Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

20
Hubungan antara filsafat dan pendidikan terkait dengan persoalan logika, yaitu: logika formal yang dibangun atas prinsip koherensi, dan logika dialektis dibangun atas prinsip menerima dan membolehkan kontradiksi. Hubungan interakif antara filsafat dan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural dan pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan. Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di kemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982). Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi- spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan. Terlepas dari berbagai macam pengelompokan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan

description

filsafat

Transcript of Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

Page 1: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

Hubungan antara filsafat dan pendidikan terkait dengan persoalan logika, yaitu: logika formal yang dibangun atas prinsip koherensi, dan logika dialektis dibangun atas prinsip menerima dan membolehkan kontradiksi. Hubungan interakif antara filsafat dan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural dan pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan.

Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan

yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir

seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di kemudian hari, ternyata

juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan

suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).

Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam

pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan

demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah

identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang

mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu

bergantung pada sistem filsafat yang dianut.

Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.

Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.

Terlepas dari berbagai macam pengelompokan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu

yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang

filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant

(dalam Kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang

mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh

Page 2: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

sebab itu Francis Bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-

ilmu (the great mother of the sciences).

Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu

merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan

pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek

sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-

komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan

aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat

bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana

ditunjukkan oleh ilmu.

Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang

dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat.

Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu

kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati

sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati

sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.

Lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri (1982:22), –dengan meminjam pemikiran Will Durant–

menjelaskan hubungan antara ilmu dengan filsafat dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan

marinir yang berhasil merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini

adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat

berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan,

menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.

Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak

dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan. Tanggungjawab etis,

merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan

hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga

keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi

mendatang, dan bersifat universal . Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk

mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi

manusia.

Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan “menghancurkan” otonomi

ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik bagi pengembangan ilmu pengetahuan

itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh eksistensi manusia.

Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu di cegah perkembangannya, karena

sudah jamaknya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih lama dalam menikmati hidupnya.

Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia sekarang hidup dalam kondisi sosio-tekhnik yang

Page 3: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

semakin kompleks. Khususnya ilmu pengetahuan – berbentuk tekhnologi – pada masa sekarang

tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan

manusia. Sehingga seolah-olah sekarang ini tekhnologilah yang menguasai manusia bukan

sebaliknya.

Tanggung jawab ilmu pengetahuan menyangkut juga tanggungjawab terhadap hal-hal yang akan

dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dimasa lalu, sekarang, maupun apa akibatnya bagi masa

depan berdasar keputusan-keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan

baru dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik alam maupun

manusia. Hal ini tentu saja menuntut tanggungjawab untuk selalu menjaga agar apa yang

diwujudkan dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang baik, yang seharusnya ;

baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu sendiri maupun bagi perkembangan

eksisitensi manusia secara utuh. Dalam bahasa Melsen : Tanggungjawab dalam ilmu pengetahuan

menyangkut problem etis karena menyangkut ketegangan-ketegangan antara realitas yang ada dan

realitas yang seharusnya ada.

Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat manusia rendah

hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, kedua mengingatkan bahwa kita masih

bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan dipelajari. Ilmu pengetahuan tidak mengenal

batas, asalkan manusia sendiri yang menyadari keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat

menyelesaikan masalah manusia secara mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat bergua bagi

manusia.

Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya mengekor secara

membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu pengetahuan saja tidak cukup dalam

menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit ini. Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat

manusia harus berhenti sejenak untuk merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan .

Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang tepat. Manusia dengan

ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa saja yang diinginkannya, namun pertimbangan

tidak hanya sampai pada “apa yang dapat diperbuat” olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah

memang harus diperbuat dan apa yang seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia

yang utuh. Pada dasarnya mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu pengetahuan harus

sampai kepada rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana keputusan

tindakan manusia dibidang ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas sering dipandang banyak

orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan apabila harus diterapkan begitu

saja terhadap masalah manusia konkret. Realitas permasalahan manusia yang bersifat konkret-

empirik seolah-olah mempunyai “kekuasaan” untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep

abstrak menjabarkan kriteria-kriteria baik buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata

sesuai dengan daerah yang ditanganinya.

Page 4: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

Bagi Kita yang belum sempat beli buku, ni saya akan share beberapa bagian dari buku. Semoga bermanfaat, dan selamat membaca.

Setelah kita membahas pengertian, jalan, dan tujuan filsafat serta pendidikan, apa sesungguhnya hubungan antara keduanya sehingga di sini mesti kita bahas dalam ruang bersamaan?

Jika ditelaah lebih jauh, filsafat dan pendidikan adalah dua hal yang tidak terpisahkan, baik dilihat dari proses, jalan, serta tujuannya. Hal ini sangat terpahami karena pendidikan pada hakikatnya merupakan hasil spekulasi filsafat, terutama sekali filsafat nilai, yaitu terkait dengan ketidakmampuan manusia di dalam menghindari fitrahnya sebagai diri yang selalu mendamba makna-kesamaan di dalam proses, ruang etika, dan ruang pragmatis.

Di satu sisi, manusia selalu menjadi satu-satunya primate yang selalu menyerukan kebaikan, cinta, dan kebenaran. Namun, bersamaan dengan itu, manusia pula satu-satunya makhluk yang dapat membunuh diri dan sesamanya dengan begitu tanpa alasan sama sekali, selain hanya sebuah kesenangan.

Dalam ruang inilah pendidikan bagi hidup manusia menjadi sesuatu hal yang penting untuk membawanya pada hidup yang bermakna. Dengan pendidikan, manusia akan mampu menjalani hidupnya dengan baik dan benar. Dengan demikian, ia bias tertawa, menangis, bicara, dan diam mengambil ukuran-ukuran yang tepat. Ini sangat berbeda dengan banyak diri yang tidak terdidik. Hubungan ini menurut pakar merupakan ilmu yang paling tertua dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lainnya. Oleh karena itu, mereka menyebut bahwa filsafat adalah induk semua ilmu-ilmu pengetahuan di muka bumi ini.

Sementara, filsafat mengakui bahwa menurut substansinya yang ada itu tunggal, dan berada di tingkat abstrak, bersifat mutlak, serta tidak mengalami perubahan. Sedangkan, menurut eksistensinya, yang ada itu plural, berada di tingkat konkret, bersifat relative, dan mengalami perubahan terus-menerus.

Jadi, segala sesuatu yang ada di dunia pengalaman itu bersal mula dari satu substansi. Persoalan yang muncul adalah bagaimana menyikapi segala pluralitas ini agar tidak terjadi benturan antara satu dan lainnya? Misalnya, pluralitas jenis, sifat, dan bentuk manusia, binatang, tumbuhan, dan badan-badan benda berasal dari satu substansi. Apakah yang seharusnya dilakukan agar antara manusia satu dan lainnya tidak saling berbenturan kepentingan sehingga dapat mengancam keteraturan social dan ketertiban dunia?

Jawaban terhadap persoalan di atas adalah manusia harus bersikap dan berperilaku adil terhadap diri sendiri, masyarakat, dan terhadap alam. Agar dapat berbuat demikian, manusia harus berusaha mendapatkan pengetahuan yang benar mengenai keberadaan segala sesuatu yang ada ini, dari mana asalnya, bagaimana keberadaannya, dan apakah yang menjadi tujuan akhir keberadaan tersebut. Untuk itu, manusia harus mendidik diri dan sesamanya secara terus-menerus.

Bertolak dari pemikiran filsafat tersebutlah pendidikan muncul dan memulai sesuatu. Manusia mulai mencoba mendidika diri dan sesamanya dengan sasaran menumbuhkan kesadaran terhadap eksistensi kehidupan ini. Dalam hal ini, kegiatan pendidikan ditekankan pada materi yang berisi pengetahuan

Page 5: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

umum berupa wawasan asal mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan. Kesadaran terhadap asal mula dan tujuan kehidupan menjadi landasan bagi perilaku sehari-hari sehingga semua kegiatan eksistensi kehidupan ini selalu bergerak teratur menuju satu titik tujuan akhir.

Tanpa filsafat, pendidikan tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak tahu apakah yang harus dikerjakan. Sebaliknya, tanpa pendidikan, filsafat tetap berada di dalam dunia utopianya. Oleh karena itulah, seorang guru harus memahami dan mendalami filsafat, khususnya filsafat pendidikan. Malalui filsafat pendidikan, guru memahami hakikat pendidikan dan pendidikan dapat dikembangkan melalui falsafah ontology, epistimologi, dan aksiologi.

Pengertian filosof pendidikan dan bagaimana penerapannya serta apa dampak dari pendidikan harus diketahui oleh guru karena pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan bagi setiap manusia, termasuk guru di dalamnya. Jadi, seorang guru harus mempelajari filsafat pendidikan karena dengan memahami dan memaknai filsafat itu, akan dapat memberikan wawasan dan pemikiran yang luas terhadap makna pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan filsafat lainnya, misalnya filsafat hukum, filsafat agama, filsafat kebudayaan, dan filsafat lainnya.

Dalam pengertian tersebut, filsafat tidak lain bertujuan memvbawa manusia mengalami hidup yang dimilikinya dengan pandangan, pengalaman, pengetahuan, serta penghayatan yang baik dan benar. Dengan pemahaman tersebut, manusia mampu menyadari hidup yang dimilikinya dengan benar tanpa adanya.

