hubungan antara PHBS tatanan rumah

download hubungan antara PHBS tatanan rumah

of 159

description

hubungan antara PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan kejadian leptospirosis

Transcript of hubungan antara PHBS tatanan rumah

  • HUBUNGAN ANTARA STRATA PHBS TATANAN RUMAH TANGGA DAN SANITASI RUMAH DENGAN

    KEJADIAN LEPTOSPIROSIS

    (Studi Kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012)

    SKRIPSI

    Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

    Oleh:

    Rizka Auliya NIM. 6450408117

    JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

    2012

  • ii

    Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan

    Universitas Negeri Semarang September 2012

    ABSTRAK

    Rizka Auliya. Hubungan antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga dan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Leptospirosis. (Studi Kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012) XIV + 95 halaman + 27 tabel + 2 gambar + 15 lampiran Leptospirosis merupakan penyakit di daerah banjir karena kejadian penyakit ini paling tinggi saat pasca banjir. Candisari merupakan daerah yang jarang mengalami banjir namun menjadi daerah yang memiliki angka kejadian leptospirosis tinggi pada tahun 2009-2011 yaitu 41 kasus dan 5 kematian. Kejadian leptospirosis dipengaruhi oleh beberapa faktor, utamanya PHBS dan Sanitasi Rumah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan kejadian leptospirosis (Studi kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012). Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus kontrol. Populasi penelitian adalah penderita leptospirosis di Kecamatan Candisari (kasus) dan bukan penderita (kontrol). Sampel berjumlah 66 responden. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner, lembar observasi, dan luxmeter.. Data dianalisis dengan rumus uji Chi-square. Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga (p=0,003,OR=4,667), kondisi selokan (p=0,001,OR=5,290), keberadaan tikus (p=0,001,OR=6,107), keberadaan air menggenang (p=0,001,OR=6,133), sarana pembuangan limbah (p=0,003,OR=4,600), sarana pembuangan sampah (p= 0,002,OR=5,400) dan tidak ada hubungan antara intensitas cahaya (p=0,323), keberadaan hewan peliharaan (p=0,084) dengan kejadian leptospirosis. Saran yang diajukan adalah diharapkan pasien memperbaiki PHBS dan sanitasi rumah agar tidak menjadi sumber dan wahana penularan penyakit leptospirosis. Kata Kunci : Leptospirosis, Sanitasi Rumah, Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga. Kepustakaan : 30 (1999-2011)

  • iii

    Public Health Departement Sport Science Faculty

    Semarang State University September 2012

    ABSTRACT

    Rizka Auliya. Relationship Between the Strata of Healthy and Clean Life Behavior (PHBS) Order Household and House Sanitary with Leptospirosis Incidence (Case Study in Candisari District Semarang City in 2012) XIV + 95 pages + 27 tables + 2 figure + 15 appendices

    Leptospirosis is a disease in flooded areas because of the high incidence of this disease at post-flood. Candisari is an area that rarely experiences flooding, but a region that has a high incidence of leptospirosis in 2009-2011, namely 41 cases and 5 deaths. Incidence of leptospirosis is influenced by several factors, the main strata of healthy and clean life behavior (PHBS) order household and house sanitation. The purpose of this study was to determine the relationship between the strata PHBS order household and house sanitary with the incidence of leptospirosis (case study in Candisari District Semarang City in 2012).

    This study used a case-control approach. The study population was patients with leptospirosis in the Candisari district (cases) and not the patients (controls). The sample amounted to 66 respondents. The instruments used were questionnaires, observation sheets, and luxmeter. Data were analyzed by chi-square formula.

    The result showed that there is a relationship between the strata of healthy and clean life behavior (PHBS) order household (p = 0.003, OR = 4.667), the condition of the sewers (p = 0.001, OR =5.290), presence of mice (p = 0.001, OR = 6.107), presence of stagnant water (p = 0.001, OR = 6.133),cesspool disposal facilities (p = 0.003, OR = 4.600), waste disposal facilities (p = 0.002, OR = 5.400) and no correlation between the intensity of light (p = 0.323), presence of pets (p = 0.084) with the incidence of leptospirosis.

    The suggestions are the patient expected to improve PHBS and house sanitary in order not to be a source and vector for transmission of leptospirosis. Kata Kunci : Leptospirosis, House Sanitation, Strata of Healthy and Clean Life Behavior. Kepustakaan : 30 (1999-2011)

  • iv

    PENGESAHAN

    Telah disidangkan di hadapan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu

    Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, skripsi atas:

    Nama : Rizka Auliya

    NIM : 6450408117

    Judul : Hubungan antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga dan

    Sanitasi Rumah dengan Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di

    Kecamatan Candisari Kota Semarang)

    Pada hari : Rabu

    Tanggal : 21 November 2012

    Panitia Ujian:

    Ketua, Sekretaris,

    Drs. H. Harry Pramono, M.Si . ` Dr. dr. Oktia Woro KH, M. Kes. NIP.19591019.198503.1.001 NIP. 19591001.198703.2.001 Dewan Penguji Tanggal

    Ketua, Eram Tunggul P., S.KM., M.Kes ___________ NIP. 19740928.200312.1.001

    Anggota, Arum Siwiendrayanti, S.KM, M.Kes ___________ (Pembimbing Utama) NIP. 19800909.200501.2.002

    Anggota, Sofwan Indarjo, S.KM, M.Kes ___________ (Pembimbing Pendamping) NIP. 19760719.200812.1.002

  • v

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN

    MOTTO:

    Dahulukan Allah, maka Allah akan mendahulukanmu dalam segala urusan.

    Masyarakat akan sehat, apabila setiap insan ikut serta menyehatkan dirinya serta

    lingkungannya (Juli Soemirat Slamet, 2002:5).

    PERSEMBAHAN:

    Skripsi ini saya persembahkan untuk:

    1. Ibuku tercinta (Ibu Sadiyah).

    2. Adik dan Kakakku (Oyik dan Naila).

    3. Keluarga Besarku

    4. Almamaterku Unnes

  • vi

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, berkah dan

    karuniaNya, sehingga skripsi yang berjudul Hubungan antara Strata PHBS

    Tatanan Rumah Tangga dan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Leptospirosis

    (Studi Kasus di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012) dapat

    terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan

    memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Jurusan Ilmu Kesehatan

    Masyarakat pada Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.

    Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian skripsi ini,

    dengan rendah hati disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

    1. Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas

    Negeri Semarang, atas ijin penelitian.

    2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan

    Universitas Negeri Semarang, atas persetujuan penelitian.

    3. Pembimbing I, Ibu Arum Siwiendrayanti, S.KM., M.Kes., atas bimbingan,

    arahan serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

    4. Pembimbing II, Bapak Sofwan Indarjo, S.KM., M.Kes., atas bimbingan, arahan

    serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

    5. Dosen Penguji Proposal Skripsi, Bapak Eram Tunggul Pawenang, S.KM.,

    M.Kes., atas saran dan masukkan dalam perbaikan skripsi ini.

    6. Dosen-dosen dan karyawan di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas

    Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, atas bimbingan dan

    bantuannya.

    7. Kepala Kesbangpolinmas Kota Semarang , Bapak Drs. Bambang Sukono, MM,

    atas ijin penelitian.

  • vii

    8. Kepala Kantor Kecamatan Candisari Kota Semarang, Bapak Budi Tjahyanto,

    S.H., M.Hum, atas ijin penelitian di wilayah tersebut.

    9. Ibu (Sadiyah), adik (Oyik), Kakak (Naila), atas doa, pengorbanan, kasih

    sayang dan motivasinya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

    10. Muhammad Ulya, atas bantuan doa, tenaga, pikiran, pengorbanan serta

    motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

    11. Sahabat sekaligus teman diskusi (Dwina, Wiwin, Madya Feni, Evy, Nunung)

    atas bantuan serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

    12. Teman-teman Kos 8, atas doa, dukungan serta motivasinya dalam

    penyusunan skripsi ini.

    13. Teman-teman Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2008, atas bantuan

    serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini.

    14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas bantuannya dalam

    penyelesaian skripsi ini.

    Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat ganda

    dari Allah SWT. Disadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

    itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan guna penyempurnaan karya

    selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat.

    Semarang, September 2012

    Penyusun

  • viii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    JUDUL ................................................................................................................... i

    ABSTRAK ............................................................................................................ ii

    ABSTRACT .......................................................................................................... iii

    PENGESAHAN .................................................................................................... iv

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................................... v

    KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

    DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii

    DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi

    DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xiii

    DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv

    BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1

    1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 6

    1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 6

    1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 7

    1.5 Keaslian Penelitian ......................................................................................... 8

    1.6 Ruang Lingkup Penelitian .............................................................................. 10

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 11

  • ix

    2.1 Leptospirosis .................................................................................................. 11

    2.2 Sanitasi Rumah ............................................................................................. 26

    2.3 Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Leptospirosis ............... 34

    2.4 PHBS Tatanan Rumah Tangga ..................................................................... 36

    2.5 Kerangka Teori .............................................................................................. 42

    BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................... 43

    3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 43

    3.2 Hipotesis Penelitian ........................................................................................ 44

    3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian ..................................................................... 44

    3.4 Variabel Penelitian ......................................................................................... 44

    3.5 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel .................................. 45

    3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ..................................................................... 48

    3.7 Sumber Data Penelitian .................................................................................. 52

    3.8 Instrumen Penelitian ...................................................................................... 53

    3.9 Teknik Pengambilan Data ............................................................................. 53

    3.10 Prosedur Penelitian ....................................................................................... 54

    3.11 Teknik Analisis Data ..................................................................................... 55

    BAB IV HASIL PENELITIAN ............................................................................ 60

    4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................ 60

    4.2 Hasil Penelitian ............................................................................................ 60

    4.2.1 Karakteristik Responden .............................................................................. 60

    4.2.2 Analisis Univariat Variabel Penelitian ......................................................... 63

    4.2.3 Hasil Analisis Bivariat ................................................................................. 68

  • x

    4.2.4 Rekapitulasi Hasil Analisis Bivariat .......................................................... 77

    BAB V PEMBAHASAN ....................................................................................... 78

    5.1 Pembahasan .................................................................................................. 78

    5.1.1 Hubungan antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga dengan Kejadian

    Leptospirosis ................................................................................................ 78

    5.1.2 Hubungan antara Kondisi Selokan dengan Kejadian Leptospirosis ........... 80

    5.1.3 Hubungan antara Intensitas Cahaya dengan Kejadian Leptospirosis .......... 81

    5.1.4 Hubungan antara Keberadaan Tikus dengan Kejadian Leptospirosis ......... 82

    5.1.5 Hubungan antara Keberadaan Hewan Peliharaan dengan Kejadian

    Leptospirosis ............................................................................................... 84

    5.1.6 Hubungan antara Keberadaan Air Menggenang dengan Kejadian Leptospirosis

    .................................................................................................................... 85

    5.1.7 Hubungan antara Sarana Pembuangan Limbah dengan Kejadian Leptospirosis

    .................................................................................................................... 87

    5.1.8 Hubungan antara Sarana Pembuangan Sampah dengan Kejadian Leptospirosis

    .................................................................................................................... 89

    5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian ............................................................ 91

    5.2.1 Hambatan Penelitian ................................................................................... 91

    5.2.2 Kelemahan Penelitian ................................................................................. 91

    BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 92

    6.1 Simpulan ........................................................................................................ 92

    6.2 Saran ............................................................................................................... 92

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 94

    LAMPIRAN ......................................................................................................... . 96

  • xi

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 1.1: Keaslian Penelitian................................................................................. 8

    Tabel 1.2: Matrik Perbedaan Penelitian .................................................................. 9

    Tabel 2.1: Strata PHBS di Rumah Tangga ............................................................. 40

    Tabel 2.2: Strata Kelompok

    (RT,RW,DESA/KELURAHAN,KECAMATAN,KABUPATEN/KOTA) ............ 41

    Tabel 3.1: Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ........................... 45

    Tabel 3.2: Perhitungan Sampel ............................................................................... 50

    Tabel 3.3: Tabel 2 x 2 Penentuan OR ..................................................................... 57

    Tabel 4.1: Distribusi Responden menurut Umur .................................................... 61

    Tabel 4.2: Distribusi Responden menurut Jenis Kelamin ....................................... 62

    Tabel 4.3: Distribusi Responden menurut Tingkat Pendidikan .............................. 62

    Tabel 4.4: Distribusi Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga Responden ................ 63

    Tabel 4.5: Distribusi Kondisi Selokan Responden ................................................. 64

    Tabel 4.6: Distribusi Intensitas Cahaya dalam Rumah Responden ........................ 64

    Tabel 4.7: Distribusi Keberadaan Tikus di Rumah Responden .............................. 65

    Tabel 4.8: Distribusi Keberadaan Hewan Peliharaan Responden ........................... 66

    Tabel 4.9: Distribusi Keberadaan Air Menggenang di Rumah Responden ............ 66

    Tabel 4.10: Distribusi Sarana Pembuangan Limbah Responden ............................ 67

    Tabel 4.11: Distribusi Sarana Pembuangan Sampah Responden............................ 68

    Tabel 4.12: Tabulasi Silang antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga dengan

    Kejadian Leptospirosis ............................................................................................ 69

  • xii

    Tabel 4.13: Tabulasi Silang antara Kondisi Selokan dengan Kejadian Leptospirosis

    .............................................................................................................. 70

    Tabel 4.14: Tabulasi Silang antara Intensitas Cahaya dengan Kejadian Leptospirosis

    .............................................................................................................. 71

    Tabel 4.15: Tabulasi Silang antara Keberadaan Tikus dengan Kejadian Leptospirosis

    .............................................................................................................. 72

    Tabel 4.16: Tabulasi Silang antara Keberadaan Hewan Peliharaan dengan Kejadian

    Leptospirosis ........................................................................................................... 73

    Tabel 4.17: Tabulasi Silang antara Keberadaan Air Menggenang dengan Kejadian

    Leptospirosis ........................................................................................................... 74

    Tabel 4.18: Tabulasi Silang antara Sarana Pembuangan Limbah dengan Kejadian

    Leptospirosis ........................................................................................................... 75

    Tabel 4.19: Tabulasi Silang antara Sarana Pembuangan Sampah dengan Kejadian

    Leptospirosis ........................................................................................................... 76

    Tabel 4.20: Rekapitulasi Hasil Analisis Bivariat Menggunakan Uji Chi-Square ... 77

  • xiii

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 2.1: Kerangka Teori................................................................................... 42

    Gambar 3.1: Kerangka Konsep ............................................................................... 43

  • xiv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    Lampiran 1: Permohonan Sebagai Responden Penelitian ...................................... 96

    Lampiran 2: Persetujuan Menjadi Responden Penelitian ....................................... 97

    Lampiran 3: Kuesioner Penelitian dan Lembar Observasi ..................................... 98

    Lampiran 4: Daftar Responden Kasus .................................................................... 105

    Lampiran 5: Daftar Responden Kontrol .................................................................. 106

    Lampiran 6: Rekapitulasi Data Hasil Penelitian Tiap Variabel .............................. 107

    Lampiran 7: Rekapitulasi Data Hasil Penelitian ..................................................... 123

    Lampiran 8: Output SPSS Analisis Bivariat dengan Uji Chi-Square ..................... 125

    Lampiran 9: Surat Tugas Pembimbing ................................................................... 133

    Lampiran 10: Surat Ijin Penelitian dari Fakultas .................................................... 134

    Lampiran 11: Surat Ijin Peminjaman Alat .............................................................. 135

    Lampiran 12: Surat Ijin Penelitian dari Kesbangpolinmas ..................................... 136

    Lampiran 13: Surat Ijin Penelitian dari Kecamatan Candisari ................................ 138

    Lampiran 14: Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ................................ 139

    Lampiran 15: Dokumentasi Penelitian .................................................................... 140

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah

    Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,

    khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki

    curah hujan yang tinggi. World Health Organization (WHO) menyebutkan

    kejadian Leptospirosis untuk negara subtropis adalah berkisar antara 0,1-1

    kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis berkisar

    antara 10100 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun (WHO, 2012).

    Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis. Indonesia sebagai

    negara tropis merupakan negara dengan kejadian Leptospirosis yang tinggi serta

    menduduki peringkat ketiga di dunia dibawah China dan India untuk mortalitas.

    Penyakit bersumber tikus yang pernah dilaporkan di Provinsi Jawa Tengah

    diantaranya adalah penyakit Pes dan Leptospirosis. Leptospirosis telah

    mengakibatkan kematian penduduk di beberapa kabupaten atau kota seperti di

    Semarang, Demak, Pati, Klaten dan Purworejo (Buku Saku Kesehatan 2011 Prov.

    Jateng : 40 - 41).

    Leptospirosis merupakan penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi

    bakteri yang berbentuk spiral dari genus Leptospira yang pathogen, yang

    menyerang hewan dan manusia. Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan

    oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira yang biasanya masuk melalui

    conjunctiva atau kulit yang terluka. Pada kulit yang utuh, infeksi dapat pula terjadi

  • 2

    apabila seseorang kontak dengan air, tanah, dan tanaman yang terkontaminasi urin

    tikus atau hewan lain seperti anjing, kucing dll yang sakit leptospirosis dalam

    waktu yang lama (Muliawan, 2008: 64).

    Angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, bisa mencapai

    2,516,45%. Dan di provinsi Jawa Tengah angka kematian leptospirosis

    cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kejadian dan angka kematian

    leptospirosis di Jawa Tengah tahun 2007 adalah 67 kejadian dan 6 kematian,

    tahun 2008 adalah 231 kejadian dan 15 kematian, tahun 2009 adalah 232 kejadian

    dan 14 kematian, tahun 2010 adalah 133 kejadian dan 14 kematian, dan pada

    tahun 2011 adalah 153 kejadian dan 30 kematian (Profil Kesehatan Indonesia

    2010, Kepmenkes RI Tahun 2011). Angka kejadian dan kematian leptospirosis di

    Jawa Tengah mulai tahun 20082011 yang paling tinggi adalah di Kota Semarang

    yaitu sebanyak 151 kejadian dengan 4 kematian, 235 kejadian dengan 9

    kematian, 70 kejadian dengan 6 kematian, dan 60 kejadian dengan peningkatan

    kasus kematian sebanyak 22 kematian (Buku Saku Data Kasus dan Kematian

    Leptospirosis Jateng 2012 ). Bila dilihat dari data, selama tahun 20082011

    kejadian leptospirosis di Kota Semarang mengalami penurunan. Namun pada

    angka kematian yang terjadi mengalami peningkatan yang pesat pada tahun 2011.

    Pada umumnya, penyakit leptospirosis merupakan penyakit yang banyak

    terjadi di daerah rawan banjir karena kejadian penyakit ini paling tinggi setelah

    banjir tersebut surut. Kawasan rob yang memiliki kasus leptospirosis tinggi di

    Kota Semarang misalnya Kecamatan Semarang Utara. Menurut penelitian yang

    dilakukan oleh Sunaryo dari Loka Litbang P2B2 Banjarnegara tentang zona

    kerawanan leptospirosis di Kota Semarang menunjukan hasil yang berbeda untuk

  • 3

    daerah yang jarang banjir. Daerah Candisari merupakan daerah yang jarang

    mengalami banjir namun menjadi daerah yang memiliki angka kejadian

    leptospirosis yang tinggi pada tahun 2009-2011 yaitu 41 kasus dan 5 kematian.

    Dan pada tahun 20082010 kejadian leptospirosis yang juga tinggi berada di

    daerah Tembalang yang merupakan daerah yang juga jarang terjadi banjir

    (Rekapitulasi Bulanan Kasus Leptospirosis Kota Semarang Tahun 2012). Dengan

    demikian, fenomena kejadian leptospirosis bukan hanya terjadi di kawasan rob

    saja, melainkan sudah merambat ke daerah yang jarang banjir di Kota Semarang.

    Menurut petugas Puskesmas Kagok bagian penyakit Leptospirosis, hal ini

    disebabkan oleh banyaknya populasi tikus yang terinfeksi bakteri leptospira yang

    bermigrasi dari daerah yang rawan banjir ke daerah yang jarang banjir seperti

    Candisari. Dan penyakit Leptospirosis dapat terjadi hanya dengan adanya tikus

    yang terinfeksi Leptospira, air menggenang dan kontak manusia dengan air

    menggenang yang terinfeksi oleh Leptospira dari air kencing tikus tersebut. dari

    hal tersebut maka banyaknya kejadian Leptospirosis di daerah jarang banjir dapat

    terjadi.

    Di wilayah kota Semarang, tercatat kecamatan Candisari sebagai wilayah

    terpadat dengan angka kepadatan 14.089 jiwa/km2. Di kecamatan Candisari, air

    tanah dan permukaan air dangkal mencapai 10-20 meter. Hal ini berpotensi

    menimbulkan genangan air luas mencapai 1-25 hektare utamanya di kelurahan

    Kaliwiru. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 28 Juli 2012

    di beberapa kelurahan (Jomblang, Karanganyar Gunung, Kaliwiru dan Tegalsari)

    yang merupakan kelurahan dengan keberadaan kasus Leptospirosis di kecamatan

  • 4

    Candisari, mendapatkan hasil bahwa kondisi sanitasi di daerah tersebut perlu

    diperhatikan. Hal tersebut terlihat dari kondisi rumah-rumah yang sangat

    berhimpitan dan masih sedikitnya tempat sampah di tiap-tiap rumah sehingga

    menimbulkan banyaknya sampah yang dibuang sembarangan di sekitar rumah

    maupun selokan. Warga juga menyatakan bahwa saat musim hujan, selokan di

    sekitar rumah mereka sering meluap karena tidak tertutup dan berukuran kecil.

    Keterbatasan tempatlah yang membuat mereka tidak dapat membuat selokan yang

    lebih besar. Terbatasnya tempat juga menyebabkan rumah-rumah mereka

    dibangun dengan kondisi seminimal mungkin sehingga kondisi di dalam rumah

    terlihat cukup gelap walaupun saat siang hari. Hal- hal tersebut yang menjadi

    kemungkinan sebagai faktor-faktor penularan Leptospirosis.

    Penyakit leptospirosis merupakan penyakit yang sangat berhubungan

    dengan lingkungan. Faktor lingkungan yang sangat berperan dalam kejadian

    leptospirosis adalah sanitasi rumah. Sanitasi rumah dapat dikatakan baik apabila

    memenuhi salah satu kriteria rumah sehat yaitu memenuhi persyaratan

    pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan penyediaan air

    bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan

    tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi,

    terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan

    dan penghawaan yang cukup (Rusmini, 2011:86).

    Penelitian terdahulu yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kejadian

    Leptospirosis berkaitan dengan faktor lingkungan. Pada penelitian Dwi Sarwani

    (2005) mendapatkan hasil bahwa beberapa faktor lingkungan fisik yang

  • 5

    merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah kondisi tempat

    pengumpulan sampah (Odd Ratio = 1,2 dengan 95% CI 0,6-2,7), kondisi selokan

    (Odd Ratio = 5 dengan 95% CI 2,3-10,6). Faktor lingkungan biologik yang

    merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah adanya tikus di dalam

    rumah (Odd Ratio = 38,1 dengan 95% CI 8,6169,8).

    Faktorfaktor lingkungan termasuk kedalam beberapa indikator dari PHBS

    tatanan rumah tangga. Selain faktor lingkungan, faktorfaktor lain yang ikut

    berpengaruh pada kejadian leptospirosis juga terdapat dalam PHBS tatanan rumah

    tangga. PHBS tatanan rumah tangga dilakukan untuk memberdayakan anggota

    rumah tangga agar sadar, mau dan mampu melakukan PHBS dengan baik,

    memelihara dan meningkatkan kesehatannya, mencegah risiko terjadinya penyakit

    dan melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan

    kesehatan masyarakat (Pedoman Program PHBS Tatanan Rumah Tangga Tahun

    2010). Dengan PHBS tatanan rumah tangga tersebut dapat diketahui tingkatan

    strata PHBS dalam rumah tangga, tingkatan strata tersebut antara lain sehat

    pratama, sehat madya, sehat utama dan sehat paripurna.

    Tingkatan strata PHBS Tatanan Rumah Tangga menentukan bagaimana

    kondisi PHBS dalam keluarga. Penentuan strata PHBS Tatanan Rumah Tangga

    merupakan program pemerintah yang telah dilakukan oleh Puskesmas. Untuk itu

    perlu diketahui hubungannya dengan kejadian Leptospirosis agar bisa lebih

    ditingkatkan keefektifannya di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti

    ingin melakukan penelitian mengenai Hubungan Antara Strata PHBS Tatanan

    Rumah Tangga dan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Leptospirosis

  • 6

    1.2 Rumusan Masalah

    Menurut penelitian terdahulu, faktor lingkungan merupakan faktor yang

    sangat berperan dalam kejadian leptospirosis utamanya adalah sanitasi rumah

    yang meliputi kondisi selokan, intensitas cahaya, keberadaan tikus di dalam

    rumah, keberadaan air yang menggenang di dalam rumah, sarana pembuangan air

    limbah dan sarana pembuangan sampah. Faktorfaktor lingkungan tersebut

    termasuk ke dalam beberapa indikator dari PHBS tatanan rumah tangga. Selain

    faktor lingkungan tersebut, faktorfaktor lain yang ikut berpengaruh pada

    kejadian leptospirosis juga terdapat dalam PHBS tatanan rumah tangga. Indikator

    tersebut antara lain KIA dan gizi, gaya hidup, dan upaya kesehatan masyarakat.

    Dengan PHBS tatanan rumah tangga tersebut dapat diketahui tingkatan strata

    PHBS dalam rumah tangga.

    Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah Adakah

    hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan

    kejadian leptospirosis?.

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Tujuan Umum

    Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

    antara strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan kejadian

    leptospirosis.

    1.3.2 Tujuan Khusus

    Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

    1. Mengetahui hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dengan

    kejadian leptospirosis.

    2. Mengetahui hubungan antara kondisi selokan dengan kejadian leptospirosis.

  • 7

    3. Mengetahui hubungan antara intensitas cahaya dengan kejadian

    leptospirosis.

    4. Mengetahui hubungan antara keberadaan tikus dengan kejadian leptospirosis.

    5. Mengetahui hubungan antara keberadaan hewan peliharaan dengan kejadian

    leptospirosis.

    6. Mengetahui hubungan antara keberadaan air yang menggenang dengan

    kejadian leptospirosis.

    7. Mengetahui hubungan antara sarana pembuangan air limbah dengan kejadian

    leptospirosis.

    8. Mengetahui hubungan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian

    leptospirosis.

    1.4 Manfaat Penelitian

    1.4.1 Bagi Peneliti

    Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama

    kuliah di bidang Kesehatan Lingkungan dalam bentuk penelitian ilmiah mengenai

    hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah dengan

    kejadian leptospirosis.

    1.4.2 Bagi Masyarakat

    Sebagai sarana pemberian informasi yang nantinya dapat dijadikan

    masukan dalam bidang sosial-ekonomi dengan memasyarakatkan bahwa strata

    PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah berhubungan dengan kejadian

    leptospirosis, sehingga masyarakat dapat mencegah kejadian leptospirosis.

  • 8

    1.5 Keaslian Penelitian

    Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

    Judul Peneliti

    An

    Nama Peneli

    ti

    Tahun dan

    Tempat Peneliti

    an

    Ranca ngan

    Peneliti An

    Variabel Penelitian Hasil Penelitian

    (1) (2) (3) (4) (5) (6) Faktor Risiko Ling kungan Yang Berpe ngaruh Terha dap Kejadian Leptospirosis Berat

    Dwi Sarwa ni Sri Rejeki

    Tahun 2005, di Rumah Sakit Dr. Kariadi Sema rang.

    Meng gu nakan metode Obser vasio nal dengan rancang an kasus kontrol

    Variabel bebas : Kondisi selokan, karakteristik genangan air, keberadaan sampah, kondisi jalan sekitar rumah, curah hujan, kondisi selokan, kondisi tempat pengumpulan sampah, topografi, keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, kepemilikan hewan peliharaan, pH tanah, riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang berisiko terhadap leptospirosis, penggunaan alat pelindung, jumlah pendapatan, jenis pekerjaan, kebiasaan tidak memakai alas kaki, mencuci/mandi di sungai Variabel terikat : Kejadian leptospirosis.

    Beberapa faktor lingkungan fisik yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah kondisi tempat pengumpulan sampah OR = 1,2 95% CI 0,6-2,7; curah hujan >= 177,5 mm OR=5,7; 95% CI 1,9-17,3; kondisi selokan < 2,0 meter OR=5; 95% CI 1,8-15,7. Faktor lingkungan biologik yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis berat adalah adanya tikus di dalam dan sekitar OR=38,1; 95% CI 8,6169,8.

  • 9

    (1) (2) (3) (4) (5) (6) Analisis Faktor Faktor yang Berhubung an dengan Penyakit Leptospiro sis Di Puskesmas Kedungmundu 2011

    Taufik Ari Pambudi

    Tahun 2011 di Puskesmas Kedungmundu

    Analitik observasional dengan desain kasus kontrol

    Variabel Bebas : Kebersihan diri, riwayat adanya luka, kondisi selokan, keberadaan tikus di dalam rumah, kebiasaan menutup makanan, keberadaan hewan peliharaan, pengetahuan, pekerjaan, aktifitas di air Variabel Terikat : Kejadian Leptospirosis

    Variabel yang berhubung an dengan kejadian leptospiro sis adalah pekerjaan OR=7,765 ; 95% CI 0,85270,752, kebersihan diri OR=7,3,685 ; 95% CI 1,062-12,771, riwayat adanya luka OR=5,6 ; 95% CI 1,52320,492, keberadaan tikus OR=3,683 ; 95% CI 1,06212,771, riwayat kontak dengan air kotor OR=3,683 ; 95% CI 1,06212,771, kebersihan rumah OR=3,683 ; 95% CI 1,06212,771.

    Perbedaan penelitian dari penelitian sebelumnya dapat dilihat pada tabel

    1.2 tentang matrik perbedaan penelitian di bawah ini :

    Tabel 1.2 Matrik Perbedaan Penelitian

    No Perbedaan Penelitian Rizka Auliya Penelitian Dwi

    Sarwani Penelitian Taufik Ari Pambudi

    (1) (2) (3) (4) (5) 1. Judul

    Penelitian Hubungan Antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga Dan Sanitasi Rumah Dengan Kejadian Leptospirosis.

    Faktor Risiko Lingkungan Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat

    Analisis Faktor Faktor yang Berhubungan Penyakit Leptospirosis Di Puskesmas Kedungmundu 2011

    2. Tempat Kecamatan Candisari Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang

    Puskesmas Kedungmundu

    3. Rancangan Penelitian

    Menggunakan metode observasional analitik dengan desain studi kasus kontrol.

    Menggunakan metode Observasional dengan rancangan kasus kontrol

    Analitik observasional dengan desain kasus kontrol

  • 10

    (1) (2) (3) (4) (5) 4. Variabel

    Bebas Strata PHBS tatanan rumah tangga dan sanitasi rumah yang meliputi kondisi selokan, intensitas cahaya, keberadaan tikus, keberadaan air yang menggenang, sarana pembuangan air limbah, serta sarana pembuangan sampah.

    Kondisi selokan, karakteristik genangan air, keberadaan sampah, kondisi jalan sekitar rumah, curah hujan, kondisi selokan, kondisi tempat pengumpulan sampah, topografi, keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, kepemilikan hewan peliharaan, pH tanah, riwayat peran serta dalam kegiatan sosial yang berisiko terhadap leptospirosis, penggunaan alat pelindung, jumlah pendapatan, jenis pekerjaan, kebiasaan tidak memakai alas kaki, mencuci/mandi di sungai

    Kebersihan diri, riwayat adanya luka, kondisi selokan, keberadaan tikus di dalam rumah, kebiasaan menutup makanan, keberadaan hewan peliharaan, pengetahuan, pekerjaan, aktifitas di air

    5. Teknik sampling

    Sistem random sampling sampling

    Sistematik random sampling

    Simple random sampling

    1.6 Ruang Lingkup Penelitian

    1.6.1 Ruang Lingkup Tempat

    Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Candisari Kota Semarang.

    1.6.2 Ruang Lingkup Waktu

    Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Agustus 2012.

    1.6.3 Ruang Lingkup Keilmuan

    Penelitian ini dibatasi lingkup teorinya pada strata PHBS tatanan rumah

    tangga dan sanitasi rumah sebagai pemicu munculnya vektor tikus yang kemudian

    menghubungkannya dengan kejadian Leptospirosis.

  • 11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Leptospirosis

    2.1.1 Pengertian Leptospirosis

    Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan bakteri yang

    berbentuk spiral dari genus leptospira patogen, menyerang hewan dan manusia.

    Definisi zoonosa (zoonosis) adalah penyakit yang secara alami dapat dipindahkan

    dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya (Depkes RI, 2005:1)

    Bakteri zoonosis sebagai aspek penyebab leptospirosis. Dari aspek

    transmisinya leptospirosis merupakan salah satu direct zoonosi (host to host

    transmission) karena penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja.

    Penyakit ini bebas berkembang di alam, di kalangan hewan liar maupun domestik,

    dan manusia merupakan infeksi terminal. Dari aspek ini penyakit tersebut

    termasuk golongan anthropozoonosis. Gambaran klinis penyakit leptospirosis

    pada manusia meliputi: demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus, dan ada tanda

    tanda kerusakan pada ginjal (Depkes RI,2005:1).

    2.1.1.1 Etiologi

    Mikroorganisme penyebab leptospirosis termasuk dalam genus Leptospira

    (L), famili Leptospiraceae, ordo Spirochaetales yang terdiri dari 2 spesies yaitu L.

    interrogans yang patogen dan L. biflexa yang hidup bebas (non patogen,

    saprofit). Jenis Leptospira interrogans yang mampu menginfeksi manusia antara

    lain adalah L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pamona, L. grippotyphosa, L.

    javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L. autumnalis, L. bataviae, L.

  • 12

    tarrasovi, L. panama, L. andamana, L. shemonai, L. ranarum, L. bufonis, L.

    copenhageni, L. australis, L. cynopteri. Jenis yang paling sering menginfeksi

    manusia adalah L. icterohaemorrhagiae dengan tikus sebagai reservoirnya, L.

    canicola dengan anjing sebagai reservoirnya, dan L.pamona dengan sapi dan babi

    sebagai reservoirnya (Djoni Djunaedi, 2007:20).

    2.1.1.2 Epidemiologi

    Leptospira yang hidup dalam tubuh hewan yang menjadi sumber penular

    leptospirosis berada di dalam ginjal atau air kemihnya. Tikus merupakan vektor

    yang utama penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira

    akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel

    tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus akan ikut mrngalir dalam filtrat urin.

    Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang, masa puncak insidens

    dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor

    yang mempengaruhi kelangsunga hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis

    insidens tertinggi terjadi selama musim hujan. Untuk dapat berkembang biak,

    leptospira memerlukan lingkungan optimal serta tergantung pada suhu yang

    lembab, hangat, dan pH air tanah yang netral (Aru W. Sudoyo, dkk., 2006:1845).

    Bakteri Leptospira tetap hidup pada air tergenang selama beberapa

    minggu. Ketika orang meminum air tersebut, berenang atau mandi di dalamnya,

    atau mengkonsumsi makanan yang tercemar, maka dapat timbul infeksi pada

    orang tersebut. Orang yang sering berkontak dengan air yang tercemar oleh urin

    tikus mempunyai risiko terbesar untuk terinfeksi (Muliawan, 2008:65).

  • 13

    2.1.1.3 Patogenesis

    Infeksi pada manusia biasanya terjadi akibat air minum atau makanan

    yang terkontaminasi denga leptospira. Selaput mukosa dan kulit yang terluka

    merupakan tempat masuk yang paling mungkin bagi leptospira patogenik. Setelah

    masuknya bakteri ini, terjadi infeksi yang tersebar di seluruh tubuh termasuk

    cairan serebrospinal dan mata, tetapi tidak timbul lesi pada tempat masuk. Gerak

    yang menggangsir (burrowing motility) telah diajukan sebagai mekanisme

    masuknya Leptospira di tempat tersebut, yang secara normal terlindung (Rusmini,

    2011:86-88).

    Leptospira secara cepat dieliminasi dari semua jaringan tubuh hospes,

    kecuali pada otak, mata, dan ginjal. Leptospira yang bertahan hidup pada otak dan

    mata tidak memperbanyak diri, akan tetapi pada ginjal, bakteri ini berkembang

    biak di dalam tubuli kontorta dan dikeluarkan ke dalam urin. Leptospira bertahan

    di dalam hospes selama bermingguminggu hingga berbulanbulan, dan pada

    rodensia bakteri ini dapat dikeluarkan melalui urin sepanjang hidup hewan

    tersebut (Muliawan, 2008:67).

    2.1.1.4 Patologi

    Perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang

    bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi beberapa organ. Lesi yang

    muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis

    terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara

    histologik. Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal

    dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut.

  • 14

    Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ. Selain

    di ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat

    masuk pada fase leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang

    merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi

    leptospirosis. Organorgan yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot

    dan pembuluh darah (Aru W. Sudoyo, dkk.,2006:1845).

    2.1.1.5 Morfologi

    Leptospira merupakan organisme fleksibel, tipis, berlilit padat, dengan

    panjang 525 m, disertai spiral halus yang lebarnya 0,10,2 m. Salah satu ujung

    organisme seringkali bengkok, membentuk kait. Bentuk yang demikian

    menyebabkan leptospira dapat bergerak sangat aktif untuk maju, mundur atau

    berbelok. Leptospira dapat dikembangbiakkan pada pH 7,4 dan pada suhu 28

    30C (Muliawan, 2008:65).

    2.1.1.6 Struktur

    2.1.1.6.1 Struktur Umum

    Leptospira memiliki ciri umum yang berbeda dari bakteri lainnya. Sel

    bakteri ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3 5 lapis, atau disebut

    juga envelop. Di bawah membran luar ini terdapat lapisan peptidoglikan yang

    fleksibel dan helical, serta membran sitoplasma. Kedua lapisan ini meliputi isi

    sitoplasma dari sel. Struktur yang dikelilingi membran luar tersebut, secara

    kolektif dinamakan silinder protoplasmik.

    Ciri khas Spirochaeta adalah lokasi flagelanya, yang terletak diantara

    membran luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela ini disebut sebagai flagella

  • 15

    periplasmik. Leptospira memiliki flagella periplasmik, masing masing

    berpangkal pada setiap ujung sel. Ujung bebas flagella periplasmik berjalan ke

    arah pusat sel, tetapi tidak bertumpang tindih seperti Spirochaeta lainnya.

    Leptospira berbeda denga spirochaeta lainnya, karena tidak mempunyai zat

    glikopid tetapi memiliki asam diaminopimelat sebagai pengganti ornitin pada

    bahan peptidoglikannya (Muliawan, 2008:67).

    2.1.2 Cara Penularan Bakteri Leptospira

    Manusia dapat terinfeksi bakteri Leptospira melalui kontak dengan air,

    tanah (lumpur), dan tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan hewan

    penberita leptosirosis. Bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia melalui

    selaput lendir (mukosa) mata, hidung, atau kulit yang lecet dan kadang kadang

    melalui saluran pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oelh urin tikus

    yang telah terkontaminasi oleh Leptospira (Depkes RI, 2005:8).

    Masuknya kuman Leptospira pada hospes secara kualitatif berkembang

    bersama dengan proses infeksi pada semua resevoar Leptospira. Namun

    masuknya kuman secara kuantitatif berbeda, bergantung kepada agen, host dan

    lingkungan. Melalui cara lain dapat saja terjadi yaitu melaui permukaan mukosa,

    misalnya melalui abrasi, mukosa, saluran hidung atau konjungtiva. Kuman

    Leptospira akan masuk dalam peredaran darah yang ditandai dengan adanya

    demam dan berkembang pada target organ serta akan menunjukkan gejala infeksi

    pada organ tersebut. Masa inkubasi dari leptospirosis 419 hari, ratarata 10 hari.

    Penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi (Depkes RI, 2005:8).

  • 16

    Gambaran klinis akan bervariasi bergantung dari kondisi manusianya,

    spesies hewan, dan umurnya. Kuman ini beberapa hari akan tinggal pada organ

    seperti hati, limpa, ginjal dengan ditandai perubahan patologis. Mekanisme sistem

    imunitas tubuh akan aktif apabila kuman menjalar ke jaringan hati dan ginjal,

    serta berada si tubular ginjal (Depkes RI, 2005:8).

    Orang dengan profesi tertentu seperti petani yang mengerjakan sawah,

    petugas rumah potong hewan, dokter hewan yang menangani ternak, mempunyai

    kecenderungan besar terinfeksi bakteri. Tikus yang mempunyai kesempatan

    bergerak luas melampaui batasbatas kepemilikian lahan merupakan sumber

    penularan yang potensial (Soeharsono, 2002:41).

    2.1.3 Resevoar Penular

    Hewanhewan yang menjadi sumber penularan adalah rodent (tikus), babi,

    sapi, kambing, domba, kuda, kucing, anjing, serangga, burung, insektivora

    (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat berperan sebagai karier dari

    Leptospira (Rusmini, 2011:43-44).

    2.1.4 Gejala Klinis

    Manifestasi klinis leptospirosis sangat bervariasi, mulai dai infeksi

    subklinik, demam anikterik ringan seperti influenza sampai dengan yang berat dan

    berpotensi fatal yaitu penyakit weil (weils disease atau weils syndrome). Karena

    variasi klinik penyakit ini luas, maka penyakit ini biasanya mirip dengan infeksi

    dengue, malaria ringan atau berat, demam typhoid, hepatitis virus, infeksi

    hantavirus, sepsis atau penyakit demam lainnya (Rusmini, 2011:89).

  • 17

    Selain pembagian gambaran klinis diatas, Soeharyo Hadisaputro, 2002,

    Iskandar Z; Nelwan RHH, Suhendro, dkk, 2002, membagi leptospirosis menurut

    perjalanan penyakitnya menjadi 3 fase yaitu:

    2.1.4.1 Fase Pertama

    Pada masa leptospiremia akan dijumpai leptospira dalam darah, timbul

    keluahan sakit kepala, suhu badan meningkat sampai menggigil, nyeri otot hebat

    terutama pada paha, betis yang diikuti dengan hiperaestesia. Beberapa penderita

    mengeluh nafsu makan berkurang, mual, muntah dan diare. Keluhan batuk dan

    sakit dada dijumai pada hampir semua kasus, sedangkan batuk darah sangat jarang

    ditemukan.

    Tanda fisik dianggap khas adalah conjuctival suffusion, pertama kali

    timbul pada hari ke 3 (tiga) atau ke 4 (empat), yang disertai dengan sklera mata

    berwarna kuning dan adanya photophpbia. Tanda lain dapat berupa kemerahan

    pada kulit berbentuk makula, makulopapula ataupun urtikaria, dan perdarahan

    kulit. 25% kasus dapat dijumpai penurunan kesadaran, bradikardi, hipotensi, dan

    oliguria yang kadang juga dijumpai splenomegelia, hepatomegali, atau

    limfadenopatia.

    2.1.4.2 Fase Kedua (Fase Immune)

    Pada fase immune, ditandai kembali dengan munculnya gejala demam

    yang tidak melebihi 39C, berlangsung selama 13 hari, kadangkadang timbul

    antibodi dalam sirkulasi darah. Pada fase ini kadangkadang dijumpai adanya

    iridlosiklitis, neuritis optik, mielitis, encephalitis, serta neurophati perifer.

  • 18

    Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran

    klinis bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, dapat terjadi gangguan fungsi

    ginjal dan hati, serta gangguan hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan.

    2.1.4.3 Fase Ketiga (Fase Convalescent)

    Pada fase ini terjadi perbaikan klinis yang ditandai dengan pulihnya

    kesadaran, ikterus menghilang, tekanan darah menjadi normal kembali, serta

    perbaikan produksi urin. Fase ini terjadi bila pada minggu kedua sampai minggu

    keempat degan petogenesis yang masih belum jelas, demam, serta nyeri otot

    masih dijumpai, yang kemudian berangsurangsur hilang.

    2.1.5 Penyebab Penyakit (Agent)

    Bakteri leptospira sebagai penyebab leptospirosis berbentuk spiral

    termasuk dalam ordo spirochaetales dalam famili trepanometaceae. Bentuk spiral

    denga pilinan yang rapat dengan ujung ujungnya yang bengkok seperti dari

    bakteri leptospira menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan

    berputar sepanjang sumbunya, maju, mundur maupun melengkung karena

    ukurannya yang sangat kecil. Leptospira hanya dapat dilihat dengan mikroskop

    medan gelap atau mikroskop phase kontras. Leptospira peka terhadap asam dan

    dapat hidup dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut,

    air selokan, dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati (Depkes RI,

    2005:6).

    Sifat dari bakteri Leptospira adalah spirochaeta yang bergelung rapat

    sekali, berukuran 0,1 m x 0,6 m sampai 0,3 m x 20 m. Amplitudo hilikel

    sekitar 0,1 sampai 0,15 m dan panjang gelombang sekitar 0,5 m, pada ujung

  • 19

    selnya baik pada salah satu maupun keduanya biasanya terikat pada semacam kait.

    Dua filamen aksial (flagella periplasmik) dengan insersi polar terletak pada ruang

    perplasmik. Struktur protein flagella sangat komplek, leptospira memperlihatkan

    dua bentuk yang berbeda dalam pergerakannya, translatasi dan nontranslatasi.

    Leptospira dapat diwarnai dengan pewarnaan karbolfuchsin. Bakteri ini bersifat

    aerobik obligat dengan pertumbuhan optimal pada suhu 28C30C dan pH 7,2

    80. Menghasilkan katalase dan oksidase, tumbuh pada media sederhana yang kaya

    dengan vitamin (vit B2 dan B12 adalah faktor pertumbuhan), asam lemak rantai

    panjang, dan garam amonium. Asam lemak rantai panjang digunakan sebagai

    sumber karbon tunggal dan metabolisme oleh oxidase (Depkes RI, 2005:6).

    Leptospira relatif mudah dikultur dalam kondisi aerobik, suhu 28C30C.

    Genus leptospira dibagi dalam 2 spesies, yaitu L. interrogans (patogen) dan L.

    biflexa, mengandung strain saprofitik yang diisolasi dari lingkungan. L. biflexa

    dibedakan dari L. interrogans dengan melihat pertumbuhan pada suhu 13C

    (Depkes RI, 2005:6).

    Kedua spesies tersebut di atas, L interrogans dan L.biflexa dibagi dalam

    sejumlah serovar yang telah ditetapkan dalam aglutinas setelah absorbsi silang

    dengan antigen homolog. Jika pada uji ulangan selalu terdapat lebih dari 10% titer

    homolog pada sekurangkurangnya satu dari dua antisera, maka pada dua strain

    tersebut dnyatakan sebagai dua serovar yang berbeda (Depkes RI, 2005:6).

    2.1.6 Faktor Risiko Manusia Terinfeksi Bakteri Leptospirosis

    1. Petani dan peternak serta tukang potong hewan

    2. Penangkap/penjerat hewan

  • 20

    3. Dokter/mantri hewan

    4. Penebang kayu, pekerja selokan dan perkebunan

    5. Berenang di sungai

    6. Bersampan

    7. Kemping

    8. Berburu/kegiatan di hutan

    9. Anjing piaraan dan hewan ternak

    10. Genangan air hujan

    11. Lingkungan tikus

    12. Banjir (Aru W. Sudoyo, 2007:1824)

    2.1.7 Diagnosis klinis dan diagnosis banding

    Langkah untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis,

    pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pola klinis leptospirosis tidak

    sama, tergantung dari : jenis bakteri leptospirosis, kekebalan seseorang, kondisi

    lingkungan dan lain-lain.

    2.1.7.1 Anamnesis

    Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data

    epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan

    pasien. Identitas pasien ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal,

    jenis pekerjaan dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan

    liar dilingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis. Keluhan-

    keluahan khas yang dapat ditemukan yaitu : demam mendadak, keadaan umum

    lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun dan merasa mata

  • 21

    semakin lama semakin bertambah kuning dan sakit otot hebat terutama daerah

    betis dan paha (Rusmini,2011:103).

    2.1.7.2 Pemeriksaan fisik

    Gejala klinis menonjol yaitu : ikterik,demam, mialgia, nyeri sendi serta

    conjungtival suffusion. Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala

    klinik yang sering ditemukan. Kelainan fisik lain yang ditemukan yaitu :

    hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsa meningeal, hipotensi, ronki paru

    dan adanya diatesisi hemoragik (Rusmini, 2011:104-105).

    2.1.7.3 Pemeriksaan laboratorium

    2.1.7.3.1 Pemeriksaan laboratorium umum

    Pemeriksaan laboratorium umum ini tidak terlalu spesifik untuk

    menentukan diagnosis leptospirosis. Yang termasuk pemeriksaan laboratorium

    umum yaitu pemeriksaan darah, pemeriksaan fungsi ginjal, pemeriksaan fungsi

    hati

    2.1.7.3.2 Pemeriksaan laboratorium khusus

    Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan bakteri

    leptospira dapat secara langsung dengan mencari bakteri leptospira atau

    antigennya dan secara tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap

    bakteri leptospira dengan uji serologis. Pemeriksaan langsung meliputi kultur,

    mikroskopis, inokulasi hewan, (immuno) staining dan reaksi polimerase berantai.

    Pemeriksaan langsung dengan isolasi bakteri leptospira patogen merupakan

    diagnosis pasti leptospirosis. Sedangkan interpretasi pemeriksaan tidak langsung

  • 22

    harus dikorelasikan dengan gejala klinis dan data epidemiologis seperti riwayat

    pajanan dan faktor risiko lain.

