertensi adalah kelompok umur 55-64 tahun dan sama kejadiannya baik di

masyarakat rural (28,6%) maupun urban(29,7%). Pada penelitian ini juga

ditemukan fakta bahwa semakin tinggi kelompok umur, maka proporsi

hipertensi juga meningkat. Hal ini juga terjadi pada kedua kelompok

masyarakat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Aisyiyah (2009) dan Syahrini dkk (2012). Penelitian yang dilakukan oleh

Aisyiyah (2009) menyatakan bahwa meningkatnya umur akan diikuti oleh

meningkatnya tekanan darah seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh

Syahrini dkk (2012), juga menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna

antara umur dengan kejadian hipertensi (p=0,0001).

Page 96: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

82

Usia seseorang adalah hal yang secara alami akan bertambah tanpa

ada pengaruh dari wilayah dimana ia tinggal. Lanjut usia bukan suatu

penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang

ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan

stres lingkungan. Penurunan kemampuan berbagai organ, fungsi dan sistem

tubuh itu bersifat alamiah. Menjadi tua adalah suatu proses alami dan

kadang – kadang tidak tampak mencolok. Penuaan akan terjadi pada semua

sistem tubuh manusia dan tidak semua sistem akan mengalami kemunduran

pada waktu yang bersamaan (Zein, 2014).

Peningkatan jumlah kasus pada kelompok usia yang lebih tua

dimungkinkan karena adanya faktor fisiologis pembuluh darah manusia.

Secara fisiologis, pembuluh darah manusia mengalami perubahan seiring

pertambahan umurnya. Pembuluh darah manusia saat umur 1-10 tahun akan

bersifat licin dan elastis. Pada usia ini pembuluh darah berfungsi normal.

Memasuki usia 10-20 tahun, muncul bercak lemak pada pembuluh darah.

Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup dan pola makan seseorang. Bercak

lemak ini sebagian mengalami regresi tetapi sebagian lainnya akan terus

berkembang menjadi plak fibrosa dan akhirnya menjadi ateroma. Proses ini

muncul pada usia 20 tahun ke atas. Munculnya plak di pembuluh darah ini

menyebabkan penyempitan, sehingga ketika volume darah yang melewati

pembuluh darah ini tetap, maka akan muncul kenaikan tekanan darah (Price

& Wilson, 2006).

Dari hasil penelitian ini juga ditemukan fakta bahwa baik pada

masyarakat urban maupun masyarakat rural sama-sama memiliki faktor

Page 97: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

83

risiko hipertensi. Masyarakat rural cenderung memiliki pola konsumsi

natrium, lemak, serta sayur dan buah yang lebih buruk dibanding

masyarakat urban. Sedangkan masyarakat urban memiliki tingkat aktivitas

fisik dan perilaku merokok yang lebih buruk dibandingkan masyarakat

rural. Adanya faktor risiko hipertensi pada kedua kelompok masyarakat

tersebut menyebabkan kejadian hipertensi pada kelompok umur yang sama.

Oleh karena itu, langkah preventif yang dapat diambil adalah dengan

meminimalisisr faktor risiko pada kedua kelompok masyarakat sedini

mungkin. Akumulasi faktor risiko hipertensi yang semakin lama

meningkatkan risiko seseorang menderita hipertensi.

6.3 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin pada

Masyarakat Rural-Urban (cari penelitian di perempuan rural,

perempuan urban)

Jenis kelamin adalah istilah yang mengacu pada status biologis

seseorang, terdiri dari tampilan fisik yang membedakan antara pria dengan

wanita; misalnya, struktur genetik (kromosom seks), hormon seks, organ

kelamin interna dan genitalia eksterna (Henderson, 2005). Penelitian

mengenai hubungan antara hipertensi dan jenis kelamin sudah banyak

dilakukan. Pada umumnya insidens pada pria lebih tinggi daripada wanita,

namun pada usia pertengahan dan lebih tua, insidens pada wanita mulai

meningkat, sehingga pada usia di atas 65 tahun, insidens pada wanita lebih

tinggi (Tambayong, 2000).

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kejadian hipertensi pada

masyarakat rural lebih banyak terjadi pada perempuan (83,8%), sedangkan

kejadian hipertensi pada masyarakat urban terjadi pada laki-laki dan

Page 98: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

84

perempuan dengan proporsi yang tidak jauh berbeda. Hal ini diduga karena

pada penelitian ini, jumlah sampel antara perempuan dan laki-laki pada

masyarakat rural dan urban berbeda. Pada masyarakat rural, peneliti

mengambil 13 responden laki-laki dan 67 responden perempuan, sedangkan

pada masyarakat urban, peneliti mengambil 34 responden laki-laki dan 46

responden perempuan.

Penelitian yang dilakukan oleh Modesti (2013) menyatakan bahwa

secara hitungan kasar, wanita lebih berpeluang terkena hipertensi 1,2 kali

daripada laki-laki. Wanita penderita hipertensi diakui lebih banyak dari

pada laki-laki. Tetapi wanita lebih tahan dari pada laki-laki tanpa kerusakan

jantung dan pembuluh darah. Pria lebih banyak mengalami kemungkinan

menderita hipertensi dari pada wanita. Pada pria hipertensi lebih banyak

disebabkan oleh pekerjaan, seperti perasaan kurang nyaman terhadap

pekerjaan. Sampai usia 55 tahun pria beresiko lebih tinggi terkena hipertensi

dibandingkan wanita. Seorang pria dewasa akan mempunyai peluang lebih

besar yakni satu di antara 5 untuk mengidap hipertensi (Sustrani, 2006).

Dari hasil analisis lebih lanjut pada penelitian ini, angka kejadian

hipertensi pada masyarakat rural dan urban yang lebih tinggi pada

perempuan diduga karena perempuan lebih banyak memiliki faktor risiko

hipertensi dibandingkan laki-laki. Faktor risiko yang dimaksud adalah

konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, tidak mengkonsumsi

sayur dan buah, tingkat aktivitas fisik ringan, dan obesitas. Namun, diantara

kedua kelompok masyarakat, perempuan yang tinggal di wilayah rural

memiliki proporsi faktor risiko yang lebih tinggi.

Page 99: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

85

Penelitian yang dilakukan pada perempuan di Nepal menyatakan

bahwa masyarakat rural yang memiliki status sosial ekonomi rendah

semakin berisiko untuk terkena hipertensi (OR=1,14 untuk status sosial

ekonomi menengah dan OR=1,40 untuk status sosial ekonomi rendah).

Perilaku merokok, konsumsi alkohol, dan tidak bekerja diluar rumah

merupakan faktor yang meningkatkan risiko terkena hipertensi pada

perempuan Nepal yang tinggal di wilayah urban (Khan, 2013).

Pada penelitian ini, proporsi masyarakat rural yang mengkonsumsi

makanan asin sebesar 83,8% adalah perempuan. Proporsi masyarakat rural

yang mengkonsumsi makanan berlemak sebesar 87,5% adalah perempuan.

Masyarakat rural yang tidak mengkonsumsi buah dan sayur sebesar 87,9%

adalah perempuan. Proporsi masyarakat rural yang beraktivitas fisik ringan

sebesar 92,5% adalah perempuan. Proporsi masyarakat rural yang obesitas

sebanyak 100% adalah perempuan.

Sedangkan pada masyarakat urban, proporsi masyarakat yang

mengkonsumsi makanan asin sebesar 75,0% adalah perempuan. Proporsi

masyarakat urban yang mengkonsumsi makanan berlemak sebesar 72,2%

adalah perempuan. Masyarakat urban yang tidak mengkonsumsi buah dan

sayur sebesar 41,9% adalah perempuan. Proporsi masyarakat urban yang

beraktivitas fisik ringan sebesar 65,6% adalah perempuan. Proporsi

masyarakat urban yang obesitas sebanyak 100% adalah perempuan.

Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa perempuan yang tinggal

didaerah rural memiliki peluang terkena hipertensi lebih besar daripada

perempuan yang tinggal di wilayah urban. Hal ini dikarenakan mereka lebih

Page 100: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

86

banyak memiliki faktor risiko hipertensi. Selain itu, faktor kurangnya

pengetahuan masyarakat rural mengenai hipertensi juga menjadi salah satu

faktor yang mendukung tingginya faktor risiko hipertensi yang dimiliki oleh

masyarakat rural. Langkah penanggulangan hipertensi yang dapat dilakukan

untuk meminimalisir dampak yang akan muncul akibat faktor risiko tersebut

adalah dengan mengurangi perilaku yang menjadi faktor risiko hipertensi

tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Pradono (2013) menyatakan bahwa

melakukan modifikasi gaya hidup dengan mengurangi risiko meningkatnya

berat badan dan lingkar perut, memegang peranan penting dalam mencegah

terjadinya hipertensi di Kabupaten Bogor. Hal lain yang juga dapat

dilakukan adalah dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang

hipertensi, dengan penyuluhan maupun penempelan poster disekitar rumah

masyarakat.

