Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN...

33
Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN Peneliti di Matatimoer Institute Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UNEJ e-mail: [email protected] Pengantar Hibriditas budaya dan budaya hibrid saat ini menjadi istilah-istilah yang banyak diperbincangkan dalam ranah kajian sosio-humaniora seperti sosiologi, antropologi, religi, sastra, dan media, meskipun pada awalnya banyak digunakan dalam wacana saintifik. Tidak bisa disangkal lagi, populerisasi istilah-istilah tersebut terkait erat dengan perkembangan wacana poskolonial dan globalisasi yang dari hari ke hari semakin berkembang dalam perdebatan akademis, baik dalam jurnal, buku, maupun mimbar seminar dan konferensi. Dalam konteks kedua wacana tersebut, hibridisasi merujuk pada sebuah proses yang mempertemukan dua atau lebih budaya dalam satu ruang kultural yang kemudian menghasilkan strategi-strategi untuk melakukan percampuran, namun dengan tujuan-tujuan politis untuk menegosiasikan kepentingan lokalitas dalam menghadapi “yang dari luar”, sebagai akibat dari kolonialisasi, neokolonialisasi, dan globalisasi yang memang selalu menghadirkan praktik dan bentuk kultural dari luar ruang lokal. Dalam perkembangannya, istilah budaya hibrid seringkali hanya dipahami semata-mata sebagai bentuk dan praktik percampuran dua atau lebih budaya dengan hasil sebuah format baru yang berwarna campuraduk tanpa menghilangkan karakteristik budaya-budaya sebelumnya. Terma-terma yang biasa muncul dari konteks tersebut antara lain musik hibrid, film hibrid, ritual hibrid, pakaian hibrid, gaya hidup hibrid, dan masih banyak lagi. Pemahaman tersebut tentu sah-sah saja dalam konteks akademis. Namun demikian, pemahaman tersebut cenderung meletakkan kajian semata-mata pada hasil atau produk percampuran dari hibridisasi untuk kemudian mengkebiri potensi politis dan strategisdi balik hibridisasi kultural yang berlangsung. Gilroy, sebagaimana dikutip Hutnyk (2005: 82-83) secara kritis mengingatkan „kesalahkaprahan‟ tersebut: Siapa juga yang menginginkan kemurnian?...ide hibriditas, antarpercampuran, mengasumsikan dua kemurnian yang saling berhadapan…Saya pikir tidak ada kemurnian, tidak ada kemurnian yang frontal…oleh karena itu saya berusaha untuk tidak menggunakan kata hibrid…produksi kultural tidaklah seperti koktail yang terdiri dari campuran bahan-bahan… Dalam tulisan lain, Gilroy (dikutip Hutnyk, 2005: 82) juga menekankan: kurangnya piranti untuk mendeskripsikan secara tepat, marilah kita menteoretisasikannya sendiri, percampuran-antara, fusi, dan sinkretisme tanpa megarah pada eksistensi kemurnian „tak terkontaminsasi‟ yang saling frontal. Kalaupun proses percampuran digambarkan sebagai sesutau yang bersifat fatal, kita harus siap untuk

Transcript of Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN...

Page 1: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN Peneliti di Matatimoer Institute

Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UNEJ

e-mail: [email protected]

Pengantar

Hibriditas budaya dan budaya hibrid saat ini menjadi istilah-istilah yang banyak

diperbincangkan dalam ranah kajian sosio-humaniora seperti sosiologi, antropologi,

religi, sastra, dan media, meskipun pada awalnya banyak digunakan dalam wacana

saintifik. Tidak bisa disangkal lagi, populerisasi istilah-istilah tersebut terkait erat

dengan perkembangan wacana poskolonial dan globalisasi yang dari hari ke hari

semakin berkembang dalam perdebatan akademis, baik dalam jurnal, buku, maupun

mimbar seminar dan konferensi. Dalam konteks kedua wacana tersebut, hibridisasi

merujuk pada sebuah proses yang mempertemukan dua atau lebih budaya dalam satu

ruang kultural yang kemudian menghasilkan strategi-strategi untuk melakukan

percampuran, namun dengan tujuan-tujuan politis untuk menegosiasikan kepentingan

lokalitas dalam menghadapi “yang dari luar”, sebagai akibat dari kolonialisasi,

neokolonialisasi, dan globalisasi yang memang selalu menghadirkan praktik dan bentuk

kultural dari luar ruang lokal.

Dalam perkembangannya, istilah budaya hibrid seringkali hanya dipahami

semata-mata sebagai bentuk dan praktik percampuran dua atau lebih budaya dengan

hasil sebuah format baru yang berwarna campuraduk tanpa menghilangkan

karakteristik budaya-budaya sebelumnya. Terma-terma yang biasa muncul dari konteks

tersebut antara lain musik hibrid, film hibrid, ritual hibrid, pakaian hibrid, gaya hidup

hibrid, dan masih banyak lagi. Pemahaman tersebut tentu sah-sah saja dalam konteks

akademis. Namun demikian, pemahaman tersebut cenderung meletakkan kajian

semata-mata pada hasil atau produk percampuran dari hibridisasi untuk kemudian

mengkebiri “potensi politis dan strategis” di balik hibridisasi kultural yang berlangsung.

Gilroy, sebagaimana dikutip Hutnyk (2005: 82-83) secara kritis mengingatkan

„kesalahkaprahan‟ tersebut:

Siapa juga yang menginginkan kemurnian?...ide hibriditas, antarpercampuran,

mengasumsikan dua kemurnian yang saling berhadapan…Saya pikir tidak ada kemurnian,

tidak ada kemurnian yang frontal…oleh karena itu saya berusaha untuk tidak

menggunakan kata hibrid…produksi kultural tidaklah seperti koktail yang terdiri dari

campuran bahan-bahan…

Dalam tulisan lain, Gilroy (dikutip Hutnyk, 2005: 82) juga menekankan:

…kurangnya piranti untuk mendeskripsikan secara tepat, marilah kita

menteoretisasikannya sendiri, percampuran-antara, fusi, dan sinkretisme tanpa megarah

pada eksistensi kemurnian „tak terkontaminsasi‟ yang saling frontal. Kalaupun proses

percampuran digambarkan sebagai sesutau yang bersifat fatal, kita harus siap untuk

Page 2: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

menyerah pada ilusi bahwa kemurnian etnik dan kultural memang sudah ada sejak lama,

marilah memberikannya fondasi sendiri bagi masyarakat sipil. Ketidakhadiran bahasa

yang kritis dan konseptual memang dilemahkan dan direpotkan oleh pelebihan absurd

yang berusaha untuk mengunakan konsep hibriditas yang secara menyeluruh diperlambat

oleh sisa-sisa aktif dari artikulasi terma-terma di dalam kosa-kata teknis dari pengetahuan

rasial abad ke-19.

Kritik Gilroy memang mengajak untuk tidak serta-merta menggunakan kata hibrid,

hibriditas, maupun hibridisasi kalau itu semua hanya mengekor pada penggunaan kata-

kata tersebut dalam bidang pengetahuan lain, seperti pengetahuan rasial, biologi,

maupun pertanian, yang memang sekedar menunjukkan fakta laboratoris usaha-usaha

untuk melakukan percampuran. Baginya, percampuran kultural di antara dua atau

lebih budaya merupakan proses yang tidak sesederhana dengan proses yang terjadi

dalam pengetahuan-pengetahuan tersebut. Percampuran yang terjadi dipenuhi dengan

negosiasi dan artikulasi yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politis di

dalamnya. Artinya, hibridisasi dan produk hibrid yang dihasilkan, merupakan “situs

pertarungan” yang di dalamnya terdapat pertarungan kepentingan kultural yang ingin

dinegosiasikan, diartikulasikan, dan diperjuangkan oleh masing-masing pihak yang

terlibat di dalam ruang dan proses budaya yang semakin membaur satu sama lain.

Agar pemahaman terhadap hibridisasi budaya, hibriditas budaya, dan budaya

hibrid tidak semata-mata terjebak ke dalam persoalan hasil, maka pembahasan dalam

bab ini akan lebih difokuskan pada usaha untuk memaparkan bermacam pendapat para

pemikir dalam persoalan hibriditas. Persoalan dan hibridisasi kultural dalam konteks

kolonial, pascakolonial, dan globalisasi akan mendapatkan penekanan lebih, karena

kebanyakan pemikir memang mengaitkan persoalan budaya hibrid dengan ketiga

proses tersebut. Yang tidak kalah penting untuk dipaparkan adalah landasan perspektif

diskursif tentang kritik dan kajian terhadap budaya hibrid beserta proses-proses yang

mengikutinya, utamanya dalam perspektif hegemoni Gramscian, wacana Foucauldian,

dan dekonstruksi Derridean. Paparan-paparan yang ada diharapkan mampu

memberikan pemahaman lebih tentang hibridisasi budaya, hibriditas budaya, dan

budaya hibrid beserta keluasan implikasi teoretis-kritis yang menyertainya.

Menelusuri makna sang hibrid

Salah satu dalil penting yang dilontarkan Edward Said dalam kajian-kajiannya,

baik dalam Orientalism (1978) maupun Power and Culture (1993) adalah superioritas

kuasa Barat yang salah satunya disebarkan melalui hegemoni dan konstruksi diskursif

tentang Timur—berlandaskan pada dalil hegemoni Gramscian dan wacana

Foucauldian—yang selalu ditundukkan melalui stereotipisasi pencitraan dan

penundukan wacana sebagai entitas yang “tidak beradab”, “tidak berpendidikan”, dan

“perlu dicerahkan” melalui „proyek pemberadaban‟ bagi bangsa-bangsa Timur, yakni

imperialisme. Akibatnya, secara diskursif dan praksis bangsa-bangsa Timur tidak bisa

melepaskan dirinya dari imajinasi superioritas Barat yang sedemikian kuatnya

berlangsung dalam praktik kolonialisasi dan imperialisasi. Dalil itu pula yang

Page 3: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

kemudian menjadi titik-berangkat kajian poskolonial dalam ilmu-ilmu sosial dan

humaniora.1

Dalam Orientalism, Said secara kritis menekankan pentingnya perhatian pada

pengaruh politis dan material dari pengetahuan dan institusi pendidikan Barat serta

afiliasi mereka terhadap dunia luar. Secara tegas dia menolak pemahaman liberal

tradisional yang mengatakan bahwa pengetahuan humaniora terorganisir demi

pemenuhan pengetahuan „murni‟ atau „nir-kepentingan‟. Lebih dari itu, dalam

pengetahuan sebenarnya terdapat operasi dan teknologi kuasa, karena para ilmuwan

maupun seniman adalah subjek yang dipengaruhi oleh afiliasi historis, kultural, dan

institusional partikular, yang digerakkan oleh ideologi atau pengetahuan dominan dan

kepentingan politik dalam masyarakatnya.2 Sangat wajar kiranya, kalau representasi-

representasi3 yang dihasilkan oleh para ilmuwan maupun para seniman Barat pada

masa imperialisme sangat stereotip. Manusia dan peradaban Timur direpresentasikan

sebagai Liyan yang kurang beradab, tidak berpendidikan, bermartabat rendah,

takhayul, dan perlu dicerahkan. Sementara manusia dan peradaban Barat

direpresentasikan sebagai kekuatan superior yang unggul dalam segala aspek

kehidupan karena mereka lebih rasional, logis, berpendidikan, dan beradab.

Sementara dalam Culture and Imperialism, Said berusaha membongkar

beroperasinya kuasa dalam memposisikan manusia dan kebudayaan di luar mainstream

Eropa melalui kerja-kerja kultural—termasuk di dalamnya karya-karya sastra—dalam

konteks imperialisme. Di samping membedah karya-karya metropolitan yang dihasilkan

oleh sastrawan-sastrawan besar Eropa, Said juga mulai melihat karya-karya non-Eropa

sebagai bahan kajiannya, seperti novel Afrika maupun Karibia, sehingga pemikiran-

pemikirannya lebih beragam bila dibandingkan dengan buku sebelumnya.4 Dalam buku

ini, Said juga membuat penekanan terhadap resistensi—lagi-lagi merujuk pada

Foucault—yang bisa dimunculkan oleh para pengarang eks-kolonial atau poskolonial.

Sehingga, baginya apa yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah moda kritik kultural

yang merefleksikan, atau bahkan mengadopsi, hibriditas yang berasal sejarah-sejarah

yang saling terkait dari dunia modern dan yang menghindari konsepsi identitas

berdasarkan kategori ontologis kaku, baik dalam ras, etnisitas, ataupun identitas

nasional.5 Pergeseran pemikiran tersebut mengimplikasikan beberapa hal. Pertama,

bahwa memang benar proses hegemoni melalui representasi-representasi kultural yang

menekankan superioritas Barat ketimbang Timur, mampu mempengaruhi pola dan

praktik kultural bagi bangsa-bangsa terjajah. Kedua, dalam proses hegemoni tersebut

selalu muncul ketidakstabilan hegemoni, di mana bangsa terjajah bisa menyerang balik

atau meresistensi melalui penguatan budaya nasional mereka. Keempat, bahwa dalam

konstruksi budaya nasional bangsa Timur sangat mungkin terjadi hibridisasi kultural

dan hibriditas budaya yang mewarnai kehidupan mereka di masa kolonial maupun

poskolonial.

Page 4: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah (the colonized)—dan

pascakolonial untuk melawan ataupun meniru sebagian teks dan praktik kultural

penjajah (the colonizer) dan bekas penjajah menjadi perhatian utama dari Hommi K.

Bhabha dalam bukunya The Location of Culture (1994). Dengan mengadopsi pemikiran-

pemikiran pos-strukturalis, Bhabha mencoba untuk memberikan penekanan berbeda

tentang masyarakat kolonial dan pascakolonial. Samahalnya dengan Said, dalil-dalil

yang dilontarkan oleh Bhabha juga ikut mewarnai keragaman teoretis, perspektik, dan

analisis dalam kajian poskolonial berikutnya. Beberapa pemikiran yang memperkuat

posisi akademisnya dalam kajian poskolonial antara lain: ruang antara” atau “ruang

ketiga”, “peniruan”, “pengejekan” dan “hibriditas”. Dalam ruang antara—di antara

kuasa dan budaya kolonial dan tradisi-lokal—subjek kolonial dan poskolonial bisa

melakukan praktik-praktik mimikri, pengejekan, dan hibriditas yang menjadi strategis

politik dan kedirian mereka di tengah-tengah budaya asing.

…peniruan/mimikri kolonial merupakan sebuah hasrat bagi Liyan yang tereformasi, dapat

diakui, sebagai subjek perbedaan yang hampir sama, tapi tidak sepenuhnya sama. Dalam

artian, bahwa wacana mimikri dikonstruksi di seputar ambivalensi; agar bisa efektif,

mimikri harus secara kontinyu menghasilkan keselipan, kelebihan, dan perbedaannya.

Otoritas dari moda wacana kolonial yang saya sebut mimikri, dengan demikian, dicapai

melalui indeterminasi: mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan yang

menjadikannya proses pengingkaran. Mimikri, dengan demikian, merupakan tanda

artikulasi ganda; sebuah strategi kompleks perbaikan, regulasi, dan disiplin, yang

„menyesuaikan‟ Liyan karena strategi tersebut menampakkan kuasa. Mimikri juga

merupakan tanda ketidaksesuaian, di sisi lain, sebuah perbedaan atau perlawanan yang

menyatu dengan fungsi strategis dominan dari kuasa kolonial dalam mengintensifkan

pengawasan, sehingga menciptakan gangguan imanen, baik bagi pengetahuan yang

dinormalkan maupun kuasa disiplin. Pengaruh mimikri terhadap kekuasaan wacana

kolonial bersifat dalam dan cukup mengganggu…Dari area antara mimikri dan ejekan

(mockery), misi perbaikan dan pemberadaban diganggu dengan menggantikan pandangan

dari penggandaan kedisiplinan…Apa yang ada sebenarnya adalah proses diskursif di mana

kelebihan atau keselipan yang dihasilkan dari ambivalensi (hampir sama, tetapi tidak

sepenuhnya sama) tidak semata-mata „memecah‟ wacana yang ada, tetapi

mentransformasikannya ke dalam ketidakmenentuan yang mengatur subjek kolonial

sebagai kehadiran yang „parsial‟. Yang dimaksud parsial adalah baik yang bersifat „tidak

lengkap‟ dan „mendekati‟. (Bhabha, 1994: 86).

Dengan pemikiran tersebut, subjek kolonial dan poskolonial sebenarnya juga mampu

melakukan strategi resistensi, seperti yang dikatakan Foucault,6 dengan tetap berada

dalam lingkaran kuasa, melalui peniruan-peniruan terhadap praktik dan pengetahuan

dari penjajah atau yang pernah menjajah untuk mendapatkan pengakuan dalam

lingkaran kuasa sekaligus mengejek praktik kuasa yang terjadi. Proses itulah yang

disebut sebagai strategis kedirian dan kultural di ruang ketiga atau ruang antara yang

kemudian melahirkan “hibriditas”.

Hibriditas bukanlah sekedar percampuran dua budaya yang menghasilkan sebuah

bentuk budaya baru, baik dalam masa kolonial maupun poskolonial, tetapi sebuah

„proyek politik‟ yang bagi penjajah atau yang pernah menjajah bisa digunakan untuk

menegaskan kuasanya, dan sebaliknya bagi yang terjajah atau pernah terjajah

digunakan untuk mengejek dan sekaligus melawan kuasa tersebut.

Page 5: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

Hibriditas merupakan tanda produktivitas kuasa kolonial, pergeserannya memaksa dan

menentukan; ia adalah sebutan bagi pembalikan strategis dari proses dominasi melalui

pengingkaran (yakni, produksi identitas diskriminatoris yang mengamankan identitas

„murni‟ dan orisinil dari kekuasaan). Hibriditas merupakan pemaknaan kembali dari

asumsi identitas kolonial melalui repetisi dari efek identitas diskriminatoris. Ia

menampakkan deformasi dan penggantian yang penting dari semua situs diskriminasi dan

dominasi. Ia tidaklah mengakhiri kebutuhan mimetik atau narsistik dari kuasa kolonial

tetapi me-reimplikasi-kan identifikasinya dalam strategi subversi yang merubah

pandangan dari „yang terdiskriminasi‟ kembali kepada mata kuasa. Karena hibrid kolonial

merupakan artikulasi dari ruang ambivalen di mana ritus kuasa dijalankan pada situs

hasrat, sehingga menjadikan objeknya disipliner sekaligus menyebar—transparansi yang

negatif…Jika efek kuasa kolonial dilihat sebagai produksi hibridisasi ketimbang perintah

langsung dari kekuasaan kolonial atau represi secara diam-diam terhadap tradisi

penduduk asli, maka perubahan penting terjadi. Ambivalensi pada sumber dari wacana

tradisional tentang kekuasaan memudahkan bentuk subversi, yang dibentuk pada

ketidakmampuan memutuskan yang mengubah kondisi diskursif dominasi ke dalam

tataran intervensi…Hibriditas memang tidak mempunyai kedalaman atau kebenaran yang

bisa diberikan: ia bukanlah terma ketiga yang menyelesaikan tegangan antara dua

budaya…dalam permainan dialektis „pengakuan‟. Penggantian simbol menjadi tanda

menciptakan krisis bagi semua konsep kekuasaan yang berdasarkan sistem pengakuan:

spekularitas kolonial, penulisan ganda, tidak memproduksi cermin yang mana diri

melekatkan dirinya; ia selalu berupa layar yang pecah dari diri dan kegandaannya, sang

hibrid…Objek hibrid menjaga kemunculan simbol kekuasaan tapi memaknainya kembali

dengan melawannya sebagai penanda Enstellung—sesudah intervensi terhadap perbedaan.

Adalah kuasa dari metonimi kehadiran untuk benar-benar mengganggu konstruksi

sistematik (dan sistemik) dari pengetahuan diskriminatoris di mana budaya sebagai

medium kekuasaan tidak bisa secara virtual dikenali…Penampakan hibriditas—„replikasi‟

ganjilnya—menteror kekuasaan dengan tipu daya pengakuan, meniru sekaligus mengejek.

(Bhabha, 1994: 112-115)

Dengan pemikiran tersebut, Bhabha ingin menunjukkan bahwa subjek kolonial

dan poskolonial sebenarnya mempunyai kemampuan strategis dalam menghadapi

hegemoni budaya Barat/penjajah yang menyebar dalam formasi diskursif di ruang

kolonial maupun pascakolonial, sehingga mereka mampu memainkan politik untuk

tidak sepenuhnya mengikuti budaya tersebut, tetapi juga tidak menolak sepenuhnya.

Semua dilakukan untuk kepentingan mereka. Jadi, subjek kolonial maupun

pascakolonial tidak bisa terus dibayangkan sebagai mereka yang tidak bisa keluar dari

jejaring dan pengaruh diskursif kolonialisme.7 Dengan bermain-main di ruang antara

kebudayaan, mereka bisa melanjutkan tradisi-lokal, sekaligus mengambil dari yang

Barat, tetapi tidak sepenuhnya. Ini adalah bentuk politik kesadaran untuk tidak

menolak yang Barat tetapi tidak juga melupakan yang lokal. Dengan kesadaran hibrid

inilah kedirian dan budaya masyarakat lokal akan terus berlanjut dalam konteks

zaman yang selalu bertransformasi, sekaligus untuk melakukan resistensi terhadap

pengaruh-pengaruh budaya luar.

Bhabha, lebih jauh lagi, mengelaborasi pemikirannya tentang hibridisasi kultural

dan fungsinya sebagai strategi dan alat perjuangan kultural, baik bagi bangsa terjajah

maupun pascakolonial—terutama untuk melawan pengaruh-pengaruh politis yang

dihasilkan melalui formasi diskursif budaya asing—sebagai berikut:

Page 6: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

Anda tidak bisa memahami hubungan antara penjajah dan terjajah, yang hidup dalam

sebuah kedekatan selama ratusan tahun, yang harus melakukan dialog dalam

ketidaksaamaa, tanpa memahami bahwa si terjajah haruslah bersikap ambivalen dalam

berhubungan dengan penjajah. Dan para penjajah merasa penting melalui keseluruhan

proses kolonialisasi untuk juga bersikap ambivalen. Keseluruhan sejarah kolonialisasi

adalah tentang antagonisme dan ambivalensi. Mudah kiranya untuk mendukung beberapa

jenis moralisme politik yang reduktif, beberapa jenis dalil simplisistik tentang

kemerdekaan dan emansipasi. Kemerdekaan merupakan sesuatu yang amat sulit. Dan, ia

hanya ketika berada dalam kondisi tertekan Anda akan memahami cara untuk bertahan,

dan cara Anda untuk bertahan adalah berfungsi di dalam dan melalui ambivalensi atau

melalui hibridisasi budayamu. Orang-orang yang menjajah rakyat, di mana kepada mereka

beragam budaya dipaksakan, yang kemudian menjadi bagian dari repertoar budaya

mereka, tidak secara pasti memberi pilihan: Apakah kamu ingin budayamu

terhibridasikan? Tidak setiap budaya itu sendiri tidak terhibridasi. Mereka adalah

serangkaian hibridisasi lateral, jika tidak, vertikal maupun hirarkial. Namun, di sisi lain,

terdapat penguatan kembali otentisitas kultural. Anda tahu, inilah budayaku, dan ini telah

diambil dari saya dan saya ingin ia kembali, sebuah gerakan yang cukup bagus. Namun,

Anda tidak bisa memahami mengapa permintaan untuk essensialisme atau otentisitas

kultural, yang Anda bisa memahaminya dalam beberapa konteks, mengapa hal itu terjadi

jika Anda tidak memahami ambivalensi dan pertarungan di seputar kekuatan budaya.

Hibridisasi bukan hanya tentang percampuran budaya-budaya. Hibridisasi merupakan

perjuangan untuk memperkuat budaya atau memperlemahnya.8

Tentu saja kedekatan dengan budaya lain dalam pemikiran Bhabha tidak hanya

berlaku pada masa kolonial, tetapi juga poskolonial yang diwarnai dengan globalisasi.

Budaya global yang banyak dipenuhi oleh struktur budaya Barat menjadi sebuah rezim

kebenaran baru yang setiap saat dinikmati oleh masyarakat pascakolonial. Meskipun

tidak sama dengan pola kolonialisasi, namun pengaruh budaya Barat bisa disejajarkan

dengan imperialisme kultural yang sedikit demi sedikit menggeser popularitas budaya

lokal. Dalam kondisi itulah, subjek poskolonial „bertingkah‟ dengan melakukan

pembacaan dan peniruan di ruang poskolonial untuk kemudian menciptakan produk

budaya hibrid.

Bagi beberapa pemikir lain yang ikut mengelaborasi dalil hibriditas Bhabha,

hibriditas menandakan adanya keberlangsungan kreativitas dalam dinamika aspek

kebudayaan. Clothier (2006: 19-21) menjelaskan hibriditas kultural sebagai produk

kultural di ruang ketiga yang unik dan kas dan bukan sekedar percampuran antara dua

budaya atau lebih, tetapi bisa menjadi: (1) kritik terhadap dalil otentisitas budaya; (2)

tanda dinamika budaya, di mana batas-batas kultural melebur dan saling melampaui

dalam ruang ketiga; (3) bentuk kreativitas kultural yang selalu berkembang melampaui

batas-batas yang ada di antara budaya-budaya yang ada; dan (4) bentuk otentisitas

baru dari sebuah budaya masyarakat.

Apa yang harus diperhatikan adalah bahwa hibridisasi kultural merupakan proses

panjang dari sejarah kemanusian dan kebudayaan yang tidak hanya terjadi sekarang.

Hibridisasi kultural, pada kenyataannya, merupakan proses kultural yang berusia

sangat tua dan terus berkembang hingga saat ini. Pieterse (2001: 222) menjelaskan:

Page 7: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

Hibridisasi sebagai sebuah proses memang setua sejarah itu sendiri, tetapi percepatan

percampuran semakin pesat dan bidangnya meluas dalam kebangkitan perubahan-

perubahan struktural, seperti teknologi-teknologi baru yang memudahkan fase baru dari

kontak interkultural. Globalisasi kontemporer yang semakin cepat merupakan contoh dari

fase tersebut. Ranah baru utama dari percampuran-percampuran baru yang muncul

adalah kelas-kelas menengah dengan praktik sosio-kultural yang muncul dalam konteks

migrasi dan diaspora serta modernitas baru dari „pasar yang muncul‟. Selama hampir dua

dekade rata-rata pertumbuhan ekonomi Macan Asia dan pasar-pasar lain yang muncul

berlipat ganda setinggi negara-negara Barat. Hal itu bergantung pada aplikasi besar-

besaran dari teknologi baru dan munculnya moral sosial dan pola konsumsi baru. Itu

semua, secara tipikal, merupakan budaya penggabungan yang menggabungkan teknologi

baru dengan praktik sosial dan nilai-nilai kultural yang eksis.

Hibridisasi memang sebuah keniscayaan yang terjadi dalam masyarakat dan mampu

melintasi ruang dan waktu. Pieterse (2001: 223), lebih jauh lagi, secara historis

menjelaskan ranah-ranah yang menyuburkan perkembangan wacana hibridisasi.

Pertama, terma hibriditas berawal dalam pastoralisme, pertanian, dan hortikultura.

Hibridisasi merujuk pada pengembangan kombinasi baru dengan menyilangkan satu

tanaman atau buah dengan yang lain. Kedua, hibridisasi dalam hal genetika. Ketika

keyakinan dalam „ras‟ memainkan bagian dominan, percampuran genetis dan

„percampuran ras‟ menjadi dalil yang begitu terkenal. Ketiga, hibriditas merujuk pada

kombinasi dari binatang-binatang yang berbeda, dan juga merujuk pada cyborg

(cybernetics organism/organisme sibernetik), kombinasi dari manusia atau binatang

dengan teknologi (hewan piaraan diberi chip untuk identifikasi, sebuah rekayasa

biogenetik). Keempat, hibriditas kemudian memasuki ranah pengetahuan sosial via

antropologi religi, melalui tema sinkretisme. Kelima, bahasa-bahasa kreol dan kreolisasi

dalam linguistik merupakan bidang lanjutan yang menjadikan titik perhatian

pengetahuan sosial. Keenam, yang berkembang sekarang adalah hibridisasi kultural.

Ketujuh, perkembangan yang lain juga terkait dengan hibridisasi institusional,

termasuk pemerintahan. Kedelapan, hibridisasi organisasional dan pengaruh-pengaruh

kultural yang beragam dalam hal teknik manajemen. Kesembilan, interdisiplineritas

dalam ilmu pengetahuan menjadi bentuk hibrid baru semisal ekonomi ekologi.

Kesepuluh, menu menjadi semacam monumen bagi hibriditas kultural. Kesepuluh, yang

paling umum dalam hibriditas adalah identitas, perilaku konsumen, gaya hidup, dan

lain-lain. Membicarakan hibridisasi dengan segala potensi kritis, strategis, maupun

politis yang menyertainya tentu tidak bisa dilepaskan dari jejak-jejak historis yang

menyertainya, meskipun titik-tekannya tetap pada kondisi dan praktik yang terjadi

pada masa kini.

Dengan pemahaman-pemahaman tersebut, hibridisasi kultural bisa didefinisikan

sebagai sebuah proses kultural yang ditandai dengan usaha-usaha untuk memadukan

dua budaya atau lebih ke dalam sebuah bentuk budaya yang tetap bersandar pada

budaya lokal tetapi tidak sepenuhnya, mengambil yang asing tetapi juga tidak

sepenuhnya. Sedangkan hibriditas kultural merupakan sebuah realitas dari produksi

budaya yang mengambil beberapa unsur dari dua atau lebih budaya yang bisa

menciptakan bentuk baru atau memperbarui budaya yang sudah ada. Akibatnya,

Page 8: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

budaya hibrid yang dihasilkan bisa jadi kehilangan sebagian unsur keasliannya dan

ditambah unsur baru. Namun, apa yang lebih penting adalah bahwa menjadi sang

hibrid adalah bukan sekedar percampuran, tetapi sebuah perjuangan untuk terus

menegosiasikan gagasan dan praktik kultural dengan mengartikulasikan lokalitas dan

globalitas dalam ruang ketiga demi kepentingan politis budaya lokal. Dengan

memahami hibridisasi kultural dengan produk-produk hibrid yang dihasilkannya,

realitas dan pertarungan kultural dalam masyarakat kontemporer lebih bisa dimaknai

kembali, dikaji ulang, dan diceritakan ulang, sehingga kajian sosial dan humaniora

tidak terus terjebak pada pemikiran esesnsialisme budaya.

Sang hibrid yang melawan esensialisme (identitas) kultural

Pemahaman terhadap hibriditas budaya yang menghasilkan campuraduk kultural

dengan kepentingan dan potensi strategis yang menyertainya, menghadirkan kritik

tajam terhadap pemikiran esensialisme kultural. Secara sederhana, esensialisme

kultural merupakan pandangan yang memposisikan teks, praktik, dan identitas

kultural sebuah komunitas atau masyarakat selalu bersifat stabil, inherent, dan tidak

akan banyak berubah. Dougan (2003: 33) mengungkapkan beberapa karakteristik dari

esensialisme kultural, yakni: (1) menganggap adanya sebuah inti dari unsur-unsur

sebuah budaya yang penting bagi eksistensi bdaya tersebut; (2) bersifat ahistoris dan

tak berkesudahan; (3) berusaha menstabilkan identitas kultural yang sebenarnya tidak

stabil dan menyederhanakan asal-usul yang menyatu dari pengalaman hidup; dan (4)

menyediakan batasan-batasan yang permanen, jelas, dan mendalam bagi pembedaan-

pembedaan sosial, di mana batasan-batasan itu akan menjadi alat untuk menghormati

dan menyalahkan, distribusi nilai harga dan keuntungan, regulasi masyarakat, dan

mobilisasi pelaku bagi aksi kolektif. Akibatnya, esensialisme dan batasan-batasan

mendalam mampu menjadi instrumen bagi dua gerakan besar dalam kolonialisme,

yakni penaklukan dan perjuangan melawan penaklukan. Artinya, penjajah

menggunakan esensialisme kultural dari calon terjajah, seperti bodoh, tidak beradab,

tidak berpendidikan, mitis, takhayul, dan lain-lain untuk memberikan kuasa legal bagi

praktik kolonialime yang akan dijalankan atas nama pencerahan. Sementara kaum

terjajah menggunakan esensialisme kultural yang melekat pada masyarakatnya untuk

bisa membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah.

Esensialisme kultural juga seringkali digunakan kelompok etnis, agama, ataupun

ras tertentu untuk melakukan politik identitas (identity politics) yang terkadang tidak

digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap budaya yang ada, tetapi lebih sering

digunakan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi maupun politik tertentu. Gimenez

(2006: 431-432) menegaskan:

Page 9: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

Politik identitas, sebagai ideologi dan praktik, mengaburkan persoalan lokasi kelas sebagai

sumber pengalaman dan permasalahan bersama, membuka dan menutup kesempatan-

kesempatan edukasional, sosial, dan ekonomi. Komonalitas tersebut mentransendenkan

perbedaan rasial, etnik, dan kultural serta bisa menjadi basis bagi mobilisasi dan

pengorganisasian kolektif dalam setting yang beragam, seperti ketetenggaan, sekolah,

komuniti, dan tempat kerja. Memang, politik identitas menjadikan orang dari dengan

perbedaan historis, keturunan, dan budaya mengalami komonalitas berbasis kelas dari

perspektif yang berbeda, namun kondisi material dan kebutuhannya tidak pernah serupa.

Sebagai contoh, minoritas etnik dan rasial kelas pekerja, khususnya dari strata miskin,

membutuhkan pelatihan kerja, pekerjaan layak, rumah terjangkau, perawatan kesehatan,

dan lain-lain. Karena politik identitas tidak pernah berdasarkan pada kondisi-kondisi

struktural yang menghasilkan kepentingan objektif, seperti kelas, ia bisa menjadi senjata

ideologis bagi semua kepentingan politik: menggiring orang dengan kesamaan kepentingan

untuk melawan yang lain, mengaburkan kondisi-kondisi bagi kerjasama dan penerimaan

potensial bagi kekuatan politik. Dan, bisa digunakan kelas dominan dan identitas dominan

untuk mengklaim opresi dan eksklusi dengan kebijakan-kebijakan dini yang ditujukan

untuk menata kembali pengaruh dari ketidaksamaan, melalui klaim “diskriminasi

berbalik” dan “pembenaran politik”.

Esensialisme identitas kultural, dengan demikian, bisa menjadi senjata untuk

kepentingan-kepentingan politis partikular dengan mengatasnamakan kepentingan

bersama. Penggunaan atribut-atribut kultural yang diasumsikan sebagai ciri khas

komunitas tertentu, bisa menjadi senjata politis efektif karena anggota komunitas

tersebut juga memiliki kedekatan satu sama lain melalui kesamaan identitas kultural.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kesamaan identitas kultural, tetapi ketika

kesamaan tersebut lebih dimaknai dalam kepentingan politis, esensialisme kultural

hanya menjadi topeng pihak-pihak tertentu untuk berkuasa dan tetap menjadi dominan

dalam masyarakat.

Esensialisme kultural yang selalu membayangkan adanya kemurnian, pada

kenyataannya, memang sangat sulit untuk diwujudkan meskipun beberapa pihak politis

berusaha untuk mempolitisirnya. Perkembangan masyarakat yang banyak dipengaruhi

proses-proses sosial, seperti kolonialisasi, migrasi, dan globalisasi, telah menjadikan

bertemunya banyak identitas kultural dan menghasilkan perdebatan teoretis. Di dalam

proses interaksi dan komunikasi tentu memunculkan wacana-wacana dan tanda-tanda

kultural baru yang kemudian bisa menjadi medan diskursif bagi pembentukan kedirian

kultural masing-masing mereka yang terlibat. Pertanyaan tentang identitas kultural,

kemudian, tidak bisa semata-mata dibicarakan dari identitas kultural awal yang

diposisikan sebagai esensi dari subjek. Hall secara kritis menjelaskan bahwa identitas

haruslah dikonseptualisasikan sebagai hubungan di antara subjek-subjek dan praktik-

praktik diskursif yang lebih luas (dikutip Durham, 2004: 141).

Senada dengan Hall, Clifford (dikutip dalam Kompridis, 2005: 321) dengan

panjang lebar memaparkan betapa sulitnya menemukan kemurnian kultural seperti

yang dibayangkan oleh esensialisme kultural.

Seorang sejarahwan intelektual dari tahun 2010, jikalau saja seseorang bisa berimajinasi,

bisa melihat kembali 2/3 pertama dari abad kita (semisal abad ke-20) dan mengamati

bahwa abad ini merupakan masa ketika kaum intelektual Barat terobsesi dengan dasar-

dasar makna dan identitas yang mereka sebut „budaya‟ dan „bahasa‟ (kebanyakan cara kita

Page 10: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

saat ini melihat abad ke-19 dan mempersepsikan adanya titik tekan problematik terhadap

„sejarah‟ dan „kemajuan‟ evolusioner). Saya pikir kita sedang melihat tanda-tanda bahwa

keutamaan-keutamaan yang diberikan bahasa natural dan juga budaya natural mulai

memudar. Objek-objek dan dasar-dasar epistemologis tersebut sekarang muncul sebagai

konstruk-konstruk, menjelma fiksi-fiksi, yang memuat dan mendomestikasi heteroglosia.

Dalam sebuah jagat di mana terlalu banyak suara yang berbicara secara bersamaan,

sebuah jagat di mana sinkretisme penemuan parodik menjadi aturan, tidak terkecuali,

sebuah jagat urban, multinasional dari transpengetahuan institusional—di mana pakaian

Amerika yang dibuat di Korea dipakai oleh anak muda Rusia, di mana akar setiap orang

pada setiap tingkatan terpotong. Dalam jagat yang seperti itu, sangatlah sulit untuk

melekatkan makna dan identitas manusia pada „budaya‟ dan „bahasa‟ yang koheren.

Masih dalam pemikiran senada, Waldron (dikutip dalam Kompridis, 2005: 321)

menjabarkan:

Kita hidup dalam jagat yang dibentuk oleh teknologi dan perdagangan; oleh imperilaisme

agama, ekonomi, dan politis serta turunan-turunannya; oleh migrasi massa dan penyebaran

pengaruh kultural. Dalam konteks tersebut, mengikatkan seseorang dalam praktik-praktik

tradisional…bisa menjadi eksperimen antropologis yang menyenangkan, namun hal itu

melibatkan pengalihan artifisial dari apa-apa yang sebenarnya terjadi di jagat ini. Bahwa

itu semua bersifat artifisial dibuktikan oleh fakta bahwa keterikatan seringkali

mensyaratkan subsidisasi khusus dan kondisi ekstraordiner bagi mereka yang hidup dalam

jagat dimana budaya dan praktik tidak bergerak dari satu sama lain…Dari sudut pandang

kosmopolitan, keterikatan pada tradisi komunitas partikular dalam jagat modern

sepertihalnya hidup di Disneyland dan berpikir bahwa lingkungan sekitar seseorang

mewujudkan apa-apa yang dibutuhkan budaya untuk eksis. Masih lebih buruk lagi, hal itu

sepertihalnya membutuhkan dana untuk hidup di Disneyland, sementara masih mengatur

untuk meyakinkan diri seseorang bahwa apa yang terjadi di dalam Disneyland adalah

segalanya yang ada hanyalah untuk hidup yang mandiri.

Dua pemikiran di atas bertemu dalam benang merah yang mengganggap saat ini sangat

sulit untuk menemukan akar, identitas, dan makna kultural yang bersifat esensial

dalam masyarakat atau komunitas tertentu. Kekuatan akar kultural yang dulunya

melekat pada jatidiri komunitas tertentu dan diaplikasikan melalui ritual dan tradisi,

dari hari ke hari semakin banyak yang pudar atau bertransformasi ke dalam hibriditas

yang tidak bisa dielakkan.

Esensialisme budaya, kemudian, mendapat kritik tajam dari kalangan

konstruktivisme (constructivism) yang memaknai budaya sebagai (1) narasi wacana; (2)

proses; dan (3) identitas.9 Sementara para pemikir realisme kritis (critical realism)

memberikan pemikiran-pemikiran yang sekaligus mengkritisi essensialisme dan

konstruktivisme dengan menekankan bahwa (1) semua konsep dan teori adalah

konstruksi sosial, termasuk pengetahuan saintifik, dan secara historis dan sosial

mewujud, tetapi tetap memandang adanya struktur; (2) struktur—baik secara natural

maupun sosial—bisa berubah karena proses interaksi dan relasi antarmanusia,

termasuk budaya yang juga mempunyai struktur; (3) struktur tidak perlu digambarkan

sebagai esensi dan budaya tidaklah eksis a priori, sehingga masyarakat tidak perlu

didefinisikan secara ontologis sebelum mereka dideskripsikan ketika mengerjakan

sesuatu, untuk kemudian menganalisis bagaimana budaya menstrukturasikan praktik;

dan (4) penolakan terhadap kapasitas kausal budaya (atau bahasa) untuk

menstrukturkan praktik kultural (atau tindak tutur) merupakan reaksi berlebihan

Page 11: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

terhadap determinisme kultural atau linguistik, sehingga kita tetap butuh struktur dan

kompetensi bagi aktivitas transformasional.10

Baik pemikiran konstruktivisme dan realisme kritis sebenarnya menekankan

adanya sebuah proses kultural yang tidak bisa lagi diterjemahkan sebagai sebuah

kekakuan, tetapi sebuah proses yang sangat cair. Identitas kultural adalah sebuah situs

pertarungan di mana representasi-representasi yang dipengaruhi oleh bermacam

wacana dominan dalam masyarakat dimunculkan oleh subjek-subjek sosial, sesuai

dengan tempat, ruang, dan waktu partikular. Memang identitas kultural bawaan sangat

mungkin tetap eksis dalam praktik sehari-hari masyarakat, meskipun tidak

sepenuhnya. Namun, negosiasi citra, praktik, nilai, dan bentuk budaya lain bisa

merekonstruksi kedirian dan identitas kultural subjek-subjek dalam masyarakat

melalui artikulasi11 yang mereka lakukan. Inilah yang menjadikan formasi diskursif

tentang hibriditas budaya berkembang pesat dalam masyarakat kontemporer karena

terma tersebut mampu menjangkau dan menggambarkan serta lebih menjanjikan

dalam membicarakan realitas identitas kultural dan budaya terkini.12

Hibriditas lanjut: Poskolonialisasi dan globalisasi

Sebagaimana dijelaskan oleh Bhabha, bahwa pada masa kolonial yang seringkali

dipenuhi dengan praktik dan formasi diskursif dengan penekanan superioritas penjajah,

subjek terjajah, nyatanya, mampu melakukan pembacaan dan taktik strategis untuk

mengatasi problem kedirian dengan melakukan mimikri, pengejekan, dan hibriditas di

ruang ketiga. Kondisi tersebut, sampai dengan masa pascakolonial juga tetap

berlangsung, baik pada awal-awal pascakemerdekaan maupun pada masa

perkembangan lanjut dari sebuah bangsa dan negara. Pada masa poskolonial, ketika

kuasa administratif dan definitif dari penjajah sudah tidak berlangsung lagi di tanah

bekas jajajan mereka, bermacam situs pertarungan kultural, ideologis, yuridis, ekonomi,

sosial, maupun politik masih saja berlangsung dan seringkali bisa dilihat adanya

pengaruh diskursif dari bangsa asing/bekas penjajah. Pengaruh diskursif tersebut bisa

saja disepakati sebagai proses yang natural dengan mengimpikan teks dan praktik

kultural bangsa bekas penjajah sebagai sebuah kebenaran yang selayaknya diikuti oleh

bangsa eks-terjajah ataupun dilawan dengan beragam strategis, siasat, dan taktik, baik

dalam ranah budaya, ekonomi, hukum, religi, ekonomi, sosial, maupun politik.

Keluasan ragam teks dan praktik bangsa pascakolonial itulah yang menjadi ranah

kajian poskolonial dewasa ini. Aschroft, dkk (1995: 2):

Terma poskolonial berkembang luas dengan disertai ambiguitas dan kompleksitas dari

banyak pengalaman pengalaman budaya berbeda yang ia implikasikan…ia diarahkan pada

semua aspek dari proses kolonial dari awal kontak kolonial. Kritik dan teori poskolonial

harus menimbang implikasi menyeluruh dari pembatasan makna „setelah-kolonialisme‟

atau setelah-kemerdekaan. Semua masyarakat poskolonial masihlah menjadi subjek dalam

satu cara atau cara lain bagi bentuk yang tak kentara atau menipu dari dominasi neo-

kolonial, sehingga kemerdekaan tidak bisa serta-merta menyelesaikan masalah tersebut.

Perkembangan elit-elit baru di dalam masyarakat merdeka, seringkali didukung oleh

institusi-institusi neo-kolonial; perkembangan pembagian internal berdasarkan

Page 12: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

diskriminasi rasial, linguistik, atau religius; keberlanjutan perlakuan yang tidak sama

terhadap masyarakat pribumi dalam masyarakat masyarakat pendatang atau

penginvasi—semua persoalan tersebut membuktikan fakta bahwa poskolonialisme

merupakan proses berlanjut dari resistensi dan rekonstruksi. Hal tersebut tidak

mengimplikasikan bahwa praktik-praktik poskolonial bersifat mandeg dan homogen, tetapi

mengindikasikan ketidakmungkinan untuk semata-mata memahami berbagai bagian dari

proses kolonial tanpa menimbang para pendahulu (apa-apa yang terjadi pada masa

kolonial, pen) dan konsekuensinya.

Pemikiran di atas, paling tidak menghadirkan beberapa pemahaman tentang kajian

poskolonial. Pertama, istilah poskolonial bukan semata-mata dipahami sebagai proses

keterjajahan sebuah bangsa selama masa kolonial, tetapi bisa jadi berlanjut hingga

masa setelah kemerdekaan: terjajah dan pernah terjajah. Kedua, untuk memahami

kondisi masyarakat poskolonial, seorang peneliti juga harus mempunyai pengetahuan

tentang proses kolonialisasi yang terjadi pada masa kolonial sebuah bangsa atau

masyarakat. Artinya terdapat “proses kontinyu” dari wacana dan praktik yang ada pada

masa kolonial hingga saat ini yang diwarnai dengan rekonstruksi dan resistensi.

Rekonstruksi dimaksudkan sebagai proses kolonial yang masih berlangsung setelah

kemerdekaan yang berasal dri kuasa diskursif wacana, pengetahuan, dan praktik yang

pernah terjadi dalam masa kolonial dan berlanjut hingga saat ini serta mempengaruhi

proses dan praktik sosio-kultural yang ada. Sementara resistensi berkaitan dengan

kemungkinan-kemungkinan perlawanan terhadap kuasa diskursif tersebut. Hal itulah

yang menjadikan kajian poskolonial tidak terjebak dalam satu fokus, tetapi sangat

beragam, dari migrasi, perbudakan, pemaksaan, resistensi, representasi, perbedaan,

ras, gender, lokasi, serta respons terhadap wacana tuan dari imperial Eropa seperti

sejarah, filsafat, dan linguistik.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Faruk (2007: 14-15) mengelaborasi beberapa

perspektif teoretis yang bisa digunakan untuk membaca masyarakat pascakolonial.

