Manajemen Keselamatan Pasien Hepatitis C di Unit Hemodialisis
Hepatitis C
-
Upload
stevent-rest -
Category
Documents
-
view
38 -
download
4
Transcript of Hepatitis C
VIROLOGI dan ETIOLOGI
Hepatitis C(dahulu disebut hepatitis non-A, non-B) ■ serologik yang serotif untuk
mengenal hepatitis B dan A telah meng- arahkan pada pengenalan kasus hepatitis
dengan masa inkubasi dan cara transmisi yang sesuai dengan penyakit infeksi
namun tanpa bukti serologik infeksi hepatitis A atau B. Dikenal pertama kali di
antara resipien yang mendapat transfusi darah, kasus ini yang disebut hepatitis
non-A, non-B tidak dihubungkan secara serologis dengan virus Epstein-Barr atau
sitomegalovirus (kecuali pada kasus yang jarang) atau dengan virus lain yang
diketahui menginfeksi hati.
Hampir 15 tahun penyelidikan dilakukan untuk mengenal agen hepatitis virus non-A,
non-B yang berakhir pada tahun 1988 dengan ditemukannya suatu virus RNA
dengan spesifisitas imunologik untuk hepatitis B non-A, non-B yang berkaitan
dengan transfusi. Di antara fragmen DNA komplementer yang diklon dalam
Escherichia coli dari pellet plasma seekor simpanse dengan infektivitas yang tinggi,
saw klon, model 5-1 -1, memperlihatkan protein yang bereaksi dengan antibodi
dalam serum konvalesen tetapi bukan serum prasakit dari simpanse yang dengan
sengaja (eksperimental) diinfeksi dengan hepatitis non-A, non-B. Klon virus ini
ditanamkan pada hati simpanse yang terinfeksi namun terkontrol. Produk protein
dari klon spesifik virus ini diperlihatkan dalam ragi, dan protein ini, model CI00-3,
digunakan sebagai suatu antigen pada imunoesai pertama untuk mendeteksi
antibodi dalam serum. Pengesahan hubungan antara agen ini dengan hepatitis non-
A, non-B sangat meyakinkan dari kemampu- an imunoesai antibodi untuk
membedakan (pada tempat sampel serum bersandi) antara asal usul kasus
hepatitis non-A, non-B dan tanpa asal usul, sampel yang tidak infeksius serta
dengan kontrol penyakit lain. Analisis klon tumpang tindih memungkinkan identifi-
kasi keseluruhan genom, dan agen tersebut telah dinamakan virus hepatitis C
(HCV). HCV adalah suatu virus RNA linear, untai tunggal, bermuatan positif,
memiliki 9400 nukleotida dengan satu kerangka baca yang terbuka (gen) yang
menyandikan suatu poli- protein virus dengan kira-kira 300° asam amino. Telah
dikenal lima jenis genotipe yang berbeda melalui pemetaan nukleotida, meskipun
tampaknya semua sama secara antigenik. Ujung 5' dari genom itu terdiri dari suatu
daerah yang tidak ditranslasi, yang berdekatan dengan gena untuk protein
struktural, inti nukleokapsid dan mantel virus. Ujung 5* yang tidak ditranslasi
bersama dengan gena inti konservasi di antara genotip, namun protein mantel
disandikan oleh daerah yang sangat bervariasi, yang bervariasi dari isolasi ke
isolasi dan bahkan dalam agen yang sama dari pasien yang sama. Hal ini
memungkinkan virus terelakkan dari mekanisme imunologis pejamu langsung pada
protein mantel-virus. Ujung 3' dari genom itu mengandung gena untuk protein
nonstruktural (NS) 1 sampai 5. Klon asal, 5-1 -1, dan urutan nukleotida yang
menyandikan CI00-3 terletak dalam gena NS4, dan polimerase RNA-dependent
RNA yang melalui tempat itu replikasi HCV disandikan oleh daerah NS5 (Gbr 266-
5). Genom HCV tidak memiliki persamaan dengan HBV, retrovirus, atau virus
hepatitis lain, dan karena tidak bereplikasi melalui DNA dari struktur gennya
memberi kesan bahwa HCV adalah famili jauh dari flavivirus, pestivirus hewan, dan
potivirus tanaman. Seperti flavivirus dan pestivirus lainnya, HCV mungkin termasuk
daJam famili flaviviridae namun akan terdiri dari genus barn. HCV cenderung
berada dalam darah pada titier yang sangat rendah (100 sampai 1000 virion per
mililiter); oleh karena itu, tidak ada partikel virus yang terlihat. Meskipun secara in
vitro replikasi HCV sulit terselesaikan dengan meyakinkan, simpanse telah terbukti
sebagai model hewan yang sangat bernilai. Belum ditemukan antibodi penetralis.
