SoehartodalamCerpen Indonesiafib.unair.ac.id/jdownloads/Penelitian/mozaik_1_isi.pdf · Pendahuluan...

of 76 /76
DAFTAR ISI Moch Jalal 1 Made Pramono 9 Ida Nurul Chasanah 19 Nur Wulan 28 Diah Ariani Arimbi 36 Edi Dwi Riyanto 50 Purnawan Basundoro 58 Sarkawi B Husain 67 Kontradisksi Logika Filsafat dengan Logika Simbolisasi Bahasa - Etika Sosialisme Religius Bung Hatta - Representasi Reaksi-Kreatif Literer atas Penguasa Orde Baru dalam Kumpulan Cerpen Gender Relations in Late Colonial Indonesia: A Brief Overview and Their Portrayal in Three Modern Indonesia Novels - Politics and Social Representation in Literatures: A Feminist of Ratna Indraswari Ibrahim’s Work - Korelasi antara Pengguna Multimedia Komputer dengan Peningkatan Skor TOEFL Peserta UNAIR - Menggagas Historiografi (Indonesia) yang Demokratis - Resensi Buku Keroncong Cinta Karya Ahmad Faishal “Antara Cara Pemahaman, Cara Perhubungan, dan cara Penciptaan” - Soeharto dalam Cerpen Indonesia - Self Acces

Embed Size (px)

Transcript of SoehartodalamCerpen Indonesiafib.unair.ac.id/jdownloads/Penelitian/mozaik_1_isi.pdf · Pendahuluan...

  • DAFTAR ISI

    Moch Jalal1

    Made Pramono9

    Ida Nurul Chasanah

    19

    Nur Wulan

    28

    DiahArianiArimbi

    36

    Edi Dwi Riyanto

    50

    Purnawan Basundoro58

    Sarkawi B Husain

    67

    Kontradisksi Logika Filsafat dengan Logika Simbolisasi Bahasa -

    Etika Sosialisme Religius Bung Hatta -

    Representasi Reaksi-Kreatif Literer atas Penguasa Orde Baru dalam KumpulanCerpen

    Gender Relations in Late Colonial Indonesia: A Brief Overview and TheirPortrayal in Three Modern Indonesia Novels -

    Politics and Social Representation in Literatures:AFeminist of Ratna IndraswariIbrahims Work -

    Korelasi antara Pengguna Multimedia Komputer dengan Peningkatan SkorTOEFLPeserta UNAIR -

    Menggagas Historiografi (Indonesia) yang Demokratis -

    Resensi BukuKeroncong Cinta KaryaAhmad FaishalAntara Cara Pemahaman, Cara Perhubungan, dan cara Penciptaan -

    Soeharto dalam Cerpen Indonesia -

    SelfAcces

  • PendahuluanDalam kajian filsafat, eksistensi

    Logika dapat diibaratkan sebagai ujungtombak yang kedudukannya sangatdikedepankan serta mendapatkan porsisorotan terpenting. Dikatakan demikian,mengingat dalam kegiatan berfilsafat,cara berpikir dan bernalar secara benarmerupakan syarat utama yang selalu harusdijunjung tinggi. Tata cara benalar danberpikir secara benar dan logis inilahyang kemudian lebih dikenal denganistilah logika. Secara singkat dapatdikatakan, logika merupakan ilmupengetahuan dan kecakapan untukberpikir lurus atau tepat. Mengingat ilmupengetahuan adalah kumpulan pe-ngetahuan tentang objek tertentu,kesa tuan yang sis temat i s , ser tamemberikan penjelasan yang dapatd ipe r t anggu ng jawabkan . Se ga l apenjabaran tentangnya harus dilakukandengan memberikan penjelasan mengenai

    sebab musababnya. Aspek penjelasansebab musabab secara masuk akal danilmiah juga merupakan bidang logika.L a p a n g a n p e n g e t a h u a n l o g i k akefilsafatan secara umum yaitu meliputiasas-asas yang menentukan pemikiranyang lurus, tepat, dan sehat. Dalam hal inilogika menyelidiki, merumuskan, sertamenerapkan hukum yang harus ditepatiagar manusia dapat berpikir lurus, tepat,dan teratur. Popkin dan Stroll (Bawengan,1990: 64) berpendapat bahwa logikamerupakan salah satu cabang filsafat yangtergolong penting sekali. Semua bagianatau cabang-cabang filsafat tidak dapatlepas pada penggunaan pikiran atau caraberpikir. Apakah pikiran itu benar atauk e l i r u a k a n t e r g a n t u n g p a d apenyesuaiannya dengan asas-asas logika.Disitulah letak logika diperlukan sebagaidasar penggunaan pikiran.

    Menurut Sudarsono (Sudarsono,1993: 146), Logika memiliki objek

    KONTRADIKSI LOGIKA FILSAFATDENGAN LOGIKA SIMBOLISASI BAHASA

    Moch. Jalal*))

    AbstractNot agreement between Ianguage base aspect with philosophy logic characteristic nonmeaning both this science area have to be dissociated in order not to each other bringinginto contact. Philosophy logic always claim truth, accuracy, decision, and universality. Onthe other side, Ianguage simbol measure up to base which contradiction with philosophylogic demand. Related to this problem both science area, Ianguage and also philosophy donot have to avoiding each other. Without have logic, study to reality problem of usage ofIanguage will never earn to find problems answer. On the other hand, philosophizingimpossible can be conducted without using Ianguage media to pour all object presentationand also all behavior which is contemplating. On the contrary, both have to earn issearching each other gap among to pruduce of interesting and sharper multidimensionalscience.

    Keywords: Philosophy logic, Language base aspect

    * Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya UniversitasAirlanga, telp (031) 5035676)

    1

  • material yaitu berpikir. Sedangkan yangdimaksud dengan berpikir ialah kegiatanpikiran, akal budi manusia. Apabilaseseorang berpikir, maka berarti diamengolah, mengajarkan pengetahuanyang diperoleh. Dengan demikian berartidalam hal ini telah terjadi kegiatanmempertimbangkan, menguraikan, mem-bandingkan, serta menghubungkanpengertian yang satu dengan lainnyasecara teratur dan acak. Sedangkan objekformalnya adalah berpikir benar dan tetap.

    S e l a n j u t n y a d a l a m l o g i k akefilsafatan ini akan diatur bagaimana tatacara berpikir dan benalar yang benar.Sebab ada dua kemungkinan implikasicara berpikir dalam berfilsafat, logis atautidak logis. Jika hasil kegiatan berpikirdan bernalar itu telah sesuai dengansyarat-syarat logika yang benar, berartihasil pemikiran itu dapat dikatakan logis.Sebaliknya, jika kurang memenuhi syaratlogika yang benar, berarti kurang ataubahkan dianggap tidak logis.

    Selain logika, dalam kegiatanberfilsafat ternyata masih terdapatperangkat alat yang tak kalah pentingnya,yaitu bahasa. Barangkali tidak satu punlinguis yang meragukan adanya pendapatbahwa antara ilmu filsafat dengan ilmulinguistik (kajian terhadap bahasa)terdapat kedekatan hubungan. Pendapatadanya kedekatan hubungan ini jauh-jauhhari memang sengaja diperkenalkan,bahkan menjadi semacam bagipara pemerhati ilmu linguistik agar segeramembuka jendela wawasannya. Karenamengkaji persoalan linguistik mau tidakmau akan dihadapkan pada persoalan-persoalan nonlinguistik yang tidak jarangj u s t r u m a m p u s e c a r a s i n e r g i smempertajam serta melengkapi kajian

    terhadap berbagai persoalan bahasa.tentang kedekatan hubungan

    tersebut sebenarnya tidak hanya ditujukanterhadap bidang filsafat, namun jugaberbagai disiplin ilmu lain sepertisosiologi, antropologi, psikologi, dankedokteran.

    Khusus bidang filsafat, hubunganantara keduanya memang telah terjalinsejak masa-masa awal kelahiran keduabidang keilmuan tersebut, baik itu bidangfilsafat maupun linguistik. Secaramendasar, antara keduanya bahkancenderung menjadi satu kesatuan yangtidak dapat terpisahkan. Pada kegiatanberfilsafat, bahasa menjadi saranat e r p e n t i n g d a l a m r a n g k akeberlangsungannya. Dengan kata laindalam setiap aktifitas berfilsafat atauberpikir tidak akan pernah dapatberlangsung tanpa adanya bahasa sebagaimedianya. Hal itu masuk akal, mengingatapapun dunia fakta yang menjadi objekperenungan dapat dipastikan telahtertransformasikan dalam dunia simbolikyang terwakili dalam bahasa. Objek-objek yang dipikirkan dan direnungkandalam filsafat tidak lain adalah realitasalam maupun perilaku yang telahterlabelisasi dalam bentuk-bentuk simbol-simbol bahasa. Seperti langit, bintang-bintang, hukum, aturan, norma, kearifan,kejahatan, dan lain-lain. Dalam sebuahpe-mikirannya, ahli filsafat W.D. Whitneypernah mengungkapkan bahwawarning

    Warning

    Language is not only necessary for theformulation of thought but is part of thethinking process it self we cannot getoutside language to reach thought, noroutside language to reach language

    .

    .(Bolinger & Sears, 1981: 135)

    2

    MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1

    Januari-Juni 2007: 1 - 74

  • Di sisi lain, jika dilihat dari sudutpandang linguistik, bidang kajian ini puntidak akan pernah dapat dipisahkan darikegiatan berfilsafat. Sebab pada dasarnyasemua kegiatan kaji-mengkaji keilmuanitu tidak akan pernah terlepas darikegiatan berpikir dan bernalar. Sebagaisalah satu cabang keilmuan yang sudahmendapatkan pengakuan secara universal,di dalam kajian linguistik tentu sajaterdapat kegiatan berpikir dan bernalar.Senada dengan hal itu Durant (1933: 14)pernah berpendapat jika filsafat itu padadasarnya merupakan awal atau langkahpertama dari berbagai kegiatan keilmuan.Jika diibaratkan sebagai strategi militer,filsafat merupakan pasukan marinir yangditerjunkan pertama kali ke medan perangguna mencari jalan bagi pasukan infantri(bidang ilmu yang dimaksud), yangs e l a n j u t n y a a k a n m e n g a d a k a npenyerangan dan aksi lanjutan. Tanpakeberadaan pasukan marinir tersebutmaka juga tidak akan pernah terdapatkegiatan penyerangan dan aksi lanjutanoleh pasukan infantri. Ilustrasi Durant inise bena rn ya ing in menun jukkanbagaimana posisi filsafat yang dalamhal ini diibaratkan sebagai pasukanmarinir dengan ilmu lain yangdiibaratkan sebagai pasukan infantri.Sehingga makin jelaslah bahwa mungkintidak akan pernah muncul kajian tentangbahasa yang selanjutnya dikenal denganlinguistik jika seandainya manusia tidakmelakukan kegiatan berfilsafat.

    Tulisan singkat ini ingin men-jabarkan kontradiksi yang terdapat antarakelogisan bernalar pada logika filsafatdengan logika simbolisasi bahasa,terutama yang terepresentasikan dalambeberapa sifat bahasa yang dicetuskan

    oleh Alston (1964: 6), yaitu

    dan

    Hubungan kedekatan yang ter-dapatantara kajian filsafat secara umum denganbahasa bukan berarti antara keduanyamemiliki sistematika serta cara bernalaryang sama. Bahkan dalam hal-hal tertentudapat dijumpai adanya sistematika ataucara bernalar filsafat yang seringtersandung dengan logika simbolisasidalam bahasa. Untuk itu melalui makalahsingkat ini, penyusun sangat tertarik untukmem-bahas salah satu kontradiksi yangcukup tampak, terutama tentang sifat-sifatdasar bahasa yang dianggap sebagaikekurangan atau penghambat jikadibenturkan dengan tuntutan kelogisanbernalar dalam kajian filsafat secaraumum.

    Kepemilikan dan pemakaian bahasamerupakan satu hal yang menunjukkankeunggulan serta nilai lebih luar biasa daridiri manusia dibandingkan denganmahluk lainnya. Sehubungan dengan halitu Ernst Cassirer (Cassirer,

    (1944) menyebut manusia adalah, yaitu makhluk yang

    meng-gunakan media berupa simbol-simbol kebahasaan dalam memberi artiserta mengisi dan mengatur kehidupannyasecara keseluruhan. Cassirer lebih lanjutmenyatakan bahwa keberadaan manusiasebagai ini dianggaplebih berarti daripada keberadaannyasebagai , yaitu makhlukyang memiliki kemampuan berpikir.

    Alasannya, media bahasa dengansimbol-simbol yang terdapat didalamnyalah yang mampu menjadikanmanusia untuk melangsungkan kegiatan

    vagueness,inexplicitness, ambiguity, context-dependence, misleading-ness.