6.4 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada

Masyarakat Rural-Urban

Merokok sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan darah

sistolik 10-25 mmHg serta menambah detak jantung 5-20 kali/menit

(Sitorus, 2005). Sitepu (2012) juga menyatakan bahwa orang yang

mempunyai kebiasaan merokok memiliki resiko 5,320 kali lebih besar untuk

terjadinya hipertensi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian hipertensi akibat

perilaku merokok lebih banyak terjadi pada masyarakat urban (48,6%)

dibandingkan dengan masyarakat rural (11,4%). Dari hasil penelitian ini

dapat disimpulkan bahwa masyarakat urban berpeluang lebih besar untuk

Page 101: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

87

terkena hipertensi akibat perilaku merokok dibandingkan dengan

masyarakat rural.

Penelitian mengenai hubungan rokok dan hipertensi dilakukan oleh

Anggraini, dkk (2009). Penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan

bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi. Sebanyak

18% kejadian hipertensi ditentukan oleh besarnya kebiasaan merokok dan

82% oleh faktor lain.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kejadian hipertensi akibat

perilaku merokok pada masyarakat urban proporsinya lebih tinggi

dibandingkan pada masyarakat rural. Hal ini diduga karena tuntutan hidup

dan tingkat stress di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di

pedesaan, sehingga masyarakat cenderung melampiaskan stress yang

mereka alami kepada hal negatif seperti rokok. Penelitian yang dilakukan

oleh Novi Indra Sari (2011) pada siswa SMK menyatakan bahwa semakin

berat stress yang dialami siswa SMK, maka semakin kuat dorongan untuk

merokok (p=0,000). Hal ini juga didukung dengan karakteristik wilayah

urban dimana lingkungan kota cenderung sudah terjadi pencampuradukan

budaya yang dibawa pendatang sehingga lebih mengalami akulturasi,

asimilasi, dan adaptasi oleh karena itu lebih bisa menerima perilaku

merokok (Lestari, dkk., 2012).

Karakteristik masyarakat urban yang diduga berperan dalam

tingginya angka perilaku merokok adalah tingkat religiusitas. Kehidupan

keagamaan pada masyarakat urban telah berkurang, kadangkala tidak terlalu

dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan

Page 102: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

88

saja (Mahfiroh, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Azizah (2013) pada

anak jalanan menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat religiusitas

dengan perilaku merokok anak jalanan. Tingkat religiusitas merupakan

salah satu faktor internal yang bersifat protektif yang dapat mempengaruhi

keputusan anak jalanan untuk melakukan tindakan berisiko seperti perilaku

merokok.

Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah meningkatnya

angka kejadian hipertensi akibat perilaku merokok pada masyarakat rural

dan urban antara lain dengan mengadakan penyuluhan yang lebih intensif

kepada masyarakat mengenai bahaya merokok, serta bahaya merokok baik

jangka panjang maupun jangka pendek. Hal ini bertujuan untuk memotivasi

masyarakat, baik yang berusia dewasa maupun usia remaja, untuk berhenti

merokok. Penelitian yang dilakukan oleh Sirait (2002) mengatakan bahwa

prevalensi perokok lebih tinggi ditemukan pada mereka yang berpindidikan

rendah. Hal ini dikarenakan mereka kurang mengetahui bahaya merokok

dari sudut pandang kesehatan.

6.5 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Makanan Asin pada Masyarakat Rural-Urban

Studi epidemiologi pada berbagai populasi menunjukkan adanya

peranan garam dalam kejadian hipertensi. Masyarakat perdesaan yang

mengkonsumsi garam dalam jumlah kecil (70mEq/hari) terbukti memiliki

riwayat hipertensi yang lebih rendah, yang mengalami peningkatan tekanan

darah seiring dengan meningkatnya umur dan modernisasi masyarakat.

Populasi lain dari 24 komunitas memiliki kebiasaan konsumsi jumlah

natrium yang berbeda, yaitu 100 mEq/24 jam, berhubungan dengan

Page 103: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

89

penurunan 10 mmHg TDS pada orang dewasa berumur 60-69 tahun.

Peningkatan TDS karena penuaan (umur >30 tahun) berkurang 9 mmHg dan

peningkatan TDD berkurang 4.5 mmHg jika rata-rata konsumsi natrium

lebih rendah dari 100 mEq/ hari (Krummel 2004).

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa proporsi kejadian hipertensi

akibat konsumsi makanan asin lebih tinggi pada masyarakat rural (80%)

dibandingkan pada masyarakat urban (35,1%). Hal ini diduga dikarenakan

karakteristik masyarakat rural dimana masih memegang teguh adat-istiadat,

dimana masyarakat suku sunda memiliki budaya konsumsi ikan asin.

Menurut hasil observasi yang dilakukan oleh seorang dokter, konsumsi ikan

asin Kabupaten Bogor dalam sehari mencapai puluhan ton (Nadesul, 2012).

Ia juga mengatakan bahwa banyak masyarakat rural yang terkena hipertensi

akibat konsumsi makanan asin. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

masyarakat rural berpeluang lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan

mayarakat urban.

Penelitian yang dilakukan oleh Astuti, dkk (2010) pada siswi SLTP

di Semarang menyatakan bahwa konsumsi ikan asin pada siswi di pinggir

kota lebih tinggi dibandingkan pada siswi yang tinggal di pusat kota

(p=0,01). Hal ini dikarenakan siswi yang sekolah di pusat kota memiliki

akses pangan dan kondisi sosial ekonomi orang tua yang lebih baik

dibandingkan dengan siswi yang sekolah di pinggir kota.

Tingginya konsumsi makanan asin yang dilakukan oleh masyarakat

rural diduga karena masyarakat rural di Kabupaten Bogor belum memiliki

pengetahuan yang lebih baik mengenai dampak konsumsi makanan asin

Page 104: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

90

yang berlebihan, sehingga mereka tidak mengurangi konsumsi makanan

tersebut. Tingkat pengetahuan yang kurang ini dikarenakan sarana-

prasarana yang kurang lengkap dibandingkan wilayah urban (Perdana,

2013). Untuk menanggulangi dampak konsumsi makanan asin yang

berlebihan, perlu dilakukan tindakan antisipasi yang harus dilakukan oleh

berbagai pihak terkait, seperti masyarakat dan puskesmas setempat.

Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat perlu

memberikan edukasi pada masyarakat terkait dampak konsumsi makanan

asin yang berlebihan. Edukasi yang dimaksud dapat berupa pemasangan

poster yang menarik di sekitar pemukiman warga atau penyuluhan.

Puskesmas juga bisa melakukan deteksi dini faktor risiko hipertensi melalui

program posbindu. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendeteksi masyarakat

yang berisiko tinggi terhadap penyakit hipertensi agar segera mendapatkan

tindakan yang tepat.Sedangkan masyarakat, dapat mencegah dampak buruk

konsumsi makanan asin dengan memulai mengurangi konsumsi makanan

asin tersebut. Masyarakat juga bisa mulai mencari informasi mengenai

dampak konsumsi makanan asin berlebihan baik melalui TV, atau

konsultasi dengan pihak puskesmas.

6.6 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Makanan Berlemak pada Masyarakat Rural-Urban

Konsumsi pangan tinggi lemak dapat menyebabkan penyumbatan

pembuluh darah yang dikenal dengan aterosklerosis. Lemak yang berasal

dari minyak goreng tersusun dari asam lemak jenuh rantai panjang (long-

saturated fatty acid). Keberadaannya yang berlebih di dalam tubuh akan

menyebabkan penumpukan dan pembentukan plak di pembuluh darah.

Page 105: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

91

Pembuluh darah menjadi semakin sempit dan elastisitasnya berkurang.

Kandungan lemak atau minyak yang dapat mengganggu kesehatan jika

jumlahnya berlebih lainnya adalah: kolesterol, trigliserida, low density

lipoprotein (LDL) (Almatsier 2003)

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa kejadian hipertensi

akibat konsumsi makanan berlemak lebih tinggi pada masyarakat rural

(74,3%) dibandingkan pada masyarakat urban (43,2%). Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Hardinsyah (2011) yang menyatakan

bahwa proporsi konsumsi lemak di wilayah desa sedikit lebih tinggi

daripada wilayah kota.

