HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum BBRVBD Cibinong · meningkatkan sistem rehabilitasi vokasional...
Transcript of HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum BBRVBD Cibinong · meningkatkan sistem rehabilitasi vokasional...
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum BBRVBD Cibinong
BBRVBD Cibinong atau juga dikenal dengan National Vocational
Rehabilitation Center (NVRC) dibangun sebagai wujud persahabatan dan
kerjasama Pemerintah RI (Kementerian Sosial) dengan Pemerintah Jepang (JICA)
yang peletakan batu pertama dilakukan oleh Menteri Sosial RI (Dra. Inten
Soeweno) pada bulan November 1996 dan mulai dibangun awal Tahun 1997.
Pada tanggal 29 Desember 1997 Gedung BBRVBD diresmikan oleh Wakil
Presiden RI Bapak Try Sutrisno dan mulai operasional melakukan pelayanan
rehabilitasi vokasional bagi para penyandang disabilitas tubuh dimulai pada awal
tahun 1998. BBRVBD Berlokasi di Jl. SKB No. 5, Karadenan, Cibinong, Bogor,
Jawa Barat sebagaimana ditunjukkan oleh gambar pada Lampiran 1.
BBRVBD didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan dan
meningkatkan sistem rehabilitasi vokasional di Indonesia agar para penyandang
disabilitas memiliki keterampilan dan keahlian dalam pekerjaan, mandiri
sehingga mampu hidup bermasyarakat. Di BBRVBD penyandang disabilitas
dibekali pengetahuan, sikap dan keterampilan kerja secara profesional agar
mampu bersaing di pasaran kerja.
BBRVBD dipimpin oleh seorang Kepala dengan jabatan setingkat eselon
II.a dan 4 (empat) pejabat eselon III.a dan 12 (dua belas) pejabat eselon IV.a serta
Kelompok Jabatan Fungsional.
BBRVBD merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis rehabilitasi
vokasional bina daksa di lingkungan Kementerian Sosial yang mempunyai tugas
melaksanakan pelayanan rehabilitasi vokasional tingkat lanjutan, pelatihan,
penelitian/pengkajian dan pengembangan rehabilitasi vokasional bagi penyandang
disabilitas tubuh yang berasal dari Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa
(BBRSBD), Panti Sosial Bina Daksa (PSBD), Loka Bina Karya (LBK) seluruh
Indonesia dan masyarakat. Gambaran sebaran asal penyandang disabilitas
penerima manfaat BBRVBD dapat dilihat pada gambar di Lampiran 2.
Dalam melaksanakan rehabilitasi vokasional, BBRVBD melaksanakan
serangkaian kegiatan seleksi termasuk kelengkapan administrasi dengan
persyaratan umum sebagai berikut: penyandang disabilitas tubuh dan tidak
memiliki disabilitas lainnya seperti tuna netra, tuna grahita/mental dengan kriteria:
sehat jasmani dan rohani dan tidak mempunyai penyakit menular yang
dinyatakan dengan surat keterangan dokter, WNI pria maupun wanita, berusia
minimal 18 tahun s/d 40 tahun, tidak mempunyai tanggungan keluarga,
melampirkan foto copy ijasah pendidikan formal terakhir, diutamakan untuk yang
telah lulus mengikuti keterampilan dasar dilengkapi sertifikat dari BBRSBD,
PSBD, LBK atau badan diklat/kursus lainnya, tidak memerlukan pelayanan
rehabilitasi medik (operasi, pasca operasi, fisioterapi, alat bantu dan lain-lain)
selama proses pelatihan berlangsung, tidak menderita epilepsi, tidak buta warna
total, tidak memiliki disabilitas ganda, bersedia untuk tinggal di asrama dan
mematuhi segala peraturan yang ada.
BBRVBD memberlakukan persyaratan khusus bagi jurusan tertentu, seperti
untuk jurusan Komputer yaitu pendidikan minimal SLTA sederajat; untuk
jurusan Penjahitan, Pekerjaan Logam dan Otomotif adalah pendidikan minimal
25
SD sederajat dan memiliki keterampilan dasar; sedangkan untuk jurusan Desain
Grafis dan Elektronika adalah pendidikan minimal SLTP sederajat dan memiliki
keterampilan dasar.
Pendaftaran dilakukan melalui petugas Dinas Sosial Kabupaten/Kota, Dinas
Sosial Provinsi setempat atau ke BBRSBD/PSBD terdekat atau langsung ke
BBRVBD, dimana calon peserta mendaftar dan melengkapi berkas pendaftaran di
Dinas Sosial Kabupaten/ Kota, Dinas Sosial Provinsi atau ke
BBRVBD/BBRSBD/PSBD terdekat atau langsung ke BBRVBD. Kemudian
berkas pendaftaran dari Dinas Sosial Kabupaten/Kota dikirim ke Dinsos Provinsi/
BBRVBD/BBRSBD/PSBD yang terdekat atau langsung menghubungi Dinsos
Provinsi atau BBRVBD/BBRSBD/PSBD terdekat untuk dicek kelengkapanya.
Calon kelayan yang memenuhi syarat akan dipanggil ke Dinsos Provinsi/
BBRVBD/BBRSBD/PSBD yang terdekat untuk mengikuti assesment test.
Pelatihan Vokasional BBRVBD Cibinong
Program pelatihan vokasional disusun berdasarkan dengan mengacu kepada
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) serta berorientasi pada
kebutuhan lapangan kerja melalui supervisi, penelitian dan pengembangan Bidang
Litbang BBRVBD. Pelatihan vokasional di BBRVBD terdiri dari:
(1) Jurusan Komputer yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan lanjut bagi penyandang disabilitas tubuh agar memiliki
kemampuan berbagai macam program meliputi: Operating System,
Ms.Power Point, Ms.Word, Ms.Excel, Operasional Printer, anti virus
Internet, Instalasi PC, Instalasi Software, Instalasi Jaringan Lokal (LAN),
Ms.Acces, Algoritma, JAVA, Ms.Visual Basic dan Web Desain.
(2) Jurusan Penjahitan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan lanjut bagi penyandang disabilitas tubuh agar memiliki
kemampuan mengoperasikan berbagai macam mesin kecepatan tinggi (high
speed) secara tepat dan aman, merancang berbagai macam pola pakaian
pria, wanita dan anak-anak, menjahit sistem tailor maupun industri garmen
hingga finishing dan pengepakan.
(3) Jurusan Percetakan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan lanjut bagi penyandang disabilitas tubuh agar memiliki
kemampuan di bidang grafika, yakni melakukan type setting melalui
komputer, membuat desain grafis, pemrosesan photo, pencetakan hitam
putih, separasi, penjilidan serta pengoperasian berbagai macam alat/mesin
cetak.
(4) Jurusan Elektronika yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan lanjut bagi penyandang disabilitas tubuh agar memiliki
kemampuan di bidang Elektronika, yaitu kemampuan membuat sistem
relay/sequential control program otomatis dengan PLC, rangkaian logika
dan system digital, menggulung motor dan trafo, system pendingin dan
instalasi listrik serta audio video system sensor.
(5) Pekerjaan Logam yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan lanjut bagi penyandang disablitas tubuh agar memiliki
kemampuan berproduksi dengan menggunakan/mengoperasikan alat/mesin
bubut, frais, las busur manual/SMAW, las oksigen-asetilen serta gambar
teknik autocad.
26
(6) Jurusan Otomotif yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan lanjut bagi penyandang disabilitas tubuh agar memiliki
kemampuan di bidang otomotif mobil dan motor, sehingga kelayan
mengetahui, memahami, dan mampu mereperasi sistem engine group,
power train, suspension, electrical, brake, tune-up dan body painting.
Setelah mengikuti pelatihan vokasional, penyandang disabilitas peserta
pelatihan mengikuti kegiatan Praktek Belajar Kerja (PBK) atau magang (on the
job training) yang merupakan suatu proses penerapan ilmu pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang mereka peroleh selama mengikuti pelatihan
vokasional, dengan tujuan untuk memberikan wawasan, pengalaman dalam dunia
kerja dan sekaligus mempraktekan ilmu dan keterampilannya.
Tahap berikutnya adalah tahap penyaluran kerja yang merupakan tahap
penempatan kerja bagi peserta pelatihan BBRVBD Cibinong yang sedang dan
atau telah mengikuti pelatihan vokasional maupun PBK di perusahaan, instansi
pemerintah maupun usaha mandiri/wiraswasta. Lalu peserta memasuki tahap
bimbingan lanjut yang merupakan kegiatan bimbingan, monitoring dan evaluasi
terhadap lulusan BBRVBD Cibinong yang berkaitan dengan disiplin kerja,
motivasi kerja, produktifitas kerja serta pengembanganya. Sedangkan kontribusi
dari perusahaan diharapkan dapat memberikan masukan-masukan untuk
peningkatan program rehabilitasi vokasional, khususnya kegiatan PBK dan
penyaluran kerja.
Tahap terakhir dari kegiatan rehabilitasi vokasional yang dilakukan oleh
BBRVBD Cibinong adalah tahap terminasi, yaitu kegiatan pemutusan hubungan
antara kegiatan rehabilitasi BBRVBD dengan kelayan. Kegiatan ini bertujuan agar
kelayan dapat mandiri, dan tidak tergantung dengan BBRVBD tempat mereka
memperoleh layanan rehabilitasi vokasional. Data Praktek Belajar Kerja (PBK)
dan Penyaluran kerja dari peserta pelatihan dari tahun 1998-2011 dapat dilihat
pada Tabel 3.
BBRVBD memiliki sarana fisik dengan luas tanah 35.474 m2 dan luas
bangunan 12.994 m2. Fasilitas yang tersedia meliputi beberapa fasilitas umum.
Aula serbaguna miliki kapasitas tampung maksimum 500 orang, dengan
dilengkapi audio visual dan AC. Ruang pertemuan/Aula Melati memiliki
kapasitas 200 orang, dilengkapi sound system dan AC. Wisma Mawar
berkapasitas 60 orang terdiri dari 23 kamar, kapasitas per kamar 2-3 orang
dengan fasilitas AC, TV, kamar mandi di dalam dan tempat cuci.
Ruang konferensi memiliki kapasitas 30 orang dilengkapi dengan audio
visual dan AC. Ruang Audio-Visual memiliki kapasitas 60 orang, dilengkapi
dengan audio visual dan AC. Laboratorium Bahasa memiliki kapasitas 20 orang
dilengkapi dengan audio visual dan AC. Ruang Data dilengkapi dengan hasil
karya kelayan, ruangan ber AC. Ruang Seminar memiliki kapasitas 16 orang
dilengkapi dengan AC. Terdapat tempat Ibadah (Masjid Al-Fattah) dan fasilitas
transportasi berupa 3 (tiga) buah bis, 1 (satu) bis besar, 2 (dua) bis kecil dan
kendaraan UPSK dengan garasi mobil. Terdapat koridor/selasar dan halaman.
Fasilitas untuk Kelayan berupa transportasi dari daerah asal ke BBRVBD,
pengasramaan maksimal 9 (sembilan) bulan, permakanan maksimal 9 (sembilan)
bulan, pelayanan kesehatan, seragam, pakaian olah raga, fasilitas kesenian (alat
musik, karaoke). Fasilitas olah raga untuk bulutangkis, tenis meja, bola volley,
billiard. Kelayan mendapatkan widyawisata, perpustakaan, pemondokan pada saat
27
praktek kerja/PBK (selama 2 bulan), uang konsumsi selama PBK (selama 60
hari), transportasi ke tempat PBK, transportasi ke tempat kerja atau untuk
kembali ke daerah asal kelayan (apabila kelayan tidak mendapat tempat kerja),
fasilitas Pelatihan Vokasional, ruang belajar praktek (workshop) dengan kapasitas
20 kelayan per ruangan.
Aktivitas peserta selama pelatihan disesuaikan dengan aktivitas di dunia
kerja pada umumnya. Pukul 6 (enam) pagi, peserta melakukan senam pagi dan
dilanjutkan dengan sarapan pagi. Peserta baru mengikuti kegiatan pelatihan mulai
dari pukul 8 (delapan) pagi sampai dengan pukul 4 (empat) sore, dengan waktu
istirahat selama 1 jam. Pengaturan waktu pelatihan seperti ini disesuaikan dengan
jam kerja kantor pada umumnya di dunia kerja dengan tujuan agar peserta
pelatihan terbiasa mengikuti pola waktu di tempat kerja nantinya. Hari Sabtu
digunakan untuk kegiatan ekstra kurikuler bagi peserta. Sedangkan Hari Minggu
tetap sebagai hari libur dimana peserta dapat memanfaatkannya untuk kegiatan
bebas. Aktivitas seperti ini dilaksanakan dalam jangka waktu 8 (delapan) bulan
selama mereka tinggal di BBRVBD. Aktivitas 2 (dua) bulan berikutnya adalah
aktivitas magang di perusahaan, dimana peserta pelatihan benar-benar masuk ke
dunia kerja yang sesungguhnya dan mereka tinggal di rumah sewa di sekitar
lokasi magang. Masa ini merupakan masa transisi dari kegiatan „bekerja‟ di
workshop BBRVBD sebagai ajang pelatihan kepada dunia kerja yang
sesungguhnya di pasar kerja terbuka.
28
Tab
el 3
R
ekap
itula
si d
ata
PB
K d
an p
enyal
ura
n k
erja
kel
ayan
BB
RV
D t
ahu
n 1
998
-2011
No
. T
ahun/
Ag
kat
an
Jum
lah
Pes
erta
Pra
kte
k B
elaj
ar K
erja
(P
BK
)
Jmlh
p
erse
n
Pen
yal
ura
n K
erja
Jmlh
p
erse
n
Jahit
K
om
p
DG
E
lktr
P
L
Oto
Ja
hit
K
om
p
DG
E
lktr
P
L
Oto
1
19
98
/ I
1
00
21
16
12
14
18
- 8
1
81
,0
14
4
2
7
3
- 3
0
30
,0
2
19
99
/ I
I 1
00
22
15
20
13
23
- 9
3
93
,0
24
11
5
12
6
- 5
8
58
,0
3
20
00
/ I
II
10
0
20
25
16
26
13
- 1
00
10
0,0
2
1
14
11
16
9
- 7
1
71
,0
4
20
01
/ I
V
10
0
17
14
9
15
18
- 7
3
73
,0
17
15
9
16
18
- 7
5
75
,0
5
20
02
/ V
9
9
18
20
15
18
17
- 8
8
88
,9
17
10
11
12
19
- 6
9
69
,7
6
20
03
/ V
I 1
00
22
13
13
9
7
- 6
4
64
,0
22
6
7
4
8
- 4
7
47
,0
7
20
04
/ V
II
99
23
17
16
15
21
- 9
2
92
,9
21
10
13
12
15
- 7
1
71
,7
8
20
05
/ V
III
99
19
14
9
11
12
- 6
5
65
,7
19
13
9
12
12
- 6
5
65
,7
9
20
06
/ I
X
10
0
18
16
15
13
19
- 8
1
81
,0
18
15
15
13
19
- 8
0
80
,0
10
20
07
/ X
1
00
19
21
23
18
19
- 1
00
10
0,0
5
4
3
4
4
-
20
20
,0
11
20
08
/ X
I 9
7
17
14
16
10
13
- 7
0
72
,2
17
14
16
10
13
- 7
0
72
,2
12
20
09
/ X
II
97
14
17
18
16
21
- 8
6
88
,7
13
12
15
6
15
- 6
1
62
,9
13
20
10
/XII
I 9
4
20
20
20
18
16
- 9
4
10
0,0
2
0
13
20
18
16
- 8
7
92
,6
14
20
11
/XIV
1
13
18
11
11
11
6
10
67
59
,3
18
19
22
20
13
20
11
2
99
,1
JU
ML
AH
1
39
8
26
8
23
3
21
3
20
7
22
3
10
11
54
82
,5
24
6
16
0
15
8
16
2
17
0
20
91
6
65
,5
Su
mb
er:
BB
RV
BD
Cib
inon
g, 2
01
2
28
29
PT Dewhirst Indonesia, Bandung
PT Dewhirst Indonesia didirikan pada tahun 1998, yang merupakan pabrik
besar yang menghasilkan 215.000 unit pakaian per minggu dan memiliki
karyawan sekitar 5.400 orang pria dan wanita serta berlokasi di Bandung. Pabrik
ini memiliki salah satu pembeli dengan label Marks & Spencer UK.
PT Dewhirst merupakan satu dari beberapa pabrik yang memenuhi kuota
pekerja penyandang disabilitas sebesar 1 (satu) persen sebagaimana diamanatkan
oleh UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Kebanyakan dari pekerja
disabilitas merupakan hasil perekrutan dari BBRVBD Cibinong dan beberapa
lainnya dari LBK di sekitar Jawa Barat. Penyandang disabilitas direkrut dengan
perekrutan normal, tanpa ada pengistimewaan.
Lokasi PT Dewhirst mayoritas mudah diakses bagi penyandang disabilitas.
Sebelumnya salah satu bangunan pabrik memiliki kantin dan ruang beribadah di
lantai atas, kemudianmereka menyesuaikan tempat kerja yang aksesibel bagi
penyandang disabilitas, sehingga sekarang semua fasilitas termasuk kantin dan
ruang beberibadah terdapat di lantai dasar. Secara umum, PT Dewhirst memiliki
standar yang tinggi dalam bidang kesehatan, keamanan, dan kondisi kerja.
PT Mattel Indonesia, Cikarang
PT. Mattel Indonesia, merupakan perusahaan multinasional dan terdepan
dalam bisnis mainan anak-anak. Perusahaan ini merupakan manufaktur boneka
terbesar yang memperkerjakan 9000 pekerja di Indonesia. Lokasi perusahaan ini
di Jl. Jababeka V B1 G/4-6 Kawasan Industri Jababeka, Cibitung, Bekasi.
Produknya yang terkenal adalah boneka barbie, Hot Wheels, Matchbox Car, dan
sebagainya.
Perusahaan Mattel, Inc (Induk PT. Mattel Indonesia) yang berpusat di
Hawthorne, California, berdiri pada tahun 1945 oleh Harrold Matt Masson dan
Elliot Handler. Berawal di industri kayu, yang kemudian membuka cabang bisnis
di bidang mainan. Dan pada tahun 1959, mulai diproduksi boneka barbie.
Selanjutnya Mattel Inc. merevolusi industri mainan anak-anak dan boneka dengan
boneka yang bisa bersuara.
Selain di Indonesia, Mattel juga mendirikan pabrik di Thailand, Malaysia
dan Mexico. Salah satu produk Mattel yang terkenal adalah Barbie. Selain
boneka, Mattel Inc. pun memproduksi pakaian dan asesoris untuk boneka Barbie
tersebut. Hal inilah yang membuat boneka Barbie tetap bertahan sebagai boneka
klasik yang masih bertahan di era modern ini. Mattel Indonesia merupakan mitra
baru BBRVBD Cibinong yang baru merekrut lulusan pada tahun 2012 sebanyak 6
(enam) orang penyandang disabilitas.
PT Rajawali Mulia Perkasa
PT Rajawali Mulia Perkasa merupakan perusahaan garmen yang terletak di
Jl. Pembangunan II No. 31 Kedung Halang, Bogor Utara, Bogor. Berdiri sejak
1989, perusahaan ini memproduksi kemeja yang dipasarkan untuk lokal dengan
merk Polo, Valero, Nail Man, Van Jose, dan lainnya. Perusahaan ini juga
memproduksi pakaian seragam bank-bank ternama di Indonesia. Karyawan yang
bekerja di perusahaan tersebut berjumlah sekitar 186 orang laki-laki dan
30
perempuan. Walaupun perusahaan ini baru memiliki sedikit karyawan, akan
tetapi kepeduliannya terhadap penyandang disabilitas cukup tinggi terlihat dari
perekrutan tenaga kerja penyandang disabilitas yang dilakukan oleh perusahaan
ini yang prosentasenya sudah melebihi quota 1 (satu) persen.
Karakteristik Peserta Pelatihan
Keberhasilan pelatihan ditentukan oleh komponen-komponen yang ada di
dalamnya yaitu diantaranya adalah peserta pelatihan, dimana peserta ditentukan
oleh karakteristik peserta (misalnya: demografis, latar belakang pendidikan) yang
menentukan lingkup dari pelatihan tersebut (Rose 2009). Khusus untuk
penyandang disabilitas, jenis disabilitas turut menentukan kriteria peserta (Griffin
dan Nechvoglod 2008). Karakteristik responden dalam penelitian ini disajikan
dalam Tabel 4.
Tabel 4 Distribusi responden berdasarkan karakteristik peserta
No. Uraian Kategori F Persen (%)
1. Jenis kelamin 1. Laki-laki
2. Perempuan
3
39
7,1
92,9
N=42 =100%
2. Usia 1. Sangat rendah (20-24 tahun)
2. Rendah (25-28 tahun)
3. Tinggi (29-32 tahun)
4. Sangat tinggi (33-36 tahun)
13
13
10
6
31,0
31,0
23,8
14,2
N=42 =100%
3. Jenis disabilitas 1. Tuna rungu wicara
2. Tuna daksa
0
42
0
100
N=42 =100%
4. Penyebab
disabilitas
1. Bawaan lahir
2. Bukan bawaan lahir
11
31
26,2
73,8
N=42 =100%
5. Lama menyandang
disabilitas
1. Sangat rendah (8-15 tahun)
2. Rendah (16-22 tahun)
3. Tinggi (23-29 tahun)
4. Sangat tinggi (30-36 tahun)
3
9
23
7
7,1
21,4
54,8
16,7
N=42 =100%
6. Pendidikan
formal
1. Sangat rendah (SD)
2. Rendah (SMP)
3. Tinggi (SMA)
4. Sangat tinggi (Perguruan Tinggi)
2
24
15
1
4,8
57,1
35,7
2,4
N=42 =100%
7. Pendidikan non
formal
1. Tidak pernah
2. Jarang (1-2 kali)
3. Sering (3 kali)
4. Sangat sering (>3 kali)
35
7
0
0
83,3
16,7
0
0
N=42 =100%
8. Pengalaman kerja 1. 1-2 tahun
2. 3-4 tahun
3. 5-6 tahun
4. 7-8 tahun
23
4
2
13
54,8
9,5
4,8
31
N=42 =100%
Jenis Kelamin
Tabel 4 menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah perempuan yaitu
sebesar 92,9 persen atau sebanyak 39 orang. Hal tersebut sejalan dengan fakta di
31
lapangan bahwa sektor garmen/penjahitan mempekerjakan mayoritas pegawai
perempuan, yaitu sebanyak 70 persen pada tahun 2009 (Putra 2009). Sedangkan
responden laki-laki hanya berjumlah 3 (tiga) orang saja atau sekitar 7,1 persen
dari total responden. Data BBRVBD tahun 2012 menunjukkan bahwa penyandang
disabilitas peminat pelatihan keterampilan penjahitan adalah mayoritas
perempuan, yaitu sebesar 79,2 persen dari total peserta pelatihan keterampilan
penjahitan.
Usia
Berdasarkan hasil penelitian, semua responden berada di usia sangat
produktif yang berada di rentang usia 20-36 tahun, dimana mayoritas berada di
rentang usia 20-28 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian Mavromaras dan
Palidano tahun 2011 yang menyebutkan bahwa pelatihan vokasional merupakan
jalur pendidikan yang popular bagi penyandang disabilitas usia produktif.
Jenis Disabilitas
Khusus untuk pelatihan bagi penyandang disabilitas, jenis disabilitas turut
menentukan kriteria peserta (Griffin dan Nechvoglod 2008). Jenis disabilitas
dalam penelitian ini adalah macam keterbatasan fisik yang dimiliki responden
yang dinyatakan dengan tuna daksa atau tuna rungu wicara. Mengacu pada Tabel
4, semua responden termasuk ke dalam kategori tuna daksa dan tidak ditemukan
responden yang mempunyai kategori tuna rungu wicara. Data di lapangan
menunjukkan bahwa penyandang disabilitas dengan jenis disabilitas tuna daksa
yang mengikuti pelatihan di BBRVBD Cibinong adalah sebanyak 90 persen yang
tersebar di 6 (enam) jurusan penjahitan. Sedangkan penyandang disabilitas daksa
yang pernah mengikuti pelatihan vokasional keterampilan penjahitan adalah
sebanyak 96,2 persen.
Penyebab Disabilitas
Penyebab disabilitas adalah hal yang menyebabkan responden
menyandang disabilitas yang terdiri dari bawaan lahir dan bukan bawaan lahir.
Mengacu kepada Tabel 4, sebanyak 26,2 persen penyebab disabilitas responden
adalah karena bawaan lahir, sedangkan sisanya sebanyak 73,8 persen dikarenakan
bukan bawaan lahir seperti sakit polio, panas (malpraktek), dan kecelakaan (lalu
lintas, tersengat aliran listrik, jatuh dari pohon).
Lama Menyandang Disabilitas
Mengacu kepada Tabel 4, responden mengalami disabilitas pada range 8-
36 tahun dimana 54,8 persen responden berada dalam kategori tinggi, yang
artinya mereka sudah menyandang disabilitas selama 23-29 tahun.
Pendidikan formal
Mayoritas pendidikan responden berada pada kategori rendah yaitu lulusan
SMP yaitu sebesar 57,1 persen dan kemudian terbanyak berikutnya adalah pada
kategori tinggi yaitu lulusan SMA sebesar 35,7 persen, dan terdapat 4,8 persen
responden yang berkategori pendidikan sangat rendah yaitu lulusan SD. Hal ini
sejalan dengan temuan Griffin dan Nechvoglod tahun 2008 yang menyebutkan
bahwa kebanyakan penyandang disabilitas memiliki latar pendidikan yang rendah
32
ketika mengikuti pelatihan vokasional. Dalam kasus penelitian ini, rendahnya
tingkat pendidikan peserta pelatihan terkait dengan kebijakan lembaga
penyelenggara pelatihan mulai tahun 1998-2010 yang mempersyaratkan minimal
lulusan SMP untuk menjadi peserta pelatihan vokasional jurusan keterampilan
penjahitan. Kemudian pada tahun 2011 sampai sekarang dibuat kebijakan baru,
yaitu minimal lulusan SD bagi peserta pelatihan vokasional jurusan keterampilan
penjahitan.
Pendidikan Non Formal
Pendidikan non formal adalah kegiatan pembelajaran non formal yang
pernah diikuti responden selain pelatihan vokasional di BBRVBD Cibinong, baik
sesudah atau sebelum mengikuti pelatihan di BBRVBD Cibinong, yang
dinyatakan dalam frekuensi kegiatan. Sebagian besar responden tidak pernah
mengikuti pelatihan selain pelatihan di BBRVBD Cibinong, yaitu sebesar 83,3
persen. Hal ini salah satunya disebabkan setelah mereka lulus dari BBRVBD
Cibinong dan kemudian diterima kerja, mereka tidak lagi mengikuti pelatihan-
pelatihan. Hanya sebesar 16,7 persen responden saja yang pernah mengikuti
pelatihan, berdasarkan hasil wawancara beberapa responden pernah mengikuti
kegiatan pelatihan di tempat rehabilitasi sosial di provinsi asal mereka sebelum
mereka masuk ke BBRVBD Cibinong, antara lain di panti sosial, LBK dan tempat
kursus menjahit.
Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja adalah lama bekerja yang dimiliki responden sebelum
mengikuti pelatihan dan setelah lulus mengikuti pelatihan sampai sekarang yang
dinyatakan dalam range waktu. Responden memiliki pengalaman kerja 1-8 tahun.
Akan tetapi secara umum responden memiliki pengalaman kerja yang rendah,
yaitu 1-2 tahun.
Performa Instruktur
Faktor lain yang dianggap berhubungan dengan pengembangan kompetensi
penyandang disabilitas melalui pelatihan vokasional adalah faktor performa
instruktur. Faktor ini meliputi penguasaan materi, keinovativan mengajar, dan
kemampuan memotivasi. Adapun performa instruktur dari hasil penelitian ini
disajikan dalam Tabel 5.
Mengacu kepada Tabel 5, sebesar 69 persen responden menyatakan bahwa
keragaan instruktur di BBRVBD Cibinong berada dalam kategori tinggi, yang
artinya instruktur memiliki kemampuan yang baik dalam penguasaan materi
pelatihan, keinovatifan mengajar termasuk di dalamnya kekreatifan mengajar, dan
kemampuan memotivasi penyandang disabilitas peserta pelatihan. Sedangkan
sisanya, sebesar 31 persen responden menyatakan bahwa keragaan instruktur
berada dalam kategori sangat tinggi, yang artinya mempunyai kemampuan yang
sangat baik dalam penguasaan materi pelatihan, keinovatifan mengajar termasuk
di dalamnya kekreatifan mengajar, dan kemampuan memotivasi penyandang
disabilitas peserta pelatihan.
Hal ini didukung oleh fakta di lapangan bahwa BBRVBD Cibinong telah
melakukan seleksi ketat terhadap calon instruktur agar instruktur yang
33
memberikan pelatihan memiliki kemampuan yang baik dalam bidang
pengajaran/pelatihan. Para instruktur yang ada di pelatihan juga telah melalui
tahap diklat sertifikasi oleh lembaga terkait.
Tabel 5 Distribusi responden berdasarkan performa instruktur
No. Uraian Kategori F Persen (%)
1. Penguasaan Materi 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 0 0
3. Tinggi 30 71,4
4. Sangat Tinggi 12 28,6
N=42 =100 %
2. Keinovatifan Mengajar 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 2 4,8
3. Tinggi 34 81
4. Sangat Tinggi 6 14,2
N=42 =100 %
3. Kemampuan Memotivasi 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 9 21,4
3. Tinggi 32 76,2
4. Sangat Tinggi 1 2,4
N=42 =100 %
4 Total Performa Instruktur 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 0 0
3. Tinggi 29 69
4. Sangat Tinggi 13 31
N=42 =100 %
Penguasaan materi
Penguasaan materi instruktur merupakan salah satu faktor yang krusial
dalam keberhasilan pemberian materi (Schempp 1998, Metzler dan Woessmann
2010), termasuk didalamnya persiapan materi (Darling-Hammond et al. 2005).
Penguasaan materi dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kemampuan
instruktur dalam memahami materi pelatihan yang diajarkannya di BBRVBD
Cibinong. Dari hasil penelitian, sebanyak 71,4 persen responden menyatakan
bahwa penguasan materi pelatihan oleh instruktur berada di kategori tinggi, dan
sebanyak 28,6 persen menyatakan penguasan materi pelatihan oleh instruktur
berada dalam kategori sangat tinggi. Tingginya penguasaan materi instruktur
terkait dengan kualifikasi yang ditetapkan pada saat perekrutan dan adanya
kesempatan peningkatan kapasitas bagi instruktur melalui pelatihan-pelatihan
yang terkait dengan pekerjaan mereka yang dilaksanakan secara internal oleh
Kementerian Sosial ataupun pelatihan eksternal di luar kementerian, di dalam
ataupun di luar negeri.
Keinovativan mengajar
Keinovativan mengajar adalah tingkat kemampuan instruktur dalam inovasi
dan kreatifitas mengajar. Keinovatifan mengajar juga berperan dalam
menyebarkan antusiasme instruktur dalam mengajar terhadap antusiasme peserta
didik untuk belajar (Grosu 2011). Hasil penelitian menunjukkan mayoritas
responden menyatakan bahwa tingkat keinovativan mengajar instruktur berada
pada kategori tinggi yaitu sebesar 81 persen, yang artinya bahwa instruktur yang
mengajar memiliki kemampuan mengajar yang inovatif dan kreatif, selalu
berusaha menyampaikan materi pelatihan dengan cara yang baru yang tidak
membosan bahkan membuat peserta pelatihan merasa tertarik dengan materi yang
34
disampaikan dan juga mempercepat pencapaian tujuan dari pembelajaran dalam
pelatihan itu sendiri. Pelatih yang kreatif dan inovatif merupakan salah satu dari
kriteria instruktur yang direkrut oleh lembaga penyelenggara pelatihan. selain itu,
kegiatan peningkatan kapasitas juga dilakukan oleh lembaga agar instruktur
mempunyai kemampuan mengajar yang inovatif dan kreatif, hal tersebut
dilakukan dengan memberikan pelatihan “Metode pembelajaran” secara internal
bagi para instruktur.
Kemampuan memotivasi
Berkaitan dengan kemampuan menotivasi, motivasi adalah proses yang
memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya perilaku yang
termotivasi adalah perilaku yag penuh energi, terarah, dan bertahan lama
(Santrock 2008). Kemampuan memotivasi adalah kemampuan instruktur dalam
meningkatkan semangat, arah, dan kegigihan perilaku penyandang disabilitas
peserta pelatihan agar dapat mengitukuti pelatihan dengan penuh energi dan
terarah. Kemampuan memotivasi merupakan aspek dari instruktur yang dianggap
penting (Ali 2005)
Sebagian besar responden menyatakan bahwa instruktur mempunyai
kemampuan memotivasi tinggi. Selain itu responden menyatakan bahwa
hubungan responden dan instruktur terjalin dengan baik, penuh dengan keakraban
dan kekeluargaan, sehingga responden lebih termotivasi untuk mencapai prestasi.
Hal ini menunjukkan bahwa instruktur tidak hanya menyampaikan materi
pelatihan saja, tetapi juga mampu memberikan dukungan aktif sebagai support
worker bagi para penyandang disabilitas peserta pelatihan agar tetap terus
mempunyai motivasi. Fakta di lapangan menujukkan bahwa instruktur pelatihan
di BBRVBD Cibinong tidak hanya berperan sebagai instruktur tetapi juga
berperan support worker, diantaranya sebagai pekerja sosial dan penyuluh sosial
yang senantiasa berperan aktif dalam memberikan dukungan motivasi bagi
penyandang disabilitas.
Kurikulum Pelatihan
Kurikulum pelatihan merupakan salah satu komponen pelatihan yang
penting yang harus disusun secara sistematis dan berdasarkan tahapan-tahapan
(Ali 2005, Hickerson dan Middleton 1975) dan dimana tujuan pelatihan harus
diketahui oleh peserta dengan kelas, adanya praktek yang memadai (proporsional)
dan mengetahui hasil belajar dalam bentuk evaluasi (Hickerson dan Middleton
1975).
Faktor kurikulum pelatihan dalam penelitian ini terdiri dari proporsi jenis
materi penunjang dan materi utama, kejelasan tujuan pelatihan, kesesuaian materi
dan tujuan pelatihan, proporsi waktu teori dan praktek, waktu untuk pelatihan, dan
evaluasi pelatihan. Hasil penelitian mengenai faktor kurikulum pelatihan disajikan
dalam Tabel 6.
Mengacu kepada Tabel 6, sebesar 52,4 persen responden menyatakan bahwa
penyajian kurikulum pelatihan di BBRVBD Cibinong berada dalam kategori
tinggi, yang artinya penyajian kurikulum pelatihan di BBRVBD Cibinong telah
dilakukan dengan baik.
35
Hal ini didukung fakta di lapangan dimana BBRVBD Cibinong selalu
melakukan perbaikan atau pengingkatan kualitas materi pelatihan yang disajikan
dalam bentuk kurikulum dengan melibatkan para ahli terkait baik dari internal
Kementerian Sosial atau dari kementrian lain seperti Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi. Peningkatan kualitas kurikulum juga dilakukan dengan
melibatkan ahli dari perusahaan garmen yang dianggap lebih profesional. Selain
itu, penyusunan kurikulum di BBRVBD Cibinong telah mengacu kepada SKKNI
(Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia).
Tabel 6 Distribusi responden berdasarkan kurikulum pelatihan
No. Uraian Kategori F Persen (%)
1. Proporsi Jenis Materi Pelatihan
Utama dan Penunjang
1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 11 26,2
3. Tinggi 26 61,9
4. Sangat Tinggi 5 11,9
N=42 =100 %
2. Kejelasasn Tujuan Pelatihan 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 1 2,4
3. Tinggi 25 59,5
4. Sangat Tinggi 16 38,1
N=42 =100 %
3. Kesesuaian Materi Pelatihan dan
Tujuan Pelatihan
1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 1 2,4
3. Tinggi 34 81,0
4. Sangat Tinggi 7 16,7
N=42 =100 %
4. Urutan Substansi Materi Pelatihan 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 4 9,5
3. Tinggi 30 71,4
4. Sangat Tinggi 8 19,0
N=42 =100 %
5. Proporsi Waktu Teori dan Praktek 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 7 16,7
3. Tinggi 30 71,4
4. Sangat Tinggi 5 11,9
N=42 =100 %
6. Waktu Pelatihan 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 4 9,5
3. Tinggi 33 78,6
4. Sangat Tinggi 4 9,5
N=42 =100 %
7. Evaluasi Pelatihan 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 2 4,8
3. Tinggi 40 95,2
4. Sangat Tinggi 0 0
N=42 =100 %
Total Kurikulum Pelatihan 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 1 2,4
3. Tinggi 22 52,4
4. Sangat Tinggi 19 45,2
N=42 =100 %
Proporsi jenis materi penunjang dan materi utama
Proporsi jenis materi penunjang dan materi utama yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah tingkat perbandingan proporsi materi pelatihan penunjang
dan materi utama. Tabel 6 menunjukkan bahwa 61,9 persen responden
menyatakan proporsi jenis materi penunjang dan materi utama pelatihan dalam
kategori tinggi yang artinya responden menganggap materi utama dan materi
36
penunjang pelatihan di BBRVBD Cibinong telah disusun dengan proporsional.
Adapun yang dimaksud dengan materi utama adalah materi produktif yang
berhubungan dengan keterampilan menjahit seperti K3, mengukur tubuh,
menggambar busana, membuat pola, memotong bahan, dan menjahit dengan
mesin.Sedangkan materi penunjang adalah materi keterampilan umum seperti
Pancasila, UUD 1945, Peraturan Ketenagakerjaan, Bahasa Inggris, dan
Achievement Motivation Training (AMT). Materi penunjang hanya diberikan 75
jam dari 1618 jam total waktu pelatihan atau sekitar 4,6 persen dari total waktu
pelatihan. Sedangkan materi utama diberikan selama 1074 jam atau 66,4 persen
dari total waktu pelatihan. Adapun komposisi waktu materi pelatihan disajikan
dalam Tabel 7.
Tabel 7 Komposisi waktu dan materi pelatihan vokasional jurusan
keterampilan penjahitan di BBRVBD Cibinong
No. Mata Diklat Durasi/ Waktu (jam) Persen (%)
1 Materi Utama: 1074 66,4
2 Materi Penunjang: 75 4,6
3 Evaluasi Akhir 39 2,4
4 Magang (on the job training) 430 26,6
TOTAL 1618 100
Sumber: BBRVBD, 2012 (diolah)
Kejelasan tujuan pelatihan
Kejelasan tujuan pelatihan merupakan hal yang penting untuk dipahami
oleh peserta pelatihan (Hickerson dan Middleton 1975). Kejelasan tujuan
pelatihan dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kepastian tujuan pelatihan
vokasional yang dilihat dari tingkat kejelasan tujuan pelatihan bidang penjahitan,
tingkat kejelasan tujuan mata pelatihan, dan tingkat kejelasan tujuan setiap sesi
pembelajaran. Tabel 6 menunjukkan bahwa 59,5 persen responden menyatakan
tujuan pelatihan dalam kategori tinggi yang artinya responden menganggap jelas
tujuan pelatihan vokasional, tujuan mata pelatihan, dan tujuan setiap sesi
pembelajaran. Responden memahami tujuan pelatihan vokasional karena dalam
tahap asesmen sebelum mengikuti pelatihan di BBRVBD Cibinong, tim asesmen
memberikan penjelasan kepada calon peserta pelatihan mengenai tujuan pelatihan
vokasional tiap keterampilan, termasuk jurusan penjahitan. Sehingga peserta
pelatihan memiliki kejelasan mengenai tujuan pelatihan vokasional. Adapun
tujuan setiap mata pelatihan dan setiap sesi pembelajaran disampaikan oleh
instruktur ketika mereka akan masuk ke mata pelatihan baru dan pada setiap awal
sesi pembelajaran, sehingga peserta pelatihan memahami tujuan suatu mata
pelatihan dan tujuan dari suatu sesi pembelajaran.
Adapun tujuan dari pelatihan vokasional jurusan keterampilan penjahitan
adalah untuk memberikan bekal keterampilan kepada penyandang disabilitas fisik
agar memiliki kemampuan sebagai tenaga kerja profesional di bidang penjahitan
(high speed operator) sesuai dengan persyaratan dan peluang kerja yang ada dan
untuk menyiapkan penyandang disabilitas fisik agar menjadi manusia Indonesia
seutuhnya yang berbudi lihur berdasarkan Pancasila sehingga mampu membangun
dirinya sendiri dan ikut serta berpartisipasi membangun bangsa (BBRVBD 2011).
37
Kesesuaian materi pelatihan dan tujuan pelatihan
Tabel 6 menunjukkan bahwa 81 persen responden menyatakan bahwa
kesesuaian materi pelatihan dengan tujuan pelatihan berada dalam kategori tinggi
yang artinya responden menganggap materi pelatihan telah disajikan sesuai
dengan tujuan pelatihan yang ingin dicapai. Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa materi pelatihan disajikan disesuaikan dengan SKKNI dan berdasarkan
rujukan para ahli pendidikan pelatihan dan juga pengguna lulusan di lapangan
pekerjaan (pengusaha).
Urutan substansi materi pelatihan
Materi pelatihan sebagai salah satu komponen pelatihan harus disusun
secara sistematis dan berdasarkan tahapan-tahapan (Ali 2005, Hickerson dan
Middleton 1975). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 71,4 persen responden
menyatakan urutan substansi materi pelatihan dalam kategori tinggi yang artinya
responden menganggap materi pelatihan telah disusun sesuai dengan urutan
subtansinya, mulai dari yang paling mudah ke yang paling sulit, mulai dari
keterampilan dasar sampai ke keterampilan mahir, sehingga memudahkan
pemahaman peserta dalam pelatihan. pada keterampilan menjahit, peserta
pertama-tama diajarkan menjahit lurus terlebih dahulu sebelum ke menjahit
lengkung yang dianggap lebih rumit.
Proporsi waktu teori dan praktek
Adanya praktik yang memadai (proporsional) dianggap penting dalam
pelaksanaan pelatihan (Hickerson dan Middleton 1975). Proporsi waktu teori dan
praktek dalam konteks penelitian ini adalah perbandingan waktu pelatihan untuk
penyampaian teori dan pelaksanaan praktek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
71,4 persen responden menyatakan proporsi waktu teori dan praktek pelatihan
dalam kategori tinggi yang artinya responden menganggap pembagian waktu
untuk lamanya penyampaian teori dan pelaksanaan praktek telah dilakukan secara
proporsional.
Waktu untuk pelatihan
Waktu untuk pelatihan dalam konteks penelitian ini adalah lamanya
pelaksanaan pelatihan vokasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50
persen responden menyatakan waktu pelatihan dalam kategori tinggi yang artinya
responden menganggap durasi pelatihan vokasional di BBRVBD Cibinong sudah
baik. Pelatihan vokasional dilaksanakan selama 1618 jam pelatihan, yaitu 75 jam
untuk materi penunjang, 1074 untuk materi utama, 39 jam untuk evaluasi, dan 430
jam untuk magang (on the job training) di perusahaan. Pelatihan dikemas dalam
waktu 8 (delapan) bulan.
Evaluasi pelatihan
Evaluasi pelatihan dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kesesuaian
evaluasi pelatihan vokasional yang dilihat dari kesesuaian cara evaluasi dan tujuan
evaluasi. Hasil penelitian terhadap evaluasi pelatihan menunjukkan bahwa 95,2
persen responden menyatakan evaluasi dalam kategori tinggi yang artinya
responden menganggap cara evaluasi dan tujuan evaluasi pelatihan sudah baik.
38
Evaluasi pelatihan vokasional di BBRVBD Cibinong dilaksanakan secara
formatif dan sumatif pada akhir masa pelatihan untuk mendapatkan sertifikasi.
Waktu yang digunakan untuk evaluasi adalah sebanyak 39 jam pelatihan. evaluasi
dilaksanakan secara internal oleh instruktur dan secara eksternal dari lembaga
sertifikasi terkait.
Profil Penyelenggara Pelatihan
Profil penyelenggara pelatihan berhubungan dengan kewenangan hukum
yang dimiliki oleh penyelenggara pelatihan dalam menyediakan tenaga pengelola
dan sarana prasarana pelatihan yang sesuai standar (Sujudi 2003). Profil
penyelenggara pelatihan diduga berhubungan dengan kompetensi penyandang
disabilitas adalah faktor penyelenggara pelatihan. Variabel ini meliputi kesesuaian
jumlah instruktur, tingkat pendidikan instruktur, kesesuaian jurusan pendidikan
instruktur, pendidikan non formal instruktur, pengalaman mengajar instruktur,
sarana dan prasarana pelatihan. Adapun hasil penelitian mengenai profil
penyelenggara pelatihan disajikan dalalam Tabel 8.
Tabel 8 Distribusi responden berdasarkan profil penyelenggara pelatihan
No. Uraian Kategori F Persen (%)
1. Kesesuaian Jumlah Instruktur 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 7 16,7
3. Tinggi 26 61,9
4. Sangat Tinggi 9 21,4
N=42 =100 %
2. Tingkat Kesesuaian Pendidikan
Instruktur
1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 4 9,5
3. Tinggi 35 83,3
4. Sangat Tinggi 3 7,1
N=42 =100 %
3. Kesesuaian Jurusan Pendidikan
Instruktur
1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 3 7,1
3. Tinggi 36 85,7
4. Sangat Tinggi 3 7,1
N=42 =100 %
4. Pendidikan Non Formal Instruktur 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 2 4,8
3. Tinggi 39 92,9
4. Sangat Tinggi 1 2,4
N=42 =100 %
5. Pengalaman Mengajar Instruktur 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 0 0
3. Tinggi 35 83,3
4. Sangat Tinggi 7 16,7
N=42 =100 %
6. Sarana dan Prasarana Pelatihan 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 6 14,3
3. Tinggi 26 61,9
4. Sangat Tinggi 10 23,8
N=42 =100 %
Total Profil Penyelenggara Pelatihan 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 1 2,4
3. Tinggi 29 69
4. Sangat Tinggi 12 28,6
N=42 =100 %
39
Mengacu kepada Tabel 8, sebanyak 69 persen responden menyatakan
bahwa profil penyelenggara pelatihan berada dalam kategori tinggi, yang artinya
lembaga penyelenggara pelatihan dalam hal ini BBRVBD Cibinong telah
memiliki kemampuan yang baik dalam menyelenggarakan pelatihan vokasional.
Hal ini didukung oleh fakta di lapangan di mana BBRVBD Cibinong telah
menjadi rujukan lembaga penyelenggara rehabilitasi vokasional bagi negara-
negara di kawasan Asia Pasifik Afrika sejak tahun 2005. Perekrutan dan
pengembangan instruktur serta pengadaan sarana dan prasarana dibuat sebaik
mungkin dengan mula-mula dibantu oleh pemerintah Jepang melalui JICA.
Kesesuaian jumlah instruktur
Kesesuaian jumlah instruktur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
perbandingan jumlah instruktur pelatihan dengan jumlah peserta pelatihan
vokasional di BBRVBD. Sebanyak 61,9 persen responden menyatakan bahwa
kesesuaian jumlah instruktur berada di kategori tinggi, yang artinya bahwa jumlah
instruktur pelatihan vokasional yang tersedia sudah proposional sesuai dengan
jumlah peserta pelatihan. fakta di lapangan menunjukkan bahwa jumlah instruktur
untuk materi produktif adalah sebanyak 4 (empat) orang untuk 20 orang peserta
pelatihan atau 1:5. jumlah tersebut dianggap sudah mencukupi dimana peserta
sudah merasa kebuthan mereka akan instruktur sudah terakomodir dengan baik
dengan tidak rebutannya instruktur tempat mereka bertanya atau meminta
bimbingan praktek.
Tingkat kesesuaian pendidikan instruktur
Tingkat pendidikan instruktur adalah tingkat kesesuaian strata pendidikan
formal yang pernah ditempuh oleh instruktur dengan strata pendidikan peserta
pelatihan vokasional. Tabel 8 menunjukkan bahwa 83,3 persen responden
menyatakan bahwa tingkat kesesuaian pendidikan instruktur berada dalam
kategori tinggi, yang artinya bahwa pendidikan formal instruktur telah dianggap
sesuai. Data di lapangan menunjukkan bahwa instruktur mempunyai tingkat
pendidikan formal sarjana dan SMA. Namun bagi sebagian peserta, tingkat
pendidikan bukanlah hal yang penting selama instruktur mempunyai performa
yang baik dalam mengajar peserta.
Kesesuaian jurusan pendidikan instruktur
Kesesuaian jurusan pendidikan instruktur dalam konteks penelitian ini
adalah tingkat kesesuaian jurusan pembelajaran formal yang telah ditempuh oleh
instruktur dengan materi pelatihan yang diajarkannya di pelatihan vokasional.
Tabel 8 menunjukkan bahwa 85,7 persen responden menyatakan bahwa tingkat
kesesuaian jurusan pendidikan instruktur berada dalam kategori tinggi, yang
artinya bahwa pendidikan instruktur dianggap sesuai dengan jurusan yang
diajarkannya.
Pendidikan non formal instruktur
Pendidikan non formal instruktur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
tingkat kesesuaian pembelajaran non formal yang telah ditempuh instruktur baik
di dalam ataupun di luar negeri, dengan materi pelatihan yang diajarkan di
pelatihan vokasional. Sebanyak 92,9 persen responden menyatakan bahwa tingkat
40
pendidikan non formal instruktur berada dalam kategori tinggi, yang artinya
bahwa pendidikan non formal instruktur dianggap sesuai dengan jurusan yang
diajarkannya. Fakta di lapangan menyebutkan bahwa instruktur yang mengajar
telah mengikuti pendidikan non formal di bidang penjahitan baik di dalam (diklat
sertifikasi instruktur di Kementerian Tenaga Kerja RI) ataupun di luar negeri
(ToT bidang penjahitan di Jepang oleh JICA).
Pengalaman mengajar instruktur
Pengalaman mengajar instruktur dalam konteks penelitian ini adalah tingkat
kemampuan dan masa kerja instruktur dalam memberikan pelatihan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 83,3 persen responden menyatakan bahwa
pengalaman mengajar instruktur berada dalam kategori tinggi, yang artinya bahwa
instruktur yang mengajar dianggap memiliki pengalaman mengajar di bidangnya.
Sarana dan prasarana pelatihan
Sarana dan prasarana pelatihan dalam konteks penelitian ini adalah tingkat
kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pelatihan yang disediakan oleh
lembaga penyelenggara pelatihan vokasional. Tabel 8 menunjukkan bahwa 61,9
persen responden menyatakan bahwa sarana dan prasarana pelatihan berada dalam
kategori tinggi, yang artinya bahwa sarana dan prasarana pelatihan dianggap
memiliki kualitas baik dan jumlahnya mencukupi.
Jumlah peralatan pelatihan di BBRVBD disesuaikan dengan jumlah
peserta, dimana setiap satu peserta mendapatkan satu mesin jahit berkecepatan
tinggi untuk praktek. Alat bantu pelatihan yang disediakan di tempat pelatihan
merupakan alat yang spesifikasinya sama dengan mesin-mesin yang dipakai di
industri garmen, yaitu mesin jahit dengan kecepatan tinggi. Sehingga lulusan
sudah terbiasa dengan mesin yang digunakan ketika mereka diterima kerja di
perusahaan. Adapun peralatan yang ada di BBRVBD Cibinong merupakan
bantuan yang diberikan oleh pemerintah Jepang melalui JICA.
Adanya 14,3 persen responden yang menyatakan bahwa sarana prasarana
dalam kategori rendah dikarenakan tidak semua sarana prasarana dalam kualitas
yang baik, misalnya mahalnya biaya sparepart dan perawatan mesin membuat
tidak semua mesin terawat dengan baik dan ada yang tidak berfungsi dengan baik.
Adanya sarana prasarana yang berkategori rendah ini menuntut kekreatifan
intruktur dan lembaga penyelenggara untuk mengoptimalkan fasilitas yang
tersedia.
Kompetensi Melaksanakan Prosedur K3 dalam Bekerja
Salah satu kompetensi peserta pelatihan vokasional yang dianggap
mempunyai hubungan dengan pelatihan vokasional adalah kompetensi
melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja yang ditandai dengan kemampuan
mengikuti prosedur K3 di tempat kerja, menangani situasi darurat, dan dalam
menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang aman. Hasil penelitian
mengenai kompetensi melaksanakan prosedur K3 disajikan dalam Tabel 9.
Sebanyak 78,5 persen responden memiliki kompetensi dalam mengikuti
prosedur K3 dalam bekerja dengan kategori tinggi, yang artinya responden
memiliki kemampuan baik dalam mengikuti prosedur K3 di tempat kerja,
41
menangani situasi darurat, dan menjaga standar keselamatan kerja perorangan
yang aman. Sisanya sebanyak 21,5 persen berada dalam kategori sangat tinggi.
Hal ini sesuai fakta di lapangan di mana pihak perusahaan menyebutkan bahwa
penyandang disabilitas lulusan pelatihan mempunyai kemampuan dalam
mengikuti prosedur evakuasi darurat, mengetahui arah evakuasi, melaporkan
sumber-sumber bahaya di tempat kerja misalnya adanya kabel yang tidak tertata
rapi dan memungkinkan menjadi sumber bahaya, mematikan mesin ketika tidak
sedang dipakai untuk mencegah terjadinya kecelakaan, dan memakai
perlengkapan kerja seperti masker untuk melindungi saluran pernafasan mereka
dari serabut kain.
Tabel 9 Distribusi responden berdasarkan
kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja
No. Uraian Kategori F Persen (%)
1. Mengikuti Prosedur K3 di Tempat
Kerja
1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 10 23,8
3. Tinggi 23 54,8
4. Sangat Tinggi 9 21,4
N=42 =100 %
2. Menangani Situasi Darurat 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 4 9,5
3. Tinggi 25 59,5
4. Sangat Tinggi 13 31
N=42 =100 %
3. Menjaga Standar Keselamatan Kerja
Perorangan yang Aman
1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 1 2,4
3. Tinggi 28 66,7
4. Sangat Tinggi 13 31
N=42 =100 %
Total Kompetensi Melaksanakan
Prosedur
1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 0 0
3. Tinggi 33 78,5
4. Sangat Tinggi 9 21,5
N=42 =100 %
Mengikuti prosedur K3 di tempat kerja
Mengikuti prosedur K3 di tempat kerja yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah tingkat kemampuan responden dalam mengikuti prosedur K3 di tempat
kerja dengan indikator tingkat kemampuan responden mengikuti prosedur
keselamatan kerja sesuai dengan peraturan yang ditetapkan dan menerapkannya di
tempat kerja, tingkat kemampuan menguasai cara pengoperasian alat dan sarana
keselamatan di tempat kerja. Mayoritas responden memiliki kompetensi dalam
mengikuti prosedur K3 dalam bekerja dengan kategori tinggi, yang artinya
responden memiliki kemampuan baik dalam mengikuti prosedur K3 di tempat
kerja.
Menangani situasi darurat
Menangani situasi darurat dalam konteks penelitian ini adalah tingkat
kemampuan responden dalam menangani situasi darurat di tempat kerja, dengan
indikator kemampuan responden dalam mengenali situasi darurat yang potensial
di tempat kerja (seperti tersengat listrik, tertusuk jarum, dan lainnya) dan tingkat
kemampuan responden dalam melakukan tindakan untuk menangani situasi
darurat sesuai dengan prosedur. Mengacu kepada Tabel 9, sebanyak 59,5 persen
42
responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam menangani situasi
darurat berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki
kemampuan baik dalam mengenali situasi darurat yang potensial di tempat kerja
(seperti tersengat listrik, tertusuk jarum, dan lain-lain) dan dalam melakukan
tindakan untuk menangani situasi darurat sesuai dengan prosedur.
Menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang aman
Menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah tingkat kemampuan responden dalam menjaga standar
keselamatan kerja perorangan yang aman, dengan indikator: menjaga kerapian diri
dan memakai pakaian kerja yang dipersyaratkan, menjaga kerapian di tempat
kerja, mengidentifikasi alat kerja sesuai kebutuhan, memilih alat kerja sesuai
kebutuhan, dan menggunakan alat kerja dengan tepat sesuai kebutuhan. Hasil
penelitian menunjukkan mayoritas responden memiliki kompetensi dalam
menjaga standar keselamatan kerja perorangan yang amanberada dalam kategori
tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam menjaga
kerapian diri dan memakai pakaian kerja yang dipersyaratkan, menjaga kerapian
di tempat kerja, mengidentifikasi alat kerja sesuai kebutuhan, memilih alat kerja
sesuaikebutuhan, dan menggunakan alat kerja dengan tepat sesuaui kebutuhan.
Adanya 2,4 persen responden yang memiliki kompetensi menjaga standar
keselamatan kerja perorangan yang aman yaitu adanya responden yang tidak mau
memakai masker di ruang produksi yang lebih dikarenakan kurangnya kesadaran
mengenai kegunaan mengenakan masker di ruang produksi yang bisa membantu
menjaga kesehatan saluran pernafasannya.
Kompetensi Menjahit dengan Mesin
Kompetensi lainnya dari peserta pelatihan vokasional yang dianggap
mempunyai hubungan dengan pelatihan vokasional adalah kompetensi menjahit
dengan mesin yang ditandai dengan kemampuan:menyiapkan tempat dan alat
kerja, kemampuan menyiapkan mesin jahit, kemampuan mengoperasikan mesin
jahit, kemampuan menjahit bagian-bagian potongan pakaian, dan kemampuan
merapikan tempat dan alat kerja. Hasil penelitian mengenai kompetensi menjahit
dengan mesin disajikan dalam Tabel 10.
Menyiapkan tempat dan alat kerja
Menyiapkan tempat dan alat kerja dalam konteks penelitian ini adalah
tingkat kemampuan responden dalam menyiapkan tempat dan alat kerja, dengan
indikator menyiapkan tempat kerja secara ergonomis, mengidentifikasi macam-
macam pekerjaan yang dijahit sesuai dengan alat-alat jahit yang dibutuhkan, dan
menyiapkan alat jahit sesuai kebutuhan. Mengacu kepada Tabel 10, sebanyak
66,7 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam menyiapkan
tempat dan alat kerja berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden
memiliki kemampuan baik dalam menyiapkan tempat dan alat kerja, dengan
indikator menyiapkan tempat kerja secara ergonomis, mengidentifikasi macam-
macam pekerjaan yang dijahit sesuai dengan alat-alat jahit yang dibutuhkan, dan
menyiapkan alat jahit sesuai kebutuhan. Adanya 2,4 persen responden yang
berkompetensi rendah dikarenakan rendahnya mobilitas responden yang
43
diakibatkan oleh disabilitasnya, sehingga kecepatannya untuk menyiapkan tempat
dan alat kerja lebih rendah daripada karyawan yang lain.
Menyiapkan mesin jahit
Menyiapkan mesin jahit dalam konteks penelitian ini adalah tingkat
kemampuan responden dalam menyiapakn mesin jahit yang meliputi:
mengidentifikasi nomor-nomor jarum mesin sesuai dengan jenis bahannya,
mengidentifikasi bagian mesin jahit (kumparan, spul, jarum) dan memasangnya
sesuai prosedur, memasang benang jahit sesuai prosedur, dan mengatur jarak
setikan sesuai dengan standar setikan yang dipersyaratkan. Sebanyak 64,3 persen
responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam menyiapkan mesin jahit
berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik
dalam mengidentifikasi nomor-nomor jarum mesin sesuai dengan jenis bahannya,
mengidentifikasi bagian mesin jahit (kumparan, spul, jarum) dan memasangnya
sesuai prosedur, memasang benang jahit sesuai prosedur, dan mengatur jarak
setikan sesuai dengan standar setikan yang dipersyaratkan. Masih terdapat
responden yang memiliki kompetensi rendah dikarenakan mobilitas yang terbatas
karena disabilitasnya
Tabel 10 Distribusi responden berdasarkan kompetensi menjahit dengan mesin
No. Uraian Kategori F Persen (%)
1. Menyiapkan Tempat dan Alat kerja 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 1 2,4
3. Tinggi 28 66,6
4. Sangat Tinggi 13 31
N=42 =100 %
2. Menyiapkan Mesin Jahit 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 2 4,8
3. Tinggi 27 64,2
4. Sangat Tinggi 13 31
N=42 =100 %
3. Mengoperasikan Mesin Jahit 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 6 14,3
3. Tinggi 21 50
4. Sangat Tinggi 15 35,7
N=42 =100 %
4. Menjahit Bagian-bagian Potongan
Pakaian
1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 5 11,9
3. Tinggi 21 50
4. Sangat Tinggi 16 38,1
N=42 =100 %
5. Merapihkan Tempat dan Alat Kerja 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 4 9,5
3. Tinggi 24 57,1
4. Sangat Tinggi 14 33,3
N=42 =100 %
Total Kompetensi Menjahit dengan
Mesin
1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 2 4,8
3. Tinggi 27 64,3
4. Sangat Tinggi 13 31
N=42 =100 % Mengoperasikan mesin jahit
Mengoperasikan mesin jahit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
tingkat kemampuan responden dalam mengoperasikan mesin jahit yang meliputi
tingkat kemampuan mencoba setikan mesin yang telah diatur di atas bahan/kain
44
lain dan tingkat kemampuan dalam memeriksa dan menyesuaikan hasil jahitan
dengan standar jahitan. Sebanyak 50 persen responden menyatakan bahwa
kompetensi mereka dalam mengoperasikan mesin jahit berada dalam kategori
tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam mencoba setikan
mesin yang telah diatur di atas bahan/kain lain dan dalam memeriksa dan
menyesuaikan hasil jahitan dengan standar jahitan.
Menjahit bagian-bagian potongan pakaian
Menjahit bagian-bagian potongan pakaian dalam konteks penelitian ini
adalah tingkat kemampuan responden dalam menjahit bagian-bagian potongan
pakaian yang meliputi tingkat kemampuan dalam menyiapkan bagian-bagian
potongan bahan pakaian yang akan dijahit, tingkat kemampuan dalam menjahit
bagian-bagian potongan pakaian dengan teknik yang sesuai dengan prosedur, dan
tingkat kemampuan menerapkan keselamatan kerja. Sebanyak 38,9 persen
responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam menjahit bagian-bagian
potongan pakaian berada dalam kategori sangat tinggi, yang artinya responden
memiliki kemampuan baik dalam menyiapkan bagian-bagian potongan bahan
pakaian yang akan dijahit, dalam menjahit bagian-bagian potongan pakaian
dengan teknik yang sesuai dengan prosedur, dan dalam menerapkan keselamatan
kerja.
Hal ini diakui oleh atasan langsung lulusan yang sangat puas dengan
kemampuan lulusan dalam memenuhi target produksi perusahaan. Bahkan
terdapat 2 (dua) orang lulusan di PT Mattel yang ditunjuk menjadi guru menjahit
dan diberikan tugas tambahan untuk mengajarkan menjahit bagi para karyawan
lain (non disabilitas) yang memiliki kemampuan menjahit kurang baik.
Kompetensi yang tinggi dalam menjahit didukung oleh sarana pelatihan
vokasional di BBRVBD, dimana jenis dan spesifikasi mesin jahit yang dipakai di
BBRVBD sudah sama dengan spesifikasi mesin yang dipakai di industri garmen,
sehingga lulusan sudah terbiasa dengan jenis mesin yang dipakai di perusahaan.
Adanya responden yang mempunyai kompetensi rendah dikarenakan adanya
responden yang mengalami penurunan kualitas kesehatan sehingga tidak bisa
menjahit secara maksimal dalam mencapai target produksi perusahaan (kasus
pada responden di PT Rajawali yang memiliki disabilitas pada tulang belakang)
dan cenderng meyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang relatif lama.
Merapikan tempat dan alat kerja
Merapikan tempat dan alat kerja yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah tingkat kemampuan responden dalam merapikan tempat dan alat kerja
yang meliputi tingkat kemampuan memelihara alat jahit dan mesin sesuai dengan
jenis dan spesifikasinya, tingkat kemampuan menyimpan alat jahit dan mesin
sesuai dengan jenis dan spesifikasinya, dan tingkat kemampuan dalam
membersihkan tempat kerja. Sebanyak 57,1 persen responden menyatakan bahwa
kompetensi mereka dalam merapikan tempat dan alat kerja berada dalam kategori
tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam memelihara alat
jahit dan mesin sesuai dengan jenis dan spesifikasinya, dalam menyimpan alat
jahitdan mesin sesuai dengan jenis dan spesifikasinya, dan dalam membersihkan
tempat kerja. Adanya responden yang memiliki kompetensi merapikan tempat dan
45
alat kerja rendah dikarenakan adanya sebagian responden yang memiliki mobilitas
rendah.
Employability
Selain kompetensi teknis, diperlukan juga kompetensi non teknis agar para
lulusan pelatihan dapat diserap di dunia kerja. Hillage and Pollard (dalam Pool
and Sewell 2007) menyebutkan bahwa kemampuan non teknis agar seseorang
dapat mendapatkan pekerjaan dan mempertahankan pekerjaannya dikenal dengan
employability. Rasul et al. (2010), mengemukakan bahwa employability adalah
kesiapan para lulusan untuk mendapatkan pekerjaan dan mengembangkan karir
dengan sukses.
Wen L. et al. (2010) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa
employability yang dibutuhkan di dunia kerja adalah (a) pemecahan masalah, (b)
etika kerja, (c) tanggung jawab, (d) bekerja dalam tim, (e) berorientasi pada
pelanggan, dan (f) komunikasi dan manajemen konflik. Dalam pelatihan
vokasional yang diselenggarakan di BBRVBD Cibinong, kemampuan non teknis
diperoleh peserta pelatihan melalui mata pelatihan pendukung dan dari program
bimbingan mental. Adapun hasil penelitian mengenai employability responden
disajikan dalam Tabel 11.
Mengacu pada Tabel 11, mayoritas responden memiliki employability dalam
kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam
pemecahan masalah, etika kerja, tanggung jawab, bekerja dalam tim, berorientasi
kepada pelanggan, dan komunikasi dan manajemen konflik. Masih adanya 9,5
persen responden yang memiliki employability skills yang rendah merupakan
tantangan bagi instruktur dan penyelenggara pelatihan untuk mengoptimalkan
potensi mereka dan untuk memberikan bimbingan mental dengan lebih baik.
Kasus di lapangan memperlihatkan bahwa rendahnya employability muncul dalam
bentuk rendahnya tanggung jawab lulusan terhadap kewajiban mereka sebagai
karyawan, seperti datang terlambat, tidak meminta ijin/mengirimkan surat dokter
ketika tidak masuk kerja, tidak menyelesaikan reparasi jahitan yang menjadi
tanggung jawabnya, menyelesaikan masalah di tempat kerja dengan emosional
dan cenderung kepada kekerasan.
Pemecahan masalah
Pemecahan masalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat
kemampuan responden dalam mengidentifikasi masalah, mengantisipasi, dan
memecahkan masalah. Mengacu kepada Tabel 11, sebesar 64,3 persen responden
menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam pemecahan masalah berada dalam
kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam
mengidentifikasi masalah, mengantisipasi, dan memecahkan masalah.
Etika kerja
Etika kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan
responden dalam kedisiplinan bekerja, memegang teguh dan mentaati nilai-nilai
sosial, dan kemampuan dalam menunjukkan perilaku positif sehingga tidak
merugikan orang lain maupun tempat kerjanya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 59,5 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam etika
46
kerja berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan
baik dalam kedisiplinan bekerja, memegang teguh dan mentaati nilai-nilai sosial,
dan dalam menunjukkan perilaku positif sehingga tidak merugikan orang lain
maupun tempat kerjanya
Tabel 11 Distribusi responden berdasarkan employability
No. Uraian Kategori F Persen (%)
1. Pemecahan Masalah 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 7 16,7
3. Tinggi 27 64,3
4. Sangat Tinggi 8 19
N=42 =100 %
2. Etika Kerja 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 5 11,9
3. Tinggi 25 59,5
4. Sangat Tinggi 12 28,5
N=42 =100 %
3. Tanggung Jawab 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 1 2,4
3. Tinggi 27 64,3
4. Sangat Tinggi 8 19
N=42 =100 %
4. Bekerja dalam Tim 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 1 2,4
3. Tinggi 28 66,7
4. Sangat Tinggi 13 31
N=42 =100 %
5. Berorientasi pada Pelanggan 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 4 9,5
3. Tinggi 35 83,3
4. Sangat Tinggi 3 7,1
N=42 =100 %
6. Komunikasi dan Manajemen Konflik 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 2 4,8
3. Tinggi 31 73,8
4. Sangat Tinggi 9 21,4
N=42 =100 %
Employability 1. Sangat Rendah 0 0
2. Rendah 4 9,5
3. Tinggi 29 69
4. Sangat Tinggi 9 21,4
N=42 =100 %
Tanggung jawab
Tanggung jawab dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kemampuan
responden dalam melaksanakan tanggung jawab untuk mencapai tujuan kerja, dan
kemampuan dalam memahami hubungan antara individu yang bersangkutan
dengan perusahaan tempat bekerja. Mengacu kepada Tabel 11, 64,3 persen
responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam tanggung jawab berada
dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki kemampuan baik dalam
melaksanakan tanggung jawab untuk mencapai tujuan kerja, dan dalam
memahami hubungan antara individu yang bersangkutan dengan perusahaan
tempat bekerja. Adanya responden yang memiliki tanggung jawab rendah muncul
dalam rendahnya tanggung jawab lulusan terhadap kewajiban mereka sebagai
karyawan, seperti datang terlambat, tidak meminta ijin/mengirimkan surat dokter
ketika tidak masuk kerja, tidak menyelesaikan reparasi jahitan yang menjadi
tanggung jawabnya.
47
Bekerja dalam tim
Bekerja dalam tim yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat
kemampuan responden dalam menerima orang lain untuk bekerja sama,
kemampuan dalam mengidentifikasi tujuan yang akan dicapai bersama dalam
sebuah tim, kemampuan dalam menghormati dan bekerjasama dengan orang lain
dalam rangka mencapai tujuan tim dan memperoleh hasil yang terbaik. Sebanyak
66,7 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam bekerja
dalam tim berada dalam kategori tinggi, yang artinya responden memiliki
kemampuan baik dalam menerima orang lain untuk bekerja sama, dalam
mengidentifikasi tujuan yang akan dicapai bersama dalam sebuah tim, dalam
menghormati dan bekerjasama dengan orang lain dalam rangka mencapai tujuan
tim dan memperoleh hasil yang terbaik. Responden di ketiga perusahaan bekerja
dalam tim (production line) untuk menyelesaikan target tim.
Berorientasi kepada pelanggan
Orientasi pada pelanggan yang dimaksuddalam penelitian ini adalah tingkat
kemampuan responden dalam memahami kebutuhan pelanggan, kemampuan
dalam memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan, dan kemampuan dalam
menjaga hubungan baik dengan pelanggan. Mengacu kepada Tabel 11, sebanyak
83,3 persen responden menyatakan bahwa mereka memiliki orientasi yang tinggi
terhadap kepuasan pelanggan dengan cara memahami kebutuhan pelanggan,
memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan, dan menjaga hubungan baik
dengan pelanggan. Hal tersebut menunjukkan kemampuan responden yang tinggi
dalam berorientasi kepada pelanggan. Dalam hal ini, responden menunjukkan
kemampuan berorientasi kepada pelanggan dalam bentuk pemenuhan permintaan
pelanggan sesuai dengan standar kualitas produk.
Komunikasi dan manajemen konflik
Komunikasi dan manajemen konflik yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah tingkat kemampuan responden dalam menunjukkan perhatian tulus kepada
orang lain dan tingkat kepekaan terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain.
Sebanyak 73,8 persen responden menyatakan bahwa kompetensi mereka dalam
komunikasi dan manajemen konflik berada dalam kategori tinggi, yang artinya
responden memiliki kemampuan baik dalam menunjukkan perhatian tulus kepada
orang lain dan tingkat kepekaan terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain.
Kompetensi komunikasi dan manajemen konflik yang rendah ditunjukkan masih
adanya sebagian responden yang cenderung emosional dan mengarah kepada
tindak kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
Dilihat dari distribusi responden, kompetensi yang paling besar dimiliki
oleh alumni pelatihan adalah kompetensi dalam melaksanakan prosedur K3 dalam
bekerja. Kompetensi ini diajarkan bersamaan dengan kompetensi-kompetensi
yang diajarkan dalam pelatihan, misalkan bersamaan dengan kompetensi menjahir
dengan mesin, kompetensi memotong, dan sebagainya. Instruktur mengajarkan
langsung mana yang menjadi sumber bahaya dan bagaimana mencegah dan
mengatasi kecelakaan yang bisa terjadi dalam setiap proses pekerjaan. Cara
pelatihan seperti ini memudahkan peserta dalam menguasai kompetensi
melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja.
48
Employability merupakan kompetensi terendah yang dimiliki oleh alumni
pelatihan, hal ini salah satunya dikarenakan rendahnya waktu yang dialokasikan
untuk belajar mengenai employability, yaitu hanya 30 jam pelatihan yang tertuang
dalam mata pelatihan AMT. Namun, sejak tahun 2013 BBRVBD telah menambah
jam mata pelatihan AMT menjadi sebanyak 202 jam pelatihan. Ditingkatkannya
jumlah jam AMT ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan employability
lulusan.
Hubungan Karakteristik Peserta Pelatihan dengan Kompetensi
Analisis korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan atau
korelasi antar variabel dalam penelitian ini. Karakteristik penyandang disabilitas
peserta pelatihan vokasional jurusan keterampilan penjahitan yang diduga
memiliki korelasi/hubungan dengan partisipasi meliputi usia, lama menyandang
disabilitas, pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pengalaman kerja.
Hasil analisis korelasi Spearman mengenai hubungan karakteristik
penyandang disabilitas peserta pelatihan dengan dengan kompetensi lulusan
pelatihan disajikan dalam Tabel 12.
Tabel 12 Korelasi karakteristik peserta pelatihan dengan kompetensi
No. Sub Variabel Kompetensi
Y1 Y2 Y3 Total Y
1. Usia .126 -.054 -.004 .013
2. Lama menyandang disabilitas .137 .121 .219 .157
3. Pendidikan formal -.142 -.117 -.013 -.097
4. Pendidikan non formal -.096 -.288 -.474**
-.281
5. Pengalaman kerja .118 -.030 -.144 .194 Keterangan
Y1 Kompetensi melaksanakan prosedur K3
dalam bekerja
Y2 Kompetensi menjahit dengan mesin
Y3 Employability
*Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan
95 persen (α= 0.05)
** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan
99 persen (α= 0.01)
Tingkat usia akan mempengaruhi aktivitas seseorang. Dari Tabel 12 dapat
diketahui bahwa usia tidak berkorelasi dengan kompetensi lulusan. Hal ini berarti
bahwa usia responden tidak berhubungan dengan kompetensi mereka sebagai
lulusan pelatihan vokasional bidang penjahitan BBRVBD. Hal ini dapat dipahami
karena responden berada pada range usia 20-36 tahun yang termasuk kedalam
kategori usia produktif. Sebagaimana hasil penelitian Mavromaras dan Palidano
(2011) yang menyebutkan bahwa pelatihan vokasional merupakan jalur
pendidikan yang popular bagi penyandang disabilitas usia produktif.
Lama menyandang disabilitas seseorang berkaitan erat dengan tingkat
kepercayaan diri dalam bersosialisasi dengan masyarakat, termasuk dalam belajar
mengikuti pelatihan yang akan berpengaruh terhadap prestasi yang dicapai.
Selain itu, lama menyandang disabilitas juga berkaitan dengan tingkat adaptasi
terhadap kemampuan penyandang disabilitas dalam memaksimalkan kemampuan
baru yang dimilikinya setelah memiliki disabilitas. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara keseluruhan, lama menyandang disabilitas tidak berkorelasi dengan
49
kompetensi, karena penyandang disabilitas peserta pelatihan vokasional telah
mengikuti assesment akademik, psikologis dan vokasional sebelum diterima
menjadi peserta pelatihan vokasional, sehingga meskipun peserta memiliki lama
waktu menyandang disabilitas yang berbeda, peserta pelatihan tetap memiliki
tingkat kemampuan akademis, psikologis, dan vokasional yang standar yang
memenuhi syarat untuk menjadi peserta pelatihan vokasional.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pendidikan formal penyandang
disabilitas peserta pelatihan vokasional jurusan keterampilan penjahitan tidak
mempunyai korelasi dengan kompetensi lulusan. Hal ini dapat dipahami karena
dengan adanya proses assesment di bidang akademik bagi calon peserta,
memungkinkan semua peserta pelathan yang diterima mempunya kemampuan
akademik standar sesuai persyaratan lemabaga penyelenggara pelatihan, terlepas
dari tingkat pendidikan formal yang dimiliki oleh peserta. Selain itu, pelatihan
diaplikasikan ketika hanya diperlukan sedikit berpikir (Peters 1967 dalam Tight
2002), sehingga tidak memerlukan pendidikan formal yang tinggi. Hal ini
didukung oleh fakta di lapangan bahwa walaupun 57,1 persen responden
mempunyai pendidikan yang berketegori rendah yaitu lulus SMP, bahkan ada
yang sangat rendah yaitu lulusan SD, tetapi secara umum responden mempunyai
kompetensi yang tinggi.
Secara umum pendidikan non formal tidak berkorelasi dengan kompetensi
lulusan. Akan tetapi pendidikan non formal berkorelasi negatif sangat signifikan
dengan employability sebagai kemampuan non teknis, terutama dalam pemecahan
masalah, etika kerja dan bekerja dalam tim. Adanya faktor kebosanan atas bidang
yang sama (penjahitan) dan merasa paling berpengalaman dalam bidang tersebut
menyebabkan responden cenderung kurang baik dalam bekerja dengan tim yang
pengalamannya dianggap lebih rendah dan dalam menyelesaikan masalah. Faktor
ini pula yang menyebabkan sebagian responden cenderung merendahkan orang
lain.
Tabel 12 menunjukkan bahwa secara umum pengalaman kerja tidak
berkorelasi dengan kompetensi, yang artinya bahwa tinggi rendahnya pengalaman
kerja lulusan tidak berhubungan dengan kompetensi yang dimiliki lulusan. Hal ini
dapat dipahami, karena jenis pekerjaan pada posisi pekerjaan sebelumnya tidak
selalu sama dengan pekerjaan yang sekarang, walaupun dalam bidang yang sama
(penjahitan), dan juga terdapat perbedaan spesifikasi alat dan mesin dalam
pekerjaan.
Secara keseluruhan, karakteristik penyandang disabilitas peserta pelatihan
vokasional tidak mempunyai hubungan dengan kompetensi lulusan. Hanya
pendidikan non formal saja yang mempunyai korelasi negatif sangat signifikan
dengan employability lulusan (r=-,474**)
Hubungan Performa Instruktur dengan
Kompetensi Penyandang Disabilitas Lulusan Pelatihan
Hasil penelitian dengan analisis korelasi Spearman menunjukkan adanya
keeratan hubungan antara performa instruktur dengan kompetensi lulusan
pelatihan, yaitu faktor kemampuan instruktur dalam memotivasi. Faktor lainnya
seperti penguasaan materi oleh instruktur dan keinovatifan instruktur dalam
50
mengajar tidak memiliki korelasi dengan kompetensi. Hasil analisis hubungan
performa instruktur dengan kompetensi lulusan pelatihan disajikan dalam Tabel
13.
Tabel 13 Korelasi performa instruktur pelatihan dengan kompetensi
No. Sub Variabel
Kompetensi
Y1 Y2 Y3 Total Y
1. Penguasaan materi -.043 -.002 .047 .020
2. Keinovatifan mengajar -.054 -.086 -.173 -.110
3. Kemampuan memotivasi .228 .326* .328
* .323*
4. Total performa instruktur .112 .164 .146 .168 Keterangan
Y1 Kompetensi melaksanakan prosedur K3
dalam bekerja
Y2 Kompetensi menjahit dengan mesin
Y3 Employability
*Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan
95 persen (α= 0.05)
** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan
99 persen (α= 0.01)
Penguasaan materi instruktur merupakan salah satu faktor yang krusial
dalam keberhasilan pemberian materi (Schempp 1998, Metzler dan Woessmann
2010), termasuk didalamnya persiapan materi (Darling-Hammond et al. 2005).
Begitu juga dengan keinovatifan mengajar yang berperan dalam menyebarkan
antusiasme instruktur dalam mengajar terhadap antusiasme peserta didik untuk
belajar (Grosu 2011).
Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor penguasaan materi dan
keinovatifan mengajar tidak berkorelasi dengan kompetensi. Yang artinya bahwa
penguasaan materi pelatihan oleh instruktur dan keinovatifan instruktur dalam
mengajar tidak berhubungan dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan
pelatihan. Hal ini dapat dipahami karena pada dasarnya peserta pelatihan adalah
orang dewasa yang dapat belajar secara mandiri dalam menggali informasi,
sehingga peran instruktur tidak 100 persen sebagai sumber materi (informasi).
Dalam pendidikan orang dewasa peran instruktur lebih cenderung sebagai sebagai
fasilitator yang membantu mempermudah peserta menguasai materi, bukan
sebagai satu-satunya sumber materi. Selain itu, sebagian peserta pelatihan pernah
mengikuti pendidikan formal di bidang penjahitan sebelumnya, sehingga
pelatihan vokasional yang dilaksanakan BBRVBD Cibinong bukan satu-satunya
sumber kompetensi bagi peserta pelatihan.
Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan
perilaku. Artinya perilaku yang termotivasi adalah perilaku yag penuh energi,
terarah, dan bertahan lama (Santrock 2008). Kemampuan memotivasi adalah
kemampuan instruktur dalam meningkatkan semangat, arah, dan kegigihan
perilakupenyandang disabilitas peserta pelatihan agar dapat mengikuti pelatihan
dengan penuh energi dan terarah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan memotivasi instruktur
berkorelasi positif signifikan dengan kompetensi lulusan. Hal ini sejalan dengan
pendapat ahli yang menyebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang
dalam interaksinya memiliki hambatan dari lingkungan dan membutuhkan
motivasi dan active support dari lingkungan untuk dapat keluar dari dunia
disabilitasnya (Ellison 2012). Hal ini juga sesuai dengan pendapat McGehee
51
(dalam Ali 2005) yang menyebutkan bahwa pelatih harus mampu memotivasi dan
menyebarkan respon yang berhubungan dengan serangkaian materi pelajaran.
Dengan demikian, secara keseluruhan faktor performa instruktur tidak
berkorelasi dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan. Akan tetapi
kemampuan instruktur dalam memotivasi berkorelasi positif signifikan terhadap
kompetensi lulusan dalam menjahit dengan mesin (r=0,326*) dan terhadap
employability lulusan (r=0,328*)
Hubungan Kurikulum Pelatihan dengan
Kompetensi Penyandang Disabilitas Lulusan Pelatihan
Kurikulum pelatihan merupakan komponen yang substansial dalam pelatihan,
dimana materi pelatihan harus disusun secara sistematis dan berdasarkan tahapan-
tahapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai (McGehee dalam Ali
2005, Hickerson dan Middleton 1975). Hasil analisis dengan menggunakan Spearman
menunjukkan bahwa faktor kurikulum pelatihan mempunyai korelasi dengan
kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan sebagaimana dalam Tabel 14.
Tabel 14 Korelasi kurikulum pelatihan dengan kompetensi
No. Sub Variabel
Kompetensi
Y1 Y2 Y3 Total Y
1. Proporsi jenis materi
penunjang dan utama .263 .347
* .219 .266
2. Kejelasan tujuan pelatihan .171 .168 .182 .190
3. Kesesuaian materi dan tujuan -.094 .107 -.016 .038
4. Urutan substansi materi .398**
.567**
.546**
.583**
5. Proporsi waktu teori dan
praktek .351
* .528
** .387
* .479
**
6. Waktu untuk pelatihan -.159 -.151 -.196 -.161
7. Evaluasi pelatihan -.081 .005 .146 .014
8. Total kurikulum pelatihan .212 .447**
.323**
.400**
Keterangan
Y1 Kompetensi melaksanakan prosedur K3
dalam bekerja
Y2 Kompetensi menjahit dengan mesin
Y3 Employability
*Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan
95 persen (α= 0.05)
** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan
99 persen (α= 0.01)
Mengacu kepada Tabel 14, proporsi jenis materi penunjang dan materi utama
berkorelasi positif signifikan dengan kompetensi menjahit dengan mesin, hal ini
menunjukkan bahwa proporsi jenis materi penunjang dengan materi utama
berhubungan erat dengan kompetensi penyandang disabilitas lulusan dalam menjahit
dengan mesin. Hal ini sejalan dengan fakta di lapangan bahwa materi menjahit dengan
mesin sebagai salah satu materi utama yang memerlukan lebih banyak praktek
mempunyai proporsi lebih besar dari materi penunjang. Materi menjahit dengan mesin
memakan waktu 381 jam dari total materi produktif (1074 jam) atau sekitar 35,5
persen
Kejelasan tujuan pelatihan merupakan hal yang penting untuk dipahami
oleh peserta pelatihan (Hickerson dan Middleton 1975), karena dengan
52
memahami tujuan pelatihan peserta pelatihan akan lebih mengetahui tujuan atau
arah pelatihan serta target yang harus dicapai. Kejelasan tujuan pelatihan dalam
konteks penelitian ini adalah tingkat kepastian tujuan pelatihan vokasional yang
dilihat dari tingkat kejelasan tujuan pelatihan bidang penjahitan, tingkat kejelasan
tujuan mata pelatihan, dan tingkat kejelasan tujuan setiap sesi pembelajaran. Hasil
analisis menunjukkan bahwa kejelasan tujuan pelatihan tidak berkorelasi dengan
kompetensi lulusan yang artinya bahwa kelejasan tujuan pelatihan tidak
berhubungan dengan kompetensi lulusan. Hal ini dapat dipahami karena pada
hasil wawancara dan observasi menunjukkan bahwa sebagian peserta tidak begitu
memperdulikan tujuan dari pelatihan tetapi mereka mempunyai kompetensi
tinggi.
Secara umum, faktor urutan substansi materi berkorelasi positif sangat signifikan
dengan kompetensi. Artinya bahwa urutan substansi materi pelatihan vokasional bidang
penjahitan berhubungan sangat erat dengan kompetensi lulusan. Hal ini sesuai dengan
pendapat McGehee (dalam Ali 2005) dan Hickerson dan Middleton (1975) yang
menyebutkan bahwa materi pelatihan merupakan komponen yang substansial dalam
pelatihan, dimana materi pelatihan harus disusun secara sistematis dan berdasarkan
tahapan-tahapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai. Misalnya hasil
observasi di lapangan pada kompetensi menjahit, peserta pertama-tama diajarkan
menjahit lurus terlebih dahulu sebelum ke menjahit lengkung yang dianggap lebih
rumit. Hal tersebut sangat memudahkan peserta dalam meningkatkan
kompetensinya.
Tabel 14 menunjukkan bahwa proporsi waktu antara teori dan praktek juga
menunjukkan korelasi positif sangat signifikan dengan kompetensi lulusan. Yang
artinya bahwa proporsi proporsi waktu untuk teori dan waktu untuk praktek dalam
pelatihan vokasional bidang penjahitan berhubungan sangat erat dengan kompetensi
penyandang disabilitas lulusan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hickerson dan
Middleton (1975) yang menyebutkan bahwa adanya praktik yang memadai
(proporsional) dianggap penting dalam pelaksanaan pelatihan. Pada pelatihan
vokasional ini, praktek merupakan hal yang menjadi dominasi.
Secara umum waktu pelatihan tidak berkorelasi dengan kompetensi, yang
artinya lamanya pelaksanaan pelatihan vokasional tidak berkorelasi dengan
kompetensi lulusan dalam bidang penjahitan, hal ini dapat dipahami karena semua
responden mengikuti pelatihan dengan durasi yang sama.
Evaluasi pelatihan dalam konteks penelitian ini adalah tingkat kesesuaian
evaluasi pelatihan vokasional yang dilihat dari kesesuaian cara evaluasi dan tujuan
evaluasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa evaluasi pelatihan tidak berkorelasi
dengan kompetensi, hal ini dapat dipahami karena cara dan tujuan instruktur atau
lembaga penyelenggara dalam mengevaluasi tidak begitu mempengaruhi
kompetensi hasil belajar peserta pelatihan.
Secara keseluruhan, analisis terhadap faktor kurikulum pelatihan menunjukkan
adanya korelasi positif sangat signifikan antara kurikulum pelatihan dengan kompetensi
dengan koefisien korelasi sebesar 0.400**.
53
Hubungan Profil Penyelenggara Pelatihan dengan
Kompetensi Penyandang Disabilitas Lulusan Pelatihan
Profil penyelenggara pelatihan merupakan salah satu komponen pelatihan yang
diduga beruhungan dengan kompetensi lulusan. Profil penyelenggara pelatihan
berhubungan kewenangan hukum atau kebijakan yang dimiliki oleh penyelenggara
dalam melaksanakan pelatihan, termasuk dalam menentukan kualifikasi instruktur dan
menyediakan sarana prasarana pelatihan (Sujudi 2003). Hasil analisis Spearman
menunjukkan adanya korelasi antara penyelenggara pelatihan dengan kompetensi
sebagai disajikan dalam Tabel 15.
Tabel 15 Korelasi profil penyelenggara pelatihan dengan kompetensi
No. Sub Variabel
Kompetensi
Y1 Y2 Y3 Total Y
1. Kesesuaian jumlah instruktur .303 .427**
.298 .377*
2. Tingkat pendidikan instruktur .305* .147 .131 .221
3. Kesesuaian jurusan pendidikan
instruktur .324
* .200 .173 .269
4. Pendidikan non formal
instruktur -.045 -.014 .016 -.014
5. Pengalaman mengajar
instruktur -.068 -.077 -.073 -.072
6. Sarana prasarana pelatihan .545**
.428**
.272 .403**
7. Total Profil Penyelenggara
Pelatihan .513
** .435
** .339
* .453
**
Keterangan
Y1 Kompetensi melaksanakan prosedur K3
dalam bekerja
Y2 Kompetensi menjahit dengan mesin
Y3 Employability
*Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan
95 persen (α= 0.05)
** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan
99 persen (α= 0.01)
Hasil analisis menunjukkan adanya korelasi positif sangat signifikan antara
kesesuaian jumlah instruktur dengan kompetensi menjahit dengan mesin yang artinya
artinya semakin proporsional jumlah instruktur maka kompetensi perserta cenderung
semakin tinggi. Jumlah instruktur yang proporsional memungkinkan peserta
memperoleh kesempatan untuk mendapatkan bimbingan yang cukup baik.
Idealnya tingkat pendidikan pelatih yang mengajar lebih tinggi dari tingkat
pendidikan peserta yang diajarkannya. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara
umum tingkat pendidikan instruktur tidak berkorelasi dengan kompetensi lulusan,
yang artinya bahwa strata pendidikan formal yang ditempuh instruktur tidak
berhubungan dengan peningkatan kompetensi lulusan. Hal ini dapat dipahami
karena bagi sebagian peserta, tingkat pendidikan bukanlah hal yang penting
selama instruktur mempunyai performa yang baik dalam mengajar peserta. Hal ini
juga sesuai fakta di lapangan dimana terdapat instruktur yang pendidikan
formalnya sama dengan tingkat pendidikan pesertanya (SMA) akan tetapi
kompetensi lulusan tetap dalam kategori tinggi.
Kesesuaian jurusan pendidikan formal secara umum tidak berkorelasi
dengan kompetensi lulusan. Hal ini dapat dipahami, karena walaupun kemampuan
instruktur atas bidang yang diajarkan tidak hanya diperoleh di pendidikan formal
saja melainkan bisa melalui pendidikan non formal. Hasil observasi di lapangan
54
menunjukkan bahwa terdapat sebagian instruktur yang jurusan pendidikan
formalnya tidak sesuai dengan bidang yang diajaran akan tetapi kompetensi
lulusan yang dilatihnya cenderung tinggi.
Pendidikan non formal instruktur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
tingkat kesesuaian pembelajaran non formal yang telah ditempuh instruktur baik
di dalam ataupun di luar negeri, dengan materi pelatihan yang diajarkan di
pelatihan vokasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor pendidikan non
formal tidak berhubungan dengan kompetensi lulusan. Hal ini dapat dipahami
karena pendidikan non formal bukan satu-satunya jalan bagi instruktur untuk
mendalami bidangnya, karena instruktur bisa saja mendapatkan kemampuannya
dari pendidikan formal.
Adanya korelasi antara tingkat pendidikan instruktur dan kesesuaian jurusan
instruktur terhadap kompetensi melaksanakan prosedur K3 dalam bekerja dapat
dipahami, karena pelatihan prosedur K3 menuntut adanya kemampuan konseptual
yang lebih tinggi dari instruktur, dimana instruktur harus memiliki kemampuan
analisis yang lebih tinggi dan profesional yang bisa didapatnya dari pendidikan
formal yang lebih tinggi dan dari jurusan yang sesuai.
Pengalaman mengajar instruktur dalam konteks penelitian ini adalah tingkat
kemampuan dan masa kerja instruktur dalam memberikan pelatihan. Hasil
penelitian menunjukkan pengalaman mengajar instruktur tidak berkorelasi dengan
kompetensi lulusan. Hal ini dapat dipahami, karena hasil observasi menunjukkan
bahwa instruktur yang mengajar adalah instruktur yang mempunyai kemampuan
mengajar yang baik sesuai standar lembaga penyelenggara, terlepas dari ada
tidaknya pengalaman mengajar sebelumnya.
Faktor sarana prasarana pelatihan mempunyai korelasi positif sangat signifikan
dengan kompetensi lulusan. Ketersediaan sarana prasarana yang memadai mendukung
pelaksanaan pelatihan yang baik sehingga memungkinkan peningkatan kompetensi
penyandang disabilitas lulusan pelatihan dengan lebih baik pula.
Secara keseluruhan, profil penyelenggara pelatihan berkorelasi positif sangat
signifikan dengan kompetensi lulusan (r=0,453**) yang artinya bahwa semakin baik
komponen penyelenggara pelatihan vokasional, maka kompetensi penyandang
disabilitas lulusan cenderung semakin tinggi.
Pengembangan Pelatihan Vokasional dalam Meningkatkan Kompetensi
bagi Penyandang Disabilitas
Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat faktor-faktor pelatihan
vokasional yang berkorelasi dengan peningkatan kompetensi penyandang disabilitas di
bidang penjahitan. Adanya faktor pendidikan non formal yang berkorelasi negatif
terhadap kompetensi lulusan perlu disiasati dengan membuat terobosan baru bagi
BBRVBD yaitu membuat program “penyaluran kerja” bagi peserta yang sudah
mempunyai kompetensi tinggi hasil pelatihan sebelumnya dan mendaftar di BBRVBD
karena motif penyaluran kerja saja, sehingga peserta dengan karakter seperti itu tidak
perlu mengikuti program pelatihan vokasional tapi cukup dengan langsung
menyalurkannya ke perusahaan. BBRVBD sebagai lembaga penyelenggara pelatihan
vokasional dapat memaksimalkan jaringan perusahaan mitra yang dimilikinya untuk
program baru tersebut.
55
Adanya peserta pelatihan yang mempunyai kompetensi tinggi hasil pelatihan di
panti sosial atau di LBK kemungkinan dikarenakan adanya tumpang tindih kurikulum
antara BBRVBD, dengan PSBD dan LBK. Terjadinya tumpang tindih kurikulum
menuntut adanya pengawasan dan koordinasi dari Kementerian Sosial sebagai payung
organisasi UPT-UPT pelaksana rehabilitasi penyandang disabilitas. Sehingga
kurikulum di BBRVBD sebagai penyelenggara rehabilitasi vokasional tidak lebih
rendah atau sama dengan kurikulum di PSBD yang menyelenggarakan rehabilitasi
sosial. Sebagai intisari dari upaya pengembangan kompetensi penyandang disabilitas,
Tabel 16 menyajikan keterkaitan antara kesenjangan kompetensi dengan kurikulum
pelatihan.
Tabel 16 Keterkaitan antara kesenjangan kompetensi dan kurikulum
pelatihan
No. Kesenjangan
Kompetensi Modul Pelatihan* Indikator Keberhasilan
1. Pengetahuan
bidang tugas
Pemahaman tugas pokok
dan fungsi pekerjaan,
aturan dan kewajiban
Memiliki pengetahuan
mengenai bidang kerja secara
utuh
2. Psikososial Kesiapan penyandang
disabilitas dalam
memasuki dunia kerja
Memiliki kemampuan yang
baik dalam pemecahan
masalah, etika kerja, tanggung
jawab, bekerja dalam tim,
berorientasi kepada pelanggan,
dan kemampuan komunikasi
dan manajemen konflik
3. Keterampilan
kerja
Bekerja sesuai SOP dan
instruksi pekerjaan
Bersikap profesional sesuai
dengan standar perusahaan
*Modul pelatihan dikemas dalam kurikulum pembelajaran berbasis kompetensi Meningkatkan kemampuan instruktur dalam memotivasi peserta dan
memperkuat faktor materi pelatihan serta meningkatkan kualifikasi instruktur dan
kualitas sarana prasarana pelatihan merupakan hal yang penting dan relevan
dalam upaya peningkatan kompetensi penyandang disabilitas lulusan pelatihan
vokasional. Instruktur pelatihan dalam rehabilitasi vokasional tidak hanya
berperan sebagai pengajar, tetapi juga merupakan support worker yang harus
memberikan dukungan aktif bagi penyandang disabilitas peserta pelatihan dengan
menggunakan pendekatan person centered. Adanya korelasi kuat antara
kemampuan instruktur dalam memotivasi mengharuskan adanya pengembangan
kapasitas bagi instruktur untuk meningkatkan kemampuan tersebut.
Faktor materi pelatihan yang mempunyai korelasi positif sangat signifikan
dengan kompetensi lulusan menuntut BBRVBD untuk mempertahankan dan
memperkuat komponen kurikulum terutama dalam proporsi jenis materi
penunjang dan materi utama, urutan materi pelatihan yang bertahap, dan proprsi
waktu teori dan praktek. Begitu pula dengan adanya faktor penyelenggara
pelatihan yang berkorelasi positif menuntut BBRVBD untuk mempertahankan
proporsi jumlah instruktur dan mempertahankan kualitas dan meningkatkan
kualitas dan kuantitas sarana prasarana pelatihan.