Haluaran urin
-
Upload
bima-satriya -
Category
Documents
-
view
191 -
download
3
Transcript of Haluaran urin
1 Ikk 5A
POLA URIN
Secara umum haluaran (Effluent) adalah cairan yang mengalir keluar dari
pasien. (Marelli, 2008) jadi haluaran urin adalah suatu keadaan dimana cairan
(urin) keluar dari tubuh. Adapun macam-macam perubahan haluaran urin adalah
sebagai berikut.
2.1 Inkontinensia urin
2.1.1 Definisi
Adapun definisi dari inkontinensia urin adalah sebagai berikut.
a. adalah suatu keadaan hilangnya kontrol urine involunte yang secara bjektif
dapat terlihat jelas dan cukup berat hingga menjadi mesalah sosial atau
masalah hygiene (Hamilton, 2009);
b. adalah suatu keadaan dimana urin keluar secara involunter (Borley, 2006).
2.1.2 Etiologi
Adapun etiologinya menurut Hamilton (2009) adalah sebagai berikut:
a. Relaksasi dasar anggul (disfungsi)
b. Infeksi
c. Atrofi
d. Obat-obatan
e. Keluaran rin berlebih
f. Imoilitas
g. Disfungsi usus
Adapun menurut Graber (2006) etiologi inkontinensia unrin adalah infeksi,
ureteritis atau vaginitis atrofik, serta obat-obatan antara lain sedative, hipnotik,
diuretic, opiate, penghambat saluran kalisum, antikolinergik (antidepresan,
antihistamin), dekongestan, dan lainnya. Penyebab lainnya yang lebih sering
adalah depresi, pembentukan urin berlebihan (diabetes), mobilitas yang terbatas,
serta impaksi tinja. Selain itu juga bisa disebabkan oleh keadaan pasien yang tidak
mampu pergi ke kamar mandi.
2 Ikk 5A
2.1.3 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Hariati (2000) yaitu:
a. Ketidaknyamanan daerah pubis
b. Distensi vesika urinaria
c. Ketidak sanggupan untuk berkemih
d. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
e. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
f. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
g. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
2.1.4 Faktor Predisposisi
Menurut Asmadi (2008) faktor predisposisi inkontinensia urin adalah
sebagai berikut.
a. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi
juga berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum
mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem
neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus
otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan
dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko
mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol
otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia.
b. Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya
jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi
karena kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak
dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat
saluran kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu. Selain itu, urine
3 Ikk 5A
juga dapat menjadi bau jengkol. Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan
tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan feses
maupun urine. Selain itu malnutrisi menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh
terhadap infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ
perkemihan.
c. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal
untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih
pekat.
d. Latihan fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus
otot yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat
penting bagi miksi.
e. Stres psikologi
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan
mengalami diare ataupun beser.
f. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan
tubuh karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh
akan kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan
pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi
nafsu makan yaitu terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan.
g. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang
seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine.
h. Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di
masyarakat Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka sesuatu
yang pribadi , sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet yang digunakan
secara bersama-sama (Potter & Perry,2005).
i. Status volume
4 Ikk 5A
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam
keseimbangan, peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan
produksi urine. Cairan yang diminum akan meningkatakan volume filtrat
glomerulus dan eksresi urina (Potter & Perry,2005).
j. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan
hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih, dan
individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya diabetes
melitus dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah
fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi degeneratif dan
parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir (Potter &
Perry,2005).
k. Prosedur bedah
Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum
menjali pembedahan yang diakibatkan oleh proses penyakit atau puasa praoperasi,
yang memperburuk berkurangnya keluaran urine. Respons stres juga
meningkatkan kadar aldosteron menyebabkan berkurangnya keluaran urine dalam
upaya mempertahankan volume sirkulasi cairan (Potter & Perry,2005).
l. Obat-obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik
(atropin), antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta
adrenergik (inderal) (Potter & Perry,2005).
2.1.5 Epidemiologi
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia
lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit
mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
2.1.6 Klasifikasi
5 Ikk 5A
Adapun klasifikasi inkonintesia urin menurut Hamilton (2009) adalah
sebagai berikut.
a. Inkontinensia urgensi
Kontraksi otot detrusor yang tidak terkontrol menyebabkan kebocoran urine,
kandug kemih yang hiperaktif, atau ketidakstabilan detrusor.
1. Disfungsi neurologis
2. Sistisis
3. Obstruksi pintu kandung kemih
b. Inkontinensia stress
Adalah keluarnya urin tanpa kontraksi detrusor.
1. Tonus otot pangul yang buruk
2. Defisiensi sfingter uretra, konginetal atau didapat
3. Kelebihan berat badan
c. Inkotinensia kombinasi
Adalah suatu kombinasi inkontinensia ombinasi gejala inkontinensia urgens
dan inkontinensia stress.
d. Inkontinensia overflow
Adalah menetes saat kandung kemih penuh.
1. Disfungsi neurologis
2. Penyakit endokrin
3. Penurunan kelenturan dinding kandung kemih
4. Obstruksi pintu keluar kandung kemih.
2.1.7 Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat
di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume
kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang
6 Ikk 5A
dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar
panggul.
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis
yang menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung
kemih berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan
merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini
dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia
urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi
kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung
kemih akan menimbulkan inkontinensia.
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan menurut Borley
(2006) adalah sebagai berikut.
a. Kultur urin : untuk menyingkirkan infeksi.
b. IVU : untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi
atau fistula.
c. Urodinamik
– Uroflowmetri : mengukur kecepatan aliran
– Sistrometri : menggambarkan kontraktur detrusor
– Sistometri video : menunjukkan kebocoran urin saat mengedan pada
pasien dengan inkontinensia stress dan flowmetri tekanan uretra:
mengukur tekanan uretra dan kandung kemih saat istirahat dan selama
berkemih.
d. Sistokopi : jika dicurigai terdapat batu atau neoplasma
kandung kemih
e. Pemeriksaan speculum vagina dan sistogram jika dicurigai terdapat fistula
vesikovagina.
2.1.9 Penatalaksanaan
7 Ikk 5A
Adapun penatalksanaan yang dapat dilakukan oleh perawat menurut Borley
(2006) adalah sebagia berikut.
a. Inkontinensia urgensi
1. Terapai medikamentosa: modifikasi asupan cairan, hindari kafein, obati
setiap hari penyebab (infeksi, tunor, batu); latihan berkemih,
antikolinergik/relaksan otot polos (oksibutinin, tolterdin).
2. Terapi pembedahan sistokopi dan distensi kandung kemih, sistoplasti
augmentasi.
b. Inkontinensia stress
1. Terapi medikamentosa: latihan ototdasar panggul esterogen untuk
vaginitis atrofik.
2. Terapi pembedahan: uretropeksi retropubik atau endoskopik, perbaikan
vagina, sfingter buatan.
c. Inkontinensia overflow
1. Jika terdapat obstruksi: obati penyebab obstruksi, misalnya TURP.
2. Jika tidak terdapat obstruksi: drainase jangka pendek dengan kateter
untuk memungkinkan otot detrusor pulih dari peregangan berlebihan,
kemudian penggunaan stimulant otot detrusor jangja pendek
(berhenekol, distigmin). Jika semua gagal katerisasi intermiten yang
dilakukan sendiri (inkontinensia overflow neurogenik)
d. Fistula urinarius
Selalu membutuhkan terapi pembedahan.
2.2 Retensi Urin
2.2.1 Definisi
Adapun defisi retensi urin adalah sebagai berikut.
1. Retensi urin adalah pengumpulan urin di dalam kandung kemih dan
ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkannya sehingga terjadi
distensi (Hidayat, 2008).
2. Retensi urin adalah merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih
akibat ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung
8 Ikk 5A
kemih. Hal ini menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan kedaan
ketika seseoarang mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak
lengkap (Kozier, 2009).
3. Retensi urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari fesika
urinaria (Masjoer, 2000).
4. Retensi urine adalah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi meskipun
terdapat keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut. (Brunner &
Suddarth).
Jadi, retensi urin adalah suatu keadaan dimana orang tidak dapat membuang
urin dikarenakan adanya penumpukan di kandung kemih.
