HPSI

download HPSI

of 8

description

hukum

Transcript of HPSI

1. Sejak perkembangan konferensi Hague 1899 telah banyak perkembangan metode penyelesaian sengketa Internasional, dengan menggunakan sumber hukum Internasional dan yurisprudensi, jelaskan metode penyelesaian sengketa yang diatur dalam Piagam PBB!Dalam proses pembentukannya, PBB memiliki tujuan yakni menjaga kedamaian dan keamanan internasional tercantum di dalam pasal 1 Piagam, yang berbunyi : To maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace. Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, yang dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu :A. Penyelesaian sengketa secara diplomatika) NegosiasiMerupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional. Dalam praktek negosiasi, ada dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah negosiasi ketika sengketa telah lahir.b) PenyelidikanJ.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para pihak yang tidak disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara mereka. Dalam beberapa kasus, badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.

c) MediasiKetika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa. Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan. Dalam menjalankan tugasnya, mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.d) KonsiliasiSama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak. Pada prakteknya, proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi. Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan mediasi. Karena dalam konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi akan mendengarkan keterangan lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.e) Jasa BaikJasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: the involvement of one or more States or an international organization in a dispute between states with the aim of settling it or contributing to its settlement.Pada pelaksanaan di lapangan, jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical good offices), dan jasa baik politis (political good offices). Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu kompetensi.

B. Penyelesaian sengketa secara hukuma) ArbitraseHukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.b) Pengadilan InternasionalSelain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for Human Rights, dan lainnya.Kehadiran pengadilan internasional sesungguhnya telah dikenal sejak eksisnya Liga Bangsa-Bangsa, yaitu melalui Permanent Court of International Justice (PCIJ). Namun seiring dengan bubarnya LBB pasca Perang Dunia II, maka tugas dari PCIJ diteruskan oleh ICJ sejalan dengan peralihan dari LBB kepada PBB.Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa.

2. Salah satu kesulitan penyelesaian sengketa Internasional melalui Mahkamah Internasional adalah penentuan yurisdiksi Mahkamah Internasional, jelaskan dengan menggunakan dasar hukum!

Yurisdiksi Mahkamah Internasional adalah kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Internasional yang bersumber pada hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Yurisdiksi ini menjadi dasar mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional. Yurisdiksi Mahkamah Internasional mencakup dua hal, yakni :

A. Yurisdiksi atas pokok sengketa yang diserahkannya (Contentious Jurisdiction)

Merupakan kewenangan Mahkamah untuk mengadili suatu sengketa antara dua Negara atau lebih (jurisdiction ratione personae). Pasal 34 dengan tegas menyatakan bahwa hanya negara sajalahyang bisa menyerahkan sengketanya ke Mahkamah. Dengan kata lain,subyeksubyek hukum internasional lainnya seperti organisasiinternasional, perusahaan multinasional, orang perorangan, pihakyang bersengketa, dll., tidak bisa meminta Mahkamah untukmenyelesaikan sengketanya. Apabila individu atau perusahaan merasa dirugikan oleh adanyatindakan negara lain, maka untuk dapat sengketa tersebutdiserahkan dan ditangani oleh Mahkamah, negara individu atau dinegara di mana perusahaan didaftarkan dapat mengambil alihsengketa tersebut dan mengajukannya kepada Mahkamah.Menurut Pasal4ayat (3) Statuta, Dewan Keamanan dapatmenganjurkan agar para pihak menyerahkan sengketanya kepadaMahkamah. Namun anjurananjuran demikian tidak dapat memaksanegaranegaraagar sengketa mereka diselesaikan oleh Mahkamah. Kesepakatan negara merupakan dasar dari yurisdiksi Mahkamah.Kata sepakat ini esensial. PBB tidak menggunakan istilahkata sepakat, tetapi 'pengakuan dari suatu negara terhadapjurisdiksi Mahkamah atas suatu sengketa.Pengakuan dapatdilakukan dilakukan suatu negara melalui penandatangananperjanjian (acta compromis), tindakan sepihak, atau cara-cara lainnya.Yurisdiksi Mahkamah Internasional dapat dilaksanakan melalui cara-cara sebagai berikut :i. Pasal 36 ayat (1) StatutaBerdasarkan pasal 36 ayat (1) Statuta, Jurisdiksipengadilan mencakup semua sengketa yang diserahkan oleh parapihak dan semua persoalan yang ditetapkan dalam Piagam PBB yangdituangkan dalam perjanjianperjanjian atau konvensikonvensiinternasional yang berlaku.Di samping perjanjian atau konvensi internasional, parapihak dapat pula sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepadaMahkamah, kesepakatan tersebut harus tertuang dalam suatu aktaatau perjanjian (acta compromis). Perjanjian tersebut harusmenyatakan dengan tegas kesepakatan keduabelah pihak dan harusmenyatakan penyerahan sengketa kepada Mahkamah Internasional.ii. Doktrin Forum ProrogatumMenurut doktrimforum prorogatum, Jurisdiksi seperti ini (propogated jurisdiction) timbul manakala hanya satu negara saja yang menyatakan dengan tegas persetujuannya atas jurisdiksi Mahkamah. Kesepakatan pihak lainnya diberikan secara diamdiam,tidak tegas, atau tersirat saja. Dalam sengketathe Corfu Channelcase(1948), Mahkamah menyimpulkan bahwa surat dari Wakil MenteriLuar Negeri Albania merupakan pernyataan kesepakatan pemerintahAlbania untuk menyelesaikan sengketanya oleh Mahkamah.Dalam kasusthe Rights of Minorities in Polish UpperSilesia(1928), Mahkamah Permanen Internasional menyatakan bahwajurisdiksi dapat tersirat dari tindakan-tindakan suatu negara.Misalnya, negara tersebut menyerahkan argumen-argumennya ataspokok sengketa, tanpa membuat pernyataan mengenai keberatannyaatas jurisdiksi Mahkamah.

iii. Optional Clause Pasal 36 ayat (2) StatutaKetiga, berdasarkan pasal 36 ayat (2), yaitu klausulpilihan (the optional clause). Ketentuan pasal 36 ayat (2) inimenyatakan bahwa negaranegara peserta pada Statuta dapat setiapwaktu menyatakan penerimaan wajibipso factojurisdiksi Mahkamahdan tanpa adanya perjanjian khusus terhadap negara yang menerimakewajiban serupa atas semua sengketa hukum mengenai: penafsiran suatu perjanjian; setiap masalah hukum internasional; eksistensi suatu fakta yang mana, jika terjadi, akan merupakansuatu pelanggaran kewajiban internasional; sifat dan ruang lingkup ganti rugi yang dibuat ataspelanggaran suatu kewajiban internasional

Meskipun pasal 36 ayat (2) tidak secara khusus memberikanhak-hak demikian itu, negaranegara acapkali membuat pernyataanpernyataanyang tunduk pada persyaratan-persyaratan. Persyaratanyang dibuat biasanya berkaitan dengan hal-hal berikut:

sengketa-sengketa yang forum penyelesaian sengketanya telahditetapkan; sengketa-sengketa yang timbul sebelum suatu tanggal yangpasti, yang mana biasanya adalah tanggal dibuatnya pernyataan; sengketa-sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanyaperselisihan (hostilities); sengketa-sengketa yang berkaitan dengan masalah-masalah yangmenjadi jurisdiksi pengadilan setempat dari negara yangmembuat pernyataan, sebagaimana ditetapkan oleh hukuminternasional atau bahkan oleh negara yang bersangkutan; persyaratan mengenai sengketa dengan negara tertentu, misalnyaantara negaranegara anggota persemakmuran atau sengketadengan negara-negara yang negaranya tidak memiliki hubungandiplomatik; persyaratan untuk tujuan-tujuan tertentu yang pihak lainnyatelah pula menerimaOptional Clauseini (resiprositas); pensyaratan mengenai perjanjian multilateral tertentu; persyaratan mengenaimasalah masalahhukum laut.Seperti disebut dimuka, negara-negara sebelummenyerahkan sengketanya kepada Mahkamah, harus terlebih dahulumembuat pernyataan atau deklarasi mengenai maslahmasalah yangakan diserahkan dan diselesaikan oleh Mahkamah.

Karena persyaratan-persyaratan demikian dibuat atas dasarresiprositas (timbal balik), maka Mahkamah hanya memilikijurisdiksi hanya pada ruang lingkup atas masalahmasalah yangberada atau yang dinyatakan dalam pernyataan itu saja. Karenaitu, jurisdiksi Mahkamah berdasarkan pasal 36 ayat (2) bisadikelompokan ke dalam dua bagian: salah satu pihak dapat menggantungkan pada suatu yangdibuatnya untuk membatasi jurisdiksi Mahkamah, dan salah satu pihak dapat menyandarkan pada persyaratanpersyaratanyang dibuat oleh salah satu pihak yang mencobauntuk membuat jurisdiksi atas dasar resiprositas, sebagaisuatu pembatasan atas jurisdiksi Mahkamah.

Kemudianada duaalasan utama di mana Mahkamah berkeberatan atau menolak untukmenyelesaikan sengketa yang diserahkankepadanya.

