hb
-
Upload
agus-triantoo -
Category
Documents
-
view
64 -
download
2
Transcript of hb
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERANBLOK CHEM 2
PEMERIKSAAN KARBOKSIHEMOGLOBINMetode Hindsberg-Lang
Oleh :
Nama : Yuni Hanifah
NIM : G1A009097
Kelompok : III
Asisten : Nia Tri Mulyani
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2010
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERANBLOK CHEM 2
PEMERIKSAAN KARBOKSIHEMOGLOBINMetode Hindsberg-Lang
Oleh:Yuni HanifahG1A009097
Kelompok III
Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum
Biokimia kedokteran BLOK CHEM II pada
Jurusan Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
Diterima dan disahkan
Purwokerto, 24 Mei 2010
Asisten
Nia Tri Mulyani(GIA007003)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Pemeriksaan Karboksihemoglobin
B. Tanggal Praktikum
17 Mei 2010
C. Tujuan Praktikum
1. Mengukur kadar hemoglobin dengan metode Hindsberg-Lang
2. Menyimpulkan hasil pemeriksaan kerboksihemoglobin dalam darah
dari hasil praktikum setelah membandingkannya dengan nilai normal.
3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk membenatu menegakkan
diagnosis dengan bantuan hasil praktikum yang digunakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dasar Teori
Hemoglobin merupakan protein yang terdapat dalam sel darah merah
(SDM) dan berfungsi antara lain untuk:
1. Mengikat dan membawa oksigen dari paru ke seluruh jaringan tubuh
2. Mengikat dan membawa karbon dioksida dari seluruh jaringan tubuh ke paru
3. Memberi warna merah pada darah
4. Mempertahankan keadaan asam-basa dari tubuh
Hemoglobin merupakan protein tetramer kompak yang setiap
monomernya terikat pada gugus prostetik hem dan keseluruhannya mempunyai
berat molekul 64.450 Dalton. Darah mengandung 7.8 – 11.2 mmol hemoglobin
monomer/L (12.6 – 18.4 gr/dl), tergantung pada jenis kelamin dan umur individu
(Asscalbiass, 2010).
Hemoglobin dapat mengikat 4 atom oksigen per tetramer (satu pada setiap
subunit hem), atom oksigen terikat pada atom Fe2+ yang terdapat pada hem pada
ikatan koordinasi ke-5. Hemoglobin yang terikat pada oksigen disebut hemoglobin
teroksigenasi atau oksihemoglobin (HbO2), sedangkan hemoglobin yang sudah
melepaskan oksigen disebut deoksihemoglobin (Hb). Hemoglobin dapat mengikat
suatu gas hasil pembakaran yang tidak sempurna yaitu karbonmonoksida (CO)
dan disebut karbamonoksidahemoglobin (HbCO). Ikatan Hb dengan CO ini 200
kali lebih kuat daripada ikatan HB dengan oksigen, akibatnya Hb tidak dapat lagi
mengikat, membawa, dan mendistribusikan oksigen ke jaringan. Beberapa derivat
dari hemoglobin, misalnya oksiHb Hb, dan HbCO dapat dibedakan dengan
melakukan pengenceran, dan pada pengenceran ini oksiHb terlihat berwarna
merah kekuning-kuningan, Hb berwarna merah kecoklatan, dan HbCO berwarna
merah terang (carmine tint). Untuk lebih jelas lagi setiap derivat Hb dapat pula
dibedakan dengan menggunakan spektroskop (Asscalbiass, 2010).
Hemoglobin merupakan senyawa yang bertanggung jawab akan
kemampuan sel untuk mengangkut oksigen dan karbon dioksida. Hemoglobin
memiliki struktur tetramer yang kompleks. Setiap hemoglobin memiliki dua rantai
alpha ( α ) dan dua rantai beta ( β ). Setiap rantai adalah sebuah subunit protein
globular yang menyerupai myoglobin di rangka dan sel otot jantung. Seperti
myoglobin, setiap rantai hemoglobin mengandung molekul heme, suatu pigmen
non-protein kompleks. Setiap unit heme memiliki ion besi sehingga ion besi
tersebut bisa berikatan dengan molekul oksigen, membentuk oksihemoglobin
(HbO2). Darah yang mengandung sel darah merah yang dipenuhi oleh
oksihemoglobin akan berwarna merah terang (Martini, 2009).
Ikatan besi – oksigen sangat lemah, keduanya bisa dipisahkan tanpa
merusak unit heme atau molekul oksigen. Maka dari itu, ikatan dari molekul
oksigen dengan besi di heme adalah reversible. Sedangkan, hemoglobin yang ion
besinya tidak berikatan dengan oksigen disebut deoksihemoglobin. Darah yang
mengandung sel darah merah yang dipenuhi oleh deoksihemoglobin akan
berwarna merah gelap, hampir burgundy (Martini, 2009).
Sel darah merah di embrio atau fetus mengandung hemoglobin yang
berbeda, yaitu fetal hemoglobin, yang mengikat oksigen lebih cepat daripada
hemoglobin di orang dewasa. Hal ini dikarenakan, fetus bisa ”mencuri” oksigen
dari aliran darah ibu di plasenta. Pertukaran fetal hemoglobin ke hemoglobin
seperti pada orang dewasa terjadi setahun berikutnya. Produksi fetal hemoglobin
bisa distimulasi di orang dewasa oleh obat seperti hydroxyurea atau butyrate. Ini
merupakan salah satu metode pengobatan pada beberapa kondisi, seperti anemia
bulan sabit atau thalassemia, yang dihasilkan oleh produksi sel darah merah yang
bentuknya abnormal pada hemoglobin orang dewasa (Martini, 2009).
Setiap sel darah merah mengandung sekitar 280 juta hemoglobin. Karena
hemoglobin mengandung 4 unit heme, setiap sel darah merah bisa mengangkut
lebih dari satu milyar molekul oksigen. Secara kasar 98.5% oksigen diangkut oleh
aliran darah ke ikatan hemoglobin di dalam sel darah merah (Martini, 2009).
Jumlah ikatan oksigen denga hemoglobin tergantung teruatama pada
kandungan plasma pada oksigen. Ketika level plasma oksigen rendah, hemoglobin
melepas oksigen. Dalam kondisi yang seperti ini, khas pada kapiler di tepi
(peripheral), plasma karbon dioksida meningkat. Rantai alpha dan beta pada
hemoglobin kemudian mengikat karbon dioksida, membentuk
karbaminohemoglobin (HbCO2). Di kapiler paru, level plasma oksigen tinggi dan
level plasma karbon dioksida rendah, maka ketika berada di kapiler paru, sel
darah merah mengikat oksigen (yang kemudian diikat di hemoglobin) dan
melepas ikatan karbon dioksida (Martini, 2009).
Aktivitas normal bisa terjadi terus-menerus hanya ketika level oksigen
tetap dalam batas normal. Jika hematokrit rendah atau sel darah merah mengalami
penurunan kandungan atau jumlah hemoglobin, kondisi ini disebut anemia.
Anemia mempengaruhi pengangkutan oksigen ke jaringan di tepi (Martini, 2009).
Sel–sel darah merah mampu mengonsentrasikan hemoglobin dalam cairan
sel sampai sekitar 34 gram per 100 mililiter sel. Konsentrasi ini tak akan melebihi
nilai tersebut, karena nilai ini merupakan batas metabolik mekanisme
pembentukan hemoglobin sel. Selanjutnya, pada orang normal, persentase
hemoglobin hampir selalu mendekati nilai maksimum dalam setiap sel. Namun,
apabila pembentukan hemoglobin dalam sumsum tulang berkurang, persentase
hemoglobin dalam sel dapat turun sampai di bawah nilai tersebut, dan volume sel
darah merah juga dapat menurun karena jumlah hemoglobin yang mengisi sel
menjadi berkurang (Guyton dan Hall, 2007).
