HUBUNGAN INTERAKSI ANAK DALAM KELUARGA DENGAN … · berbakti pada orangtua dan guru, bertanggung...
Transcript of HUBUNGAN INTERAKSI ANAK DALAM KELUARGA DENGAN … · berbakti pada orangtua dan guru, bertanggung...
21
HUBUNGAN INTERAKSI ANAK DALAM KELUARGA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA KELAS BERTARAF
INTERNASIONAL (Studi Kasus di SMAN 1 Bogor)
DESTY PUJIANTI
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
22
HUBUNGAN INTERAKSI ANAK DALAM KELUARGA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA KELAS BERTARAF
INTERNASIONAL (Studi Kasus di SMAN 1 Bogor)
DESTY PUJIANTI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada program studi gizi masyarakat dan sumberdaya keluarga
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
23
JUDUL : HUBUNGAN INTERAKSI ANAK DALAM KELUARGA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA KELAS BERTARAF INTERNASIONAL (Studi Kasus di SMAN 1 Bogor)
NAMA MAHASISWA : DESTY PUJIANTI
NOMOR POKOK : A54103019
Menyetujui,
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr
NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc MSc NIP131640679
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Diah K Pranadji M.S NIP131476543
24
RINGKASAN
DESTY PUJIANTI. Hubungan Interaksi Anak dalam Keluarga dengan Kecerdasan Emosional Siswa Kelas Bertaraf Internasional (Studi Kasus di SMAN 1 Bogor). Di Bawah Bimbingan HERIEN PUSPITAWATI dan DIAH K PRANADJI.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa kelas bertaraf internasional. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: 1) Mengidentifikasi karakteristik individu dan keluarga; 2) Mengidentifikasi interaksi anak dalam keluarga, dan kecerdasan emosional; 3) Menganalisis hubungan antara karakteristik individu, dan keluarga dengan interaksi dalam keluarga; 4) Menganalisis hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa kelas bertaraf internasional.
Penelitian ini menggunakan disain Cross Sectional Study yang dilakukan pada siswa SMA kelas bertaraf internasional. Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Bogor, Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret sampai Juni 2007. Contoh yang akan diteliti adalah siswa Kelas X dan XI. Contoh diperoleh dengan menggunakan sensus yaitu meneliti seluruh siswa kelas bertaraf internasional. Total sampel penelitian yang diteliti sebanyak 73 siswa.
Data yang digunakan untuk penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner yang diisi oleh contoh, sedangkan data sekunder diperoleh dari pihak sekolah. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer program Microsoft Excel dan SPSS versi 13.0 for windows. Tahap pengolahan data terdiri dari pengkodean, pengentrian, dan editing. Data diolah dengan menggunakan analisis deskriptif, uji beda Mann Whitney, dan Korelasi Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan lebih dari separuh contoh berjenis kelamin perempuan. Rata-rata umur contoh pada Kelas X yaitu 16 tahun sedangkan Kelas XI yaitu 17 tahun. Sebagian besar contoh mempunyai tujuan hidup dan cita-cita meneruskan ke perguruan tinggi, bekerja keras dan belajar tekun, berbakti pada orangtua dan guru, bertanggung jawab atas perbuatannya, berteman yang baik, dan menghindari masalah di sekolah. Rata-rata uang saku per bulan yang diterima contoh Kelas XI lebih tinggi (Rp 460 945.95) dibandingkan Kelas X (Rp 441 527.78). Sebagian besar umur orangtua contoh berada pada kelompok umur produktif yaitu pada rentang umur 36-55 tahun. pendidikan ayah contoh pada Kelas XI lebih tinggi (S2) dibandingkan Kelas X (S1), sedangkan persentase terbesar pendidikan tertinggi ibu contoh yaitu S1. Proporsi terbesar ayah contoh bekerja sebagai PNS sedangkan proporsi terbesar ibu contoh sebagai ibu rumah tangga. Persentase terbesar pendapatan keluarga pada kisaran Rp >6 000 000. Proporsi terbesar contoh berasal dari keluarga kecil (<4 orang). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara karakteristik contoh, dan karakteristik keluarga pada kedua kelas.
Lebih dari separuh contoh memiliki hubungan yang baik dengan orangtuanya. Hubungan yang banyak dilakukan antara contoh dan ayahnya yaitu dalam hal saling membantu apabila memerlukan sesuatu (dimensi kehangatan), dan mengkritik perbuatan yang dilakukan keduanya. Perlakuan ayah kepada contoh baik dalam hal dimensi kehangatan maupun kekasaran memiliki total skor yang lebih tinggi daripada perlakuan contoh kepada ayahnya. Ibu memiliki skor tertinggi dalam mempedulikan masalah yang sedang dihadapi contoh dibandingkan ayah. Selain itu, perlakuan ibu kepada contoh juga memiliki total skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ayah kepada contoh baik
25
dalam dimensi kehangatan maupun kekasaran. Skor tertinggi dari variabel hubungan yang terjadi antara ayah dan ibu yaitu dalam hal saling mempedulikan masalah yang sedang dihadapi (dimensi kehangatan), dan mengkritik perbuatan (dimensi kekasaran).
Kualitas hubungan antara contoh dan ibu adalah lebih besar dobandingkan antara contoh dan ayah. Lebih dari separuh contoh memiliki kualitas hubungan yang tergolong puas/bahagia dengan orangtuanya dan rata-rata skor Kelas X sedikit lebih besar (20.1) dibandingkan Kelas XI (19.9). Sebagian besar contoh memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, dengan rata-rata skor kecerdasan emosional tertinggi yaitu kemampuan empati dan terrendah dalam hal memotivasi diri. Rata-rata skor kecerdasan emosi onal contoh Kelas X lebih tinggi (102.0) dibandingkan Kelas XI (98.6). Namun hasil uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara kedua Kelas.
Hasil uji Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan nyata positif antara: (1) tujuan hidup dan cita-cita dengan interaksi antara ibu dan contoh; (2) Interaksi antara ayah dan contoh, ibu dan contoh, ayah dan ibu, dan kualitas hubungan dengan interaksi keluarga; (3) Interaksi antara ayah dan contoh, ibu dan contoh, dan kualitas hubungan dengan sedangkan kecerdasan emosional.
Tujuan hidup dan cita-cita mempunyai hubungan yang erat dengan interaksi yang terjadi antara ibu dan contoh, dan kecerdasan emosional. Bagi lingkungan keluarga dan sekolah diharapkan menciptakan interaksi yang baik, sehingga anak merasa berharga terutama dalam pencapaian tujuan hidup dan cita-cita. Akhirnya akan meningkatkan kecerdasan emosional. Bagi siswa agar lebih memotivasi dirinya dengan lebih baik terutama dalam hal membuat jadwal agenda harian yang dilakukan setiap harinya. Sebaiknya dalam mata pelajaran tertentu seperti agama juga perlu dimasukkan muatan kecerdasan emosional.
26
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Desember 1985. Penulis
merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Suparman dan
Sri Hartati. Pendidikan SD ditempuh pada tahun 1991 sampai tahun 1997 di SDN
Kampung Utan 2 Ciputat. Tahun 1997 penulis melanjutkan sekolah di SLTPN 2
Ciputat sampai tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah
di SMUN 2 Ciputat dan memperoleh kelulusan pada tahun 2003.
Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB pada tahun 2003 melalui jalur
USMI di Program studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas
Pertanian. Selama menyelesaikan studinya di IPB, penulis cukup aktif dalam
mengikuti beberapa kegiatan kepanitiaan dan organisasi. Penulis pernah
menjabat sebagai staf biro pers dan media forum keluarga rohis Fakultas (2003-
2004), staf biro PSDM forum keluarga musholla GMSK (2003-2004), staf biro
seni budaya departemen minat dan bakat BEM Faperta IPB (2004-2005), kepala
biro Pengembangan Organisasi BEM Faperta IPB (2005-2006), dan Wakil ketua
departemen PSDM Bina Desa IPB (2005-2006). Penulis juga pernah menjadi
finalis tingkat Nasional dalam LKTM Seni (2006), finalis lomba cerpen dalam
writing competition tingkat IPB (2006), Juara tiga penulisan artikel untuk media
massa tingkat Fakultas (2006), dan juara umum dalam penulisan essay
peringatan hari ibu tingkat IPB (2006). Selain itu, penulis juga pernah menjadi
asisten pada mata kuliah Metode Penulisan dan Penyajian Ilmiah (2007), serta
mata kuliah Gender dan Keluarga (2007).
27
PRAKATA
Syukur alhamdulillah segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Tak lupa penulis haturkan salam serta shalawat kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Kedua orangtua (Suparman dan Sri Hartati) yang telah memberikan kasih
sayang, semangat, perhatian, dan doa yang tulus.
2. Dr.Ir. Herien Puspitawati, MSc, MSc dan Dr.Ir. Diah K Pranadji, MS yang
telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dari awal pembuatan
proposal hingga terselesaikannya skripsi ini, serta atas dukungannya baik
moril maupun spiritual yang telah diberikan.
3. Tien Herawati, SP, MS, yang telah banyak membantu dan memberikan
dukungan pada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Ir Melly Latifah, MSi selaku dosen pemandu dan penguji yang telah bersedia
memandu dan menguji, serta memberikan saran-saran.
5. Adik-adik (Setiya, de’Ika dan kaka Ipat), serta Tyan yang telah memberikan
kasih sayang, dukungan, keceriaan, do’a, dan waktunya untuk penulis.
6. Seluruh warga SMA Negeri 1 Bogor atas dukungan, kerjasama, dan
semangatnya untuk penulis
7. Keluarga Sekolah Tanah Tingal (Bu Enni dan keluarga, Pa Inong, Pa Ikin, Bu
Ati, Bu Eka, Mba Novi, Mba Ina, Mas Rifa, Mas Agus, Indra, Taufik, dan
Didin) atas do’a dan dukungannya.
8. Teman-teman satu penelitian (Ita Agustriyani dan Juliani), dan sahabat
terbaik (Indy Fitria Adicita) terima kasih atas cinta, kasih sayang, dukungan,
kerja sama, semangat, dan waktunya dalam suka maupun duka.
9. Para pembahas (Dina, Ita, dan Pritha) yang telah memberikan masukan
saran, dan dukungan untuk penulis.
10. Saudara-saudariku tersayang di GMSK 40, Ira, Eva, Novera, Inna, Widi, Vivi,
Dewi, Mutia, Jowie, Wirna, Ursula, Sanya, Sendi, Yudith, Kuswan, Tirta,
Anna, dan Tintin terimakasih atas perhatian dan doanya.
11. Teman-teman GMSK 40-41, GM42, IKK42 dan para staf GMSK, atas
dorongan semangat untuk penyelesaian skripsi ini.
28
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu penulis. Penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan
dapat dijadikan sebagai perbandingan maupun penambah pengetahuan para
pembaca umumnya.
Bogor, Januari 2008
Penulis
29
DAFTAR ISI
Halaman
RIWAYAT HIDUP......................................................................................
PRAKATA..................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................
DAFTAR TABEL.........................................................................................
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
PENDAHULUAN
Latar Belakang....................................................................................... Perumusan Masalah............................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................... Kegunaan penelitian............................................................................... TINJAUAN PUSTAKA
Kecerdasan Emosional.......................................................................... Kecerdasan Emosional dan Proses Belajar........................................... Interaksi Anak dalam Keluarga..............................................................
Pendekatan Teori................................................................................... Masa Remaja......................................................................................... Karakteristik keluarga............................................................................. KERANGKA PEMIKIRAN..........................................................................
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu.................................................................... Penarikan Contoh................................................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data........................................................ Pengolahan dan Analisis Data............................................................... Definisi Operasional.............................................................................. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................................ Karakteristik Individu ............................................................................. Karakteristik Keluarga............................................................................ Interaksi dalam Keluarga........................................................................ Hubungan Contoh dengan Ayahnya................................................. Hubungan Contoh dengan Ibunya.................................................... Hubungan Ayah dan Ibu................................................................... Kualitas Hubungan ........................................................................... Kecerdasan Emosional........................................................................... Hubungan Antar Variabel.......................................................................
Hubungan Karakteristik Individu dengan Interaksi Anak dalam Keluarga........................................................................................... Hubungan Karaktersitik Keluarga dengan Interaksi Anak dalam Keluarga...........................................................................................
i
ii
iv
vi
viii
ix
1355
69
10151719
21
2424252627
28
28303236363941434649
4950
30
Hubungan Antara Interaksi Anak dalam Keluarga dengan Kecerdasan Emosional.....................................................................
Pembahasan Umum..............................................................................
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ............................................................................................ Saran ................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
LAMPIRAN…..……………………………………………………...…..………
50
51
5455
57
60
31
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Peubah, skala, jenis data, item pertanyaan, dan α Cronbach……….....
2. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin ..........................................
3. Sebaran contoh berdasarkan umur .......................................................
4. Sebaran contoh berdasarkan tujuan/cita-cita.........................................
5. Sebaran contoh berdasarkan tingkat tujuan/cita-cita.............................
6. Sebaran contoh berdasarkan besarnya uang saku per bulan..............
7. Sebaran contoh berdasarkan umur orangtua .......................................
8. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orangtua...............................
9. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orangtua ...............................
10. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per bulan ............................
11. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga .......................................
12. Sebaran contoh berdasarkan interaksi ayah dan contoh......................
13. Sebaran contoh berdasarkan tingkat interaksi ayah dan contoh...........
14. Sebaran contoh berdasarkan interaksi ibu dan contoh.......................
15. Sebaran contoh berdasarkan tingkat interaksi ibu dan contoh..............
16. Sebaran contoh berdasarkan interaksi ayah dan ibu............................
17. Sebaran contoh berdasarkan tingkat interaksi ayah dan ibu.................
18. Sebaran contoh berdasarkan kualitas hubungan..................................
19. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kualitas hubungan.......................
20. Sebaran contoh rata-rata skor ayah dan ibu dalam berinteraksi dengan keluarga.....................................................................................
21. Sebaran contoh berdasarkan berdasarkan kecerdasan emosional......
22. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecerdasan emosional................
23. Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan interaksi anak dalam keluarga..............................................................................
25
31
31
32
32
33
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
44
45 4849
50
32
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran hubungan antara interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa kelas bertaraf internasional...........
23
33
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Cara pengukuran variabel................................................................... 2. Rata-rata skor interaksi dalam keluarga dan kecerdasan emosional.. 3. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecerdasan emosional ............. 4. Tabulasi silang antar variabel.............................................................. 5. Matriks korelasi hubungan antar variabel penelitian...........................
60 62 67 68 69
34
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas merupakan salah satu
modal yang penting dalam pembangunan suatu bangsa. Suatu bangsa akan
lebih maju dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia apabila
memiliki SDM yang bermutu tinggi.
Kualitas SDM suatu bangsa dapat diukur melalui Human Development
Index (HDI). Semakin tinggi HDI suatu bangsa maka semakin tinggi kualitas.
Angka HDI diolah berdasarkan tiga dimensi yaitu kesehatan, ekonomi, dan
pendidikan. Indikator pendidikan diantaranya menyangkut angka melek huruf
(literacy rate) dan angka partisipasi pendidikan. Kualitas SDM Indonesia menurut
HDI mengalami sedikit peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 1999 angka HDI
Indonesia sebesar 64.3, sedangkan pada tahun 2002 menjadi 65.8. Data terakhir
pada tahun 2005 HDI Indonesia telah mencapai 69.6.
Pemerintah bertanggung jawab terhadap pencapaian indikator pendidikan
melalui sekolah formal. Sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional dalam
mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan
berkualitas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta berdaya tahan
terhadap pengaruh globalisasi maka diperlukan upaya untuk memaksimalkan
kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional terutama pada remaja.
Kelompok remaja yang berjumlah sekitar 22.5 persen dari jumlah
penduduk Indonesia memiliki tanggung jawab sebagai penerus pembangunan di
masa yang akan datang. Studi-studi komparatif Internasional seperti Program of
Internasional Student Assesment (PISA) pada tahun 2000 menempatkan prestasi
belajar siswa Indonesia pada peringkat yang amat rendah. Hal itu juga tercermin
dari nilai Ebtanas SMA empat tahun terakhir yang memiliki rata-rata nasional
5.46 dalam standar 0-10. Hal ini menunjukkan keprihatinan karena dapat
dikategorikan sebagai nilai kurang. Namun, di satu sisi remaja Indonesia
berprestasi dalam olimpiade fisika pada tingkat Asia dan Internasional dengan
meraih dua medali emas, satu perak, dan tiga perunggu dalam olimpiade Fisika
Asia di Almaty, Kazakhstan. Terdapat sekitar 150 pelajar dari 18 negara yang
mengikuti olimpiade fisika. Hal ini menunjukkan remaja Indonesia dapat bersaing
secara global (Kompas 2006).
Keberhasilan para remaja dalam memperoleh prestasi tidak terlepas dari
dukungan keluarga dan lingkungan sekolah dalam bentuk interaksi. Interaksi
35
sosial yang pertama kali dialami oleh anak adalah hubungan anak dengan
ibunya, kemudian meluas dengan ayah dan anggota keluarga yang lain.
Hubungan yang baik dalam keluarga antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping
anggota keluarga akan dapat terjalin dengan baik apabila komunikasi berjalan
dengan baik. Selain komunikasi, kualitas dan keeratan hubungan yang baik juga
dapat menentukan keberhasilan dan kesuksesan anak di sekolah (Freeman &
Munandar 2000).
Perkembangan intelektual anak sangat terkait erat dengan keadaan
emosionalnya. Perasaan anak terhadap diri dan kemampuan dapat berpengaruh
besar terhadap keberhasilan di sekolah. Anak yang mengalami gangguan emosi
dan sosial dapat mempengaruhi prestasi belajar dan anak membutuhkan waktu
untuk mengejar ketertinggalannya. Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan
yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan kemampuan kognitifnya,
sedangkan kecerdasan emosional adalah kecerdasan seseorang yang
berhubungan dengan kemampuan untuk mengenali, mengendalikan emosi serta
kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain sehingga akan
memberikan dampak positif bagi diri sendiri maupun orang lain.
Selama ini ada anggapan bahwa kecerdasan intelektual merupakan
faktor utama yang menentukan masa depan. Anak yang memiliki skor intelegensi
(IQ) tinggi kemungkinan besar akan diterima di sekolah yang terbaik dan kelak
akan mendapatkan pekerjaan yang baik pula di masa dewasa. Tetapi, pada
kenyataannya, pendapat ini tidak selalu berlaku demikian (Goleman 1995). Hasil
penelitian beberapa ahli yang bergerak di bidang tes kecerdasan menemukan
ada anak yang cerdas, tetapi mengalami kegagalan dibidang akademis, dalam
karir, dan juga dalam kehidupan sosialnya. Sebaliknya, anak yang memiliki taraf
kecerdasan rata-rata mencapai kesuksesan di kemudian hari. Penjelasan dari
fenomena tersebut adalah tes intelegensi hanya mengukur sebagian kecil
kemampuan manusia saja, dan belum melihat keterampilan menghadapi aneka
tantangan hidup. Faktor IQ dianggap hanya menyumbang 20 persen terhadap
keberhasilan seseorang. Sementara sisanya ditentukan oleh kemampuan
seseorang dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan yang tidak berkaitan
dengan kecerdasan intelektual, melainkan dengan tingkat kecerdasan emosinya
(Goleman 1995).
Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual dan
kecerdasan emosi saling berhubungan, dan tidak dapat dipisahkan. Sebagai
36
contoh, hasil tes IQ juga ditentukan oleh kecerdasan emosi, seperti ketekunan,
dan motivasi. Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi merupakan bagian
yang integratif dalam jiwa raga. Kecerdasan emosi merupakan faktor penentu
keberhasilan masa depan anak (Goleman 1999).
Hasil penelitian di bidang psikologi anak telah membuktikan bahwa anak-
anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi adalah anak-anak yang
bahagia, percaya diri, popular, dan lebih sukses di sekolah. Anak-anak tersebut
lebih mampu menguasai gejolak emosi, menjalin hubungan yang manis dengan
orang lain, bisa mengelola emosi, dan memiliki kesehatan mental yang baik
(Shapiro 1999). Selain itu, anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi,
oleh gurunya dipandang sebagai murid yang tekun, dan disukai oleh teman-
temannya sehingga mempengaruhi prestasi belajar.
Prestasi belajar tidak hanya ditentukan oleh faktor kecerdasan emosi
melainkan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain seperti motivasi,
konsentrasi, kesehatan jasmaniah, ambisi dan tekad, lingkungan, cara belajar,
perlengkapan dan sikap di sekolah (Thabrany & Hasbullah 1997, diacu dalam
Hulu 2004). Oleh karena itu, sekolah ikut berperan penting dalam mewujudkan
prestasi belajar anak. Dalam upaya meningkatkan pendidikan dan sesuai dengan
amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pemerintah menggulirkan program pengembangan Sekolah Nasional
Bertaraf Internasional (SNBI) di seluruh wilayah Indonesia. Sekolah bertaraf
Internasional adalah salah satu sekolah yang didirikan oleh pemerintah dengan
tujuan meningkatkan kualitas SDM. Bahasa Inggris dijadikan bahasa pengantar
dan di dukung dengan fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan sekolah
pada umumnya.
