Hiv

24
1. Definisi HIV/AIDS 1.1 Definisi HIV HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus ini menyerang organ – organ vital sistem kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak sel T4 CD4+ secara langsung dan tidak langsung, sel T4 CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. 1.2 Definisi AIDS AIDS merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome. Syndrome berarti kumpulan gejala- gejala dan tanda – tanda penyakit. Deficiency berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, dan Aquired berarti diperoleh atau didapat. Oleh karena itu, AIDS dapat diartikan seagai kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang. 1

description

science

Transcript of Hiv

1. Definisi HIV/AIDS1.1 Definisi HIVHIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus ini menyerang organ organ vital sistem kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik. HIV merusak sel T4 CD4+ secara langsung dan tidak langsung, sel T4 CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik.1.2 Definisi AIDSAIDS merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome. Syndrome berarti kumpulan gejala- gejala dan tanda tanda penyakit. Deficiency berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, dan Aquired berarti diperoleh atau didapat. Oleh karena itu, AIDS dapat diartikan seagai kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang.AIDS merupakan suatu sindroma yang amat serius, dan ditandai oleh adanya kerusakan sistem kekebalan tubuh penderitanya. Dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS merupakan akhir dari infeksi HIV.

2. Etiologi dan PatogenesisVirus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan.Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV.22 HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen.Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi.22 Pada masa ini, tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat serta test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window periode).23 Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai 90%, artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang terkontaminasi HIV maka dapat dipastikan orang tersebut akan menderita HIV sesudah transfusi itu.27 Di negara maju resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil, hal ini dikarenakan pemilihan donor yang semakin bertambah baik dan pengamatan HIV telah dilakukan. Namun demikian, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan.HIV tidak menular melalui peralatan makanan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara bersama-sama, ciuman pipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita HIV yang bukan mitra seksual dan hubungan sosial lainnya. Air susu ibu pengidap HIV, saliva/air liur, air mata, urin serta gigitan nyamuk belum terbukti dapat menularkan HIV/AIDS.

6. DiagnosisAda dua sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk dewasa dan remaja dengan infeksi HIV yaitu menurut WHO dan CDC (Centre for Diseases Control and Prevention)a. Klasifikasi menurut CDC CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS pada remaja (>13 tahun dan dewasa) berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebalan tubuh ditunjukkan oleh limfosit CD4+. Sistem ini terdiri dari tiga kategori yaitu : a.1. Kategori Klinis A : CD4+ > 500 sel/ml Meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik), Limfadenopati generalisata yang menetap, infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut. a.2. Kategori Klinis B : CD4+ 200-499 sel/ml Terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik) pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut yaitu keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan dengan perantara sel (cell mediated immunity), atau kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV.Termasuk kedalam kategori ini yaitu Angiomatosis basilari, Kandidiasis orofaringeal, Kandidiasis vulvovaginal, Dysplasia leher rahim, Herpes zoster, Neuropati perifer, penyakit radang panggul. a.3. Kategori Klinis C : CD4+ < 200 sel/ml Meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS dan pada tahap ini orang yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi dan keganasan yang mengancam kehidupannya, meliputi : Sarkoma Kaposi, Kandidiasis bronki/trakea/paru, Kandidiasis esophagus, Kanker leher rahim invasif, Coccidiodomycosis, Herpes simpleks, Cryptosporidiosis, Retinitis virus sitomegalo, Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV, Bronkitis/Esofagitis atau Pneumonia, Limfoma Burkitt, Limfoma imunoblastik dan Limfoma primer di otak, Pneumonia Pneumocystis carinii.b. Klasifikasi menurut WHOPada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia, dalam hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik. Gejala mayor terdiri dari : penurunan berat badan > 10%, demam yang panjang atau lebih dari 1 bulan, Diare kronis, Tuberkulosis. Gejala minor terdiri dari: Kandidiasis orofaringeal, batuk menetap lebih dari 1 bulan, kelemahan tubuh, berkeringat malam, hilang nafsu makan, infeksi kulit generalisata, Limfadenopati generalisata, Herpes zoster, infeksi Herpes simplex kronis, Pneumonia, Sarcoma Kaposi.WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa menjadi 4 stadium klinis, yaitu : 1. Stadium I Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya Limfadenopati generalisata.2. Stadium II Simptomatik, aktivitas normal, berat badan menurun 10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat Kandidiasis orofaringeal, TB paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi bakterial yang berat seperti Pneumonia dan Piomiositis.4. Stadium IVPada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas ditempat tidur >50%, terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi opurtunistik seperti Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Kriptosporidiosis ekstrapulmonal, Retinitis virus sitomegalo, Herpes simpleks mukomutan >1 bulan, Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis diseminata seperti histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru, Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV.

