Hubungan Antarkelompok
-
Upload
arnold-jayendra-sianturi -
Category
Documents
-
view
3.692 -
download
10
Transcript of Hubungan Antarkelompok
BAB 10
Hubungan Antar Kelompok
KONSEP KELOMPOK DAN HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK
Kalau dalam bab-bab sebelumnya bahasan kita dipusatkan pada apa yng terjadi di
kala seseorang atau beberapa orang anggota masyarakat berinteraksi dengan seseorang atau
beberapa orang lain, maka dalam bab ini bahasan akan kita pusatkan pada hubungan antar-
kelompok (intergroup relations), hubungan antara dua kelompok atau lebih yang mempunyai
ciri khusus. Pettigrew (1968:277) mendefinisikan intergroup relations sebagai “the social
interactions between any two or more groups.”
Dalam pembahasan kita mengenai kelompok kita telah melihat tipologi kelompok
menurut Robert Bierstedt, yaitu pembagian dalam empat tipe kelompok yaitu statistical
group, societal group, social group, dan associational group. Dalam pembahasan kita
mengenai hubungan antar-kelompok, yang dimaksudkan kelompok mencakup keempat tipe
kelompok yang disebutkan oleh Bierstedt tersebut. Dengan demikian kita menggunakan
konsep kelompok dalam arti luas.
KLASIFIKASI KELOMPOK YANG TERLIBAT DALAM
HUBUNGAN ANTARKELOMPOK
Dalam bahasan berikut ini kata kelompok dalam konsep hubungan antar kelompok
mencakup semua kelompok yang diklasifikasikan oleh Kinloch (1979). Kriteria pertama yang
disebutkan Kinloch terdiri atas ciri fisiologis. Atas dasar ini dijumpai pengelompokan yang
didasarkan pada persamaan jenis kelamin (laki-laki-perempuan), usia (tua-muda), dan ras
(antara lain Hitam-Putih).
Kriteria kedua adalah kebudayaan. Menurut kinloch kategori ini mencakup kelompok
yang diikat oleh persamaan kebudayaan, seperti kelompok etnik (misalnya Aceh,
Minangkabau, Minahasa, Ambon, Dayak dan sebagainya).Meskipun Kinloch tidak
menyabutkan faktor agama, namundalam banyak kasus pengelompokan berdasarkan
persamaan agama pun dapat dimasukkan dalam kategori ini.
Kriteria ketiga ialah kriteria ekonomi. Atas dasar kriteria ini Kinloch membedakan
antara mereka yang tidak mempunyai kekuasaan ekonomi dan mereka yang mempunyainya.
Kriteria terakhir ialah prilaku. Atas dasar ini dijumpai pengelompokan berdasarkan
cacat fisik, berdasarkan cacat mental, dan penyimpangan terhadap aturan masyarakat.
DIMENSI HUBUNGAN ANTARKELOMPOK
Hubungan antarkelompok mempunyai berbagai dimensi.Dalam hubungan ini Kinloch
mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kelompok minoritas dapat dikaji dengan
menggunakan enam dimensi berlainan. Dimensi utama yang dijabarkannya ialah dimensi
sejarah, dimensi demografi, dimensi sikap, dimensi institusi, dimensi gerakan sosial, dan
dimensi tipe utama hubungan antarkelompok (lihat Kinloch, 1979:3-10). Disini kita akan
membatasi diri pada empat dari enam dimensi tersebut, yaitu dimensi sejarah, dimensi sikap,
dimensi institusi, dan dimensi gerakan sosial.
Kajian dari sudut dimensi sejarah diarahkan pada masalah tumbuh dan
berkembangnya hubungan antarkelompok. Bilamanakah, misalnya, kontak pertama antara
kelompok ras Kulit Putih dan Kulit Hitam terjalin? Bagaimanakah kontak tersebut kemudian
berkembang menjadi hubungan dominasi, dan bahkan perbudakan?
Melalui dimensi sikap kita mengamati sikap anggota suatu kelompok terhadap
anggota lain, dan sebaliknya. Bagaimanakah, misalnya, sikap anggota kelompok etnik
Tionghoa terhadap kelompok pribumi di Indonesia, dan bagaimana pula sikap kelompok
pribumi terhadap anggota kelompok etnik Tionghoa? Stereotip dan prasangka apakah yang di
punyai suatu kelompok mengenai anggota kelompok lain, misalnya stereotip dan prasangka
orang kaya mengenai orang miskin, orang heteroseks mengenai orang homoseks, orang muda
mengenai orang tua, orang bertubuh utuh normal mengenai para penyandang cacat, dan orang
bermental sehat mengenai orang cacat mental?
Sikap yang dipunyai suatu kelompok terhadap kelompok lain sering kali ditunjang
dan bahkan diperkuat oleh institusi dalam masyarakat seperti institusi ekonomi dan politik.
Diskriminasi dan prasangka orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam di Republik Afrika
Selatan, misalnya, ditunjang oleh kebijaksanaan apartheid yang di masa lampau ditegakkan
oleh institusi politik dan ekonomi. Pemahaman mengenai peran institusi dalam hubungan
antar-kelompok ini diperoleh dengan kajian yang memusatkan perhatian pada dimensi
institusi.
Dimensi gerakan sosial merupakan suatu dimensi lain dalam hubungan
antarkelompok. Kajian dari sudut pandang ini memperhatikan berbagai gerakan sosial yang
sering dilancarkan suatu kelompok untuk membebaskan diri dari dominasi kelompok lain;
misalnya gerakan ANC (African National Congress) di Republik Afrika Selatan, atau
gerakan kelompok usia lanjut (Grey Panthers), gerakan pembebasan perempuan (Women’s
Liberation Movement), gerakan Kulit Hitam moderat NAACP (National Association for the
Advancement of Colored People), dan gerakan Kulit Hitam radikal Black Panthers di
Amerika Serikat.
Disamping dimensi yang telah disebutkan Kinloch dalam hubungan antarkelompok
masih ada dimensi lain yang perlu kita perhatikan, yaitu dimensi prilaku dan dimensi prilaku
kolektif.
Yang termasuk dalam dimensi prilaku ialah prilaku suatu kelompok terhadap anggota
kelompok lain, seperti misalnya prilaku diskriminasi dan pemeliharaan jarak sosial. Selain itu
hubungan antarkelompok pun sering diwarnai oleh peristiwa prilaku kolektif seperti
demonstrasi protes, huru-hara, perusakan dan pembunuhan serta bentrokan fisik seperti
misalnya konflik terus menerus antara anggota African National Congress (ANC) dengan
orang Zulu pengikut anggota gerakan Zulu Inkatha Freedom Movement yang pernah terjadi
di Afrika Selatan dan telah mengakibatkan jatuhnya korban ribuan jiwa dan sejumlah besar
harta benda di kedua belah pihak, atau pembunuhan besar-besaran oleh kaum mayoritas Hutu
terhadap kaum minoritas Tutsi di Rwanda yang menelan korban ratusan ribu jiwa manusia.
Menjelang akhir abad 20 masyarakat kita pun dilanda bentrokan fisik antarkelompok, antara
lain di Kabupaten Sambas, Propinsi Maluku, dan Timor Timur.
KELOMPOK MAYORITAS DAN MINORITAS
Pembahasan mengenai hubungan antarkelompok merupakan pembahasan mengenai
stratifikasi sosial, bilamana kita berbicara mengenai dua kelompok yang berada dalam strata
berbeda atas dasar adanya ketidaksamaan dalam berbagai bidang--kekuasaan, prestise,
privilese. Dengan demikian tidaklah mengherankan bilamana antara antara kedua pokok
bahasan-stratifikasi sosial dan hubungan antarkelompok--banyak dijumpai tumpang tindih.
Kalaupun kita mencari perbedaan, maka perbedaan yang dijumpai cenderung terletak pada
penekanan; pembahasan mengenai stratifikasi sosial biasanya lebih banyak diarahkan pada
deskripsi dan penjelasan gejala perbedaan status sosial dalam masyarakat, terutama
perbedaan kelas sosial, sedangkan pembahasan mengenai hubungan antarkelompok
cenderung dipusatkan pada deskripsi dan penjelasan hubungan sosial antara kelompok yang
statusnya berbeda, terutama yang menyangkut status yang diperoleh sejak lahir seperti status
se bagai anggota suatu kelompok ras, etnik atau agama.
Suatu bentuk hubungan yang banyak disoroti dalam kajian terhadap hubungan
antarkelompok ialah hubungan mayoritas-minoritas. Apa yang dimaksudkan dengan konsep
mayoritas dan minoritas? Kinloch mendefinisikan mayoritas sebagai berikut: any power
group that defines itself as normal and superior and other as abnormal and inferior on the
basis of certain perceived characterstics, and exploits or discriminate agains them in
consequence (Kinloch, 1979:38).
Dari definisi Kinloch ini kita dapat jumpai beberapa unsur. Mayoritas
didefinisikannya sebagai suatu kelompok kekuasaan; kelompok tersebut menganggap dirinya
normal, sedangkan kelompok lain (yang oleh Kinloch dinamakan kelompok minoritas)
dianggap tidak normal serta lebih rendah karena dinilai mempunyai ciri tertentu; atas dasar
anggapan tersebut kelompok lain itu mengalami eksploitasi dan diskriminasi. Ciri tertentu
yang dimaksudkan di sini ialah ciri fisik, ekonomi, budaya, dan perilaku.