Perumusan Masalah Tuntutan globalisasi semakin mendesak Bangsa Indonesia untuk
meningkatkan SDM terutama di bidang pendidikan baik laki-laki maupun
perempuan. Human Development Index (HDI) merupakan angka untuk
mengukur kualitas SDM. HDI Indonesia pada tahun 2005 sebesar 69.6,
sedangkan di Jawa Barat 69.9. Kota Bogor sebagai salah satu wilayah di Jawa
Barat menduduki peringkat tiga tertinggi di Jawa Barat (74.3) setelah Kota Depok
(77.1), Kota Bekasi (74.6), dan Kota Bandung (74.3). HDI Kota Bogor memiliki
37
nilai yang tinggi dari tahun ke tahun, pada tahun 1999 sebesar 69.7, tahun 2002
sebesar 71.9 dan tahun 2005 sebesar 74.3 (BPS 2004).
Tahun 2004/2005 jumlah siswa SMA negeri dan swasta di Jawa Barat
sebesar 13.5 persen (459 368) dari total 33 provinsi (3 402 615). Jumlah ini
adalah jumlah terbesar dibandingkan wilayah Indonesia lainnya. Jumlah siswa
yang memasuki sekolah negeri lebih besar (249 810) dibandingkan yang
memasuki sekolah swasta (209 558) (BPS 2005).
Meningkatnya jumlah siswa menandakan semakin baiknya angka
partisipasi pendidikan guna mencapai keberhasilan belajar. Selama ini orang
beranggapan bahwa IQ merupakan satu-satunya faktor yang menentukan
keberhasilan seseorang. Namun, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
kecerdasan emosi sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual dalam
menentukan keberhasilan studi anak (Shapiro 1999).
Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI) di Jawa Barat sebanyak
12 dari 100 sekolah baik negeri maupun swasta yang terdaftar di seluruh
Indonesia (8.33%). Sekolah yang terdaftar sebagai SNBI di Jawa Barat meliputi
SMAS Krida Nusantara, SMAN 3 Bandung, SMAN 1 Subang, SMAN 2 Depok,
SMAS Cakrabuana, SMAS Lazuardi, SMAN 1 Tambun, Islamic Boarding School,
SMAN 5 Bekasi, SMAN 1 Bogor, SMAN 2 Cirebon, dan SMAN 2 Tasikmalaya
(Anonim 2006).
Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosi
siswa kelas bertaraf internasional. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab
pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimana interaksi antara anak
dalam keluarga; (2) Bagaimana kecerdasan emosional, serta; (3) Bagaimana
hubungan antara interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional
siswa kelas bertaraf internasional.
38
Tujuan Penelitian
Tujuan umum Mengetahui hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan
emosional siswa kelas bertaraf Internasional
Tujuan khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik individu, dan keluarga
2. Mengidentifikasi interaksi anak dalam keluarga
3. Mengidentifikasi kecerdasan emosional siswa kelas bertaraf internasional
4. Menganalisis hubungan antara karakteristik individu, dan keluarga
dengan interaksi anak dalam keluarga 5. Menganalisis hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan
kecerdasan emosional
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi bagi
orangtua dan pihak sekolah tentang hubungan interaksi anak dalam keluarga
dengan kecerdasan emosional siswa. Selain itu, orangtua juga dapat mengetahui
interaksi yang efektif untuk diterapkan pada remaja sehingga dapat tercipta
remaja yang memiliki perkembangan kecerdasan emosional yang baik.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah bahan pertimbangan organisasi
yang berhubungan dengan pendidikan untuk mengembangkan usaha-usaha
yang membantu perkembangan emosional anak.
39
TINJAUAN PUSTAKA
Kecerdasan Emosional Definisi Kecerdasan Emosional
Istilah kecerdasan emosi diciptakan oleh Peter Salovey dan John Mayer
1990. Kecerdasan emosional amat penting peranannya bagi seseorang karena
manusia merupakan makhluk emosi. Sering kali seseorang membuat keputusan
seharian dengan tidak berlandaskan logika tetapi karena terbawa oleh perasaan
atau emosi diri. Orang yang memiliki kecerdasan emosional rendah akan
terombang-ambing dengan perasaan yang tidak menentu, sehingga sukar dalam
membuat keputusan yang cepat (Segal 2000, diacu dalam Tanmella 2002).
Kecerdasan emosional merupakan kecerdasan emosi dan keterampilan-
keterampilan dalam mengatur emosi yang menyediakan kemampuan untuk
menyeimbangkan emosi sehingga dapat memaksimalkan kebahagiaan hidup
jangka panjang. Kehidupan emosi memang merupakan wilayah yang dapat
ditangani dengan keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi atau lebih rendah,
dan membutuhkan keahlian tersendiri (Goleman 1999).
Emosi atau perasaan merupakan suasana psikis atau suasana batin yang
dihayati seseorang pada suatu saat. Dalam kehidupan sehari-hari keduanya
sering diartikan sama. Namun, sesungguhnya perasaan menunjukkan suasana
batin yang lebih tenang, sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang
lebih dinamis, bergejolak, terbuka, dan menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah.
Emosi seperti halnya perasaan juga membentuk suatu kontinum, bergerak dari
emosi positif sampai yang bersifat negatif (Sukmadinata 2003).
Minimal ada empat ciri emosi, yaitu adanya pengalaman emosional
bersifat subjektif/pribadi, adanya perubahan aspek jasmaniah, adanya ekspresi
dari emosi dalam bentuk perilaku, dan emosi sebagai motif yang mendorong
seseorang untuk melakukan kegiatan (Sukmadinata 2003).
Emosi memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia karena
merupakan aspek dari kemampuan pengembangan pola tingkah laku seseorang.
Emosi dikatakan penting karena orang yang matang adalah orang yang telah
memiliki pengendalian dan kemandirian dalam tingkah lakunya, karena sangat
penting bagi cara pengambilan keputusan yang rasionalitas (Goleman 1999).
Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan emosional memegang
peranan dalam keberhasilan seseorang dibandingkan dengan IQ, yang sudah
40
lama dipercaya orang dapat meramalkan keberhasilan. IQ tidak dapat bekerja
dengan sebaik-baiknya tanpa kecerdasan emosional. IQ tidak menawarkan
persiapan menghadapi gejolak dan kesempatan-kesempatan atau kesulitan-
kesulitan yang ada dalam kehidupan, sedangkan orang yang secara emosional
terampil memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan.
Dengan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, individu dapat
menghadapi berbagai macam kejadian yang tidak terduga dalam kehidupannya.
Hal ini sangat menolong dalam melakukan penyelesaian dengan lingkungan dan
orang lain (Goleman 1995).
Goleman (1995) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan-kemampuan seperti mampu untuk memotivasi diri sendiri dan
bertindak gigih/bertahan menghadapi keadaan-keadaan yang frustasi;
mengendalikan dorongan hati/rangsangan dan tidak melebih-lebihkan
kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Layaknya kecerdasan kognitif, kecerdasan emosional anak-anak
ditentukan oleh kepribadian yang dibawa sewaktu anak lahir (genetik) dan
dibentuk juga oleh interaksi-interaksi dengan orangtua dan lingkungannya
(Gottman & DeClaire 1998). Oleh karena itu, orangtua dan lingkungan sekolah
sebenarnya memiliki peluang besar untuk mempengaruhi kecerdasan emosional
anak-anak dengan menolong anak mempelajari suatu emosi yang cerdas.
Menurut Sarwono (1976) pertumbuhan dan perkembangan emosi
ditentukan oleh proses pematangan dan proses belajar. Kecerdasan emosi
menurut Goleman (1995) meliputi mengenali emosi, mengelola emosi,
memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan seni membina hubungan.
Mengenali emosi diri. Adanya kesadaran akan perasaan diri sendiri
sewaktu perasaan itu terjadi dibutuhkan dalam mengenali emosi diri. Kesadaran
diri (self awarness) menurut Goleman (1995) berarti waspada baik terhadap
suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati. Penggolongan emosi
menurut Goleman (1997) yaitu amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan
(bahagia), cinta, terkejut, jengkel, dan malu.
Mengelola emosi. Pengendalian emosi dilakukan bukan dengan
menekan emosi melainkan mampu menyalurkan emosi dan mengalihkan
suasana hati melalui kegiatan positif seperti nonton, membaca buku, aerobik,
41
mandi air panas, makan makanan kegemaran, pergi berbelanja, mencoba untuk
melihat permasalahan dari sudut pandang baru, dan menolong orang lain
(Goleman 1999). Emosi yang terlalu ditekan akan tercipta kebosanan dan
kesenjangan. Emosi yang tidak dapat dikendalikan dapat menyebabkan
gangguan emosi. Bila emosi berlangsung dengan intensitas tinggi dan
melampaui titik wajar, emosi akan beralih menjadi hal-hal ekstrim yang menekan
seperti kecemasan kronis, amarah yang tidak terkendali, bahkan depresi. Tujuan
pengelolaan emosi adalah tercapainya emosi yang wajar, yang merupakan
keselarasan antara perasaan dan lingkungan. Menjaga agar emosi yang
merisaukan tetap terkendali merupakan kunci kesejahteraan emosi (Goleman
1995). Bila emosi mengalahkan konsentrasi, yang dilumpuhkan adalah
kemampuan mental yang sering disebut dengan ingatan kerja, yakni kemampuan
untuk menyimpan dalam benak semua informasi yang berkaitan dengan tugas
yang sedang dihadapi (Goleman 1995). Memotivasi diri. Memotivasi merupakan salah satu dasar kecerdasan
emosional yang akan meningkatkan keberhasilan dalam segala bidang suatu
kumpulan perasaan antusiasme, gairah, dan keyakinan diri dalam mencapai
prestasi. Banyak orang mencapai prestasi tinggi karena mempunyai tingkat
ketahanan dan ketekunan yang bergantung pada sifat emosional antusiasme
serta kegigihan menghadapi tantangan (Goleman 1995). Orang dapat menjadi
tahan dan tekun dalam mengerjakan sesuatu jika menunda kepuasan
sementara. Emosi-emosi seperti kepuasan pada hasil kerja dapat mendorong
untuk berprestasi. Kecerdasan emosional mempunyai kemampuan yang
mendalam untuk mempengaruhi semua kemampuan lain, baik memperlancar
maupun menghambat kemampuan-kemampuan lain (Goleman 1995).
Mengenali emosi orang lain. Empati adalah kemampuan untuk
mengetahui perasaan orang lain. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri.
Semakin terbuka seseorang terhadap emosinya sendiri, semakin terampil
membaca perasaan. Kegagalan untuk mengetahui perasaan orang lain
merupakan kekurangan utama dalam kecerdasan emosional. Cara untuk
menunjukan empati adalah mengidentifikasikan perasaan orang lain, yaitu
dengan menempatkan diri secara emosional pada posisi orang lain (Goleman
1995). Seni membina hubungan. Mampu memahami emosi orang lain
merupakan inti membina hubungan yang merupakan salah satu aspek dari
42
kecerdasan emosi. Untuk dapat menangani emosi orang lain dibutuhkan
keterampilan emosional yang lain yaitu manajemen diri dan empati. Dengan
landasan itu, keterampilan berhubungan dengan orang lain akan menjadi
matang. Kemampuan sosial seperti ini memungkinkan seseorang membentuk
hubungan, untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina kedekatan
hubungan, meyakinkan, mempengaruhi, dan membuat orang lain merasa
nyaman (Goleman 1995).
Berangkat dari dua keterampilan emosi dasar dalam menangani emosi
orang lain, maka kunci kecakapan sosial adalah seberapa baik atau buruk
seseorang mengungkapkan perasaan diri sendiri. Semakin terampil seseorang
secara sosial, semakin baik mengendalikan emosi (Goleman 1995).
Kecerdasan Emosional dan Proses Belajar
Perkembangan intelektual anak sangat terkait erat dengan keadaan
emosionalnya. Perasaan anak terhadap diri dan kemampuan dapat berpengaruh
besar terhadap keberhasilan di sekolah. Anak yang mengalami gangguan emosi
dan sosial dapat mempengaruhi prestasi belajar dan anak butuh waktu untuk
mengejar ketertinggalan. Pendapat ini diperkuat oleh Freeman dan Munandar
(2002) bahwa masalah emosional bisa mengganggu kegiatan belajar. Menurut
Schaefer dan DiGeronimo ada anak-anak yang tidak cukup dewasa dalam
perkembangannya untuk bisa mengikuti pelajaran dengan baik, mungkin anak
sebenarnya cukup pintar, hanya karena ketertinggalan perkembangan emosional
dan sosial membuat anak bisa tinggal kelas (Nakita 2001).
Hasil riset menunjukkan bahwa anak-anak cerdas bisa menyesuaikan diri
secara emosional, lebih baik daripada anak-anak biasa. Anak lebih sedikit
mempunyai masalah-masalah emosional dan lebih mampu mengatasi masalah
yang dihadapinya. Secara emosional anak yang cerdas lebih stabil dan lebih
matang dibanding teman-teman seusianya, anak cerdas lebih bergembira,dan
lebih antusias terhadap hidup (Beck 1998).
Goleman (1995) menjelaskan bahwa EQ lebih utama daripada
kemampuan kognitif. Ketika seseorang terganggu emosi sulit baginya untuk
berpikir jernih, mengingat, konsentrasi belajar dan kapasitas intelektualnya
terganggu. Hasil penelitian Terman, anak yang EQ nya tinggi punya prestasi
yang baik, yaitu lebih original, lebih ulet, lebih bermotivasi untuk dapat
berprestasi yang paling baik. Selain itu juga lebih baik dalam penyesuaian sosial,
43
sehingga dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik (Monk, Knoers,
Haditono 1987)
Sukiat (1986) menyatakan bahwa anak-anak yang berhasil dan dapat
berprestasi secara optimal, memiliki ciri–ciri antara lain punya tanggung jawab
pribadi yang lebih besar dan bersikap positif dalam hubungan dengan orang lain,
kurang punya hambatan emosional, serta mampu mengatasi hambatan-
hambatan yang berhubungan dengan taraf perkembangan fisik.
Anak-anak cerdas ada yang memiliki sifat lincah, bisa bergaul dengan
siapapun, sangat bersahabat, tetapi ada juga yang pemalu dan suka menyendiri
(Freeman & Munandar 2000). Hari pertama anak masuk sekolah, anak-anak
cerdas lebih mandiri dan cukup dalam pelajaran-pelajaran. Umumnya sangat
peka terhadap orang lain, terlebih pada kedua orang tua.
Pengaruh teman sangat penting bagi perkembangan emosi dan
intelektual anak (Freeman & Munandar 2000). Anak-anak yang tidak memiliki
teman lebih suka tumbuh menjadi orang dewasa yang stabil dan seimbang.
Selain itu, anak-anak yang cerdas menerima banyak simpati dan kasih sayang
serta memiliki kemampuan beradaptasi, dan suka berteman. Anak-anak yang
memiliki bakat untuk bergaul memiliki banyak teman dan mudah mengerti
perasaan anak-anak lain, meskipun tidak berarti lebih cerdas daripada teman-
teman yang lain.
Puspitawati (2006) menyatakan bahwa faktor pendukung yang
berkontribusi signifikan secara langsung dalam mempengaruhi kenakalan pelajar
adalah tingkat hubungan dengan teman-temannya. Pelajar bersama-sama
dengan teman seusianya merasa memiliki keterkaitan dan hubungan atau
emotional bonding dengan peer grupnya, sehingga tercipta suatu perasaan
ikatan kesamaan baik tujuan, nasib, pengalaman, maupun motivasi hidup. Ikatan
perasaan inilah kemudian melahirkan adanya komitmen bersama dalam
melakukan tindakan.
Interaksi Anak Dalam Keluarga Orangtua berperan besar dalam perkembangan kepribadian anak.
Orangtua menjadi faktor dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut
menentukan corak dan gambaran seseorang setelah dewasa. Jadi gambaran
kepribadian yang terlihat dan diperlihatkan seorang remaja banyak ditentukan
oleh keadaan dan proses yang ada dan yang terjadi sebelumnya (Gunarsa &
Gunarsa 1990).
44
Sikap orangtua mempengaruhi cara orangtua memperlakukan anak dan
perlakuan orangtua terhadap anak sebaliknya mempengaruhi sikap dan perilaku
anak terhadap orangtua. Pada dasarnya hubungan orangtua-anak tergantung
pada sikap orangtua. Sikap orangtua sangat menentukan hubungan keluarga.
Sekali hubungan terbentuk, maka cenderung bertahan. Orangtua yang
mempunyai kemampuan yang baik tentu akan mempunyai cara, sikap, dan
waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak. Tingkah laku orangtua
dapat mempengaruhi dalam pembinaan anak-anak. Hubungan yang baik dalam
keluarga antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota keluarga akan
dapat terjalin dengan baik apabila komunikasi berjalan dengan baik dalam
lingkungan keluarga (Effendi et al 1995, diacu dalam Kunarti 2004).
Interaksi sosial yang pertama kali dialami oleh anak adalah hubungan
anak dengan ibunya, kemudian meluas dengan ayah dan anggota keluarga yang
lain. Dalam pemberian stimulasi mental pada anak maka peran seorang ibu
untuk pengasuhan anak sangat besar. Interaksi ibu-anak sebagai suatu pola
perilaku yang mengikat ibu dan anak secara timbal balik yang mencakup
berbagai upaya keluarga secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Puspitawati (2006) dalam penelitiannya mengindikasikan orangtua yang
berkompeten adalah yang melakukan pengasuhan dengan hangat dan
mendukung, menghargai anaknya, mencintai anaknya, melakukan kegiatan
bersama, menanyakan pendapat, dan membantu memecahkan masalah
bersama. Gaya pengasuhan yang dilakukan baik oleh ibu maupun ayah
merupakan variabel mediator antara keadaan sosial-ekonomi keluarga dan
outcome pelajar di SMK TI dan SMU (tingkat penghargaan diri, tingkat
kecerdasan emosional, dan perilaku kenakalan pelajar).
Ilmu sosiologi menggunakan pendekatan bahwa hubungan antar manusia
harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan antar manusia saling
mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang
diungkapkan, informasi yang dibagi, dan semangat yang disumbangkan. Model
interaksi dari proses komunikasi juga menunjukkan perkembangan peran (role
development), pengambilan peran (role-taking) dan pengembangan diri sendiri
(development of self) karena manusia berkembang melalui interaksi sosialnya.
Komunikasi manusia juga terjadi dalam konteks budaya tertentu, mempunyai
batas-batas tertentu. Keluarga mempunyai interaksi yang memberikan ikatan
45
bonding (hubungan biologis dan hubungan intergenerasi serta ikatan
kekerabatan) yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kelompok sosial
lainnya. Interaksi dalam keluarga ini lebih dipandang sebagai suatu interaksi
umum antar anggota keluarga, suatu seri interaksi yang dilakukan oleh kedua
belah pihak (dyadic), sejumlah interaksi antara sub-kelompok keluarga: dyadic,
triadic, tetradic, dan sistem hubungan internal keluarga sebagai reaksi terhadap
sistem sosial yang lebih luas ( Klein dan White 1996, diacu dalam Puspitawati
2006).
Hubungan diadik antara orangtua dan anak dibagi menjadi dimensi
kehangatan dan kekasaran. Hubungan diadik adalah hubungan dua arah antara
dua individu yang mengindikasikan aspek pengaruh individu yang diakibatkan
karena kontak hubungan. Penelitian Puspitawati (2006) menunjukkan bahwa
lebih dari tiga perempat jumlah contoh dari sekolah negeri maupun sekolah
swasta melaporkan adanya hubungan yang hangat dan mendukung dari pihak
ayah maupun ibu terhadap anaknya. Sikap tersebut tercermin dari perilaku ayah
dan ibu dalam hal menanyakan pendapat, mendengarkan pendapat, menghargai
pendapat, memberikan kepedulian, mencintai dengan hangat, membantu
pekerjaan, tertawa bersama, bertindak sportif dan pengertian, dan menyatakan
cinta kepada anaknya. Hubungan diadik antara orangtua dan anak adalah
hubungan timbal balik dua arah yang didasari oleh perasaan dan perilaku saling
menyayangi, menolong atau membenci antara satu dengan yang lainnya.
Merujuk pada Rohner (1986) bahwa perilaku kekasaran orangtua
mengarah pada tindakan penolakan, kasar, dan keras dari orangtua terhadap
anaknya. Pada penelitian Puspitawati (2006) ditemukan bahwa kurang dari
setengah jumlah contoh dari sekolah negeri maupun swasta mendapatkan
perlakuan dan hubungan yang keras dan kasar dari orangtuanya. Hal tersebut
tercermin dari perlaku orangtua yang mengancam, membuat perasaan bersalah,
memukul, menarik rambut, bertengkar, menangis, tersedu-sedu apabila tidak
puas dengan perbuatan anaknya, menyindir atau sumpah serapah, berbicara
dengan kasar, dan memanggil dengan panggilan yang jelek terhadap anaknya.
Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini dikarenakan
semakin melemahnya kualitas komunikasi antara anggota keluarga sehingga
memudarnya fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak
luar. Pengaruh luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan
46
teknologi komunikasi di era informasi globalisasi (Susanto-Sunario 1995, diacu
dalam Puspitawati 2006).
Komunikasi dan interaksi dalam keluarga adalah bagian dari proses
sosialisasi anak yang dilakukan oleh orangtua. Ada tiga hal yang harus
diperhatikan dalam proses sosialisasi, yaitu: pola perilaku yang disosialisasikan,
agen yang berpartisipasi dalam proses sosialisasi (termasuk orangtua, anak,
teman, guru), dan teknik pelaksananan dari proses sosialisasi (Kalish dan Collier
1981, diacu dalam Puspitawati 2006). Kreppner dan Lerner (Zeitlin 1995)
mengemukakan pendapat bahwa keluarga merupakan suatu sistem yang
menekankan pada dimensi interaksi keluarga, suatu seri dari interaksi timbal
balik dua arah, dan gabungan dari interaksi dari semua sub kelompok keluarga,
dan suatu sistem hubungan internal yang menyangkut dukungan sosial, dan
hubungan intergenerasi.
Suatu sikap yang sering terlihat pada orangtua yang lupa bahwa anaknya
yang mulai menginjak remaja, justru membutuhkan lebih banyak waktu dan
perhatian untuk menciptakan hubungan timbal balik, hubungan komunikatif dan
dialogis, agar permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh remaja
memperoleh bantuan, dorongan, dan dukungan dari orangtua untuk
mengatasinya (Gunarsa & Gunarsa 2004).
Orangtua diharapkan memiliki kesadaran penuh dalam membimbing
remaja dalam memperoleh nilai-nilai sebagai pegangan hidup. Hal ini bisa
dicapai dengan pemeliharaan hubungan baik antara orangtua dan remaja, dan
kesempatan yang cukup banyak untuk berbicara antara orangtua dan remaja.
Anak yang menghadapi masalah, baik kecil maupun besar mengidamkan
orangtua sebagai tempat bernaung yang dapat diperoleh melalui komunikasi.
Komunikasi akan terbentuk bila hubungan timbal balik selalu terjalin antara ayah,
ibu, dan remaja. Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk
menciptakan komunikasi antara orangtua dan anak, sebab dengan adanya waktu
bersama, barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan diantara anggota
keluarga(Gunarsa & Gunarsa 2004).
Kualitas Hubungan Antar Anggota Keluarga Hubungan antar pribadi dalam keluarga yang meliputi hubungan antara
anak dengan tokoh yang dekat dalam kehidupannya berpengaruh besar
terhadap perkembangan kepribadian anak yang dalam hal-hal tertentu bisa
menjadi sumber permasalahan perilaku anak. Hubungan kasih sayang antara
47
orangtua dan anak akan mendekatkan anak dengan orangtuanya, memudahkan
orangtua memberikan hadiah dan hukuman yang sepadan jika anak berbuat
tidak baik. Anak juga akan lebih mudah menerima nilai-nilai orangtua dan
menirunya (Gunarsa & Gunarsa 2004).
Eratnya keterikatan antara anak dengan orang dewasa yang ada dalam
rumah tangga bisa berbeda-beda, sesuai dengan intensitas jalinan hubungan
antara orangtua dan anak. Rasa cemas yang sering dialami anak dapat
meningkatkan intensitas keterikatan, karena anak dapat memperoleh perasaan
aman kedekatan dengan ibu atau pengasuhnya. Akan tetapi hubungan antara
orangtua dan anak yang terlalu dekat dapat menyebabkan anak tidak mau lepas
dan anak akan menjadi sangat bergantung pada orangtuanya. Sebaliknya jika
hubungan antara keduanya renggang atau orangtua bersikap acuh tak acuh
terhadap anaknya menyebabkan dalam diri anak timbul reaksi frustasi, begitu
juga jika orangtua terlalu keras terhadap anaknya dapat menyebabkan hubungan
menjadi jauh(Gunarsa & Gunarsa 2004).
Pengasuhan Berbicara mengenai pengasuhan, ditemukan adanya korelasi antara
pengasuhan dengan kemampuan kontrol diri anak. Perilaku anak dipengaruhi
oleh perlakuan orang tua terhadap dirinya. Orangtua yang menerapkan
pengasuhan dengan gaya permisif akan menyebabkan kurangnya kemampuan
kontrol diri pada diri anak-anaknya, dan sebaliknya. Adapun pengasuhan anak
dan kurangnya kontrol diri pada anak-anak dapat disebabkan oleh faktor-faktor
lainnya seperti kecenderungan genetik, kemiskinan atau lingkungan sosial dan
sejarah keluarga (Santrock dan Yussen 1989).
Schaefer (Hughes dan Noppe 1985) menyoroti dimensi pengasuhan dari
perpaduan baik sisi tingkatan afeksi maupun sisi kekuasaan (power) yang
dijabarkan ke dalam dua dimensi yang kontinyu yaitu cinta (hangat, diterima, dan
diakui) versus kekerasan (dingin, ditolak, dan tidak diakui), dan otonomi (bebas
dan fleksibel) versus kontrol (posesif dan rigid). Hampir sama dengan Schaefer,
Rohner (1986) menyebutkan pola pengasuhan yang terdiri atas: kehangatan
kasih sayang orangtua (parental acceptance) yang meliputi dua ekspresi yaitu
secara fisik (seperti memeluk, mencium, membelai, dan tersenyum) dan secara
verbal (memuji, dan mengatakan hal-hal yang menyenangkan), dan penolakan
orangtua (parental rejection) yang meliputi sikap: (a) kekerasan dan agresi
(hostility dan agression) dengan ciri memukul, menendang, mendorong,
48
meremehkan, dan memberi kata-kata kasar, (2) sikap tidak peduli dan melalaikan
(indifference dan neglect) dengan ciri ketidakmampuan orangtua secara fisik dan
psikologi dalam memenuhi kebutuhan anak, dan mengabaikan, serta (c)
penolakan (unindifference rejection) dengan ciri tidak dicintai, tidak diinginkan
dari penolakan orangtua tanpa adanya indikator yang secara jelas verbal
maupun fisik.
Pendekatan Teori Pendekatan struktural-fungsional menekankan pada keseimbangan
sistem yang stabil dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam
masyarakat. Eshleman (1991, Gelles (1995) dan Newman dan Grauerholz (2002)
menyatakan bahwa pendekatan teori struktural fungsional dapat digunakan
dalam menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi dengan baik untuk
menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat. Adapun Farington dan Chertok
(Boss et al 1993) menyatakan bahwa konsep keseimbangan mengarah kepada
konsep homeostatis suatu organisme yaitu suatu kemampuan untuk memelihara
kestabilan agar kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik meskipun
didalamnya mengakomodasi adanya adaptasi dengan lingkungan.
Penerapan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari
struktur dan peraturan yang diterapkan. Chapman (2000) menyatakan bahwa
keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk
anak-anak agar dapat belajar untuk mandiri. Tanpa aturan atau fungsi yang
dijalankan oleh unit keluarga maka unit keluarga tersebut tidak memiliki arti yang
dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Bahkan dengan tidak adanya peraturan
maka akan tumbuh atau terbentuk suatu generasi penerus yang tidak
mempunyai daya kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai masalah
emosional serta hidup tanpa arah.
Prasyarat dalam teori struktural fungsional menjadikan suatu keharusan
yang harus ada agar keseimbangan sistem tercapai, baik pada tingkat
masyarakat maupun tingkat keluarga. Levy (Megawangi 1999) menyatakan
bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat
berfungsi, yaitu meliputi : (1) diferensisasi peran yaitu alokasi peran/tugas dan
aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) alokasi solidaritas yang
menyangkut distribusi relasi antara anggota keluarga, (3) alokasi ekonomi yang
menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai
tujuan keluarga, (4) alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam
49
keluarga, dan (5) alokasi integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/teknik
sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada
setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.
Saxton (1990) menyatakan bahwa keluarga berperan dalam menciptakan
stabilitas, pemeliharaan, kesetiaan dan dukungan bagi anggotanya. Namun
apabila fungsi keluarga tersebut tidak dapat dilakukan dengan optimal, maka
akan timbul berbagai hal negatif baik bagi anggota keluarga itu sendiri maupun
bagi masyarakat.
Teori sistem mempunyai pengertian dan konsep yang sama dengan teori
struktural-fungsional, namun teori sistem lebih menekankan pada beroperasinya
hubungan antara satu set dengan set yang lainnya, sedangkan teori struktural-
fungsional lebih menekankan pada mekanisme struktur dan fungsi dalam
mempertahankan keseimbangan struktur, Kedua teori tersebut terkadang
dipandang sebagai teori yang sama, dan keduanya diterapkan pada analisis
kehiduoan keluarga. Pendekatan teori sistem sosial diperkenalkan oleh seorang
ahli ekonomi Adam Smith yang menyangkut adanya konsep kesatuan dan saling
ketergantungan antar individu dan masyarakat (Campbell 1981). Pendekatan ini
digunakan dalam menganalisis keluarga dengan menerapkan konsep keluarga
sebagai ekosistem dan keluarga sebagai suatu sistem sosial. Keluarga sebagai
suatu sistem terdiri dari suatu set bagian berbeda, namun berhubungan dan
saling tergantung satu dengan yang lainnya.. Keluarga juga menerapkan praktek
komunikasi antar organisasi yang menyangkut kemampuan manusia dan
perilakunya dalam menggunakan bahasa dan penafsiran simbol-simbol yang
berkaitan dengan sistem sosial di sekelilingnya (Ruben 1988; Nisjar dan Winardi
1997).
Bronfenbrenner (1981) menyajikan model pandangan dari segi ekologi
dalam mengerti sosialisasi anak-anak. Model tersebut menempatkan posisi anak
atau keluarga inti pada pusat didalam model yang secara langsung dapat
berinteraksi dengan lingkungan yang berada disekitarnya, yaitu lingkungan
mikrosistem yang merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi
keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Lingkungan yang lebih luas
disebut lingkungan mesosistem yang berupa hubungan antara lingkungan
mikrosistem satu dengan mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan antara
lingkungan keluarga dengan sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan
keluarga dengan teman sebayanya. Lingkungan yang lebih luas disebut
50
lingkungan exosistem yang merupakan lingkungan anak tidak secara langsung
mempunyai peran secara aktif , misalnya lingkungan keluarga besar atau
lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah
lingkungan makrosistem yang merupakan tingkatan paling luas yang meliputi
struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum.
Masa Remaja Steinberg (2001) menyatakan bahwa masa remaja merupakan suatu
masa yang menyenangkan dalam rentang kehidupan manusia, remaja menjadi
individu yang telah dapat membuat keputusan-keputusan yang baik bagi dirinya
sendiri dan dipandang telah mampu untuk bekerja serta mempersiapkan
perkawinan. Santrock (1998) mengemukakan bahwa bersamaan dengan
berkembangnya aspek kognitif, sering muncul perbedaan pendapat dengan
orang tua atau orang dewasa lainnya. Remaja tidak lagi memandang orang tua
sebagai sosok manusia yang mengetahui segalanya, sehingga banyak orang
berpikir bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh dengan pertentangan
dan menolak nilai-nilai yang digariskan oleh orang tuanya.
Bila dilihat dari keseluruhan perjalanan dan perkembangan hidup
manusia, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa masa remaja adalah
masa yang paling menarik dan paling banyak mendapat perhatian, karena
sifatnya yang khas dan perannya yang cukup menentukan dalam kehidupan
individu dan dalam masyarakat (Sarwono S W 2003). Sebagian masyarakat ada
yang memandang bahwa remaja merupakan kelompok yang biasa-biasa saja
tidak berbeda dengan kelompok orang-orang lainnya. Ada juga orang yang
memandang bahwa remaja merupakan kelompok yang sering membuat masalah
dalam masyarakat. Ada juga yang berpendapat bahwa remaja merupakan
generasi penerus bangsa sehingga potensinya perlu dimanfaatkan (Monks
1987).
Para ahli psikologi pada umumnya membagi masa remaja menjadi
beberapa fase seperti diungkapkan oleh Monks (1987) yaitu fase remaja awal
usia antara 12-15 tahun, fase remaja pertengahan berusia antara 15-18 tahun
dan fase remaja akhir berusia antara 18-21 tahun. Pada remaja awal biasanya
ditandai oleh adanya pertumbuhan fisik yang cukup. Pada remaja pertengahan
biasanya sudah mulai mengembangkan cara berpikir yang lebih baik, sudah
mulai melakukan peran-peran orang dewasa dan berpandangan realistik,
sedangkan individu yang berada pada masa remaja akhir biasanya ditandai oleh
51
telah selesainya persiapan-persiapan menjadi orang dewasa dan masa ini
dipandang sebagai masa konsolidasi.
Masa remaja merupakan masa yang paling potensial dalam kehidupan
manusia karena memasuki umur dengan penuh vitalitas dalam melakukan
berbagai aktivitas. Ada lima aspek menurut Gymnastiar yang harus diperhatikan
dalam mempelajari remaja, yaitu kondisi fisik, kebebasan emosi, interaksi sosial,
dan pengetahuan tentang kemampuan diri, dan penguasaan diri terhadap nilai-
nilai moral dan agama (MQS 2004).
Tujuan Hidup dan Cita-Cita
Remaja biasanya memiliki minat tertentu dalam kehidupannya. Minat
yang paling penting dan paling universal pada remaja salah satunya adalah
minat terhadap pendidikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap remaja
terhadap pendidikan yaitu sikap teman sebaya, sikap orangtua, nilai-nilai,
relevansi atau nilai praktis dari berbagai mata pelajaran, sikap terhadap guru,
keberhasilan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, derajat dukungan sosial di
antara teman-teman sekolah. Prestasi yang baik dapat memberikan kepuasan
pribadi dan ketenaran. Hal ini menyebabkan prestasi baik dalam olahraga,
akademik ataupun prestasi lainnya menjadi minat yang kuat sepanjang masa
remaja (Hurlock 1980).
Minat remaja pada pekerjaan sangat mempengaruhi besarnya minat
mereka terhadap pendidikan. Pendidikan tinggi dianggap sebagai batu loncatan
untuk meraih pekerjaan. Pada umumnya remaja lebih menaruh minat pada
pelajaran-pelajaran yang nantinya dapat bermanfaat dalam bidang pekerjaan
yang dipilihnya. Remaja terutama anak sekolah menengah atas, mulai
memikirkan masa depan dengan bersungguh-sungguh. Anak laki-laki lebih
bersungguh-sungguh dalam hal pekerjaan dibandingkan anak perempuan yang
memandang pekerjaan sebagai pengisi waktu luang sebelum pernikahan (Al-
Mighwar 2006).
Cita-cita merupakan perwujudan dari minat, yang berkaitan dengan masa
depan yang direncanakan seseorang dalam menentukan pilihannya, baik yang
berkaitan dengan masalah teman hidup, pekerjaan, jenjang pendidikan, atau hal
lain yang berkaitan dengan dirinya kelak. Selama masa remaja, minat dan cita-
cita terus berkembang. Minat atau cita-cita remaja awal terhadap sekolah dan
jabatan banyak dipengaruhi oleh minat orangtua dan kelompoknya. Remaja awal
akan berminat pada sekolah yang menghantarkannya ke perguruan tinggi dan
52
menuju cita-cita jabatannya jika orangtua dan kelompoknya berorientasi ke sana.
Ane Roe dalam Al-Mighwar (2006) menyatakan bahwa pola pendidikan orangtua
mempunyai pengaruh yang besar terhadap pilihan jabatan. Pada masa remaja
akhir, minat dan cita-cita pendidikan atau jabatan telah mantap. Sehingga faktor
yang mempengaruhi pemilihan cita-cita yaitu minat dan aspirasi sendiri, minat
dan aspirasi orangtua, kesan-kesan teman sebaya.
Karakteristik Keluarga Keluarga adalah tempat yang paling penting bagi anak dalam
memperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar menjadi orang yang
berhasil. Keluarga khususnya orang tua bertanggung jawab dalam menjaga,
menumbuhkan, dan mengembangkan anggota-anggotanya. Herni (2000) dan
Wade (2004) menyatakan bahwa pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan orang
tua sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar anak. Keluarga merupakan
lingkungan pertama kali dikenal oleh anak dan tempat anak dididik. Segala nilai-
nilai dan norma-norma dalam keluarga akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Karakteristik keluarga diantaranya meliputi tingkat
pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan, dan besar keluarga.
Tingkat Pendidikan Orangtua Setiap orang memiliki tIngkat pendidikan yang berbeda-beda, baik dari
segi jenis maupun kualitas. Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyatakan tingkat
pendidikan orangtua baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi komunikasi antara orangtua dan anak dalam lingkungan
keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki pendidikan
formal yang rendah dan tidak bekerja memiliki partisipasi yang sedikit pada
segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas sekolah anaknya
dibandingkan dengan orangtua yang berpendidikan tinggi. Hal ini secara tidak
langsung akan berpengaruh pada prestasi belajar anak karena orangtua
berperan sebagai pengetahuan/disiplin, pengembangan karir, memberikan
fasilitas belajar , dan pembentukan karakter anak.
Pendapatan Keluarga Salah satu faktor yang penting pada kehidupan keluarga adalah keadaan
sosial ekonomi, yang berpengaruh pada kehidupan mental dan fisik individu yang
berada dalam keluarga. Ekonomi keluarga akan digunakan sebagai salah
satunya pemeliharaan anak dalam keluarga. Adanya kondisi keluarga yang
memiliki tingkat pendapatan rendah menyebabkan orangtua memperlakukan
53
anak dengan kurang perhatian, penghargaan, pujian untuk berbuat baik yang
mengikuti peraturan, kurangnya latihan dari penanaman nilai moral (Gunarsa &
Gunarsa 2000)
Jenis Pekerjaan Peranan orangtua terhadap pengasuhan anak sangat dibutuhkan,
seorang ayah sebaiknya tidak menyerahkan tugas membimbing anak hanya
kepada ibunya saja. Ibu masa kini disamping mengurus rumah tangga, juga
sibuk bekerja diluar rumah, baik di organisasi maupun bekerja untuk menambah
pendapatan keluarga (Santoso & Karyadi 1986, diacu dalam Tanmella 2002).
Besar Keluarga Semakin banyak anggota keluarga maka jumlah interaksi interpersonal
yang terjadi akan semakin banyak dan kompleks (Guhardja, Puspitawati, Hartoyo
&Hastuti 1992). Adanya kepadatan dalam keluarga akan mengganggu pola dan
corak hubungan antar anggota keluarga sehingga jaringan komunikasi antara
anggota keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya (Gunarsa & Gunarsa
2000).
54
KERANGKA PEMIKIRAN
Bronfenbrenner (1981) menyajikan model pandangan dari segi ekologi
dalam memahami proses sosialisasi pada anak. Model tersebut menempatkan
posisi anak pada pusat di dalam model yang secara langsung dapat berinteraksi
dengan lingkungan yang berada disekitarnya yang meliputi lingkungan
mikrosistem, mesosistem, dan makrosistem. Lingkungan mikrosistem merupakan
lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman
sebaya, dan tetangga. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan
mesosistem yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan
mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga
dengan sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman
sebayanya. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan exosistem yang
merupakan lingkungan anak tidak secara langsung mempunyai peran secara
aktif , misalnya lingkungan keluarga besar atau lingkungan pemerintahan.
Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah lingkungan makrosistem yang
merupakan tingkatan paling luas yang meliputi struktur sosial budaya suatu
bangsa secara umum.
Perkembangan intelektual atau kecerdasan anak sangat terkait erat
dengan keadaan emosionalnya. Perasaan anak terhadap diri sendiri dan
terhadap kemampuan dapat berpengaruh besar terhadap keberhasilan di
sekolah. Anak yang mengalami gangguan emosi dan sosialnya dapat
mempengaruhi prestasi belajarnya dan anak butuh waktu untuk mengejar
ketertinggalannya. Hasil penelitian Terman, anak yang kecerdasan emosionalnya
(EQ) tinggi punya prestasi yang baik, lebih ulet, lebih bermotivasi untuk dapat
berprestasi yang paling baik. Selain itu anak akan dapat melakukan penyesuaian
sosia dengan lebih baikl, sehingga dapat menyelesaikan pendidikannya dengan
lebih memuaskan.