    An Essay onMananimal simbolicum

    animal simbolicum

    Homo sapiens

    Pembahasan

    Kontradiksi Logika Filsafat dengan Logika Simbolisasi Bahasa

    3

  • berpikirnya. Tanpa memiliki kemampuanberbahasa ini tidak mungkin kegiatanberpikir secara teratur dan sistematisdapat dilakukan. Selain itu, denganadanya simbol-simbol bahasa pula yangmemungkinkan manusia tidak hanyasekedar berpikir, namun sekaligusmengadakan kontak dengan realitaskehidupan di luar lingkungannya sertamemanfaatkan hasil berpikirnya itu untukkelangsungan kehidupan dunia.

    Ibarat sebagai suatu alat, bahasamerupakan kendaraan yang telah dan akanmembawa filsafat dalam menjelajahialam semesta. Namun sayang, sebagaikendaraan yang seharusnya sehati dansejalan, bahasa ternyata masih memilikicela atau kelemahan dalam mengantarkanfilsafat ke tujuan akhir petualangannya.Kelemahan mendasar bahasa dalam halini terletak pada sifat-sifat dari bahasasendiri yang terkadang memang tidakmemiliki konsistensi acuan yang tetap.Padahal ciri pemikiran filsafat jelas-jelasmenuntut dan mensyaratkan adanyakonsistensi pada setiap gejala realitasyang menjadi objek perenungannya.Filosof Bertrand Russel berpendapatbahwa menyusun simbol kebahasaansecara logis merupakan dasar dalammemahami struktur realitas secara benar.Sebab itu, kompleksitas simbol bahasajuga harus memiliki kesesuaian dengankompleksitas realitas itu sendiri. Sehinggaantara keduanya akan dapat ber-hubungansecara tepat dan benar (Alston, 1964: 2).Bagi aliran filsafat analitik termasuk didalamnya

    , dan lain-lain bahasa bahkan bukan saja hanyasebagai alat berpikir atau berfilsafat,melainkan merupakan bahan dasar dan

    bah-kan hasil akhir dari kegiatan filsafatitu sendiri. (Kaplan, 1961: 61)

    Bahasa jika dikaitkan dengan sepertiyang diharapkan Russel di atas ternyatamasih memiliki kelemahan-kelemahan.Sifat-sifat bahasa yang dianggap sebagaikelemahan di dunia kefilsafatan pernahdiformulasikan oleh Alston, yaitu:

    danSifat berarti samar, artinya,simbol-simbol bahasa itu pada dasarnyamasih bersifat samar dan abstrak. Dengankata lain keberadaan-nya sering tidakmampu mewakili sebuah realitas secarajelas. Kejelasan acuannya baru dapatmun cu l ke t ika o r ang lang sungdihadapkan pada realitasnya. Misalnyajika kita menjabarkan tentang parahnyakekeringan di wilayah Trenggalek, simbolyang kita gunakan untuk mewakili realitasitu cenderung kurang mampu secara jelasdalam menggambarkan kondisi riilnya.Kata-kata yang kita pilih guna melukiskankondisi kekeringan itu mungkin hanyadapat menyiratkan kondisi kurang-lebihnya. Sedangkan yang paling tepatdan benar hanyalah realitasnya. Hal itupula yang me-nyebabkan bahasa seringdikatakan memiliki sifat .

    Sifat ini ditekankanpada anggapan mengenai kemampuanperujukan simbol-simbol bahasa denganrealitas yang diacunya itu hanya bersifatimplisit saja. Dengan kata lain bahasakurang dapat secara eksplisit dan tepatd a l a m m e w a k i l i r e a l i t a s y a n gdibicarakannya. Misalnya ketika kitamengambarkan adanya sebuah kejadiankecelakaan antara sepeda motor danbecak, dengan konstruksi simbol bahasaBecaknya hancur!. Maka kata hancur

    logical positivism, logicalempirism, scientific empirism

    vagueness, inexplicitness, ambiguity,context-dependence, misleadingness.

    vagueness

    inexplicitnessinexplicitness

    4

    MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1

    Januari-Juni 2007: 1 - 74

  • ini mungkin tidak akan dapat sama dantepat dalam menggambarkan ataumewakili kondisi riil becak yangtertabrak sepeda motor itu.

    Sifat ketiga, berkaitandengan ciri ketaksaan makna dari suatubentuk kebahasaan (Aminuddin, 1988:19). Setiap konstruksi simbol bahasahampir selalu memiliki potensi untukmengacu pada lebih dari satu referensiatau realitas. Konsep kendaraanmisalnya, bisa mengacu pada motor,mobil, andong, dan lain-lain. Demikianjuga kata naik dapat mengacu padamenggunakan kendaraan, gerak daribawah ke atas pada konteks pemakaiannaik pohon, dari jenjang rendah keyang lebih tinggi pada konteks pemakaiannaik kelas, mendaki pada naikgunung, dan lain-lain. Acuan dari suatukonsep simbol bahasa baru benar-benardapat d imaknai ke t ika kontekspemakaian-nya jelas. Maka sifatselanjutnya, yaitudianggap sebagai sisi kelemahan daribahasa juga.

    Sifat dapatdimaknai sebagai sifat ketergantunganbahasa terhadap berbagai setting konteks,baik itu gramatikal, situasional, sosial,dan setting konteks komunikasinya.Simbol bunga baru dapat bermaknaketika konteks pemakaiannya telah jelas.Pada kon-teks gramatikal Bunga desa itukini telah tidak secantik dulu lagi, bungaberarti gadis, namun pada konteks yanglain juga akan bermakna lain pula.

    Sifat kelemahan bahasa selanjut-nyaadalah . Hal ini berkaitandengan po tens i kesa lahan a t auketidaktepatan penafsiran simbol bahasadalam mengacu pada realitas yang

    diwakilinya. Pada realitas pemakaianbahasa, potensi kesalahan penafsiran inimungkin dapat terjadi pada tingkat

    (penyusunan pesan) maupuntingkat (penerimaan pesan).Misalnya, Istri profesor yang baru itusangat cantik. Potensi makna daripenafsiran per-nyataan tersebut dapatmuncul sebagai, pertama, yang baru itukeprofesorannya, kedua, yang baru adalahistri cantiknya.

    Bagi bidang filsafat, sifat-sifatseperti yang telah dirumuskan Alston diatas jelas- jelas merupakan sifatkelemahan yang kontradiktif dengankarakteristik metode berpikir ilmiahdalam dunia kefilsafatan. Sebagaimanayang diungkapkan Sudarsono (1993: 165),Logika berpikir dalam filsafat memilikiobjek material cara berpikir itu sendiri,sedangkan objek formalnya adalahberpikir benar dan tetap. Di setiapaktivitas berpikir haruslah ditunjukkandalam logika wawasan berpikir yang tepatatau ketepatan pemikiran, yang padapenggarisan logika lebih dikenal denganistilah berpikir logis. Dengan demikian,kalau kita melihat berbagai ciri sifatbahasa di atas, jelas-jelas acuan daripemakaian simbol bahasa itu seringkalitidak dapat tepat dalam mengacurealitasnya. Sedangkan ketepatan dankebenaran jelas-jelas sangat dituntut danmenjadi syarat mutlak pada modelberpikir logis dalam filsafat.

    Kond is i yang demik ian i tumerupakan contoh dari kontradiksi yangterjadi antara kelogisan berpikir dalamfilsafat dengan bahasa sebagai alat ataukendaraan dalam rangka berpikir. Jelassekali bahwa bahasa memiliki tingkatfleksibilitas yang tinggi dalam hal sering

    ambiguity

    context-dependence

    context-dependence

    misleadingness

    encodingdecoding

    5

    Kontradiksi Logika Filsafat dengan Logika Simbolisasi Bahasa

  • berubah dan sering tidak tepat dalammengacu realitas. Persoalannya, justrutingkat fleksibilitas yang tinggi ini akandimaknai dengan bahasa logikakefilsafatan menjadi tidak konsisten,ambigu, bahkan tidak memiliki ketepatandan ketetapan dalam merujuk dunia luar.Sehingga wajar jika kemudian munculpernyataan dari beberapa kalanganpemikir/filosof bahwa bahasa seringkalitidak konsisten. Padahal konsistensi inisangatlah disyaratkan dan menjadi ciriutama dalam setiap pemikiran filsafat.

    Akhirnya persoalan bahasa memangbenar-benar menjadi objek kajian seriusbagi filosof-filosof modern. Dengan ciri,sifat, dan karakteristik unik dari bahasa,seringkali perenungan terhadapnyamengalami jalan buntu atau seringkalibelum selesai sampai tuntas. Senadadengan kondisi ini Wittgenstein (dalamSuriasumantri, 2001: 187) pernahmenyatakan, bahwa kekacauan dalamfilsafat antara lain disebabkan banyaknyapernyataan dan pertanyaan filosof yangtimbul dari kegagalan mereka dalammenguasai logika bahasa. Wittgensteinpernah menawarkan dengan apa yangdisebutnya sebagai metode netral dalammelihat bahasa. Dalam kajian bahasajangan lagi dilihat kaitan antara bahasadengan acuan dunia nyata, tetapi haruslebih ditekankan pada bagaimana bahasadapat direalisasikan penggunaannya.Meskipun dalam hal itu justru berdampakpada mun-culnya kekacauan dankekeliruan logis jika dikaitkan denganlogika pada umumnya. Bagi Wittgensteintidak penting benar salahnya acuanataupun ucapan dalam berbahasa. Yanglebih penting adalah bahwa dibalikrealisasi bahasa tersebut terdapat maksud

    dan makna yang dapat diterimapemakaiannya.

    Kontradiksi lain antara bahasadengan ciri pemikiran filsafat adalahpada persoalan universalitas. Ciri utamadari pemikiran filsafat adalah hasil-hasilpemikirannya akan men-capai padatingkat kebenaran yang universal, yaitukebenaran yang bersifat umum dan tidakterbatas oleh ruang maupun waktu.Kebenarannya akan berlaku untuk kapandan di mana saja (Sudarsono, 1993: 102-103). Kalau kita menengok pada bahasa,rupa-rupanya bahasa dengan segala latarbelakang penciptaannya hingga pada pe-makaiannya secara praktis, tidak terdesainseperti itu. Kita tentunya sudah seringmenemukan bukti adanya teori-teori yangdiciptakan dalam rangka perenunganterhadap suatu bahasa yang ternyatamemang sering tidak dapat diberlakukanuntuk bahasa-bahasa lainnya. MisalnyaHukum Grim yang terkenal juga hanyadapat diberlakukan untuk sebagianbahasa-bahasa Proto Indo-Jerman saja. Disisi lain, sistem alfabet latin yang sangatluar biasa dalam mewakili bunyi bahasa-bahasa dunia, ternyatajuga masih terdapat kekurangan di sana-sini ketika diterapkan untuk bahasa-bahasa lain di berbagai belahan dunia.

    Kondisi itu membuktikan bahwabahasa dengan berbagai realitas danpersoalannya telah gagal dalammenyamai hukum universalitas dalamlogika pemikiran filsafat pada umumnya.J i k a p e m i k i r a n l o g i s f i l s a f a tmenghasilkan pernyataan: Semuamanusia dilahirkan dan akan mati. EmanSuherman adalah manusia. Maka EmanSuherman pasti dilahirkan dan nanti pastiakan mati juga. Sedangkan dalam bahasa,

    major language

    6

    MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1

    Januari-Juni 2007: 1 - 74

  • pemunculan dan pemakaiannya sangatditentukan oleh keberagaman latarb e l a k a n g d a n s e t t i n g k o n t e k skemasyarakatan yang seringkali berbedaantara satu dengan yang lain.

    Sebagai kesimpulan penulis inginmenegaskan bahwa dalam mengacu dunialuar, antara logika simbolisasi bahasadengan logika dunia kefilsafatan memangmemiliki sisi perbedaan. Sisi perbedaanini muncul karena antara keduanyaberangkat dari visi dan fungsi yangberbeda. Logika filsafat menekankanpada aspek kelogisan berpikir, dalam halini memuat ketepatan, kebenaran,konsistensi, serta keuniversalan fenomenapada setiap objek kajian berpikir.Sedangkan dalam logika bahasa lebihbanyak ditekankan pada sisi pragmatik,aspek fungsional, serta aspek komunikatifdalam pemakaian riil berbahasa. Hal itujelas-jelas merupakan dua aspek yangj a u h b e r b e d a l a t a r b e l a k a n gkeberangkatannya.

    M e l i h a t k e n y a t a a n a d a n y aketimpangan antara sistem logikapemikiran filsafat dengan kenyataanfleksibilitas cara kerja bahasa hendaknyadilihat bukan dari kacamata kelemahanatau kekurangannya. Namun harusdisadari bahwa masing-masing padahakikatnya terlahir dan diciptakan untuktujuan berbeda. Sudah menjadi ciri daripola kelogisan berpikir filsafat bahwakebenaran, ketepatan, ketetapan, danuniversalitas merupakan syarat yangselalu dipegang teguh. Sedangkan bahasatercipta dan dipakai semata-mata bukanhanya untuk mengejar acuan kebenaran,ketepatan, ketetapan, dan selain itumasing-masing bahasa juga hidup dalam

    sistemnya sendiri-sendiri.Fungsi dan peran bahasa bersifat

    multidimensional. Dalam praktikpemakaiannya, misalnya selain memilikifungsi simbolik, bahasa juga memilikifungsi afektif dan emotif. Namun banyakj u g a y a n g b e r p e n d a p a t b a h w akeberagaman fungsi dan fleksibilitaskarakter dan peran yang dimiliki simbolbahasa itu justru menjadi kelebihan daribahasa itu sendiri.