2.2.2 Etiologi
Adapun penyebab dari penyakit retensi urine adalah sebagai berikut:
a. Supra Vesikal (kerusakan pada pusat miksi di medulla spinallis S2 S4
setinggi T12 L1)
Kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian ataupun
seluruhnya, misalnya pada keadaan pasca operasi, kelainan medulla spinalis
yang ditandai dengan rasa sakit yang hebat.
b. Vesikal (kelemahan otot detrusor karena lama mengalami peregangan)
c. Intravesikal berupa pembesaran prostate, kekakuan leher vesika, striktur,
batu kecil, tumor pada leher vesika, atau fimosis.
d. Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran porstat, kelainan patologi
urethra (infeksi, tumor, kalkulus), trauma, disfungsi neurogenik kandung
kemih.
e. Beberapa obat mencakup preparat antikolinergik antispasmotik (atropine),
preparat antidepressant antipsikotik (Fenotiazin), preparat antihistamin
Pseudoefedrin hidroklorida (Sudafed), preparat penyekat adrenergic
(Propanolol), preparat antihipertensi (hidralasin).
f. Penyebab tersering retensi urin adalah hipertrofi prostat jinak pada pria.
Penyebab lainnya diantaranya adalah ISK. Penyakit neurologis atau
keganasan prostat (Glendle, 2007).
9 Ikk 5A
2.2.3 Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut.
1. Ketidaknyamanan daerah pubis
2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidaksanggupan untuk berkemih
4. Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urine (25-50) ml
5. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
6. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
7. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih (Hidayat,
2006).
2.2.4 Etiologi
Adapun atiologi retensi urin adalah sebagai berikut..
1. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelvis vesika urinaria
2. Traumasumsum tulang belakang
3. Tekanan uretra yang tinggi karena otot detrusor yang lemah
4. Spingter yang kuat
5. Sumbatan (striktur uretra dan pembesaran kelenjar prostat) (Hidayat,2006).
2.2.5 Patofisiologi
Pada retensi urine penderita tidak dapat miksi, kandung kemih berisi penuh
disertai rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang
hebat disertai mengejan. Retensi urine dapat terjadi akibat faktor obat dan faktor
lainnya seperti ansietas, kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya.
Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa kerusakan pusat
miksi di medulla spinalsi menyebabkan kerusaan simpatis dan parasimpatis
sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang
mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal,
vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa
hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil
10 Ikk 5A
menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan terjadi dilatasi
bladder kemudian distensi abdomen. Faktor obat dapat mempengaruhi proses
BAK, menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi glumerolus sehingga
menyebabkan produksi urine menurun. Factor lain berupa kecemasan, kelainan
patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat meningkatkan tensi otot
perut, peri anal, spinkter anal eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik. Dari
semua faktor di atas menyebabkan urine mengalir labat kemudian terjadi poliuria
karena pengosongan kandung kemih tidak terjadi secara baik. Selanjutnya terjadi
distensi bladder dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah
satunya berupa kateterisasi urethra.
2.2.6 Pemeriksaan penunjang
Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada retensio urine
adalah sebagai berikut.
Pemeriksaan specimen urine.
a. Pengambilan: steril, random, midstream.
b. Pengambilan umum: mengetahui pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb,
Keton, Nitrit.
c. Sistoskopy, IVP.
d. Ureum dan elektrolit: mengetahui fumgsi ginjal
e. Kultur dan sensitivitas MSU: berhubungan dengan infeksi, termasuk
sistologi jika dicurigai terdapat tumor
f. Urodinamik: memberikan identifikasi dan penilaian masalah neurologis,
penilaian BPH (Borley, 2006).
2.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada retensio urine adalah sebagai
berikut:
a. Kateterisasi urethra.
b. Dilatasi urethra dengan boudy.
c. Drainage suprapubik (Borley, 2006).
11 Ikk 5A
2.3 Kandung Kemih Neurogenik
2.3.1 Definisi
Kandung Kemih Neurogenik (Neurogenic Bladder) adalah hilangnya fungsi
kandung kemih yang normal akibat kerusakan pada sebagian sistem
sarafnya (Isselbacher, ____).
2.3.2 Etiologi
Neurogenic bladder bisa terjadi akibat:
a. Penyakit seperti, diabetes miletus, uremia, hipotiroidisme, sindrom Guillain
Barre, neuropatik toksik.
b. Cedera
c. Cacat bawaan pada otak, medula spinalis atau saraf yang menuju ke
kandung kemih, saraf yang keluar dari kandung kemih maupun keduanya.
Suatu kandung kemih neurogenik bisa kurang aktif, dimana kandung kemih
tidak mampu berkontraksi dan tidak mampu menjalankan pengosongan kandung
kemih dengan baik atau menjadi terlalu aktif (spastik) dan melakukan
pengosongan berdasarkan refleks yang tak terkendali. Kandung kemih yang
kurang aktif biasanya terjadi akibat gangguan pada saraf lokal yang mempersarafi
kandung kemih.
Penyebab tersering adalah cacat bawaan pada medula spinalis (misalnya
spina bifida atau mielomeningokel). Suatu kandung kemih yang terlalu aktif
biasanya terjadi akibat adanya gangguan pada pengendalian kandung kemih yang
normal oleh medula spinalis dan otak. Penyebabnya adalah cedera atau suatu
penyakit, misalnya sklerosis multipel pada medula spinalis yang juga
menyebabkan kelumpuhan tungkai (paraplegia) atau kelumpuhan tungkai dan
lengan (kuadripelegia). Cedera ini seringkali pada awalnya menyebabkan kandung
kemih menjadi kaku selama beberapa hari, minggu atau bulan (fase syok).
Selanjutnya kandung kemih menjadi overaktif dan melakukan pengosongan yang
tak terkendali (Engram, 1998).
12 Ikk 5A
2.3.3 Patofisiologi
Jika masalah datang dari sistem saraf pusat, maka beberapa siklus akan
terpengaruhi. Beberapa bagian sistem saraf yang mungkin terlibat diantaranya
otak, pons, medula spinalis dan saraf perifer. Sebuah kondisi disfungsi
menghasilkan gejala yang berbeda, berkisar antara retensi urin akut hingga
overaktivitas kandung kemih atau kombinasi keduanya. Ketidaklancaran urinaria
berasal dari disfungsi kandung kemih, spinkter atau keduanya. Overaktivitas
kandung kemih (spastic bladder) berhubungan dengan gejala ketidak lancaran
yang mendesak, sedangkan spincter underaktivitas (decreased resistance)
menghasilkan gejala stress incontinence.
a. Lesi otak
Lesi otak diatas pons merusak pusat kontrol, menyebabkan hilangnya
kontrol ekskresi secara keseluruhan. Refleks ekskresi traktus urinarius
bagian bawah refleks ekskresi primitif tetap utuh. Beberapa individu
mengeluhkan ketidakmampuan mengendalikan ekskresi yang parah, atau
spastic kandung kemih. Pengosongan kandung kemih yang terlalu cepat atu
terlalu sering, dengan kuantitas yang rendah, dan pengisian urin di kandung
kemih menjadi sulit. Biasanya, orang dengan masalah ini berlari cepat ke
kamar mandi namun urin keluar sebelum mereka mencapai tujuan. Mereka
mungkin sering terbangun di malam hari untuk berkemih. Contoh lesi
otaknya strok, tumor otak, parkinson. Hidrosepalus, cerebral palsy, dan Shy-
Drager syndrome juga dapat menyebabkan hal tersebut.
b. Lesi medula spinalis
Penyakit atau cidera medula spinalis diantara pons dan sakral menghasilkan
spastic bladder atau overactive bladder. Orang dengan paraplegic atau
quadriplegic memiliki lower extremity spasticity. Awalnya, setelah trauma
medula spinalis, individu masuk kedalam fase shock spinal dimana sistem
saraf berhenti. Setelah 6-12 minggu, sistem saraf aktif kembali. Ketika
sistem saraf aktif kembali, menyebabkan hiperstimulasi organ yang terlibat.
c. Cedera sacral
13 Ikk 5A
Cedera pada medula sakrum dan akar saraf yang keluar dari sakrum
mungkin mencegah terjadinya pengosongan kandung kemih. Jika terjadi
sensory neurogenik bladder, pasien tidak akan tau kapan kandung kemihnya
penuh. Pada kasus motor neuriogenik bladder , inidividu mngkin merasakan
kandung kemih penuh, namun otot detrusor tidak bereaksi, hal ini disebut
detrusor arefleksia.
d. Cidera saraf perifer
Diabetes mellitus dan AIDS adalah 2 kondisi penyebab periferal neuropaty
yang menyebabkan rentensio urin. Penyakit ini merusak saraf kandung
kemih, distensi tidak nyeri dari kandung kemih. Pasien dengan diabetes
kronis kehilangan sensasi dari kandung kemih, sebelum kandung kemih
melakukan dekompensata. Serupa dengan cedera pada sakrum, pasien akan
sulit untuk berkemih, mereka mungkin mempunyai hypocontractile bladder.
2.3.4 Tanda dan Gejala
1. Nyeri
Gejalanya bervariasi berdasarkan apakah kandung kemih menjadi kurang
aktif atau overaktif. Suatu kandung kemih yang kurang aktif biasanya tidak
kosong dan meregang sampai menjadi sangat besar. Pembesaran ini
biasanya tidak menimbulkan nyeri karena peregangan terjadi secara
perlahan dan karena kandung kemih memiliki sedikit saraf atau tidak
memiliki saraf lokal.
2. Pada beberapa kasus, kandung kemih tetap besar tetapi secara terus menerus
menyebabkan kebocoran sejumlah air kemih.
3. Infeksi
Sering terjadi infeksi kandung kemih karena sisa air kemih di dalam
kandung kemih memungkinkan pertumbuhan bakteri. Bisa terbentuk batu
kandung kemih, terutama pada penderita yang mengalami infeksi kandung
kemih menahun yang memerlukan bantuan kateter terus menerus. Gejala
dari infeksi kandung kemih bervariasi, tergantung kepada jumlah saraf yang
masih berfungsi.
14 Ikk 5A
4. Suatu kandung kemih yang overaktif bisa melakukan pengisian dan
pengosongan tanpa kendali karena berkontraksi dan mengendur tanpa
disadari. Pada kandung kemih yang kurang aktif dan yang overaktif, tekanan
dan arus balik air kemih dari kandung kemih ke ureter bisa menyebabkan
kerusakan ginjal. Pada penderita yang mengalami cedera medula spinalis,
kontraksi dan pengenduran kandung kemih tidak terkoordinasi, sehingga
tekanan di dalam kandung kemih tetap tinggi dan ginjal tidak dapat
mengalirkan air kemih.
2.3.5 Pengobatan
Adapun pengbatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Kateterisasi
b. Meningkatkan intake cairan
c. Pembedahan merupakan cara terakhir
Pada kandung kemih yang kurang aktif, jika penyebabnya adalah cedera
saraf, maka dipasang kateter melalui uretra untuk mengosongkan kandung kemih,
baik secara berkesinambungan maupun untuk sementara waktu. Kateter dipasang
sesegera mungkin agar otot kandung kemih tidak mengalami kerusakan karena
peregangan yang berlebihan dan untuk mencegah infeksi kandung kemih.
Pemasangan kateter secara permanen lebih sedikit menimbulkan masalah
pada wanita dibandingkan dengan pria. Pada pria, kateter bisa menyebabkan
peradangan uretra dan jaringan di sekitarnya. Pada kandung kemih overaktif, jika
kejang pada saluran keluar kandung kemih menyebabkan pengosongan yang tidak
sempurna, maka bisa dipasang kateter. Pada pria lumpuh yang tidak dapat
memasang kateternya sendiri, dilakukan pemotongan sfingter (otot seperti cincin
yang melingkari lubang) di saluran keluar kandung kemih sehingga proses
pengosongan bisa terus berlangsung dan dipasang penampung air kemih. Bisa
diberikan rangsangan listrik pada kandung kemih, saraf yang mengendalikan
kandung kemih atau medula spinalis; supaya kandung kemih berkontraksi. Tetapi
hal ini masih dalam taraf percobaan.
15 Ikk 5A
Pemberian obat-obatan bisa memperbaiki fungsi penampungan air kemih
oleh kandung kemih. Pengendalian kandung kemih overaktif biasanya bisa
diperbaiki dengan obat yang mengendurkan kandung kemih, seperti obat
anticholinergik. Tetapi obat ini bisa menimbulkan efek samping berupa mulut
kering dan sembelit. Kadang dilakukan pembedahan untuk mengalirkan air kemih
ke suatu lubang eksternal (ostomi) yang dibuat di dinding perut atau untuk
menambah ukuran kandung kemih. Air kemih dari ginjal dialirkan ke permukaan
tubuh dengan mengambil sebagian kecil usus halus, yang dihubungkan dengan
ureter dan disambungkan ke ostomi; air kemih dikumpulkan dalam suatu kantung.
Prosedur ini disebut ileal loop.
Penambahan ukuran kandung kemih dilakukan dengan menggunakan
sebagian usus dalam suatu prosedur yang disebut sistoplasti augmentasi disertai
pemasangan kateter oleh penderita sendiri. Sebagai contoh, sautau hubungan
dibuat diantara kandung kemih dan lubang di kulit (verikostomi) sebagai tindakan
sementara sampai anak cukup dewasa untuk menjalani pembedahan definitif.
Tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya
batu ginjal. Dilakukan pengawasan ketat terhadap fungsi ginjal. Jika terjadi
infeksi, segera diberikan antibiotik. Dianjurkan untuk minum air putih sebanyak
6-8 gelas/hari.
2.4 Kandung Kemih Flaccid dan Spastic
2.4.1 Definisi Kandung Kemih Flaksid dan Spastik
Adapun menurut Muttaqin (2008) adalah sebagai berikut.
a. Kandung Kemih Flaksid
Adalah suatu keadaan dimana kandung kemih mengalami kelayuan
sehingga tidak mampu menyimpan urin.
b. Kandung Kemih Spastik
Adalah suatu keadaan dimana kandung kemih mengalami kekakuan
sehingga tidak mampu mengosongkan kandung kemih.
16 Ikk 5A
2.4.2 Perbedaan Kandung Kemih Spastik dan Flaksid
No Spastik Flaksid
1 Kaku Layuh
2 Reflek fisiologis Reflex fisiologis
3 Reflex patologis (+) Reflex patologis (-)
4 Tidak ditemukan atrofi,
kecuali sudah berlangsung
lama
Atrofi cepat terjadi
5 Tonus otot meningkat Tonus normal atau menurun
Sumber: Heldayana 2010
2.4.3 Etiologi
Secara umum, etiologi paralisis menurut Heldayana (2010) disebabkan oleh:
a. Perubahan pada tonus otot
b. Guillain-Barre syndrome (GBS)
c. Myasthenia gravis
d. poliomyelitis paralitik dan myelitis transversal
e. etiologi yang jarang terjadi berupa neuritis traumatis, ensefalitis, meningitis
dan tumor
f. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa virus West Nile juga dapat
menyebabkan paralisis flaksid.
2.4.4 Manifestasi klinis sindrom paralisis
Adapunmanifestasi klinis menurut Heldayana (2010) adalah sebagai berikut.
a. Spastic
1. Penurunan kekuatan otot dan gangguan kontrol motorik halus
2. Peningkatan tonus spastik
3. Refleks regang yang berlebihan secara abnormal, dapat disertai oleh
klonus
4. Hipoaktivitas atau tidak adanya refleks eksteroseptif (refleks
abdominal, refleks plantar, dan refleks kremaster).
17 Ikk 5A
5. Refleks patologis (refleks Babinski, Oppenheim, Gordon, dan
Mendel-Bekhterev, serta diinhibisi respons hindar (flight), dan
6. Pada awalnya massa otot tetap baik.
b. Flaksid
1. Penurunan kekuatan kasar
2. Hipotonia atau atonia otot
3. Hiporefleksia atau arefleksia
4. Atrofi otot
4.2.1 Penatalaksanaan
1. Pengggunaan kateter sangat efektif untuk mengatasi gangguan kandung
kemih (Muttaqin, 2008 )
2. Untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih, dapat diberika asam
askorbat unttuk mengasamkan urin, sehingga kemungkinan bakteri
untuk tumbuh sangat kecil.
3. Selain itu pemberian antibiotic juga dibutuhkan.
4.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai berikut :
1. Inkonteninsia Urine: stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan
struktur dasar penyokongnya.
2. Gangguan konsep diri berhubungan dengan penurunan kontrol miksi.
3. Resiko infeksi b.d inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.
4. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine.
5. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat
mengompol di depan orang lain atau takut bau urine.
6. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik yang berhubungan
dengan ketidakcukupan pengetahuan tenttang penyebab inkontinen,
penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan gejala
komplikasi, serta sumbe komonitas.