disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web...

38
JEJAK HUBUNGAN MAJAPAHIT-SUNDA DALAM ABAD KE-15 Sumber Tertulis dan Data Arkeologis Agus Aris Munandar Departemen Arkeologi FIB UI /1/ Pengantar Dalam Abad ke-14 menurut uraian kitab Pararaton terjadi tragedi Pasunda-Bubat, yaitu peristiwa rombongan Raja Sunda, permaisuri, puteri raja, dan para pengiring raja tewas terbunuh di tanah lapang Bubat 1 yang terletak di utara kota Majapahit. Kedatangan rombongan raja Sunda tersebut sebenarnya hendak mengantarkan puterinya untuk menjadi mempelai raja Majapahit yang masih remaja kala itu, yaitu Hayam Wuruk. Akan tetapi karena kesalahpahaman dan keterlanjuran kedatangan sang Raja Sunda ke Majapahit, tragedi itu tidak dapat dicegah lagi. Mengenai detail dari peristiwa Pasunda-Bubat telah banyak dibincangkan dalam karya ilmiah hasil kajian para sarjana berdasarkan data yang tersedia, tidak hanya berdasarkan pada uraian kitab Pararaton melainkan juga merujuk pada uraian kitab Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang digubah pada masa yang jauh dari peristiwanya, sehingga banyak bumbu yang menyertainya. Kedua gubahan kidung tersebut cenderung memberi simpati kepada pihak Sunda yang telah menjadi korban dari peristiwa yang tiada diharapkan itu (Zoetmulder 1985: 532). Dewasa ini telah banyak diedarkan novel fiksi yang bertemakan tragedi tersebut 1

Transcript of disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web...

Page 1: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

JEJAK HUBUNGAN MAJAPAHIT-SUNDADALAM ABAD KE-15

Sumber Tertulis dan Data Arkeologis

Agus Aris MunandarDepartemen Arkeologi FIB UI

/1/ Pengantar

Dalam Abad ke-14 menurut uraian kitab Pararaton terjadi tragedi Pasunda-Bubat,

yaitu peristiwa rombongan Raja Sunda, permaisuri, puteri raja, dan para pengiring raja tewas

terbunuh di tanah lapang Bubat1 yang terletak di utara kota Majapahit. Kedatangan

rombongan raja Sunda tersebut sebenarnya hendak mengantarkan puterinya untuk menjadi

mempelai raja Majapahit yang masih remaja kala itu, yaitu Hayam Wuruk. Akan tetapi

karena kesalahpahaman dan keterlanjuran kedatangan sang Raja Sunda ke Majapahit, tragedi

itu tidak dapat dicegah lagi.

Mengenai detail dari peristiwa Pasunda-Bubat telah banyak dibincangkan dalam

karya ilmiah hasil kajian para sarjana berdasarkan data yang tersedia, tidak hanya

berdasarkan pada uraian kitab Pararaton melainkan juga merujuk pada uraian kitab Kidung

Sunda dan Kidung Sundayana yang digubah pada masa yang jauh dari peristiwanya, sehingga

banyak bumbu yang menyertainya. Kedua gubahan kidung tersebut cenderung memberi

simpati kepada pihak Sunda yang telah menjadi korban dari peristiwa yang tiada diharapkan

itu (Zoetmulder 1985: 532). Dewasa ini telah banyak diedarkan novel fiksi yang bertemakan

tragedi tersebut dengan bumbu penyedap yang mampu mengharu-biru perasaan pembacanya,

semakin manambah runyam dendam yang tidak perlu. Masyarakat ilmiah dan awam dalam

menyikapi peristiwa sejarah Pasunda-Bubat terbagi ke dalam 3 kondisi, sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa Pasunda-Bubat tidak pernah terjadi, hanya karangan sarjana-sarjana

Belanda saja, sisipan ke dalam naskah kuno, atau gubahan baru. Hal itu dapat saja terjadi

apabila ditemukan satu sumber naskah, namun jika banyak sumber yang menguraikan,

menyebut atau membuat cerita metaforis, artinya Pasunda-Bubat tidak dapat ditepikan

atau diabaikan.

2. Menyatakan memang pernah terjadi dan harus dipercaya karena ada sumber tertulis yang

menyebutkannya, hanya saja pandangan ini kemudian semakin “menggoreng” tragedi 1

Page 2: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

Pasunda Bubat dengan imajinasi sendiri dan fiksi tanpa didasarkan kepada sumber sejarah

yang valid dan otentik. Buku-buku fiksi jenis tersebut yang celakanya banyak dipercaya

oleh masyarakat luas.

3. Menyatakan Pasunda-Bubat sebagai peristiwa sejarah karena ada sejumlah sumber sejarah

yang tidak dapat dibantah, namun harus disikapi sebagai peristiwa sejarah yang dapat

dikaji. Peristiwa itu telah lama berlalu oleh karena itu dalam telaah diperlukan sejumlah

data (jika ada) atau tafsir baru secara netral dan tetap bertumpu pada data yang ada, prinsip

yang diacu adalah tanpa data jangan bicara.

Demikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal

hubungan antara daerah Jawa bagian timur dan Jawa bagian barat dalam abad ke-15, di

kedua daerah dalam masa yang sama berdiri dua kerajaan, yaitu Majapahit dan Sunda

(Kuno). Alasan untuk membicarakan hubungan kedua kerajaan pada sekitar abad ke-15 itu

adalah:

1. Adanya tragedi Pasunda-Bubat yang menurut kitab Pararaton terjadi dalam masa

pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1351—1389 M), tepatnya dalam tahun 1279 Saka

(1357 M) (Hardjowardojo 1965: 53; Padmapuspita 1966: 39; Kriswanto 2009: 109; dan

Kasdi 2008: 115).

2. Menjelaskan perihal tidak adanya permasalahan lanjutan setelah peristiwa Pasunda-Bubat,

tidak terjadi konflik atau ketegangan apapun antara Kerajaan Majapahit dan Sunda Kuno.

3. Agar pembicaraan lebih fokus pada bukti-bukti keharmonisan antara dua wilayah budaya

yang berkembang pada masa itu, yaitu Majapahit dan Sunda.

Telaah ini menggunakan sejumlah data yang dapat ditafsirkan sebagai bentuk

keharmonisan hubungan kebudayaan Jawa Kuno masa Majapahit dengan Sunda. Dalam hal

ini data yang digunakan adalah sejumlah (a) sumber tertulis (karya sastra, prasasti, catatan

musafir asing), dan (b) tinggalan arkeologis yang dapat ditafsirkan berhubungan dengan rasa

penyesalan di pihak kedaton Majapahit setelah terjadinya tragedi Pasunda-Bubat.

Dalam risalah ringkas ini tidak diuraikan lagi peristiwa Pasunda-Bubat, jadi kajian ini

mengasumsikan bahwa Pasunda-Bubat telah berlalu dan hanya membicarakan bukti atau

kondisi setelah tragedi tersebut berlangsung. Uraian bukti atau kondisi tersebut mengikuti apa

adanya data, tidak dilakukan interpretasi yang berlebihan, melainkan selalu dikembalikan

dengan kecocokan ada yang tersedia. Berikut adalah narasi data dan tafsirannya yang dapat

menjelaskan kondisi setelah terjadinya Pasunda-Bubat.

2

Page 3: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

/2/ Berita dari Sumber tertulis

Sebenarnya berita tentang Sunda Kuno terbatas saja yang dicatat dalam sumber

tertulis Jawa Kuno dalam abad ke-15, justru yang ada adalah uraian dari kitab Pararaton

(awal abad ke-16 M) Kidung Sunda, dan Kidung Sundayana (sekitar abad ke-17) itu sendiri

yang menceritakan tentang tragedi Pasunda-Bubat. Uraian yang harus ditelisik adalah perihal

hubungan tanpa konflik antara masyarakat Jawa Kuno dan Sunda Kuno, setelah Pasunda-

Bubat. Beberapa uraian sumber tertulis dengan data yang terbatas adalah:

2.1 Kitab Calon Arang

Dalam kitab Calon Arang disebutkan sejumlah daerah yang mengadakan hubungan

dagang dengan kerajaan di Jawa Timur yang dinamakan Daha. Walaupun setting cerita Calon

Arang berlangsung dalam era pemerintahan Raja Dharmmawangsa Airlangga/Jatiningrat

(abad ke-11), namun kisah Calon Arang disusun sangat kemudian dalam zaman Majapahit.

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa Kuno, dalam uraiannya telah terdapat kata-kata

atau bentuk-bentuk tatabahasa Jawa Tengahan, bahkan kadang-kadang terdapat bentuk-

bentuk tatabahasa Jawa Baru (Poerbatjaraka & Soewito Santoso 1975: 11). Apalagi telah

disebutkan kehadiran kota Malaka yang memang baru berkembang dalam pertengahan abad

ke-15. Menilik hal itu semua kitab Calon Arang sebenarnya digubah dalam zaman Majapahit

setelah masa kemegahannya.

Menurut uraian kitab Calon Arang setiap tahun para niagawan dari Palembang,

Jambi, Malaka, Patani, Pahang, Sunda, Bangka, Madura, Makassar, Goron, dan lain-lain

datang ke istana raja membawa cenderamata (Poerbatjaraka & Soewito Santoso 1975: 50).