Seperti yang dijelaskan di atas, esai pertama memperkenalkan antibodi yang
terdeteksi pada CI 00-3, suatu polipeptida rekombinan yang berasal dari daerah NS4
pada genom tersebut. Pada hampir semua pasien yang menderita hepatitis C akibat
transfusi, antibodi yang terdeteksi dengan esai ini timbul dalam waktu 1 hingga 3
bulan setelah timbulnya hepatitis akut tetapi kadang-kadang bisa dalam satu tahun
atau lebih lama lagi. Esai generasi kedua menggabungkair protein rekombinan dari
daerah inti nukleokapsid, C22-3, dan daerah NS3, C33c (dinyatakan dalam
kombinasi dengan CI00-3 sebagai C200); esai ini lebih sensitif (dengan kira-kira 20
persen) dan mendeteksi anti-HCV 30-90 hari lebih cepat, selama periode hepatitis
akut. Karena tes sampel klinis telah diketahui tidak mempunyai spesifisitas,
diperkenalkan suatu £sai imunoblot rekombinan tambahan (RIBA). Reaktivitas pada
suatu imunoesai "dipastikan" oleh inkubasi dengan strip nitroselulosa yang
mengandung pita individual untuk protein dari imunoesai generasi pertama produk
dari klon bakteri rekombinan 5-1-1 dan rekombinan polipeptida ragi CI00-3,
keduanya protein nonstruktural) dan generasi kedua (polipeptida C33c nonstruktural
dan polipeptida inti C22-3) demikian pula dengan suatu pita dismutase superoksida
(SOD, gabungan protein dengan protein HCV rekombinan yang dinyatakan dalam
ragi dan pada beberapa reaktivitas positif palsu yang diarahkan). Pendekatan ini
memungkinkan penampakan antibodi individual untuk protein virus nonstruktural dan
struktural dan mengenal reaktivitas positif palsu yang berhubungan dengan
spesifisitas imunologi bakteri, ragi atau SOD. Deteksi anti-HCV masih belum cukup
untuk mengenal semua orang yang terinfeksi HCV. Indikator yang paling sensitif
adalah keberadaan RNA HCV, yang memerlukan penguatan molekuleroleh reaksi
rantai polimerase (Gbr. 266-6). RNA HCV dapat dideteksi dalam beberapa hari
setelah terpajan dengan HCV, jadi sebelum timbulnya anti-HCV, dan cenderung
menetap selama infeksi HCV; akan tetapi, pada pasien yang menderita infeksi HCV
kronik, kadang-kadang RNA HCV dapat terdeteksi hanya secara intermiten.
Penggunaan penyelidikan molekuler sensitif untuk RNA HCV telah menyatakan
keberadaan HCV replikatif pada limfosit darah tepi dari orang yang terinfeksi; akan
tetapi, seperti kasus HBV dalam limfosit, relevansi klinis dari infeksi limfosit HCV
belum diketahui.