Freeman & Munandar (2000) mengungkapkan bahwa anak-anak akan
menunjukkan prestasi terbaiknya di sekolah jika orangtua dan guru bekerjasama
secara harmonis. Orangtua yang kehilangan keterlibatan dalam keberhasilan dan
kesuksesan sekolah anak dapat menyebabkan anak merasakan bahwa orangtua
tidak menghargai keberhasilannya sehingga berakibat anak tidak termotivasi
untuk mencapainya. Hasil penelitian Hidayanti (1998) menyatakan bahwa pada
anak yang memiliki prestasi tinggi, motivasi belajar, hubungan interaksi siswa
55
dengan orangtua dan gurunya sangat berpengaruh pada pola belajar siswa
tersebut.
Interaksi anak terhadap keluarga yang terdiri dari pengasuhan yang
dilakukan orangtua kepada anak dan kualitas hubungan sangat erat
hubungannya dengan kecerdasan emosional yang dipengaruhi oleh karakteristik
individu, dan keluarga. Beberapa faktor individu yang diduga dapat berpengaruh
terhadap kecerdasan emosional adalah jenis kelamin, usia, cita-cita/tujuan, dan
uang jajan. Faktor keluarga yang diduga dapat berpengaruh terhadap
kecerdasan emosional adalah umur orangtua, tingkat pendidikan orangtua,
pendapatan orangtua, jenis pekerjaan orangtua, dan besar keluarga yang dapat
dihubungkan dengan interaksi anak dalam keluarga. Latar belakang keluarga
misalnya karakteristik sosial ekonomi keluarga, tingkat pendidikan orangtua dan
posisi sosial orangtua menjadi determinan dari perkembangan kreativitas anak
dan penyebab yang sangat kuat terhadap pencapaian prestasi akademik. Latar
belakang status sosial ekonomi yang baik mempengaruhi terhadap peningkatan
pencapaian pendidikan (Thonthowi 1991, diacu dalam Hulu 2004).
Secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan
interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa. Lebih
jelasnya mengenai hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan
emosional siswa dapat dilihat pada Gambar 1.
56
Karakteristik contoh: • Jenis kelamin • Umur • Cita-cita/ tujuan • Uang saku
Karakteristik keluarga: • Umur orangtua • Tingkat pendidikan orangtua • Jenis pekerjaan orangtua • Pendapatan orangtua • Besar keluarga
Interaksi dalam keluarga: • Hubungan contoh dengan ayah • Hubungan contoh dengan ibu • Hubungan ayah dengan ibu • Kualitas hubungan
Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa kelas bertaraf internasional
Kecerdasan emosional
60
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu
Desain penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di
SMAN 1 Bogor, Kota Bogor Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dilakukan
secara Purposive dengan pertimbangan sekolah tersebut adalah satu-satunya
sekolah bertaraf internasional di Kota Bogor. Waktu penelitian berlangsung bulan
April hingga Juli 2007.
Penarikan Contoh
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas internasional di
SMAN 1 Bogor. Contoh diperoleh dengan menggunakan sensus yaitu meneliti
seluruh siswa kelas bertaraf internasional di sekolah tersebut. Total sampel
penelitian yang akan diambil adalah seluruh siswa di Kelas X dan XI yaitu
sebanyak 73 siswa seperti yang terlihat pada kerangka sampel berikut ini.
Sekolah di Kota Bogor
SMAN 1
Kelas Bertaraf Internasional
Kelas X Kelas XI
12 Laki-laki 24 Perempuan 12 Laki-laki 25 Perempuan
Gambar 2. Kerangka sampling penelitian
purposive
purposive
purposive
sensus
61
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Tabel 1 Peubah, skala, jenis data, item pertanyaan, dan α Cronbach
No Peubah Skala Jenis Data Pertanyaan
α Cronbach
1 Karakteristik individu Nominal primer Jenis kelamin Nominal primer Umur Rasio primer Cita-cita/tujuan Ordinal primer 10 0.657 Uang jajan Rasio primer
2 Karakteristik Keluarga Tingkat pendidikan ayah/ibu Ordinal primer Pendapatan Ordinal primer Pekerjaan ayah/ibu Nominal primer Besar keluarga Rasio primer
3 Interaksi dalam keluarga 86 0.682 Hubungan ayah dan contoh Ordinal primer 18 0.893 Hubungan ibu dan contoh Ordinal primer 18 0.693 Hubungan ayah dan ibu Ordinal primer 18 0.882 Kualitas hubungan Ordinal primer 6 0.892
4 Kecerdasan emosional Ordinal primer 25 0.715
Tabel 1 menjelaskan mengenai peubah, skala, jenis data, jumlah item
pertanyaan, dan α cronbach dari variabel yang diteliti. Adapun cara pengukuran
variabel disajikan pada Lampiran 1. Data yang digunakan untuk penelitian ini
meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: (1) Karakteristik
contoh; (2) Karakteristik keluarga contoh; (3) interaksi yang dilakukan contoh;
dan (4) kecerdasan emosional. Data sekunder adalah profil SMAN 1.
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, skoring, entry
data ke komputer, cleaning data dan analisis data dengan bantuan komputer
menggunakan program Microsoft Excel 2003 dan SPSS versi 13.0 for Windows.
Uji coba kuesioner sebelum pengumpulan data dilakukan, untuk mengetahui
pilihan bentuk kuesioner (pernyataan atau pertanyaan), kedalaman pertanyaan,
ketepatan pemilihan kata, dapat tidaknya suatu pertanyaan ditanyakan, pilihan
jawaban yang dimungkinkan, serta lama maksimal wawancara dan mengukur
reliabilitas kuesioner (alpha cronbach).
Data karakteristik contoh terdiri dari jenis kelamin, usia, tujuan hidup, dan
besarnya uang saku. Tujuan hidup di kategorikan menjadi tidak penting (<24),
cukup penting (24-37), dan sangat penting (>37) berdasarkan sebaran interval.
Uang saku dikategorikan menjadi Rp 150 000-300 000, Rp 300 001-450 000, Rp
450 001-600 000, dan Rp >600 001.
Data karakteristik keluarga contoh terdiri dari umur orangtua, pendidikan
orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan orangtua, dan besar keluarga.
62
Pendidikan orangtua dikategorikan berdasarkan lama pendidikan yang ditempuh
atau jumlah tahun pendidikan (tidak sekolah, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA,
D3, S1, S2, dan S3). Pekerjaan orangtua dikelompokkan menjadi PNS, Pegawai
BUMN, TINI/Polri, Pegawai swasta, Wiraswasta, Ibu rumahtangga, dan lainnya.
Pendapatan keluarga dikelompokkan menjadi tujuh macam yaitu: <Rp 1 000 001,
Rp 1 000 001-2 000 000, Rp 2 000 001-3 000 000, Rp 3 000 001-4 000 000, Rp
4 000 001-5 000 000, Rp 5 000 001-6 000 001, dan Rp >6 000 000. Besar
keluarga dikelompokkan menjadi keluarga kecil (<4), sedang (5-6), dan besar
(>6).
Data interaksi yang dilakukan contoh dalam keluarga dikategorikan
menjadi kurang baik, cukup baik, dan baik serta tidak puas, cukup puas, dan
puas. Data kecerdasan emosional contoh dikategorikan menjadi rendah, sedang,
dan tinggi. Uji beda dilakukan untuk melihat adanya perbedaan variabel
dependent dan independent antara Kelas X dan Kelas XI, uji beda yang
digunakan adalah uji beda Mann-Whitney untuk skala data yang bersifat ordinal.
Analisis korelasi Rank Spearman dilakukan untuk melihat hubungan antar
variabel yang diteliti.
63
Definisi Operasional Karakteristik individu adalah ciri-ciri khas contoh yang diteliti yang meliputi
jenis kelamin, umur, tujuan hidup dan cita-cita, dan uang saku.
Contoh adalah siswa yang berusia 12-17 tahun siswa di kelas bertaraf
internasional.
Tujuan dan cita-cita adalah hal yang dianggap penting untuk dicapai di masa
depan (goals) yang berhubungan dengan pendidikan tinggi, etos kerja,
kepemilikan material, budi pekerti, dan menghindari masalah.
Karakteristik keluarga adalah keadaan keluarga yang meliputi umur orangtua,
tingkat pendidikan orangtua, jenis pekerjaan orangtua, pendapatan total
keluarga, dan besar keluarga.
Besar keluarga adalah jumlah orang yang memiliki hubungan keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu, dan anak dan hidup dari sumberdaya yang sama.
Pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan tertinggi yang dilalui oleh
orangtua.
Pekerjaan orangtua adalah pekerjaan utama yang dilakukan oleh orangtua
yang memberikan penghasilan terbesar.
Pendapatan total orangtua adalah jumlah uang yang diterima anggota
keluarga, dapat berasal dari kepala keluarga, istri, anak, anggota
keluarga yang lain, maupun sumbangan setiap bulannya.
Interaksi dalam keluarga adalah tindakan konkrit yang terjalin antara contoh
dengan orangtua yang meliputi pengasuhan (hubungan kehangatan dan
kekasaran) ayah-anak, ibu-anak, dan ayah-ibu; keeratan hubungan;
komunikasi; dan kualitas hubungan.
Pengasuhan (kehangatan dan kekerasan) adalah praktek yang biasa
dilakukan orangtua dalam mendidik dan mengasuh contoh yang banyak
dilandasi oleh perilaku mencintai, menanyakan pendapat, menghargai,
mendukung, mempedulikan, marah, mengkritik, membentak, bertengkar,
dan memukul baik hubungan ayah dan anak, hubungan ibu dan anak,
serta hubungan ayah dan ibu.
Kualitas Hubungan adalah perasaan puas dan bahagia yang dirasakan contoh
dalam berhubungan dengan orangtua baik hubungan ayah dan anak,
hubungan ibu dan anak, serta hubungan ayah dan ibu..
64
Kecerdasan emosional adalah kemampuan contoh dalam mengenali emosi,
mengelola emosi, memotivasi diri, berempati, dan kemampuan membina
hubungan dengan orang lain.
65
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Sekolah Menengah Atas Negeri 1 (SMAN1) Bogor merupakan satu-
satunya Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI) di Kota Bogor yang
beralamat di Jl Ir H Juanda No 16 Kelurahan Paledang, Kecamatan Kota Bogor
Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat (Anonim 2006). Sekolah ini dikepalai
oleh Drs H Agus Suherman. Tenaga pengajar terdiri dari 56 orang guru tetap,
dan 14 orang guru tidak tetap. Sarana dan prasarana yang dimiliki yaitu tanah
dan halaman sekolah dengan status milik Negara dan memiliki luas tanah 3 135
meter persegi, lapangan olahraga dan upacara 480 meter persegi dan pagar 30
meter. Gedung bangunan sekolah yang dimiliki status milik Negara dengan luas
bangunan 1 619 meter persegi. Bangunan terdiri dari satu ruang kepala sekolah,
satu ruang tata usaha, satu ruang guru, dua ruang perpustakaan, satu ruang
Bimbingan Konseling (BK), satu ruang dapur, 18 ruang Kelas, satu ruang
laboratorium komputer, dua ruang laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA),
dua ruang musholla, delapan ruang Organisasi Intra Sekolah (OSIS), tujuh ruang
sanitasi, satu lokal kantin sekolah, satu ruang koperasi, satu ruang Unit
Kesehatan Sekolah (UKS), satu ruang gedung, satu ruang penjaga sekolah, satu
ruang laboratorium bahasa, satu ruang broadcast, dan satu ruang seni.
Kegiatan ekstrakurikuler terdiri dari ekstrakurikuler akademik dan non
akademik. Ekstrakurikuler akademik meliputi kegiatan komputer, Kelompok
Ilmiah Remaja, Praktikum IPA, dan kelompok Bahasa Inggris. Kegiatan
ekstrakurikuler non akademik meliputi pembinaan terhadap Tuhan YME,
pembinaan berbangsa dan bernegara, pembinaan pendidikan pendahuluan bela
Negara, pembinaan kepribadian dan budi pekerti luhur, pembinaan
berorganisasi, pendidikan politik dan kepemimpinan, pembinaan keterampilan
kewirausahaan, pembinaan kesegaran jasmani dan daya kreasi, pembinaan
persepsi, apresiasi dan kreasi seni. Kegiatan ekstrakurikuler non akademik
dilaksanakan melalui wadah Organisasi Intra Sekolah (OSIS), Dewan Keluarga
Masjid (DKM), Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), Pecinta Alam (PA), Palang Merah
Remaja (PMR), Pramuka, Olah Raga dan Seni, serta perkumpulan bela diri.
Kurikulum yang diterapkan pada SNBI menggunakan kurikulum 2004 plus
dengan penambahan jam pelajaran MIPA untuk pengembangan penelitian
ilmiah. Bahasa pengantar yang digunakan berupa 40 persen bahasa Inggris
untuk Kelas X, 60 persen untuk Kelas XI, dan 80 persen untuk Kelas XII. Sarana
66
dan prasarana yang disediakan untuk Kelas Rintisan Bertaraf Internasional
adalah ruang belajar memakai Air Conditioner (AC), sarana belajar berbasis
Information and Communication Technology (ICT) seperti laptop terhubung
internet, Liquid Crystal Display (LCD), Overhead Projektor (OHP), Laboratorium
komputer, bahasa, fisika, kimia, dan biologi.
Keunggulan SMAN 1 adalah terletak pada kualitas sumberdaya manusia
atau siswa yang masuk ke sekolah. Batas nilai ebtanas murni (NEM) terendah
yang dapat diterima di sekolah ini pada setiap tahun adalah tertinggi di Kota
Bogor. Pada tahun 2007, Pass In Grade SMAN 1 Bogor adalah 28,13 dari total
nilai 30 yang berasal dari tiga mata ajaran yaitu Matematika, Bahasa Indonesia
dan Bahasa Inggris . Sebagian besar siswa berasal dari keluarga yang mampu
dengan tingkat pendidikan orang tua rata-rata tinggi (lulusan atau pernah
menempuh Perguruan Tinggi). Potensi unggulan lainnya adalah SMAN 1
memiliki lokasi sekolah yang strategis.
Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI) adalah suatu program
pendidikan yang bertujuan agar sekolah memiliki budaya untuk terus menerus
melakukan peningkatan mutu layanan pendidikan, meningkatkan mutu
pembelajaran dan standar kompetensi bertaraf internasional, dan agar siswa
mendapatkan pengakuan dan perlakuan sama dengan sekolah internasional lain
di dunia untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri (Dinas Pendidikan 2005).
Pada tahun 2006 terdapat seratus sekolah yang menyelenggarakan program ini
yang tersebar di seluruh Indonesia. Di Kota Bogor, program SNBI baru
dilaksanakan di SMAN 1.
Program SNBI mengintegrasikan kurikulum nasional dengan kurikulum
internasional. Proses belajar mengajar menggunakan metode yang bervariasi
dan menekankan pada contectual teaching learning yang merupakan konsep
pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan antara materi ajar dengan
situasi dunia nyata siswa, yang dapat mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dipelajari dengan penerapannya dalam kehidupan.
Salah satu bentuknya adalah outdoor teaching misalnya ke museum. Jam belajar
per hari pada Kelas ini juga lebih lama dibandingkan dengan Kelas biasa karena
terdapat tambahan jam belajar untuk mata pelajaran MIPA .
67
Karakteristik Individu
Jenis Kelamin Contoh pada penelitian ini berjumlah 73 orang dengan proporsi 36 orang
Kelas X dan 37 orang Kelas XI. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa
lebih dari separuh contoh berjenis kelamin perempuan baik pada Kelas X
(66.7%) maupun XI (67.6%).
Tabel 2 Sebaran contoh Kelas X dan XI berdasarkan jenis kelamin (n=73)
Jenis Kelamin Kelas X Kelas XI n % n %
Laki-laki 12 33.3 12 32.4Perempuan 24 66.7 25 67.6Total 36 100.0 37 100.0
Umur
Umur contoh termasuk ke dalam kategori remaja yang berkisar antara 15-
18 tahun. Menurut Monks (1987) fase remaja yang berkisar antara 15-18 tahun
disebut fase remaja pertengahan. Pada remaja pertengahan biasanya sudah
mulai mengembangkan cara berpikir yang lebih baik, mulai melakukan peran-
peran orang dewasa dan berpandangan realistik. Tabel 3 menjelaskan bahwa
persentase terbesar umur contoh pada Kelas X yaitu 16 tahun (61.1%),
sedangkan pada Kelas XI yaitu 17 tahun (70.3%). Sebaran contoh berdasarkan
umur contoh disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan umur (n=73)
Umur (Tahun) Kelas X Kelas XI n % n %
15 6 16.7 1 2.716 22 61.1 4 10.817 8 22.2 26 70.318 0 0.0 6 16.2
Total 36 100.0 37 100.0Min 15 15 Max 17 18 Rata-rata ± SD 16.01 ±0.6 17.0 ±0.6
Tujuan Hidup dan Cita-cita Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa sebagian besar
contoh baik Kelas X (83.3%) maupun XI (97.3%) mempunyai tujuan hidup dan
cita-cita yang dianggap sangat penting. Sebagian besar contoh (91.8%)
menganggap sangat penting untuk mempunyai cita-cita meneruskan ke
perguruan tinggi. Menuntut ilmu hingga perguruan tinggi menjadi tujuan terbesar
contoh. Prinsip-prinsip yang berhubungan dengan etos kerja yang baik seperti
68
belajar rajin agar nilainya bagus, belajar keras dan tekun, serta beraktivitas di
sekolah dengan baik dianggap penting bahkan sangat penting oleh lebih dari
separuh contoh.
Proporsi terbesar contoh juga menganggap sangat penting tujuan hidup
yang berhubungan dengan kebaikan budi pekerti yang meliputi berbakti pada
orangtua dan guru, bertanggung jawab atas perbuatannya, dan berteman
dengan baik. Adapun tujuan hidup yang berkaitan dengan kemapanan status
sosial seperti menabung dan hidup hemat juga dianggap penting oleh lebih dari
separuh contoh (53.4%). Proporsi terbesar contoh (36.9%) menganggap sangat
penting menghindari masalah di sekolah, sedangkan sepertiga contoh (35.6%)
menyatakan hidup bersenang-senang adalah kurang penting. Sebaran contoh
berdasarkan tingkat tujuan dan cita-cita dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan tujuan dan cita-cita (n=73)
Pernyataan Persentase (%) A B C D E
1. Meneruskan ke perguruan tinggi 0.0 0.0 0.0 8.2 91.82. Belajar yang rajin agar nilainya bagus 0.0 1.4 9.6 57.5 31.53. Bekerja keras dan belajar tekun 0.0 0.0 11.0 43.8 45.24. Beraktivitas disekolah dengan baik 0.0 1.4 9.6 52.1 37.05. Berbakti pada orangtua dan guru 0.0 0.0 1.4 38.4 60.36. Bertanggung jawab atas perbuatan kita 0.0 0.0 2.7 38.4 58.97. Berteman yang baik 0.0 0.0 2.7 38.4 58.98. Menghindari masalah disekolah 2.7 2.7 24.7 32.9 37.09. Hidup bersenang-senang 15.1 35.6 27.4 20.6 1.410.Menabung dan hidup hemat 0.0 0.0 12.3 53.4 34.3
Keterangan: A:Tidak penting B:Kurang penting C:Cukup penting D:Penting E:Sangat penting. Apabila skor tujuan/cita-cita dikategorikan menjadi tiga, maka persentase
terbesar contoh baik Kelas X maupun Kelas XI menganggap tujuan hidup
menjadi sangat penting. Hal ini dapat dikatakan bahwa contoh telah memiliki
tujuan dan orientasi yang jelas mengenai hal-hal yang penting untuk dilakukan di
masa depan. Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara tujuan hidup contoh kedua Kelas.
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan tingkat tujuan dan cita-cita (n=73)
Tujuan Hidup dan Cita-cita Kelas X Kelas XI n % n %
Tidak Penting (<24) 0 0.0 0 0.0Cukup Penting (24-37) 6 16.7 1 2.7Sangat Penting (>37) 30 83.3 36 97.3Total 36 100.0 37 100.0Min 34 36 Max 48 48 Rata-rata ± SD 42.4 ±4.0 42.0 ±2.8 p-value 0.679
69
Uang Saku Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase terbesar uang saku per bulan
contoh baik pada Kelas X maupun XI berada pada kisaran Rp 300 001-450 000.
Rata-rata uang saku per bulan yang diterima contoh Kelas XI lebih tinggi (Rp 460
945.95) dibandingkan dengan uang saku per bulan Kelas X (Rp 441 527.78). Hal
ini diduga kegiatan dan kebutuhan Kelas XI lebih besar dibandingkan Kelas X.
Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
uang saku contoh kedua Kelas.
Tabel 6 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan besarnya uang saku per bulan (n=73)
Uang saku Bulanan Siswa (Rupiah)
Kelas X Kelas XI n % n %
150 000-300 000 13 36.1 8 21.6300 001-450 000 14 38.9 12 32.4450 001-600 000 5 13.9 12 32.4>600 001 4 11.1 5 13.5Total 36 100.0 37 100.0Min 200 000 150 000 Max 1 500 000 750 000 Rata-rata ± SD 441 527.8 ±239 096.0 460 945.9 ±175 846.5 p-value 0.693
Karakteristik Keluarga
Umur Orangtua Tabel 7 berikut ini menjelaskan sebaran contoh berdasarkan umur orangtua.