    Sampai kapan pun filsafat tidak akanpernah dapat menghindar dari realitasbahwa bahasa akan tetap menjadi mitraatau kendaraannya. Adanya kontradiksiyang disebabkan oleh sifat-sifat bahasaseperti yang telah diuraikan tidakmungkin dapat mengubah kenyataanbahwa kalau hendak berfilsafat juga harusberbahasa. Mungkin sebagai jalantengahnya adalah ket ika meng-komunikasikan suatu pemikiran filsafat,sedapat mungkin menghindari pemakaiansimbol-simbol bahasa yang dapatmenimbulkan aspek emotif.

    Alston, P. William. 1964., London: Prentice-Hall.

    Aminuddin. 1988.Bandung:

    CV Sinar Baru Offset.

    Bawengan, G.W. 1990.. Jakarta: Rineka

    Cipta.

    Bolinger, Dwight L., & Sears, A. Donald.1981. , New

    Penutup

    DAFTAR PUSTAKA

    Philosophi ofLanguage

    Semantik PengantarStudi Tentang Makna.

    Sebuah Studitentang Filsafat

    Aspects of Language

    7

    Kontradiksi Logika Filsafat dengan Logika Simbolisasi Bahasa

  • York: Harcourt Brace Jovanovich,Inc

    Cassirer, Ernst. 1944.New Heaven: Yale UniversityPress.

    Durant, Will. 1933.. New York: Simon &

    Schuster.

    Kaplan,Abraham. 1961., New York:Alfred A.

    Knopf & Random House Inc.

    Sudarsono. 1993.. Jakarta: PT Rineka

    Cipta

    Suriasumantri, Jujun S. 2001.,

    Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

    An Essay on Man.

    The Story ofPhilosophy

    The NewWorld ofPhilosophy

    Ilmu Filsafat SuatuPengantar

    FilsafatIlmu Sebuah Pengantar Populer

    8

    MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1

    Januari-Juni 2007: 1 - 74

  • PendahuluanPemikiran tentang sosialisme

    religius bukan barang baru dan asing.Wacana pemikiran tentang sosialismereligius dalam tradisi agama besar duniadapat dirunut ratusan tahun lampau.Dalam konteks Indonesia, antara lainpernah dikemukakan oleh Haji Misbachyang meramu Islam dan marxisme sertaH.O.S Cokroaminoto yang telahmeletakkan dasar sosialisme religiusdalam nya: Islam danSosialisme (Dahlan, 2000: xix). Padazaman pergerakan nasional, para pe-mimpin Indonesia banyak yang meng-adopsi pemikiran tersebut sepertiSoekarno, M. Hatta, Sutan Syahrir,Syafruddin Prawiranegara, dan lain-lain.Bung Hatta menyatakan sosialismereligius pertama kali pada pidatonya dibukit tinggi tahun 1932, kemudian olehBung Karno dan juga Soeharto dalampidato pada Dies Natalis UniversitasIndonesia tahun 1975 (Swasono, 1987:138).

    Pemikiran Bung Hatta tentangsosialisme religius tidak dapat dilepaskan

    dari peran dirinya sebagai tokoh yangmengalami langsung jaman pergerakannasional menuju Indonesia merdeka yangpenuh lika-liku. Cita-cita sosialisme lahirdari pergerakan kebangsaan Indonesia,dalam per-gerakan yang menujukebebasan dari penghinaan diri danpenjajahan (Hatta, 1967: 13). Selain itucita-cita tersebut tertangkap pula oleh jiwaIslam, yang menghendaki pelaksanaanperintah Allah Yang Pengasih danPenyayang serta Adil dalam dunia yangtidak sempurna, supaya manusia hidupdalam sayang-menyayangi dan dalamsuasana persaudaraan dengan tolongmenolong (Hatta, 1967: 13).

    Pemikiran Hatta tentang sosialismereligius berhubungan dengan pemikiran-pemikiran lainnya yang memang sangatluas, tidak cukup ratusan halaman untukmengungkapkan sepenuhnya diri BungHatta dengan ide-idenya membangunbangsa dan negara ini (Swasono, 1995:94). Sosialisme bukanlah semata-matapersoalan ekonomi, akan tetapi jugamempunyai bidang sosial dan kultur yangluas. Ia meliputi seluruh hidup manusia,

    magnus opus-

    ETIKA SOSIALISME RELIGIUS BUNG HATTAMade Pramono*)

    AbstrakHattas ideas about religious socialism is an entry point to his other ideas such as ineconomic, cooperation, politic, democracy, an Pancasila. This paper discusses the ideasfrom the perspective of ethical values. the discussion is initiated by looking at the basicelements of the ideas itself that is religious imperative, rebellious characteristic ofIndonesian people, and indigenous to Indonesian values. those three factors are analyzedand it shows that those ethical values inherit the previous athical values. the relevance ofBung Hattas idea and the recent context becomes an important final stage in this paper,using critical evaluation, refer to further construction of the ideas.

    Keyword: Hatta, ethic, religious socialism

    * )Pengajar Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Keolahragaan, email: [email protected]

    9

  • memberikan kepercayaan kepadamanusia, bahwa hidup dalam dunia fanaini diliputi kebahagiaan. Tetapi ekonomiadalah dasarnya, sebab masyarakat yangtidak mem-punyai dasar ekonomi yangkuat, tidak sanggup melaksanakanpendidikan yang sempurna danperbaikan sosial serta tidak sanggupmenikmati kebudayaan (Hatta, 1967: 27).Atas dasar kesengsaraan dan kemiskinanhidup rakyat Indonesia, maka dasarperekonomian rakyat mestilah usahabersama dikerjakan secara kekeluargaan.Yang dimaksud usaha bersamaberdasarkan kekeluargaan ialah koperasi(Abdulmanap, 1987: 66).

    Sosialisme menghendaki suatu per-gaulan hidup, di mana tidak ada lagipenindasan dan penghisapan, dimanatiap-tiap orang dijamin kemakmurannya,kepastian penghidupannya sertaperkembangan kepribadiannya (Hatta,1967: 12). Sosialisme yang mempunyaidasar-dasar peri-kemanusiaan dankeadilan sosial yang seperti itulah yangdapat menjadi akar demokrasi Indonesia.Demokrasi barat bersumber dari revolusiPerancis hanya membawa kepadapersamaan politik. Dalam perekonomiantetap berlaku dasar tidak sama, hal itudikarenakan berkobarnya semangat in-dividualisme yang menumbuhkankapitalisme. Maka menurut Hattademokrasi politik saja tidak cukup, disebelahnya harus ada demokrasiekonomi (Hat ta, 1967: 22-23).Demokrasi bukan hanya persamaandalam politik, tetapi demokrasi adalahsesuatu yang harus, dan kadang-kadangmesti, me-nyinggung kehidupan rakyatsehari-hari dalam segala hal (Hatta,1957: 51). Demokrasi yang sesuai cita-

    cita demokrasi Indonesia itu ialahdemokrasi sosial (Hatta, 1966: 24).

    Menurut Bung Hatta dalam(1966) cita-cita demokrasi

    sosial itulah dasar bagi pembentukanNegara Republik Indonesia yang merdeka,bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Cita-cita tersebut dituangkan di dalamPembukaan Undang-Undang Dasar 1945.Terdapat tiga pernyataan penting dalampembukaan tersebut yaitu pertama,pernyataan dasar politik dan cita-citabangsa Indonesia; kedua, pernyataantentang berhasilnya tuntutan politik bangsaIndonesia, dengan kurnia Allah; dan ketiga,pernyataan tentang Pancasila sebagaifilsafat atau ideologi negara (Hatta, 1966:29-30).

    Berangkat dari beberapa hal di atas,dapat dinyatakan bahwa pemikiran BungHatta tentang Sosialisme Religius ber-hubungan dengan pemikiran-pemikiranpokok Bung Hatta yang lain sepertikonsepsi ekonomi, koperasi, demokrasi,politik, sampai dengan dasar negarapancasila. Dengan adanya hubungan-hubungan tersebut, maka pemikiranSosialisme Religius dapat menjadi salahsatu titik masuk untuk dapat melihat pe-mikiran-pemikiran Bung Hatta lainnya.Itulah salah satu alasan untuk menulistentang pemikiran Sosialisme ReligiusBung Hatta ter-utama dari nilai-nilai etisyang terkandung di dalamnya.

    Menurut Bung Hatta sosialismeIndonesia timbul dari tiga faktor,singkatnya sebagai berikut:

    Sosialisme Indonesia timbulkarena . Karena adanya etikagama yang menghendaki adanya rasapersaudaraan dan tolong menolong antara

    FilsafatNegara Kita

    Pertama,suruhan agama

    Sosialisme Religius

    10

    MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1

    Januari-Juni 2007: 1 - 74

  • sesama manusia dalam pergaulan hidup,orang mendorong ke sosialisme.Melaksana-kan bayangan kerajaan Allahdi atas dunia adalah tujuannya.

    Sosialisme Indonesia me-rupakan ekspresi daripada iwa berontakbangsa Indonesia yang memperolehperlakuan yang sangat tidak adil dari sipenjajah. Sosialisme Indonesia lahirdalam pergerakan menuju kebebasan daripenghinaan dan dari penjajahan.

    Sosialisme Indonesia adalahsosialisme yang mencari sumber-sumbernya dalam masyarakat sendiri,karena tidak dapat menerima pandanganberdasarkan materialisme. Sosialismeadalah suatu tuntutan jiwa, kemauanhendak mendirikan suatu masyarakatyang adil dan makmur, bebas dari segalatindasan. Sosialisme dipahamkan sebagaituntutan institusional, yang bersumberdalam lubuk hat i yang nurani ,berdasarkan perikemanusiaan dankeadilan sosial (Swasono, 1987: 138-139,Swasono, 1995: 84-85, Hatta, 1967:1-29)

    Di atas tiga faktor itulah dibangunpemikiran Bung Hatta tentang SosialismeReligius. Dengan menganalisa ke tigafaktor tersebut akan didapatkan nilai-nilaietis yang terkandung dalam pemikiran itu.

    Sosialisme Indonesia muncul darinilai-nilai agama (Islam) yang terlepasdari marxisme. Artinya, yang adahanyalah perjumpaan cita-cita sosial-demokrasi barat dengan sosialisme-religius (Islam), di mana marxismesebagai pandangan hidup materialismetetap ditolak. Sosialisme memang tidakharus merupakan marxisme, tidak harusdiartikan sebagai hukum dialek-tika,

    tetapi sebagai tuntunan hati nurani,sebagai pergaulan hidup yang menjaminkemakmuran bagi segala orang,memberikan kesejahteraan yang merata,bebas dari segala tindasan (Swasono,1987: 139). Jadi sosialisme bagi BungHatta sudah me-ngandung nilai etik,karena setiap keputusan (moral) memangharus diambil sesuai dengan suara batin,w a l a u p u n h a r u s t e r u s - m e n e r u sdisesuaikan dengan apa yang objektifbetul, dan oleh karena itu wajibmemperhatikan semua argumen, unsur-u n s u r , i n f o r m a s i - i n f o r m a s i ,pertimbangan-pertimbangan dan lain-lainyang didapat (Suseno, 1975: 33).

    Karena sosialisme Indonesia mun-cul dari nilai-nilai agama, maka BungHatta mendasarkannya pada nilai-nilaietik agama, terutama agama Islam. Sendipandangan hidup Islam adalah bahwabumi dan alam sekitarnya bukanlahkepunyaan manusia , mela in-kankepunyaan Allah, Tuhan seru sekalianalam. Tuhan yang menjadikan alam danbumi tempat kediaman manusia.Kedudukan manusia di atas bumi tidaklain melainkan sebagai jurukuasa, yangbertanggung jawab atas keselamatannyadan generasi penerusnya. Sebab itukewajiban manusia yang mendiami bumiAllah ini ialah memelihara sebaik-baiknya dan me-ninggalkannya kepadaangkatan kemudian dalam keadaan lebihbaik dari yang diterimanya dariangkatan yang terdahulu dari dia (Hatta,1957, 27-28).