Bila hematokrit ( persentase sel darah merah – normal nya 40 sampai 45
persen ) dan jumlah hemoglobin dalam masing – masing sel bernilai normal,
maka seluruh darah seorang pria rata – rata mengandung 15 gram hemoglobin per
100 mililiter sel; pada wanita rata – rata mengandung 14 gram per 100 mililiter sel
(Guyton dan Hall, 2007).
Setiap gram hemoglobin murni mampu berikatan dengan 1,34 mililiter
oksigen. Oleh karena itu, pada seorang pria normal, jumlah maksimum sebanak
kira – kira 20 mililiter oksigen dapat dibawa dalam bentuk gabungan dengan
hemoglobin per 100 mililiter darah, dan pada wanita normal, oksigen yang dapat
dibawa sebesar 19 mililiter oksigen dalam bentuk dengan hemoglobin per 100
mililiter darah (Guyton dan Hall, 2007).
Molekul hemoglobin terdiri dari dua bagian: (1) bagian globin, suatu
protein yang terbentuk dari empai rantai polipeptida yang sangat berlipat-lipat,
dan (2) gugus nitrogenosa nonprotein mengandung besi yang dikenal sebagai
gugus heme, yang masing-masing terikat ke satu polipeptida. Setiap atom besi
dapat berikatan secara reversibel dengan satu molekul O2; dengan demikian,
setiap molekul hemoglobin dapat mengangkut empat penumpang O2. Karena
oksigen kurang larut dalam plasma, 98.5% O2 yang diangkut dalam darah terikat
pada pada hemoglobin. Hemoglobin adalah suatu pigmen (yaitu, secara alamiah
berwarna). Karena kandungan besinya, hemoglobin tampak kemerahan apabila
berikatan dengan oksigen dan kebiruan apabila mengalami deoksigenasi. Dengan
demikian, darah arteri yang teroksigenasi sempurna tampak merah, dan darah
vena yang yang telah kehilangan sebagian O2nya di jaringan memperlihatkan rona
kebiruan (Sherwood, 2001).
Selain mengangkut oksigen, hemoglobin juga dapat berikatan dengan zat-
zat berikut:
1. Karbon dioksida. Dengan demikian, hemoglobin ikut berperan mengangkut
gas ini dari jaringan kembali ke paru.
2. Bagian ion hidrogen asam (H+) dari asam karbonat yang terionisasi, yang
dibentuk dari karbon dioksida pada tingkat jaringan. Hemoglobin, dengan
demikian, menyangga asam ini, sehingga pH tidak terlalu berpengaruh.
3. Karbon moksida (CO). Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat pada
darah, tetapi, jika terhirup, menempati tempat ikatan oksigen di hemoglobin,
sehingga terjadi keracunan karbon monksida (Sherwood, 2001).
Dengan demikian, hemoglobin berperan penting dalam pengangkutan
oksigen sekaligus ikut serta dalam pengangkutan karbon dioksida dan
menentukan kapasitas penyangga dari darah (Sherwood, 2001).
Di dalam paru-paru, tekanan bagian oksigen pada rongga udara mencapai
kira-kira 100 mmHg; pada tekanan ini, hemoglobin kira-kira 96% jenuh oleh
oksigen. Akan tetapi, di dalam sel-sel otot yang sedang bekerja, tekanan bagian
oksigen hanya kira-kira 26 mmHg karena sel otot menggunakan oksigen pada
kecepatan tinggi dan karenanya, menurunkan konsentrasi lokal oksigen. Pada saat
darah melalui otot kapiler, oksigen akan dibebaskan dari hemoglobin yang hampir
jenuh pada sel darah merah ke dalam plasma darah dan selanjutnya akan dibawa
ke sel otot (Lehninger, 1981).
Selain membawa oksigen dari paru ke jaringan, hemoglobin juga
membawa dua produk akhir dari respirasi jaringan, yakni H+ dan CO2, dari
jaringan ke paru dan ginjal, dua organ ini terlibat di dalam ekskresi produk
tersebut. Di dalam sel jaringan periferi, bahan bakar organik dioksidasi oleh
mitokondria, menggunakan oksigen yang dibawa dari paru oleh hemoglobin,
dengan pembentukan karbondioksida, air, dan produk-produk lain. Pembentukan
CO2 menyebabkan peningkatan dalam konsentrasi H+ (yakni, penurunan pH), di
dalam jaringan, karena hidrasi CO2 menghasilkan H2CO3, suatu asam lemah, yang
berdisosiasi membentuk H+ dan bikarbonat. Selain membawa hampir semua
oksigen yang dibutuhkan dari paru ke jaringan, hemoglobin mengangkut bagian
yang cukup besar, kira-kira 20% dari total karbondioksida dan H+ yang dibentuk
di dalam jaringan, ke paru dan ginjal (Lehninger, 1981).
Karbon monoksida menyebabkan hipoksia jaringan dengan cara bersaing
dengan oksigen untuk melakukan ikatan pada hemeprotein pembawa oksigen
(hemoglobin, mioglobin, sitokrom C oksidase, sitokrom P-450). Afinitas karbon
monoksida terhadap hemeprotein bervariasi, mulai dari 30 sampai 500 kali lebih
kuat dibandingkan afinitas oksigen, tergantung pada hemeproteinnya. Di samping
itu, lebih kuatnya afinitas hemoglobin terhadap karbon monoksida menyebabkan
dengan adanya karboksihemoglobin mengganggu afinitas oksigen terhadap
hemoglobin dengan menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri sehingga
mengurangi pelepasan oksigen ke jaringan. Hipoksia jaringan yang dihasilkan
lebih hebat dibandingkan dengan yang akan dihasilkan oleh anemia dengan
derajat yang sama. Diyakini bahwa karbon monoksida memiliki efek toksik
langsung pada tingkat seluler dengan cara mengganggu respirasi mitokondria,
disebabakan karena karbon monoksida terikat pada kompleks sitokrom oksidase.
Berbeda dengan hemoglobin, afinitas sitokrom oksidase lebih kuat terhadap
oksigen. Akan tetapi selama anoksia seluler, karbon monoksida dapat terikat. Pada
saat oksigen dari udara kembali ada maka pemindahan karbon monoksida menjadi
lambat (Jayanti, 2010).
Kurva Disosiasi Oksigen dan Karbonmonoksida
Penatalaksanaan orang yang terkena keracunan karbonmonoksida adalah
sebagai berikut:
1. Pindahkan dari sumber pajanan gas CO.
2. Pemberian oksigen 100%, merupakan hal yang mendasar dengan masker karet
yang ketat, atau menggunakan endo- tracheal tube pada pekerja yang tidak
sadar agar oksigen benar-benar masuk, yang akan mengurangi waktu paruh
(half life) ikatan COHb secara perlahan-lahan, sehingga memper-baiki
hipoksia jaringan.
3. Terapi hiperbarik, dengan oksigen bertekanan 3 atmosfer yang akan cepat
sekali memperpendek waktu paruh COHb. Masih diperdebatkan mengenai
indikasinya (Wichaksana, 2002).