Tabel 7 Sebaran contoh Kelas X dan XI berdasarkan umur orangtua (n=73)
Umur Orangtua (Tahun) Kelas X Kelas XI n % n %
Ayah 36-40 0 0.0 0 0.041-45 13 37.1 12 33.346-50 18 51.4 16 44.451-55 2 5.7 8 22.256-60 2 5.7 0 0.0Total 35 100.0 36 100.0Min 41 42 Max 60 55 Ibu 36-40 10 27.8 5 13.541-45 18 50.0 22 59.546-50 7 19.4 6 16.251-55 1 2.8 4 10.8Total 36 100.0 37 100.0Min 37 36 Max 51 52
70
Proporsi terbesar contoh memiliki ayah yang berumur 46-50 tahun
(51.4% Kelas X dan 44.4% Kelas XI), dan ibu yang berumur 41-45 tahun (50.0%
Kelas X dan 59.5% Kelas XI). Sebagian besar contoh Kelas X dan Kelas XI
mempunyai orangtua yang berada pada kelompok umur produktif yaitu pada
rentang umur antara 36-55 tahun. Umur ayah contoh yang berada pada
kelompok umur lansia (lebih dari 55 tahun) ditemukan pada contoh Kelas X yaitu
5.7 persen, sedangkan pada contoh Kelas XI tidak ditemukan umur ayah yang
lanjut usia.
Pendidikan Orangtua Pendidikan formal merupakan segala sesuatu (proses belajar mengajar)
yang diupayakan untuk mengubah segenap perilaku seseorang (Gunarsa dan
Gunarsa, 2004). Pendidikan orang tua dikelompokkan menjadi delapan tingkat,
yaitu tidak sekolah, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, D3, S1, S2, dan S3.
Berdasarkan pada Tabel 8, dapat dilihat bahwa pendidikan ayah contoh pada
Kelas XI lebih tinggi (S2) dibandingkan Kelas X (S1). Hal ini berbeda dengan
tingkat pendidikan ibu. Persentase terbesar pendidikan tertinggi ibu contoh baik
pada Kelas X maupun Kelas XI yaitu S1.
Tabel 8 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan pendidikan orangtua
Pendidikan Orangtua Kelas X Kelas XI n % n %
Ayah 0 0.0 0 0.0Tidak Sekolah 0 0.0 0 0.0Tamat SD 0 0.0 0 0.0Tamat SMP 0 0.0 0 0.0Tamat SMA 3 8.3 1 2.8D3 2 5.6 1 2.8S1 11 30.6 13 36.1S2 10 27.8 14 38.9S3 10 27.8 7 19.4Total 36 100.0 36 100.0Ibu Tidak Sekolah 0 0.0 0 0.0Tamat SD 0 0.0 0 0.0Tamat SMP 2 5.6 1 2.7Tamat SMA 8 22.2 9 24.3D3 5 13.9 6 16.2S1 14 38.9 13 35.1S2 3 8.3 7 18.9S3 4 11.1 1 2.7Total 36 100.0 37 100.0
71
Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyatakan tingkat pendidikan orangtua
baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi komunikasi
antara orangtua dan anak dalam lingkungan keluarga. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa orang yang memiliki pendidikan formal yang tinggi dan
bekerja, tingkat partisipasi pada segala sesuatu yang berhubungan dengan
aktivitas sekolah anaknya lebih banyak dibandingkan dengan orangtua yang
berpendidikan rendah. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada
prestasi belajar anak karena orangtua berperan sebagai sumber
pengetahuan/disiplin, pengembangan karir, memberikan fasilitas belajar dan
pembentukan karakter anak.
Pekerjaan Orangtua Pekerjaan ayah contoh pada Kelas X lebih bervariasi daripada Kelas XI.
Kategori pekerjaan ayah contoh terdiri dari PNS, pegawai BUMN, TNI/Polri,
pegawai swasta, wiraswasta, dan lainnya seperti dokter, bankir, direktur
keuangan, arsitek developer, konsultan, dan notaris. Tabel 9 menunjukkan
bahwa proporsi terbesar ayah contoh bekerja sebagai PNS (45.7% Kelas X dan
50.0% Kelas XI).
Proporsi terbesar ibu contoh pada kedua Kelas tidak bekerja atau
sebagai ibu rumahtangga (Tabel 9). Selebihnya sebagai PNS, pegawai BUMN,
pegawai swasta, wiraswasta, dan lainnya seperti psikolog dan notaris. Ibu masa
kini disamping mengurus rumahtangga, juga sibuk bekerja diluar rumah, baik di
organisasi maupun bekerja untuk menambah pendapatan keluarga (Santoso &
Karyadi 1986, diacu dalam Tanmella 2002).
Tabel 9 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan pekerjaan orangtua
Pekerjaan Orangtua Kelas X Kelas XI n % n %
Ayah PNS 16 45.7 18 50.0Pegawai BUMN 4 11.4 0 0.0TNI/Polri 1 2.9 0 0.0Pegawai Swasta Wiraswasta Lainnya
734
20.08.6
11.4
12 2 4
33.35.6
11.1Total 35 100.0 36 100.0Ibu PNS 14 38.9 11 29.7Pegawai BUMN 1 2.8 1 2.7Pegawai Swasta 2 5.6 0 0.0Wiraswasta 5 13.9 1 2.7Ibu Rumahtangga 14 38.9 22 59.5Lainnya 0 0.0 2 5.4
72
Total 36 100.0 37 100.0 Pendapatan Keluarga
Salah satu faktor yang penting pada kehidupan keluarga adalah keadaan
sosial ekonomi, yang berpengaruh pada kehidupan mental dan fisik individu yang
berada dalam keluarga. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa
pendapatan keluarga pada kedua Kelas menyebar normal dengan kisaran
Rp 1 000 001 sampai lebih dari Rp 6 000 000. Persentase terbesar pendapatan
keluarga kedua Kelas yaitu terletak pada kisaran Rp >6 000 000 (47.2% untuk
Kelas X dan 40.5% untuk Kelas XI). Besarnya pendapatan yang diperoleh
keluarga berhubungan dengan pendidikan akhir orangtua dan mempengaruhi
interaksi dalam keluarga. Adanya kondisi keluarga yang memiliki tingkat
pendapatan tinggi menyebabkan orangtua memperlakukan anak dengan lebih
perhatian, penghargaan, pujian untuk berbuat baik yang mengikuti peraturan,
dan latihan dari penanaman nilai moral (Gunarsa & Gunarsa 2000).
Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara pendapatan keluarga contoh pada kedua Kelas. Sebaran contoh
berdasarkan pendapatan per bulan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan pendapatan keluarga per bulan (n=73)
Pendapatan Keluarga(Rupiah/Bulan) Kelas X Kelas XI n % n %
<1 000 001 0 0.0 0 0.01 000 001-2 000 000 6 16.7 6 16.22 000 001-3 000 000 4 11.1 6 16.23 000 001-4 000 000 5 13.9 6 16.24 000 001-5 000 000 2 5.6 1 2.75 000 001-6 000 000 2 5.6 3 8.1>6 000 000 17 47.2 15 40.5Total 36 100.0 37 100.0
Besar Keluarga
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi jumlah anggota keluarga
contoh terbesar sebanyak empat orang yang terdiri dari orangtua dan dua orang
anak. Merujuk pada standar BKKBN, maka dapat dikatakan bahwa proporsi
terbesar contoh s(55.6% pada Kelas X dan 48.7% Kelas XI) berasal dari
keluarga kecil (BKKBN, 1997).
Semakin banyak anggota keluarga maka jumlah interaksi interpersonal
yang terjadi akan semakin banyak dan kompleks (Guhardja, Puspitawati, Hartoyo
73
& Hastuti 1992). Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara besar keluarga contoh kedua Kelas.
Tabel 11 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan besar keluarga
Besar Keluarga (orang) Kelas X Kelas XI n % n %
Kecil (≤4) 20 55.6 18 48.7Sedang (5-6) 15 41.7 18 48.7Tinggi (>6) 1 2.8 1 2.7Total 36 100.0 37 100.0Min 3 3 Max 9 7 Rata-rata ± SD 4.5 ±1.1 4.6 ±0.8 p-value 0.583
Interaksi dalam Keluarga
Hubungan Contoh dengan Ayahnya Hubungan yang terjadi antara contoh dengan ayah didasari oleh
perasaan dan perilaku saling menyayangi, menolong atau membentak dan
berlaku kasar atau berlaku kasar antara satu dengan lainnya (Tabel 12). Pada
penelitian ini ada dua dimensi yang mendasari hubungan antara orangtua dan
anaknya yaitu dimensi kehangatan dan kekasaran. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa proporsi terbesar contoh melaporkan adanya hubungan yang baik dengan
ayahnya. Sepertiga contoh (36.6%) menyatakan bahwa ayahnya cukup
mempedulikan masalah yang dihadapi walaupun jarang sekali berbuat sesuatu
yang membuat contoh merasa dicintai (39.4%). Selain itu, 35.2 persen contoh
menyatakan jarang sekali mendiskusikan dan membantu apabila contoh
membutuhkan sesuatu (39.4%).
Hubungan yang baik antara ayah dan anaknya menyebabkan adanya
hubungan timbal balik yang baik juga antara anak dan ayahnya. Kondisi tersebut
terlihat dari perilaku contoh dalam hal memberikan kepedulian, mencintai dengan
hangat, mendiskusikan sesuatu, dan membantu pekerjaan atau sesuatu.
Hubungan antara contoh dan ayah menunjukkan bahwa proporsi terbesar contoh
cukup mempedulikan (40.9%), melakukan sesuatu yang membuat ayah merasa
dicintai (60.6%), dan mendiskusikan sesuatu (35.2%) kepada ayahnya meskipun
jarang sekali membantu ayah (45.1%).
Dimensi kekasaran yang mengarah pada tindakan penolakan, dan
kekasaran dari orangtua kepada anak disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan
tabel tersebut dapat diketahui bahwa kurang dari setengah jumlah contoh jarang
sekali mendapatkan perlakuan dan hubungan yang keras dan kasar dari
74
ayahnya. Hal ini tercermin dari proporsi terbesar contoh yang menyatakan bahwa
ayahnya jarang sekali marah-marah dan cukup mengkritik (45.1%), membentak
(47.9%), dan bertengkar (39.4%). Sebagian besar contoh (78.9%) menyatakan
bahwa ayahnya tidak pernah memukul ataupun menampar. Proporsi terbesar
contoh menyatakan bahwa ayahnya jarang sekali marah-marah, membentak
(47.9%), dan bertengkar (39.4%), dan cukup mengkritik (45.1%). Sebagian besar
contoh (78.9%) menyatakan bahwa ayahnya tidak pernah memukul ataupun
menampar. Adanya hubungan timbal balik antara ayah dan anak yaitu kekasaran
yang dilakukan ayah menyebabkan adanya hubungan kekasaran pula yang
dilakukan contoh. Tabel 12 menjelaskan bahwa contoh jarang sekali marah-
marah (39.4%), dan mengkritik (36.6%) ayahnya. Lebih dari separuh contoh
(63.4%) tidak pernah membentak ayahnya dengan marah, dan bertengkar
dengan ayah (47.9%). Hampir seluruh contoh (98.6%) tidak pernah memukul
atau menampar ayahnya.
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan hubungan ayah dan contoh (n=71)
Pernyataan Persentase (%) A B C D E
Perlakuan Ayah kepada Contoh Dimensi Kehangatan 1. Ayah mempedulikan masalah yang sedang
saya hadapi 23.9 26.8 36.6 12.7 0.02. Ayah berbuat sesuatu yang kemudian
membuat saya merasa dicintai 18.3 39.4 29.6 11.3 1.43. Ayah mendiskusikan sesuatu dengan saya
sehingga saya merasa dihargai 21.1 35.2 28.2 12.7 2.84. Ayah membantu saya bila saya perlu sesuatu 38.0 39.4 15.5 7.0 0.0Dimensi Kekasaran 1. Ayah marah-marah pada saya 8.5 45.1 26.8 14.1 5.62. Ayah mengkritik perbuatan saya 1.4 16.9 45.1 32.4 4.23. Ayah membentak saya dengan marah 21.1 47.9 19.7 11.3 0.04. Ayah bertengkar dengan saya 35.2 39.4 15.5 8.5 1.45. Ayah memukul atau menampar saya 78.9 18.3 2.8 0.0 0.0Perlakuan Contoh kepada Ayah Dimensi Kehangatan 1. Saya mempedulikan masalah yang sedang
ayah hadapi 11.3 29.6 40.9 15.5 2.82. Saya berbuat sesuatu yang kemudian
membuat ayah merasa dicintai 5.6 21.1 60.6 11.3 1.43. Saya mendiskusikan sesuatu dengan saya
sehingga ayah merasa dihargai 8.5 39.4 35.2 15.5 1.44. Saya membantu ayah bila ayah perlu sesuatu 19.7 45.1 29.6 4.2 1.4Dimensi Kekasaran 1. Saya marah-marah pada ayah 28.2 39.4 25.4 5.6 1.42. Saya mengkritik perbuatan ayah 16.9 36.6 29.6 15.5 1.43. Saya membentak ayah dengan marah 63.4 23.9 9.9 2.8 0.0
75
4. Saya bertengkar dengan ayah 47.9 33.8 8.5 8.5 1.45. Saya memukul atau menampar ayah 98.6 1.4 0.0 0.0 0.0
Keterangan: A: Tidak pernah, B: Jarang sekali, C: Cukup, D: Sering, E: Selalu
Secara umum, hubungan yang banyak dilakukan antara contoh dan
ayahnya yaitu dalam hal saling membantu apabila memerlukan sesuatu (dimensi
kehangatan), dan mengkritik perbuatan yang dilakukan keduanya (Lampiran 2a).
Perlakuan ayah kepada contoh yang memiliki skor terkecil yaitu dalam hal
mendiskusikan sesuatu yang membuat contoh merasa dihargai (dimensi
kehangatan), dan memukul atau menampar contoh (dimensi kekasaran),
sedangkan perlakuan contoh kepada ayahnya yang memiliki skor terkecil yaitu
dalam hal berbuat sesuatu sehingga ayah merasa dicintai (dimensi kehangatan),
dan memukul atau menampar ayah (dimensi kekasaran).
Lampiran 2a menunjukkan bahwa perlakuan ayah kepada contoh baik
dalam hal dimensi kehangatan maupun kekasaran memiliki total skor yang lebih
tinggi daripada perlakuan contoh kepada ayahnya. Hal ini memiliki arti bahwa
ayah lebih menunjukkan perlakuan yang baik kepada contoh meskipun intensitas
mengkritiknya lebih besar dibandingkan contoh. Apabila contoh dikelompokkan
menjadi tiga golongan maka lebih dari separuh contoh (71.4% Kelas X dan
66.7% Kelas XI) memiliki hubungan yang baik dengan ayahnya. Hal ini diartikan
bahwa contoh merasakan hubungan dengan ayahnya saling menghargai, peduli,
membantu jika kesulitan, dan tidak pernah memukul atau menampar. Selain itu,
28.6 persen contoh Kelas X dan 30.6 persen Kelas XI berada pada kategori
cukup baik. Artinya adalah contoh cukup dapat berinteraksi dengan ayahnya.
Namun, masih terdapat contoh yang memiliki interaksi yang kurang baik. Hal ini
diartikan bahwa contoh merasa dengan ayahnya kurang saling membantu,
kurang saling menghargai, tidak peduli, kadang-kadang ayah marah, memukul,
dan membentak. Hasil uji statistik menyatakan terdapat perbedaan yang
signifikan antara hubungan ayah dan contoh kedua Kelas.
Interaksi yang terjalin dengan baik diduga berhubungan dengan
pendidikan formal yang ditempuh ayah contoh. Gunarsa dan Gunarsa (2004)
menyatakan tingkat pendidikan orangtua baik secara langsung maupun tidak
langsung akan mempengaruhi interaksi antara orangtua dan anak dalam
lingkungan keluarga. Sebaran contoh berdasarkan tingkat hubungan ayah dan
contoh terlihat pada Tabel 13 berikut.
76
Tabel 13 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan tingkat hubungan dengan ayah dan contoh (n=71)
Hubungan Ayah dan Contoh Kelas X Kelas XI n % n %
Kurang Baik (18-42) 0 0.0 1 2.8Cukup Baik (43-66) 10 28.6 11 30.6Baik (67-90) 25 71.4 24 66.7Total 35 100.0 36 100.0Min 46 42 Max 88 80 Rata-rata ± SD 70.2±8.6 65.8 ±9.0 p-value 0.040
Hubungan Contoh dengan Ibunya
Interaksi sosial yang pertama kali dialami oleh anak adalah hubungan
anak dengan ibunya, kemudian meluas dengan ayah dan anggota keluarga yang
lain. Peran seorang ibu untuk pengasuhan anak sangat besar dalam pemberian
simulasi mental. Hubungan ibu-anak sebagai suatu pola perilaku yang mengikat
ibu dan anak secara timbal balik yang mencakup berbagai upaya keluarga yang
secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak (Gunarsa dan Gunarsa 2004).
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan kehangatan ibu terhadap
contoh tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh ayah contoh. Ibu lebih
banyak melakukan sesuatu yang membuat contoh merasa dipedulikan (50.7%),
dan dicintai (37.0%) dibandingkan yang dilakukan oleh ayah kepada contoh.
Sebaliknya, hampir separuh contoh menyatakan bahwa ibunya sering
mendiskusikan sesuatu sehingga contoh merasa dihargai (42.5%), dan
membantu contoh (45.2%) meskipun 43.8 persen contoh menyatakan ibunya
cukup marah-marah dan sering mengkritik (48.0%). Sebesar 45.2 persen contoh
jarang sekali dibentak dan bertengkar oleh ibunya. Lebih dari separuh contoh
(72.6%) menyatakan ibunya tidak pernah memukul atau menamparnya. Hampir
separuh contoh cukup peduli (42.5%), dan berbuat sesuatu yang membuat ibu
merasa dicintai (46.6%). Sepertiga contoh sering mendiskusikan sesuatu
(37.0%), dan membantu ibu (45.2%). Hampir dari separuh contoh (49.3%) jarang
sekali marah-marah, dan mengkritik ibunya (38.4%). Proporsi terbesar contoh
(56.2%) tidak pernah membentak, dan bertengkar (34.2%) dengan ibunya.
Seluruh contoh (100.0%) tidak pernah memukul ataupun menampar ibunya.
Secara umum, tidak terdapat perbedaan antara hubungan ibu kepada contoh
dengan hubungan ayah kepada contoh. Namun dalam dimensi kehangatan, ibu
77
memiliki skor tertinggi dalam mempedulikan masalah yang sedang dihadapi
contoh dibandingkan ayah. Selain itu, perlakuan ibu kepada contoh juga memiliki
total skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ayah kepada contoh
baik dalam dimensi kehangatan maupun kekasaran (Lampiran 2b). Hal ini
menunjukkan bahwa ibu memiliki hubungan yang baik dengan contoh terutama
dalam hal mempedulikan dan membantu contoh meskipun sering mengkritik
perbuatan yang dilakukan contoh. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan
interaksi dengan ibunya terdapat pada Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan interaksi dengan ibu (n=73)
Pernyataan Persentase (%) A B C D E
Perlakuan Ibu kepada Contoh Dimensi Kehangatan 1. Ibu mempedulikan masalah yang sedang
saya hadapi 0.0 5.5 15.1 28.8 50.72. Ibu berbuat sesuatu yang kemudian
membuat saya merasa dicintai 1.4 2.7 17.8 41.1 37.03. Ibu mendiskusikan sesuatu dengan saya
sehingga saya merasa dihargai 2.7 5.5 21.9 42.5 27.44. Ibu membantu saya bila saya perlu
sesuatu 1.4 4.1 8.2 45.2 41.1Dimensi Kekasaran 1. Ibu marah-marah pada saya 4.1 28.8 43.8 21.9 1.42. Ibu mengkritik perbuatan saya 2.7 11.0 35.6 48.0 2.73. Ibu membentak saya dengan marah 8.2 45.2 27.4 16.4 2.74. Ibu bertengkar dengan saya 23.3 39.7 21.9 13.7 1.45. Ibu memukul atau menampar saya 72.6 19.2 6.9 1.4 0.0Perlakuan Contoh kepada Ibu Dimensi Kehangatan 1. Saya mempedulikan masalah yang sedang
ibu hadapi 1.4 6.9 42.5 30.1 19.22. Saya berbuat sesuatu yang kemudian
membuat ibu merasa dicintai 1.4 8.2 46.6 31.5 12.33. Saya mendiskusikan sesuatu dengan ibu
sehingga ibu merasa dihargai 1.4 8.2 35.6 37.0 17.84. Saya membantu ibu bila ibu perlu sesuatu 0.0 2.7 35.6 45.2 16.4Dimensi Kekasaran 1. Saya marah-marah pada ibu 19.2 49.3 19.2 11.0 1.42. Saya mengkritik perbuatan ibu 16.4 38.4 32.9 12.3 0.03. Saya membentak ibu dengan marah 56.2 27.4 9.6 6.9 0.04. Saya bertengkar dengan ibu 34.3 35.6 19.2 9.6 1.45. Saya memukul atau menampar ibu 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Keterangan: A: Tidak pernah, B: Jarang sekali, C: Cukup, D: Sering, E: Selalu Tabel 15 menjelaskan bahwa lebih dari separuh contoh (72.2% pada
Kelas X dan 62.2% pada Kelas XI) memiliki hubungan yang baik dengan ibunya.