Dalam definisi Kinloch ini kelompok mayoritas ditandai oleh adanya kelebihan
kekuasaan; konsep mayoritas tidak dikaitkan dengan jumlah anggota kelompok. Menurut
Kinloch mayoritas dapat saja terdiri atas sejumlah kecil orang yang berkuasa atas sejumlah
besar orang lain. Kalau kita berpegang pada definisi Kinloch, maka di masa masih
berlakunya sistem Apartheid kelompok Kulit Putih di Republik Afrika Selatan merupakan
kelompok mayoritas karena menguasai kaum Kulit Hitam meskipun jumlah kaum Kulit Putih
jauh lebih kecil daripada jumlah kaum Kulit Hitam. Segi ini penting diperhatikan, karena ada
ilmuwan sosial yang berpendapat bahwa konsep mayoritas didasarkan pada keunggulan
jumlah anggota. Atas dasar jumlah anggota kelompok misalnya, Mely G. Tan membedakan
antara golongan mayoritas-minoritas atas dasar kelompok kecil masyarakat kota dan
kelompok besar masyarakat desa, antara kelompok kecil kaum terdidik dan masa tak terdidik,
antara sejumlah kecil orang kaya dengan sejumlah besar orang miskin, serta klasifikasi yang
terkait dengan sifat majemuk masyarakat indonesia (lihat Tan, 1976).
Sehubungan dengan konsep mayoritas ini, ada baiknya kita melihat konsep
kebudayaan mayoritas dominan (dominant majority culture) yang diangkat Edward M.
Bruner dari penelitiannya di kota Medan dan Bandung (lihat Bruner, 1974). Menurut Bruner
ada-tidaknya suatu kebudayaan mayoritas dominan menentukan bentuk hubungan
antarkelompok di suatu wilayah. Medan merupakan suatu kota yang terdiri atas sejumlah
minoritas tanpa adanya suatu kebudayaan dominan sehinga antara kelompok etnik yang ada
berkembang persaingan ketat dan hubungan antaretnis yang tegang, sedangkan di kota
Bandung kebudayaan yang dominan ialah kebudayaan sunda selaku kebudayaan kelompok
mayoritas sehingga di sana pendatang harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan tersebut
dan hubungan antaretnis yang ada bersifat lebih terbuka dan santai.
RAS
Apakah yang dimaksukan dalam konsep ras? Banton (1967:55-76) mengemukakan
bahwa kelompok ras dapat didefinisikan secara fisik maupun secara sosial. Namun
menurutnya kedua definisi tersebut tidak pernah dapat identik, karena pendefinisian secara
fisik selalu mengalami distorsi demi kepentingan definisi sosial sehingga antara definisi fisik
dan definisi sosial terjadi kesenjangan. Sebagai contoh Banton mengajukan pengalaman
Henry Koster, yang mengisahkan bagaimana di Brazil abad 19 seorang berdarah campuran
(mullato) diperlakukan sebagai orang Kulit Putih setelah ia berhasil meraih posisi tinggi
dalam masyarakat. Banton mengemukakan pula bahwa di banyak negara bagian Selatan
Ameria seseorang yang mempunyai seorang nenek moyang berkulit Hitam secara sosial akan
di definisikan dan diperlakukan sebagai orang Kulit Hitam, meskipun secara fisik ia berdarah
campuran dan menurut warisan genetika ia myngkin lebih banyak berdarah Kulit Putih.
Bagi Banton ras merupakan suatu tanda peran (role sign); perbedaan fisik dijadikan
dasar untuk menetapkan peran yang berbeda. Dalam masyarakat ras majemuk yang
menghubungkan ras dengan harapan peran, kedudukan seseorang dalam dimensi kekuasaan,
prestise, dan privilese tergantung pada ciri fisik yang dibawanya sejak lahir. Apabila di
daerah Selatan Amerika di masa lampau seseorang secara sosial didefinisikan sebagai orang
Kulit Hitam maka peran yang diharapkan orang Kulit Putih darinya ialah, antara lain, sikap
menghormat di kala berhadapan dengan orang Kulit Putih, tidak menatap wajah, tidak
berbicara lebih dahulu bila tidak di sapa, menghindari pokok bahasan tertentu dan
sebagainya.
Redfield (1943) pun melihat bahwa konsep ras merupakan suatu gejala sosial yang
berlainan dengan konsep ras sebagai suatu gejala biologis. Menurutnya para ahli antropologi
fisisk tidak akan menganggap orang Yahudi sebagai suatu kelompok ras biologis, karena
menurut mereka persamaan di antara mereka terlalu sedikit sedangkan persamaan dengan
anggota kelompok lain terlalu besar. Dengan demikian Redfield menjuluki kaum Yahudi
sebagai kelompok yang secara sosial di anggap sebagai kelompok ras (socially supposed
race). Oleh karena kesukaran mengidentfikasikan orang Yahudi secara fisik maka di kala
kaum Nazi berkuasa di Eropa orang yang di anggap sebagai warga ras Yahudi diwajibkan
memakai pita kuning atau bintang David.
Adanya keterkaitan antara pengelompokan sosial dengan ciri fisik nampak dalam
definisi v.d. Berghe. Menurut v.d. Berghe (1967:9) ras berarti kelompok yang didefinisikan
secara sosial atas dasar kriteria fisik (a group that is socially defined but on the basis of
physical criteria).
Menurut v.d. Berghe sejumlah ilmuwan sosial enggan menggunakan istilah ras dan
lebih cenderung menggunakan istilah kasta (caste), dengan pertimbangan bahwa sebenarny
kelompok ras memiliki dua ciri yang sama dengan kasta di India yaitu adanya endogami dan
status yang tidak dapat berubah. Ia sendiri tidak keberatan atas penggunaan istilah kasta
untuk mengacu pada kelompok ras namun berusaha membedakan istilah kasta di India
dengan istilah kasta dalam pengertian kelompok ras dengan jalan menggunakan istilah kasta
ras (racial caste) atau kasta warna kulit (color caste. Lihat v.d. Berghe, 1967:11).
KELOMPOK ETNIK
Kalau konsep kelompok ras didasarkan pada persamaan ciri fisik, maka konsep
kelompok etnik di dasarkan pada persamaan kebudayaan. Francis (1947) mengklasifikasikan
kelompok etnik (ethnic group) sebagai suatu bentuk Gemeinschaft ( apakah anda masih ingat
pembagian kelompok oleh Tonnies?) yang ditandai persamaan warisan kebudayaan dan
ikatan batin (we-feeling) diantara anggotanya. Menurut Francis kelompok etnik merupakan
sejenis komunitas yang menampilkan persamaan bahasa, adat kebiasaan, wilayah, sejarah,
sikap, dan sistem politik. Perumusan yang lebih jelas adalah definisi Morris berikut ini: A
distinct category of the population in a large society whose culture is usually different from
our own. The members of such a group are, or feel themselves, or are thought to be, bound
together by common ties of race or nationaly or culture (Morris,1968).
Mengingat bahwa di Indonesia dikenal konsep suku bangsa, pertanyaan yang akan
timbul ialah: apa beda konsep suku bangsa dengan kelompok etnik? Koentjaraningrat (1983)
berpendapat bahwa kedua bermakna sama namun mengusulkan agar istilah kelompok etnik
diganti dengan istilah golongan etnik atau suu-bangsa dengan alasan bahwa suku-bangsa
bukan kelompok melainkan golongan. Yang dimaksudkannya dengan golongan ialah kategori
sosial. Istilah golongan digunakan pula oleh Mely G. Tan, yang mengedit buku berjudul
Golongan etnik Tionghoa di Indonesia (1979).
RASISME
Apakah yang dimaksudkan dengan istilah rasisme? Menurut Kornblum (1989:292):
Racism is an ideology based on the belief that an observable, suppsedly inherited
trait, such as skin color, is a mark of inferiority that justifies the discriminatory
treatment of people with that trait.
Di sini rasisme didefinisikan sebagai suatu ideologi. Ideologi ini di dasarkan pada
keyakinan bahwa ciri tertentu yang dibawa sejak lahir menandakan bahwa pemilik ciri
tersebut lebih rendah sehingga mereka dapat didiskriminasi. Pandangan hampir serupa kita
jumpai pula dalam definisi v.d. Berghe berikut ini:
Racism is any set of beliefs that organic, genetically transmitted differences (whether
real or imagined) between human group are intrinsically associated with the presence
or the absence of certain socially relevant abilities or characteristics, hence that such
differences are a legitimate basis of individous distinctions between group socially
defined as races (167:11).
Dalam definisi ini v.d. Berghe menjelaskan bahwa ciri yang diperoleh melalui
kelahiran itu dikaitkan dengan ada-tidaknya ciri dan kemampuan sosial tertentu sehingga
perlakuan berbeda terhadap suatu kelompok ras tertentu dibenarkan.
