HASIL Hasbi

96
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberkulosis, biasanya terdapat pada paru tetapi mungkin juga terdapat pada organ lain seperti pada kelenjar getah bening, ginjal, jantung dan lain sebagainya (Danusantoso, 2007). Tuberkulosis dikenal sebagai penyakit yang sudah bisa dikendalikan. Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab kematian yang terbesar akibat penyakit infeksi pada penduduk dewasa di negara berkembang, termasuk Indonesia (DepKes, 2008). Pada tahun 1993, WHO menyatakan Tuberkulosis sebagai emergensi global, dan diantara tahun 1997 dan 2020, diperkirakan hampir 1 milyar orang terinfeksi dan 70 juta orang meninggal dikarenakan karena penyakit ini. Dari seluruh penyakit Tuberkulosis, 78% berada di Asia yang memiliki prevalensi tertinggi dan estimated annual risk dari infeksi ditemukan di Asia Tenggara (237 per 100.000 penduduk) (WHO, 2009). Urutan pertama di dunia dengan rate tuberkulosis tertinggi adalah Zimbabwe dengan angka 1

description

HASIL Hasbi

Transcript of HASIL Hasbi

60

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangTuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberkulosis, biasanya terdapat pada paru tetapi mungkin juga terdapat pada organ lain seperti pada kelenjar getah bening, ginjal, jantung dan lain sebagainya (Danusantoso, 2007).Tuberkulosis dikenal sebagai penyakit yang sudah bisa dikendalikan. Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab kematian yang terbesar akibat penyakit infeksi pada penduduk dewasa di negara berkembang, termasuk Indonesia (DepKes, 2008). Pada tahun 1993, WHO menyatakan Tuberkulosis sebagai emergensi global, dan diantara tahun 1997 dan 2020, diperkirakan hampir 1 milyar orang terinfeksi dan 70 juta orang meninggal dikarenakan karena penyakit ini. Dari seluruh penyakit Tuberkulosis, 78% berada di Asia yang memiliki prevalensi tertinggi dan estimated annual risk dari infeksi ditemukan di Asia Tenggara (237 per 100.000 penduduk) (WHO, 2009).Urutan pertama di dunia dengan rate tuberkulosis tertinggi adalah Zimbabwe dengan angka kejadian 628/100.000 penduduk, disusul Kamboja 585/100.000 penduduk, dan Afrika Selatan 556/100.000 penduduk. Angka kejadian TB di Indonesia adalah 271/100.000 penduduk kendati jumlah penderita per tahunnya 587.000 orang, peringkat ketiga di bawah India dengan jumlah penderita 1.820.369 orang dan China dengan 1.447.947 orang per tahun (Aditama, 2003)Penyakit tuberkulosis menyerang segala umur dan yang paling rawan adalah usia 1-5 tahun. Usia 1-5 tahun masih rentan terhadap penularan penyakit karena sistem imunitas atau antibodi dalam tubuhnya belum terbentuk sempurna, sehingga daya tahan tubuh mereka rentan terhadap penularan penyakit. Penularan penyakit tuberkulosis pada balita ini melalui berbagai cara antara lain dari batuk orang dewasa, makanan atau susu, dan melalui kulit. Apabila penyakit tuberkulosis ini tidak segera ditanggulangi maka berpengaruh terhadap gizi balita (Harun, 2002).WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 550.000 kematian akibat tuberkulosis. Jumlah tuberkulosis pada anak lebih kurang 5-15 % dari seluruh penderita tuberkulosis. Diperkirakan sekitar 15 juta penderita baru dan 5 juta kematian akan terjadi diantara anak usia 5 tahun (Akbar, 1998). Setiap 1 menit ada 1 pasien tuberkulosis baru di Indonesia, setiap 2 menit akan ada 1 kasus baru tuberkulosis Basil Tahan Asam (BTA) positif, dan setiap 4 menit 1 orang akan meninggal akibat tuberkulosis di negara kita (Aditama, 2003). Setiap tahun di Jawa Barat diperkirakan terjadi sekitar 44.000 kasus baru tuberkulosis paru yang sangat menular. Pada tahun 2003 sebanyak 492 penderita tuberkulosis meninggal, dengan kata lain setiap hari ada 1 orang penderita tuberkulosis meninggal. Jumlah penderita dari tahun ke tahun yang ditemukan terus meningkat. Misalnya pada tahun 2003 hanya ditemukan 31.317 penderita sedangkan pada tahun 2004 naik menjadi 40.691 penderita. Tuberkulosis pada anak tidak terlepas hubungannya dengan penyakit tuberkulosis pada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena penularan tuberkulosis pada anak berasal dari orang dewasa yang menderita tuberkulosis adalah batuk lebih dari 3 bulan (Depkes RI, 2002).Di Indonesia, penelitian tentang faktor risiko kejadian TB paru pada orang dewasa sudah cukup banyak dilakukan, namun penelitian tentang faktor risiko TB paru pada anak balita belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian yang ada baru mengkaji faktor efektivitas vaksin BCG dan uji tapis atau screening baik dengan uji tuberkulin atau uji BCG (Kuswantoro, 2002).Umumnya penderita tuberkulosis pada anak infeksi primer sering luput dari perhatian, sedangkan sampai saat ini diagnostik tuberkulosis anak masih menjadi masalah karena tanda dan gejala yang tidak spesifik, populasi basil tuberkulosis pada anak yang menderita tuberkulosis masih rendah sehingga sulit untuk mendapatkan spesimen dan masih rendahnya nilai uji diagnostik yang ada (Tobing, 2003).Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis pada anak yaitu pemberian imunisasi BCG, karena akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (Baratawijaya, 2000), begitu pula dengan yang dikatakan Hiswani (2004), bahwa status gizi akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk tuberkulosis. Menurut Dani (2006), dalam skripsinya menyebutkan bahwa lubang ventilasi untuk semua ruangan dalam rumah harus cukup luas sehingga dapat menghasilkan udara bersih dan kenyamanan ruangan sehingga akan terjadi pertukaran udara dengan baik. Intensitas pencahayaan yang baik di dalam rumah akan mencegah perkembang biakan kuman tuberkulosis sehingga dapat mencegah terjadinya penularan penyakit (Kusdinar, 1993).Menurut Beaglehole (1997), Long (1996), dan Whaley & Wong (1995), menyatakan bahwa faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit TB adalah status gizi, imunisasi BCG, riwayat kontak, riwayat ibu hamil TBC, status ekonomi. Kondisi status gizi buruk atau malnutrisi akan menurunkan daya tahan tubuh. Oleh karena itu, dengan penurunan daya tahan tubuh akan memudahkan anak untuk terkena penyakit infeksi termasuk penyakit tuberkulosa (Crofton, Home & Miller, 1998). Imunisasi yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit TB adalah imunisasi BCG. Pemberian imunisasi BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis yang virulen, sehingga jika anak tidak mendapatkan imunisasi BCG maka memungkinkan anak untuk terinfeksi kuman TB (Kartasasmita, 2002). Selain itu, WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok dengan status ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TB bersifat timbal balik. TB merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita TB.Sebagaimana latar belakang diatas maka dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik individu yang berhubungan dengan kejadian TB paru pada anak (usia 1-5 tahun) di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Kota Cirebon1.2. Permasalahan PenelitianBerdasarkan uraian dari latar belakang tersebut peneliti merumuskan masalah, yaitu Apa saja karakteristik individu yang berhubungan dengan kejadian TB paru pada anak ?

1.3. Tujuan Penelitian1.3.1 Tujuan UmumPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik individu yang berhubungan dengan terjadinya TB paru pada anak di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Kota Cirebon.1.3.2 Tujuan Khususa. Mendeskripsikan karakteristik individu yang berhubungan dengan kejadian TB paru pada anak di BKPM Kota Cirebon.b. Menganalisis karakteristik individu yang mempengaruhi kejadian TB paru pada anak di BKPM Kota Cirebon.

1.4 Manfaat Penelitian1.4.1 Manfaat untuk Ilmu PengetahuanDari segi perkembangan ilmu, hasil penelitian ini dapat menjelaskan faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya TB paru pada anak1.4.2 Manfaat untuk Pelayanan KesehatanPenelitian ini dapat memberikan informasi atau masukan tentang faktor yang mempengaruhi TB paru pada anak sehingga meningkatkan derajat kesehatan pada pasien.1.4.3 Manfaat untuk MasyarakatPenelitian ini dapat membantu memberikan informasi atau masukan terhadap masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan paru-paru pada anak sehingga meningkatkan derajat kesehatan pada masyarakat.1.4.4 Manfaat untuk Penelitiana. Melalui penelitian ini peneliti dapat menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan dan menambah pengetahuan dan pengalaman dalam membuat penelitian ilmiah.b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik permasalahan yang sama.

1.5 Orisinalitas Penelitian yang TerkaitTabel 1 Orisinalitas PenelitianPenelitianMetode PenelitianHasil Penelitian

Hubungan Status Gizi, Imunisasi & Riwayat Kontak dengan Kejadian Tuberkulosis pada Anak di wilayah kerja Puskesmas Ciawi Kabupaten Tasikmalaya

Rakhmawati W., dkkcase control, 2008

status gizi anak menunjukkan sebagian besar (75,7 %) status gizi baik, hampir seluruh anak (98,6%) sudah pernah mendapatkan imunisasi BCG, dan sebagian besar (57,1%) tidak ada riwayat kontak. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan pada status gizi (p value = 0,005) dan riwayat kontak (p value = 0,008) dengan kejadian tuberkulosis, sedangkan pada status imunisasi tidak ada hubungan yang signifikan (p value = 1,000).

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Tb paru usia dewasa (studi kasus di balai pencegahan dan pengobatan penyakit paru Pati)

Rusnoto, Pasihan Rahmatullah, Ari Udionocase control, 2007Dari total 106 responden, laki-laki 49 orang terdiri dari 22 (20,8%) kasus dan 27 (25,5%) kontrol sedangkan responden wanita 57 orang terdiri dari 31 (29,2%) kasus dan 26 (24,5%) kontrol. Pendidikan terakhir yang diikuti responden paling banyak tidak tamat SD (31,1%), proporsi usia yang paling banyak 46-50 tahun (52,8%), pekerjaan responden proporsi terbesar adalah petani (43,6%), pendapatan terendah Rp. 110.000 dan tertinggi Rp. 1.425.000, kepadatan rumah responden terbanyak adalah sesuai standar yaitu lebih dari 9 m2 sebanyak 84%, proporsi adanya riwayat kontak penularan dengan anggota keluarga yang menderita TB paru lebih besar pada kelompok TB paru (34%) dari kelompok bukan TB (7,5%).

Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis Pada Anak di Kota Tasikmalaya

Nurlina, Lilik HidayantiCross sectional, 2008Proposi kejadian tuberkulosis paru pada anak sebesar 39%, lebih banyak berjenis kelamin perempuan dari pada laki-laki (54,3%),tidak memberikan ASI ekslusif (71,7%), status gizi kurang (47,8%), tidak mendapat imunisasi BCG (54,3%).

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada sampel, waktu, tempat dan variabel yang diteliti. Penelitian ini menggunakan sampel pasien penderita TB paru anak di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Kota Cirebon pada tahun 2013. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross sectional dengan metode wawancara dan kuesioner pada sampel penderita TB paru anak di BKPM. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini meliputi karakteristik individu yang berhubungan dengan TB paru pada anak.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru Anak2.1.1 Definisi Tuberkulosis Paru AnakTuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan basil Mycobacterium Tuberculosis, atau basil tuberkel yang tahan asam (Tambayong, J. 2000). Tuberklosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mikobakterium Tuberkulosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Suzanne C. Smeltzer, 2001).

2.1.2 Klasifikasi Tuberkulosis Paru AnakSampai sekarang belum ada kesepakatan mengenai keragaman Tuberkulosis. Dari system lama diketahui beberapa klasifikasi seperti :1. Pembagian secara patologis. Tuberkulosisi primer (childhood tuberculosis). Tuberkulosis post primer (adult tuberculosis).2. Pembagian secara aktivitas radiologisTuberkulosis paru (Koch Pulmonal) aktif, non aktif, dan quiescent (bentuk aktif yang mulai sembuh).

2.1.3 Etiologi Tuberkulosis Paru AnakTuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, merupakan suatu batang lengkung, gram positif lemah, pleomorfik, tidak bergerak, dan tidak membentuk spora. Basil tuberkel ini mempunyai panjang sekitar 2-4m. Mikobakteria ini tumbuh paling baik pada suhu 37-41. Dinding selnya kaya akan lipid sehingga menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid antibodi dan komplemen (Nelson, 2000).Mikobakteria tumbuh lambat dengan waktu pembentukannya 12-24 jam. Isolasi dari spesimen klinis pada media sintetik padat biasanya memerlukan waktu 3-6 minggu, dan uji kerentanan obat memerlukan 4 minggu tambahan. (Nelson, 2000).

2.1.4 Epidemiologi Tuberkulosis Paru AnakSejak akhir 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang kembali muncul dan menjadi masalah (re-emergencing disease), terutama di Negara maju, salah satunya adalah Tuberkulosis. WHO memperkirakaan bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang ), telah terinfeksi oleh M. tuberkulosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.Tuberkulosis, terutama tuberkulosis paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Ada 3 hal yang mempengaruhi epidemiologi tuberkulosis setelah tahun 1990, yaitu perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan populasi yang cepat (Nurhidayah, 2007)Morbiditas dan MortalitasLaporan mengenai Tuberkulosis Balita jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus Tuberkulosis Balita pertahun adalah 5% sampai 6% dari total kasus Tuberkulosis Paru. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261 kasus Tuberkulosis Balita usia < 15 tahun, 63% diantaranya < 5 tahun (Crofton, J., N. Horne., F. Miller. 2002)Selama tahun 1985-1992, peningkatan Tuberkulosis paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun (54,5%), diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1), dan 5-12 tahun (38,1). Pada tahun 2005, diperkirakan kasus Tuberkulosis naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di negara berkembang (Crofton, J., N. Horne., F. Miller. 2002).Peningkatan jumlah kasus Tuberkulosis di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu :1. Diagnosis yang tidak tepat2. Pengobatan yang tidak adekuat3. Program penangulangan tidak dilaksannakan dengan tepat4. Infeksi endemik human imuno-deficiency virus (HIV)5. Migrasi penduduk6. Mengobati sendiri7. Meningkatnya kemiskinan8. Pelayanan kesehatan yang kurang memadaiTuberkulosisbalita merupakan faktor penting di Negara-negara berkembang karena jumlah balita berusia di bawah 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi.

2.1.5 Patogenesis Tuberkulosis Paru AnakParu merupakan port dentre yang lebih dari 98% kasus infeksi tuberkulosis. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman tuberkulosis dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman tuberkulosis ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman tuberkulosis dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman tuberkulosis. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman tuberkulosis dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman tuberkulosis dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman tuberkulosis di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN (Price, 2008).Dari focus primer, kuman tuberkulosis menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis) (Asti, 2010).Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman tuberkulosis hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi tuberkulosis. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi tuberkulosis biasanya berlangsung dalam waktu 4 - 8 minggu dengan rentang waktu antara 2 - 12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103 - 104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler (Asti, 2010).Selama berminggu - minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman tuberkulosis sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi tuberkulosis primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap tuberkulosis telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman tuberkulosis terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman tuberkulosis dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman tuberkulosis baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan (Asti, 2010).Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman tuberkulosis dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun - tahun dalam kelenjar ini (Asti, 2010).Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Focus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan tuberkulosis endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps - konsolidasi (Asti, 2010).Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman tuberkulosis masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan tuberkulosis disebut sebagai penyakit sistemik (Asti, 2010).

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman tuberkulosis menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman tuberkulosis kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman tuberkulosis akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya (Asti, 2010).Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun - tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus tuberkulosis ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit tuberkulosis di organ terkait, misalnya meningitis, tuberkulosis tulang, dan lain - lain. Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman tuberkulosis masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit tuberkulosis secara akut, yang disebut tuberkulosis diseminata. tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2 - 6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman tuberkulosis yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi tuberkulosis, misalnya pada balita (Asti, 2010).Tuberkulosis milier merupakan hasil dari Acute Generalized Hematogenic Spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi - padian / jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1 - 3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran vaskuler di dekatnya, sehingga sejumlah kuman tuberkulosis akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit tuberkulosis akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3 - 9 bulan). Terjadinya tuberkulosis paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. Tuberkulosis paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda (Asti, 2010).Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25 - 30% anak yang terinfeksi tuberkulosis. Tuberkulosis tulang dan sendi terjadi pada 5 - 10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2 - 3 tahun kemudian. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5 - 25 tahun setelah infeksi primer (Asti, 2010).

2.1.6 Gejala Umum Tuberkulosis Paru AnakGejala umum tuberkulosis pada anak antara lain :1 Asymptomatis2 Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik, nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh (failure to thrive).3 Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan thypoid, malaria atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut).4 Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel, paling sering muncul di daerah leher, ketiak, dan lipatan paha (inguinal)5 Gejala-gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.6 Gejala-gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam abdomen

2.1.7 Diagnosis Tuberkulosis Paru AnakDiagnosis paling tepat untuk menentukan penyakit TB adalah dengan ditemukannya kuman TB dari bahan yang diambil dari penderita, misalnya sputum, bilas lambung, biopsi, dan lain-lain. Namun pada anak, hal ini sangat sulit dan jarang didapatkan hasilnya, sehingga sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan atas gambaran klinis, foto thoraks rongent dan uji tuberkulin. Klein dan Isseman (1998, dalam Rosmayudi, 2002), menjelaskan TB dapat didiagnosis bila ditemukan 2 atau lebih hal berikut ini : 1) Ada riwayat kontak erat dengan kasus TB baik diketahui maupun suspek, 2) Gambaran radiologik mengarah ke TB, 3) Tes tuberkulin posistif, 4) BTA positif, 5) Batuk > 2 minggu, 6) Kemungkinan respon terhadap pemberian obat anti TB (berat badan naik 10% setelah pengobatan 2 bulan, gejala menurun), 7) Reaksi cepat BCG, yaitu timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3-7 hari setelah imunisasi, dan 8) Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang spesifik (Nastiti, 2008).

Tabel 2Sistem Skoring Diagnosis Tuberkulosis AnakSumber: Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak, UKK Pulmonologi PP IDAI, 2005Parameter0123

Kontak TuberkulosisTidak jelasLaporan keluarga, BTA (-) atau tidak tahuKavitas (+), BTA tidak jelasBTA (+)

Uji TuberkulinNegatifPositif ( 10 mm atau 5 mm pada keadaan imunosupresi)

Berat badan/keadaan giziBB/TB < 90% atau BB/U < 80%Klinis gizi buruk atau BB/TB < 70% atau BB/U < 60%

Demam tanpa sebab jelas 2 minggu

Batuk 3 minggu

Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal 1cm, jumlah >1, tidak nyeri

Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falangAda pembengkakan

Foto Rontgen toraksNormal/tidak jelas Infiltrat Pembesaran kelenjar Konsolidasi segmental/lobar Atelektasis kalsifikasi + infiltrat pembesaran kelenjar + infiltrat

Catatan :1. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter2. Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis3. Berat badan dinilai saat datang (moment opname)4. Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku5. Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada tuberkulosis balita6. Semua balita dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring tuberkulosis balita7. Didiagnosis tuberkulosis jika skor 6 (skor maksimal 14). Cut off point ini masih bersifat tentatif/sementara, nilai definitif menunggu hasil penelitian yang sedang dilaksanakan.

Gambar 1Alur Deteksi Dini dan Rujukan Tuberkulosis BalitaSumber : Konsensus Nasional Tuberkulosis-Anak-IDAI

2.2 Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis Paru Pada AnakFaktor risiko adalah semua variabel yang berperan timbulnya kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko TBC saling berkaitan satu sama lain. Menurut penelitian Helda (2009), faktor risiko yang berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis adalah faktor karakteristik individu dan faktor risiko lingkungan. Faktor risiko karakteristik individu meliputi (riwayat kontak dengan penderita dewasa TB BTA Positif, status imunisasi BCG, status gizi, riwayat kehamilan ibu dengan TB paru, riwayat pemberian ASI eksklusif, dan status sosial ekonomi orangtua) sedangkan faktor risiko lingkungan meliputi lingkungan fisik rumah, ketinggian wilayah dan kepadatan lingkungan.Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah mengenai faktor karakteristik individu balita terhadap risiko TB paru.

2.2.1 Faktor Karakteristik Individu AnakBeberapa faktor karakteristik individu yang menjadi faktor risiko terhadap kejadian TB Paru adalah :a. Riwayat Kontak dengan Penderita Dewasa TB BTA PositifMenurut Depkes (2002), sumber penularan TB pada anak adalah orang dewasa yang menderita TB aktif (BTA positif). Anak-anak sangat rentan tertular bakteri TB dari orang dewasa, mengingat daya tahan dan kekebalan tubuh anak yang lemah. Pada waktu berbicara, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di udara pada suhu kamar dalam beberapa jam. Kuman tersebut akan terhirup oleh orang disekitarnya termasuk anak-anak dan menyebar dari paru ke anggota tubuh lainnya, melalui peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran TB pada 10-15 orang lainnya. Oleh karena itu seorang anak hendaknya dijauhkan dari penderita TB dewasa. Selain itu bila ada yang menderita TB, maka ia harus mendapatkan pengobatan dengan segera agar tidak menularkan pada anak-anak.Menurut Mayoclinic, seseorang yang kesehatan fisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita tuberkulosis aktif setidaknya 8 jam sehari selama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi. Sementara masa inkubasi tuberkulosis sendiri yaitu waktu yang diperlukan dari mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.Para ahli menunjukkan bahwa dibutuhkan rata-rata dua bulan kontak atau enam bulan (delapan jam sehari) kontak. Bahkan dari daya tahan tubuh mencegah sebagian besar dari mereka yang terinfeksi menjadi kasus aktif tuberculosis (Yancey, 2008).

b. Status Imunisasi BCG (Bacille Calmette Guerin)Pemberian BCG pada bayi diharapkan dapat memberikan daya lindung terhadap penyakit TB yang berat, misalnya meningitis TB dan TB milier. Tuberkel yang terbentuk oleh TB primer akan terlindungi oleh respon imun tubuh yang didapat dari imunisasi tersebut, sehingga akan menyebabkan infeksi menjadi tenang dan mencegah terjadinya penyebaran. Imunitas timbul 6 - 8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi superinfeksi meskipun biasanya tidak progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat (FKUI, 1998).Dengan demikian dapat dikatakan bahwa imunisasi BCG tidak mencegah infeksi TB tetapi mengurangi resiko TB berat seperti meningitis TB atau TB miliar. Menurut Novareni (2003) dan Misnadiarly, Cyrus H. Simanjuntak, Pudjarwoto (1990), menyatakan bahwa keefektifan BCG pun bervariasi sekitar 0-80%, dan factor-faktor yang mempengaruhi efektifitas BCG terhadap TB adalah perbedaan vaksin BCG, mycobacterium lingkungan yang tinggi, faktor genetik, status gizi dan faktor lain seperti paparan sinar ultraviolet terhadap vaksin dan kesalahan teknik penyuntikan atau oleh sebab lainnya.

Imunisasi BCG telah digunakan selama bertahun-tahun, namun sulit menentukan dampaknya terhadap morbiditas penyakit pada suatu populasi, karena imunisasi BCG terutama diberikan pada anak di negara berkembang sementara kejadian infeksi TB pada orang dewasa masih tinggi dan sumber penularan terutama dari TB dewasa.

c. Status GiziStatus gizi pada anak sangat penting, karena status gizi yang baik akan meningkatkan daya tahan dan kekebalan tubuh anak, sehingga anak tidak mudah menderita penyakit TB. Dan bila terinfeksi pun, anak dengan status gizi yang baik cenderung menderita TB ringan dibandingkan dengan yang gizi buruk. Menurut Markum (1991), pada anak yang mengalami kekurangan gizi akan menimbulkan penurunan daya tahan tubuh hal ini disebabkan pada anak dengan kekurangan energi dan protein akan terjadi penurunan sintesis asam amino, selain itu juga akan terjadi perubahan dalam sel mediator imunitas, dalam fungsi bakterisidal netropil dan system komplemen dalam respon Ig A. sekresi Ig A yang rendah bersamaan dengan penurunan imunitas makrosa akan memudahkan kolonisasi dan kontak antara mikroorganisme pathogen dan sel epitel (Nelson, 2000).

d. Riwayat Kehamilan Ibu dengan TB ParuPenularan kongenital terjadi paling sering dari lesi pada plasenta melalui vena umbilikalis. Infeksi primer pada ibu tepat sebelum atau selama kehamilan yang lebih mungkin menyebabkan infeksi kongenital daripada reaktivasi infeksi sebelumnya. Basili tuberkel mula-mula mencapai hati janin, dimana fokus primer dengan keterlibatan limfonodi periportal dapat terjadi. Organisme melewati hati ke dalam sirkulasi janin utama dan menginfeksi banyak organ. Basil dalam paru biasanya tidak tumbuh sampai sesudah lahir, ketika oksigenasi dan sirkulasi pulmonal sangat bertambah.Tuberkulosis kongenital dapat juga disebabkan oleh aspirasi atau penelanan cairan amnion yang terinfeksi. Namun rute infeksi yang paling lazim untuk neonatus adalah penularan yang dibawa udara pasca lahir dari orang dewasa dengan tuberkulosis paru-paru infeksius (Nelson, 2000)

e. Riwayat Pemberian Air Susu Ibu (ASI) EksklusifASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan. Tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini.ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain seperti susu formula atau cairan lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan dapat terkontaminasi dalam botol yang kotor. ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya.

f. Status Sosial Ekonomi1. PendidikanPendidikan ibu merupakan proses untuk merubah sikap dan perilaku masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang sehat jasmani dan rohani. Pengetahuan ibu yang ada kaitannya dengan kesehatan dan gizi erat hubungannya dengan pendidikan ibu. Semakin tinggi pendidikan akan semakin tinggi pula pengetahuan akan kesehatan dan gizi keluarganya. 2. PerilakuPerilaku seseorang yang berkaitan dengan penyakit TB adalah perilaku yang mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah terinfeksi/tertular kuman TB misalnya kebiasaan membuka jendela setiap hari, menutup mulut bila batuk atau bersin, meludah sembarangan, merokok dan kebiasaan menjemur kasur ataupun bantal (Edwan, 2008).Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan orangtua yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan akhirnya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya. 3. PekerjaanJenis pekerjaan orangtua anak juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB paru. 4. Tingkat EkonomiWHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok dengan status ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TB bersifat timbal balik, TB merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita TB. Kondisi status ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung. Status ekonomi yang rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi dan buruknya lingkungan, selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan status ekonomi rendah. Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi kebutuhan pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin (ekonomi lemah) tidak akan mempunyai daya beli yang dapat digunakan untuk menjamin ketahanan pangan keluarganya. Pada saat ketahanan pangan mengalami ancaman (misal pada saat tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli kebutuhan pangan) maka status gizi dari kelompok rawan pangan akan terganggu.

BAB IIIKERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka TeoriDari teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru anak pada tinjauan pustaka, maka dapat dibuat kerangka teori yaitu sebagai berikut:

Karakteristik IndividuFaktor Lingkungan

Tingkat pendidikanSuhu

Riwayat vaksinasi BCGPengetahuanSosial ekonomiPencahayaann

Perilaku Ventilasi

Kepadatan penghuniImunitas Status gizi

Riwayat kehamilan Ibu dengan TB

Kerentanan pejamuInfeksi oleh Mycobacterium tuberculosisKuman TB di lingkungan udaraKEJADIAN TB PARU ANAK

Umur, Jenis kelamin, penyakit lain

Sumber : Beaglehole (1997) dimodifikasiSkema 1. Kerangka Teori3.2 Kerangka KonsepPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui karaktersitik individu yang mempengaruhi kejadian TB paru anak. Berdasarkan kerangka teori maka dibuat kerangka konsep untuk penelitian ini sebagai berikut:

Variabel terikatVariabel bebas

Karakteristik Individu :Sosial ekonomiRiwayat kontak dengan penderita dewasa TB BTA PositifImunisasi BCGStatus giziRiwayat kehamilan ibu dengan TB paruRiwayat pemberian ASI eksklusif

\

TB Paru Anak Balita

Skema 2 Kerangka Konsep

3.3 HipotesisHipotesis kerja pada penelitian ini adalah ada hubungan karakteristik individu dengan kejadian TB paru balita.

BAB IVMETODE PENELITIAN

4.1. Ruang Lingkup PenelitianRuang lingkup penelitian ini mencakup bidang ilmu kedokteran khususnya Ilmu Kesehatan Anak dan Ilmu Kesehatan Lingkungan.

4.2. Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian ini akan dilakukan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan, sebagai berikutWaktu : April Mei 2014Tempat : Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Kota Cirebon.

4.3. Jenis dan Rancangan PenelitianJenis penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan studi cross sectional untuk menilai adakah karakteristik individu yang mempengaruhi kejadian TB paru pada anak balita.

4.4. Populasi dan Sampel4.4.1. Populasi TargetPada penelitian ini populasi target yang digunakan adalah pasien yang diduga TB paru di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Kota Cirebon.4.4.2. Populasi TerjangkauPada penelitian ini populasi terjangkau yang digunakan adalah pasien balita (0-5 tahun) yang diduga TB paru di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Kota Cirebon. 4.4.3. Sampel PenelitianSampel adalah pasien anak yang diduga TB paru di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Kota Cirebon yang memenuhi kriteria sebagai berikut :4.4.3.1. Kriteria InklusiKriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang diambil sebagai sampel. Kriteria inklusi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Anak balita berumur 0-5 tahun Pasien baru yang tercatat di buku Rekam Medik BKPM Cirebon Tidak dalam keadaan sakit berat dan tidak mengalami komplikasi dengan penyakit lain Orang tua / wali bersedia di wawancara4.4.3.2. Kriteria EksklusiKriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak diambil sebagai sampel. Kriteria eksklusi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Pasien balita TBC paru yang sudah pernah diobati. Pasien dewasa TBC paru

4.4.4. Cara SamplingTeknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu sampel yang diinginkan peneliti sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian ini memiliki variabel bebas dan variabel terikat yang akan diteliti.

4.4.5. Besar SampelSesuai dengan rancangan penelitian yaitu cross sectional, besar sampel dihitung dengan rumus besar sampel untuk proporsi tunggal sebagai berikut :

Z(1-a/2).P(1-P)n = d Keterangan :n = besar sampel Z2(1-a/2) = nilai Z pada derajat kemaknaan (ditetapkan peneliti sebesar sebesar 1,96 = 3,8416)P = proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi (bila tidak diketahui proporsinya, ditetapkan 50% (0,50)d = derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan: 10% (0,10), 5% (0,05), atau 1% (0.01)

Perhitungan sampel :Z2(1-a/2) = [(1,96)2 = 3,8416]P = 14% (0,14)d = 10% (0,1)

4.5. Variabel Penelitian 4.5.1. Variabel BebasStatus Sosial Ekonomi, Riwayat Kontak dengan Penderita dewasa TB BTA Positif, Status Imunisasi BCG, Status Gizi, Riwayat Kehamilan Ibu dengan TB paru, Riwayat Pemberian ASI Eksklusif. 4.5.2. Variabel TerikatKejadian TB paru anak balita4.5.3. Variabel PerancuLingkungan fisik rumah, ketinggian wilayah, kepadatan lingkungan.4.6. Definisi Operasional Tabel 3 Definisi OperasionalVariabelDefinisi operasionalCara pengukuranAlat ukurHasil ukurSkala

Variabel Dependen

Kejadian TB Paru Anak BalitaAnak balita yang yang didiagnosis TB paru atau bukan TB paru oleh dokter di BKPM sesuai kriteria skoring diagnosis tuberkulosis anakData responden di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Cirebon yang melakukan pemeriksaan TB paruKuesioner dan rekam medik1. Menderita TB paru2. Tidak Menderita TB paruNominal

Variabel Independen

Pendidikan Ibu BalitaPendidikan formal tertinggi yang pernah dijalani oleh ibu balita dengan mendapat ijazahWawancara Kuesioner 1. Rendah (tidak sekolah, SD, SMP) 2. Tinggi (SMA, Kuliah)Ordinal

Tingkat perilaku Ibu Balita Hasil penilaian atau scoring dari jawaban responden terhadap beberapa pertanyaan yang meliputi pengertian, penyebab, tanda dan gejala, cara penularan dan cara pencegahannya.Wawancara Kuesioner 1. Kurang (skor 0.05, maka Ho diterima yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara variabel independen dan variabel dependen.

4.10. Etika PenelitianPenelitian yang dilakukan merupakan tugas proposal yang menggunakan subyek manusia, oleh karena itu sebelum melakukan penelitian ini diminta persetujuan etik terlebih dahulu dari Komite Etika Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Gunung Jati. Kemudian surat permohonan dan persetujuan juga dimintakan dari Kesbangpol (Kesatuan Bangsa dan Politik). Setelah itu, surat permohonan dan persetujuan juga dimintakan kepada Kepala Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Kota Cirebon untuk melakukan penelitian di BKPM Kota Cirebon yang intinya berisi:1. Izin dan persetujuan untuk melakukan penelitian di BKPM Kota Cirebon.

2. Pemberitahuan dan rekomendasi kepada penulis untuk melakukan penelitian terhadap Rekam Medis pasien baru yang dicurigai TBC paru di BKPM Kota Cirebon.Seluruh responden diberi penjelasan mengenai penelitian yang akan dilakukan yaitu tujuan, manfaat, prosedur penelitian dan jaminan terhadap kerahasiaan semua informasi dan data diri responden. Kemudian responden yang bersedia secara sukarela ikut dalam penelitian ini diminta persetujuan secara tertulis dengan mengisi surat persetujuan (informed consent).

4.11. Jadwal PenelitianTabel 4 Jadwal PenelitianNoKegiatan Bulan

Agts Sept Okt Nov Feb April Mei Juni

1. Penyusunan proposal

2.Ujian proposal

3.Penyusunan Instrumen

4.Persiapan ke lapangan

5.Pengumpulan data

6.Analisis data

7.Penyusunan skripsi

8.Ujian skripsi

BAB VHASIL PENELITIAN

5.1. Profil Wilayah Studi Penelitian Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Cirebon sebagai Unit Pelaksana Teknis dibawah Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat yang menempati area tanah seluas 9.420 m2 dengan luas bangunan gedung 1.462 m2 dan berlokasi sangat Strategis di Jalan Ksatria No. 95 Kecamatan Kesambi - Kota Cirebon, mempermudah masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan di BKPM Cirebon.Bermula dari penyakt TB Paru yang terjadi di masyarakat dan kasus tersebut dapat mematikan, dimana pelayanan spesialistik paru pada jaman itu masih terbatas diwilayah Cirebon, maka lahirlah Consul Biro (CB) pada tahun 1956 dipimpin oleh dr. Liem Ghik Djiang seorang ahli paru.BKPM Cirebon dalam memberi pelayanan selalu melaksanakan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) Strata II Subspesialistik dan Spesialistik Paru. Adapun unit-unit pelayanan yang ada di BKPM Cirebon adalah sebagai berikut :1. Unit Rawat Jalan a. Poliklinik : umum, non TB paru, dan TB parub. DOTS CENTRAL. Memberikan pelayanan terpadu TB paru yang terdiri dari :Penyuluhan /konseling tuberkulosis, konseling gizi, PMO, keluarga pasien, dan pelayanan obat. Melakukan jejaring internal, external, monitoring, evaluasi, pencatatan dan pelaporan.2. Gawat Darurat (UGD) Paru Unit Melayani pasien dengan kasus gawat darurat paru yang perlupenanganan cepat dan tepat. Ditangani oleh Dokter Umum dan Perawat terlatih PPGD.

5.1.1. Kunjungan Pasien di BKPM Tabel 5 Kunjungan Pasien Berdasarkan Diagnosa Penyakit Tahun 2010 2013TahunJumlah kunjungan pasien TB paruJumlah kunjungan pasien non TBJumlah kunjungan pasien non paruJumlah total kunjungan KP4

2010270015107444954

2011309116346545379

2012258616034624651

2013285216424024896

Sumber: Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Cirebon

Gambar 2 Grafik Jumlah Kunjungan Pasien Berdasarkan Diagnosa Penyakit Tahun 2010 2013

5.4.2. Karakteristik Responden5.2.2.1. Distribusi Responden Menurut Jenis KelaminJumlah subyek penelitian ada 46 balita terdiri dari 26 balita TB paru positif dan 20 balita TB paru negatif, masing-masing kelompok baik positif maupun negatif terdiri dari 24 balita (52.2 %) berjenis kelamin perempuan dan 22 balita (47.8 %) berjenis kelamin laki-laki.

Tabel 6 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Cirebon bulan April sampai dengan Mei 2014Jenis KelaminDiagnosis TB ParuJumlah

Positif Negatif

Perempuan16 (34.8 %)8 (17.4 %)24 (52.2 %)

Laki-laki10 (21.7 %)12 (26.1 %)22 (47.8 %)

Jumlah 26 (56.5 %)20 (43.5 %)46 (100 %)

Sumber: Hasil Analisis Penelitian Bulan April Mei 2014

Pada Tabel 6, menunjukkan pada kelompok TB paru positif, jenis kelamin responden yang paling banyak berjenis kelamin perempuan, sebanyak 16 balita (34.8 %). Pada kelompok TB paru negatif, jenis kelamin responden yang paling banyak berjenis kelamin laki-laki, sebanyak 12 balita (26.1 %).

5.2.2.2. Distribusi Responden Menurut Golongan UsiaJumlah subyek penelitian ada 46 balita terdiri dari 26 balita TB paru positif dan 20 balita TB paru negatif, masing-masing kelompok baik positif maupun negatif terdiri dari 23 balita (50 %) kelompok usia 0-2,5 tahun dan kelompok usia 2,5-5 tahun.

Tabel 7 Distribusi Responden Menurut Golongan Usia di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Cirebon bulan April - Mei 2014Golongan UsiaDiagnosis TB ParuJumlah

PositifNegatif

0-2,5 tahun15 (32.6 %)8 (17.4%)23 (50 %)

>2,5-5 tahunComment by DeLL: Lebih dari 11 (23.9 %)12 (26.1 %)23 (50 %)

Jumlah 26 (56.5 %)20 (43.5 %)46 (100 %)

Sumber: Hasil Analisis Penelitian Bulan April Mei 2014Comment by DeLL: Hitung p dari hasil perhitungan statistik

Pada Tabel 7, menunjukkan pada kelompok positif, usia responden yang paling banyak adalah 0-2,5 tahun yaitu 15 balita (32.6 %). Pada kelompok negatif, usia responden yang paling banyak adalah 2,5-5 tahun yaitu 12 balita (26.1 %).

5.2.2.3. Distribusi Responden Menurut Kepadatan PendudukJumlah subyek penelitian ada 46 balita terdiri dari 26 balita TB paru positif dan 20 balita TB paru negatif, masing-masing kelompok baik positif maupun negatif terdiri dari 25 balita (54.3 %) berasal dari rumah padat penduduk dan 21 balita (45.7 %) berasal dari rumah tidak padat penduduk.

Tabel 8 Distribusi Responden Menurut Kepadatan Penduduk di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Cirebon bulan April sampai dengan Mei 2014Tempat PenemuanDiagnosis TB ParuJumlah

PositifNegatif

Padat Penduduk20 (43.5 %)5 (10.9 %)25 (54.3 %)

Tidak Padat Penduduk6 (13.0 %)15 (32.6 %)21 (45.7 %)

Jumlah 26 (56.5 %)20 (43.5 %)46 (100 %)

Sumber: Hasil Analisis Penelitian Bulan April Mei 2014Comment by DeLL: P =

Pada Tabel 8, menunjukkan pada kelompok TB paru positif, tempat tinggal yang paling banyak adalah padat penduduk yaitu 20 balita (43.5 %). Pada kelompok TB paru negatif, tempat tinggal yang paling banyak adalah tidak padat penduduk yaitu 15 balita (32.6 %).

5.3. Analisis Univariat Comment by DeLL: hapusTabel 9 Distribusi Frekuensi Karakteristik Invididu di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Cirebon bulan April sampai Mei 2014NoKarakteristik IndividuJumlah (N)Persentase %

1.Kejadian TB Paru Balita Menderita TB paru Tidak menderita TB paru262056.543.5

2.Pendidikan Ibu Rendah (tidak sekolah, SD, SMP) Tinggi (SMA, Kuliah)163034.865.2

3.Perilaku Ibu Kurang (skor