He Ma to Poiesis

download He Ma to Poiesis

of 117

description

medical

Transcript of He Ma to Poiesis

BATASAN

117

H E M O P O E S I S

BATASANHemopoesis adalah proses pembuatan darah. Sebagaimana diketahui, darah terbagi atas:Bagian yang berbentuk (Formed Elements}. Terdiri atas sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit) dan keping-keping darah (trombosit: platelet) yang bentuknya dapat dilihat dengan mikroskop.Bagian yang tidak berbentuk. Plasma yang terdiri atas molekul-molekul air, protein-protein, lemak, karbohidrat, vitamin-vitamin, enzim-enzim dan sebagainya, yang larut dalam plasma.Tiga komponen (kompartemen) yang berperan penting pada hemopoesis, yaitu: Kompartemen sel-sel darah Kompartemen lingkungan-mikro Kompartemen zat-zat pemicu/perangsang (stimulator) hemopoesis

KOMPONEN-KOMPONEN HEMOPOESISHemopoesis adalah suatu proses yang kompleks yang melibatkan banyak komponen-komponen yang saling terkait antara lain:Komponen atau kompartemen yang terdiri atas sel-sel darah baik sel-sel induk, sel-sel hakal dan sel-sel matur.Komponen atau kompartemen yang disebut stroma atau lingkungan mikrohemopoetik (LMH) atau hemopoetic-micro-environment.Komponen I dapat dianggap sebagai benih sedangkan komponen 2 dapat dianggap sebagai tanah di mana benih itu tumbuh. Kedua kompartemen ini tidak sendiri-sendiri tetapi berbaur.Kompartemen ke-3 terdiri atas zat-zat yang dapat menstimulasi sel-sel darah untuk berproliferasi, berdiferensiasi dan/atau berfungsi sesuai dengan tugas yang sudah direncanakan. Komponen ini disebut hemopoetic growth factors (HGF) atau faktor pertumbuhan hemopoetik (FPH).

KOMPARTEMEN SEL-SEL DARAHKompartemen sel darah terdiri atas:

Sel Induk Pluripoten (SIP)Menurut teori unitarian, sel-sel darah berasal dari satu sel induk pluripoten (Pluripotent Stem Cells}. Sel-sel ini jumlahnya sedikit namun mempunyai kemampuan besar berproliferasi berkali-kali sesuai kebutuhan.Pengenalan SIP ini dipelopori oleh Till dan Me Culloch pada tahun 1960-an dengan penelitiannya yang menggunakan teknologi pembiakan in-vivo pada tikus. Mereka menamakan SIP itu sebagai CFU-S (Colony Forming Unit Spleen}. Selanjutnya Dexter pada dekade berikutnya mengembangkan suatu media pembiakan yang baik untuk pembiakan in-vitro dari SIP ini (Dexter-Culture). Media ini mengkaitkanjuga pentingnya LMH sedemikian sehingga CFU-S ini dapat hidup lama dan dinamakan Long Term Culture Initiating Cells (LTC-IC). Dalam media Dexter terdapat sel-sel lingkungan mikro yang menghasilkan stimulator-stimulator pertumbuhan hemopoesis yang disebut Hemopoetic Growth Factors (HGF) atau juga Colony Stimulating Factors (CSF) yang dapat menstimulasi koloni-koloni sel-sel bakal darah untuk terus berprolifrerasi dan berdiferensiasi sesuai jalur turunannya (lineage}nya.Dengan majunya ilmu imunologi ditemukan teknologi hibridoma yang memungkinkan kita membuat antibodi monoklonal (Monoclonal Antibody) (MoAb) dalam jumlah banyak; kemudian dikembangkan penemuan-penemuan petanda-petanda imunologis di permukaan sel-sel darah yang dinamai menurut sistem CD (Cluster of Differentiation}. Petanda-petanda ini dapat dideteksi dengan MoAb dan dengan teknik imunohistokimia atau flow cytometry.SIP mempunyai petanda imunologis CD-34. Selain itu juga belum didapatkan petanda yang mengarah ke suatu jalur turunan yang lain. HLA-DR sering masih negatif. sehingga baik sekali untuk pencangkokan sumsum tulang (PST) yaitu pencangkokan SIP(Stem Cell Transplantation).

Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT) atau Comitted Progenitor Hemopoetic CellsDengan stimulasi faktor pertumbuhan yang berasal dari LMH yang dinamakan faktor sel induk (Stem Cell Factor = SCF), SIP dapal berdifferensiasi menjadi sel-sel bakal darah yang terkait tugas (SBTT) yang terkait pada tugas menurunkan turunan-turunan sel-sel darah. Yaitu jalur-jalur turunan mieloid dan makrofag disebut colonv forming unit granulocyte.erythrocyte, megakaryocyte, monocyte (CFU-GEMM) dan jalur turunan limfosit (Lymphoid Progenitor Cells = LPC).SBTT yang bertugas menurunkan sistem granulosit. eritrosit, monosit/makrofag dan Megakaryosit dalam teknologi pembiakan pada tikus disebut CFU-GEMM. CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk berdiferensiasi menjadi CFU-G, CFU-M, CFU-Meg dan CFU-E (melalui BFU-E = Burst Forming Unit Erythrocyte). Seterusnya CFU-G distimulasi G-CSF; GM-CSF dapat menstimulasi CFU-G dan CFU-MK menjadi sel-sel yang lebih tua (sel-sel matur).

