Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

25
Pramoedya dan Historiografi Indonesia Hilmar Farid Pengantar Tidak ada kiranya penulis Indonesia yang mendapat perhatian dunia seluas dan sebesar Pramoedya Ananta Toer. Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam semua bahasa utama di dunia dan belasan bahasa lainnya di Eropa dan Asia, berulangkali mendapat penghargaan internasional. Saat ini sudah ada puluhan buku, disertasi, skripsi sarjana, artikel ilmiah dan ratusan tinjauan buku yang membahas karya-karyanya dari masa awal maupun karya-karya yang ditulis semasa ditahan di Pulau Buru, yang menegaskan posisinya sebagai penulis novel paling penting dan terkemuka di Indonesia. Tapi menariknya hanya sedikit yang mengulas perannya sebagai intelektual dan kritikus budaya (Scherer 1981, Miller 1993), dan lebih sedikit lagi yang menulis mengenai kedudukan dan perannya sebagai seorang peneliti dan penulis sejarah (Wertheim 1995). Sungguh ironis, mengingat karya Pulau Buru yang mengantarnya ke kedudukan itu adalah hasil penelitian sejarah yang mendalam. Ada lebih dari 150 artikel – sebagian besar diterbitkan dalam bentuk serial – mengenai berbagai aspek sejarah yang disusunnya antara 1956 ketika ia mulai menaruh perhatian khusus terhadap studi sejarah secara sistematis sampai 1965 saat kerja keras itu diakhiri secara paksa oleh Orde Baru. Sejauh ini tulisan-tulisan tersebut belum diperhatikan secara serius, baik oleh peminat dan kritikus sastra maupun ahli sejarah. Alasan utama mengapa nama dan karya-karya sejarah Pramoedya tidak dibicarakan di Indonesia tentunya adalah pelarangan dan pembatasan terhadap diri dan karyanya sejak 1965 oleh penguasa Orde Baru. 1 M enyimpan, memperjual-belikan dan membaca karya Pramoedya saat itu dianggap kejahatan yang punya akibat hukum. Di Jogjakarta tahun 1989 tiga orang anggota sebuah kelompok studi ditangkap oleh militer dan dihukum penjara karena ketahuan menjual, membaca dan mendiskusikan Rumah Kaca. Di lingkungan akademik pun situasinya tidak jauh berbeda, di mana aparat kampus menjadi wakil kekuasaan negara untuk membersihkan kampus dari ‘pikiran beracun’. Pada pertengahan 1981, beberapa waktu setelah Pramoedya dilepas dari Pulau Buru, beberapa mahasiswa Universitas Indonesia mengundangnya bicara tentang peran intelektual dunia ketiga di kampus fakultas ilmu sosial. Saat kegiatan berlangsung, aparat kampus datang untuk membubarkannya. Mahasiswa yang menjadi penyelenggara kegiat an itu dipecat dari universitas dan sempat ditahan oleh penguasa militer. 1 Pramoedya adalah satu dari ratusan seniman, intelektual dan penulis yang termasuk daftar ‘orang terlarang’ yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Larangan itu tadinya hanya berlaku di lingkungan departemen tersebut, tapi kemudian juga berlaku untuk umum. Pada 1983 ketika diangkat menjadi rektor Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto memerintahkan agar perpustakaan kampus, term asuk fakultas sastra tempatnya mengajar, dibersihkan dari ‘buku-buku beracun’, termasuk di dalamnya karya-karya yang diterbitkan oleh gerakan kiri atau negara-negara sosialis. 1

Transcript of Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

Page 1: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

Pramoedya dan Historiografi IndonesiaHilmar Farid

Pengantar

Tidak ada kiranya penulis Indones ia yang mendapat perhatian dunia seluas dan sebesarPramoedya Ananta Toer. Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam semua bahasautama di dunia dan belasan bahasa lainnya di Eropa dan Asia, berulangkali mendapatpenghargaan internas ional. Saat ini sudah ada puluhan buku, disertasi, skripsi sarjana,artikel ilmiah dan ratusan tinjauan buku yang membahas karya-karyanya dari masa awalmaupun karya-karya yang ditulis semasa ditahan di Pulau Buru, yang menegaskanposisinya sebagai penulis novel paling penting dan terkemuka di Indonesia. Tapimenariknya hanya sedikit yang mengulas perannya sebagai intelektual dan kritikusbudaya (Scherer 1981, Miller 1993), dan lebih sedikit lagi yang menulis mengenaikedudukan dan perannya sebagai seorang peneliti dan penulis sejarah (Wertheim 1995).Sungguh ironis, mengingat karya Pulau Buru yang mengantarnya ke kedudukan ituadalah has il penelitian sejarah yang mendalam. Ada lebih dari 150 artikel – sebagianbesar diterbitkan dalam bentuk serial – mengenai berbagai aspek sejarah yang disusunnyaantara 1956 ketika ia mulai menaruh perhatian khusus terhadap studi sejarah secarasistematis sampai 1965 saat kerja keras itu diakhiri secara paksa oleh Orde Baru. Sejauhini tulisan-tulisan tersebut belum diperhatikan secara serius, baik oleh peminat dankritikus sastra maupun ahli sejarah.

Alasan utama mengapa nama dan karya-karya sejarah Pramoedya tidak dibicarakan diIndonesia tentunya adalah pelarangan dan pembatasan terhadap diri dan karyanya sejak1965 oleh penguasa Orde Baru.1 Menyimpan, memperjual-belikan dan membaca karyaPramoedya saat itu dianggap kejahatan yang punya akibat hukum. Di Jogjakarta tahun1989 tiga orang anggota sebuah kelompok studi ditangkap oleh militer dan dihukumpenjara karena ketahuan menjual, membaca dan mendiskusikan Rumah Kaca. Dilingkungan akademik pun situasinya tidak jauh berbeda, di mana aparat kampus menjadiwakil kekuasaan negara untuk membersihkan kampus dari ‘pikiran beracun’. Padapertengahan 1981, beberapa waktu setelah Pramoedya dilepas dari Pulau Buru, beberapamahasiswa Universitas Indones ia mengundangnya bicara tentang peran intelektual duniaketiga di kampus fakultas ilmu sosial. Saat kegiatan berlangsung, aparat kampus datanguntuk membubarkannya. Mahasiswa yang menjadi penyelenggara kegiat an itu dipecatdari universitas dan sempat ditahan oleh penguasa militer.

1 Pramoedya adal ah satu dari ratusan seniman, intelektual dan penulis yang termasuk daftar ‘orangterlarang’ yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Larangan itu tadinya hanyaberl aku di lingkungan departemen tersebut, tapi kemudian juga berlaku untuk umum. Pada 1983 ketikadiangkat menjadi rektor Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto memerintahkan agar perpustakaankampus, termasuk fakultas sastra tempatnya mengajar, dibersihkan dari ‘buku-buku beracun’, termasuk didalamnya karya-karya yang diterbitkan oleh gerakan kiri atau negara-negara sosialis.

1

Page 2: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

Tapi tidak adanya perhatian di kalangan ahli sejarah sendiri terhadap studi yang disusunPramoedya saya kira punya latar belakang lain.2 Mereka yang bersimpati kepadaPramoedya pun biasanya memisahkan karya sastranya dari masa awal dan karya PulauBuru yang dipuji sebagai ‘novel sejarah’, dengan kecenderungan ideologi dan perannyasebagai kritikus budaya yang tajam menjelang 1965. Dalam sebuah diskusi sastra diJakarta sekitar sepuluh tahun lalu, seorang penulis menyebut karya Pulau Buru sebagaimahakarya yang jauh melampaui pencapaian Pramoedya sebelum 1965, apalagi jikadibandingkan dengan “tulisan-tulisannya yang lebih menyerupai pamflet menjelangperistiwa [1965].” Sement ara ada pula yang menganggap karya-karya dari periode 1950-an, sebelum ia bergabung dengan LEKRA dan menjadi seorang intelektual kiriterpandang, lebih baik mutunya daripada karya-karya belakangan yang susah dibedakandari pamflet. Alhas il dalam wacana kebudayaan dan intelektual Indonesia adasekurangnya dua Pramoedya: sang sastrawan ulung dengan sederet mahakarya danseorang pamphleteer yang menggasak lawan bicaranya dengan pena teramat tajam. Dankedua Pramoedya ini bukanlah ahli sejarah.

Pemisahan antara sastra, sejarah dan politik ini diperkuat oleh obsesi akan obyektivitasyang terungkap dalam konsep ilmu sejarah. Akar pemikiran sejarah sebagai ilmu inidapat ditelusuri kembali pada zaman kebangkitan disiplin ilmu-ilmu akhir abad ke-19 diEropa (Wallerstein 1996). Di Indonesia fixation itu diadopsi ke dalam wacana keilmuankolonial pada kurun yang sama, hampir tidak mengalami kritik di masa awalkemerdekaan – Pramoedya adalah salah satu dari sedikit orang yang mengkritiknya – danmenemukan lahan suburnya dalam politik floating mass yang anti-politik pada masa OrdeBaru (Hilmar Farid 2005). Pada awal Orde Baru kalangan ahli sejarah secara tegasmembedakan diri dari banned history yang dibuat oleh para penulis kiri yang diberangusmaupun bad history atau penulisan sejarah yang lebih populer dan dianggap tidak ilmiah.Ilmu sejarah menurut historical establishment saat itu adalah penulisan tentang masa laluyang obyektif, bersih dari kepentingan politik dan ditulis dengan kaidah ilmiah.Pramoedya tidak memiliki semua itu. Sejarah yang ditulisnya penuh gairah, sangatsubyektif, bermuatan politik dan tidak terlalu peduli pada kaidah ilmiah.

Tulisan ini tidak bermaksud menobatkan atau menuntut pengakuan terhadap Pramoedyasebagai sejarawan sebagaimana istilah itu dimengerti dalam ilmu sejarah. Di sampingtidak memiliki otoritas maupun minat untuk melakukannya, saya kira Pramoedya jugatidak memerlukan gelar atau pengakuan semacam itu. Kehidupan dan karya Pramoedyasendiri dapat menunjukkan bahwa pengucilan karya sejarah atas nama ilmu dan politiknegara bukan sekadar warisan kolonial yang merugikan tapi lebih jauh menyebabkanterjadinya involus i dalam studi sejarah di Indonesia. Hal yang ingin saya lakukan dalamstudi ini adalah menelaah pemikiran Pramoedya mengenai sejarah berdasarkan rangkaiantulisannya mengenai berbagai aspek sejarah Indonesia yang ditulis antara 1956-65 dankarya Pulau Buru, serta pengaruhnya bagi historiografi Indonesia. Saya akan menjelaskan

2 Studi Klooster (1985) yang mungkin merupakan studi paling komprehensi f tentang historiografi Indonesiapun tidak menyebut satu pun karya Pramoedya. Tapi ia menyebut Aidit dan Tan Malaka, yang dari segiakademik maupun politik juga merupakan pariah dalam historiografi Orde Baru. Di lingkungan ahli sejarahIndonesia sendiri, Abdurrachman Surjomihardjo adalah satu dari sedikit orang yang pernah membicarakankarya Pramoedya sebagai karya sejarah.

2

Page 3: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

bahwa pemikiran Pramoedya mengenai sejarah ini adalah potongan gambar yang pentingdalam dekolonisasi pemikiran dan penulisan sejarah Indonesia.

Tentu ini bukan usaha yang pertama. Sejak penerbitan Bumi Manusia pada Agustus 1980,kritikus sastra, sejarawan dan ahli-ahli lainnya berbicara tentang pentingnya karyatersebut bagi pemahaman mengenai sejarah. Karya-karya itu tidak hanya menarik bagikritik sastra tapi juga kajian budaya. Dalam sepuluh tahun terakhir ada sejumlah studimengenai karya-karyanya, terutama empat jilid karya Pulau Buru, yang di bawah terangteori kajian budaya paling mutakhir menjadi gugus pemikiran yang menakjubkan tentangidentitas bangsa (Koh 1993, Bardsley 1996, Bahari 2002). Tentu tidak ada keberat anterhadap upaya meraba-raba tempat Pramoedya dalam khazanah kajian budayakontemporer dan menyandingkannya dengan teoretisi pascakolonial seperti Homi Bhabhaatau filsuf Jacques Derrida. Tapi saya kira perlu juga upaya menetapkan jejak Pramoedyadalam sejarah dan penulisan sejarah di Indonesia sendiri, serta memperjelas sosoknyasebagai sastrawan ulung, kritikus budaya dan ahli sejarah sekaligus, yang menjadi bagianpenting dari gerakan intelektual kiri sebelum 1965.