    2.1.7.4 Pemeriksaan Langsung

    Pemeriksaan langsung meliputi pemeriksaan mikroskopik dan

    immunostaining, pemeriksaan molekuler, biakan, dan inokulasi hewan percobaan

    2.1.7.5 Pemeriksaan tidak langsung/serologi

    Spesimen untuk pemeriksaan serologi adalah 2 ml serum. Spesimen serum

    disimpan dan dikirim dalam keadaan beku dengan dry ice, (karena pada suhu 20-

    250 C spesimen hanya tahan beku selama 1-2 hari). Berbagai jenis uji serologi

    antara lain Microscopic Agglutination Test (MAT), Macroscopic Slide

    Agglutination Test (MSAT), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), dan

    Uji Serologi Penyaring

    2.1.8 Tikus

    2.1.8.1 Klasifikasi Tikus

    Tikus dan mencit termasuk familia Muridae dari kelompok mamalia

    (hewan menyusui). Para ahli zoologi (ilmu hewan) sepakat untuk

    menggolongkannya ke dalam ordo rodensia (hewan yang mengerat), subordo

    Myormorpha, famili amauridae, dan sub famili Murinae.

    2.1.8.2 Biologi

    Anggota muridae ini dominan di sebagian kawasan di dunia. Potensi

    reproduksi tikus dan mencit sangat tinggi dan ciri yang menarik adalah gigi

    serinya beradaptasi untuk mengerat.

  • 23

    Gigi seri ini terdapat pada rahang atas dan bawah, masing-masing

    sepasang. Gigi seri ini secara cepat akan tumbuh memanjang sehingga merupakan

    alat potong yang sangat efektif. Tidak mempunyai taring dan graham.

    Karakterisitik lainnya adalah cara berjalannya dan perilaku hidupnya. Semua

    rodensia komersal berjalan dengan telapak kakinya. Beberapa jenis rodensia

    adalah Rattus norvegicus, Rattus diardi, Mus muculus. Rattus norvegicus (tikus

    got) berperilaku menggali lubang di tanah, dan hidup di lubang tersebut.

    sebaliknya Rattus diardi (tikus rumah) tidak tinggal di tanah tapi di semak-semak

    atau di atap bangunan. Bantalan telapak kaki jenis tikus ini disesuaikan untuk

    kekuatan menarik dan memegang yang sangat baik. Hal ini karena pada bantalan

    telapak kaki terdapat guratan-guratan beralur, sedang pada rodensia penggali

    bantalan telapak kakinya halus. Mus muculus selalu berada di dalam bangunan

    rumah, sarangnya bisa ditemui didalam dinding, lapisan atap (eternit), kotak

    penyimpanan atau laci.

    2.1.8.3 Kebiasaan-Kebiasaan Tikus

    Tikus mempunyai penglihatan yang buruk, tetapi mempunyai panca indera

    seperti pencium yang tajam, meraba, mendengar. Pada malam hari, tikus bergerak

    dipandu kumis yang panjang peka terhadap sentuhan. Tikus senang dengan bau

    harum khususnya yang berasal dari makanan manusia. Kebiasaan lain misalnya

    senang di tempat-tempat penyimpanan makanan. Kesukaan mencari makanan

    adalah di tempat sampah, lemari, selokan dan dapur. Umur hidup seekor tikus

    rata-rata mencapai 1 tahun dan pembiakan cepat terjadi selama musim hujan,

    apabila terdapat banyak makanan dan tempat untuk berlindung.

  • 24

    2.1.9 Pengobatan penderita/tersangka

    Pengobatan terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan

    pemberian antibiotik seperti doxycycline, ampicilin, amoxicillin, penicillin, dan

    erithromycin yang sebaiknya diberikan pada hari munculnya gejala klinis, karena

    pengobatan setelah hari kelima sakit tidak akan banyak menolong. Pemberian

    doksisiklin 200 mg perminggu dapat juga melindungi terjadinya leptospirosis

    (Rusmini, 2011:109).

    2.1.10 Pengendalian leptospirosis di masyarakat

    Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil studi

    faktor - faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian

    leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan sekunder.

    Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai sasaran dapat

    terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk di

    sini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder

    yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang

    tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya akan menyebabkan kematian.

    Prinsip kerja dan langkah pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak

    terjadi kontak leptospira pada manusia yang meliputi :

    2.1.10.1 Pencegahan hubungan dengan air / tanah yang terkontaminasi.

    Pada pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira, misalnya

    pada pekerja irigasi, petani tebu, pekerja laboratorium, dokter hewan, pekerja

    pemotongan hewan, petugas survei di hutan, pekerja tambang, harus memakai

    pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan bahan yang telah

  • 25

    terkontaminasi, misal : sepatu bot, masker dan sarung tangan. Dianjurkan setelah

    bekerja, terutama pekerja laboratorium daan pemotongan hewan untuk mencuci

    alat - alat kerja dengan sodium hipokhlorit pengenceran 1 : 4000 atau dengan

    deterjen.

    2.1.10.2 Melindungi sanitasi air minum penduduk.

    Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, filtrasi dan

    dekhlorinasi untuk mencegah invasi leptospira. pH air sawah diturunkan menjadi

    asam dengan pemakaian pupuk / bahan-bahan kimia, sehingga jumlah dan

    virulensi leptospira berkurang.

    2.1.10.3 Pemberian Vaksinasi.

    Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut, akan

    memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai pencegahan bagi pekerja

    risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi

    pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan piaraan efektif untuk mencegah

    leptospirosis (Dharmajono, 2002:7).

    2.1.10.4 Pencegahan dengan antibiotik.

    Pemberian penisilin 2 juta unit per hari selama 5 hari secara intramuskuler

    dianggap dapat melindungi orang-orang dianggap telah terkontaminasi oleh strain

    leptospira yang virulensinya tinggi. Doksisiklin dapat juga digunakan untuk

    pencegahan.

    2.1.10.5 Pengendalian hospes perantara leptospira

    Rodent yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adala tikus.

    Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,

  • 26

    pemasangan jebakan, penggunaan bahan Rodentisida dan penggunaan predator

    rodent. Untuk mengatasi agar tikus tidak masuk ke dalam rumah, sebaiknya

    dibuat kedap tikus dan bahan-bahan makanan yang mudah busuk dibuang.

    2.1.10.6 Usaha promotif

    Untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara edukasi, dimana

    antara daerah satu dengan daerah lain mempunyai serovar dan epidemi

    leptospirosis yang berbeda. Seperti diketahui bahwa leptospirosis merupakan

    zoonosis klasik pada binatang yang merupakan sumber infeksi utama, oleh karena

    itu setiap program edukasi haruslah melibatkan profesi kesehatan / kedokteran,

    dokter hewan dan kelompok lembaga sosial masyarakat yang terlibat. Pokok-

    pokok cara pengendalian leptospirosis juga memperhatikan hasil studi faktor

    risiko terjadinya leptospirosis, antara lain higiene perorangan seperti kebiasaan

    mandi, riwayat adanya luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping

    pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus dan lain-lain.

    2.2 Sanitasi Rumah

    2.2.1 Definisi

    Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan pada

    pengawasan terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan

    masyarakat (Mukono, 2000:155).

    Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

    829/MENKES/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, yang

    dimaksud dengan rumah yaitu bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal

    atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Perumahan merupakan kelompok

  • 27

    rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian

    dan sarana pembinaan keluarga yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana

    lingkungan (Mukono, 2000:155).

    2.2.2 Kriteria Rumah Sehat

    Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria

    sebagai berikut:

    1. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan, dan

    ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu

    2. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privasi yang cukup, komunikasi

    yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah

    3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah

    dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, dan limbah rumah tangga,

    bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan,

    cukup sinar matahari pagi, terlindunginya makanan dan minuman dari

    pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup

    4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan, baik yang timbul

    karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain, persyaratan garis

    sempadan jalan konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar,

    dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir (Dinkes Provinsi

    Jawa Tengah, 2005: 24).

    Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

    829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan bahwa

    persyaratan kesehatan rumah tinggal yaitu:

  • 28

    2.2.2.1 Bahan Bangunan

    A. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepas zat-zat yang dapat

    membahayakan kesehatan, antara lain sebagai berikut:

    1) Debu total tidak lebih dari 150 g m3

    2) Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4 jam

    3) Timah hitam tidak lebih dari 300 mg/kg

    B. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tempat tumbuh dan

    berkembangnya mikroorganisme pathogen.

    2.2.2.2 Komponen dan Penataan Ruang Rumah

    Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis sebagai

    berikut:

    a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan

    b. Dinding:

    Ruang tidur dan ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk

    pengaturan sirkulasi udara. Kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan

    mudah dibersihkan.

    c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.

    d. Bumbungan rumah yang memiliki ketinggian 10 meter atau lebih harus

    dilengkapi dengan penangkal petir.

    e. Ruang didalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang tamu, ruang

    keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi, ruang bermain

    anak.

  • 29

    f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap.

    2.2.2.3 Pencahayaan

    Pencahayaan alami yaitu berasal dari sinar matahari yang masuk ke dalam

    rumah dan atau pencahayaan buatan langsung maupun tidak langsung dapat

    menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan.

    2.2.2.4 Kualitas Udara

    Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut:

    a. Suhu udara nyaman berkisar antara 16C sampai 30C

    b. Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%

    c. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam

    d. Pertukaran udara = 5 kaki kubik per menit per penghuni

    e. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam

    f. Konsentrasi gas formaklehid tidak melebihi 120 mg/m3

    2.2.2.5 Ventilasi

    Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari

    luas lantai.

    2.2.2.6 Binatang Penular Penyakit

    Tidak ada tikus bersarang di dalam rumah.

    2.2.2.7 Air

    a. Tersedia sarana air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/orang/hari.

    b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air

    minum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • 30

    2.2.2.8 Tersedianya Sarana Penyimpanan Makanan yang Aman

    2.2.2.9 Limbah

    a. Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari sumber air, tidak

    menimbulkan bau dan tidak mencemari permukaan tanah.

    b. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, pencemaran

    terhadap permukaan tanah serta air tanah.