Hal ini berarti bahwa contoh memiliki hubungan baik dengan ibunya. Hal ini
diartikan bahwa contoh merasakan hubungan dengan ibunya saling menghargai,
78
peduli, membantu jika kesulitan, dan tidak pernah memukul atau menampar.
Sebesar 25.0 persen contoh Kelas X dan 37.8 persen Kelas XI berada pada
kategori cukup baik. Artinya adalah contoh cukup dapat berinteraksi dengan
ibunya. Namun, masih terdapat contoh yang memiliki interaksi yang kurang baik.
Hal ini menggambarkan bahwa contoh kurang dapat berinteraksi dengan ibunya.
Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara hubungan contoh dengan ibunya pada kedua kelas. Sebaran contoh
berdasarkan tingkat hubungan contoh dengan ibunya terlihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan tingkat hubungan dengan ibunya (n=73)
Hubungan Ibu dan Contoh Kelas X Kelas XI n % n %
Kurang Baik (18-42) 1 2.8 0 0.0Cukup Baik (43-66) 9 25.0 14 37.8Baik (67-90) 26 72.2 23 62.2Total 36 100.0 37 100.0Min 31 47 Max 81 83 Rata-rata ± SD 69.2±10.6 68.1 ±9.3 p-value 0.634
Hubungan Ayah dengan Ibu
Tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi pembinaan anak-anaknya.
Hubungan yang baik di dalam keluarga antara ayah, ibu, dan anak-anak akan
terjalin apabila komunikasi berjalan dengan baik (Effendi et al 1995, diacu dalam
Kunarti 2004). Proporsi terbesar contoh menunjukkan adanya hubungan yang
mendukung antara ayah dan ibu. Hasil penelitian memberikan informasi bahwa
interaksi yang selalu dilakukan oleh orangtua contoh berupa kepedulian dan
penghargaan. Ayah sedikit lebih mempedulikan masalah yang sedang dihadapi
ibu (49.3%) dibandingkan ibu (40.9%). Namun separuh contoh menyatakan
bahwa ibu (50.7%) lebih banyak mendiskusikan sesuatu kepada ayah
dibandingkan ayah kepada ibu (46.5%). Separuh contoh (50.7%) juga
menyatakan bahwa ibu selalu berbuat sesuatu yang membuat ayah merasa
dicintai meskipun ayah sering melakukan hal tersebut kepada ibu (39.4%).
Hampir separuh contoh (46.5%) menyatakan bahwa ayah selalu
membantu ibu, sedangkan ibu jarang sekali membantu ayah bila memerlukan
sesuatu. Hampir separuh contoh menyatakan ayah cukup marah-marah kepada
ibu (43.7%), dan sebaliknya (45.1%). Ayah juga cukup mengkritik (47.9%) dan
membentak ibu (52.1%) meskipun proporsi terbesar contoh menyatakan bahwa
79
ibu tidak pernah mengkritik (45.1%) dan jarang membentak ayah (59.2%).
Sebagian besar contoh menyatakan bahwa ayahnya tidak pernah
bertengkar dengan ibu (88.7%), begitu pula dengan ibu (93.0%). Lebih dari
separuh contoh menyatakan bahwa ayahnya tidak pernah memukul atau
menampar ibu (56.3%), dan hampir seluruh ibu (93.0%) tidak pernah memukul
atau menampar ayah. Secara umum, skor tertinggi hubungan yang terjadi antara
ayah dan ibu yaitu dalam hal saling mempedulikan masalah yang sedang
dihadapi (dimensi kehangatan), dan mengkritik perbuatan (dimensi kekasaran).
Namun pada perlakukan ibu kepada ayah, skor tertinggi juga terdapat dalam hal
membantu ayah jika memerlukan sesuatu. Hal ini menunjukkan hubungan yang
baik antara ayah dan ibu meskipun total skor pada dimensi kehangatan sedikit
lebih tinggi ibu daripada ayah (Lampiran 2c).
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan hubungan ayah dengan ibu (n=71)
Pernyataan Persentase (%) A B C D E
Perlakuan Ayah kepada Ibu Dimensi Kehangatan 1. Ayah mempedulikan masalah yang sedang
ibu hadapi 1.4 1.4 21.1 26.8 49.32. Ayah berbuat sesuatu yang kemudian
membuat ibu merasa dicintai 1.4 2.8 28.2 39.4 28.23. Ayah mendiskusikan sesuatu dengan ibu
sehingga ibu merasa dihargai 2.8 2.8 18.3 29.6 46.54. Ayah membantu ibu bila ibu perlu sesuatu 1.4 4.2 15.5 32.4 46.5Dimensi Kekasaran 1. Ayah marah-marah pada ibu 7.0 25.4 43.7 22.5 1.42. Ayah mengkritik perbuatan ibu 0.0 35.2 47.9 9.9 7.03. Ayah membentak ibu dengan marah 4. Ayah bertengkar dengan ibu 5. Ayah memukul atau menampar ibu
0.088.756.3
26.82.8
21.1
52.1 5.6
18.3
15.5 0.0 1.4
5.62.82.8
Perlakuan Ibu kepada Ayah Dimensi Kehangatan 1. Ibu mempedulikan masalah yang sedang
ayah hadapi 1.4 5.6 21.1 31.0 40.92. Ibu berbuat sesuatu yang kemudian
membuat ayah merasa dicintai 2.8 2.8 15.5 38.0 40.93. Ibu mendiskusikan sesuatu dengan ayah
sehingga ayah merasa dihargai 1.4 4.2 11.3 32.4 50.74. Ibu membantu ayah bila ayah perlu sesuatu 8.5 46.5 38.0 7.0 0.0Dimensi Kekasaran 1. Ibu marah-marah pada ayah 5.6 26.8 45.1 21.1 1.42. Ibu mengkritik perbuatan ayah 45.1 40.9 14.1 0.0 0.03. Ibu membentak ayah dengan marah 16.9 59.2 19.7 4.2 0.04. Ibu bertengkar dengan ayah 93.0 4.2 2.8 0.0 0.05. Ibu memukul atau menampar ayah 93.0 2.8 4.2 0.0 0.0
80
Keterangan: A: Tidak pernah, B: Jarang sekali, C: Cukup, D: Sering, E: Selalu Apabila hubungan variabel ayah dan ibu contoh dikelompokkan menjadi
tiga kategori, maka hasil menunjukkan bahwa proporsi terbesar orangtua contoh
(80.0% Kelas X dan 72.2% Kelas XI) memiliki interaksi yang baik dengan rata-
rata skor 74.1 pada Kelas X dan 71.0 pada Kelas XI (Tabel 17). Hal ini berarti
bahwa terjadi interaksi yang baik antar kedua orangtua contoh. Selain itu, 20.0
persen contoh Kelas X dan 27.8 persen Kelas XI berada pada kategori cukup
baik. Artinya adalah orangtua contoh cukup berinteraksi antara keduanya,
sedangkan interaksi yang kurang baik tidak terjadi pada kedua orangtua contoh.
Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
hubungan orangtua contoh kedua Kelas.
Tabel 17 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan tingkat interaksi ayah dan ibu pada (n=71)
Interaksi Ayah dan Ibu Kelas X Kelas XI n % n %
Kurang Baik (18-42) 0 0.0 0 0.0Cukup Baik (43-66) 7 20.0 10 27.8Baik (67-90) 28 80.0 26 72.2Total 35 100.0 36 100.0Min 58 48 Max 84 89 Rata-rata ± SD 74.1±7.1 71.0 ±10.3 p-value 0.144
Kualitas Hubungan
Hubungan kasih sayang antara orangtua dan anak akan mendekatkan
anak dengan orangtuanya, memudahkan orangtua memberikan hadiah dan
hukuman yang sepadan jika anak berbuat tidak baik. Anak juga akan lebih
mudah menerima nilai-nilai orangtua dan menirunya (Gunarsa & Gunarsa, 2004).
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa secara umum separuh
contoh pada dasarnya puas dan puas sekali terhadap keadaan hubungan antara
ayah, ibu, dan antara orangtua contoh. Proporsi terbesar contoh pada dasarnya
memiliki kategori hubungan yang memuaskan (49.3% dengan ibu dan 43.8%
dengan ayah), dan membahagiakan (46.6% dengan ibu dan 43.8% dengan
ayah). Selain itu, contoh juga menilai bahwa 52.1 persen puas dan 54.8%
bahagia mengenai hubungan antara ayah terhadap ibunya. Kualitas hubungan
yang memiliki skor terbesar yaitu contoh merasa bahagia dengan keadaan
hubungan dengan ibunya, sedangkan skor terkecil terletak pada rasa puas
contoh terhadap hubungan yang terjadi dengan ayahnya. Secara keseluruhan,
kualitas hubungan yang paling tinggi terletak pada hubungan antara contoh dan
81
ibunya, selanjutnya antara ayah dan ibu, dan terakhir dengan ayahnya (Lampiran
2d). Sebaran contoh berdasarkan kualitas hubungan dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kualitas hubungan (n=73)
Pernyataan Persentase (%) A B C D
1. Seberapa puaskah hubungan antara anda dan ibu anda? 1.4 6.9 49.3 42.5
2. Seberapa bahagiakah anda dengan keadaan hubungan anda dengan ibu anda? 1.4 6.9 45.2 46.6
3. Seberapa puaskah hubungan antara anda dan ayah anda? 5.5 8.2 43.8 42.5
4. Seberapa bahagiakah anda dengan keadaan hubungan anda dengan ayah anda? 4.1 8.2 43.8 43.8
5. Seberapa puaskah hubungan antara ayah dan ibu anda? 2.7 6.9 38.4 52.1
6. Seberapa bahagiakah anda dengan keadaan hubungan ayah dengan ibu anda? 5.5 5.5 34.3 54.8
Keterangan: A: Sangat tidak puas/tidak bahagia B: Pada dasarnya tidak puas/tidak bahagia, C: Pada dasarnya puas/bahagia, D: Puas/bahagia sekali
Tabel 19 menjelaskan bahwa lebih dari separuh contoh (66.7% Kelas X
dan 54.1% Kelas XI) memiliki kualitas hubungan yang tergolong puas dengan
orangtuanya dan rata-rata skor Kelas X sedikit lebih besar (20.1) dibandingkan
Kelas XI (19.9). Artinya contoh merasa puas/bahagia terhadap hubungannya
dengan orangtuanya. Contoh merasa bahwa orangtuanya telah memenuhi
kebutuhan secara fisik maupun secara psikologis dengan baik. Selain itu, 33.3
persen contoh Kelas X dan 37.8 persen contoh Kelas XI merasa cukup
puas/bahagia terhadap hubungan dengan orangtuanya. Hal ini berarti baik ayah
maupun ibu cukup memenuhi kebutuhan contoh baik secara fisik maupun
psikologis. Namun, masih terdapat beberapa contoh yang tidak puas/bahagia
dengan hubungannya dengan ayah dan ibu. Hal ini menandakan bahwa
orangtua tidak dapat memenuhi kebutuhan contoh baik secara fisik maupun
psikologis (Tabel 19). Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara kualitas hubungan contoh pada Kelas X dan Kelas XI.
Tabel 19 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan tingkat kualitas hubungan (n=73)
Kualitas Hubungan Kelas X Kelas XI n % n %
Tidak puas/bahagia (6-12) 0 0.0 3 8.1Cukup puas/bahagia (13-18) 12 33.3 14 37.8Puas/bahagia (19-24) 24 66.7 20 54.1Total 36 100.0 37 100.0Min 13 10 Max 24 24 Rata-rata ± SD 20.1±3.1 19.9 ±4.1 p-value 0.775
82
Berdasarkan uji beda Mann Whitney dalam pengukuran variabel interaksi
dalam keluarga, terdapat perbedaan yang nyata positif antara interaksi ayah dan
ibu dalam hal kehangatan, kekasaran, keeratan hubungan, komunikasi, dan
interaksi antara orangtua dengan contoh. Hal ini menunjukkan bahwa contoh
merasakan kehangatan, dan berinteraksi lebih banyak kepada ibu dibandingkan
kepada ayah (Tabel 20).
Tabel 20 Rata-rata skor ayah dan ibu dalam berinteraksi dengan keluarga
Variabel Interaksi dalam keluarga Nilai Rata-rata Uji Beda t (p) Ayah Ibu
Kehangatan orangtua kepada contoh 14.9 16.4 .01** Kehangatan contoh kepada orangtua 13.7 14.4 .11 Kekasaran orangtua kepada contoh 18.4 17.2 .03* Kekasaran contoh kepada orangtua 21.0 20.6 .36 Kualitas hubungan orangtua dengan contoh 6.5 6.7 3.33 Interaksi contoh dengan orangtua 117.2 124.1 .02*
** korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed). * korelasi signifikan pada level 0.05 (2-tailed).
Berdasarkan laporan contoh diketahui bahwa ibu lebih memberikan
pengasuhan yang dilandasi kehangatan lebih tinggi daripada ayah. Tabel 20
menjelaskan bahwa rata-rata interaksi contoh dengan ibu (skor rata-rata=124.1)
adalah lebih tinggi dan signifikan (p<0.05) dibandingkan interaksi contoh dengan
ayah (skor rata-rata 117.2). Hal ini dapat diartikan bahwa interaksi antara contoh
dan ibu lebih baik dibandingkan interaksi antara contoh dan ayah. Interaksi
tersebut meliputi tingginya rata-rata nilai kehangatan ibu kepada contoh, dan
rendahnya kekasaran ibu kepada contoh. Hal ini dikarenakan ibu adalah orang
terdekat dan orang yang melahirkan dan merawat anaknya sampai dewasa.
Selain itu, ibu memiliki kesempatan bersama dengan anak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ayah yang merupakan bagian dalam keluarga yang
bertugas sebagai pencari nafkah. Hal ini mendukung pernyataan Puspitawati
(2006) bahwa kontribusi peran pengasuhan yang dilakukan oleh ibu mempunyai
keistimewaan yang lebih besar dibandingkan dengan peran pengasuhan yang
dilakukan ayah.
83
Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional memegang peranan penting dalam keberhasilan
seseorang dibandingkan dengan IQ. Kecerdasan emosional yang tinggi dapat
membantu menghadapi berbagai macam kejadian yang tidak terduga dalam
kehidupannya. Hal ini sangat menolong dalam melakukan penyelesaian dengan
lingkungan dan orang lain (Goleman 1995).
Kecerdasan emosional menurut Goleman (1995) meliputi mengenali
emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan seni
membina hubungan. Adanya kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu
perasaan itu terjadi dibutuhkan dalam mengenali emosi diri. Kesadaran berarti
waspada baik terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati. Tabel
21 menjelaskan bahwa contoh lebih stabil dalam mengenali emosi diri.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa proporsi terbesar contoh dapat
mengetahui kekuatan (38.4%) dan kelemahan (43.8%) emosi yang ada pada
dirinya, mengerjakan sesuatu dengan benar (52.1%) , dan mempunyai kualitas
bagus dalam dirinya (45.2%).
Contoh cenderung dapat mengelola emosi meskipun agak sulit untuk
mengontrol dan marah ketika dikecewakan teman. Namun sepertiga contoh
(38.4%) dapat menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan amarahnya ketika
sedang bad mood dan lebih dari separuh contoh (54.8%) berusaha
menyesuaikan diri walaupun terkadang agak berat. Begitu pula dalam hal
memotivasi diri, proporsi terbesar contoh (35.6%) tidak malu meminta nasihat
kepada orangtua dalam memecahkan masalah sehingga merasa yakin dengan
diri sendiri. Proporsi terbesar contoh dapat mengenali emosi orang lain dan
dapat membina hubungan dengan baik. Proporsi terbesar contoh suka berteman
dengan siapa saja (50.7%), dan mengucapkan salam ketika berangkat ke
sekolah (75.3%). Pengendalian emosi dilakukan bukan dengan menekan emosi
melainkan mampu menyalurkan emosi dan mengalihkan suasana hati melalui
kegiatan positif seperti nonton, membaca buku, aerobik, makan makanan
kegemaran, pergi berbelanja, mencoba untuk melihat permasalahan dari sudut
pandang baru, dan menolong orang lain (Goleman 1999).
Nilai tertinggi dalam mengenali emosi diri terletak dalam hal mengetahui
kelemahan emosi, sedangkan terendah dalam hal mengerjakan sesuatu dengan
benar. Hal ini menunjukkan bahwa contoh memiliki kemampuan mengenali
emosinya dengan baik terutama dalam mengetahui kelemahan emosinya
84
meskipun dalam hal mengerjakan sesuatu dengan benar dilakukan cukup baik.
Contoh memiliki nilai yang tinggi dalam hal menyesuaikan diri walupun agak
berat dalam hal mengelola emosi, sedangkan nilai terkecil dalam hal marah
ketika dikecewakan oleh teman. Hal ini berarti bahwa contoh memiliki
kemampuan dalam mengelola emosi terutama dalam menyesuaikan diri,
meskipun mudah marah jika dikecewakan oleh teman.
Goleman (1999) menyatakan bahwa memotivasi merupakan salah satu
dasar kecerdasan emosional yang akan meningkatkan keberhasilan dalam
segala bidang suatu kumpulan perasaan antusiasme, gairah, dan keyakinan diri
dalam mencapai prestasi. Nilai tertinggi pada penelitian ini dalam hal motivasi
terletak pada masalah yang dihadapi semakin membuat contoh tidak dapat
mengenali dirinya sendiri, sedangkan nilai terendah terletak pada jadwal agenda
harian yang dimiliki contoh. Hal ini menunjukkan bahwa contoh kurang dapat
termotivasi dalam hal menghadapi masalah dan memiliki agenda harian.
Nilai empati tertinggi yang dilakukan contoh dalam hal menghormati
teman yang beribadah, sedangkan nilai terendah terletak dalam hal membuang
sampah pada tempatnya. Hal ini menunjukkan jiwa toleransi antar umat
beragama sangat baik dilakukan oleh contoh meskipun empati terhadap
kebersihan kurang baik. Seni membina hubungan yang paling tinggi dilakukan
contoh yaitu dalam hal mengucapkan salam kepada orangtua ketika akan
berangkat ke sekolah, sedangkan yang paling kecil dalam hal memulai suatu
pembicaraan terhadap orang dewasa. Hal ini berarti bahwa contoh memiliki
kemampuan membina hubungan yang baik dengan oranglain, terutama dalam
mengucapkan salam kepada orangtua meskipun cukup baik dalam memulai
suatu pembicaraan dengan oranglain (Lampiran 2e). Secara keseluruhan,
kecerdasan emosional yang paling tinggi dilakukan sebagian besar contoh yaitu
kemampuan empati dan paling rendah dalam hal memotivasi diri (Lampiran 3).
Sebaran contoh berdasarkan pernyataan kecerdasan emosional terletak pada
Tabel 21.