Tingginya konsumsi makanan berlemak pada masyarakat rural

diasumsikan karena masyarakat rural belum mengetahui dampak konsumsi

makanan berlemak yang berlebihan sehingga mereka tidak membatasi

konsumsi makanan berlemak. Hal ini didukung dengan penelitian yang

dilakukan oleh Dasuki (2002) menyatakan bahwa pengetahuan gizi tentang

lemak di pedesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan. Dari 10 pertanyaan

yang diajukan, persentase jawaban benar yang terkecil ada pada jenis

pertanyaan “resiko akibat konsumsi lemak kolesterol yang berlebihan”.

Tingkat pengetahuan yang kurang ini diduga disebabkan oleh sarana

dan pra sarana yang kurang lengkap dibandingkan wilayah urban (Perdana,

2013). Untuk mencegah kejadian hipertensi akibat konsumsi makanan

berlemak yang berlebih, alangkah lebih baiknya jika puskesmas di daerah

rural memberikan edukasi mengenai dampak konsumsi makanan berlemak

yang berlebihan.

Page 106: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

92

6.7 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Buah dan Sayur pada Masyarakat Rural-Urban

Kesibukan dan aktivitas tinggi pada masyarakat yang bekerja dan

tinggal di daerah perkotaan menuntut gaya hidup yang serba cepat dan

instan. Keadaan yang seperti ini dimanfaatkan oleh produsen makanan cepat

saji. Oleh karena itu, tumbuh suburlah restoran-restoran cepat saji di daerah

perkotaan. (Wahyu,2009).

Pola makan masyarakat perkotaan tidak seimbang yaitu karbohidrat

tinggi (terutama gula dan lemak) pada masyarakat perkotaan menimbulkan

masalah gizi lebih, selain itu pola makan yang tidak seimbang ini juga

meningkatkan timbulnya penyakit degenerative, misalnya hipertensi,

diabetes, dan jantung (Rahmat,2004).

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa angka kejadian

hipertensi akibat tidak mengkonsumsi buah dan sayur pada masyarakat rural

sebesar 42,9%, sedangkan angka kejadian hipertensi akibat tidak

mengkonsumsi buah dan sayur pada masyarakat urban sebesar 37,8%. Dari

data diatas dapat disimpulkan bahwa kurangnya konsumsi buah dan sayur

baik pada masyarakat rural maupun pada masyarakat urban tidak jauh

berbeda. Namun ada kecenderungan masyarakat rural lebih rentan terkena

hipertensi dibandingkan masyarakat urban akibat kurangnya asupan buah

dan sayur. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmat (2004) menyatakan

bahwa konsumsi buah dan sayur menurunkan resiko seseorang terkena

hipertensi.

Penyebab masyarakat tidak mengkonsumsi sayur dan buah di daerah

rural diduga karena kurangnya pengetahuan dari masyarakat rural tentang

Page 107: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

93

makanan seimbang yang harus dikonsumsi setiap hari. Hal ini juga dapat

dilihat dari dua variabel sebelumnya, dimana pada variabel konsumsi

makanan asin dan berlemak, proporsi masyarakat rural lebih banyak

daripada masyarakat urban.

Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2014), menyatakan bahwa

konsumsi buah dan sayur di pedesaan lebih sedikit dibandingkan konsumsi

buah dan sayur di perkotaan. Hal ini disebabkan pengetahuan yang rendah

dari masyarakat rural mengenai konsumsi buah dan sayur. Padahal,

ketersediaan buah dan sayur lebih banyak di wilayah rural dibandingkan

wilayah urban.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat urban

memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena hipertensi dibandingkan

masyarakat urban. Hal ini diduga dikarenakan pengetahuan masyarakat

yang kurang memadai tentang gaya hidup yang sehat. Pengetahuan

masyarakat yang rendah inilah hendaknya menjadi hal yang pertama kali

ditanggulangi agar perilaku masyarakat dapat mulai berubah. Peningkatan

pengetahuan masyarakat dapat dilakukan dengan mengadakan penyuluhan

terkait pola konsumsi yang sehat.

6.8 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Aktivitas Fisik pada

Masyarakat Rural-Urban

Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan

sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan

energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru

memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen

Page 108: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

94

ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa

2001).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian hipertensi akibat

kurangnya aktivitas fisik tidak jauh berbeda pada masyarakat rural (71,4%)

dan urban (73%). Namun, proporsi aktivitas fisik ringan pada masyarakat

urban lebih tinggi daripada masyarakat rural. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Saraswati (2012) yang menyatakan bahwa

masyarakat yang melakukan aktivitas fisik di wilayah rural lebih banyak

dibandingkan wilayah urban.

Seseorang dengan aktivitas fisik yang kurang, memiliki

kecenderungan 30%-50% terkena hipertensi daripada mereka yang aktif.

Penelitian dari Farmingharm Study menyatakan bahwa aktivitas fisik

sedang dan berat dapat mencegah kejadian stroke. Selain itu, dua meta-

analisis yang telah dilakukan juga menyebutkan hal yang sama. Hasil

analisis pertama menyebutkan bahwa berjalan kaki dapat menurunkan

tekanan darah pada orang dewasa sekitar 2% (Kelley 2001). Analisis kedua

pada 54 randomized controlled trial (RCT), aktivitas aerobik menurunkan

tekanan darah rata-rata 4 mmHg TDS dan 2 mmHg TDD pada pasien

dengan dan tanpa hipertensi (Whelton et al. 2002). Peningkatan intensitas

aktivitas fisik, 30 – 45 menit per hari, penting dilakukan sebagai strategi

untuk pencegahan dan pengelolaan hipertensi. Olah raga atau aktivitas fisik

yang mampu membakar 800-1000 kalori akan meningkatkan high density

lipoprotein (HDL) sebesar 4.4 mmHg (Khomsan 2004).

Page 109: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

95

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya aktivitas fisik yang

tidak jauh berbeda antara masyarakat rural dan urban. Hal ini diduga karena

jumlah sampel yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan. Pada

variabel jenis kelamin, juga telah disebutkan bahwa pengambilan sampel

pada wilayah rural lebih banyak berjenis kelamin perempuan (67

responden). Aktivitas fisik yang dilakukan oleh perempuan yang tinggal di

wilayah rural sebagian besar adalah ibu rumah tangga. Namun, keterbatasan

fasilitas pada wilayah rural untuk melakukan aktivitas rumah tangga, seperti

mencuci baju, dimana masyarakat rural masih harus melakukannya di

sungai, membuat aktivitas fisik yang dilakukan oleh masyarakat rural lebih

membakar kalori dibandingkan dengan masyarakat urban.

Pada masyarakat urban, masyarakat terlalu banyak yang bekerja di

kantor, sehingga waktu yang digunakan untuk beraktivitas fisik selama

seharian berkurang. Adanya fasilitas yang memudahkan seperti lift atau

transportasi yang memadai, membuat masyarakat enggan mengeluarkan

energi lebih untuk naik tangga, berjalan kaki, atau bersepeda, sehingga

risiko untuk terkena hipertensi akibat kurangnya aktivitas fisik pun

meningkat.

Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan diatas adalah bahwa

peluang masyarakat rural dan urban untuk terkena hipertensi akibat

kurangnya aktivitas fisik adalah hampir sama. Namun, ada kecenderungan

bahwa masyarakat urban lebih rentan terkena hipertensi akibat kurangnya

aktivitas fisik dibandingkan dengan masyarakat rural. Dengan demikian,

sebaiknya aktivitas fisik di masyarakat digalakkan lagi. Misalnya, dengan

Page 110: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

96

penempelan poster di kantor-kantor mengenai manfaat aktivitas fisik. Cara

lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan kegiatan aktivitas

fisik bersama, seperti jalan sehat atau senam pagi bersama, yang akan

mengurangi risiko masyarakat terkena hipertensi akibat kurangnya aktivitas

fisik.