7. Pemeriksaan Penunjanga. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay) Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif sehingga menyebabkan false positif, diantaranya penyakit autoimun ataupun karena infeksi.16 Sensivitas ELISA antara 98,1%-100% dan dapat mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah.b. Western Blot Western Blot memiliki spesifisitas (kemampuan test untuk menemukan orang yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%. Namun pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.30 Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulanc. PCR (Polymerase chain reaction) PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.

8. PenatalaksanaanIndikasi Saat penghentian Dosis Pemantauan

Bila tidak tersedia pemeriksaan jumlah sel CD4, semua pasien diberikan kotrimoksasol segera setelah dinyatakan HIV positif 2 tahun setelah penggunaan kotrimoksasol jika mendapatkan ARV. 960 mg/ hari dosis tunggal Efek samping berupa tanda hipersensitivitas seperti demam, rash, sindrom Steven Johnson, tanda penekanan sumsum tulang seperti anemi, trombositopeni, lekopeni, pansitopeni Interaksi obat dengan ARV dan obat lain yang digunakan dalam pengobatan penyakit terkait HIV.

Bila tersedia pemeriksaan jumlah sel CD4 dan terjangkau, kotrimoksasol diberikan pada pasien dengan jumlah CD4 200 sel/mm3 pada pemeriksaan dua kali interval 6 bulan berturut-turut jika mendapatkan ARV

Semua bayi lahir dari ibu hamil HIV positif berusia 6 minggu Dihentikan pada usia 18 bulan dengan hasil test HIV negatif Jika test HIV positif dihentikan pada usia 18 bulan jika mendapatkan terapi ARV Trimetropim 8 10 mg/kg BB dosis tunggal

Pemberian Antiretroviral pada ibu hamilNo. Situasi Klinis Rekomendasi Pengobatan (Paduan untuk Ibu)

1 ODHA dengan indikasi Terapi ARV dan kemungkinan hamil atau sedang hamil AZT + 3TC + NVP atau TDF + 3TC(atau FTC) + NVP

Hindari EFV pada trimester pertama AZT + 3TC + EVF* atau TDF + 3TC (atau FTC) + EVF*

2 ODHA sedang menggunakan Terapi ARV dan kemudian hamil Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP atau golongan PI jika sedang menggunakan EFV pada trimester I) Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan sesudah persalinan

3 ODHA hamil dengan jumlah CD4 >350/mm3 atau dalam stadium klinis 1. ARV mulai pada minggu ke 14 kehamilan Paduan sesuai dengan butir 1

4 ODHA hamil dengan jumlah CD4 < 350/mm3 atau dalam stadium klinis 2, 3 atau 4 Segera Mulai Terapi ARV

Pemberian Antoretroviral pada ibu hamil dengan berbagai situasi klinisNo. Situasi Klinis Rekomendasi Pengobatan (Paduan untuk Ibu)

1ODHA hamil dengan Tuberkulosis aktif OAT yang sesuai tetap diberikan Paduan untuk ibu, bila pengobatan mulai trimester II dan III: AZT (TDF) + 3TC + EFV

2Ibu hamil dalam masa persalinan dan tidak diketahui status HIV Tawarkan tes dalam masa persalinan; atau tes setelah persalinan. Jika hasil tes reaktif maka dapat diberikan paduan pada butir 1

3 ODHA datang pada masa persalinan dan belum mendapat Terapi ARV Paduan pada butir 1

Terapi ARV untuk pasien infeksi TB-HIV

CD4 Paduan yang Dianjurkan Keterangan

Berapapun jumlah CD4 Mulai terapi TB. Gunakan paduan yang mengandung EFV (AZT atau TDF) + 3TC + EFV (600 mg/hari). Setelah OAT selesai maka bila perlu EFV dapat diganti dengan NVP Pada keadaan dimana paduan berbasis NVP terpaksa digunakan bersamaan dengan pengobatan TB maka NVP diberikan tanpa lead-in dose (NVP diberikan tiap 12 jam sejak awal terapi) Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8 minggu)

CD4 tidak mungkin diperiksa Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8 minggu)

16