85
Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan kecerdasan emosional
Pernyataan Persentase (%) A B C D E
Mengenali Emosi Diri 1. Saya merasa tidak mempunyai kekuatan untuk
mengubah hal-hal yang penting dalam hidup saya 1.4 8.2 24.7 38.4 27.42. Saya selalu mengerjakan sesuatu dengan benar 0.0 4.1 52.1 42.5 1.43. Saya merasa punya kualitas bagus 1.4 9.6 34.3 45.2 9.64. Saya dapat memahami dan mengenali diri saya
sendiri 1.4 1.4 21.9 50.7 24.75. Saya mengetahui kelemahan emosi saya 1.4 6.9 16.4 43.8 31.5Mengelola Emosi Diri 1. Saya dapat mengontrol emosi saya 1.4 8.2 50.7 31.5 8.22. Dimanapun saya berada, saya berusaha untuk
menyesuaikan diri walaupun terkadang agak berat 0.0 2.7 12.3 54.8 30.13. Saya bertindak dan bersikap positif 0.0 4.1 52.1 42.5 1.44. Saya akan menghindari hal-hal yang dapat
menimbulkan amarah saya muncul ketika sedang bad mood 0.0 6.9 28.8 38.4 26.0
5. Ketika dikecewakan oleh teman, saya akan marah kepadanya 5.5 24.7 39.7 28.8 1.4
Motivasi 1. Saya tidak malu untuk minta nasihat pada orangtua
dalam memecahkan masalah-masalah saya 2.7 12.3 27.4 35.6 21.92. Masalah yang saya hadapi membuat saya semakin
tidak dapat mengenali diri saya 1.4 8.2 28.8 41.1 20.63. Saya sangat yakin pada diri saya sendiri 1.4 5.5 34.3 43.8 15.14. Saya tidak pernah berhenti belajar sampai mengerti 0.0 12.3 42.5 37.0 8.25. Saya memiliki jadwal agenda harian yang akan
dilakukan setiap harinya 17.8 32.9 30.1 11.0 8.2Empati 1. Saya membantu nenek menyeberang jalan 9.6 0.0 1.4 0.0 89.02. Saya membuang sampah ditempat sampah 15.1 0.0 11.0 0.0 74.03. Saya memberi bantuan keuangan kepada teman
yang membutuhkan sesuai kemampuan 0.0 0.0 6.9 0.0 93.24. Saya tidak ambil pusing jika teman saya membentuk
kelompok 0.0 0.0 1.4 0.0 98.65. Saya menghormati teman yang beribadah 2.7 0.0 30.1 0.0 67.1Seni Membina Hubungan 1. Mudah sekali bagi saya untuk memulai suatu
pembicaraan dengan orang dewasa 2.7 19.2 26.0 38.4 13.72. Saya selalu mengucapkan salam kepada orangtua
ketika akan berangkat ke sekolah 0.0 0.0 4.1 20.6 75.33. Saya suka berteman dengan siapa saja 2.7 0.0 8.2 38.4 50.74. Saya orang yang sangat menyenangkan dan
gampang diajak kerjasama 1.4 4.1 23.3 52.1 19.25. Saya bisa menyimpan rahasia teman 1.4 15.1 45.2 38.4 0.0
Keterangan: A: Saya sama sekali tidak seperti itu, B: Kemungkinan besar saya tidak seperti itu C: Saya antara seperti itu dan tidak seperti itu, D: Kemungkinan besar saya seperti itu E: Saya selalu seperti itu
86
Sebagian besar contoh (88.9% Kelas X dan 78.4% Kelas XI) memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi. Hal ini berarti bahwa contoh memiliki
kemampuan yang baik dalam mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi
diri, berempati, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Selain
itu, terdapat 11.1 persen contoh Kelas X dan 21.6 persen Kelas XI yang memiliki
kecerdasan emosional sedang. Hal ini menunjukkan bahwa contoh memiliki
kemampuan yang cukup baik dalam mengenali emosi, mengelola emosi,
memotivasi diri, berempati, dan kemampuan membina hubungan dengan orang
lain. Kecerdasan emosional yang rendah tidak ditemukan pada contoh baik
Kelas X maupun Kelas XI. Rata-rata kecerdasan emosi contoh Kelas X (102.0)
lebih tinggi dari Kelas XI (98.6). Namun hasil uji statistik menunjukkan tidak
terdapat perbedaan antara kecerdasan emosi keduanya.
Tabel 22 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan tingkat kecerdasan emosional (n=73)
Kecerdasan Emosional Kelas X Kelas XI n % n %
Rendah (25-58) 0 0.0 0 0.0Sedang (59-91) 4 11.1 8 21.6Tinggi (92-125) 32 88.9 29 78.4Total 36 100.0 37 100.0Min 78 75 Max 120 115 Rata-rata ± SD 102.0±10.3 98.6 ±8.8 p-value 0.127
Hubungan Antar Variabel
Hubungan Karakteristik Individu dengan Interaksi Anak dalam Keluarga
Berdasarkan uji korelasi Spearman yang dilakukan untuk melihat
hubungan karakteristik individu dengan interaksi anak dalam keluarga, terdapat
hubungan antara tujuan hidup dan cita-cita dengan interaksi yang terjadi antara
ibu dan contoh (Lampiran 5a). Semakin tinggi tujuan hidup dan cita-cita anak di
masa yang akan datang maka interaksi anak dengan ibu semakin baik.
Interaksi sosial yang pertama kali dialami oleh anak adalah hubungan
anak dengan ibunya, kemudian meluas dengan ayah dan anggota keluarga yang
lain. Peran seorang ibu untuk pengasuhan anak sangat besar dalam pemberian
simulasi mental. Hubungan ibu-anak sebagai suatu pola perilaku yang mengikat
ibu dan anak secara timbal balik yang mencakup berbagai upaya keluarga yang
secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak (Gunarsa dan Gunarsa 2004).
87
Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Interaksi Anak dalam Keluarga Karakteristik keluarga contoh meliputi umur ayah dan ibu, tingkat
pendidikan ayah dan ibu, jenis pekerjaan ayah dan ibu, pendapatan keluarga per
bulan, dan besar keluarga. Interaksi anak dalam keluarga terdiri dari pengasuhan
yang bersifat warmth support, dan kualitas hubungan orangtua.
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan antara umur ayah dan ibu dengan interaksi anak dalam
keluarga. Tetapi umur ayah, dan tingkat pendidikan ayah memiliki hubungan
yang positif dengan umur ibu, dan tingkat pendidikan ibu. Hal ini menunjukkan
homogenitas yang dimiliki contoh tinggi sehingga tidak cukup varian untuk
membuktikannya.
Tabel 23 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan interaksi anak dalam keluarga
** korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed). * korelasi signifikan pada level 0.05 (2-tailed). Hubungan Interaksi Anak dalam Keluarga dengan Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional ditentukan oleh kepribadian yang dibawa sewaktu
lahir (genetik), dan dibentuk juga oleh interaksi-interaksi dengan orangtua dan
lingkungannya. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa hubungan
antara ayah dan contoh, ibu dan contoh, kualitas hubungan, dan interaksi anak
dalam keluarga mempunyai hubungan yang nyata positif dengan kecerdasan
emosional. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi hubungan antara ayah
dan contoh, hubungan antara ibu dan contoh, kualitas hubungan, dan interaksi
yang dilakukan dalam keluarga maka kecerdasan emosionalnya akan semakin
baik (Lampiran 5c).
Variabel Umur Ayah
Umur Ibu
Pddkn Ayah
Pddkn Ibu
Pdptn Orangtua
Besar keluarga
Interaksi Keluarga
Umur Ayah Umur Ibu .61** Pendidikan Ayah -.00 .11 Pendidikan Ibu .11 .18 .61** Pendapatan Orangtua -.07 -.18 .08 .22 Besar keluarga -.08 -.05 .02 -.17 .09 Interaksi Keluarga -.03 .00 .05 -.03 .21 -.08
88
Interaksi sosial yang pertama kali dialami oleh anak adalah hubungan
anak dengan ibunya, kemudian meluas dengan ayah dan anggota keluarga yang
lain. Dalam pemberian stimulasi mental pada anak maka peran seorang ibu
untuk pengasuhan anak sangat besar. Interaksi ibu-anak sebagai suatu pola
perilaku yang mengikat ibu dan anak secara timbal balik yang mencakup
berbagai upaya keluarga secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Interaksi keluarga yang semakin baik, maka kecerdasan emosional yang
terbentuk akan baik. Keluarga yang harmonis dan saling berinteraksi antara
orangtua dan anak serta adanya kasih sayang dan kebersamaan dalam
keluarga, akan memberikan suatu lingkungan yang kondusif bagi kecerdasan
emosional anak (Gunarsa dan Gunarsa 2004).
Hal ini mendukung pernyataan Gottman & DeClaire (1998) bahwa
kecerdasan emosional cenderung meningkat dengan meningkatnya interaksi
yang terjadi dengan orangtua. Schikendanz (1995), diacu dalam Megawangi
(2004) menyatakan bahwa anak yang hidup dalam lingkungan keluarga yang
aman dan bahagia maka akan mampu berkembang dengan baik, sehingga
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar keluarga terutama di
lingkungan sekolah.
Pembahasan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan interaksi
anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa kelas bertaraf
internasional. Penelitian ini menempatkan contoh sebagai seorang remaja yang
menjadi anggota dari suatu organisasi baik organisasi keluarga, organisasi
sekolah maupun organisasi dari suatu kumpulan pemuda. Pemahaman akan
peran dan fungsi remaja baik sebagai anak maupun sebagai pelajar didekati
melalui sistem interaksi dan pendekatan teori ekosistem dalam keluarga
(Bronfenbrenner 1981).
Bronfenbrenner (1981) menyajikan model pandangan dari segi ekologi
dalam memahami proses sosialisasi pada anak. Model tersebut menempatkan
posisi anak pada pusat di dalam model yang secara langsung dapat berinteraksi
dengan lingkungan yang berada disekitarnya yang meliputi lingkungan
mikrosistem, mesosistem, dan makrosistem. Lingkungan mikrosistem merupakan
lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman
89
sebaya, dan tetangga. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan
mesosistem yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan
mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga
dengan sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman
sebayanya. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan exosistem yang
merupakan lingkungan anak tidak secara langsung mempunyai peran secara
aktif , misalnya lingkungan keluarga besar atau lingkungan pemerintahan.
Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah lingkungan makrosistem yang
merupakan tingkatan paling luas yang meliputi struktur sosial budaya suatu
bangsa secara umum.
Hasil penelitian menemukan adanya hubungan yang signifikan antara
cita-cita dengan hubungan antara contoh dengan ibunya yang akhirnya akan
mempengaruhi kecerdasan emosional. Hal ini memberikan bukti bahwa semakin
tinggi cita-cita yang ingin dicapai maka akan semakin baik pula hubungan yang
dilakukan contoh kepada ibunya. Selain itu terdapat hubungan tidak langsung
dari karakteristik sosial ekonomi orangtua seperti tingginya pendidikan ayah dan
ibu yang berhubungan erat dengan semakin tingginya tingkat pendapatan
keluarga. Tidak adanya hubungan antara karakteristik keluarga dengan interaksi
anak dalam keluarga dikarenakan sampel yang digunakan homogen atau tidak
terdapat perbedaan antara Kelas X dan XI. Tingginya tingkat pendapatan
keluarga akan berdampak pada baiknya fungsi sosialisasi dan pengasuhan yang
dilakukan orangtua. Hal ini kemudian akan berdampak pada kualitas hubungan
antara orangtua dan anak, yang akhirnya akan berpengaruh pada kecerdasan
emosional anak.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tingkah laku
orangtua dapat mempengaruhi pembinaan anak-anaknya. Secara umum, skor
tertinggi hubungan yang terjadi antara ayah dan ibu yaitu dalam hal saling
mempedulikan masalah yang sedang dihadapi (dimensi kehangatan), dan
mengkritik perbuatan (dimensi kekasaran). Namun pada perlakuan ibu kepada
ayah, skor tertinggi juga terdapat dalam hal membantu ayah jika memerlukan
sesuatu. Perlakuan ayah kepada contoh baik dalam hal dimensi kehangatan
maupun kekasaran memiliki skor yang lebih tinggi daripada perlakuan contoh
kepada ayahnya. Secara umum, tidak terdapat perbedaan antara hubungan ibu
kepada contoh dengan hubungan ayah kepada contoh. Pada dimensi
kehangatan, ibu memiliki skor tertinggi dalam mempedulikan masalah yang
90
sedang dihadapi contoh dibandingkan ayah. Selain itu, perlakuan ibu kepada
contoh juga memiliki total skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
ayah kepada contoh baik dalam dimensi kehangatan maupun kekasaran.
Hasil penelitian Puspitawati (2006) mengindikasikan orangtua yang
berkompeten adalah yang melakukan pengasuhan dengan hangat dan
mendukung, menghargai anaknya, mencintai anaknya, melakukan kegiatan
bersama, menanyakan pendapat, dan membantu memecahkan masalah
bersama. Gaya pengasuhan yang dilakukan baik oleh ibu maupun ayah
merupakan variabel mediator antara keadaan sosial-ekonomi keluarga dan
tingkat kecerdasan emosional pelajar di SMK TI dan SMU. Jadi karakteristik
orangtua yang kompeten dalam penelitian ini adalah orangtua yang mampu
melakukan pengasuhan dengan penuh kehangatan dan dukungan,
mempedulikan masalah yang sedang dihadapi, mencintai anaknya, menghargai
anaknya, mendiskusikan sesuatu, dan membantu menyelesaikan masalah.
Keluarga merupakan sumber institusi paling awal dan paling kuat dalam
mensosialisasikan anak-anaknya. Pengasuhaan yang diberikan ibu memberi
hubungan yang erat dengan kecerdasan emosional. Pengasuhan ibu dan ayah
mempunyai hubungan yang signifikan dalam meningkatkan kecerdasan
emosional. Hal ini konsisten dengan pernyataan Puspitawati (2006) yang
menyatakan bahwa keluarga merupakan sumber institusi paling awal dan paling
kuat dalam mensosialisasikan anak-anaknya, baik pelajar laki-laki di SMK-TI
maupun pelajar perempuan di SMK-TI dan SMU sesuai dengan nilai-nilai
keluarga dan norma masyarakat yang dianut.
Merujuk pada pendekatan teori ekologi keluarga/teori system, apabila
salah satu subsistem terganggu, maka berakibat pada terganggunya sub-sistem
lainnya. Pengasuhan yang cenderung mengarah pada hubungan yang baik
antara ayah dan contoh, ibu dan contoh, dan interaksi yang terjadi dalam
keluarga akan memiliki kualitas hubungan yang baik. Akhirnya apabila orangtua
mendampingi dan membimbing anaknya dengan baik, maka akan
mempengaruhi tingginya kecerdasan emosional anak. Jadi dapat dikatakan
bahwa apabila orangtua dapat mengoptimalkan peranannya dalam menjalankan
fungsi pengasuhan yang baik, maka anak akan mampu menguasai dan
mengontrol emosinya. Penelitian ini telah membuktikan Teori Bronfenbrenner
(1981) bahwa outcome anak yang berupa kecerdasan emosional dipengaruhi
oleh lingkungan di sekitarnya khususnya lingkungan keluarga.
91
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Siswa Kelas bertaraf internasional yang menjadi sampel penelitian ini
berjumlah 73 orang. Lebih dari separuh contoh berjenis kelamin perempuan.
Rata-rata umur contoh pada Kelas X yaitu 16 tahun sedangkan Kelas XI yaitu 17
tahun. Sebagian besar contoh mempunyai tujuan hidup dan cita-cita meneruskan
ke perguruan tinggi, bekerja keras dan belajar tekun, berbakti pada orangtua dan
guru, bertanggung jawab atas perbuatannya, berteman yang baik, dan
menghindari masalah disekolah. Uang saku per bulan berada pada kisaran Rp
300 001-450 000. Rata-rata uang saku per bulan yang diterima contoh Kelas XI
lebih tinggi (Rp 460 945.95) dibandingkan Kelas X (Rp 441 527.78).
Sebagian besar umur orangtua contoh berada pada kelompok umur
produktif yaitu pada rentang umur 36-55 tahun. Pendidikan ayah contoh pada
Kelas XI lebih tinggi (S2) dibandingkan Kelas X (S1), sedangkan persentase
terbesar pendidikan tertinggi ibu contoh yaitu S1. Proporsi terbesar ayah contoh
bekerja sebagai PNS sedangkan ibu sebagai ibu rumahtangga. Persentase
terbesar pendapatan keluarga pada kisaran Rp >6 000 000. Proporsi terbesar
contoh berasal dari keluarga kecil (<4 orang). Tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara karakteristik contoh, dan karakteristik keluarga pada keduanya.
Lebih dari separuh contoh memiliki hubungan yang baik dengan
orangtuanya. Hubungan yang banyak dilakukan antara contoh dan ayahnya yaitu
dalam hal saling membantu apabila memerlukan sesuatu (dimensi kehangatan),
dan mengkritik perbuatan yang dilakukan keduanya. Perlakuan ayah kepada
contoh baik dalam hal dimensi kehangatan maupun kekasaran memiliki total skor
yang lebih tinggi daripada perlakuan contoh kepada ayahnya. Ibu memiliki skor
tertinggi dalam mempedulikan masalah yang sedang dihadapi contoh
dibandingkan ayah. Selain itu, perlakuan ibu kepada contoh juga memiliki total
skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ayah kepada contoh baik
dalam dimensi kehangatan maupun kekasaran. Skor tertinggi hubungan yang
terjadi antara ayah dan ibu yaitu dalam hal saling mempedulikan masalah yang
sedang dihadapi (dimensi kehangatan), dan mengkritik perbuatan (dimensi
kekasaran).
Kualitas hubungan antara contoh dengan ibunya lebih besar
dibandingkan antara contoh denan ayahnya. Lebih dari separuh contoh memiliki
kualitas hubungan yang tergolong puas/bahagia dengan orangtuanya dan rata-
92
rata skor Kelas X sedikit lebih besar (20.1) dibandingkan Kelas XI (19.9). Kualitas
hubungan yang paling tinggi terletak pada hubungan antara contoh dan ibunya,
selanjutnya antara ayah dan ibu, dan terakhir dengan ayahnya
Sebagian besar contoh memiliki kecerdasan emosional yang tinggi,
dengan rata-rata skor kecerdasan emosional tertinggi yaitu kemampuan empati
dan terrendah dalam hal memotivasi diri. Rata-rata skor kecerdasan emosi onal
contoh Kelas X lebih tinggi (102.0) dibandingkan Kelas XI (98.6). Namun hasil uji
statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara kedua Kelas.
Hasil uji Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan nyata positif
antara: (1) tujuan hidup dan cita-cita dengan interaksi antara ibu dan contoh; (2)
Interaksi antara ayah dan contoh, ibu dan contoh, ayah dan ibu, dan kualitas
hubungan dengan interaksi keluarga; (3) Interaksi antara ayah dan contoh, ibu
dan contoh, dan kualitas hubungan dengan sedangkan kecerdasan emosional.
Saran Secara umum diketahui tujuan hidup dan cita-cita mempunyai hubungan
yang erat dengan interaksi yang terjadi antara ibu dan contoh, dan kecerdasan
emosional. Oleh karena itu diperlukan kerjasama orangtua dan sekolah dalam
membimbing siswa menentukan tujuan hidupnya.
Bagi lingkungan sekolah diharapkan menciptakan interaksi yang baik,
sehingga anak merasa berharga terutama dalam pencapaian tujuan hidup dan
cita-cita. Akhirnya akan meningkatkan kecerdasan emosional. Selain itu,
lingkungan sekolah dapat memfasilitasi adanya pertemuan orangtua murid
secara rutin sewaktu pengambilan raport yang diisi dengan ceramah atau
pelatihan singkat dengan mengundang motivator atau profesional dikalangan
psikologi yang bekerjasama dengan komite sekolah. Sebaiknya dalam mata
pelajaran tertentu seperti agama juga perlu dimasukkan muatan kecerdasan
emosional.
Bagi siswa agar lebih memotivasi dirinya dengan lebih baik terutama
dalam hal membuat jadwal agenda harian yang dilakukan setiap harinya.
Interaksi antara orangtua, anak, dan sekolah sangat penting. Oleh karena itu,
interaksi dalam bentuk komunikasi lebih ditingkatkan. Disiplin yang lebih
ditegakkan dalam keluarga dan lingkungan sekolah juga berguna untuk
mengurangi perilaku negatif siswa. Bagi lingkungan keluarga, peran ayah dalam
hal pengasuhan anak lebih ditingkatkan dengan cara memanfaatkan waktu libur
dengan keluarga.
93
Saran untuk pengembangan ilmu keluarga yaitu adanya penelitian
dengan membandingkan antara kelas bertaraf internasional dengan kelas reguler
atau melakukan perbandingan dengan beberapa sekolah di Kota Bogor. Selain
itu, diperlukan instrumen teknis untuk mengukur kecerdasan emosional, dan
sumber kuesioner tidak hanya berasal dari sekolah dan siswa saja, melainkan
juga pihak-pihak terkait seperti orangtua, dan teman-teman.
94
DAFTAR PUSTAKA
Agustian AG. 2003. Rahasia sukses membangun kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ). Jakarta: Arga
Altaria V. 2004. Intelegensi Versus Prestasi Belajar. http://www.bpkpenabur-
bdg.sch.id [2 Maret 2007].
Anonim. 2005. Pengarusutamaan Gender. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan
Anonim. 2006. Daftar Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional.
http://www.smun2-tsm.sch.id [14 Desember 2006].
Atasasih H. 2002. Status Anemia dan Hubungannya dengan Prestasi Belajar Siswa-Siswi SMUN 30 Jakarta Pusat [skripsi]. Bogor. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor
Atkinson R. L., R.C. Atkinson, E.R. Hildard (terj). 1983. Pengantar Psikologi.
Jakarta: Erlangga Bronfenbrenner U. 1981. The Ecology of Human Development: Experiments By
Nature and Design, USA: Library of Congress Cataloging in Publication Data.