Dalam studi ini saya memberi perhatian khusus pada karya-karya yang selama ini tidakbanyak dibicarakan, seperti dua jilid Panggil Aku Kartini Sadja, Hoakiau di Indonesia,diktat Sedjarah Modern Indonesia , dan belasan seri artikel yang diterbitkan dalam lembarkebudayaan Lentera di harian Bintang Timur. Walau mulai melakukan studi secarasistematis sejak pertengahan 1950-an, tulisan-tulisannya mengenai sejarah baru mulaidibuat dan beredar setelah ia lepas dari penjara awal 1961 karena kasus buku Hoakiau diIndonesia, dan mencapai puncaknya antara 1962-65 ketika ia menghasilkan sekurangnya30 halaman naskah ketik rapat setiap minggu mengenai berbagai aspek sejarah Indonesia.Ulasan mengenai tulisan-tulisan dari periode ini kemudian disusul dengan penglihatanbaru mengenai karya Pulau Buru yang merupakan ‘hasil tak diharapkan’ dari studisejarah yang dilakukannya sebelum 1965.

Pramoe dya dan Blok Intelektual Kiri

Pramoedya memulai perjalanannya sebagai penulis dengan beberapa puisi yang tidakterlalu berhasil dan sejumlah cerita pendek yang diterbitkan oleh majalah terbitan Jakartaseperti Sadar, Pantja Raja dan Minggoe Merdeka awal 1947. Saat ditangkap oleh tentaraBelanda dan disekap di Bukit Duri selama dua tahun ia mulai menulis karya yang lebihpanjang, termasuk novel Perburuan yang mendapat hadiah pertama dalam sayembarapenulisan novel Balai Pustaka dan mengangkat namanya di gelanggang cipta. Dalamkajian sastra ia disebut sebagai gelombang kedua Angkatan 45, yang saat ia lepas daripenjara pertengahan Desember 1949 sebenarnya sudah memudar sebagai angkatan(Teeuw 1979, Heinschke 1993). Sekeluar dari penjara ia aktif dalam lingkaranGelanggang, sebuah kelompok seniman dan intelektual yang sangat berpengaruh dalampenciptaan karya dan kritik sastra Indonesia sampai pertengahan 1950-an. Karya-karyanya dari zaman ini seperti kebanyakan penulis sezamannya adalah potret darikeadaan Indones ia segera sesudah perang yang sarat dengan kritik sosial, ungkapankekecewaan terhadap revolusi dan patriotisme yang kadang tergelincir menjadi angkuhdan sewenang-wenang.

3

Page 4: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

Secara sosial Pramoedya adalah bagian dari apa yang disebut unattached intellectuals,kalangan intelektual yang tidak terkait dengan partai politik tertentu dan umumnyabekerja sebagai jurnalis atau redaktur, penulis, seniman, guru atau kadang merangkap duaatau lebih pekerjaan seperti itu (Feith dan Castles 1970). Ia tidak bergabung dengan partaipolitik atau organisasi massa tertentu, dan bahkan memperlihatkan sikap anti-partai danmenjauhi politik. Pada pertengahan 1950 Pramoedya sempat bekerja pada penerbit BalaiPustaka beberapa bulan dan selanjutnya membuka kantor agen sastra dan fitur ‘Duta’yang bertahan sampai 1954. Dalam kurun ini ia sangat produktif menulis dan tidakterbatas pada fiksi saja. Pada awal 1953 misalnya ia terlibat perdebatan dengan HB Jassindan penulis lain yang dimuat dalam jurnal Pudjangga Baru mengenai bentuk dan isidalam kesusastraan. Perdebatan itu membuka lipatan baru dalam perkembanganpemikirannya. Ia menilai bahwa kritikus sastra hanya bers ibuk mengenai bentuk dansepertinya tidak peduli pada isi dan arah kesusastraan. Keadaan sosial dan politik yangcarut-marut menurutnya memerlukan isi kesusastraan yang lebih tajam. Humanismeuniversal yang dicanangkan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang terbukti tidak mampumenjawab masalah-masalah yang semakin menggunung, dan diskusi yang melulu terarahpada bentuk sebenarnya merupakan pengalihan dari masalah yang semestinya dihadapi.

Kunjungannya ke Belanda antara Mei-Desember 1953 atas undangan Sticusa – sebuahyayasan kerjasama kebudayaan yang dibentuk pemerintah Belanda – tidak membuahkanapa-apa. Justru sebaliknya Pramoedya merasa tertekan karena program itu tidak berjalanseperti yang diharapkan. Perbedaan antara Belanda dan Indonesia yang begitu besarmembuatnya merasa tidak dapat mengambil pelajaran apapun. Namun pada masa inilahpertanyaan-pertanyaan penting yang kemudian menghidupi studinya mengenai sejarah,mulai dicetuskan. Korupsi, kebobrokan birokrasi dan penindasan yang terus berlanjut dimasa kemerdekaan memperlihatkan bahwa akar masalahnya bukan hanya kolonialismeBelanda tapi juga ketimpangan dalam struktur masyarakat serta kebudayaan Indonesiasendiri. Hal terpenting dari kunjungan ini mungkin adalah pertemuan dan awalpersahabatan seumur hidupnya dengan Wim Wertheim yang sangat berpengaruh dalamperkembangan pemikiran Pramoedya dan juga banyak membantunya saat dilanda susahsejak 1965.

Pramoedya pun semakin tidak puas dengan sastra sebagai bentuk ekspresi karena tidakmemadai untuk menjawab bermacam tantangan yang dihadapi masyarakat. Cerita pendeksemi-otobiografis, “Sunyisenjap disiang hidup” (Indonesia, Juni 1956) merekamkegalauan jiwanya di masa ini dan secara simbolik mengakhiri perjalanannya sebagaipengarang cerita pendek. Kegelisahan yang sebelumnya dituangkan dalam karya sastra,kini mendapat arah dan bentuk baru di bawah pengaruh AS Dharta, Rivai Apin, DodongDjiwapradja dan intelektual kiri lainnya yang berhimpun dalam LEKRA. Pramoedyamengenal mereka melalui pergaulan seniman Jakarta masa itu. Adalah Dharta yang iaakui “membicarakan soal-soal yang sebelumnya tak terpikirkan olehku, membukakansejumlah aspek baru di bidang seni dan sastra,” termasuk politik yang semula dijauhinya(Pramoedya Ananta Toer 1995:154). Seperti banyak unattached intellectuals lainnyadalam lingkungan Gelanggang, ia menganggap “politik adalah kotor” dan sepatutnyadijauhkan dari sastra dan kerja kreatif. Dari diskusi dengan Dharta dan kawan-kawannya

4

Page 5: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

ia membentuk pemahaman baru mengenai politik, yang kotor-tidaknya sangat bergantungpada arah dan tujuan akhirnya. Persinggungan dengan kelompok ini sangat besar artinyadan Pramoedya pun merasa “sebagai bayi yang baru dilahirkan kembali [dan] mulaibelajar kembali meninggalkan rahim ibu, menyesuaikan diri dengan terang matahari.”(Pramoedya Ananta Toer 1995:154).

Hal pertama yang dilihatnya ketika pulih dari silau matahari adalah Tiongkok. Iaberkunjung ke negeri itu akhir 1956 memenuhi undangan untuk memperingati kematianLu Xun. Seperti ditunjukkan Hong Liu (1996), sejak awal 1950-an ia sudah menoleh keTiongkok sebagai sumber inspirasi penulisan kreatif dan argumen teoretik. Ia pernahmenerjemahkan sebagian dari Catatan Harian Seorang Gila karya Lu Xun, dan kritiksastra dari Ding Ling, Zhou Yang serta Mao Zedong. Singkatnya ia mengenal denganbaik karya-karya penulis Tiongkok dan perdebatan kebudayaan yang berlangsung disana, walaupun dalam terjemahan bahasa Belanda dan Inggris . Di Tiongkok Pramoedyamendapat kesempatan melihat sendiri sistem sosialis yang tengah melakukan “lompatanjauh ke depan”, bertemu dan berdialog langsung dengan tokoh pemikir dan kritikus sastrakiri yang sebelumnya hanya ia kenal melalui bacaan. Seperti diakuinya, kunjungan itupunya pengaruh sangat mendalam seperti terlihat dari berbagai tulisan setelah kembali keIndonesia. Kesan-kesannya atas Tiongkok menjadi cermin untuk memeriksa keadaan diIndonesia. Kekecewaan melihat hasil revolusi kini berkembang menjadi kritik yangmenyeluruh, bukan hanya terhadap para pembesar republik yang mengingkari revolusi,tapi juga pandangannya sendiri.

Perubahan pemikiran Pramoedya dalam kurun ini paling nampak dalam “DjembatanGantung dan Konsepsi Presiden”. Tulisan itu dimuat pertama kali dalam jurnal teori PKI,Bintang Merah (1957) dan dicetak ulang dalam Harian Rakjat. Ini merupakan penyataantersendiri mengenai kedekatannya dengan gerakan kiri dan perpisahannya denganlingkaran Gelanggang dan kalangan intelektual anti-komunis. Dalam tulisan ini iamendukung penuh konsepsi Soekarno untuk merombak sistem parlementer Barat yangmenurutnya malah melahirkan kekacauan dan bukan demokrasi di Indonesia. Ia jugamengkrit ik pandangan anti-komunisnya sendiri “jang dibentuk oleh batjaan jangsemuanja ditulis oleh orang Barat,” selama ditahan oleh tentara Belanda antara 1947-49.

Set elah pemulihan kedaulatan dan menjaksikan sendiri hantjurnja banjakkeluarga, dan pembunuhan2 jang terdjadi akibat adanya affair tsb. [peristiwaMadiun] bertambah pula bentuk itu mendjadi tegas. Tetapi djuga bertambah lama,bertambah kusadari, bahwa proses terdjadinja sikapku itu tidak benar, karena diapada mulanja hanya dibentuk oleh batjaan, bukan dibentuk oleh pengamatan atasdunia riil itu sendiri. Dengan demikian kurombak tjara pembentukan sikap jg.demikian, sekalipun ini bukanlah pekerdjaan sehari-dua, tetapi lama, melaluikedjengkelan dan harapan, melalui subyektivitas dan obyektivitas...”

Keinginan untuk mengamati dunia nyata terlihat dalam novel Sekali Peristiwa di BantenSelatan, yang lebih menyerupai laporan perjalanannya ke wilayah tersebut ketimbangcerita rekaan. Selama 1956-59 Pramoedya tidak banyak menulis . Ia semakin tertarik padasejarah dan menggunakan sebagian besar waktunya untuk membaca dan mengumpulkan

5

Page 6: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

bahan mengenai tokoh dan kejadian yang menarik baginya.3 Penelitian mengenai Kartiniyang kemudian dituangkan dalam dua jilid Panggil Aku Kartini Sadja dimulai pada kurunini, di samping studi singkat mengenai Balai Pustaka dan sejarah sastra Indonesia.

Awal Januari 1959 Pramoedya bergabung dengan LEKRA dan diminta memimpinLembaga Sastra Indonesia (LESTRA). Pidato sambutannya dalam konperensi lembagaitu menunjukkan haluan baru dalam pemikirannya, yang menekankan pentingnyaorientasi politik dan komitmen sosial dalam kebudayaan. Ia juga mulai menggunakanjargon politik kebudayaan kiri, walaupun masih nampak canggung. Menurut penuturansejawatnya di LEKRA, Pramoedya cukup aktif mengurus lembaga yang dipimpinnya. Iasendiri mengaku belajar banyak mengenai organisasi setelah terlibat dalam LEKRA,walau tidak pernah menempati jabatan penting apalagi menjadi penggerak dalamorganisasi. Ia pun mulai sering mengisi lembar kebudayaan di Harian Rakjat dan majalahLEKRA, Zaman Baru, terutama dengan kritik sastra dan kebudayaan secara umum. Disamping itu ia juga keliling berceramah tentang sastra, kebudayaan dan kadang mengenaisejarah, dan giat mengurus Konperensi Pengarang Asia-Afrika di mana ia duduk sebagaipimpinan delegasi Indonesia.