Instrumen kesepakatan perjanjian (acta compromis) para pihakyangberisi penyerahan sengketa ke Mahkamah tidak lagi mempunyaikekuatan hukum atau berlaku. Alasan ini tampak dalam sengketatheTemple of Preah Vihear (Cambodia v Thailand)(ICJ Rep. 1961, p.17);the Aerial Accident of 10 March 1953 (United States vCzechoslovakia) (ICJ Rep. 1956, p. 6). Alasan lain, suatusengketa dikesampingkan oleh satu pihak dengan dibuatnyapersyaratan terhadap instrumen perjanjian (misalnya dalamsengketathe Military and Paramilitary Activities in and AgainstNicaragua (Nicaragua v United States)(ICJ Rep. 1984, p. 392); Sengketa tidak dapat diterima karena tidak adanya dasar hukum(jus standi), misalnya dalam sengketathe South West Africa(Ethiopia v South Africa, Liberia v South Africa)(ICJ Rep. 1962,p. 319), atau karena tidak ditaatinya prinsipexhaustion of localremedies, misalnya dalam sengketathe Interhandel (Switzerland vUnited States)(ICJ Rep. 2957, p. 105)45; atau karena sebenarnyatidak adanya sengketa di antara para pihak, misalnya dalamsengketathe Rights of Passage over Indian Territory (Portugal vIndia)(ICJ Rep. 1957, p. 125).

B. Noncontentious Jurisdiction / yurisdiksi untuk memberikan nasihat hukum (Advisory Jurisdiction)Dasar hukum jurisdiksi Mahkamah untuk memberikan nasihatataupertimbangan (advisory) hukum kepada organ utama atau organPBB lainnya. Nasihat hukum yang diberikan terbatas sifatnya,yaitu hanya yang terkait dengan ruang lingkup kegiatan atauaktivitas dari 5 badan atau organ utama dan 16 badan khusus PBB. Dasar hukum lainnya yang juga memberi wewenang yang lebih luas kepada Mahkamah untuk memberikan nasihatnya disamping organ organ utama atau khusus PBB, terdapat pula dalam pasal 65 Piagam. Pasal ini menyatakan, Mahkamah dapat memberikan pendapatnya atau nasihatnya mengenai setiap masalah hukum yang diserahkan kepadanya atas permohonan badanbadan manapun juga yang diberi wewenang atau yang sesuai dengan Piagam PBB untuk membuat permohonan demikian.Dasar hukum jurisdiksi Mahkamah di dalam memberikan nasihathukumnya ini biasanya termuat pula dalam konstitusi, konvensi,statuta, atau instrumen-instrumen perjanjian lainnya. Misalnya,perjanjian markas besar atau konvensi mengenai hakhak istimewadan kekebalan suatu organisasi internasional (publik).Contoh konstitusi atau konvensi yang memuat hak untukmeminta nasihat hukum pada Mahkamah antara lain adalah KonstitusiILO (9 Oktober 1946), Konstitusi FAO (16 Oktober 1945),Konstitusi UNESCO (16 November 1945), Konstitusi WHO (22 Juli1946), Konvensi IMCO (yang berubah menjadi IMO) (6 Maret 1948),Statuta IAEA (24 Oktober 1956), dll.Kekuatan hukum nasihat yang diberikan oleh Mahkamah initidaklah mengikat. Organisasi internasional (publik) yang memintanasihat hukum tersebut bebas untuk melaksanakan atau menolaknasihat hukum tersebut.Namun dalam praktek, badan-badan atau organorgan yangmemohon nasihatnya dari Mahkamah telah menghormatinya denganseksama. Bahkan beberapa nasihat hukum Mahkamah telah memberikansumbangan berarti bagi perkembangan hukum internasional. Contohyang cukup terkenal dalam hal ini adalah pendapat hukum Makamahdalam sengketathe Reparation Case(1949). Dalam sengketa ininasihat hukum Mahkamah memberikan sumbangan yang sangat pentingbagi perkembangan hukum internasional, yakni memberikanpenjelasan hukum mengenai personalitas dan kemampuan hukumorganisasi internasional dalam hukum internasional.

3. Mahkamah Internasional dan Dewan Keamanan adalah dua organ utama PBB yang memiliki kedudukan sama berdasarkan Piagam PBB. Dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa melalui mekanisme Mahkamah Internasional, apakah Mahkamah Internasional dapat memberikan pandangan terhadap keputusan yang diambil sebelumnya oleh Dewan Keamanan dengan memperhatikan kasus Lockerbie ( Libya v. The United States and United Kingdom).