Pertama, teori poskolonial merupakan sekumpulan strategi teoretis dan kritis yang

digunakan untuk meneliti kebudayaan (kesusastraan, politik, sejarah, dan lain-lain)

dari koloni-koloni negera-negara Eropa dan hubungan negara-negara itu dengan

belahan dunia sisannya, dengan asumsi: (1) mempertanyakan efek negatif dari apa yang

justru dianggap bermanfaat oleh kekuasaan imperial, semisal pernyataan mengenai

hadiah peradaban, warisa sastra Inggris, dan sebagainya; (2) mengangkat isu-isu

seperti rasisme dan eksploitasi; dan, (3) mempersoalkan posisi subjek kolonial dan

pascakolonial. Kedua, teori poskolonial berusaha untuk melihat efek penjajahan yang

masih berlangsung hingga saat ini serta kemungkinan transformasinya ke dalam

bentuk-bentuk neokolonialisme (internal maupun global) dan juga respons resistensi

atau wacana tandingan dari masyarakat terjajah terhadap kuasa penjajahan dengan

tetap memperhatikan adanya ambivalensi atau ambiguitas. Pemahaman teoretis

tersebut mengisyaratkan adanya kata kunci dari penjajahan dan segala tindakannya,

mengikuti pemikiran Foucauldian, yakni efek kuasa diskursif dari wacana dan

pengetahuan penjajah ke dalam kebudayaan—dalam artian wacana, pikiran, nilai,

orientasi, dan tindakan—bangsa terjajah atau pernah terjajah: di masa lalu dan masa

Page 13: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

kini. Bagi bangsa yang terjajah dan pernah terjajah, kondisi itu memunculkan

kecenderungan untuk menjadi subjek pascakolonial yang melakoni bentuk, wacana, dan

pengetahuan terkait dengan kebudayaan penjajah atau memungkinkan juga mereka

bersifat resisten dalam bentuk ambivalensi peniruan.

Hibridisasi kultural jelas-jelas terjadi dalam konteks masyarakat pascakolonial.

Mereka yang baru saja bangkit untuk mengisi kemerdekaan tentu memerlukan model-

model ideal dalam membangun kebangsaan yang akan menopang keberlanjutan

kehidupan bernegara. Maka, model-model ideal dalam hal pemerintah, hukum,

ekonomi, sosial, dan budaya yang pernah dipraktikkan bangsa penjajah di tanah

jajahan ataupun praktik-praktik lanjut di negara mereka. Memang, slogan-slogan

bombastis seperti “budaya nasional” bisa menjadi usaha untuk menjelaskan,

menjustifikasi, dan memunculkan kesadaran bagi masyarakat pascakolonial untuk

mengembangkan eksistensinya. Bagi Fanon (1995: 153-157) budaya nasional memang

bisa memancing dan memperkuat munculnya kesadaran nasional, tetapi juga bisa

menghadirkan kembali proses retrogresi, kembalinya konservatisme tradisional, ketika

kekuatan-kekuatan politik yang ada di negara pascakolonial kembali pada konsep

kesukuan dalam membangun kesadaran politik dan budaya bangsanya. Kondisi ini

merupakan ketidakmampuan kelas elit nasional dalam merasionalisasikan tindakan

populer, atau ketidakmampun untuk memberikan alasan bagi tindakan tersebut.

Kelemahan tradisional bukan hanya sebagai akibat dari mutilasi pihak terjajah oleh

rezim kolonial. Lebih dari itu, hal itu merupakan akibat kemalasan kelas elit nasional,

terutama dalam hal kemiskinan spiritual dan kecenderungan kosmopolitan sehingga

tidak bisa menciptakan strategi nasional yang mampu memperkuat kesadaran nasional

melalui penyadaran kultural. Karena sulitnya sosialisasi diskursif budaya nasional,

maka sangat wajar ketika hibridisasi menciptakan hibriditas kultural dan budaya

hibrid yang berlangsung dari level elit negara hingga masyarakat bawah.

Kenyataannya, masyarakat pascakolonial memang masih berusaha menjalankan

budaya tradisi sebagai situs negosiasi identitas kultural sekaligus untuk menumbuhkan

patriotisme dan nasionalisme, namun mereka juga dengan rajin pula mengenakan

pakaian-pakaian yang mengikuti mode-mode Eropa maupun Amerika maupun

memainkan atau mendengarkan musik Barat. Hibriditas kultural tersebut menandakan

sebuah proses antara: menjejakkan kaki di negerinya, memimpikan sesuatu yang ideal

dari Barat sebagai penanda bentuk kemajuan peradaban. Dengan menjadi sang hibrid,

mereka membayangkan diri mereka sebagai bagian dari praktik budaya yang

berlangsung di negara-negara Barat. Inilah wacana dan praktik kosmopolitanisme13

yang menghinggapi masyarakat pascakolonial.

Masyarakat pascakolonial yang masih saja melakukan pembayangan-

pembayangan ideal terhadap negara Barat, semakin dimanjakan oleh representasi

kultural dan pemikiran dari media, film, televisi, dan produk-produk industri budaya

lainnya yang semakin deras masuk di tengah-tengah era globalisasi. Memang beberapa

Page 14: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

tesis tentang globalisasi lebih memfokuskan pada proses homogenisasi kultural bagi

masyarakat negara-negara di Dunia Ketiga atau masyarakat pascakolonial karena

logika kekuatan modal dan kekuatan produksi industri budaya yang digerakkan dari

negara-negara maju dengan Amerika Serikat sebagai pusatnya, sehingga imperalisme

atau neokolonialisasi kultural kembali berlangsung di negara-negara pascakolonial

(Kien, 2004; Gills, 2002; Banerjee, 2002; dan, Sparks, 2007). Sementara, beberapa tesis

lain menyatakan bahwa globalisasi merupakan proses dinamis dimana masyarakat

lokal mampu menegosiasikan keragaman kultural sembari mengartikulasikan budaya

Barat/global dalam konteks lokalitas masing-masing yang kemudian menghadirkan

glokalisasi dan lokalisasi dengan produk budaya glokalnya (Appandurai, 2001;

Schuerkens, 2003; Giulianotti and Robertson, 2007; Edwars, 2002; dan, Holton, 2002).

Dalam konteks globalisasi, sebagaimana dijelaskan Giulianotti dan Robertson

(2007), masyarakat lokal di negara-negara poskolonial sebenarnya mempunyai

kemampuan kreatif untuk melakukan negosiasi dan artikulasi terhadap masuknya

budaya global bernuansa Barat untuk kepentingan lokalitas masing-masing. Proses

inilah yang kemudian dinamakan glokalisasi. Menurut mereka, terdapat empat proyek

dalam glokalisasi. Pertama, “relativisasi” yang menandakan kemampuan masyarakat

lokal dalam mempertahankan institusi, praktik, dan makna kultural di dalam sebuah

lingkungan baru, sehingga menunjukkan komitmen untuk berbeda dengan budaya

induk, dalam hal ini budaya Barat. Kedua, “akomodasi” di mana masyarakat lokal

secara pragmatis menyerap praktik, institusi, dan makna kultural dari masyarakat

lain, demi tetap melestarikan elemen-elemen kunci dari budaya lokal yang ada. Ketiga,

“hibridisasi” yang menunjukkan kemampuan masyarakat lokal untuk mensitesakan

budaya lokal dan budaya lain untuk menghasilkan praktik, institusi, dan makna

kultural hibrid yang berbeda. Keempat, “transformasi” yang menggambarkan keputusan

masyarakat lokal untuk lebih memilih untuk menjalani praktik, institusi, dan makna

kultural yang berasal dari budaya lain, sehingga menghasilkan budaya yang sama

sekali baru yang sekaligus sebagai bentuk penolakan terhadap budaya lokal.

Memang, keempat proyek glokalisasi tersebut bisa saja terjadi pada masyarakat

lokal dengan kecenderungannya masing-masing. Namun demikian, hibridisasi

kulturallah yang paling banyak mengisi ruang lokalitas masyarakat. Masyarakat lokal

sebenarnya ingin tetap menjalankan dan melangsungkan praktik budaya lokal yang

mereka warisi dari leluhur, namun mereka juga tidak bisa menolak sepenuhnya

kehadiran budaya global yang dari hari ke hari semakin beragam, menarik, dan

dinamis. Realitas hibriditas kultural tersebut bisa dilihat dalam bermacam ranah

budaya, dari industri budaya/kreatif, pakaian, hingga kesenian tradisi-lokal. Musik

industrial di negara-negara poskolonial, misalnya, beraroma sangat hibrid dan berusaha

meniru atau memasukkan unsur-unsur musik Barat ke dalam produk musik nasional

mereka. Kaum muda semakin mengidolakan penyanyi maupun grup band dari Amerika.

Program-program televisi lebih banyak meniru program dari Barat, dari sinetron, kuis,

Page 15: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

hingga reality show. Pakaian yang dikenakan sehari-hari sangat Western-minded,

meskipun diproduksi di dalam negeri. Kesenian tradisi-lokal seperti wayang kulit,

jaranan, maupun campursari, mulai memasukkan unsur-unsur musik (modern) ke

dalam pertunjukan mereka. Dalam ranah budaya akademis kondisi serupa juga terjadi.

Banyak dosen ataupun mahasiswa yang berhasrat untuk menempuh kuliah di luar

negeri, baik untuk gelar S1, S2, maupun S3, dengan alasan memperoleh pendidikan

yang lebih baik dan untuk bisa merasakan atmosfer akademis di negara-negara dengan

tingkat pendidikan yang lebih maju. Sekali lagi, ini adalah hasil dari proses globalisasi,

terutama yang dibawa oleh media dan industri kreatif lainnya—dari televisi hingga

internet—yang menawarkan banyak „nilai-nilai pencerahan‟ bagi masyarakat lokal.

Politik sang hibrid

Sebagai sebuah realitas kultural, masyarakat pascakolonial di era globalisasi

memang tidak mungkin kembali ke dalam kehidupan purba, ketika teknologi aksara

dan mesin belum muncul, ketika teknologi lisan masih menjadi raja bagi kehidupan

budaya. Mereka adalah masyarakat yang setiap hari mendapatkan dan menikmati

produk-produk budaya global dalam aktivitas sosio-kultural, di samping keinginan

untuk tetap menjalankan budaya lokal mereka. Ketika mereka menjalani kehidupan

sebagai sang hibrid, sangat mungkin muncul operasi kuasa dan potensi politik, baik

yang sadari atau tidak. Operasi kuasa di balik sang hibrid bisa jadi digunakan pihak

Barat untuk terus menanamkan pengaruh diskursif kultural mereka ke dalam

kehidupan kultural masyarakat lokal, melalui hegemoni yang tidak kentara sebagai

kuasa karena ada kesepakatan-kesepakatan dari pihak lokal untuk menganggap dan

memposisikannya sebagai rezim kebenaran. Meskipun masyarakat lokal masih mampu

menegosiasikan gagasan dan praktik kultural mereka, namun sebagian praktik tersebut

sudah dipengaruhi oleh produk-produk budaya global yang sangat Barat. Di sisi lain,

dengan menjadi sang hibrid, masyarakat lokal sangat mungkin bisa melakukan politik

untuk terus menegosiasikan gagasan, praktik, dan makna kultural mereka di tengah-

tengah budaya global, meskipun akan kehilangan sebagian dari budaya yang ada.

Dengan demikian mereka akan terus bisa berkontestasi di ruang antara sebagai strategi

survival, di mana budaya global tidak bisa sepenuhnya menaklukkan mereka karena

keliatan strategi hibrid yang dijalankan.

Hibriditas budaya dan operasi kuasa menuju hegemoni

Salah satu kekhawatiran besar akibat membanjirnya produk-produk Barat melalui

mesin ekonomi dan perdagangan yang dibawa globalisasi adalah semakin kuatnya

pengaruh diskursif budaya Barat ke dalam kehidupan masyarakat lokal. Budaya lokal

dibayangkan akan semakin tergerus akibat masyarakat lebih memilih dan menyukai

budaya Barat dan turunan-turunannya dalam konteks nasional yang bersifat lebih

dinamis dan modern. Hal itu diperparah dengan ketidakberpihakan aparat birokrat

Page 16: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

dalam membela kepentingan dan eksistensi budaya lokal. Setali dua uang, birokrat

dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, membuka pintu

selebar-lebarnya bagi investasi asing, termasuk produk-produk industri budaya ke

ruang lokal. Akibatnya, masyarakat lokal, dari hari ke hari, semakin terbiasa dengan

produk-produk budaya beraroma asing. Ada anggapan bahwa kondisi itulah yang

menyebabkan mundurnya atau semakin tersisihnya keragaman budaya lokal dari ruang

kultural masyarakat. Di samping itu, produk-produk industri budaya seperti musik,

film, dan program televisi yang digerakkan kekuatan modal di ibu kota semakin dekat

dengan budaya global bernuansa Barat.

Memang produk industri budaya di negara pascakolonial tetap mengusung

semangat lokalitas (negara dibayangkan sebagai lokal), terutama ditandai dengan

penggunaan bahasa nasional dalam produksi teksnya. Namun demikian, genre, style,

maupun aliran yang dibawakan oleh entertainer-entertainer ibu kota jelas meniru apa-

apa yang disuguhkan industri budaya di Hollywood maupun Eropa. Hibriditas kultural

di level nasional ini menjadi penanda bagi lahirnya budaya kontemporer yang dengan

bermacam usaha estetik, pencitraan, distribusi, dan pemasaran dianggap mampu

menjadi “tuan rumah di negeri sendiri”. Aroma percampuran gaya Barat dalam produk

industri budaya nasional jelas merupakan realitas kultural yang tidak bisa dielakkan

lagi. Meskipun realitas tiruan seringkali diwacanakan sebagai hasil kreativitas anak

negeri, secara eksplisit adaptasi dan kontekstualisasi unsur-unsur budaya Barat sangat

kentara dan mewarnai produk-produk budaya yang dihasilkan perusahaan-perusahaan

di level nasional. Inilah yang kemudian bisa dibaca sebagai pola hegemoni kultural

Barat melalui lahirnya budaya-budaya global yang cenderung diikuti oleh teks dan

praktik kebudayaan di negara-negara pascakolonial.

Model kuasa hegemonik memang selalu memberikan ruang bagi negosiasi dan

artikulasi kepentingan-kepentingan strategis masing-masing kelas yang terlibat

sehingga akan membentuk “kelas pemimpin” sebagai “blok historis” yang dicapai

melalui konsensus—bukan semata-mata tindakan koersif—dan untuk selanjutnya akan

diwarnai oleh kepemimpinan kultural, intelektual, dan moral (Gramsci, 1981: 191-192;

Laclau & Mouffe, 1981: 226; Boggs, 1984: 16; Bennet, 1986: xv; Slack, 1997: 115). Dalam

perspektif hegemoni kultural, para kreator di negara-negara Dunia Ketiga, memang

mempunyai kebebasan untuk berkarya sesuai dengan konteks lokalitasnya masing-

masing. Namun, apa yang harus diingat adalah bahwa kreator yang lahir dalam level

nasional rata-rata berasal dari generasi yang lebih sering menikmati produk-produk

budaya Barat. Wacana dalam teks-teks budaya Barat seperti sudah menjadi santapan

sehari-hari, sehingga membentuk formasi diskursif yang menjadikan subjek-subjek

pascakolonial tidak bisa terlepas dari jejaringnya sehingga menjadikan dan merujuk

teks-teks tersebut sebagai rezim kebenaran yang membentuk pengetahuan bagi mereka.

Akibatnya, hasil kreativitas mereka pada akhirnya cenderung meniru dan memosisikan

yang Barat sebagai kemutlakan yang sekaligus menandakan eksistensi mereka dalam

Page 17: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

jejaring “kewarganegaraan kosmopolitan”14 yang diyakini bisa memberikan pencerahan

dengan beragam keyakinan bahwa yang lokal bisa memberikan warna bagi yang global,

meskipun yang lokal kemudian menjadi sangat terikat dengan yang global.