6.9 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Indeks Massa Tubuh

pada Masyarakat Rural-Urban

Hubungan antara kelebihan berat badan dengan hipertensi dapat

dijelaskan sebagai perubahan fisiologis, yaitu resistensi insulin dan

hiperinsulinemia; aktivasi sistem saraf simpatik dan sistem renin-angiotenin;

serta perubahan organ ginjal. Peningkatan asupan energi juga berhubungan

dengan peningkatan insulin plasma, yang berperan sebagai faktor natriuretik

dan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium ginjal sehingga

menyebabkan meningkatnya tekanan darah (Krummel 2004).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian hipertensi akibat

obesitas lebih tinggi pada masyarakat rural (8,6%) dibandingkan dengan

masyarakat urban (0%). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Diana, dkk

(2013) yang menyatakan bahwa perempuan yang tinggal di wilayah

perkotaan lebih berisiko 1,3 kali terkena obesitas dibandingkan perempuan

yang tinggal di pedesaan.

Pada penelitian ini, kejadian hipertensi akibat obesitas justru lebih

tinggi pada masyarakat rural dibandingkan dengan masyarakat urban. Hal

ini diduga karena proporsi masyarakat rural yang tingkat aktivitas fisiknya

ringan sebesar 66,2%. Selain itu, pada penelitian ini juga ditemukan fakta

bahwa proporsi masyarakat rural yang mengkonsumsi makanan lemak

Page 111: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

97

tinggi cukup besar, yakni 80%. Sehingga, masyarakat rural memiliki

peluang yang lebih besar untuk terkena obesitas dibandingkan dengan

masyarakat urban.

Tingginya konsumsi lemak tinggi pada masyarakat rural

diasumsikan karena pengetahuan masyarakat rural mengenai gizi berbeda

dengan masyarakat urban, sehingga pola konsumsi yang tidak seimbang

menyebabkan obesitas (Saraswati, 2012). Oleh karena itu, sebaiknya

masyarakat rural mulai membatasi konsumsi makanan berlemak. Selain itu,

puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat bisa

memberikan penyuluhan mengenai pola konsumsi yang seimbang agar

masyarakat memiliki risiko yang lebih kecil untuk terkena obesitas.

6.10 Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban

Secara garis besar, wilayah Indonesia terbagi atas dua karakteristik

wilayah, yakni desa dan kota. Wilayah desa dianggap sebagai wilayah yang

cenderung tradisional, sedangkan wilayah kota dianggap sebagai wilayah

yang serba modern (Gunawan, 2007). Hal ini dikarenakan wilayah

perkotaan di Indonesia lebih terbuka terhadap adanya perubahan

(globalisasi) (Saraswati, 2012). Keterbukaan terhadap globalisasi

berpengaruh terhadap perkembangan penyakit yang diderita oleh

masyarakat, terutama penyakit degeneratif, seperti hipertensi.

Globalisasi berkontribusi terhadap meningkatnya prevalensi

hipertensi secara tidak langsung, dengan menyebarkan gaya hidup dan pola

makan yang tidak sehat (Modesti, 2013). Hipertensi menjadi masalah

kesehatan masyarakat seiring dengan meningkatnya Angka Harapan Hidup

Page 112: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

98

dan pertumbuhan ekonomi. Prevalensi hipertensi di negara berkembang

dewasa ini telah menunjukkan angka yang sama dengan prevalensi di

negara maju (Addo, 2012).

Hasil uji chi-square yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan

bahwa tidak ada perbedaan antara prevalensi hipertensi di wilayah rural dan

wilayah urban (p-value=0,874). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Carolina Badar (2013) di Minahasa Selatan yang

menyatakan bahwa terdapat perbedaan tekanan darah antara masyarakat

yang tinggal di wilayah sub urban dan rural (p=0,033). Perbedaan hasil

penelitian ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti jumlah sampel

yang sedikit dan pemilihan wilayah yang kurang spesifik. Dalam penelitian

ini, jumlah sampel yang digunakan sebanyak 160 responden, yang terdiri

dari 80 responden dari wilayah rural dan 80 responden dari wilayah urban.

Jumlah sampel yang banyak akan lebih merepresentasikan keadaan populasi

yang sebenarnya, sehingga, kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang

berbeda juga lebih besar.

Faktor lain yang mungkin menyebabkan tidak adanya perbedaan

antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban adalah pemilihan

wilayah. Pemilihan wilayah sebagai representasi wilayah rural dan urban

menggunakan pedoman dari BPS. Pada pedoman ini, menurut peneliti perlu

dilakukan tinjauan ulang. Pada klasifikasi wilayah rural berdasarkan

pedoman BPS, wilayah rural yang peneliti ambil telah memenuhi standar

indikator yang ditetapkan. Namun, pada kenyataannya di lapangan, peneliti

menemukan bahwa wilayah rural yang dipilih merupakan salah satu daerah

Page 113: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

99

wisata (Puncak 2), dimana gaya hidup masyarakat sudah mengikuti gaya

hidup perkotaan akibat arus mobilisasi yang deras.

Pada penelitian ini, ditemukan fakta bahwa faktor risiko hipertensi

justru banyak dimiliki oleh masyarakat rural, seperti konsumsi makanan

asin, konsumsi makanan berlemak, tidak mengkonsumsi sayur dan buah,

dan obesitas. Proporsi konsumsi makanan asin pada masyarakat rural

sebesar 85%. Proporsi konsumsi makanan berlemak pada masyarakat rural

sebesar 80% . Kurangnya asupan sayur dan buah pada masyarakat rural

mencapai 41,2%. Status obesitas pada masyarakat rural sebesar 6,2%.

Menurut penelitian Aisyiyah (2009), seseorang yang memiliki faktor risiko

hipertensi lebih berisiko mengidap hipertensi.

Dengan demikian, adanya perubahan perilaku masyarakat rural yang

mengikuti perilaku masyarakat urban tentunya harus segera ditindaklanjuti.

Penelitian ini hanya menggambarkan faktor risiko yang banyak dilakukan

pada masyarakat. Alangkah baiknya jika penelitian selanjutnya dapat

melihat faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan kejadian hipertensi

pada masyarakat rural dan urban, sehingga penanggulangan hipertensi dapat

lebih spesifik.

Penanggulangan hipertensi tentunya harus dilakukan secara sinergis

oleh pihak-pihak terkait seperti Dinkes Kabupaten Bogor, Puskesmas

Kecamatan Kemang dan Sukamakmur, dan masyarakat itu sendiri. Dinkes

Kabupaten Bogor hendaknya memprioritaskan program penanggulangan

penyakit tidak menular, agar angka kejadian hipertensi dapat ditekan secara

optimal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pradono (2013), program

Page 114: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

100

penanggulangan penyakit tidak menular belum menjadi prioritas utama di

tingkat Kabupaten. Hal ini menyebabkan pelayanan medis untuk PTM atau

hipertensi khususnya masih bersifat pasif yaitu hanya memberikan obat

pada penderita yang datang berobat, baik kegiatan di dalam maupun diluar

gedung.

Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat

dapat mengadakan promosi kesehatan yang lebih intensif, dan mudah

dimengerti oleh masyarakat. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan

pengetahuan masyarakat akan hipertensi dan faktor risikonya. Penelitian

yang dilakukan oleh Pradono (2013) menyatakan bahwa masyarakat

kabupaten bogor memiliki pengetahuan yang kurang tentang faktor risiko

hipertensi serta akibat yang ditimbulkannya. Hal ini menyebabkan tingkat

kepedulian untuk melakukan pengobatan dan kontrol tekanan darah menjadi

rendah, yang kemudian berkontribusi terhadap angka kejadian hipertensi.

Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai hipertensi,

pemerintah telah mengadakan program CERDIK. CERDIK merupakan

akronim dari cara penanggulangan faktor risiko hipertensi, yakni Cek

kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok, Diet sehat dengan kalori

seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres. Program ini diharapkan lebih

efektif dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat karena pesan yang

ingin disampaikan diringkas dalam satu kata yang sering digunakan

sehingga lebih mudah diingat.

Faktor risiko yang berbeda pada masyarakat rural dan urban juga

hendaknya menjadi pertimbangan bagi puskesmas setempat dalam

Page 115: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

101

memfokuskan materi penyuluhan yang akan dilakukan, agar penyuluhan

tepat sasaran dan dapat mencapai hasil yang diinginkan. Namun, perbedaan

proporsi faktor risiko pada masyarakat rural dan urban hendaknya juga

menjadi pertimbangan agar kegiatan posbindu dapat lebih maksimal.

Kegiatan ini bertujuan untuk mendeteksi dini masyarakat dari penyakit

hipertensi, agar segera ditanggulangi. Sasaran dari kegiatan posbindu ini

sebaiknya dimulai dari usia >18 tahun. Deteksi faktor risiko penyakit

hipertensi yang semakin dini akan mengurangi angka kesakitan akibat

hipertensi di masa mendatang.