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu, sedangkan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Oleh karena itu, dalam filsafat, jauh sebelum persoalan-persoalan mesti dicari jawabannya, filsafat selalu terlebih dahulu mempertahankan sejauh mana relebansi persoalan-persoalan tersebut. Adakah ia sungguh-sunggu memang sebuah problem atau justru hanya diproblematikakan saja?

Di sini, filsafat membahas sesuat dari segala aspeknya yang mendalam. Maka, dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaan menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relative karena kebenaran ilmu yang ditinjau dari segi yang dapat diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya, isi alam yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati gunung es, hanya mampu melihat ang di atas permukaan laut saja. Sementara, filsafat mencoba menyelami sampai ke dasar gunung e situ untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.

Sedangkan, pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan lahir dari induknya, yaitu filsafat. Sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya, pendidikan berada bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak pernah bias mebebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.

Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan ruhani kea rah kedewasaan. Secara garis besar, pengertian pendidikan

Page 6: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, pendidikan; kedua, teori umum pendidikan; dan ketiga, ilmu pendidikan.

Dalam pengertian pertama, pendidikan pada umumnya mendidik yang dilakukan oleh masyarakat umum. Pendidikan seperti ini sudah ada sejak manusia ada di muka bumi ini. Pada zaman purba, kebanyakan manusia memerlukan anak-anaknya secara insting atau naluri, suatu sifat pembawaan, demi kelangsungan hidup keturunannya. Tindakan yang termasuk insting manusia antara lain sikap melindungi anak, rasa cinta terhadap anak, bayi menangis, kemampuan menyusu air susu ibu, dan merasakan kehangatan dekapan ibu.

Pekerjaan mendidik mencakup banyak hal, yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia. Mulai dari perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, social, sampai kepada perkembangan iman. Kegiatan mendidik bermaksud membuat manusia menjadi sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dari kehidupan alamiah menjadi berbudaya. Kegiatan mendidik adalah membudayakan manusia. Dalam pengertian kedua, pendidikan dalam teori umum, menurut John Dewey, “The general theory og education dan Philosophy is the general theory of education.” Dia tidak membedakan filsafat pendidikan dengan teori pendidikan atau filsafat pendidikan sama dengan teori pendidikan. Sebab itu, ia mengatakan pendidikan adalah teori umum pendidikan.

Konsep di atas bersumber dari filsafat pragmatis atau filsafat pendidikan progresif. Inti filsafat pragmatis yang berguna bagi manusia itulah yang benar, sedangkan inti filsafat pendidikan progresif mencari terus-menerus sesuatu yang paling berguna hidup dan kehidupan manusia. Dalam pengertian ketiga, ilmu pendidikan dibentuk oleh sejumlah cabang ilmu yang terkait satu dengan yang lain membentuk suatu kesatuan. Masing-masing cabang ilmu pendidikan dibentuk oleh sejumlah teori.

Nb: Dikutip dari buku Filsafat Pendidikan: Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan: Teguh Wangsa Gandhi Hw

Filsafat dan pendidikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Brauner dan Burns (Problem in Education Philosophy) bahwa pendidikan dan filsafat itu tidak dapat dipisahkan karena yang dijadikan sasaran/tujuan pendidikan adalah juga dijadikan sasaran/tujuan filsafat yaitu kebijaksanaan. Filsafat sebagai ilmu karena di dalam pengertian filsafat mengandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu: bagaimanakah, mengapakah, kemanakah, dan apakah. Pertanyaan bagaimana menanyakan sifat-sifat yang dapat ditangkap atau yang tampak oleh indera. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat deskripsi (penggambaran) Pertanyaan mengapa menanyakan tentang sebab (asal mula) suatu objek. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat kausalitas (sebab akibat). Pertanyaan ke mana menanyakan tentang apa yang terjadi dimasa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Jawaban yang diperoleh ada tiga jenis pengetahuan, yaitu: Pertama, pengetahuan yang timbul dari hal-hal yang selalu berulang-ulang (kebiasaan), yang nantinya pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman. Kedua, pengetahuan yang timbul dari pedoman yang terkandung dalam adat

Page 7: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

istiadat/kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Ketiga, pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai (hukum) sebagai suatu hal yang dijadikan pegangan. Tegasnya pengetahuan yang diperoleh dari jawaban kemanakah adalah pengetahuan normatif. Pertanyaan apakah yang menanyakan tentang hakikat atau inti mutlak dari suatu hal. Hakikat ini sifatnya sangat dalam (radix) dan tidak lagi bersifat empiris, sehingga hanya dapat dimengerti oleh akal. Lebih lanjut Kilpatrick dalam bukunya “Philosophy of Education”, menjelaskan bagaimana hubungan filsafat dengan pendidikan sebagai berikut: “Berfilsafat dan mendidik adalah dua fase dalam satu usaha; berfilsafat adalah memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik adalah usaha merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu dalam kehidupan, dalam kepribadian manusia. Mendidik adalah mewujudkan nilai-nilai yang dapat disumbangkan oleh filsafat, dimulai dengan generasi muda; untuk membimbing rakyat membina nilai-nilai di dalam kepribadian mereka, dan dengan cara ini pula cita-cita tertinggi suatu filsafat dapat terwujud dan melembaga di dalam kehidupan mereka.” Dengan demikian jelaslah bahwa filsafat dan pendidikan itu tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini filsafatlah yang menetapkan konsep, ide-ide dan idealisme atau ideologi yang dibutuhkan sebagai dasar/landasan dan tujuan pendidikan. Dan pendidikan merupakan usaha yang mengupayakan agar ide-ide tersebut menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku, dan bahkan membina kepribadian. Atas dasar pemahaman itu pula maka filsafat Pancasila selain diakui sebagai dasar dan ideologi negara dan pandangan hidup bangsa, tetapi juga Pancasila dijadikan filsafat dan dasar pendidikan di Indonesia. Sebagai dasar dan filsafat pendidikan berarti Pancasila harus dijadikan landasan pemikiran dan dasar pertimbangan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia; dan juga harus dijadikan dasar pijakan/moral bagi pendidik (menjadi filsafat pendidik) di dalam melaksanakan kegiatan pendidikan atau kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Original Post at: http://ononiha88.blogspot.com/2012/11/hubungan-filsafat-dengan-ilmu-pendidikan.html

Etika memang bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Etika lebih merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan moralitas. Kendati demikian etika tetaplah berperan penting dalam IPTEK. Penerapan IPTEK dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan IPTEK selanjutnya.

Hakikatnya, IPTEK dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia, dan bukan sebaliknya, menghancurkan eksistensi manusia dan justru menjadikan manusia budak teknologi. Oleh karena itu, tanggung jawab etis diperlukan untuk mengontrol kegiatan dan penggunaan IPTEK. Dalam kaitan hal ini, terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal.[1] Keberadaan tanggung jawab etis tidak bermaksud menghambat kemajuan IPTEK. Justru dengan adanya dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan IPTEK akan semakin berlomba-lomba meningkatkan martabat manusia sebagai “tuan” teknologi dan bukan hamba teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu menginspirasi, memacu, dan memotivasi manusia untuk

Page 8: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

mengembangkan teknologi yang IPTEK yang tidak mencelakakan manusia serta aman bagi lingkungan hidup.

Pada awalnya teknologi diciptakan untuk meringankan dan membebaskan manusia dari kesulitan hidupnya. Namun manusia justru terjebak dalam kondisi konsumerisme yang semakin meningkatkan ketergantungan manusia akan teknologi dan parahnya, menjadikan manusia budak teknologi. Manusia semestinya memajukan IPTEK sesuai dengan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai, maka teknologi justru akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Selain itu, martabat manusia akan semakin direndahkan dengan menjadi budak teknologi, berbagai penyakit sosial merebak di masyarakat, hingga pada fenomena dehumanisasi ketika manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual.

Apakah kemajuan iptek itu merendahkan atau meningkatkan keberadaan manusia sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri, karena IPTEK sendiri merupakan salah satu dari 7 cultural universal yang dihasilkan manusia yang terdiri dari: sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu pengetahuan, dan sistem peralatan hidup. Oleh karena itu, perkembangan IPTEK haruslah diikuti kedewasaan manusia untuk mengerti mana yang baik dan yang buruk, mana yang semestinya dan yang tidak semestinya dilakukan dalam pengembangan IPTEK. Di sinilah peran etika untuk ikut mengontrol perkembangan IPTEK agar tidak bertentangan dengan niilai dan norma dalam masyarakat, serta tidak merugikan manusia sendiri. Etika, terutama etika keilmuan sangatlah penting dalam kehidupan ilmiah karena etika keilmuan menyoroti kejujuran, tanggung jawab, serta bebas nilai atau tidak bebas nilai dalam ilmu pengetahuaan.