Sel-sel Darah DewasaSubkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eosinofil. basofil, neutrofil), golongan-golongan monosit/makrofag, trombosit, eritrosit dan limfosit B dan T.

KOMPARTEMEN LINGKUNGAN MIKRO HEMOPOETIK (LMH)Di sumsum tulang sel-sel darah berada berbaur dengan kompartemen II yaitu jaringan lain yang terdiri atas kumpulan macam-macam sel dan matriks yang disebut stroma dari sumsum tulang.Stroma terdiri atas bermacam subkompartemen yaitu fibroblas, adiposit, matriks ekstraselular, monosit, makrofag dan sel-sel endotel yang dapat menghasilkan macam-macam zat yang dapat menstimulasi pertumbuhan sel-sel induk, sel-sel bakal, dan sel-sel darah yang lain. Zat-zat ini dinamakan colony stimulating factors (CSF) atau juga Hemopoetic Growth Factors (HGF). CSF yang merangsang pertumbuhan granulocyte disebut granulocyte colony stimulating factor (G-CSF), sedangkan yang monosit dan makrofag disebut Monocyte/ Macrophage Colony Stimulating Factors (M-CSF).Stroma yang terdiri atas fibroblas. monosit, makrofag, endotel dan sebagainya itu disebut juga sebagai lingkungan mikro hemopoetik (LMH). Jadi jaringan LMH ini seakan-akan merupakan tanah yang menghidupi sel-sel induk dan sel-sel bakal yang dianggap sebagai benih di persemaian. Kalau stroma atau LMH ini rusak atau defisien maka pertumbuhan sel-sel darah akan terganggu (hipoplastik sampai aplastik). Awalnya sel-sel bakal darah melekat pada LMH melalui suatu molekul adhesi yang diproduksi oleh stroma. kemudian melalui interaksi antarsel matriks sel bakal dirangsang untuk berdifferensiasi dan berfungsi seperti yang sudah direncanakan.

KOMPONEN (KOMPARTEMEN) FPH (FAKTOR PERTUMBUHANHEMOPOETIK), DISEBUT JUGA HGF (HEMOPOETIK GROWTHFACTOR)Batasan: FPH adalah senyawa-senyawa yang dapat menstimulasi proliferasi, diferensiasi dan aktifasi fungsional dari sel-sel bakal darah.FPH diproduksi oleh stroma (kompartemen II). Normalnya FPH hanya didapatkan dalam, kadar sedikit di dalam darah. Awalnya orang membuat FPH dari sel-sel stroma yang dibiakkan (teknologi pembiakan). Dengan majunya ilmu biologi molekular gen-gen pada kromosom-kromosom yang menyandi FPH dapat ditentukan, lalu di klon dan dengan teknologi rekombinan dapat dibuat dalam jumlah banyak dan dipasarkan di seluruh dunia oleh industri farmasi sebagai senyawa-senyawa FPH (HGF).Nomenklatur FPH menggunakan 3 cara yaitu:Memakai akhiran CSF seperti GM-CSP, G-CSF, M-CSF dan sebagainya.Memakai awalan IL (Interleukin=senyawa yang diproduksi suatu sel yang dapat mempengaruhi sel darah lain) seperti IL-1, IL-2 dst.Memakai nama-nama khusus seperti Stem-cell-factor (SCP), Eritropoetin, trombopoetin dan seterusnya.

Stimulasi dapat berarti dua arah yaitu positifbila betul menstimulasi atau negatif bila ia menghambat proses.Senyawa-senyawa FPH mempunyai 3 sifat biologis, yaitu:Pleiotrofi artinya satu FPH dapat menstimulasi beberapa sel-sel bakal; misalnya: IL-3 dapat menstimulasi CFU-G maupun CFU-E dan CFU-Meg, meskipun dalam derajat yang berbeda (Multi-CSF)Redundansi artinya satu sel bakal dapat distimulasi oleh 2 FPH, misalnya:CFU-E dapat distimulasi oleh IL-3 maupun oleh E-CSF (Eritropoetin) meskipun dalam derajat yang berbeda.Transmodulasi reseptor artinya reseptor sel bakal A dapat pula berfungsi sebagai reseptor sel bakal B.Hal ini mempunyai arti klinis yang penting, karena dengan demikian berarti pengobatan dengan kombinasi FPH akan jauh lebih berhasil daripada dengan satu FPH (tentu bila ada indikasi), namun biayanya tentu lebih mahal juga. Proses produksi selanjutnya dari sel-sel darah seperti eritrosit, granulosit, trombosit, limfosit (kompartemen I). Proses ini disebut juga sebagai eritropoesis, granulopoesis. trombopoesis, limfopoesis dan seterusnya yang dapat terjadi di sumsum tulang maupun di sisteifl hemopoetik perifer, namun perlu pembahasan khusus. Makin lama makin banyak FPH baru yang ditemukan dan diproduksi.

PENDEKATAN TERHADAP PASIEN ANEMIA

PENDAHULUANAnemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan f'isik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik.Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell muss) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxysen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung critrosil (red cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah herapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin. ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologistertentu seperti misalnya kehamilan.Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri (disease entity), tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang mcnyebabkan anemia tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia tersebut.Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang patogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalam memilih, menganalisis serta merangkurn hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas pendekalan praktis dalam diagnosis dan terapi anemia yang sering dihadapi oleh dokter umum ataupun spesialis penyakit dalam.

KRITERIA ANEMIAParameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut off point) di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia.Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan 12 g/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberikan angka yang berbeda yaitu 12 g/dl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11 g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluan penelitian lapangan seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 : Kriteria Anemia Menurut WHO (dikutip dari Hoffbrand AV, etal, 2001)KelompokKriteria Anemia (Hb)Laki-laki dewasa< 13 g/dlWanita dewasa tidak hamil < 12 g/dlWanita hamil < 11 g/dl

Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di rumah sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Karena itu beberapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai 10-11 g/dl.

PREVALENSI ANEMIAAnemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. De Maeyer rnemberikan gambaran prevalensi anemia di dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat pada tabel 2.

Tabel 2: Gambaran Prevalensi Anemia di Dunia {dikutip dari De Maeyer EM, et al, 1989)LokasiAnakAnakLakiWanitaWanita0-4th5-12 thdewasa15-49thhamilNegara maju12%7%3%14%11%Negara51%46%26%59%47% berkembangDunia43%37%18%51%35%Untuk Indonesia, Husaini dkk rnemberikan gambaran prevalensi anemia pada tahun 1989 sebagai berikut:Anak prasekolah: 30 - 40%Anak usia sekolah: 25 - 35%Perempuan dewasa tidak hamil: 30 - 40%Perempuan hamil: 50 - 70%Laki-laki dewasa: 20 -30%Pekerja berpenghasilan rendah: 30 - 40%Berbagai survei yang telah pemah dilakukan di Bali rnemberikan angka-angka yang tidak jauh berbeda dengan angka di atas.

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIAAnemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab. Pada dasamya anemia disebabkan karena: 1). Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3). Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3: Klasifikasi Anemia menurut EtiopatogenesisA. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang 1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosita. Anemia defisiensi besib. Anemia defisiensi asam folatc. Anemia defisiensi vitamin B12 2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besia. Anemia akibat penyakit kronikb. Anemia sideroblastik 3. Kerusakan sumsum tulanga. Anemia aplastikb. Anemia mieloptisikc. Anemia pada keganasan hematologid. Anemia diseritropoietike. Anemia pada sindrom mielodisplastik Anemia akibat kekurangan entropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik

B. Anemia akibat hemoragi 1. Anemia pasca perdarahan akut 2. Anemia akibat perdarahan kronik

C. Anemia hemolitik 1. Anemia hemolitik intrakorpuskulara. Gangguan membran eritrosit (membranopati)b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PDc. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati) - Thalassemia - Hemoglobinopati struktural: HbS, HbE, dll 2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskulera. Anemia hemolitik autoimunb. Anemia hemolitik inikroangiopatikc. Lain-lainD. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosil atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg: 2). Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3). Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl.Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan (Tabel 4) akan sangat menolong dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.

Tabel 4. Klasifikasi Anemia berdasarkan Morfologi dan EtiologiI. Anemia hipokromik mikrositera. Anemia defisiensi besib. Thalassemia majorc. Anemia akibat penyakit kronikd. Anemia sideroblastik

II. Anemia normokromik normositera. Anemia pasca perdarahan akutb. Anemia aplastikc. Anemia hemolitik didapatd. Anemia akibat penyakit kronike. Anemia pada gagal ginjal kronikf. Anemia pada sindrom mielodisplastikg. Anemia pada keganasan hematologik

III. Anemia makrositera. Bentuk megaloblastik1. Anemia defisiensi asam folat2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pemisiosab. Bentuk non-megaloblastik1. Anemia pada penyakit hati kronik2. Anemia pada hipotiroidisme3. Anemia pada sindrom mielodisplastik

PATOFISIOLOGI DAN GEJALA ANEMIAGejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena: 1). Anoksia organ; 2). Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen.Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a). Derajat penurunan hemoglobin; b). Kecepatan penurunan hemoglobin; c). Usia; d). Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:Gejala umum anemia. Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb6 jam), utamanya pada pasien tua yang mempunyai simpanan kobalamin pada ambang batas, akan dapat menyebabkan anemia megaloblastik dan defisit neurologik akut.

Defisiensi Asam FolatPenambahan asam folat dalam produk dari biji bijian dari padi padian telah disarankan oleh US Food and Drug Administration sejak Januari 1998, maka kejadian defisiensi asam folat nyata menurun. Para pasien dengan defisiensi asam folat lebih sering kurang gizi dibanding dengan defisiensi kobalamin. Manifestasi gastrointestinal adalah serupa tetapi dapat lebih meluas dan lebih berat dari anemia pemisiosa. Diare sering ada, dan cheilosis dan glossitis juga dialami. Namun, berlawanan dengan defisiensi kobalamin, tidak tampak adanya abnormalitis neurologik. Manifestasi hematologik dari defisiensi asam folat adalah sama dengan defisiensi kobalamin. Defisiensi asam folat secara umum berhubungan dengan satu atau lebih faktor seperti: asupan yang tak memadai.keperluan yang meningkat, atau malabsorbsi.

Asupan yang tak memadai. Para peminum alkohol akan dapat mengalami defisiensi asam folat karena sumber utama asupan kalori yang dikonsumsi berasal dari minuman beralkohol. Alkohol dapat mengganggu metabolisme folat. Pecandu narkotik juga mudah menjadi defisiensi folat karena malnutrisi. Banyak individu fakir miskin dan usia lanjut yang mendapat makanan yang kurang akan menderita defisiensi folat.

Keperluan yang meningkat. Jaringan-jaringan yang relatif pembelahan selnya sangat cepat seperti sumsum tulang, mukosa usus, memerlukan cukup besar akan folat. Karenanya, para pasien anemia hemolitik kronik atau lain penyebab dari terjadinya eritropoiesis yang aktifakan mengalami defisiensi. Perempuan hamil mempunyai risiko tinggi untuk terjadi defisiensi folat karena keperluan yang meningkat bersamaan dengan perkembangan janin. Bila defisiensi timbul pada minggu pertama kehamilan, maka dapat mengakibatkan defek saluran sarafpada neonatus. Kadang kadang pada kehamilan tersebut tak dapat mendeteksi, sampaidefek tersebut telah berkembang; jadi, ketentuan suplementasi folat pada perempuan setelah mereka mengetahui hamil, tidaklah efektif. Namun demikian, suplementasi makanan yang mengandung folat, dapat mengurangi defek saluran saraf sampai lebih dari 50%. Defisiensi folat dapat tampak selama masa pertumbuhan cepat dari bayi dan remaja. Para pasien dengan hcmodialise kronik perlu diberi suplementasi folat guna mengganti folat yang hilang.

Malabsorbsi. Defisiensi folat sering menyertai Tropical sprue, baik gejala gastrointestinal maupun malabsorbsi akan membaik dengan pemberian asam folat atau dengan oral antibiotik. Pada pasien dengan nontripocal sprue (gluten-sensitive enteropathy) dapat pula berkembang secara nyata timbulnya defisiensi asam folat yang scjalan dengan parameter dari malabsorbsi. Hal yang serupa, adalah defisiensi folat pada pecandu alkohol dapat pula karena kemungkinan dari malabsorbsi. Termasuk pula gangguan usus halus kadang kadang bersamaan dengan defisiensi folat.

Obat- obatanSelanjutnya masalah defisiensi folat atau kobalamin yang sering menjadi penyebab anemia megaloblastik adalah obat obatan. Bahan obat yang mengakibatkan anemia megaloblastik, disebabkan karena mengganggu sintesa DNA, baik secara langsung atau melawan kerja folat. Ini dapat diklasifikasi sebagai berikut:Langsung penghambat sintesis DNA, mereka termasuk analog purin (6-tioguanin, azatioprin, 6-merkaptopurin), analog pirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose), dan lain lain obal yang mengganggu sintesa DNA dengan berbagai macam mekanisme (hidroksiurea, prokarbazin). Obat antivirus zidovudin (AZT). yang digunakan untuk pengobatan HIV, sering menimbulkan anemia megaloblaslik berat.Antagonis Folat. yang paling toksik dari golongan ini adalah metotreksat, suatu penghambat yang kuat pada dihidrofolat reduktase, yang digunakan untuk pengobatan keganasan tertentu dan penyakit-penyakit reumatik tertentu. Yang kurang toksik tetapi mampu untuk menimbulkan anemia megaloblastik adalah bebcrapa penghambat dihidrofolat reduktase yang lemah, yang digunakan untuk pengobatan berbagai macam kondisi non-malignan. Obat-obatan tersebut termasuk pentamidin, trimetoprim, triamteren, dan pirimetamin.Lain-lain. sejumlah obat yang melawan folat dari mekanismenya yang sukar dimengerti, akan tetapi dipikirkan ikut serta dan menyangkut pada absorbsi dari vitamin oleh intestinum. Dalam kelompok ini adalah "anticonvulsants" fenitoin, primidon, dan fenobarbital. Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh obat obat tersebut adalah ringan.

Mekanisme LainSebab herediter. Anemia megaloblastik dapat tampak pada beberapa penyakit herediter. "Orotic aciduria" suatu defisiensi orotidilik dekarboksilase dan fosforilase, karena defek dalam metabolisme pirimidin dan dengan ciri adanya pertumbuhan yang terlambat dan perkembangan maupun dari ekskresi sejumlah besar dari asam orotik. Malabsorbsi folat yang kongenital penyebab anemia megaloblastik, bersamaan dengan ataksia dan retardasi mental.Anemia megaloblastik yang responsif dengan tiamin yang disertai dengan ketulian saraf dan diabetes melitus pernah dilaporkan pada beberapa anak. Perubahan megaloblastik yang disertai berinti banyak dari pendahulu sel darah merah dapat dilihat dalam sumsum dari para pasien tertentu dengan anemia dyserythropoietik kongenital, suatu golongan gangguan/penyakit yang diwariskan dengan ciri anemia ringan sampai sedang dan perjalanannya tidak ganas.Defisiensi TC II, seperti abnormalitas yang diwariskan pada absorbsi kobalamin sebagai penyebab defisiensi yang inencolok dari kobalamin pada bayi atau awal masa kanak kanak. Anemia megaloblastik lak dijumpai pada TC I defisiensi yang diwariskan.

ANEMIA MEGALOBLASTIK YANG REFRAKTEREritropoiesis megaloblastik kadang kadang dapat tampak pada mielodisplasia. Perubahan megaloblastik terbatas pada seri sel darah merah. Mielodisplasia sering menghasilkan perbedaan gambaran morfologik yang lebih jelas pada normoblas ortokromatik dimana inti megaloblastik berhubungan dengan sitoplasma yang sangat hipokromik. Varian ini disebut "megaloblastoid" yang merujuk pada defek maturasi inti dan sitoplasma. " Me^alohlastoid " tidak bcrarti " megaloblastoid ringan". Seperti halnya lain bentuk bentuk dari mielodisplasia, anemia megaloblastik refrakter ada hubungannya dengan peningkatan kejadian leukemia akut.Perubahan megaloblastik tampak pada mielosis eritremik dan eritrolekemia akut, dimana pendahulu sel darah merah nyata terlibat.

DiagnosisGuna menegakkan diagnosis anemia megaloblastik, perlu menelusuri baik pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan laboratoris darah juga sumsum tulang. Pemeriksaan laboratorium darah meliputi hemoglobin, hematokrit, retikulosit, lekosit, trombosit, hitung jenis, laju endap darah, serum vitamin B12, serum folat. folat eritrosit, MCV dan lain lain tes khusus yang sesuai. Pemeriksaan film/hapusan darah perifer perlu diperhatikan bentuk bentuk sel-sel darah merah, lekosit, dan trombosit. Didapatkan secara nyata makrositosis yaitu MCV lebih dari 100 fl maka perlu dipikirkan akan adanya anemia megaloblastik. Lain lain penyebab makrositosis termasuk hemolisis, penyakit hati, alkoholism, hipotiroidism, dan anemia aplastik. Bila makrositosis nyata yaitu MCV lebih dari 110 fl, maka pasien terscbut lebih condong pengidap anemia megaloblastik. Makrositosis jarang tampak bersamaan dengan defisiensi besi atau talasemia. Indeks retikulosit yang rendah, dan jumlah lekosit maupun trombosit mungkin pula menurun, terutama pada para pasien dengan anemia berat. Dari gambaran darah perifer. tampak dengan nyata adanya anisositosis dan porkilositosis, bersamaan dengan makroovalositosis, yaitu sel darah merah dengan hemoglobinisasi penuh merupakan eiri dari anemia megaloblastik. Dapat dijumpai pula adanya beberapa bintik basot'ilik, dan kadang kadang ditemukan sel darah merah yang berinti. Pada seri lekosit, yaitu adanya netrofil yang tampak adanya inti dengan segmen lebih dari 5 atau 6 dan dikenal dengan istilah hipersegmen. Temuan ini merupakan ciri khas, maka hendaknya meningkatkan dugaan kearah anemia megaloblastik. Myelosit yang jarang mungkin pula tampak. Juga dapat pula ditemukan bentuk trombosit yang aneh. Dari pemeriksaan sumsum tulang ditemukan adanya hiperselular dengan penurunan rasio mieloid/eritroid dan berlimpah besi yang tercat.Perintis/pendahulu sel darah merah tampak adanya sel yang besar abnormal dan mempunyai inti yang tampaknya kcbanyakan kurang matur, hal ini perlu diperkirakan dari perkembangan sitoplasma (nuclear-cytoptasmic usvnchronv). Kromatin inti lehih tersebar dari yang diduga, dan ia memadat dalam gambaran yang sangat khas sebagai ciri dari eritropoicsis megaloblastik. Mitosis abnormal dapat tampak. Perintis granulosit juga dirusak, tampak banyak yang menjadi besar dari yang normal, termasuk band yang sangat besar dan metamielosit. Jumlah megakariosit menurun dan tampak morlblogi yang abnormal.Ciri anemia megaloblastik adalah eritropoiesis yang tak efektif. Pada pasien dengan megaloblalik herat, sebanyak 90% perintis sel darah merah mungkin dihancurkan dan mcreka diedarkan dalam aliran darah. Dibanding dengan 10% sampai 15% pada individu normal. Meningkatnya penghancuran eritroblas dalam medula sumsum lulang akan berakibat peningkatan bilirubin yang tak terkonjugasi dan asam laktakdehidrogenose (isoenzim I) dalam plasma.

Guna mengevaluasi pasien dengan anemia megaloblastik, sangat penting untuk menentukan apakah ada defisiensi vitamin yang spesifik dengan mengukur kadar serum kobalamin dan folat. Nilai kobalamin normal dalam serum adalah antara 300 sampai 900 pg/ml; nilai kurang dari 200 mg/ml menunjukkan adanya defisiensi yang nyala seeara klinis. Tampaknya ini berbeda dengan kritcria WHO seperti yang tertera di depan. Pengukuran dari kobalamin yang terikat pada TC II, sebenarnya lebih fisiologik guna pengukuran status kobalamin, tapi pengukuran kadar dengan caratersebut belum dapat dilakukan secara rutin saat ini. Kadar serum normal dari asam folat berkisar antara 6 sampai 20 ng/ml; nilai sama atau di bawah 4 mg/ml secara umum dipertimbangkan untuk diagnoslik dari defisiensifolat. Tidak seperti serum kobalamin, kadar serum folat dapat menggambarkan adanya perubahan baru pada asupan makanan. Pengukuran kadar folat dalam sel darah merah sangat berguna untuk mendapat informasi, tetapi ini bukannya subyek guna melihat fluktuasi jangka pendek dari asupan folat dan hal ini lebih dari serum folat sebagai indeks dari simpanan folat.Saat defisiensi kobalamin telah dipikirkan, maka patogenesisnya dapat dilacak dengan menggunakan tes Schilling. Pasien diberi kobalamin radioaktif oral, dan segera diikuti setelah itu dengan penyuntikan intramuskular kobalamin tanpa dilabel.Proporsi radioaktivitas yang diberikan akan dikeluarkan dalam urin selama 24 jam berikutnya, hal ini akan menelapkan suatu ketelitian ukuran dari absorbsi kobalamin dan dianggap bahwa sampel urin yang menyeluruh telah dikumpulkan. Karena defisiensi kobalamin hampir selalu karena malabsorbsi, tingkat pertama dari tes Schilling harus abnormal (misal didapat sejumlah kecil radioaktivitas dalam urin). Kemudian pasien diberi kobalamin terikat pada faktor intrinsik yang dilabel. Absorbsi dari vitamin akan mencapai normal pada pasien yang menderita anemia pernisiosa atau beberapa tipe lain dari defisiensi faktor intrinsik. Bila absorbsi kobalamin masih tetap rendah, maka pasien mungkin terdapat pertumbuhan berlebihan dari bakteri {"blind loop syndrome") atau penyakit ileum (termasuk defek absorbsi ileum sekunder karena defisiensi kobalamin itu sendiri). Malabsorbsi kobalamin karena kelebihan pertumbuhan bakteri sering dapat dikoreksi dengan pemberian antibiotik. Tes Schilling dapat menetapkan informasi yang cukup dipercaya setelah pasien mendapat terapi yang memadai dengan kobalamin parenteral.Tes Schilling yang normal pada pasien yang telah dibuktikan dengan defisiensi kobalamin, akan memberi petunjuk adanya absorbsi yang jelek dari vitamin bila dicampur dengan makanan. Ini dapat ditegakkan dengan mengulang tes Schilling dengan kobalamin radioaktif yang diaduk dengan telur.Kadar serum dari asam metilmalonik dan homosistein juga berguna untuk diagnosis anemia megaloblastik. Keduanya meningkat pada defisiensi kobalamin, namun peningkatan homosistein, tapi bukan asam metil malonik dapat terjadi pada defisiensi folat. Tes-tes tersebut mengukur simpanan vitamin dalam jaringan dan dapal menunjukkan suatu defisiensi meskipun bila pemeriksaan yang sederhana, tapi kurang dipercaya pada kadar folat dan kobalamin yang didapatkan dan hasilnya pada ambang batas atau dalam batas normal. Para pasien terutama usia lanjut, tanpa anemia dan dengan kadar serum kobalamin normal, tetapi terdapat peninggian kadar serum asam metil malonik dapat mengakibatkan abnormalitas neuropsikiatrik.Pengobatan para pasien defisiensi kobalamin yang tak kentara biasanya akan mencegah kemerosotan lebih lanjut dan mungkin berhasil memperbaiki kesehatan pasien.

PengobatanSetelah diagnosis defisiensi kobalamin ditegakkan maka perlu memberikan terapi spesifik berkaitan dengan penyakit dasar yang melatar belakangi. misalnya adanya pertdmbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum perlu diberi antibiotik, sedangkan terapi utama untuk defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab defek yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka para pasien diberi pengobatan parenteral, terutama dalam bentuk suntikan kobalamin intramuskular.Awal pemberian terapi parenteral dengan kobalamin 1000 ug i.m, tiap minggu sampai 8 minggu, kemudian dilanjutkan suntikan i.m kobalamin 1000 ug tiap bulan dari sisa hidup pasien. Defisiensi kobalamin dapat dikelola secara efektif dengan pemberian terapi oral dengan kristalin B12 sejumlah 2 mg per hari; namun ketidak patuhan lebih besar pada terapi oral dibanding terapi i.m.Respons terapi adalah memuaskan. Segera setelah terapi dimulai, dan beberapa hari sebelum respons hematologis tampak nyata dalam darah perifer, pasien merasakan kekuatan meningkat dan ada perbaikan kesehatannya. Morfologi sumsum tulang mulai kembali ke keadaan normal dalam waktu beberapa jam setelah terapi dimulai. Retikulositosis mulai pada hari ke 4 sampai 5 hari setelah terapi dimulai dan mencapai puncak kurang lebih 7 hari, dan remisi berikutnya dari anemia setelah beberapa minggu. Bila retikulositosis tidak tampak, atau bila kurang cepat dari yang diharapkan dari kadar hematokrit, maka perlu dicari kemungkinan faktor lain yang mengakibatkan anemia (a.l. infeksi, bersamaan dengan defisiensi besi atau folat, atau hipotiroidisme). Hipokalemia dan retensi garam dapat tampak lebih awal dalam perjalanan terapi. Trombositosis mungkin ditemukan.Pada kebanyakan kasus, terapi pengganti adalah semua yang diperlukan guna pengobatan defisiensi kobalamin. Kadang kadang pasien menunjukkan anemia yang berat disertai pula gangguan yang membahayakan keadaan kardiovaskular yang gawat maka diperlukan transfusi. Ini perlu dilakukan dengan hati hari, sebab pasien yang demikian dapat berkembang menjadi gagaljantung karena adanya kelebihan cairan.Darah harus diberikan pelan pelan dalam bentuk PRC (Packed Red Blood Cells), dan harus selalu dalam pengawasan. Volume PRC yang diberikan sedikit demi sedikit akan cukup guna menghindari masalah gagal kardiovaskular akut.Dengan pengobatan jangka lama selama hidupnya, para pasien akan mengalami tidak berlanjutnya manifestasi defisiensi kobalamin, namun gejala neurologiknya tidak sepenuhnya dapat dikoreksi meskipun dengan terapi yang optimal. Pada pasien anemia pemisiosa perlu dengan cermat diawasi dan selalu diikuti perkembangannya karena adanya potensi untuk berkembang menjadi karsinoma lambung.Folat, terutama dalam dosis besar, dapat mengoreksi anemia megaloblastik karena defisiensi kobalamin tanpa mengubah abnormalitas neurologik. Manifestasi neurologik mungkin tetap tidak menjadi buruk oleh terapi folat. Defisiensi folat, akan terselubung pada para pasien yang makan folat dosis tinggi. Dalam hal yang demikian, respons hematologis folat jangan digunakan sebagai tolok ukur untuk keberhasilan para pasien dengan defisiensi kobalamin; dan defisiensi kobalamin hanya dapat disingkirkan dengan evaluasi laboratorium yang memadai.Pada para pasien usia lanjut frekuensinya tinggi pada kejadian defek absorbsi kobalamin ringan, dan mungkin risikonya meningkat bahwa defisiensi kobalamin yang berat akan memberi gejala neurologis dari pada gejala hematologis, dan beberapa ahli menyarankan pemberian kristalin kobalamin oral dengan dosis 0,1 mg per hari guna profilaksis pada usia di atas 65 tahun.

DEFISIENSI FOLATSeperti defisiensi kobalamin, defisiensi folat perlu diobati dengan terapi pengganti. Dosis yang lazim diberikan adalah 1 mg per hari per oral, namun dosis tinggi sampai 5 mg per hari mungkin diperlukan pada defisiensi folat yang disebabkan karena malabsorbsi. Pemberian folat parenteral jarang diperlukan. Respons hematologis sama dengan yang dapat dijumpai setelah terapi pengganti pada defisiensi kobalamin, misalnya terjadinya retikulositosis yang nyata setelah kurang lebih 4 hari, kemudian diikuti dengan terkoreksinya anemia setelah 1 sampai 2 bulan kemudian. Lama terapi tergantung pada keadaan dasar defisiensi. Para pasien dengan keperluan yang terus menerus meningkat seperti pada para pasien anemia hemolitik atau mereka yang dengan malabsorbsi atau malnutrisi kronik, hendaknya terus menerus didorong guna memelihara dan mengajarkan diet yang optimal dengan kecukupan folat.

Penyebab Lain Anemia MegaloblastikAnemia megaloblastik karena obat obatan dapat diobati, bila mungkin, dengan mengurangi dosis obat atau menyingkirkan. Efek antagonis folat yang menghambat dihidrofolat reduktase dapat dilawan oleh asam folinik (5-formil tetrahidrofolat (THF) dalam dosis 100 sampai 200 mg per hari, yang akan menghambat metabolisme folat dengan cara menyediakan suatu bentuk folat yang dapat diubah menjadi 5,10 - methylene THF. Untuk bentuk megaloblastik dari anemia sideroblastik, pemberian piridoksin dengan dosis sampai 300 mg per hari dapat dicoba, karena ada anemia sideroblastik yang tidak respons dengan piridoksin. Anemia megaloblastik yang refrakter perlu dipikirkan terapi suportif.

KESIMPULANAnemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh defek sintesis DNA dalam sel sel terutama dari hematopoietik. Klasifikasi anemia megaloblastik dapat dikelompokkan dalam: defisiensi kobalamin, defisiensi asam folat dan sebab sebab lain.Asam folat dan vitamin B12 adalah zat yang berhubungan dengan unsur makanan yang sangat diperlukan bagi tubuh. Peran utama dari asam folat dan vitamin B12 ialah dalam metabolisme intraselular. Bila kedua zat tersebut mengalami defisiensi, akan menghasilkan tidak sempumanya sintesa DNA. Hematopoiesis sangat sensitifpada defisiensi vitamin tersebut, dan gejala awal ialah anemia megaloblastik.Untuk membuat diagnosis perlu diperhatikan gejala klinis dan laboratoris. Terapi ditujukan untuk penggantian atau menghilangkan defisiensi tersebut.

ANEMIA HEMOLITIK IMUN

DEFINISIAnemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia = AIHA/AHA) merupakan suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.

PATOFISIOLOGIPerusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem komplemen, aktifasi mekanisme selular, atau kombinasi keduanya.

Aktivasi Sistem KomplemenSecara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskular yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria.Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur altematif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG 1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.Aktivasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali dengan aktivasi Cl suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. Cl akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen Cl akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformational sehingga mempu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merahdan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur.Aktivasi komplemen jalur altematif. Aktifator jalur altematif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.

Aktivasi Selular yang Menyebabkan Hemolisis EkstravaskularJika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen lebih lanjut. maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Immuneadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.

ETIOLOGIEtiologi pasti dari penyakit autoimun memang belumjelas, kemungkinan terjadi karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.

Klasifikasi. Anemia hemolitik imun dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Anemia Hemolitik Imun

I.Anemia Hemolitik Auto Imun (AIHA)A. AIHA tipe hangata. idiopatikb. sekunder (karena ell, limfoma, SLE)B. AIHA tipe dingina. idiopatikb. sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus,keganasan limforetikuler)

II.Paroxysmal Cold hemoglobinuria. idiopatikb. sekunder (viral, dan sifilis)

III.AIHA Atipika. AIHA tes antiglobulin negatifb. AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin AIHA diinduksi obat AIHA diinduksi aloantibodi

IV.Reaksi Hemolitik Transfusi

V.Penyakit Hemolitik pada Bayi Baru Lahir

DIAGNOSISPemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrositDirect Antiglobulin Test (Direct Coomb's Test): sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen, terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.Indirect Antiglobulin Test (Indirect Coomb's Test): untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN TIPE HANGATSekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara optimal pada suhu 37"C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.Gejala dan Tanda. Awitan penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik. dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin berwama gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%, hepatomegali terjadi pada 30% dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi.Laboratorium. Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk biasanya positip. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.Prognosis dan survival. Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli puimo, infark lien, dan kejadian kardiovaskular lain bisa terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang mendasari.

TerapiKortikosteroid : 1 -1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik (Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs direk positip lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke- 90. Bila ada tanda respon terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis