HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · Bentuk kepala bandikut jenis ini sempit dan runcing...
Transcript of HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · Bentuk kepala bandikut jenis ini sempit dan runcing...
37
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik dan Morfometri Bandikut
Karakteristik Eksternal
Hasil identifikasi di Australia melalui LIPI diketahui bahwa bandikut yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sejenis kalubu (Echymipera kalubu) yang
merupakan jenis kompleks yang saat ini sedang dipelajari di Australia oleh Dr.Kent
Aplin. Jenis ini termasuk Anak Kelas (Subclassis) Eutheria/Marsupialia, Bangsa
(Ordo) Peramelemorphia, Suku (Familia) Peroryctidae. Menurut Flannery (1995a),
bandikut jenis ini termasuk dalam kategori secure yang berarti masih aman, tidak
terancam punah atau tingkat kepunahannya masih rendah.
Bandikut (E. kalubu) ini memiliki karakteristik dan sifat yang unik. Tubuhnya
tebal dan padat dengan leher yang pendek. Warna bulu kecoklatan dan hitam dengan
bagian atas (dorso-lateral) mulai dari moncong sampai caudal kehitaman yang
merupakan campuran rambut berujung kuning dan hitam. Rambut yang menutupi
kulitnya kaku seperti duri biasa disebut pula sebagai spiny bandicoot. Bagian ventral
memanjang dari kaki belakang bagian dalam (ventral), dada, abdomen dan kaki
depan sampai rahang bawah dan tepat di bawah mata berwarna putih tetapi ada juga
yang berwarna kemerahan atau coklat kekuningan sehingga seperti terdapat batas
warna yang tajam terutama dari moncong sampai tepat di bawah mata. Oleh karena
itu sampel bandikut yang digunakan dalam materi penelitian ini terdiri dari 2 jenis
yang kemudian disebutkan sebagai bandikut dada putih dan dada merah sesuai
sebutan lokal oleh masyarakat di Papua (Gambar 7).
Bentuk kepala bandikut jenis ini sempit dan runcing mengarah ke hidung yang
panjang. Menurut Petocz (1994), moncong yang panjang menunjukkan indra
penciumannya yang tajam. Pada jenis dada putih pada bagian hidung lebih meruncing
atau memanjang (Gambar 8A), sedangkan pada jenis dada merah kepala ke arah
hidung lebih pendek (Gambar 8C). Beberapa rambut pelindung (sungut) tumbuh
panjang disekitar moncong dan di kanan kiri bagian atas bawah mata, pada bandikut
38
A B
Gambar 7 Bandikut dada merah (A) dan bandikut dada putih (B).
dada putih rambut tersebut lebih panjang dibanding pada bandikut dada merah. Mata
terlihat kecil dan hitam. Telinga gelap, pendek dan membulat diselimuti bulu yang
sangat halus (Gambar 8B).
A B C
Gambar 8 Kepala dan moncong bandikut dada putih dan dada merah.
Ekor pendek dan gelap serta kasar dan kaku, ditumbuhi bulu halus dan jarang
seperti pada telinga. Kaki depan dan belakang batas meta tarsal/carpal ditumbuhi
bulu halus dengan telapak gelap. Jari kedua dan ketiga kaki belakang pada pangkal
cakarnya disatukan oleh kulit dan hanya ujung sendi terakhir (tanda panah) dan
kukunya yang terpisah, sedangkan jari kaki depan tidak (Gambar 9).
Kaki depan bandikut lebih pendek dan kecil dari kaki belakang tetapi kuat
dengan tiga cakar yang panjang sebagai senjata untuk melindungi diri dan menangkap
mangsa, juga sebagai alat untuk menggali lubang sarang atau makanan serta untuk
menggaruk waktu membersihkan diri dari kotoran atau ektoparasit. Kaki belakang
39
A B C
Gambar 9 Jari kaki depan (A), jari kaki belakang (B) dan
telapak kaki depan dan kaki belakang (C).
yang memanjang mirip kanguru, bila berdiri terlihat punggungnya melengkung
seperti duduk dan kedua kaki depan menggantung. Berjalannya dengan cara
berjingkrak atau meloncat-loncat pelan. Kaki belakang yang panjang memungkinkan
bandikut mampu meloncat setinggi 150 meter.
Bandikut ini mempunyai susunan gigi poliprotodon yaitu memiliki banyak
pasang gigi seri di rahang di antara gigi taringnya. Formula susunan gigi bandikut
yang diteliti adalah I4/3 C1/1 P3/3 M4/4 (Gambar 10). Susunan gigi tersebut sesuai
dengan yang dilaporkan Tate (1948) dan Lindenmayer (1997) bahwa susunan gigi
bandikut I4-5/3 C 1/1 P 3/3 M 4/4. Bentuk geligi yang kecil-kecil dapat diduga bahwa
bandikut kurang mampu mengunyah makanan yang keras.
Gambar 10 Susunan geligi bandikut.
Antara bandikut jantan dan betina dewasa terdapat sedikit perbedaan dalam
berat tubuh, pada jantan memiliki ukuran sedikit lebih besar dari betina. Secara
morfologi, bandikut jantan dan betina mudah dibedakan. Pada betina memiliki
Rahang atas
Rahang bawah
40
kantung tempat menyusui anak yang terbuka ke arah belakang, di bagian ventro-
abdomen dekat anus. Di dalam kantung tersebut terdapat 8 buah puting susu yang
berjajar dua, masing-masing jajar membentuk setengah busur yang saling
berhadapan. Pada jantan ditandai dengan adanya 2 buah testes yang terbungkus dalam
scrotum menggantung keluar dari abdomen sekitar 3 cm dari anus. Saluran testes ini
menggantung sepanjang 1,7 cm. Saluran akhir alat reproduksi, saluran kencing dan
saluran pembuangan kotoran bermuara dalam satu saluran anus atau dapat pula
disebut sebagai kloaka seperti yang terdapat pada hewan unggas pada umumnya
(Gambar 11).
8 puting susu urogenital betina
dalam kantung testes penis anus
Gambar 11 Puting susu dalam kantung bandikut betina serta
alat reproduksi bandikut jantan dan betina.
Selama penelitian diketahui bahwa bandikut merupakan satwa yang sangat
nervous dan mudah stress. Setiap individu harus dipisahkan dan tidak dapat dicampur
41
di dalam satu kandang. Apabila dicampur maka akan saling berkelahi, baik antar
jantan, antar betina maupun antar jantan dan betina. Menurut Menzies (1991),
keadaan tersebut merupakan ciri hewan soliter dan memiliki daerah territorial tertentu.
Mackerras and Smith (1960) juga menjelaskan bahwa secara umum bandikut
dianggap sebagai hewan soliter dan suka berkelahi (pugnacious). Aktifitas harian
bandikut hanya dilakukan pada malam hari, sedangkan waktu siang hari digunakan
untuk istirahat di sarang.
Pada induk yang sedang menyusui, bila anaknya sudah berbau asing, misal di
pegang manusia maka anak tersebut akan dimakan oleh induknya sendiri. Induk
biasa sangat bereaksi bila anaknya diambil dan dikembalikan maka anaknya akan
dibunuh dan dimakan. Hal ini diduga sebagai suatu cara pertahanan diri untuk
menghilangkan jejak. Menurut Gemmell (1982), bandikut betina di dalam kandang
cenderung kanibal untuk membunuh dan memakan anaknya. Bayi bandikut lahir
dalam keadaan belun tumbuh sempurna, berwarna merah jambu tanpa ditumbuhi
rambut dan mata tertutup (Gambar 12).
1 2 3
4 5
Gambar 12 Perkembangan bayi bandikut (1 ke 5) dalam kantung sampai
mulai tumbuh rambut dengan mata masih tertutup.
42
Menurut Lyne (1990), rambut pertama akan muncul di tubuh pada umur 45 hari,
mata akan terbuka dan mulai meninggalkan kantung induknya antara umur 45-50 hari,
selanjutnya penyapihan terjadi pada umur 56-60 hari dan akan mengikuti induknya
sampai umur 71-73 hari. Induk mulai kawin kembali setelah anak di dalam kantung
umur 49-50 hari dan masih didalam kantung. Anaknya berhenti menyusu pada umur
59-61 hari ketika induk melahirkan anak berikutnya. Rata-rata kelahiran terjadi setiap
65 hari atau 6 kali kelahiran terjadi selama 13 bulan (Stodart, 1977).
Reproduksi bandikut dicirikan oleh masa bunting yang pendek dan kelahiran
anak yang belum sempurna. Pertumbuhan dan perkembangan anak bandikut
selanjutnya terjadi didalam kantung selama periode menyusu, yaitu perkembangan
atau perubahan pendewasaan yang lebih sempurna dari pada waktu lahir. Selama
pertumbuhan dan perkembangan di dalam kantung, selain sintesis oleh bayi bandikut
itu sendiri, susu induknya yang hanya memungkinkan sebagai sumber hormon dan
faktor-faktor pertumbuhan. Saunders et al. (2000) melaporkan bahwa kelenjar
pituitary pada marsupial yang baru dilahirkan mampu mensistesis dan mensekresikan
hormon pertumbuhan (GH-growth hormone), tetapi kelenjar tyroid tidak terdapat saat
lahir dan akan berkembang selama hidup di dalam kantung. Hal ini telah dibuktikan
bahwa konsentrasi GH plasma paling tinggi pada awal kehidupan dalam kantung dan
setelah itu cenderung turun secara eksponensial sampai waktu penyapihan (sekitar
umur 60 hari) tetapi masih lebih tinggi dari level periode dewasa. Sebaliknya,
konsentrasi thyroxin plasma rendah pada awal menyusu, kemudian meningkat
mencapai maksimal pada hari ke 40 post-partum dan menurun kembali hingga ke
level pada periode dewasa. Folikel kelenjar tyroid dan lysosoma mulai muncul pada
umur 12 hari pos-partum yang diperlukan untuk mensekresikan hormon aktif ke
dalam pembuluh darah dan nampak nyata pada umur 30 hari. Gemmell dan Hendrikz
(1993) juga melaporkan bahwa dari pertumbuhan lambat ke pertumbuhan yang lebih
cepat pada bayi bandikut terjadi pada hari ke 30 post-partum. Hal ini disebabkan
sekresi GH yang masih di atas level periode dewasa untuk fase pertama pertumbuhan
cepat dari umur 20-30 hari. Sedangkan pada mamalia berplacenta (eutherian), folikel
kelenjar tyroid sudah ada sejak awal dalam kebuntingan dan puncak konsentrasi
43
thyroxin terjadi setelah lahir. Konsentrasi GH juga tinggi selama dalam kebuntingan
dan terjadi penurunan beberapa hari sebelum lahir.
Morfometri Bandikut
Morfometri merupakan ukuran-ukuran tubuh yang tampak dari luar. Ukuran
tubuh sangat penting terutama untuk keperluan seleksi pada ternak. Melalui ukuran
tubuh dapat digunakan sebagai alat untuk menduga produktivitas ternak yang
bersangkutan. Pada penelitian ini digunakan sampel 30 ekor bandikut tanpa
dibedakan jenis kelamin dan jenis warna dada. Ukuran tubuh bandikut hasil
penelitian disajikan pada Tabel 2.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa berat tubuh bandikut yang ditemukan pada
penelitian ini sangat bervariasi mulai dari berat 450 – 4 600 g dengan rataan
1 188.33 g. Bandikut seberat 4 600 g tersebut merupakan berat paling tinggi yang
pernah ditemukan. Keadaan ini dapat mengindikasikan bahwa apabila dibudidayakan
bandikut di Papua memiliki potensi bisa mencapai berat di atas 4.5 Kg jika ditunjang
dengan faktor-faktor lingkungannya. Menurut Berg dan Butterfield (1976), faktor
lingkungan yang dimaksud adalah iklim, makanan dan tatalaksana. Rata-rata berat
bandikut pada jenis yang sama yang tercatat telah ditemukan adalah 1 800 g di PNG
dengan berat jantan rata-rata 1 173 g dan betina 685 g (Anderson, Berry, Amos and
Cook, 1988), 450 - 1500 g (Flannery, 1995a), 405 - 1 000g (Flannery, 1995b) dan
500-2 000 g (Strahan, 1990).
Hasil uji korelasi Pearson dapat diketahui bahwa dari ukuran-ukuran tubuh yang
di amati hanya pada ukuran panjang ekor (r = 0.23), lebar telapak kaki depan (r =
-0.25), lebar telapak kaki belakang (r = 0.17), panjang caecum (r = 0.33) dan panjang
colon (r = 0.24) menunjukkan memiliki keeratan hubungan yang rendah (P>0.05)
terhadap berat tubuh bandikut. Pada lebar kaki depan terdapat hubungan negatif yang
tidak nyata. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan semakin
tinggi bobot badan bandikut tidak diikuti oleh semakin lebar telapak kaki depannya.
Keadaan tersebut diduga karena telapak kaki depan bandikut kurang aktif digunakan
untuk menapak. Sedangkan panjang telinga (r = 0.41), dan lingkar kaki depan
44
Tabel 2 Rataan, standar deviasi, maksimum, minimum dan koefisien
korelasi ukuran-ukuran tubuh terhadap berat badan bandikut
Parameter n Rataan SD Max Min r - thd
brt bdn
Berat badan (g)
Panjang badan+kpl (cm)
Panjang moncong (cm)
Panjang kepala (cm)
Panjang badan (cm)
Lingkar leher (cm)
Lingkar dada (cm)
Lebar dada (cm)
Dalam dada (cm)
Panjang telinga (cm)
Lebar telinga (cm)
Tinggi badan dpn bahu (cm)
Tinggi bdn blk pinggul (cm)
Lingkar kaki depan (cm)
Lingkar kaki belakang (cm)
Lingkar perut (cm)
Panjang ekor (cm)
Panj. telapak kaki dpn (cm)
Panj. Telapak kaki blk (cm)
Panj. kuku kaki depan (cm)
Panj. kuku kaki blk (cm)
Lebar telapak kaki dpn (cm)
Lebar telapak kaki blk (cm)
Morfometri visceral
Berat jantung (g)
Berat paru-paru (g)
Berat hati (g)
Berat ginjal (g)
panjang oesophagus (cm)
panjang usus halus (cm)
panjang ventriculus (cm)
panjang caecum (cm)
panjang colon (cm)
Berat limpa (g)
lebar ventriculus (cm)
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
28
30
30
30
30
30
30
27
27
27
18
27
27
26
25
26
24
21
1 188.33
33.40
4.26
9.04
25.38
14.73
22.34
5.64
7.52
2.19
1.72
11.47
12.27
8.07
12.69
22.97
7.32
3.21
5.97
1.45
1.31
1.19
1.42
5.06
7.91
29.30
3.93
9.71
76.65
4.38
3.10
17.53
3.61 3.04
776.34
4.46
0.66
1.28
3.47
1.77
2.99
1.13
1.17
0.47
0.19
2.03
2.20
1.54
1.87
2.90
1.26
0.60
0.89
0.36
0.34
0.40
0.38
2.97
3.90
11.06
3.26
2.08
16.82
1.0
0.83
3.95
2.16
0.88
4600
43
5.5
12
32
21
28.5
9
11
3
2.1
17
18
11.5
16
28.5
10
4.5
8
2.2
2.2
1.8
2
14.3
18
62.9
13.2
15
118.5
7
5
33
8.5
5.3
455
26
3
7
19
12
17
4.1
5.6
0.2
1.4
6.8
9
6
9
16
5.5
2
4.4
0.7
0.7
0.3
0.4
1.5
2.5
10.5
1
6
48
2.6
1.5
12
1
2
0.73**
0.56**
0.76**
0.70**
0.48**
0.64**
0.81**
0.83**
0.41*
0.47**
0.77**
0.79**
0.42*
0.49**
0.58**
0.23
0.66**
0.68**
0.55**
0.53**
-0.25
0.17
0.77**
0.74**
0.72**
0.61**
0.50**
0.62**
0.53**
0.33
0.24
0.54**
0.57** Keterangan : r = koefisien korelasi, *) taraf kepercayaan 95 %, **) taraf kepercayaan 99 %
(r = 0.42) secara nyata (P<0.05) mempunyai korelasi positip terhadap berat tubuh.
Tetapi sebagian besar ukuran-ukuran tubuh bandikut lainnya secara sangat nyata
(P<0.01) memiliki korelasi yang sangat nyata terhadap berat badan bandikut. Artinya,
semakin besar ukuran-ukuran bagian tubuh tersebut semakin tinggi pula berat tubuh
45
bandikut yang bersangkutan. Artinya ukuran tubuh tersebut mempunyai keeratan
hubungan yang sangat tinggi terhadap berat badan bandikut.
Gambaran morfometri bandikut berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada
Tabel 3. Hasil uji beda nyata terkecil (LSD) antara ukuran-ukuran tubuh bandikut
jantan dan betina disajikan pada Lampiran 1.
Pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa berat badan jantan (1 483.75 g), panjang
badan tanpa kepala (26.66 cm), dalam dada (7.92 cm) dan tinggi badan depan bahu
(12.2 cm) secara nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran pada betina
secara berurutan adalah 850.71 g, 23.93 cm, 7.06 cm dan 10.63 cm. Sedangkan
ukuran-ukuran tubuh bandikut jantan yang secara sangat signifikan (P<0.01) lebih
tinggi dari ukuran betina adalah lingkar leher (15.47 cm), lingkar dada (23.63cm),
tinggi badan belakang pinggul (13.19 cm), lingkar kaki depan (8.69 cm), lingkar kaki
belakang (13.49 cm), panjang ekor (7.83 cm), panjang telapak kaki depan (3.48 cm)
dan panjang telapak kaki belakang (6.46 cm) dan pada betina yaitu 13.89 cm, 20.95
cm, 11.22 cm, 7.36 cm, 11.79 cm, 6.74 cm, 2.89 cm dan 5.41 cm. Ukuran tubuh
lainnya, terutama morfometri organ visceral tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata (P>0.05) antara jantan dan betina. Tingginya beberapa ukuran pada tubuh
jantan dibandingkan pada betina diduga karena ukuran-ukuran tersebut kecuali
panjang ekor (Tabel 2) memiliki korelasi positif yang cukup tinggi terhadap berat
badan, sedangkan berat badan jantan secara nyata lebih tinggi dibandingkan berat
betina sehingga sangat erat sekali hubungannya, semakin berat tubuh akan cenderung
semakin tinggi pula ukuran tubuh yang berkorelasi positif terhadap berat tubuhnya.
Lebih tingginya berat badan bandikut jantan dari pada betina diduga karena faktor
jenis kelamin. Menurut Devendra & Burns (1970), hewan jantan lebih besar dari
betina.
Gambaran morfometri bandikut berdasarkan jenis warna dada ditampilkan pada
Tabel 4. Hasil uji beda nyata terkecil (LSD) antara ukuran-ukuran tubuh bandikut
dada putih dan dada merah diperlihatkan pada Lampiran 2.
Pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa dari hasil uji beda nyata terkecil
(Lampiran 2), panjang moncong (4.76 cm), panjang kepala (9.84 cm) dan lebar
46
telinga bandikut dada putih secara sangat nyata (P<0.01) lebih panjang dan lebar
dibandingkan dengan bandikut dada merah yaitu 3.77 cm, 8.23 cm dan 1.61 cm.
Tabel 3 Rataan morfometri bandikut berdasarkan jenis kelamin
Ukuran Tubuh Jantan Betina
Rataan SD Rataan SD
Berat badan (g)
Panjang badan+kpl (cm)
Panjang moncong (cm)
Panjang kepala (cm)
Panjang badan (cm)
Lingkar leher (cm)
Lingkar dada (cm)
Lebar dada (cm)
Dalam dada (cm)
Panjang telinga (cm)
Lebar telinga (cm)
Tinggi badan dpn bahu (cm)
Tinggi bdn blk pinggul (cm)
Lingkar kaki depan (cm)
Lingkar kaki belakang (cm)
Lingkar perut (cm)
Panjang ekor (cm)
Panj. telapak kaki dpn (cm)
Panj. Telapak kaki blk (cm)
Panj. kuku kaki depan (cm)
Panj. kuku kaki blk (cm)
Lebar telapak kaki dpn (cm)
Lebar telapak kaki blk (cm)
Morfometri visceral
Berat jantung (g)
Berat paru-paru (g)
Berat hati (g)
Berat ginjal (g)
panjang oesophagus (cm)
panjang usus halus (cm)
panjang ventriculus (cm)
panjang caecum (cm)
panjang colon (cm)
Berat limpa (g)
lebar ventriculus (cm)
1483.75a
34.72
4.41
9.40
26.66a
15.47A
23.63A
5.95
7.92a
2.21
1.73
12.2a
13.19A
8.69A
13.49A
23.88
7.83A
3.48A
6.46A
1.52
1.38
1.25
1.45
5.02
8.01
27.44
2.82
10.30
79.36
4.69
3.57
18.22
3.54
3.38
952.29
4.55
0.71
1.40
3.53
2.03
3.47
1.36
1.28
0.63
0.25
2.05
2.32
1.64
1.61
2.65
1.20
0.55
0.89
0.37
0.35
0.45
0.43
2.74
4.42
8.73
1.26
2.46
19.19
1.04
0.64
4.89
2.48
1.01
850.71b
31.89
4.10
8.62
23.93b
13.89B
20.95B
5.29
7.06b
2.16
1.72
10.63b
11.22B
7.36B
11.79B
21.93
6.74B
2.89B
5.41B
1.38
1.23
1.18
1.39
4.14
7.36
28.86
3.36
8.75
69.86
3.91
2.49
16.59
3.25
2.73
260.69
3.99
0.58
1.01
2.86
0.92
1.72
0.68
0.87
0.20
0.09
1.70
1.54
1.10
1.77
2.92
1.10
0.50
0.52
0.35
0.31
0.30
0.32
1.87
3.13
10.01
2.75
0.98
11.06
0.92
0.52
0.69
1.93
1.64 *) superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0.05) dan superskrip huruf besar pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P<0.01).
47
Panjang telinga (2.37 cm), panjang kuku kaki depan (1.64 cm) dan berat paru-
paru (9.99 g) secara nyata (P<0.05) lebih tinggi dari pada bandikut dada merah
Tabel 4 Rataan morfometri bandikut berdasarkan jenis warna dada
Ukuran Tubuh Dada Putih Dada Merah
Rataan SD Rataan SD
Berat badan (g)
Panjang badan+kpl (cm)
Panjang moncong (cm)
Panjang kepala (cm)
Panjang badan (cm)
Lingkar leher (cm)
Lingkar dada (cm)
Lebar dada (cm)
Dalam dada (cm)
Panjang telinga (cm)
Lebar telinga (cm)
Tinggi badan dpn bahu (cm)
Tinggi bdn blk pinggul (cm)
Lingkar kaki depan (cm)
Lingkar kaki belakang (cm)
Lingkar perut (cm)
Panjang ekor (cm)
Panj. telapak kaki dpn (cm)
Panj. Telapak kaki blk (cm)
Panj. kuku kaki depan (cm)
Panj. kuku kaki blk (cm)
Lebar telapak kaki dpn (cm)
Lebar telapak kaki blk (cm)
Morfometri visceral
Berat jantung (g)
Berat paru-paru (g)
Berat hati (g)
Berat ginjal (g)
panjang oesophagus (cm)
panjang usus halus (cm)
panjang ventriculus (cm)
panjang caecum (cm)
panjang colon (cm)
Berat limpa (g)
lebar ventriculus (cm)
1475.00
35.40
4.76A
9.84A
26.73
15.03
23.07
6.03
8.09
2.37a
1.83A
12.33
13.23
8.33
13.30
24.13
7.89
3.50
6.25
1.64a
1.41
1.21
1.45
6.24
9.99a
34.86
5.05
10.18
81.50
4.91
2.47
19.04
4.24
3.31
984.27
4.35
0.45
1.22
3.39
2.35
2.64
1.26
1.09
0.32
0.15
1.91
2.47
1.37
1.53
2.66
1.30
0.56
0.77
0.21
0.29
0.42
0.38
3.49
4.13
11.76
4.01
1.93
18.62
0.97
0.90
0.60
4.68
2.28
901.67
31.40
3.77B
8.23B
24.03
14.43
21.60
5.25
6.94
2.01b
1.61B
10.61
11.31
7.81
12.09
21.80
6.71
2.91
5.69
1.27b
1.21
1.17
1.39
3.79
5.69b
23.31
2.53
9.17
71.43
3.77
3.73
15.78
2.86
2.79
321.82
3.71
0.43
0.71
3.10
0.90
3.22
0.85
0.97
0.54
0.16
1.81
1.38
1.71
2.03
2.74
0.93
0.50
0.93
0.39
0.36
0.38
0.38
1.60
2.09
6.35
1.06
2.20
13.42
0.64
0.70
0.58
1.81
1.83 *) superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0.05) dan superskrip huruf besar pada baris yang sama menunjukkan perbedaan
yang sangat nyata (P<0.01).
48
yang secara berurutan ukuran tersebut adalah 2.01 cm, 1.27 cm dan 5.69 g. Ukuran-
ukuran tubuh lainnya relatif sama tidak menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan (P>0.05) antara bandikut dada putih dan bandikut dada merah. Ukuran
tubuh yang berbeda secara signifikan ini dapat pula digunakan sebagai salah satu
penciri untuk membedakan kedua jenis bandikut tersebut. Disamping itu, tingginya
ukuran panjang moncong dan panjang kepala serta telinga dapat diduga bahwa
bandikut dada putih memiliki penciuman dan pendengaran yang lebih tajam dari
bandikut dada merah. Menurut Petocz (1994), moncong yang panjang menunjukkan
indra penciumannya yang tajam. Sedangkan lebih panjangnya kuku kaki depan dan
lebih beratnya paru-paru dapat mengindikasikan bahwa bandikut dada putih lebih
tahan dan kuat dalam melakukan aktifitas hidupnya dibandingkan bandikut dada
merah. Panjang kuku kaki depan bandikut dada merah yang lebih pendek
dibandingkan pada bandikut dada putih, diduga bandikut dada merah lebih aktif
sehingga kuku kaki depannya menjadi aus karena banyak digunakan untuk aktivitas,
seperti berkelahi dan menggali tanah untuk mencari makanan dalam tanah.
Tingkah Laku dan Konsumsi Pakan Bandikut
Tingkah Laku Bandikut
Studi tingkah laku dan interaksi sosial di dalam kandang dari bandikut jenis ini
(Echymipera kalubu) belum banyak informasi. Beberapa peneliti Australia
melaporkan bandikut jenis Eastern barret (perameles gunii) yang ditempatkan di
dalam kandang tidak dapat bertahan hidup lama juga tidak dapat bereproduksi
(Murphy, 1993). Kajian tingkah laku bandikut jenis ini (Echymipera sp.) yang
ditempatkan di dalam kandang merupakan bagian dari upaya budidaya. Pengamatan
bandikut di lingkungan kandang dilakukan pada malam hari sesuai kebiasaan
bandikut sebagai hewan nokturnal. Delapan ekor bandikut ditempatkan dalam 8
kandang individu dengan ukuran setiap kandang adalah 2x1,8x1,5m. Lama
pengamatan setiap individu dilakukan selama 3 hari. Tingkah laku yang diamati
dalam penelitian ini meliputi tingkah laku makan, minum dan grooming serta aktifitas
lain yang dapat diamati.
49
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa waktu aktifitas bandikut di mulai pada
jam 18.05 – 18.55 dan mulai masuk sarang terakhir pada jam 01.39 – 04.20 subuh.
Pada siang hari, bandikut sama sekali tidak melakukan aktifitas, hanya terdengar
sekali-sekali suara garukan cakar membersihkan rambut (grooming) dan decak mulut
seperti mengecap makanan, diduga suara tersebut adalah suara bandikut sedang
makan makanan (pisang) sisa dari makanan yang di bawa ke sarang. Bandikut yang
baru pertama dimasukkan di dalam kandang pemeliharaan membutuhkan waktu 1-2
hari untuk keluar sarang. Waktu pertama bandikut ditempatkan dalam kandang yang
dilengkapi sarang, secara naluri bandikut beberapa lama kemudian akan membuat
lubang sarang tempat untuk keluar masuk sarangnya. Pembuatan lubang sarang
dilakukan oleh moncongnya dengan mengatur rumput atau daun kering yang ada di
dalam sarang sehingga membentuk lubang (Gambar 13).
Flannery (1995a) melaporkan bahwa pada habitatnya di alam, terdapat 3 tipe
sarang yang dapat ditemukan, yaitu (1) berupa lubang dangkal dengan 2 lubang
tempat masuk dan panjang sekitar 4 meter, (2) lubang pada batang pohon yang
tumbang dan lapuk dan (3) pada tumpukan daun atau rumput kering. Sebelum keluar
Lubang sarang dari samping Lubang sarang dari depan
Gambar 13 lubang sarang tempat keluar masuk yang dibuat bandikut.
sarang bandikut akan mengendus menyelidik dengan moncongnya keluar di
permukaan sarang berputar ke segala arah, sambil mengangkat kedua kaki depan dan
sering terdengar suara mengendus-endus. Setelah merasa aman barulah bandikut
50
keluar sarang dengan melompat secara perlahan-lahan dan selanjutnya melakukan
aktifitas di luar sarang secara naluri. Bila merasa tidak aman misal terdengar aktifitas
orang atau hewan lain maka bandikut akan bersembunyi masuk sarang kembali
sambil menunggu saat yang tepat untuk keluar sarang
Durasi dan frekuensi aktifitas makan, minum dan grooming bandikut di dalam
kandang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Rataan durasi dan frekuensi makan, minum dan grooming
bandikut di dalam kandang Waktu
Aktifitas Jam 18.00 – 22.00 Jam 22.00 – 02.00 Jam 02.00 – 06.00
Durasi (detik) frek Durasi (detik) frek Durasi (detik) frek
Makan
Minum
Grooming
197.83696.9
58.696 73.7
53.60636.7
4
2
1.5
60.17628.1
34.04627.7
35.43610.2
2
2
1.6
46.31624.1
21.0668.4
62.43623.2
1.4
1.3
1.75
Tabel 5 memperlihatkan bahwa waktu yang paling banyak digunakan bandikut
untuk aktifitas makan (197.83 detik), minum (58.69 detik) dan grooming atau
membersihkan diri (53.6 detik) dengan frekuensi masing-masing 4, 2 dan 1.5 kali
adalah pada periode waktu antara jam 18.00 sampai 22.00. Periode waktu jam 22.00
sampai jam 02.00 menunjukkan semakin menurun tetapi waktu untuk membersihkan
diri (grooming) (62.43 detik) dengan frekuensi (1.75) meningkat pada periode waktu
jam 02.00 sampai masuk sarang kembali dan istirahat. Kecenderungan lebih lama
waktu yang digunakan bandikut untuk makan pada periode waktu jam 18.00 – 22.00
dibandingkan periode waktu tengan malam (jam 22.00 – 02.00) dan subuh (jam 02.00
– 06.00) disebabkan bandikut sudah merasa lapar karena pada siang hari hanya
berada di dalam sarang. Waktu subuh (jam 02.00 – 06.00) bandikut sudah merasa
kenyang dan banyak waktu yang dibutuhkan untuk membersihkan diri (grooming)
sebelum masuk kembali ke dalam sarang sampai malam berikutnya. Rata-rata dalam
semalam waktu yang dibutuhkan oleh seekor bandikut dewasa untuk makan adalah
304.31 detik atau 5 menit 42 detik dengan frekuensi 7.4 kali, untuk minum 113.79
detik atau 1 menit 54 detik dengan frekuensi 5.3 kali dan waktu untuk grooming
dibutuhkan selama 151.46 detik atau 2 menit 32 detik dengan frekuensi 4-5 kali.
51
Total waktu yang digunakan untuk aktifitas makan, minum dan grooming adalah 9
menit 30 detik (1.32 %). Waktu yang digunakan untuk makan, rata-rata lebih lama
dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk minum dan grooming. Keadaan
ini sama dengan hasil penelitian Murphy (1993) terhadap tingkah laku eastern barred
bandicoot di dalam kandang penangkaran. Selanjutnya dilaporkan bahwa waktu
untuk foraging meningkat tiga kali ketika pakan ditahan (tidak disediakan)
dibandingkan bila pakan disediakan di dalam kandang.
Selama semalam rata-rata seekor bandikut dewasa kembali masuk ke sarang
sebanyak 3-4 kali dengan lama waktu di dalam sarang 309.13 menit atau 5 jam 9
menit (42.93 %). Jadi sebagian besar waktu (55.75 %) aktifitas bandikut di dalam
kandang banyak digunakan untuk aktifitas lain seperti mencari makanan lain di dalam
kandang (foraging) dengan cara mengendus dan menggaruk lantai, menjilati semut
yang ada dan mengelilingi kandang mencari jalan untuk keluar kandang dengan cara
berjalan keliling kandang, melompat, merayap di kawat ram dan mencongkel dinding
pembatas dengan cakarnya yang tajam dan kuat. Hal ini diduga bandikut yang
dipelihara belum bisa beradaptasi dengan baik pada lingkungan kandang dan pakan
yang disediakan sehingga terlihat waktu yang digunakan untuk makan pakan yang
disediakan , minum dan grooming hanya sedikit yaitu 1.32 %. Lebih banyak waktu
yang digunakan untuk berusaha lepas dan foraging sebanyak 55.75 % dan waktu
untuk bersembunyi atau berlindung di dalam sarang (shelter seeking) sebesar 42.93 %.
Secara naluri bandikut yang keluar sarang sambil mengendus-endus mencari
makanan dan mendekat ke arah tempat pakan. Bandikut akan mengandalkan alat
indra penciuman untuk mencari makanan atau mendeteksi keadaan sekelilingnya.
Cara makan bandikut yaitu dengan dibantu kedua tungkai kaki depan untuk menahan
makanan yang akan dimakan kemudian mulutnya dimajukan untuk mengambil atau
menggigit makan dengan mengunyah 1-2 kali sambil mendorong makanan masuk
dan menelannya. Kadang-kadang juga dibantu kedua kaki depannya untuk
mengambil dan memasukkan kedalam mulut, mirip cara makan kanguru, kelinci dan
tikus. Cara mengambil makanan ada yang langsung makan di tempat pakan tetapi ada
juga yang dilakukan dengan cara mengabil makanan dari tempat pakan kemudian di
52
bawa ke tempat yang dirasa aman atau di bawa ke tempat sarang kemudian baru di
makan di tempat tersebut. Posisi mengambil makanan tidak selalu tetap tapi
tergantung posisi jenis pakan yang disukai atau dipilih dan tempat yang dianggap
nyaman. Aktifitas makan ini akan diulangi lagi setelah minum atau setelah masuk dan
keluar dari sarang lagi. Rata-rata bandikut akan kembali makan setelah 21 menit
sampai 174 menit kemudian.
Aktifitas minum biasa dilakukan setelah bandikut mengkonsumsi pakan atau
setelah foraging (mencari makanan lain di sekitar kandang) atau setelah grooming
(membersihkan tubuh) sebelum masuk kembali ke dalam sarang. Cara minum
bandikut dilakukan dengan cara mulut didekatkan ke air yang ada di tempat air
minum kemudian dengan menggunakan lidah air dimasukkan ke dalam mulut, mirip
seperti cara minum sapi atau anjing.
Aktifitas membersihkan tubuh (grooming) biasa dilakukan pada saat setelah
selesai aktifitas makan atau minum atau menjelang istirahat sebelum masuk kembali
ke dalam sarang. Cara bandikut membersihkan diri dilakukan misal sehabis makan
atau minum atau foraging maka bagian moncong atau mulut akan dibersihkan dengan
dibantu oleh kedua kaki depan yang mengusap-usap mulut atau moncongnya yang
kotor. Tingkah laku untuk membersihkan ke empat tungkai kakinya dilakukan
dengan cara menjilati pada bagian kaki yang kotor atau terluka. Bila ada kotoran yang
menempel pada bulu tubuhnya atau merasa gatal oleh ektoparasit, maka cara bandikut
melakukan grooming dengan menggunakan salah satu tungkai kaki belakang pada
jari kedua dan ketiga yang berfungsi sebagai sisir untuk menggaruknya.
Aktifitas lain yang sempat teramati adalah cara bandikut melakukan foraging,
istirahat, berkelahi (aggression) dan eliminasi (buang feses dan urin). Aktifitas
foraging atau mencari makanan lain yaitu dilakukan dengan cara mengendus-endus
tempat yang dicurigai ada makanan atau serangga yang bisa di makan dan kemudian
kedua kaki depan bandikut akan menggaruk-garuk dengan kukunya yang tajam,
panjang dan kuat. Apabila terdapat celah atau lobang kecil maka bandikut akan
berusaha keras untuk bisa masuk. Pada saat aktifitas ini badan bandikut bisa terputar
lentur sampai 1800. Cara bandikut beristirahat yaitu dilakukan dengan cara tubuh
53
dibaringkan di atas tumpukan alas rumput atau daun kering yang tersedia di dalam
sarang dan badan dibengkokkan sampai tungkai kaki depan bersinggungan dengan
tungkai kaki belakang kemudian kepala dimasukan di antara kedua paha kaki
belakang (Gambar 14).
Gambar 14 Posisi bandikut saat tidur.
Sifat agresifitas perkelahian bandikut terjadi dikarenakan salah satu bandikut
berhasil menerobos sekat ke kandang sebelahnya. Cara bandikut berkelahi yaitu
dilakukan dengan cara kedua kaki depan dicakarkan berkali-kali secara bersamaan
dibarengi dengan suara dengusan beeuusss…beeuuss…sambil berdiri, bila keduanya
saling berhadapan, kedua kaki belakang sebagai penumpu kuda-kuda dan hanya
sekali-kali digunakan untuk menendang. Tapi bila pada posisi salah satu menyamping
maka akan dilanjutkan dengan gigitan ke arah punggung leher. Moncong
menyeringai dan bulu punggung sedikit berdiri. Perkelahian akan berakhir setelah
salah satu merasa kalah dan lari menghindar, meskipun yang dominan masih
mengejar namun tidak lama selama masih bisa menghindar. Bila tidak bisa
menghindar maka bandikut yang kalah akan dilukai dan dibunuh atau sering pula
dimakan (ada sifat kanibal).
Bandikut melakukan eliminasi atau membuang kotoran (feses dan urin) biasa
dilakukan diluar sarang pada waktu dan tempat yang tidak teratur. Sebelum feses
dikeluarkan, bandikut akan mengendus tempat yang akan dipilih kemudian bandikut
diam sambil punggung agak melengkung dan pantat didekatkan ke lantai kandang
54
sambil merejan. Feses akan keluar mirip kotoran kucing, bisa lembek bisa agak keras
tergantung pakan yang dikonsumsi. Posisi bandikut saat kencing sama dengan posisi
bandikut waktu buang feses. Hal ini mungkin karena lubang akhir pembuanganya
antara alat pencernaan, alat reproduksi dan alat ekresi berada pada satu tempat yaitu
di kloaka.
Konsumsi Segar dan Preferensi Pakan Bandikut
Jumlah makanan yang dimakan oleh ternak atau hewan dan tingkat kesukaan
terhadap suatu bentuk pakan baru dapat diukur dari besarnya pakan yang di
konsumsi. Jenis pakan yang diberikan pada pengamatan ini adalah pisang susu
sebagai salah satu pakan alami dan pakan konsentrat sebagai bentuk pakan baru yang
diberikan secara bergantian pada kondisi kandang gelap dan terang. Sebelum
diberikan pakan percobaan tersebut, pada pengamatan awal bandikut dicobakan
dengan beberapa jenis pakan alami antara lain belalang, cacing tanah, pisang, jambu
biji masak, papaya, kacang tanah ikan dan pakan konsentrat. Bahan pakan yang
paling disukai hanya pisang, cacing tanah dan belalang. Pisang dipilih sebagai pakan
dalam percobaan ini untuk mempermudah pengadaan bahan pakannya. Bobot tubuh
bandikut yang digunakan di dalam percobaan berkisar antara 350 – 2 020 g dengan
rataan 938.756598.96 g.
Rataan konsumsi pakan pada kondisi kandang gelap dan terang ditampilkan
pada Tabel 6.
Tabel 6 Rataan konsumsi pakan segar bandikut pada kondisi kandang
gelap dan terang (g/ekor/hari))
Jenis Pakan N Gelap Terang
Pakan alami (pisang) 8 46.14622.38 39.27621.04
Alami + konsentrat 8 50.69611.73 47.58615.11
Konsentrat 8 19.0069.58 21.8464.52
Tabel 6 menunjukkan bahwa pada kondisi kandang terang (penerangan lampu)
konsumsi segar pakan bandikut menjadi turun, baik pada pemberian secara sendiri-
sendiri (pakan tunggal) maupun bila diberikan secara campuran (konsentrat dan
pakan alami). Hal ini diduga karena berkaitan dengan sifat alami dari bandikut
55
sebagai hewan nokturnal yang aktif pada malam hari dan biasa dengan kondisi gelap
saat mencari makanan. Konsumsi segar pakan alami juga cenderung menurun bila
diberikan secara tunggal, pada kondisi kandang gelap yaitu 46,14g/e/h atau 11,07g
BK/e/h dan pada kondisi kandang terang menjadi 39,27g/e/h atau 9,42g BK/e/h.
Namun demikian bandikut bisa mengkonsumsi pakan konsentrat walaupun sedikit
yaitu 19 g/e/h atau 14,73g BK/e/h pada kondisi kandang gelap dan meningkat
menjadi 21.84 g/e/h atau 16.93g BK/e/h pada kondisi kandang terang. Hal ini diduga
bandikut sudah mulai terbiasa dengan pakan konsentrat dan pada kondisi kandang
terang kemungkinan bandikut merasa hari hampir fajar dan masih merasa lapar
sedang pakan yang tersedia hanya konsentrat sehingga untuk memenuhi
kebutuhannya maka konsumsi pakan konsentratnya menjadi bertambah. Pakan
konsentrat yang diberikan disini dalam bentuk sedikit hancur dalam butiran yang
agak kecil dan tidak keras tetapi sedikit remah. Pada pengamatan awal, diketahui
bahwa bandikut lebih menyukai pakan yang sedikit basah, lembek dan agak manis.
Keadaan tersebut mungkin sesuai dengan struktur giginya. Konsumsi paling tinggi
yaitu pada pemberian pakan campuran dimana pakan alami (pisang) dan konsentrat
yang diberikan secara bersamaan sebesar 50.69 g/e/h atau 20.61g BK/e/h pada
kondisi kandang gelap dan 47.58 g/e/h atau 17,55g BK/e/h pada kondisi kandang
terang bila dibandingkan bila diberikan pakan secara tunggal baik hanya berupa
pakan alami ataupun konsentrat saja. Keadaan ini menunjukkan bahwa variasi ransum
dapat meningkatkan jumlah konsumsi segar bandikut.
Rataan tingkat kesukaan (palatabilitas) atau preferensi bandikut terhadap pakan
konsentrat dibandingkan pakan alami disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Rataan preferensi konsumsi pakan segar bandikut
Jenis Pakan N Gelap Terang
g/e/hr % g/e/hr %
Pakan alami (pisang) 8 34.92612.09 68.89 36.15613.97 75.98
Konsentrat 8 15.7764.9 31.11 11.4462.61 24.02
Alami + konsentrat 8 50.69611.73 100 47.58615.11 100
56
Pada Tabel 7 nampak dari konsumsi pakan campuran (pakan alami/pisang dan
konsentrat) yang diberikan secara terpisah dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan
bandikut terhadap pakan konsentrat sebesar 31.11 % pada kondisi kandang gelap dan
24.02 % pada kondisi kandang terang. Keadaan tersebut dapat sedikit
menggambarkan bahwa ada harapan bandikut bisa dibudidayakan dengan pakan
konsentrat secara bertahap sehingga dalam upaya pengembangannya dapat
dioptimalkan.
Konsumsi bahan kering dan zat gizi pakan
Konsumsi merupakan jumlah makanan yang dimakan berhubungan erat dengan
sifat fisik atau kimiawi makanan, berat badan dan sifat fisiologis hewan. Tingkat
kecernaan konsumsi dapat menggambarkan tingkat kualitas pakan dan menentukan
produksi hewan yang bersangkutan. Percobaan ini hanya menggunakan pakan
kosentrat selama 4 minggu. Hasil pengukuran konsumsi bahan kering dan zat gizi
pakan selama percobaan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Rataan konsumsi bahan kering dan zat gizi lainnya
Peubah Konsumsi bahan kering dan zat gizi (g/e/h)
Jantan Betina
Bahan kering
Protein kasar
Lemak kasar
Serat kasar
Bahan ekstrak tanpa N
Abu
Calsiun
Phospor
Gross Energy (kal/g)
30.1866.54
9.956 2.16
6.416 1.39
2.046 0.44
18.0563.91
2.486 0.54
0.586 0.13
0.216 0.04
157.52 634.15
30.1266.32
9.936 2.08
6.396 1.34
2.046 0.43
18.0263.78
2.476 0.52
0.586 0.12
0.216 0.04
157.21632.98
Pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa konsumsi bahan kering dan zat gizi antara
bandikut jantan dan betina cenderung tidak berbeda. Hal ini diduga disebabkan oleh
berat badan bandikut yang digunakan di dalam percobaan ini relatif sama dan
kandungan gizi atau kualitas pakan yang digunakan juga sama. Rata-rata bobot badan
awal bandikut jantan adalah 1 223,36266,3 g dan betina 1 263,3615,27 g. Konsumsi
bahan kering pakan berkaitan erat dengan karakteristik ternak, seperti berat badan,
57
tingkat produksi dan karakteristik pakan, seperti kandungan nutrisi. Semakin
meningkatnya berat badan dan produksi ternak, relatif akan meningkatkan konsumsi.
Menurut Parakkasi (1999) tingkat konsumsi seekor ternak atau hewan dipengaruhi
oleh berbagai faktor kompleks, yang terdiri dari faktor ternak, makanan dan
lingkungan.
Jumlah bahan kering yang dikonsumsi oleh bandikut jantan sebesar 30.1866.54
g/ekor/hari dan betina 30.1266.32 g/ekor/hari ini merupakan 3.05 % dari bobot
badan bandikut jantan dan 3.04 % dari berat badan bandikut betina.
Besar konsumsi bahan kering bandikut tersebut tidak jauh berbeda dengan konsumsi
bahan kering tikus ekor putih yaitu 3.46 % dari berat badan (Wahyuni, 2005), napu
3.78 % (Arifin, 2004), kancil 3.40 - 4.93 % (Putrawan, 2005; Nolan et al. 1995;
Hawa et al. 1993), kambing 2.16 – 2.78 % (Damshik, 2001), rusa 3.0 – 3.50 %,
domba 3.0 – 3.90 % dan sapi 2.10 – 3.06 % (Crampton and Harris, 1969). Banyak
factor yang berinteraksi sebagai penyebab variasi konsumsi. Hal ini menunjukkan
bahwa konsumsi bahan kering dan zat gizi tersebut dipengaruhi banyak faktor yang
saling berinteraksi, diantaranya antar hewan tersebut, seperti aspek anatomi, status
fisiologi, bobot badan, tingkat produksi, kandungan nutrisi dan palatabilitas.
Peningkatan konsumsi bahan kering pakan sangat ditentukan oleh kapasitas alat
pencernaan dari satwa tersebut. Satwa akan berhenti makan bila alat pencernaannya
dan atau kebutuhan energinya telah terpenuhi. Konsumsi pakan bandikut sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti komposisi kimia, jumlah kalori, bentuk fisik,
palatabilitas, lingkungan, jumlah dan variasi makanan, bobot tubuh dan kondisi
fisiologis yang baik.
Rataan bobot badan bandikut jantan pada minggu 0,1, 2, 3 dan 4 secara
berurutan adalah 1 223.3 g, 1 140 g, 1 023.3 g, 843.3 g, 716.7 g, sedangkan bobot
betina adalah 1 263 g, 1 150 g, 1 000 g, 843.3 g, 700 g. Keadaan bobot badan
bandikut ini menunjukkan semakin menurun dan akhirnya ada yang mati. Kondisi
tersebut juga diikuti oleh penurunan konsumsi bahan kering. Rataan konsumsi bahan
kering pada minggu 0, 1, 2, 3 dan 4 yaitu pada jantan 37.77 g, 33.91 g, 27.64 g, 21.40
g dan pada betina 37.22 g, 34.04 g, 27.71 g, 21.51 g. Penurunan konsumsi bahan
58
kering ini seiring dengan penurunan bobot badan yang terjadi pada bandikut. Hal ini
disebabkan bandikut masih mengalami stress terhadap lingkungan, terutama
lingkungan kandang. Keadaan yang sama juga terjadi pada beberapa peneliti di
Australia yang melaporkan bahwa bandikut jenis Eastern barret (perameles gunii)
yang ditempatkan di dalam kandang tidak dapat bertahan hidup lama juga tidak dapat
bereproduksi (Murphy, 1993).
Karakteristik Karkas dan Distribusi Daging Bandikut
Produk karkas terutama daging dari seekor hewan budidaya merupakan salah
satu produk suatu industri peternakan. Bandikut adalah salah satu satwa harapan
sebagai penghasil daging yang telah dikenal oleh masyarakat Papua. Karkas bandikut
diperoleh setelah pemisahan tubuh dengan darah, kulit, kepala, keempat kaki batas
carpus dan tarsus, ekor dan isi rongga dada dan rongga perut terkecuali ginjal, sesuai
petunjuk Berg & Butterfield (1976), Ensminger (1978) dan Blakely & Bade (1985).
Karkas dan potongan karkas bandikut mengacu pada potongan karkas kelinci, karkas
dibagi menjadi 4 potongan utama yaitu kaki depan (shank dan shoulder), dada (rack
dan breast), pinggang (loin dan flank) dan kaki belakang (hind leg) (Blasco et al.,
1993). Sedangkan daging bandikut diperoleh dari hasil pemisahan antara bagian
karkas atau potongan karkas dengan tulang dan lemak.
Karakteristik Karkas Bandikut
Karakteristik dan komponen karkas bandikut berdasarkan warna dada dan jenis
kelamin ditampilkan pada Tabel 9. Hasil analisis ragam dan uji-t (LSD) disajikan
pada Lampiran 3a dan 3b.
Hasil uji LSD (Lampiran 3a dan 3b) memperlihatkan bahwa secara umum
karkas dan potongan karkas bandikut jantan secara nyata (P < 0.05) lebih tinggi dari
pada bandikut betina, kecuali berat potongan karkas bagian kaki belakang dan luas
otot mata rusuk (longissimus dorsi) pada tulang rusuk 12 dan 13 yang relatif sama
(P > 0.05) antara jantan dan betina. Berdasarkan warna dada, produksi karkas dan
59
potongan karkas antara bandikut dada putih dan bandikut dada merah tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan (P > 0.05).
Tabel 9 Rataan berat karkas dan potongan karkas bandikut berdasarkan
jenis kelamin dan warna dada.
Jenis kelamin Warna dada
Karkas
(1)
Jantan
(2)
Betina
(3)
Putih
(4)
Merah
(5)
Berat Mati (g)
Karkas panas
- berat (g)
- persentase (%)
Karkas dingin
- berat (g)
- persentase (%)
Fore leg
(shoulder+shank)
- berat (g)
- persentase (%)
- berat daging (g)
- meat:bone
Karkas dada
(breast+rack)
- berat (g)
- persentase (%)
- berat daging (g)
- meat:bone
Karkas pinggang
(loin+flank)
- berat (g)
- persentase (%)
- berat daging (g)
- meat:bone
Hind leg
- berat (g)
- persentase (%)
- berat daging (g)
- meat:bone
Luas mata rusuk
(inch2)
1 252a ±384.59
890 a
±299.50
70.48 a
±3.54
820.05 a±92.51
64.51 a
±4.78
252.43 a±97.67
19.74 a
±1.98
184.09 a±73.58
2.68 a
±0.37 : 1
74.34 a
±29.93
5.80 a
±0.74
59.09 a
±25.91
3.83 a
±0.86 : 1
174.10 a±17.84
13.91a±1.47
144.70 a±50.60
4.83 a
±0.89 : 1
318.42a±119.09
25.00 a
±3.31
253.37 a
±97.25
3.86 a
±0.59 : 1
0.80 a
±0.55
948b±213.99
619 b
±148.13
65.13 b
±2.86
572.11b±143.52
60.08 b
±2.79
167.52 b±40.34
17.64 b
±0.89
119.71b±29.83
2.56 a
±0.31 : 1
50.43 b±15.82
5.25 a
±0.63
37.65 b
±12.11
2.97 b
±0.55 : 1
123.14 b±24.02
13.10 a±1.05
100.35 b±19.98
4.59 a
±0.44 : 1
231.02 a ±67.25
24.09 a
±2.49
178.77 b
±50.49
3.47 a
±0.31 : 1
0.45 a
±0.14
1 198±358.32
821±289.46
67.82±3.83
760.7±273.64
62.72±3.77
227.10±92.17
18.58±1.74
162.18±68.11
2.54±0.26 : 1
67.2±29.43
5.46±0.79
51.32±25.77
3.17±0.91 : 1
155.44±49.84
12.99±0.98
127.31±44.77
4.84±0.67 : 1
310.2±110.08
25.63±2.76
242.16±89.09
3.56±0.41 : 1
0.69±0.48
1 002±308.72
688±242.66
67.78±4.69
631.46±368.90
61.87±5.19
192.85±77.62
18.80±2.02
141.62±61.09
2.7±0.4 : 1
57.57±23.37
5.59±0.70
45.38±19.71
3.63±0.72 : 1
141.80±51.19
14.02±1.44
117.74±44.70
4.79±0.74 : 1
239.24±89.63
23.46±2.72
189.98±75.16
3.77±0.58 : 1
0.55±0.38
Keterangan : Superskrip yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0.05).
60
Tabel 9 menunjukkan bahwa berat dan persentase karkas panas (890 g dan
70.48 %) maupun karkas dingin (820.05 g dan 64.51 %) bandikut jantan secara nyata
(P<0.05) lebih tinggi dari betina (619 g, 65.13 % dan 572.11 g, 60.08 %). Pada
potongan karkas kaki depan (shoulder dan shank) bandikut jantan, berat dan
persentase potongan karkas serta berat daging (252.43 g, 19.74 %, 184.09 g) secara
nyata (P < 0.05) lebih besar dari betina (167.52 g, 17.64 %, 119.71 g), tetapi
mempunyai rasio daging tulang yang relatif sama (P > 0.05). Potongan karkas bagian
dada (breast dan rack) menunjukkan pada bandikut jantan, berat potongan karkas
dada (74.34 g) dan berat dagingnya (59.09 g) serta rasio daging tulang (3.83 : 1) yang
bermakna lebih besar (P < 0.05) dari betina (50.43 g, 37.65 g; 2.97 : 1), namun
persentase karkas dada tidak bermakna ((P > 0.05). Potongan karkas pinggang (loin
dan flank) pada bandikut jantan menunjukkan berat potongan karkas dan berat daging
(174.10 g dan 144.70 g) secara nyata (P < 0.05) lebih besar dari betina (123.14 g dan
100.35 g), tetapi persentase potongan karkas pinggang dan ratio daging tulang yang
relatif sama (P > 0.05) dengan potongan karkas bagian pinggang bandikut betina.
Pada potongan karkas kaki belakang, bandikut jantan mempunyai berat daging
potongan karkas bagian kaki belakang (253.37 g) secara nyata (P < 0.05) lebih
banyak dari pada bandikut betina (178.77 g), namun berat dan persentase potongan
karkas pinggang serta ratio daging tulang relatif sama (P > 0.05) antara bandikut
jantan dan betina. Sedangka luas otot mata rusuk (otot longissimus dorsi) antara
tulang rusuk 12 dan 13 pada bandikut jantan (0.80 inch2
) tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (P > 0.05) dengan luas mata rusuk bandikut betina (0.45 inch2).
Rataan besar nilai luas otot mata rusuk ini dapat mencerminkan bahwa secara
dimensional perototan karkas bandikut jantan relatif lebih mascling dibandingkan
yang betina. Beberapa peneliti melaporkan bahwa makin luas otot mata rusuk
menunjukkan makin besar bobot karkasnya dengan nilai korelasi partial pada sapi
sebesar 0.5 (Preston dan Willis, 1982).
Keadaan tersebut di atas dapat menggambarkan bahwa berdasarkan jenis
kelamin, konformasi tubuh bandikut jantan lebih besar dan kompak ke arah depan
dari batas pinggang, sedangkan tubuh bandikut betina ke arah depan lebih ramping.
61
Tingginya produksi karkas bandikut jantan dibandingkan bandikut betina disebabkan
berat bandikut jantan (1 252 g) lebih besar dari pada bandikut betina (948 g). Hal ini
dikarenakan banyaknya jumlah karkas yang mampu dihasilkan oleh seekor ternak
atau hewan sangat berkaitan erat dengan bobot badan. Sebab peningkatan bobot
badan akan diikuti pula dengan meningkatnya bobot karkas (Leche,1973). Menurut
Forrest at al. (1975) dan Berg & Butterfield (1976), persentase karkas meningkat
seiring dengan peningkatan bobot potong. Sedangkan berdasarkan warna dada,
konformasi tubuh bandikut dada putih dan dada merah tidak menunjukkan perbedaan.
Hal ini diduga kedua jenis bandikut yang digunakan dalam materi penelitian ini
masih dalam satu spesies yaitu Echymipera kalubu.
Gambaran produksi karkas bandikut dan beberapa jenis ternak atau hewan lain
tercantum di dalam Tabel 10.
Tabel 10 Persentase karkas bandikut dan beberapa jenis ternak atau
hewan lain (%)
Jenis Hewan Rataan Maksimum Minimum
Bandikut
Tikus hutan 1
Tikus budidaya 1
Kancil 2
Napu 3
Sapi Madura 4
Sapi Bali 4
Sapi Sumba Ongole 4
Kambing Kacang 5
Kambing PE 6
Domba 7
Babi 7
Ayam pedaging 8
67.8064.17
57.6761.15
62.1963.62
52.03
59.31
46.8861.34
53.6160.82
43.6261.32
42.46
46.65
52.00
72.00
71.25
74.59
-
-
55.68
61.94
49.25
55.48
46.67
44.22
49.76
57.00
77.00
73.70
60.98
-
-
47.14
55.65
44.44
51.78
41.63
40.72
43.37
45.00
68.00
66.50
Sumber : 1 Wahyuni (2005);
2 Rosyidi (2005);
3 Arifin (2004);
4 Warsono (1994);
5 Damsyik (2001);
6 Rosyidi (1992);
7 Boggs et al. (1998);
8Rose (1997).
Pada Tabel 10 tampak bahwa persentase karkas bandikut (67.80 %) lebih tinggi
dibandingkan dengan persentase karkas hewan lainnya, kecuali pada babi (72 %). dan
ayam pedaging (71.25 %). Lebih tingginya persentase karkas babi dan ayam pedaging
tersebut mungkin disebabkan pada babi dan ayam tidak dilakukan pengulitan
62
melainkan dilakukan pengerikan bulu (pada babi) dan pencabutan bulu (pada ayam).
Pengerikan bulu bandikut dengan cara pembakaran bulu dan pencelupan kedalam air
panas yang pernah dilakukan menghasilkan persentase karkas bandikut yang lebih
tinggi yaitu 74.5 % - 80.52 %. Pada masyarakat Papua biasa melakukan dengan cara
pembakaran bulu dan tidak dengan cara pengulitan, karena kulitnya cukup tipis dan
lunak. Cara pembakaran bulu lebih cepat dan praktis tetapi meninggalkan bau tajam
yang kurang enak pada karkas. Sedangkan pengerikan bulu dengan cara pencelupan
ke dalam air panas terlebih dahulu, bau karkas bandikut kurang tajam namun
memerlukan waktu yang lebih lama. Meskipun dengan cara pengulitan, ternyata
persentase karkas bandikut masih lebih tinggi dari ternak budidaya yang lain.
Keadaan tersebut bisa berarti bandikut berpotensi untuk dijadikan sebagai alternatif
hewan penghasil daging. Menurut Williamson & Payne (1993), pada umumnya satwa
liar menghasilkan karkas dengan persentase lebih tinggi. Penampilan karkas seekor
ternak dipengaruhi oleh faktor hereditas dan lingkungan atau interaksi keduanya.
Selanjutnya Soeparno (1992) juga mengemukakan bahwa bangsa ternak dapat
menghasilkan karkas dengan karakteristinya sendiri dan di dalam bangsa ternak yang
sama, komposisi karkas dapat berbeda. Hal ini menegaskan bahwa tinggi rendahnya
pesentase karkas yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
perlemakan, kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi serta bobot organ
visceranya. Kemampuan ternak dalam memanfaatkan energi pakan yang lebih besar
akan menyebabkan deposisi lemak karkas lebih besar pula. Deposisi lemak dapat
berupa lemak subkutan, lemak visera, lemak intermuskuler dan lemak marbling.
Partisi lemak tersebut dapat menyebabkan perbedaan dalam pertumbuhan otot dan
mempengaruhi komposisi karkas hewan, termasuk perbedaan persentase karkas antar
hewan.
Distribusi Potongan Karkas dan Daging Bandikut
Distribusi bobot daging pada potongan karkas dan bobot potongan karkas
terhadap bobot karkas dan bobot total daging bandikut berdasarkan jenis kelamin dan
63
jenis warna dada disajikan pada Tabel 11. Hasil analisis peragam disajikan pada
Lampiran 4a, 4b dan 4c.
Tabel 11 Distribusi bobot daging potongan karkas (Y) dan bobot potongan
karkas (Y) terhadap bobot karkas (X) dan bobot total daging (X)
pada jenis kelamin dan warna dada berbeda.
Komponen Jenis kelamin Warna dada
Jantan Betina Merah putih Potongan karkas
terhadap bobot
karkas (g)
---------------------- 696,08 g -------------------
Kaki depan
Dada
Pinggang
Kaki belakang
212,84
61,89
152,42
268,35
207,11
62,88
144,82
281,09
214,12
64,11
153,93
263,81
205,83
60,66
143,31
285,63 Daging potongan
karkas terhadap
bobot karkas (g)
---------------------- 696,08 g -------------------
Kaki depan
Dada
Pinggang
Kaki belakang
154,66
48,72
125,65
215,10
149,14
47,98
119,40
221,04
157,7a
50,99
128,46
210,50
146,10b
45,71
116,59
224,64 Daging potongan
karkas terhadap
bobot total daging(g)
---------------------- 540,34 g -------------------
Kaki depan
Dada
Pinggang
Kaki belakang
153,41
48,28
124,77
214,38
150,39
48,42
120,28
221,76
155,55
50,24
127,03
207,52a
148,25
46,46
118,02
227,62b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang beda dalam satu baris menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
Hasil analisis peragam (Lampiran 4a, 4b dan 4c) distribusi berat daging
potonganan karkas terhadap berat karkas yang sama menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang nyata antara bandikut jantan dan betina, tetapi berbeda
secara signifikan (P<0.05) antara bandikut berdada merah dan putih. Berat daging
potongan karkas bagian kaki depan bandikut berdada merah (157,7 g) secara
bermakna (P<0.05) lebih tinggi dari pada berat daging potongan karkas kaki depan
bandikut berdada putih (146,10 g). Sebaliknya, distribusi berat daging potonganan
karkas terhadap berat total daging karkas yang sama menunjukkan berat daging
potongan karkas bagian kaki belakang bandikut berdada merah (207,52 g) secara
64
bermakna (P<0.05) lebih rendah dari pada berat daging potongan karkas kaki
belakang bandikut berdada putih (227,62 g).
Tingginya perdagingan pada bagian karkas kaki depan (shoulder dan shank)
bandikut dada merah diduga karena bandikut dada merah lebih lincah dan agresif
dibanding dengan bandikut dada putih yang lebih bertemperamen lamban. Selain itu
diduga pula bahwa pertumbuhan pertulangan terutama bagian kaki depan bandikut
dada putih lebih berkembang dibanding bandikut dada merah. Menurut Berg and
Butterfield (1975) yang dikemukakan oleh Lawrie (2003), bahwa hewan yang lebih
lincah (agile) mempunyai perkembangan urat daging yang lebih besar pada anggota
badan depan. Selanjutnya di ilustrasikan pula bahwa pada anjing laut, urat daging
bagian perut berkembang 3 kali dibanding sapi, domba atau babi karena banyak
terlibat dalam lokomosi. Namun dari sisi komersil untuk upaya budidaya, jenis
bandikut berdada putih lebih banyak berdaging terutama pada karkas bagian kaki
belakang yang biasa dipertimbangkan oleh konsumen.
Karakteristik Fisik dan Kimia Daging Bandikut
Karakteristik fisik dan kimia daging adalah faktor yang turut menentukan nilai
atau mutu daging hewan yang bersangkutan. Karakteristik daging ini dapat dinilai
secara visual dan pemeriksaan atau pengujian di laboratorium. Secara fisik warna
daging bandikut memiliki warna merah di antara warna merah daging sapi dan babi
yaitu lebih terang dari warna merah daging sapi Bali dan lebih merah tua dari merah
daging babi. Pada penelitian ini variabel yang diamati meliputi sifat fisik daging (pH,
keempukan susut masak, daya mengikat air), dan komposisi kimia daging (air,
protein, lemak, abu dan energi) serta komposisi asam-asam amino dan asam-asam
lemak daging bandikut.
Sifat Fisik Daging Bandikut
Rataan sifat fisik daging bandikut dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil analisis
ragam sifat fisik daging berdasarkan jenis kelamin dan warna dada disajikan pada
Lampiran 5 dan 6.
65
Tabel 12 Sifat fisik daging bandikut berdasarkan jenis kelamin dan warna
dada
Sifat fisik daging Jenis kelamin Warna dada
Jantan Betina Putih Merah
pH
Keempukan (kg/cm2)
Susut masak (%)
WHC (% mgH2O)
5.7860.31
1.0360.33
33.6263.57
37.1463.23
5.6660.33
1.0760.44
34.4762.21
35.9864.12
5.6160.32
1.1760.44
35.1662.51
36.0964.11
5.8460.29
0.9360.36
32.9263.13
37.0263.24
Secara umum pada Tabel 12 menjelaskan bahwa pH dan daya mengikat air
daging (WHC) bandikut jantan relatif lebih tinggi tetapi keempukan dan susut masak
daging relatif lebih rendah dari pada betina. Keadaan yang sama ditunjukkan pula
pada bandikut dada merah terhadap bandikut dada putih. Hal ini diduga bandikut
jantan dan bandikut dada merah memiliki tingkat stress relatif lebih tinggi serta kadar
kolagen daging yang relatif lebih rendah. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
hasil penelitian Putrawan (2005) dan Rosyidi (2005) bahwa pH dan daya mengikat air
daging kancil jantan relatif lebih tinggi dari betina. Menurut Pearson (1971a),
Forrest et al. (1975), Swatland (1984), Lawrrie (1988) dan Soeparno (1992), ada
hubungan yang erat antara pH daging, susut masak dan daya mengikat air daging.
Daging dengan pH post-mortem tinggi, daya ikat air daging juga relatif tinggi serta
susut masak daging relatif rendah, dan akan terjadi sebaliknya apabila pH daging
rendah.
Hasil analisis ragam (Lampiran 5 dan 6) menunjukkan bahwa jenis kelamin
dan warna dada bendikut tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap sifat fisik daging
bandikut, baik pada pH, keempukan, susut masak maupun daya mengikat air (WHC-
water holding capacity). Tidak adanya perbedaan ini diduga disebabkan bandikut
yang digunakan dalam materi penelitian ini masih dalam kelompok jenis yang sama
yaitu Echymipera kalubu. Hal ini telah dipertegas oleh hasil deskripsi Kent Aplin di
Australia bahwa sampel materi penelitian ini adalah sejenis anggota kalubu yang
merupakan jenis kompleks yang saat ini sedang dipelajari di Australia. Disamping itu,
66
bandikut materi penelitian ini berasal dari habitat yang sama di daerah pesisir
Kecamatan Manokwari Utara, Kabupaten Manokwari, Papua Barat sehingga
topografi, sumber dan bahan pakan yang dikonsumsi diduga juga tidak berbeda, serta
mengalami perlakuan pemotongan yang sama. Bandikut dari jenis yang sama dengan
lingkungan (habitat) yang sama, secara anatomi dan fisiologis diduga akan memiliki
sifat atau karakteristik fisik daging yang relatif sama pula.
Perbandingan sifat fisik daging bandikut dengan beberapa daging ternak,
ditampilkan pada Tabel 13.
Tabel 13 Sifat Fisik daging bandikut dan beberapa daging ternak
Sifat Fisik Daging
Jenis Hewan/Ternak pH Keempukan
(Kg/Cm2)*)
Susut Masak
(%)
WHC
(% mgH2O)
Bandikut
Tikus 2)
Kelinci 7)
Kancil 3)
Napu 4)
Babi 5)
Domba 6)
Sapi Madura 1)
Sapi Bali 1)
Sapi Sumba Ongole 1)
Kuda 8)
Ayam 9)
5.71
6.22
-
6.32
6.36
5.57
6.10
5.57
5.71
5.64
5.5111)
-
1.05
-
-
1.80
5.25
-
5.09 10)
4.59
4.38
5.36
8.08
4.60
34.04
-
52.90
45.16
30.21
23.22
28.98 10)
32.87
34.66
38.34
28.88
4.60
36.56
31.61
23.90
32.82
45.30
-
32.20
25.91
23.99
25.61
32.30
21.14
Sumber : 1 Warsono (1994);
2 Wahyuni (2005);
3 Rosyidi (2005);
4 Arifin (2004);
5 Soeparno (1988);
6 Dewi (2004); 7 Bovera (2002);
8 Rosmawati (2003);
9 Hector (2002);
10 Hongping et al.
(2000), 11
Lawrie (2003).
*) semakin tinggi nilai keempukan, daging semakin liat.
Tabel 13 memperlihatkan pH daging bandikut masih memperlihatkan pH
normal daging segar yaitu 5.71 dan setara dengan nilai pH daging sapi lokal, sapi
Madura (5.57), Bali (5.71) dan Sumba Ongole (5.64 ) dan babi (5.57). Menurut
Lawrie (1988) pH daging segar normal berkisar antara 5.4 – 5.8. Tingkat pH daging
diantara hewan atau ternak setelah dipotong (post-mortem) dapat dipengaruhi oleh
factor spesies, tipe otot dan variabilitas antar hewan (aktivitas enzim-enzim glikolisis
67
dan suhu otot post-mortem) serta suhu lingkungan dan perlakuan sebelum
pemotongan (ante-mortem). Nilai pH otot post-mortem banyak ditentukan oleh
laju glikolisis post-mortem dan cadangan glikogen otot. Glikogen otot merupakan
sumber energi dalam proses glikolisis anaerobik untuk dikonversikan menjadi asam
laktat pada saat pemotongan. Jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan
menentukan besarnya penimbunan atau pembentukan asam laktat dan tercapainya pH
ultimat daging. Semakin tinggi kadar asam laktat, semakin rendah pH daging. pH
ultimat berpengaruh positif terhadap susut masak daging, keempukan, daya mengikat
air, warna dan citarasa daging (Forrest et al., 1975, Preston dan Willis, 1982, Arka,
1984, Lawrie, 1988).
Keempukan daging bandikut (1.05) setara dengan daging kelinci (1.80)
termasuk ke dalam kriteria empuk bila dibandingkan dengan keempukan daging
ternak lainnya. Pearson (1971b) mengemukakan bahwa kriteria keempukan daging
dibagi menjadi 3 kelompok yaitu empuk (0 – 3), cukup empuk (>3 – 6) dan a lot (>6
– 11). Keempukan daging tersebut diduga daging bandikut mengandung jaringan ikat
yang lebih sedikit dan memiliki tekstur atau serat otot yang lebih halus serta lemak
daging lebih tinggi dari pada daging ternak yang lain. Daging yang lebih banyak
mengandung jaringan ikat akan kurang empuk bila dibandingkan dengan daging yang
lebih sedikit jaringan ikatnya (Lawrrie, 1974). Menurut Williamson dan Payne (1993)
keempukan daging hewan liar lebih disebabkan karena serat-serat atau tekstur ototnya
lebih halus. Komponen utama yang mempengaruhi keempukan daging adalah
jaringan ikat, serat otot dan lemak (Forrest et al., 1974) dan tingkat keempukan dapat
bervariasi diantara spesies, bangsa, potongan karkas, dan diantara otot serta pada otot
yang sama (Preston dan Willis, 1982, Lawrie, 1988).
Susut masak (cooking loss) daging bandikut sebesar 34.04 % masih berada di
dalam keadaan normal yang tidak jauh berbeda dibanding susut masak daging sapi
lokal dan ternak atau hewan lain (< 40 %), selain ayam, kelinci dan kancil (4.60 %,
52.90 % dan 45.16). Menurut Soeparno (1992) dan Arifin (2004), susut masak daging
masih berada di dalam keadaan normal berkisar antara 15 – 40 %. Daging bandikut
yang memiliki susut masak relatif sama ini diduga juga memiliki panjang serabut
68
otot, luas penampang lintang dan panjang sarkomer yang relatif sama sehingga
mempunyai susut masak daging yang sama pula. Menurut Swatland (1984) susut
masak dapat meningkat dengan panjang serabut yang lebih pendek. Selanjutnya
Lawrie (1988) menjelaskan bahwa lemak intramuskuler dapat menghambat atau
mengurangi cairan daging yang keluar selama pemasakan dan meningkatkan daya
ikat air, karena lemak intramuskuler dapat melonggarkan mikrostruktur daging,
sehingga memberikan lebih banyak kesempatan kepada protein daging untuk
mengikat air. Susut masak mempunyai hubungan yang erat dengan daya ikat air dan
keempukan daging (Soeparno dan Sumadi, 1991). Semakin tinggi daya ikat air
semakin rendah susut masak daging. . Menurut Babiker & Bello (1986), persentase
air bebas yang rendah menunjukkan nilai daya mengikat air daging oleh protein yang
tinggi dan akan terjadi sebaliknya bila persentase air bebas yang tinggi.
Daya mengikat air oleh protein daging (water holding capacity) bandikut
cukup tinggi yaitu 36.56 % mgH2O dibanding dengan daya ikat air daging hewan
ternak lain tetapi lebih rendah dari napu (45.30 % mgH2O). Hal ini menunjukkan
bahwa daging bandikut dengan daya mengikat air yang cukup tinggi mempunyai
kualitas lebih baik dibandingkan daging dengan daya mengikat airnya rendah karena
protein daging bandikut bersifat lebih stabil dan dapat meningkatkan juiceness dan
keempukan daging serta menurunkan susut masak. Sebaliknya daging dengan daya
mengikat air rendah dapat mengurangi mutu daging akibat keluarnya nutrisi daging
yang terlarut dalam air seperti protein, vitamin larut air dan zat warna daging
(mioglobin) ketika air dibebaskan oleh daging (Natasasmita, 1978). Cukup tingginya
daya ikat air daging bandikut diduga lebih disebabkan karena disamping umur muda
juga memiliki lemak daging intramuskuler yang tinggi. Forrest et al. (1975)
menjelaskan bahwa jumlah air yang terikat dalam daging tergantung pada tingkat dan
kecepatan penurunan pH serta jumlah denaturasi protein daging. Selanjutnya menurut
Lawrie (1988), secara umum, daya ikat air daging dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang menyebabkan diferensiasi dalam otot seperti spesies, umur dan fungsi otot itu
sendiri.
69
Komposisi Kimia Daging Bandikut
Berdasarkan hasil pengujian laboratorium, komposisi kimia daging bandikut
adalah kadar air 72.42 %, protein 18.72 %, lemak 3.26 %, serat kasar 4.43 %, abu
2.53 % dan energi 1090 kkal/kg. Gambaran komposisi kimia daging bandikut bila
dibandingkan dengan beberapa daging hewan/ternak lain dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Komposisi kimia daging bandikut dan beberapa hewan/ternak
Komposisi Kimia Daging (%)
Hewan/Ternak Air Protein Lemak Abu
Bandikut *)
Tikus 2)
Kancil 3)
Napu 4)
Kelinci 5)
Rusa Timor 6)
Babi rusa 6)
Babi hutan 6)
Babi 7)
Kambing 8)
Domba 7)
Sapi Madura 1)
Sapi Bali 1)
Sapi Sumba Ongole 1)
Kerbau 9)
Kuda 10)
Kanguru 10)
Itik 7)
Ayam 7)
72.42
63.27
76.33
75.24
69.8
76.00
74.64
71.00
69.00
70.00
73.70
72.34
71.57
72.68
74.42
72.63
-
67.90
73.70
18.72
19.11
21.42
22.28
20.35
18.16
21.00
20.80
19.50
22.00
21.50
25.94
26.25
25.63
20.20
21.39
24.00
17.60
21.50
3.26
3.41
0.51
1.43
7.94
1.20
1.60
0.90
10.00
6.80
5.50
3.43
4.05
3.35
6.49
4.60
1-3
9.00
5.50
2.53
0.99
1.20
1.05
1.00
2.45
1.15
1.81
1.40
1.20
1.00
1.30
1.07
1.21
1.10
-
-
0.70
1.00 Sumber : *) Hasil analisis;
1 Warsono (1994);
2 Wahyuni (2005);
3 Rosyidi (2005);
4 Arifin (2004);
5
Chosh and Mandal (2007); 6 Reksowardojo (2001); 7 Hultin (1985);
8 Gall (1981);
9 Chang
(1975); 10
USDA (2007).
Pada Tabel 14 menunjukkan bahwa komposisi gizi daging bandikut masih
relatif sama dengan kadar gizi ternak domestikasi lain. Kadar lemak daging bandikut
masih lebih tinggi dari satwa liar lain seperti rusa, napu, kancil dan babi hutan namun
setara dengan kadar lemak daging tikus dan sapi Madura dan Sumba ongole. Keadaan
70
tersebut menggambarkan bahwa terdapat hubungan antara kadar air dan kadar lemak
daging. Hal ini sependapat dengan Soeparno (1992) bahwa terdapat korelasi negatif
yang nyata antara kadar air dan kadar lemak daging. Semakin tinggi kadar air,
semakin rendah kadar lemak daging. Tingginya kadar air dalam daging dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, citarasa, kesegaran dan daya tahan daging serta
penerimaan terhadap daging yang bersangkutan oleh konsumen. Tingginya kadar
lemak daging yang tinggi dapat menunjukkan bahwa hewan tersebut diduga lebih
mampu memanfaatkan energi pakan lebih besar. Soeparno dan Sumadi (1991)
melaporkan bahwa kemampuan ternak dalam memanfaatkan energi pakan yang
lebih besar akan menyebabkan deposisi lemak lebih besar pula. Kadar lemak daging
akan meningkat bila hewan diberi pakan dengan tngkat energi yang tinggi (Lewis et
al., 1990) dan peningkatan kadar lemak akan diikuti oleh penurunan kadara air
daging (Basuki, 2000). Selanjutnya Berg dan Butterfield (1976) mengemukakan
bahwa kandungan lemak dalam daging bervariasi dan sangat tergantung pada jumlah
dan ragam pakan yang dikonsumsi. Sehingga besar kemungkinan perbedaan
kandungan lemak daging tersebut dapat dipengaruhi oleh komposisi nutrisi pakan
yang dikonsumsi hewan yang bersangkutan. Secara umum, faktor-faktor yang
menentukan kandungan lemak daging adalah keadaan serabut otot, jenis ternak, umur,
pakan, jenis kelamin dan aktivitas yang dilakukan (Aberle et al., 2001).
Kadar protein daging bandikut nampak paling rendah bila dibandingkan dengan
kadar protein daging hewan lainnya meski lebih tinggi dari daging itik. Menurut
Moran dan Wood (1986), bahwa semakin rendah kadungan air daging semakin besar
kadar protein daging. Meskipun demikian fenomena tersebut ternyata tidak tercermin
pada komposisi kimiawi protein daging bandikut. Rendahnya kadar protein daging
bandikut tersebut diduga karena faktor genetik. Nilai nutrisi daging bervariasi
tergantung spesies, bangsa (breed) dan jenis otot (Lawrie, 1988). Pembentukan
protein di dalam tubuh antara lain dipengaruhi oleh status fisiologis dari hewan yang
bersangkutan. Kadar protein jaringan tubuh hewan mencapai konstan setelah hewan
tersebut mencapai pubertas.
71
Kadar abu daging bandikut (2.53 %) pada Tabel 14 terlihat paling tinggi
diantara daging hewan lainya, tingginya kadar abu daging bandikut diduga pakan
yang dikonsumsi di alam adalah bahan pakan sumber protein dan energi, seperti
insekta (belalang, rayap), invertebrata (cacing, ulat kayu), vertebrata ( kadal, katak)
dan buah/biji yang jatuh serta akar-akar pohon lapuk sehingga cukup tingginya kadar
lemak daging (3.26 %), sedangkan energi daging bandikut adalah 1090 kkal/kg.
Menurut Judge et al., (1989), kadar abu daging mempunyai hubungan yang erat
dengan kadar protein dan air daging. Moran dan Wood (1986), melaporkan bahwa
dengan pakan konsentrat tinggi dapat meningkatkan kadar abu, lemak dan energi
daging namun sebaliknya kadar air dan protein daging menurun.
Komposisi Asam Amino dan Asam Lemak Daging Bandikut
Komposisi Asam Amino. Daging adalah sumber asam amino esensial yang sangat
baik terutama leusin, lisin dan valin. Kebutuhan protein dari bahan pakan atau
makanan pada dasarnya tergantung pada kebutuhan asam amino yang tidak dapat
disintesis oleh tubuh sehingga harus diberikan melalui bahan makanan yang kaya
akan asam amino seperti daging, susu dan telur. Asam amino ini adalah asam amino
esensial seperti isoleusin, leusin, lisin, methionin, fenilalanin, threonin, triptofan,
valin, arginin dan histidin. Sedangkan asam amino non esensial antara lain sistin,
alanin, asam aspartat, asam glutamat, glisin, prolin, serin, tirosin adalah asam amino
yang dapat disintesis oleh tubuh sendiri. Komposisi asam-asam amino dari daging
segar bandikut dan beberapa daging hewan domestikasi yang lain diperlihatkan
dalam Tabel 15.
Pada Tabel 15 memperlihatkan bahwa komposisi asam amino daging bandikut
adalah cukup lengkap seperti halnya pada daging kancil dan kerbau hanya kurang
pada jenis asam amino triptofan, bila dibandingkan dengan daging sapi, babi dan
domba. Secara umum dari sisi jumlah kandungan (kadar) setiap jenis asam aminonya
pada daging bandikut relatif rendah dari pada daging ternak lainnya. Rendahnya
kadar asam amino daging bandikut ini diduga umur bandikut yang masih muda
dibandingkan hewan yang lain. Menurut Lawrie (2003), perbedaan urat daging,
72
bangsa dan umur hewan sangat penting pengaruhnya terhadap komposisi kadar asam
amino. Dilaporkan pula bahwa kadar arginin, valin, metionin, isoleusin dan
fenilalanin meningkat dengan bertambahnya umur.
Tabel 15 Komposisi asam amino daging bandikut dan beberapa hewan
domestikasi (% Protein Kasar)
Asam
Amino
Katagori Bandikut
(1)
Kancil
(2)
Sapi
(3)
Babi
(3)
Domba
(3)
Kerbau
(4)
Isoleusin
Leusin
Lisin
Methionin
Fenilalanin
Threonin
Triptofan
Valin
Arginin
Histidin
Sistin
Alanin
As.aspartat
As.glutamat
Glisin
Prolin
Serin
Tirosin
esensial
esensial
esensial
esensial
esensial
esensial
esensial
esensial
esensial
esensial
non esensial
non esensial
non esensial
non esensial
non esensial
non esensial
non esensial
non esensial
0.104
0.576
0.246
0.182
0.348
0.138
*)
0.582
0.530
0.348
0.156
0.110
1.062
2.876
0.110
0.196
0.266
0.300
0.36
0.18
0.56
0.21
1.19
0.41
-
0.41
0.47
0.43
1.32
0.90
0.93
1.49
0.30
0.46
0.58
0.35
5.1
8.4
8.4
2.3
4.0
4.0
1.1
5.7
6.6
1.4
2.9
6.4
8.8
14.4
7.1
5.4
3.8
3.2
4.9
7.5
7.8
2.5
4.1
5.1
1.4
5.0
6.4
1.3
3.2
6.3
8.9
14.5
6.1
4.6
4.0
3.0
4.8
7.4
7.6
2.3
3.9
4.9
1.3
5.0
6.9
1.3
2.7
6.3
8.5
14.4
6.7
4.8
3.9
3.2
1.23
1.88
1.80
0.65
0.90
1.17
-
1.32
1.22
0.77
0.36
1.42
2.56
3.97
1.07
1.19
0.87
0.82 Sumber :
1 Hasil analisis;
2 Rosyidi (2005);
3 Lawrie (2003);
4 Ogujanovic (1974)
*) Tidak dilakukan analisa
Kandungan asam amino esensial daging bandikut antara lain, asam amino leusin
(0.576 %), valin (0.582 %) dan arginin (0.530 %) serta asam amino non esensial asam
glutamat (2.876 %) dan asam aspartat (1.062 %) lebih tinggi dari pada yang
terkandung di dalam daging kancil. Nelson et al., (2000) menjelaskan bahwa leusin
berperan penting dalam metabolisme protein dan vital diperlukan untuk pertumbuhan
optimal bayi serta mendorong pertumbuhan otot selama pemulihan setelah banyak
kerja keras. Arginin berperan penting dalam pembelahan sel, penyembuhan luka,
membuang ammonia dari tubuh dan pelepasan hormon-hormon , seperti prolaktin
untuk laktasi dan sekresi testosteron serta meningkatkan produksi hormon
pertumbuhan yang berpengaruh terhadap perkembangan perototan. Asam aspartat
73
penting untung merangsang aktivasi pompa natrium-kalium di dalam membrane sel.
Asam glutamat berfungsi sebagai transmiter impuls saraf otak dan sumsum tulang
belakang dan sekarang banyak digunakan sebagai penyedap berbagai macam proses
makanan.
Komposisi Asam Lemak. Asam lemak dapat dikelompokkan menjadi asam lemak
jenuh (saturated fatty acid) dan asam lemak tidak jenuh jenuh (unsaturated fatty
acid). Asam lemak jenuh terdiri dari laurat (C12:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0)
dan stearat (C18:0), sedang asam lemak tidak jenuh antara lain palmitoleat (C16:1),
oleat (C18:1), linoleat (C18:2), linolenat (C18:3), palmitoleat (C16:1) dan
arakhidonat (C20:4). Tingkat kejenuhan asam lemak dapat mempengaruhi
penampilan fisik dan kualitas daging. Daging yang lebih banyak mengandung asam
lemak tidak jenuh akan terlihat lebih berminyak karena rendahnya titik cair asam
lemak tersebut dan yang banyak mengandung asam lemak ikatan rangkap tidak jenuh
akan lebih mudah teroksidasi (Lawrie, 1979).
Kandungan dan komposisi asam lemak daging bandikut dengan beberapa
daging hewan domestikasi lain dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Komposisi asam lemak daging bandikut dengan beberapa daging
hewan domestikasi (% lemak daging)
Asam Lemak
Hewan Laurat
C12:0
Miristat
C14:0
Palmitat
C16:0
Stearat
C18:0
Oleat
C18:1
Linoleat
C18:2
Linolenat
C18:3
Bandikut 1
Kancil 2
Napu 3
Tikus 4
Kanguru 5
Kuda 5
Domba 6
Babi 6
Sapi 6
Ayam 6
Itik8
1.97
1.04
1.66
0.39
0.10
0.10
-
-
-
-
0.19
3.79
3.09
2.22
2.94
1.30
2.20
2.00
1.50
2.50
1.30
0.63
36.76
30.97
20.71
31.95
23.80
19.60
21.00
24.00
24.50
23.20
34.56
0.98
0.77
18.67
6.97
7.20
8.30
28.00
14.00
18.50
6.40
13.62
24.93
59.41
15.98
40.72
31.50
28.10
37.00
43.00
40.00
41.60
38.79
5.33
3.22
2.50
3.99
19.90
17.60
4.00
9.50
5.00
18.90
6.40
0.93
1.12
1.70
1.40
5.40
21.50
0.50 7
1.00
0.50
1.30
0.15 Sumber :
1 Hasil analisis;
2 Rosyidi (2005);
3 Arifin (2004);
4 Wahyuni (2005);
5 Singhal et al. (1997);
6
Alan et al. (1995); 7 Lawrie (2003); 8 Randa (2007)
74
Pada Tabel 16 memperlihatkan bahwa asam lemak jenuh yang ditemukan pada
daging bandikut adalah asam laurat (1.97 %), miristat (3.79 %) dan palmitat (36.76 %)
mempunyai konsentrasi lebih tinggi bila dibandingkan dengan daging hewan yang
lain, sedangkan asam stearat (0.98 %) setara dengan kancil (0.77 %) dan relatif lebih
rendah dari hewan lainnya. Asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, linoleat dan
linolenat yang ditemukan pada daging bandikut masing-masing dengan konsentrasi
sebesar 24.93 %, 5.33 % dan 0.93 % . Kadar asam lemak oleat daging bandikut lebih
tinggi dari napu, linoleat bandikut lebih tinggi dari linoleat kancil, napu dan tikus, dan
linolenat bandikut lebih tinggi dari linolenat domba dan sapi. Asam lemak
tidak jenuh terutama linoleat (C18:2), linolenat (C18:3) dan arakhidonat (C20:4)
adalah esensial dan penting sebagai komponen dinding sel mitokondria dan tempat-
tempat yang metabolismenya aktif. Fungsi lain asam lemak esensial tersebut antara
lain meningkatkan fungsi otak, menjaga kesehatan kulit, mengurangi resiko
terjadinya penyempitan pembuluh darah, meningkatkan fungsi hormon,
meningkatkan retensi mineral, pembentukan spermatozoa, pengaturan siklus
reproduksi dan mencegah terjadinya penyakit diabetes (Clark, 2000).
Konsentrasi asam-asam lemak jenuh yang tinggi pada daging bandikut diduga
bandikut lebih suka mengkonsumsi makanan yang berasal dari bahan pakan yang
kaya akan asam lemak jenuh sehingga dalam proses metabolisme lemak,
pendepositan lemak pakan tanpa diubah. Tidak seperti sapi dimana asam-asam lemak
tidak jenuh yang termakan dihidrogenasi oleh mikroba rumen menjadi deposit lemak-
lemak jenuh. Menurut Lawrie (2003), babi dan nonruminan lain seperti kuda,
cenderung mendeposit lemak-lemak ransum tanpa diubah. Upaya-upaya didalam
praktek budidaya bandikut yang akan dikembangkan sebagai satwa harapan untuk
penganeka ragamanan sumber protein hewani, dapat dilakukan melalui pemberian
pakan bandikut yang banyak mengadung asam lemak tidak jenuh. Sebab tingginya
asam lemak jenuh dalam daging bandikut (laurat, miristat dan palmitat) dapat
menjadi faktor pembatas bagi konsumen, karena telah disinyalir bahwa konsumsi
asam-asam lemak jenuh dapat meningkatkan kolesterol plasma darah. Fenomena
tersebut dapat diantisipasi bila ratio asam lemak tak jenuh dan asam lemak jenuh
75
dalam makanan sama tinggi atau seimbang karena dapat merendahkan kerentanan
individu terhadap penyakit-penyakit vaskuler umumnya. Meningkatnya asam-asam
lemak poli tak jenuh (linolenat, arakhidonat, eikopentanoat dan dekosaheksanoat)
dalam makanan akan menurunkan kolesterol darah meskipun konsumsi lemak dan
kolesterol tinggi.
Penilaian Organoleptik Daging Bandikut
Penilaian organoleptik terhadap penerimaan umum warna, bau dan rasa daging
bandikut yang dibandingkan dengan daging sapi, daging ayam dan daging babi pada
penelitian ini digunakan uji hedonik atau uji kesukaan (Rahayu, 1994). Uji ini
merupakan salah satu uji penerimaan. Pada uji ini panelis diminta mengungkapkan
tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidak sukaan. Penilaian
meliputi warna, bau dan rasa dari masing-masing jenis daging. Uji dilakukan
langsung kepada panelis tidak terlatih sebanyak 85 orang panelis dengan memberikan
jenjang skor yang telah ditetapkan, yaitu nilai 1 = tidak suka; nilai 2 = biasa/netral;
nilai 3 = agak suka; nilai 4 = suka dan nilai 5 = sangat suka.
Warna Daging
Warna daging sangat berpengaruh terhadap penampilan daging. Perubahan
warna daging sering dikaitkan dengan kesegaran daging. Rataan skor dan median
variable respon yang mencerminkan penerimaan tingkat kesukaan terhadap warna
daging bandikut dapat dilihat pada Tabel 17. Hasil uji Kruskal-Wallis antara jenis
daging sapi, bandikut, babi dan ayam terhadap warna daging ditampilkan pada
Lampiran 7.
Tabel 17 Rataan skor dan median kesukaan terhadap warna daging
Jenis Daging Rataan Median
Sapi
Bandikut
Ayam
Babi
3.282 6 1.271
3.612 6 1.048
3.306 6 1.354
3.235 6 1.324
4.00
4.00
4.00
3.00
76
Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 7) menunjukkan bahwa antara jenis daging
sapi, bandikut, ayam dan babi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap warna
daging. Hal ini menggambarkan bahwa warna daging bandikut dapat diterima sama
disukai seperti halnya warna daging lainnya (sapi ayam dan babi). Meskipun
demikian pada Tabel 24 terlihat bahwa nilai median warna daging babi adalah 3
(agak suka) sedangkan warna daging bandikut memiliki nilai median sama dengan
warna daging ayam dan sapi yaitu 4 (suka). Keadaan ini dapat menggambarkan
bahwa warna daging babi cenderung kurang disukai dibandingkan warna daging
lainnya. Hal ini disebabkan warna daging babi terlihat lebih merah terang
dibandingkan warna daging lainnya yang diduga karena daging babi lebih sedikit
mengandung mioglobin. Warna daging segar bandikut merah, sedang daging sapi
berwarna merah tua dan warna daging ayam adalah putih sehingga dalam proses
pembakaran sebagai produk sate, daging babi menjadi lebih terang dibanding daging
sapi dan bandikut sedang daging ayam menjadi kuning kecoklatan dan hal ini dapat
mempengaruhi tingkat preferensi konsumen. Menurut Arbelle et al., 2001, Forrest et
al., 1975 warna daging dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi penentu
utamanya adalah konsentrasi mioglobinnya. Tingkat mioglobin di dalam daging
tergantung pada spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, tipe otot dan aktifitas fisik
(Lawrie 1988).
Rentangan median tingkat kesukaan panelis terhadap warna daging disajikan
pada Gambar 15.
77
1
2
3
4
5
wa
rna
Jenis Daging
sapi bandikut ay am babi
Gambar 15 Boksplot median terhadap warna daging.
Pada Gambar 15 menunjukkan bahwa rentang tingkat kesukaan panelis
terhadap warna daging sapi, ayam dan babi memiliki pemusatan median yang sama
yaitu antara nilai 2 (biasa atau netral) sampai nilai 4 (suka), sedang terhadap warna
daging bandikut memiliki rentang pemusatan median yang lebih sempit yaitu antara
nilai 3 (agak suka) dan nilai 4 (suka). Hal ini dapat menggambarkan bahwa warna
daging bandikut cenderung lebih disukai dibanding warna daging lainnya. Keadaan
ini juga ditunjukkan pada rataan skor yang lebih tinggi (3.612) dari pada sapi (3.282),
ayam (3.306) dan babi (3.235) sehingga bila ditinjau dari segi warna daging maka
pilihan pertama yang disukai adalah daging bandikut.
Bau Daging
Bau merupakan sensasi kompleks yang melibatkan cita rasa, tanpa bau maka
satu atau 4 taste utama (pahit, asin, asam dan manis) akan menjadi dominan. Pada
bahan makanan bau sangat penting secara estetis dan fisiologis untuk merangsang
sekresi cairan pencernaan bila bau menyenangkan. Rataan skor dan median variable
respon yang mencerminkan penerimaan tingkat kesukaan terhadap bau daging
bandikut disajikan pada Tabel 18. Hasil uji Kruskal-Wallis antara jenis daging sapi,
bandikut, babi dan ayam terhadap baud aging ditampilkan pada Lampiran 8.
Tabel 18 Rataan skor dan median kesukaan terhadap bau daging
78
Jenis Daging Rataan Median
Sapi
Bandikut
Ayam
Babi
3.282 6 1.333
3.224 6 1.294
3.306 6 1.372
3.329 6 1.117
4.00
3.00
3.00
3.00
Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 8) menunjukkan bahwa antara jenis daging
sapi, bandikut, ayam dan babi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap bau daging.
Hal ini menunjukkan bahwa bau daging bandikut dapat diterima sama disukai seperti
halnya terhadap bau daging sapi, ayam dan babi. Pada Tabel 18 dapat dilihat pula
bahwa nilai median terhadap penerimaan bau daging sapi adalah 4 (suka) sedangkan
nilai median pada bau daging bandikut, ayam dan babi sama yaitu 3 (agak suka).
Keadaan ini menggambarkan bahwa bau daging sapi cenderung lebih disukai dari
pada bau daging bandikut, ayam dan babi. Hal ini diduga daging sapi banyak
mengandung zat nutrisi yang dapat menghasilkan zat yang berbau harum dalam
proses pemanasan produk sate. Menurut Lawrie (2003), dalam pemanasan daging ada
proses karamelisasi dengan pembentukan banyak zat yang berbau harum, termasuk
furan-furan, alkohol dan hidrokarbon aromatik. Selain itu dijelaskan pula bahwa
asam-asam amino, karbohidrat, lemak dan tiamin merupakan prekusor yang penting
dalam aroma atau bau daging.
Rentangan median tingkat kesukaan panelis terhadap bau daging dapat dilihat
pada Gambar 16.
79
5
4
3
2
1
ba
u
Jenis Daging
sapi bandikut ay am babi
Gambar 16 Boksplot median terhadap bau daging.
Gambar 16 dapat dilihat bahwa rentang tingkat kesukaan panelis terhadap bau
daging memiliki tingkat pemusatan median yang sama yaitu dari skor 2 (biasa atau
netral) sampai skor 4 (suka). Keadaan ini juga dapat sebagai petunjuk bahwa
sebagian besar tingkat kesukaan panelis terhadap bau daging bandikut maupun bau
daging sapi, ayam dan babi adalah sama, tetapi pada Tabel 18 terlihat bahwa daging
bandikut memiliki rataan skor paling rendah (3.224) dibanding bau daging sapi
(3.282 ), ayam (3.306) dan babi (3.329). Hal ini dapat menggambarkan pula bahwa
bau daging bandikut kecenderungan kurang disukai dibanding bau daging lainnya.
Kecenderungan bau daging bandikut kurang disukai diduga adanya komponen
volatile yang khas yang dikeluarkan oleh kelenjar tertentu, seperti halnya bau daging
pada babi jantan (boar odour) atau pada kambing/domba (lamb odour). Bila ditinjau
dari segi bau daging maka daging bandikut merupakan pilihan terakhir yang disukai.
Rasa Daging
Rasa atau cita rasa (flavour) daging merupakan hasil sensasi yang melibatkan 4
sensasi dasar yaitu pahit, asam, manis dan asin. Daging sebagai bahan makanan, rasa
sangat menentukan untuk disukai atau ditolak oleh konsumen. Rataan skor dan
median variabel respon yang mencerminkan penerimaan tingkat kesukaan terhadap
rasa daging bandikut dapat dilihat pada Tabel 19. Hasil uji Kruskal-Wallis antara
80
jenis daging sapi, bandikut, babi dan ayam terhadap rasa daging ditampilkan pada
Lampiran 9.
Tabel 19 Rataan skor dan median kesukaan terhadap rasa daging
Jenis Daging Rataan Median
Sapi
Bandikut
Ayam
Babi
3.271 6 1.575
3.459 6 1.332
3.635 6 1.233
3.824 6 1.226
4.00
4.00
4.00
4.00
Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 9) menunjukkan bahwa antara jenis daging
sapi, bandikut, ayam dan babi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap rasa daging.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesukaan terhadap rasa daging bandikut sama
seperti halnya terhadap daging sapi, ayam dan babi. Keadaan ini juga ditunjang
dengan nilai median yang sam yaitu 4 (suka), tetapi dari rataan skor pada Tabel 19
memperlihatkan bahwa rataan skor daging babi paling tingggi (3.824) kemudian
diikuti oleh daging ayam (3.635), daging bandikut (3.459), dan daging sapi (3.271).
Hal ini dapat menggambarkan pula bahwa rasa daging babi cenderung lebih disukai
dibanding daging lainnya. Kecenderungan ini diduga karena daging babi sudah biasa
dikonsumsi oleh masyarakat papua pada umumnya.
Rentangan median tingkat kesukaan panelis terhadap rasa daging dapat dilihat
pada Gambar 17.
81
5
4
3
2
1
rasa
Jenis Daging
sapi bandikut ay am babi
Gambar 17 Boksplot median terhadap rasa daging.
Pada Gambar 17 menunjukkan bahwa rentang median tingkat kesukaan panelis
terhadap rasa daging sapi bervariasi dari 2 (biasa/netral) sampai 5 (sangat suka), pada
daging bandikut antara 2 (biasa/netral) sampai 4 (suka), sedangkan pada daging ayam
dan babi memiliki pemusatan median yang sama yaitu antara nilai 3 (agak suka)
sampai nilai 5 (sangat suka). Hal ini dapat menggambarkan bahwa tingkat kesukaan
panelis terhadap rasa daging bandikut masih dalam taraf suka belum mencapai taraf
sangat suka seperti pada rasa daging ternak konvensional tersebut diatas.
82