HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

14
e-ISSN: 2550-0058 p-ISSN: 2615-1642 Henry Yuda Oktadus 1 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018 HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus Pascasarjana ISI Yogyakarta [email protected] ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk memahami bagaimana musik tradisi ditempatkan dalam praktik hibrid musikal dalam konteks arus global saat ini, melalui studi kasus hibrid musikal oleh komponis muda di Yogyakarta. Analisis dilakukan berdasarkan pada data yang diperoleh dari pemahaman subjektif partisipan. Transkrip wawancara dan catatan lapangan kemudian diidentifikasi ke dalam unit-unit makna. Unit-unit makna dilabeli dan dikelompokan ke dalam kategori dan tema yang lebih besar untuk dilihat hubungan sebab akibat dan interelasinya. Hibrid musikal terjadi sebagai akibat dari lingkungan yang menyediakan referensi jenis tradisi musik yang variatif. Kondisi semacam inilah yang mendukung para partisipan-komponis untuk tidak puas hanya pada satu jenis musik saja. Dalam studi ini ditemui bahwa hibrid sebagai strategi budaya untuk bersaing dengan pihak yang dominan justru malah lebih mencerminkan hubungan yang tidak seimbang antara musik tradisi lokal dengan musik Pop dan musik tradisi Barat. Karena dari hibrid yang dilakukan partisipan, budaya lokal hanya berfungsi sebagai medium atau material artistik semata sedangkan musik Pop atau musik tradisi Barat berstatus lebih dari sekedar material, namun juga sebagai kerangka atau jalan yang mendikte realisasi musikal mereka. Dengan kata lain, hibrid budaya justru semakin menegaskan kekuatan pihak dominan. Dari studi ini dapat kita lihat bahwa hibrid musik tidak dilakukan dengan maksud pelestarian, namun sebagai cara untuk keluar dari bentuk yang d. Sehingga keliru jika kita melihat bahwa dengan praktik hibrid, pelsetarian budaya dapat berjalan. Kata Kunci: hibrid musikal, globalisasi, komponis muda, pelestarian. A. Pendahuluan Musik tradisi hari ini tidak bisa dilihat hanya sebagai laku kultural masyarakat semata yang dilakukan secara kontinyu. Karena dalam pelaksanaannya, musik tradisi tidak lagi dijalankan dan berfungsi sebagaimana yang terjadi dahulu (misalnya sebagai elemen dalam ritual adat). Meskipun musik tradisi yang dimaksud itu memang menjadi bagian dalam kehidupan sosial saat ini, namun ia tidak lebih dari sekedar artefak sejarah dari masa yang telah lalu. Ia bukan lagi cara berekspresi atau berinteraksi (yang diajarkan turun temurun) yang dipraksiskan sebagai laku keseharian, melainkan hanya sebagai objek yang dilihat dan diperlakukan dengan cara yang lain. Cara pandang masyarakat hari ini yang merupakan produk kultural zamannya (pengetahuan modern dari sains dan globalisasi) tentunya tidak sama dengan cara

Transcript of HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

Page 1: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

1 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA?

Henry Yuda Oktadus

Pascasarjana ISI Yogyakarta

[email protected]

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk memahami bagaimana musik tradisi ditempatkan dalam praktik hibrid

musikal dalam konteks arus global saat ini, melalui studi kasus hibrid musikal oleh komponis muda

di Yogyakarta. Analisis dilakukan berdasarkan pada data yang diperoleh dari pemahaman subjektif

partisipan. Transkrip wawancara dan catatan lapangan kemudian diidentifikasi ke dalam unit-unit

makna. Unit-unit makna dilabeli dan dikelompokan ke dalam kategori dan tema yang lebih besar

untuk dilihat hubungan sebab akibat dan interelasinya. Hibrid musikal terjadi sebagai akibat dari

lingkungan yang menyediakan referensi jenis tradisi musik yang variatif. Kondisi semacam inilah

yang mendukung para partisipan-komponis untuk tidak puas hanya pada satu jenis musik saja.

Dalam studi ini ditemui bahwa hibrid sebagai strategi budaya untuk bersaing dengan pihak yang

dominan justru malah lebih mencerminkan hubungan yang tidak seimbang antara musik tradisi

lokal dengan musik Pop dan musik tradisi Barat. Karena dari hibrid yang dilakukan partisipan,

budaya lokal hanya berfungsi sebagai medium atau material artistik semata sedangkan musik Pop

atau musik tradisi Barat berstatus lebih dari sekedar material, namun juga sebagai kerangka atau

jalan yang mendikte realisasi musikal mereka. Dengan kata lain, hibrid budaya justru semakin

menegaskan kekuatan pihak dominan. Dari studi ini dapat kita lihat bahwa hibrid musik tidak

dilakukan dengan maksud pelestarian, namun sebagai cara untuk keluar dari bentuk yang d.

Sehingga keliru jika kita melihat bahwa dengan praktik hibrid, pelsetarian budaya dapat berjalan.

Kata Kunci: hibrid musikal, globalisasi, komponis muda, pelestarian.

A. Pendahuluan

Musik tradisi hari ini tidak bisa dilihat hanya sebagai laku kultural masyarakat semata yang

dilakukan secara kontinyu. Karena dalam pelaksanaannya, musik tradisi tidak lagi dijalankan dan

berfungsi sebagaimana yang terjadi dahulu (misalnya sebagai elemen dalam ritual adat). Meskipun

musik tradisi yang dimaksud itu memang menjadi bagian dalam kehidupan sosial saat ini, namun ia

tidak lebih dari sekedar artefak sejarah dari masa yang telah lalu.

Ia bukan lagi cara berekspresi atau berinteraksi (yang diajarkan turun temurun) yang

dipraksiskan sebagai laku keseharian, melainkan hanya sebagai objek yang dilihat dan diperlakukan

dengan cara yang lain. Cara pandang masyarakat hari ini yang merupakan produk kultural

zamannya (pengetahuan modern dari sains dan globalisasi) tentunya tidak sama dengan cara

Page 2: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

2 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

berekspresi masyarakat tradisional yang dahulu menggunakan produk-produk kultural, seperti

musik tradisi, sebagai cara mereka berinteraksi dan berekspresi dalam kesehariannya.

Adapun cara berekpresi masyarakat saat ini lebih banyak dipengaruhi globalisasi dan

perkembangan teknologi di mana masyarakat dari berbagai penjuru dunia kini dapat saling

berkomunikasi dan berbagi informasi maupun ide. Bersamaan dengan itu, globalisasi juga

memperjelas akan adanya perbedaan-perbedaan di antara mereka baik dalam bentuk fisik (warna

kulit, bentuk wajah, dll) maupun mental (cara berperilaku, nilai-nilai yang diyakini, dll). Dalam

konteks inilah, cara pandang masyarakat hari ini atas praktik musik tradisi mereka mengandung

tujuan yang lebih politis, bukan lagi fungsinya sebagai cara hidup yang dihayati dalam kehidupan

kultural.

Dengan demikian, yang diharapkan dari segala upaya terhadap musik tradisi adalah supaya

musik tradisi tersebut tetap bertahan, karena dalam konteks globalisasi, musik tradisi sebagai

warisan sejarah menjadi aspek penting bagi kehidupan politik suatu kelompok masyarakat (sebagai

identitas bangsa, untuk menjaga kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, dan kedaulatan

kepribadian bangsa). Dan tanda-tanda memudarnya kesadaran memelihara warisan buadaya dilihat

sebagai ketercerabutan akar budaya. (Tribunnews.com, 7 Febuari 2011).

Di luar kenyataan yang diharapkan, kekhawatiran tersebut ternyata memang sedang terjadi

pada generasi muda saat ini, di mana anak-anak muda kehilangan minat terhadap musik-musik dan

kesenian tradisi. Seperti yang ditunjukan dalam suatu artikel akan adanya penurunan apresiasi

terhadap kesenian tradisi (Kompas.com, 14 September 2008): kesenian tradisional Indonesia mulai

ditinggalkan generasi muda karena kebudayaan luar yang lebih berhasil memikat mereka melalui

ruang-ruang media sosial. Bahkan anak muda sekarang dirasa kurang mengenal kesenian tradisional

seperti karawitan, gamelan, wayang, dan sebagainya. Hal senada juga dapat ditemukan dalam

artikel lainnya misalnya Tempo.co, 12 Januari 2009; Tribunnews.com, 29 Juli 2017; dan

Tribunnews.com, 7 Febuari 2011.

Tidak aneh jika kemudian muncul upaya pencampuran materi musik tradisi dan modern

(misalnya instrumen, tangga nada, dll) dalam praktik komposisi, yang oleh sebagian orang dianggap

menjadi jalan keluar untuk menengahi persoalan ini (Kompas.com - 27/03/2008). Warna musik

yang unik dari perpaduan musik tradisional dan modern merupakan hasil yang diinginkan agar

musik tradisional dapat dinikmati semua kalangan termasuk anak muda. Pendapat serupa juga

ditemukan dalam artikel Tempo.co, 12 Januari 2009. Percampuran kedua elemen tersebut tidak

hanya dianggap menjadi jalan keluar atas penurunan semangat melestarikan seni tradisi dan

Page 3: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

3 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

ketercerabutan budaya, namun juga menjadi terobosan untuk ikut terlibat dalam memperkaya musik

kontemporer sembari melepaskan diri dari kejenuhan musik pop.

Dari respon-respon yang muncul atas persoalan bagaimana seharusnya musik tradisi

diperlakukan menghantarkan kita pada suatu pertanyaan lain yang tak kalah pentingnya, yaitu:

apakah pancampuran unsur musik tradisi dengan musik modern pada akhirnya akan menyelesaikan

persoalan susutnya apresiasi generasi muda terhadap musik tradisi? Atau justru malah akan

mengancam keaslian musik tradisi itu sendiri sebagai identitas bangasa?

Untuk itu pertanyaan yang diajukan untuk mengelaborasi persoalan ini adalah: mengapa

percampuran unsur musik dilakukan oleh para pelaku (komponis)? Bagaimana musik tradisi

berperan dalam membuat komposisi yang melibatkan percampuran unsur musikal? Studi atas

persoalan ini dilakukan melalui studi kasus cara penggunaan materi musik tradisi oleh komponis

muda yang berdomisili di Yogyakarta (mahasiswa dan alumni).

B. Tinjauan Literatur

Dalam literatur, beberapa penyelidikan tentang hibrid musikal secara umum

mengungkapkan bahwa hibrid musikal merupakan bentuk perwujudan wacana ekstramusikal yang

berkembang akibat situasi dan kondisi globalisasi. Ho (2007) mengungkapkan bahwa praktik hibrid

musikal antara musik tradisi dan modern (Timur dan barat) merupakan hasil upaya rezim politik

meng-kooptasi minat-minat musik yang berbeda-beda ke dalam suatu identitas kolektif yang baru.

Kooptasi yang dilakukan rezim penguasa dapat dipahami sebagai upaya menengahi ketegangan

antara semangat nasionalisme dari anggota masyarakat multi etnis dan globalisasi yang terjadi pada

berbagai lapisan seprti ekonomi, budaya, dan teknologi. Dengan demikian, Ho berpendapat bahwa

musik, otentisitas, dan identitas kultural maupun nasional tidaklah tetap atau terikat dengan

kebangsaan, tetapi diasosiasikan dengan isu-isu historis, kultural dan politik oleh pihak-pihak yang

berkuasa.

Melalui studi kasus jazz Yahudi di Amerika, Hersch (2015) mengungkapkan bahwa

hibriditas musikal dapat menjadi upaya politis dari kelompok etnis tertentu untuk menyelaraskan

diri dengan kondisi masyarakat negara yang multi etnis. Bersamaan dengan itu, identitas kelompok

etnis tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang tetap. Melainkan karena sifatnya yang cair,

identitas dapat diperluas, diasosiasikan, dan digunakan sebagai upaya politis dalam rangka menata

hubungan kelompok etnis tertentu dengan kelompok lainnya.

Page 4: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

4 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

Sedangkan Appert (2016) melalui studi kasus musik hip-hop Senegalese di Afrika,

mengungkapkan bahwa gagasan hibriditas sebagai strategi resistensi sudah tidak lagi relevan dalam

konteks globalisasi, melainkan hanya terbatas pada momen partikular dalah kesejarahan Afrika dan

negara bekas jajahan lain. Kesimpulan tersebut diperoleh dari eksplorasinya atas pandangan para

pelaku menyangkut praktik hibrid yang dilakukan mereka secara sadar. Hasil produk hibriditas

musikal dapat diklaim dalam beberapa cara, yakni dapat dikalim sebagai milik yang lokal

(kelompok etnis pemilik elemen tradisi tertentu), maupun yang global. Klaim tersebut dipengaruhi

oleh orientasi para praktisi terhadap pasar, yakni baik audiens lokal maupun audiens internasional.

Beberapa penelitian sebelumnya mengenai hibriditas musikal dalam konteks globalisasi

telah mengungkapkan bagaimana hibriditas musikal dalam praktiknya mengandung implikasi

politis. Secara garis besar hibriditas musik digunakan untuk menjadi sarana yang menengahi dan

mengakomodir keberagaman kelompok etnis (pada suatu negara atau antar negara) dalam arus

globalisasi yang terjadi pada berbagai demiensi seperti politik, ekonomi, budaya, dll. Namun secara

lebih khusus hibriditas yang dieksplorasi fokus pada percampuran antara elemen musik tradisi etnis

dengan elemen musik pop, bersamaan dengan itu orientasi hibrid musikal yang diekplorasi

menunjukan kaitannya dengan aspek ekonomi pasar global.

Untuk mendapat pemahaman lebih jauh mengenai hibrid musikal, panelitian ini bukannya

melihat hibrid yang mengadaptasi elemen tradisi dalam musik pop, melainkan bagaimana hibrid

musikal yang terjadi dalam praktik musik seni Kontemporer, yakni perkembangan terakhir dari

musik tradisi Barat. Dengan demikian hasil penelitian yang diharapkan dapat menjadi pembanding

antara hibrid dalam musik pop dan hibrid dalam musik tradisi Barat.

C. Metode Penelitian

Partisipan yang terlibat dalam pengumpulan data terdiri dari dua komponis yang berlatar

pendidikan musik barat dan dua komponis musik yang berlatar pendidikan musik tradisi, baik yang

sudah lulus maupun masih mengenyam pendidikan, pada tingkat strata satu atau strata dua. Para

partisipan yang di-ikut-sertakan berdomisili di Yogyakarta dan sedang atau telah mengenyam

pendidikan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI Yogyakarta). Dua kelompok komponis ini di-

ikut-sertakan untuk mewakili variasi pengalaman dan pemaknaan mereka mengenai hibrid musikal

dalam praktik komposisi atau penciptaan musik mereka berdasarkan dua latar belakang pendidikan

dan jenis praktik musik yang berbeda. Komponis muda disertakan dalam penelitian ini karena

persoalan hibrid musikal yang menjadi perdebatan di Indonesia fokusnya terarah pada generasi

Page 5: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

5 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

muda. Untuk itu bagaimana mereka merefleksikan dan memaknai pengalamannya atas hibrid

musikal menjadi penting untuk dipahami.

Interviu semi-terstruktur dilakukan untuk memungkinkan eksplorasi mendalam atas

pengalaman dan pemaknaan partisipan mengenai hibrid musikal. Untuk membuat interviu menjadi

lebih terarah dan konsisten, beberapa topik dan tema yang memandu jalannya interviu dibuat. Topik

dan tema yang disusun berdasarkan pada topik-topik dan tema-tema yang banyak dibahas dalam

literatur mengenai hibriditas musikal.

Untuk dapat mengkonseptualisasi pengalaman dan pemaknaan subjektif komponis, maka

prosedur analisis berdasarkan pada data yang diperoleh dari pemahaman subjektif partisipan.

Interviu direkam menggunakan alat perekam suara dan catatan lapangan. Transkrip wawancara dan

catatan lapangan kemudian diidentifikasi ke dalam unit-unit makna. Unit-unit makna dilabeli dan

dikelompokan ke dalam kategori dan tema yang lebih besar untuk dilihat hubungan sebab akibat

dan interelasinya.

D. Pembahasan

Hibrid, Pengalaman Baru, Eksplorasi, dan Kegiatan Berosial

Dua komponis muda yang terlibat dalam penelitian ini terlahir dan tumbuh dalam

lingkungan budaya yang global, di mana mereka terlibat mendengarkan atau mempraktikan musik-

musik dari beberapa macam tradisi sekaligus dalam ruang sosial yang sama meski dalam kadar

yang berbeda-beda. Sejak mereka kecil mereka telah mendengarkan banyak sekali musik-musik

pop, baik dari artis nasional maupun internasional. Namun intensitas perjumpaan mereka dengan

musik tradisi justru jauh lebih jarang, dalam arti mereka tidak banyak terlibat mendengarkan

maupun mempelajari musik tradisi. Sama halnya dengan keterlibatan mereka dengan musik klasik

Barat. Musik tradisi Barat dan musik tradisi baru mulai mereka pelajari dengan serius ketika mereka

mengenyam pendidikan musik secara formal di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Mereka dekat dengan musik Pop dalam praktik mengkomposisi musik. Hibrid musikal

dengan menggunakan idiom musik populer terjadi dalam komposisi-komposisi yang mereka buat.

Meski demikian, ke dua komponis muda ini memiliki pandangan dan cara yang berbeda dalam

penerapannya. Demikian berbeda pula pandangan dan cara ke dua komponis ini menggunakan

idiom musik tradisi Barat dan musik tradisi pada komposisinya.

Page 6: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

6 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

Hibrid Musikal Partisipan A

Pada kasus partisipan A, karena intensitas keterlibatan dan minatnya yang besar terhadap

musik pop dengan genre Rock Progresif, ia mengaku banyak menggunakan idiom-idiom dan cara

pengolahan ritme dan timbre dari musik pop jenis ini dalam praktik komposisinya. Selain itu ia juga

menggunakan idiom musik tradisi Sunda yang sempat ia pelajari dalam waktu singkat semasa

SMA. Sedangkan musik tradisi Barat, menjadi sumber komposisi yang digunakan terutama sebagai

kerangka berpikir dan teknik untuk mengolah materi komposisi.

“...Aku menyukai di tiga musik, yang dari masa remaja aku dengerin kaya musik klasik

Barat, Pop, sama Sunda. Nah pas aku kuliah, gimana kalo aku gabungin semua, katakanlah

gitu. Oke kalo teknik, teknik musik Barat, rujukanku banyak komponis Eropa terutama

musik-musik abad 20 yang sangat aku imanilah kataknlah. Terus, aku sangat tertarik sama

musik-musik Progresif Rock. Terutama dari mereka ngatur ritme, hook, ngatur tensi, itu aku

menarik banget. Di samping itu coba aku sekalian campur sama musik-musik tradisi nih

yang aku pelajari, misalnya cengkoknya yang tadi. Ya aku gabungin. Nah hampir semua sih

dari karyaku dari pas aku sadarin itu semster lima.

Selain karena musik tradisi Sunda pernah ia pelajari, yang membuatnya menyertakan musik

tradisi dalam musiknya juga karena pandangan yang terbentuk semasa kuliah bahwa musik

kontemporer1 di Asia kebanyakan menyertakan musik tradisi. Baginya kaidah-kaidah dalam musik

tradisi Barat sebagai prinsip komposisinya sangat mengakomodasi penerapan idiom musik tradisi

Sunda, selain musik pop. Tidak lain karena keluesannya yang dapat memediasi pengolahan dan

pengembangan berbagai macam materi dari macam-macam tradisi musik.

“Oo ini ada komponis begini ni ya, aku pelajarin. Terus di saat itu aku denger karya

Takemitsu sama Isang Yun. Ooh di sini ternyata ada percampuran begini. Nah aku kenapa

mulai tertarik musik Barat atau Timur, karena aku banyak referensi utama orang orang itu.

Ooh aku udah belajar tentang unity dan variasi nih di komposisi. Bagaimana cara aku

mengolah motif, bagaimana cara mengolah struktur, dan tekstur. Terus apa nih yang harus

aku kembangin. Oh ternyata aku pake tradisi aja deh. Nah sebenernya di situ ketertarikanku

atas musik barat. Gampanganya gini, musik Barat tu kaya banyak meluk tradisi, saat itu aku

mikir. Jadi di situ, ooh ternyata luwes banget ya musik barat.”

Hibrid atau pencampuran antar materi dari beberapa sumber tradisi musik direlaisasikan

secara implisit untuk menghindari kesan fulgar dan familiar bagi pendengar. Ia memandang bahwa

1 Perkembangan dan pembabakan terakhir dari praktik musik tradisi Barat.

Page 7: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

7 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

musik tradisi itu seharusnya dinamis dan terus berkembang, karena itu ia ingin membawa musik

tradisi pada wilayah yang baru. Meski menurutnya mayoritas komponis kontemporer banyak yang

menggunakan tradisi secara fulgar, ia tidak ingin mengikuti arus mainstream tersebut. Menurutnya

zaman ini terdapat banyak sekali alternatif pandangan, namun justru kebanyakan terjebak dalam

arus ini, dan apa yang dianggap orang sebagai musik kontemporer ironisnya justru sangat populer.

Karena itu juga, instrumen tradisi dengan sengaja tidak digunakan untuk menghindari stereotip

fulgar dari audiens, melainkan materi tradisi diolah dengan cara adaptasi ritme, timbre, tekstur, dan

modifikasi modus musik tradisi dengan pencampuran modus lainnya.

“...kenapa aku harus nampilin secara fulgar, harus ketauan? Toh orang kalo mau tau musik

aslinya, cengkok (musik tradisi) aslinya, mending denger musik aslinya... Aku tu pengen,

bawa bagaimana cengkok (musik tradisi) ini atau aku suka musik Rock ini, atau teknik ini ke

wilayah pengalaman yang baru. Jadi orang nglihat itu, ooo ternyata cengkok (musik tradisi)

tu bisa diginiin ya. Ooo ternyata musik Rock itu bisa diginiin ya. Ooo ternyata teknik abad

20 yang katakanlah sekarang udah usang gitu, udah satu abad lamanya ternyata masih ada

warna baru masih bisa digini-in. Nha tujuanku itu sebenernya. Bukan pencampuran yang

eklektik gitu ya.”

Hibrid musikal yang implisit ini dapat dilihat pada cara realisasinya misalnya ketika ia

hendak memunculkan kesan dari musik Rock misalnya, ia mengidentifikasi terlebih dahulu

parameter suara bagaimana yang menimbulkan kesan seperti dalam musik Rock: suara distorsi,

rimte khas musik Rock, register suara yang rendah. Parameter-parameter suara inilah yang

kemudian ia terapkan pada pengolahan ritme, register suara, dan timbre instrumen musik tradisi

Barat yang dapat memediasi parameter-parameter suara yang menimbulkan kesan Rock: misalnya

cello, dengan teknik sul ponti cello untuk memunculkan kesan distorsi. Cara yang sama berlaku

ketika partisipan A mengolah idiom musik tradisi.

Sebagai tambahan, bahkan partisipan A mengaku saat ini ia tengah mengalami pergeseran

pandangan yang justru akan semakin mempertegas orientasi hibrid musikalnya (implisit), secara

lebih khusus yang akan berdampak pada bagaimana ia melihat dan memperlakukan musik tradisi

Sunda dan musik tradisi Barat.

Ia menyangsikan dirinya sebagai orang Sunda meskipun ia terlahir dalam wilayah Sunda

secara geografis. Karena cara hidupnya sejak ia kanak-kanak hingga kini dirasa tidak lagi

merupakan ciri-ciri cara hidup orang Sunda, justru cara hidup orang modern di mana internet,

media, dan budaya Pop mendominasi pengalamnnya selama ini. Sama halnya dengan musik tradisi

Page 8: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

8 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

Barat yang selama ini ia pelajari 4 tahun terakhir. Ia juga merasa perlu kembali mempertanyakan

relevansinya dalam praktik ia bermusik, meski menurutnya bukan berarti menghilangkan semua

yang pernah ia pelajari.

“Kayanya aku ngga, ngga, ngga ada pengalaman kuat gitu. Itu sebenenya kaya aku dibuat-

buat gitu lho. Aku mikir yang bener-bener saat ini, kayanya aku ngambil musik tradisi gitu

ya, itu kaya [sekedar untuk] jadi pemebeda aja gitu. Aku hidup di abad 21 awal ini, era

Globalisasi yang penuh dengan internet apapun, aku kaya ngerasa ngga ada di wilayah

Sunda gitu loh. Aku ngga ada di wilayah musik ini.. Bahkan aku mempertanyakan lagi

teknik-teknik musik Barat yang aku pake. Kayaknya di situ aku,,, terlalu ini ya, terlalu ke-

hegemoni. Terlalu, apa namanaya... Apa hubungannya aku sama abad 20, apa hubungannya

aku sama musik tradisi Sunda gitu loh.

Hibrid Musikal Partisipan B

Menurut partisipan B semua musik itu tersusun secara garis besar dari melodi dan iringan

dengan struktur tertentu (seperti halnya musik Pop), hanya diwujudkan dengan kaidah yang berbeda

dan disebut dengan istilah yang berbeda. Dengan ia mengerti dan mempelajari musik Pop, ia juga

merasa sangat terbantu terutama dalam hal memahami melodi.

“...Pop tu kan pijakannya, pijakan aku, prinsip besar dalam komposisi, musik tu begini gitu

loh. Kan udah paham dari situ, tapi kan punya kaidah-kaidah sendiri kaya misalkan

Klasik/Kontemporer kan punya kaidah sendiri-sendiri. Tapi secara prinsip sama kaya

melodi, pengiring dah gitu aja. Di Pop kan begitu. Kalo di Pop ada intro ada ini, tapi

misalkan di kaidah kompositorisnya musik Klasik kan beda. Ada musik tiga bagian. Kan

ngga kaya intro, verse, reff. Tapi bisa tak ambil, kaya Pop itu ambil melodinya... Nhaa

begitulah. Dengan kaidah-kaidah misalnya musik Minimalis, begitu lhoo. Tapi nglatih

melodi sebenernya dari musik Pop itu nglatih melodi. Kalo melodinya ngga enak di Pop ya

susah e.”

Sedangkan elemen/idiom musik tradisi yaitu instrumen dan pola ritme ia gunakan sebagai

sumber ide ritme dan timbre untuk memunculkan nuansa yang ingin dihadirkan dalam

komposisinya. Dan elemen/idiom musik tradisi Barat ia gunakan sebagai sumber pilihan gaya

musik yang ia butuhkan dan sebagai sumber instrumentasi yang menyediakan jangkauan suara luas.

“...etnis aku lbih seneng karakter suaranya, timbrenya. Kalau wilayah nada yang luas itu di

musik Barat...Aku pake tangga nada Jawa, ya [karya] Jampi itu. Jampi tu Jawa itu. Aku, itu

Page 9: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

9 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

kesanku, aku baru mengenal [mantra] Jampi itu kan mistis. Nha Jampi itu kan mantra, aku

dengar impresiku pertama itu saat mendengar musik Gamelan, itu kesannya kan seram. Aku

yang sebagai orang Kalimantan, luar Jawa. Saat mendengar Karawitan Jawa, oo ini mistis

kesannya...Yang ke dua karena, kita sebutlah istilahnya tu mikro tonal lah. Jawa, Karawitan

Jawa, Gamelan Jawa itu mikro tonal. Aku suka bunyinya itu...Terus itu keras. Dia tebuat

dari logam. Keras itu, mau dia di plak plak! Gitu kan, [sesuai] dengan kebutuhan-kebutuhan

bunyi... Kalo kesan Sapek sudah tonal, kayak gitar. Do mi sol, dari kunci c. Gamelan itu

mana biasa kamu kunci c, do mi, sol... Itu instrumen itu untuk kebutuhan bunyi seperti itu...

Komposisi dilihat sebagai proses belajar dan eksperimen dari musik-musik yang ia sukai.

Bersamaan dengan itu, menurutnya membuat komposisi tidak hanya soal keterampilan musikal

namun juga sosial, yakni bagaimana ia bergaul dan menjalani proses pementasan bersama orang

lain yang terlibat seperti penari maupun musisi lain.

Banyak bergaul, proses-proses itu tak ambil ininya, ambil ininya, ambil ininya. Oo ini,

misalnya dari jimbe kalo diperkusi kekuatan sukat, tak ambil sukatnya. Oo ini kalo

instrumen etnis ni suling enaknya di mana karakternya... Maka dari itu hal-hal yang, lhaa

job-job kecil gitu, itu tak ambil kok...Tu prosesku sebenernya, aku butuh ruang untuk aku

belajar. Karena kan komposisi itu bukan hanya persoalan kemampuan untuk bermusik, tapi

kan kemampuan kita bersosial to. Lha kita cari player, trus ngatur jadwal latihan, trus ngatur

kalo ada yang salah bagaimana penyikapan kita... Aku awalnya aja pakai Jawa kok bukan

kalimantan. Kalimantan baru terakhir. Itu pakai suling sunda malah yang 2011 itu. pas

rekording ga pake sapek...aku tu eksplorasi. Itu hal baru, ya itu aku pengin belajar. Dan

syukur-syukur bisa didengerin orang, dinilai orang, diapresiasi toh. Itu aja kok.... aku ngga

pernah milih-milih musik lah. Musik ya musik. Buat musik ya musik aja. Aku buat musik

bukan buat kueh. [Kalau dinilai] nggak konsisten [pun] musiknya, tapi kan tetep musik.

Hibriditas, Musik Pop, dan Globalisasi

Memahami hibriditas musikal yang terjadi pada ke dua partisipan tidak bisa lepas dari

konteks lingkungan budaya mereka yang global, di mana musik Pop, musik tradisi Barat, dan

musik-musik Etnis dialami bersama-sama dalam satu ruang budaya yang sama. Ditambah dalam

konteks globalisasi saat ini, kita juga mengalami sendiri bagaimana musik Pop menjadi sangat

dominan karena ditunjang industri secara besar-besaran.

Page 10: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

10 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

Sesuai dengan konsekuensi yang ditimbulkan dari latar belakang budaya ini, musik Pop pun

mempengaruhi secara signifikan praktik komposisi mereka meski dengan cara masing-masing yang

unik. Bagi partisipan B musik Pop sendiri ia lihat sebagai kerangka untuk memahami musik pada

umumnya: musik terdiri dari iringan dan melodi yang dibingkai dalam struktur tertentu. Keyakinan

inilah yang menyiratkan bagaimana musik Pop mendominasi pengalaman dan praktik

komposisinya. Secara lebih konkrit hal ini ditunjukan dari caranya mengambil kecenderungan-

kecenderungan alur melodi yang ada pada musik Pop. Dari musik Pop ia mengaku mempelajari

dan dapat memetik bagaimana esensi dari melodi. Sebagai konsekuensi, caranya mengolah dan

menyampurkan materi musikal dalam pembentukan melodi akan mengikuti kecenderungan-

kecenderungan melodi dalam musik Pop. Sedangkan bagi partisipan A, selain musik Pop

berfungsi sebagai idiom, apa yang di dalam musik Pop disebut sebagai hook mengondisikan

bagaimana ia menyusun alur ketegangan musik yang dibuat secara keseluruhan.

Mengapa Hibrid?

Selain warna Pop yang dominan dalam praktik komposisi mereka, latar belakang mengapa

mereka melakukan hibrid musikal sejalan dengan bagaimana pandangan mereka masing-masing

dalam membuat komposisi, serta seturut juga dengan bagaimana idiom atau elemen masing-masing

jenis tradisi musik difungsikan dalam memenuhi tujuan musikal. Cara-cara yang berbeda terjadi

pada ke dua partisipan komponis. Ini adalah indikator yang umum terjadi dalam praktik hibrid,

karena disamping pencampuran materi, bentuk, dan gaya, hibrid memungkinkan lahirnya bentuk-

bentuk baru bahkan asosiasi-asosiasi yang baru antara satu aspek dengan yang lain (Ryoo, 2009).

Partisipan A merealisasikan hibrid musikalnya untuk sengaja menghindar dari kesan fulgar

yang dimiliki kategori musik tertentu. Hal ini dapat dimengerti karena hibrid yang dilakukan

partisipan A dilatarbelakangi keinginan untuk mengembangkan bahkan juga untuk menghadirkan

pengalaman baru bagi audiens. Oleh karena itu, dalam penerapannya, idiom-idiom musik seperti

musik Rock Progresif dan musik Tradisi Sunda diadaptasi dengan teknik-teknik kompositoris Barat

yang menurutnya dapat memediasi dan memodifikasi idiom-idiom dari tradisi musik yang berbeda-

beda.

Pada partisipan B, kegiatan membuat komposisi dilihat sebagai proses ia belajar.

Karenanya pernyertaan beberapa macam idiom tradisi musik disertakan dalam rangka eksplorasi.

Dengan orientasi belajar dan eksplorasi, partisipan B tidak menghiraukan elemen yang dipakai

berasal dari tradisi etnis manapun bahkan yang bukan tradisi etnisnya sekalipun, sejauh elemen

Page 11: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

11 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

tersebut dapat mendukung dan memunculkan kesan yang diinginkan dalam musiknya. Artinya,

perbedaan kategori antar beberapa jenis musik tidak dilihat sebagai sesuatu yang penitng, justru

dianggap sama rata perannya sejauh elemen-elemen dari jenis-jenis musik itu dapat memediasi

keinginan estetisnya. Alasan partisipan B melakukan berbagai campuran adalah demi eksporasi.

Eksplorasi sendiri baginya dilakukan untuk memenuhi keinginan estetisnya dalam musik. Dengan

kata lain eksplorasi hibrid elemen musik adalah caranya untuk memenuhi keinginan estetisnya

yang dipengaruhi berbagai kategori musik.

Gejala hibrid semacam ini dapat kita rujuk sebagai konsekuensi dari globalisasi yang

menyediakan berbagai macam pilihan bentuk, gaya, dan materi hingga pada akhirnya

menimbulkan nilai-nilai artisitk yang saling bercampur dari beberapa referensi (Stecker, 2012).

Selain itu, nilai-nilai artistik masing-masing juga berbeda pada tingkat individual. Serta nilai

artistik ini juga merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman yang mempengaruhi nilai-nilai

kognitif, sosial, etis, dan historis yang berpengaruh ketika seseorang terlibat dalam proses kreatif.

Pandangan-pandangan mereka ini dapat dipahami mengingat orang-orang dalam

lingkungan global saat ini tumbuh dan terbiasa dengan kondisi musikal yang variatif. Kondisi

semacam inilah yang mendukung para partisipan-komponis untuk tidak puas hanya pada satu jenis

musik saja. Bahkan kondisi tersebut mendorong timbulnya keinginan untuk melampaui semua dan

berupaya melahrikan sesuatu yang baru darinya.

Hibriditas Budaya - Strategi Budaya ?

Dari cara partisipan merealisasikan hibrid dan bagaimana pandangan mereka memang

dapat dikatakan bahwa hibrid sebagai ruang ketiga memiliki potensi yang dapat mengintervensi

semua bentuk identitas yang mapan (Spivak dalam Ryoo, 2009).. Dalam hibriditas musikal yang

para partisipan lakukan mengandung pandangan-pandangan yang bisa saja menunjuk pada

hubungan-hubungan baru antar satu aspek dengan yang lain. Ini dapat dilihat dari tidak adanya

beban identitas ke-lokal-an, atau identitas etnis, mapupun pengkategorian diri lebih condong pada

wilayah musik yang mana. Dari gejala ini kita dapat sedikit optimis mengenai kemungkinan

terciptanya suatu bentuk baru yang lepas dari semua ikatan kultural yang sudah ada.

Namun, di satu sisi hibrid budaya juga memiliki potensi menjadi pisau bermata dua. Dalam

penelitian ini, didapati bahwa kedua partisipan komponis lebih banyak dipengaruhi secara

signifikan oleh budaya Pop, budaya yang mendominasi era Global ini, era di mana mereka tumbuh.

Ironisnya musik Pop atau musik tradisi Barat berstatus lebih dari sekedar material, namun juga

Page 12: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

12 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

sebagai kerangka atau jalan yang mendikte realisasi musikal mereka. Dengan demikian hibrid

sebagai strategi budaya justru malah lebih mencerminkan hubungan yang tidak seimbang antara

musik tradisi lokal dengan musik Pop dan musik tradisi Barat yang semakin menegaskan kekuatan

pihak dominan. Dari kenyataan ini dapat dikatakan bahwa hibrid budaya tidak relevan sebagai

strategi untuk mengintervensi tatanan yang dominan jika yang dominan sendiri telah menguasai

cara berpikir pihak yang dikuasai dan mendikte jalannya realisasi hibrid.

E. Kesimpulan dan Saran

Hibrid musikal terjadi sebagai akibat dari lingkungan yang menyediakan berbagai jenis

tradisi musik dalam satu ruang sosial. Partisipan komponis muda merealisasikan hibrid musikal

berdasarkan pandangan mereka terhadap nilai-nilai musikal yang banyak dipengaruhi lingkungan

budaya tempat mereka tumbuh, yakni di mana lingkungan lokal yang global menyediakan referensi

musikal yang variatif. Pandangan-pandangan tersebut tercermin pada cara mereka melihat kegiatan

komposisi sebagai proses belajar, ekplorasi, dan bertujuan memberikan pengalaman baru bagi

audiens.

Seturut dengan pandangan-pandangan mereka ini, rasa tanggung jawab identitas etnis

didapati tidak memberatkan ke dua partisipan komponis dalam penelitian ini. Sehingga perlakuan

mereka terhadap musik tradisi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pihak-pihak yang

membebankan tanggung jawab pelestarian tradisi pada gengerasi muda. Apa yang dapat kita petik

dari studi ini adalah bahwa hibriditas sebagai strategi budaya tidaklah tepat jika dilihat sebagai cara

untuk melestarikan tradisi. Justru hibriditas budaya sendiri dapat menjadi boomerang yang pada

akhirnya malah semakin melemahkan tradisi lokal sebagai ekspresi budaya. Ini tercermin dari

artikulasi hibrid musikal partisipan-komponis di Yogyakarta di mana musik tradisi hanya menjadi

elemen yang didikte, bukan yang mendikte. Apa yang mungkin dapat dilakukan melalui hibriditas

budaya adalah untuk menciptakan produk budaya yang baru, sebagai jalan keluar dari intervensi

global.

Karena hal tersebut hibriditas budaya, khususnya hibrid musikal tidak disarankan untuk

dijadikan sebagai cara melestarikan budaya lokal, tetapi sebagai cara untuk keluar dari intervensi

global yang terus menggempur. Namun hal ini baru dapat dilakukan jika budaya lokal sendiri

sudah dapat berdiri sebagai cara berpikir atau kerangka yang mendikte jalannya praktik

kebudayaan. Karena itu yang perlu dilakukan dalam upaya pelestarian adalah memformulasikan

Page 13: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

13 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

terlebih dahulu musik tradisi lokal sebagai kerangka konseptual yang dapat memandu realisasi

penciptaan musik atau komposisi.

DAFTAR PUSTAKA

Appert, M. C. 2016. On Hybridity in African Popular Music: The Case of Senegalese Hip Hop.

Ethnomusicology, 60 (2), 279-299. Society for Ethnomusicology: University of Illinois Press.

Arianto, Arif. 18 Juli 2018. Cinta Dwiki ke Musik Tradisi.

https://seleb.tempo.co/read/154894/cinta-dwiki-ke-musik-tradisi

Canclini, N Gracia. 1995. Hybrid Culture: Strategies for Entering and Leaving Modernity. Dalam

Ritzer (2012). Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir

Posmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hersch, C. 2015. Swinging Hava nagila: “JewiSH Jazz” and JewiSH identity. Shofar, 33 (3), Purdue

University Press.

Ho, W. C. 2007. Music and cultural politics in Taiwan. International Journal of Cultural Studies.

Kompas.com. 18 Juli 2008. Anak Muda Ogah Melirik Seni Tradisional.

https://nasional.kompas.com/read/2008/09/14/02422737/

anak.muda.ogah.melirik.seni.tradisinal

Kompas.com. 18 Juli 2018. Kuno Kini Eksplorasi Unik dari Musik Tradisi

https://entertainment.kompas.com/read/2008/03/27/02402770/kunokini.eksplorasi.unik.dari.m

usik.tradisi

Palit, A. 18 Juli 2018. Regulasi Musik Indonesia, Kenapa Tidak? http://

www.tribunnews.com/tribunners/2011/02/07/regulasi-musik-indonesia-kenapa-tidak-3

Regev, M. 2007. Ethno-National Pop-Rock Music: Aesthetic Cosmopolitanism Made from Within.

Cultural Sociology.

Sanusi, Husain (Ed). 18 Juli 2018. Tokoh dan Budayawan Ingin Kebudayaan Kembali Jadi Ruh

NKRI. http://www.tribunnews.com/nasional/2017/07/29/tokoh-dan-budayawan-ingin-

kebudayaan-kembali-jadi-ruh-nkri

Page 14: HIBRIDITAS MUSIKAL: STRATEGI BUDAYA? Henry Yuda Oktadus ...

e-ISSN: 2550-0058

p-ISSN: 2615-1642

Henry Yuda Oktadus

14 | Jurnal Warna Vol. 2 , No. 2, Desember 2018

Shim, D. 2006. Hybridity and the rise of Korean popular culture in Asia. Media, Culture and

Society, 28

Spivak, G. 1988. Can the subaltern speak? dalam C. Nelson & L. Grossberg (Ed.), Marxism and the

interpretation of culture. Urbana and Chicago, IL: University of Illinois Press.

Stecker, Robert. (2012). Artistic Value Defended. The Journal of Aesthetics and Art Criticism.