hamka-sebagai-pengarang

9
HAMKA Sebagai Pengarang - Esai - Horison Online Ditulis oleh Abdul Hadi W. M. Selasa, 15 Januari 2013 07:38 Pertama-tama tentu saja saya barus berterimakasih telah mendapat kehormatan dijadikan pembicara kunci dalam seminar tentang kepengarangan Hamka dan sumbangannya terhadap kesusastraan Indonesia. Tetapi itu tidak serta merta membuat saya tenang, tetapi sebaliknya kebingungan. Bagaimana tidak. Buku-buku Hamka yang saya miliki sebagian besar tersimpan dalam peti sementara rumah saya sedang dibongkar untuk dipugar, termasuk roman-romannya seperti Di Bawah Lindungan Ka`bah dan Tenggelamnya Kapal v.d. Wijck. Akan tetapi saya harus pula bersyukur karena masih memiliki beberapa catatan tentang kepengarangan Hamka dan roman-romannya yang mudah dijumpai sehingga dapat dijadikan bahan untuk menulis makalah ini. Menjadi pembicara kunci, atau kerennya keynote speaker, untuk sebuah seminar seperti ini ternyata bukan pula sebuah tugas yang ringan. Ada beberapa pengertian yang bisa diberikan bagi istilah pembicara kunci. Ia bisa diartikan sebagai penutup dan sekaligus penyimpul suatu rangkaian pembahasan tentang suatu topik yang dengan itu sebuah dialog atau perdebatan ditutup dan tidak dibuka lagi. Jika pengertiannya demikian semestinya saya ditempatkan sebagai pembicara terakhir. Arti lain yang bisa diberikan ialah sebagai pembicara yang membuka pintu pembicaraan. Mungkin inilah yang dimaksud panitia sehingga saya diberi kehormatan menjadi pembicara pertama. Hamka – nama sebenarnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah – bukan sosok baru yang hadir dalam kehidupan pribadi saya selaku penulis dan bagian dari masyarakat pembaca sastra. Namanya sebagai pengarang, tokoh pergerakan Islam yang terkemuka dan ulama, telah saya kenal sejak saya duduk di bangku SD. Itu menjelang akhir 1950’an, ketika sayup-sayup saya mendengar banyak peristiwa penting politik sedang hangat-hangatnya menjadi bahan perbincangan oang-oang tua kala itu. Kala itu setiap ada waktu luang saya menyempatkan membaca suratkabar Harian Abadi dan majalah Panjimas – dua dari media cetak terkenal kala itu yang dilanggani ayah saya. Melalui dua media cetak inilah saya mengenal Hamka. Ketika saya duduk di bangku SMP saya selalu menyimpan uang saku yang diberikan ayah, ibu dan kakek saya dengan baik untuk bisa membeli buku terutama buku-buku sastra. Pada saat itulah saya mulai membaca beberapa roman Hamka dan kumpuan cerpennya seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal v.d. Wijck, dan Di Dalam Lembah Kehidupan. Suatu ketika saya melihat sebuah buku Hamka yang lain Ayahku di rak buku ayah saya berjejer dengan buku Muhamad Natsir Capita Selecta, 1 / 9

description

HAMKA

Transcript of hamka-sebagai-pengarang

Page 1: hamka-sebagai-pengarang

HAMKA Sebagai Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Abdul Hadi W. M.Selasa, 15 Januari 2013 07:38

Pertama-tama tentu saja saya barus berterimakasih telah mendapat kehormatan dijadikanpembicara kunci dalam seminar tentang kepengarangan Hamka dan sumbangannya terhadapkesusastraan Indonesia. Tetapi itu tidak serta merta membuat saya tenang, tetapi sebaliknyakebingungan. Bagaimana tidak. Buku-buku Hamka yang saya miliki sebagian besar tersimpandalam peti sementara rumah saya sedang dibongkar untuk dipugar, termasukroman-romannya seperti Di Bawah Lindungan Ka`bah dan Tenggelamnya Kapal v.d. Wijck. Akan tetapi saya harus pula bersyukur karena masih memiliki beberapa catatan tentangkepengarangan Hamka dan roman-romannya yang mudah dijumpai sehingga dapat dijadikanbahan untuk menulis makalah ini.

Menjadi pembicara kunci, atau kerennya keynote speaker, untuk sebuah seminar seperti initernyata bukan pula sebuah tugas yang ringan. Ada beberapa pengertian  yang bisa diberikan bagi istilah pembicara kunci.  Ia bisa diartikan sebagai penutup dan sekaligus penyimpul suaturangkaian pembahasan tentang suatu topik yang dengan itu sebuah dialog atau perdebatanditutup dan tidak dibuka lagi. Jika pengertiannya demikian semestinya saya ditempatkansebagai pembicara terakhir. Arti lain yang bisa diberikan ialah sebagai pembicara yangmembuka pintu pembicaraan. Mungkin inilah yang dimaksud panitia sehingga saya diberikehormatan menjadi pembicara pertama.

Hamka – nama sebenarnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah – bukan sosok baru yang hadirdalam kehidupan pribadi saya selaku penulis dan bagian dari masyarakat pembaca sastra.Namanya sebagai pengarang, tokoh pergerakan Islam yang terkemuka dan ulama, telah sayakenal sejak saya duduk di bangku SD. Itu menjelang akhir 1950’an, ketika sayup-sayup sayamendengar banyak peristiwa penting politik sedang hangat-hangatnya menjadi bahanperbincangan oang-oang tua kala itu. Kala itu setiap ada waktu luang saya menyempatkanmembaca suratkabar Harian Abadi dan majalah Panjimas – dua dari media cetak terkenal kalaitu yang dilanggani ayah saya. Melalui dua media cetak inilah saya mengenal Hamka.

Ketika saya duduk di bangku SMP saya selalu menyimpan uang saku yang diberikan ayah, ibudan kakek saya dengan baik untuk bisa membeli buku terutama buku-buku sastra. Pada saatitulah saya mulai membaca beberapa roman Hamka dan kumpuan cerpennya seperti Di BawahLindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal v.d. Wijck, dan Di Dalam Lembah Kehidupan. Suatu ketika saya melihat sebuah buku Hamka yang lain Ayahku di rak buku ayah saya berjejer dengan buku Muhamad Natsir Capita Selecta,

1 / 9

Page 2: hamka-sebagai-pengarang

HAMKA Sebagai Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Abdul Hadi W. M.Selasa, 15 Januari 2013 07:38

dan buku-buku lain karangan Bung Karno, Hatta, Agus Salim, Syahrir, dan lain-lain termasukkitab Ihya` Ulumuddinkarangan Imam al-Ghazali dan beberapa buku Hasbi As-Siddique. Buku Hamka paling menarikbagi saya ketika disebabkan judulnya Ayahku.

Perkenalan saya dengan Hamka – melalui karangan-karangannya – tidak sampai di situ. Ketikaduduk di bangku SMA saya tak pernah jemu memburu buku-buku sastra termasuk karanganHamka yang lain yang belum saya baca seperti Merantau ke Deli, Bohong Di Dunia, KarenaFitnah, Dari Perbendaharaan Lama, dan Tasawuf Modern. Untung saya disekolahkan di Surabaya kota tempat buku sastra mudah dicari di toko bukudibandingkan di sebuah kecil di Sumenep, Madura, tempat saya bersekolah sebelumnya. Terusterang, karangan-karangan Hamka memiliki daya tarik tersendiri bagi saya walaupun karanganpenulis lain seperti Abdul Muis, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Mochtar Lubis,Pramudya Ananta Toer dan Achdiat K.  Mihardja juga tetap menarik. Sisi kehidupan masyarakat Melayu Minangkabau yang disorot Hamka dalam roman-romannya adalah juga sisikehidupan masyarakat Muslim di kampung halaman saya di pulau Madura. Sentimen-sentimenyang dipaparkan Hamka dalam roman-romannya itu terasa akrab, apalagi yang bersentuhandengan nilai-nilai komunitas Muslim.

Pada akhir tahun 1962 saya membaca di suratkabar bahwa roman Hamka TenggelamnyaKapal v.d. Wijck tengah menjadi perdebatan ramai di kalangan sastrawan dan pengamat sastra. Perdebatan itumuncul sehubungan dengan tulisan orang yang memakai nama samaran Abdullah SP yangmenuduh bahwa buku Hamka itu merupakan plagiat dari novel Majdulin (Magdalena) karya penulis Mesir Manfaluthi yang merupakan saduran dari roman Peranciskarangan Alfonso Karr Sous le Tilleuts. Ketika itu roman tersebut telah cetak ulang ke-7 yang menandakan bahwa kendati bukan novelpopular roman Hamka itu sangat digemari oleh masyarakat pembaca buku sastra.

Perdebatan kian meluas dan sengit sepanjang tahun 1963, sekitar satu tahun menjelangHamka ditangkap dan dipenjara disebabkan tuduhan pro-Malaysia. Saat itulah keinginan untukmenyelami kepengarangan Hamka meningkat dalam diri saya. Sekitar pertengahan tahun 1963guru sastra saya yang bersimpati kepada Hamka memberikan tugas berat kepadasiswa-siswanya agar menulis mengenai perdebatan itu. Dalam tugas itu saya menulis bahwa

2 / 9

Page 3: hamka-sebagai-pengarang

HAMKA Sebagai Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Abdul Hadi W. M.Selasa, 15 Januari 2013 07:38

Hamka bukan seorang plagiat. Persamaannya dengan roman Majdulin tidak banyak. Kalaudipengaruhi oleh roman tersebut ya. Tetapi siapakah pengarang yang tidak dipengaruhi olehpenulis terdahulu baik dari negerinya sendiri maupun dari luar.

Tentu saja saya tiba pada kesimpulan demikian setelah juga membaca ulasan-ulasanmengenai tema pokok polemic tersebut di lembaran-lembaran budaya suratkabar dan majalah.Pendirian serupa ternyata juga dikemukakan banyak sarjana sastra jauh di kemudian harisetelah polemic itu terlupakan. Misalnya oleh Teeuw dalam bukunya Modern IndonesianLiterature I (1979).Menurut Teeuw perdebatan di sekitar roman Hamka yang dituduh hasil plagiat itu lebihbernadakan politik dibanding estetik sastra. Persamaan antara kedua roman itu terbatas hanyapada cara memaparkan percintaan melalui surat menyurat. Tetapi melalui romannya Hamkamenulis sesuatu yang berbeda dari Majdulin karangan Manfaluthi. Tenggelamnya Kapal v.d Wijck sepenuhnya bercorak Indonesia dan dalam beberapa segi seperti sebuah otobiografi. Tokohroman itu yaitu Zainuddin adalah seorang anak muda yang ayahnya Minangkabau sedangibunya Makassar. Dari sudut adat Minangkabau, Zainuddin adalah orang asing alias anak pisang, walau dia merasa benar-benar Minangkabau.  Oleh karena itu ketika ia kembali keMinangkabatu dan jatuh cinta kepada seorang gadis Minangkabau, dia mendapat banyakrintangan sehingga gagal menikahi gadis yang dicintainya itu. Lebih celaka lagi dia dipaksameninggalkan kampung halaman ayah kandungnya.

Roman ini sarat dengan kritik tajam terhadap adat. Kecuali itu sarat dengan informasi mengenaikondisi sosial budaya masyarakat Minangkabau saat roman itu ditulis.  Informasi yang diberikanlebih kaya dari roman-roman berlatarkan Minangkabau sebelumnya seperti Siti Nurbaya MarahRusli dan Salah Asuhan Abdul Muis. Berbeda dengan Siti Nurbayayang dalam menggambarkan adat lebih ditumpukan paa soal kawin paksa, sangat pretensius; adat yang dipaparkan Hamka dalam romannya itu merupakan segi yang lebih luas menyangkutkedudukan seorang anak hasil perkawinan dari seorang lelaki Minangkabau denganperempuan dari suku lain. Hamka seperti menggugat sistem matriarchat dan memandangnya sebagai tidak bersesuaian dengan Islam. Setidak-tidaknya kita mendengardi sini gaung Perang Paderi yang terjadi satu abad sebelum roman itu ditulis.

3 / 9

Page 4: hamka-sebagai-pengarang

HAMKA Sebagai Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Abdul Hadi W. M.Selasa, 15 Januari 2013 07:38

Kritik serupa kita umpai dalam roman lain dari Hamka yang kurang begitu dikenal KarenaFitnah(1938). Roman lain yang kritiknya keras kepada adat ialah Merantau ke Deli (1939) walaupun yang menjadi pokok persoalan adalah lain. Diceritakan seorang pemudaMinangkabau yang merantau sebagai pedagang kecil di daerah perkebunan Sumatra Timur.Dia menikah dengan seorang wanita Jawa yang membuatnya sukses sebagai pedagang.Tetapi perkawinannya dihancurkan oleh keluarganya yang memintanya kembali ke kampunghanya karena ia telah sukses sebagai pedagang. Rumah tangganya menjadi berantakan dansang istri Poniyem akhirnya minta erai dan menikah dengan eks pembantu Leman. Melaluiroman ini Hamka memperlihatkan perbedaan konsep perkawinan Minangkabau dan motifnyadengan konsep perkawinan Jawa.

Kekhasan Hamka dibanding roman-roman berlatar Minangkabau pada zamannya ialahpenonjolan suasana Islam, sedangkan pada roman yang lain Islam hanya tampak sayup-sayup.Ini terutama tampak dalam roman pendeknya yang popular Di Bawah Lindungan Ka’bah. Seperti Merantau ke Deli, suasana keindonesiaan juga menonjol dalam roman tersebut. Dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah Hamka meminjam struktur cerita berbingkai yang telah lama ditinggalkan oleh penulis Melayu.

Karya sastra tidak lahir dari kekosongan sejarah dan di ruang kosong. Demikian pulakepengarangan. Di belakang setumpuk karya seorang pengarang – roman/novel, cerpen,naskah lakon dan puisi – adalah peristiwa-peristiwa kemanusiaan dalam sejarah, entah ituperistiwa sosial politik, sosial budaya, dan sosial keagamaan. Dilihat dari tujuan kelahiran atauekspresinya karya sastra adalah tanggapan terhadap peristiwa-peristiwa yang dialaminya.Tanggapan itu merupakan hasil perenungan, penyimpulan, dan perumusan yangditransformasikan ke dalam ungkapan estetik sastra.  Saya ingin mengutip Wilhelm Dilthey,seorang ahli hermeneutika Jerman akhir abad ke-19 M. Menurut Dilthey sejarah sastrasebagaimana sejarah pemikiran kemasyarakatan dan keagamaan, terdiri dari dua aspek. Yaituaspek lahir dan aspek batin. Aspek lahir sejarah sastra di mana seorang atau sekelompokpengarang kita tempatkan, boleh jadi berupa peristiwa-peristiwa sastra seperti penerbitanroman atau kumpulan puisi, tanggapan masyarakat terhadap karya atau buku yang diterbitkan,perdebatan atau polemik tentang sastra, dan lain sebagainya. Aaspek batinnya ialah wawasanestetik, gagasan dan pemikiran pengarang kemanusiaan dan kemasyarakatan, selera seni dan

4 / 9

Page 5: hamka-sebagai-pengarang

HAMKA Sebagai Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Abdul Hadi W. M.Selasa, 15 Januari 2013 07:38

pengalaman-pengalaman hidupnya. Semua itu memberi corak tertentu kepada karya seorangatau beberapa pengarang.

Dilthey meringkas aspek yang membangun dunia batin dari karya sastra itu menjadi wawasanestetika dan Weltanschauung atau gambaran intuitif tentang dunia yaitu bagaimana pengarangmenempatkan manusia dan nasibnya dalam rangka kehidupannya yang kompleks dalam suatumasyarakat dan tradisi kebudayaannya. Mungkin saya harus mengemukan bentuk keteranganyang lain. Dalam sejarah kepengarangan di mana pun tidak ada pengarang yang membangundunia kepengarangan atau kesastraannya bebas dari pengaruh yang berasal dari sistemkepercayaan atau agama, falsafah hidup, dan tradisi sastra yang ia cerap dalam perjalananhidupnya melalui berbagai cara. Apa yang dicerap pengarang dari semua itu merupakan apayang disebut Dilthey sebagai erlebnis yaitupengalaman-pengalaman yang dihayati dalam konteks (lingkup kait) suatu masyarakat dan zaman tertentu. Inilah maksud perkatan bahwa kepengarangan dan karya sastra seorangpengarang tidak lahir dari kekosongan atau berada di ruang kosong. Oleh karena itu pengarangadalah pelaku sejarah – sejarah kreativitas, sejarah kepengarangan, sejarah pandangan hidup,sejarah estetik – yang mengacu kepada sejarah pula. Ini perlu saya kemukakan sebelumberbicara tentang Hamka dan karya-karyanya.

Dari apa yang telah dikemukakan dapat saya ringkas begini: Pertama, karya sastra dihasilkanmelalui proses kejiwaan yang bukan saja melibatkan imaginasi dan renungan, tetapi juga  Weltanschauung pengarang. Kedua, karya sastra ditulis berdasarkan wawasan estetika atau teori seni tertentuyang sedang berkembang dalam masyarakat, khususnya masyarakat sastra. Ketiga, Weltanschauung (gambaran intuitif tentang dunia) dan wawasan estetik menandai semangat suatu zaman, dankarenanya mempengaruhi/dipengaruhi corak ekspresi yang sedang berkembang.

Yang ketiga inilah yang akan saya bahas secara ringkas dalam kaitannya dengankepengarangan Hamka dan relevansinya. Yang pertama ‘semangat zaman’ bagaimana yangdiungkap Hamka berkenaan dengan persoalan kebudayaan, kemasyarakatan dan keagamaandalam roman-romannya. Yang kedua, berkenaan dengan wawasan estetik serta bentukpengungkapan atau ekspresi dari erlebnis-nya.

Hamka lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada 1908 dan dibesarkan di tanah kelahirannyasampai usia sekitar 17 tahun. Tanah kelahirannya merupakan negeri paling awal di Nusantarayang digoncang oleh gerakan pemurnian agama Wahabi yang menyebabkan timbulnya konflikdan peperangan dengan kaum adat pada awal abad ke-19 M. Peperangan tersebut dikenal

5 / 9

Page 6: hamka-sebagai-pengarang

HAMKA Sebagai Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Abdul Hadi W. M.Selasa, 15 Januari 2013 07:38

sebagai Perang Paderi pimpinan Imam Bonjol yang meletus pada akhir 1820an, menjelangberakhirnya Perang Diponegoro di pulau Jawa. Perang yang pada akhirnya melibatkan kolonialBelanda itu memberikan dampak yang luar biasa terhadap struktur sosial masyarakatMinangkabau. Termasuk sistem kekerabatannya. Dampak dari perang inilah kemudian yangmelahirkan kearifan lokal “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”.

Menjelang akhir abad ke-19 M goncangan kedua datang pula dengan berkembangnya gerakan tajdid, pembaruan pemikiran. Di Minangkabau benih gerakan ini muncul pada akhir abad ke-19 dibawa oleh ulama-ulamamuda dari Mekkah dan menamakan dirinya kaum muda. Seperti kaum paderi yang bentrokdengan pembela adatlebih seabad sebelumnya, demikian juga kaum muda dengan kaum tua. Pertarungan kaummuda dengan kaum tua ini juga tercermin dalam karya-karya Hamka sebagaimana telahdijelaskan. Baik dalam romannya Tenggelamnya Kapal v.d. Wjck maupun Merantau ke Deli adalah yang merupakan penghalang dan perusak perkawinan antar suku dan ini sangatbertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menentang rasa kesukuan. Persoalan lain yangdikemukakan berkenaan dengan adat ialah keengganan mengakui anak yang lahir di luar sukuyang merupakan dampak dari sistem matriarchat dengan segala akibatnya. Secara tersirat Hamka ingin menegaskan bahwa semua itubertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Semangat zaman lain yang terekam dalam karya Hamka ialah nasionalisme kebangsaan.Dalam kaitan ini perlu ditekankan bahwa sebenarnya apa yang disebut sebagai gerakankebangsaan di Asia Afrika banyak juga berhutang budi kepada munculnya gerakan pembaruanyang dicetuskan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh pada pertengahan abadke-19 M. Ciri semangat pembaruan pemikiran keagamaan yang sering dilupakan ialahsemangat anti-kolonialisme. Sebagaimana kita ketahui sebagian besar negara Asia dan Afrikayang jatuh ke tangan penjajahan bangsa Eropa sejak Napoleon menyerbu Mesir pada awalabad ke-19 adalah negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.  Karena itutidak mengherankan apabila gerakan dan perang anti-kolonialisme mula-mula muncul dalammasyarakat Islam sebagaimana kita lihat di Indonesia.  Serentetan kekalahan kaum Muslimindalam perjuangan bersenjata melawan kolonial di banyak negeri Islam dan kemerosotannyadalam kehidupan sosial budaya dan ekonomi, telah menyadarkan beberapa pemikirkeagamaan untuk menggagas gerakan reformasi atau tajdid. Medan baru bagi perjuanganmenegakkan Islam ialah melalui  pendidikan dan reformasi masyarakat madani (civil society).

6 / 9

Page 7: hamka-sebagai-pengarang

HAMKA Sebagai Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Abdul Hadi W. M.Selasa, 15 Januari 2013 07:38

Melalui gerakan sosial keagamaan dan lembaga pendidikan yang didirikan itulah semangatnasionalisme disebarluaskan. Jansen dalam bukunya Militant Islam (1981) mengatakan lebihkurang sebagai berikut:  Semangat Asia Afrika yang merupakan titik kulminasi dari semangatkebangsaan melawan kolonialisme Eropa adalah tidak mungkin menemukan coraknya tanpaperjuangan kaum Muslimin. Ini mudah dimengerti karena sebagian besar negara jajahanbangsa Eropa pada abad ke-19 adalah negeri kaum Muslimin. Munculnya gerakan tajdid semakin memperkuat fondasi semangat nasionalisme ini. Tidak mengherankan apabila bapakpendiri bangsa (the founding fathers) kita seperti Sukarno memulai langkahnya dengan menggagaskan bangunan nasionalismeIndonesia dengan menulis esai seperti “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”.

Perpaduan pemikiran kaum pembaru dan nasionalisme juga tercermin dalam roman Hamka.Hanya saja sang pujangga melukiskan pengalaman dan pemikirannya secara halus, dijalindengan imajinasi yang cukup kaya dan gaya bahasa yang menghanyutkan pembacanya. Inihanya mungkin terjadi karena Hamka benar-benar menghayati apa yang digambarkan dalamroman-romanya. Sebagai penulis pula Hamka telah sejak muda terlibat langsung baik dalamgerakan kebangsaan maupun gerakan tajdid.

Sebagai pengarang Hamka muncul dan berada di luar arus utama (mainstream) kehidupansastra, kendati tidak benar-benar memencilkan diri dari pergaulan sastra sezamannya. Diabukan bagian dari kelompok atau gerakan sastra Poedjangga Baroe seperti Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Juga bukan kelompok pengarangBalai Pustaka seperti Marah Rusli dan Nur Sutan Iskandar yang berkarya mengikuti gariskebijakan kolonial.  Ini tidak berarti ia berada di luar semangat zamannya. Ciri menonjol dalamsemangat kepengarangan pada masa Hamka mulai menulis karya-karyanya adalah terpadunyasemangat kebangsaan atau nasionalisme dengan aliran seni yang sedang dominan kala ituyaitu romantisme. Karya-karya Hamka juga mencerminkan perpaduan itu. Bedanya denganpenulis-penulis sezamannya yang pada umumnya merupakan hasil pendidikan Belanda danmenimba kecakapan sastranya dari bacaan buku-buku berbahasa Belanda, Hamka menimbapengetahuan sastra dari kitab-kitab berbahasa Arab.  Salah satu di antaranya ialahkarangan-karangan Luthfi al-Manfaluthi sebagaimana telah dikemukakan.

Seperti halnya di Indonesia dan banyak negeri lain di Asia, pada zaman Manfaluthikesusastraan Arab Mesir didominasi oleh dua gerakan atau aliran sastra yang datang dariEropa yaitu romantisme dan realisme. Seperti di Mesir, di Indonesia dan negeri lain seperti

7 / 9

Page 8: hamka-sebagai-pengarang

HAMKA Sebagai Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Abdul Hadi W. M.Selasa, 15 Januari 2013 07:38

India, kedua aliran seni cenderung bercampur terutama dalam penulisan roman atau novel.Roman-roman Hamka memperlihatkan hal itu. Tetapi marilah saya jelaskan dulu secara ringkasapa yang saya sebut dengan realisme dan bagaimana implikasinya jika berpadu denganromantisme.

Realisme sebagai aliran sastra lahir sesudah romantisme dan sekaligus merupakan reaksiterhadap aliran terdahulu itu.  Ia lahir di Perancis pada pertengahan abad ke-19 M danberkaitan sekali dengan perkembangan sejarah dan ilmu pengetahuan khususnya biologi danilmu-ilmu sosial, serta munculnya masyarakat industri yang berorientasi kepada individu danberkembangnya dunia komersial.  Dapat dikatakan bahwa penulis-penulis realis seperti Balzac,Flaubert dan Stendhal yang mempelopori aliran itu berusaha melukiskan menggambarkankehidupan manusia sesuai dengan kenyataan sosial. Khususnya kehidupan masyarakat pascaRevolusi Industri dan Revolusi Perancis.

Yang menjadi obyek dari penulisan novel atau roman ialah kehidupan sehari-hari masyarakatkota yang telah dipengaruhi nilai-nilai demoktasi dan nilai-nilai masyarakat industri yang mulaikomersial. Adapun pengaruh demokrasi dan ilmu pengetahuan tampak dalam pelukisantokoh-tokohnya yang berpikir rasional, secular, dan individualistick. Latar cerita atau kejadian (setting), watak dari tokoh novel dipilih sejelas-jelasnya dan ditonjolkan tidak sebagaimana fiksi lama.Karena itu warna lokal juga ditonjolkan dan peranan tokoh sebagai individu dalam kehidupanmasyarakatnya ditonjolkan. Dapat dikatakan bahwa watak atau karakter diutamakan. Malahanpelukisan watak dianggap sebagai esensi dari sastra realis. Dalam kaitannya dengan masalahmoral, novel-novel realis menekankan pada isu-isu moral yang sedang hangat. Konflik munculkarena isu-isu moral.

Romantisme di lain hal memalingkan perhatian kepada kehidupan masyarakat atau manusiayang belum tercemar nilai-nilai komersial masyarakat industri. Gerakan ini lahir justru sebagaireaksi terhadap nilai-nilai masyarakat industri yang dekaden. Dalam semangatnya romantismemenekankan idealisme. Oleh karena itu dapat dimengerti jika aliran ini disambut gembira diIndonesia pada tahun 1920 dan 1930an, karena dalam nasionalisme terkandung cita-cita yangtinggi dari kehidupan. Realisme diterima sejauh berkenaan dengan cara atau tehnik penulisankarya sastra. Dengan realisme pengarang dapat memaparkan secara tajamkenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat.

Seperti telah dikemukakan pengarang Indonesia sebelum Perang Dunia II memadukanromantisme dan realisme. Ini dapat dimengerti karena sebagian besar orang Indonesia kala itubukanlah penduduk kota dalam arti sebenarnya. Orang Indonesia belum terseret ke dalam

8 / 9

Page 9: hamka-sebagai-pengarang

HAMKA Sebagai Pengarang - Esai - Horison Online

Ditulis oleh Abdul Hadi W. M.Selasa, 15 Januari 2013 07:38

semangat individualisme dan belum pula terpengaruh oleh dunia komersial. Roman-romanIndonesia yang tokoh-tokoh atau pelakunya manusia kota seperti Salah Asuhan Abdul Muisdan LayarTerkembang Takdir Alisyahbana, bukan novel realis seperti karya Flaubert atau Balzac. Begitu pulatokoh-tokohnya adalah tak lebih dari manusia yang baru belajar menjadi manusia kota serayamenjunjung nilai-nilai tinggi. Roman-roman Hamka lebih realistis. Tokok-tokohnya adalahmanusia dari lingkungan masyarakat tradisional yang tinggal di kota kecil dan belum begitu jauhterbaratkan sebagaimana tokoh Hanafi dalam Salah Asuhan dan Tuti dalam Layar Terkembang.

Jakarta 17 Desember 2010 Joomla SEO by AceSEF

9 / 9