Keterlibatan dalam LEKRA dan kedekatannya dengan intelektual kiri, termasukpimpinan dan tokoh PKI seperti Njoto, mendorong pikirannya semakin ke kiri walautidak selalu sejalan dengan pandangan LEKRA atau PKI. Dari segi pemikiran Pramoedyasebenarnya lebih dekat dengan tradis i nasionalis kiri yang diwakili Partindo danSoekarno sendiri, ketimbang tradisi Marxis PKI. Pramoedya sendiri mengaku tidakterlalu tahu pun tertarik pada teori. Satu-satunya paparan yang agak panjang mengenaiteori adalah Realisme Sosialis dan Sastra Indones ia (1963), sebuah naskah ceramah diUniversitas Indonesia yang disusunnya dalam waktu seminggu saja. Naskah ini pun lebihmerupakan penjelajahan umum atas teori sastra yang berkembang di Uni Soviet padamasa itu, ketimbang sebuah uraian teoretik dari dirinya mengenai sastra Indonesia.Analisisnya mengenai sejarah juga bukan penjabaran fakta-fakta dalam kerangka “tahap-tahap perkembangan masyarakat” seperti lazimnya historiografi komunis, melainkanlebih seperti penyimpulan atas data yang dipelajarinya dengan menggunakan jargonMarxis. Dari segi teori nampaknya ia lebih diilhami dan dipengaruhi ‘komitmen sosial’Multatuli ketimbang analisis kelas Marx, seperti nampak dalam uraiannya mengenaiekonomi kolonial dalam diktat Sedjarah Modern Indonesia.

Karya non-fiksi pertama yang lahir dalam periode ini adalah Hoakiau di Indonesia(1960). Buku ini menggugat politik anti-Tionghoa yang mulai dilancarkan pejabatpemerintah dengan dukungan militer sejak 1956, dan mencapai puncaknya padapengusiran dan ribuan orang Tionghoa selama 1959-60.4 Buku yang merupakan revisi3 Dalam sebuah wawancara ia bahkan mengaku bahwa pada tahun 1955 ia mengambil keputusan untukmencurahkan waktu sepenuhnya bagi penelitian sejarah (Scherer 1981). Tapi saya kira menurunnyaproduktivitas Pramoedya ini juga karena kesibukan membangun rumah tangga kedua dan kesulitanekonomi yang menyertainya (P ramoedya Ananta Toer 1995:152-61).4 Pada akhir 1959 pemerintah mengeluarkan PP 10/1959 yang melarang orang Tionghoa berdagang di desa-desa. Mereka dipaksa menutup usahanya dan meninggalkan desa asal mereka pada 1 Januari 1960. Merekayang menolak pindah diusir paksa dengan kekerasan oleh militer dan di beberapa tempat berakibatkematian. Protes dari kedutaan RRT dibalas dengan kecaman oleh Soekarno yang kemudian malah

6

Page 7: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

dari seri tulisan di Bintang Minggu mulai November 1959 (dan kemudian juga di HarianRakjat) ini mendapat reaksi keras dari penguasa militer. Buku itu dilarang oleh penguasamiliter dan Pramoedya ditahan tanpa pengadilan selama hampir setahun lamanya. Walaupusat perhatiannya adalah politik pemerintah yang dinilai tidak adil, Pramoedya berbicarabanyak mengenai sejarah dan memperlihatkan pengetahuan yang luas khususnyamengenai kedudukan dan peran orang Tionghoa dalam perjalanan sejarah. Ia menabrakdan menyerang mitos dan keyakinan politik yang membatu tentang orang Tionghoa,terutama masalah kemurnian ras yang menjadi landasan politik anti-Tionghoa warisankolonial. Walau kadang terdengar eksentrik – misalnya tesis ‘vlek biru’ yangditinggalkan tentara Mongol pada pantat bayi Asia dan Eropa, sebuah tesis yang kerapmuncul, baik dalam karya seperti Rumah Kaca maupun percakapan sehari-hari – seluruhargument as inya memukul kesadaran (atau tepatnya keyakinan) historis tentang keaslianorang Indonesia, dan lebih jauh mempertanyakan ‘Indonesia’ sebagai sebuah konsep.

Ketika keluar dari tahanan awal 1961 Pramoedya semakin giat meneliti sejarah. Iamenjadi pengunjung tetap perpustakaan Museum Nasional di Jakarta, di mana iamembaca suratkabar lama seperti Pembrita Betawi dan Medan Prijaji, dan berkeliling kebeberapa kota di Jawa Tengah guna menghimpun keterangan tentang Kartini. Ia jugamendapat tawaran dari Tjan Tjoe Som untuk mengajar sejarah di Universitas Respublicayang diasuh oleh Baperki. Ia menerima tawaran itu dan menjadi dosen, lalumenggunakan posisinya untuk menghimpun data, dengan mengirim mahasiswanyamembaca dan mencatat tulisan dari suratkabar lama atau membuat penelitian untuk karyatulis di perpustakaan Museum Nasional. Fokus perhatiannya adalah asal-usul danperkembangan gerakan nasionalis antara 1898 dan 1918, terutama tokoh dan organisasidalam ‘babak perintis’ ini.5 Hasil studinya kemudian diterbitkan sebagai seri artikel danartikel lepas di lembar kebudayaan Bintang Timur sejak 1962, dan lebih lengkap dansistematis dalam bentuk diktat kuliah Sedjarah Modern Indonesia (1964) yangdipakainya untuk mengajar di Universitas Res Publica. Beberapa mahasiswanya diunivers itas ini kemudian menjadi semacam asisten penelitian yang membantunyamenyusun arsip dan dokumen di perpustakaan pribadinya. Dukungan juga diperoleh darisejawatnya di LEKRA, ahli sejarah dan keluarga para tokoh sejarah yang dipelajarinya.Dalam waktu empat tahun (1961-65) ia mengumpulkan tidak kurang dari 5.000 judulbuku, membuat dokumentasi berupa guntingan suratkabar dan majalah lama, rekamandan trankripsi wawancara dengan ratusan orang, ratusan arsip dan dokumen lainnya,termasuk sejumlah koleksi pribadi tentang gerakan nasionalis yang jika tidakdiselamatkan, akan musnah selamanya.

Dengan bahan-bahan ini ia juga menyusun delapan seri tulisan yang terdiri atas limasampai limabelas bagian, puluhan artikel lepas mengenai berbagai aspek sejarahIndonesia yang diterbitkan di Bintang Timur, Harian Rakjat, Zaman Baru, Indonesia danberbagai penerbitan lainnya. Lembar kebudayaan ‘Lentera’ di Bintang Timur yangdipimpinnya bersama S. Rukiah sejak Maret 1962 menjadi saluran utama untukmengumumkan pemikirannya. Ragam tulisannya menunjukkan minat dan pengetahuan

mendukung tindakan Angkatan Darat mengusir konsul RRT untuk Sumatera dan Kalimantan. Baru padaJuli 1960, ketika militer menembak mati dua perempuan Tionghoa, Soekarno berubah pikiran. 5 Istilah ‘babak perintis’ diperkenalkan oleh Soekarno.

7

Page 8: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

yang luas akan banyak hal. Ia membuat tulisan cukup panjang tentang sejarah danperkembangan sastra Bulgaria, sebuah artikel tentang sejarah Irian Barat, dan mungkinmenjadi orang Indonesia pertama yang mengumumkan tulisan tentang Timor Portugis(sekarang Timor Leste) di suratkabar. Jika dihitung dengan teliti tulisan yang biasanyadisebut serangan atau pamflet oleh para pengkritiknya – dan oleh Pramoedya disebutsebagai ‘polemik biasa’ – sebenarnya tidak begitu banyak.

Kerja kreatif yang luar biasa ini kemudian terhenti ketika massa menyerbu rumahnyapertengahan Oktober 1965. Perpustakaannya dihancurkan dan isinya dijarah termasuksejumlah bahan dan buku koleksi Museum Pusat yang sedang dipinjamnya. Sebagiankonon berpindah tangan ke koleksi orang yang ikut menghujatnya, sebagian lain dibakar.Ikut musnah dalam penyerangan itu sejumlah naskah yang belum diterbitkan, yakni duajilid sambungan Panggil Aku Kartini Sadja, Wanita Sebelum Kartini, Sebuah Studitentang Abdullah bin Abdul Kadir Munsji, Studi Pertjobaan tentang Sedjarah BahasaIndonesia, sejumlah novel dan cerita pendek, kumpulan karya Kartini, kumpulan ceritapendek Soekarno dan dua jilid kumpulan karya sastra pra-Indonesia. Di samping itumasih ada pula sejumlah monografi yang disusun oleh redaksi Lentera mengenai politiketik, kebangkitan nasional, sejarah gerakan pemuda, Sarekat Islam, masalah perburuhandan juga beberapa fase perkembangan PKI.

Dalam dua bagian berikut saya menggunakan tulisan-tulisan yang dihasilkannya dalamperiode ini, khususnya seri artikel yang diterbitkan dalam lembar kebudayaan Lentera.Sekurangnya ada 155 artikel – separuhnya adalah bagian-bagian dari seri artikel – yangditulis Pramoedya saat itu, dan belum termasuk artikel-artikel yang ditulisnya tanpamenyebutkan nama (Miller 1993). Beberapa seri artikel ini panjangnya menyerupaikertas kerja atau monografi singkat, seperti “Mengenangkan kembali bangkitnja BangsaIndonesia” (1962) dan “Basa Indonesia sebagai Basa Revolusi” (1963). Banyaktulisannya terlihat dibuat tergesa-gesa, dengan banyak salah ketik dan juga penggunaanbahasa yang serampangan. Sungguh aneh mengingat ada dua penulis andal, yakni S.Rukiah dan Pramoedya sendiri, yang menjadi redakturnya. Besar kemungkinankecerobohan ini terjadi karena kesibukan luar biasa ketika ruang kebudayaan itu mulaiterbit setiap hari; sesuatu yang tidak pernah terulang lagi dalam sejarah penerbitansuratkabar di Indones ia.

Tentu tidak semua tulisan dari periode ini dapat dibahas, apalagi mengingat tulisan yangtersebar itu bukan merupakan, dan memang tidak dimaksudkan sebagai, kesatuan yangutuh. Pramoedya sendiri mengakui bahwa beberapa tulisannya memang sengaja dilemparuntuk “memancing perhatian dan mengelit ik minat agar [pembaca] membuatpenyelidikan lebih lanjut.” Dalam tulisan ini saya akan memusatkan perhatian pada duahal, yakni perspektif dan metode penelitian yang dikembangkan Pramoedya, sertapemikirannya mengenai ‘nasion Indonesia’ sebagai hasil dari perspektif dan cara kerjaitu.

Membongkar Historiografi Rumah Kaca

8

Page 9: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

Berbeda dengan pengalaman di Afrika, Karibia atau Asia Selatan, gerakan nasionalis diIndonesia sangat lamban menyusun sejarah nasionalnya (Reid 1979). Baru pada tahun-tahun pertama kemerdekaan ada boom penulisan sejarah oleh aktivis gerakan nasionalisdan pejabat pemerintah yang baru. Tujuan penulisan buku dan brosur ini adalah untukmeyakinkan publik dan dunia internas ional bahwa republik yang baru diproklamas ikanitu memang punya akar sejarah yang panjang (Klooster 1985). Isinya pun hanyasemacam kronik yang mengurai rangkaian peristiwa penting dan menyebut nama tokohdan organisasi yang terlibat di dalamnya. Sejarah nasionalis yang lebih berbobot danmembedakan diri dari historiografi kolonial baru bermunculan awal 1950-an. Parapenulisnya mulai lebih setia pada proses pembuktian dengan mengutip sumber-sumberyang digunakan, membuka kemungkinan penelitian lebih lanjut dengan mengajukanpertanyaan dan mengakui keterbatasan pengetahuan. Sekalipun jumlah penerbitannyaterbatas, buku-buku dari periode awal 1950-an ini mulai merangsang perdebatan tentangarah dan perspektif dalam penulisan sejarah nasional. Kritik terhadap historiografikolonial pun lebih mendalam dari angkatan sebelumnya yang hanya sibuk membaliksebutan ‘pemberontak’ dalam historiografi kolonial menjadi ‘pahlawan’ dalam tulisan-tulisan mereka. Para penulis mulai mempersoalkan apa yang mereka anggap masalahterbesar dalam historiografi kolonial, yaitu bahwa sejarah selama ini dilihat dari kacamataorang Belanda sementara orang bumiputra hanya menjadi pelengkap yang meningkahiperbuatan dan kebijakan penguasa kolonial.6 Menurut mereka semestinya penulisansejarah nasional berpusat pada perbuatan dan tindakan orang Indonesia sendiri, misalnyadengan menyusun sejarah kerajaan-kerajaan pribumi yang tersebar di seluruh negeri danmencari benang merah yang menghubungkan satu sama lain sehingga membentukIndonesia.