    Dari pandangan di atas maka dapatdilihat beberapa hal, antara lain: ,bahwa bukan hanya alam dan bumi,bahkan manus ia sendi r i adalahmerupakan ciptaanAllah. Sebagai ciptaan

    Kedua,j

    Ketiga,

    pertama

    Suruhan Agama

    Etika Sosialisme Religius Bung Hatta

    11

  • Allah maka manusia mencerminkanadanya kualitas Tuhani dalam dirimanusia (Hasan, 1987: 163). Implikasietis (normatif) nya adalah bahwamenghormati martabat manusia berartimenghormati ke-mahadaulatan Tuhan.Dan sebalik-nya, tidak mungkinmenghormat i Tuhan ka lau ki tamemperkosa martabat manusia (Suseno,2000: 15). Menurut Frans Magnis Suseno,hormat terhadap manusia berarti:mengakui kedudukannya yang sama,tidak memperlakukannya sebagai objekperencanaan, berorientasi pada harapan-harapannya, tidak pernah mengorbankanpihak yang satu demi keuntungan pihakyang lain, tidak membeli kemajuandengan menyengsarakan yang lain.Sedangkan bagi Hatta, melaksanakanperbuatan baik (terhadap manusia lain) didunia fana adalah sebuah pujian yangdipanjatkan kepada-Nya. Karena kalautidak: apalah artinya pujian yangsebanyak itu dipanjatkan ke hadiratAllah?Tuhan tidak kekurangan apapun juga,tidak kurang besar dan tidak kuranghormat. Ia adalah Dzat yang lengkapdengan segala rupa (Hatta, 1957: 22).Akhirnya Bung Hatta (1957: 18)mengutip salah satu ayat Al Quran: ......

    Untuk dapat memeliharasebaik-baiknya dan meninggalkan kepadaangkatan kemudian dalam keadaan lebihbaik, maka manusia dianugerahkan akalbudi oleh Tuhan. Dengan akal manusiabisa menciptakan ilmu yang bisa

    digunakan untuk memelihara danmengelola alam ini, juga dengan akal,manusia dapat berpikir bahwa apa yangtelah dia perbuat sekarang adalah bukanhanya untuk kepentingannya sekarang,tetapi juga demi kepentingan generasimendatang yang tentu tujuan akhirnyaadalah melestarikan peradaban manusia.Implikasi etisnya (normatif) adalahbahwa manusia selalu harus diperlakukansebagai tujuan pada dirinya sendiri, iatidak pernah boleh digunakan sebagaisarana untuk tujuan lebih lanjut, manusiatidak boleh dibiarkan, apalagi disebabkan,menderita apabila dapat dicegah.Penderitaan seseorang tak pernah bolehmenjadi sarana bagi masyarakat ataunegara untuk memperoleh suatukeuntungan (Suseno, 2000: 17-18). Ilmuadalah alat; tujuan ialah kemakmuranjasmani dan rohani ! Negara bukan tujuantersendiri, melainkan alat untuk mencapaik e b a h a g i a a n , p e r d a m a i a n d a nkemerdekaan bagi rakyat. Bukan rakyatuntuk negara, melainkan sebaiknyanegara untuk rakyat (Hatta, 1957, 27).

    Kemudian seperti dikatakan BungHatta, etik Islam yang mengandung

    dan benar karenaberasal dari Tuhan dan manusia adalahkhalifahnya di dunia, serta adil karenamanusia diper-lakukan sama dan sederajatsebagai tujuan pada dirinya harusmemerlu-kan untuk bertindakdan memperjuangkannya di atas bumi ini,keberanian menghadapi berbagaikesulitan, keberanian menderita danberkurban untuk kemenangan cita-cita(Hatta, 1957: 19). Etika adalah bagaimanaia harus bertindak (Suseno, 1975: 13).Maka tugas seorang muslim adalahmencapai masyarakat, yang menjamin

    dan berbuat kebajikanlah (kepada oranglain) sebagai Tuhanpun berbuatkebajikan kepadamu, dan janganlahberusaha menimbulkan kebinasaan dimuka bumi; Tuhan tidak menyukai orang-orang yang berbuat kebinasaan.

    Kedua,

    kebenaran keadilan

    keberanian

    12

    MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1

    Januari-Juni 2007: 1 - 74

  • kebahagiaan dan keselamatan hidup bagisegala orang (Hatta, 1957: 21).

    Jiwa pemberontak itu berasal dariperlakuan tidak adil dari penjajah.Sosial isme Indonesia lahir daripergerakan menuju kebebasan daripenghinaan dan penjajahan (Swasono,1987: 139). Penjajahan bersifat tidak adilkarena memperlakukan secara sewenang-wenang rakyat dari negara yang dijajah,menindas, menghisap sumber dayajajahan atau seperti yang dikatakan BungHatta (1957: 54), struktur ekonomi negarajajahan ditujukan untuk keuntungan kaumpenjajah, bukan kaum jajahan,ekonomi kaum yang dijajah dibatasisampai pada saluran-saluran yangmenguntungkan kaum penjajah. Makabangsa Indonesia berontak dengankondisi ini dan menuntut keadilan, karenakeadilan adalah suatu norma dasar moralyang mengandung kewajiban untukmemberikan perlakuan yang sama kepadasemua orang demi mencapai kebahagiaanmanusia (Suseno, 1975: 105).

    Selain tidak adil, penjajahan jugabertentangan dengan perikemanusiaan,yaitu kondisi dasar manusia, kebebasan.Pen ja jahan bers i f a t mengekangkebebasan rakyat negara jajahan,m e m b a t a s i d a n b a h k a nmenghancurkannya. Seseorang disebutb e b a s a p a b i l a k e m u n g k i n a n -kemungkinan untuk bertindak tidakdibatasi oleh sesuatu paksaan dari atauketerikatan kepada orang lain. Itulah titiktolak etika dari paham kebebasan, bebasdari paksaan (Suseno, 1975: 44). MenurutK. Bertens (1993: 94-95) kebebasandibedakan dua, yaitu: , kebebasansosial-politik yang subjeknya bangsa

    atau rakyat; , kebebasan individual yang subjeknya manusia perorangan.Salah satu bentuk kebebasan sosial-pol i t ik i tu adalah suatu prosesdekolonisasi yang biasanya kita sebutkemerdekaan. Ide di belakang proses inibersifat etis, suatu ke-yakinan bahwa

    suatu bangsa dijajah olehbangsa lain dan karena itu situasikolonialisme terjadilagi, sistem kolonialisme ditolak secaraumum sebagai tidak etis (Bertens, 1993:98). Alasan etis itulah yang memunculkantekad kuat bangsa Indonesia untukmenyatakan kemerdekaannya: B

    .Pengalaman dengan pemerintahan

    autokrasi kolonial dalam bentuk negara-polisi menghidupkan dalam kalbupemimpin dan rakyat Indonesia cita-citanegara hukum yang demokratis. Negaraitu haruslah berbentuk republikberdasarkan kedaulatan rakyat (Hatta,1966: 22). Dalam karya

    tahun 1932, BungHatta mengatakan bahwa arti kedaulatanrakyat adalah tidak adanya lagi orangseorang atau kumpulan orang pandai atausa tu golongan keci l sa j a yangmemutuskan nasib rakyat dan bangsa,melainkan Pendek katarakyat itu alias raja atas dirinya.Karena rakyat itu badan dan jiwa bangsa,rakyat itulah ukuran tinggi rendah derajatkita. Dengan rakyat kita akan naik dandengan rakyat kita akan turun. Kebebasanrakyat tidak boleh lagi dirampas olehdiktator siapa pun juga. Kedaulatan

    Jiwa Pemberontak Bangsa Indonesia

    aktivitet

    pertama

    kedua

    tidaklah pantas

    tidak pernah boleh

    ahwasesungguhnya kemerdekaan itu ialah haksegala bangsa dan oleh sebab itu, makapenjajahan di atas dunia harusdihapuskan, karena tidak sesuai denganperikemanusiaan dan perikeadilan

    Ke ArahIndonesia Merdeka

    rakyat sendiri.daulat

    harus

    13

    Etika Sosialisme Religius Bung Hatta

  • 14

    tetap di tangan rakyat danberada pada instansi lain. Itulah suatutuntutan etis (Bertens, 1993: 97).Kedaulatan rakyat inilah dasar demokrasi,demokrasi adalah pe-merintahan rakyat,yaitu rakyat memerintah diri sendiri(Hatta, 1995: 168). Dalam demokrasi,kemerdekaan pribadi warganegara mestidijamin, karena kemerdekaan pribadiadalah urat tunggang demokrasi, akantetapi kemerdekaan pribadi itu berada didalam lingkungan tanggung jawabbersama atas nama bangsa, negara,pemerintah dan kemakmuran rakyat(Hatta, 1957: 58). Maka dari itupemerintahan rakyat harus membawakeadilan dan kesejahteraan bagi orang-orang, karena kalau tidak akan lahirtenaga dan aliran yang menentang, yangmembawa robohnya. Pendapat itu sejalandengan pendapat yang dikemukakanTeichman (1998: 28) bahwa ketika orangmulai merasa bahwa hukum-hukum yangdibuat oleh pemerintah tidak adil ataupelaksanaannya menyeleweng atau secaraumum membuat kehidupan bukannyalebih baik, melainkan justru lebih buruk,maka gagasan tentang hak kodrati akantampak atau tampak kembali. Yangdimaksudkan oleh Teichman adalahbahwa ada hak-hak kodrati yangfundamental dan bersifat universal,sesuatu yang dimiliki oleh semua manusia.Sesuatu yang dimiliki oleh semuamanusia semata-mata karena ia manusiaadalah premis dasar yang diperlukanuntuk menjamin legitimasi dan kewajaranhukum dan pemer in t ahan . Jad ikemerdekaan pribadi adalah merupakanhak-hak kodrati yang universal. Hak-hakitu antara lain hak untuk hidup, hak untukkebebasan, hak milik, hak untuk mencapai

    kebahagiaan, hak untuk merasa aman, hakuntuk melawan penindasan. Suatupendasaran etis haruslah sesuai dengankondisi manusia, harus bersi fatmanusiawi, tidak boleh memperlakukanfungsi-fungsi sosial yang salah, yangdihasilkan dari situasi perang, kemiskinanekstrem dan kolonisasi yang brutalsebagai standar untuk ditiru (Teichman,1998: 6).

    begitulahkira-kira seruan yang selalu diulang olehBung Hatta.

    Karena marxisme yang mempunyaipandangan materialisme tidak dapatditerima, maka ia harus dicari di dalammasyarakat sendiri. Selain itu juga dengand i c a r i n y a d as a r - d a s a r n y a p a d amasyarakat sendiri akan membuatsosialisme menjadi bukan sekedar utopia(Hatta, 1967: 16). Sosialisme Indonesiaadalah suatu tuntutan jiwa, kemauanhendak mendirikan suatu masyarakatyang adil dan makmur, bebas dari segalatindasan (Hatta, 1967: 15). Dasar-dasarbagi sosialisme Indonesia terdapat padamasyarakat , yang bercorak

    , yang banyak sedikitnya masihbertahan sampai sekarang (Hatta, 1967:16). Pada bagian lain Bung Hatta juga me-nyebutnya sebagai (Hatta,1995: 178). Menurut Hatta, masyarakatIndonesia asli tidak ada perpisahan tegasantara apa yang dikatakan hukum publikdan hukum prive, seperti yang lazimdibuat masyarakat Barat berdasarkanindividualisme. Hatta setuju dengan yangdikatakan Van Vollenhoven tentanghukum adat Indonesia yang menyatakan

    tidak boleh

    Kita mempunyai kewajibanterhadap peri kemanusiaan,

    desa yang aslikolektif

    desa demokrasi

    Mencari Sumber-Sumber Sosialismedalam Masyarakat Sendiri

    MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1

    Januari-Juni 2007: 1 - 74

  • bahwa hukum adat hanya dapat dipahamibi la orang memperhatikan sifa tperkauman yang kuat dalam pergaulanhidup di Jawa dan Madura, tetapi Hattamenambahkan bahwa sifat perkaumantidak saja terdapat pada hukum adat diJawa dan Madura, juga terdapat diseluruh Indonesia (Hatta, 1967: 18-19).Sifat perkauman hukum adat tersebutadalah bahwa pada pusat penghidupanhukum terletak masyarakat, orangseorang terutama dipandang sebagaianggauta masyarakat, sebagai alat yanghidup untuk melaksanakan tujuanmasyarakat (Hatta, 1967: 19). MenurutFrans Magnis Suseno (1975: 20) hukumadat seperti itu termasuk dalam norma-norma hukum, yaitu norma yangpelaksanaannya dapat dituntut dandipaksakan serta pelanggarannya ditindakdengan pasti oleh penguasa syah dalammasyarakat. Walaupun hukum adat initermasuk norma hukum tetapi biasanyaberlaku tidak berdasarkan perundang-undangan (yang positif). Cita-citaperkauman, , persekutuanhidup itulah yang merupakan cikal bakaldemokrasi asli Indonesia yang telah hidupdi desa-desa di seluruh pelosok Indonesia.

    Adapun demokrasi asli yang ada didesa-desa di Indonesia mempunyai tigasifat utama, yaitu cita-cita yang adadalam sanubari rakyat Indonesia; cita-cita

    yaitu hak rakyat untukmembantah dengan cara umum segalaperaturan negeri yang dipandang tidakadil; cita-cita ! Sanubarirakyat Indonesia penuh dengan rasabersama, (Hatta, 1995: 179-180). Pada bagian lain (Hatta, 1966: 26),disebutkan adanya lima anasir demokrasiasli itu: rapat, mufakat, gotong royong,

    hak mengadakan protes bersama, dan hakmenyingkir dari daerah kekuasaan raja.

    Anasir-anasir itu berhubungan eratdengan adat perkauman seperti telahdisebutkan diatas, sebagaimana dikatakanHatta (1966: 25-26) bahwa adat semacamitu (perkauman) itu membawa kebiasaanbermusyawarah. Segala yang mengenaikepent ingan umum dipersoalkanbersama-sama dan keputusan diambildengan kata sepakat. Kebiasaanm e n g a m b i l k e p u t u s a n d e n g a nmusyawarah dan mufakat menimbulkanistitut rapat pada rapat tertentu, dibawahpimpinan kepala desa, dan tentu sajaanasir gotong-royong atau tolong-menolong. Karena anasir-anasir tersebutberlaku berdasarkan kebiasaan-kebiasaan,maka menurut Frans Magnis Suseno(1975: 20) termasuk dalam norma sopansantun, yaitu norma yang berlakuberdasarkan suatu kebiasaan ataukonvensi atau menurut pendapatkebanyakan orang saja. Sedangkan duaanasir lainnya (hak untuk protes dan hakuntuk menyingkir) lebih dekat denganhukum adat karena cara-cara untukmelakukannya diatur oleh adat antara lainmisalnya dalam penggunaan hak protesdilakukan apabila rakyat merasakeberatan sekali atas peraturan yangdiadakan oleh pembesar daerah, makakelihatan rakyat datang banyak sekali kealun-alun di muka rumahnya dan duduk disitu beberapa lama dengan tiada berbuatapa-apa (Hatta, 1966: 26).

    Norma-norma yang telah disebutkandi atas merupakan hasil cetusanpengalaman masyarakat yang perludiperhatikan, tetapi tidak langsung bolehdiikuti dengan mutlak karena masih adanorma-norma moral yang menjadi dasar

    kolektivitet

    rapat

    massa protest,

    tolong menolong

    kolektivitet

    15

    Etika Sosialisme Religius Bung Hatta

  • penilaian kita terhadap norma-normalain yang berlaku, termasuk ketentuanpe-nguasa. Terhadap norma-normamoral, semua norma yang lain mengalah(Suseno, 1975: 20-21). Sikap kritis itukita ambil sebagai tanggung jawab moralyang menuntut agar kita terus menerusmemperbaiki apa yang ada supaya lebihadil dan supaya orang dapat hidup lebihberbahagia. Kaidah-kaidah norma moraldasar itu adalah dan

    (Suseno, 1975: 103-104).

    B i l a p e n d a p a t t e r s e b u tdihubungkan dengan pembicaraan kitatentang anasir-anasir demokrasi asliIndonesia, maka norma-norma yangterdapat dalam anasir-anasir tersebutharus dapat dikembalikan pada duakaidah norma moral dasar itu. Normadalam anasir gotong-royong atau tolong-menolong dapat dikembalikan padakaidah sikap baik dalam artian bahwakita memandang seseorang atau sesuatutidak hanya berguna bagi saya. Normadalam anasir rapat dan mufakat selainmengandung kaidah sikap baik, dalamartian kita menghormati pendapat oranglain, juga membiarkan seseorang atausesuatu berkembang demi kepenting-andia sendiri, juga mengandung kaidahkeadilan dalam arti memberikan hakyang sama kepada semua orang untukhadir dan berpendapat. Norma dalamanasir hak untuk protes dan hak untukmenyingkir dapat dikembalikan kepadakaidah norma moral dasar keadilankarena hak protes adalah untukmenyatakan bahwa bahwa mereka butuhkeadilan dari keputusan yang dibuat olehpenguasa, sedangkan dalam hak untukmenyingkir terdapat terdapat hak

    seorang untuk menentukan nasibnya sendiri(Hatta, 1966: 26).

    Proses terjadinya suatu pemikiranpada suatu masa berhubungan dengankondisi lingkungan sosial budaya padamasa ketika proses pemikiran tersebutterjadi, demikian juga dengan pemikiranBung Hatta. Perubahan kondisi lingkungansosial budaya tentunya telah terjadi dalamrentang waktu yang panjang sampai masasekarang, yang mau tidak mau ikutberpengaruh terhadap pemikiran BungHatta, sehingga pemikiran tersebut perludiinterpretasikan kembali sejalan denganperubahan yang terjadi agar tetap aktual.

    Pe mi k i r an t en t an gsosialisme sebagai dari kapitalismememang pada jaman Bung Hatta sedangsubur, apalagi yang berbau marxis-leninisme yang waktu itu baru saja menangdi Rusia. Walaupun sosialisme yangdimaksudkan Hatta ada perbedaan darisosialisme Barat (apalagi historismaterialisme Marx), tapi seperti yangdiakui Hatta sendiri ada titik temu antarakeduanya. Mereka (Sosialisme Indonesiadan Sosialisme Barat) sama-samamengkritik kapitalisme yang menindas danmenghisap masyarakat bawah dengan caraakumulasi dan konsentrasi kapital padagolongan tertentu. Tapi kritik tersebut telahmembuat kapi ta l isme mengoreksik e l e m a h a n - k e l e m a h a n n y a d a nmemperbaikinya (antara lain dikenal lewat , Hatta tahu juga tentang itu),yang menjadikannya mampu bertahanterhadap kritik sosialisme, bahkansosialisme sendiri yang kedodoran dengansistemnya yang cenderung sentralistik(malahan sosialisme yang berhaluanmarxisme/komunisme sudah hancur

    kaidah sikap baikkaidah keadilan

    P er t a m a ,counter

    welfare state

    Relevansi Pemikiran

    16

    MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1

    Januari-Juni 2007: 1 - 74

  • berkeping-keping). Maka seruan yangberkali-kali diteriakkan Hatta bahwadalam Sosial isme, t idak adanyakemiskinan dan kemelaratan hidup terasanaif dan malah menjadi utopia (yang maudia hancurkan dengan cara mencarisumber sosialisme di bumi Indonesiasendiri). Data menunjukkan bahwa justrudi negara-negara sosialis jumlahpenduduk miskin dan melarat lebihbanyak dari negara kapitalis dan sekarangkapitalisme malahan telah mengglobalke seluruh pelosok dunia (sebuah akhirsejarah kata Fukuyama). Tapi di lain pihakteriakan itu justru mengungkapkanharapan-harapannya yang tulus yangmenunjukkan bahwa Hatta adalahseorang yang religius, yang mendasarkanpada Etik Islamnya, bahwa kemiskinan,kemelaratan, penindasan adalah tidak adilpada dirinya, manusia harus diperlakukansebagai tujuan pada dirinya sendiri, danitulah yang relevan sekarang ini, dimanakemiskinan terjadi dimana-mana (apalagidi Indonesia), penindasan (dalam bentukapapun), manusia diperlakukan layaknyabinatang (dibakar, ditembak, dipancung,dll), dan memang itu semua harus kitaperangi dan dicoba untuk dihapuskan,walaupun (mungkin) tidak melaluisosialisme (lagi)!

    Konsistensinya dalammenentang segala penindasan danpenjajahan di dunia bersumber dari nilai-nilai etis humanismenya, walaupunsekarang hampir tidak ada penjajahandalam arti konvensional (pendudukansuatu wilayah oleh negara lain). Nilai etishumanismenya terletak pada bahwa suatupenindasan atau penjajahan tidak bisadibalas dengan penindasan atau pejajahanbaru, tidak dibenarkan aksi balas

    membalas yang tidak ada akhirnya danmengajak negara-negara untuk bersama-sama menjaga perdamaian dunia,membangun kesejahtera-an dunia,menghormati kemerdekaan masing-masing negara, menghapuskan kekerasandan eksploitasi seperti dikatakannyadalam IndonesianAims dan Ideals:

    Tentunya patut diperhitungkanbahwasanya sekarang penjajahan itu lebihbersifat hegemonis, sangat halus yangdatang bersama globalisasi, tapi kalaupunarti kemerdekaan Hatta lebih cenderungdalam arti konvensional sesuai denganmasa itu, itupun tetap bernilai karena itupaling tidak menjadi kondisi dasar kitauntuk menjadi titik tolak ke arah refleksidan antisipasi tentang adanya penjajahanbentuk lain.

    Keinginannya untukmembumikan demokrasi denganmencar inya d imembuatnya sampai pada kenyataanbahwa sifat dasar kita adalah .Lepas dari benar tidaknya kenyataantersebut, pembelaannya cenderungbersifat ideologis karena dia sampai padapernyataan bahwa individu adalah alatuntuk melaksanakan tujuan masyarakat,dengan mengatakan bahwa dia telahberjuang menentang individualisme yangberkaitan dengan perlawanannyaterhadap kapitalisme (walaupun padabagian lain menyatakan bahwa manusia(individu) harus diperlakukan padadirinya; ilmu adalah alat, negara adalah

    Kedua,

    Ketiga,

    desa demokras i

    kolektivitet

    Men of all nations wanted lasting peace,prosperity for the whole world andfreedom for every country. They wantedto make it possible for all peoples to berid of evi ts of oppresion andexploitation

    17

    Etika Sosialisme Religius Bung Hatta

  • alat untuk kepentingan rakyat, yangmempunyai hak-hak individu seperti hakberserikat, berkumpul, hak menyatakanpendapat, dan lain lain). Memangperdebatan tentang apakah individu ataumasyarakat yang lebih didahulukan telahmenjadi klasik tetapi tetap relevan sampaidewasa ini, secara kongkrit hal itu bisadilihat dewasa ini, dimana kapitalismetelah meresapi setiap relung hati manusia,semangat individual terasa dominan dancenderung egoistik. Disinilah letakrelevansi pemikiran Hatta, menjadis e m a c a m s e n t a k a n d e n g a nmembalikkannya bahwa masyarakatlahyang utama. Sentakan itu merupakankritikan yang tajam dimana bila sesuatumenjadi dominan maka cenderunghegemonis, tetapi bersifat otokritik jugakarena bila masyarakat menjadi dominanmaka cenderung hegemonis juga.

    Bertens, K. , 1993, PT GramediaPustaka Utama, Jakarta.

    Frans Magnis Suseno, 1975,

    Penerbitan YayasanKanisius,Yogyakarta.

    ____________ , 2000,PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.

    Kumpulan Karangan,1995,

    LP3ES, Jakarta.

    Mohammad Hatta, 1945,Yayasan Idayu,

    Jakarta.

    ____________ , 1954,Penerbitan

    dan Balai Buku Indonesia,Jakarta.

    _____________ , 1954,Penerbitan

    dan Balai Buku Indonesia,Jakarta.

    ____________ , 1957,Tintamas, Jakarta.

    ____________ , 1957,Tintamas, Jakarta.

    ____________ , 1966,PT. PustakaAntara, Jakarta.

    ____________ , 1967,

    Djambatan, Jakarta.

    Muhidin M. Dahlan (Ed.), 2000,

    Kreasi Wacana,Yogyakarta.

    Sri Ed Swasono (Ed.), 1987,

    UI-Press, Jakarta.

    Teichman, Jenny, 1998,Pustaka Filsafat Kanisius,Yogyakarta.

    DAFTAR PUSTAKA

    Etika,

    Etika Umum:Masalah-masalah pokok filsafatmoral,

    Kuasa dan Moral,

    PemikiranPembangunan Bung Hatta,

    Indonesian Aimsand Ideals,

    KumpulanKarangan Jilid III,

    KumpulanKarangan Jilid IV,

    Demokrasi danPerdamaian,

    Islam, Ilmu danMasyarakat,

    Demokrasi Kita,

    PersoalanEkonomi Sosialis Indonesia,

    Sosialisme Religius: Suatu JalanKeempat?,

    MembangunSistem Ekonomi Nasional: SistemE kon o m i d an D emo kr as iEkonomi,

    Etika Sosial,

    18

    MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1

    Januari-Juni 2007: 1 - 74

  • PendahuluanSeiring dengan perkembangan

    media massa, khususnya koran danmajalah, cerita pendek Indonesia akhirnyamemiliki kecenderungan mengikutitradisi jurnalistik: memburu keaktualan.Tema-tema yang diangkat para penulismempunyai per-singgungan yang mesradengan peristiwa yang sedang terjadi dimasyarakat.

    Sebagai genre sastra yang banyakmendapat kapling di media massa, jugakarena iklim politik yang mencengkeram,cerita pendek Indonesia menjadi sangatakrab dengan tema-tema sosial politikdalam nuansa kritik. Dalam tahap ini,cerita pendek Indonesia merupakan

    , yakni hubunganantara karya dengan konteks sosialpenciptaan: pengaruh-pengaruh sosial

    politik atau kecenderungan budaya yangtercermin dalam suatu karya. Suatu karyasastra adalah dokumen sosial ataudokumen human tentang keadaanmasyarakat dan alam pikiran dimanasuatu karya diciptakan (Kleden, dalamKompas, 1997:126).

    Pada dekade terakhir ini (1990 2000), tema-tema cerita pendek Indonesiajuga diwarnai oleh tema-tema kritik sosialpolitik. Para penulis yang terlibat tema-tema ini diantaranya Satyagraha Hoerip,Y.B. Mangunwijaya, M. Fudoli Zaini,Hamsad Rangkuti, Moes Loindong, F.Rahardi, Yudhistira A.N.M. Massardi,Seno Gumira Ajidarma, Jujur Prananto,Bonari Nabonenar, Agus Noor, dan masihbanyak lagi. Sasaran kritis mereka adalahrezim Orde Baru dengan Soeharto sebagaititik sentralnya. Beberapa dari cerpen-

    documentary meaning

    *) Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra UNAIR telp (031) 5035676

    REPRESENTASI REAKSI-KREATIF LITERER ATAS PENGUASAORDE BARU DALAM KUMPULAN CERPEN SOEHARTO

    DALAM CERPEN INDONESIAIda Nurul Chasanah*)

    ABSTRACT

    Key words:

    The varians imaging on New Orders rezime is represented by the text structure of Soehartodalam Cerpen Indonesia (SDCI). The relation of SDCIs text structure represents thecharacteristics of Soehartos power which is run arrogantly, for the sake of personal needs.This phenomena is applied in varians policies New Order Government, which underlinesthe whole idea of the story. All seven short stories that are made as the research objectsaveragely shows the Java culture setting variously. This implies how influential Javaculture was on the New Order government.Various Soehartos imaging as a literary creative-reaction of New Orders rezime couldbe classified as (1) Soehartos image as an animal; (2) Soehartos image as afictimal character; (3) Soehartos image as a dalang; (4) Soehartos image as a characterin wayang; (5) Soehartos image as a village chief.The hegemonics relation between the people and New Orders rezime on the short storiesanthology SDCI shows a hegemony which put dominance in the front line, which meansusing coersive apparatus to up hold hegemony. By so, the representation of New Ordersrezime hegemony which puts dominance in the front line.

    Soeharto, New Orders rezime, hegemony, and literary creative-reaction

    19

  • cerpen tersebut pada akhirnya diterbitkandalam sebah kumpulan cerpen yangberjudul

    Sebagai sosok atau bahkanikon Orde Baru maka berbicarat e n t a n g S o e h a r t o b e r a r t i p u l amembicarakan tentang kekuasaan OrdeBaru yang otoriter dan menghegemonirakyat dari segala lapisan.

    Rezim otoriter Orde Baru yangditancapkan oleh Golkar-Soeharto-Mi l i t e r se lama 30 tahun lebihmengumandangkan kengerian dankeangkeran panjang di negeri ini.Kekuasaan dan simbol-simbol yangmengiringi atau sengaja mereka ciptakanpun menjadi demikian sakral, sehinggatak seorang pun boleh dan beranimenyentuhnya. Apalagi mengkritik,m en g e ca m , a t a u m en g h u j a t n y a(Massardi, dalam ,2000:90).

    Cerita pendek Indonesia, sebagaiekspresi pengarang yang hidup dalamsistem yang dibangun Soeharto, sudahsemestinya pula jika ada yang berbicaratentang Soeharto itu, baik sebagai pribadimaupun sebagai rezim dengan sistemkenegaraan yang dibangunnya. Soehartotidak lain adalah simbolisasi Orde Baru.

    merupakan kumpulan cerpen Indonesiayang mengambil tokoh Soeharto sebagaisumber inspirasinya. Tokoh utama OrdeBaru itu memang merupakan ladanginspirasi yang subur untuk dieksploitasi;beragam pencitraan sebagai reaksi-kreatifliterer atas tokoh tersebut, muncul dalamkumpulan cerpen ini.

    Kumpulan cerpen(selanjutnya disebut

    ) memuat 17 cerpen karya 13

    sastrawan Indonesia yang diedit oleh M.ShoimAnwar dan diterbitkan pertama kalio leh Yayasan Bentang Budaya.Ketujuhbelas cerpen tersebut mempunyaikesamaan indeks tentang citra ke-Soeharto-an sebagai penguasa OrdeBaru.

    Berdasar uraian di atas maka dapatdikatakan bahwa kumpulan cerpen inimengedepankan berbagai ragampencitraan kekuasaan Orde Baru,khususnya pencitraan Soeharto sebagaipenguasa Orde Baru. Pen-citraan inidiwujudkan melalui gaya dan simbolisasiyang berbeda dari masing-masingpengarang. Hasil tulisan pengarangmerupakan suatu hasil reaksi-kreatifliterer atas pembacaan mereka terhadapsosok penguasa Orde Baru. Dengandemikian karya sastra merupakan salahsatu sarana untuk merepresentasikankekuasaan melalui berbagai simbol danpencitraan.

    Berbagai reaksi-kreatif literer ataspenguasa Orde Baru yang terkumpuldalam kumpulan cerpen antara lainmengedepankan mengenai fenomenakekuasaan di Indonesia. Berbagai ragampenc i t r aan men gen a i f enomenakekuasaan di Indonesia yang ditampilkandalam kumpulan penelitian ini menarikpeneliti untuk membacanya denganmemanfaatkan teori hegemoni Gramscidan teori semiotik.

    Permasalahan yang dibahas dalampenelitian ini meliputi ragam pencitraanpenguasa Orde Baru dalam struktur teks

    , representasi reaksi-kreatif litereratas penguasa Orde Baru dalam kumpulancerpen dan makna relasi hegemoniantara rakyat dan penguasa Orde Baruyang tercermin dalam kumpulan cerpen

    Soeharto dalam CerpenIndonesia.

    Forum Keadilan

    Soeharto dalam Cerpen Indonesia

    Soeharto dalamCerpen IndonesiaSDCI

    SDCI

    SDCI

    SDCI

    20

    MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1

    Januari-Juni 2007: 1 - 74

  • SDCI

    textualresearchcontent analysis

    Pertama,Soeharto

    dalam Cerpen IndonesiaKedua,

    SDCI

    Ketiga,

    Soeharto dalam Cerpen Indonesia

    .

    Penelitian ini menggunakan karyasastra (kumpulan cerpen) sebagai objekkajian. Hal ini berarti penelitian inimerupakan model kajian tekstual (

    ) dengan memanfaatkan metodemelalui pembacaan

    sastra: heuristik dan hermeneutik. Dalamproses meraih makna pada saatpembacaan hermeneutik, penelitian inimemanfaatkan teori hegemoni dansemiotik sebagai alat menganalisis modelkekuasaan Orde Baru yang diekspresikandalam teks.

    Langkah-langkah yang dilakukandalam penelitian ini adalah:

    Menentukan objek pe-nelitian, yaitu kumpulan cerpen

    (2000);Menentukan korpus pe-nelitian,

    yaitu tujuh cerpen dari tujuh belas cerpendalam yang memuat wacanakekuasaan sebagai reaksi-kreatif litereratas penguasa Orde Baru. Ketujuh cerpentersebut adalah, Menembak Bantengkarya F. Rahardi; Paman Gober karyaSeno GumiraAjidarma; Diam karya MoesLoindong; Tembok Pak Rambo karyaTaufik Ikram Jamil; Bukan Titisan Semarkarya Bonari Nabonenar; Celeng karyaAgus Noor; Senotaphium karya AgusNoor.

    Menganalisis korpus pe-nelitian dengan memanfaatkan teorihegemoni dan teori semiotik, denganlangkah-langkah sebagai berikut;melakukan pembacaan heuristik, denganmendata kata-kata yang bersifatungramatikalitas pada kartu data.Berdasarkan pembacaan heuristik inidiharapkan dapat diketahui model-model

    kekuasaan Orde Baru yang ditampilkandalam karya sastra (kumpulan cerpen)ini; m e l a k u k a n p e m b a c a a nhermeneut ik, mencari informasimengenai kata-kata yang bersifatungramatikalitas pada data sekunder(artikel, rujukan tentang relasi hegemoniantara rakyat dan penguasa) danmelakukan analisis semiotik (memaknaisimbol-simbol yang digunakan) denganmeman-faatkan teori hegemoni dansemiotik; merumuskan makna relasihegemoni antara rakyat dan penguasaserta merumuskan fungsi sosial teks bagimasyarakat.

    Karya sastra merupakan dokumensosial atau dokumen human tentangkeadaan masyarakat dan alam pikirantempat suatu karya sastra dicipta dandilahirkan (Kleden, 1997:126). Karyasastra yang mengangkat tema-tema sosialpolitik pasti lebih banyak me-nohok parapenguasa, baik penguasa sebagai pribadimaupun sistem yang dibangunnya. Ketikapenguasa dan sistem yang dibangunnyasemakin tidak demokratis. Semakinbanyak pula karya sastra yang berusahamembebaskannya.

    merupakan kumpulan cerpen Indonesiayang mengangkat tema-tema sosialpolitik, dengan merepresentasikan tokohSoeharto sebagai penguasa (tokoh utama)Orde Baru. Tokoh utama Orde Baru inimemang merupakan ladang inspirasiyang subur untuk dieksplorasi dandieksploitasi melalui beragam pencitraansebagai hasil reaksi kreatif literer ataspenguasa Orde Baru tersebut.

    Metode

    Pembahasan

    Representasi Reaksi-Kreatif Literer ...

    21

  • Ragam Pencitraan Penguasa OrdeBaru dalam Struktur Teks SDCI

    Ragam pencitraan penguasa OrdeBaru direpresentasikan melalui strukturteks Struktur karya sastra padahakikatnya tidak dapat dipisahkan dariunsur luar karya sastra atau dunia nyata,maka beragam pencitraan sebagai hasilreaksi kreatif literer atas penguasa OrdeBaru dalam kumpulan cerpendirepresentasikan melalui struktur teks

    yang meliputi (kulit muka)buku, judul, tokoh, latar dan alur.

    Representasi reaksi kreatif litereratas penguasa Orde Baru dihadirkanmelalui cover Soeharto berbusana RajaJawa lengkap dengan atributnya pluslambang garuda sebagai ikon Indonesia.Atribut tersebut antara lain adalah hiasansumping makara di telinga, kulukkanigara (tutup kepala yang menyerupaibentuk kaleng), celana cindhe, bajuberupa sikepan bludiran, kalung beruparantai yang dikaitkan pada baju, rantaiarloji. Beberapa atribut yang dikenakantersebut seperti atribut yang biasadikenakan oleh raja Jawa.

    Sehubungan dengan hal in iCondronegoro (1995) mengemukakanbahwa salah satu atribut yang dipakai rajaadalah hiasan sumping mangkara ditelinga. Hiasan ini hanya dikenakan bagiraja dan putra mahkota. Selain itu,pakaian raja terdiri dari ,

    (tutup ke-pala),(baju), rantai yang dikalungkan

    di leher, dan karset (rantai arloji).Segala atribut yang dikenakan oleh

    tokoh yang berwajah Soeharto dalamcover kumpulan cerpen ini merupakansimbol. Dengan demikian coverkumpulan cerpen yang memuatgambar Soeharto berpakaian raja Jawa

    dengan segala atributnya plus lambangburung Garuda merupa-kan salah saturepresentasi tentang Soeharto sebagaitokoh penguasa Orde Baru yangmenjalankan kekuasaannya di Indonesiadengan model kekuasaan seorang rajaJawa.

    Konsep kekuasaan yang dipegangoleh raja-raja Jawa bersifat absolut(mutlak) yang biasa dikenal dengandoktrin Dalambahasa pe-dalangan kekuasaan demikiandisebut

    (sebesar kekuasaan dewa,pemelihara hukum dan penguasa duia)dank arena itu raja dikatakan

    (memegangkekuasaan tertinggi di seluruh negeri)(Moedjanto, 1987:123).

    Judul kumpulan yang secaraeksplisit menyebutkan nama Soehartojuga mengacu pada satu sosok pe-nguasaOrde Baru sebagai bahasan sentralkumpulan cerpen ini. Masing-masingcerpen mempunyai alur yang koherendengan peristiwa yang terjadi pada masaOrde Baru.

    Ketujuh cerpen yang dijadikan objekpenelitian ini rata-rata menggambarkanlatar budaya Jawa secara variatif. Hal inimengimplikasikan besarnya pengaruhbudaya Jawa pada pemerintahan OrdeBaru. Latar yang dihadirkan baik berupalatar tempat ataupun waktu berlakusebagai penanda terhadap latar Indonesia(khususnya masa pemerintahan OrdeBaru). Penokohan atas penguasa OrdeBaru dicitrakan sangat variatif denganpenekanan karakter yang berbeda-beda.

    Relasi struktur teks me-representasikan karakteristik kekuasaanSoeharto yang dijalankan secara semena-mena demi kepentingan pribadi.

    SDCI.

    SDCI

    SDCI cover

    celana cindhekuluk kanigara sikepanbludiran

    SDCI

    ke-agungbinataraan.

    gung binathara bau dhendhanyakrawati

    wenangwisesa ing sanagari

    SDCI

    22

    MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1

    Januari-Juni 2007: 1 - 74

  • Fenomena ini teraplikasikan dalamberbagai kebijakan pemerintah Orde Baruyang mendasari ide keseluruhan cerita.

    Berdasarkan analisis struktur ketujuh cerpen di atas, ditemukan relasicerpen-cerpen tersebut dengan fenomenaper-politikan Indonesia pada masa ordebaru, baik yang berlaku untuk rezim ordebaru secara umum maupun yangmenunjuk secara spesifik kepadaperistiwa atau momen tertentu. Beberapacerpen juga menunjuk kepada personpenguasa Orde Baru secara langsung

    meskipun sebenarnya antara Soehartodengan Orde Baru mempunyai hubunganpersamaan yang timbal balik. Ragampencitraan penguasa Orde Baru dalamtujuh cerpen yang dijadikan objekpenelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.

    Secara umum, ketujuh cerpen yangmenjadi objek penelitian ini berelasisecara afirmatif atau mengikuti faktaperpolitikan Orde Baru. Benang merahdari relasi ketujuh cerpen di atas terdapatpada aspek ke-Soeharto-an. Aspek ke-Soeharto-an yang dimaksud hingga tahaptertentu memiliki keseragaman, meskipunmasing-masing cerpen memilik ikarakteristik yang membedakannyadengan cerpen lain.

    Representasi Reaksi-Kreatif LitererAtas Penguasa Orde Baru dalamKumpulan Cerpen SDCI

    23

    Judul Cerpen Reaksi Kreatif Literer Acuan Relasi Kontekstual

    MenembakBanteng

    1. Jenderal Purnawirawan Basudewo2. Menembak Banteng3. Banteng jantan tua

    1. Jenderal PurnawirawanSoeharto

    2. MenghambatPerkembangan PDI

    3. Soerjadi

    Campur tangan pemerintah untukmenggagalkan terpilihnyaSoerjadi kembali pada Munas PDIIV di Medan karena dianggaptelah menaikkan perolehan suaraPDI dalam Pemilu

    Paman Gober

    1. Paman Gober2. Kota bebek3. Ketua terlama Perkumpulan Unggas

    Kaya4. Gudang Uang Paman Gober

    1. Soeharto2. Indonesia pada masa

    Orde Baru3. Presiden terlama di

    Indonesia4. Kekayaan Soeharto

    Perilaku politik Soeharto selakuindividu dan pemimpin negaraterutama tentang status quo danrepresifitas

    Diam

    1. Dalang2. Penonton wayang3. Diam

    1. Soeharto2. Rakyat Indonesia3. Tidak bersuara karenaadanya tekanan

    Represi terhadap kritik dan bedapendapat

    Tembok PakRambo

    1. Pak Rambo2. Syam3. Tembok tidak tembus pandang

    1. Soeharto2. B.J. Habibie3. Pertahanan Status Quo

    Usaha mempertahankankekuasaan dan sistem keamananyang dibangun oleh Soeharto

    Bukan TitisanSemar

    1. Kepala Desa Kadhung Makmur2. Hari jadi kelimapuluh sekian3. Pagelaran wayang dgn lakon Semar

    1. Soeharto2. Hari jadi Ind ke 52-53

    (1997-1998)3. Pagelaran wayang:

    Semar Mbabar Jati Diri

    Peristiwa menjelang kejatuhanSoeharto dari jabatankepresidenan dan masalahrepresifitas

    Celeng

    1. Celeng2. Jalan Cendana3. Orang yang berseragam dan

    bersenjata4. Pembunuhan warga kota

    1. Soeharto2. Kediaman Soeharto3. ABRI4. Pembunuhan anggota

    masyarakat

    Fenomena penghilangan paksa(militerisme)

    Senotaphium

    1. Papa Hartanaga2. Jendral Wirenatopolus3. Inklonesia4. Jalan Canderanasia5. Bukit Harbangus6. Neo Sliokartus

    1. Soeharto2. Jenderal Wiranto3. Indonesia4. Jalan Cendana5. Bukit Astana Giri Bangun6. Solo atau Surakarta

    Rekayasa seputar penghentianpenyidikan terhadap Soeharto

    Tabel 1. Ragam Pencitraan Orde Baru pada Tujuh Cerpen dalam SDCI

    Representasi Reaksi-Kreatif Literer ...

  • Keragaman wujud pencitraanSoeharto sebagai reaksi kreatif literer atasp e n g u a s a O r d e B a r u d a p a tdikelompokkan menjadi beberapa hal,yaitu (1) Pencitraan Soeharto sebagaibinatang; (2) Pencitraan Soeharto sebagaitokoh fiktif; (3) Pencitraan Soehartosebagai dalang; (4) Pencitraan Soehartosebagai tokoh pewayangan; dan (5)Pencitraan Soeharto sebagai Kepala Desa.

    Hegemoni memiliki makna ideologidominan. Pada rezim Orde Baru ideologidominan yang dijadikan pembenarankebijakan bagi apparatus pemerintahyaitu pembangunan. Di Indonesia katapembangunan sudah menjadi katakunci bagi segala hal. Secara umum kataini diartikan sebagai usaha untukmemajukan kehidupan masyarakat danwarganya. Seringkali kemajuan yangdimaksud adalah kemajuan material.Pembangunan seringkali diartikansebagai kemajuan yang dicapai olehsebuah masyarakat di bidang ekonomi(Budiman, 1995:1). Pembangunan selaludijadikan pembenaran terhadap setiapkebijakan yang diambil masyarakatpolitik ( ).

    Di Indonesia, penguasa sangatsedikit yang mendapatkan persetujuantotal (hegemoni total tanpa dominasi atasmasyarakat). Negara Orde Baru justrulebih mengedepankan dominasi, yangberarti penggunaanuntuk penegakan hegemoni. Hal ini dapatterbaca melalui pola tindakan yangdiambil terhadap masyarakat apabilamereka melakukan oposisi politik secaraterbuka. Para buruh, mahasiswa, dan

    intelektual lebih sering berhadapan secarafrontal dengan aparat kekerasan negaraseperti militer, polisi, dan penjara, setiapkali menyuarakan pendapat yangberoposisi dengan hegemoni politikpenguasa (Patria danArif, 1999:185).

    Kisah dalam cerpen MB meng-i n d i k a s i k a n p r o s e s p e rg a n t i a nkepemimpinan dalam tubuh PartaiDemokrasi Indonesia pada tahun 1993.Relasi hegemoni antara rakyat danpenguasa yang tercermin dalam cerpenMB adalah bahwa pemerintah, dalamusahanya untuk membatasi populasibanteng atau pendukung PDI, jugamelakukan infiltrasi ke dalam tubuh partaipolitik. Soerjadi atau banteng jantan tuasebagai -nya, menjadi ketua umumPDI akibat campur tangan pemerintah.Artinya, bisa jadi pemerintah mencobamemasukkan orang-orang yang dianggapdapat dikendalikan ke dalam tubuhparpol untuk mencegah parpol tersebutmelakukan manuver-manuver yangmengancam stabilitas politik. Soerjadisendiri bisa jadi pula tidak mengetahuiskenario tersebut, sehingga ketikalangkah-langkah politiknya mulaimelenceng dari garis yang ditetapkanpemerintah atau penguasa, ia harusdihentikan. Dengan demikian, salah satukecenderungan perpolitikan Soehartosebagai penguasa Orde Baru berupamanipulasi serta rekayasa politik.Artinya,semua aset politik dalam sistempemerintahan, dikelola serta dikondisikansedemikian rupa hingga mencapaistabilitas yang menguntungkan penguasaitu sendiri. Fenomena ini bisa jadimerupakan alat untuk melegitimasiawetnya pemerintahan Soeharto.

    Cerpen PG mengisahkan tentang

    Relasi Hegemoni antara Rakyat danPenguasa Orde Baru dalamKumpulan Cerpen SDCI

    political society

    apparatus koersif

    ground

    24

    MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1

    Januari-Juni 2007: 1 - 74

  • ketidakberdayaan masyarakat dalammenghadapi seorang penguasa besertasistem yang dibangunnya. Penduduk tiaphari berharap agar ada kabar tentangkematian penguasa tersebut. Fenomenaini me-nunjukkan adanya keterpaksaanuntuk mengakui dominasi penguasa yangsedang berkuasa. Kekuasaan hegemonikdalam cerpen ini ditunjukkan denganmempergunakan musuh untukmelegitimasi kekuasaannya dan melaluipembangunan-pembangunan yang telahdilaksanakan. Paman Gober berusahamemaparkan tentang has i l -has i lpembangunannya untuk kemajuan kotabebek. Warga kota bebek sebenarnyatidak setuju, tetapi mereka tidak kuasa,tidak ada yang berani melawan kebesaranPaman Gober. Kekuasaan hegemonikdapat dilihat dengan berjalannyademokras i , t e tap i t idak pernahbergantinya pimpinan.

    Cerpen Diam mengabstraksikankehidupan politik masyarakat Indonesiayang beku. Masyarakat diumpamakanseperti menonton pertunjukan wayangkulit, di mana sang dalang berperansebagai aktor tunggal. Tidak boleh adayang mencampuri, sebab dalang telahmen-jalankan pakemnya. Relasihegemoni dalam cerpen Diam tampakpada situasi pasif dari penonton yangsengaja diciptakan. Hal ini merupakanrepresentasi dari tokoh Soeharto yangdalam gelaran wayang Orde Baru jugamenjadikan rakyat pasif. Partisipasipolitik yang dibangun adalah partisipasisemu, demokrasi yang dibangun adalahdemokrasi terpimpin (serupa dengan OrdeLama) yang mengakibatkan bencana.

    Cerpen Tembok Pak Ramboberbicara tentang usaha mempertahankan

    kekuasaan dan sistem keamanan yangdibangun oleh Soeharto. Relasihegemoni dalam cerpen TPR antara laintercermin melalui kata-kata berikutkekuasaan yang ada padaku, danmenolak permintaan Pak Rambo pula,sama artinya membenturkan muka kedinding sampai hancur. Kekuasaanhegemonik di tun jukkan denganditampilkannya beberapa orang dekat PakRambo yang mengatakan bahwa tembokPak Rambo yang sedang dibangun Syamtembus pandang. Padahal dalamkenyataannya, tembok tersebut samasekali tidak tembus pandang. Denganmenggunakan kekuasaannya, Pak Rambodapat menekan s iapapun untukmengatakan sesuatu seperti apa yangdikehendaki-nya.

    Cerpen BTS merupakan re-presentasi dari Soeharto yang dalamrangka HUT RI ke 50 mengumpulkanpara dalang untuk menggelar pertunjukanwayang dengan lakon Semar Mbabar JatiDiri. Lakon tersebut dipergunakansebagai alat untuk melegitimasi diri dankekuasaannya. Relasi hegemoni dalamcerpen BTS tampak pada sikap KepalaDesa yang memaksa para dalang untukmenggelar pertunjukan dengan lakonsesuai pesanannya. Konsep dasarhegemoni adalah kesepakatan (konsesus)bukan paksaan, namun fenomena dilapangan menunjukkan bahwa posisitawar-menawar dalang dengan kepaladesa sangat lemah, sebab diibaratkansebagai hubungan buruh dan majikan.Dalang dalam hal ini memposisikandirinya sebagai alat legitimasi kekuasaanK e p a l a D e s a . D a l a m h a l i n i ,pembangunan ternyata selalu meng-untungkan apparatus negara namun

    25

    Representasi Reaksi-Kreatif Literer ...

  • menyengsarakan rakyat. Dalang sebagaiintelektual tradisional di pedesaans e h a r u s n y a i n d ep e n d en t d a l a mpertautannya dengan negara, namundominasi negara tidak ter-hindarkan.Fenomena di atas merupakan representasidari tindakan Soeharto pada awal tahun1995, dimana pada saat itu para dalangberkumpul dan sepakat akan me-mainkanlakon Semar Mbabar Jati Diri sebagaipelegitimasi kekuasaan dirinya sebagaipemimpin negara.

    Cerpen Celeng menceritakanfenomena penghilangan paksa. Dalamcerita tersebut dikisahkan bahwa banyakwarga kota yang mati terbunuh atau hilangkarena serangan celeng. Warga kota punmemburu celeng sampai akhirnyaberhenti di ibukota, tepat di Jalan Cendana.Relasi hegemoni dalam cerpen Celengini tampak pada fenomena dihadangnyapara pembur celeng itu oleh orang-orangyang berseragam dan bersenjata.Fenomena ini merupakan representasidari para mahasiswa atau masyarakatyang sedang melakukan demontrasi padapenguasa, tetapi pada saat merekademonstrasi mereka sering di-hadapkansecara frontal dengan aparat kekerasannegara seperti polisi dan militer.Fenomena ini selalu terjadi setiap kalianggota masyarakat menyuarakanpendapat yang beroposisi denganhegemoni politik pe-nguasa.

    C e r p e n S e n o t a p h i u m mengisahkan tentang rekayasa seputarpenghentian penyidikan terhadap kasusSoeharto. Kisah dalam cerpen inimerupakan representasi dari rekayasaseputar dihentikannya penyidikanterhadap mantan Presiden Soeharto.Artinya, alasan sakit yang digunakan

    Jaksa Agung untuk menghentikanpenyidikan terhadap Soeharto hanyalahs t ra teg i yang di ja l ankan untukmengamankan Soeharto dari jeratanh u k u m . S e m e n t a r a d i t e m p a tperlindungannya, Soeharto tengahmempersiapkan diri atau penerusnyauntuk kembali berkuasa di bumi Indonesia.Asumsi ini tampaknya hampir menjadikebenaran dengan munculnya Tutut atauSiti Hardiyanti Indra Rukmana, putrit e r t u a S o e h a r t o d a l a m k a n c ahperpolitikan Indonesia. Tutut yangdikenal paling aktif dalam bidang politik,pada kampanye Pemilu legilatif 2004dicalonkan oleh Partai Karya PeduliBangsa (PKPB) sebagai calon presiden.Rekayasa di atas merupakan salah satubentuk kekuasaan hegemonik yang dapatter jadi karena Soeharto masihmempunyai kekuasaan cukup besar untukmempengaruhi kebijakan dalam negeriIndonesia melalui tangan para loyalisnyadalam struktur pemerintahan.

    Berdasarkan pembahasan di atasdapat dikatakan bahwa relasi hegemonid a l a m k u m p u l a n c e r p enm e n g h a d i r k a n h e g e m o n i y a n gmengedepankan dominasi, yang berartidengan menggunakanuntuk penegakan hegemoni. Dengandemikian, representasi hegenonip e n g u a s a O r d e B a r u l e b i hmengedepankan dominasi. Hal ini dapatterbaca melalui pola tindakan yangdiambil terhadap masyarakat apabilamereka melakukan oposisi politik secaraterbuka. Mereka akan lebih seringberhadapan dengan aparat kekerasannegara secara frontal dalam menyuarakanpendapat yang beroposisi denganhegemoni politik penguasa.

    S D C I

    apparatus koersif

    26

    MOZAIK : Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 1, No.1

    Januari-Juni 2007: 1 - 74

  • SimpulanRagam pencitraan penguasa Orde

    Baru direpresentasikan melalui strukturteks mulai dari cover, judulkumpulan , judul cerpen, rangkaianalur, latar, dan tokoh. Relasi Struktur teks

    merepresentasikan karakteristikkekuasaan Soeharto yang dijalankansecara semena-mena demi kepentinganpribadi. Fenomena ini teraplikasikandalam berbagai kebijakan pemerintahOrde Baru yang mendasari idekeseluruhan cerita.

    Keragaman wujud pencitraanSoeharto sebagai reaksi kreatif literer atasp e n g u a s a O r d e B a r u d a p a tdikelompokkan menjadi (1) pencitraanSoeharto sebagai binatang; (2) pencitraanSoeharto sebagai tokoh fiktif (3)pencitraan Soeharto sebagai dalang (4)pencitraan Soeharto sebagai tokohpewayangan (5) pencitraan Soehartosebagai Kepala Desa.

    Relasi hegemoni antara Rakyat danPenguasa Orde Baru dalam kumpulancerpen menghadirkan hegemoniyang mengedepankan dominasi, yangberarti menggunakanuntuk penegakan hegemoni. Dengandemikian, representasi hegemonip e n g u a s a O r d e B a r u l e b i hmengedepankan dominasi.

    DAFTAR PUSTAKA

    SDCISDCI

    SDCI

    SDCI

    apparatus koersif

    Anwar, M. Shoim (editor). 2001..

    Yogyakarta: Yayasan BentangBudaya.

    Budiman, Arief. 1995.. Jakarta: PT.

    Gramedia Pustaka Utama.

    Condronegoro, Mari S. 1995.

    Yogyakarta: YayasanPustaka Nusatama.

    Kleden, Ignas. 1997. Simbolisme CeritaPendek dalam

    1997. Kompas, hal 126.

    Massardi, Noorca M. 2000. Awas, OrdeBaru.! dalam ,No. 35, 3 Desember 2000, hal 90.

    Moedjanto, G. 1987.

    Yogyakarta:Kanisius.

    Patria, Nezar dan Andi Arief. 1999.

    . Yogyakarta: PustakaPelajar.

    Riffaterre, Michael. 1978.. Bloomington and London:

    Indiana University Press.

    Soehartodalam Cerpen Indonesia

    Teori PembangunanDunia Ketiga

    Busana AdatKraton Yogyakarta 1977-1937:Makna dan Fungsi dalam BerbagaiUpacara.

    Anjing-AnjingMenyerbu Kuburan. Cerpen PilihanKompas

    Forum Keadilan

    Konsep KekuasaanJawa: Penerapannya Oleh Raja-Raja Mataram.

    Antonio Gramsci: Negara danHegemoni

    Semiotics ofPoetry

    27

    Representasi Reaksi-Kreatif Literer ...

  • Introduction

    Colonial intrusion and its impacts ongender relations and masculinities

    Colonialism is a form of culturalcontact which is influential in theconstruction of gender relations. BesideIndian and Islamic influences, Europeaninfluences brought about by Dutchcolonialism were pivotal in theconstruction of gender relations during theprocess of state formation that eventuallyresulted in the modern nation state ofIndonesia.

    In relation to the construct ofmasculinities, the rising awareness ofwomens rights as one of the impacts ofmoderni ty introduced by Dutchcolonisation needs to be taken intoaccount. The awareness emerged as Dutchcolonial policies to reform the wellbeingo f i n d i g e n o u s p e o p l e b e c a m e

    institutionalised in the late phase ofcolonial period.This article discusses theways these reformative policies affectedwomans identity and how theychallenged indigenous masculinities inthe late stages of the colonial encounter.Sources discussed are drawn both fromhistorical accounts on the impacts of thepolicies on education for girls andmarriage, as well literary representationsthat touch on related issues.

    In late colonial period, both inIndonesia and elsewhere, female colonialsubjects often became the object and siteof the imposition of reformative colonialpolicies. In the minds of reformist and

    *) Departemen sastra Inggris Fakultas sastra UNAIR telp (031) 5035676,email [email protected]

    GENDER RELATIONS in LATE COLONIAL INDONESIA: ABRIEF OVERVIEW and THEIR PORTRAYAL in THREE

    MODERN INDONESIAN NOVELSNur Wulan*)

    AbstractIn late colonial period of Dutch colonisation in the Indies, reformative policies in educationand marriage potentially opened up more room for womens autonomy. These policieschallenged the full autonomy of indigenous men. However, the growth of the nationalistspirit of the period had the effect of re-asserting hegemonic masculinity. The ambivalencesand ambiguities accompanying the interference of the colonial authority in gender-relatedmatters, such as marriage and education for girls, can be seen in the representation of maleprotagonists in three novels written in the late phase of Dutch colonisation. These novels areBelenggu, Layar Terkembang, and Manusia Bebas. There are clear indications in all threenovels that modern values are important and are to be embraced. Yet, reluctance to adoptmodern ideas emerges when they can potentially reduce the privileges and autonomy thathave been long enjoyed by men. This emerges in the writers portrayals of their femalecharacters as they pursue and enact their own ideals of autonomy. In all cases, the novelsrepresent changes which are occurring in gender relations among the urban, nationalistelite of the time. They do not speak for changes in Indonesian society as a whole, but theypoint towards changes that were to affect broader segments of Indonesian society in thepostcolonial period.

    Keyword: gender relation, colinal indonesia, novel

    28

  • liberal colonial authorities, these policiesoften reflected a modernist intention toliberate native women. The modernistintention can be seen in, among otherthings, education and marriage.

    It is hardly surprising that the processaccompanying the formulation andimplementation of these policies wasoften imbued with controversies anddebates, since they drew together diverseand contradictory ideologies representedby the social elements involved. Theseelements included local and Dutchpolitical elites, proponents of feminism,religious leaders and people of high rankin indigenous society. In spite of the factthat the reformative policies revolvedaround the position and roles of women,the complexities and ambiguities thatcharacterised the implementation of thesepolicies are relevant because they alsoreveal aspects of the ways in whichindigenous masculinities were challengedand changed in the late stages of thecolonial encounter. Something of thisprocess can be understood from theliterature on the impact of reformativecolonial policies on education for girls andpolygamous marriage.

    Since the beginning of the twentiethcentury, the colonial government began tobe more active in initiating reformativepolicies on the education of girls. This wasreflected in two congresses on the subject,which were held in the Dutch capital, TheHague, in 1916 and 1919 (Blackburn 2004,42). In the 1916 congress, views on theimportance of education for girls wereslightly varied, with most of thearguments revolved around thesignificance of girls education forimproving their knowledge and skills in

    household matters (Blackburn 2004, 43-46). A. Limburg, whose ideas were veryinfluential in this congress, asserted thateducation for girls should be practical,covering issues such as ...hygiene ofbody, house and yard, domestic science,handicrafts, singing, nursing of youngchildren and the sick, good manners, and afeeling for all that is fine and good andtrue (Blackburn 2004, 43).

    Limburgs affirmation of thefeminine roles of women was closelyrelated to the glorification of motherhoodin early twentieth century Britain.According to Ann Davin, at a time whenpopulation growth was considered crucialto sustain the superiority of the imperialrace, the authority of state overindividual, of professional over amateur,of science over tradition, of male overfemale, of ruling class over working class,were all involved in the redefining ofmotherhood in this period, and in ensuringthat the mothers of the race would becarefully guided, not carried away by self-impor tance (Davin 1978, 13) .Meanwhile, the ideas about virile andphysically healthy males who wereproduced by responsible mothers werevalorised as the primary role of men was todefend the imperial race (Davin 1978, 15).

    In the colonial context, thesereformative policies intended to reinforcethe domestic and nurturing roles ofwomen had ambiguous, and sometimescontradictory outcomes. For youngwomen who first gained access to moderneducation through the expansion ofeducation for girls, the modern ideal ofwoman as manager of her own domesticsphere was accompanied by a muchhigher level of participation in the public

    29

    Gender Ralation in Late Colonial Indonesia ...

  • sphere. Women in the Indies during the1920s and 30s became much moreprominent in social and political activism,standing alongside young educated men,even as they maintained domestic rolesand responsibilities. Furthermore, therea r e i n d i c a t i o n s t h a t f a r f r o mcircumscribing the role and self-awareness of women, modern Europeannotions of woman as wife and mothermanaging her own nuclear familyhousehold actually had a liberating andaffirming role for many Indonesianwomen, rather than re-traditionalisingtheir roles. The introduction of theWesternised notion of nuclear family andthe concept of housewife as beingresponsible for household matters wasresponded enthusiastically by manyyoung educated women in the 20s and 30sas a form of liberation rather thanconfinement (Barbara Hatley 2002,168).

    Marriage was another aspect ofcolonial life on which the colonialgovernment began to exercise control. Asin the case of education and female labour,the colonial rule attempted to mould thesocial institution based on modernWestern values. Locher-Scholtens studyon marriage in the colonial Indies pointsout that the Dutch governments attemptto impose modern monogamous marriageas an ideal form of marriage to replacepolygamous marriages invoked protestsand debates from various groups. Theoppositions mainly came from Islamicclerks, as polygamy in the Koran is notexplicitly prohibited. The reformativemarriage law manifested, among otherthings, in the 1937 marriage draft wasmainly motivated by the request from the

    Minister of the colonies, H. Colijn. Hisintention in proposing the draft was toprotect European women who married toIndonesian (Islamic) men from thepractice of polygamy (Locher-Scholten2000, 194). The protests from Islamicorganisations against the draft resulted inthe withdrawal of the draft in February1938 (Locher-Scholten 2000, 206). Inprotecting womens rights in marriage andaccommodating these objectionssimultaneously, secular womensorganisations proposed the reinforcementof conditional repudiation or the(Locher-Scholten 2000, 209). Throughthe , women can have more accessfor divorce.

    Opposition by native males againstcolonial interferences in their most privateaffairs in colonised societies were in mostcases coloured by anti-colonial andnationalist spirit. In the Indonesiancontext, the colonial states attempts tointrude in marriage laws were potentialsites utilised by religious groups tomaintain the distance between IndonesianIslamic society and the non-believers.This could effectively justify thei n a p p r o p r i a t e n e s s o f c o l o n i a linterferences in marriage and familymatters because the colonial governmentwas the heathens who did not have anyrights to regulate Islamic marriage.Besides, family in Islam is considered tobe the most fundamental institution inwhich religious belief is inculcated(Cammack, Young, and Heat