HUBUNGAN ANTARA PERILAKU PROSOSIAL DENGAN … · 1 HUBUNGAN ANTARA ... 1,17% pasien rawat inap di...
-
Upload
trankhuong -
Category
Documents
-
view
226 -
download
0
Transcript of HUBUNGAN ANTARA PERILAKU PROSOSIAL DENGAN … · 1 HUBUNGAN ANTARA ... 1,17% pasien rawat inap di...
1
HUBUNGAN ANTARA PERILAKU PROSOSIAL DENGAN KEBERMAKNAAN HIDUP PADA REMAJA
Nina Ifada Meihati Sukarti, Dr
Thobagus Moh. Nu’man, S.Psi, Psi.
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara perilaku prososial dengan kebermaknaan hidup pada remaja. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara perilaku prososial dengan kebermaknaan hidup pada remaja. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah prososial, sedangkan variabel tergantungnya adalah kebermaknaan hidup. Skala kebermaknaan hidup yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi Skala Kebermaknaan Hidup dari Rahmat (2003). Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan Crumbaugh dan Maholick (Koeswara, 1992). Skala prososial yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari Skala Prososial yang digunakan oleh Basti (2002). Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Mussen,dkk (1979) yaitu: menolong, bekerja sama, membagi, kejujuran, dermawan, dan mempertimbangkan hak dan kewajiban orang lain. Tehnik analisis data menggunakan analisis product moment dari Pearson dengan bantuan SPSS 11.00, For Windows, menunjukan bahwa koefisien korelasi dari analisis product momment antara perilaku prososial dan kebermaknaan hidup adalah rxy = 0,668 p= 0,00 (p<0,01). Hasil tersebut menunjukan adanya hubungan positif antara perilaku prososial dengan kebermaknaan hidup, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan antara perilaku prososial dengan kebermaknaan hidup diterima. Kata kunci : perilaku prososial, kebermaknaan hidup pada remaja.
2
Pengantar
Kemajuan bangsa Indonesia tidak hanya ditentukan oleh luas dan
banyaknya sumber daya alam yang dimiliki, akan tetapi kualitas sumber daya
manusia juga ikut berperan. Lebih-lebih di era globalisasi seperti sekarang,
masyarakat Indonesia sudah mengalami perubahan yaitu modernisasi.
Modernisasi merupakan pilihan yang harus diambil dengan alasan untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa, mengejar ketertinggalan peradaban dari
negara-negara yang telah maju, persaingan dalam kancah pergaulan dunia
Internasional. Hal tersebut dapat terwujud apabila bangsa Indonesia memiliki
kualitas sumber daya manusia yang tangguh dan dapat dihandalkan (Rahmat,
2003).
Pada proses modernisasi tentunya diikuti oleh perubahan disegala aspek
kehidupan. Perubahan yang disebabkan oleh modernisasi merupakan perubahan
sosial yang terarah (directed change atau social planing), yaitu perubahan yang
didasarkan pada perencanaan (Soekanto, 1990). Selain menimbulkan sesuatu yang
bermanfaat dan diharapkan, seperti terpenuhinya sarana dan prasarana,
meningkatnya tingkat kesejahteraan sosial, berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, perubahan sosial dapat juga menimbulkan disorganisasi sosial.
Akibat disorganisasi sosial terhadap perilaku manusia akan lebih terlihat
pada remaja karena remaja merupakan individu yang sedang mengalami transisi
atau peralihan dari kehidupan kanak-kanak menuju kehidupan orang dewasa,
ditandai dengan perubahan dan perkembangan yang pesat baik dari segi fisik
maupun psikis (Monks dkk, 1999). Remaja masih mencari identitas diri, emosi
3
meningkat, konformitas yang tinggi pada kelompok, belum terbentuknya konsep
diri yang utuh.
Adanya masa transisi atau peralihan pada remaja, serta perubahan yang
terus menerus baik lingkungan sosial maupun fisik, dapat mengakibatkan remaja
sulit untuk menyesuaikan diri sehingga remaja mengalami berbagai konflik baik
di dalam diri sendiri, lingkungan, keluarga, teman maupun lingkungan sosialnya.