Kemauan untuk merubah gaya hidup tidak sehat yang menjadi faktor

risiko hipertensi juga harus datang dari kemauan masyarakat sendiri.

Masyarakat rural, dimana sarana dan pra sarananya kurang lengkap

dibandingkan dengan wilayah urban, hendaknya dapat pro aktif dalam

setiap kegiatan yang dilakukan puskesmas, baik dalam kegiatan penyuluhan

tentang hipertensi maupun kegiatan posbindu.

Page 116: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

102

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Adapun simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kejadian hipertensi pada masyarakat urban (46,2%) lebih tinggi

daripada di masyarakat rural (43,8%)

2. Berdasarkan usia, kejadian hipertensi pada masyarakat rural dan urban

paling banyak terjadi pada kelompok usia 55-64 tahun.

3. Berdasarkan jenis kelamin, pada masyarakat rural kejadian hipertensi

paling banyak pada perempuan, sedangkan pada masyarakat urban

perbedaan jumlah laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda.

4. Berdasarkan frekuensi konsumsi makanan asin, frekuensi konsumsi

makanan berlemak, frekuensi konsumsi buah dan sayur, dan obesitas,

kejadian hipertensi lebih banyak terjadi pada masyarakat rural

dibandingkan urban.

5. Berdasarkan perilaku merokok dan tingkat aktivitas fisik, kejadian

hipertensi lebih banyak terjadi pada masyarakat urban dibandingkan

rural.

6. Tidak ada perbedaan antara kejadian hipertensi pada masyarakat rural

dan urban.

Page 117: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

103

7.2 Saran

1. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor

a. Menghimbau kepada puskesmas untuk mulai memprioritaskan

program penanggulangan penyakit tidak menular, khususnya

hipertensi

b. Melakukan pelatihan deteksi dini dan tatalaksana secara berkala

pada tenaga kesehatan di puskesmas.

2. Puskesmas Kecamatan Sukamakmur

a. Memfokuskan penyuluhan mengenai faktor risiko hipertensi

kepada pola makan gizi seimbang.

b. Menggalakkan edukasi kepada masyarakat mengenai program

CERDIK.

c. Meningkatkan kualitas dan kuantitas posbindu sehingga

masyarakat dapat terdeteksi sedini mungkin akan ancaman

hipertensi.

3. Puskesmas Kecamatan Kemang

a. Memfokuskan penyuluhan mengenai faktor risiko hipertensi

kepada bahaya perilaku merokok dan kurangnya aktivitas fisik.

b. Menggalakkan edukasi kepada masyarakat mengenai program

CERDIK.

c. Meningkatkan kualitas posbindu sehingga masyarakat dapat

terdeteksi sedini mungkin akan ancaman hipertensi.

Page 118: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

104

DAFTAR PUSTAKA

Addo, et al.2012. A Review of Population-Based Studies on Hypertension in

Ghana. Ghana Medical Journal. 2012:46 (2)

Aisyiyah, Farida Nur. 2009. Faktor Risiko Hipertensi pada Empat

Kabupaten/Kota dengan Prevalensi Hipertensi Tertinggi di Jawa

dan Sumatera. Skripsi. Institut Pertanian Bogor

Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Amelia. 2008. Konsumsi Pangan, Pengetahuan Gizi, Aktivitas Fisik dan

Status Gizi pada Remaja di Kota Sungai Penuh Kabupaten Kerinci

Propinsi Jambi. Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor

Anggraini, dkk. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian

Hipertensi pada Pasien yang Berobat di Poliklinik Dewasa

Puskesmas Bangkinang Periode Januari sampai Juni 2008.

Makalah. Universitas Negeri Riau.

Anies. 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular Solusi Pencegahan

dari Aspek Perilaku dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia, 2006.

Ansel, Howard C. 2006. Kalkulasi Anastetik:Panduan untuk Apoteker.

Jakarta: EGC

Arias. 2009. Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan. Jakarta: EGC, 2009

Arifin, Zaenal. 2008. Dasar-Dasar Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: Grasindo

Arjatmo T, Hendra U. 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI.

Armilawati, dkk. 2007. Hipertensi dan Faktor Risikonya dalam Kajian

Epidemiologi. Makassar: Bagian Epidemiologi FKM UNHAS

Astuti, Rahayu, dkk. 2010. Usia Menarche, Indeks Masa Tubuh, Frekuensi

Konsumsi, Dan Status Sosial Ekonomi Orang Tua Pada Siswi Sltp

Di Pinggir Dan Pusat Kota, Kota Semarang. Prosiding Seminar

Nasional UNIMUS 2010

Page 119: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

105

Badan Pusat Statistik. 2010. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor

37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di

Indonesia.

Badar, Carolina Juanita. 2013. Perbandingan Rata-Rata Tekanan Darah pada

Masyarakat Sub Urban dan Masyarakat Rural di Kabupaten

Minahasa Selatan. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat.

Universitas Sam Ratulangi Manado.

Baradero, Mary. 2008. Klien Gangguan Kardiovaskular: Seri Asuhan

Keperawatan. Jakarta: EGC, 2008.

Basha, Adnil. 2008.Hipertensi: Faktor Risiko dan Penatalaksanaannya.

Diakses dari http://www.pjnhk.go.id/content/view/788/36/

Beevers, et al. 2002. ABC of Hypertension, 5th

ed. Blackwell Publishing

Budiarto, Eko. 2002. Pengantar Epidemiologi, E/2. Jakarta: EGC

Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas.

Jakarta: EGC

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Terjemah Brahman U.

Jakarta: EGC

Dahlan, M. Sopiyudin. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel.

Jakarta: Salemba Medika, 2010.

Dalimartha, dkk. 2008. Care Your Self, Hipertensi. Jakarta: Penebar Plus+,

2008

Dasuki. 2002. Konsumsi Lemak dan Status Gizi Remaja di Bogor. Skripsi.

Institut Pertanian Bogor.

Dauchet, et al. 2007. Dietary Patterns and Blood Pressure Change Over 5-y-

follow-up in the SU.VI.MAX Cohort. Am J Clin Nutr 85: 1650-6

Diana, Rian, dkk. 2013. Faktor Risiko Kegemukan pada Wanita Dewasa

Indoneisa. Jurnal Gizi dan Pangan. 8(1):1-8

Dinkes Bogor, 2012. Profil Kesehatan Kabupaten Bogor.

Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care

Hipertensi. Departemen Kesehatan RI

Dwiningsih. 2013. Perbedaan Asupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat,

dan Status Gizi pada Remaja yang Tinggal di Wilayah Perkotaan

Page 120: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

106

dan Pedesaan. Artikel Penelitian. Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro

Firdausi, Nadhifa. 2012. Interaksi Allopurinol dengan Infusa Daun Salam

(Eugenia polyanta Wight) terhadap Kadar Asam Urat Darah pada

Tikus Putih Jantan. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Fitriani, Erda. 2012. Pola Kebiasaan Makan Orang Lanjut Usia (Studi Kasus:

Penderita Penyakit Hipertensi Sukubangsa Minangkabau di

Jakarta). Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Humaniora (Humanus). 2012:11

(2)

Gangswich et al. 2006. Short Sleep Duration as a Risk Factor for

Hypertension Analysis of the First National Health and Nutrition

Examination Survey. J Hypertension. 47:833

Gray, et al. 2005. Lecture Notes: Kardiologi. Jakarta: Erlangga

Gunawan, dkk. 2007. Fakta dan Konsep Geografi. Jakarta: Inter Plus

Hardinsyah. 2011. Analisis Konsumsi Lemak, Gula, dan Garam Penduduk

Indonesia. Gizi Indon 34(2):92-100

Hartono A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Ed-2. Jakarta: EGC

Henderson, Christine. 2005. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC

Joewono, Budi Soesetyo. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga

University Press

Karyadi E. 2002. Hidup bersama Penyakit Hipertensi, Asam Urat, Jantung

Koroner. Jakarta: Intisari Mediatama

Kelley. 2001. Walking and Resting Blood Pressure in Adults: A Meta-

Analysis. Preventive Med 33:120-7

Kementerian Kesehatan, 2012. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta:

Kementerian Kesehatan RI, 2012.

Kementerian Kesehatan. 2007. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar.

Jakarta: Kementerian Kesehatan, 2007.

Kementerian Kesehatan. 2013. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar.

