Hipokalemia, Hiponatremia, Asidosis Metabolik.docx
-
Upload
alitharachma -
Category
Documents
-
view
307 -
download
9
description
Transcript of Hipokalemia, Hiponatremia, Asidosis Metabolik.docx
Hiponatremia
Patofisiologi
Hiponatremia adalah kelebihan cairan relative yang terjadi bila :
1. Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi
2. Ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan melali saluran
cerna, gagal jantung dan sirosis hati atau pada SIADH (Syndrome of Inappropriate ADH-
secretion).
Berdasarkan prinsip di atas maka etiologi hiponatremia dapat dibagi atas :
- Hiponatremia dengan ADH meningkat
- Hiponatremia dengan ADH tertekan fisiologik
- Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal atau tinggi
Sekresi ADH meningkat akibat deplesi volume sirkulasi efektif seperti pada muntah, diare,
perdarahan, jumlah urin meningkat, gagal jantung, sirosis hati, SIADH, insufisiensi adrenal, dan
hipotiroid. Pada polidipsia primer dan gagal ginjal terjadi ekskresi cairan lebih rendah
disbanding adupan cairan sehingga menimbulkan respons fisiologik yang menekan sekresi ADH.
Respon fisiologik dari hiponatremia adalah tertekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus
sehingga sekresi urin meningkat karena saluran air (AQP2A) di bagian apical duktus koligentes
berkurang (osmolaritas urin rendah).
Pemberian cairan iso-osmotik yang tidak mengandung natrium ke dalam cairan ekstrasel
dapat menimbulkan hiponatremia disertai osmolalitas plasma normal. Tingginya osmolalitas
plasma pada keadaan hiperglikemia atau pemberian manitol intravena menyebabkan cairan
intrasel keluar dari sel menyebabkan dilusi cairan ekstrasel yang menyebabkan hiponatremia.
Dalam keadaan normal, 93% dari volume plasma terdiri dari air dan elektrolit sedang 7%
sisanya terdiri dari lipid dan protein. Pada hiperlipidemia atau hiperproteinemia berat akan
terjadi penurunan volume air plasma menjadi 80% sedang jumlah natrium plasma tetap dan
osmolalitas plasma normal; akan tetapi karena kadar air plasma berkurang (pseudohiponatremia)
kadar natrium dalam cairan plasma total yang terdektesi pada pemeriksaan laboratorium lebih
rendah dari normal.
Hiponatremia Akut
Hiponatremia akut adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung cepat yaitu
kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan
kesadaran dan kejang, hal ini terjadi akibat edema sel otak, karena air dari ekstrasel
masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga sebagai
hiponatremia simptomatik atau hiponatremia berat.
Hiponatremia Kronik
Hiponatremia kronik adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung lambat yaitu
lebih dari 48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti penurunan
kesadaran atau kejang (ada proses adaptasi), gejala yang timbul hanya ringan seperti
lemas atau mengantuk. Pada keadaan ini tidak ada urgensi melakukan koreksi konsentrasi
natrium, terapi dilakukan dalam beberapa hari dengan memberikan larutan garam
isotonik. Kelompok ini disebut juga sebagai hiponatremia asimptomatik.
Diagnosis
Di klinik bila ditemukan kasus hiponatremia dengan gejala yang berat (kesadaran
menurun, kejang) maka hiponatremia digolongkan dalam kategori akut. Hiponatremia tanpa
gejala berat (lemas, mengantuk) digolongkan dalam kategori kronik. Hal ini penting untuk
diketahui sehubungan dengan tindakan yang akan dilakukan bila terjadi keadaan hiponatremia.
Tatalaksana
Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari penyebab hiponatremia dengan cara :
- Anamnesis yang teliti (antara lain riwayat muntah, penggunaan diuretic, penggunaan
manitol)
- Pemeriksaan fisik yang teliti (antara lain apakah ada tanda-tanda hipovolemik atau tidak)
- Pemeriksaan gula darah, lipid darah
- Pemeriksaan osmolalitas darah (antara lain osmolalitas rendah atau tinggi)
- Pemeriksaan osmolalitas urin atau dapat juga dengan memeriksa berat jenis urin
(interpretasi apakah ADH meningkat atau tidak, gangguan pemeketan)
- Pemeriksaan natrium, kalium, dan klorida urin untuk mengetahui jumlah ekskresi
elektrolit di dalam urin.
Langkah selanjutnya adalah melakukan pengobatan yang tepat sasaran :
- Perlu dibedakan apakah kejadian hiponatremia akut atau kronik
- Tanda atau penyakit lain yang menyertai hiponatremia perlu dikenali (deplesi volume,
dehidrasi, gagal jantung, gagal ginjal)
- Koreksi natrium :
Pada hiponatremia akut, koreksi Na dilakukan secara cepat dengan
pemberian larutan natrium hipertonik intravena. Kadar natrium plasma dinaikkan
sebanyak 5 mEq/L dari kadar natrium awal dalam waktu 1 jam. Setelah itu, kadar
natrium plasma dinaikkan sebesar 1 mEq/L setiap 1 jam sampai kadar natrium
darah mencapai 130 mEq/L. Rumus yang dipakai untuk mengetahui jumlah
natrium dalam larutan natrium hipertonik yang diberikan adalah
0,5 x berat badan (kg) x delta natrium
Delta natrium merupakan selisih antara kadar natrium yang diinginkan dengan
kadar natrium awal.
Pada hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan yaitu
sebesar 0,5 mEq/L setiap 1 jam, maksimal 10 mEq/L dalam 24 jam. Bila delta Na
besarnya 8 mEq/L, dibutuhkan waktu pemberian selama 16 jam. Rumus yang
dipakai sama seperti diatas. Natrium yang diberikan dapat dalam bentuk natrium
hipertonik intravena atau natrium per oral.
Hipokalemia
Patofisiologi
Hipokalemia merupakan kejadian yang sering dijumpai di klinik. Penyebab hipokalemik
dapat dibagi sebagai berikut :
- Asupan kalium kurang
- Pengeluaran kalium berlebihan
- Kalium masuk ke dalam sel
Asupan kalium kurang
Kalium yang masuk ke dalam tubuh dalam keadaan fungsi ginjal yang normal, akan di
ekskresikan melalui ginjal. Makin tinggi asupan kalium, makin tinggi eksresi melalui ginjal,
demikian sebaliknya bila asupan kalium rendah. Asupan kalium normal berkisar antara 40-120
mEq perhari. Dalam keadaan normal ekskresi kalium melalui ginjal dapat minimal sampai 5
mEq per hari untuk mempertahankan kadar kalium normal normal dalam darah, sejalan dengan
rendahnya asupan kalium. Hipokalemia akibat asupan kalium rendah saja, jarang terjadi dalam
klinik. Biasanya disertai oleh masalah lain misalnya pada pemberian diuretic atau pemberian diet
rendah kalori pada program menurunkan berat badan.
Pengeluaran kalium berlebihan
Pengeluaran kalium yang berlebihan terjadi melalui saluran cerna, ginjal atau keringat.
Pada keadaan muntah atau pemakaian selang naso-gastrik, pengeluaran kalium bukan melalui
saluran cerna atas karena kadar kalium dalam cairan gastric hanya sedikit (5-10 mEq/L), akan
tetapi kalium banyak keluar melalui ginjal. Akibat muntah atau pemakaian selan naso-gastrik,
terjadi alkalosis metabolic sehingga banyak bikarbonat yang difiltrasi di glomerulus yang akan
mengikat kalium di tubulus distal (duktus koligentes) yang juga dibantu dengan adanya
hiperaldosteron sekunder dari hipovolemia yang timbul akibat muntah. Kesemuanya ini akan
meningkatkan ekskresi kalium melalui urin dan menyebabkan hipokalemia.
Pada saluran cerna bawah (diare, pemakaian pencahar), kalium keluar bersama bikarbonat
(asidosis metabolic). Kalium dalam saluran cerna bawah jumlahnya lebih banyak (20-50
mEq/L). Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui ginjal dapat terjadi pada pemakaian
diuretic, kelebihan hormone mineralokortikoid orimer/hiperaldosteronisme primer 9adenoma
kelenjar adrenal), anion yang tidak dapat di reabsorbsi yang berikatan dengan natrium berlebihan
dalam tubulus (bikarbonat, beta-hidroksibutirat, hipurat) menyebabkan lumen duktus koligentes
bermuatan lebih negative dan menarik kalium masuk dalam lumen lalu dikeluarkan bersama
urin, pada hipomagnesemia, poliuria (polidipsia primer, diabetes insipidus) dan salt-wasting
nephropathy (sindrom Bartter atau Gitelman, hiperkalsemia). Pengeluaran kalium berlebihan
melalui keringat dapat terjadi bila dilakukan latihan berat pada lingkungan yang panas sehingga
produksi keringat mencapai 10L.
Kalium masuk kedalam sel
Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian insulin,
peningkatan aktifitas beta-adrenergik (pemakaian β2-agonis), paralisis periodic hipokalemik,
hipotermia. Hanya sejumlah kecil praksi konsentrasi ion kalium berada pada rongga
ekstraseluler. Karenanya, konsentrasi total ion kalium secara akurat. Defisit ion kalium
tergantung pada lamanya kontak dengan penyebab (time for equilibration) dan konsentrasi ion
kalium serum 1 mEq sebanding dengan defisit 200mEq. Dianjurkan untuk mempertahankan
konsentrasi ion kalium serum <4.0 mEq/L.
Diagnosis
Pada umumnya, hipokalemia akan menyebabkan ekskresi kalium melalui ginjal menurun
hingga kurang dari 25 mEq per hari sedangkan eksresi kalium di dalam darah urin lebih dari 40
mEq/L per hari menandakan adanya pembuangan kalium yang berlebihan melalui ginjal.
Ekskresi kalium yang rendah melalui ginjal disertai asidosis metabolik merupakan
pertanda adanya pembuangan kalium berlebihan melalui saluran cerna seperti diare akibat
infeksi atau penggunaan pencahar. Ekskresi kalium berlebihan melalui saluran ginjal dengan
disertai asidosis metabolik merupakan pertanda adanya ketoasidosis diabetic atau renal tubular
acidosis (RTA), baik tipe proksimal maupun distal.
Eksresi kalium yang rendah di urin disertai alkalosis metabolic merupakan pertanda
adanya muntah kronik atau pemberian diuretic jangka lama. Ekskresi kalium yang tinggi di urin
disertai alkalosis metabolic dan tekanan darah rendah merupakan pertanda dari Sindrom Bartter.
Ekresi kalium tinggi di urin disertai alkalosis metabolik dan tekanan darah tinggi merupakan
pertanda adanya hiperaldosteronisme primer.
Tatalaksana
Dalam melakukan koreksi kalium, perlu diperhatikan indikasinya. Indikasi koreksi kalium
dapat dibagi dalam :
- Indikasi mutlak, pemberian kalium mutlak segera diberikan yaitu pada keadaan :
1. Pasien sedang dalam pengobatan digitalis
2. Pasien dengan ketoasidosis diabetic
3. Pasien dengan kelemahan otot pernafasan
4. Pasien dengan hipokalemia berat (K < 2 mEq/L)
- Indikasi kuat, kalium harus diberikan dalam waktu tidak terlalu lama yaitu pada keadaan :
1. Insufisiensi koroner/iskemia otot jantung
2. Ensefalopati hepatic
3. Pasien menggunakan obat yang dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ekstra
ke intrasel
- Indikasi sedang, pemberian kalium tidak perlu segera seperti pada hipokalemia ringan (K
antara 3-3,5 mEq/L)
Pemberian kalium lebih disukai melalui oral karena lebih mudah. Pemberian 40-60 mEq
dapat meningkatkan kadar kalium sebesar 1-1,5 mEq/L, dan pemberian 135-160 mEq dapat
meningkatkan kadar kalium 2,5-3,5 mEq/L.
Pemberian kalium intravena dalam bentuk larutan KCl disarankan melalui vena yang besar
dengan kecepatan 10-20 mEq/jam. Pada keadaan aritmia yang berbahaya atau adanya
kelumpuhan otot pernafasan, KCl dilarutkan sebanyak 20mEq dalam 100ml NaCl isotonic. Bila
melalui vena perifer, KCl maksimal 60 mEq dilarutkan dalam NaCl isotonic 1000 ml karena bila
melebihi kadar ini dapat menimbulkan rasa nyeri dan menyebabkan sklerosis vena.
Asidosis Metabolik
Patofisiologi
Asidosis metabolic ditandai dengan turunnya kadar ion-HCO3 diikuti dengan penurunan
tekanan parsial CO2 didalam arteri. Kompensasi umumnya terdiri dari kombinasi mekanisme
respiratorik dan ginjal, ion hydrogen berinteraksi dengan ion bikarbonat membentuk molekul
CO2 yang dieliminasi di paru, sementara itu ginjal mengupayakan ekskresi ion hydrogen ke urin
dan memproduksi ion bikarbonat yang dilepaskan ke cairan ekstraseluler. Kadar ion-HCO3
normal adalah sebesar 24 mEq/L dan kadar normal pCO2 adalah 40 mmHG dengan kadar ion-H
sebesar 40 nanomol/L. Penurunan kadar ion-HCO3 sebesar 1 mEq/L akan diikuti oleh penurunan
pCO2 sebesar 1,2 mmHg.
Penyebab asidosis metabolic dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu :
a. Pembentukan asam yang berlebihan (asam fixed dan asam organic) di dalam tubuh. Ion
hydrogen dibebaskan oleh system buffer asam karbonat-bikarbonat, sehingga terjadi
penurunan pH. Dalam klinik ditemukan keadaan ini seperti pada :
o Asidosis laktat. Timbul karena hipoksia jaringan berkepanjangan, mengakibatkan
jaringan mengalami proses metabolisme anaerob
o Ketoasidosis. Timbul karena produksi badan keton dalam jumlah sangat tinggi
pada metabolisme fase pasca absortif. Ketoasidosis merupakan akibat dari starvasi
dan komplikasi diabetes mellitus yang tidak terkendali, jaringan tidak dapat
memanfaatkan glukosa dari sirkulasi, sehingga mengandalkan metabolisme lipid
dan keton
o Intoksikasi salisilat
o Intoksikasi etanol
b. Berkurangnya kadar ion-HCO3 dalam tubuh. Sistem buffer asam karbonat-bikarbonat
yang mengatur keseimbangan ion hydrogen dan mempengaruhi keseimbangan pH.
Penurunan konsentrasi HCO3- di cairan ekstraselular menyebabkan penurunan efektifitas
system buffer dan asidosis timbul. Penyebab penurunan konsentrasi HCO3- antara lain
adalah diare, renal tubular acidosis (RTA) proksimal (RTA-2), pemakaian obat inhibitor
enzim anhidrase karbonat atau pada penyakit ginjal kronik stadium III-IV.
c. Adanya retensi ion-H didalam tubuh. Jaringan tidak mampu mengupayakan ekskresi ion
hydrogen melalui ginjal. Kondisi ini dijumpai pada penyakit ginjal kronik stadium IV-V,
RTA-1 atau RTA-4.
Kompensasi paru dengan cara hiperventilasi yang menyebabkan penurunan tekanan parsial
CO2, dapat bersifat lengkap, sebagian atau berlebihan. Berdasarkan kompensasi ini, asidosis
metabolic dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :
a. Asidosis metabolik sederhana (simple atau compensated metabolic acidosis); penurunan
kadar ion-HCO3 sebesar 1 mEq/L diikuti penurunan pCO2 sebesar 1,2 mmHg.
b. Gabungan asidosis metabolik dengan asidosis respiratorik dapat juga disebut
uncompensated metabolic acidosis; penurunan kadar ion-HCO3 sebesar 1 mEq/L diikuti
penurunan pCO2 kurang dari 1,2 mmHg (pCO2 dapat sedikit lebih rendah atau sama atau
lebih tinggi dari normal).
c. Gabungan asidosis metabolic dengan alkalosis respiratorik atau dapat disebut sebagai
partly compensated metabolic acidosis; penurunan kadar ion-HCO3 sebesar 1 mEq/L
diikuti penurunan PCO2 sebesar lebih dari 1,2 mmHg (pH dapat sedikit lebih rendah atau
sama atau lebih tinggi dari normal).
Pada prinsipnya, penyebab gangguan harus diketahui sebelum melakukan pengobatan.
Penyebab potensial demikian bervariasi sehingga seorang klinikus harus menegakkan diagnosis.
Pada beberapa keadaan, diagnosis sangat jelas. Sebagai contoh misalnya kasus asidosis
metabolik yang terjadi pada seorang setelah melakukan aktifitas fisik, tentunya jenis asidosis
laktat. Kasus lainnya harus ditelusuri lebih lanjut.
Untuk mengetahui etiologi dari tiap kelompok penybaba asidosis metabolic tersebut perlu
diketahui besarnya anion gap. Dalam keadaan normal, jumlah anion dan jumlah kation di dalam
tubuh adalah sama besar. Ada anion dan jumlah kation yang dapat dihitung (Cl, HCO3 dan Na)
dan ada anion dan kation yang tidak dapat dihitung (anion atau kation lain dari zat organic).
Selisih antara Na dengan HCO3 dan Cl atau selisih dari anion gap, Na-(HCO3 + Cl), dalam
keadaan normal sebesar 12 ± 3 mEq.
Pada kelompok pembentukan asam organic yang berlebihan sebagai penyebab asidosis
metabolic, besar anion-gap akan meningkat oleh karena adanya penambahan anion lain yang
berasal dari asam organik antara lain asam hidroksi butirat pada ketoasidosis diabetic, asam
laktat pada asidosis laktat, asam salisilat pada intoksikasi salisilat atau asam organic akibat
intoksikasi etanol.
Pada kelompok berkurangnya kadar ion-HCO3 sebagai penyebab asidosis metabolik, besar
anion gap tetap dalam batas normal dengan peningkatan kadar ion-Cl. Misalnya pada keadaan
diare atau renal tubular acidosis proksimal (RTA-2), pemakaian obat inhibitor enzim anhidrase
karbonat atau pada penyakit ginjal kronik stadium III-IV.
Asidosis metabolic dengan anion gap yang normal selalu disertai dengan peningkatan ion-Cl
dalam plasma sehingga disebut juga sebagai asidosis metabolic hiperkloremik. Pada kelompok
retensi ion-H sebagai penyebab asidosis metabolic, besar anion gap meningkat, misalnya pada
penyakit ginjal kronik stadium IV –V, dan besar anion gap normal misalnya pada renal tubular
acidosis (RTA-1 atau RTA-4).
Anion gap dalam urin
Pada keadaan asidosis metabolic dengan anion gap normal (hipokloremik), ion-Cl yang
berlebih akan di sekresikan oleh sel intercalated duktus koligentes bersama dengan seksresi ion
H+ (ion-Cl melalui saluran-Cl dan ion H+ melalui pompa H-ATPase). Ekskresi ion-Cl dilakukan
bersama dengan ion-NH3 dalam bentuk NH4Cl. Ion-NH4 dibentuk dari ikatan antara ion-NH3
dalam tubulus dengan ion H+ yang disekresikan oleh sel tubulus distal (duktus kolektif).
Tergnaggu atau normalnya ekskresi ion-NH3 dalam bentuk NH4Cl dapat dinilai dengan
menghitung anion gap di dalam urin.
Anion-gap dalam urin dihitung dengan rumus :
(Na-urin + K-urin) – Cl-urin
Bila hasilnya positif, terdapat gangguan ekskresi ion-NH3 sehingga NH4Cl tidak
terbentuk akibat adanya gangguan sekresi ion H+ di tubulus distal (tidak dapat berikatan dengan
ion-NH3) misalnya pada renal tubular acidosis (RTA-1 dan RTA-4).
Hasil yang negative, menunjukkan keadaan asidosis metabolik anion-gap normal dimana
ekskresi ion-Cl dalam bentuk NH4Cl sebanding dengan sekresi ion H+ di tubulus distal yang
terjadi akibat adanya asidosis metabolik, misalnya pada keadaan diare.
Penghitungan anion gap dalam urin tak dapat diterapkan bila terjadi deplesi volume
sehingga ekskresi Na urin rendah atau bila terjadi peningkatan ekskresi anion yang tak dapat
dihitung seperti β-hidroksibutirat pada ketoasidosis diabetikum sehingga jumlah Na dan K yang
diekskresi dalam urin meningkat.
Diagnosis
Manifestasi asidosis metabolic sangat tergantung pada penyebab dan kecepatan
perkembangan prosesnya. Suatu asidosis metabolic akut menyebabkan depresi miokardial
disertai reduksi cardiac output (curah jantung), penurunan tekanan darah, penurunan aliran ke
sirkulasi hepatic dan renal. Aritmia dan fibrilasi ventricular mungkin terjadi. Metabolisme otak
menurun secara progresif. Pada pH lebih dari 7,1 terjadi fatigue (rasa lelah), sesak nafas
(pernafasan kussmaull), nyeri perut, nyeri tulang, dan mual/muntah. pada pH kurang dari atau
sama dengan 7,1 akan tampak gejala seperti pada pH >7,1 efek inotropik negative, aritmia,
konstriksi vena perifer, dilatasi arteri perifer (penurunan resistensi perifer), penurunan tekanan
darah, penurunan aliran darah ke hari, konstriksi pembuluh darah paru (pertukaran oksigen
terganggu).
Tatalaksana
Asidosis metabolic pada kasus-kasus kritis merupakan pertanda dari kondisi serius yang
memerlukan tindakan agresif untuk memperoleh diagnosis dan tatalaksana penyebab.
Tatalaksana asidosis metabolic ditujukan terhadap penyebabnya. Peran bikarbonat pada asidosis
metabolic akut bersifat controversial tanpa disadari data yang rasional. Bagaimanapun, pada
banyak kasus, pemberian bikarbonat lebih banyak menunjukkan bahaya dibandingkan
keuntungannya. Kecuali pada kasus-kasus disebutkan pada indikasi terapi berikut, tidak ada data
ilmiah penunjang pengobatan asidosis metabolic atau respiratorik menggunakan natrium
bikarbonat. Lebih lanjut, pH intrasel memiliki nilai sangat penting dalam menentukan fungsi
selular. System buffer intrasel cukup efektif dalam mempertahankan pH ke nilai normal
dibandingkan dengan system buffer ektrasel. Sebagai konsekuensinya, pasien dapat bertoleransi
terhadap pH di bawah 7.0 selama fase hiperkapnia tanpa efek yang membahayakan.
Pemberian infus bikarbonat menimbulkan problem pada pasien-pasien dengan asidosis,
antara lain kelebihan pemberian cairan, alkalosis metabolic, dan hipernatremia. Selain itu,
penelitian yang dilakukan pada hewan maupun manusia memperlihatkan bahwa alkali hanya
menimbulkan efek sesaat (kadar bikarbonat plasma meningkat sesaat). Hal ini tampaknya
memiliki korelasi dengan CO2 yang dihasilkan pada pemberian bikarbonat sebagai ekses buffer
pada ion hydrogen. CO2 ini secara normal dibuang melalui paru. Namun, pada pasien-pasien
kritis seringkali dijumpai penurunan sirkulasi ke pulmonary sehingga PCO2 vena terus
meningkat melebihi nilai normal dan CO2 yang diproduksi tidak dapat dieleminasi. Meskipun
minute ventilation ditingkatkan (pada pasien dengan ventilator), eliminasi CO2 tidak dapat
ditingkatkan.
Pada kasus asidosis metabolic hiperkloremik dapat tidak terjadi regenerasi endogen
bikarbonat karena yang berlangsung pada keadaan tersebut adalah kehilangan bikarbonat bukan
aktivasi system buffer. Oleh karena itu, walaupun asidosis metabolic bersifat reversible,
pemberian bikarbonat eksogen hanya diperlukan bila pH < 7,2. Keadaan tersebut dapat terjadi
pada diare berat, fistula high-output, atau RTA.
Bikarbonat diperlukan pada kasus asidosis metabolic dengan kemampuan melakukan
kompensasi yang menurun, misalnya pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dengan
keterbatasan melakukan eliminasi CO2. Pada kasus ini, sejumlah kecil bikarbonat diperlukan
untuk mencegah terjadinya gagal nafas dan mengurangi kebutuhan intubasi serta penggunaan
ventilator mekanik.
Indikasi koreksi asidosis metabolik perlu diketahui dengan baik agar koreksi dapat
dilakukan dengan tepat tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan pasien.
Langkah koreksi asidosis metabolik :
1. Langkah pertama. Tetapkan berat ringannya gangguan asidosis. Gangguan disebut letal
bila pH darah kurang dari 7 atau kadar ion H lebih dari 100nmol/L. gangguan yang perlu
mendapat perhatian bila pH darah 7.1-7.3 atau kadar ion H antara 50-80 nmol/L.
2. Langkah kedua. Tetapkan anion gap atau bila perlu anion-gap urin untuk mengetahui
dugaan etiologi asidosis metabolik. Dengan bantuan gejala klinis lain dapat dengan
mudah ditetapkan etiologinya.
3. Langkah ketiga. Bila dicurigai kemungkinan asidosis laktat, hitung rasio delta anion-gap
dengan delta HCO3 (delta anion gap : anion gap pada saat pasien diperiksa dikurangi
dengan median anion gap normal, delta HCO3 : kadar HCO3 normal dikurangi dengan
kadar HCO3 pada saat pasien diperiksa). Bila rasio lebih dari 1 (dalam beberapa litelatur
lain disebutkan 1,6), asidosis disebabkan oleh asidosis laktat. Langkah ketiga ini
menetapkan sampai sejauh mana koreksi dapat dilakukan.
Prosedur koreksi
1. Secara umum koreksi dilakukan hingga tercapai pH 7.2 atau kadar ion HCO3 12 mEq/L
2. Pada keadaan khusus :
Pada penurunan fungsi ginjal, koreksi dapat dilakukan secara penuh
hingga mencapai kadar ion HCO3 20-22 mEq/L. Pertimbangan dilakukan hal
tersebut adalah mencegah hiperkalemia, mengurangi kemungkinan malnutrisi,
dan mengurangi percepatan gangguan tulang (osteodistrofi ginjal). Pada
ketoasidosis diabetik atau asidosis laktat tipe A, koreksi dilakukan bila kadar ion
HCO3 dalam darah kurang atau sama dengan 5 mEq/L, terdapat hiperkalemia
berat, setelah koreksi insulin pada diabetes mellitus, koreksi oksigen pada asidosis
laktat, atau pada diabetes mellitus, koreksi oksigen pada asidosis laktat, atau pada
asidosis belum terkendali. Koreksi dilakukan sampai kadar ion HCO3 10 mEq/L
Pada asidosis metabolic yang terjadi bersamaan dengan asidosis
respiratorik dan tidak menggunakan ventilator, koreksi harus dilakukan secara
hati-hati atas pertimbangan depresi pernafasan.
Koreksi dengan pemberian larutan natrium bikarbonat dilakukan setelah kebutuhan
bikarbonat diketahui. Yang dimaksud dengan kebutuhan bikarbonat adalah menentukan berapa
banyak bikarbonat yang akan diberikan pada satu keadaan untuk mencapai kadar bikarbonat
darah yang diinginkan. Untuk hal ini, harus diketahui bicarbonate-space atau ruang bikarbonat
pasien pada kadar bikarbonat tertentu. Ruang bikarbonat adalah besarnya kapasitas penyangga
total tubuh, termasuk bikarbonat ekstrasel, protein intrasel, dan bikarbonat tulang.