Jauh sebelum HCV dikenal sebagai agen hepatitis non-A, non-B, studi cross-
challenge, pada simpanse menyatakan bahwa terdapat sekurangnya dua agen
hepatitis non-A, non-B yang menular lewat darah. Satu, diisolasi dari konsentrat
faktor pembekuan VIII dan merupakan agen dari hampir semua kasus hepatitis
yang berhubungan dengan transfusi, peka terhadap kloroform, dan menginduksi
per- ubahan tubuler sitoplasmik ultrastruktural dalam hepatosit. Agen ini adalah
HCV. Yang lain, diisolasi dari konsentrat faktor pembekuan IX, resisten terhadap
kloroform dan tidak termasuk perubahan tubuler sitoplasmik dalam hepatosit
Secara teoritis, agen yang resisten terhadap kloroform itu mungkin suatu agen
hepatitis "non-A, non-B, non-C". Kenyataan bahwa semua penanda serologik dan
molekuler dan HCV tidak ditemukan dalam proporsi substansial dari kasus
sporadik pada hepatitis akibat transfusi dan sirosis "kriptogenik", dan hampir
semua kasus hepatitis fulminan non-A, non-B juga memberi dukungan pada
eksistensi agen lain. Di lain pihak, upaya yang melelahkan untuk mengidentifikasi
agen virus lain seperti itu telah gagal, dan interpretasi ulang pada studi cross-
challenge semula pada simpanse dengan esai serologik dan molekuler untuk
infeksi HIV menunjukkan bahwa apa yang dianggap sebagai infeksi baru dengan
agen lain sebenarnya mewakili infeksi dengan genotip HCV yang berbeda atau
reinfeksi dengan agen HCV yang sama. Apakah simpanse yang mengalami
infeksi ulangan itu terpajan dengan ino- kulum yang sama atau inokulum yang
berbeda, memberi kesan bahwa tidak terdapat imunitas homolog atau heterolog
yang berkembang setelah infeksi HCV akut. Meskipun potensial bahwa terdapat
agen hepatitis non-A, non-B yang lain tidak dapat diabaikan sama sekali,
observasi kumulatif menunjukkan bahwa bila ada, agen itu memegang peranan
kecil saja. HCV adalah agen utama, bila tidak eksklusif, dari apa yang disebut
hepatitis non-A, non-B.
EPIDEMIOLOGI
Hepatitis C (Hepatitis non-A, non-B) Skrining rutin darah donor untuk HBsAg dan
pembuangan sumber darah yangdijuai bebas pada awal tahun 1970-an
mengurangi frekuensi, tetapi tidak meng- hilangkan hepatitis yang berhubungan
dengan transfusi. Selama tahun 1970-an, kemungkinan terkena hepatitis setelah
menerima transfusi dari darah donor relawan yang telah diskrining terhadap
HBsAg kira- kira 10 persen untuk setiap pasien (sampai 0,9 persen per unit darah
yang ditransfusikan). Meskipun hepatitis B memainkan peranan hingga 5 sampai
10 persen pada kasus ini, sisanya 90 sampai 95 persen diklasifikasikan
berdasarkan pada penyaringan serologik, sebagai hepatitis non-A, non-B. Untuk
pasien yang menerima transfusi kelompok bahan-bahan darah, seperti konsentrat
faktor pembekuan, risikonya bahkan lebih tinggi, yaitu sampai 20 sampai 30
persen, sedangkan untuk mereka yang menerima bah an darah seperti albumin
dan globulin imun, karena sebelum pengobatan bahan ini dihangatkan pada suhu
60°C atau didinginkan dengan fraksi etanol, sejak saat itu dan sampai sekarang,
tidak ditemukan risiko terkena hepatitis.
Selama tahun 1980-an, pemeriksaan darah donor secara volunter terhadap faktor
risiko AIDS dan, kemudian, darah donor itu diskrining terhadap anti-HIV, telah
mengurangi kemungkinan timbulnya hepatitis yang diakibatkan oleh transfusi
sampai di bawah 5 persen. Pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an, tes
skrining "pengganti" telah diperkenalkan untuk pertama kali untuk hepatitis non-A,
non- B [aminotransferase alanin (ALT) dan anti-HBc, keduanya memperkenalkan
darah donor dengan kemungkinan yang lebih besar terhadap penularan hepatitis
non-A, non-B pada resipien] dan, kemudian, setelah penemuan HCV, imunoesai
generasi pertama untuk anti-HCV mengurangi frekuensi timbulnya hepatitis akibat
transfusi bahkan demikian selanjutnya. Analisis prospektif terhadap hepatitis akibat
transfusi dilaksanakan antara tahun 1986 dan 1990 memperlihatkan bahwa
insidensi hepatitis akibat transfusi pada satu rumah sakit universitas di daerah
perkotaan turun dari garis dasar 3,8 persen per pasien (0,45 persen per unit yang
ditransfusi) hingga 1,5 persen per pasien (0,19 persen per unit) setelah
pengenalan tes pengganti sampai 0,6 persen per pasien (0,03 persen per unit)
setelah pengenalan esai anti-HCV generasi pertama. Pengenalan esai anti- HCV
generasi kedua akan mengurangi frekuensi hepatitis C akibat transfusi bahkan
selanjutnya, hingga sampai batas yang hampir tidak terasa.
Seiain ditularkan lewat transfusi, hepatitis C dapat ditularkan lewat jalur
perkutaneus lain, seperti penyuntikan sendiri obat intravena. Sebagai tambahan,
virus ini dapat ditularkan oleh pekeijaan yang terpajan dengan darah, dan
kemungkinan infeksi meningkat pada unit hemodialisis. Meskipun frekuensi
hepatitis C akibat transfusi darah teiah menurun sebagai akibat dari skrining darah
donor, frekuensi keseluruhan dari hepatitis C tetap sama, terutama karena
meningkatnya cara penularan yang lain terutama penggunaan obat intravena.
Bukti serologik untuk infeksi HCV timbul pada > 90 persen pasien yang menderita
hepatitis non-A, non-B akibat transfusi, hemofilia, dan pengguna obat intravena; 60
sampai 70 persen pasien yang menderita hepatitis non-A, non-B sporadis (tanpa
adanya faktor risiko yang diketahui); dan 0,5 persen pada donor darah relawan
(yaitu. angka karier 0,5 persen pada populasi umum). Mayoritas utama dan donor
darah asimtomatik yang diketahui memiliki anti-HCV dalam darah tidak termasuk
dalam kelompok risiko tinggi. Bagaimana mereka terinfeksi, masih merupakan
misteri. Kemungkinan.potensial dari infeksi yang tidak jelas ini berasal dari infeksi
yang ditularkan secara seksual atau infeksi yang didapat dari penularan perinatal;
akan tetapi, meskipun jalur infeksi ini dapat teijadi (terutama bila sumber
infeksinyajuga terinfeksi dengan HIV), baik penularrol^_ seksual dan perinatal
jarang teijadi. Semua kemungkman, cara penularan yang tidak efisien lebih kecil
dibanding dengan cara penularan langsung, merupakan gambaran dari titer HCV
yang infek- tivitasnya lebih kecil secara relatif. Infeksi pada kontak rumah tangga
juga jarang. Di antara pasien dengan kasus hepatitis C akut yang dilaporkan. 40
persen tidak memiliki faktor risiko yang dapat diketahui.
Risiko infeksi HCV meningkat pada resipien yang menerima organ cangkokan dan
pada pasien yang menderita AIDS; pada semua kelompok imunosupresan, kadar
anti-HCV mungkin tidak terdeteksi, dan untuk diagnosisnya diperlukan tes RNA
HCV. Hepatitis C kronik ditemukan sebanyak 20 persen pada resipien yang
menerima cangkok ginjal. Pada tahun-tahun permulaan setelah transplantasi,
angka kematian pada pasien yang menderita hepatitis ini meningkat bukan akibat
gagal hati tetapi akibat infeksi berat di luar sistem hepato- biliaris. Efek ini telah
dibubungkan dengan dampak imunosupresif pada infeksi HCV pada pejamu. Akan
tetapi, 5 sampai 10 tahun setelah transplantasi, komplikasi penyakit hati kronik
berperan dalam meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas. Dampak infeksi
HCV pada resipien yang menerima cangkok hati kontroversial, berhubungan
dengan penyakit hati berat pada beberapa rangkaian kasus tetapi dengan
morbiditas yang rendah di pihak lain.
GAMBARAN KLINIS DAN LABORATORIUM
Sebelum ditemukannya tes serologik yang dapat dipercaya untuk hepatitis C,
diagnosis hepatitis non-A, non-B dibuat melalui penge- luaran serologik infeksi HAV
dan HBV pada keadaan riwayat yang cocok. Suatu petunjuk klinis yang berguna
adalah pola episodik dan peningkatan aminotransferase yang sering ditemukan
pada hepatitis non-A, non-B. Sekarang ini, diagnosis serologik spesifik pada hepa-
titis C dapat ditegakkan dengan ditermukannya anti-HCV dalam serum. Bila
digunakan imunoesai generasi kedua (yang mendeteksi antibodi terhadap protein
nonstruktural dan nukleokapsid), anti-HCV dapat dideteksi pada hepatitis C akut
selama fase awal dari peningkatan aminotransferase. Antibodi ini tidak pernah
terdeteksi pada 20 sampai 30 persen pasien dengan hepatitis C akut, dan kadar
anti- HCV menjadi tidak terdeteksi setelah sembuh dari hepatitis C akut. Pada
pasien yang menderita hepatitis C, anti-HCV terdeteksi pada > 90 persen kasus.
Karena sifatnya yang tidak spesifik dapat me- ngacaukan imunoesai untuk anti-
HCV, esai imunoblot rekombinan tambahan hendaknya dikeijakan untuk
menemukan protein virus spesifik dengan anti-HCV bekerja padanya (lihat "Vitologi
dan Etiologi" di atas). Masih dalam tahap penelitian, esai terhadap reaksi rantai
polimerase untuk RNA HCV adalah tes yang paling sensitil untuk infeksi HCV. Tes
ini dapat mendeteksi RNA HCV bahkan sebelum terbentuknya anti-HCV pada
pasien yang menderita hepatitis C akut. Selain itu, RNA HCV tetap terdeteksi untuk
waktu yang tidak terbatas, secara berkesinambungan pada hampir semua tetapi
secara intermiten pada beberapa pasien yang menderita hepatitis C kronik (bahkan
terdeteksi pada beberapa orang dengan tes fungsi hati yang normal, yaitu Karier
asimtomatik). Jadi diagnosis untuk hepatitis C dapat didukung oleh deteksi anti-
HCV dan oleh penge- luaran reaktivitas positif-palsu. Pada sejumlah kecil pasien
yang menderita hepatitis C yang tidak terdapat anti-HCV, diagnosis dapat didukung
oleh RNA HCV, bila tersedia. Bila semua tes ini negatif dan pasien memiliki kasus
hepatitis yang tergolong baik setelah pemajanan perkutaneus melalui darah atau
produk darah, mungkin diagnosis "non-A, non-B" disebabkan oleh ditemukannya
agen lain. Sebagian pasien yang menderita hepatitis C memiliki anti-HBc dalam
darahnya, suatu refleksi dari risiko yang lazim pada populasi tertentu terhadap
berbagai agen hepatitis yang ditularkan lewat darah. Anti- HBc pada kasus seperti
itu hampir selalu dari kelas IgG dan me- nyatakan infeksi HBV pada masa lampau
atau infeksi HBV yang sekarang teijadi dengan membawa sedikit virus.
PROFILAKSIS
Hepatitis C Untuk hepatitis C akibat transfusi, keefektifan profilaksis IG belum
diperlihatkan secara konsisten dan tidak dianjurkan. Tindakan yang paling efektif
untuk mengurangi frekuensi hepatitis C pascatransfiisi adalah penyisihan darah
donor yang diperoleh secara komersial dan hanya mempercayai darah dari donor
relawan. Terdapatnya peningkatan ALT dan/atau anti-HBc dalam darah donor
berhubungan dengan risiko hepatitis C (hepatitis non-A, non-B) pada resipien.
Kedua penanda ini tampaknya mengenal segmen populasi donor darah dengan
peningkatan risiko infeksi virus yang ditularkan melalui darah. Pada akhir tahun
1980, diperkenalkan skrining darah donor untuk penanda pengganti ini (.surrogate
marker). Pada saat yang bersamaan, dilakukan penyaringan darah donor pada
kelompok risiko tinggi terkena AIDS dan skrining donor darah untuk anti-HlV.
Tindakan ini membatasi teijangkitnya AIDS akibat transfusi, mem- perkecil risiko
infeksi dengan agen lain yang ditularkan melalui darah, seperti HCV. Akhirnya,
tindakan skrining donor darah untuk anti- HCV yang baru diperkenalkan tersebut,
mengurangi risiko infeksi hepatitis C lebih lanjut setelah transfusi menjadi kurang
dari 1 persen per pasien dan 0,03 persen per unit darah. Pendekatan lainnya adalah
pengobatan kimiawi dari produk darah dan memusatkan perhatian pada tindakan
inaktivasi infektivitas virus hepatitis, juga sedang dikeijakan. Studi untuk menguji
kemanjuran IG standar setelah tertusuk jarum, melakukan hubungan seksual atau
pemajanan pen- natal pada pasien hepatitis C belum dilakukan. Karena Hg
dianggap lebih kecil pada keadaan ini daripada yang disebabkan ofe transfusi, dan
karena keamanannya serta biayanya yang rendah^® keadaan ini beberapa
pemerintah menganjurkan profilaksis pascv ■ pemajanan dengan IG dosis tunggal
sebesar 0,06 mL/kg (atau <W untuk neonatus yang terpajan). Kemanjuran IG untuk
penceg hepatitis E tetap dievaluasi.