SEKSISME
Disamping rasisme kita menjumpai pula ideologi lain yang juga berusaha
membenarkan diskriminasi terhadap kelompok lain atas dasar anggapan bahwa perbedaan
yang dibawa sejak lahir terkait dengan status lebih rendah. Salah satu diantaranya ialah
sexism. Para penganut ideologi ini misalnya percaya bahwa dalam hal kecerdasan dan
kekuatan fisik laki-laki melebihi perempuan, atau bahwa perempuan lebih emosional
daripada laki-laki. Atas dasar ideologi ini dilakukanlah deskriminasi terhadap perempuan;
dalam hal pendidikan dan pekerjaan, misalnya, perempuan sering ditempatkan pada posisi
yang kurang memerlukan kecerdasan dan kekuatan fisik dan lebih menghendaki kecermatan
dan emosi. Kita pun mendengar bahwa para karyawati muda-terutama yang belum
berkeluarga-sering mengalami godaan dan gangguan pihak atasan atau rekan laki-laki
sekantor yang mengarah kehubungan seks (pelecehan seks atau sexual harrassment). Dalam
masyarakat kita masih menjumpai orang tua yang lebih mengutamakan pendidikan formal
bagi anak laki-laki daripada bagi anak perempuan mereka dengan mengemukakan bahwa
pendidikan terlalu tinggi bagi anak perempuan tidak perlu karena akhirnya mereka akan
menjadi ibu rumah tangga. Andaikata pun anak perempuan dibiayai pendidikan tingginya,
orang tua pun masih sering merasa berhak menentukan jurusan yang dipilih putrinya. Tidak
jarang anak perempuan yang ingin melanjutkan studi yang cenderung ditekuni laki-laki
seperti misalnya matematika, ilmu pengetahuan alam atau teknologi terpaksa mengurungkan
niatnya karena orang tua mereka mengarahkan mereka ke bidang yang menurut mereka lebih
cocok dengan “kodrat perempuan” seperti bidang pendidikan dan keguruan, kesejahteraan
keluarga, kesekretariatan dan keperawatan. Dalam berbagai masyarakat perempuan tidak
mempunyai hak pilih.
AGEISM
Ideologi lain yang dikaitkan dengan ciri yang dibawa sejak lahir ialh ideologi bahwa
orang pada usia tertentu layak didiskriminasi karena mereka kurang mampu apabila
dibandingkan dengan orang dalam kelompok usia lain (ageism). Dalam hal pendapatan,
misalnya, orang dibawah umur dan orang berusia lanjut cenderung menerima lebih sedikit
daripada orang dewasa yang berada dalam usia kerja karena adanya ideologi bahwa orang
dalam usia kerja lebih produktif daripada anak-anak atau orang berusia lanjut. Dibidang
kekuasaan kita sering menjumpai bahwa orang yang berada pada usia kerja pun cenderung
mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut nasib di bawah umur serta orang berusia
lanjut, seperti misalnya keputusan mengenai pilihan pendidikan, pemenuhan keperluan
pokok, besarnya tunjangan pensiun dan sebagainy dengan alasan bahwa orang dewasa
berusia kerja lebih mengetahui apa yang baik bagi anak-anak dan orang berusia lanjut.
Stratifikasi berdasarkan kesehatan mental pun melibatkan perbedaan kekuasaan,
prestise dan privilese. Orang yang di nilai cacat mental oleh masyarakat harus tunduk pada
kekuasaan orang yang dinilai bermental sehat. Berulang kali kita memperoleh informasi dari
media massa bahwa di berbagai daerah kita orang yang sakit jiwa dipasung oleh keluarganya.
Dalam masyarakat industri maju orang yang sakit jiwa seringkali dirawat dirumah sakit jiwa
untuk jangka waktu lama di luar kehendak mereka. Di bidang prestise dan privilese status
mereka rendah pula karena mereka tidak mampu bertindak mandiri sehingga dalam semua
urusan harus diwakili orang lain.
RASIALISME
Dikala kita berbicara mengenai rasisme kita berbicara mengenai idelogi yang
membenarkan diskriminasi terhadap anggota kelompok ras lain. Apabila kita berbicara
tentang rasialisme, di pihal lain, kita tidak berbicara mengenai ideologi melainkan mengeai
praktik diskriminasi terhadap kelompok ras lain. Praktik berupa penolakan menjual atau
menyewakan rumah atau kamar kepada anggota kelompok ras atau etnik tertentu atau
penolakan lamaran kerja atau lamaran masuk sekolah yang diajukan oleh anggota kelompok
ras atau etnik tertentu, apabila didasarkan pertimbangan rasisme, merupakan praktik rasialis.
Akhir-akhir ini berkembang gejala rasialisme di beberapa negara Eropa, yang antara lain
berbentuk serangan fisik kelompok pemuda kulit putih terhadap orang asing seperti para
migran dan pengungsi dari Timur Tengah yang telah membawa korban jiwa dan harta benda.
HUBUNGAN ANTARKELOMPOK: DIMENSI SEJARAH
Bagaimanakah stratifikasi etnik timbul? Menurul Noel (1968) statifikasi etnik (yang
mencakup pula stratifikasi ras, agama, dan kebangsaan) hanya dapat terjadi apabila tiga
prasyarat terpenuhi, yaitu: etnosentrisme, persaingan, dan perbedaan kekuasaan. Oleh
Sumner(1940), etnosentrisme didefinisikan sebagai”. . . view of things in which one’s own
group is the center of everything, and all others are scaled and rated with reference to it”—
suatu sudut pandang yang menempatkan kelompok sendiri di atas segala-galanya dan yang
menilai kelompok lain dengan memakai kelompok sendiri sebagai acuan. Stratifikasi etnik
tidak terjadi bila yang terpenuhi hanya satu atau dua prasyarat. Etnosentrisme saja, misalnya,
tidak mengakibatkan stratifikasi etnik bila antara kedua kelompok yang berinteraksi terjalin
kerja sama dan kesalingtergantungan. Etnosentrisme dan persaingan tanpa disertai perbedaan
kekuasaan, menurut Noel, hanya akan menghasilkan persaingan berkepanjangan tanpa
penyelesaian. Untuk membuktikan tesisnya Noel mengemukakan bahwa berkembangnya
kontak antara kelompok Kulit Putih dan kelomlpok Kulit Hitam menjadi hubungan
perbudakan dimungkinkan karena adanya etnosentrisme di pihak kelompok Kulit Putih,
adanya persaingan di bidang ekonomi, dan adanya kekuasaan lebih besar di pihak kelompok
Kulit Putih.
Stratifikasi jenis kelamin merupakan suatu gejala yang diusahakan untuk dijelaskan
oleh berbagai ilmuwan sosial. Dalam kaitan ini Ransford (1980) menyajikan beberapa
pandangan, antara lain dari Randall Collins dan Talcott Parsons. Collins berpandangan bahwa
satu-satunya faktor yang mengawali dan mendasari dominasi dan eksploitasi laki-laki atas
perempuan ialah kekuatan fisik. Namun Collins melihat bahwa eksploitasi ini dapat
dihentikan bila perempuan dilindungi oleh negara, dan bilamana perempuan dapat meraih
posisi di bidang ekonomi.
Parsons mengaitkan stratifikasi dengan industrialisasi. Menurutnya dalam masa
praindustri belum ada pembagian kerja yang jelas dan tegas antara laki-laki dan perempuan;
baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi
bahan keperluan pokok. Dalam banyak masyarakat pedesaan kita, misalnya, kaum
perempuan bahu-membahu dengan para laki-laki dalam kegiatan produksi di bidang
pertanian maupun peternakan. Namun dengan munculnya industrialisasi maka terjadi pula
pembagian kerja yang semakin rinci, dan fungsi yang semula dilakukan oleh laki-laki
maupun perempuan lambat laun dipisahkan. Perempuan semakin berperan dalam keluarga,
sedangkan laki-laki lebih berperan di luar keluarga. Fungsi tertentu seperti sosialisasi anak
lebih ditekankan pada perempuan, sedangkan fungsi lain seperti mencari nafkah lebih banyak
dilakukan oleh laki-laki.
Stratifikasi usia merupakan suatu pokok bahasan yang diulas secara rinci oleh
Ransford (1980b). Menurut Ransford kekhususan stratifikasi usia terletak pada kenyataan
bahwa status dalam jenjang kekuasaan, prestise dan privilese berbentuk kurvilinear—pada
usia muda dan usia status seseorang rendah, sedangkan status tinggi dimiliki di kala
seseorang berusia dewasa. Dikala berusia muda seorang anak berada di bawah kekuasaan
orang tuanya, wajib menghormati mereka dan secara ekonomis pun tergantung pada mereka.
Kekuasaan, prestise dan privilese mulai dimiliki semenjak seseorang mulai meningkat
dewasa dan meningkat sampai menjelang usia pensiun. Setelah itu kekuasaan, prestise dan
privilese berkurang dan seseorang cenderung semakin tergantung pada orang yang lebih
muda.
POLA HUBUNGAN ANTAR KELOMPOK
Atas dasar perjalanan sejarah hubungan antarkelompok para ilmuwan sosial telah
mengidentifikasi berbagai kemungkinan pola hubungan. Banton (1967:68-76) misalnya
mengemukakan bahwa kontak antara dua kelompok ras dapat diikuti proses akulturasi,
dominasi, paternalisme, pluralismme, atau integrasi. Meskipun Bonton mengkhususkan diri
pada pola hubungan antarras, beberapa di antara pola yang disebutkannya dijumpai pula pada
hubungan antarkelompok lain.
Akulturasi terjadi manakala kebudayaan kedua kelompok ras yang bertemu mulai
berbaur dan berpadu. Meskipun menurut Banton akulturasi sering terjadi antara kebudayaan
dua masyarakat yang posisinya relatif sama, namun ini tidak menutup kemungkinan terhadap
bentuk akulturasi antara dua masyarakat yang posisinya tidak sama. Di masa penjajahan,
misalnya, kita melihat bahwa kebudayaan orang Belanda di Indonesia menyerap berbagai
unsur kebudayaan Indonesia, seperti cara berbusana (misalnya pemakaian bahan batik untuk
celana laki-laki), cara makan (misalnya makan nasi dengan lauk-pauknya yang dijuluki
rijsttafel), dan gaya berbahasa (misalnya penyerapan kata dari bahasa daerah).
Menurut v.d. Berghe (1967) dalam sejumlah kasus akulturasi disertai pula oleh proses
dekulturasi (deculturatiori). Contoh yang antara lain dikemukakannya ialah kasus hilangnya
kebudayaan asli dan hancurnya kehidupan keluarga orang Afrika yang secara paksa diculik
untuk dijadikan budak di Amerika Utara, dan dibunuhnya unsur pimpinan orang Aztec di
Mexico oleh orang Spanyol yang diikuti dengan pemindahan penduduk secara paksa,
penundukan, dan penciptaan semacam sistem feodal baru (v.d. Berghe, 1967).
Dominasi terjadi bilamana suatu kelompok ras menguasai kelompok lain. Kedatangan
orang Kulit Putih di benua Asia, Afrika, Amerika dan Australia diikut dengan dominasi atas
penduduk setempat. Disamping dalam hubungan antarras sebagaimana yang disebutkan
Banton, pola domonasi ini tentu kita jumpai pula dalam pengelompokan lain. Kita
menjumpai, antara lain, bahwa suatu kelompok etnik mendominasi kelompok etnik lain, laki-
laki mendominasi perempuan, orang kaya mendominasi orang miskin, orang dewasa
mendominasi orang yang belum cukup umur dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan dominasi ini ada baiknya kita memperhatikan empat macam
kemungkinan proses yang menurut Kornblum (1988) dapat terjadi dalam suatu hubungan
antarkelompok, yaitu pembunuhan secara sengaja dan sistematis terhadap anggota suatu
kelompok tertentu (genocide), pengusiran, perbudakan, segregasi dam asimilasi. Kita lihat,
misalnya, bahwa dalam berbagai kasus dominasi dilakukan bersamaan dengan pembunuhan
terhadap penduduk.
Selama Perang Dunia II sekitar enam juta orang Yahudi dibunuh secara masal oleh
kaum Nazi Jerman. Contoh lain dalam sejarah mengenai genocide ialah, antara lain,
pembunuhan yang di alami warga suku Aztec di Mexico di tangan orang Spanyol, suku
Indian di tangan orang Amerika, orang Cambodia di tangan rezim Khmer Merah di bawah
Pol Pot, dan orang Bushmen di tangan orang Boer di Afrika Selatan. Pembunuhan yang
dilakukan orang Serbia terhadap sejumlah besar warga Muslim di Bosnia-Herzegovina sejak
tahun 1992 dan terhadap orang keturunan Albania di Kosovo pada tahun 1999-suatu proses
yang oleh pers diberi nama ethnic cleansing (pembersihan etnik yang selain pembunuhan
melibatkan pula pengusiran jutaan warga Muslim Bosnia dan Kosovo, penahanan,
penganiayaan dan perkosaan terhadap kaum perempuan) termasuk dalam kategori ini (lihat,
antara lain, TIME No. 33 th 1992). Kematian warga suatu kelompok ras dalam jumlah besar
sering terjadi pula karena mereka menjadi korban berbagai penyakit baru yang dibawa oleh
kelompok ras pendatang yang dominan.
Pengusiran terhadap warga suatu kelompok ras atau etnik merupakan pola yang sering
terjadi dalam sejarah. Di Uganda pernah terjadi pengusiran terhadap orang keturunan India.
Di Indonesia pernah ada larangan bagi orang asing untuk bersagang di pedesaan, dengan
akibat bahwa sejumlah besar warga negara asing keturunan Tionghoa terpaksa pindah dari
daerah pedesaan ke daerah perkotaan atau bahkan ke luar negri. Berbagai bentrokan
antarkelompok yang terjadi pada tahun 1999 di berbagai daerah yang diwarnai pembunuhan
dan pembakaran kawasan hunian telah mengakibatkan pengungsian sejumlah besar warga
kelompok migran asal Madura dari Kabupaten Sambas dan warga asal Sulawesi Selatan dari
Pulau Ambon. Pemerintah Israel secara berkala mengusir warga Palestina dari tepi Barat
sungai Jordan sedangkan pembangunan permukiman Yahudi di kawasan tersebut berjalan
terus.
Menurut Banton paternalisme adalah suatu bentuk dominasi kelompok ras pendatang
atas kelompok ras pribumi. Banton mengemukakan bahwa pola ini muncul manakala
kelompok pendatang yang secara politik lebih kuat mendirikan koloni di daerah jajahan.
Dalam pola hubungan ini Banton membedakan tiga macam masyarakat: masyarakat
metropolitan (di daerah asal pendatang ), masyarakat kolonial yang terdiri atas para
pendatang serta sebagian dari masyarakat pribumi, dan masyarakat pribumi dijajah. Dalam
pola hubungan paternalismme ini penduduk pribumi tetap berada di bawah kekuasaan
penguasa pribumi, namun penguasa pribumi mengakui kedaulatan penguasa asing atas
wilayah mereka. Di masa penjajahan pola seperti ini pernah diterapkan Belanda di berbagai
daerah di Indonesia.
Integrasi yang dimaksudkan Banton ialah pola hubungan yang mengakui adanya
perbedaan ras dalam masyarakat tetapi tidak memberi makna penting pada perbedaan ras
tersebut. Hak dan kewajiban yang terkait dengan ras seseorang hanya terbatas pada bidang
tertentu saja dan tidak ada sangkut-pautnya dengan bidang pekerjaan atau status yang diraih
dengan usaha.
Menurut Banton pluralisme merupakan suatu pola hubungan yang di dalamnya
mengenal pengakuan persamaan hak politik dan hak perdata semua warga masyarakat namun
memberikan arti penting lebih besar pada kemajemukan kelompok ras daripada dalam pola
integrasi. Dalam pola ini solidaritas dalam masing-masing kelompok ras lebih besar.
Perlu di kemukakan di sini bahwa penulis lain mempunyai gambaran berbeda
mengenai konsep pluralisme ini. Furnivall, misalnya, berpendapat bahwa masyarakat
majemuk merupakan suatu masyarakat yang di dalamnya kelompok berbeda tercampur tetapi
tidak berbaur. Contoh yang dikemukakannya ialah masyarakat indonesia di masa penjajahan,
yang di dalamnya mempunyai tiga kelompok ras yang hidup berdampingan dalam satuan
politik yang sama namun menurutnya terpisah: kelompok Eropa, kelompok Timur Asing,dan
kelompok pribumi (lihat Furnivall,1948). Contoh lain dari masyarakat majemuk dalam artian
ini menurut Broom dan Selznick (1977) ialah masyarakat Kanada yang terdiri atas dua
kelompok utama: kelompok keturunan Prancis di Quebec dan kelompok keturuna Inggris,
masyarakat Swiss yang terdiri atas dua kelompok agama (Protestan dan Katolik) dan
mengenal tiga bahasa nasional (Jerman, Italia dan Perancis), dan masyarakat Afrika Selatan
yang terdiri atas kelompok Kulit Putih dan kelompok Kulit Berwarna (kelompok Kulit Hitam
dan kelompok Keturunan Asia). Banton berpendapat bahwa suatu pola mempunyai
kecenderungan untuk lebih berkembang ke suatu arah tertentu daripada ke arah lain.
Dikemukakannya, antara lain, bahwa pola dominasi cenderung mengarah ke pola pluralisme,
sedangkan pola akulturasi dan pola paternalisme cenderung mengarah ke pola integrasi.
Stanley Lieberson pun mencoba mengklasifikasikan pola hubungan antarkelompok
(lihat Lieberson, 1961). Menurutnya kita dapat membedakan antara dua pola utama: pola
dominasi kelompok pendatang atas kelompok pribumi (migrant superordination), dan pola
dominasi kelompok pribumi atas kelompok pendatang (indigenous superordination). Pola
dominasi pendatang terutama kita jumpai dalam kasus kedatangan orang Eropa ke berbagai
daerah di Asia, Afrika dan Amerika. Pola dominasi kelompok pribumi atas pendatang kita
jumpai dalam kasus negara Eropa dan Amerika yang menerima imigran dari negara lain;;
misalnya dominasi kelompok Kulit Putih di Inggris, Perancis, Amerika Serikat atas para
imigran.
Menurut Lieberson perbedaan pola hubungan superordinasi-subordinasi antara
migran-penduduk asli menentukan pula hubungan antara kedua kelompok. Dikemukakannya,
antara lain, bahwa pengendalian politik dan ekonomi oleh migran menghasilkan perubahan
besar pada institusi politik dan ekonomi serta demografi penduduk setempat dan suatu waktu
cenderung memancing reaksi keras dari mereka. Dari sejarah masyarakat kita tentu masih
kita ingat bahwa dominasi Belanda di Pulau Jawa antara lain ditandai kebijaksanaan ekonomi
berupa perubahan pertanian padi yang berorientasi pada konsumsi sendiri menjadi pola
pertanian tanaman yang berorientasi pada ekspor. Kebijaksanaan ini membawa dampak besar
pada struktur penduduk; Geertz (1963) misalnya mengemukakan bahwa kebijaksanaan
belanda dalam penanaman tebu mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk Pulau Jawa.
