Hemaptoe Linda
description
Transcript of Hemaptoe Linda
DefinisiBerbagai pendapat telah dikemukakan mengenai definisi hemoptoe yang pada dasarnya hampir sama.
Hemoptoe adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah atau
sputum yang berdarah. (10) Batuk darah adalah batuk yang disertai pengeluaran darah dari paru atau
saluran pernapasan. (11)
Hemoptoe atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak mengandung darah, berasal dari
saluran napas di bawah pita suara. (3)
II. Perbedaan hemoptoe dengan hematemesisUntuk membedakan antara muntah darah (hematemesis) dan batuk darah (hemoptoe) bila
dokter tidak hadir pada waktu pasien batuk darah, maka pada batuk darah (hemoptoe) akan didapatkan
tanda-tanda sebagai berikut :(12,13)
Tanda-tanda batuk darah:
1. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan
2. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam saluran napas
3. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan
4. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari kemudian warna menjadi
lebih tua atau kehitaman
5. pH alkalis
6. Bisa berlangsung beberapa hari
7. Penyebabnya : kelainan paru
Tanda-tanda muntah darah :
1. Tanpa batuk, tetapi keluar darah waktu muntah
2. Suara napas tidak ada gangguan
3. Didahului rasa mual / tidak enak di epigastrium
4. Darah berwarna merah kehitaman, bergumpal-gumpal bercampur sisa makanan
5. pH asam
6. Frekuensi muntah darah tidak sekerap hemoptoe
7. Penyebabnya : sirosis hati, gastritis
III. EtiologiPenyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas : (4)
1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh karena jamur dan
sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.
Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah (5) :
1. Tumor :
a. Karsinoma.
b. Adenoma.
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.
2. Infeksi
a. Aspergilloma.
b. Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas).
c. Tuberkulosis paru.
3. Infark Paru
4. Udem paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5. Perdarahan paru
a. Sistemic Lupus Eritematosus
b. Goodpasture’s syndrome.
c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis.
d. Bechet’s syndrome.
6. Cedera pada dada/trauma
a. Kontusio pulmonal.
b. Transbronkial biopsi.
c. Transtorakal biopsi memakai jarum.
7. Kelainan pembuluh darah
a. Malformasi arteriovena.
b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis.
8. Bleeding diathesis.
Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu : infeksi, tumor dan
kelainan kardiovaskular. (6)
Infeksi merupakan penyebab yang sering didapatkan antara lain : tuberkulosis, bronkiektasis dan abses paru.
Pada dewasa muda, tuberkulosis paru, stenosis mitral, dan bronkiektasis merupakan penyebab yang sering
didapat. Pada usia diatas 40 tahun karsinoma bronkus merupakan penyebab yang sering didapatkan, diikuti
tuberkulsosis dan bronkiektasis. (6)
IV. PatofisiologiSetiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri
bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis
dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna
tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya
perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan
autopsi membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri
bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. (4)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga trauma yang
ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh darah, seperti infeksi coccus,
virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada dekompensasi cordis kiri akut
dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti padaGoodpasture’s syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran
pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan
pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh
darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.
6. Invasi tumor ganas
7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini
akan memacu terjadinya batuk darah.
V. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah (14) :
1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui
Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas penegakan diagnosis.
Pria terdapat dua kali lebih banyak daripada wanita, berumur sekitar 30 tahun, biasanya perdarahan dapat
berhenti sendiri sehingga prognosis baik. Teori perdarahan ini adalah sebagai berikut :
a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infark paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis.
e. Hipertensi pulmonal.
2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan
Pada prinsipnya berasal dari :
a. Saluran napas
Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru, pneumonia dan abses paru.
Menurut Bannet, 82 – 86% batuk darah disebabkan oleh tuberkulosis paru, karsinoma paru dan
bronkiektasis.
