Herpessimpleks ma tap

31
TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi HSV Herpes simpleks adalah infeksi yang disebabkan Herpes simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2, meliputi herpes orolabialis dan herpes genitalis. Penularan virus paling sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau sekret genital/oral dari individu yang terinfeksi (Marquez & Straus, 2008) Di antara kedua tipe herpes simpleks, herpes genitalis merupakan salah satu infeksi menular seksual yang perlu mendapat perhatian karena sifat penyakitnya yang sukar disembuhkan dan sering rekuren, transmisi virus dari pasien asimtomatik, pengaruhnya terhadap kehamilan/janin dalam kandungan dan pasien imunokompromais, dampak psikologis, serta kemungkinan timbulnya resistensi virus (Daili, 2002). 1.Etiologi Herpes simplex virus (HSV) tergolong anggota virus herpes yang primer menimbulkan penyakit pada manusia. Herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1) dan HSV-2 termasuk sub family alphaherpesvirinae dengan ciri-ciri spektrum sel pejamu bervariasi, siklus 1

description

Herpessimpleks ma tap

Transcript of Herpessimpleks ma tap

Page 1: Herpessimpleks ma tap

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi HSV

Herpes simpleks adalah infeksi yang disebabkan Herpes simplex virus (HSV)

tipe 1 dan 2, meliputi herpes orolabialis dan herpes genitalis. Penularan virus

paling sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau sekret

genital/oral dari individu yang terinfeksi (Marquez & Straus, 2008)

Di antara kedua tipe herpes simpleks, herpes genitalis merupakan salah satu

infeksi menular seksual yang perlu mendapat perhatian karena sifat

penyakitnya yang sukar disembuhkan dan sering rekuren, transmisi virus dari

pasien asimtomatik, pengaruhnya terhadap kehamilan/janin dalam kandungan

dan pasien imunokompromais, dampak psikologis, serta kemungkinan

timbulnya resistensi virus (Daili, 2002).

1. Etiologi

Herpes simplex virus (HSV) tergolong anggota virus herpes yang primer

menimbulkan penyakit pada manusia. Herpes simplex virus tipe 1 (HSV-

1) dan HSV-2 termasuk sub family alphaherpesvirinae dengan ciri-ciri

spektrum sel pejamu bervariasi, siklus replikasi yang relatif cepat,

mudahnya infeksi menyebar di biakan sel, menimbulkan kerusakan sel

yang cepat, dan kemampuan menimbulkan infeksi laten khususnya pada

ganglion sensorik (Sjahjurachman, 2002).

2. Patogenesis

Infeksi terjadi melalui inokulasi virus pada permukaan mukosa yang

rentan. Virus akan melekat pada sel epitel kemudian masuk dengan cara

meleburkan diri di dalam membran. Sekali di dalam sel, terjadi replikasi

yang menghasilkan lebih banyak virion yang menyebabkan kematian sel.

Virus juga memasuki ujung saraf sensorik. Virion kemudian ditransportasi

1

Page 2: Herpessimpleks ma tap

ke inti sel neuron di ganglia sensorik (Sarsito, 2002; Makes 2002).

Virion dalam neuron yang terinfeksi akan bereplikasi menghasilkan

progeni atau virus akan memasuki keadaan laten tak bereplikasi. Neuron

yang terinfeksi akan mengirim balik virus progeni ke lokasi kulit tempat

dilepaskannya virion sebelumnya dan menginfeksi sel epitel yang

berdekatan dengan ujung saraf, sehingga terjadi penyebaran virus dan jejas

sel.Infeksi oleh HSV-1 dan HSV-2 akan menginduksi glikoprotein yang

berhubungan pada permukaan sel- sel yang terinfeksi. Setelah terjadi

infeksi, sistem imunitas humoral dan selular akan terangsang oleh

glikoprotein antigenik untuk menghasilkan respon imun. Respon imun

dapat membatasi replikasi virus sehingga infeksi akut dapat membaik.

Respon ini tidak dapat mengeliminasi infeksi laten yang menetap

dalam ganglia seumur hidup pejamu. Latensi semata tidak

menimbulkan penyakit, namun infeksi laten dapat mengalami reaktivasi

sehingga menghasilkan virion yang bila dilepas dari ujung saraf dapat

menginfeksi sel epitel di dekatnya untuk menghasilkan lesi kulit rekurens

atau pelepasan virus asimtomatik (Makes, 2002). Reaktivasi HSV-1

sering terjadi dari ganglion trigeminus, sedangkan HSV-2 dari

ganglion sakralis (Marquez & Straus, 2008)

Faktor pemicu terjadinya reaktivasi dapat berupa demam, kelelahan, sinar

ultra violet, trauma mekanik, bahan kimia, hormon, menstruasi, hubungan

seksual, stres emosional dan keadaan imunokompromised (Marquez &

Straus, 2008; Fatahzadeh & Schwartz, 2007).