BAB III
METODE
A. Alat dan Bahan
A.1. Alat
1. Spuit 3 cc
2. Tourniquet
3. Plakon
4. Pipet ukur 5 ml
5. Mikropipet (10 µL – 100 µL)
6. Yellow Tip
7. Beaker glass
8. Kuvet
9. Spektrofotometer
10. Tabung reaksi 10 ml
11. Spatula
12. Rak tabung reaksi
A.2. Bahan
1. Darah
2. EDTA
3. Ammonia 0.1%
4. Sodium dithionit
B. Tata Urutan
1. Mengambil darah dari probandus
2. Mengambil darah dari probandus
3. Mengambil darah sebanyak 3 cc menggunakan spuit
4. Memasukkan darah ke dalam plakon yang sudah diberi EDTA sebanyak 1
spatula
5. Whole Blood didapatkan untuk sampel
6. Whole blood dimasukkan ke dalam 20 ml aquadest di dalam beaker glass
7. Menyiapkan ammonia 0.1% sebanyak 20 cc dan dimasukkan ke beaker
glass
8. Sampel whole blood diambil sebanyak 10 mikroliter dan dimasukkan ke
dalam beaker glass berisi ammonia 0.1%
9. Campuran whole blood dan ammonia 0.1% dipisah ke dalam dua tabung
reaksi
10. Tabung reaksi I ditambahkan Sodium dithionit
11. Tabung reaksi II tidak ditambah Sodium dithionit
12. Kedua tabung reaksi diinkubasi selama 5 menit untuk kemudian diperiksa
absorbansinya
13. Membaca absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer dengan
kode 33, panjang gelombang 546, dan nilai faktor 6.08.
C. Nilai Normal
CO endogen : < 0.7%
HbCO : < 1%
Batas toleransi HbCO : 2% - <5%
>5% : mulai timbul gejala / tidak normal / keracunan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Probandus
Nama : Yuni Hanifah
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
2. Sampel Darah
EDTA
Darah Whole Blood
(Campuran whole
blood dengan ammonia
0.1%)
Sodium dithionit
Whole blood + ammonia 0.1% di kuvet I di kuvet II
3. Absorbansi
Absorbansi HbCO= 1.5%
Interpretasi Normal (masih dalam batas toleransi)
B. Pembahasan
Praktikum pemeriksaan HbCO dimulai dengan mengambil darah untuk
dijadikan sampel whole blood. Setelah darah diambil dari probandus, darah segera
disimpan di dalam plakon yang sudah ditetesi EDTA (Etilen Diamine Tetra Acid)
agar darah tidak menggumpal. Darah yang dimasukkan ke dalam plakon dari spuit
tidak disemprotkan begitu saja, tatapi dengan menempelkan spuit ke dinding
plakon agar sel-sel darah tidak rusak. Setelah itu, menyiapkan beaker glass yang
sudah diisi ammonia 0.1% sebanyak 20 ml, dan sampel whole blood sebanyak 10
mikroliter dicampurkan dengan aquadest. Selanjutnya, menyiapkan dua tabung
reaksi untuk membagi masing-masing 5 cc campuran whole blood dan ammonia
0.1%. Tabung reaksi I sudah diisi dengan Sodium dithionite, dan tabung reaksi II
tidak ditambahkan Sodium dithionite. Selanjutnya, kedua sampel dipindahkan ke
dalam dua kuvet dan diinkubasi selama 5 menit dan dilanjutkan dengan membaca
absorbansinya.
Setelah dibaca absorbansinya, ternyata angka absorbansinya adalah 1.5%.
Diinterpretasikan sebagai kadar yang masih normal dalam darah (masih dalam
batas toleransi).
C. Aplikasi Klinis
1. Gangguan Kardiovaskuler
Gas CO yang berada di jaringan ekstravaskuler (10-15%) mengikat
mioglobin, sitokrom P 450 dan enzim sitokrom oksidase a3 mitokondria
miokardium menyebabkan hasil oksidasi mitokondria berupa ATP (Adenosin
Tri Posfat) berkurang. ATP merupakan bahan sangat penting bagi aktivitas
neuron dan miokardium, sehingga daya kontraktil miokardium menurun,
terjadi hipotensi, aritmia ventrikuler dan dapat terjadi mati mendadak (sudden
death) (Wichaksana, 2002).
Pada keadaan normal, miokardium menghasilkan asam piruvat dan
asam laktat sebagai hasil oksidasi sirkulasi koroner. Bila kadar COHb
mencapai 10%, miokardium gagal melepas kedua asam ini karena daya
kontraktil menurun, sebagai akibat gangguan produksi ATP, terjadi asidosis
laktat (Wichaksana, 2002).
Pada saat hipoksia jaringan tubuh, jantung harus lebih banyak
memasok darah dengan meningkatkan denyut dan curah jantung (cardiac
output). Arteri koroner harus lebih banyak mengirim oksigen ke jantung,
mengurangi kebutuhan otak sehingga otak dapat mengalami iskemi serebelum
(Wichaksana, 2002).
Pekerja penderita penyakit koroner (CAD) akan lebih cepat
mengalami hipoksia, lebih mudah mengalami serangan angina, terjadi
peningkatan depresi gelombang ST walau dengan pajanan dosis rendah gas
CO. Efek hemodinamik beragam, tersering adalah takikardi dan hipotensi.
Infark miokard dapat terjadi bila saat terpajan gas CO sedang bekerja berat.
Kardiomiopati dengan pembesaran jantung dan Congestive Heart Failure
(CHF) sering dialami pekerja yang menerima pajanan kronis gas CO
berkonsentrasi lebih dari 30% (Wichaksana, 2002).
2. Hipoksia Anemik
Penurunan kapasitas darah mengangkut oksigen. Hal ini dapat
ditimbulkan oleh (a) penurunan sel darah merah dalam sirkulasi, (b) jumlah
Hb yang tidak adekuat di dalam sel darah merah, atau (c) keracunan CO. Pada
semua kasus hipoksia anemic, tekanan oksigen arteri normal, tetapi kandungan
oksigen darah arteri lebih rendah dari normal karena kurangnya Hb yang
tersedia (Sherwood, 2001).
3. Kanker Paru
Kanker Paru adalah maligna kelas agresif yang berada di alveoli atau
jalur bronchial. Kanker ini menyerang sel-sel epitel yang mengkonduksi
saluran napas, glandula mukosa, atau alveoli. Tanda dan gejala biasanya tidak
muncul sampai kondisinya sudah lebih parah ke poin di mana tumor sudah
membatasi aliran udara. Nyeri dada, napas pendek, penurunan berat badan,
batuk, atau wheezing biasanya terjadi. Salah satu faktor resikonya adalah
orang-orang yang merokok (Martini, 2009).
BAB V
KESIMPULAN
1. Hemoglobin berfungsi salah satunya untuk mengikat dan membawa oksigen
dari paru ke seluruh jaringan dalam tubuh. Oksigen akan diikat di gugus heme
oleh ino Fe2+. Tetapi, jika ada CO masuk ke dalam tubuh, maka hemoglobin
akan mengikat CO yang afinitasnya 200 kali lebih kuat disbanding dengan
oksigen. Jika kadar CO dalam tubuh banyak, maka tubuh akan kekurangan
oksigen dan menyebabkan keracunan CO.
2. Kadar HbCO probandus setelah diperiksa dalam praktikum adalah 1.5%,
diinterpretasikan sebagai nilai normal, masih dalam batas toleransi (< 2% - <
5%). Beberapa aplikasi klinis yang berhubungan dengan HbCO yaitu
gangguan kardiovaskular, kanker paru, dan hipoksia anemik.
DAFTAR PUSTAKA
Asscalbiass. 2010. Buku Panduan Praktikum Biokimia Kedokteran Blok CHEM
II. Purwokerto. Hal. 12 – 13
Guyton, Arthur C., dan john E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
11. Jakarta: EGC. Hal. 440
Jayanti, Erni. 2010. Keracunan Karbon Monoksida. [online].
(http://www.medicalera.com/index.php?
view=article&id=1034&option=com_content&format=pdf. Diakses tanggal 19
Mei 2010).
Lehninger. 1981. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Hal. 214 – 215.
Martini, Frederic H., dan Judi L. Nath. 2009. Fundamentals of Anatomy and
Physiology Eighth Edition. San Francisco: Pearson Education. Hal. 656 –
657, dan 867.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Hal. 348 dan 446
Wichaksana, Aryawan., Sudi Astono., dan Kholidah Hanum. 2002. Dampak
Keracunan Gas Karbon Monoksida bagi Kesehatan Pekerja: Cermin Dunia
Kedokteran. No. 136. : 26 – 27.