Jadi hubungan antara Jawa bagian timur dengan daerah-daerah lainnya termasuk Sunda

berlangsung dengan baik, tatkala kitab Calon Arang disusun. Sunda yang dimaksudkan

dalam uraian Calon Arang tidak lain dari Kerajaan Sunda yang berada di Jawa bagian barat.

Bersama-sama dengan daerah lainnya Sunda dikenal sebagai daerah yang mengadakan

hubungan dagang dengan Daha yang berada di Jawa Timur. Disebutkan bahwa banyak

pedagang dari berbagai daerah Nusantara, termasuk dari Sunda yang datang ke Daha (Jawa

Timur) menunjukkan hubungan antara daerah Jawa Timur dengan Sunda dalam abad ke-15

tidak mengalami masalah apapun, tetap berlangsung damai.

3

Page 4: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

2.2 Kidung Wasengsari

Kata Sunda sebagai nama kerajaan juga disebutkan dalam kidung Wasengsari, salah

satu varian kisah Panji, Sunda adalah kerajaan yang dikunjungi Panji dalam

pengembaraannya mencari kekasihnya (Zoetmulder & S.O.Robson 1995, 2: 1146). Kisah

Wasengsari menguraikan tentang sepak terjang Raden Wira Namtani (Raden Ino) dari

Koripan yang bertunangan dengan puteri Raja Daha2. Dalam kisah tersebut sebelum kedua

putra-putri raja itu menikah, Wira Namtani diculik oleh oleh Raja Magadha untuk

dibunuhnya, karena raja itu juga berminat memperistri puteri Daha juga. Di akhir kisah

setelah mengalami berbagai petualangan dan peperangan, perkawinan antara putera-puteri

raja Koripan dan Daha tetap berlangsung (Zoetmulder 1985: 536—539).

2.3.Tantu Panggelaran

Berita tentang adanya hubungan yang erat antara Jawa bagian barat dan timur,

diuraikan dalam kitab Tantu Panggelaran yang tidak diketahui penggubahnya (anonim).

Tantu Panggelaran digubah berbentuk prosa, selesai ditulis tahun 1557 dengan

menggunakan berbahasa Jawa Tengahan, yaitu bentuk Bahasa Jawa yang ada di antara

perkembangan Bahasa Jawa Kuno dan Bahasa Jawa dewasa ini. Bahasa Jawa Tengahan

mulai dikenal dalam periode Kerajaan Majapahit (Poerbatjaraka 1957: 56—57, Nurhajarini

dkk.1999: 1 dan 9). Uraian Tantu Panggelaran secara umum berkenaan dengan mitos

terjadinya manusia di Tanah Jawa, peran dewa-dewa, para pendeta Hindu dan Buddha yang

merupakan penjelmaan dewata, dan berbagai tempat suci, mandala, pertapaan, dan

kabuyutan.

Tantu Panggelaran digubah dalam semangat kebudayaan Jawa Kuno, dengan

perspektif kaum agamawan yang menetap di wilayah kekuasaan Majapahit. Dalam uraiannya

terdapat penyebutan wilayah kerajaan yang berkembang di Jawa bagian barat, selain itu

disebutkan juga adanya beberapa gunung penting yang dianggap suci di Jawa bagian barat.

Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa walaupun digubah oleh kaum agamawan Jawa

Kuno, namun tetap bercerita tentang kondisi Pulau Jawa secara keseluruhan, baik yang

berbudaya Jawa Kuno atau pun Sunda Kuno. Dikisahkan dalam Tantu Panggelaran bahwa

pada zaman purba Pulau Jawa senantiasa bergoyang-goyang karena diterpa gelombang

lautan. Agar pulau itu tenang dan ajeg diperlukan adanya pemberat, yaitu dengan cara

memindahkan Gunung Mahameru dari Jambhudwipa (India) ke Jawadwipa (Pigeaud 1924:

4

Page 5: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

63—64). Setelah sampai Pulau Jawa, gunung itu dijatuhkan di wilayah Jawa bagian barat,

selanjutnya perhatikan kutipan Tantu Panggelaran sebagai berikut:

“...datang ta sireng nusa Jawa tungtungan kulwan. Rep mangadeg ta sang hyang Mahameru, makiris makelah-kelah tampak sang dewata; matangyan Kalasa-parwwata ngaran sang hyang Mahameru, apan makelahkelah tampak sang dewata.

Col andap kulwan, maluhur wetan ikang nusa Jawa; yata pinupak sang hyang Mahameru, pinalih mangetan. Tunggak nira hana kari kulwan; matangyan hana argga Kelasa ngaranya mangke, tunggak sang hyang Mahameru nguni kacaritanya. Pucak nira pinalih mangetan...”(Pigeaud 1924: 65).

Terjemahannya kurang lebih:“...datanglah mereka di Pulau Jawa di kawasan barat, lalu ditegakkan lah sang hyang Mahameru, berpendar terus menerus terlihat oleh para dewa, oleh karena itu sang hyang Mahameru dinamakan Gunung Kalasa karena para dewa melihatnya berpendar berkedip-kedip. [Akibatnya] Pulau Jawa merendah ke sisi barat, dan sisi timurnya terangkat ke atas, kemudian sang hyang Mahameru dipenggal, penggalannya dipindahkan ke timur. Bagian bawahnya (tunggulnya) tetap berada di barat dan bernama Gunung Kalasa namanya hingga masa kemudian, demikian ceritanya. Puncaknya telah dipindahkan ke timur...”

Uraian Tantu Panggelaran selanjutnya para dewa membawa terbang setengah

Gunung Mahameru ke Jawa bagian timur, dalam perjalanan gunung itu rontok dan rumpang

berjatuhan menjadi gunung-gunung lain di Tanah Jawa, antara lain Gunung Wilis, Kampud

(Kelud), Arjuna, dan Kemukus (Welirang). Mahameru ditegakkan menjadi Gunung Semeru,

karena masih miring puncaknya dipotong lagi dan dilemparkan oleh para dewa menjelma

menjadi Gunung Pawitra atau Gunung Penanggungan sekarang (Pigeaud 1924: 65—66;

Nurhajarini 1999: 78—79).

Menilik uraian tersebut sebenarnya terdapat hubungan yang erat dalam hal mitologi

terjadinya gunung-gemunung di Tanah Jawa. Asalnya dari Mahameru gunung pusat alam

semesta, axis mundi tiga dunia (Bhurloka, Bhuwarloka, dan Swarloka) dari Jambhudwipa

yang dipindahkan oleh para dewa ke Jawa. Pangkalnya menancap di Jawa bagian barat

dinamakan dengan Gunung Kalasa yang menjadi Mahamerunya Tatar Sunda. Gunung itu

tidak lain dan tidak bukan adalah Gunung Salak sekarang yang berdiri di arah barat daya

Bogor bekas kota Pakwan Pajajaran ibu kota Kerajaan Sunda Kuno setelah kepindahannya

dari wilayah Galuh (Ciamis). Gunung itu telah menjadi Mahamerunya Kerajaan Sunda Kuno,

ibu kota Pakwan Pajajaran yang berlokasi di arah timur laut Gunung Salak, arah yang terbaik

dalam sistem penataan dewa-dewa Astadikpalaka Hindu-Buddha (Munandar 2007: 41—47).

5

Page 6: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

Di lereng timur laut Gunung Salak terdapat kawasan situs kaya yang belum diteliti secara

tuntas secara arkeologis, di Dusun Sindangbarang, Tamansari. Berdasarkan sumber tertulis

Sunda Kuno, carita-carita Pantun, legenda, dan folklore, situs-situs tersebut dapat

dihubungkan dengan Pakwan Pajajaran yang berlokasi di Bogor antara abad ke-14—15 M.

Dengan ditemukannya monumen-monumen keagamaan masa silam, kesucian Gunung Salak

telah diketahui sejak zaman Sunda Kuno, masyarakat masa lalu mengadakan ritual

keagamaannya di lereng gunung itu yang dalam mitosnya merupakan bagian dari

Mahameru3. Kata Salak pada Gunung Salak sangat mungkin perubahan pengucapan dari

nama aslinya Gunung Kalasa. Jadi terdapat varian pengucapan KalasaSalakaSalak,

sebagaimana pengucapan Kartasura (nama ibu kota Mataram Islam) Surakarta, Cimalaya

(nama desa di Pantura Jawa Barat) Cilamaya, dan Krtajaya (nama raja) Jayakrta.

Dalam hal ini kitab Tantu Panggelaran --digubah dalam kebudayaan Jawa Kuno

masa Majapahit akhir-- menjelaskan dan mengakui bahwa bagian dasar (pangkal) dari

Gunung Mahameru yang telah dipindahkan para dewa ke Jawa berada di Tatar Sunda,

sedangkan bagian tubuh dan puncaknya ada di Jawa Timur. Artinya seluruh Tanah Jawa

sebenarnya diperkuat oleh bagian-bagian dari Mahameru, dan memiliki kesucian yang setara

di antara gunung-gunung di Jawa, sebab semua gunung adalah rontokan Mahameru ketika

dipindahkan oleh para dewa.

Gunung Salak (Kalasa) pulalah yang mungkin disebut dengan Gunung Sundawini(h)

oleh kitab Tantu Panggelaran (Pigeaud 1924: 116 dan 125). Sundawini artinya benihnya

Tatar Sunda, atau pusat pangkal dari Tatar Sunda, dijelaskan oleh Tantu Panggelaran bahwa

dahulu di puncak Gunung Sundawini terdapat arca Wisnu yang indah sempurna terbuat dari

emas dan dibuat oleh Mpu Barang. Disebutkan pula di kaki Gunung Sundawini terdapat

mandala (perkampungan kaum agamawan) yang disebut dengan Rebhalas. Mengenai betapa

pentingnya Gunung Kalasa/Sundawini atau Salak yang terletak di Jawa bagian barat telah

diketahui dalam budaya Jawa Kuno, setidaknya oleh para penggubah Tantu Panggelaran,

sehingga dicantumkan dalam kitab tersebut dan dipercaya sebagai pangkal dari Mahameru,

tubuh dan puncak Mahameru tidak berarti jika tidak berdiri di bagian pangkal gunung itu, dan

pangkal Mahameru ada di Tatar Sunda.

Bagian lain uraian Tantu Panggelaran menceritakan:

6

Page 7: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

Adalah putra raja (rajaputra) diusir dari Kerajaan Galuh, dia bernama tuan Cancuraja, mengungsilah dia datang ke Buyut Jalagiri, ia menjalankan kehidupan di sana. Berkatalah Buyut Jalagiri, “Lah, kamu sang rajaputra, jika ingin kehidupan berwikulah engkau kepada kami di sini”. Jawaban tuan Cancuraja, “Tidak mungkinlah saya menjadi wiku seperti anda [karena saya seorang putraja]”. “Lah kembalilah engkau ke kerajaanmu, apabila engkau tidak mau menjadi wiku”, kata Buyut Jalagiri.

Begitulah ucapan Buyut Jalagiri, Akhirnya menurutlah sang Rajaputra, ditahbiskanlah Rajaputra oleh wiku berkulit gelap, kemudian dijuluki Buyut Sri Manggala (Nurhajarini 1999: 134 [dengan perbaikan]).

Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui adanya kisah tentang putera raja dari

Kerajaan Galuh yang tentunya adalah Sunda-Galuh yang berkedudukan di sekitar Ciamis.

Sang putera raja bernama Cancuraja mungkin seorang putera mahkota yang mengungsi ke

suatu kawikuan yang dipimpin oleh Buyut Jalagiri. Cancuraja tidak mau kembali ke

kerajaannya, walaupun awalnya ragu melaksanakan jalan agama sebagai seorang wiku,

namun akhirnya ia pun setuju ditahbiskan sebagai wiku (bhiksu) dengan julukan Buyut Sri

Manggala.

Hal yang menarik adalah bahwa nama Cancu tidak pernah dijumpai dalam sumber

lain selain kitab Tantu Panggelaran dan dalam uraian prasasti Tulang Air II yang berangka

tahun 762 Saka/840 M (Stuart 1875: 7—10; Nakada 1982: 78—79). Walaupun angka

tahunnya menunjuk abad ke-9, namun prasasti itu merupakan tinulad (salinan) yang

dilakukan dalam era Majapahit, tertulis pada bagian akhir prasastinya kata-kata

“...parisamapta tla(s)-sinurat ring majha-pahit” (telah sempuna ditulis di Majapahit) (Stuart

1975: 10). Dalam prasasti tersebut disebutkan adanya bangunan suci agama Buddha (kuti)

yang disebut dengan Waharu, bangunan itu mungkin sekali masih ada hingga sekarang, yaitu

Candi Brahu di Trowulan. Disebutkan adanya dua orang putera raja yang bernama Cancu-

Makuta dan Cancu Manggala yang tinggal di Kuti Warahu, selalu mengadakan pemujaan dan

hal itu diizinkan oleh ayahanda mereka sang raja. Dalam uraian kitab Tantu Panggelaran

putra raja Galuh yang mengungsi ke kawikuan itu hanya seorang dinamakan Cancuraja,

namun setelah menjadi Wiku kemudian bergelar Sri Manggala. Informasi dari kedua sumber,

yaitu kitab Tantu Panggelaran dan Prasasti Tulang Air II sebenarnya dapat dipadukan, maka

rekonstruksi peristiwa dari kedua sumber tersebut adalah sebagai berikut: Pada masa

Majapahit adalah dua orang putera raja Galuh dari Tatar Sunda yang menyepi di Kuti Waharu

disambut oleh Buyut Jalagiri sebagai pemimpin kuti tersebut, mereka bernama Cancu-

7

Page 8: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

Makuta dan Cancu-Manggala. Setelah tinggal beberapa waktu Cancu-Makuta mungkin

kembali ke Galuh, sementara adiknya, yaitu Cancu-Manggala (dalam Tantu Panggelaran

disebut Cancu-Raja) tetap tinggal di Kuti Warahu tidak mau kembali ke kerajaannya,

malahan ia menjadi wiku dengan gelar Buyut Sri Manggala.

Peristiwa tersebut dicatat dalam dua sumber sejarah dalam zaman Majapahit sekitar

abad ke-15, yaitu Prasassti tinulad Tulang Air II dan kitab Tantu Pangdelaran. Kedua putera

Raja Galuh itu datang mencari kedamaian di kuti wihara Candi Brahu (?) yang merupakan

bangunan suci agama Buddha (kuti) megah dan menjadi tempat penziarahan. Ciri ke-Buddha-

an pada candi itu masih terlihat sampai sekarang di bagian atapnya, yaitu terdapat menara

atap berbentuk lingkaran yang merupakan dasar dari stupa4.

Mungkin masih terdapat sumber tertulis lain dari zaman Majapahit akhir dalam abad

ke-15 yang menyebut atau menyinggung tentang hubungan masyarakat Jawa Kuno di Jawa

bagian timur dan masyarakat Sunda Kuno. Berdasarkan uraian beberapa sumber yang telah

dibahas dapat diketahui bahwa hubungan antara keduanya berlangsung baik, tidak ada

permasalahan yang mengganggu atau bahkan adanya konflik. Ayatrohaedi ahli kebudayaan

Sunda Kuno menyatakan bahwa terdapat hal yang menarik berkenaan dengan naskah-naskah

keagamaan di Tatar Sunda. Adanya naskah Sunda Kuno yang ditulis dengan bahasa Jawa

Kuno, naskah itu sendiri berisikan konsepsi keagamaan dan pantheon Sunda Kuno, misalnya

yang terdapat pada naskah Serat Dewabuda (Ayatrohaedi 1988: 2). Artinya apresiasi dan

saling menghargai antara kebudayaan Sunda Kuno dan Jawa Kuno terus berlangsung hingga

masa-masa kemudian.

Pada akhirnya terdapat uraian musafir asing, yaitu Tome Pires orang Portugis yang

berkunjung ke kepulauan Nusantara dan menyusun laporannya yang disusun antara tahun

1512—1515. Laporan Tome Pires tersebut telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh

Armando Cortesao (1944). Tome Pires menyatakan bahwa dalam tahun 1513 ia melawat ke

pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa bagian barat milik Kerajaan Sunda. Pada masa itu

terdapat 6 pelabuhan penting, yaitu Banten, Pontang, Chegujde (Cigede), Tamgara

(Tanggerang), Calapa (Sunda Kalapa), dan Chi Manuk (Cimanuk-Indramayu) (Cortesao

1944: 170—173).

Mengenai pelabuhan Cimanuk dinyatakan:

“The port of Chi Manuk is the sixth port. This is not a port in which junks can anchor, but only at the harbour bar, so they say; orther say yes. Many Moors live here. The captain is a

8

Page 9: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

heathen. It belongs to the king of Sunda. The end of the kingdom here. Chi Manuk has good trade. Java also trades with it. It has a good large town” (Cortesao 1944: 173).

(Bandar Cimanuk adalah bandar ke-6, di bandar ini jung-jung (kapal layar besar) tidak dapat berlabuh di pantai, tetapi hanya di lepas pantai pelabuhannya, begitu keterangan mereka dan yang lainnya mengiyakan. Banyak orang Islam tinggal di [bandar] ini. Pemimpin bandar (syahbandar) adalah pemuja berhala. Bandar ini milik raja Sunda, batas akhir Kerajaan [Sunda} di tempat ini. Cimanuk mempunyai perdagangan yang ramai, orang-orang Jawa juga berniaga di bandar ini. [Bandar] ini mempunyai kota yang luas dan baik).

Informasi penting dari laporan Tome Pires adalah bahwa di awal abad ke-16 banyak

para pedagang Jawa yang berniaga di pelabuhan-pelabuhan di Kerajaan Sunda di pantai utara

Jawa bagian barat, mereka berniaga dengan aman terutama di pelabuhan Kalapa dan

Cimanuk. Pelabuhan Cimanuk merupakan bandar penting paling timur milik Kerajaan

Sunda, dan merupakan bandar terdepan dalam berhubungan dengan Jawa. Dijelaskan apabila

angin baik, maka pelayaran ke Jawa (timur) dari Cimanuk hanya menghabiskan waktu sehari

semalam. Hubungan antara orang-orang Sunda dan Jawa biasa-biasa saja dalam hubungan

dagang, atau bisa saja saling jadi perompak sesamanya ketika berlayar di laut, namun banyak

juga di antara mereka yang membina hubungan baik dan persahabatan (Cortesao 1944: 172—

173). Demikian beberapa uraian dari sumber-sumber tertulis perihal hubungan antara orang-

orang Jawa dan Sunda dalam abad ke-15 hingga awal abad ke-16 sebelum Islam merebak di

Pulau jawa.

/3/ Peninggalan Arkeologis

Sejatinya hingga sekarang belum ditemukan peninggalan arkeologis di Jawa bagian

timur yang secara langsung menunjukkan adanya hubungan dengan kebudayaan Sunda Kuno.

Sejumlah peninggalan arkeologi dapat dijelaskan memiliki hubungan dengan Kerajaan Sunda

Kuno setelah dilakukan interpretasi yang mendalam dengan menggunakan beberapa sumber

bandingan. Hubungan dengan Sunda itu terutama berkenaan dengan terjadinya peristiwa

Pasunda-Bubat dalam tahun 1357, artinya peninggalan arkeologi yang dapat ditafsirkan

mempunyai hubungan dengan Sunda adalah kepurbakalaan yang dibuat atau dibangun setelah

terjadinya Pasunda-Bubat. Beberapa data arkeologis yang dapat dihubungkan dengan

Pasunda-Bubat, namun dibuat setelah peristiwa Pasunda-Bubat adalah:

3.1 Relief Kisah Panji

Apabila ditilik secara seksama maka Kisah Panji sebenarnya berhubungan dengan

peristiwa sejarah zaman Majapahit. Kisah-kisah Panji dapat dianggap sebagai metafora dari 9

Page 10: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

peristiwa sejarah dari awal berdirinya Majapahit hingga zaman kejayaannya dalam era

pemerintahan Hayam Wuruk tahun 1351—1389 M (Munandar 2005, 2009, dan 2017: 56—

99). Raden Panji adalah penggambaran dari Raden Wijaya (Krtarajasa Jayawarddhana),

Jayanagara, dan terutama Hayam Wuruk (Rajasanagara), petualangan dan pengembaraan

Panji disertai para kadeyan (pengiring)nya setara dengan pengembaraan Raden Wijaya

bersama para pengikutnya ke Madura untuk menemui Arya Wiraraja sebagaimana yang

dituturkan oleh kitab Pararaton.

Kesetaraan yang sangat dekat antara Kisah Panji dengan peristiwa sejarah Pasunda-

Bubat dapat dijumpai dalam kisah Panji Angreni yang tergolong kisah paling awal dari

varian cerita Panji yang dikenal. Dalam kisah Panji Angreni, Raden Inu putera raja-ratu

Kahuripan telah memilih gadis pujaan hatinya, yaitu Dewi Angreni anak patih. Akan tetapi

ketika Inu diminta menikah dengan saudara sepupunya yang telah dipertunangkan, yaitu

Dewi Sekar Taji puteri raja-ratu Daha, Inu menolaknya. Dewi Angreni harus lenyap abadi,

dia harus dibunuh dengan keris oleh Brajanata kakak Inu lain ibu, putera raja Kahuripan.

Setelah Dewi Angreni meninggal Inu (Panji) dan para kadeyan mengembara mencari jelmaan

sang dewi, sampailah ke kota Daha yang waktu itu tengah dikepung musuh para raja yang

ingin mempersunting Dewi Sekar Taji. Semua raja dapat dikalahkan dan akhirnya Inu (Panji)

dapat bersanding menikah dengan Dewi Sekar Taji, sebagaimana yang telah dirancang oleh

para dewata. Di akhir kisah dinyatakan bahwa kecantikan Dewi Angreni telah bersatu dengan

keelokan Sekar Taji, di bawah sinar purnama sempurna kedua dewi itu telah menjadi satu,

nama Sekar Taji lalu diubah menjadi Dewi Candrakirana (sinar rembulan).

Foto 1: Relief kisah Panji di Kepurbakalaan XXII (Candi Gajah) di bukit Bekel,

Gunung Penanggungan yang sekarang telah hancur dan lenyap dicuri orang

(Bernet Kempers 1959: Plate 326)

10

Page 11: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

Banyak kesetaraan tema antara Kisah Panji Palembang atau Panji Angreni dengan

peristiwa sejarah sekitar Pasunda-Bubat dalam era Hayam Wuruk. Hal itu tidak dibahas lagi

dalam risalah ini5, namun jelas dapat ditafsirkan bahwa Kisah Panji dengan berbagai versinya

sebenarnya mengacu kepada kisah percintaan antara Hayam Wuruk, Dyah Pitaloka

Citrarasmi sang puteri Sunda-Galuh, dan Indu Dewi (Sekar Taji), puteri Daha anak bibi dan

paman Hayam Wuruk (Rajadewi Maharajasa yang kawin dengan Wijayarajasa/Kudamerta)

(Munandar 2009: 112—114). Sejumlah kepurbakalaan yang berupa dinding candi, dinding

candi meru (punden berundak di Gunung Penanggungan, dan panil relief lepas dipahati

dengan relief Kisah Panji, data ringkas terdapat pada tabel berikut:

TABEL: RELIEF KISAH PANJI PADA KEPURBAKALAAN DI JAWA TIMUR

No. NAMA CANDI JUMLAH PANIL

ADEGAN YANG DIGAMBARKAN

BAHAN/KRONOLOGI

01. Miri Gambar 11 Bermacam adegan, pertemuan Panji dengan puteri dan emban, perjalanan, upacara, namun sebagian besar panil telah hancur, karena dinding candi banyak yang telah runtuh.

Candi bata, terdapat pahatan angka tahun 1399 M, akhir abad

ke-14. Tulungagung.

02. Surawana 2 Panji dan seorang kadeyan bertemu dengan burung Jaruman Atat yang membawa surat lempir lontar.

Candi Batu, Akhir Abad ke-14. Kediri.

03. Patirthan Panataran 2 Dua figur pria berdiri dengan topi tekes di kepalanya mengapit panil relief cerita binatang (Tantri Kamandaka)

Dinding batu, terdapat pahatan angka tahun

1415 M. Blitar.

04. Kepurbakalaan (Kep) III (Candi Kerajaan Dharmawangsa)

1 panil yang tersisa

Menggambarkan Panji bertopi tekes menaiki kuda bersama para pengiring menyaksikan adegan perang.

Dipahat pada dinding balok batu candi meru (punden berundak) di

G.Penanggungan, abad ke-15

04. Kep VIII (Candi Wayang) 1 panil memanjang

monolit

Adegan pertemuan antara Panji, kekasihnya dan sejumlah kadeyan, mereka digambar berdiri berderet.

Monolitik yang sisinya telah diratakan,

G.Penanggungan, abad ke-15

05. Kep.XXII (Candi Gajah) 2 panil pada monolit sekarang

telah hancur

Adegan I digambarkan Panji berhadapan dengan puteri dan emban bersimpuh. Adegan II Panji dan para kadeyan berjalan mengiringi puteri. Panji membawa benda seperti selendang berkibar.

Monolitik, bagian tengah terdapat

deretan anak tangga menuju altar tunggal

di puncak. G.Penanggungan,

abad ke-15.06. Kep.LXV (Candi Kenda-

lisada)4 panil bagian tertentu pada figur relief

telah dirusak

Adegan kepergian Panji dan puteri dari istana, perjalanan diiringi kadeyan, memainkan alat musik, dan ketika mereka di tepi sungai (?)

Dipahat di dinding teras-teras candi Meru,

lereng bukit Bekel, G.Penanggungan,

abad ke-15

07. Relief Gambyok Panji dan para kadeyan berdiri di dekat kereta kosong

Panil Batu, abad ke-15, Nganjuk

08. Relief Panji di Museum Kediri

Menggambarkan pertemuan antara Panji dan para kadeyan

Panil Batu, sezaman dengan relief

Gambyok

11

Page 12: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

Masih banyak sejumlah panil relief lepas lainnya yang menggambarkan potongan

adegan Kisah Panji, misalnya beberapa panil relief yang dikoleksi oleh Museum Pusat

Informasi Majapahit dan juga Museum nasional Jakarta, artinya kisah Panji sangat populer.

Apabila relief Kisah Panji sebenarnya menggambarkan percintaan Hayam Wuruk dengan

Puteri Citrarasmi (yang tidak terlaksana), dan akhirnya Hayam Wuruk menikah dengan Indu

Dewi (Raden Galuh), maka pemahatan Kisah Panji sebenarnya suatu bentuk apresiasi kepada

kegagalan cinta Hayam Wuruk dengan puteri Sunda.

Banyak adegan kisah Panji, namun secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu (a) Panji

dengan puteri, dan (b) Panji tanpa puteri. Apabila Panji digambarkan dengan seorang puteri,

puteri itu dengan pakaian sederhana, ada seorang emban, dan beberapa punakawan

(kadeyan), dalam relief tidak pernah digambarkan tokoh Panji dengan seorang puteri dengan

pakaian mewah, bermahkota, dengan perhiasan lengkap . Dapat kiranya ditafsirkan bahwa

adegan Panji tersebut sebenarnya menggambarkan Raden Panji (Hayam Wuruk) dengan

kekasih pertama pilihannya, yaitu Dewi Angreni/Mertalangu (Dyah Pithaloka Citrarasmi).

Adegan itulah yang selalu dipahatkan dalam bentuk relief di candi-candi, adegan pertemuan,

perjalanan, atau berkasih-kasihan antara Hayam Wuruk dan sang puteri Sunda-Galuh.

Sebenarnya hal itu yang mungkin diharapkan oleh masyarakat umum Majapahit, yaitu

perkawinan agung antara rajanya dengan puteri Raja Sunda, pertemuan mereka terjadi di

alam lain, alam pithaloka, karena itu dipahatkan di bangunan candi-candi yang bersifat

kudus-religius.

Dengan adanya pemahatan relief Kisah Panji pada dinding candi-candi masa

Majapahit, mengemuka 3 tafsiran, yaitu:

1. Relief kisah Panji mulai dipahatkan di dinding candi-candi tentunya setelah Pasunda-

Bubat terjadi, paling cepat pada perempat terakhir abad ke-14.

2. Kisah Panji dalam bentuk relief di candi-candi adalah penanda apresiasi pembuat candi

terhadap kisah percintaan putera-puteri raja dalam keluarga raja Majapahit.

3. Kisah Panji akhirnya tidak hanya sebagai kisah romansa putera-puteri raja di Jawa,

melainkan juga dimaknai sebagai kisah yang mengandung nilai keagamaan, karena

dipahatkan pada bangunan-bangunan suci keagamaan (Munandar 2017: 239—243).

12

Page 13: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

3.2 Kolam Segaran

Sebagaimana telah umum diketahui bahwa salah satu peninggalan penting Majapahit

yang berada di situs Trowulan, Mojokerto adalah kolam Segaran. Kolam tersebut cukup

mengesankan dengan ukuran 375 x 175 x 2,88 m. Tebal tembok dinding kolam adalah 1,60

m, dengan deretan anak tangga turun ke permukaan air di sisi panjangnya di sebelah barat.

Segaran terletak di Dukuh Trowulan, Desa Trowulan. Luas kolam tersebut adalah 6,5 hektar,

satu-satunya kolam kuno terbesar di Indonesia. Dinamakan Segaran sangat masuk akal,

mengingat ukurannya yang sangat luas apabila dibandingkan dengan kolam-kolam lainnya

baik yang alami atau buatan, keluasan Segaran itulah yang kemudian mengingatkan

penduduk kepada laut (Bahasa Jawa: Segara), kolam luas mirip laut, karena itu disebut

Segaran.

Keberadaan kolam Segaran pertama kali dilaporkan oleh H.Maclaine Pont, pada tahun

1926, semula kolam tersebut tertutupi tanah, kemudian setelah dilakukan penggalian barulah

dapat ditampakkan kembali keberadaannya. Berdasarkan adanya temuan saluran masuk dan

keluar dari kolam tersebut, maka diduga bahwa Segaran dahulu berfungsi sebagai waduk atau

penampungan air dan mungkin dapat dibandingkan dengan baray-baray yang berada di

sekitar Angkor Wat di Kamboja (Proyek Pemugaran, 1986: 49—50).

Nama Segaran bagi kolam buatan di situs Trowulan tersebut, agaknya bukan nama

asli yang diberikan secara turun-temurun oleh penduduk lokal, melainkan dijuluki oleh

penduduk Trowulan di masa yang belakangan sekali. Sangat mungkin nama itu diberikan

tatkala Segaran telah berhasil dibersihkan dan ditampakkan kembali oleh Maclaine Pont

dalam tahun 1926. Ketika penduduk Trowulan pada awal abad ke-20 menyaksikan adanya

kolam luas yang berair mirip laut, secara langsung mereka memberikan nama Segaran pada

kolam tersebut. Dengan demikian dapat diduga bahwa kolam tersebut sebenarnya

mempunyai nama aslinya tersendiri pada zaman Majapahit dahulu. Telaah ringkas ini

berupaya mengungkapkan nama asli dari kolam Segaran berdasarkan kisah rakyat, tradisi

lisan dan folklore lainnya untuk kemudian dipadukan dengan keterangan dari sumber tertulis

lainnya. Sebelum membincangkan masalah nama asli Segaran, langkah pertama adalah

membahas terlebih dahulu perihal nama Trowulan yang dihubungkan dengan situs kota

Majapahit.

13

Page 14: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

Nama Trowulan sangat mungkin telah dikenal sejak awal abad ke-19, nama itu telah

disebutkan oleh Wardenaar (1815) dalam laporan paling awal yang menyebutkan bahwa

Trowulan sebagai ibu kota Majapahit. Wardenaar tanpa ragu menyebut Trowulan sebagai

peninggalan dari masa Majapahit (Wibowo 1983: 4). Selain sebagai nama desa Trowulan

juga dijadikan nama kecamatan. Kecamatan Trowulan dewasa ini terdiri dari 16 desa, jika

diperhatikan hanya 5 desa saja yang yang wilayahnya mengandung situs Majapahit, yaitu

Bejijong, Jati Pasar, Sentono Rejo, Wates Umpak, Temon, dan Trowulan. Nama Kecamatan

Trowulan diambil dari salah satu desa dalam wilayahnya, yaitu Desa Trowulan, agaknya

Desa Trowulan lebih dikenal oleh kalangan pengunjung dari luar, karena terletak di tepian

jalan raya Jombang-Mojokerto yang dahulu dibuat oleh Belanda. Oleh karena itu lalu nama

Trowulan dijadikan nama kecamatan pula.

Kolam Segaran berada di wilayah Desa Trowulan, di dukuh Trowulan, dengan

demikian dapat ditafsirkan bahwa nama awal wilayah tersebut adalah Trowulan, dimulai dari

nama dukuh, lalu jadi nama desa, dan akhirnya jadi nama kecamatan. Demikianlah nama

yang dikenal di kalangan penduduk secara turun-temurun adalah Trowulan sebagai nama

dukuh, dukuh itu awalnya berada di dekat Segaran (sisi utara dan timur), lama-kelamaan

menjadi nama desa. Selanjutnya timbul asumsi bahwa ada kemungkinan nama suatu dukuh

sebenarnya berasal dari nama tempat atau bangunan tertentu, kemudian ketika banyak orang

mulai bermukim di sekitar tempat itu, lalu gugusan rumah penduduk itu dinamakan sesuai

dengan nama tempat atau bangunan tersebut, menjelma menjadi pedukuhan, dan seterusnya.

Misalnya Desa Sendang Duwur di Lamongan utara, awalnya berasal dari adanya lokasi

sendang (kolam) di daerah dataran yang agak tinggi (duwur) dan juga banyak dukuh di Jawa

Barat yang dinamakan dengan Cipanas, sebab benar di desa tersebut terdapat mata air panas

dan lainnya lagi.

A.S.Wibowo seorang arkeolog yang pernah bertugas lama di situs Trowulan, mencoba untuk

mencari asal-usul nama Trowulan. Dalam karyanya yang berjudul “Nāgarakěrtagama dan

Trowulan” (1983), Wibowo menyatakan:

“Maclaine Pont, setelah membaca keterangan dalam Serat Kanda bahwa nama Trowulan berasal dari nama Citra Wulan, pernah pula mengajukan gagasan bahwa nama itu berasal dari Setra Wulan (Pont, 1924: 63). Dalam Serat Dermagandul pupuh XX terdapat episode cerita yang mengisahkan saat-saat akhir hidup raja Brawijaya terakhir. Dikatakan bahwa waktu itu sang raja berpesan agar kelak ia dimakamkan secara Islam di daerah Sastrawulan, namun karena putranya, Raden Patah, telah memperlakukannya sebagai seorang wanita maka

14

Page 15: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

makam tadi hendaknya kelak diberi nama Makam Putri Campa (Drewes, 1996: 362)” (Wibowo 1983: 5).

Demikian beberapa kutipan yang diambil oleh Wibowo dari pendapat para peneliti

terdahulu, dapat ditafsirkan bahwa nama Trowulan tersebut telah dikenal sejak abad ke-16 M.

Mengacu kepada Serat Kanda yang digubah dalam abad sekitar awal abad ke-16

(Poerbatjaraka 1957: 95—96), memberitakan bahwa nama asli dari Trowulan adalah Citra

Wulan yang kemudian diucapkan secara singkat menjadi Trawulan atau Trowulan sampai

sekarang. Citra dalam bahasa Jawa Kuno antara lain berarti “berwarna cemerlang,

perwujudan yang cemerlang” (Zoetmulder 1982, I: 330). Maka Citra Wulan dapat diartikan

sebagai “perwujudan yang cermerlang dari bulan”. Apabila demikian halnya maka, dukuh

Trowulan tersebut mengacu kepada arti “perwujudan atau bayangan yang cemerlang dari

bulan”, mengapa namanya seperti itu?, tentunya terdapat tempat yang dapat dihubungkan

dengan Citra Wulan yang berada di dekat dukuh Citra Wulan. Segera saja tempat tersebut

dapat diketahui, yaitu kolam Segaran. Jadi dapat ditafsirkan nama lama kolam tersebut adalah

Citra Wulan atau Trowulan. Nama itu memang dicatat dalam Serat Kanda dalam abad ke-16

M, masa itu masih sangat dekat dengan zaman Majapahit (Majapahit runtuh di awal abad ke-

16), jadi demikianlah nama asli Segaran pada zaman Majapahit adalah Citra Wulan, yang lalu

diucapkan singkat menjadi Trawulan atau Trowulan.

Hal yang harus mendapat penjelasan selanjutnya adalah apa alasannya sehingga

kolam luas tersebut dinamakan dengan Citra Wulan dalam zaman Majapahit. Sebelum

menjawab permasalahan tersebut selayaknya harus dikemukakan dahulu hubungan antara

bulan purnama dan Segaran, memang sampai sekarang jika terang bulan apalagi purnama

sempurna, cahaya bulan yang cemerlang tersebut akan berbayang di permukaan air Segaran,

keadaannya sangat indah dan semua orang yang berada di sekitar kolam Segaran saat

purnama pasti mengakui suasana yang indah itu. Pada masa Majapahit dapat diperkirakan

bahwa keindahan yang memukau itu lebih terasa, sebab masa itu belum ada cahaya lampu

listrik yang sinarnya bertebaran di sekitar kolam. Dewasa ini walau pun sudah terdistorsi oleh

cahaya lampu-lampu listrik di jalan ataupun di perumahan, keindahan bulan purnama yang

mengambang di langit di atas Segaran tetap mengesankan. Demikianlah bahwa kolam Citra

Wulan di masa Majapahit dapat disebut sebagai tempat rekreasi penduduk kota di kala

purnama. Tentunya banyak penduduk yang bercengkerama di sekitar kolam, dan tidak

mustahil dilakukan juga oleh kaum bangsawan, keluarga raja bahkan raja sendiri.

15

Page 16: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa berita Cina menyebutkan dengan jelas bahwa setiap

purnama dan jika malam cerah penduduk Majapahit bersuka cita, bahkan kaum

perempuannya ada yang membentuk barisan sambil bernyanyi-nyanyi “ngamen” di rumah-

rumah orang berada untuk kemudian diberi uang (Groeneveldt 2009: 73). Demikianlah di

masa itu malam terang purnama jelas merupakan malam rekreasi yang menyenangkan bagi

penduduk kota Majapahit, ketika sang Candra menghamburkan cahaya keindahannya

membahagiakan semua orang.

Nama Citra Wulan terasa lebih dekat Trowulan, namun terdapat pula kata Antawulan

yang dikenal dalam kitab Pararaton sebagai pendharmaan raja Jayanagara (1309—1328):

“Sira ta dhinarmeng kapopongan.bhiseka ring srenggapura, pratista ring Antawulan”

(Padmapuspita 1966: 37). (“dia didharmakan di Kapopongan, nama resmi bangunannya

Srenggapura, dan diarcakan di Antawulan”). Adapun dalam kakawin Nāgarakŗtāgama

(pupuh 48: 3) terdapat penjelasan bahwa setelah raja Jayanagara mangkat, ia didharmakan di

dalam (kompleks) keraton, di Sila Petak dan di Bubat dengan wujud arca Wisnu serta di

Sukalila sebagai Buddha Amoghasiddhi.

Selanjutnya dijelaskan oleh para sarjana dan juga disetujui oleh Wibowo bahwa

terdapat penyebutan dharma haji bernama Antarasasi dan Sri Ranggapura dalam kakawin

Nagarakrtagama. Berdasarkan adanya nama yang setara antara Antarasasi dan Antawulan

dan Srenggapura dengan Sri Ranggapura, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tempat

pendharmaan Jayanagara yaitu Kapopongan terdapat di dalam lingkungan keraton dengan

nama resmi Srenggapura atau Sri Ranggapura, yang berlokasi di Antawulan atau Antarasasi

yang dapat disamakan dengan dengan Trowulan (Wibowo 1983: 7).

Kata antawulan dan antarasasi sebenarnya berkaitan pula dengan dengan wulan

(bulan), anta artinya “di kedalaman” (Zoetmulder 1982, I: 82), antawulan artinya “di

kedalaman bulan”, sedangkan kata antara mempunyai beberapa arti salah satunya adalah

“di tengah” (Zoetmulder 1982, I: 84), maka antarasasi artinya “di tengah bulan”. Dengan

demikian dapat ditafirkan bahwa ada lokasi yang berkaitan dengan dewa bulan (Chandra),

atau tempat untuk memandang bulan yang sangat ideal di kota Majapahit. Di tempat yang

ideal itulah kemudian didirikan bangunan pendharmaan untuk Jayanagara dengan nama

resminya menurut Nāgarakŗtāgama adalah Sri Ranggapura (bangunan bagi sang pahlawan).

16

Page 17: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

Apabila sebelumnya telah ditafsirkan bahwa nama asli kolam Segaran adalah Citra

Wulan atau Trawulan, maka mungkin saja tempat yang dianggap sebagai lokasi terbaik

untuk memandang Dewa Chandra di kala terang purnama adalah di sekitar kolam Segaran. Di

area tersebut terdapat kolam yang bernama Citra Wulan (Segaran) dan terdapat pula

bangunan suci “di kedalaman bulan” yang bernama Sri Ranggapura. Apabila Citra Wulan

adalah kolam Segaran, maka bangunan suci yang manakah yang dekat dengan kolam

Segaran? Pertanyaan itu mudah untuk dijawab, tentunya adalah reruntuhan Candi

Menakjingga yang terdapat di arah timur kolam Citra Wulan. Sementara ini belum dijumpai

adanya reruntuhan candi lain di sekitar Segaran, kecuali Candi Menakjinggo tersebut, maka

Sri Ranggapura sangat mungkin adalah reruntuhan Candi Menakjinggo. Candi Menakjinggo

terletak di Dusun Unggah-unggahan, bahan bangunan dari bata dan batu andesit, ukuran

denah yang tersisa sekarang adalah 24,3 x 27,8 m, jarak lurus dari tepian timur kolam

Segaran sekitar 500 m. Pembahasan lebih lanjut tentang hubungan Candi Menakjinggo aatau

Sri Ranggapura sebagai pendharmaan Jayanagara akan dibicarakan dalam kajian lain

tersendiri.

Kembali kepada Citra Wulan atau kolam Segaran, terdapat pertanyaan yang harus

dijelaskan, pertama siapa raja yang memerintahkan pembangunan Citra Wulan?, dan untuk

apa pula pembangunan Segaran dalam masa Majapahit? Berdasarkan kajian yang telah

dilakukan Wibowo juga berkesimpulan bahwa kolam–kolam buatan di kota Majapahit --

termasuk Segaran-- pada masanya mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai (a)

pencegah banjir di musim hujan (penampungan air) dan (b) persediaan air di musim kemarau

(Wibowo 1977: 47). Kedua fungsi tersebut sebenarnya adalah fungsi praktis yang nyata dan

dapat diamati, namun sebagaimana telah umum diketahui bahwa dalam masyarakat

tradisional, terdapat konsepsi keagamaan yang melatarbelakangi berbagai tindakan dan

pembangunan monumen. Maka dari itu pembuatan kolam Segaran di masa Majapahit

pastinya dilatarbelakangi konsepsi keagamaan tertentu pula, jadi ada pula fungsi keagamaan

yang berperan di kolam Segaran.

17

Page 18: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

Foto 2: Kolam Segaran setelah pemugaran (Sumber: Internet)

Secara tidak langsung di bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa Segaran atau

Citra Wulan berdasarkan namanya adalah lokasi yang ideal untuk menikmati cahaya

purnama, berarti tempat yang ideal untuk melakukan pemujaan kepada Dewa Chandra.

Kekuatan dan keindahan Chandra terbayang di permukaan air kolam, bayangan bulan

purnama pasti terpantul di permukaan air, artinya air kolam pada waktu itu dipenuhi oleh

kekuatan keindahan sang Chandra. Maka dari itu terdapat fungsi tidak langsung dari kolam

Citra Wulan adalah (a) tempat pemujaan bagi Dewa Chandra, dan (b) tempat rekreasi

penduduk kota Majapahit di kala bulan bersinar.

Mengenai raja yang memerintahkan pembuatan kolam Citra Wulan sangat mungkin

adalah Hayam Wuruk (Rajasanagara) (1351—1389 M), setelah Mpu Prapanca selesai

menggubah Nāgarakŗtāgamanya dalam tahun 1365, oleh karena itu kolam Citra Wulan tidak

tercantum dalam uraian Nāgarakŗtāgama. Hayam Wuruk memerintahkan pembangunan Citra

Wulan tentunya mempunyai alasan tertentu, agaknya terdapat peristiwa yang sangat

membekas dalam jiwanya dan ia ingin mengenang peristiwa tersebut dengan lebih baik dari

konsepsi keagamaan.

Telah disebutkan dalam kitab Pararaton bahwa adanya peristiwa Pasunda-Bubat

yang terjadi dalam tahun 1357 M (Hardjowardojo 1965: 52—53, Padmapuspita 1966: 38—

39). Sebagaimana telah umum diketahui bahwa peristiwa tersebut merupakan tragedi dalam

sejarah Majapahit, ketika raja dan permaisuri Sunda yang mengiringi putrinya untuk menikah

dengan Hayam Wuruk terbunuh di tanah lapang Bubat. Hampir semua para bangsawan dan

pengiring raja Sunda tewas dalam pertempuran dengan pasukan Majapahit di Bubat, sang

18

Page 19: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

putri pun yang menurut sumber-sumber Pantun Sunda bernama Dyah Pithaloka Citrarasmi

bunuh diri mengikuti ayah-ibunya. Pernikahan agung pun batal, cinta Hayam Wuruk dan

Dyah Citrarasmi diperabukan.

Dalam tradisi Jawa Kuno terutama masa Majapahit terdapat kebiasaan untuk

mendirikan bangunan pendharmaan bagi tokoh yang telah mangkat setelah 12 tahun

kematiannya. Pada tahun ke 12 setelah mangkatnya sang tokoh diadakan upacara peringatan

kematiannya (Śraddha) dan dilengkapi dengan pendirian bangunan keagamaan untuk

memujanya sebagai dewa, biasa berupa candi pendharmaan, misalnya bangunan

Prajnaparamitapuri (candi Bayalango) bagi tokoh Rajapatni dyah Gayatri. Menurut kakawin

Nagarakrtagama Rajapatni dyah Gayatri mangkat pada tahun 1272 Śaka/1350 M (Nag.2:1),

kemudian dalam kakawin yang sama pupuh 63: 1-3 dinyatakan bahwa pada tahun 1284

Śaka/1362 M diadakan upacara Sraddha yang meriah, dihadiri oleh banyak pejabat kerajaan

dan dibangunlah Prajnaparimitapuri, arca perwujudan Gayatri sebagai Prajnaparamita

ditahbiskan oleh pendeta agung Jnanawidya. Candi tersebut, yaitu Candi Bayalango sampai

sekarang sisanya masih berdiri di wilayah Tulungagung selatan (Munandar 2003: 16).

Demikianlah bahwa kolam Citra Wulan atau Segaran sebenarnya adalah bangunan

untuk mengenang putri Sunda yang meninggal dalam tragedi Bubat. Pembangunannya

dilakukan setelah 12 tahun peristiwa tersebut terjadi, jadi jika Pasunda-Bubat terjadi pada

tahun 1357 M maka dua belas tahun kemudian adalah tahun 1369, tahun itulah dimulai

pembuatan kolam Citra Wulan. Sudah barang tentu tidak tercantum dalam Nāgarakŗtāgama

yang selesai disempurnakan oleh Mpu Prapanca tahun 1365 M.

Secara kebetulan atau tidak kebetulan artinya dipilih kata dengan disengaja, nama

putri Sunda yang meninggal di Bubat ialah Dyah Pithaloka Citrarasmi. Dalam bahasa Jawa

Kuno kata dyah menunjukkan penghormatan, kata pithaloka berarti dunia nenek moyang,

dunia para leluhur (Zoetmulder 1982, II: 1371), artinya memang putri tersebut telah tiada,

lalu kata citra berarti perwujudan cemerlang (Zoetmulder 1982, I: 330), dan rasmi berarti

keindahan yang cemerlang, sinar cahaya cemerlang (Zoetmulder 1982, II: 1518). Dengan

demikian Citrarasmi dapat diartikan sebagai “cahaya yang cemerlang”, “cahaya yang indah

menyenangkan”. Cahaya seperti itu dalam ajaran Hindu tentu saja adalah sinar bulan

purnama, milik dewa Candra. Mungkin sekalai kecantikan putri Sunda tersebut sangat molek

cemerlang ibarat sinar bulan Purnama. Jika demikian halnya maka kata Citrarasmi dalam

19

Page 20: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

pengertian yang lebih luas identik saja dengan Citra Wulan/Trawulan. Hipotesa selanjutnya

adalah bahwa kolam Trawulan atau Segaran itu sejatinya dibuat atas perintah Hayam Wuruk

untuk mengenang putri idaman hatinya yang tidak pernah dipersuntingnya, Dyah Pithaloka

Citrarasmi.Pada malam purnama diadakan upacara Upasatha/Uposatha, saat itu para

pemeluk Buddha merenungkan 8 sila yang telah dijalankan dan para bhiksu melafalkan

Patimokkha yang telah menjadi pilihan hidup mereka (Bhikkhu Bodhi 2010: 713—714).

Waktu-waktu yang indah itulah Hayam Wuruk mengadakan upacara pemujaan kepada arwah

Citrarasmi yang telah bersatu dengan dewa-dewa di pithaloka.

Di bagian akhir cerita Panji Angreni diuraikan bahwa pada suatu malam Raden Panji

Inu Kertapati (Hayam Wuruk) yang telah mempersunting Dewi Sekar Taji (Indu Dewi)

sepupunya, putri raja Panjalu (Munandar 2009a: 143--144), sedang bercengkerama di taman

kedaton. Tiba-tiba dari kerimbunan bunga Angsoka “keluar bayangan Dewi Angreni”, naik

membumbung menuju angkasa yang dipenuhi gemerlap cahaya purnama. Raden Inu bersedih

menyaksikan hal itu, lalu turunlah Dewa Narada (?) dan mengatakan kepada Inu bahwa

dirinya tidak perlu bersedih, karena arwah Angreni sekarang telah bersatu dengan dewa

Chandra. Kecantikan Angreni menjelma menjadi sinar bulan yang sekarang menyinari pula

diri Sekar Taji, kecantikan kedua putri pun telah berpadu satu, oleh karena itu Inu kemudian

diminta untuk mengganti nama Dewi Sekar Taji dengan nama Dewi Candrakirana. Arti kata

Candrakirana sinonim dengan Citrarasmi atau Citra Wulan/Trawulan, jadi apakah semua itu

hanya kebetulan belaka?, apakah benar demikian?Z

/4/ Epilog

Hubungan antara masyarakat Jawa Kuno dan Sunda Kuno sejak awal sejarahnya

berlangsung secara dinamis, berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, dapat diketahui

bahwa hubungan itu secara umum berlangsung damai, namun tidak ada tertutup

kemungkinan adanya terjadi kesalahanpahaman dan konflik seperti Pasunda-Bubat.

Sebagaimana telah dibicarakan pada bagian terdahulu risalah ini, dengan mengikut sumber

sejarah Jawa Kuno yang terbatas dapat diketahui bahwa setelah peristiwa Pasunda-Bubat

hubungan antara masyarakat Jawa Kuno (Majapahit) dan Sunda Kuno berlangsung biasa saja,

tidak dibumbui dengan dendam dan permusuhan. Hal yang sama mungkin juga ditemukan

dalam sumber-sumber tertulis Sunda Kuno bahwa hubungan antara kedua masyarakat

berlangsung dengan damai.

20

Page 21: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

Sumber-sumber yang ada justru menjelaskan bahwa hubungan cukup baik terjadi

dalam bidang keagamaan, kaum agamawan Sunda dan Jawa saling berkunjung satu dengan

lainnya secara akrab. Jika dalam naskah Bujangga Manik dinyatakan bahwa sang Bujangga

mengadakan perjalanan ke Tanah Jawa dan bermukim lama di Palah (Candi Panataran)

(Noorduyn 1982: 430—431) , maka dalam kitab Tantu Panggelaran Mpu Waluh Bang yang

pergi ke barat Pulau Jawa untuk membuka dan berbagai permukiman agamawan di Tatar

Sunda (Nurhajarini dkk. 1999: 121). Dalam kitab yang sama disebutkan pula bahwa gunung-

gunung di Pulau Jawa asalnya dari Mahameru, bagian pangkal gunung itu ada di Tatar Sunda

menjelma menjadi Gunung Salak, ada pun bagian tubuh dan puncaknya bertebaran menjadi

gunung-gunung lain dari Jawa bagian tengah hingga timur.

Sepanjang abad ke-15 hingga kedatangan para pedagang barat, bandar-bandar di

pantai utara Jawa ramai didatangi kaum niagawan, baik Bandar-bandar di Jawa bagian barat

atau timur. Para pedagang dari etnik-etnik Nusantara meramaikan aktivitas niaga tersebut,

mereka yang berkegiatan dari berbagai suku, dan berbeda agama, bahkan ada para pendatang

dari luar (Cina, Champa, Sima, dan orang-orang Portugis). Dengan demikian kegiatan

ekonomi di Pulau Jawa secara umum tidak terganggu setelah terjadinya Pasunda-Bubat.

Dalam pada itu relief cerita Panji yang dipahatkan di candi-candi dan kolam Citra

Wulan adalah bukti arkeologis yang keberadaannya dapat dihubungkan dengan bukti rasa

bersalah dan penyesalan pihak Majapahit atas gagalnya perkawinan agung antara Dyah

Pithaloka Citrarasmi dan Rajasanagara. Hayam Wuruk dan penduduk Majapahit setiap

malam bulan purnama senantiasa menikmati cahaya rembulan yang juga terpantul di

permukaan air danau Citra Wulan. Keindahan cahaya purnama malam itu seakan-akan bentuk

perpaduan dua dewi, yaitu Citrarasmi dan Indudewi (kedua nama itu merujuk kepada bulan).

Keindahan cinta pertama Hayam Wuruk terpaksa harus diperabukan, namun itu adalah takdir

dewata yang terjadi di luar rencana manusia.

Catatan:1.Sampai sekarang lokasi tepatnya tanah lapang Bubat belum dapat diketahui, penduduk Trowulan mempercayai bahwa Bubat masih terletak di Trowulan juga, yaitu area di belakang Museum Pusat Informasi Majapahit membentang sampai jalan raya Mojokerto-Jombang. Apabila Trowulan adalah tempat kedudukan Ibu Kota Majapahit, menurut uraian kakawin Nagarakrtagama Bubat terletak di utara kota, rombongan raja harus menaiki kereta dan berkuda untuk mencapainya, dengan demikian menjadi tidak tepat jika menempatkan Bubat masih di kawasan Trowulan. Hadi Sidomulyo dalam bukunya yang berjudul Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca (2007) pernah melakukan penjelajahan di wilayah utara Trowulan, dia menyimpulkan bahwa Bubat terletak di arah selatan Kali Gunting yang membelok ke timur di wilayah utara Kecamatan Trowulan dan Sooko, di daerah tersebut terdapat desa yang sekarang dinamakan dengan Desa Tempuran yang diduga sebagai bekas

21

Page 22: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

arena pertempuran (Sidomulyo 2007: 23—24). Kesimpulan itupun belum tentu benar, namun jika mempertimbangkan lokasi geografis, keadaan lansekap dan jarak yang relatif jauh dari Trowulan, apa yang disimpulkan Sidomulya itu haruslah diperhatikan sebagai alternatif lokasi tanah lapang Bubat.

2.Hal yang menarik untuk ditelisik lebih lanjut adalah nama puteri Raja Daha itu ialah Raden Galuh (Zoetmulder 1985: 536), kata Galuh dapat mengingatkan orang kepada puteri Sunda dari Kerajaan Sunda-Galuh yang meninggal dalam Pasunda-Bubat. Apakah hal itu bentuk metafora yang lain?, tentunya harus dikaji lebih lanjut.

3.Uraian lebih lanjut tentang bermacam kepurbakalaan di sebelah barat Bogor serta hubungan antara Pakwan-Pajajaran yang berlokasi di Bogor dengan Gunung Salak (Gunung Kalasa) silakan lihat karya Agus Aris Munandar, Situs Sindangbarang Bukti Kegiatan Keagamaan Masyarakat Kerajaan Sunda (abad 13—15): Laporan Hasil Penelitian Awal (2007) dan juga “Permukiman Kuno di Bogor”, dalam buku Tatar Sunda Masa Silam (2010), terutama halaman 99—199.

4.Penduduk setempat di Bejijong, Trowulan, mempunyai kepercayaan bahwa Candi Brahu dahulu berfungsi sebagai crematorium raja-raja Majapahit yang bergelar Brawijaya. Memang arsitektur candi itu agak berbeda dengan candi-candi Majapahit sezaman, candi terbuat dari susunan bata, tubuh candi berdiri di kaki yang berteras-teras meninggi, begitupun ruang bilik candi dibuat tinggi dengan langit-langit berbentuk kerucut. Bentuk arsitektur Candi Brahu apabila dilihat secara keseluruhan dari jauh mirip dengan caitya yang berbentuk tugu, di bagian tengah atapnya diduga dahulu pernah berdiri stupa utama yang dikelilingi stupa-stupa yang lebih kecil di sekitarnya, salah satu stupa kecil itu (di sudut tenggara bagian atap) masih tersisa bagian lapiknya.

5.Pembahasan telah dilakukan secara panjang lebar dalam karya Agus Aris Munandar, “Bingkai Sejarah yang menjadi Acuan Kisah Panji”, makalah yang dibentangkan dalam Seminar Internasional Jawa Kuno: Mengenang Jasa-jasa Prof.Dr.P.J.Zoetmulder S.J. Kajian Bahasa, Sastra , dan Budaya Jawa Kuna. Diselenggarakan oleh Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok,8—9 Juli 2005. Makalah ini telah menjadi salah satu bab dalam buku Arkeologi dan Sumber Tertulis (2017), Depok: Center for Indonesian Arts Documentation. Halaman 56—99. Kemudian dibahas pula dalam buku dari penulis yang sama berjudul Gajah Mada: Kuasa, Cita-cita & Prahara.(2009). Bogor: Akademia. Dalam Bab 10: 105—114.

Daftar Pustaka

Ayatrohaedi, 1988. Serat Dewabuda: Alih Aksara dan Terjemahan. Naskah Laporan Penelitian untuk bagian Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Sunda, (Sundanologi) Bandung.

Bernet Kempers, A.J., 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J.van Der Peet.

22

Page 23: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

Bikkhu Bodhi, 2010. Tipiţaka Tematik: Sabda Buddha dalam Kitab Suci Pāli. (Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Hendra Widjaja). Ehipassiko Collection. Dicetak oleh PT.Gramedia Jakarta.

Cortesao, Armando, 1944. The Suma Oriental of Time Pires: An account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512—1515 and The Book of Francisco Rodrigues: Rutter of Voyage in the Red Sea, Nautical Rules, Alamanack and Maps, written and drawn in the East before 1515. Reproduced, by permission of the Hakluyt society from the edition originally published by the society in 1944. Nederland/Liechtenstein: Kraus Reprint Limited, 1967.

Groeneveldt, W.P., 2009. Indonesia dalam Catatan Tionghoa. (Judul asli Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources). Jakarta: Komunitas Bambu.

Hardjowardojo, Pitono, 1965. Pararaton. Djakarta: Bhratara.

Kasdi, Aminuddin, 2008. Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Arok: Kajian Historis sebagai Sastra Sejarah. Surabaya: Unesa University Press.

Kriswanto, Agung, 2009. Pararaton Alih Aksara dan Terjemahan. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Maclaine Pont, H., 1924. “Majapahit. Poging tot Reconstructie van het Stadsplan, Nagezocht op het Terrein aan de Hand van den Middeleeuwscheen Dichter Prapanca”, OV. Bijlage D: 36—75.

Munandar, Agus Aris, 2003. Aksamala: Bunga Rampai Karya Penelitian. Seri Kajian Arkeologi. Bogor: Akademia.

-------------, 2007. Situs Sindangbarang Bukti Kegiatan Keagamaan Masyarakat Kerajaan Sunda (abad 13—15 M): Laporan Hasil Penelitian Awal. Bogor: Padepokan Giri Sunda Pura.

-------------, 2009. Gajah Mada: Kuasa Cita-cita & Prahara. Bogor: Akademia.

Nakada, Kozo, 1982. An Inventory of the Dated Inscriptions in Java. Tokyo: The Toyo Bunko.

Noorduyn, J., 1982. “Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical data from an Old Sundanese Source”, dalam Bijdragen tot de taal, land-, en volkenkunde, Deel 138 4e Aflevering. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Halaman 413—442.

Nurhajarini, Dwi Ratna dkk., 1999. Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu Panggelaran. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, Dit.Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud.

23

Page 24: disbudpar.jatimprov.go.iddisbudpar.jatimprov.go.id/uploads/berkas/JEJAK HUBUN…  · Web viewDemikianlah kajian ringkas ini mencoba untuk membicarakan bukti-bukti perihal hubungan

Padmapuspita, Ki J., 1966. Pararaton: Teks Bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta: Taman Siswa.

Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas, 1924. De Tantu Panggelaran: Een Oud-Javaansch Prozageschrift, uitgegeven, vertaald en toegelicht. ‘s-Gravenhage: Nederl.Boek-en Steendrukkerij voorheen H.L.Smits.

----------, 1960—63, Java in The 14th Century A Study in Cultural History: The Nagara-kertagama By Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 AD. Volume I—V. The Hague: Martinus Nijhoff.

Poerbatjaraka, R.M.Ng. dan Tardjan Hadidjaja, 1957. Kepustakaan Djawa. Djakarta: Djambatan.

Poerbatjaraka, R.M.Ng. & Soewito Santoso (Penerjemah), 1975. Calon Arang si Janda dari Girah. Jakarta: Balai Pustaka.

Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, 1986. Rencana Induk Arkeologi Bekas Kota Kerajaan Majapahit, Trowulan. Jakarta: Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud.

Robson, S.O., 1979. “Notes on the early Kidung literature”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 135 , no: 2/3, Leiden. Halaman 300--322.

Robson, Stuart, 1995. Deśawarņana (Nāgarakŗtāgama) By Mpu Prapanca. Leiden: KITLV Press.

Sidomulyo, Hadi, 2007. Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Wedatama Widya Sastra, Yayasan Nandiswara, dan Jurusan Pendidikan Sejarah Unesa.

Stuart, A.B.Cohen, 1875. Kawi Oorkonden: Inleiding en Transscriptie voor rekening van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Leiden: E.J.Brill.

Wibowo, A.S., 1977. “Fungsi Kolam-Buatan di Kota Majapahit”, dalam Majalah Arkeologi. Tahun I, No.2, November. Jakarta: Lembaga Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Halaman 41—49.

-----------, 1983. ”Nagarakrtagama dan Trowulan”, dalam Berkala Arkeologi. IV (1), Maret. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Halaman 1--20.

Zoetmulder, P.J.,1982. Old Javanese-English Dictionary. 2 Volumes. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

-------------------, 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. Zoetmulder P.J. & S.O.Robson, 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia 1 dan 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

24