Produk-produk budaya yang dihasilkan dalam level industri kreatif nasional

memang selalu diposisikan sebagai kreasi anak negeri yang bersifat hibrid. Namun,

apabila diperhatikan lagi sifat hibrid itu hanyalah terwakili oleh elemen kebahasaan

yang dianggap menandakan identitas bangsa, sementara genre dan style tetaplah

menjadi Barat. Hibridisasi kultural yang terjadi kemudian lebih mengarah pada

transformasi kultural yang dalam banyak kasus telah memotong akar tradisi dan

kultural yang ada sebelumnya. Steven Flusty (2004: 109) menjabarkan:

…hibriditas kultural merupakan wujud identitas personal dan kolektif baru dari

kombinasi-kombinasi baru yang berasal dari atribut, praktik, dan pengaruh kultural yang

berbeda…muncul dari kondisi-kondisi yang terlepas dari akar dan tertinggal tanpa tempat

asal. Ketidaksinambungan yang diimplikasikan hibridisasi membuahkan hasil-hasil yang

beragam, bahkan kontradiktif. Dalam terma positif, hibridisasi bisa jadi menghasilkan,

semisal, tawaran-tawaran kultural yang lebih luas dan sebuah tantangan terhadap sifat-

sifat yang sudah mapan tentang ras; negatifnya, hal itu bisa berasosiasi dengan

perpindahan, hilangnya tradisi, dan permasalahan sosial.

Memang hibridisasi kultural yang sedikit demi sedikit menciptakan keterpisahan

dengan budaya lokal dari sebuah bangsa lebih banyak terjadi di pusat-pusat kota yang

lebih dekat dengan lalu-lintas budaya global. Impian-impian kultural yang teurs-

menerus membayangkan kosmopolitanisme benar-benar menciptakan percampuran-

percampuran yang seolah-olah menciptakan ketiadaan batas etnisitas, namun di balik

itu, orang-orang menjadi tercerabut dari ikatan-ikatan sosio-kultural dengan kearifan

maupun bentuk-bentuk budaya dari generasi-generasi sebelumnya. Maka, budaya

global yang diyakini beragam, nyatanya tetap diwarnai oleh hegemoni budaya Barat

dengan porosnya Hollywood dan Eropa.

Ironisnya, realitas peniruan terhadap budaya Barat pada beberapa bidang

kehidupan nyatanya tidak bisa menghasilkan hibriditas budaya bagi bangsa

poskolonial. Memang pada masa-masa awal kemerdekaan, masyarakat poskolonial

dianggap mampu melakukan pembacaan ulang dengan budaya masa lampau (kolonial)

untuk kepentingan nasional pascakemerdekaan. Mereka berusaha untuk menemukan

identitas baru yang tidak sepenuhnya menyalahkan masa lampau kolonial, namun juga

melakukan „penyelamatan‟ terhadapa budaya-budaya lokal dan kolonial untuk

memproduksi bentuk-bentuk yang sesuai sehingga bisa merepresentasikan realitas

poskolonial. Dengan demikian identitas poskolonial bersifat ironis, kontradiktif, dan

ragu-ragu, diwarnai oleh „ketidakaslian‟ yang dibentuk oleh identifikasi secara relatif

terhadap budaya penjajah dan penolakan terhadapnya (Kusno, 2000).

Ambivalensi hibriditas tersebut menunjukkan ketidakmampuan masyarakat

pascakolonial untuk keluar dari jejaring diskursif pengaruh asing apalagi di era

globalisasi saat ini. Kondisi itu tampak sekali misalnya pada tatanan budaya kota-kota

pascakolonial. Yeoh (2001: 8), merefleksikan pendapat Dick dan Hammer, memaparkan:

Page 18: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

…(dalam konteks Asia Tenggara) untuk konvergensi dengan bentuk-bentuk metropolitan

urban sebagai akibat logika globalisasi, terjadi peningkatan polarisasi sosial dengan

adanya ekspansi kelas menengah, penurunan derajat keamanan personal, sebagaimana

halnya ketergantungan tinggi terhadap pakar-pakar asing dalam hal desain dan

perencanaan tata kota…kota poskolonial sebagai tipe yang berbeda merupakan

„pengalaman yang tidak biasa dan transitori‟ dan akan segera hilang oleh kecenderungan

kota yang mengglobal.

Perkembangan terkini mall, plaza, apartemen mewah, resort, lapangan golf, dan lain-

lain hanya meniru secara mentah-mentah dari model Barat dan sekedar

memindahkannya ke ruang geografis poskolonial. Masyarakat yang sudah bisa

memasuki atau mendiami ruang-ruang baru tersebut akan mendapatkan pengalaman-

pengalaman kultural yang semakin mendekatkan mereka kepada kecenderungan

menjadi Barat. Akibatnya, masyarakat semakin biasa meniru, tanpa bisa memberikan

penekanan dan evaluasi kritis dari apa-apa yang mereka tiru. Dalam kondisi tersebut

hegemoni kultural terhadap masyarakat poskolonial yang sudah masuk jejaring

globalisasi dan budaya global semakin kentara dan terasa dalam aspek, konsep, impian,

bentuk, dan praktik kultural.

Penguatan lokalitas di balik hibriditas budaya

Para pemikir yang memandang „agak positif‟ terhadap globalisasi seringkali

berargumen bahwa kuatnya pengaruh globalisasi telah menghasilkan proses, praktik,

dan teks kultural baru yang ditandai dengan kemunculan neolokalisme atau lokalisasi.

Pandangan ini membayangkan adanya kebangkitan budaya lokal melalui pembaruan-

pembaruan bernuansa hibrid sebagai respons kreatif terhadap maraknya budaya global

di tengah-tengah masyarakat lokal. Schuerkens (2003) menjelaskan:

Masuknya elemen-elemen budaya global ke dalam masyarakat lokal ditransformasikan

selama proses integrasi dan mewujud dalam lingkungan lokal baru. Budaya global

diinterpretasikan dalam hubungannya dengan budaya lokal dan pengalaman khusus

penduduk lokal. Budaya global disesuaikan oleh prasyarat lokal dan dipenuhi dengan

muatan dan fungsi yang saling berkaitan. Masyarakat lokal mengambil dan membentuk

kembali budaya metropolitan untuk keperluan mereka sendiri. Namun, proses penyesuaian

dan transformasi dari elemen-elemen kultural yang ada mengarah pada munculnya—

selama proses percampuran elemen budaya lokal dan impor—sesuatu yang baru dan unik.

Perbenturan lokal dengan elemen-elemen kultural yang berbeda menandakan kreasi

bentuk-bentuk budaya, gaya hidup, dan representasi baru. Dalam konteks budaya global,

hal itu menandakan keragaman budaya global: namun keragaman yang dihasilkan dari

jejaring kultural global terkini, dari penyesuaian kultural dari elemen-elemen eksternal

oleh penduduk lokal dan dari percampuran kreatif elemen-elemen global dengan makna

dan bentuk budaya lokal.

Ketika masyarakat lokal semakin terbiasa dengan budaya global yang dinikmati dalam

kehidupan sehari-hari, pada saat bersamaan mereka juga masih mempunyai kerinduan-

kerinduan akan nuansa kedirian lokal yang mengendap dan berusaha untuk

dimunculkan. Namun demikian, untuk memunculkan yang sepenuhnya lokal adalah

kemustahilan dan mungkin hanya dapat dilakukan oleh segelintir masyarakat lokal.

Akibatnya, interpretasi terhadap budaya global dalam konteks lokalitas menjadi pilihan

Page 19: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

strategis untuk mempertahankan budaya lokal yang masih bisa dinegosiasikan dalam

konteks sosio-kultural kontemporer.

Proses percampuran kultural memang tidak bisa dihindari lagi. Masyarakat lokal

dengan cara pembacaan dan interpretasinya masing-masing berusaha secara kontinyu

untuk membuka ruang dialektika dengan elemen-elemen baru yang berasal dari dunia

luar. Usaha tersebut merupakan strategi untuk terus-menerus menegaskan identitas

lokal sehingga mampu bergerak dan berkembang mengikuti arus transformasi yang

tidak bisa dibendung lagi. Produk-produk budaya hibrid memang tercipta sebagai

bentuk kreasi kultural yang mampu mempertemukan aspirasi lokalitas dan

kecenderungan global. Masyarakat lokal, dengan demikian, tidak lagi memposisikan

budaya Barat maupun budaya global sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan dan

keberlanjutan budaya lokal mereka masing-masing. Mereka memposisikan budaya

global sebagai tantangan yang harus dimaknai, dirombak, direkonstruksi, diramu, dan

di-lokal-kan, bukan untuk kepentingan hegemoni budaya global, tetapi untuk

kepentingan budaya lokal yang mesti terus diusahakan eksistensinya.

Masyarakat lokal, dengan demikian, berhasil melakukan pembacaan dan

interpretasi dekonstruksi terhadap kemapanan struktur, bentuk, dan formasi diskursif

dari budaya global yang sampai ke mereka. Budaya global memang kuat dan sudah

menjadi rezim kebenaran baru yang diakui di seluruh dunia. Mereka memang masuk ke

dalam sendi-sendi kehidupan warga lokal. Mereka memang ditopang oleh kekuatan

modal yang masuk melalui investasi modal maupun perusahaan transnasional di

negara-negara berkembang. Mengikuti logika Derridean,15 sebagai sebuah struktur

bentuk dan makna, teks budaya global tidaklah utuh sepenuhnya. Artinya, masih

terdapat celah-celah di dalam struktur teks di mana masyarakat lokal bisa menunda

dan memecah-mecah keutuhan struktural dan makna dari budaya global untuk

kemudian memasukkan atau mencampurkan elemen-elemen budaya lokal sehingga

membentuk budaya baru yang bersifat dialogis dan campur-aduk. Hal serupa juga

mereka lakukan terhadap budaya lokal sehingga terdapat proses resiprokal antara yang

lokal dan yang global untuk menciptakan sang hibrid.

Seringkali, bagi para kreator di tingkat lokal, kekayaan budaya lokal merupakan

sumber inspirasi kreatif dalam perkembangan industri kreatif yang bernuansa hibrid.

Dengan penyerapan dan adaptasi dari elemen-elemen lokalitas dan percampuran

dengan elemen-elemen budaya Barat, maka akan muncul produk-produk hibrid yang

terus-menerus mampu menciptakan jenis budaya baru bagi selera estetik masyarakat.

Negara-negara pascakolonial/berkembang, baik Asia maupun Afrika, sebenarnya

mempunyai potensi yang cukup besar untuk mengarah pada perkembangan industri

kreatif karena memiliki keragaman budaya lokal yang menunggu untuk diberikan

sentuhan-sentuhan baru.16 Dengan melahirkan produk-produk baru bernuansa hibrid

tersebut, masyarakat lokal juga bisa berkontestasi untuk perjuangan eksistensial di

tengah-tengah budaya global dan sekaligus menunda atau bahkan meresistensi

Page 20: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

popularitas budaya global yang banyak bernuansa Barat. Dengan mensintesakan

budaya lokal dan budaya global bernuansa Barat dalam „ruang pertemuan kreatif‟,

masyarakat lokal bisa mengambil keuntungan politis dari budaya hibrid, yakni

negosiasi terus-menerus potensi dan praktik kultural mereka di tengah-tengah

transformasi sosio-kultural.

Namun demikian, untuk bisa mencapai level budaya hibrid yang memberdayakan

kepentingan budaya lokal, maka dibutuhkan kreativitas dan kesadaran serta keyakinan

ideologis dari masyarakat terhadap keutamaan dan kedinamisan budaya yang mereka

miliki. Keyakinan ideologis bisa muncul ketika teks dan praktik budaya tidak sekedar

menjadi dogma-dogma yang dikuasai oleh segelintir elit lokal, tetapi mampu menjadi

representasi-representasi riil yang tersebar melalui beragam mekanisme, medium, dan

institusi sehingga mampu menjadi kesadaran dan membentuk kognisi sosial

masyarakat untuk selalu merujukkan tindakan dan perilaku sosio-kulturalnya kepada

konstruksi wacana yang ada dalam budaya lokal.17 Ketika budaya lokal sudah menjadi

keyakinan ideologis, dan bukan sekedar selebrasi-selebrasi untuk memenuhi formalitas,

maka mereka akan bisa dimaknai secara dinamis oleh para pendukungnya dalam

konteks perkembangan zaman yang semakin transformatif. Bentuk-bentuk kreativitas

baru yang bernuansa hibrid akan bisa diterima dan diposisikan tidak sedang

menggusur budaya lokal, karena mereka menyadari tindakan tersebut sebagai bentuk

negosiasi kultural untuk memperkuat nilai tawar budaya lokal dan untuk tidak sekedar

tunduk dan menyerah pada tawaran budaya global beraroma Barat.

Melawan konservatisme budaya lokal

Aspek kebaruan dari budaya hibrid yang memadukan nilai dan elemen budaya

lokal dengan nilai dan elemen budaya global seringkali diposisikan „mengganggu‟

kemurnian budaya awal. Slogan-slogan bombastis yang mengatasnamakan kemurnian

“budaya lokal”, “budaya nasional”, “budaya adiluhung”, dan “awas budaya asing” banyak

diwacanakan oleh mereka yang selalu bermimpi tentang identitas yang esensial. Sekali

lagi, tidak ada yang salah dengan mimpi-mimpi besar kebudayaan di tengah-tengah

gelombang globalisasi. Asumsi-asumsi tentang virus budaya global yang sangat Barat

menjadi formasi diskursif bagi mereka yang ingin melakukan pemurnian, baik yang

semata-mata terkait budaya maupun agama. Masalahnya adalah bahwa kontak

kultural dengan budaya asing, tidak mungkin lagi dihindari. Di samping itu, tidak

banyak negara-negara Dunia Ketiga yang siap dengan strategi kebudayaan untuk lebih

memantapkan eksistensi beragam budaya lokal yang menandai budaya nasional

mereka.

Apa yang harus dipahami secara kritis adalah sebuah proses politis di balik

keadiluhungan budaya yang dimiliki sebuah bangsa. Budaya, apakah itu berupa nilai,

ritual, pandangan hidup, maupun produk-produk material, tentu tidak bisa dilepaskan

dari proses sosio-kultural yang membentuknya. Proses tersebut sangat dipengaruhi oleh

Page 21: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

struktur kelas sosial yang berperan dominan dalam sebuah komunitas atau

masyarakat. Untuk menjalankan fungsi sosialnya, kelas dominan akan menciptakan

bermacam praktik kebiasaan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun ritual tradisi,

yang bersifat mengikat para subjek dari kelas sosial lainnya sebagai sebuah aturan

kolektif. Aturan kolektif tersebut lambat-laun menjadi kebiasaan kultural yang

mewujud sebagai keyakinan dan kesepakatan bersama untuk terus menjalankannya.

Akibatnya, kebiasaan tersebut mengalami proses naturalisasi terus-menerus sehingga

membentuk habitus.

Bordieu (dalam Dirk, dkk, 1994), memposisikan habitus yang menjelma dalam

kehidupan tradisi dan sehari-hari sebagai konsensus objektif yang akan membentuk

pengetahuan kolektif sebagai basis untuk menjalankan kekuasaan simbolik tanpa harus

menunjukkan perintah kuasa, tetapi melalui pengesanan arbitrer yang seolah-olah

mengilangkan makna kuasanya. Proses itulah yang kemudian menemukan basis

materialnya dalam praktik-praktik objektif dalam kehidupan masyarakat sehingga—

hampir sama dengan Foucault—mereka tidak lagi memposisikan kekuasaan sebagai

sesuatu yang menakutkan, tetapi sebagai sebuah kebenaran karena bertujuan untuk

mengatur kehidupan kolektif warga. Dalam konteks tersebut, moda dominasi—

hegemoni dalam bahasa Gramsci—berjalan tidak melalui mekanisme dan medium

penyebar kuasa, tetapi melalui modal sosial dan kultural yang dimiliki kelas-kelas

dominan yang sudah dianggap sebagai kebenaran objektif oleh kelas-kelas sosial

lainnya. Namun, moda dominasi yang dibangun oleh kuasa simbolik melalui habitus

dalam kehidupan sosio-kultural tersebut bukan berarti tidak bisa diganggu. Menurut

Bordieu, ketika habitus sudah menjadi doksa yang mengikat dalam bingkai ortodoksi,

maka kehadiran doksa-doksa baru yang dihasilkan dari “kontak-kontak kultural”

dengan masyarakat lain bisa digunakan untuk mengganggu ortodoksi, sehingga akan

menghasilkan heterodoksi.

Rezim kebenaran tentang budaya adiluhung, dengan demikian, bisa diganggu dan

dilawan dengan menghadirkan nilai, praktik, dan teks kultural baru yang berasal dari

luar. Dengan menghadirkan doksa kultural baru, maka kemapanan praktik kuasa

simbolik akan mendapatkan tantangan-tantangan yang secara kontinyu akan

memberikan pemahaman-pemahaman alternatif bagi subjek-subjek sosial. Namun

demikian, untuk merubah sepenuhnya kebenaran kultural yang sudah mapan, sangat

tidak mungkin. Pilihan untuk menjadi sang hibrid menjadi lebih masuk akal, karena

perlahan-lahan kemapanan ortodoksi bisa diganggu dan dilawan dari dalam (resistance

from within). Mereka tidak sepenuhnya bersikap dan berperilaku resisten terhadap

ortodoksi kultural yang dipenuhi kepentingan kuasa, tetapi tidak juga sepenuhnya

menerima aturan, nilai, norma, atapun praktik kutlural yang hanya memapankan relasi

dan kepentingan kuasa.

Page 22: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

Hibridisasi Kultural dan diaspora

Salah satu isu yang sangat populer dalam wacana dan praktik kolonialisasi,

globalisasi, dan poskolonialisasi adalah diaspora. Migrasi penduduk etnis atau ras

tertentu dari negara jajahan atau negara berkembang ke negara induk atau negara

maju telah melahirkan komunitas-komunitas kultural yang bernuansa diasporik.

Meskipun pada awalnya kelahiran diaspora digunakan untuk menandai migrasi global

kaum Yahudi ke belahan-belahan dunia yang lebih maju dan bisa menjamin

kemerdekaan religius mereka setelah penaklukan terhadap tanah Palestina oleh

Babilonia dan Romawi, tetapi saat ini istilah tersebut telah meluas dan tidak lagi

sebatas persoalan religi. Hall (dikutip oleh Sinclair & Cunningham, 2000: 23)

menjelaskan relasi strategis antara diaspora dan hibriditas budaya sebagai berikut:

Diaspora-diaspora baru yang terbentuk di seluruh dunia… dipaksa untuk menghuni paling

tidak dua identitas, berbicara minimal dua bahasa kultural, serta menegosiasikan dan

„menterjemahkan‟ di antara keduanya. Dengan cara ini, meskipun mereka terus berjuang

dalam batas-batas modernitas, mereka tengah berada dalam garis batas paling depan

sebagai perwakilan dari pengalaman „modern-akhir‟. Mereka adalah produk dari hibriditas

kultural. Dalil hibriditas di sini sangatlah berbeda dari narasi besar kaum internasionalis,

juga berbeda dari superfisialitas pluralisme gaya lama ketika tidak ada batas yang

dilintasi, dan berbeda dari perjalanan nomadik trendi posmodernisme atau versi simplistik

versi homogenisasi global—satu mengutuk sesuatu setelah yang lain atau perbedaan yang

tidak membuat perbedaan. Sang hibrid terikat jejaring yang kuat pada dan identifikasi

dengan tradisi dan tempat asal mereka. Namun, mereka tidak mempunyai ilusi untuk

kembali secara nyata kepada kemasalampuaan. Mereka tidak akan pernah kembali, dalam

makna literal apapun, karena tempat mereka akan kembali juga sudah bertransformasi

dari semua pemaknaan awal sebagai akibat proses yang begitu kuat dari transformasi

modernisme. Dalam pemaknaan tersebut, tidak ada pembicaraan untuk “pulang ke rumah”

lagi. Mereka membawa jejak-jejak partikular dari budaya, tradisi, bahasa, sistem

keyakinan, teks, dan sejarah yang membentuk mereka. Namun, mereka juga terpaksa

untuk masuk ke terma-terma dengan dan membuat sesuatu yang baru dari budaya-budaya

yang mereka jalani, tanpa harus secara mudah berasimilasi ke mereka. Mereka tidak dan

tidak akan pernah dipersatukan secara kultural dalam makna lama, karena mereka secara

pasti merupakan produk dari banyak budaya dan sejarah yang saling terkait, secara

bersamaan memiliki banyak „rumah‟—sehingga tidak ada satu rumah khusus…Mereka

adalah produk dari kesadaran diasporik. Mereka harus masuk ke terma-terma dengan

fakta bahwa dalam jagat modern…identitas selalu menjadi permainan terbuka, kompleks,

dan tidak pernah selesai—selalu berada dalam konstruksi.

Senada dengan paparan Hall, Rinderle (2005: 296) menjelaskan diaspora sebagai:

Sebuah kelompok yang bisa diidentifikasi bertempat tinggal di sebuah wilayah geografis

lain yang mengalami bukan hanya kepindahan secara fisik, tetapi juga hibriditas kultural;

merindukan tanah kelahiran; alienasi dari tanah induk; relasi struktural yang kompleks

antara tanah kelahiran, negara induk, dan diaspora; serta identitas kolektif yang secara

luas didefinisikan oleh relasi antara tanah kelahiran dan negara induk.

Dari pemikiran-pemikiran tersebut diaspora bisa dibaca sebagai sebuah praktik

kultural dari kelompok masyarakat tertentu yang berusaha untuk melakukan

pembacaan dan interprertasi terhadap kondisi-kondisi kultural baru yang mereka lihat,

alami, dan rasakan di negara atau wilayah baru. Perasaan teralienasi dari praktik

kultural yang terjadi di negara baru dan memori kolektif akan praktik kultural di tanah

kelahiran tersebut menjadikan mereka selalu merindukan “keberasalan”. Tetapi mereka

Page 23: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

juga tidak mungkin lepas dari jejaring „budaya baru‟ yang mereka hadapi di negara

baru. Artinya, mereka perlu menegosiasikan tradisi kultural di tempat asal sembari

berusaha mengartikulasikan tradisi kultural baru sehingga mereka melakukan

hibridisasi yang menghasilkan hibriditas kultural dan budaya hibrid. Hibriditas

kultural yang terjadi pada komunitas diasporik, kemudian, mengimplikasikan

ambiguitas yang mengkontestasi ide strukturalis tentang stabilitas makna dan

identitas, menantang konsep negara bangsa yang terpisah, dan mendukung dalil

poskolonial tentang transformasi mutual antara penjajah dan terjajah dalam situasi

poskolonial. Ambiguitas, transformasi, dan kekaburan batas merupakan bagian integral

dari pengalaman diasporik (Rinderle, 2005: 297).

Lahirnya budaya hibrid dalam komunitas diasporik, dalam perkembanganya, lebih

banyak berlangsung pada keturunan dari generasi diasporik pertama. Mereka

memproduksi representasi-representasi dalam produk dan praktik kultural yang

menunjukkan percampuran kultural sebagai strategi untuk mengingat sebagian budaya

asal dan mengambil sebagian budaya induk. Hall (1990: 235) menjelaskan:

,..diaspora tidaklah merujuk pada suku-suku yang tersebar yang identitasnya hanya bisa

diamankan dalam relasi dengan tanah kelahiran yang disucikan pada mana mereka semua

harus kembali dengan resiko apapun, meskipun harus merugikan mengorbankan suku

lain. Hal itu merupakan bentuk yang sangatlah kuno, menjajah, menghegemoni dari

„etnisitas‟…Pengalaman diaspora sebagaimana yang saya maksudkan di sini dimaknai

bukan oleh pemaknaan akan kemurnia, tapi oleh pengakuan bagi pentingnya heterogenitas

dan keberagaman, oleh sebuah konsepsi identitas yang hidup dengan dan melalui, bukan

tidak menghargai, perbedaan; oleh hibriditas.

Hibridisasi kultural bagi komunitas diasporik, kemudian, menjadi sebuah keniscayaan

yang harus terus dinegosiasikan dan dijalani, meskipun dalam kasus-kasus tertentu

seringkali menimbulkan konflik antara generasi pertama diasporik dengan generasi

berikutnya. Budaya hibrid bisa dilihat, misalnya, dari produk-produk dan praktik

kultural yang dihasilkan seperti film, karya sastra, dan percampuran bahasa asal dan

induk yang menciptakan kreolisasi, tradisi pernikahan, dan lain-lain.

Memang, komunitas diasporik pada awalnya lahir dengan bermacam alasan, baik

religi, ekonomi, politik, dan lain-lain. Migrasi atas nama religi, misalnya, dilakukan oleh

komunitas Yahudi ketika kemerdekaan mereka dalam beribadah terganggu oleh

ekspansi kerajaan Babilonia dan Romawi, meskipun mereka juga punya motivasi

ekonomi. Para buruh migran juga menjadi mempunyai motivasi ekonomi untuk

memperbaiki nasib karena di tanah kelahiran mereka mengalami penderitaan ekonomi.

Para pencari suaka politik dari negara-negara yang sedang berkonflik berusaha tinggal

di negara-negara maju yang kehidupan demokrasinya dianggap mampu menjami

kebebasan politik mereka. Ketika mereka sudah settle di negara-negara tujuan, mereka

tidak mungkin bisa lepas dari jejaring kultural yang mereka alami setiap hari.

Hibridisasi kultural, dengan demikian, tidak terhindarkan lagi karena mereka adalah

“manusia-manusia di antara” yang selalu bermimpi akan kesejahteraan dan jaminan

masa depan serta keindahan kemasalampuan.

Page 24: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

Komunitas diasporik, dengan demikian, telah melakukan politik kultural untuk

melanjutkan eksistensi mereka di tengah-tengah masyarakat baru. Dengan meniru

praktik dan gaya budaya masyarakat baru, mereka mengidentifikasi diri sebagai bagian

dari masyarakat tersebut sehingga akan mendapatkan pengakuan dari anggota

masyarakat yang lain. Pengakuan sosial merupakan faktor yang sangat penting bagi

para pendatang diasporik karena meskipun masyarakat baru tersebut bersifat

multikultural, tetapi pasti terdapat nilai-nilai dan praktik kultural yang dianggap

berlaku bagi anggota masyarakatnya, sehingga anggota masyarakat baru tetap harus

beradaptasi dan menerapkan nilai dan praktik tersebut. Dengan menjadi bagian dari

masyarakat dan budaya baru, tanpa meninggalkan semua yang asal, menciptakan

komunitas diasporik yang memainkan strategi sosial, ekonomi, dan politik untuk

kepentingan survival dan kontestasi, baik di negara atau wilayah baru dan negara atau

wilayah asal.

Vertovec (1999) menjelaskan pemaknaan diaspora dalam peran sosial, ekonomi,

dan politik melalui kontekstualitasnya masing-masing. Strategi sosial komunitas

diasporik lahir ketika subjek-subjek diasporik masih mempunyai kerinduan terhadap

identitas kultural dan kolektivitas sosial asal karena tidak sepenuhnya bisa beradaptasi

dengan masyarakat baru sehingga memunculkan jejaring dan solidaritas etnis di

wilayah atau negara baru. Kekuatan solidaritas sosio-kultural kemudian menjadi modal

utama untuk membangun kekuatan ekonomi baru di tanah rantau. Pemahaman akan

kolektivisme menjadikan mereka melakukan aktivitas ekonomi berbasis kesamaan etnis

dengan skala global sehingga perputaran uang dan usaha berimplikasi pada kekuatan

keluarga, kekerabatan yang meluas, maupun jejaring etnis. Perpaduan kekuatan sosio-

kultural dan kekuatan ekonomi-modal menjadikan komunitas diasporik mempunyai

peran politik yang seringkali dibingkai sebagai setrategi politik yang berpengaruh pada

negara induk maupun negara asal. Komunitas Yahudi di Amerika dan Eropa, misalnya,

bisa menjadi kelompok penekan dan kelompok lobi yang ikut mewarnai dinamika

politik, baik di Amerika Serikat dan Eropa maupun di Israel dan Palestina. Bahkan,

kelompok diasporik juga sangat berperan dalam konflik-konflik politik yang terjadi di

negara asal.18

Perbincangan tentang komunitas diasporik dan hibridisasi kultural di atas

memang lebih mengarah pada konteks migrasi dan globalisasi. Apa yang harus

diperhatikan adalah komunitas-komunitas diasporik tidak hanya muncul dalam arus

besar globalisasi, tetapi bisa juga muncul dalam berkembang dalam konteks migrasi

lokal yang terjadi dalam satu negara, apakah karena alasan ekonomi, politik, maupun

sosio-kultural. Migrasi etnik-etnik tertentu ke wilayah etnik lain yang mayoritas,

banyak juga menciptakan komunitas-komunitas diasporik-lokal yang secara pasti

memunculkan praktik-praktik kultural diasporik sehingga semakin menambah

keragaman budaya yang ada. Harapan akan kemakmuran ekonomi dan pengakuan

sosial seringkali memunculkan strategi kultural untuk meniru perilaku kultural dari

Page 25: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

etnis mayoritas yang dipandang lebih superior karena kemapanannya selama ini.

Proses peniruan tersebut, tentu saja, tidak pernah berlangsung sempurna karena

mereka masih memegang beberapa prinsip dan elemen dasar budaya asal, seperti

bahasa, ritual, maupun seni tradisi-lokal.

Namun demikian, hibridisasi kultural dalam komunitas diasporik-lokal, terkadang

tidak berlangsung secara menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari. Ada kalanya

hibridisasi tersebut berlangsung dalam konteks-konteks partikular, semisal ketika

komunitas diasporik tersebut bertemu dengan anggota dari etnis mayoritas. Hal itu

menjadi bentuk negosiasi dan strategi untuk mendapatkan simpati dan pengakuan dari

etnis mayoritas bahwa mereka adalah bagian yang sah dari masyarakat yang dihuni

etnis tersebut. Etnis mayoritas sendiri, pada dasarnya, juga masih menyisakan

„ketidakrelaan‟ terhadap perilaku hibrid tersebut karena mereka masih saja

membayangkan diri dan budaya mereka sebagai „yang lebih unggul‟. Komplikasi dari

permasalahan tersebut, menyebabkan komunitas diasporik tidak sepenuhnya

menjalankan hibridisasi kulturalnya, sehingga dalam ruang domestik—rumah maupun

lingkungan tempat tinggal—mereka akan kembali mempraktikkan tradisi kultural asal,

meskipun juga sudah tidak sepenuhnya sama.

Hibridisasi kultural berlapis

Perbincangan tentang hibridisasi kultural yang cenderung memposisikan „yang

Barat‟ dan „yang Timur‟ seringkali menyisakan persoalan diskursif yang belum

menyentuh permasalahan sebenarnya di ruang lokal. Mengapa? Karena persoalan

hibridisasi kultural di ruang lokal tidak semata-mata tentang percampuran kultural

antara yang Barat dan yang Timur, tetapi juga melibatkan pengaruh-pengaruh

diskursif dari agama dan religi tertentu yang berasal dari luar masyarakat. Meskipun

banyak pakar memisahkan persoalan agama dari budaya, tetapi kenyataannya, teks

dan praktik agama mampu mempengaruhi konstalasi sosio-kultural yang berkembang

dalam masyararakat lokal. Beberapa agama yang „diimpor‟ dari luar dan sudah menjadi

mayoritas, sangat menentukan arah perkembangan sosio-kultural yang terus

bertransformasi. Barat, melalui globalisasi media dan budayanya, memang menjadi

faktor yang tidak bisa ditolak, tetapi nilai-nilai agama juga tidak bisa dianggap sepele

dalam merekonfigurasi format sosio-kultural karena subjek-subjek yang ada

memposisikan nilai-nilai tersebut sebagai kebenaran yang wajar untuk diikuti dalam

praktik keseharian mereka. Selain itu, terdapat kecenderungan di tingkat lokal yang

menunjukkan adanya penyerapan sebagian kultur yang dimiliki etnis tertentu oleh

etnis lain.

Dalam konteks tersebut, telah terjadi hibridisasi kultural berlapis. Hibridisasi

kultural berlapis merupakan proses hibridisasi kultural yang melibatkan percampuran

bermacam bentuk dan praktik kultural yang berasal dari budaya global, budaya yang

berasal dari ajaran agama, budaya dari etnis-etnis lain, dan budaya yang berlangsung

Page 26: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

di ruang lokal dari etnis partikular yang masih berusaha terus menegosiasikan

budayanya. Kehadiran budaya global dalam ruang kultural domestik—dalam artian

keluarga—adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Televisi setiap hari

menampilkan program-program bearoma global, baik yang diimpor langsung maupun

yang sudah dihibridisasikan oleh productioan house dalam bentuk „ibu kota‟, dari pagi

hingga menjelang pagi lagi. Dalam ruang edukasi, pola pikir rasionalisme dan

positivisme ala Barat menjadi acuan utama bagi lembaga-lembaga pendidikan umum,

dari level desa hingga metropolitan. Sementara, lembaga-lembaga pendidikan formal

yang bernuansa agama, berusaha menggabungkan pola pendidikan Barat dengan pola

pendidikan yang diturunkan dari ajaran-ajaran agama yang diyakini. Penguatan basis

keagamaan juga berlangsung secara kontinyu di tengah-tengah masuknya beragam

praktik dan teks kultural global beraroma Barat. Penguatan tersebut dikelolah oleh

lembaga-lembaga keagamaan, baik yang bersikap akomodatif terhadap budaya lokal

maupun yang menginginkan syariatisasi seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Dominasi budaya dari etnis dominan dalam masyarakat juga menciptakan efek

diskursif kepada etnis tertentu yang mencoba menterjemahkannya dalam budaya

mereka, bersama-sama dengan beragam pengaruh budaya lain. Hibridisasi kultural

yang dialami etnis tertentu, pada dasarnya, juga melibatkan proses, hegemoni elemen-

elemen budaya dominan, resistensi terhadap budaya asal, ataupun strategis politis

terus menegosiasikan budaya mereka dalam ruang transformatif masyarakat. Realitas

tersebut menjadikan kehidupan sosio-kultural dalam ruang lokal semakin beragam dan

tidak bisa lagi semata-mata „dibedah‟ dari sudut pandang identitas budaya asal.

Simpulan: Menentukan sikap kultural dalam hibridisasi

Kompleksitas „campuraduk‟ kultural yang menjadi warna kontemporer budaya

masyarakat lokal memang harus dipahami sebagai proses dan praktik diskursif yang

harus dikaji secara terus-menerus secara mendalam. Dengan kajian-kajian itulah,

akademisi maupun peneliti tidak akan lagi terjebak pada generalisasi yang terlalu

memudahkan persoalan. Komunitas A, misalnya, tidak bisa lagi dikatakan sepenuhnya

berbudaya A, tanpa melalui proses penjelasan deskriptif-kritis dari apa-apa yang

mereka representasikan dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan-jangan

komunitas A mempraktikkan budaya A hanya dalam rangka ritual-ritual tertentu.

Sementara, dalam kehidupan sehari-hari, mereka sudah melakukan praktik kultural

hibrid yang lebih banyak aroma budaya-budaya lain, sedangkan budaya mereka sendiri

hanya sekedar tempelan pemanis. Atau, jangan-jangan komunitas A berapi-api

mengatakan atau menunjukkan berbudaya A ketika terdapat kepentingan-kepentingan

politis yang hendak diperjuangkan secara kolektif.

Yang tidak kalah penting untuk mendapatkan kritisi adalah perspektif

masyarakat lokal terhadap proses hibridisasi kultural. Pertama, dengan menjadi sang

hibrid, apakah mereka mampu melakukan strategi kedirian untuk terus menciptakan

Page 27: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

kreativitas-kreativitas kultural berbasis budaya lokal sehingga eksistensi budaya lokal

akan terus bertransformasi. Kedua, ketika hibridisasi kultural tidak diimbangi dengan

keyakinan ideologis dari masyarakat lokal, maka yang terjadi hanyalah hegemoni

kultural oleh budaya global bernuansa Barat serta menunjukkan ketidakmampuan

masyarakat lokal untuk meneruskan budaya nenek-moyangnya. Ketiga, ketika

hibridisasi kultural mampu menjadi kesadaran ideologis untuk selalu menemukan

produk-produk kreatif, maka budaya lokal pada dasarnya bisa terterima dan

bertransformasi sebagai kekuatan bagi masyarakat untuk tidak mudah ditaklukkan

oleh kekuatan kultural asing. Keempat, budaya hibrid bisa saja menjadi kekuatan

alternatif untuk melawan konservatisme budaya lokal yang menguntungkan segelintis

elit yang memperoleh keuntungan dari esensialisme kultural yang disosialisasikan

secara terus-menerus. Pembacaan kritis terhadap kemungkinan-kemungkinan di atas

akan mengarahkan pada penjelasan-penjelasan akademis yang mampu membongkar

realitas kultural kekinian dari sebuah masyarakat atau etnis tertentu.

Memang, hibridisasi kultural telah terjadi pada sebagian masyarakat lokal di

Indonesia saat ini. Tidak harus disesali ataupun disalahkan karena alasan-alasan

pemertahanan budaya lokal yang selalu diimpikan sebagai kekuatan adiluhung.

Masyarakat tidak mungkin kembali kepada zaman purba di mana interaksi hanya

terbatas dengan anggota kelompok. Masyarakat kontemporer adalah masyarakat yang

dihasilkan dari saling-silang pengaruh kultural, baik yang berasal dari budaya global

bernuansa Barat, nilai-nilai agama tertentu, atau superioritas etnis-etnis dominan. Dari

desa hingga kota metropolitan, hibridisasi kultural dan budaya hibrid sudah menjadi

kecenderungan umum yang tidak bisa disangkal lagi. Yang dibutuhkan kemudian

adalah sikap kultural dari masyarakat lokal untuk menempatkan budaya mereka dalam

ruang antara yang selalu menghadirkan kemungkinan-kemungkinan di atas. Kejelasan

sikap kultural itulah yang akan menentukan arah dan gerak kultural di masa

mendatang. Artinya, konseskuensi apapun yang terjadi dari hibridisasi kultural,

masyarakat mampu memahami dan meyakininya sebagai pilihan strategis bagi

kehidupan mereka. Tanpa itu semua, hibridisasi kultural hanya menjadi „lagu lain‟ dari

ketidakberdayaan masyarakat dan budaya lokal dalam ruang sosio-kultural

transformatif.

Catatan akhir

1 Moore-Gilbert (1997: 34-35) menjelaskan nilai penting kajian Said terhadap kajian poskolonial. Pertama,

Said adalah pemikir yang mengkombinasikan pemikiran Perancis dengan dunia akademik Anglo-Amerika.

Kedua, mampu menerapkan kombinasi kajian tersebut untuk membuka hubungan Barat dan Timur yang

dipenuhi kepentingan politik melalui representasi-reprensentasi kultural dan pengetahuan yang

diciptakan. Ketiga, Said mampu melakukan transformasi dari pendekatan-pendekatan teoretis yang

bersifat metropolis bagi kajian sastra kerajaan dan sastra baru yang mulai muncul sejalan dengan

dekolonisasi, menuju sebuah kajian yang sekarang disebut kajian poskolonial. Lebih jauh lagi, Orientalism

juga berhasil memancing kajian-kajian lanjut yang dilakukan oleh para pemikir lain. Joseph Bristow dalam

bukunya Empire Boy jelas-jelas menekankan pentingnya kajian Said. Hal serupa juga ditekankan oleh

Gayatri Spivak dan Hommi K. Bhabha, dua figur penting dalam kajian poskolonial.

Page 28: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

2 Dengan pemikiran ini, Said sebenarnya merujuk pada pemahaman wacana dan pengetahuan/kuasa

Foucauldian. Menurut Foucault (a) sekumpulan pernyatan, (b) berkaitan dengan topik tertentu, (c) ada

momen dan kondisi historis tertentu, dan (d) mensyaratkan adanya formasi dan praktik diskursif dalam

praktik sosio-kultural. Sebagai contoh adalah wacana tentang dominasi laki-laki. Wacana itu tidaklah bisa

berdiri sendiri untuk menjadi terma yang begitu kuat dalam masyarakat tanpa adanya pernyataan-

pernyataan lain yang dibentuk dalam konsep serupa. Wacana dalam formasi diskursifnya, kemudian, akan

menyebar dalam masyarakat dalam waktu historis tertentu serta mempengaruhi kesadaran mereka.

Karena berada dalam ruang historis partikular, maka wacana dipraktikkan dalam kaidah-kaidah, strategi-

strategi, dan regulasi-regulasi yang menggiring penerimaan bersama. Inilah yang disebut “praktik

diskursif” (discurssive practice). Untuk menjadi sebuah formasi dan praktik diskursif maka dibutuhkan: (a)

person-person yang dianggap mumpuni untuk membicarakan wacana-wacana tersebut dan (b) kehadiran

institusi-institusi yang akan menjadi medan penyemaian wacana-wacana tersebut. Keberadaan person dan

institusi tersebutlah yang akan mempertegas hubungan yang ada di antara wacana-wacana tersebut

sehingga memungkinkan untuk membicarakan objek-objek, memecahkan persoalan yang muncul, menamai

mereka, melakukan analisis terhadap mereka, mengklasifikasi mereka, dan lain-lain. Proses itulah yang

kemudian melahirkan “pengetahuan” (knowledge). Pengetahuan yang terus disebarkan dalam praktik-

praktik diskursif ini kemudian menentukan subjek-subjek diskursif. Proses inilah yang kemudian

menghadirkan kuasa yang akan terus menyebar ke segala penjuru, bukan dipaksakan, tetapi melampaui

batas-batas kelas karena pengetahuhan menjadi praktik normalisasi yang benar-benar dianggap wajar oleh

para subjek. Lebih jauh lagi lihat Foucault, 2002: 52, 58, 72-83, 177, 190; 1980: 194-196; 1998: 94-95, 131;

1992: 88.

3 Dalam pandangan Hall (1997a: 15-17), mengadopsi pemikiran Barthes dan Foucault, representasi

merupakan: (1) penggunaan bahasa untuk mengatakan sesuatu yang penuh makna tentang, atau untuk

merepresentasikan, dunia dengan penuh makna, kepada orang lain; (2) bagian penting dari sebuah proses

yang dengannya makna diproduksi dan dipertukarkan di antara para anggota sebuah kebudayaan; dan, (3)

produksi makna dari konsep yang ada dalam pikiran kita melalui bahasa. Representasi bukan sekedar

kehadiran sesuatu dalam medium terntentu. Lebih dari itu, representasi merupakan sebuah „kehadiran

makna‟ melalui bahasa—dalam bermacam bentuknya—yang darinya seseorang bisa memberikan makna

tentang sesuatu kepada orang lain yang berada dalam satu kebudayaan. Dengan representasi seseorang

juga bisa mengekspresikan pemikiran kompleks tentang objek, peristiwa, dan jagat manusia, kepada orang-

orang lain, atau mengkomunikasikan mereka melalui bahasa dalam cara-cara tertentu sehingga orang lain

bisa mengerti.

4 Moore, 1997: 61-62.

5 Ibid.hlm.65.

6 Foucault (1998: 95-96) menjelaskan resistensi beberapa poin terkait resistensi terhadap kuasa yang

beroperasi dalam masyarakat. Pertama, bahwa resistensi pada dasarnya selalu muncul ketika berlangsung

sebuah kuasa. Kedua, samahalnya dengan beroperasinya kuasa yang menggunakan beragam poin,

resistensi juga bisa berasal dari beragam poin. Ketiga, resistensi bersifat plural. Pluaritas ini bisa menjadi

keunggulan karena bisa mewujudkan resistensi tidak dalam ketunggalan yang mudah dideteksi, tetapi juga

bisa merugikan ketika tidak bisa diorganisir dan diolah kembali. Ketiga, resistensi hanya bisa berjalan

efektif atau menghasilkan perubahan ketika ia berlangsung dalam medan strategis relasi kuasa. Artinya,

untuk melawan kuasa, subjek-subjek yang sadar dan kritis tidak harus sepenuhnya membuat poin maupun

terma baru yang bertentangan dengan relasi kuasa, tetapi dengan memaknai kembali relasi yang ada dan

kemudian digunakan untuk memetakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa digunakan menyerang

balik. Keempat, dalam resistensi dibutuhkan poin resistensi yang bersifat mobile dan cepat berubah

sehingga bisa memecah relasi yang sudah mapan dalam masyarakat untuk kemudian dilakukan

reorganisasi dan re-grouping terhadap mereka-mereka yang punya kesadaran kritis sehingga mampu

memunculkan wacana dan pengetahuan baru yang bisa memberikan penyadaran dan melampaui

stratifikasi sosial yang ada. Kelima, perlu dilakukan kodifikasi atau semacam pengaturan yang bersifat

strategis terhadap poin-poin resistensi yang bersifat plural sehingga revolusi menjadi mungkin terjadi.

Memang pikiran Foucault mengenai resistensi bersifat sangat ideal, dan mungkin akan sulit diwujudkan

dalam masyarakat yang sudah semakin kompleks dewasa ini. Namun, pikiran-pikiran ideal itu bukan tidak

mungkin diwujudkan ketika kesadaran kritis dan resisteni bisa disebarkan terus-menerus, baik dalam pola

maupun strategi yang beragam dan terorganisir.

7 Nandata Duta (dikutip dalam Drichel, 2008: 588) menyatakan bahwa tendensi dari teori poskolonial

adalah mengkritisi konstruksi-konstruksi kolonialis tentang keliyanan, tapi, karena kebanyakan kajiannya

bersandar pada “moda historiografi balas dendam” (the mode of revenge historiography), maka

penelanjangan sang liyan sebagaimana dikonstruksi oleh kolonialisme, telah menjadi ranah tersibuk dari

kajiannya. Sang liyan sebagai objek kajian bagi kolonialisme telah ditransformasikan semata-mata sebagai

„sang liyan yang dikonstruksikan oleh kolonialisme‟ sebagai objek kajian dari poskolonialisme.

Page 29: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

8 Lihat Bhabha, “The Rigth to Narrate”, interwiew oleh Kerry Chance, diakses dari

http://hrp.bard.edu/resource_pdfs/chance.hbhabha.pdf, 1 Juni 2009.

9 Bader (2001: 256-261) memaparkan ketiga persoalan itu sebagai berikut. Budaya merupakan konsep

multidimensional yang salah satu dari dimensinya berkaitan erat dengan hubungan antara budaya,

habitus/sikap, dan praktik…praktik—apa-apa yang dilakukan orang secara nyata—dipengaruhi oleh

habitusnya (budaya yang terinkorporasi) dan oleh cara-cara quasi-teorbjektivikasi dalam memandang dan

melakukannya (makna predominan dari budaya). Wacana-wicara yang lazim, sama-sama menolak habitus

dan budaya yang „termaterialisasikan‟ serta mengarah pada konsep luas yang tidak terdeskriminasikan

dari wacana. Konsep terakhir dari wacana, tidak hanya berupa bahasa, kerangka kognitif dan normatif

atau „aturan‟, citra, mitos dan simbol dunia, masyarakat dan diri (budaya simbolis); tetapi juga berupa

kebiasaan, ritual, cara tradisional untuk bertindak, institusi dan nilai-nilai kebaikan (budaya material).

Sebagai sebuah proses, budaya dimaknai sebagai “membuat budaya”, “kreasi”, “perubahan”, “pertunjukan”,

dan “sebuah proses tanpa akhir”. Sementara sebagai identitas, perlu dipahami bahwa (1) praktik kultural

bisa jadi secara relatif sangat stabil, sementara definisi identitas individual dan kolektif mungkin berubah

secara cepat, atau sebaliknya, (2) definisi identitas kolektif etnis dan religius secara realtif bisa jadi stabil,

sedangkan praktik kultural dan religius mungkin berubah secara cepat, serta (3) praktik kultural bisa

menjadi salah satu basis bagi definisi identitas.