Masalah ini menjadi sumber diskusi dan perdebatan sepanjang 1950-an, dan mencapaipuncaknya dalam Seminar Sejarah I di Jogjakarta akhir 1957. Salah satu topik terpentingdan mendapat perhatian luas adalah masalah filsafat sejarah nasional. Tampil sebagaipembicara Muhammad Yamin, seorang aktivis kawakan, pujangga dan juga penulissejarah serta Soedjatmoko, ilmuwan sosial terkemuka. Pandangan keduanya bertolakbelakang dan perdebatan pun tak terelakkan. Dengan pemikiran yang khas mewakilihistoriografi nasionalis saat itu, Yamin mengat akan bahwa filsafat sejarah yang jelas danpasti adalah kunci bagi penyusunan sejarah nasional. Sebaliknya Soedjatmokomengatakan bahwa penulisan sejarah semestinya tidak dikunci di bawah satu filsafat saja,tapi membuka diri bagi bermacam kemungkinan tafsir. Bagaimanapun keduanya setujubahwa sejarah nas ional harus disusun dengan perspektif yang berpusat pada orangIndonesia, atau dikenal sebagai perspektif Indonesia-sentris.7

Pramoedya tidak pernah terlibat langsung dalam perdebatan ini. Ia hanya sekali merujukpada pandangan Yamin dalam Seminar Sejarah I itu, ketika membahas pendekatan yangdigunakannya dalam diktat Sedjarah Modern Indonesia. Sejauh ini saya tidak

6 Adalah J.C. van Leur (1955), dalam kritiknya terhadap historiografi kolonial yang mengamati sejarahmasyarakat dari loji dan geladak kapal Belanda, menyarankan agar ahli sejarah menaruh perhatian lebihbesar pada suara orang bumiputra sendiri. Lihat juga artikel menawan dari John Smail (1961). 7 Istilah ini pert ama kali diperkenalkan oleh G.J. Resink dan ikut dipopulerkan Soekarno pertengahan 1950-an.

9

Page 10: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

menemukan tulisan atau komentarnya mengenai seminar sejarah yang bersejarah itu. Iajuga tidak diketahui bergaul rapat dengan kalangan ahli sejarah, kecuali sesama peminatsejarah di lingkungan intelektual kiri seperti Tjan Tjoe Som, Bujung Saleh dan Jan B.Avé, dan beberapa ahli tentang Indonesia seperti Wim F. Wertheim dan G.J. Resink.8

Dari segi kritik terhadap historiografi kolonial, Pramoedya berpikiran sama sepertisejarawan nasionalis zaman itu. Ia juga menganggap tugas terpenting dan mendesakadalah “melepaskan sedjarah dari rangka jang selama itu ditentukan oleh politikpengadjaran pendjadjah.” (Pramoedya Ananta Toer 1962a:ix). Lebih jauh ia mengat akan:

“Penjusunan sedjarah baru adalah djuga perdjuangan jang sama sengitnya denganperdjuangan-perdjuangan lain dalam meningkatkan peradaban sesuatu bangsa danpeninggian nilai manusia. Tanpa karja ini tiada bangsa itu mempunjai tjermin jangdatar dan litjin, tiada ditjetjatkan oleh kekuasaan2 jang tidak wadjar, atauketiadapengertian2 jang berkepalabatu. Sumber2 baru harus ditemukan bahkanjang kadang2 tidak punya persangkutan dengan jang tradisional. Namunpendjeladjahan baru ini harus dilakukan dengan berani. Setiap titiksinar mestiditangkap, ditjari azas hidupnya, dan dikembangkan.”

Ia mengakui bahwa penulisan sejarah modern diperkenalkan kepada Indonesia olehBarat, tapi kritiknya tidak berbau nativisme yang menolak segala yang berasal dari luar.Menurutnya, sebagai bangsa yang memiliki aksara sendiri sejak lama, orang Indonesiatentu juga menulis sejarah. Tapi ‘sejarah’ dalam bentuk hikayat, babad atau primbonmasih hidup di alam khayal dan tidak cukup untuk memahami dunia modern. Karena ituia menyarankan dalam penulisan sejarah Indonesia ahli sejarah tetap menggunakanmetode modern yang berasal dari Barat tapi dengan kritik menyeluruh terhadappandangan yang tidak sesuai dengan kepentingan nasion. Ia mengatakan bahwapandangan pribadi dan pandangan kelas seseorang menentukan caranya menulis sejarahdan juga pengertiannya tentang sejarah. Para sarjana kolonial misalnya mempelajarisejarah dan kebudayaan membantu penguasa membuat keputusan yang tentubertentangan dengan kepentingan orang yang dijajahnya. Penulisan sejarah nasional, atausejarah orang bekas jajahan karena itu tidak dapat mengambil oper historiografi kolonial,karena tujuan mereka bertolak belakang dengan kepentingan kolonial. Untuk menyusunsejarah nasional, maka para penulis harus membongkar terlebih dulu bangunanhistoriografi kolonial dan meletakkan dasar-dasar penulisan sejarah baru, yang bertumpupada filsafat sejarah nasional yang kukuh. Dikatakannya,

“Karena sedjarah adalah titiktolak dari masakini dan masadatang, makapenjusunannja memang harus didasarkan pada falsafah sedjarah jang sesuaidengan tudjuan jang hendak ditjapai, jaitu sosialisme, dan sedjalan dengan itufilsafat sedjarah jang paling tepat ialah filsafat jang mendjadi dasar negara, jaituPantjasila dengan program umumnya Manipol.” (Pramoedya Ananta Toer 1964)

8 Hubungan dengan kedua orang yang disebut belakangan pun dapat ditelusuri kembali ke masa sebelum iamenekuni sejarah. Pramoedya mengenal Resink sejak akhir 1940-an ketika ia masih ditahan di penjaraBukti Duri. Adalah Resink yang menyelamatkan naskah Perburuan yang kemudian diserahkannya kepadaHB Jassin dan mendapat hadi ah pertama dari Balai Pustaka. Sementara itu Pramoedya mengenal Wertheimketika menetap di Belanda pada paruh kedua 1953.

10

Page 11: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

Namun Pramoedya tidak pernah menjabarkan filsafat sejarahnya lebih lanjut.Keterangannya dalam diktat Sedjarah Indonesia Modern mengenai masalah itu agakmembingungkan dan mungkin dibuat hanya untuk memenuhi tuntutan Manipol-isasi disegala bidang yang makin marak menjelang 1965. Sekalipun menggunakan jargon danretorika Marxis, pandangannya tentang perkembangan sejarah dan tujuan akhirsosialisme tidak seperti PKI. Ia merujuk pada Stalin dan Engels tapi dalam satu napasdengan Multatuli yang anti-komunis. Sepertinya tidak ada satu filsafat sejarah yangmenguasai pemikirannya. Sebaliknya ia dengan ringan mengambil pernyataan danargumen dari berbagai khazanah teoretik yang sesuai dengan keperluannya memahamimasa lalu. Argumen teoretiknya kadang terkesan kabur, tapi analisis dan kesimpulan daristudi empiriknya, seperti terlihat dalam analisisnya mengenai ekspansi kapitalisme kedesa-desa di Jawa pada abad ke-19 dalam Sedjarah Modern Indonesia , memperlihatkankecermatan dan ketajaman berpikir yang menakjubkan.

Pandangannya mengenai sejarah lebih jelas terlihat dalam sikapnya terhadap sumbersejarah dan cara mendapatkan informasi mengenai masa lalu. Ia sangat berhati-hati danteliti mengumpulkan, menyaring dan menggunakan informasi. Dalam kritiknya terhadaphistoriografi kolonial ia antara lain menyebut bahwa masalah dengan sejarawan kolonialtidak hanya pada perspektif mereka, tapi karena perbuatan mereka ‘membersihkan’sejarah dengan jalan memusnahkan arsip, menyingkirkan karya dan orang tertentu daricatatan sejarah, membuang orang agar dilupakan oleh masyarakat dan sejarah sepertiRinkes yang ‘melenyapkan’ Tirto Adhi Soerjo atau menyaring sumber seperti yangdilakukan Abendanon terhadap surat-surat Kartini. Walau kecurigaannya terhadaphistoriografi dan sarjana kolonial kadang berlebihan, kritiknya yang tajam terhadapproduksi pengetahuan tentang masa lalu adalah terobosan penting dalam historiografiIndonesia. Dalam konteks sejarah gerakan nasionalis awal abad ke-20 yang menjadiperhatiannya, produksi pengetahuan tentang masa lalu ini terpusat tidak lain dalambirokras i kolonial yang berusaha mengurung subyek jajahannya dalam sebuah rumahkaca. Dalam Sang Pemula (1985) Pramoedya menyoroti peran penting dari KantorPenasehat Urusan Bumiputra yang dipimpin pertama kali oleh Snouck Hurgronje. Kantorini berhubungan erat dengan penerbitan Balai Pustaka yang memproduksi bacaanmengenai masa lalu Hindia, mengontrol perkembangan organisasi bumiputra melaluijaringan intelijen yang digambarkan dengan baik dalam Rumah Kaca, dan sekaligusmerupakan rumah bagi para sarjana kolonial tersohor yang berpengaruh besar dalamstudi tentang Indonesia, seperti R.A. Kern, G.A.J. Hazeu, D.A. Rinkes dan SnouckHurgronje. Kerjasama di antara ketiga unsur inilah – jaringan intelijen, sarjana kolonialdan penerbitan yang memproduksi dan menyebarluaskan pengetahuan secara massal –yang menyangga historiografi rumah kaca.

Pramoedya tidak berhenti pada kritik, tapi bekerja keras mencari dan mengangkatkembali sumber sejarah yang tertimbun masa. Ia mulai menerbitkan beberapa karyapenting dalam lembaran Lentera. Salah satu sumbangan terbesarnya pada studi sejarahabad ke-19, khususnya periode Tanam Paksa, adalah penerbitan ulang Hikajat SitiMariah karya H. Mukti.9 Dalam studinya tentang Semaoen ia juga ‘menemukan kembali’

9 Karya itu sebelumnya diterbitkan secara bersambung ol eh Tirto Adhisoerjo dalam Medan Prijaji . Setelahlepas dari tahanan Pramoedya kembali menerbitkannya dalam bentuk buku. Sebagai satu-satunya novel

11

Page 12: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

Hikajat Kadiroen yang sebelumnya tidak dikenal apalagi dibicarakan dalam sejarahsastra Indones ia. Buku ini pertama kali didengarnya dalam wawancara dengan seorangtokoh pergerakan nasionalis pada awal 1960-an, dan kemudian menjadi bahan studi dilingkungan LEKRA dan juga diulas dalam karya Bakri Siregar (1964) mengenai sejarahsastra Indones ia. Menjelang peristiwa 1965 ia sudah menyiapkan sejumlah naskah sastrapra-Indonesia untuk diterbitkan, di samping beberapa tulisan Kartini yang dimuat dalamsuratkabar berbahasa Melayu pasar. Tekanan pada sumber-sumber berbahasa Melayupasar ini, seperti dikatakan Shiraishi (1985), dapat dilihat sebagai “usaha yang patutdihormati untuk mengembalikan studi tentang sejarah nasional Indonesia dari bahasaBelanda ke bahasa Indones ia.” Tentu ini tidak berarti bahwa Pramoedya tidakmenggunakan bahan-bahan berbahasa Belanda. Penerbitan karya-karya lama dalamMelayu pasar menurutnya penting untuk mengimbangi ‘suara’ kekuasaan kolonial yangbegitu keras.

Dengan penget ahuannya akan bahan berbahasa Melayu dan kerja kerasnya menemukanbahan-bahan yang tidak pernah dikenal sebelumnya, ia dapat menyelami suara bumiputradi masa kolonial, jauh melebihi pencapaian banyak penulis lain baik dari dalam maupunluar negeri. Sementara penulis lain bergantung pada laporan pemerintah atau keteranganresmi dari organisasi perlawanan, Pramoedya mulai menelusuri suratkabar, tulisan orangbumiputra dan juga ingatan para pelaku sejarah melalui wawancara.10 Ia pun tetapmemperhatikan sumber tradisional yang menurutnya merupakan dokumen sosial yangdapat membantu orang memahami kesadaran sosial dalam kurun tertentu. Ia misalnyamenganggap ramalan Jayabaya yang sangat populer pada masa pendudukan Jepang danperang kemerdekaan, sebagai bahan sejarah yang sangat penting karena memberiinformasi mengenai kesadaran sosial yang tidak bisa ditemukan dalam sumber lainseperti arsip negara kolonial.

Masalah sumber sejarah dan akibatnya terhadap perspektif dalam penulisan sejarah sudahmulai dibicarakan oleh J.C. van Leur sebelum kemerdekaan. Namun kritik ini tidakbergema dalam historiografi nasionalis setelah perang. Patriotisme di kalangan pembesarnegeri dan kalangan intelektual berhenti pada dinding luar benteng kekuasaan kolonial,dan membiarkan bangunan intinya kokoh tak tersentuh. Jangankan kritik terhadappengetahuan kolonial, pengunaan metode ilmiah untuk menelaah arsip kolonial di masaitu masih dianggap luar biasa karena jarang dilakukan orang. Sejarawan terkemukaSartono Kartodirdjo pada pertengahan 1990-an pun masih mengatakan bahwa arsipkolonial tidak dapat dihindari dalam studi sejarah Indonesia, dan sesungguhnya tetapdari dan mengenai periode Tanam Paksa, Hikajat Siti Mariah memberi informasi yang sangat bergunamengenai alam pikir dan jiwa rakyat jelata sert a hal-hal yang tidak pernah disinggung dalam arsip-arsipkolonial. Penerbitan itu mungkin sama pentingnya dengan usaha sejarawan Carlo Ginzburg menerbitkancat atan seorang pemilik penggilingan gandum di Itali a dari abad ke-16 yang menguraikan kosmologi rakyatdari masa itu.10 Pramoedya dengan begitu menjadi salah satu penulis sejarah pertama yang menggunakan metode sejarahlisan di Indonesia. Peralatan rekaman saat itu masih merupakan barang mewah dan hanya dimiliki sedikitorang. Karena itu ia harus membawa orang-orang yang hendak diwawancarainya ke tempat seorangpengusaha yang bersimpati pada usahanya. Saat menyusun seri tulisan “Trotskis di Indonesia”, yangkemudian dimuat di Lentera September 1965 (dan tidak selesai karena Bintang Timur dibredel pada 1Oktober) ia juga merekam pengalaman eks-Digulis yang kembali dari Australia dan sejumlah tokoh PKIyang mengalami gejolak gerakan komunis 1926-48.

12

Page 13: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

memberi kesempatan untuk melihat sejarah dari perspektif Indonesia, walau tidakmemerinci bagaimana hal itu mungkin dilakukan (Sartono Kartodirdjo 2001:31-32).Dalam hal ini, Pramoedya lagi-lagi merupakan pengecualian. Ia mungkin merupakanpenulis pertama yang mempersoalkan masalah ini dengan serius dan mencari jalan keluardengan menyelamatkan sumber-sumber sejarah yang menampilkan suara orang Indonesiadalam sejarah. Ketekunannya menggali dan menemukan informasi ini menurut saya dipengaruhipengalamannya sebagai pengarang yang ingin menyelami kenyataan dan menulis lebihdari apa yang nampak di permukaan. Sejak 1956 ia menulis sejumlah artikel tentangpentingnya pengarang menyelami kehidupan rakyat dengan ikut merasakan gejolak hidupmereka secara langsung. Saat bergabung dengan LEKRA, semangat ini mendapatbentuknya dalam program ‘turun ke bawah’ (Helmi 1980, Foulcher 1986), yangkemudian digunakannya dalam penelitian sejarah sehingga menghasilkan keuletan danketekunan yang jarang ditemukan pada penulis dan ahli sejarah lainnya. Ia juga termasuksalah satu penulis sejarah pertama yang menggunakan foto sebagai sumber informasi.Dalam studinya tentang Kartini, ia menggunakan foto tempat Kartini dilahirkan sebagaipijakan untuk menganalisis latar belakang sosial ibunya yang absen dalam surat-suratnya(Pramoedya Ananta Toer 1962a: 47-48).

Bagi Pramoedya, sikap dan perlakuan terhadap sumber sejarah sangat terkait denganprinsip, arah dan politik penulisan sejarah. Kritiknya terhadap penulisan sejarah kolonialmengingatkan orang pada serangan Marco Kartodikromo, Semaun, Musso, dan aktivisgerakan kiri 1920-an terhadap Balai Pustaka dan sarjana kolonial yang mengkonstruksi‘realitas’ tanah jajahan melalui produksi bacaan (Hilmar Farid 1991, 1994). Adahubungan yang kuat antara sikap dan pengalaman para pemimpin gerakan nasionalis inidengan sikap dan pengalamannya sendiri menghadapi kekuasaan yang bernapsumenguasai penget ahuan mengenai masa lalu. Di tahun 1960-an Pramoedya masihmenghadapi pemikiran kolonial yang diambilalih oleh sebagian sastrawan, kritikusbudaya dan juga ahli sejarah Indonesia. Perdebatannya dengan Teeuw-Jassin bisa dilihatsebagai kelanjutan dari debat antara Balai Pustaka dengan gerakan nasionalis kiri dizaman itu. Menurut Pramoedya, tindakan Teeuw-Jassin menyingkirkan tokoh sepertiTirto Adhisoerjo atau Marco Kartodikromo dari sejarah sastra Indonesia modern, adalahkelanjutan politik kolonial yang mau meredam radikalisme dengan membuang para tokohmasa itu dari kenyataan politik dan menghapus jejak mereka dari cat atan sejarah.Kenyataan bahwa Pramoedya kemudian dibuang oleh penguasa Orde Baru ke Pulau Burudan juga ingin dihapus dari peta sastra Indonesia dengan melarang karyanya danmengecamnya sebagai “bukan sastra” – seperti yang dialami para penulis nasionalis kiridi masa lalu – menggambarkan kekuasaan kolonial dan Orde Baru sebagai continuum.Tapi sementara Mutaltuli mati kesepian di Belanda, Tirto Adhisoerjo mati setelahkembali dari pengasingan, dan Marco Kartodikromo mati karena TBC di Boven Digoel,Pramoedya menolak untuk mati sekalipun disekap dalam pengasingan yang paling burukdalam sejarah Indones ia. Hidup dan karyanya menjadi kritik yang monumental terhadaphistoriografi rumah kaca yang terus berubah ujud dan warna dari waktu ke waktu.

13

Page 14: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

Usahanya membongkar historiografi ini dan menggali kembali bahan-bahan sejarah yangdiabaikan atau sengaja disingkirkan menimbulkan sederet konsekuensi yang tidakdibayangkan sebelumnya. Analisis dan kesimpulannya berdasarkan bahan-bahan yangdiperolehnya bahwa ‘Indonesia’ punya darah Tionghoa yang kuat dalam tubuhnya bukansekadar temuan ilmiah yang mengejutkan untuk ukuran waktu itu tapi juga pernyataanpolitik yang menghantam nasionalisme konservatif sebagian pembesar republik tepatpada ulu hatinya. Di tengah gejolak luar biasa akibat pemberontakan di berbagai daerah,intervensi politik dan militer asing yang mengancam keselamatan Indonesia, politikrasialis yang dipelopori kekuatan sayap kanan dengan dukungan sebagian penguasamiliter, debat di sekitar nas ionalisasi perusahaan dan masalah kedaulatan ekonomi,pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai nasion pun bermunculan. Pramoedyaterjun dalam gelanggang perdebatan dan memberi dimensi historis pada masalah itudengan menyoroti asal-usul dan keberadaan Indonesia.

Genealogi Sebuah Nasion

Salah satu tema sentral dalam pemikiran sejarah Pramoedya adalah nasion.11 Tulisanpanjang pertama mengenai tema ini terbit Juli 1958 di Zaman Baru dengan judul“Kesatuan Indonesia, Epos dalam Penggalangan Abadi,” di mana dengan gaya Spengleria membahas perkembangan peradaban Nusantara dari waktu ke waktu, yang kemudianmembentuk Indonesia. Lebih dari separuh tulisannya di Bintang Timur sejak 1962berbicara mengenai berbagai aspek dari asal-usul dan perkembangan nasion. Begituhalnya dengan pidato dan ceramah yang semakin sering dilakukannya sejak 1959.Sesuatu yang wajar kiranya mengingat gelombang pasang nasionalisme di masaDemokras i Terpimpin. Kebangkitan dan kesatuan nasion menjadi tema sentral di masa itusebagai landasan politik berdikari yang coba dijalankan pemerintahan Soekarno. Namunberbeda dengan Yamin, Aidit dan sejarawan nasionalis lain yang mengagungkankerajaan-kerajaan tua di Jawa dan Sumatera sebagai masa lalu ‘Indonesia’ yanggemilang, Pramoedya menganggap ‘Indonesia’ adalah sebuah konstruksi modern yangbelum terlalu tua usianya.

“Pada mulanja Indones ia tidak lebih dari sebuah istilah geografi, tapi denganpasangnja gerakan kemerdekaan nasional non-kooperatif kemudian mendjadiistilah politik [...] karena Indonesia dewasa ini telah mendjadi istilah politik,hukum dan mendjadi nama dari negara kita, pada umumnya orang mudahmelupakan bagaimana asal-usulnja sampai diterima mendjadi nama dari negarakita. Terutama adalah perdjuangan politik jang memungkinkannja demikian.”(Pramoedya Ananta Toer 1964:4)

Perjuangan itu belum lagi selesai dan ‘Indonesia’ masih merupakan tujuan yang hendakdicapai. Sejarah menjadi penting dalam perjuangan itu karena “setiap orang jang tidaktahu titik-asalnya, jakni sedjarah, tidak akan tahu pula tempat jang akan ditudjunja.”11 Istilah ini lebih sering digunakan dalam wacana intelektual kiri 1960-an sebagai pengganti kata ‘bangsa’yang dalam akar Melayu-nya mengandung makna ‘kalangan yang lebih beradab’. Menurut keterangan OeyHay Djoen, tokoh penting LEKRA, istilah itu mulai dipopulerkan oleh Njoto awal 1960-an dan mulaidigunakan secara luas oleh intelektual kiri lainnya. Pramoedya sendiri sering berganti-ganti menggunakanistilah ‘bangsa’ dan ‘nasion’.

14

Page 15: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

(Pramoedya Ananta Toer 1964:6). Pramoedya tidak banyak berbicara mengenai asal-usulpurba dari nasion seperti dalam narasi PKI tentang asal-usul nasion.12 Ia lebihmenekankan politik kebangsaan – yang dalam narasi komunis disebut ‘kondisi subyektif’– dan dengan begitu menekankan unsur agency dalam proses pembentukan nasion danjuga sejarah. Ini adalah perbedaan mencolok antara historiografi Pramoedya dengan PKIyang menekankan pentingnya struktur, dan menjelaskan perhatiannya padaperkembangan gagasan politik di zaman modern. Dalam analisisnya mengenai ekonomikolonial, Pramoedya juga menekankan peran petani Jawa membentuk sistem ekonomidengan memboikot, melawan dan memberontak. Struktur ekonomi baginya tidak meluludibentuk oleh ‘keadaan obyektif’ yang tak bernyawa, melainkan pergulatan sosial antarayang memerintah dan diperintah. Di sini Pramoedya lebih dekat pada pengertian dasarMarx tentang gerak masyarakat ketimbang kaum Marxis-Leninis yang menampilkandirinya sebagai ‘wakil resmi’ pemikiran Marx.

Dalam historiografi nas ionalis, ada kesepakatan umum bahwa perjuangan yang belumselesai itu dimulai 20 Mei 1908 saat sekelompok priyayi Jawa membentuk Budi Utomodi Batavia. Dalam historiografi komunis pun berdirinya Budi Utomo adalah tonggaksejarah dalam proses perkembangan nasion. Pramoedya juga mengakui arti penting dansumbangan organisasi itu, tapi baginya ‘pencerahan’ yang menjadi landasan gerakannasionalis dimulai akhir abad ke-19 dengan munculnya intelektual di kalanganbumiputra. Wakil terpenting dari kalangan ini menurutnya adalah R.A. Kartini.Dikatakannya,

“Kartini adalah pemula dari sedjarah modern Indonesia. Dialah jang menggodokaspirasi2 kemadjuan jang di Indones ia untuk pertama kali timbul di Demak-Kudus-Jepara sedjak pertengahan kedua abad jang lalu (XIX). Ditangannjakemadjuan itu dirumuskan, dirintjinja, dan diperdjuangkannja, untuk kemudianmendjadi milik seluruh nas ion Indonesia. Dikatakan Indonesia, karena, sekalipunia lebih sering bitjara tentang Djawa, iapun tak djarang mengemukakankeinginannja buat seluruh Hindia – Indonesia dewasa ini [...] Kartini adalahpemikir modern Indonesia pertama-tama. Dengan penjusunan buku ini,sebenarnja dimulailah penjusunan sedjarah modern Indonesia (Pramoedya AnantaToer 1962a: xiii)

Bagaimanapun kaum priyayi terpelajar belum menghimpun diri menjadi kekuatan untukmemperjuangkan kebebasan bersama. Pemerintah kolonial memang di ambang krisis,tapi baru pada awal abad ke-20 krisis itu semakin tidak bisa dikendalikan dan penguasakolonial pun sadar bahwa mereka tidak bisa lagi memerintah dengan cara-cara lama. Iniadalah titik tolak ‘pencerahan’ dalam bentuk Politik Etik yang kemudian memungkinkanorang bumiputra secara massal mendapat pendidikan, kebebasan menyuarakan pendapat

12 Aidit dalam Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (1960), ideological treatise terpenting danmaster narrative dari narasi komunis tentang sejarah, melacak asal-usul Indonesia ke bangsa Mon Khmerdari daratan Asia Tenggara. Ada ketegangan kuat antara keinginan melacak kesatuan dari segi budaya danbahasa dengan pendekatan yang menekankan aspek politik dari nasion. Paparan paling sistematik daripart ai tent ang nasion dapat dilihat dalam Gunadi (1961). Di sini penulisnya membahas ‘kenyataan objektif’dari nasion dan ‘keinginan subyektif’. Jika analisis tentang kenyataan obyektif itu diilhami oleh Stalin(1935), maka diskusi tentang keinginan subyektif bersumber dari Ernest Renan (1882).

15

Page 16: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

dan berkumpul membela kepentingannya.13 Dalam tulisan-tulisan yang terbit lebih dulu iamengikuti pandangan umum bahwa pembentukan Budi Utomo adalah awal kebangkitannasion Indonesia. Studinya mengenai organisasi ini dalam seri artikel “Mengenangkankembali bangkitnja Bangsa Indonesia,” (1962) cukup terinci, mulai dengan menelusuriperjalanan Mas Wahidin Sudirohusodo yang menggalang dukungan untuk memajukanpendidikan di kalangan priyayi sampai kemudian memutuskan membentuk organisasipriyayi yang dapat memperjuangkan kepentingan tersebut. Di bagian terakhir seri tulisanitu ia mendukung keputusan Soekarno pada 20 Mei 1948 untuk menetapkan hari lahirnyaBudi Utomo sebagai hari kebangkitan nasional.14 Namun dalam tulisan yang munculbelakangan, menjelang 1965, Budi Utomo sepertinya semakin terdesak oleh tokoh danorganisasi baru yang muncul dari timbunan ars ip kolonial dan bahan-bahan sejarahlainnya. Tirto Adhisoerjo dan Abdul Rivai adalah dua tokoh yang sangat menarikperhatiannya, karena peran mereka dalam menghidupkan penerbitan pers, usaha dagangyang mandiri, dan organisasi modern untuk orang bumiputra. Sementara penulisnasionalis lainnya gencar mencari akar historis dari poros Nasakom dan politik FrontNasional yang menyatukan golongan nas ionalis, agama dan komunis – mengikutihistoriografi kolonial yang dipelopori J.Th. Petrus Blumberger (1928 dan 1931) tentanggerakan nasionalis dan komunis di Hindia Belanda – Pramoedya keluar dari kategorisasisemacam itu dengan menelusuri akar pemikiran gerakan nasionalis sebelum Budi Utomo.

Dalam penelusuran itulah Pramoedya mulai melihat asal-usul Tionghoa dan Indo-Eropadalam pembentukan nasion. Karena menekankan pentingnya ide dalam pembentukannasion, yang saat itu berkembang biak melalui pers dan penerbitan, ia mencari talisambung antara para jurnalis dan penulis Tionghoa dan Indo-Eropa dengan kaumterpelajar bumiputra yang menjadi pemula gerakan nasionalis. Sementara Aidit danintelektual kiri seperti Jan Avé menulis tentang ketidakaslian dari segi etnologis dankesatuan secara politik (di bawah gerakan revolusioner), Pramoedya justru menekankancultural hybridity dari nasion. Ia melihat bahwa ‘sastra assimilatif’ dan sastra pra-Indonesia yang didominasi oleh orang Tionghoa dan Indo-Eropa yang ditulis dalamMelayu pasar atau Melayu rendah adalah basis berkembangnya gagasan tentang‘Indonesia’. Dalam sastra dan bahasa inilah ‘Indonesia’ dirumuskan dan diutarakankepada khalayak. Pengetahuannya tentang sastra dan bahasa yang mendalam memberidimensi yang sama sekali baru pada studi sejarah Indonesia. Bertolak belakang dengansarjana kolonial dan para penerusnya di masa itu, Pramoedya menghubungkan dunia-dunia yang sebelumnya terpisah: sastra, bahasa dan politik. Ia membongkar kategori-kategori yang digunakan dalam studi tentang sastra dan bahasa Indonesia saat itu danmenawarkan gambaran yang sungguh berbeda. Sastra bukan hanya terkait dengan politiktapi merupakan bagian integral dari perjuangan panjang menuju ‘Indonesia’. Demikianhalnya dengan bahasa. Hanya dengan ‘bahasa jang hidup’ orang bumiputra dapat13 Namun pandangannya tentang Politik Etik berubah-ubah. Ia kerap mengkritik pat ernalisme para pejabatkolonial yang merasa ‘mencerahkan’ kalangan terpelajar bumiputra, tapi di sisi lain mengakui bahwakapitalisme dan modernitas yang dibawa kekuasaan kolonial adalah kunci bagi rakyat jajahan untukmencapai kemajuan. Pramoedya seperti intelektual kiri lainnya di masa itu adalah seorang modernis tulenyang meyakini gerak maju sejarah akan membebaskan orang dari keterbelakangan. 14 Keputusan itu dibuat saat ada kebutuhan besar untuk menunjukkan akar-akar historis dari RepublikIndonesia. Selanjutnya logika ‘mencari akar historis’ ini juga dipakai dalam pengangkatan pahlawannasional, penetapan hari besar nasional dan simbol-simbol kenegaraan lainnya.

16

Page 17: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

merumuskan perjuangannya dan membebaskan diri dari pola pikir kolonial yangditanamkan melalui bahasa dan sastra.

Usaha ini sejalan dengan LEKRA yang sejak akhir 1950-an giat melakukan risetmengenai sejarah sastra dan kebudayaan untuk menegaskan jejak tradisi revolusionermereka sendiri.15 Dalam proses itu mereka ‘menemukan kembali’ Marco Kartodikromo,Semaun dan penulis nasionalis lainnya yang kemudian diklaim sebagai pengawal tradisirealisme sosialis di Indones ia. Bagi Pramoedya masalah menemukan kembali tradisiradikal ini sangat penting karena menunjukkan bagaimana penguasa kolonial, terutamaBalai Pustaka dan sarjana kolonial pendukungnya, mempengaruhi pengetahuan tentangnasion dan akhirnya turut membentuk perjalanan nasion itu sendiri. Masa lalu dan masakini terkait erat. Mencari akar pemikiran dalam gerakan dan pemikiran nasionalis radikalbukan upaya mendapat legitimas i historis bagi LEKRA atau gerakan kiri semata-mata,tapi sebuah pernyataan bahwa ‘nasion Indonesia’ berakar pada tradisi radikal. Dengankata lain ia berpendapat bahwa kaum radikal inilah yang pertama kali membayangkan‘Indonesia’ sebagai kesatuan dan apa yang dilakukan oleh gerakan kiri 1960-an tidak lainkelanjutan dari proyek politik tersebut. Pandangan yang berbeda, misalnya dari kalangannasionalis konservatif atau kelompok Islam, disanggah sebagai ‘warisan kolonial’.Polemik Pramoedya dengan establishment sastra Teeuw-Jassin yang juga menghiasilembaran-lembaran Lentera saya kira paling tepat dimengerti dalam konteks ini.

Sumbangan penting lain dari Pramoedya dalam diskusi tentang asal-usul nasion adalahperan perempuan dalam proses tersebut. Pramoedya menjadi salah satu penulis sejarahpertama yang memperhatikan masalah ini. Ia tentu bukan orang pertama yang menulistentang Kartini, tapi dua jilid Panggil Aku Kartini Sadja, terlepas dari pujian yang kadangberlebihan, mendudukkan Kartini dalam sejarah gerakan nasionalis dengan tepat. Usahaitu merupakan pernyataan penting dalam historiografi Indonesia yang sangat didominasilaki-laki, baik dari segi orientasi, isi maupun para penulisnya. Perhatian khusus padagerak dan pemikiran perempuan dalam sejarah nampaknya tidak datang dari perjumpaandengan pikiran dan teori feminis, tapi lebih sebagai kesimpulan dari bahan-bahan sejarahyang dikumpulkannya. Di sini ia sekali lagi memperlihatkan keterbatasan historiografikolonial dan nasionalis yang mengabaikan peran perempuan semata-mat a karena tidakcukup bahan yang tersedia mengenai mereka. Baru pada akhir 1920-an ketika munculberbagai organisasi perempuan nasionalis dan terselenggaranya kongres perempuanIndonesia, penguasa kolonial merasa perlu membuat arsip khusus mengenai gerakanperempuan. Tapi peran perempuan dalam gerakan nasionalis masa awal praktis luput dariperhatian. Malang, upaya membongkar historiografi kolonial serta menemukan dan menegaskanasal-usul radikal dari nasion dihancurkan seiring dengan dihancurkannya nasion itu

15 Usaha itu dirangkum oleh Prof Bakri Siregar dal am Sedjarah Sastra Indonesia Modern (1964) yangditerbitkan Akademi Sastra Multatuli. Bandingkan dengan makalah Pramoedya mengenai realisme sosialisdan sastra Indonesia (1963). Pada awal 1960-an kekuatan kiri membentuk sejumlah akademi untukmendidik kader-kader mereka, seperti Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Akademi Ilmu PolitikBachtaruddin – keduanya mengambil nama tokoh partai dari periode 1920-an dan 1940-an. Pramoedya ikutmengajar di Akademi Jurnalistik Abdul Rivai dan Akademi Sejarah Ranggawarsita, walau yang belakangantidak begitu akti f.

17

Page 18: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

sendiri. Pembasmian massal terhadap PKI sejak Oktober 1965 adalah langkah awal bagi“bangkit dan menangnya negara terhadap masyarakat dan nasion.” (Anderson 1983: 487).Ratusan intelektual, seniman, penulis, ahli sejarah dan jurnalis yang dengan satu atau laincara terlibat dalam konstruksi nas ion yang radikal ini ditangkap untuk kemudian dibunuhatau ditahan selama belasan tahun tanpa pengadilan. Penguasa berhasil membungkamPramoedya dan intelektual kiri lainnya, paling tidak untuk sementara waktu, tapi gagalmengikis habis imajinasi radikal mereka tentang nasion.

Karya Pulau Buru: Sastra/Sejarah

“Materi hulu ia hilirkan dalam benaknya, dengannya dan dengan kata ia membikinkenyataan baru. Dia bukan menjiplak kenyataan hulu, dia membikin kenyataan barudengan kenyataan hilir.”

Di bawah tekanan fisik, kerja paksa dan ketidakpastian nasib, serta ketiadaan sumber danfasilitas menulis, Pramoedya melanjutkan usahanya menyusun sejarah gerakannasionalis. Empat jilid karya Pulau Buru yang diterbitkan sejak 1980 adalah ‘hasil akhiryang tidak diharapkan’ dari studi yang dilakukannya antara 1956-65.16 Pramoedyamemilih bentuk novel karena ketiadaan bahan dan karena khawatir dituduh memalsusejarah kalau bersikeras menulis karya non-fiks i. Dari uraiannya mengenai prosespenulisan yang begitu berat – hanya bermodal ingatan setelah empat tahun hidup dibawah tindasan fis ik dan kelaparan – jelas bahwa keempat novel itu bukanlah bentukideal yang diinginkan Pramoedya. Namun justru pilihan menulis novel ini yang kemudianmemungkinkan Pramoedya lebih leluasa menangani semangat dari periode itu danpsyche ‘Indonesia’ yang sedang tumbuh di satu pihak dan kekuasaan kolonial di pihaklain. Penahanan semasa perang kemerdekaan, zaman pemerintahan Soekarno dan setelahperistiwa 1965 membuat Pramoedya tidak sekadar tahu bahwa kekuasaan Orde Barutidak lain dari continuum kekuasaan kolonial, tapi juga mengalaminya. Pengalaman inimenjadi landasan perenungan yang sangat penting dan saya kira sangat mempengaruhikarya-karya yang dihasilkannya.

Cukup jelas kiranya bahwa empat jilid karya Pulau Buru ini adalah kelanjutan dariproyek historiografi yang dimulainya akhir 1950-an. Tapi situasi yang berubah jugamembuat Pramoedya menyesuaikan diri. Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa yangterbit tidak lama setelah ia keluar dari tahanan diarahkan pada pembaca muda yang inginmengenal kekuatan historis yang membentuk masa kini (Tempo, 30 Agustus 1980).Dibandingkan historiografi nas ionalis yang kerap terjerembab dalam nativisme, keduakarya ini berhasil menggambarkan psyche dari para pemula gerakan nasionalis danmemperlihatkan ketegangan dalam cultural hybridity masa itu. Ia menggambarkan Minkeyang menolak dan bahkan mengutuk kebudayaan feodalnya yang menistakan manusia,dan kemudian memeluk peradaban Barat yang dianggap maju dan mencerahkan, sampaiakhirnya melihat bahwa peradaban itu pula yang membuat rakyat Hindia tertindas.Sejarah dalam karya ini penuh letupan dan gejolak, antara sifat menghamba danmelawan; jauh berbeda dari historiografi kolonial maupun nasionalis yang selalu

16 Ada beberapa naskah lain yang disusunnya selagi di pembuangan, seperti Arus Balik, Mangir, MataPusaran, yang menceritakan sej arah pra-modern di Jawa.

18

Page 19: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

menempatkan fakta-fakta dalam jalur cerita yang mulus. Dalam Jejak Langkah yangterbit lima tahun kemudian Pramoedya nampak lebih bersandar pada fakta-fakta. Dalammasa itu ia sudah berhasil membangun kembali perpustakaan dan dokumentasinya, danmenggunakan bahan-bahan yang tidak dimilikinya saat menyusun dua jilid yang pertama.Karya ini juga nampak jauh lebih ‘faktual’ dan menempatkan tokoh dan kisah merekadalam konteks sejarah yang jelas. Pembaca terus diingatkan pada waktu, keadaan dantempat para tokoh berkiprah.

Dalam ketiga karya ini Pramoedya melampaui ‘polemik kebudayaan’ 1930-an yangmenghadap-hadapkan kebudayaan Barat dan Timur serta menganjurkan agar ‘Indonesia’memeluk salah satu. Melalui Minke ia memperlihatkan bahwa ‘Indonesia’ tidak dibangunoleh Barat atau Timur, melainkan oleh keinginan melawan ketidakadilan yang berakarpada kolonialisme oleh Barat dan tradis i feodal Timur, dengan senjata pemikiran yangmemiliki banyak sumber.17 Minke yang dididik secara Barat dan terang-terangan menolaktradisinya sendiri mendapat sekutu ideologinya dalam diri Sanikem, seorang nyai yangdididik seperlunya oleh sang tuan, Herman Mellema, seorang pemilik perkebunan. Bukanpendidikan atau kebudayaan Barat yang mempersatukan keduanya, tapi perlawananterhadap ketidakadilan yang mereka alami dan sistem yang menjadi sumber ketidakadilantersebut. Nasion dengan begitu bukan sesuatu yang ‘obyektif’, yang dibentuk misalnyaoleh kesamaan bahasa – dan Pramoedya menonjolkan hybridity para tokohnya yangumumnya bisa bicara dalam lebih dari dua bahasa – tapi sebuah proyek politik yangtumbuh dalam masyarakat jajahan.

Rumah Kaca yang merupakan jilid terakhir dan terbit sepuluh tahun setelah jilid yangpertama, adalah kritik terhadap historiografi kolonial, atau tepatnya historiografi rumahkaca, yang paling lengkap dan mendalam. Dalam karya ini ia menginterogasi psychekekuasaan kolonial melalui seorang birokratnya, yang terkesima melihat bangkitnyakesadaran bumiputra. Penggambaran yang rinci tentang seluk-beluk dan anatomikekuasaan kolonial saya kira tidak ada bandingannya dalam sastra Indonesia modernmaupun studi sejarah Indonesia. Di sini Pramoedya menunjukkan kualitasnya bukanhanya sebagai penulis novel yang andal, tapi juga peneliti yang tekun. Tapi tidak sepertisejarawan nasionalis dan juga sejarawan profesional masa kini, ia tidak menggunakanarsip untuk menemukan ‘fakta’ melainkan membacanya secara terbalik. Ia melihat arsipsebagai rekaan kekuasaan kolonial yang ingin mengkonstruksi ‘kebenaran’, yang kadangmelenceng dari keadaan sesungguhnya tapi kemudian diyakini sebagai kebenaran.Imajinasi ini menurut hemat saya bukan hanya dibentuk oleh pengetahuannya tentangpenyingkiran Tirto Adhisoerjo atau Marco Kartodikromo dari historiografi kolonial, ataupenyingkiran karya-karya sastra pra-Indonesia dan sastra pergerakan oleh Teeuw-Jassin,tapi juga dari pengalamannya sendiri. Ia tahu betapa salahnya laporan para interogatoryang mengkonstruksi ‘kebenaran’ mengenai dirinya.

Dalam Rumah Kaca terlihat bahwa ‘kebenaran yang salah’ ini bukan karena kecerobohantapi hasrat untuk mengatur dan mengendalikan kenyataan. Lebih jauh ia menggambarkan17 Dalam karya Pulau Buru Pramoedya memang menekankan pergulatan pemikiran dengan tradisi Barat. Dilingkungan LEKRA sejak akhir 1950-an, mungkin sebagai produk dari program ‘turun ke bawah’, paraseniman dan intelektual mulai menggali ‘tradisi kerakyatan’ Timur yang egaliter sebagai bagian daribudaya nasion yang baru.

19

Page 20: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

bahwa semua itu dilakukan, dari perspektif kolonial, untuk kepentingan bumiputrasendiri. Pangemanann selalu terombang-ambing antara pengabdian pada kekuasaankolonial dan simpati pada kebangkitan bumiputra. Dan justru di sinilah Pramoedya sangatberhas il menggambarkan tirai tipis antara kekaguman dan usaha memahami kenyataandengan tindakan mengawas i untuk mengendalikan. Para pejabat kolonial sepertidiketahui memiliki pengetahuan mendalam tentang kenyataan di Hindia Belanda, tapisekaligus berbicara dalam bahasa rust en orde yang mendesak mereka untuk menulis‘kebenaran yang salah’. Dengan uraian begit u menawan tentang psyche kekuasaankolonial Pramoedya tidak hanya menghadirkan sejarah secara kreatif tapi membukaperspektif baru untuk menyelidiki sejarah, khususnya masa pergerakan nasional.18

Dimens i kritik historiografi ini tidak banyak dibicarakan dalam studi-studi tentang karyaPulau Buru, antara lain karena mengabaikan atau memisahkan penelitian dan tulisan-tulisan yang mendahuluinya selama 1960-an, ketika Pramoedya diduga sibuk berpolitikdan berhenti menulis kreatif. Kehadiran karya Pulau Buru dan Sang Pemula, biografi dariTirto Adhisoerjo yang menjadi tokoh utama dalam tiga jilid pertama, adalah gugatanterhadap batas-batas sastra dan sejarah yang diwarisi historiografi nasional dari ilmu-ilmukolonial. Kejaksaan Agung jelas tidak menyadari bahwa pelarangan terhadap karya PulauBuru justru menjadi bukti kebenaran pendapat Pramoedya tentang continuum kekuasaankolonial ke masa Orde Baru, dan bagaimana konstruksi ‘kebenaran yang salah’ –misalnya tuduhan bahwa Rumah Kaca mengandung pesan rahasia bagi kader-kaderkomunis untuk bergerak – menjadi dasar bagi kebijakan politik. Jika analis is itu berlakubagi kekuasaan maka demikian halnya bagi mereka yang melawan kekuasaan itu.Pramoedya adalah kelanjutan dari tradisi radikal yang ditulisnya, meneruskan pekerjaanTirto Adhisoerjo, Marco Kartodikromo dan gerakan intelektual kiri yang menjadirumahnya sejak pertengahan 1950-an. Dengan karya Pulau Buru, dan kontroversi yangmuncul di sekitar penerbitannya, ia berhasil memperlihatkan hubungan antara kekuasaandan historiografi kolonial dengan kekuasaan dan historiografi Orde Baru, yang dengantepat dirumuskan dalam frasa ‘rumah kaca’. Seperti sastra ‘assimilatif’ atau pra-Indonesiayang dibahasnya, karya Pulau Buru menjadi dokumen sosial yang berbicara tentangkenyataan historis dan sekaligus kenyataan sosial pengarangnya.

Penutup

Menyimpulkan peran Pramoedya dalam historiografi Indonesia bukan perkara mudah.Begitu banyak yang telah dikerjakannya, mulai dari menulis artikel sejarah, mencari,mengumpulkan dan menyusun bahan untuk memperkuat suara dan memperjelas sosokorang Indonesia yang dalam historiografi kolonial/nas ional tampil melalui pandanganpejabat kolonial. Setelah Arus Balik dan Mangir ia masih menerbitkan studi tentangjugun ianfu di Pulau Buru yang disusunnya berdasarkan wawancara dengan perempuankorban yang terdampar di sana. Tahun 2001 ia menandingi sumber kolonial tentang kamptahanan Boven Digoel dengan Cerita dari Digul yang memuat kisah orang Indonesia18 Adalah Takashi Shiraishi (1990) yang kemudian mengembangkan landasan ini untuk menelaahradikalisasi gerakan nasionalis antara 1912-1926. Ia mengkritik salah kaprah dalam penulisan sejarah yangbersumber dari tiga jilid buku J.Th. Petrus Blumberger tentang gerakan komunis, nasionalis dan Indo-Eropa di Hindia Belanda lalu menyusun narasi, seperti yang dilakukan Pramoedya pada paruh pertama1960-an, berdasarkan suara dan tindakan orang bumiputra sendiri.

20

Page 21: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

tentang kamp tersebut. Beberapa waktu lalu terbit Jalan Raya Pos, Jalan Daendels,mengenai pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang memakan korban ribuan jiwapribumi, yang oleh penguasa kolonial dikenang sebagai salah satu proyek pembangunaninfrastruktur termahsyur. Saat ini ia masih menyusun Ensiklopedi Citrawi Indonesia,yang disebutnya sebagai karya sosio-geografis dan dimulainya saat masih mendekamdalam tahanan. Cukup jelas dengan penerbitan sebanyak itu sumbangannya terhadaphistoriografi Indonesia tidak bisa dianggap sepi.

Kritiknya terhadap historiografi kolonial mungkin merupakan sumbangan pokok, karenadari sinilah mengalir berbagai arti penting lainnya. Menariknya, Pramoedya tidak pernahterlibat dalam perdebatan atau diskusi tentang historiografi Indonesia yang bersemangatmembedakan diri dari – tapi seperti kita tahu tetap tertambat pada – historiografi kolonialyang dikritik. Tanpa sadar mungkin, karena seperti yang diperlihatkan Pramoedya dalamkarya-karyanya, historiografi rumah kaca punya wajah pribumi. Ia sepertinya bekerjasendiri dan mungkin merasa lebih perlu berdialog dengan subyek yang dipelajarinyadaripada sesama penulis sejarah. Sebagai seorang otodidak tulen ia tidak pernah dilatihdalam hal teori dan metode sejarah. Ia tidak memiliki dan tidak pernah berniat menyusunsistem filsafat sejarah yang koheren. Tulisan-tulisan tentang sejarah yang tersebar diberbagai media mungkin lebih tepat dibaca sebagai kumpulan fragmen ketimbang sebuahbadan pengetahuan yang utuh. Adalah intensitas menggali dan membaca bahan-bahansejarah dan pengalaman hidupnya sendiri yang mempertemukannya dengan politikpenulisan sejarah yang berakar pada zaman kolonial, melalui interregnum Soekarno, danbermuara pada Orde Baru.

Kritik yang tajam terhadap politik sejarah penguasa ditingkahinya dengan menerbitkansumber sejarah alternatif yang memungkinkan orang Indonesia berbicara untuk dirinyasendiri dalam kisah sejarah. Penggalian sumber sejarah baru, terutama dari kaum yangdipinggirkan, membawa penulisan sejarah menjauh dari arsip, pemikiran dan kekuasaannegara. Sebuah syarat mutlak bagi dekolonisasi sejarah di Indonesia.

21

Page 22: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

Kepustakaan

Karya Pramoedya Ananta Toer

Buk u

1960 Hoakiau di Indonesia , Jakarta: Bintang Press

19621962a1962b

Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia: sebuah tindjauan sosial . naskah stensilanPanggil Aku Kartini Sadja, jilid I. Bukittinggi: NusantaraPanggil Aku Kartini Sadja, jilid II. Bukittinggi: Nusantara

1964 Sedjarah Modern Indonesia. Buku Pertama: Babak Perintis. Bahan kuliah ‘SedjarahModern Indonesia’, Jakarta: Fakultas Sastra Universitas ‘Res Publica’

1980 Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra

1981 Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra

1985 Jejak Langkah. Jakarta: Hasta Mitra

1990 Rumah Kaca . Jakarta: Hasta Mitra

1995 Nyanyi Sunyi Seorang Bisu . Jakarta: Lentera

Artikel Suratkabar dan Majalah

1953 “Angkatan dan Dunianja,” Duta Suasana, 10 Januari“Prof Dr Wertheim tentang Kesusasteraan Indonesia Modern, KegagalanKesusasteraan Indonesia adalah Kegagalan Revolusi,” Gelanggang/Siasat , 15November

1956 “Kearah Sastra jang revolusioner,” Star Weekly, 29 Desember“Tendensi Kerakjatan dalam Kesusasteraan Indonesia terbaharu,” Star Weekly, 21Jan uari

1957 “Balai Pustaka di Alam Kemerdekaan,” Star Weekly, 16 Februari “Djembatan Gantung dan Konsepsi Presiden,” Harian Rakjat, 28 Februari “Pedoman Kehidupan Kesenian Indonesia,” Harian Rakjat, 23 Maret

1958 “Kesatuan Indonesia, epos dalam penggalan gan abadi,” Zaman Baru, 19-20, Juli “Sastra Indonesia Masa Lalu dan Hari Depan,” Harian Rakjat, 31 Desem ber

1962 “Multatuli. Minnerbrieven: Tugas manusia adalah menjadi manusia,” (10 bagian)Bintang Timur, 19-28 Februari, dan 1-3 Maret “Setengah Abad Setelah Abdullah Munsji,” Lentera/Bintang Timur, 11 Mei

22

Page 23: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

“Permulaan dari suatu Awal: Mengenangkan Kembali Bangkitnya BangsaIndonesia,” (9 bagian) Lentera/Bintang Timur, 15-29 Mei “Dr Abdul Rivai,” Lentera/Bintang Timur, 18 dan 25 Mei“Sastra Indonesia Timbul sebagai Ban gunan Atas,” (4 bagian) Lentera/BintangTimur, 1 dan 22 Juni, 6 dan 13 Juli“T irto Adhisur jo: Penulis Busono,” Lentera/Bintang Timur, 13 dan 27 Juli, 7September“Jang harus dibabat dan harus dibangun,” Lentera/Bintang Timur, 7 September dan12 Oktober “Dari Memoar S. Hassannoesi: Sudara2 Inilah Sukarno!” Lentera/Bintang Timur,19 Oktober “WR Sup ratman: Berikan Saja Sendjata Ampuh Untuk Melawan Pendjadjahan,”Lentera/Bintang Timur, 22 Oktober “Beberapa Hal tentang Balai Pustaka,” Lentera/Bintang Timur, 2 Desember “Politik, Seni Mahasiswa,” Lentera/Bintang Timur, 9 Desember

1963 “Haruslah Diingat 5,8 milyar gulden uang Indonesia masih tertanam di Nederland,”(2 bagian) Bintang Timur, 5-6 Maret “Katini dan Politik,” (2 bagian) Bintang Timur, 20 dan 22 April “Sebuah Memoar: Penjara Cipinang,” Lentera/Bintang Timur, 23 April dan 12 Mei “Pidato Ketua Komite Nasional Indonesia untuk Konperensi Pengarang Asia-Afrikapada Pembukaan Sidang Komite Eksekutif KPAA di Denpasar, 17 Juli 1963,”Lentera/Bintang Timur, 21 Juli “Sekali lagi masalah Periodisasi Dalam Sastra Indonesia,” Lentera/Bintang Timur, 4Agustus “Setengah Abad Setelah Abdullah Munsyi,” Lentera/Bintang Timur, 25 Agustus “Basa Indonesia sebagai Basa Revolusi Indonesia,” (6 bagian) Lentera/BintangTimur, 22 dan 29 September, 6, 13 dan 20 Oktober “Hans Bague Jassin, Bian g ‘Humanisme Universal’,” Lentera/Bintang Timur, 28Oktober “Pers Pra-Indonesia dan Sumpah Pemuda,” Lentera/Bintang Timur, 3 November “Surat 10 November kepada semua pelajar SMP,” Lentera/Bintang Timur, 17November “Sastra Assimilatif: Sastra pra-Indonesia,” (2 bagian) Lentera, 24 November dan 1Desember “Surat kedua Pramoedya Ananta Toer kepada Pelajar2 SMP: Tentang AnakDjaman,” Lentera/Bintang Timur, 8 Desember

1964 “Basa Indonesia dan Basa Revolusi Indonesia,” (6 bagian) Lentera/Bintang Timur,26 Januari, 9 dan 23 Februari 1964, 1 dan 15 Maret, 5 April “Mengapa Mendjebol Kebudajaan Imperialisme Amerika Serikat. Pidato padapenutupan pleno PP LEKRA di Palembang,” Lentera/Bintang Timur, 15 Maret “Beberapa cukilan dari surat2 adik Kartini, Kartinah Reksonegoro kepadaPramoedya Ananta Toer,” Lentera/Bintang Timur, 19 April “Sejarah: Kartini dalam Kepungan Etik,” (3 bagian) Lentera/Bintang Timur, 3, 10dan 17 Mei “Fungsi Akademi Sastra Dewasa ini,” Lentera/Bintang Timur, 10 Mei “Penilaian atas Situasi Kondisi: Revolusi Kebudajaan Kita Dewasa ini,”Lentera/Bintang Timur, 14 Juni “Dua bulan setelah proklamasi,” Lentera/Bintang Timur, 16 Agustus “Dalam 15 tahun kita bangunkan kembali jang dihancurkan kebudayaan imperialis

23

Page 24: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

dalam 3,5 abad,” Lentera/Bintang Timur, 18 September “Hikayat Nyai Dasima, karya G. Francis,” Lentera/Bintang Timur, 13 Desember “Sekali Lagi tentang Hikajat Njai Dasima,” Lentera/Bintang Timur, 27 Desember

1965 “Mengenang 11 Djanuari, Hari Wafatnja Mohd. Husni Thamrin,” Lentera/BintangTimur, 17 Januari“Surat2 Kartini: Bangsawan pikir dan bangsawan hati,” Lentera/Bintang Timur, 18April “Mengikuti Detik2 Kelahiran BO. Dikutip dari pelajaran sejarah Indonesia modernoleh Pramoedya Ananta Toer,” Lentera/Bintang Timur, 23 dan 30 Mei “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total,” Lentera/Bintang Timur, 9 Mei “Pengaruh Kebangkitan Nasional dalam Pers Pribumi,” Lentera/Bintang Timur, 6Juni “Trotskisme di Indonesia,” (6 bagian) Lentera/Bintang Timur, 1 dan 15 Agustus, 5,12, 19 dan 26 September “Generasi yang Takkan Kalah, Catatan 17 Sept.” Lentera/Bintang Timur, 26September

Sumber Sekunder

Aidit, Dipa Nusantara (1960) Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia: Soal2 PokokRevolusi Indonesia. Djakarta: Jajasan Pembaruan

Anderson, Benedict R. O’G (1983). “Old State, New Society: Indonesia’s New Order inHistorical Comparative Perspective.” Journal of Asian Studies, 42 (3), hlm. 477-496

Farid, Hilmar (1991) “Kolonialisme dan Budaya: Balai Pustaka di Hindia Belanda,” Prisma, 20(10), Oktober, hlm. 23-46

—————— (1994) “Menemukan Bangsa, Mencipta Bahasa: Bahasa, Politik dan NasionalismeIndonesia,” Kalam, No. 3, hlm. 24-36

—————— (2005). “The Class Question in Indonesian Social Sciences,” dalam Vedi R. Hadizdan Daniel Dhakidae. Social Science and Power in Indonesia. Jakarta: Equinox

Feith, Herbert dan Lance Castles, eds. (1970). Indonesian Political Thinking 1945-1965. Ithacaand London: Cornell University Press

Foulcher, Keith (1986) Social Commitment in Literature and the Arts: The Indonesian 'Instituteof People's Culture', 1950-1965. Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, MonashUniversity

Gunadi (1961). Nasion Indonesia: Sedikit Tentang Lahir dan Haridepannja. Djakarta: JajasanPembaruan

Heinschke, Martina (1993). Angkatan 45: Literaturkonzeptionen im GesellschaftspolitischenKontext. Zur Funktionsbestimmung von Literatur im postkolonialen Indonesien.Veröffentlichungen des Seminars für Indonesische und Südseesprachen, Band 18. Berlin,Hamburg: Dietrich Reimer Verlag

Helmi (1980). Di Tengah Pergolakan. Amsterdam: Yayasan Langer

Hong Liu (1996) "Pramoedya Ananta Toer and China: The Transformation of a CulturalIntellectual," Indonesia, No. 61, hlm. 119-43

24

Page 25: Hilmar_Farid-Pramoedya Dan Historiografil

Kartodirdjo, Sartono (2001). “The Decolonization of Indonesian History,” IndonesianHistoriography. Jo gjakarta: Kanisius

Klooster, H.A.J. (1985) Indonesiërs Schrijven hun Geschidenis: De Ontwikkeling van deIndonesische Geschiedbeoefening in Theorie en Praktijk, 1900-1980. VKI 113.Dordrecht: Foris Publications

Miller, Stephen (1993) "Pramoedya and Politics: Pramoedya Ananta Toer and Literary Politics inIndonesia, 1962-1965," BA Thesis, Australian National University

Petrus Blumberger, J.Th. (1928). De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indië. Haarlem:Willink

—————— (1931). De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indië. Haarlem: Willink

Reid, Anthony (1979) "The Nationalist Quest for an Indonesian Past," in Anthony Reid andDavid Marr, eds. Perceptions of the Past in Southeast Asia. Singapore: HeinemannEducational Books (Asia) Ltd, hlm. 281-98

Scherer, Savitri (1981) "From Culture to Politics: The Writings of Pramoedya A. Toer, 1950-1965," PhD Thesis, Australian National University.

Shiraishi, Takashi (1987) "Reading Pramoedya Ananta Toer's Sang Pemula [The Pioneer],"Indonesia, No. 64, hlm. 129-39

—————— (1990). An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. Ithaca:Cornell University Press

Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastra Indonesia Modern. Djakarta: Akademi Sastra ‘Multatuli’.Smail, John R.W. (1961) "On the Possibility of an Autonomous History of Modern Southeast

Asia," Journal of Southeast Asian History, 2 (2), July, hlm. 72-102.

Teeuw, A. (1979). Modern Indonesian Literature. Vol. 2. The Hague: Martinus Nijhoffvan Leur, J.C. (1955) Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Economic

History. The Hague, Bandung: W. van Hoeve.

Wallerstein, Immanuel, et .al. (1996). Open the social sciences: report of the GulbenkianCommission on the restructuring of the social sciences. Stanford: Stanford UniversityPress.

Wertheim, Wim F. (1995). “Pramoedya as Historian,” Kabar Seberang, 24-25

25