Penularan lesi orolabial terjadi melalui droplet dan kontak langsung

dengan lesi atau saliva yang mengandung virus. Penularan lesi genital

dimulai bila sel epitel mukosa saluran genital pejamu yang rentan terpajan

virus yang terdapat dalam lesi atau sekret genital orang yang terinfeksi.

Walaupun herpes orolabialis paling sering disebabkan oleh HSV-1 dan

2

Page 3: Herpessimpleks ma tap

herpes genitalis terutama disebabkan oleh HSV-2, kadang-kadang HSV-2

dapat mengakibatkan lesi-lesi oral, demikian pula HSV-1 dapat

menyebabkan lesi genital. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas seksual secara

orogenital (Sarsito, 2002).

Semua individu seropositif HSV-2 secara intermiten akan mereaktivasi

HSV di saluran genitourin selama hidupnya, baik sebagai infeksi

simtomatik, infeksi simtomatik namun tidak dikenal sebagai herpes, atau

sebagai infeksi subklinis (Makes, 2002).

3. Manifestasi Klinis

a. Herpes Orofasial

Infeksi primer

Infeksi primer dapat bersifat subklinis, tetapi pada beberapa keadaan

menimbulkan manifestasi berat di daerah oral disebut

gingivostomatitis herpetika primer.

Gingivostomatitis herpetika adalah manifestasi infeksi HSV-1

orofasial primer yang tersering, ditandai lesi khas vesikoulseratif oral

dan atau perioral, kebanyakan mengenai anak-anak umur 1-5 tahun

(Marquez & Straus, 2008; Fatahzadeh & Schwartz, 2007). Gejala

prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, nausea, dan muntah-

muntah disertai rasa tidak nyaman di mulut. Satu sampai dua hari

setelah gejala prodromal, timbul lesi-lesi lokal berupa vesikel kecil

(Fatahzadeh & Schwartz, 2007). berkelompok di mukosa mulut,

berdinding tipis dikelilingi oleh peradangan. Vesikel cepat pecah

meninggalkan ulkus dangkal dan bulat yang nyeri di sekitar rongga

mulut. Lesi dapat mengenai seluruh bagian mukosa mulut. Selama

perlangsungan penyakit, vesikel dapat bersatu menjadi lesi yang lebih

besar dengan tepi tidak teratur. Gambaran khas adalah ginggivitis

marginalis akut, generalisata, edema, dan eritema ginggiva, kadang-

3

Page 4: Herpessimpleks ma tap

kadang disertai beberapa ulkus pada gingiva. Pada pemeriksaan,

faring posterior akan tampak kemerahan dengan pembesaran kelenjar

getah bening submandibular dan servikal (Sarsito, 2002).

Gejala ekstra oral berupa vesikel berkelompok pada bibir dan kulit

di sekitar sirkum oral. Setelah beberapa hari lesi akan ditutupi

krusta kekuningan. Stomatitis herpetika akut pada anak-anak yang

sehat bersifat swasirna. Demam biasanya akan hilang dalam 3-4 hari

dan lesi akan sembuh dalam 10 hari, walaupun dalam waktu 1 bulan

masih dapat ditemukan virus dalam saliva (Sarsito, 2002).

Infeksi rekuren

Herpes simpleks labialis (cold sore/fever blisters) adalah bentuk

herpes orofasial rekuren yang paling sering terjadi, berupa vesikel-

vesikel pada batas luar vermilion dan kulit sekitarnya. Gejala dimulai

dengan rasa perih diikuti oleh timbulnya vesikel berkelompok dalam

24 jam, pecah, terjadi erosi superfisial, kemudian akan ditutupi

krusta. Nyeri dan rasa tidak nyaman terjadi pada beberapa hari

pertama; lesi sembuh dalam waktu kurang dari 2 minggu tanpa

jaringan parut. Pelepasan virus terus berlansung 3–5 hari setelah lesi

sembuh. Herpes labialis rekuren terjadi pada 50-75% individu-individu

yang terkena infeksi HSV di mulut, terjadi tiga kali lebih sering pada

pasien dengan demam dibandingkan pasien tanpa demam (Fatahzadeh

& Schwartz, 2007).

Herpes intra oral rekuren merupakan bentuk rekuren berupa lesi pada

intra oral khususnya daerah mukosa yang berkeratin. Predileksi pada

palatum durum regio premolar dan molar, dapat juga timbul pada

bagian fasial dan bukal gingiva. Vesikel mudah pecah, terletak

unilateral, tidak melewati garis tengah (Fatahzadeh & Schwartz, 2007).

4

Page 5: Herpessimpleks ma tap

Gambar 3 : Herpes Orofasial

b. Herpes Genitalis

Herpes genitalis primer episode pertama

Episode pertama akan tampak secara klinis dalam waktu 2-21

hari setelah inokulasi. Bila seseorang belum pernah terpajan HSV

sebelumnya (seronegatif) maka akan disebut sebagai infeksi primer.