10 Ibid.hlm.254-256.

11 Hall (dikutip Slack, 1997: 115) menjelaskan artikulasi sebagai bentuk koneksi yang bisa menciptakan

satu kesatuan dari dua elemen yang berbeda, dengan syarat-syarat tertentu. Artikulasi adalah jejaring

yang tidak harus ditentukan, absolut, dan esensial sepanjang waktu. Apa yang dikenal dengan „kesatuan‟

dari sebuah wacana benar-benar merupakan artikulasi dari perbedaan, elemen-elemen yang berbeda yang

mana bisa dire-artikulasikan dalam cara-cara berbeda karena mereka tidak mempunyai kepemilikan yang

tidak perlu. „Kesatuan‟ yang substansinya adalah jaringan antara wacana yang diartikulasikan dan

kekuatan sosial yang mana dengannya ia bisa, dalam kondisi historis tertentu, tapi tidak begitu perlu, bisa

dihubungkan. Kesatuan yang dibentuk oleh kombinasi atau artikulasi, selalu merupakan, perlu, „struktur

kompleks‟: sebuah struktur yang merelasikan berbagai hal, seperti banyak melalui perbedaan-perbedaan

mereka sebanyak pula melalui persamaan-persamaan mereka. Hal itu membutuhkan mekanisme-

mekanisme yang menghubungkan bentuk-bentuk yang tidak serupa harus ditunjukkan—karena tidak

perlu korespondensi atau homologi ekspresif. Hal itu juga berarti—karena kombinasi merupakan sebuah

struktur (kombinasi yang diartikulasikan) dan bukan keterhubungan yang acak—bahwa ada relasi yang

distrukturkan di antara bagian-bagiannya, semisal relasi dari dominasi dan subordinasi.

12 Menurut Cougan (2004: 34) terdapat tiga gerakan utama dalam wacana hibridisasi, yakni pergeseran (1)

dari penekanan kepada kemurnian menuju pada percampuran, (2) dari penekanan terhadap stabilitas

menuju konsepsi proses terbuka, (3) dari penekanan terhadap pembedaan diri/liyan menuju kesamaan

manusia.

13 Kosmopolitanisme sebenarnya bisa dilacak secara historis sejak perkembangan filsafat modern Eropa.

Cheah (2006), mengikuti pemikiran beberapa filosof seperti D‟Alembert, Rousseau, maupun Kant,

menjelaskan bahwa pada awal abad modern, kosmopolitanisme dimaknai sebagai hilangnya batas-batas

negara yang mengekang warga sehingga setiap orang bisa mengembangkan kemanusiaan melalui

bermacam praktik dalam bingkai kewarganegaraan universal. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa praktik

kosmopolitanisme saat ini menyatu dalam globalisasi yang ditandai oleh lalu lintas produk-produk budaya

(yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan transnasional) dengan representasi-representasinya dan juga

oleh maraknya praktik migrasi dari Dunia Ketiga ke Eropa maupun Amerika. Artinya, bayangan-bayangan

akan kesejahteraan “negara-negara induk” (the host countries), memang masih menarik banyak orang di

Asia maupun Afrika, sebagai bangsa eks-terjajah. Sementara Nava (2002) berargumen bahwa

kosmopolitanisme dalam konteks masyarakat Dunia Ketiga melekat pada modernitas yang menyatu dalam

aktivitas komersial masyarakat urban (seperti mall atau plaza) dan produksi industri budaya bernuansa

Barat. Akibatnya, kosmopolitanisme sekaligus menjadi sebuah formasi dialogis yang cenderung melawan

konservatisme dan identifikasi nasional yang sempit dari budaya warisan generasi terdahulu.

14 Smith (2007: 38-39) menjelaskan bahwa warga negara kosmopolitan bisa diinterpretasikan sebagai

keanggotaan dalam komunitas politik kosmopolitan baik secara hipotetis maupun riil serta sebagai

identitas yang mengadopsi serangkaian disposisi dan keterikatan kosmopolitan. Kosmopolitanisme dalam

konteks tersebut mempunyai proyek politik transformatif yang selalu mengatasnamakan hak asasi

manusia, demokrasi, dan keragaman kultural dalam era globalisasi.

15 Dekonstruksi Derridean berusaha memberikan kritik terhadap keutuhan makna dalam struktur

sebagaimana diyakini oleh para pemikir strukturalis. Dalam struktur terdapat permainan bebas yang

memunculkan penundaan dan perbedaan sehingga ketunggalan makna diganggu dan disubversi di dalam

strukturnya sendiri, bukan oleh kekuatan di luar struktur, tetapi oleh kontradiksi yang ada di dalamnya.

Page 30: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

Lihat, Derrida, 1989: 231-247; Borradori, 2000: 1-22; Leledakis, 2000: 175-193; Saul, 2001: 1-120; Cilliers,

2005: 255-267.

16 Kozul-Wright (2001) menjelaskan bahwa dalam konteks industri kreatif, semisal musik, negara-negara

berkembang sebenarnya bisa lebih siap dan mampu karena mempunyai bahan mentah (raw materials)

seperti keahlian untuk menciptakan suara/bebunyian baru yang berasal dari khasanah musik lokal yang

jenisnya sangat beragam.

17 Pemahaman budaya lokal sebagai keyakinan ideologis dikembangkan dari pemaknaan ideologi bukanlah

semata-mata sebagai nilai dan ide yang bersifat utopis-deterministik, tetapi lebih sebagai kerangka bagi

kognisi sosial, menyebar dan dijalani oleh anggota kelompok sosial, dibentuk oleh seleksi-seleksi relevan

dari nilai sosio-kultural, dan diorganisir dengan skema ideologis yang merepresentasikan definisi-diri dari

kelompok tersebut. Di samping fungsi sosialnya untuk menjalankan kepentingan-kepentingan kelompok,

ideologi juga mempunyai fungsi kognisi untuk mengorganisir representasi sosial (sikap, pengetahuan) dari

kelompok, sehingga secara tidak langsung mengawasi praktik-praktik sosial yang berkaitan dengan

kelompok, dan juga teks serta pembicaraan dari masing-masing anggotanya (Althusser, 1971: 162-177; Hall,

1982: 71, 1997b: 26; van Dijk: 1995: 284).

18 Untuk kasus konflik politik di negara asal, bisa dilihat, misalnya, peran komunitas Yahudi Amerika

terhadap konflik berdarah antara Israel dan Palestina, komunitas Kroasia Jerman terhadap konflik politik

yang menyebabkan hancurnya Yugoslavia dari peta dunia, kelompok Harimau Tamil di London dan

perannya dalam konflik berdarah di Sri Lanka, komunitas Kurdistan di Belanda, dan masih banyak lagi.

Lihat Demmers, 2002: 85-96.

Daftar bacaan

Althusser, Louis.1971. Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review Press.

Appadurai, Arjun.2001. “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”.

Dalam Steven Siedman and Jeffrey C. Alexander. The New Social Theory Reader:

Contemporary Debates. London: Routledge.

Aschroft, Bill, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin, “General Introduction”, dalam Bill

Aschroft, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin.1995. The post-colonial studies reader.

London: Routledge.

Bader, Veit. “Culture and Identity, Contesting constructivism”, dalam Jurnal

Ethnicities, Vol. 1, No. 2, 2001.

Banerjee, Indrajit, “The Local Strikes Back?: Media Globalization and Localization in

the New Asian Television Landscape”, dalam Gazette: The International Journal

for Communication Studies, Vol. 64, No. 6, 2002.

Bhabha, Hommi K.1994. The Location of Culture. London: Routledge.

Bhabha, “The Rigth to Narrate”, interwiew oleh Kerry Chance, diakses dari

http://hrp.bard.edu/resource_pdfs/chance.hbhabha.pdf, 1 Juni 2009.

Bennet, Tony.1986. “Introduction: the turn to Gramsci” in Tony Bennet, Colin Mercer,

and Janet Woollacott (Eds). Popular Culture and Social Relation. Philadelphia:

The Open University Press.

Boggs, Carl.1984. The Two Revolutions: Gramsci and the Dilemmas of Western Marxism.

Boston: South End Press.

Borradori, Giovanna. “Two versions of continental holism: Derrida and structuralism”,

dalam Journal Philosophy and Social Criticism, Vol. 26, No. 4, 2000.

Bourdieu, Pierre. “Structur, Habitus, Power: Basis for a Theory of Symbolic Power

dalam Nicholas B.Dirk, Geoff Eley, & Sherry B. Ortner.1994.

Culture/Power/History: A Reader in Contemporary Social Theory. London:

Routledge.

Page 31: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

Cheah, Pheng. “Cosmopolitanism”, dalam Theory, Culture, and Society, Vol. 23, No. (2-

3), 2006.

Cilliers, Paul, “Complexity, Deconstruction, and Relativism”, dalam Journal Theory,

Culture, and Society, Vol. 22, No. 5, 2005.

Demmers, Joe. “Diaspora and Conflict: Locality, Long-Distance Nationalism, and De-

localization of Conflict Dynamics” dalam Jurnal The Public, Vol. 9 (1), 2002.

Derrida, Jacques.1989. “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human

Science”, dalam Davis Robert Con & Ronald Schleifer. Contemporary Literary

Criticism: Literary and Cultural Studies. New York: Longman.

Dougan, Henry. “Hybridization: Its Promise and Lack of Promise”, dalam CODESRIA

Bulletin, Nos 1 & 2, 2005.

Drichel, Simone. “The time of hybridity”, dalam Philosophy & Social Criticism, Vol. 34,

No. 6, 2008.

Durham, Meenakshi Gigi, “Constructing the “New Ethnicities”: Media, Sexuality, and

Diaspora Identity in the Lives of South Asian Immigrant Girls”, dalam Critical

Studies in Media Communication, Vol. 21, No. 2, June, 2004.

Edwards, Sebastian, “Capital Mobility, Capital Controls, and Globalization in the

Twenty-first Century”, in The ANNALS of the American Academy of Political and

Social Science, January 2002.

Fanon.1995. “National Culture”, dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, dan Helen Tiffin

(eds). The post-colonial studies reader. London: Routledge.

Faruk. 2007. Belenggu Pascakolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Flusty, Steven.2004. “Miscege-Nation”, dalam De-Coca-Colonisation: Making the Globe

from the Inside Out. New York, Routledge.

Foucault, Michel.2002. Arkeologi Pengetahuan. (terj. oleh H.M. Mochtar Zoerni).

Yogyakarta: Qalam.

Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge. Brighton: Harvester.

Foucault, Michel.1992. “Discipline and Punish” dalam Anthony Easthope & Kate

McGowan.1992. A Critical and Cultural Theory Reader. Buckingham: Open

University Press.

Foucault, Michel.1998. The Will to Knowledge, The History of Sexualities Volume 1

(English trans. Robert Hurley). London: Penguin Books.

Gills, Barry K. “Democratizing Globalization and Globalizing Democracy”, dalam

ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, May 2002.

Gimenez, Martha E. “With a little class: A critique of identity politics”, dalam

Ethnicities, Vol. 6 (3), 2006.

Giulianotti, Richard & Roland Robertson, “Forms of Glocalization: Globalization and the

Migration Strategies of Scottish Football Fans in North America”, in Journal

Sociology, Vol. 41, No. 1, 2007.

Gramsci, Antonio.1981. “Class, Culture, and Hegemony”, dalam Tony Bennett, Graham

Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (eds). Culture, Ideology, and Social

Process. Batsford: The Open University Press.

Page 32: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

Hall, Stuart.1990. “Cultural Identity and Diaspora”, dalam Jonathan Rutherford.

Identity: Community, Culture, Difference. London: Lawrence & Wishart.

Hall, Stuart.1997a. “The Work of Representation”, dalam Stuart Hall (ed).

Representation, Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage

Publication in association with The Open University.

Hall, Stuart.1997b. “The problem of ideology, Marxism without guarantees”, dalam

David Morley and Kuan-Hsing Chen (ed). Stuart Hall, Critical Dialogue in

Cultural Studies. London: Routledge.

Holton, Robert, “Globalization‟s Cultural Consequences”, dalam The ANNALS of the

American Academy of Political and Social Science, July 2002.

Hutnyk, John. “Hybridity”, dalam Jurnal Ethnic and Racial Studies, Vol. 28, No. 1,

Januari, 2005.

Kien, Grant, “Culture, State, Globalization: The Articulation of Global Capitalism”,

dalam Cultural Studies <-> Critical Methodologies, Vol. 4, No. 4, 2004.

Kompridis, Nikolas. “Normativizing Hibridity/Neutralizing Culture”, dalam Political

Theory, Vol. 33, No. 3. Juni 2005.

Kozul-Wright, Zeljka. 2001. “From Minor to Major: Opportunities and Challenges for

Developing Countries in the Music Industries”, dalam Roche, François, Boris

Marcq, and Delfin Colome (eds). The Music Industry in the new economy. Lyon:

Institut d‟Etudes politiques de Lyon (DRECI).

Kusno, Abidin.2000. Behind the postcolonial: architecture and political cultures in

Indonesia. New York: Routledge.

Laclau, Ernesto & Chantal Mouffe.1981. “Hegemony and Ideology in Gramsci”, dalam

Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (eds). Culture,

Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.

Leledakis, Kanakis, “Derrida, deconstruction, and social theory”, dalam European

Journal of Social Theory, Vol. 3, No. 2, 2000.

Moore-Gilbert, Bart.1997. Postcolonial Theory: Context, Practices, and Politics. London:

Verso.

Nava, Mica. “Cosmopolitan Modernity: Everyday Imaginaries and the Register of

Difference”, dalam Jurnal Theory, Culture, and Society, Vol. 19, No. 1-2, 2002.

Pieterse, Jan Neverdeen. “Hybridity, So What? The Anti-hybridity Backlash and The

Riddles of Recognition”, dalam Jurnal Theory, Culture, and Society, Vol 18 (2-3),

2001.

Rinderle, Susan, “The Mexican Diaspora: A Critical Examination of Signifiers” dalam

Journal of Communication Inquiry, Vol. 29 (4), October 2005.

Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Pantheon Books.

Said, Edward. 1993. Imperialism and Culture. New York: Vintage.

Saul, Newman, “Derrida‟s deconstruction of authority”, in Journal Philosophy and

Social Criticism, Vol. 27, No. 3, 2001.

Schuerkens, Ulrike, “The Sociological and Anthropological Study of Globalization and

Localization”, dalam Journal Current Sociology, Vol. 5, No. 3/4, 2003.

Page 33: Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif · Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016 Kemampuan subjek kolonial—utamanya si terjajah

Hibriditas budaya dalam lintasan perspektif

IKWAN SETIAWAN, Matatimoer Institute, 2016

Slack, Jennifer Daryl.1997. “The theory and method of articulation in cultural studies”,

dalam David Morley & Kuan-Hsing Chen.1997. Stuart Hall, Critical Dialogue in

Cultural Studies. London: Routledge.

Smith, William. “Cosmopolitan Citizenship: Virtue, Irony and Worldliness”, dalam

European Journal of Social Theory, 10 (1), 2007.

Sinclair, John & Stuart Cunningham. “Go with the Flow Diasporas and the Media”,

dalam Jurnal Television and New Media, Vol. 1 (1), Februari, 2000.

Sparks, Collin, “What‟s wrong with globalization?”, dalam Global Media and

Communication, Vol. 3, No. 2, 2007.

van Dijk, Teun A., “Discourses semantics and ideology”, dalam Jurnal Discourse and

Society, Vol. 6, No. 2, 1995.

Vertovec, Steven. “Three meanings of „diaspora‟, exemplified among South Asian

religions”, dalam Jurnal Diaspora 7 (2), 1999.

Yeoh, Brenda S.A. “Postcolonial cities”, dalam Progress in Human Geography Vol. 25,

No. 3, 2001.