Selanjutnya akan muncul perasaan bingung, tidak menentu, putus asa, cemas,
teralienasi, depresi, kacau, mudah terombang-ambing dan tidak mempunyai
pegangan. Akibatnya remaja tidak tahu pasti masa depannya, mengalami keraguan
dan akhirnya frustrasi dan tidak percaya diri. Hal tersebut termanifestasi dalam
bentuk-bentuk kenakalan remaja seperti minum-minuman beralkohol,
penyalahgunaan narkotika, mencuri, memperkosa bahkan sampai kriminal serius
(Schultz, 1991).
Data tentang penyalahgunaan napza dikalangan remaja di Indonesia adalah
tergolong cukup tinggi. Menurut DEPKES jumlah terbanyak pengguna NAPZA
didominasi kelompok umur 20-24 tahun. Data tersebut menunjukan bahwa
pengguna napza terbanyak didominasi oleh kaum remaja. Pada tahun 2003, 1,17%
pasien rawat inap di rumah sakit karena gangguan mental dan perilaku yang
disebabkan penggunaan NAPZA telah meninggal dunia. Data di Bagian Forensik
FK-UI Jakarta pada tahun 1999-2003 juga menunjukkan adanya kenaikan jumlah
kematian karena kasus overdosis yang sebagian besar disebabkan oleh overdosis
heroin (Dep-Kes RI, 2004).
4
Menurut asumsi penulis, kebebasan yang berhasil dikembangkan pada era
modern tersebut menunjukkan bahwa tanpa diimbangi tanggungjawab dan
kematangan sikap, maka kebebasan tersebut tidak berhasil mendatangkan
ketentraman dan rasa aman, bahkan sebaliknya dapat menyuburkan penghayatan
hidup tanpa makna. Remaja sebagai komponen dari masyarakat merupakan
bagian yang integral dari generasi muda, diharapkan menjadi dinamisator dalam
pembangunan. Remaja yang mempunyai makna hidup akan mudah untuk dibina
menjadi manusia yang optimis, kreatif, dapat mengaktualisasikan potensi dirinya
dan bertanggungjawab dalam hidupnya.
Dewasa ini, sikap saling menolong dan membantu orang lain di kalangan
remaja telah mulai memudar. Hal ini terjadi akibat tumbuh suburnya sikap
individualistis di kalangan remaja. Remaja juga banyak yang menganut gaya
hidup hedonis, yang membuat mereka hanya berfikir tentang kesenangan diri
sendiri tanpa mau memikirkan keadaan orang lain. Remaja bukanya gemar untuk
melakukan perilaku-perilaku prososial, justru sebaliknya malah semakin banyak
diantara remaja yang melakukan perilaku antisosial. Banyak diantara remaja yang
melakukan perilaku agresi, seperti berbagai bentuk kenakalan remaja dan tawuran.
Demikian pula, angka kriminalitas yang terjadi di kalangan remaja juga semakin
meningkat (www.kompas.com, 2002). Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa
kecenderungan untuk melakukan perilaku prososial diantara remaja semakin
menurun. Diasumsikan pula oleh penulis bahwa menurutnya perilaku prososial
akan menurunkan pula kadar kebermaknaan hidup pada remaja.
5
Kebermaknaan Hidup
Tokoh pertama yang menggunakan gagasan tentang kebermaknaan hidup
(meaning of life) adalah Viktor Emile Frankl. Pandangan tersebut dikemukakan
dalam prinsip logotherapi dan hal tersebut menyebabkan pandangan Frankl
tentang manusia dimasukkan ke dalam aliran eksistensial. Logotherapi diambil
dari bahasa Yunani, Logos berarti makna (Koeswara, 1992).
Dari penjelasan tersebut logotherapi dapat digambarkan sebagai corak
psikologi yang dilandasi oleh filsafat hidup dan wawasan mengenai manusia yang
mengakui adanya dimensi kerohanian di samping dimensi ragawi dan dimensi
kejiwaan serta dimensi sosial. Kerohanian dalam hal ini menurut Frankl
(Khisbiyah, 1992)) tidak berkorelasi dengan keagamaan, tetapi lebih dimaksudkan
sebagai manusia untuk hidup secara bermakna. Lebih lanjut Frankl (Koeswara,
1992), menjelaskan ada tiga konsep utama yang menjadi dasar filosofi logotherapi
yaitu : kebebasan berkehendak (freedom of will), kehendak akan makna (will to
meaning), dan kebermaknaan hidup (meaning of life).
Crumbaugh dan Maholick (Koeswara, 1992) mengukur kebermaknaan
hidup dengan alat tes yang dinamakan The Purpose In Life Test (PIL test). PIL
test merupakan petunjuk seberapa tinggi makna hidup seseorang. Adapun
komponen yang diukur berkaitan dengan maksud atau makna hidup tersebut
antara lain :
6
a. Makna hidup
Makna hidup adalah segala sesuatu yang dipandang penting dan berharga
oleh seseorang, memberi nilai khusus serta dapat dijadikan tujuan
hidupnya.
b. Kepuasan hidup
Kepuasan hidup adalah penilaian seseorang terhadap hidupnya, sejauh
mana ia bisa menikmati dan merasakan kepuasan dalam hidup dan
aktivitas-aktivitas yang dijalaninya.
c. Kebebasan berkehendak
Kebebasan berkehendak adalah perasaan mampu mengendalikan
kebebasan hidunya secara bertanggung jawab yang didasarkan pada nilai-
nilai kebenaran.
d. Sikap terhadap kematian
Sikap terhadap kematian adalah bagaimana seseorang berpandangan dan
kesiapannya menghadapi kematian. Orang yang mempunyai
kebermaknaan hidup akan membekali dirinya dengan berbuat kebaikan
sehingga dalam memandang kematian akan merasa siap untuk
menghadapinya. Lebih lanjut Atwater (Hartanto, 1996) menambahkan
bahwa agama merupakan variabel terpenting dalam hal kematian, karena
penghayatan seseorang tentang agamanya ternyata mempengaruhi
penyesuaian dirinya terhadap kematian.
7
e. Pikiran tentang bunuh diri
Pikiran tentang bunuh diri adalah bagaimana pemikiran seseorang tentang
masalah bunuh diri, bagi seseorang yang mempunyai makna hidup akan
berusaha menghindari keinginan untuk melakukan bunuh diri atau bahkan
tidak pernah memikirkannya.
f. Kepantasan hidup
Kepantasan hidup adalah pandangan seseorang tentang hidupnya, apakah
ia merasa bahwa sesuatu yang dialaminya pantas atau tidak.
Menurut Frankl (Koeswara, 1987), ada tiga komponen kebermaknaan hidup
sebagai pilar filosofi, yang satu dengan lainnya saling berhubungan erat, saling
menunjang. Ketiga komponen tersebut adalah :
a. Kebebasan berkehendak (freedom of will)
Kebebasan berkehendak ini diartikan sebagai kebebasan untuk
menentukan sikap terhadap kondisi-kondisi tertentu. Kebebasan untuk
menentukan apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya diimbangi
dengan tanggungjawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan.
b. Kehendak hidup bermakna (will to meaning)
Hasrat untuk hidup bermakna benar-benar ada dan dihayati oleh setiap
orang, memotivasi seseorang untuk menjadi pribadi yang berharga dan
berarti, serta kehidupan yang penuh dengan kegiatan-kegiatan yang
bermakna pula.
8
c. Makna hidup (meaning of life)
Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar,
didambakan dan memberi nilai khusus bagi seseorang. Apabila berhasil
ditemukan akan menyebabkan hidup terasa berarti dan berharga. Dalam
makna hidup terkandung pula tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu
dicapai dan dipenuhi.
Bastaman (1996) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat kebermaknaan hidup seseorang yaitu :
a. Kualitas insani
Merupakan semua kemampuan, sifat, sikap dan kondisi yang semata-mata
terpatri dan terpadu dalam eksistensi manusia dan tidak dimiliki oleh
mahkluk lainnya, meliputi inteligensi, kesadaran diri, pengembangan diri,
humor, hasrat untuk bermakna, moralitas, transendensi diri, kreatifitas,
kebebasan dan tanggungjawab (Bastaman ,1996).
b. Encounter
Dapat sebagai hubungan mendalam antara seorang pribadi dengan pribadi
yang lain. Hubungan tersebut ditandai dengan penghayatan, keakraban,
serta sikap dan kesediaan untuk saling menghargai, menolong, memahami,
dan menerima sepenuhnya satu sama lainnya (Bastaman ,1996).
c. Nilai-nilai
Menurut Bastaman (1996), ada dua nilai hidup yaitu tiga nilai subjektif
dan satu nilai objektif. Tiga nilai subjektif yaitu: creative values (nilai-
nilai kreatif) yaitu apa yang kita berikan kepada hidup, experiential values
9
(nilai-nilai mengalami) yaitu apa yang kita ambil dari hidup, attitudinal
values (nilai-nilai pengambilan sikap) yaitu sikap yang kita berikan
terhadap ketentuan atau nasib yang tidak bisa kita ubah. Satu nilai objektif
yaitu keimanan.
Karakteristik individu yang memiliki kebermaknaan hidup berdasar
konsep Frankl (Bastaman, 1995) yaitu memiliki perasaan bahagia, memiliki
tujuan yang jelas, memiliki rasa tanggung jawab, mampu melihat alasan untuk
tetap eksis, tidak merasa cemas akan kematian, memiliki kontrol diri.
Piaget (Monks, dkk, 1999) menyebutkan bahwa remaja lebih
memungkinkan untuk memahami, mengalami, dan menghayati makna hidup serta
sekaligus menginternalisasikannya, karena remaja pada taraf perkembangan
intelektual sudah mencapai formal operasional. Perbedaan makna hidup antara
remaja dan orang dewasa terletak pada materinya saja, khususnya makna hidup
yang sifatnya subjektif. Makna hidup yang subjektif ini adalah makna hidup yang
didasarkan kepada tugas-tugas perkembangan pada masa remaja yang materinya
berupa perkembangan aspek-aspek biologis, menerima peranan dewasa
berdasarkan pengaruh kebiasaan masyarakat sendiri, mendapatkan kebebasan
emosional dari orang tua dan atau orang dewasa yang lain, mendapatkan
pendangan hidup sendiri, merealisasi suatu identitas sendiri dan dapat
mengadakan partisipasi dalam kebudayaan pemuda sendiri Havighurst (Monks,
dkk, 1999).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja yang bermakna
dalam hidupnya memiliki gambaran antara lain bertanggung jawab secara pribadi
10
dalam mengarahkan hidupnya, sadar terhadap hidup, bersikap optimis, hidup
bersemangat, penuh gairah, mempunyai tujuan hidup serta bertanggung jawab
terhadap keadaan sosial disekitarnya. Apabila remaja sudah bermakna dalam
hidupnya akan mudah untuk dibina menjadi generasi penerus bangsa yang mampu
bertanggung jawab, yang pada akhirnya akan memperlancar pembangunan
nasional, begitu pun sebaliknya.
Perilaku Prososial
Menurut Baron dan Byrne (1994) perilaku prososial adalah perilaku yang
menguntungkan orang lain yang dilakukan secara sukarela dan tanpa keuntungan
yang nyata bagi orang yang memberikan bantuan. Lebih lanjut Wispe (Wrightman
dan Deaux, 1981), mengungkapkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku
yang mempunyai akibat yang positif, yang berupa pemberian bantuan pada orang
lain baik secara fisik maupun psikologis, seperti senang membantu, keterlibatan
dengan orang lain, kerjasama, persahabatan, menolong, memperhatikan orang lain
dan kedermawann.
Menurut Kohlberg (Basti, 2002) sejalan dengan kematangan anak,
berkembang pula kapasitas dalam berpikir abstrak dan pengambilan peran.
Misalnya memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain atau
memahami perspektif orang lain. Kemajuan kapasitas kognitif ini menyebabkan
perubahan kualitas penalaran anak tentang masalah moral, termasuk kemampuan
untuk memakai prinsip-prinsip moral yang abstrak dan kemampuan memahami
pandangan-pandangan orang lain maupun masyarakat disekitarnya. Jika
11
dihubungkan dengan masalah prososial, maka dengan semakin berkembangnya
kemampuan kognitif, anak akan semakin mampu dalam memahami perspektif
orang lain dan akibatnya semakin berkurang pula sikap egosentrisnya, sehingga
akan berorientasi pada orang lain.