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1997. Gerakan
Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Data Statistik Indonesia. Jakarta: Badan
Pusat Statistik [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
menurut Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jakarta: Badan Pusat Statistik De Rossa P. 1995. Definition of Family. http://www.historicaldebates
.oireachtas.ie. [2 Maret 2007].
Desiyani F. 2003. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi dan Sikap Mahasiswa IPB tentang Kepemimpinan Laki-laki dan Perempuan : Suatu Pendekatan Analisis Gender [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Dinas Pendidikan. 2005. Program Penyelenggaraan Sekolah Nasional Bertaraf
Internasional SMA Negeri 1 Bogor. Bogor: Pemerintah Kota Bogor Freeman J & U. Munandar. 2000. Cerdas dan Cemerlang. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Goleman J. 1999. Emotional Intelligence (terj). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
95
Gunarsa S.D. & Y.S.D. Gunarsa. 2004. Psikologi Praktis : Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Hulu DB. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Anemia dan Kaitannya dengan Prestasi Belajar pada Siswi SMKN 1 Bogor [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kunarti. 2004. Pengaruh Interaksi Keluarga dan Tekanan Ekonomi terhadap
Kenakalan Remaja di Sekolah Menengah Kejuruan Teknik Industri (SMK-TI) Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Megawangi R. 1999. Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru Tentang
Relasi Gender. Bandung: Mizan
, Melly L, W.F. Dina. 2004. Pendidikan Holistik Untuk Menciptakan Lifelong Learners. Bogor: Indonesia Heritage Foundation. Monks. 1987. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Muhammad H. 2006. Pembelajaran Matematika dan IPA dalam Bahasa Inggris (Bilingual). Jakarta: Depdiknas
Nara N. 2006. Prestasi Olimpiade Fisika: Secercah Optimisme bangsa di
bidang pendidikan. http:///www.kompas.com [2 Maret 2007]. Puspitawati H. 2006. Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan, Teman dan
Sekolah terhadap Kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kota Bogor [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Sadli S. 1986. Intelegensi Bakat dan Test IQ. Jakarta: Gaya Favorit
Santrock. 1998. Adolescent. Ed. ke 7. Mc Graw Hill, Inc.
Sarwata IM. 2000. Hubungan Emotional Bonding Ibu-Remaja dengan Kenakalan Remaja (SMU Jakarta Pusat) [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor
Sarwono S.W. 2003. Psikologi Remaja. Bandung: Raja Grafindo Perkasa
Shapiro L.E. 1999. Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Singarimbun M. & S. Effendi. 1991. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Rineka
Cipta, Jakarta.
Stanistaus S. 1993. Hubungan antara pola asuh orangtua dengan agresifitas remaja. [Tesis]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran.
96
Steinberg. 2001. Adolescence. “Ed ke-6”. MC Graw Hill Higher Education.
Sukiat. 1986. Motivasi dan Inteligensi dalam S. Sadli (Ed.), Inteligensi, Bakat dan Tes IQ. Jakarta: Gaya Favorite Press
Sukmadinata N.S. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
97
LAMPIRAN
98
Lampiran 1 Cara pengukuran variabel
Tujuan Hidup dan Cita-cita : Variabel ini terdiri dari 10 butir pertanyaan dengan
skala likert 1-5. Pertanyaan berupa keinginan meneruskan ke perguruan tinggi,
belajar dengan rajin agar memperoleh nilai yang baik, bekerja keras dan belajar
dengan tekun, beraktivitas dengan baik di sekolah, berbakti pada orangtua dan
guru, bertanggung jawab atas perbuatan, berteman dengan baik, menghindari
masalah di sekolah, hidup bersenang-senang, serta menabung dan hidup hemat.
Pilihan jawaban diberi skor 1-5 (1= tidak penting, 2= kurang penting, 3= cukup
penting, 4= penting, 5= sangat penting), kemudian dikelompokkan berdasarkan
kelas interval (1= sangat penting, 2= cukup penting, 3= tidak penting). Rentang
nilai dari 10-50. Pertanyaan tersebut merupakan replikasi dari Puspitawati
(2006).
Gaya Pengasuhan Contoh : Variabel ini terdiri dari 54 butir pertanyaan dengan
skala likert 1-5 mengenai hubungan dengan ayahnya (18 butir pertanyaan) ,
ibunya (18 butir pertanyaan), dan orangtua (18 butir pertanyaan). Adapun hal
yang ditanyakan adalah tentang mempedulikan, mencintai, menghargai,
membantu, marah-marah, bertengkar, dan memukul. Pilihan jawaban diberi skor
1-5 (1= tidak pernah, 2= jarang sekali, 3= cukup, 4= sering, 5= selalu), kemudian
dikelompokkan berdasarkan kelas interval (1= kurang baik, 2= cukup baik, 3=
sangat baik). Rentang nilai dari 18-90. Pertanyaan ini merupakan replikasi dari
Puspitawati (2006).
Kualitas Hubungan antar keluarga: Variabel ini terdiri dari enam butir
pertanyaan (dua pertanyaan kualitas hubungan ayah dan contoh, dua
pertanyaan kualitas hubungan ibu dan contoh, dua pertanyaan kualitas
hubungan ayah dan ibu) dengan skala 1-4 mengenai kualitas hubungan antara
contoh dengan orangtuanya. Pilihan jawaban diberi skor 1-4 (1= sangat tidak
puas, 2= pada dasarnya tidak puas, 3= pada dasarnya puas, 4= sangat puas
sekali), kemudian dikelompokkan berdasarkan kelas interval (1= tidak puas, 2=
cukup puas, 3= puas). Rentang nilai dari 6-24. Pertanyaan ini replikasi dari
Center for family Research-Iowa State University (1994) yang dimodifikasi oleh
Puspitawati (2006).
Kecerdasan Emosional : Variabel ini terdiri dari 25 butir pertanyaan dengan
skala likert 1-5 dalam penilaian kecerdasan emosi. Adapun hal yang ditanyakan
mengenai mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, empati, dan seni
99
membina hubungan. Pilihan jawaban diberi skor 1-5 (1= saya sama sekali tidak
seperti itu, 2= kemungkinan besar saya tidak seperti itu, 3= saya antara seperti
itu dan tidak seperti itu, 4= kemungkinan besar saya seperti itu, 5= saya selalu
seperti itu), kemudian dikelompokkan berdasarkan kelas interval (1= rendah, 2=
sedang, 3= tinggi). Rentang nilai dari 25-125. Pertanyaan ini disusun dengan
merujuk pada Goleman (2000).
100
Lampiran 2 Rata-rata skor interaksi dalam keluarga dan kecerdasan emosional
2a Hubungan contoh dengan ayahnya
Pernyataan Rata-Rata Skor
Perlakuan Ayah ke Contoh Dimensi Kehangatan 1 Ayah mempedulikan masalah yang sedang saya hadapi 3.6 2 Ayah berbuat sesuatu yang kemudian membuat saya
merasa dicintai 3.6 3 Ayah mendiskusikan sesuatu dengan saya sehingga
saya merasa dihargai 3.6 4 Ayah membantu saya bila saya perlu sesuatu 4.1 Total 14.9 Dimensi Kekasaran 1 Ayah marah-marah pada saya 2.6 2 Ayah mengkritik perbuatan saya 3.2 3 Ayah membentak saya dengan marah 2.2 4 Ayah bertengkar dengan saya 2.0 5 Ayah memukul atau menampar saya 1.2 Total 11.3 Perlakuan Contoh ke Ayah Dimensi Kehangatan 1 Saya mempedulikan masalah yang sedang ayah hadapi 3.3 2 Saya berbuat sesuatu yang kemudian membuat ayah
merasa dicintai 3.2 3 Saya mendiskusikan sesuatu dengan ayah sehingga
ayah merasa dihargai 3.4 4 Saya membantu ayah bila ayah perlu sesuatu 3.8 Total 13.6 Dimensi Kekasaran 1 Saya marah-marah pada ayah 2.1 2 Saya mengkritik perbuatan ayah 2.5 3 Saya membentak ayah dengan marah 1.5 4 Saya bertengkar dengan ayah 1.8 5 Saya memukul atau menampar ayah 1.0 Total 9.0
Keterangan: 1: Tidak pernah, 2: Jarang sekali, 3: Cukup, 4: Sering, 5: Selalu
101
2b Hubungan contoh dengan ibunya
Pernyataan Rata-rata skor
Perlakuan Ibu ke Contoh Dimensi Kehangatan 1 Ibu mempedulikan masalah yang sedang saya hadapi 4.2 2 Ibu berbuat sesuatu yang kemudian membuat saya
merasa dicintai 4.1 3 Ibu mendiskusikan sesuatu dengan saya sehingga saya
merasa dihargai 3.9 4 Ibu membantu saya bila saya perlu sesuatu 4.2 Total 16.4 Dimensi Kekasaran 1 Ibu marah-marah pada saya 3.1 2 Ibu mengkritik perbuatan saya 3.4 3 Ibu membentak saya dengan marah 2.6 4 Ibu bertengkar dengan saya 2.3 5 Ibu memukul atau menampar saya 1.4 Total 12.8 Perlakuan Contoh ke Ibu Dimensi Kehangatan 1 Saya mempedulikan masalah yang sedang ibu hadapi 3.6 2 Saya berbuat sesuatu yang kemudian membuat ibu
merasa dicintai 3.5 3 Saya mendiskusikan sesuatu dengan ibu sehingga ibu
merasa dihargai 3.6 4 Saya membantu ibu bila ibu perlu sesuatu 3.8 Total 14.4 Dimensi Kekasaran 1 Saya marah-marah pada ibu 2.3 2 Saya mengkritik perbuatan ibu 2.4 3 Saya membentak ibu dengan marah 1.7 4 Saya bertengkar dengan ibu 2.1 5 Saya memukul atau menampar ibu 1.0 Total 9.4
Keterangan: 1: Tidak pernah, 2: Jarang sekali, 3: Cukup, 4: Sering, 5: Selalu
102
2c Hubungan ayah dengan ibu
Pernyataan Rata-rata skor
Perlakuan Ayah ke Ibu Dimensi Kehangatan 1 Ayah mempedulikan masalah yang sedang ibu hadapi 4.2 2 Ayah berbuat sesuatu yang kemudian membuat ibu
merasa dicintai 3.9 3 Ayah mendiskusikan sesuatu dengan ibu sehingga ibu
merasa dihargai 4.1 4 Ayah membantu ibu bila ibu perlu sesuatu 4.2 Total 16.4 Dimensi Kekasaran 1 Ayah marah-marah pada ibu 2.4 2 Ayah mengkritik perbuatan ibu 2.9 3 Ayah membentak ibu dengan marah 1.9 4 Ayah bertengkar dengan ibu 2.0 5 Ayah memukul atau menampar ibu 1.2 Total 10.4 Perlakuan Ibu ke Ayah Dimensi Kehangatan 1 Ibu mempedulikan masalah yang sedang ayah hadapi 4.3 2 Ibu berbuat sesuatu yang kemudian membuat ayah
merasa dicintai 4.0 3 Ibu mendiskusikan sesuatu dengan ayah sehingga ayah
merasa dihargai 4.1 4 Ibu membantu ayah bila ayah perlu sesuatu 4.3 Total 16.7 Dimensi Kekasaran 1 Ibu marah-marah pada ayah 2.4 2 Ibu mengkritik perbuatan ayah 2.9 3 Ibu membentak ayah dengan marah 1.7 4 Ibu bertengkar dengan ayah 2.1 5 Ibu memukul atau menampar ayah 1.1 Total 10.2
Keterangan: 1: Tidak pernah, 2: Jarang sekali, 3: Cukup, 4: Sering, 5: Selalu
103
2d Kualitas hubungan
Pernyataan Rata-rata skor
Hubungan Contoh dan Ibu 1 Seberapa puaskah hubungan antara anda dan ibu
anda? 3.3 2 Seberapa bahagiakah anda dengan keadaan hubungan
anda dengan ibu anda? 3.4 Total 6.7 Hubungan Contoh dan Ayah 3 Seberapa puaskah hubungan antara anda dan ayah
anda? 3.2 4 Seberapa bahagiakah anda dengan keadaan hubungan
anda dengan ayah anda? 3.2 Total Hubungan Ayah dan Ibu 5 Seberapa puaskah hubungan antara ayah dan ibu
anda? 3.3 6 Seberapa bahagiakah anda dengan keadaan hubungan
ayah dengan ibu anda? 3.3 Total 6.7
Keterangan: 1: Sangat tidak puas/tidak bahagia 2: Pada dasarnya tidak puas/tidak bahagia, 3: Pada dasarnya puas/bahagia, 4: Puas/bahagia sekali
104
2e Kecerdasan emosional
Pernyataan Rata-rata skor
Mengenali Emosi Diri 1 Saya merasa tidak mempunyai kekuatan untuk
mengubah hal-hal yang penting dalam hidup saya 3.8 2 Saya selalu mengerjakan sesuatu dengan benar 3.4 3 Saya merasa punya kualitas bagus 3.5 4 Saya dapat memahami dan mengenali diri saya sendiri 4.0 5 Saya mengetahui kelemahan emosi saya 4.0 Total 18.7 Mengelola Emosi Diri 1 Saya dapat mengontrol emosi saya 3.4 2 Dimanapun saya berada, saya berusaha untuk
menyesuaikan diri walaupun terkadang agak berat 4.1 3 Saya bertindak dan bersikap positif 3.7 4 Saya akan menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan
amarah saya muncul ketika sedang bad mood 3.8 5 Ketika dikecewakan oleh teman, saya akan marah
kepadanya 3.0 Total 18.0 Motivasi 1 Saya tidak malu untuk meminta nasihat pada orangtua
dalam memecahkan masalah saya 3.6 2 Masalah yang saya hadapi membuat saya semakin tidak
dapat mengenali diri saya 3.7 3 Saya sangat yakin pada diri saya sendiri 3.7 4 Saya tidak pernah berhenti belajar sampai mengerti 3.4 5 Saya memiliki jadwal agenda harian yang akan
dilakukan setiap harinya 2.6 Total 17.0 Empati 1 Saya membantu nenek menyeberang jalan 4.6 2 Saya membuang sampah ditempat sampah 3.2 3 Saya memberi bantuan keuangan kepada teman yang
membutuhkan sesuai dengan kemampuan 4.2 4 Saya tidak ambil pusing jika teman saya membentuk
kelompok 4.9 5 Saya menghormati teman yang beribadah 5.0 Total 21.8 Seni Membina Hubungan 1 Mudah sekali bagi saya untuk memulai suatu
pembicaraan dengan orang dewasa 3.4 2 Saya selalu mengucapkan salam kepada orangtua
ketika akan berangkat kesekolah 4.7 3 Saya suka berteman dengan siapa saja 4.3 4 Saya orang sangat menyenangkan dan gampang diajak
kerjasama 3.8 5 Saya bisa menyimpan rahasia teman 4.2 Total 17.1
67
Lampiran 3 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecerdasan emosional
Kecerdasan Emosional Kelas Total X-9 XI-9
n % n % n % Mengenali Emosi diri Rendah (5-11) 0 0.0 1 2.7 1 1.4 Sedang (12-18) 16 44.4 16 43.2 32 43.8 Tinggi (19-25) 20 55.6 20 54.1 40 54.8 Total 36 100.0 37 100.0 73 100.0 Mengelola Emosi Rendah (5-11) 0 0.0 2 5.4 2 2.7 Sedang (12-18) 20 55.6 22 59.5 42 57.5 Tinggi (19-25) 16 44.4 13 35.1 29 39.7 Total 36 100.0 37 100.0 73 100.0 Memotivasi Diri Rendah (5-11) 2 5.6 1 2.7 3 4.1 Sedang (12-18) 20 55.6 30 81.1 50 68.5 Tinggi (19-25) 14 38.9 6 16.2 20 27.4 Total 36 100.0 37 100.0 73 100.0 Empati Rendah (5-11) 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sedang (12-18) 1 2.8 2 5.4 3 4.1 Tinggi (19-25) 35 97.2 35 94.6 70 95.9 Total 36 100.0 37 100.0 73 100.0 Seni Membina Hubungan Rendah (5-11) 1 2.8 0 0.0 1 1.4 Sedang (12-18) 6 16.7 6 16.2 12 16.4 Tinggi (19-25) 29 80.6 31 83.8 60 82.2 Total 36 100.0 37 100.0 73 100.0
68
Lampiran 4 Tabulasi silang antar variabel 4a Tabulasi silang antara interaksi ayah dan contoh dengan kecerdasan
emosional
Kecerdasan Emosional Interaksi Ayah dan Contoh
Kurang Baik Cukup Baik n % n %
Rendah 0 0.0 0 0.0 Sedang 5 41.7 6 10.2 Tinggi 7 58.3 53 89.8 Total 12 100.0 59 100.0
4b Tabulasi silang antara interaksi ibu dan contoh dengan kecerdasan emosional
Kecerdasan Emosional Interaksi Ibu dan Anak
Kurang Baik Cukup Baik n % n %
Rendah 0 0.0 0 0.0Sedang 2 20.0 10 15.9Tinggi 8 80.0 53 84.1Total 10 100.0 63 100.0
4c Tabulasi silang antara interaksi ayah dan ibu dengan kecerdasan emosional
Kecerdasan Emosional Interaksi Ayah dan Ibu
Kurang Baik Cukup Baik n % n %
Rendah 0 0.0 0 0.0Sedang 2 28.6 9 14.1Tinggi 5 71.4 55 85.9Total 7 100.0 64 100.0
4d Tabulasi silang antara kualitas hubungan dengan kecerdasan emosional
Kecerdasan Emosional Kualitas Hubungan
Tidak Puas Puas n % n %
Rendah 0 0.0 0 0.0Sedang 3 42.9 9 13.6Tinggi 4 57.1 57 86.4Total 7 100.0 66 100.0
69
Lampiran 5 Matriks korelasi hubungan antar variabel penelitian
Variabel X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10X1 X2 .00 X3 .01 .61** X4 -.19 .08 .22 X5 .07 .02 -.17 .09 X6 .19 .03 -.02 .15 -.09 X7 .34** .07 .10 .01 -.15 .40 X8 .06 -.12 -.10 .26 -.01 .48** .38** X9 .06 -.01 .00 .03 -.05 .21 .48** .68** X10 .21 .05 -.03 .21 -.08 .91** .56** .69** .37**X11 .60** -.04 -.05 .00 -.14 .35** .28* .19 .25* .33**
** korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed). * korelasi signifikan pada level 0.05 (2-tailed). Keterangan: X1: Tujuan Hidup dan Cita-cita X7: Hubungan Ibu-Contoh X2: Pendidikan Ayah X8: Hubungan Ayah-Ibu X3: Pendidikan Ibu X9: Kualitas Hubungan X4: Pendapatan Orangtua X10: Interaksi Keluarga X5: Besar Keluarga X11: Kecerdasan Emosional X6: Hubungan Ayah-Contoh
70
5a Matriks korelasi hubungan karakteristik contoh dengan interaksi dalam keluarga
Variabel Tujuan hidup dan Cita-cita
Hubungan ayah-contoh
Hubungan ibu-contoh
Hubungan ayah-ibu
Kualitas hubungan
Tujuan hidup dan Cita-cita Hubungan Ayah-Contoh .19 Hubungan Ibu-Contoh .34** .40 Hubungan Ayah-Ibu .06 .48** .38** Kualitas Hubungan .06 .21 .48** .68**Interaksi Keluarga .21 .91** .56** .69** .37**
** korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed). * korelasi signifikan pada level 0.05 (2-tailed). 5b Matriks korelasi hubungan karakteristik keluarga dengan interaksi dalam keluarga
Variabel Pendidikan Ayah
Pendidikan Ibu
Pendapatan Orangtua
Besar Keluarga
Hubungan Ayah-Contoh
Hubungan Ibu-Contoh
Hubungan Ayah-Ibu
Kualitas Hubungan
Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu .61** Pendapatan Orangtua .08 .22 Besar Keluarga .02 -.17 .09 Hubungan Ayah-Contoh .03 -.02 .15 -.09 Hubungan Ibu-Contoh .07 .10 .01 -.15 .40 Hubungan Ayah-Ibu -.12 -.10 .26 -.01 .48** .38** Kualitas Hubungan -.01 .00 .03 -.05 .21 .48** .68**Interaksi Keluarga .05 -.03 .21 -.08 .91** .56** .69** .37**
** korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed). * korelasi signifikan pada level 0.05 (2-tailed).
71
5c Matriks korelasi hubungan interaksi dalam keluarga dengan kecerdasan emosional
Variabel Hubungan Ayah-Contoh
Hubungan Ibu-Contoh
Hubungan Ayah-Ibu
Kualitas Hubungan
Interaksi Keluarga
Hubungan Ayah-Contoh Hubungan Ibu-Contoh .40 Hubungan Ayah-Ibu .48** .38**Kualitas Hubungan .21 .48** .68** Interaksi Keluarga .91** .56** .69** .37**Kecerdasan Emosional .35** .28* .19 .25* .33**
** korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed). * korelasi signifikan pada level 0.05 (2-tailed).