    2.2.2.10 Kepadatan Hunian

    Luas rumah minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2

    orang.

    2.2.3 Faktor Kondisi Sanitasi Rumah yang Mempengaruhi Kejadian Leptospirosis

    Kondisi sanitasi rumah berpengaruh terhadap terjadinya leptospirosis.

    Sanitasi rumah merupakan segala sesuatu yang berada di lingkungan sekitar

    rumah. Beberapa aspek kondisi sanitasi rumah yang berkaitan dengan kejadian

    leptospirosis meliputi : kondisi selokan, karakteristik genangan air, sarana

    pembuangan air limbah, sarana pembuangan sampah, kejadian banjir, keberadaan

    tikus di dalam rumah, kepadatan hunian, tempat penyediaan makanan di dalam

    rumah, serta intensitas cahaya di dalam rumah.

    2.2.3.1 Kondisi Selokan

    Kondisi selokan yang digunakan untuk mengalirkan limbah rumah tangga

    harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : tidak ada genangan air di sekitar

    rumah akibat luapan dari selokan, saluran tertutup atau diresapkan dan kondisi

    selokan lancar tidak tersumbat (Dinkes propinsi Jawa Tengah 2005:24).

    2.2.3.2 Karakteristik genangan air

  • 31

    Biasanya yang mudah terjangkit penyakit leptospirosis adalah usia

    produktif dengan karakteristik tempat tinggal : merupakan daerah yang padat

    penduduknya, banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air

    maupun lingkungan kumum. Tikus biasanya kencing di genangan air. Lewat

    genangan air inilah bakteri leptospira akan masuk ke tubuh manusia (Depkes RI,

    2003).

    2.2.3.3 Sarana pembuangan air limbah

    Air limbah rumah tangga disalurkan pada tempat pembuangan limbah

    yang telah tersedia di setiap rumah masing masing tanpa menimbulkan bau tidak

    sedap dan pencemaran lingkungan (Dinkes propinsi Jawa Tengah 2009).

    2.2.3.4 Sarana pembuangan sampah

    Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi tempat

    yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan

    sampah dan kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus leptospirosis.

    Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari kehadiran tikus. Jarak rumah

    yang dekat dengan tempat pengumpulan sampah mengakibatkan tikus dapat

    masuk ke rumah dan kencing di sembarang tempat. Jarak rumah yang kurang dari

    500 m dari tempat pengumpulan sampah menunjukkan kasus leptospirosis lebih

    besar dibanding yang lebih dari 500 m (Dinkes propinsi Jawa Tengah 2005:26).

    2.2.3.5 Kejadian banjir

    Leptospirosis menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah

    beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan dan kelembapan tinggi (Depkes

  • 32

    RI, 2003). Leptospirosis berhubungan dengan musim hujan, dan musim hujan

    inilah yang sering menyebabkan banjir di beberapa wilayah.

    2.2.3.6 Keberadaan tikus di dalam rumah

    Bakteri leptospira khususnya spesies L. ichterrohaemorrhagiae banyak

    menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus dan tikus rumah

    (Rattus diardii). Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil (mus musculus). Ada

    tidaknya tikus di dalam dan sekitar rumah yang ditandai dengan ada tidaknya

    lubang tikus atau kotoran tikus.

    2.2.3.7 Keberadaan hewan peliharaan

    Selain pada tikus, Leptospira juga dapat menginfeksi hewan lain seperti

    sapi, anjing, kuda, kambing, domba dan babi. Meskipun pada hewan- hewan

    tersebut hanya kemungkinan kecil terjadi. Seperti Canicola pada anjing dan

    Pomona pada babi dan sapi.

    2.2.3.8 Kepadatan hunian

    Menetapkan luas rumah, jumlah dan ukuran ruangan harus disesuaikan

    dengan jumlah orang yang akan menempati rumah tersebut agar tidak terjadi

    kelebihan jumlah penghuni rumah. Rumah yang dihuni oleh banyak orang dan

    ukuran luas rumah tidak sebanding dengan jumlah orang maka akan

    mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan dan berpotensi terhadap penularan

    penyakit dan infeksi (Dinkes Prov Jateng, 2005).

    Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

    828/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas

    bangunan yang optimum adalah 2,5-3 m2 untuk tiap orang (tiap anggota

  • 33

    keluarga). Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di

    rumah. Kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan

    jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Kepadatan penghuni dikategorikan

    menjadi memenuhi standar (2 orang per 8 m2) dengan ketentuan anak

  • 34

    gelombang-gelombang elektromagnetik dan karena itu cahaya mempunyai energi

    (Soekidjo Notoatmodjo, 2007:170-171).

    Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah

    menggunakan luxmeter, yang diukur pada pukul 09.00-15.00 WIB dan membagi

    beberapa titik pengukuran dengan jarak antara titik sekitar 1 meter, dilakukan

    dengan tinggi luxmeter kurang lebih 85 cm diatas lantai dan posisi photo cell

    menghadap sumber cahaya, dengan ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan

    bila < 60 lux. Menurut WHO, kebutuhan standar cahaya alam yang memenuhi

    syarat kesehatan untuk berbagai keperluan khusus untuk pencahayaan dalam

    rumah adalah 60-120 lux (Dinkes Prov Jateng, 2005).

    2.3 Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Leptospirosis

    2.3.1 Umur

    Kejadian suatu penyakit sering terkait pada umur. Berdasarkan data

    prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak

    menggambarkan risiko spesifik umur. Leptospirosis diketahui terjadi pada semua

    umur berkisar antara balita sampai lansia ( 1 tahun sampai lebih dari 65 tahun).

    Namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Menurut

    rekapitulasi bulanan data kesakitan tingkat puskesmas se-Kota Semarang tahun

    2010, penderita leptospirosis berumur 14 tahun sebanyak 3 penderita, umur 514

    tahun sebanyak 8 penderita, umur 1544 tahun sebanyak 22 penderita, umur 45

    54 tahun sebanyak 2 penderita, umur 5564 tahun sebanyak 3 penderita dan yang

    berumur 65 tahun sebanyak 2 penderita. Dan penderita leptospirosis terbanyak

  • 35

    pada umur 15-44 tahun dengan penderita sebanyak 22 penderita (Depkes RI,

    2006:8, Dinkes Kota Semarang, 2010).

    2.3.2 Status Gizi

    Daya tahan tubuh bagi penderita leptospirosis dapat didukung oleh status

    gizi yang baik. Hal ini disebabkan karena status gizi yang baik adalah parameter

    yang baik untuk mendeteksi bahwa proses metabolisme gizi dalam keadaan

    normal. Metabolisme gizi yang normal adalah syarat terpenuhinya berbagai

    kebutuhan fisiologis tubuh untuk bertahan hidup (survival), termasuk kemampuan

    imunologi tubuh terhadap berbagai penyakit infeksi. Status gizi bagi pasien

    leptospirosis memiliki pengaruh nyata terhadap daya tahan tubuhnya. Hal ini

    disebabkan status gizi yang baik adalah proteksi yang baik untuk melawan virus

    patogen dalam tubuh. Sistem imunologi yang didukung sepenuhnya oleh protein

    tubuh, akan memberikan pertahanan maksimal dan mengurangi efek kerusakan

    jaringan akibat infeksi virus dan bakteri oleh tubuh. Interaksi antara infeksi

    termasuk penyakit leptospirosis dan gizi didalam tubuh seseorang dikemukakan

    sebagai suatu peristiwa sinergik, selama terjadinya infeksi status gizi akan

    menurun dan dengan menurunnya status gizi orang tersebut menjadi kurang

    resisten terhadap infeksi. Respons imun menjadi kurang efektif dan kuat ketika

    seseorang mengalami gizi kurang.

    2.3.3 Status Ekonomi

    Faktor yang turut menjadi risiko terjadinya leptospirosis adalah tingkat

    ekonomi, yang dapat digambarkan dengan besarnya penghasilan. Besarnya

    penghasilan seseorang turut mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidupnya,

  • 36

    termasuk kebutuhan makanan dan kesehatan. Jika kebutuhan akan makanan sehat

    tidak terpenuhi maka dapat melemahkan daya tahan tubuh, sehingga mudah

    terserang suatu penyakit (Indan Entjang, 2000:24).

    Derajat kesehatan masyarakat miskin masih rendah. Masyarakat miskin

    biasanya rentan terhadap penyakit dan mudah terjadi penularan penyakit. Derajat

    kesehatan masyarakat miskin yang masih rendah tersebut diakibatkan karena

    sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Untuk menjamin akses penduduk

    miskin terhadap pelayanan kesehatan melalui pelaksanaan kebijakan Program

    Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini berganti nama

    menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Peserta program

    Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu, yang terdaftar dan

    memiliki kartu sehingga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.

    2.4 PHBS Tatanan Rumah Tangga

    2.4.1 Pengertian PHBS di Rumah Tangga

    PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota

    rumah tangga agar mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih sehat

    serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat (Pedoman Perilaku

    Hidup Bersih dan Sehat Tatanan Rumah Tangga, Dinkes Prov. Jateng, 2010).

    2.4.2 Tujuan PHBS di Rumah Tangga

    Tujuan PHBS di rumah tangga antara lain adalah sebagai berikut:

    2.4.2.1 Tujuan Umum

    Meningkatnya rumah tangga sehat di Kabupaten/ Kota

  • 37

    2.4.2.2 Tujuan Khusus

    1. Meningkatnya pengetahuan, kemauan dan kemampuan anggota rumah

    tangga untuk melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

    2. Anggota rumah tangga berperan aktif dalam gerakan Perilaku Hidup Bersih

    dan Sehat (PHBS) di masyarakat.

    2.4.2.3 Manfaat PHBS di Rumah Tangga

    Manfaat PHBS di Rumah Tangga adalah sebagai berikut :

    2.4.2.3.1 Bagi Rumah tangga itu sendiri

    1) Setiap anggota keluarga meningkatkan kesehatannya dan tidak mudah sakit.

    2) Anak tumbuh sehat dan cedas

    3) Produktivitas kerja anggota keluarga meningkat

    4) Pengeluaran biaya rumah tangga dapat difokuskan untuk memenuhi

    kebutuhan gizi keluarga, pendidikan dan modal usaha untuk peningkatan

    pendapatan keluarga.

    2.4.2.3.2 Bagi masyarakat

    1) Masyarakat mampu mengupayakan lingkungan sehat.

    2) Masyarakat mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah

    kesehatannya.

    3) Masyarakat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.

    4) Masyarakat mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber

    Masyarakat (UKBM) seperti posyandu, jaminan pemeliharaan kesehatan,

    tabungan ibu bersalin (tabulin), arisan jamban, kelompok pemakai air,

    ambulans desa dan lain-lain.

  • 38

    2.4.2.3.3 Bagi Pemerintah Kota / Kabupaten

    1) Peningkatan prosentase Rumah Tangga sehat menunjukkan kinerja dan citra

    Pemerintah Kabupaten / Kota yang baik.

    2) Biaya yang tadinya dialokasikan untuk menanggulangi masalah-masalah

    kesehatan dapat dialihkan untuk pengembangan lingkungan yang sehat dan

    penyediaan sarana pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan terjangkau.

    3) Kabupaten / Kota dapat dijadikan pusat pembelajaran bagi daerah lain dalam

    pengembangan PHBS di Rumah Tangga.

    (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga, Pusat Promosi

    Kesehatan Departemen kesehatan RI, 2006).

    2.4.3 Indikator Penilaian PHBS Tatanan Rumah Tangga

    Indikator PHBS tatanan rumah tangga adalah suatu alat ukur atau

    merupakan suatu petunjuk yang membatasi fokus perhatian untuk menilai

    keadaan atau permasalahan kesehatan di rumah tangga. Indikator PHBS tatanan

    rumah tangga diarahkan pada aspek program prioritas yaitu KIA, Gizi, Kesehatan

    Lingkungan, Gaya Hidup, dan Upaya Kesehatan Masyarakat.

    Indikator PHBS tatanan rumah tangga yang digunakan di Jawa Tengah

    terdapat 16 variabel, yang terdiri dari 10 indikator Nasional dan 6 indikator lokal

    Jawa Tengah. Indikator indikator tersebut adalah sebagai berikut :

    2.4.3.1 Indikator Nasional

    1. Bagi ibu hamil apakah pertolongan persalinan dilakukan oleh tenaga/petugas

    kesehatan

  • 39

    2. Bagi rumah tangga yang memiliki bayi, apakah bayinya mendapat ASI

    ekslusif selama usia 0 sampai 6 bulan

    3. Anggota rumah tangga mengkonsumsi beranekaragam makanan dalam

    jumlah cukup untuk mencapai gizi seimbang

    4. Anggota rumah tangga menggunakan/memanfaatkan air bersih

    5. Anggota rumah tangga menggunakan jamban sehat

    6. Anggota rumah tangga menempati ruangan rumah minimal 9 m2 per orang

    7. Anggota rumah tangga menggunakan lantai rumah kedap air

    8. Anggota rumah tangga melakukan aktifitas fisik/olahraga

    9. Anggota rumah tangga tidak merokok

    10. Anggota rumah tangga menjadi peserta JPK (Jaminan Pemeliharaan

    Kesehatan)

    2.4.3.2 Indikator lokal Jawa Tengah

    1. Penimbangan Balita

    2. Anggota rumah tangga membuang sampah pada tempat yang semestinya

    3. Anggota rumah tangga terbiasa mencuci tangan sebelum makan dan sesudah

    BAB

    4. Anggota rumah tangga menggosok gigi minimal 2 kali sehari

    5. Anggota rumah tangga tidak minum miras dan tidak menyalahgunakan

    narkoba

    6. Anggota rumah tangga melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk)

    minimal seminggu sekali. (Pedoman Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

    Tatanan Rumah Tangga, Dinkes Prov. Jateng, 2010).

  • 40

    2.4.4 Peran Anggota Rumah Tangga

    1. Menerapkan PHBS di rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari

    2. Mengajak anggota rumag tangga lain untuk ber-PHBS melalui kelompok

    dasawisma

    3. Ikut berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat terkait PHBS seperti

    posyandu, gerakan PSN dan sebagainya.

    4. Menjadi kader untuk memberdayakan anggota rumah tangga di masyarakat

    bekerjasama tim ditinggat desa melalui penyuluhan perorangan, penyuluhan

    kelompok dan penyuluhan massa.

    (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga, Pusat Promosi

    Kesehatan Departemen kesehatan RI, 2006).

    2.4.5 Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga

    Tingkatan strata tersebut antara lain sehat pratama, sehat madya, sehat

    utama dan sehat paripurna. Strata rumah tangga dapat dilihat pada tabel berikut :

    Tabel 2.1 Strata PHBS Di Rumah Tangga

    Strata Kriteria

    Sehat Pratama (Warna Merah) Sehat Madya (Warna Kuning) Sehat Utama (Warna Hijau) Sehat Paripurna (Warna Hijau)

    Apabila nilai rumah tangga antara 0 s/d 5

    Apabila nilai rumah tangga antara 6 s/d 10

    Apabila nilai rumah tangga antara 11 s/d 15

    Apabila nilai rumah tangga adalah 16

  • 41

    Tabel 2.2 Strata Kelompok (RT,RW, DESA/KELURAHAN, KECAMATAN,

    KABUPATEN/KOTA)

    Strata Kriteria

    Sehat Pratama (Warna Merah) Sehat Madya (Warna Kuning) Sehat Utama (Warna Hijau) Sehat Paripurna (Warna Hijau)

    Apabila jumlah rumah tangga yang mencapai strata Sehat Utama dan Sehat Paripurna

    mencapai 0 s/d 24,4% Apabila jumlah rumah tangga yang mencapai

    strata Sehat Utama dan Sehat Paripurna mencapai 24,5 s/d 49,4%

    Apabila jumlah rumah tangga yang mencapai strata Sehat Utama dan Sehat Paripurna

    mencapai 49,5 s/d 74,4% Apabila jumlah rumah tangga yang mencapai

    strata Sehat Utama dan Sehat Paripurna mencapai 74,5% atau lebih

  • 42

    2.5 Kerangka Teori

    Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber : Dinkes propinsi Jawa Tengah 2005, Dinkes propinsi Jawa Tengah 2009,

    Kepmenkes RI Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, Djoni Djunaedi 2007, Mukono 2000, Soekidjo Notoatmodjo 2007, Pedoman Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tatanan Rumah Tangga Dinkes Prov. Jateng 2010.

    Strata PHBS tatanan rumah tangga

    Keberadaan Bakteri leptospira

    Sarana pembuangan sampah

    Intensitas cahaya dalam rumah

    Kepadatan hunian

    Keeradaan hewan peliharaan

    Keberadaan tikus dalam rumah

    Kejadian Leptospirosis

    Status gizi Umur Status ekonomi

    Keberadaan air menggenang

    Kondisi selokan

    Kejadian banjir

    Sarana pembuangan air limbah

    Kejadian kontaminasi genangan air

    Kejadian infeksi leptospira pada manusia melalui luka, mukosa, dan konjungtiva

  • 43

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1 Kerangka Konsep

    Gambar 3.1 Kerangka Konsep

    Strata PHBS tatanan rumah tangga Kondisi selokan Intensitas cahaya di dalam rumah Keberadaan tikus di dalam rumah Keberadaan hewan peiharaan Keberadaan air yang menggenang Sarana pembuangan air limbah Sarana pembuangan sampah

    Kejadian Leptospirosis

    Variabel Pengganggu :

    Umur Status ekonomi Kejadian banjir

    Variabel Bebas : Variabel Terikat :

  • 44

    3.2 Hipotesis Penelitian

    Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

    1) Ada hubungan antara strata PHBS tatanan rumah tangga dengan kejadian

    leptospirosis.

    2) Ada hubungan antara kondisi selokan dengan kejadian leptospirosis.

    3) Ada hubungan antara intensitas cahaya dengan kejadian leptospirosis.

    4) Ada hubungan antara keberadaan tikus dengan kejadian leptospirosis.

    5) Ada hubungan antara keberadaan hewan peliharaan dengan kejadian

    leptospirosis.

    6) Ada hubungan antara keberadaan air yang menggenang dengan kejadian

    leptospirosis.

    7) Ada hubungan antara sarana pembuangan air limbah dengan kejadian

    leptospirosis.

    8) Ada hubungan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian

    leptospirosis.

    3.3 Jenis dan Rancangan Penelitian

    Pada dasarnya metode penelitian yang akan digunakan adalah metode

    penelitian observasional analitik dengan desain studi kasus kontrol, yaitu suatu

    penelitian (survei) analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari

    dengan menggunakan retrospektif (Soekidjo, 2005:150).

    3.4 Variabel Penelitian

    3.4.1 Variabel Bebas

    Strata PHBS tatanan rumah tangga, yaitu suatu tingkatan perilaku hidup

    bersih dan sehat dalam setiap rumah tangga yang telah ditetapkan oleh dinkes

  • 45

    setempat yang meliputi beberapa strata rumah tangga antara lain sehat pratama,

    sehat madya, sehat utama, dan sehat paripurna. Dan sanitasi rumah yaitu usaha

    kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap tempat

    tinggal untuk tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia.

    Dan sanitasi rumah tersebut meliputi kondisi selokan, intensitas cahaya,

    keberadaan tikus, keberadaan hewan peliharaan, keberadaan air yang

    menggenang, sarana pembuangan air limbah, serta sarana pembuangan sampah.

    3.4.2 Variabel Terikat

    Kejadian leptospirosis di kecamatan Candisari Kota Semarang.

    3.4.3 Variabel Pengganggu

    Variabel pengganggu tidak diteliti, tetapi dikendalikan dengan cara

    restriksi/dihilangkan. Variabel-variabel tersebut adalah umur, status ekonomi,

    kejadian banjir.

    3.5 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel

    Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel

    Nama Variabel

    Definisi Operasional

    Alat Cara Ukur