Yang jarang dijumpai adalah penyakit jamur (aspergilosis), silikosis, penyakit oleh karena cacing.
b. Sistem kardiovaskuler
Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi.
Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru, aneurisma aorta.
c. Lain-lain
Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti hemofilia, hemosiderosis,
sindrom Goodpasture, eritematosus lupus sistemik, diatesis hemoragik dan pengobatan dengan
obat-obat antikoagulan.
Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat dibagi atas (4) :
1. Hemoptisis masif
Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.
2. Kriteria yang digunakan di rumah sakit Persahabatan Jakarta :
– Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam
– Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24 jam, akan tetapi Hb kurang dari 10 g
%.
– Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari 10 g%, tetapi dalam pengamatan 48
jam ternyata darah tidak berhenti. (4)
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptoe selain terjadi
vasokonstriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot darah, sehingga kadar Hb tidak selalu
memberikan gambaran besarnya perdarahan yang terjadi.
Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptoe juga mempunyai kelemahan oleh
karena :
Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadang-kadang dengan cairan
lambung, sehinga sukar untuk menentukan jumlah darah yang hilang sesungguhnya.
Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-sama dengan tinja, sehingga tidak ikut
terhitung
Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptoe ditentukan oleh :
Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan hipovolemik (hypovolemik
shock).
Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai dengan adanya
iskemik miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan mekanik pada jantung,
maupun aliran darah serebral. Dalam hal kedua ini dilakukan pemantauan terhadap gas
darah, disamping menentukan fungsi-fungsi vital. Oleh karena itu suatu tingkat kegawatan
hemoptoe dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk akut berupa asfiksia, sedangkan
bentuk yang lain berupa renjatan hipovolemik.
Bila terjadi hemoptoe, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.
Lamanya perdarahan.
Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.
Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran.
Klasifikasi menurut Pusel (7) :
+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam sputum
++ : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml
+++ : batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml
++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml
Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang, positif empat termasuk di dalam
kriteria hemoptisis masif.
VI. DiagnosisHal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar bukan dari muntahan dan tidak
berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis sering mudah dilacak dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa
pada hematemesis darah berwarna kecoklatan atau kehitaman dan sifatnya asam. Darah dari epistaksis dapat
tertelan kembali melalui faring dan terbatukkan yang disadari penderita serta adanya darah yang memancar dari
hidung. (8)
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutan-urutan dari anamnesis
yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga penanganannya dapat disesuaikan.
1. Anamnesis
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan untuk mendapatkan data-data :
– Jumlah dan warna darah
– Lamanya perdarahan
– Batuknya produktif atau tidak
– Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
– Sakit dada, substernal atau pleuritik
– Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan batuk
– Wheezing
– Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu. (2)
– Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
– Perokok berat dan telah berlangsung lama
– Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
– Hematuria yang disertai dengan batuk darah. (3)
Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat digunakan petunjuk sebagai
berikut (3) :
Keadaan Hemoptoe Hematemesis1. Prodromal Rasa tidak enak di
tenggorokan, ingin batukMual, stomach distress
2. Onset Darah dibatukkan, dapat disertai batuk
Darah dimuntahkan dapat disertai batuk
3. Penampilan darah Berbuih Tidak berbuih4. Warna Merah segar Merah tua5. Isi Lekosit, mikroorganisme,
makrofag, hemosiderinSisa makanan
6. Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)7. Riwayat Penyakit
DahuluMenderita kelainan paru Gangguan lambung,
kelainan hepar8. Anemi Kadang-kadang Selalu9. Tinja Warna tinja normal Tinja bisa berwarna
Guaiac test (-) hitam, Guaiac test (-)2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat mendasari terjadinya batuk
darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik dan opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi
septum nasalis, teleangiektasi. (3)
3. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita hemoptisis masif.
Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya. (3)
4. Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan demikian sumber perdarahan
dapat diketahui.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2. Batuk darah yang berulang – ulang
3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik (14)
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis, lokasi perdarahan, maupun
persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang masih
kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk
yang lebih impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi
pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai bronkoskopi merupakan hal yang
mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan. (4)
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat optik jauh lebih unggul,
sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan
darah serta mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon
khusus di tempat terjadinya perdarahan. (3)
VII. PenangananPada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya berhenti sendiri. Yang
perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.
Tujuan pokok terapi ialah (1,2):
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmaner dan mengendalikan
perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien
dengan hemoptisis masif. (9)
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas yang menyebabkan
asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ
yang multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan
kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik. (4)
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
– Terapi konservatif (4)
– Terapi definitif (9) atau pembedahan. (7)
1. Terapi konservatif (4,6)
– Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral decubitus). (4) Kepala lebih
rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat. (7)
– Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
– Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran saluran napas untuk
mencegah bahaya sufokasi.
– Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.
– Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis), misalnya vit. K, ion
kalsium, trombin dan karbazokrom.
– Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
– Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi.
– Pemberian oksigen.
Tindakan selanjutnya bila mungkin (7) :
– Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
– Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan bronkoskopi dan
pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.
2. Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. (9)
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan (4) :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada perdarahan yang
masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe yang berulang dapat
dicegah.
Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut (4) :
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam pengamatannya
perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam
jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dantetapi lebih dari 250 cc / 24 jam
dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan
perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan dipastikan asal perdarahannya,
sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau
tanpa torakoplasti. (7)
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode yang mungkin digunakan
adalah (4) :
– Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi serat lentur dengan posisi
pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis pada suhu 4°C sebanyak 50
cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian dihisap dengan suction.
– Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang 8,5 mm.
VIII. KomplikasiKomplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptoe, yaitu ditentukan oleh tiga faktor (4) :
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat menimbulkan renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam jaringan paru yang
sehat bersama inspirasi.
IX. PrognosisPada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptoe yang
rekuren.
Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis :
1. Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang lebih baik.
2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk menghisap darah yang
beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.(1,14)
BAB III
KESIMPULAN1. Hemoptoe merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran pernapasan dan atau kardiovaskuler yang
disebabkan oleh berbagai macam etiologi.
2. Pecahnya aneurisma dari Rasmmusen’s pada dinding kavitas paru disertai fibrosis perivaskuler merupakan
penyebab utama hemoptoe yang masif.
3. Sampai saat ini klasifikasi hemoptisis masih didasarkan pada penyebab dan banyaknya darah yang keluar
bersama batuk.
4. Sebagian besar hemoptisis sekunder disebabkan oleh tuberkulosis paru, karsinoma dan bronkiektasis. Bila
ditemukan pada usia relatif muda harus dipikirkan pertama – tama tuberkulosis paru, lalu bronkiektasis,
kemudian stenosis mitral. Sedangkan hemoptoe pada usia lebih dari 40 tahun kemungkinan urutannya
adalah karsinoma bronkogenik, lalu tuberkulosis, kemudian bronkiektasis.
5. Bronkoskopi pada saat ini merupakan cara pembantu diagnosis dan tindakan terapeutik yang penting pada
hemoptisis masif dan harus dikerjakan pada waktu perdarahan masih berlangsung.
6. Komplikasi yang paling sering terjadi dari hemoptisis adalah terjadinya asfiksia, renjatan hipovolemik dan
bahaya aspirasi.
7. Pada prinsipnya penanganan hemoptoe ditujukan untuk memperbaiki kondisi kardiopulmoner dan mencegah
semua keadaan yang dapat menyebabkan kematian. Penanganan tersebut dilakukan secara konservatif
maupun dengan operasi, tergantung indikasi serta berat ringannya hemoptisis yang terjadi.