Episode pertama seringkali disertai gejala-gejala sistemik, lesi dan

pelepasan virus yang berlangsung lama, mengenai banyak tempat di

genital maupun di luar genital. Pasien dengan infeksi primer (infeksi

pertama kali dengan HSV-2 maupun HSV-1) umumnya mengalami

penyakit yang lebih parah dibandingkan pasien yang telah mengalami

infeksi HSV-1 sebelumnya (Makes, 2002).

Infeksi primer HSV-2 dan HSV-1 genital ditandai dengan gejala

sitemik dan lokal yang lama. Gejala sistemik muncul dini berupa

demam, nyeri kepala, malaise, dan mialgia. Gejala lokal utama berupa

5

Page 6: Herpessimpleks ma tap

nyeri, gatal, rasa terbakar, disuria, duh tubuh, vagina atau uretra serta

pembesaran dan rasa nyeri pada kelenjar getah bening inguinal. Lesi

kulit berbentuk vesikel berkelompok dengan dasar eritem di labia

minora, introitus, meatus uretra, serviks pada wanita; batang dan

glans penis pada pria atau perineum, paha, dan bokong pada pria dan

wanita (Fatahzadeh & Schwartz, 2007).

Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel. Masa

pelepasan virus berlangsung kurang lebih 12 hari. Tanpa infeksi

sekunder, penyembuhan terjadi secara bertahap dalam waktu kurang

lebih 18 sampai 20 hari, tetapi bila ada infeksi sekunder penyembuhan

memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan parut

(Leone, 2007).

Herpes genitalis non-primer episode pertama

Sebagian besar populasi pernah terpajan oleh HSV-1 maupun HSV-2

sebelumnya. Individu demikian telah seropositif pada saat episode

pertama, sehingga disebut non-primer. Diagnosis klinis episode

pertama non-primer sukar dibedakan dengan episode rekuren. Secara

umum, episode pertama non- primer menyerupai rekurensi yaitu

lebih ringan daripada infeksi primer, dengan masa tunas yang lebih

panjang (Makes, 2002).

6

Page 7: Herpessimpleks ma tap

Gambar 54 : Herpes Genital

Herpes genitalis rekuren

Tingkat rekurensi bervariasi diantara individu. Rekurensi cenderung

lebih sering terjadi pada bulan pertama atau tahun pertama setelah

infeksi awal. Lesi rekuren biasanya terbatas pada satu sisi dan

gejala klinis yang ringan. Lamanya pelepasan virus berlangsung

kurang dari 5 hari, penyembuhan juga lebih cepat (Fatahzadeh &

Schwartz, 2007).

Herpes genitalis atipikal

Manifestasi herpes genital atipikal sering dijumpai, berupa fisura,

furunkel, ekskoriasi, dan eritema vulva nonspesifik disetai rasa

nyeri dan gatal pada wanita. Pada pasien pria berupa fisura linier

pada preputium, dan bercak merah pada glans penis. Lesi ekstragenital

umumnya mengenai bokong, sela paha, dan paha (Makes, 2002).

Reaktivasi subklinis/asimtomatik HSV

Pelepasan virus (viral shedding) subklinis menjadi masalah serius

pada herpes genitalis karena berpotensi tinggi dalam transmisi virus.

Lokasi viral shedding pada keadaan asimtomatik umumnya di kulit

penis, uretra, perianal pada pria dan di vulva, uretra, serviks, serta

perineum pada wanita (Fatahzadeh & Schwartz, 2007).

4. Diagnosis

Diagnosis klinis

Tipe awitan, gejala konstitusional yang klasik, distribusi dan gambaran

lesi yang khas berupa ulserasi oral superfisial, bentuk bulat, multipel,

bersifat akut dan adanya gingivitis marginal generalisata pada pemeriksaan

fisis, ditunjang oleh tidak adanya riwayat episode herpes sebelumnya, serta

adanya riwayat terpajan HSV-1 membantu menegakkan diagnosis

gingivostomatitis herpetika primer. Herpes orofasial tipe ini perlu

7

Page 8: Herpessimpleks ma tap

dibedakan dengan hand-foot-mouth disease, herpangina, eritema

multiformis, pemfigus vulgaris, acute necrotizing ulcerative gingivitis

(Fatahzadeh & Schwartz, 2007).

Herpes intraoral didiagnosis banding dengan stomatitis aftosa rekuren

dan herpes zoster intraoral. Infeksi HSV genital perlu didiagnosis banding

dengan penyebab ulkus genital lain baik berupa infeksi maupun bukan

infeksi. Bila terdapat kelompokan vesikel multipel atau bila terdapat

riwayat lesi sebelumnya yang berukuran sama, lama timbulnya dan

sifatnya sama maka kemungkinan besar penyebabnya adalah HSV.

Diagnosis banding HSV genital adalah ulkus pada sifilis, chancroid,

limfogranuloma venerum, donovanosis, non infeksi penyakit Crohn,

ulserasi mukosa yang dihubungkan dengan sindrom Behcet (Makes, 2002;

Leone, 2007)

Diagnosis laboratorium

1. Tes Tzank diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright,

terlihat sel raksasa berinti banyak. Pemeriksaan ini tidak sensitif

dan tidak spesifisik.