Jakarta: Kementerian Kesehatan, 2013.

Page 121: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

107

Khan, et al. 2013. A Cross-Sectional Study Of The Prevalence And Risk

Factors For Hypertension In Rural Nepali Women. BMC Public

Health. 13:55

Khomsan. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta:

Grasindo

Klabunde. 2007. Cardiovascular Physiologi Concept: Renin-Angiotensin-

Aldosteron.

Krisnatuti D, Yenrina R. 2005. Perencanaan Menu Bagi Penderita Jantung

Koroner. Jakarta: Trubus Agriwidya

Krummel. 2004. Medical Nutrition Therapy in Hypertension. Di dalam:

Mahan LK dan Escott-Stump S, editor. 2004. Food, Nutrition and

Diet Therapy.USA: Saunders co. Hlm. 900-918

Ledikwe at al. 2007. Reductions in Dietary Energy Density are Associated

with Weight Loss in Overweight and Obesitas Participants in the

Premier Trial. Am J Clin Nutr. 85:1212-21

Lestari, dkk. 2012. Perilaku Merokok pada Remaja SMA/SMK di Kota dan

Luar Kota. Artikel Penelitian. Proceeding Temu Ilmiah Nasional

VIII IPPI Yogyakarta, 8-10 November 2012, 136-145

Lestari, dkk. 2014. Gambaran Pengetahuan, Sikap pada Remaja SMA,

Ketersediaan Buah dan Sayur di Tingkat Rumah Tangga dan Pola

Konsumsi Buah dan Sayur di Kabupaten Bantaeng. Artikel

Penelitian. Universitas Hasanuddin.

Levanita, Shanthi. 2010. Prevalensi Retinopati Hipertensi di RSUP H. Adam

Malik Medan Periode Agustus 2008- Agustus 2010. Skripsi.

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Lewa. 2010. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Sistolik Terisolasi pada Lanjut

Usia. Berita Kedokteran Masyarakat. 2010: 26 (4) 171-178

Mansjoer A, 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid II.Jakarta:Media

Aesculapius.

Manurung, Sondang April Yani. 2013. Gambaran Pengetahuan Ibu

Primigravida Tentang Adaptasi Fisiologis Selama Kehamilan di

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematang

Siantar Tahun 2012. Skripsi.

Masriadi. 2012. Epidemiologi. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.

Page 122: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

108

Millet, et al. 2013. Associations between Active Travel to Work and

Overweight, Hypertension, and Diabetes in India: A Cross-

Sectional Study. PLOS Medicine. 2013:10 (6)

Modesti, et al. 2013. Epidemiology of hypertension in yemen: effects of

urbanization and geographical area. The Japanese Society of

Hypertension. 2013: 36 711-717

Nadesul, Handrawan. 2013. Jantung dan Garam. Diakses dari

http://inspiration-of-freedom.blogspot.com/2012/03/jantung-

garam-penulis-dr.html

Perdana, Dimas Nagara. 2013. Perbandingan Karakteristik, Pengetahuan dan

Tindakan Swamedikasi pada Penyakit Diare Akut antara

Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota. Skripsi. Fakultas Farmasi.

Universitas Negeri Jember.

Pradono, dkk. 2013. Permasalahan dan Faktor Risiko yang Berhubungan

dengan terjadinya Hipertensi di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa

Barat. Buletin Penelitian Kesehatan. 2013:41 (2) 61-71

Price&Wilson. 2006. Patofisiologi:Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Jakarta:EGC

Purnandias dkk. 2012. Rural Community and Urban Community. Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro

Rabaity. 2012. Konsumsi Gula Sederhana dan Aktivitas Fisik sebagai Faktor

Risiko Kejadian Hipertensi Obesitik pada Remaja Awal. Journal of

Nutrition College. 2012: 1 (1) 408-420

Rezky, Aisyah. 2011. Efektivitas Bunga Rosella untuk Menurunkan Tekanan

Darah Tinggi di Desa Sunggal Kanan Dusun V Deli Serdang.

Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Rimbawan, dkk. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Bogor: Panebar Swadaya

Rukmana, Rahmat. 2004. Usaha Tani Kapri: Kanisius

Sagala, LMB. 2009. Perawatan Penderita Hipertensi di Rumah oleh Keluarga

Suku Batak dan Suku Jawa di Kelurahan Lau Cimba Kabanjahe.

Skripsi. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Saraswati, Indira. 2012. Perbedaan Karakteristik Usia, Asupan Makanan,

Aktivitas Fisik, Tingkat Sosial Ekonomi, dan Pengetahuan Gizi

pada Wanita Dewasa dengan Kelebihan Berat Badan antara di

Desa dan Kota. Artikel Penelitian. Universitas Diponegoro.

Page 123: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

109

Sari, Novi Indra. 2011. Hubungan Antara Tingkat Stres dengan Perilaku

Merokok pada Siswa Laki-Laki Perokok SMKN 2

Batusangkar.Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Sheps, Sheldon G. 2002. Mayo Clinic Hipertensi. Jakarta: Intisari

Sigarlaki. 2006. Karakteristik dan Faktor Berhubungan dengan Hipertensi di

Desa Bocor, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kebumen,

Jawa Tengah, Tahun 2006. Makara. 2006: 10 (2) 78-88

Sirait, dkk. 2002. Perilaku Merokok di Indonesia. Buletin Penelitian

Kesehatan. 30(3): 139-152

Sirait, dkk. 2012. Insiden Hipertensi pada Kohor Prospektif di Kelurahan

Kebon Kalapa Bogor. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan.

2012:16 (1)

Sitepu, Rahmadani. 2005. Pengaruh Kebiasaan Merokok dan Status Gizi

Terhadap Hipertensi pada Pegawai Kantor Wilayah Kementerian

Agama Provinsi Sumatera Utara. Tesis. Universitas Sumatera

Utara.

Sitorus, Ronald. 2005. Gejala Penyakit dan Pencegahannya. Bandung:Yrama

Widya.

Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana

Indonesia.

Soeharto I. 2001. Kolesterol & Lemak Jahat Kolesterol & Lemak Baik.

Yayasan Pembina Kardiovaskuler Indonesia.

Sulchan, dkk. 2012. Asupan Tinggi Lemak Dan Aktivitas Olahraga Sebagai

Faktor Risiko Terjadinya Hipertensi Obesitik Pada Remaja Awal.

Journal of Nutrition College. 1(1):382-387

Sumolang, Steven. 2010. Studi Budaya Konsumen Masyarakat Kota Manado

dalam Mengonsumsi Minuman Ringan Coca-Cola. Tesis.

Universitas Sam Ratulangi Manado

Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Sustrani L, 2006. Hipertensi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Syahrini. 2012. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Primer di Puskesmas

Tlogosari Kulon Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat.

2012: 1 (2) 315-325

Page 124: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

110

Syaifudin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Ed-3.

Jakarta: EGC

Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC, 2000

Tandra H. 2003. Merokok dan Kesehatan. Diakses dari

http:/www.antirokok.or.id/berita/beritarokokkesehatan.htm. pada

tanggal 28 Mei 2014

Timmreck, Thomas C. 2004. Epidemiologi:Suatu Pengantar. Jakarta: EGC

Wahiduddin. 2013. Faktor Risiko Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja

Puskesmas Bangkala Kabupaten Jeneponto Tahun 2012.

Universitas Hasanudin.

Wahyu, Genis Ginanjar. 2009. Obesitas pada Anak. B First

Wahyudi, Arga Indera. 2014. Gambaran Tekanan Darah berdasarkan Faktor

Pemberat Hipertensi pada Pasien Hipertensi Perokok di Wilayah

Kerja Puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan. Skripsi.

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta

Wahyuningsih, dkk. 2009. Dasar – dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam

Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya

Wang et al. 2007. Whole-and Refine-Grain Intakes and The Risk of

Hypertension in Women. Am J Clin Nutr 86(2):472-479

Whelton SP, dkk. 2002. Effect of Aerobik Exercise and Blood Pressure: A

Meta Analysis of Randomized Controlled Trials. Ann Intern Med

136(7):493-503

Widjaja, dkk. 2013. Prehypertension And Hypertension Among Young

Indonesian Adults At A Primary Health Care In A Rural Area.

Medical Journal Indonesia. 22(1):39-45

Yan Lijing et al. 2003. Psychosocial Factors and Risk of Hypertension:The

Coronary Artery Risk Development in Young Adult (CARDIA)

study. JAMA. 290(16):2138-2148

Yu-Quan Ma, et al. 2013. Prevalence of Hypertension in Chinese Cities: A

Meta-Analysis of Published Studies. PLOS ONE. 2013:8 (3)

Zein, Anastasha Oktavia Sati. 2014. Kemunduran Fisiologis Lansia dan

Pengaruhnya terhadap Keselamatan di Kamar Mandi. Artikel

Penelitian. Sekolah Tinggi Desain Indonesia.

Page 125: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

111

Lampiran

LEMBAR KUISIONER

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Saya adalah mahasiswa Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya memohon kepada

Ibu/Bapak/Saudara/Saudari untuk membantu penelitian saya dalam rangka

memenuhi tugas akhir (Skripsi) yang berjudul Perbedaan Kejadian Hipertensi

pada Masyarakat Rural-Urban di Kabupaten Bogor Tahun 2014. Saya menjamin

kerahasiaan data yang anda berikan. Untuk itu, dimohon kesediaan

Ibu/Bapak/Saudara/Saudari untuk membantu penelitian ini. Demikianlah

permohonan ini saya sampaikan. Atas kesediaannya saya ucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Saya yang bertandatangan dibawah ini, bersedia menjadi responden penelitian

yang berjudul Perbedaan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat Rural-Urban di

Kabupaten Bogor Tahun 2014. Demikian pernyataan ini saya buat dengan

sukarela, dan adapun data yang saya berikan merupakan data yang sebenar-

benarnya.

Bogor, ______________2014

(_______________________________)

Page 126: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

112

Petunjuk Pengisisan

a. Isilah terlebih dahulu biodata anda pada tempat yang telah disediakan !

b. Bacalah dengan seksama setiap pertanyaan, sebelum anda menjawabnya !

c. Berilah tanda check list (√ ) pada jawaban yang menurut anda benar !

A. IdentitasResponden

No Pertanyaan Jawaban Diisi oleh Peneliti

A1 Nama Responden

A2 Tanggal Wawancara

A3 TTL/Umur

A4 Jenis Kelamin L/P [ ]

A5 Alamat [ ]

A6 Berat Badan

A7 Tinggi Badan

A8 Tekanan Darah

B. Perilaku Merokok

No Pertanyaan Jawaban Diisi oleh

Peneliti

B1 Apakah anda merokok? 1. Ya

2. Tidak*

*) Jika tidak, lanjut ke

halaman berikutnya

[ ]

B2 Apakah anda merokok setiap

hari?

1. Ya

2. Tidak

[ ]

B3 Berapa batang rokok yang anda

konsumsi setiap hari?

Page 127: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

113

Kuesioner Food Frequency Questionnaire Semi Kuantitatif

Petunjuk: Berilah tanda checklist (√) pada kolom frekuensi yang sesuai berdasarkan jenis bahan makanan dan frekuensi makan yang

tersedia.

Bahan Makanan

Berapa Kali Konsumsi Porsi tiap kali

Konsumsi

>1 x

sehar

i

1x

sehar

i

3-6x

semingg

u

1-2x

semingg

u

2

minggu

sekali

Sebulan

sekali

Tidak

pernah URT Gram

Makanan Asin

Telur Asin

Ikan Asin

Sayur Asin

Kecap Asin

Kripik Kentang dan sejenisnya

Keju

Daging kaleng

Saos Tomat

Saos Cabe

Lainnya, sebutkan..........

Makanan Tinggi Lemak

Sop Buntut

Sate

Pizza

Burger

Makanan Gorengan

Daging Sosis

Daging Kaleng

Kulit ayam/bebek

Page 128: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

114

Daging kambing

Bahan Makanan

Berapa Kali Konsumsi Porsi tiap kali

Konsumsi

>1 x

sehar

i

1x

sehar

i

3-6x

semingg

u

1-2x

semingg

u

2

minggu

sekali

Sebulan

sekali

Tidak

pernah URT Gram

Jeroan

Makanan kare/bersantan

Kuning telur

Susu dan sejenisnya

Mentega

Minyak Kelapa Sawit

Gajih

Lainnya, sebutkan.............

Sayur dan Buah

Bayam

Kangkung

Daun singkong

Sawi hijau

Timun

Kacang panjang

Buncis

Wortel

Jeruk

Pepaya

Apel

Pisang

Mangga

Lainnya, sebutkan........

Page 129: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

115

Lain-lain

Gula

Bahan Makanan

Berapa Kali Konsumsi Porsi tiap kali

Konsumsi

>1 x

sehar

i

1x

sehar

i

3-6x

semingg

u

1-2x

semingg

u

2

minggu

sekali

Sebulan

sekali

Tidak

pernah URT Gram

Garam

Penyedap rasa

Page 130: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

116

Kuesioner Tingkat Aktivitas Fisik

Indeks Pekerjaan

Lingkari jawaban yang tersedia di kolom “respon” sesuai dengan aktivitas sehari-

hari anda. Keterangan dapat dilihat di bawah tabel.

Pertanyaan Respon Poin

1. Apa pekerjaan

utama anda?

a. Aktivitas Rendah 1

b. Aktivitas Sedang 3

c. Aktivitas Berat 5

2. Di tempat kerja,

seberapa banyak

anda duduk?

a. Tidak pernah 1

b. Jarang 2

c. Kadang-kadang 3

d. Sering 4

e. Selalu 5

3. Di tempat kerja,

seberapa banyak

anda berdiri?

a. Tidak pernah 1

b. Jarang 2

c. Kadang-kadang 3

d. Sering 4

e. Selalu 5

4. Di tempat kerja,

seberapa banyak

anda berjalan?

a. Tidak pernah 1

b. Jarang 2

c. Kadang-kadang 3

d. Sering 4

e. Selalu 5

5. Di tempat kerja,

berapa kali anda

mengangkat benda

berat?

a. Tidak pernah 1

b. Jarang 2

c. Kadang-kadang 3

d. Sering 4

e. Selalu 5

6. Setelah bekerja,

apakah anda merasa

lelah?

a. Sangat sering 5

b. Sering 4

c. Kadang-kadang 3

d. Jarang 2

e. Tidak pernah 1

7. Di tempat kerja,

apakah anda

berkeringat?

a. Sangat sering 5

b. Sering 4

c. Kadang-kadang 3

d. Jarang 2

e. Tidak pernah 1

8. Bila dibandingkan

orang yang sebaya

dengan saya,

pekerjaan saya

termasuk?

a. Lebih sangat berat 5

b. Lebih berat 4

c. Sama berat 3

d. Lebih ringan 2

e. Lebih sangat ringan 1

Page 131: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

117

Indeks Olahraga

Lingkari jawaban yang tersedia di kolom “respon” sesuai dengan aktivitas sehari-

hari anda. Keterangan dapat dilihat di bawah tabel.

Pertanyaan Respons Poin

9. Apakah anda

berolahraga?

Jika iya, hitung skor

olahraga anda

(Lihat dibawah ini)

a. Skor olahraga ≥12 5

b. Skor olahraga 8-12 4

c. Skor olahraga 4-8 3

d. Skor olahraga 0,01-4 2

e. Skor olahraga = 0 1

f. Tidak 1

10. Bila dibandingkan

dengan orang yang

sebaya dengan saya,

aktivitas saya

selama waktu

lenggang?

a. Sangat banyak 5

b. Banyak 4

c. Sama 3

d. Sedikit 2

e. Sangat sedikit 1

11. Selama waktu

senggang, apakah

anda berkeringat?

a. Sangat sering 5

b. Sering 4

c. Kadang-kadang 3

d. Jarang 2

e. Tidak pernah 1

12. Selama waktu

senggang, apakah

anda berolahraga?

a. Tidak pernah 1

b. Jarang 2

c. Kadang-kadang 3

d. Sering 4

e. Selalu 5

Page 132: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

118

Data pada olahraga

tersering

Respon Poin

13. a. Termasuk dalam

apakah olahraga

tersering yang anda

lakukan?

a. Intensitas rendah 0,76

b. Intensitas medium 1,26

c. Intensitas tinggi 1,76

b. Berapa jam anda

berolahraga

dalam seminggu?

a. < 1 jam 0,5

b. 1-2 jam 1,5

c. 2-3 jam 2,5

d. 3-4 jam 3,5

e. >4 jam 4,5

c. Berapa bulan

anda berolahraga

dalam setahun?

a. <1 bulan 0,04

b. 1-3 bulan 0,17

c. 4-6 bulan 0,42

d. 7-9 bulan 0,67

e. >9 bulan 0,92

Page 133: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

119

Data pada olahraga

kedua tersering

Respon Poin

14. a. Termasuk dalam

apakah olahraga

tersering yang anda

lakukan?

a. Intensitas rendah 0,76

b. Intensitas medium 1,26

c. Intensitas tinggi 1,76

b. Berapa jam anda

berolahraga

dalam seminggu?

a. < 1 jam 0,5

b. 1-2 jam 1,5

c. 2-3 jam 2,5

d. 3-4 jam 3,5

e. >4 jam 4,5

c. Berapa bulan

anda

berolahraga

dalam setahun?

a. <1 bulan 0,04

b. 1-3 bulan 0,17

c. 4-6 bulan 0,42

d. 7-9 bulan 0,67

e. >9 bulan 0,92

Page 134: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

120

Indeks senggang

Lingkari jawaban yang tersedia di kolom “respon” sesuai dengan aktivitas sehari-

hari anda. Keterangan dapat dilihat di bawah tabel.

Pertanyaan Respon Nilai

15. Selama waktu

senggang, apakah

anda menonton

televisi?

a. Tidak pernah 1

b. Jarang 2

c. Kadang-kadang 3

d. Sering 4

e. Sangat sering 5

16. Selama waktu

senggang, apakah

anda berjalan-jalan?

a. Tidak pernah 1

b. Jarang 2

c. Kadang-kadang 3

d. Sering 4

e. Sangat sering 5

17. Selama waktu

senggang, apakah

anda bersepeda?

a. Tidak pernah 1

b. Jarang 2

c. Kadang-kadang 3

d. Sering 4

e. Sangat sering 5

18. Berapa menit anda

berjalan/bersepeda

per hari saat ke dan

dari bekerja, sekolah,

atau berbelanja?

a. <5 menit 1

b. 5-15 menit 2

c. 15-30 menit 3

d. 30-45 menit 4

e. >45 menit 5

Page 135: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

121

Crosstabs

[DataSet3] C:\Users\personal\Desktop\HASIL SKRIPSI BB\Data Rural.sav

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Jenis Kelamin *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

OBESITAS *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

B1 ROKOK *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

C2 LEMAK *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

C3 SAYUR BUAH *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

UMURKAT *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

AKTIVITASKAT *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

ASINFIX * WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

Jenis Kelamin * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Rural

Jenis Kelamin Laki-Laki Count 13 13

% within

WILAYAH 16.2% 16.2%

Page 136: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

122

Perempuan Count 67 67

% within

WILAYAH 83.8% 83.8%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

OBESITAS * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Rural

OBESITA

S

Obesitas Count 5 5

% within

WILAYAH 6.2% 6.2%

Tidak Obesitas Count 75 75

% within

WILAYAH 93.8% 93.8%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

B1 ROKOK * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Rural

B1 Ya Count 8 8

Page 137: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

123

ROKOK % within

WILAYAH 10.0% 10.0%

Tidak Count 72 72

% within

WILAYAH 90.0% 90.0%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

C2 LEMAK * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Rural

C2

LEMAK

Ya Count 64 64

% within

WILAYAH 80.0% 80.0%

Tidak Count 16 16

% within

WILAYAH 20.0% 20.0%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

C3 SAYUR BUAH * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Rural

C3 SAYUR

BUAH

Ya Count 47 47

% within

WILAYAH 58.8% 58.8%

Page 138: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

124

Tidak Count 33 33

% within

WILAYAH 41.2% 41.2%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

UMURKAT * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Rural

UMURKA

T

65-74 tahun Count 6 6

% within

WILAYAH 7.5% 7.5%

55-64 tahun Count 12 12

% within

WILAYAH 15.0% 15.0%

45-54 tahun Count 15 15

% within

WILAYAH 18.8% 18.8%

35-44 tahun Count 21 21

% within

WILAYAH 26.2% 26.2%

25-34 tahun Count 26 26

% within

WILAYAH 32.5% 32.5%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

Page 139: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

125

AKTIVITASKAT * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Rural

AKTIVITAS

KAT

Aktivitas

Ringan

Count 53 53

% within

WILAYAH 66.2% 66.2%

Aktivitas

Sedang

Count 27 27

% within

WILAYAH 33.8% 33.8%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

ASINFIX * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Rural

ASINFI

X

Ya Count 68 68

% within

WILAYAH 85.0% 85.0%

Tidak Count 12 12

% within

WILAYAH 15.0% 15.0%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

Page 140: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

126

Crosstabs

[DataSet2] C:\Users\personal\Desktop\HASIL SKRIPSI BB\Data Urban.sav

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Jenis Kelamin *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

OBESITAS *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

B1 ROKOK *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

C2 LEMAK *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

C3 SAYUR BUAH *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

UMURKAT *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

AKTIVITASKAT *

WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

ASINFIX * WILAYAH 80 100.0% 0 .0% 80 100.0%

Jenis Kelamin * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Urban

Jenis Kelamin Laki-Laki Count 34 34

% within

WILAYAH 42.5% 42.5%

Perempuan Count 46 46

Page 141: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

127

% within

WILAYAH 57.5% 57.5%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

OBESITAS * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Urban

OBESITA

S

Ya Count 2 2

% within

WILAYAH 2.5% 2.5%

Tidak Count 78 78

% within

WILAYAH 97.5% 97.5%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

B1 ROKOK * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Urban

B1

ROKOK

Ya Count 29 29

% within

WILAYAH 36.2% 36.2%

Page 142: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

128

Tidak Count 51 51

% within

WILAYAH 63.8% 63.8%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

C2 LEMAK * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Urban

C2

LEMAK

Ya Count 36 36

% within

WILAYAH 45.0% 45.0%

Tidak Count 44 44

% within

WILAYAH 55.0% 55.0%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

C3 SAYUR BUAH * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Urban

C3 SAYUR

BUAH

Ya Count 49 49

% within

WILAYAH 61.2% 61.2%

Tidak Count 31 31

Page 143: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

129

% within

WILAYAH 38.8% 38.8%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

UMURKAT * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Urban

UMURKA

T

> 75 tahun Count 2 2

% within

WILAYAH 2.5% 2.5%

65-74 tahun Count 2 2

% within

WILAYAH 2.5% 2.5%

55-64 tahun Count 14 14

% within

WILAYAH 17.5% 17.5%

45-54 tahun Count 20 20

% within

WILAYAH 25.0% 25.0%

35-44 tahun Count 15 15

% within

WILAYAH 18.8% 18.8%

25-34 tahun Count 27 27

% within

WILAYAH 33.8% 33.8%

Total Count 80 80

Page 144: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

130

OBESITAS * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Urban

OBESITA

S

Ya Count 2 2

% within

WILAYAH 2.5% 2.5%

Tidak Count 78 78

% within

WILAYAH 97.5% 97.5%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

AKTIVITASKAT * WILAYAH Crosstabulation

WILAYA

H

Total Urban

AKTIVITAS

KAT

Aktivitas

Ringan

Count 61 61

% within

WILAYAH 76.2% 76.2%

Aktivitas

Sedang

Count 19 19

% within

WILAYAH 23.8% 23.8%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

ASINFIX * WILAYAH Crosstabulation

Page 145: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

131

WILAYA

H

Total Urban

ASINFI

X

Ya Count 36 36

% within

WILAYAH 45.0% 45.0%

Tidak Count 44 44

% within

WILAYAH 55.0% 55.0%

Total Count 80 80

% within

WILAYAH 100.0% 100.0%

Crosstabs

[DataSet3] C:\Users\personal\Desktop\HASIL SKRIPSI BB\SKRIPSI BEBE.sav

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

WILAYAH *

TKDARKAT 160 100.0% 0 .0% 160 100.0%

WILAYAH * TKDARKAT Crosstabulation

TKDARKAT

Total

Hipertensi

Tidak

Hipertensi

WILAYA

H

Rural Count 35 45 80

% within

WILAYAH 43.8% 56.2% 100.0%

Page 146: PERBEDAAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA MASYARAKAT RURAL

132

Urban Count 37 43 80

% within

WILAYAH 46.2% 53.8% 100.0%

Total Count 72 88 160

% within

WILAYAH 45.0% 55.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .101a 1 .751

Continuity Correctionb .025 1 .874

Likelihood Ratio .101 1 .751

Fisher's Exact Test .874 .437

Linear-by-Linear

Association .100 1 .751

N of Valid Casesb 160

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 36,00.

b. Computed only for a 2x2 table