8. Prognosis dari hemoptoe ditentukan oleh tingkatan hemoptoe, macam penyakit dasar dan cepatnya tindakan
yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Thoracic society. The Management of hemoptysis. A Statement by the committee on Therapy, Am
rev Respir Dis. 1996. (93) : 471 – 474
2. Amirana, et al. An Aggressive Surgical approach to Significant hemoptysis in Patients with Pulmonary
Tuberculosis Am Rev Respir Dis. 1968. (97) : 187 – 192
3. Soeroso HL. Susilo H. Parhussip RS. Sumari. Usman. Hemoptisis Masif. Cermin Dunia Kedokteran. 1992.
(80) : 90 – 94
4. Rab T. Prinsip Gawat Paru. ed.2. EGC. Jakarta. 1996. p. 185 – 201
5. Moxham. Symptoms And Sign in Respiratory Disease. Medicine Internat. Par East Ed. 1991. 4(14) : 3644 –
3649
6. Yusuf I. Manifestasi Klinis Penyakit Paru. dalam Ilmu Penyakit Dalam. Soeparman. Waspadji, editor. BP-FKUI
Jakarta. 1987. p. 688
7. Purwandianto A. Sampurna B. Kedaruratan Medik. ed. 3. Bina Rupa Aksara. Jakarta. p.19 – 20
8. Crofton SJ. Douglas A. Respiratory Diseasses. 3rd ed. Balckwell Scientific Publications. Oxford. 1983. P.770 –
771
9. Woodley M. Whelan A. Pedoman Pengobatan. (Manual of Medical Therapeutics). Andi offset. Yogyakarta.
1995. p. 326 – 327
10. Price SA.Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit(Pathophysiology Clinical Consepts
of Diseases Processes) alih bahasa Adji Dharma. EGC. Jakarta. 1984. p. 531.
11. Alsagaff H. Rai IB. Alrasyid SH. Penanggulangan Batuk Darah dalam Simposium Ilmu Kedokteran Darurat.
FK – Unair. Surabaya. 1979. p.162 – 164
12. Buja LM, et al. Pulmonary Alveolar Hemorrhage : A common finding in patiens with severe cardiac disease.
Am J Cardiol, 1971. 27 : 168 – 172
13. Roger SM. Signs and Symptoms. Hemoptysis. 4th ed. JB Lippin- cott Company. Philadelphia. 1964. Pp. 320 –
323
14. Sluiter HJ, Leerboek Long Ziekten. Van Gorkom, Assen/Maastricht. 1985
I. Diagnosa Keperawatan (NANDA International, 2009; Carpenito LJ, 2007)1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas (sekresidibronkus, mukus yang berlebihan); fisiologis (infeksi).2. Nyeri akut b.d agen injuri (fisik).3. Kurang pengetahuan b.d kurangnya paparan informasi.4. Ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor biologi(hemaptoe).5. Gangguan rasa nyaman 6. PK infeksiJ. Rencana Tindakan (Ackley & Ladwig, 2011; Carpenito LJ, 2007; Nurarif AH& Hardhi K, 2013; Moorhead S, et all. 2008)1. Diagnosa 1: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas(sekresi dibronkus, mukus yang berlebihan); fisiologis (infeksi) ditandaidengan adanya batuk, suara nafas tambahan (wheezing), perubahan padapola dan respiratory rate, sputum berlebihan.Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 24 jam diharapkan bersihanjalan klien menjadi efektif.NOC: Patensi jalan napas, status respirasi.Kriteria hasil
12a) Suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dipsneu (mampumengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah)b) Menunjukkan jalan napas yang paten (irama nafas, frekuensi pernapasandalam rentang normal, tidak ada suara napas abnormal)c) Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambatjalan napas.NIC label: Manajemen jalan napas1. Auskultasi suara napas 1 -4 jam. Suara napas normal jelas atau krakelstersebar dibagian dasar yang jelas dengan napas dalam. Adanyakrakles kasar diakhir inspirasi mengindikasikan adanya cairan di jalannapas, wheezing mengindikasikan adanya sumbatan jalan napas (Fauciet al, 2008)2. Pantau pola napas, meliputi rate, kedalaman dan upaya bernapas.Respiratory rate normal untuk dewasa tanpa dispneu adalah 12-16(Bickley & Szilagyi, 2009). Dengan adanya sekresi pada jalan napasrespiratori rate akan meningkat.3. Berikan oksigen sesuai order. Pemberian oksigen dapat memperbaikihipoksemia (Wong & Elliot, 2009). 4. Observasi sputum, warna, bau, dan volume. Sputum normal adalahbening atau abu-abu dan minimal; sputum abnormal adalah hijau,kuning atau terdapat bercak darah; berbau; dan biasanya dalamjumlah banyak.5. Dorong pemberian cairan lebih dari 2500ml/ hari kecuali klien dengangangguan jantung atau ginjal. Cairan membantu meminimalisasikeringnya mukosa dan memaksimalkan kerja silia untuk mengeluarkansekresi.6. Berikan pengobatan seperti obat koagulan, dan antitusif. Obat koagulandiberikan untuk menghentikan perdarahan dan obat golongan antitusifuntuk mengurangi batuk pada klien melalui penekanan pusat sarafbatuk.
14risiko terjadinya kardiopulmonari dan tromboembolitik pada klien)(Breiviket al, 2008).3. Minta klien untuk menjelaskan pengalaman nyeri sebelumnya, keefektifanintervensi manajemen nyeri, respon pengobatan analgetik termasuk efeksamping, dan informasi yang dibutuhkan. Memperoleh riwayat nyeriindividu membantu untuk mengidentifikasi faktor potensial yang mungkinmempengaruhi keinginan pasien untuk melaporkan nyeri, seperti intensitasnyeri, respon klien terhadap nyeri, cemas, farmakokinetik dari analgesik(Kalkman et al, 2003; Deane & Smith, 2008; Dunwoody et al, 2008).Regimen manajemen nyeri harus secara individu kepada klien danmempertimbangkan kondisi medis, psikologis dan fisiologis, usia, responsebelumnya terhadap analgesik.4. Manajemen nyeri akut dengan pendekatan multimodal. Multimodalanalgesik mengkombinasikan dua atau lebih pengobatan, metode (Pasero,2003a, 2009a). Manfaat dari pendekatan ini adalah dosis efektif terendahdari setiap obat bisa diberikan, hasilnya efek samping dapat diminimalkanseperti terjadinya oversedasi dan depresi respirasi (Pasero, 2003a; Parviziet al, 2007; APS, 2008).5. Jelaskan pada klien mengenai pendekatan manajemen nyeri,
termasukintervensi farmakologi dan nonfarmakologi. Salah satu langkah pentinguntuk meningkatkan kemampuan kontrol nyeri adalah klien memahaminyeri secara alami dengan baik, pengobatannya dan peran klien dalammengontrol nyeri (APS, 2008).6. Minta klien untuk menjelaskan nafsu makan, eliminasi, dan kemampuanuntuk istirahat dan tidur. Administrasikan terapi dan pengobatan untukmeningkatkan/ memperbaiki fungsi ini. Obat-obatan golongan opioiddapat menyebabkan konstipasi yang biasanya terjadi dan menjadi masalahyang signifikan dalam manajemen nyeri. Opioid menyebabkan konstipasi
15dengan cara menurunkan motilitas usus danmengurangi sekresi mukosa(Friedman &Dello Buono, 2001; Panchal, Muller-Schwefe, Wurzelmann,2007).7. Sebagai tambahan administrasi obat analgesik, dukung klien untukmenggunakan metode nonfarmakologi untuk membantu mengontrol nyeri,seperti distraksi, imaginary, relaksasi dengan menarik napas dalam. Strategiperilaku-kognitif dapat menjadi sumber kontrol diri klien, keberhasilanpersonal, dan berpartisipasi aktif dalam pengobatannya sendiri.