Menurut Mussen, dkk (1979) aspek-aspek perilaku prososial yaitu:
a. Membagi
Membagi memiliki pengertian bahwa individu yang memiliki kecukupan
untuk saling membagi kelebihannya tersebut baik materi maupun ilmu
pengetahuan kepada orang lain.
b. Bekerja sama
Bekerja sama merupakan suatu bentuk perilaku yang sengaja dilakukan
oleh sekelompok orang maupun organisasi demi terwujudnya suatu cita-
cita yang diinginkan bersama.
c. Menolong
Menolong merupakan suatu tindakan sukarela tanpa memperdulikan
untung maupun rugi dari tindakan menolong dan tanpa mengharapkan
imbalan apa-apa dari orang yang ditolong.
d. Kejujuran
Kejujuran adalah suatu bentuk perilaku yang ditunjukkan dengan
perkataan yang sesuai dengan keadaan dan tidak menambahkan atau
mengurangi kenyataan yang ada.
12
e. Dermawan
Tindakan dermawan adalah suatu perilaku yang menunjukkan rasa
kemanusiaan dengan cara memberikan sebagian hartanya kepada orang
lain yang membutuhkan.
f. Mempertirnbangkan hak dan kewajiban orang lain
Hak dan kewajiban merupakan hak asasi setiap manusia. Seorang individu
yang memiliki sikap yang demikian ditunjukkan dengan cara menghargai
hak-hak orang lain sebelum meminta kewajibannya terlebih dahulu.
Hubungan Antara Perilaku Prososial Dan Kebermaknaan Hidup
Pada Remaja
Pada perkembangan kepribadian, remaja sebenarnya berada dalam tempat
yang tidak jelas. Remaja sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi tidak
pula termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja ada di antara
anak dan orang dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-
fungsi fisik maupun psikisnya (Monks, dkk, 1991).
Adanya masa transisi atau peralihan pada remaja, serta perubahan yang terus
menerus baik lingkungan sosial maupun fisik, dapat mengakibatkan remaja sulit
untuk menyesuaikan diri sehingga remaja mengalami berbagai konflik baik di
dalam diri sendiri, lingkungan, keluarga, teman maupun lingkungan sosialnya.
Selanjutnya akan muncul perasaan bingung, tidak menentu, putus asa, cemas,
teralienasi, depresi, kacau, mudah terombang-ambing dan tidak mempunyai
pegangan. Akibatnya remaja tidak tahu pasti masa depannya, mengalami keraguan
13
dan akhirnya frustrasi dan tidak percaya diri. Hal tersebut termanifestasi dalam
bentuk-bentuk kenakalan remaja seperti minum-minuman beralkohol,
penyalahgunaan narkotika, mencuri, memperkosa bahkan sampai kriminal serius
(Schultz,1991).
Contoh-contoh perilaku remaja di atas dikarenakan dalam perkembangan
sosialnya remaja dihubungkan dengan adanya dua macam gerak, yaitu
memisahkan diri dari orang tua dan yang lain adalah menuju ke arah teman-teman
sebaya. Ausubel (Monks, dkk, 1991) menyebutkan adanya gerakan yang saling
mempengaruhi karena apabila gerak yang pertama tanpa adanya gerak yang kedua
dapat menyebabkan rasa kesepian. Hal ini kadang-kadang dijumpai dalam masa
remaja dan dalam keadaan yang ekstrim hal ini dapat menyebabkan usaha-usaha
untuk bunuh diri yang akhirnya menjadikan kehidupan remaja menjadi tidak
bermakna.
Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan di atas, penulis
mengajukan hipotesis yang akan diteliti dalam penelitian ini bahwa terdapat
hubungan yang positif antara perilaku prososial dengan kebermaknaan hidup pada
remaja. Semakin tinggi perilaku prososial yang dilakukan oleh remaja maka ada
kecenderungan kebermaknaan hidupnya juga akan tinggi, sebaliknya semakin
rendah perilaku prososial yang dilakukan oleh remaja maka ada kecenderungan
kebermakanaan hidupnya juga akan semakin rendah.
14
Identifikasi Variabel Penelitian
Penelitian ini melibatkan dua variabel, yaitu:
1. Variabel Tergantung : Kebermaknaan Hidup
2. Variable bebas : Perilaku Prososial
Subyek Penelitian
Subjek penelitian adalah mahasiswa fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan, berusia di antara remaja akhir sampai dewasa awal dengan rentang
usia antara 18-21 tahun. Alasan bahwa pada usia tersebut remaja berada pada
masa peralihan yaitu dari masa remaja akhir ke masa dewasa awal. Pada masa
peralihan tersebut subjek sedang mengalami penyesuian diri termasuk kebutuhan
untuk bertanggung jawab terhadap lingkungan disekitarnya.
Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
skala. Skala adalah tehnik pengumpulan data yang berupa sejumlah pernyataan
yang harus dijawab oleh subjek penelitian. Skala yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Skala Kebermaknaan Hidup dan Skala Perilaku Prososial. Teknik yang
digunakan adalah summated rating method dari Likert yang telah dimodifikasi,
yaitu setiap pernyataan diberikan 4 altematif jawaban dengan menghilangkan
alternatif jawaban tengah. Pilihan respon jawaban terdiri dari sangat sesuai (SS),
sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS).
15
Adapun alasannya adalah pertama, jawaban tengah mempunyai arti ganda
(multi interpretable). Kedua, jawaban tengah menimbulkan kecenderungan untuk
menjawab ke tengah (central tendency effect). Ketiga, tujuan dari 4 alternatif
jawaban adalah untuk melihat kecenderungan pendapat subjek ke arah sesuai atau
ke arah ketidaksesuaian (Hadi, 1991).
Skala yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu Skala
Kebermaknaan Hidup dan Skala Perilaku Prososial.
a. Skala Kebermaknaan Hidup
Skala Kebermaknaan Hidup yang digunakan dalam penelitian ini
memodifikasi dari Skala Kebermaknaan Hidup yang digunakan Rahmat (2003)
yang mengacu kepada PIL (purposive in life) yang dikemukakan oleh Crumbaugh
dan Maholick (Koeswara,1992). Aspek yang diungkap dalam Skala
Kebermaknaan Hidup adalah makna hidup, kepuasan hidup, kebebasan
berkehendak, sikap terhadap kematian, pikiran tentang bunuh diri, kepantasan
hidup. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Makna hidup
Makna hidup adalah segala sesuatu yang dipandang penting dan berharga
oleh seseorang, memberi nilai khusus serta dapat dijadikan tujuan
hidupnya.
2. Kepuasan hidup
Kepuasan hidup adalah penilaian seseorang terhadap hidupnya, sejauh
mana ia bisa menikmati dan merasakan kepuasan dalam hidup dan
aktivitas-aktivitas yang dijalaninya.
16
3. Kebebasan berkehendak
Kebebasan berkehendak adalah perasaan mampu mengendalikan
kebebasan hidup secara bertanggung jawab yang didasarkan pada nilai-
nilai kebenaran.
4. Sikap terhadap kematian
Sikap terhadap kematian adalah bagaimana seseorang berpandangan dan
kesiapannya menghadapi kematian. Orang yang mempunyai
kebermaknaan hidup akan membekali dirinya dengan berbuat kebaikan,
sehingga dalam memandang kematian akan merasa siap untuk
menghadapinya. Lebih lanjut Atwater (dalam Hartanto, 1996)
menambahkan bahwa agama variabel terpenting dalam hal kematian,
karena penghayatan seseorang tentang agamanya ternyata mempengaruhi
penyesuaian dirinya terhadap kematian.
5. Pikiran tentang bunuh diri
Pikiran tentang bunuh diri adalah bagaimana pemikiran seseorang tentang
masalah bunuh diri, bagi seseorang yang mempunyai makna hidup akan
berusaha menghindari keinginan untuk melakukan bunuh diri atau bahkan
tidak pernah memikirkannya.
6. Kepantasan hidup
Kepantasan hidup adalah pandangan seseorang tentang hidupnya, apakah
ia merasa bahwa sesuatu yang dialaminya pantas atau tidak.
17
b. Skala Perilaku Prososial
Skala Perilaku Prososial disusun oleh peneliti dengan memodifikasi Skala
Perilaku Prososial dari Basti (2002), yang mengacu kepada teori dari Mussen, dkk
(1979). Skala Perilaku Prososial tersebut terdiri dari beberapa aspek, yaitu :
membagi, bekerja sama, menolong, kejujuran, dermawan, mempertimbangkan
hak dan kesejahteraan orang lain. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Menolong
Menolong merupakan suatu tindakan sukarela tanpa memperdulikan
untung maupun rugi dari tindakan menolong dan tanpa mengharapkan
imbalan apa-apa dari orang yang ditolong.
2. Bekerja sama
Bekerja sama merupakan suatu bentuk perilaku yang sengaja dilakukan
oleh sekelompok orang maupun organisasi demi terwujudnya suatu cita-
cita yang diinginkan bersama.
2. Membagi
Membagi memiliki pengertian bahwa individu yang memiliki kecukupan
untuk saling membagi kelebihannya tersebut baik materi maupun ilmu
pengetahun kepada orang lain.
3. Kejujuran
Kejujuran adalah suatu bentuk perilaku yang ditunjukkan dengan
perkataan yang sesuai dengan keadaan dan tidak menambahkan atau
mengurangi kenyataan yang ada.
18
5. Dermawan
Tindakan dermawan adalah suatu penlaku yang menunjukkan rasa
kemanusiaan dengan cara memberikan sebagian hartanya kepada orang
lain yang membutuhkan.
6. Mempertimbangkan hak dan kewajiban orang lain
Hak dan kewajiban merupakan hak asasi setiap manusia. Seorang individu
yang memiliki sikap yang demikian ditunjukkan dengan cara menghargai
hak-hak orang lain sebelum meminta kewajibannya terlebih dahulu..
Metode Analisis Data
Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan tehnik korelasi
product moment dengan program SPSS for Windows versi 11.0.
Pembahasan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat
signifikan antara variabel perilaku prososial dengan variabel kebermaknaan hidup.
Angka koefisien korelasi sebesar r xy = 0,668, dengan taraf signifikasi sebesar
0,000 (p<0,01) menunjukkan adanya hubungan positif antara variabel
kebermaknaan hidup dengan perilaku prososial, artinya semakin tinggi perilaku
prososial seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kebermaknaan hidup yang
dimiliki seseorang. Diketemukan pula bahwa sumbangan variabel perilaku
19
prososial terhadap kebermaknaan hidup pada remaja adalah sebesar 44,6 %.
Terdapat penjelasan berkaitan dengan hasil penelitian diatas. Berikut ini adalah
penjelasan-penjelasan tersebut. Berdasarkan kategorisasi yang dibuat peneliti,
dapat pula diketahui bahwa rata-rata skor subyek pada skala perilaku prososial
dan kebermaknaan hidup adalah tergolong tinggi.
Dalam perkembangan kepribadaian, masa remaja berada dalam tempat yang
tidak jelas. Remaja sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi tidak pula
termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja ada di antara anak
dan orang dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi
fisik maupun psikisnya (Monks, dkk, 1991).
Kesimpulan
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa hipotesis yang menyatakan ada
hubungan positif antara perilaku prososial dengan kebermaknaan hidup pada
remaja diterima. Artinya, semakin tinggi perilaku prososial pada para remaja,
semakin tinggi pula kebermaknaan hidupnya. Sebaliknya, semakin rendah
perilaku prososial pada remaja, semakin renadah pula perasaan kebermaknaan
hidupnya.
20
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Edisi Ketiga Cetakan Pertama.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Baron, R. A. and Byrne, D. E. 2000. Social Psychology (9th). Singapore : Alyyn
and Bacon. Bastaman, H. D. 1995. Integrasi Psikologi Dengan Islam. Yogyakarta : Yayasan
Insan Kamil dan Pustaka Pelajar. Bastaman, H. D. 1996. Meraih Hidup Bermakna. Jakarta : Paramadina. Basti. 2002. Perilaku Prososial Ditinjau Dari Peran Gender Pada Etnis Jawa dan
Cina. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Hadi, S. 1990. Metodologi Research Jilid III. Yogyakarta : Andi Offset. Hartanto. 1996. Hubungan Antara Kematian Dengan Belief In After Life Pada
Usia Dewasa Menengah. Jurnal Psikologi Indonesia. I – V. 10-15. Khisbiyah, Y. 1992. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Kebermaknaan Hidup
Pada Mahasiswa Islam di Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Koeswara, E. 1987. Psikologi Eksistensial Suatu Pengantar. Bandung : PT.
Eresco Koeswara, E. 1992. Logoterapi. Yogyakarta : Kanisius. Monks, F. J., Knoers, A. M. P., Haditono, S. R. 1999. Psikologi Perkembangan
Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Mussen, P. H., Conger, J. J., Kagan, J., and Geiwit, J. 1979. Psychological
Development : A Life Span Approach. New York : Happer and Rob Publisher.
Rahmat, M. B. 2003. Kebermaknaan Hidup Ditinjau Dari Sikap Terhadap
Perilaku Kesehatan Pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala.