HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · tumpang tindih antara gugus –OH dengan –NH ulur...

16
HASIL DAN PEMBAHASAN Hidrolisis Kitosan dan Karakterisasinya Kitosan A yang digunakan untuk proses hidrolisis sebanyak 50 g. Setelah dilakukan hidrolisis dengan NaOH, didapatkan rendemen sebanyak 89.52%, yaitu sebanyak 44.76 g. Rendemen hasil yang dicapai cukup besar, karena pada proses ini tidak banyak kitosan yang hilang oleh pelarut maupun saat hidrolisis. Penambahan NaOH pada kitosan prinsipnya adalah hidrolisis amida dalam larutan basa yang dapat menghilangkan gugus N-asetil menjadi amina. Namun, reaksi ini juga dapat memutuskan ikatan glikosidik pada struktur kitosan dan menyebabkan kelarutannya meningkat. Adapun mekanisme reaksi hidrolisis yang terjadi adalah seperti pada Gambar 5. Gambar 5 Reaksi hidrolisis kitosan (Prasetyaningrum 2007) Karakterisasi kitosan yang diukur adalah kadar air (Lampiran 1), kadar abu (Lampiran 2), DD (Lampiran 3), viskositas, dan BM (Lampiran 4). Hasil karakterisasi kitosan A dan B dibandingkan terhadap standar parameter mutu kitosan niaga (Tabel 4), seluruh parameter hasil kitosan A dan B masih NaOH, panas Kitosan DD 70% Kitosan DD 90%

Transcript of HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · tumpang tindih antara gugus –OH dengan –NH ulur...

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hidrolisis Kitosan dan Karakterisasinya

Kitosan A yang digunakan untuk proses hidrolisis sebanyak 50 g. Setelah

dilakukan hidrolisis dengan NaOH, didapatkan rendemen sebanyak 89.52%, yaitu

sebanyak 44.76 g. Rendemen hasil yang dicapai cukup besar, karena pada proses

ini tidak banyak kitosan yang hilang oleh pelarut maupun saat hidrolisis.

Penambahan NaOH pada kitosan prinsipnya adalah hidrolisis amida dalam larutan

basa yang dapat menghilangkan gugus N-asetil menjadi amina. Namun, reaksi ini

juga dapat memutuskan ikatan glikosidik pada struktur kitosan dan menyebabkan

kelarutannya meningkat. Adapun mekanisme reaksi hidrolisis yang terjadi adalah

seperti pada Gambar 5.

Gambar 5 Reaksi hidrolisis kitosan (Prasetyaningrum 2007)

Karakterisasi kitosan yang diukur adalah kadar air (Lampiran 1), kadar abu

(Lampiran 2), DD (Lampiran 3), viskositas, dan BM (Lampiran 4). Hasil

karakterisasi kitosan A dan B dibandingkan terhadap standar parameter mutu

kitosan niaga (Tabel 4), seluruh parameter hasil kitosan A dan B masih

NaOH, panas

Kitosan DD 70%

Kitosan DD 90%

memenuhi mutu standar kitosan niaga. Kadar air kitosan A dan B adalah 9.94%

dan 10.58% (berturut-turut. Kadar air kitosan B lebih besar daripada kitosan A,

disebabkan proses pengeringan yang belum sempurna, namun hal ini tidak

merusak struktur kimia kitosan, hanya mempengaruhi umur simpan.

Tabel 4 Kitosan A dan B dibandingkan standar

Parameter Kitosan A Kitosan B Standar

Kadar air (%) 9.94 10.58 ≤10*)

Kadar abu (%) 0.61 0.38 <2

Bobot molekul (g/mol)

*)

3.0×10 1.1×105 1×105 5 – 100×10

Derajat deasetilasi (%)

5*))

77.26 98.44 ≥70*)

Sumber : *) Jamaludin (1994) *)) Goy et al. (2009)

Kadar abu kitosan A dan B adalah 0.61% dan 0.38% (berturut-turut). Kadar

abu kitosan B lebih kecil daripada kitosan A, hal ini menunjukkan bahwa pada

proses hidrolisis, terjadi penghilangan mineral, sehingga kitosan B mempunyai

kandungan mineral yang lebih sedikit daripada kitosan A. Mineral yang terdapat

pada kitosan berupa CaCO3 atau Ca3(PO4)2. Kandungan mineral pada kitin

biasanya dihilangkan sebelum tahap deasetilasi, yaitu demineralisasi dengan

menggunakan asam kuat seperti HCl atau H2SO4

Berdasarkan Tabel 4, DD kitosan A dan B adalah 77.26% dan 98.44%

(berturut-turut). Derajat deasetilasi kitosan ditentukan dengan menggunakan

metode base-line dari spektrum FTIR, yaitu hasil perbandingan nilai absorban

antara bilangan gelombang λ 1655 cm

. Namun, pada reaksi hidrolisis

ini juga terjadi sedikit penghilangan mineral disebabkan penambahan NaOH.

Natrium hidroksida dapat bereaksi dengan kalsium karbonat yang masih terdapat

pada kitosan, membentuk kalsium hidroksida dan natrium karbonat. Kalsium

hidroksida yang terbentuk merupakan basa dengan kekuatan sedang, berupa

endapan putih, sedangkan natrium karbonat termasuk kelompok garam yang larut

dalam air.

-1 (serapan pita amida I) dan 3450 cm-1

(serapan gugus hidroksil), maka % DD kitosan dapat dihitung sebagai berikut :

Analisis FTIR selain mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam kitosan,

juga dapat dilakukan pengukuran kuantitatif dari perbedaan transmitan pada

bilangan gelombang tertentu (Gambar 6). Berdasarkan hasil penentuan DD

kitosan (lampiran 3), pengaruh hidrolisis dapat meningkatkan DD kitosan hingga

21.18%, yaitu dari 77.26% menjadi 98.44%. Parameter mutu kitosan khususnya

DD dapat digunakan untuk menentukan pemakaiannya di industri. Pada industri

pengolahan makanan menggunakan kitosan dengan DD ≥70%, sedangkan untuk

industri kosmetik kitosan yang digunakan memiliki DD ≥80% dan bidang

biomedis dibutuhkan kitosan yang memiliki DD ≥90% (Tsugita 1997).

Gambar 6 Spektrum FTIR kitosan A ( ) dan B ( )

Proses hidrolisis pada prinsipnya adalah reaksi antara suatu senyawa dengan

air yang menggunakan katalis asam atau basa. Dalam hal ini, fungsi NaOH adalah

sebagai katalis untuk memutuskan ikatan antar gugus asetil dengan atom nitrogen

dan selanjutnya terbentuk amina pada C2. Derajat deasetilasi merupakan

perbandingan antara serapan pita amida dengan hidroksil, dengan demikian

semakin tinggi DD maka gugus asetil semakin sedikit sedangkan gugus amina

semakin banyak. Dengan metode garis dasar spektrum FTIR, transmitan pada

bilangan gelombang yang diinginkan ditentukan dengan memperbandingkan jarak

antara dasar pita dan puncak pita pada bilangan gelombang yang diinginkan

tersebut dan secara matematis diberikan melalui persamaan berikut:

Nilai I dan Io

Nilai absorban akan sebanding dengan nilai konsentrasi zat karena

hubungan kuantitatif absorpsi sinar dengan konsentrasi yang dianalisis dinyatakan

dengan Hukum Lambert Beer sebagai berikut:

merupakan intensitas sisa dan intensitas awal. Absorbansi

merupakan logaritma negatif dari transmitan, maka absorbansi dapat dinyatakan

sebagai berikut:

Spektrum FTIR kitosan (Gambar 6) secara umum memiliki puncak-puncak

spesifik pada bilangan gelombang λ 3400-3600 cm-1, 1600-1700 cm-1, dan 1000-

1100 cm-1. Berdasarkan hasil yang diperoleh, terdapat perbedaan konsentrasi pada

puncak-puncak tersebut, ditunjukkan dari perbedaan %transmitan. Tabel 5

menunjukkan hubungan %transmitan dengan absorbansi kitosan A dan B pada

bilangan gelombang tertentu. Pada bilangan gelombang 3400-3600 cm-1, terdapat

tumpang tindih antara gugus –OH dengan –NH ulur yang berasal dari amina dan

N-asetil pada amida sekunder. Penurunan %transmitan berbanding terbalik

dengan nilai absorban, sehingga nilai absorban pada kitosan A dan B adalah 0.765

dan 0.852 (berturut-turut). Dengan demikian, pada kitosan B perbandingan antara

jumlah amina yang terbentuk lebih banyak dibandingkan N-asetil karena

konsentrasi kitosan B lebih besar daripada kitosan A. Peningkatan absorban juga

terdapat pada bilangan gelombang 1600-1700 cm-1, yaitu menunjukkan serapan

gugus NH2 guntingan dan N-H tekuk. Kitosan A menunjukkan absorban 0.712,

sedangkan kitosan B 0.745. Perubahan absorban ini menunjukkan adanya

interaksi antara kitosan dengan NaOH, dimana penambahan NaOH dapat

menghidrolisis gugus N-asetil pada gugus amida menjadi amina dan asam

karboksilat. Dengan demikian, bila jumlah gugus amina meningkat maka

absorbansi dan konsentrasi juga akan meningkat. Pada bilangan gelombang 1000-

1100 cm-1, menunjukkan ikatan –C–O–C– yang merupakan ikatan glikosidik

antar rantai monomer. Kitosan A mempunyai absorban 0.728, sedangkan kitosan

B mempunyai absorban 0.721. Penurunan nilai absorban pada kitosan B terjadi

akibat pemutusan ikatan glikosidik yang terjadi pada beberapa monomer sehingga

dapat menurunkan bobot molekul dan viskositas kitosan menyebabkan kelarutan

yang lebih besar dibandingkan kitosan A.

Berdasarkan hasil pada Tabel 5, gugus fungsi spesifik kitosan masih sesuai,

yaitu adanya vibrasi –OH, vibrasi ulur N-H yang tajam, vibrasi ulur dari gugus C-

H metilen, vibrasi guntingan NH2 dan bengkokan N-H, serta vibrasi gugus C-O-

C. Perbedaan yang terjadi antara kitosan A dan B terdapat pada serapan gugus –

OH yang mengalami pelebaran puncak pada kitosan B. Hal ini menunjukkan

bahwa ikatan hidrogen pada kitosan B lebih kuat daripada kitosan A disebabkan

adanya interaksi ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih besar karena jumlah

NH2

yang lebih banyak.

Tabel 5 Perbandingan spektrum FTIR kitosan A dan B

Gugus fungsi Bilangan gelombang (cm-1)

Kitosan A Kitosan B Literatur *)

-OH 3567.9 3564.1 3450.0

N-H ulur 3567.9 3564.1 3335.0

C-H ulur 2904.6 2906.7 2891.1

NH2 1646.7 guntingan, N-H bengkok 1608.2 1655.0

C-O-C 1076.9 1156.9 1072.3

NH2 820.5 kibasan dan pelintiran 810.3 850.0-750.0

Dalam hidrolisis basa terhadap kitin dan kitosan, adanya oksigen dan ion

hidroksil tidak menginisiasi putusnya ikatan glikosida melainkan menyerang atom

C pada gugus karbonil (-C=O-), karena lebih bermuatan positif dibandingkan

atom C pada ikatan glikosida. Air yang berlebihan dalam larutan berhasil

memutuskan ikatan pada N-asetil menghasilkan asam asetat dan amina. Adapun

fungsi NaOH pada reaksi hidrolisis ini adalah sebagai katalis basa. Adapun

mekanisme reaksi hidrolisis yang terjadi pada kitosan adalah seperti pada Gambar

7.

Gambar 7 Mekanisme reaksi hidrolisis kitosan (Sumber: Samiyatun 2010)

Hasil pengukuran viskositas kitosan A dan B ditunjukkan pada Tabel 6,

yaitu semakin tinggi konsentrasi, maka viskositas spesifik dan kinematik semakin

meningkat. Nilai kelarutan kitosan sangat dipengaruhi oleh viskositas spesifik dan

kinematik namun tidak dipengaruhi oleh viskositas intrinsik.

Pada konsentrasi yang sama, kitosan A memiliki nilai viskositas spesifik

dua kali lebih besar daripada kitosan B. Viskositas berhubungan erat dengan

kelarutan. Kecepatan alir kitosan B terhadap pelarut asam asetat lebih cepat

daripada kitosan A karena nilai viskositas yang lebih kecil. Oleh karena itu,

kitosan B mempunyai kelarutan yang lebih besar daripada kitosan A.

Selain konsentrasi, nilai viskositas kinematik dipengaruhi oleh densitas

larutan yang dihubungkan dengan viskositas spesifik melalui koefisien kinematik.

Nilai koefisien kinematik yang digunakan adalah 0.009671 cSt per detik.

Viskositas kinematik yang didapat merupakan hasil perkalian antara waktu alir

kitosan A dan B dengan koefisien kinematik (Tabel 6). Pada konsentrasi yang

sama, kitosan B mempunyai nilai viskositas kinematik yang lebih rendah

dibandingkan kitosan A.

Tabel 6 Nilai viskositas spesifik, kinematik, dan intrinsik kitosan A dan B

Sampel Konsentrasi (% b/v)

Viskositas Spesifik

Viskositas Kinematik

(cSt)

Viskositas Intrinsik (ml/g)

Kitosan A 0.02 0.14 0.78 5.09

0.04 0.25 0.86

0.06 0.39 0.95

0.08 0.75 1.20

0.1 1.20 1.50

Kitosan B 0.02 0.05 0.72 2.46

0.04 0.12 0.77

0.06 0.20 0.82

0.08 0.28 0.88

0.1 0.39 0.95

Pengaruh perlakuan kimiawi terhadap kitosan ditunjukkan oleh perbedaan

viskositas intrinsik. Viskositas intrinsik pada kitosan A adalah 5.09 ml/g,

sedangkan pada kitosan B menurun menjadi setengahnya, yaitu 2.46 ml/g.

Konsentrasi larutan tidak mempengaruhi viskositas intrinsik, karena viskositas

intrinsik diperoleh dari kurva rasio antara viskositas spesifik dengan konsentrasi

yang diekstrapolasi hingga konsentrasinya mendekati nol (Lampiran 4). Dengan

demikian, pengaruh konsentrasi terhadap viskositas intrinsik ditiadakan (Hwang

et al. 1997).

Viskositas berhubungan erat dengan BM, karena nilai BM diperoleh dari

nilai viskositas intrinsik dan koefisien yang dihubungkan melalui persamaan

Mark-Houwink, yaitu: . Nilai .

Berdasarkan persamaan tersebut, nilai viskositas intrinsik sebanding dengan nilai

BM, bila viskositas intrinsik menurun maka BM juga akan menurun. Bobot

molekul kitosan B mengalami penurunan menjadi 1.1×105 g/mol dan termasuk

kitosan BM sedang, sedangkan kitosan A mempunyai BM yang sama dengan

hasil karakterisasi Wahyono 2009, yaitu 3.0×105

g/mol dan termasuk BM tinggi.

Hubungan antara Viskositas, Bobot Molekul, dan Derajat Deasetilasi

Untuk mengamati hubungan antara perlakuan perendaman dengan NaOH

terhadap viskositas dan bobot molekul sampel kitosan hasil hidrolisis NaOH pada

suhu 100ºC waktu 1 jam, seperti ditunjukkan oleh Tabel 7. Penggunaan suhu

100ºC dan waktu 1 jam pada proses hidrolisis dimaksudkan untuk memutuskan

gugus asetil yang lebih banyak tanpa memecah ikatan polimer antar rantai

molekul kitosan, sehingga pengaturan waktu dan dan suhu sangatlah penting

untuk mencegah degradasi molekul lebih banyak. Menurut Johnson (1982) dalam

Rochima (2004), penggunaan suhu yang terlalu tinggi (di atas 150ºC) menyebabkan

pemecahan ikatan polimer (depolimerisasi) rantai molekul kitosan sehingga

menurunkan BM kitosan. Sedangkan pada suhu di bawah 100ºC, pemutusan gugus

asetil tidak berlangsung sempurna dan membutuhkan waktu lebih lama. Rochima

(2004) melaporkan, BM kitosan setelah deasetilasi enzimatis menurun dari 30.697

g/mol menjadi 6.05 g/mol. Hasil penelitian Brzezinski et al. 2004 menunjukkan

bahwa kitosan yang memiliki BM medium (30 kDa) ternyata mempunyai aktivitas

anti kolesterol yang lebih tinggi daripada kitosan BM tinggi (250 kDa).

Tabel 7 Hubungan bobot molekul, viskositas intrinsik, dan derajat deasetilasi kitosan

Kitosan Bobot Molekul Viskositas Intrinsik (mL/g)

Derajat Deasetilasi (%) (g/mol)

A 3.0×10 50.937 5 77.26

B 1.1×10 24.596 5 98.44

Bobot molekul berhubungan dengan derajat polimerisasi. Polimer rantai

lurus seperti kitosan akan menunjukkan peningkatan densitas jika derajat

polimerisasi bertambah. Wang et al. (2001) menunjukkkan hubungan linier antara

nilai log viskositas intrinsik dengan nilai log bobot molekul, untuk larutan kitosan

dengan derajat deasetilasi yang sama. Proses hidrolisis yang terjadi lebih banyak

menghidrolisis gugus amida menjadi amina dibanding memutuskan ikatan

glikosidik pada kitosan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil perhitungan derajat

polimerisasi (Lampiran 5) kitosan A dan B, yaitu 5.36×10-4 dan 1.46×10-3

(berturut-turut). Dengan demikian, ikatan polimer antar rantai molekul kitosan

tidak banyak mengalami degradasi, sehingga BM kitosan tidak mengalami

penurunan yang drastis.

Setelah hidrolisis NaOH, derajat deasetilasi meningkat 21.18% (dari 77.26%

menjadi 98.44%), dan menurunkan nilai viskositas intrinsik (dari 5.10 mL/g

menjadi 2.46 mL/g) serta bobot molekul kitosan (dari 3.0×105 g/mol menjadi

1.1×105

Setelah proses deasetilasi, gugus asetamida berubah menjadi amina sebagian

atau seluruhnya. Kondisi gugus amina dalam larutan akan terprotonasi

membentuk –NH

g/mol). Rochima (2004) melaporkan derajat deasetilasi kitosan setelah

deasetilasi enzimatis meningkat dari 87.81% menjadi 99.36%, tetapi menurunkan

viskositas intrinsik (6.93 mL/g menjadi 4.87 mL/g) dan bobot molekul (dari 6.05

kDa menjadi 4.13 kDa). Penurunan viskositas hanya mungkin terjadi jika selama

inkubasi dengan enzim terjadi degradasi rantai polimer atau depolimerisasi.

Depolimerisasi tersebut diduga karena adanya enzim-enzim pendegradasi kitin

dan kitosan yang lain di dalam ekstrak enzim CDA dari Bacillus K29-14. Dengan

demikian, proses deasetilasi kimiawi yang terjadi menunjukkan hasil yang sama

dengan proses deasetilasi secara enzimatis.

3+

sehingga hambatan berotasi menjadi berkurang bahkan hilang.

Dengan demikian rigiditas kitosan menurun dan kelarutan (softness) meningkat

saat DD meningkat. Semakin tinggi DD, residu amina semakin banyak sehingga

muatan positif kitosan juga semakin banyak. Di dalam larutan, tingginya muatan

positif akan menghasilkan gaya tolak-menolak yang akan membuat polimer

kitosan yang sebelumnya berbentuk gulungan, membuka menjadi rantai lurus,

dengan demikian viskositas larutan akan menurun (Rochima 2004).

Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Kitosan

Hasil uji aktivitas antibakteri kitosan terhadap E. coli dan S. aureus

ditunjukkan oleh Gambar 8 dan 9. Seperti ditunjukkan Gambar 8, aktivitas kitosan

terhadap E. coli pada konsentrasi 625, 1250, 2500, dan 5000 ppm, kitosan A

menunjukkan diameter zona bening 0.91, 2.32, 4.63, dan 7.65 mm, sedangkan

kitosan B memiliki diameter zona bening 1.41, 2.88, 6.36, dan 8.67 mm (berturut-

turut). Aktivitas antibakteri kitosan A terhadap S. aureus menunjukkan diameter

zona bening 0.56, 1.57, 3.14, dan 5.59 mm, sedangkan kitosan B memiliki

diameter zona bening 1.06, 1.99, 3.54, dan 5.59 mm (berturut-turut). Peningkatan

konsentrasi larutan kitosan sebanding dengan diameter zona bening yang

terbentuk. Hal ini menandakan aktivitas antibakteri kitosan meningkat seiring

dengan peningkatan konsentrasi. Aktivitas antibakteri pada kitosan B lebih besar

daripada kitosan A, dibuktikan dengan selisih diameter zona bening, dengan

demikian aktivitas antibakteri sebanding dengan peningkatan DD dan penurunan

BM kitosan. Namun persentase peningkatan aktivitas antibakteri kitosan B

menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi (Gambar 8). Hal ini disebabkan

dengan semakin tinggi konsentrasi, maka viskositas akan semakin meningkat

sehingga kitosan akan lebih sulit berdifusi dalam agar.

Thatte (2004) melaporkan, kitosan dengan BM tinggi (lebih besar dari 500

kDa) memiliki aktivitas antibakteri yang kurang efektif dibandingkan kitosan

dengan BM yang lebih rendah. Hal ini terkait dengan viskositas kitosan yang

besar pada kitosan dengan BM tinggi, sehingga kitosan sulit berdifusi. Tsai et al.

(2004), membandingkan kitosan dengan BM rendah (12 kDa) dan oligomer

kitosan. Aktivitas antibakteri yang lebih baik ditunjukkan oleh kitosan dengan

BM rendah dibanding bentuk oligomernya. Hal ini karena pada kitosan dengan

BM rendah mempunyai sisi kationik yang lebih banyak dibandingkan oligomer

kitosan. Oligomer kitosan hanya tersusun dari 2 sampai 10 unit monomer

sehingga sisi kationik sangat terbatas, sedangkan pada kitosan BM rendah

memiliki panjang rantai yang lebih banyak sehingga lebih aktif dalam

menghambat pertumbuhan bakteri.

Jika dibandingkan dengan kontrol positif (amoksisilin 100 ppm),

amoksisilin memiliki diameter zona bening yang lebih besar dan lebih efektif

daripada kitosan, yaitu 13.55 mm terhadap E.coli dan 22.80 mm terhadap S.

aureus. Hal ini tentu saja terkait dengan tingkat kemurnian komponen antibiotik

yang mempunyai tingkat kemurnian lebih tinggi. Amoksisilin merupakan penisilin

semi-sintetik oral yang secara struktur berhubungan dengan ampisilin dan digunakan

untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif seperti

Streptococcus pneumoniae, Enterococci, Listeria dan Staphylococcus yang tidak

menghasilkan penisilinase, selain itu juga dapat menghambat bakteri gram negatif

seperti Neisseria gonorrhoeae, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Proteus

mirabilis, Salmonella (McEvoy 2002).

Gambar 8 Aktivitas antibakteri kitosan A dan B terhadap E. coli

Gambar 9 Aktivitas antibakteri kitosan A dan B terhadap S. aureus

Uji aktivitas antibakteri yang digunakan pada penelitian ini adalah metode

difusi sumur agar. Metode difusi sumur agar cocok digunakan untuk komponen

yang berbahan dasar cair kerena komponen tersebut dapat berdifusi baik ke dalam

media agar padat (Sugiyono 2004). Selain itu, jumlah dan konsentrasi kitosan

sangat berpengaruh terhadap interaksi dengan bakteri. Jika pada metode difusi

cakram kitosan yang mampu diserap oleh kertas cakram sebanyak 20 µL, pada

difusi sumur agar sampel yang bisa dimasukkan dalam sumur sebanyak 50 µL,

sehingga semakin banyak jumlah kitosan yang berdifusi ke dalam agar, interaksi

terhadap bakteri juga semakin besar.

Hubungan aktivitas antibakteri dan BM kitosan juga telah dilakukan oleh

Liu et al. (2006) dilaporkan bahwa BM kitosan pada konsentrasi tinggi (200, 500,

dan 1000 ppm) dan konsentrasi rendah (20 ppm) tidak berpengaruh terhadap

aktivitas antibakteri, tetapi pada konsentrasi 50-100 ppm aktivitas antibakteri

kitosan berbeda saat BMnya berbeda pula. Bobot molekul kitosan yang digunakan

oleh Liu et al. berkisar antara 5.5×104 - 50×104

Kitosan B memiliki DD yang lebih besar daripada kitosan A. Seperti

dijelaskan sebelumnya, bahwa DD kitosan berpengaruh karena semakin besar DD

kitosan maka gugus asetil yang terdapat di kitosan seminimal mungkin,

sedangkan gugus amina akan semakin banyak. Hasil ini sesuai dengan hasil

penelitian Hongpattarakere & Riyaphan (2008), yang telah memvariasikan kondisi

perlakuan deasetilasi dengan NaOH 50% pada 100ºC, yaitu dengan kondisi

vakum, nitrogen, dan tekanan atmosfer. Kitosan yang mempunyai DD tertinggi

yaitu dengan tekanan atmosfer, menunjukkan KHM terendah, baik terhadap E.

coli , S. aureus, dan C. albican.

Da. Dengan demikian, BM sangat

berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri kitosan.

Sisi aktif kitosan terdapat pada gugus amina, karena jika dilarutkan dalam

asam asetat atau asam organik lainnya akan bermuatan positif sangat kuat,

sehingga semakin banyak gugus amina, maka makin banyak pula muatan

positifnya. Muatan positif ini yang akan berinteraksi dengan muatan negatif

bakteri, yaitu dapat menarik molekul asam amino (asam aspartat dan asam

glutamat) pembentuk protein dalam membran sel bakteri sehingga menyebabkan

kebocoran membran intrasel. Gugus fungsional amina juga memiliki pasangan

elektron bebas sehingga dapat menarik mineral Mg2+ yang terdapat pada ribosom

dan mineral Ca2+ yang terdapat pada dinding sel mikroba dengan membentuk

ikatan kovalen koordinasi. Kedua hal tersebut menjadikan kitosan dapat

mengakibatkan timbulnya kebocoran konstituen intraseluler sehingga mikroba

akan mati.

Keberadaan air terhadap mikroba sangatlah penting. Disamping sebagai

penyusun utama mikroba, air juga mempengaruhi pertumbuhan mikroba dan

jumlah air yang tersedia memiliki kaitan yang erat dengan pertumbuhan mikroba

di dalamnya. Jika kandungan air suatu bahan diturunkan, maka pertumbuhan

mikroba akan diperlambat. Oleh karena itu, keberadaan kitosan yang mampu

mengikat air menyebabkan pertumbuhan mikroba dalam suatu makanan menjadi

terhambat. Pada umumnya, molekul air ditahan secara kuat di dalam kitosan

sehingga terjadi proses penggelembungan.

Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) Kitosan terhadap E. coli dan S. aureus

Konsentrasi hambat minimal ditentukan untuk mengetahui konsentrasi

terendah kitosan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri baik E. coli

ataupun S. aureus. Penentuan KHM dilakukan terhadap kedua kitosan dengan

menggunakan metode difusi sumur agar, dimulai dari konsentrasi terendah sampai

tertinggi (156.25-5000 ppm), sedangkan sebagai pembanding dan kontrol

menggunakan amoksisilin (100 ppm). Nilai KHM ditunjukkan oleh sumur dengan

konsentrasi terendah yang masih memiliki zona bening disekitarnya. Contoh

penentuan KHM kitosan A terhadap bakteri S. aureus dapat dilihat pada Gambar

10.

Gambar 10 Contoh cara penentuan KHM kitosan A dengan difusi sumur agar

terhadap bakteri S. aureus, dengan konsentrasi (1) 5000, (2) 2500, (3) 1250, (4) 625, (5) 312.5, (6) 156.25, dan (7) amoksisilin 100 ppm

Konsentrasi hambat minimal seperti ditunjukkan pada Tabel 8. Pada kitosan

A, konsentrasi terendah yang mampu menghambat E. coli dan S. aureus adalah

625 ppm, sedangkan kitosan B konsentrasi terendah yang mampu menghambat

1 2

3

4 5

6

7

312.5 ppm untuk E. coli dan 625 ppm terhadap S. aureus. Dengan demikian,

kitosan B lebih efektif dalam melakukan penghambatan terhadap E. coli

sedangkan terhadap S. aureus sedikit pengaruhnya.

Tabel 8 Konsentrasi Hambat Minimal Kitosan A dan B

Jenis Kitosan KHM (ppm)

E. coli S. aureus

Kitosan A 625 625

Kitosan B 312.5 625

Beberapa penelitian lain juga telah melaporkan nilai KHM kitosan dan

turunannya terhadap berbagai mikroba uji. Kitosan yang dihasilkan dalam

penelitian ini memiliki nilai KHM yang mendekati jika dibandingkan dengan

Hongpattarakere (2006), Du et al. (2009), Tsai et al. (2002), dan Devlieghere et

al. (2004). Penelitian Hongpattarakere (2008) menghasilkan kitosan dengan nilai

KHM 625 ppm. Du et al. (2009) melakukan uji antibakteri terhadap kitosan dan

nanopartikel kitosan dengan logam. Nilai KHM kitosan yang dilaporkan Du et al.

(2009) adalah 468 ppm terhadap E. coli dan 656 ppm terhadap S. aureus.

Konsentrasi hambat minimal kitosan yang dilaporkan oleh Tsai et al. (2002) dan

Devliehghere et al. (2004) adalah 100 ppm terhadap 2 bakteri uji yang berbeda

yaitu E. coli dan S. aureus. Nilai-nilai tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan

dengan nilai KHM dalam penelitian ini.

Ada keterbatasan dalam membandingkan hasil KHM yang dilakukan

antara studi yang satu dengan lainnya. Hal ini terkait dengan metode uji yang

digunakan dan kriteria yang dipilih untuk menyatakan KHM. Misalnya, Carson

dan Riley (1995) mendefinisikan KHM sebagai konsentrasi terendah yang mampu

menurunkan jumlah sel yang hidup selama 24 jam waktu kontak. Remmal et al.

(1993) menggunakan definisi yang sama tapi dengan waktu kontak yang lebih

lama, yaitu selama 24-48 jam setelah terlihat pertumbuhan pada kontrol. Metode

cepat dengan mikrotiter yang dilaporkan Chand et al. (1994) yang menentukan

KHM dalam waktu kontak 4 jam, tidak membedakan KHM dan KBM

(Konsentrasi Bunuh Minimal).

Berdasarkan nilai penghambatan (diameter zona bening) dan KHM yang

ditunjukkan Tabel 8, bakteri E. coli (gram negatif) lebih sensitif terhadap kitosan

(A dan B) dibandingkan bakteri S. aureus (gram positif). Mekanisme reaksi antara

kitosan dan bakteri belum bisa diketahui secara pasti, namun dugaan mekanisme

yang terjadi merujuk pada beberapa literatur yang ada. Pada bakteri gram negatif

terdapat outer membran dan peptidoglikan yang tipis, sehingga muatan positif

dari kitosan akan berinteraksi ionik dengan membran sel yang bermuatan negatif,

sedangkan pada bakteri gram positif memiliki peptidoglikan 40-90% (tebal sekitar

15-80 nm), sehingga perlindungan terhadap lisis jauh lebih baik dibanding bakteri

gram negatif.

Beberapa penelitian sebelumnya, kitosan menunjukkan efek antibakteri

yang besar pada bakteri gram positif dibanding gram negatif seperti yang

dilaporkan oleh No et al. (2002), yaitu kitosan dengan konsentrasi 0.1%. Zhang et

al. (2003) melaporkan aktivitas antibakteri kitosan dengan derajat deasetilasi

69.10% sampai 92.52%, diperoleh laju reduksi Escherichia coli 62.14 sampai

84.98% dan Hay bacillus 33.96% sampai 82.53%. Kecenderungan meningkatnya

aktivitas antibakteri kitosan dengan menurunnya berat molekul hanya berlaku

pada bakteri gram negatif, dan tidak berlaku untuk gram positif (No et al. 2002).

Menurut Zheng dan Zhu (2003) aktivitas antibakteri S. aureus (gram-positif)

meningkat ketika berat molekul kitosan meningkat, hal ini disebabkan kitosan

dengan berat molekul besar akan membentuk lapisan yang menghambat absorbsi

nutrisi dari luar sel. Aktivitas antibakteri terhadap E. coli (gram-negatif)

meningkat ketika berat molekul kitosan menurun, hal ini karena kitosan dengan

berat molekul kecil lebih mudah masuk ke dalam sel dan mengganggu

metabolisme sel. Pengaruh viskositas terhadap aktivitas antibakteri kitosan yang

diaplikasikan sebagai bahan pengisi pada kemasan plastik yaitu semakin besar

viskositas maka aktivitas antibakteri menjadi turun. Jika konsentrasi kitosan kecil

maka viskositas rendah. Konsentrasi kitosan yang mencapai harga yang cukup

tinggi menyebabkan tingginya viskositas kitosan menjadi turun dan hanya sedikit

sekali kitosan yang masuk.

Oleh karena itu, jumlah gugus amino kuarterner akan turun ketika

konsentrasi kitosan naik dan aktivitas antibakteri menjadi turun. Prashanth dan

Tharanathan (2007) menyebutkan bahwa kation dari molekul kitosan

meningkatkan kekuatan ikatan di atas permukaan sel mikrobial, yang

menyebabkan penyusutan membran sel secara perlahan dan akhirnya

menyebabkan kematian sel. Beberapa kemungkinan lain tentang aktivitas

antibakteri adalah polikation molekul kitosan berinteraksi dengan komponen

anionik dinding sel mikrobial (lipopolisakarida dan protein) secara dominan, yang

menghasilkan kerusakan komponen intraseluler karena perubahan permeabilitas,

terjadi pencegahan masuknya nutrien kedalam sel; berikatan dengan DNA

kemudian menghambat RNA dan sintesis protein; berikatan melalui interaksi

hidrofobisitas. Zhang et al. (2003) menyebutkan bahwa aktivitas antibakteri oleh

kitosan dapat melalui beberapa mekanisme, yaitu: pertama, polikation kitosan

mengganggu metabolisme bakteri dengan melapisi permukaan sel bakteri. Kedua,

kitosan mengikat DNA bakteri untuk menghambat sintesis RNA. Liu et al. (2006)

menyebutkan bahwa aktivitas antibakteri kitosan melalui flokulasi sehingga

membunuh bakteri. Aktivitas antibakteri dapat melalui cara membunuh

mikroorganisme (bakteriosidal) dan atau penghambat pertumbuhan

mikroorganisme (bakteriostatik) dengan jalan menghancurkan atau menganggu

dinding sel, menghambat sintesis dinding sel, menghambat sintesis protein dan

asam nukleat, merusak DNA, denaturasi protein, menghambat aktivitas enzim.