Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

67
HUBUNGAN ANTARA RANGKING DI KELAS DENGAN KEJADIAN KECACINGAN PADA ANAK DI SEKOLAH DASAR xxx, KABUPATEN SEMARANG JAWA TENGAH Proposal Penelitian Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh Program Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran Di susun oleh : Antonius Wahyu Hendrawan G2A009031 1

Transcript of Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

Page 1: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

HUBUNGAN ANTARA RANGKING DI KELAS DENGAN KEJADIAN

KECACINGAN PADA ANAK DI SEKOLAH

DASAR xxx, KABUPATEN SEMARANG

JAWA TENGAH

Proposal Penelitian

Diajukan untuk memenuhi tugas dan

melengkapi syarat dalam menempuh

Program Pendidikan Sarjana

Fakultas Kedokteran

Di susun oleh :

Antonius Wahyu Hendrawan

G2A009031

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG2012

1

Page 2: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

HALAMAN PENGESAHAN

HUBUNGAN ANTARA INFEKSI Soil Transmitted Helminths dengan

PRESTASI BELAJAR ANAK SEKOLAH DASAR 03 PRINGAPUS,

KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

Yang disusun oleh :

Antonius Wahyu Hendrawan

NIM : G2A 009 031

Telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Proposal Karya Tulis Ilmiah Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang pada tanggal 20 Februari 2008 dan

telah diperbaiki dengan saran-saran yang diberikan.

TIM PENGUJI PROPOSAL

Pembimbing, Penguji,

dr. Hadi Wartomo, SU, Sp. ParK dr. Akhmad Ismail NIP. 130701413 NIP.132163894

2

Page 3: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

DAFTAR ISI

Halaman judul …………………………………………………………………….i

Halaman pengesahan …………………………………………………………….ii

Daftar isi …………………………………………………………………………iii

Daftar lampiran………………………………………………………………… . .v

Bab 1 Pendahuluan ……………………………………………………………..1

1.1 Latar Belakang Masalah ………………………………………………1

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………..3

1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………………..3

1.4. Manfaat Penelitian…………………………………………………….4

Bab 2 Tinjauan Pustaka ……………………………………………………….…5

2.1. Soil Transmitted Helminth(STH)...………………………………...….5

2.2 Ascaris lumbricoides.. …………………………………………......….7

2.3.Trichuris trichiura ……………………………………..…………….10

2.4.Cacing Tambang …………………………………………………….12

2.5.Kriteria Ketuntasan Minimal(KKM)…………………………………15

2.6.Materi Pelajaran………..…………………………………………….18

2.7.Sarana dan Prasarana..………………………………………………..18

2.8.Suasana Lingkungan…………………………………………………19

2.9.Motivasi……….. …………………………………………………….20

3

Page 4: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

2.10.Kerangka Konsep...…………………………………………………20

2.11.Kerangka Teori……………………………………………………..21

2.12.Hipotesis…………………………………………………………….21

Bab 3 Metode penelitian ………………………………………………………22

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

…………………………………………...22

3.1.1.Lingkup Materi …..…...…………………………………………22

3.1.2.Lingkup Keilmuan………………………………………………22

3.1.3.Lingkup Tempat…....……………………………………………22

3.1.4.Lingkup Waktu …………………………………………………22

3.2. Jenis penelitian ………………………………………………………22

3.3. Populasi dan

sampel………………………………………………….23

3.2.1.Populasi …….…………………………………………………...23

3.2.2.Sampel……………………………………………………….….23

3.4. Bahan,Alat dan Cara Kerja.………………………………………….25

3.5. Pengumpulan Data ..…………………………………………………28

3.6. Cara Pengolahan Data .……………………………………………...29

3.7. Analisis Data ………………………………………….…………….29

3.8. Alur Penelitian.………………………………………………….…..30

3.9.Definisi Operasional …………………………………………………30

4

Page 5: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

Daftar Pustaka …………………………………………………………………...32

Lampiran

Daftar lampiran

Kuesioner Penelitian ……………………………………………………………35

5

Page 6: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

1. Salah satu masalah kesehatan yang masih banyak di Indonasia yaitu penyakit

cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Prevalensi cacingan di Indonesia

pada umumnya masih sangat tinggi yaitu sekitar 60 %. Kelompok umur

terbanyak adalah pada usia 5-14 tahun. Angka prevalensi 60 % itu, 21 % di

antaranya menyerang anak usia SD dan rata-rata kandungan cacing per orang

enam ekor. Data tersebut diperoleh melalui survei dan penelitian yang

dilakukan di beberapa provinsi pada tahun 2006. Hasil penelitian sebelumnya

(2002-2003) oleh subdit diare, pada 40 SD di 10 provinsi menunjukkan

prevalensi antara 2,2 % hingga 96,3 %. Penderita tersebar di seluruh daerah,

baik di pedesaan maupun perkotaan. Karena itu, cacingan masih menjadi

masalah kesehatan mendasar di negeri ini. (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Pedoman pengendalian cacingan. Jakarta: Lampiran Keputusan

Menteri Kesehatan RI, 2006.)

Cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helmiths

(STH) adalah cacing yang salah satu siklus hidupnya di tanah yang sesuai untuk

berkembang menjadi bentuk infektif. Diantara cacing tersebut yang terpenting

adalah cacing gelang ( Ascaris lumbricoides), cacing cambuk ( Trichuris

6

Page 7: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

trichiura), dan cacing tambang ( Ancylostoma duodenale dan Necator

americanus).

Hospes definitife dari cacing tersebut adalah manusia. Menurut golongan

umur askariasis dan trichuriasis lebih banyak ditemukan pada anak-anak,

sedangkan infeksi cacing tambang pada dewasa muda dan dewasa karena

berdasarkan lingkungan bermain dan pekerjaan.

Gejala-gejala yang ditimbulkan dari Cacingan bisa ringan sampai berat.

Gejala intestinal ringan yang timbul berupa nausea, vomitus, diare, nyeri perut,

konstipasi, hilang nafsu makan. Sadangkan gejala yang lebih berat antara lain

obstruksi usus, malnutrisi, perdarahan kronis, anemia, colitis dengan tinja

berlendir dan darah.

Oleh karena itu, akibat dari kecacingan pada manusia dapat menimbulkan

kehilangan zat gizi berupa karbohidrat dan protein serta kehilangan darah.

sehingga dapat menurunkan produktifitas kerja, juga dapat menghambat

perkembangan fisik dan kecerdasan atau penurunan konentrasi pada anak-anak

yang sedang dalam masa pertumbuhan. Daya tahan tubuh akan menurun bagi

yang terinfeksi dan mengakibatkan penyakit-penyakit lain.

Kecacingan pada anak usia sekolah sekiranya akan menghambat dalam

mengikuti pelajaran dikarenakan anak akan merasa cepat lelah, penurunan daya

konsentrasi, malas belajar dan pusing. Astuti 1990,Jakarta mengungkapkan

adanya kaitan antara status gizi dengan index prestasi (IP), sebanyak 58% murid

7

Page 8: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

dengan index prestasi tergolong kurang sampai buruk, yang terdiri dari 48%

dengan gizi kurang dan 10% gizi baik.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa

Tengah tahun 2004 – 2006 diperoleh bahwa hasil survei kecacingan tertinggi

berada di Kabupaten Semarang, Puskesmas Pringapus, Sekolah Dasar 03 yaitu

sebesar 25%. Sedangkan hasil survei kecacingan di beberapa kabupaten lainnya

relatif rendah, yaitu Kabupaten Jepara 5,38% , Kabupaten Temanggung 5,33% ,

Kabupaten Blora 4,19% dan Kabupaten Sukoharjo 4,05%.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dirumuskan

masalah sebagai berikut :

o Apakah ada Hubungan Antara rangking di kelas dengan kejadian

kecacingan pada anak

1.3. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan prestasi belajar anak dengan prevalensi

Soil Transmitted Helminth.

8

Page 9: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

2. Tujuan Khusus

1) Mengetahui prevalensi infeksi Soil Transmitted Helminth pada anak

Sekolah Dasar xxx

2) Mengetahui prestasi rangking siswa-siswi di kelas Sekolah dasar xxx

dengan prevalensi infeksi Soil Transmitted Helminth

3) Mengetahui hubungan antara infeksi Soil Transmitted Helminth

dengan tingkat prestasi belajar anak Sekolah Dasar 03 Pringapus

kelas lima dan kelas enam,

1.4. Manfaat

1. Memberikan informasi kepada masyarakat di daerah tersebut

mengenai prevalensi infeksi Soil Transmitted Helminth pada anak

Sekolah Dasar xxx

2. Memberikan bahan pertimbangan pada petugas di daerah tersebut

untuk meningkatkan penyuluhan bagi anak dengan resiko tinggi

infeksi Soil Transmitted Helminth

3. Memberikan bahan masukan kepada petugas untuk rencana

pencegahan dan pemberantasan infeksi Soil Transmitted Helminth di

daerah Pringapus Kabupaten Semarang, Jawa Tengah

4. Memberikan bahan masukan mengenai pentingnya kebersihan anak

dalam masyarakat khususnya anak usia sekolah

9

Page 10: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

5. Sebagai dasar bagi penelitian selanjutnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Soil Transmitted Helminth (STH)

Manusia merupakan hospes definitif beberapa nematoda usus (cacing

perut), yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Soil

Transmitted Helminth (STH) adalah cacing golongan Nematoda yang

memerlukan tanah untuk berkembang kebentuk infektifnya. Cacing yang

terpenting diantaranya adalah cacing gelang ( Ascaris lumbricoides), cacing

tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk

(Tricuris trichiura). Cacing tersebut banyak ditemukan di daerah tropis seperti di

Indonesia. Pada umumnya telur cacing tersebut dapat bertahan pada tanah yang

lembab, tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk ke tubuh

manusia sebagai hospes definitifya.(1)

Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kontaminasi tanah

oleh STH antara lain adalah :

1. Tanah

Sifat tanah mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan telur dan daya

tahan hidup dari larva cacing. Tanah liat yang lembab dan teduh merupakan

tanah yang sesuai untuk pertumbuhan telur Ascaris lumbricoides dan

10

Page 11: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

Trichuris trichiura. Tanah berpasir yang gembur dan bercampur humus sangat

sesuai untuk pertumbuhan larva cacing tambang disamping teduh.(4,6)

2. Iklim/Suhu

Iklim tropis merupakan keadaan yang sangat sesuai untuk perkembangan telur

dan larva STH menjadi bentuk infektif bagi manusia.(6) Suhu optimum untuk

pertumbuhan telur Ascaris lumbricoides berkisar 25ºC,(7) sedangkan telur

Trichuris trichiura suhu optimum untuk tumbuh adalah 30ºC. larva

Ancylostoma duodenale akan tumbuh optimum pada suhu berkisar 23-25 °C,

sedangkan untuk Necator americanus berkisar antara 28-32 °C.(4)

3. Kelembaban

Kelembaban yang tinggi akan menunjang pertumbuhan telur dan larva dari

STH. Pada keadaan kekeringan akan sangat tidak menguntungkan bagi

pertumbuhan STH. Kelembaban 80% sangat baik untuk perkembangan telur

Ascaris lumbricoides sedang telur Trichuris trichiura menjadi stadium larva

maupun bentuk infektif pada kelembaban 87%.(6) Sedangkan kelembaban

94,3% sangat baik untuk perkembangan telur cacing tambang yang akan

berhenti pada kelembaban 86,6%.(8)

4. Sinar Matahari

Panas yang langsung akan mematikan telur dan larva STH.(6)

11

Page 12: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

5. Angin ; Angin dapat mempercepat pengeringan sehingga dapat

mematikan telur dan larva. Selain itu angin juga dapat menyebarkan telur

STH dalam debu sehingga mempermudah penularan infeksi STH.(6)

Infeksi cacing terdapat luas di seluruh Indonesia yang beriklim tropis,

terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat penduduknya. Semua

umur dapat terinfeksi cacing ini dan prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak.

Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi, kebersihan

diri dan lingkungan.(3)

2.2 Ascaris lumbricoides

1. Habitat dan distribusi geografik

Habitat cacing dewasa adalah usus halus manusia. Cacing ini mempunyai

penyebaran geografis yang luas ( kosmopolit ), terutama di daerah beriklim tropis

dengan panas, kelembaban, dan curah hujan tinggi.(2)

2. Morfologi

Bentuk seperti gelang atau silinder. Ukuran cacing betina 20 – 35 cm x 3 – 6

mm, cacing jantan 15 – 31 cm x 2 – 4 mm dengan ujung ekor melengkung.

Cacing berwarna agak kemerahan, bagian kepala dan ekor lancip .(9) Seekor cacing

betina dapat bertelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir sehari, terdiri dari telur

yang dibuahi dan yang tidak dibuahi.(4)

12

Page 13: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

Telur stadium tidak dibuahi corticated berbentuk lonjong, berukuran 90 x 40

m dengan dinding dalam hialin tipis, dinding luar albuminoid kasar, berwarna

kuning tengguli berisi granula-granula kasar. Decorticated tanpa dinding luar.

Sedangkan telur yang dibuahi corticated berbentuk oval, berukuran 60 x 45 m

dengan dinding dalam hialin tebal, dinding luar albuminoid kasar, warna kuning

tengguli, berisi satu sel (tinja baru), morula, atau larva infektif (tinja lama).

Decorticated tanpa dinding luar.(10)

3. Siklus Hidup

Cacing dewasa hidup dalam usus halus, kopulasi juga terjadi di usus halus.

Cacing betina menghasilkan telur baik yang dibuahi dan yang tidak dibuahi dan

akan keluar bersama tinja. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi

berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu sekitar 3 minggu. Bentuk

infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas di usus halus. Larvanya

menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu

dialirkan ke jantung, kemudian ikut aliran darah ke paru. Di paru, larva

menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga

alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea,

larva menuju ke faring menimbulkan rangsangan pada faring berupa batuk,

sehingga larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu menuju usus halus dan

menjadi dewasa di usus halus.(4)

3. Patologi

13

Page 14: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

Gejala yang timbul dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Dalam

perjalanannya ke paru dapat memberikan gejala berupa pneumonitis ( Ascaris

pneumonitis ). Pada anak memberi gejala menyerupai asma, demam, sesak napas,

eosinofilia, keadaan ini disebut sindroma Loeffler. Pada orang yang sensitif timbul

gejala alergi, gatal-gatal dan urtikaria. Pada stadium dewasa biasanya tanpa gejala.

Oleh karena habitatnya di usus halus, maka dapat menimbulkan gejala intestinal yang

ringan seperti nusea, vomitus, nyeri perut, konstipasi, dan diare.(9) Pada infeksi berat

dapat menyebabkan malnutrisi, rasa tidak enak pada perut dan kolik terutama pada

anak-anak. Cacing juga dapat menggumpal dan menyumbat usus sehingga terjadi

obstruksi usus. Pada keadaan tertentu cacing dewasa dapat mengembara ke saluran

empedu, apendiks, dan bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat.

5. Diagnosis

Diagnosis spesifik dilakukan dengan menemukan telur dan atau cacing dalam

tinja.

6. Pengobatan

Beberapa obat yang aman diberikan dan efektif yaitu piperazin. Obat

lainnya seperti levamisol, pyrantel pamoat, dan mebendazole juga cukup baik.(11)

7. Epidemiologi

Prevalensi Ascariasis pada anak-anak sangat tinggi, 60 % - 90 %. Di

Indonesia penyebabnya terutama kondisi tanah ( liat ), lembab dan suhu yang

berkisar 250-300C sangat cocok untuk perkembangan telur Ascaris untuk menjadi

infektif. Di samping itu, kurangnya pemanfaatan jamban untuk buang air besar

14

Page 15: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

menimbulkan pencemaran tanah di sekitar rumah, serta adanya pemanfaatan tinja

segar sebagai pupuk di daerah tertentu.(4)

2.3. Trichuris trichiura

1. Habitat dan distribusi geografik

Habitat cacing ini pada sekum mamusia dan menyebar ke apendiks dan

ilium distal, bahkan bisa mencapai seluruh kolon dan rectum. Distribusi cacing ini

mayoritas di daerah tropis hingga subtropis, daerah hujan lebat dan tanah

terkontaminasi tinja.

2. Morfologi

Bentuk seperti cambuk, disebut demikian karena 3/5 bagian cranial

berbentuk seperti benang sehingga dilukiskan sebagai cambuk dan 2/5 bagian

kaudal gemuk sebagai gagang cambuk.

Cacing jantan berukuran 30 – 45 mm,dengan bagian kaudal atau ekor yang

sangat melengkung dan mempunyai sebuah spikulum seperti lanset. Cacing betina

agak lebih besar, dengan ukuran 35 – 50 mm.

Telur menyerupai tempayan dengan ukuran 50 – 54 m x 20 – 30 m.

Bagian luar berwarna kuning dengan 2 ujung atau kutub bening. Telur berisi sel

telur dalam tinja yang segar, atau berisi larva pada tinja 3 – 6 minggu ( telur

matang ). Cacing betina dapat menghasilkan telur 1.000-5.000 butir per hari, dan

telur ini dapat bertahan lama di alam.

3. Siklus hidup.

15

Page 16: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

Cacing dewasa jantan dan betina hidup dalam sekum, setelah kopulasi

cacing betina menghasilkan telur yang kemudian keluar bersama tinja. Telur

tersebut akan matang ( berisi larva ) dalam waktu 3-6 minggu pada lingkungan

yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab. Infeksi terjadi jika telur matang

tertelan. Telur akan menetas menjadi larva di usus halus. Sesudah menjadi dewasa

cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum.

Jadi cacing tidak mempunyai siklus paru.(4)

4. Patologi

Sejumlah kurang dari 100 cacing yang menginfeksi orang tidak

menimbulkan gejala yang nyata. Tetapi pada infeksi berat dapat menyebabkan

kondisi bernacam – macam, kadang dapat menimbulkan kematian. Bagian

anterior atau kepala cacing masuk ke dalam mukosa usus, menyebabkan trauma

pada sel epitel mukosa usus sehingga menimbulkan perdarahan kronis, disamping

itu cacing ini juga menghisap darah sehingga menyebabkan anemia.(12) Pada

infeksi berat terjadi colitis dengan tinja berlendir dan darah. Iritasi terus menerus

dari usus dan kelemahan otot levator ani bisa menyebabkan prolapsus rekti.(14)

Komplikasi dapat terjadi oleh infeksi amuboid yang menyebabkan sindroma

disentri. Gejala lain yang timbul adalah hilang nafsu makan, vomitus, diare,

konstipasi, insomnia.(12)

5. Diagnosis

Diagnosis spesifik dilakukan dengan menemukan telur cacing dalam tinja.

6. Pengobatan

16

Page 17: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

Obat yang paling efektif adalah Mebendazole.(12)

7. Epidemiologi

Angka infeksi Trichuris tertinggi terdapat pada anak-anak karena sering

bermain tanah, sehingga mereka mengkontaminasi tanah tempatnya bermain dan

kemudian dapat terjadi reinfeksi pada mereka melalui telur dari tanah ke mulut. (14)

Trichuriasis sering terjadi bersamaan dengan Ascariasis. Derajat infeksi di daerah

tropis dapat mencapai 80 %, tetapi frekuensi rata-rata tertinggi terjadi di daerah

hujan lebat, subtropik, atau pada tanah yang terkontaminasi tinja.(7)

2.4. Cacing Tambang

1. Habitat dan distribusi geografik

Spesies cacing tambang yang sering ditemukan pada manusia ada dua

macam, yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Cacing tambang

dewasa hidup pada mukosa usus halus manusia dengan gigi kaitnya.

Penyebarannya adalah di daerah tropis dan subtropis.(7) Di Indonesia infeksi

cacing tambang lebih banyak disebabkan oleh Necator americanus.(15)

2. Morfologi

Cacing tambang berbentuk silinder, berwarna merah muda. Cacing betina

kedua ujung badannya agak lancip, pada cacing jantan ujung kepala lancip, ujung

ekornya melebar. Cacing Ancylostoma duodenale, betinanya berukuran 10 – 13

mm x 0,6 mm, cacing jantan berukuran 8 – 11 mm x 0,4 – 0,5 mm. bentuk

badannya menyerupai huruf C. Sedangkan untuk Necator americanus betina

17

Page 18: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

berukuran 9 – 11 mm x 0,4 mm, cacing jantan berukuran 7 – 9 mm x 0,3 mm,

bentuk badannya menyerupai huruf S. kedua cacing ini mempunyai rongga mulut

yang besar.(9)

Larva rhabditiform berukuran 250-300 m x 20 m, esophagus 1/3 panjang

badan. Sedangkan larva filariform berukuran 600 m x 25 m, esophagus

memanjang sampai ¼ panjang badan, berekor lancip dan aktif bergerak.(9)

Telur cacing tambang keluar bersama tinja, berbentuk lonjong berukuran

60 m x 40 m, dengan ciri khas dinding tipis dan terdapat ruang jernih antara

embrio dan dinding telur.(14)

3. Siklus Hidup

Cacing dewasa jantan dan betina hidup di dalam usus halus, setelah

kopulasi, cacing betina menghasilkan telur yang keluar bersama tinja. dalam

waktu 1-2 hari, telur menetas menjadi larva rhabditiform, setelah 5-8 hari menjadi

larva filariform. Infeksi terjadi jika larva filariform menembus kulit manusia

mengikuti peredaran darah menuju jantung kanan dan kemudian ke paru. Larva

menembus alveoli, bermigrasi melalui bronkus ke trakea dan faring, kemudian

tertelan sampai ke usus halus dan menetap di usus halus.(9)

4. Patologi

Pada stadium larva, bila banyak larva filariform menembus kulit, maka

terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch.(4) Pada stadium dewasa, gejala

infeksi pada fase usus disebabkan oleh nekrosis jaringan usus yang berada di

dalam mulut cacing, kehilangan darah yang dihisap cacing dan terjadinya

18

Page 19: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

perdarahan dari tempat perlekatan. Pada infeksi akut dengan banyak cacing

menyebabkan nausea, muntah, sakit perut, diare, dan bahkan dapat menimbulkan

kematian. Pada infeksi kronik, gajala utamanya adalah anemia defisiensi besi

( hipokrom mikrositik ).(14)

Dari dua spesies cacing tambang pada manusia, Necator americanus yang

lebih jinak.(16) Diduga bahwa satu Necator americanus menyebabkan kehilangan

darah sebanyak 0,03 – 0,05 ml darah/hari dan Ancylostoma duodenale 0,15 ml

darah/hari.(13)

5. Diagnosis

Diagnosis pasti infeksi cacing tambang tergantung dari ditemukannya

telur dalam tinja segar. Dalam tinja lama mungkin ditemukan larva.(4)

6. Pengobatan

Pyrantel pamoat memberikan hasil yang cukup baik jika digunakan 2 – 3

hari berturut-turut.(4)

7. Epidemiologi

Penyebaran penyakit cacing tambang ini dipercepat dengan adanya

migrasi penduduk yang besar antara daerah tropis dan subtropis. Infeksi cacing

tambang diperkirakan diderita oleh 700 juta orang di seluruh dunia.

Faktor-faktor yang menguntungkan penyebaran parasit adalah tanah

berpasir, gembur dan banyak mengandung humus, kebiasaan buang air besar di

tanah terbuka atau pekarangan, kondisi geografis daerah tropis yang panas,

19

Page 20: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

lembab dan mempunyai curah hujan tinggi, sangat menguntungkan bagi

perkembangan telur cacing.(7)

2.4 Penentuan Peringkat Kelas Rapor Ktsp

Pelaporan Hasil Penilaian Kelas rapor,

masing-masing sekolah boleh menetapkan sendiri model rapor yang dikehendaki

asalkan menggambarkan pencapaian kompetensi peserta didik pada setiap mata

pelajaran yang diperoleh dari ketuntasan kompetensi dasarnya. Nilai pada rapor

merupakan gambaran kemampuan peserta didik, karena itu kedudukan atau bobot

nilai harian tidak lebih kecil dari nilai sumatif (nilai akhir program). Kompetensi yang

diuji pada penilaian sumatif berasal dari SK, KD dan Indikator semester

bersangkutan. Penyusun Laporan Sebagai Akuntabilitas Publik. Laporan kemajuan

hasil belajar peserta didik dibuat sebagai pertanggungjawaban lembaga sekolah

kepada orangtuawali, peserta didik, komite sekolah, masyarakat, dan

instansi terkait lainnya. Laporan tersebut merupakan sarana komunikasi dan kerja

sama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat yang bermanfaat baik bagi kemajuan

belajar peserta didik maupun pengembangan sekolah. Pelaporan hasil belajar

hendaknya tanpa rekayasa. Merinci hasil belajar peserta didik berdasarkan kriteria

yang telah ditentukan dan dikaitkan dengan penilaian yang bermanfaat bagi

pengembangan peserta didik Memberikan informasi yang jelas, komprehensif, dan

akurat.Menjamin orangtua mendapatkan informasi secepatnya bilamana anaknya

bermasalah dalam belajarBentuk LaporanLaporan kemajuan belajar peserta didik

dapat disajikan

dalam data kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif disajikan dalam angka

(skor), misalnya seorang peserta didik mendapat nilai 6 pada mata pelajaran

matematika. Namun, makna nilai tunggal seperti itu kurang dipahami peserta didik

maupun orangtua karena terlalu umum. Hal ini membuat orangtua sulit

menindaklanjuti apakah anaknya perlu dibantu dalam bidang aritmatika, aljabar,

20

Page 21: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

geometri, statistika, atau hal lain.Laporan harus disajikan dalam bentuk yang lebih

komunikatif dan komprehensif agar profil atau tingkat kemajuan belajar peserta didik

mudah terbaca dan dipahami). Dengan demikian orangtuawali lebih mudah

mengidentifikasi kompetensi yang belum dimiliki peserta didik, sehingga dapat

menentukan jenis bantuan yang diperlukan bagi

anaknya. Dipihak anak, ia dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan ...

2.3. Sarana dan Prasarana

Faktor yang menyangkut sarana dan prasarana misalnya gedung,

perlengkapan belajar, alat-alat praktek, dan fasilitas lainnya. Dapat juga berupa

perangkat lunak seperti kurikulum, program, pedoman mengajar, tenaga pengajar,

metode mengajar dan lainnya.(17) Perlu diperhatikan sikap guru terhadap siswa.

Sikap yang baik, ramah dan mengenal siswa akan mendorong siswa untuk

menyukai gurunya. Metode mengajar guru juga berpengaruh terhadap prestasi

belajar, karena akan berpengaruh terhadap metode belajar siswa. Metode yang

tepat untuk mata pelajran tertentu dapat lebih efektif jika disertai dengan media

pendidikan yang baik pula. (18)

2.4. Suasana Lingkungan

Suasana lingkungan sangat berpengaruh terhadap kesuksesan belajar.

Suasana lingkungan menyangkut beberapa hal seperti : lingkungan alam yaitu

cuaca, suhu udara, waktu, kondisi tempat, penerangan dan lainnya. Untuk dapat

belajar dibutuhkan kondisi lingkungan fisik yang lain antara lain tempat belajar

tersendiri, tempat belajr tidak ramai, dan tempat belajar yang cukup

penerangannya. Lokasi sekolah yang dekat dengan pusat keramaian seperti

21

Page 22: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

terminal, pasar, bioskop, dan pusat pertokoan dapat mempengaruhi sikap dan

reaksi siswa dalam aktifitas belajarnya. Lingkungan sosial yang paling

berpengaruh terhadap belajar anak adalah lingkungan keluarga, kususnya orang

tua.

Keluarga sebagai wahana menumbuhakn potensi anak merupakan pusat

pendidikan yang pertama dan utama. Suasana rumah yang selalu ada

percekcokan, keadaan keluarga yang senantiasa terganggu ,tidak adanya

hubungan yang baik antara orang tua dan anak dapat menyebabkan gangguan

belajar pada anak. Selain itu anak juga membutuhkan contoh dan bimbingan

dalam belajar dari orang tuanya. Misalnya orang tua yang senang membaca, turut

mendampingi pada saat anak belajar, sangat memacu anak untuk rajin. (19)

2.5. Motivasi

Motivasi yang berhubungan dengan motif dan tujuan sangat berpengaruh

terhadap kegiatan dan hasilnya. Motivasi penting bagi proses belajar karena

mempengaruhi tindakan serta memilih tujuan belajar yang dirasakan paling

berguna bagi kehidupan individu.

3. Pengaruh Infeksi Ascaris lumbricoides terhadap Absorbsi Zat Gizi

Cacing dewasa Ascaris lumbricoides pada umumnya tidak menimbulkan

kelainan, kecuali pada infeksi berat. Sejumlah cacing akan menghambat mukosa usus

halus, akan menghambat absorbsi zat-zat gizi ke dalam jaringan tubuh. Akibat infeksi

cacing tersebut bentuk mukosa berubah dan kelainan patologik akan hilang setelah

diberikan antelmitik. Secara mekanik cacing tersebut juga dapat merusak usus.

22

Page 23: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

1. Gangguan Absorbsi Protein

Cacing Ascaris lumbricoides di dalam usus menyebabkan hiperperistaltik,

sehingga dapat menimbulkan diare. Akibat diare akan terjadi keseimbangan protein

yang negative dan asam-asam amino dilepaskan dari otot dan jaringan tepi. Proses ini

dapat berlangsung selama beberapa hari, bahkan kadang-kadang sampai beberapa

minggu. Sekitar 7% protein yang terdapat dalam diet akan hilang dengan terjadinnya

infeksi Ascaris lumbricoides dari sedang sampai berat.

2. Gangguan Absorbsi Karbohidrat

Apabila cacing Ascaris lumbricoides dikeringkan dan ditimbang, 24% dari pada

angka tersebut adalah glikogen yang terdapat dalam tubuh cacing, ini menunjukkan

adanya kelainan metabolisme laktosa di dalam tubuh. Juga ditemukan lebih banyak

hidrigen (H) dalam pernapasan dan kenaikan glukosa plasma yang kurang pada anak-

anak terinfeksi Ascaris lumbricoides. Pada anak-anak penderita askariosis, enzim

laktosa kurang terabsorbsi dan menghasilkan gas Hidrogen dalam pernapasan. Pada

anak-anak terinfeksi Ascaris lumbricoides juga ditemukan steatore ringan, sekitar

10,8% dari berat cacing terdiri dari lemak.

3. Gangguan Absorbsi Vitamin

Absorbsi vitamin A diteliti pada 29 anak penderita askariosis dibandingkan

dengan anak sehat, ditemukan mal-absorbsi vitamin A pada 70% penderita askariosis.

Kasus askariosis di masyarakat yang disertai dengan vitamin A yang sedikit di dalam

makanannya, memberikan peluang terjadinya defisiensi vitamin A yang secara klinik

seperti hemeralopia dan seroftalmi. Jumlah vitamin A dan karotin pada penderita

askariosis dengan dan tanpa hemeralopia, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan

anak yang tidak cacingan.

23

Page 24: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

 

C.  Pengaruh Infeksi Cacing Tambang terhadap Anemia, Defisiensi Zat Besi dan

Kekurangan Protein

               

Penyakit yang disebabkan cacig tambang (Ankilostomiosis dan Nekatoriosis)

pada hakekatnya merupakan penyakit infeksi menahun (kronik), dan biasanya orang

yang terinfeksi cacing ini sering tidak menunjukkan gejala akut. Pada anak-anak

dengan infeksi berat, dapat mengakibatkan kemunduran fisik dan mental. Tinja

penderita mengandung sejumlah darah atau kadang-kadang darah yang tidak bisa

dilihat mata biasa (occult blood) dengan mudah dapat ditemukan. Apabila

diperhatikan dari segi hematology, biokimia, gejala dan terapinya, maka anemia yang

disebabkan oleh cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

tergolong anemia defisiensi besi. Di daerah tropik kadang-kadang anemia yang

disebabkan oleh infeksi cacing tambang dapat bersifat dimorfik, karena selain ada

defisiensi besi juga terjadi defisiensi zat-zat lainnya (Brown, 1994).

1.   Metabolisme Zat Besi

Pola metabolisme pada anemia yang disebabkan  infeksi cacing tambang adalah

sama dengan pola metabolisme pada anemia yang di sebabkan oleh terjadinya

perdarahan usus secara menahun dan anemia hipokrom menahun pada perdarahan.

Perbedaan patogenitas antara A. duodenale dan N. americanus dapat terjadi adanya

kehilangan jumlah darah yang berbeda. Kebiasan cacing yang berpindah-pindah

tempat dalam usus menye-babkan lebih banyak tempat di usus yang mengeluarkan

darah. Seekor cacing N. americanus dapat menyebabkan kekurangan darah 0,1 cc

perhari, sedangkan A. duodenale sampai 0,34 cc perhari (Gercia and Bruckner, 1998).

24

Page 25: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

2.   Perdarahan dapat Menghilangkan Zat Besi dan Protein

Dalam 10 ml darah mengandung lebih dari 750 mg protein dan 5 mg besi, aka

tetapi kadar protein di dalam plasma hanya akan berkurang pada kasus-kasus yang

berat. Jumlah darah yang hilang karena infeksi cacing tambang tergantung dari berat

atau ringannya infeksi. Makin berat infeksi semakin rendah kadar hemoglobin (Hb)

dalam darah (Gandahusada, dkk.2005). Teori mengenai sebab terjadinya anemia yang

di sebabkan infeksi cacing tambang terjadi sebagai  perdarahan usus yang terjadi pada

waktu cacing tambang mengisap darah di dalam usus, dari dahulu para ahli

menganggap sebagai penyebab terjadinya anemia, kemudian diajukan teori-teori lain

seperti teori toksin oleh Loos dan Ashford, teori malnutrisi, teori hemolisis dan teori

perdarahan. Pada kasus anemia yang disebabkan infeksi cacing tambang, kadang-

kadang ditemukan eritropoiesis yang berkurang. Kadar vitamin B-12 di dalam serum

lebih rendah pada kasus anemia yang disebabkan cacing tambang, yaitu 130-160 %

pada kasus infeksi berat dan 179 % pada infeksi ringan, sedangkan pada kasus

anemia defisiensi besi lainnya rata-rata 232 ug%.

 

D. Pengaruh Infeksi Trichuris trichiura Terhadap Gizi dan Anemia

Untuk mengambil makanan cacing Trichuris trichiura memasukkan tubuh

bagian interiornya ke dalam mukosa usus hospes. Cacing ini dapat hidup beberapa

tahun di dalam usus manusia (Faust et al, 1990). Kerusakan mekanik pada bagian

kolon disebabkan oleh kepala cacing yang masuk ke dalam epitel, tidak dijumpai

peradangan kolon yang difus, apabila terjadi disentri, mukosa menjadi sembab dan

rapuh.

Dalam masyarakat, infeksi cacing T. trichiura dengan gejala ringan tidak

banyak menimbulkan perhatian. Pada infeksi berat dengan diare yang terus menerus

25

Page 26: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

dengan darah di dalam tinja. Adanya kasus diare yang sedang berlangsung selama

berbulan-bulan menyebabkan pertumbuhan anak tidak memuaskan, berat badan

berkurang dan tidak sesuai dengan umur (Margono, 2001).

Pada kasus infeksi berat, dapat menimbulkan intoksikasi sistemik dan di ikuti

anemia yang dapat menyertai infeksi dengan kadar Hb 3 mg per 100 ml darah.

Rupanya cacing ini juga mengisap darah hospes, perdarahan dapat terjadi pada

tempat melekatnya, kira-kira 0,005 ml darah setiap hari terbuang akibat di isap oleh

se ekor cacing ini (Brown, 1993). Berbagai gangguan tersebut di atas, ternyata dapat

mengakibatkan pula gangguan kognitif secara tidak langsung. Dilaporkan oleh

Hadidjaya (1996) bahwa gangguan kognitif bisa terjadi secara langsung, ia

menemukan terdapat hubungan kausal antara infeksi cacing Ascaris lumbricoides

dengan fungsi kognitif. Penelitian Nokes, dkk. (1998) melakukan tes kognitif

terhadap anak-anak usia sekolah (9-12 tahun) yang terinfeksi cacing Trichuris

trichiura dari sedang sampai berat. Hasil tes menunjukkan penurunan kandungan

cacing cenderung secara bermakna dapat meningkatkan daya ingat dan pendengaran.

Jadi ada hubungan kausal antara anak usia sekolah yang terinfeksi cacing dengan

kemampuan kognitifnya.

Mohammad (2004) menggunakan TONI-tes (tes non verbal intelligence) untuk

melihat gangguan fungsi kognitif anak-anak yang terinfeksi cacing Ascaris

lumbricoides dan Trichuris trichiura dari sedang sampai berat pada anak-anak

Sekolah Dasar di daerah pedesaan Trengganu (Malaysia), ternyata intensitas penyakit

cacingan tersebut mempunyai pengaruh bermakna terhadap kemampuan anak dalam

memecahkan masalah.

Di Indonesia prevalensi infeksi A. lumbricoides 71 %, T. trichiura 80 % dan

Cacing tambang  40 % pada anak-anak Sekolah Dasar. Adanya gangguan kognitif

secara langsung maupun tidak langsung pada penderita infeksi cacing yang ditularkan

26

Page 27: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

TELUR STH di Tanah

Manusia Terinfeksi STH

Malnutrisi(defisiensi karbohidrat dan protein)Anemia

Rangking Anak Sekolah

Perilaku Sosial-ekonomiUmur Pekerjaan Pendidikan

Suhu/IklimKelembabanTanah Sinar Matahari Angin

Cara BelajarSarana & prasarana Suasana lingkunganMotivasi

melalui tanah, menunjukkan bahwa mutu sumber daya manusia di Indonesia paling

sedikit 65 % terganggu. Upaya pemberantasan penyakit cacingan secara

berkesinambungan, dapat menurunkan bahkan mungkin menghilangkan sama sekali

infeksi cacing di masyarakat. Dengan upaya ini diharapkan mutu sumber daya

manusia masyarakat Indonesia dapat ditingkatkan

(http://fmipa.unp.ac.id/artikel-129-gangguan-fungsi-kognitif-akibat-infeksi-cacing--yang-ditularkan-melalui-tanah.html)

2.10. Kerangka Teori

27

Page 28: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

3.3. Kerangka Konsep

2.12. HIPOTESA

Ada hubungan antara infeksi ”Soil Transmitted Helminths”

dengan prestasi rangking siswa-siswi di kelas SDN xxx.

Infeksi STH pada

Anak SekolahPrestasi rangking siswa di kelas

28

Page 29: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

3.1.1. Lingkup Materi

a. Cacing usus dalam penelitian ini adalah cacing usus yang siklus

hidupnya melalui tanah, meliputi Ascaris lumbricoides, Trichuris

trichiura, Ancylostoma duodenale ,dan Necator americanus .

b. Hasil prestasi belajar anak-anak Sekolah Dasar xxx

3.1.2. Lingkup Keilmuan

Melibatkan disiplin ilmu Parasitologi

3.1.3. Lingkup Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar xxx, Kabupaten

Semarang, Jawa Tengah dan pemeriksaan dilakukan di laboratorium

Parasitologi FK UNDIP Semarang.

3.1.4. Lingkup Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2013

3.2. Jenis Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan

pendekatan cross sectional.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

29

Page 30: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

Populasi penelitian ini adalah anak Sekolah Dasar xxx, Kabupaten

Semarang , Jawa Tengah.

Alasan peneliti mengambil tempat tersebut adalah berdasarkan

data yang diperoleh dari Dikes Jateng tahun 2004-2006 bahwa

prevalensi kecacingan yang tertinggi sebesar 25% berada di

Sekolah Dasar xxx ,Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

3.3.4. Sampel

Sampel penelitian diambil dari murid Sekolah Dasar xxx, kelas

lima dan kelas enam, dengan mengambil semua sampel.

a. Kriteria Inklusi

semua anak kelas empat dan kelas lima Sekolah Dasar xxx.

b. Kriteria Eksklusi

- Anak tidak masuk saat pengambilan sampel

- Orang tua dari anak tidak mengijinkan

c. Besar sample

Dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel tunggal

untuk uji hipotesis proporsi suatu populasi.

n =

(Zα √PoQo+Z β √Pa Qa)2

( Pa−Po )2

Diketahui bahwa proporsi kecacingan sebelumnya sebesar 25%

(P0 = 0,25), dan proporsi sekarang sebesar 10% (Pa = 0,10) dengan

30

Page 31: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

perbedaan yang diharapkan sebesar 0,15. Tingkat kemaknaan (α)

satu arah 0,05 dan power 80%.

Zα = 1,645 ; Zβ = 0,842 ; Po = 0,25 ; Pα = 0,10

n =

(1,645√0 , 25 x 0 ,75+0 ,842√0,10x0,90 )2

(0,10−0,25 )2

n = 42

sehingga diperoleh bahwa sampel minimal yang dibutuhkan yaitu

sebesar 42 sampel.

3.4. Bahan, Alat, dan Cara Kerja

3.4.1 Bahan

a. Bahan Pemeriksaan

Untuk mendapat data guna menjawab permasalahan ini digunakan

kuesioner. Data diukur dengan menggunakan skala nominal diberi skor

untuk masing-masing jawaban. Selain data berupa hasil jawaban

koesioner,nilai KKM,dan juga sample tinja sebagai data primer lainnya.

b. Bahan pengujian

Pemeriksaan tinja untuk mencari telur cacing menggunakan metode Kato-

Katz. Bahan yang diperlukan sebagai berikut :

1) Reagen untuk membuat larutan Malachite green 3%

Kristal Malachite green

Aquadest

31

Page 32: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

2) Larutan Pemulas cellophant

1 bagian larutan Malachit green

100 bagian gliserin

100 bagian aquadest ( atau 6% fenol)

3.4.2 Alat Penguji

a. Pot untuk feses

Pot diberi label nama atau kode penulisan, kode dibut dengan metode

kato-katz.

b. spatula kayu

c. saringan 60-105 mesh

d. template dengan diameter lubang 6,0 mm; tebal 1,0 mm setara 30 mg tinja

e. gelas objek / object glass

f. selofan hidrofilik (tebal 40 um; ukuran 7 x 2,5 cm)

g. pinset

h. kertas toilet

i. kertas minyak

j. mikroskop

k. counter atau alat penghitung

3.4.3. Cara Kerja

Cara kerja sebagai berikut :

l. Sejumlah tinja diletakkan di atas secarik kertas minyak. Kemudian

saringan diletakkan di atas tinja dan ditekan ke bawah dengan

32

Page 33: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

menggunakan spatula kayu. Tinja akan tersaring melewati saringan dan

terletak di atas saringan.

2. Spatula kayu digunakan untuk mengambil tinja di atas saringan tersebut

untuk dipindahkan ke lubang template.

3. Lubang template diletakkan di tengah-tengah gelas objek dan tinja yang

telah disaring dimasukkan dengan menggunakan spatula kayu sehingga

memenuhi lubang template. Tinja yang berlebihan di sekeliling lubang

diratakan dengan spatula kayu hingga rata memenuhi lubang template

(template, spatula dan saringan dapat digunakan lagi bila dicuci dengan

seksama dan bersih) sehingga diperoleh tinja dengan berat kira-kira 30

mg.

4. Template diangkat secara hati-hati sehingga tinja yang tertinggal di gelas

objek tetap berbentuk silinder.

5. Tinja ditutup dengan pita selofan yang telah direndam dengan larutan

glycerin malachite green selama 24 jam. Selofan yang basah digunakan

untuk tinja yang keras dan selofan agak kering untuk tinja yang lembek.

Bila ada cairan yang berlebihan di atas selofan, dibersihkan dengan kertas

toilet. Di daerah yang panas gliserin yang berlebihan hanya menghambat,

tetapi tidak mencegah kekeringan.

6. Dengan menggunakan salah satu ujung dari sebuah gelas objek, tinja

diratakan setipis mungkin sehingga tersebar secara merata di antara

sediaan dan selofan.

33

Page 34: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

7. Sediaan tersebut diangkat dengan hati-hati dari salah satu sisi, agar selofan

tidak tergeser atau terlepas. Penguapan air dan gliserin akan membuat tinja

menjadi jernih.

8. Sediaan didiamkan 30 menit dalam temperatur kamar.

9. Diperiksa dengan mikroskop seluruh permukaan pita selofan dengan

pembesaran lemah. Jumlah telur cacing yang ditemukan dihitung.

10. Bila ditemukan jumlah telur pada sediaan Kato adalah N dari tinja seberat

30 mg, maka jumlah telur per gram tinja adalah N x [1000/30].

3.5. Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini terdiri dari 2 macam, yaitu data primer dan data

sekunder.

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh melalui pemeriksaan

secara langsung oleh peneliti yaitu pemeriksaan laboratorium ,hasil

kuosioner dan nilai KKM.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang digunakan sebagai pendukung untuk

melengkapi karya ilmiah ini. Data sekunder dapat diperoleh dari

instansi yang terkait dengan penelitian ini, seperti :

Kantor Statistik Kotamadya

Puskesmas Pringapus

Kantor Kecamatan dan kelurahan

34

Page 35: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

Perpustakaan

3.6. Cara Pengolahan Data

Pengolahan data yang meliputi pengeditan, penabulasian, dan

pengelompokan dilakukan secara manual menggunakan program SPSS 15

dan MS Word for Windows.

3.7. Analisa Data

Untuk mengetahui hubungan antara infeksi Soil Transmitted Helminth

dengan prestasi belajar anak Sekolah Dasar xxx, maka dilakukan analisa

yang terdiri dari :

1. Analisa Deskriptif

Dilakukan dengan membuat tabel distribusi frekuensi dan table

silang.

2. Analisa Analitik

Analisa dengan menggunakan uji Chi Square (uji χ2) untuk

menjelaskan hubungan antara infeksi Soil Transmitted Helminth

dangan prestasi belajar anak. Analisa dilanjutkan dengan regresi

logistik untuk menguji kontribusi faktor perancu.

3.8. Alur Penelitian

35

Page 36: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

PengambilanSampel

Kriteria Eksklusi

Kriteria Inklusi

Sampel Tinja Kuesioner Penelitian

Nilai KKM

PemeriksaanKato-Katz

Analisis Data

3.9. Definisi Operasional

Jenis Variabel Nama Variable Definisi Operasional Skala

Tergantung Prestasi Belajar Berdasarkan nilai KKM yang

ditentukan oleh Sekolah

Baik : semua mata pelajaran

mencapai KKM

Kurang : tidak semua mata

pelajaran mencapai KKM

Nominal

Bebas Infeksi STH Dinilai pada saat

pemeriksaan tinja

Nominal

36

Page 37: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

menggunakan metode Kato-

Katz.

Positif (terinfeksi) : bila

ditemukan telur cacing STH

dalam tinja pada saat

pemeriksaan.

Negatif (tidak terinfeksi) :

bila tidak ditemukan telur

cacing STH dalam

pemeriksaan tinja.

Perancu Cara belajar,

sarana dan

prasarana,

motivasi

Dinilai dengan menggunakan

kuesioner

Baik : bila nilainya >18

Buruk : bila nilainya <18

Nominal

37

Page 38: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

Daftar Pustaka

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengendalian cacingan.

Jakarta: Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2006.

2. Soedarto. Helmintologi kedokteran, Jakarta : EGC, 1991: 86-91.

3. Tjitra E. Penelitian Soil Transmitted Helminth di Indonesia. Jakarta : Pusat

penelitian penyakit menular DepKes R.I. Cermin Dunia Kedokteran No.72,

1991:13-15.

4. Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W. Parasitologi kedokteran.Ed.3. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI, 2006: 8-26.

5 Elmi, Sembiring T, Dewiyani BS, Hamid ED, Pasaribu S, Chairudin PL. Status

gizi dan infeksi cacing usus pada anak sekolah dasar. Medan: Bagian Ilmu

Kesehatan Anak Fak. Kedokteran USU, 2004.

6. Sutanto BV. Aspek Epidemiologi Infeksi “Soil Transmitted Helminth” di

Indonesia. Dalam : Kumpulan Makalah Seminar Sehari IDI Wilayah Jawa

Timur. Surabaya: Laboratorium FK UNAIR. 1988:5 – 11

7. Brown HW. Dasar Parasitologi Klinik. Edisi ketiga. Jakarta: PT Gramedia.

1979:165-222, 507-11.

8. Faust EC, Russel PF, Yung RC. Clinikal Parasitology. 8 th ed. Philadelphia: Lea

& Febiger. 1976.

38

Page 39: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

9. Lokollo DM, Oediarso. Diktat Parasitologi kedokteran helmintologi. Semarang:

FK Undip, 1976: 6-25.

10. Purnomo, W Gunawan, Magdalena L.J, Ayda R, Harijani AM. Atlas

Helmintologi Kedokteran. Ed. 2. Jakarta: PT Gramedia, 1992: 2-6.

11. Anonim. Ascaris lumbricoides. available from URL : HYPERLINK

http://www.geocities.com/kuliah_farm/parasitologi/nematoda.doc

12. Anonim. Trichuris trichiura. available from URL : HYPERLINK

http://www.geocities.com/kuliah_farm/parasitologi/nematoda.doc

13. Zaman V; alih bahasa, Chairil Anwar, Yandi Mursal. Atlas parasitologi

kedokteran. Jakarta: Hipokrates, 1997:192-204.

14. Gracia LS, Bruckner DA. Diagnostik parasitologi kedokteran. Jakarta: EGC,

1996.138-154

15. Noer Sjaifoellah. Ilmu Penyakit Dalam jilid I.Ed. 3. Jakarta: Balai penerbit

FKUI, 1996: 513-515.

16. Yamaguchi T; alih bahasa, Leshmana P, Sutra, R Mukimian, Monika J. Atlas

berwarna parasitologi klinik. Jakarta: EGC, 1995: 97-100

17. Suwanto W : Psikologi Pendidikan. Cetakan 3. Jakarta : Rineka Cipta 1990 :

97 – 7, 107 - 15

18. Thantowi A. : Psikologi Pendidikan. Cetakan 1. Bandung : Angkasa, 1993 :

103-13

19. Sayogo S, Margono SS, Suyadi MA : Studi Anemia pada Anak Sekolah Dasar

Dalam majalah kedokteran Indonesia, 1995 : 592-4.

39

Page 40: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

20. Noken C,Bundy.D.A.P : Does Helminth infection affect mental processing and

educational achievement. Reprinted from parrasitology today,1994:14 – 16 .

21. Mulyani S: Hubungan Kematangan social terhadap Prestasi Belajar siswa

(Laporan Penelitian). FK UNDIP Semarang,2000.

22. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Peraturan menteri

pendidikan nasional .Jakarta: Salinan Menteri Pendidikan Nasional,2007

40

Page 41: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

LAMPIRAN

KUOSIONER PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH

DENGAN PRESTASI BELAJAR ANAK SD 03 PRINGAPUS

KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

Daftar pertanyaan ini bertujuan untuk mengetahui cara belajar,motivasi dan lingkungan belajar dirumah pada anak Sekolah Dasar 03 Pringapus dengan prestasi

belajar .

Identitas Responden :

1. Nama :

2. Umur :

3. Tanggal Lahir :

4. Kelas :

5. Anak ke :

6. Jumlah Saudara :

7. Alamat :

Identitas Orang Tua :

Ayah

1. Nama :

41

Page 42: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

2. Umur :

3. Pendidikan Formal terakhir yang pernah ditempuh :

a. Tidak sekolah / tidak tamat SD

b. Tamat SD/MI

c. Tamat SMP/MTs

d. Tamat SMA/MA/SMEA/SMK

e. Perguruan Tinggi / Akademi

Ibu

1. Nama :

2. Umur :

3. Pendidikan Formal terakhir yang pernah ditempuh :

a. Tidak sekolah / tidak tamat SD

b. Tamat SD/MI

c. Tamat SMP/MTs

d. Tamat SMA/MA/SMEA/SMK

e. Perguruan Tinggi / Akademi

4. Apakah anak minum obat cacing 3 bulan terakhir : ( Ya / Tidak )

No Perbandingan Skor

42

Page 43: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

1. Apakah anak punya buku wajib untuk sekolah

ya 3

tidak 1

2. Yang mendorong keinginan untuk belajar

diri sendiri 3

dipaksa orang tua 2

ikut teman 1

3. Lama anak belajar dalam satu hari

2 jam lebih 3

1 – 2 jam 2

kurang dari satu jam 1

4. Dalam belajar apakah ada yang menemani

ya 3

tidak 1

5. Tempat untuk belajar

Tempat sendiri 3

Kamar tidur 2

Bersama saudara diruang tamu/ ruang makan 1

6. Pada waktu balajar apa yang dirasakan anak

Nyaman 3

Biasa-biasa saja 2

Tidak nyaman 1

43

Page 44: Hubungan Antara Rangking Di Kelas Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Di Sekolah

7. Teknik pada saat belajar

Membaca sendiri 3

Diskusi 2

Mendengar 1

8. Apakah anak sering belajar bersama

Ya 3

Tidak 1

9. Apakah anak ikut membantu pekerjaan orang tua

Ya 3

Tidak 1

10. Apakah anak mempunyai kebiasaan belajar teratur

Ya 3

Tidak 1

11. Apakah anak terbiasa mengulang pelajaran yang diajarkan

Ya 3

Tidak 1

12. Apakah anak belajar apa yang akan diajarkan besok

Ya 3

Tidak 1

44