Berbicara masalah bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan sangatlah relevan dengan apa yang terjadi di zaman Renaissance, yang terkenal dengan paham Aufklarung yang mendewakan rasionalitas manusia. Pada zaman kegelapan (Dark Age), gereja senantiasa mengatur dan mengendalikan kaum cendekiawan sehingga mereka merasa sangat terkekang. Setiap teori atau penemuan-penemuan baru hanya dapat dipergunakan dengan persetujuan dan pengakuan gereja. Sejak saat itulah para cendekiawan Barat beranggapan bahwa nilai dan norma hanya menghambat kemajuan IPTEK. Pemahaman rasional tentang dirinya dan alam mengantar manusia pada suatu pragmatisme ilmiah, dimana perkembangan ilmu dianggap berhasil ketika memiliki konsekuensi-konsekuensi pragmatis. Keadaan ini pula yang menggiring ilmuwan untuk menjaga jarak terhadap problem nilai secara langsung.

Untuk menentukan bahwa ilmu itu bebas nilai atau tidak, maka diperlukan sekurang-kurangnya 3 faktor sebagai indikator. Pertama, ilmu tersebut harus bebas dari pengandaian dan pengaruh faktor eksternal seperti politik, ideologi, agama, budaya, dll. Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah demi terjaminnya otonomi ilmu pengetahuan.Ketiga, tidak luputnya penelitian ilmiah dari pertimbangan etis yang selalu dituding menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Indikator pertama dan kedua memperlihatkan upaya ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah ilmu pengetahuan, sedangkan indikator ketiga ingin menunjukkan adanya faktor X yang hampir mustahil dihindarkan dari perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu pertimbangan etis.[5] Selain 3 indikator tadi, masih ada indikator keempat yang amat sulit ditolak oleh ilmu pengetahuan, yakni kekuasaan. Perkembangan IPTEK selalu sarat dengan berbagai kepentingan, terutama kepentingan kekuasaan yang kadang memunculkan konflik kepentingan antara

Page 9: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

ilmuwan dengantruth claim melawan penguasa dengan authority claimnya. Dan di negara berkembang, konflik itu hampir selalu dimenangkan pihak penguasa.

Ilmu sendiri, baik secara teoritis maupun praktis tidak pernah bebas dari nilai. Selalu ada kepentingan yang bermain di dalam ilmu itu. Namun, pertimbangan etis semestinya hanya berperan sebagai rambu-rambu saja, dan bukannya mengekang perkembangan IPTEK tersebut. Kesalahan Barat adalah mereka menganggap bahwa ilmu selalu bebas nilai dan sudah semestinya ilmu pengetahuan tidak berhubungan dengan agama (sekularisme). Akan tetapi, intervensi nilai yang berlebihan ke dalam ilmu pengetahuan juga akan mengekang kreativitas manusia dalam berpikir. Ilmu pengetahuan semata-mata hanya menjadi alat dari berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan ideologis dan politik.

Baca Juga: STRATEGI ORGANISASI

Karena IPTEK tidaklah bebas nilai, maka sudah sewajarnya kita mengkuti perkembangannya, asalkan jangan sampai kita terjebak rasa ketergantungan pada teknologi. Teknologi hanyalah alat untuk membantu meringankan beban kerja kita sehingga jangan sampai justru kita menjadi malas dan diperbudak teknologi. Dalam perkembangan teknologi komunikasi dan komunikasi kontemporer sendiri, sudah begitu banyak media yang dikembangkan untuk memperlancar komunikasi dan memperpendek jarak antar manusia. Sebut saja komputer, jaringan telepon selular yang dibantu adanya satelit komunikasi, serta internet yang mengusung Super Highway Communication dengan electronic mail. Selain itu, telepon selular di beberapa negara pun sudah dilengkapi fasilitas 3G atau bahkan 4G yang memungkinkan manusia mengakses data dalam waktu yang amat singkat.

Berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantar kita pada kemudahan-kemudahan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari baik di rumah, sekolah, maupun kantor. Namun, jangan sampai justru dengan segala fasilitas itu kita menjadi diperbudak oleh alat. Kita adalah manusia yang bisa berpikir dan menciptakan berbagai macam peralatan. Oleh karena itu hendaknya kita menciptakan teknologi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia, bukannya membuat manusia harus menyesuaikan diri dengan teknologi.

Ketika berbicara etika dalam kaitannya dengan ilmu berarti menyangkut persoalan-persoalan nilai dalam ilmu baik isinya maupun penggunanya.

Problem ilmu bebas nilai atau tidak sebenarnya menunjukkan suatu hubungan antara ilmu dan etika. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ada tiga pandangan, setidaknya, tentang hubungan ilmu dan etika. Pendapatpertama mengatakan bahwa ilmu merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dan konsisten dari ungkapan-ungkapan yang sifat bermakna atau tidak bermaknanya (meaningful or meaningless) dapat ditentukan. Ilmu dipandang sebagai semata-mata aktivitas ilmiah, logid, dan berbicara tentang fakta semata. Prinsip yang berlaku di sini adalah science for science. Pendapat kedua menyatakan bahwa etika memang dapat berperan dalam tingkah laku ilmuan seperti pada bidang penyelidikan, putusan-putusan mengenai baik tidaknya penyingkapan hasil-hasil dan petunjuk mengenai penerapan ilmu, tetapi tidak dapat berpengaruh pada ilmu itu sendiri. Dengan kata

Page 10: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

lain memang ada tanggung jawab dalam diri ilmuan. Namun dalam struktur logis ilmu itu sendiri tidak ada petunjuk-petunjuk untuk putusan-putusan yang secara etis dipertanggungjawabkan. Etika baru dimulai ketika ilmu itu berhenti. Pendapat yang ketiga adalah bahwa aktivitas ilmiah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari aspek-aspek kemanusiaan, sebab tujuan utama ilmu adalah mensejahterakan manusia.[8]

Ilmu dan etika sebagai suatu pengetahuan yang diharapkan dapat meminimalkan dan menghentikan perilaku penyimpangan dan kejahatan di kalangan masyarakat. Di samping itu, ilmu dan etika diharapkan mampu mengembangkan kesadaran moral di lingkungan masyarakat sekitar agar dapat menjadi cindekiawan yang memiliki moral dan akhlak yang baik/mulia.[9]Tidak jarang kita menemukan pernyataan yang mengillustrasikan erat kaitan antara ilmu dan etika, serta signifikansi keduanya. Kemegahan seorang ilmuwan terdapat pada keindahan etikanya. Abu Zakaritta al-anbari berkata: ilmu tanpa etika bagaikan api tanpa kayu bakar, dan etika tanpa ilmu adalah seperti jiwa tanpa badan.[10]

Sebagai suatu subjek, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, baik atau buruk. Dengan begitu dalam proses penilaiannya ilmu sangat berguna dalam menentukan arah dan tujuan masing-masing orang.[11] Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal . Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.

Etika sebagai ilmu ketertiban di mana pokok masalah moralitas dipelajari. Singkatnya ilmu tata susila adalah ilmu moralitas. Ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat seseorang. Masalah moral tidak dapat dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan juga mempertahankan kebenaran diperlukan keberanian moral.[12]

Etika memberikan semacam batasan maupun standar yang mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Etika ini kemudian di rupakan ke dalam bentuk aturan tertulis yang secara sistematik sengaja di buat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat di butuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang logika-rasional umum (common sense) di nilai menyimpang dari kode etik. Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai kegunaan khusus yakni kegunaan universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaan.[13]

Menurut catatan sejarah, filsafat bermula di Yunani. Bangsa Yunani mulai mempergunakan akal ketika mempertanyakan mitos yang berkembang di masyarakat sekitar abad VI SM. Perkembangan pemikiran ini menandai usaha manusia untuk mempergunakan akal dalam memahami segala sesuatu. Pemikiran Yunani sebagai embrio filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak pemikiran Barat abad pertengahan, modern dan masa berikutnya.

Page 11: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

Disamping menempatkan filsafat sebagai sumber pengetahuan, Barat juga menjadikan agama sebagai pedoman hidup, meskipun memang harus diakui bahwa hubungan filsafat dan agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan misalnya dunia Barat didominasi oleh dogmatisme gereja (agama), tetapi abad modern seakan terjadi pembalasan terhadap agama. Peran agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu positif. Akibatnya, Barat mengalami kekeringan spiritualisme. Namun selanjutnya, Barat kembali melirik kepada peranan agama agar kehidupan mereka kembali memiliki makna.

Filsafat dan agama secara umum merupakan pengetahuan. Jika agama merupakan pengetahuan yang berasal dari wakyu, filsafat sendiri adalah hasil dari pemikiran manusia.[1] Dasar-dasar agama merupakan pokok-pokok kepercayaan ataupun konsep tentang ketuhanan, alam, manusia, baik buruk, hidup dan mati, dunia dan akhirat. Dan lain-lain. Sedangkan filsafat adalah sistem kebenaran tentang agama sebagai hasil berfikir secara radikal, sistematis dan universal.[2]

Jika agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek penelitian dan pengkajian filsafat. Pertimbangan-pertimbangan filsafat berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi agama hanya akan sesuai dan sejalan apabila seorang penganut agama senantiasa menuntut dirinya untuk berusaha memahami dan menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan kepercayaan agamanya. Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama.

Walaupun hasil-hasil penelitian rasional filsafat tidak bertolak belakang dengan agama, tapi selayaknya sebagian penganut agama justru bersikap proaktif dan melakukan berbagai pengkajian dalam bidang filsafat sehingga landasan keimanan dan keyakinannya semakin kuat dan terus menyempurna, bahkan karena motivasi keimananlah mendorongnya melakukan observasi dan pembahasan filosofis yang mendalam terhadap ajaran-ajaran agama itu sendiri dengan tujuan menyingkap rahasia dan hakikatnya yang terdalam.

Filsafat dan agama mempunyai hubungan yang sangat reflektif dengan manusia, dikarenakan mempunyai keduanya mempunyai keterkaitan, keduanya tidak bisa berkembang apabila tidak ada alat dan tenaga utama yang berada dalam diri manusia. Tiga alat dan tenaga utama manusia adalah akal pikiran, rasa, dan keyakinan.[3]

Dengan satu ungkapan dapat dikatakan bahwa filosof agama mestilah dari penganut dan penghayat agama itu sendiri. Lebih jauh, filosof-filosof hakiki adalah pencinta-pencinta agama yang hakiki. Sebenarnya yang mesti menjadi subyek pembahasan di sini adalah agama mana dan aliran filsafat yang bagaimana memiliki hubungan keharmonisan satu sama lain. Adalah sangat mungkin terdapat beberapa ajaran agama, karena ketidaksempurnaannya, bertolak belakang dengan kaidah-kaidah

Page 12: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

filsafat, begitu pula sebaliknya, sebagian konsep-konsep filsafat yang tidak sempurna berbenturan dengan ajaran agama yang sempurna.[4]

Karena asumsinya adalah agama yang sempurna bersumber dari hakikat keberadaan dan mengantarkan manusia kepada hakikat itu, sementara filsafat yang berangkat dari rasionalitas juga menempatkan hakikat keberadaan itu sebagai subyek pengkajiaannya, bahkan keduanya merupakan bagian dari substansi keberadaan itu sendiri. Keduanya merupakan karunia dari Tuhan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Filsafat membutuhkan agama (wahyu) karena ada masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan alam gaib yang tak bisa dijangkau oleh akal filsafat. Sementara agama juga memerlukan filsafat untuk memahami ajaran agama. Berdasarkan perspektif ini, adalah tidak logis apabila ajaran agama dan filsafat saling bertolak belakang.

Dalam sebuah ungkapan ada kalimat yang sangat menarik, yang, “Saya beriman supaya bisa mengetahui. Apabila kalimat ini kita balik akan menjadi: jika saya tidak beriman, maka saya tak dapat mengetahui. Tak dapat disangkal bahwa dapat diyakini bahwa keimanan agama adalah sumber motivasi dan pemicu yang kuat untuk mendorong seseorang melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap ajaran-ajaran doktrinal agama, lebih jauh, keimanan sebagai sumber inspirasi lahirnya berbagai ilmu dan pengetahuan. Kesempurnaan iman dan kedalaman pengahayatan keagamaan seseorang adalah berbanding lurus dengan pemahaman rasionalnya terhadap ajaran-ajaran agama, semakin dalam dan tinggi pemahaman rasional maka semakin sempurna keimanan dan semakin kuat apresiasi terhadap ajaran-ajaran agama. Baik agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan dalam tujuan, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud di sini adalah agama Samawi.[5]

Manusia membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek kehidupannya, termasuk dalam doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan rasio adalah hakikat dan substansi manusia, keduanya mustahil dapat dipisahkan dari wujud manusia, bahkan manusia menjadi manusia karena akal dan rasio. Tolok ukur kesempurnaan manusia adalah akal dan pemahaman rasional. Akal merupakan hakikat manusia dan karenanya agama diturunkan kepada umat manusia untuk menyempurnakan hakikatnya. Penerimaan, kepasrahan dan ketaatan mutlak kepada ajaran suci agama sangat berbanding lurus dengan rasionalisasi substansi dan esensi ajaran-ajaran agama.

Substansi dari semua ajaran agama adalah keyakinan dan kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, sementara eksistensi Tuhan hanya dapat dibuktikan secara logis dengan menggunakan kaidah-kaidah akal-pikiran (baca: kaidah filsafat) dan bukan dengan perantaraan ajaran agama itu sendiri. Walaupun akal dan agama keduanya merupakan ciptaan Tuhan, tapi karena wujud akal secara internal terdapat pada semua manusia dan tidak seorang pun mengingkarinya, sementara keberadaan ajaran-ajaran agama yang bersifat eksternal itu tidak diterima oleh semua manusia.

Dengan demikian, hanya akallah yang dapat kita jadikan argumen dan dalil atas eksistensi Tuhan dan bukan ajaran agama. Seseorang yang belum meyakini wujud Tuhan, lantas apa arti agama baginya. Kita mengasumsikan bahwa ajaran agama yang bersifat doktrinal itu adalah ciptaan Tuhan, sementara belum terbukti eksistensi Pencipta dan pengenalan sifat-sifat sempurna-Nya, dengan demikian adalah

Page 13: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

sangat mungkin yang diasumsikan sebagai "ciptaan Tuhan" sesungguhnya adalah "ciptaan makhluk lain" dan makhluk ini lebih sempurna dari manusia (sebagaimana manusia lebih sempurna dari hewan dan makhluk-makhluk alam lainnya). Lantas bagaimana kita dapat meyakini bahwa seluruh ajaran agama itu adalah berasal dari Tuhan. Walaupun kita menerima eksistensi Tuhan dengan keimanan dan membenarkan bahwa semua ajaran agama berasal dari-Nya, tapi bagaimana kita dapat menjawab soal bahwa apakah Tuhan masih hidup? Kenapa sekarang ini tidak diutus lagi Nabi dan Rasul yang membawa agama baru? Dan masih banyak lagi soal-soal seperti itu yang hanya bisa diselesaikan dengan kaidah akal-pikiran. Berdasarkan perspektif ini, akal merupakan syarat mendasar dan mutlak atas keberagamaan seseorang, dan inilah rahasia ungkapan yang berbunyi: Tidak ada agama bagi yang tidak berakal.

Filsafat dan pendidikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Brauner dan Burns (Problem in Education Philosophy) bahwa pendidikan dan filsafat itu tidak dapat dipisahkan karena yang dijadikan sasaran/tujuan pendidikan adalah juga dijadikan sasaran/tujuan filsafat yaitu kebijaksanaan. Filsafat sebagai ilmu karena di dalam pengertian filsafat mengandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu: bagaimanakah, mengapakah, kemanakah, dan apakah. Pertanyaan bagaimana menanyakan sifat-sifat yang dapat ditangkap atau yang tampak oleh indera. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat deskripsi (penggambaran) Pertanyaan mengapa menanyakan tentang sebab (asal mula) suatu objek. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat kausalitas (sebab akibat). Pertanyaan ke mana menanyakan tentang apa yang terjadi dimasa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Jawaban yang diperoleh ada tiga jenis pengetahuan, yaitu: Pertama, pengetahuan yang timbul dari hal-hal yang selalu berulang-ulang (kebiasaan), yang nantinya pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman. Kedua, pengetahuan yang timbul dari pedoman yang terkandung dalam adat istiadat/kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Ketiga, pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai (hukum) sebagai suatu hal yang dijadikan pegangan. Tegasnya pengetahuan yang diperoleh dari jawaban kemanakah adalah pengetahuan normatif. Pertanyaan apakah yang menanyakan tentang hakikat atau inti mutlak dari suatu hal. Hakikat ini sifatnya sangat dalam (radix) dan tidak lagi bersifat empiris, sehingga hanya dapat dimengerti oleh akal. Lebih lanjut Kilpatrick dalam bukunya “Philosophy of Education”, menjelaskan bagaimana hubungan filsafat dengan pendidikan sebagai berikut: “Berfilsafat dan mendidik adalah dua fase dalam satu usaha; berfilsafat adalah memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik adalah usaha merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu dalam kehidupan, dalam kepribadian manusia. Mendidik adalah mewujudkan nilai-nilai yang dapat disumbangkan oleh filsafat, dimulai dengan generasi muda; untuk membimbing rakyat membina nilai-nilai di dalam kepribadian mereka, dan dengan cara ini pula cita-cita tertinggi suatu filsafat dapat terwujud dan melembaga di dalam kehidupan mereka.” Dengan demikian jelaslah bahwa filsafat dan pendidikan itu tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini filsafatlah yang menetapkan konsep, ide-ide dan idealisme atau ideologi yang dibutuhkan sebagai dasar/landasan dan tujuan pendidikan. Dan pendidikan merupakan usaha yang mengupayakan agar ide-ide tersebut menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku, dan bahkan membina kepribadian. Atas dasar pemahaman itu pula maka filsafat Pancasila selain diakui sebagai dasar dan ideologi negara dan pandangan hidup bangsa, tetapi juga Pancasila dijadikan filsafat dan dasar pendidikan di Indonesia. Sebagai dasar dan filsafat pendidikan berarti Pancasila harus dijadikan landasan pemikiran dan dasar pertimbangan dalam

Page 14: Hubungan Antara Filsafat Dan Pendidikan Terkait Dengan Persoalan Logika

merumuskan kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia; dan juga harus dijadikan dasar pijakan/moral bagi pendidik (menjadi filsafat pendidik) di dalam melaksanakan kegiatan pendidikan atau kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Original Post at: http://ononiha88.blogspot.com/2012/11/hubungan-filsafat-dengan-ilmu-pendidikan.html