2. Kultur virus. Sensitivitasnya rendah dan menurun dengan cepat

saat lesi menyembuh.

3. Deteksi DNA HSV dengan Polymerase chain reaction (PCR),

lebih sensitif dibandingkan kultur virus.

4. Tes serologik IgM dan IgG tipe spesifik. IgM baru dapat dideteksi

setelah 4–7 hari infeksi, mencapai puncak setelah 2–4 minggu, dan

menetap selama 2–3 bulan, bahkan sampai 9 bulan. Sedangkan,

IgG baru dapat dideteksi setelah 2–3 minggu infeksi, mencapai

puncak setelah 4–6 minggu, dan menetap lama, bahkan dapat

seumur hidup (CDC, 2006).

Antibodi IgM dan IgG hanya memberi gambaran keadaan infeksi akut

8

Page 9: Herpessimpleks ma tap

atau kronik dari penyakit herpes genitalis. Tidak ditemukannya antibodi

HSV pada sampel serum akut dan ditemukannya IgM spesifik HSV

atau peningkatan 4 kali antibodi IgG selama fase penyembuhan

menunjukkan diagnosis HSV primer. Ditemukannya IgG antiHSV

pada serum akut, IgM spesifik HSV dan peningkatan IgG anti-HSV

selama fase penyembuhan merupakan diagnostik infeksi HSV rekuren

(CDC, 2006)

B. Infeksi HSV Pada Kehamilan

Herpes simplex virus (HSV) adalah virus DNA doublestranded, memiliki

envelope dan termasuk dalam famili herpesviridae. HSV ditransmisikan

melintasi membran mukosa dan kulit nonintact yang dapat bermigrasi ke

jaringan saraf di mana pada saat ini virus dapat bertahan dalam keadaan laten

(Gupta et all., 2007).

HSV-1 dominan pada lesi orofacial, dan biasanya ditemukan di ganglia

trigeminal, sedangkan HSV-2 yang paling sering ditemukan dalam ganglia

lumbosakral (Gupta et all., 2007). Namun demikian virus ini dapat

menginfeksi kedua daerah orofacial dan saluran kelamin. Di beberapa negara

maju HSV tipe 1, baru-baru ini muncul sebagai agen penyebab lesi pada

genital. Perubahan perilaku seksual orang dewasa dapat menjalaskan insiden

yang lebih tinggi (Bailey et all., 2007; Robertz et all, 2003).

Infeksi primer pertama terjadi ketika seseorang yang rentan (tidak adanya

antibodi HSV-1 dan HSV-2) terkena HSV. Episode non primer pertama

terjadi ketika seseorang dengan antibodi HSV tipe 1 atau 2 yang sudah ada

sebelumnya terkena infeksi dari tipe yang berlawanan. Infeksi berulang terjadi

pada orang dengan antibodi terhadap HSV mengalami infeksi dengan tipe

HSV yang sama. Infeksi selama kehamilan dapat ditularkan kepada bayi yang

baru lahir: HSV-1 dan HSV-2 dapat menyebabkan mata atau lesi kulit,

meningoencephalitis, infeksi disebarluaskan, atau malformasi janin (Gupta et

all., 2007).

9

Page 10: Herpessimpleks ma tap

1. Diagnosis

Infeksi herpes genital primer memiliki masa inkubasi 2-20 hari bahkan

dapat sampai 21 hari. Diantara wania herpes akan menyebabkan timbulnya

bintik-bintik dan ulserasi pada organ genitalia eksterna dan serviks. Gejala

yang biasa dialami adalah nyeri pada vulva, dysuria, adanya discharge

pada vagina dan lymphadenopathy (Cusini & Ghislanzoni, 2001).

Lesi vesikular dan ulseratif pada lipat paha, pantat, perineum atau kulit

perianal juga dapat diamati. Infeksi primer pada baik wanita maupun pria

dapat disertai dengan gejala sistemik seperti demam , sakit kepala , mialgia

( 38 % pada pria , 68 % pada wanita), meningitis dan neuropati otonom

yang dapat menyebabkan retensi urin terutama pada wanita (Suligoi et all.,

2000; Cherpes et all, 2003)

Semua penderita yang dicurigai mengalami infeksi herpes virus harus

ikonfirmasi melalui pengujian serologis atau viral. Diagnosis herpes genital

berdasarkan manifestasi klinis saja memiliki sensitivitas 40 % dan

spesifisitas 99 % dan tingkat positif palsu sebesar 20 % (Sauerbrei &

Wutzler, 2007).

Tes yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya infeksi HSV

dapat dibagi menjadi dua kelompok dasar : ( 1 ) teknik deteksi virus dan ( 2

) teknik deteksi antibodi. Teknik deeksi virus dapat dilakukan dengan

kultur virus dan deteksi HSV antigen oleh polymerase chain reaction

( PCR ). Teknik deteksi antibodi didasarkan pada dasar laboraorium dan

test serologis untuk mendeteksi keberadaan antibodi baik HSV - 1 atau

HSV – 2. Dengan deteksi virus dapat mengurangi hasil ngatif dalam

mengidentifikasi keberadaan infeksi herpes (CDC, 2006).

10

Page 11: Herpessimpleks ma tap

Pada kunjungan prenatal pertama harus ditanyakan tentang riwayat

pasangannya. Pada kasus dimana partner laki-laki memiliki riwayat yang

positif herpes. Harus dianjurkan tifak melakukan hubungan oral dan

seksual untuk menghindari infeksi (terutama selama trimester ketiga

kehamilan). Selain itu, penggunaan kondom selama kehamilan harus

direkomendasikan untuk meminimalkan risiko transmisi virus meskipun

pasangan laki-laki tidak memiliki lesi aktif (Buchner et all., 2004).

2. Efek Infeksi HSV pada Kehamilan

Hal ini diperlukan untuk membedakan antara infeksi kongenital dan

infeksi neonatal dengan HSV. Bahkan, infeksi HSV dari bayi baru lahir

dapat diperoleh selama kehamilan, intrapartum dan postnatal. Ibu adalah

sumber infeksi yang paling utama terutama untuk dua rute pertama

penularan virus. Infeksi kongenital sangat jarang karena akuisisi virus di

dalam rahim. Infeksi neonatal HSV terjadi jika lesi timbul lebih dari 48 jam

setelah kelahiran (Money & Steben, 2009; Whitley & Gnan, 2002).

Transmisi infeksi HSV intrauterine merupakan 5% dari kasus HSV infeksi

pada neonatus. Risiko tertinggi infeksi intrauterin telah diamati pada ibu

hamil dan 90% dari mereka adalah terkait dengan infeksi HSV-2. Baik

infeksi primer maupun infeksi rekuren dapat menyebabkan penyakit

bawaan. Penularan virus intrauterin tertinggi selama kehamilan 20 minggu

pertama yang dapat menyebabkan abortus, lahir mati, dan kelainan

kongenital. Angka kematian perinatal adalah 50% (Money & Steben,

2009).

Pada 85-90% dari infeksi HSV neonatal, HSV diperoleh pada saat

persalinan dan 5-10% disebabkan oleh infeksi virus postnatal. Berdasarkan

virusnya, sebesar 70-85% dari infeksi HSV neonatal disebabkan oleh HSV-

2, sedangkan sisanya disebabkan oleh HSV-1. Infeksi HSV-2 membawa

prognosis yang lebih buruk jika dibandingkan infeksi oleh HSV-1 (Avgil &

Onoy, 2006).

11

Page 12: Herpessimpleks ma tap

Transmisi penyakit pada bayi baru lahir tergantung pada jenis infeksi

genital ibu pada saat persalinan. Bahkan, herpes neonatal jauh lebih sering

(50%) terjadi pada bayi dari ibu dengan infeksi HSV primer dengan ibu

dari infeksi HSV rekuren (<3%). (ACOG, 2007).

Gambar 5: Congenital Herpes

Ketuban pecah dini merupakan faktor risiko untuk infeksi HSV pada

neonatal. Infeksi kongenital intrauterin ditandai dengan vesikel kulit atau

jaringan parut, adanya lesi pada mata (korioretinitis, microphthalmia dan

katarak), kerusakan neurologis (kalsifikasi intrakranial, mikrosefali,

kejang, dan encephalomalacia), pertumbuhan terhambat, dan

Terhambatnya pengembangan psikomotor. Bayi yang terinfeksi HSV

secara intrapartum atau postnatal dapat dibagi menjadi tiga kategori utama:

1. penyakit HSV lokal pada kulit, mata, dan atau mulut (SEM);

Sindrom ini dikaitkan dengan angka kematian yang rendah tetapi

memiliki morbiditas yang tinggi, dan hal ini dapat berkembang

menjadi ensefalitis atau penyakit yang meluas jika tidak diobati;

2. Ensefalitis HSV dengan atau tanpa kulit, mata, dan atau keterlibatan

mulut yang menyebabkan morbiditas neurologis diantara penderita;

3. HSV yang menyebar yang dapat bermanifestasi pada kerusakan

12

Page 13: Herpessimpleks ma tap

multiorgan (termasuk sistem saraf pusat, hati, paru-paru, otak,

adrenal, kulit, mata, dan / atau mulut) dan memiliki risiko kematian

yang melebihi 80% jika tidak diobati (Anzivino et all., 2009).

Pada diagnosis, gejala yang dapat ditemukan antara lain: timbulnya vesikel

pada kulit (68%), demam (39%), letargi (38%), kejang (27%),

konjungtivitis (19%), pneumonia (13%), dan DIC (11%). Gejala mungkin

hadir pada saat lahir, tetapi pada 60% pasien terjadi 5 hari setelah lahir dan

kadang-kadang hadir setelah 4-6 minggu kehidupan (Berardi et all., 2011).

Infeksi lokal telah ditemukan pada 50% dari neonatus yang terkena infeksi

HSV dimana terdapat keterlibatan sistem saraf pusat (CNS) pada 33%, dan

infeksi yang meluas yang ditemukan pada 17% dari kasus [19, 23].

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa infeksi HSV yang meluas

ditandai oleh infeksi pada hepar dan gangguan adrenal dengan gejala shock

dan DIC. Gejala HSV yang menyebar lainnya lain termasuk kejang,

gangguan pernapasan, ikterus, dan exanthem vesikuler. Namun, lebih dari

20% bayi dengan infeksi HSV yang menyebar tidak menunjukkan

timbulnya vesikel pada kulit selama perjalanan penyakitnya. Ensefalitis

tampaknya merupakan gejala umum dari bentuk infeksi ini, dimana gejala

ini terjadi pada 60-75% bayi dengan infeksi HSV yang meluas (Anzivino et

all., 2009).

Angka kematian dalam kasus ketiadaan terapi melebihi 80% [29].

Prognosis bayi dengan penyakit HSV yang meluas atau dengan manifestasi

kelainan neurologis adalah buruk. Angka kematian dimana terdapat

keterlibatan neurologis adalah sekitar 5% dengan 50% anak-anak

mengalami gejala neurologis sekuele. Sementara angka kematian dalam

kasus dengan keterlibatan multiorgan adalah 30% dengan gejala sisa

sebesar 20% (Whitley, 2004).

13

Page 14: Herpessimpleks ma tap

Gambar 6 : Presentation of Congenital HSV

3. Management Infeksi Primer HSV Pada Kehamilan

Pada tahun 2008, Canada Society of Obstetricians dan Gynaecologists

menerbitkan pedoman tentang pengelolaan HSV dalam kehamilan [33].

Risiko infeksi pada bayi tampaknya lebih tinggi ketika infeksi pertama

terjadi selama trimester ketiga kehamilan. Dalam hal ini mungkin tidak ada

waktu yang cukup untuk pengembangan IgG maternal sehingga risiko

infeksi neonatal adalah 30 sampai 50% (Gardella & Brown, 2011).

Jika infeksi terjadi pada trimester pertama kehamilan, hal ini tampaknya

terkait dengan peningkatan aborsi spontan dan kasus IUGR. Hanya sedikit

kasus dimana terjadi transmisi virus secara transplasenta yang dapat

menyebabkan infeksi kongenital yang parah dan dapat terjadi mikrosefali,

hepatosplenomegali, IUFD dan IUGR. Penggunaan antivirus juga diizinkan

dalam trimester pertama kehamilan jika infeksi ibu yang sangat serius.

Pada saat ini ada sudah terdapat banyak data yang cukup untuk

menjelaskan keamanan penggunaan acyclovir selama kehamilan (Gardella

14

Page 15: Herpessimpleks ma tap

& Brown, 2011).

Ketika infeksi primer diperoleh selama trimester pertama hingga kedua

kehamilan, disarankan untuk melakukan kultur virus serial pada lendir

vagina mulai dari kehamilan 32 minggu. kultur virus dengan teknik tes

amplifikasi asam nukleat (NAATs) dianggap sebagai tes pilihan pada ibu

dengan manifestasi klinis infeksi HSV. Seperti di Eropa Barat dan Amerika

Serikat, tidak terdapat data komprehensif yang divalidasi dan Disetujui

tentang penggunaan uji NAATs. Namun, test NAATs untuk deteksi HSV

telah dikembangkan dan tersedia di Eropa Timur, tetapi belum divalidasi

dan diakui secara internasional (Ciavattini et all, 2007).

Namun, jika dari hasil dua kultur negative dan tidak terdapat lesi aktif

herpes genital herpes aktif, maka dapat dilakukan persalinan pervaginam.

Jika serokonversi terjadi mendekati persalinan, opearasi sectio caesar tidak

diperlukan karena risiko penularan HSV ke janin rendah, dan neonatus

telah dilindungi oleh kekebaalan maternal (Rudnick & Hoekzema, 2002).

Jika infeksi primer genital primer diperoleh selama trimester ketiga

kehamilan. Kebanyakan pedoman mengusulkan operasi caesar untuk

terminasi kehamilan karena pada saat ini belum terjadi serokonversi

sehingga dapat menginfeksi neonatus. Ketika dilakukan persalinan

pervaginam pada kasus seperti ini resiko transmisi vertikal tinggi (41%).

Terapi asiklovir IV dibutuhkan untuk ibu dan neonatus pada kasus seperti

ini (Rudnick & Hoekzema, 2002).

4. Management Infeksi Rekuren HSV Pada Kehamilan

Infeksi rekurent HSV terjadi pada seorang wanita hamil dengan lesi HSV

yang lampau dengan IgG yang telah beredar di sirkulasi yang kemudian

mampu melewati plasenta dan mencapai janin. Pada kasus ini sangat jarang

fetus yang mendapatkan infeksi HSV. Jika terdapat lesi pada genital ibu

pada saat melahirkan, resiko infeksi bagi bayi akan 2-5% (Anzivino et all,

15

Page 16: Herpessimpleks ma tap

2009).

Penelitian acak menunjukkan penggunaan obat antivirus dari minggu ke-36

kehamilan dapat mengurangi risiko penyebaran virus dalam keadaan lesi

kulit yang tidak terlihat dan penurunan risiko reaktivasi virus. Penggunaan

obat antivirus diperbolehkan sebelum minggu ke-36 dalam kasus infeksi

yang berat pada ibu, atau jika terdapat peningkatan risiko kelahiran

prematur (Berardi et all, 2011).

Terapi meliputi penggunaan tablet acyclovir 400 mg 3 kali sehari atau

tablet asiklovir 200 mg 4 kali sehari dari minggu 36 sampai melahirkan,

dan kultur virus pada sekret vagina dari minggu ke 36 kehamilan

dibutuhkan. Penelitian terbaru juga menyarankan penggunaan valacyclovir

dengan dosis 200 mg 2 kali sehari (Berardi et all, 2011).

Pada keadaan dimana tidak terdapat lesi klinis herpes tetapi hasil kultur

positif, sectio caesarea dibutuhkan untuk terminasi kehamilan. Pada

keadaan semua kultur vurus negatif dan tidak adanya lesi klinis, persalinan

pervaginam diindikasikan. Akhirnya, pada keadaan timbulnya lesi klinik

HSV genital pada saat onset persalinan, jika paru-paru janin telah matang

disarankan sectio caesarea harus segera dilakukan setelah 4-6 jam setelah

pecah ketuban (Gardella & Brown, 2011).

Tabel 1: Rekomendasi Dosis Obat Antiviral Untuk Terapi Herpes Dalam

Kehamilan (CDC, 2006).

16

Page 17: Herpessimpleks ma tap

BAB III

KESIMPULAN

Herpes simpleks adalah infeksi yang disebabkan Herpes simplex virus (HSV) tipe

1 dan 2, meliputi herpes orolabialis dan herpes genitalis. Penularan virus paling

sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau sekret genital/oral dari

individu yang terinfeksi, Di antara kedua tipe herpes simpleks, herpes genitalis

merupakan salah satu infeksi menular seksual yang perlu mendapat perhatian

karena sifat penyakitnya yang sukar disembuhkan dan sering rekuren, transmisi

17

Page 18: Herpessimpleks ma tap

virus dari pasien asimtomatik, pengaruhnya terhadap kehamilan/janin dalam

kandungan dan pasien imunokompromais, dampak psikologis, serta kemungkinan

timbulnya resistensi virus.

Saat ini, prevalensi infeksi HSV diantara infeksi STD juga meningkat dari 17-

40%. Diantara prevalensi tersebut prevalensi HSV lebih banyak terjadi pada

wanita hamil yaitu sebesar 14% jika dibandingkan dengan populasi umum yang

hanya sebesar 6%. Infeksi herpes pada kehamilan akan menyebabkan efeknya

sesuai dengan waktu penularan virus baik itu pada trimester pertama, kedua dan

ketiga. Pengobatan pada kasus infeksi herpes pada kehamilan juga dibagi

berdasaran infeksi primer HSV dan infeksi rekurren HSV.

DAFTAR PUSTAKA

ACOG Practice Bulletin, “Clinical management guidelines for obstetrician-gynecologists. No. 82 June 2007. Management of herpes in pregnancy,” Obstetrics and Gynecology, vol. 109, no.6, pp. 1489–1498, 2007.

Anzivino, D. Fioriti, M. Mischitelli et al., “Herpes simplex virus infection in pregnancy and in neonate: status of art of epidemiology, diagnosis, therapy and prevention,” Virology

B. Suligoi, M. Cusan, P. Santopadre et al., “HSV-2 specific seroprevalence among various populations in Rome, Italy. The Italian herpes management forum,” Sexually Transmitted Infections, vol. 76, no. 3, pp. 213–214, 2000.

Berardi, L. Lugli, C. Rossi et al., “Neonatal herpes simplex virus,” Journal of Maternal-Fetal and Neonatal Medicine, vol. 24, supplement 1, pp. 88–90, 2011.

18

Page 19: Herpessimpleks ma tap

C. Gardella and Z. Brown, “Prevention of neonatal herpes,” Journal of Obstetrics and Gynaecology, vol. 118, no. 2, pp. 187–192, 2011.

CDC. Sexually transmitted diseases. Treatment guidelines 2006. MMWR 2006; 16-20 (RR-11)

Centers for Disease Control and Prevention, “Sexually transmitted diseases treatment guidelines,”Morbidity andMortality Weekly Report, vol. 55, no. RR-11, pp. 1–94, 2006, Published erratum appears in Morbidity and Mortality Weekly Report, vol. 55, pp. 997, 2006.

Ciavattini, M. Vichi, A. Rinci, and D. Tsiroglou, “Infezioni virali in gravidanza: gestione e raccomandazioni,” La Colposcopia in Italia, vol. 2, pp. 11–16, 2007.

Daili SF. Herpes genitalis pada imunokompromais. Dalam:Daili SF, Makes WI Editor. Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 89-99.

Diseases, vol. 37, no. 3, pp. 319–325, 2003.Fatahzadeh M, Schwartz RA. Human herpes simplex virus infections: epidemiology,

pathogenesis, symptomatology, diagnosis, and management. J Am Acad Dermatol 2007; 57: 737-63.

G. Paz-Bailey, M. Ramaswamy, S. J.Hawkes, and A. M. Geretti, “Herpes simplex virus type 2: epidemiology and management options in developing countries,” Sexually Transmitted Infections, vol. 83, no. 1, pp. 16–22, 2007.

H. Weiss, “Epidemiology of herpes simplex virus Type 2 infection in the developing world,” Herpes, vol. 11, supplement 1, pp. 24A–35A, 2004.

J. S. Smith and N. J. Robinson, “Age-specific prevalence of infection with herpes simplex virus types 2 and 1: a global review,” Journal of Infectious Diseases, vol. 186, supplement 1, Journal, vol. 6, no. 6, article 40, 2009.

Leone P. Genital herpes. Dalam: Klausner JD, Hook EW. Current diagnosis and treatment. Sexually transmitted diseases. New York: McGraw Hill International Edition, 2007; 84-91.

M. Avgil and A. Ornoy, “Herpes simplex virus and Epstein- Barr virus infections in pregnancy: consequences of neonatalor intrauterine infection,” Reproductive Toxicology, vol. 21, no. 4, pp. 436–445, 2006.

M. Cusini and M. Ghislanzoni, “The importance of diagnosing genital herpes,” Journal of Antimicrobial Chemotherapy, vol. 47, no. 1, pp. 9–16, 2001.

M. Cusini, M. Cusan, C. Parolin et al., “Seroprevalence of herpes simplex virus type 2 infection among attendees of asexually transmitted disease clinic in Italy,” Sexually Transmitted Diseases, vol. 27, no. 5, pp. 292–295, 2000

M. Roberts, J. R. Pfister, and S. J. Spear, “Increasing proportion of herpes simplex virus type 1 as a cause of genital herpes infection in college students,” Sexually Transmitted Diseases, vol. 30, no. 10, pp. 797–800, 2003.

M. Rudnick and G. S. Hoekzema, “Neonatal herpes simplex virus infections,” American Family Physician, vol. 65, no. 6, pp. 1138–1142, 2002.

Makes WI. Herpes genitalis pada pasien imunokompeten. Dalam:Daili SF, Makes WI Editor. Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 74-88.

Marques AR, Straus SE. Herpes simplex. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Editor. Fitzpatrick’s Dermatology in general

medicine. 7th ed. New York: Mc-Graw Hill Companies, 2008; 1873-85.

19

Page 20: Herpessimpleks ma tap

Money and M. Steben, “Guidelines for the management ofherpes simplex virus in pregnancy,” International Journal of Gynecology & Obstetrics, vol. 104, no. 2, pp. 167–171, 2009. of Infectious Diseases, vol. 186, no. 10, pp. 1381–1389, 2002.

Pertel PE, Spear PG. Biology of Herpesviruses. Dalam : Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN, Core L. eds. Sexually transmitted diseases, edisi ke-4. New York:Mc Graw Hill. 2007. Hal. 381 – 97 pp. S3–S28, 2002.

R. Gupta, T. Warren, and A. Wald, “Genital herpes,” The Lancet, vol. 370, no. 9605, pp. 2127–2137, 2007.

R.Whitley, “Neonatal herpes simplex virus infection,” Current Opinion in Infectious Diseases,vol. 17, no. 3, pp. 243–246, 2004.

S. B¨uchner, P. Erni, J. Garweg et al., “Swiss recommendations for the management of genital herpes and herpes simplex virus infection of the neonate,” Swiss Medical Weekly, vol. 134, no. 15-16, pp. 205–214, 2004.

S. L. Gottlieb, J. M. Douglas Jr., D. S. Schmid et al., “Seroprevalence and correlates of herpes simplex virus type 2 infection in five sexually transmitted-disease clinics,” Journal

Sarsito AS. Stomatitis herpetika. Dalam:Daili SF, Makes WI. Editor. Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 65-73.

Sauerbrei and P. Wutzler, “Herpes simplex and varicellazoster virus infections during pregnancy: current concepts of prevention, diagnosis and therapy. Part 1: herpes simplex virus infections,” Medical Microbiology and Immunology, vol. 196, no. 2, pp. 89–94, 2007.

Sjahjurachman A. Biologi virus herpes. Dalam:Daili SF, Makes WI Editor. Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 3-21.

T. L. Cherpes, L. A. Meyn, M. A. Krohn, J. G. Lurie, and S. L. Hillier, “Association between acquisition of herpes simplex virus type 2 in women and bacterial vaginosis,” Clinical Infectious

20