Kita pun telah melihat bahwa di berbagai kawasan kedatangan dan dominasi orang Barat
telah mengakibatkan berkurangnya jumlah penduduk setempat karena dilaksanakannya
genocide dan tersebarnya penyakit baru.
Dominasi pribumi di bidang ekonomi dan politik, di pihak lain, kurang memancing
konflik dengan pihak migran yang didominasi. Penguasa pribumi cenderung dapat
mempertahankan keutuhan institusi politik dan ekonomi mereka.
Dalam bidang kontak dengan kelompok etnik lain Lieberson melihat bahwa dalam
rangka memantapkan kepentingan mereka kelompokmigran dominan kadangkala mengubah
komposisi penduduk dengan jalan mendatangkan migran dari kelompok lain. Orang Inggris,
Amerika dan Portugis, misalnya, mendatangkan orang Afrila ke Amerika untuk dipekerjakan
sebagai budak di perkebunan; untuk memenuhi keperluan akan tenaga pengusaha orang
Belanda mendatangkan orang Tionghoa ke Indonesia dan orang Inggris mendatangkan orang
India ke Fiji; orang Jawa dikirim Belanda ke Suriname untuk bekerja di perkebunan.
Kelompok pribumi dominan, di pihak lain, berusaha mempertahankan dominasi mereka
dengan jalan mengendalikan jumlah dan jenis migran yang masuk dalam masyarkat mereka.
Perbedaan lain yang di lihat Lieberson terletak di bidang konflik dan asimilasi.
Lieberson melihat bahwa di situasi dominasi migran sering terjadi perang antara migran dan
penduduk setempat, dan bahwa di kalangan penduduk setempat sering berkembang
nasionalisme yang kuat. Dalam situasi dominasi penduduk setempat, di pihak lain, kelompok
migran cenderung mengasimilasikan diri dengan penduduk setempat.
DIMENSI SIKAP
Prasangka
Dalam hubungan antarkelompok sering ditampilkan sikap yang khas. Dalam kaitan
ini, salah satu konsep yang banyak diulas oleh para ilmuwan sosial ialah prasangka
(prejudise).
Prasangka (prejudise) merupakan suatu istilah yang mempunyai berbagai makna.
Namun dalam kaitannya dengan hubungan antarkelompok istilah ini mengacu pada sikap
bermusuhan yang ditujukan terhadap suatu kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa
kelompok tersebut mempunyai ciri yang tidak menyenangkan. Sikap ini dinamakan
prasangka sebab dugaan orang yang dianut orang yang berprasangka tidak didasarkan pada
pengetahuan, pengalaman ataupun bukti yang cukup memadai. Pandangan laki-laki bahwa
perempuan lebih banyak emosi dan kurang rasio, pandangan orang Kulit Putih di daerah
selatan Amerika Serikat bahwa oarang Kulit Hitam adalah orang yang tidak tahu diri dan
yang bertekad untuk menyaingi karyawan Kulit Putih serta memperkosa perempuan Kulit
Putih (lihat v.d. Berghe, 1967:87), pandangan dikalangan orang pribumi kita di Sukabumi
bahwa orang Tionghoa terlalu lihai ddan curang dalam berdagang semata-mata tertarik pada
uang (lihat Tan,1963:274),pandangan dikalangan orang Tiongha di Semarang bahwa mereka
lebih cerdas dan lebih mampu daripada orang Indonesia (lihat Willmott,1970),pandangan
dikalangan orang Sunda bahwa orang Batak kasar dan agresif (lihat Bruner,1974) merupakan
contoh mengenai prasangka antarkelompok.
Menurut Banton (1967:293-314) dalam hal tertentu istilah prasangka mempunyai
makna hamper serupa dengan istilah antagonism dan antipati.Beda utamanya ialah bahwa
antagonisme atau antipati dapat dikurangi atau diberantas melalui pendidikan,sedangkan
sikap bermusuhan pada orang yang berprasangka bersifat tidak rasional dan berada dibawah
sadar sehingga sukar diubah meskipun orang yang berprasangka tersebut diberi
penyuluhan,pendidikan atau bukti yang menyangkal kebenaran prasangka yang dianut.
Mengapa suatu kelompok berprasangka terhadap kelompok lain? Salah satu teori
yang dipelopori Dollard ialah teori frustrasi-agresi.Menurut Banton (1967:294-299) teori ini
mengatakan bahwa orang yang akan melakukan agresi manakala usahanya untuk
memperoleh kepuasan terhalang.Jika agresi tidak dapat ditujukan pada pihak yang
menghalangi usahanya,maka agresi tersebut dialihkan (displaced) ke suatu kambing hitam
(scapegoat).Menurut teori ini dimasa lalu orang kulit putih miskin di daerah Selatan Amerika
Serikat yang tidak memperoleh pekerjaan,misalnya,mengalihkan agresi mereka pada sasaran
yang tidak berdaya,yaitu orang kulit hitam.Penelitian Selo Soemardjan terhadap perilaku
kolektif di Sukabumi pada tahun 1963 mengungkapkan bahwa perusakan orang pribumi
terhadap harta benda orang Tiongha antara lain dilandasi rasa tidak puas terhadap
pemerintah,yang dialihkan pada orang Tiongha.Kesulitan ekonomi yang banyak dihadapi
orang Jerman bagian Timur setelah terjadinya penyatuan Jerman Timur dengan Jerman Barat
diduga menjadi salah satu sebab terjadinya seorang fisik terhadap para migran dan pengungsi
asing yang bermukim di negara itu.
STEREOTIP
Stereotip (stereotype) merupakan suatu konsep yang erat kaitannya dengan konsep
prasangka:orang yang menganut stereotip mengenai kelompok lain cenderung berprasangka
terhadap kelompok tersebut.Menurut Kornblum (1988:303) stereotip merupakan citra yang
kaku mengenal suatu kelompok rasa tau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran
citra tersebut.Menurut Banton (1967:299-303) stereotip mengacu pada kecenderungan bahwa
sesuatu yang dipercayai orang bersifat terlalu menyederhanakan dan tidak peka terhadap
fakta objektif. Stereotip mungkin ada benarnya,tetapi tidak seluruhnya benar.Menurut
stereotip yang yang dipunyai orang Amerika mengenai orang keturunan
Polandia,misalnya,orang Polandia antara lain bodoh,kotor,tidak berpendidikan,tidak
berbudaya(lihat Kornblum,1988:304).Menurut Kornblum stereotip ini berasal dari abad ke
19,tatkala orang Polandia yang bermigrasi ke Amerika adalah petani yang tak berpendidikan.
Stereotip yang dikemukakan diatas bersifat negatif.Namun stereotip dapat pula
bersifat positif,contohnya bahwa perempuan antara lain bersifat
menyenangkan,halus,hangat,berhati lmbut, memahami,sopan,lembut (lihat Light,Keller dan
Calhoun,1989:337).
Suatu klasifikasi menarik dikemukakan oleh Pettigrew (1968:277-282).Menurutnya
kita perlu memperhatikan dua macam stereotip negative yang saling bertentangan yang
diajukan oleh Janowitz dan Bettelheim:stereotip superego (the superego stereotype)dan
stereotip id (the id stereotype).Stereotip superego melihat suatu kelompok mempunyai sifat
pribadi tertentu,seperti sifat berambisi,rajin,penuh usaha,cerdas,curang,tidak jujur.Menurut
Pettigrew stereotip ini melekat pada kelompok tertentu yang sering menjadi perantara seperti
orang Yahudi,orang Tiongha di Asia,dan orang keturunan India di Afrika.Sebagaimana
nampak dari pembahasan diatas,menurut Tan stereotip sejenis ini dipunyai orang pribumi di
Sukabumi mengenai orang Tiongha.
Stereotip id,di pihak lain melihat bahwa suatu kelompok yang cenderung berada
pada lapisan bawah masyarakat bersifat malas,tanpa tanggung jawab,tidak
berambisi,bodoh,tidak dapat menahan diri.Menurut Pettigrew stereotip seperti ini antara lain
dipunyai orang kulit putih di Amerika mengenai orang kulit hitam,dan orang Italia mengenai
orang yang berasal dari Italia Selatan.Sebagaimana telah dikemukakan di kala membahas
prasangka,menurut Willmott stereotip sejenis ini dipunyai pula oleh orang Tiongha di
Semarang mengenai orang Indonesia.
DIMENSI INSTITUSI
Menurut Kinloch kajian mengenai dimensi institusi meliputi institusi dalam
masyarakat institusi social,politik,ekonomi yang mengatur hubungan
antarkelompok.Pengaturan tersebut menurut Kinloch dapat memperkuat pengendalian
social,sikap,dan hubungan antarkelompok (lihat Kinloch,1979).Perlu pula diingat bahwa
institusi dapat pula berfungsi untuk menghilangkan pola hubungan antarkelompok yang ada.
Ideologi rasisme yang menganggap bahwa orang kulit putih lebih unggul dari pada
orang kulit berwarna(white supremacy) antara lain pernah dianut Amerika Serikat dan di
Republik Afrika Selatan (lihat Banton,1967 dan v.d Beghe,1967).Meskipun kedua Negara ini
menamakan di negara demokrasi,namun menurut v.d Berghe (1967) demokrasi di Amerika
Serikat dan di Afrika Selatan dimasa lalu merupakan apa yang dinamakannya Herrenvolk
democracym (demokrasi bangsa yang lebih unggul).Dikala para perintis kemerdekaan
memikirkan demokrasi di Amerika yang mereka maksudkan bukan demokrasi bagi semua
kelompok dalam masyarakat melainkan demokrasi bagi orang kulit putih belaka.Dengan
demikian semula orang kulit hitam yang dikala itu diperbudak maupun kelompok kulit
berwarna lain seperti orang Indian tidak menikmati hak-hak warga negara yang dinikmati
orang kulit putih.Setelah perang saudara di Amerika berakhir dengan kemenangan pasukan
daerah Utara perbudakan orang kulit Hitam memang dihapuskan tetapi kemudian digantikan
dengan sistem diskriminasi ras yang bertujuan menegakkan kembali white supremacy yang
digoyahkan oleh penghapusan perbudakan.V.d Berghe mengidentifikasikan tiga macam
kebijaksanaan yang pernah diterapkan dinegara bagian selatan Amerika untuk menegakkan
keunggulan orang kulit putih (lihat v.d Berghe,1967:77-95).Salah satu diantaranya ialah
kebijaksanaan mencabut hak pilih(disfranchisement) orang kulit Hitam.Setelah Perang
Saudara berakhir hak pilih sejumlah besar orang Kulit Hitam di daerah Selatan dibatasi atau
dicabut dengan jalan mengundangkan peraturan baru yang menetapkan syarat tambahan bagi
pemilih seperti kewajiban lulus uji tertentu atau membayar pajak tertentu.
Kebijaksanaan lain yang pernah diterapkan didaerah Selatan ialah pemisahn warna
kulit secara fisik kebijaksanaan segregasi yang dikenal dengan nama Jim Crow.Orang yang
warna kulitnya berlainan antara lain tidak diperkenankan
beribadah,bekerja,bersekolah,makan,buang air,bepergian,bergaul,bahkan dimakamkan
bersama di suatu tempat.Segregasi ras ditegakkan melalui berbagai peraturan perundang-
undangan.Beberapa tahun yang lalu,kebijaksanaan serupa pun masih dijumpai di Afrika
Selatan dibawah nama apartheid (pemisahan).Menurut v.d.Berghe segregasi yang pernah
diterapkan melalui sistem apartheid itu berlangsung pada jenjang makro,meso,dan
mikro.Pada jenjang makro diterapkan pembedaan antara wilayah bagi Kulit Putih dan bagi
Kulit Hitam.Pada jenjang meso diterapkan kebijaksanaan pemisahan kawasan pemukiman
kelompok berbeda yang tinggal diwilayah yang sama.Pada jenjang mikro diterapkan
pemisahan fisik antarkelompok yang mencakup larangan
menikah,bergaul,bepergian,beribadah dan sebagainya.
Praktik ketiga yang menurut v.d.Berghe disuatu masa pernah diterapkan didaerah
Selatan Amerika Serikat ialah kebiasaan diluar jalur hukum untuk menyebarkan rasa takut
dalam bentuk terror terhadap kulit Hitam,antara lain berupa intimidasi,penganiayaan dan
paktik berbagai peraturan pembunuhan oleh massa yang dikenal istilah lynching.Di Afrika
Selatan belum lama berselang terungkap adanya suatu regu maut (death squad) yg melakukan
pembunuhan terhadap orang yang aktif dalam gerakan pembebasan Kulit Hitam serta
terhadap orang Kulit Putih yang bersimpati terhadap perjuangan tersebut.
Di Indonesia pun dikenal berbagai kebijaksanaan yang mengatur hubungan
antarkelompok.Dimasa penjajahan misalnya,penduduk dibagi dalam tiga kelompok:orang
Eropa,orang Timur Asing,dan orang Pribumi.Bagi masing-masing kelompok diterapkan
system hokum yang berbeda.Dibidang hokum perdata misalnya,bagi kelompok Eropa berlaku
hukum perdata barat sedangkan kelompok Pribumi berlaku hokum perdata adat.Sistem
peradilan yang mengadili serkara pidana dan perdata pun dibedakan.
Setelah kemerdekaan kita mengenal berbagai peraturan yang mengatur hubungan
antarkelompok,khususnya kelompok pribumi dan Tiongha.Leo Suryadinata menjabarkan
berbagai kebijaksanaan pemerintah dibidang kebudayaan,politik dan ekonomi.Kebudayaan
ini diterapkan pengaturan sekolah Tiongha,pembatasan penggunaan bahasa dan huruf
Tiongha ,dan juga agama serta adat istiadat.
Di bidang ekonomi pernah diterapkan kebijaksanaan seperti Sistem
Benteng,Gerakan Asaat dan Peraturan Pemerintah No. 10/1958.Sistem Benteng pada tahun
1950 terdiri atas pemberian perlakuan istimewa bagi importer pribumi dgn alasan melindungi
kepentingan nasional dan kepentingan kaum ekonomi lemah yaitu suatu kebijaksanaan
menurut Suryadinata dirasakan oleh orang Tionghoa sbg kebijaksanaan diskriminatif.Upaya
lain untuk melindungi pribumi muncul pula di awal 50 an dalam bentuk gerakan Asaatt.PP 10
tahun 1958 yang berisi larangan bagi WNA utk berdagang di perdesaan mgakibatkan
sejumlah besar orang Tionghoa berkewarganegaraan asing meninggalkan desa,sejumlah
besar diantara mereka kemudian bahkan meninggalkan Indonesia.
Di bidang politik dikenal berbagai kebijaksanaan politik luar negeri terhadap RRT
dan Taiwan yg membawa dampak terhadap orang Tionghoa di Indonesia.Pelaksanaan PP 10
terjadi dikala hubungan antara RI dan RRT kurang baik.Setelah hubungan antara dua negara
membaik di tahun 60-an tiba giliran orang Tionghoa yg dianggap mempunyai hubungan
dengan Taiwan untuk mengalami berbagai kesulitan.Keadaan berbalik lagi setelah hubungan
RI-RRT dibekukan menyusul terjadinya percobaan kudeta Gerakan 30 september.Orang
Tionghoa yg dianggap dekat dgn RRT dicurigai dan kemudian menjadi sasaran tindakan
aparat keamanan,sedangkan hubungan RI dgn Taiwan membaik lagi.Normalisasi hubungan
RI-RRT pada tahun 1990,di pihak lain pun membuka peluang usaha baru bagi kelompok
Tionghoa di Indonesia.
Kadang-kadang suatu masyarakat perlu menerapkan suatu bentuk diskriminasi
untuk mengimbangi ketidakadilan yg pernah dialami suatu kelompok di masa lalu.Di
Amerika Serikat,misalnya dikenal berbagai kebijaksanaan untuk memberikan jatah tertentu
bagi anggota kelompok minoritas dalam proses penerimaan karyawan agar kelompok ini
cukup terwakili dalam populasi angkatan kerja.Usaha pemerintah India di tahun 1990 untuk
memberikan hak istimewa dibidang pekerjaan bagi kelompok Harijan yang telah lama
menderita karena diskriminasi oleh kelompok kasta lebih tinggi mengakibatkan terjadinya
kerusuhan oleh para penentang kebijaksanaan ini serta hilangnya dukungan mayoritas
anggota parlemen sehingga cabinet jatuh.Di Malaysia pun diterapkan pemberian hak
istimewa bagi kelompok Melayu.
Diskriminasi institusi dijumpai pula trhadap anggota kelompok tertentu,misalnya
kaum perempuan,kaum penyandang cacat,kaum muda,kaum tua,tunawisma,pekerja
seks,waria,dan homoseks.Penyandang cacat fisik sering mengalami kesukaran dalam
memperoleh pendidikan atau pun pekerjaan.Masalah yang sama juga dialami oleh para waria
atau homoseks.Bekas narapidana sering sukar memperoleh pekerjaan meskipun selama
berada di rumah tahanan berkelakuan baik.
DIMENSI GERAKAN SOSIAL
Hubungan antarkelompokbaik hubungan yang berbentuk antar
ras,etnik,agama,generasi,jenis kelamin,antara penyandang cacat dengat yang sehat jasmani
dan rohani,sering melibatkan gerakan social baik yang diprakarsai oleh pihak yang
menginginkan perubahan maupun yang ingin mempertahankan keadaan yang ada.Usaha
untuk mengubah keadaan ini antara lain dikalangan para homoseks yang kini bergerak untuk
dapat melakukan pekerjaan tertentu yang semula tidak dapat mereka lakukan karna adanya
tantangan kuat dari masyarakat.Di Amerika,kaum homoseks memperjuangkan hak nya untuk
menjadi rohaniwan agama katolik,guru di sekolah,serta angkatan bersenjata.
Dikalangan orang usia lanjut mulai muncul gerakan untuk menghentikan praktik
yang dinilai mengandung diskriminasi terhadap orang berusia lanjut.Gerakan kelompok Kulit
Hitam seperti NAACP di Amerika Serikat serta ANC DI Republik Afrika Selatan ditujukan
pada diskriminasi ras.
Di pihak lain,kita sering menjumpai gerakan yang bertujuan mempertahankan
tatanan yang ada.Para feminis,kadangkala harus berhadapan dengan gerakan social yang
dilancarkan kaum perempuan berhaluan konservatif,yang bertujuan mempertahankan peran
perempuan sesuai dengan nilai-nilai tradisi yang berlaku.
DIMENSI PERILAKU DAN PERILAKU KOLEKTIF
Dimensi Perilaku
Diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari hubungan antarkelompok terwujud dalam
interaksi dengan anggota kelompok lain.Salah satu bentuk perilaku yang banyak ditampilkan
dalam hubungan antar kelompok ialah diskriminasi.Banton (1967:8) didefinisikan
sebagai”the differential treatment of person ascribed to particular categories.”Dalam
kehidupan sehari-hari kita dapat menyaksikkan berbagai bentuk diskriminasi yang ditujukan
pada anggota bebagai kelompok.Dibandingkan dengan kaum laki-laki misalnya,di kaum
perempuan sering mengalami lebih banyak kesukaran dalam memperoleh
pendidikan,pekerjaan atau jabatan tertentu karena dinilai berfisik lemah atau berwatak
emosional.Seorang anak Amerika usia remaja bernama Ryan White yang tertular virus HIV
melalui transfuse darah sehingga menemui ajalnya pada akhir hayatnya mengalami
diskriminasi:ia dilarang bersekolah karna masyarakat khawatir bahwa ia dapat menulari
teman-temannya.Para penyandang cacat sering mengalami kesulitan dalam memperoleh
pendidikan yang setara dengan pendidikan yang dinikmati anak-anak yang dianggap
normal.Para wisatawan asing sering mendapat pelayanan lebih baik dari petugas industry
wisata dari pada wisatawan dalam negeri.
Ranford membedakan antara diskriminasi individu (individual discrimination)dan
diskriminasi institusi (institusional discrimination).Lihat Ranfort,1980b).Berbeda dengan
diskriminasi individu yang menurut Ranford merupakan tindakan seorang pelaku yang
berprasangka,maka diskriminasi institusi tidak ada sangkut paut nya dengan prasangka
individu melainkan merupakan dampak kebijaksanaan atau praktik tertentu berbagai institusi
dalam masyarakat.Orang Kulit Hitam yang menetap didaerah kumuh di Perkotaan Amerika
yang cenderung tergolong kelompok berpenghasil rendah misalnya,memperoleh pendidikan
yang bermutu rendah karena kebanyakan sekolah mereka tidak mampu menyediakan guru
dan perlengkapan yang memadai,dengan begitu pengetahuan dan keterampilan mereka pun
berkualitas rendah,sehingga mereka kurang mampu bersaing dipasaran kerja dan angka
pengangguran akan lebih tinggi daripada kelompok Kulit Putih.
Meskipun diskriminasi individu sering kali terkait dengan prasangka,namun
prasangka bukanlah prasyarat bagi perilaku diskriminasi dan sebaiknya prasangka yang
dianut seorangpun tidak selalu membuahkan perilaku diskriminasi.Seorang dapat saja
melakukan diskriminasi terhadap anggota kelompok lain,perempuan,homoseks,bekas
narapidana,penyakit AIDS,atau penyandang cacat bukan karena ia meragukan
pengetahuan,keterampilan ataupun sifat mereka,melainkan karena khawatir bahwa
pondok,misalnya dapat saja menolak untuk menyawakan kamar pada seseorang yang
beragama atau bersukubangsa lain manakala iya yakin bahwa hal ini akan berakibat
terjadinya jarak social antara dirinya dengan para tetangga atau kerabatnya.
Prasangka pun tidak selalu diikuti diskriminasi. Meskipun seorang pengusaha
sebetulnya tidak menghendaki anggota kelompok agama atau suku bangsa lain sebagai
pelanggan karna berprasangka terhadap mereka,misalnya, namun ia terpaksa memberikan
pelayanan yang baik pada mereka karena khawatir bahwa tindakan diskriminasi olehnya akan
berakibat tuntunan ke pengadilan .
Jarak social . menurut banton, diskriminasi yang didefinikasinya sebagai perlakuan
berbeda terhadap orang yang termasuk dalam kategori tertentu mewujudkan jarak social.
Dengan menggunakan skala sikap yang mereka namakan skala jarak social (social distance
scale ) para ilmuan social dapat mengukur jarak social satu kelompok dengan kelompok yang
lain.Skala tersebut memuat sejumlah pertanyaan mengenai kesediaan seseorang untuk
menikah,bekerja sama,berteman,bertetanggatidak tinggal sekawasan dan tidak tinggal
senegara dengan orang dari kelompok kebangsaan atau ras lain.Meskipun yang mereka teliti
ialah sikap,namun kita dapat pula mengatakan bahwa yang dikategorikan sebagai indicator
jarak social antara lain mencakup perilaku menjauhi anggota kelompok lain,seperti perilaku
endogamy,perilaku berteman atau bergaul,dan perilaku bermukim.
Pernikahan tidak hanya memungkinkan hubungan pribadi yang intim antara kedua
mempelai tetapi juga hubungan social erat antara keluarga kedua belah pihak,sehingga
dimungkinkannya seorang anggota suatu kelompok menikah dengan anggota kelompok lain
dapat digunakan sebagai petunjuk kuat mengenai ketiadaan jarak social antara kedua
kelompok yang bersangkutan.Dalam kaitan ini sering dijumpai perilaku menjauhi pernikahan
dengan anggota kelompok lain yang sering didasarkan pada aturan yang ketat dengan disertai
ancaman hukuman yang berat.
Keengganan utk bertetangga dengan anggota kelompok lain pun merupakan suatu
indikasi mengenai jarak social.Keengganan orang kulit putih di banyak komonitas di
Amerika Serikat untuk bertetangga dengan orang kulit hitam tercermin dalam perilaku
menolak menjual atau menyewakan rumah atau kamar kepada orang Kulit Hitara,perilaku
kecenderungan untuk berpindah manakala orang kulit hitam berpindah kekawasan orang
berkulit putih,dan perilaku melakukan terror berupa ancaman dan perusakan harta benda
terhadap orang kulit hitam yang bermukim di kawasan orang kulit putih atau bahkan hanya
melewatinya.
Perilaku mengelompok dan menghindari kelompok lain ini menghasilkan kawasan
pemukiman tersegregasi ( segregated neighborhoods ).
Perilaku menghindari pergaulan dengan anggota kelompok lain merupakan indikasi
lain mengenai jarak social.di sekolah maupun di perguruan tinggi kita sering menjumpai
bahwa para siswa atau mahasiswa sering mengelompokan menurut agama,jenis
kelamin,kelompok etnik atau kelas social mereka .
Dimensi perilaku kolektif
Banyak diantara perilaku kolektif terbatas pada gerakan protes dan demonstasi
belaka. Namun tidak jarang pula suatu gerakan antar kelompok berkembang menjadi huru
hara yang dapat mengakibatkan pengrusakan harta benda atau bahkan mengakibatkan
jatuhnya korban jiwa.
Dengan sendirinya perilaku kolektif tidak hanya di jumpai dalam hubungan antar
ras , tetapi juga dalam hubungan antarkelompok lainnya. Di masa kini , misalnya di india
kita masih menjumpai bahwa seorang perempuan kasta atas yang kawin lari dengan seorang
laki-laki tanpa kasta (harjari )oleh masyarakat setempat dijatuhi hukuman mati berupa
penganiayaan dan penggantungan yang diikuti dengan pembakaran .perilaku kolektif yang
ditijikan pada kelompok agama tertentu kita jumpai pula di wilayah wilayah bekas Negara
yugosvalia dan bekas uni soviet.
Ringkasan
Dalam pembahasan kita mengenai kelompok kita telah melihat tipologi kelompok
menurut Robert bierstedt ,yaitu pembagian dalam 4 tipe kelompok yaitu statistical group ,
societal group, social group , dan associational group.faktor yang mempengaruhi kelompok
minoritas dapat dikaji dengan menggunakan dimensi sejarah,
demografi,sikap,institusi,gerakan social,dan tipe utama hubungan antar kelompok.
Suatu bentuk hubungan yang banyak disoroti dalam kajian terhadap hubungan antar
kelompok ialah hubungan mayoritas – minoritas.dalam definisi kinloch kelompok mayoritas
ditandai oleh adanya kelebihan kekuasaan.
Redfield melihat bahwa konsep ras merupakan suatu gejala social yang berlainan
dengan konsep ras sebagai suatu gejala biologis. Bagi berghe ras berarti kelompok yang
didenifisikan secara social atas dasar kriteriafisik.
Menurut francis kelompok etnik merupakan sejenis komunitas yg menampilkan
persamaan bahasa , adat kebiasaan,wilayah,sejarah,sikap,dan system politik . koenjaningrat
mengusulkan agar istilah kelompok etnik diganti dengan istilah golongan etnik / suku bangsa.
Rasisme didefinisikan sebagai suatu ideology yang didasarkan pada keyakinan
bahwa ciri tertentu yang dibawa sejak lahir menandakan bahwa pemilik ciri tersebut lebih
rendah sehingga mereka dapat didiskriminasi.Selain Rasisme kita menjumpai pula ideology
lain yang juga berusaha membenarkan diskriminasi terhadap kelompok lain seperti, sexism
dan ageism.Apabila kita berbicara tentang rasialisme kita juga berbicara mengenai praktik
diskriminasi terhadap kelompok ras lain.
Ideologi rasisme yang menganggap bahwa orang Kulit Putih lebih unggul dari pada
orang Kulit berwarna antara lain pernah dianut di Amerka Serikat dan di Republik Afrika
Selatan.Menurut Berghe di masa itu demokrasi di Amerika Serikat dan di Republik Afrika
Selatan merupakan apa yang dinamakannya “Herrenvolk democracy”.
Menurut Noel stratifikasi etnik terjadi apabila terpenuhi tiga syarat yaitu
etnosentrisme,persaingan,dan perbedaan kekuasaan.Collins berpandangan bahwa satu-
satunya factor yang mengawali dan mendasari stratifikasi jenis kelamin ialah kekuasaan
fisik,sedangkan Parsons mengaitkan stratifikasi jenis kelamin dengan industralisasi.Menurut
Ransford kekhususan stratifikasi usia terletak pada kenyataan bahwa status dlm jenjang
kekuasaan,prestise dan privilese berbentuk kurvilinear.
Banton mengemukakan bahwa kontak antara dua kelompok ras dapat diikuti proses
akulturasi,dominasi,paternalism,pluralism,dan integrasi.Dalam klasifikasi Lieberson
dibedakan antara pola dominasi kelompok pendatang atas kelompok pribumi dan pola
dominasi kelompok pribumi atas kelompok pendatang.
Dalam hubungan antarkelompok sering ditampilkan prasangka.Salah satu teori
untuk menjelaskan prasangka ialah teori frustasi agresi. Streotib merupakan suatu konsep
yang erat kaitannya dengan konsep prasangka.Stereotip dapat bersifat positif maupun
negative.Janowitz dan Bettelheim membedakan dua macam stereotip negative yang saling
bertentangan :stereotip superego dan stereotip id.
Salah satu bentuk perlaku yang banyak ditampilkan dalam hubungan antarkelompok
ialah diskriminasi.Ransford membedakan antara diskriminasi individu (individual
discrimination) dan diskriminasi institusi (institusional discrimination). Prasangka bukanlah
prasyarat bagi perilaku diskriminas,dan sebalikny perilaku yang dianut seseorang pun tidak
selalu membuahkan perilaku diskriminasi.
Menurut Banton diskriminasi mewujudkan jarak social.Dengan mengggunakan
skala sikap yang bukanlah prasyarat bagi perilaku diskriminas,dan sebalikny perilaku yang
dianut seseorang pun tidak selalu membuahkan perilaku diskriminasi.
Menurut Banton diskriminasi mewujudkan jarak social.Dengan mengggunakan
skala sikap yang dinamakan jarak social (social distance scale) para ilmuwan social dapat
mengukur jarak social satu kelompok dengan kelompok lain.
Berghe mengidentifikasikan tiga macam kebijaksanaan dinegara bagian Selatan
Amerika untuk menegakkan keunggulan orang Kulit Putih yaitu kebijaksanaan mencabut hak
pilih (disfranchisement) orang kulit hitam,pemisahan warna kulit secara fisik,dan kebiasaan
diluar jalur hukum untuk menyebarkan rasa takut dalam bentuk terror terhadap orang Kulit
Hitam,antara lain berupa intimidasi,penganiayaan dan praktik pembunuhan oleh massa yang
dikenal istilah lynching.
Di Indonesia pun dikenal berbagai kebijaksanaan yang mengatur hubungan
antarkelompok.Di masa penjajahan misalnya,penduduk dibagi dalam tiga kelompok,orang
Eropa,orang Timur Asing,dan orang Pribumi.Setelah kemerdekaan kita mengenal berbagai
peraturan yang mengatur hubungan antarkelompok khususnya antara kelompok Pribumi dan
kelompok Tionghoa.Kadang-kadang suatu masyarakat menerapkan kebijaksanaan yang
dikenal dengan nama reverse discrimination.
Hubungan antarkelompok sering melibatkan gerakan social baik yang diprakarsai
oleh pihak yang menginginkan perubahan maupun oleh mereka yang ingin mempertahankan
keadaan yang ada.
Hubungan antarkelompok pun sering berwujud perilaku kolektif.Tidak jarang suatu
gerakan antarkelompok berkembang menjadi huru-hara yang dapat mengakibatkan
pengrusakan harta benda atau bahkan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.Hubungan
antarkelompok pun sering melibatkan gerakan social baik yang diprakarsai oleh pihak yang
menginginkan perubahan maupun yang ingin mempertahankan keadaan yang ada.
KONSEP PENTING
Akulturasi : pembauran dan perpaduan kebudayaan kelompok ras tertentu.
Dekulturasi (deculturation) : proses hilangnya kebudayaan suatu kelompok setelah
bertemu dengan kelompok lain.
Disfranchisement : kebijaksanaan mencabut hak pilih suatu kelompok tertentu.
Diskriminasi (discrimination) : perlakuan berbeda terhadap orang yang
dikelompokkan dalam kategori khusus (Banton).
Diskriminasi individu (individual discrimination) : tindakan seorang pelaku yang
berprasangka (Ransford).
Diskriminasi institusi (institutional discrimination) : diskriminasi yang tidak ada
sangkut pautnya dengan prasangka individu melainkan merupakan dampak
kebijaksanaan atau praktik tertentu berbagai institusi dalam masyarakat.
Dominasi : penguasaan suatu kelompok terhadap kelompok lain.
Etnosentrisme (ethnocentrism) : pandangan bahwa kelompok sendiri merupakan pusat
segalanya dan semua kelompok lain ditimbang dan diukur dengan mengacu pada
kelompok sendiri (Sumner).
Genocide : pembunuhan secara sengaja dan sistematis terhadap anggota suatu
kelompok tertentu.
Hubungan antarkelompok (intergroup relations) : hubungan antara dua kelompok
atau lebih yang mempunyai ciri khusus.
Integrasi : suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam
masyarakat tetapi tidak memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut
(Banton)
Kelompok Etnik (ethnic group) : suatu kategori khas penduduk dalam masyarakat
lebih luas yang kebudayaannya biasanya berbeda dengan kebudayaan kita.
Lynching : intimidasi,penganiayaan dan praktik pembunuhan oleh massa Kulit Putih
terhadap orang Kulit Hitam di Amerika Serikat.
Mayoritas (majority) : setiap kelompok kekuasaan yang mendefinisikan dirinya
sebagai normal dan superior dan kelompok lain sebagai abnormal dan inferior atas
dasar beberapa hal yang dianggap sebagai ciri dan atas dasar itu melakukan
eksploitasi dan diskriminasi terhadap mereka(Kinloch).
Masyarakat majemuk (plural society) : suatu masyarakat yang didalamnya kelompok
berbeda tercampur tetapi tidak berbaur (Furnivall).
Paternalisme : suatu bentuk dominasi kelompok ras pendatang atas kelompok ras
pribumi.
Pluralisme : suatu pola hubungan yang didalamnya mengenal pengakuan persamaan
hak politik dan hak perdata semua warga masyarakat namun memberikan arti penting
lebih besar pada kemajemukan kelompok ras daripada dalam pola integrasi.
Prasangka (prejudice) : sikap bermusuhan yang ditujukan terhadap suatu kelompok
tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai ciri yang tidak
menyenangkan.
Ras (race) : kelompok yang didefinisikan secara social atas dasar criteria fisik
(v.d.berghe).
Rasialisme ( racialism) : praktik diskriminasi terhadap kelompok ras lain.
Rasisme (racism): sustu ideology yang didasarkan pada kepercayaan bahwa suatu ciri
yang dapat diamati dan dianggap diwarisi seperti warna kulit merupakan suatu tanda
perihal inferioritas yang membenarkan perlakuan diskriminasi terhadap orang yang
mempunyai ciri tersebut (kornblum).
Rasisme (racism) : perangkat kepercayaan bahwa perbedaan organic yang diwariskan
secara genetika (baik yang nyata maupun yang dikhayalkan) antara kelompok
manusia secara intrinsic berhubungan dengan ada tidaknya kemampuan social penting
tertentu , sehingga perbedaan demikian merupakan landasan sah bagi pembedaan
yang tidak menyenangkan antara kelompok yang secara social didefinisikan sebagai
ras (v.b.Berghe )
Reverse discrimination : suatu bentuk diskriminasi untuk mengimbangi ketidakadilan
yang pernah dialami suatu kelompok di masa lalu.
Skala jarak social (social distance scale ): skala sikap untuk mengukur jarak social
satu kelompok dengan kelompok lain.
Stereotip (stereotype ): citra yang kaku mengenai suatu kelompok rasa tau budaya
yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut ( kornbulm ).
Stereotip : kecendrungan bahwa sesuatu yang dipercayai orang bersifat terlalu
menyederhanakan dan tidak peka terhadap fakta objektif (banton)
Stereotip superego ( the superego stereotype ): suatu stereotib yang melihat bahwa
suatu kelompok mempunyai sifat pribada tertentu, seperti sifat berambisi, rajin,penuh
usaha, cerdas , curang, tidak jujur.
Stereotip id ( the id stereotype ) : stereotip yang melihat bahwa suatu kelompok yang
cenderung berada pada lapisan bawah masyarakat bersifat malas,tanpa tanggung
jawab, tanpa berambisi, bodoh,malas, tidak bisa menahan diri (Pettigrew).
Teori frustasi agresi (frustration aggression thery ): teori yang mengatakan bahwa
orang akan melakukan agresi manakala usahanya untuk memperoleh kepuasan
terhalang ( banton ).
White supremacy : ideology rasis yang menganggap bahwa orang kulit putih unggul
daripada orang kulit berwarna .