Hal. 1 Hal. 3 Stunting di

8
Vol. 01, Ed. 20, November 2021 Dana Abadi Pesantren: Keberpihakan Pemerintah bagi Pendidikan di Pesantren Hal. 1 Tantangan dan Upaya Penurunan Angka Stunting di Masa Pandemi Hal. 3 Meninjau Permasalahan Penyelenggaraan Program Indonesia Pintar (PIP) Hal. 5

Transcript of Hal. 1 Hal. 3 Stunting di

Page 1: Hal. 1 Hal. 3 Stunting di

Vol. 01, Ed. 20, November 2021

Dana Abadi Pesantren: Keberpihakan Pemerintah bagi Pendidikan di Pesantren

Hal. 1

Tantangan dan Upaya Penurunan Angka Stunting di Masa Pandemi

Hal. 3

Meninjau Permasalahan Penyelenggaraan Program Indonesia Pintar (PIP)

Hal. 5

Page 2: Hal. 1 Hal. 3 Stunting di

Penanggung Jawab

Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.

Pemimpin Redaksi

Slamet Widodo

Redaktur

Marihot Nasution * Martha Carolina

Savitri Wulandari * Mutiara Shinta Andini

Editor

Marihot Nasution

Sekretariat

Husnul Latifah * Musbiyatun

Memed Sobari * Hilda Piska Randini

Budget Issue Brief Kesejahteraan Rakyat ini diterbitkan oleh Pusat Kajian Anggaran, Badan

Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan di

terbitan ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan

resmi Badan Keahlian DPR RI.

Dana Abadi Pesantren: Keberpihakan Pemerintah bagi Pendidikan di Pesantren ................ 1

Tantangan dan Upaya Penurunan Angka Stunting di Masa Pandemi ......................................... 3

Meninjau Permasalahan Penyelenggaraan Program Indonesia Pintar (PIP) ........................... 5

Page 3: Hal. 1 Hal. 3 Stunting di

www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran

1 Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed 20, November 2021 ISSN 2775-7994

Komisi VIII KESEJAHTERAAN RAKYAT

Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 82

Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren

(Perpres 82/2021) sebagai salah satu bentuk komitmen kuat

pemerintah dalam rangka menunjang fungsi pendidikan dan

mendukung pemberdayaan pesantren di Indonesia, Perpres

tersebut merupakan aturan lanjutan dari UU Nomor 18 Tahun 2019

tentang Pesantren yaitu pasal 49 ayat 2 yang juga telah

mendapatkan dukungan terbuka dari PB Nahdlatul Ulama, Partai

Kebangkitan Bangsa, PPP dan Partai Solidaritas Indonesia.

Munculnya Perpres Nomor 82/2021 yang mencantumkan

Dana Abadi Pesantren sebagai salah satu sumber pendanaan

bertujuan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan

pesantren bagi generasi berikutnya sebagai bentuk

pertanggungjawaban antargenerasi. Pemanfaatan Dana Abadi

Pesantren dialokasikan berdasarkan prioritas dari hasil

pengembangan dana abadi pendidikan, dimana pemanfaatan dana

abadi pesantren dimaksudkan untuk penyelenggaraan fungsi

pendidikan yang dijalankan pesantren. Hal ini diinisiasi pemerintah

sebagai salah satu bentuk perluasan manfaat dari hasil kelolaan

Dana Abadi Pendidikan yang saat ini telah mencapai sekitar Rp90,69

triliun. Selain itu, dengan adanya perpres ini dapat dimaksimalkan

untuk memajukan dakwah yang moderat di kalangan pesantren

seluruh Indonesia.

Dalam perpres tersebut disampaikan pula bahwa dana abadi

pesantren merupakan salah satu dari 5 sumber pendanaan

penyelenggaraan pesantren (Pasal 4 Perpres 82/2021). Sumber lain

dari pendanaan tersebut antara lain dana dari masyarakat,

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan sumber lain yang sah dan

tidak mengikat. Peruntukan pendanaan penyelenggaraan pesantren

tersebut adalah untuk pengembangan fungsi pesantren yang

meliputi tiga hal, yaitu fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi

pemberdayaan masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 3

Perpres 82/2021. Selain itu bentuk pendanaan penyelenggaraan

• Munculnya Perpres Nomor 82/2021

yang mencantumkan Dana Abadi

Pesantren sebagai salah satu sumber

pendanaan bertujuan untuk

menjamin keberlangsungan program

pendidikan pesantren bagi generasi

berikutnya sebagai bentuk

pertanggungjawaban antargenerasi.

• Dana Abadi Pesantren merupakan

salah satu dari 5 sumber pendanaan

penyelenggaraan pesantren (Pasal 4

Perpres 82/2021). Sumber lain dari

pendanaan tersebut antara lain dana

dari masyarakat, Pemerintah Pusat,

Pemerintah Daerah dan sumber lain

yang sah dan tidak mengikat.

• Pemanfaatan Dana Abadi Pesantren

dialokasikan berdasarkan prioritas

dari hasil pengembangan dana abadi

pendidikan, utamanya digunakan

untuk penyelenggaraan fungsi

pendidikan pesantren.

HIGHLIGHTS

PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI

Penanggung Jawab Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Slamet Widodo · Marihot Nasution · Martha Carolina · Mutiara Shinta Andini · Savitri Wulandari Penulis Martha Carolina · Arjun Rizky Mahendra Nazhid

Dana Abadi Pesantren: Keberpihakan Pemerintah bagi

Pendidikan di Pesantren

Page 4: Hal. 1 Hal. 3 Stunting di

2 Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed 20, November 2021 ISSN 2775-7994

www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran

pesantren dapat berupa tiga hal, yaitu uang, barang dan jasa sebagaimana diatur dalam pasal 5 Perpres

82/2021.

Pemanfaatan dana abadi pesantren dialokasikan berdasarkan prioritas dari hasil

pengembangan dana abadi pendidikan, utamanya digunakan untuk penyelenggaraan fungsi pendidikan

pesantren. Perlu diketahui bahwa pemerintah telah menyiapkan anggaran untuk pengembangan

kualitas generasi muda masa kini maupun masa depan melalui dana abadi pendidikan yang kini

mencapai Rp81,7 triliun. Jika ditambah dari dana abadi penelitian Rp4,99 triliun, dana abadi

kebudayaan Rp1 triliun, serta dana abadi perguruan tinggi Rp3 triliun total anggaran itu sudah

mencapai Rp90,69 triliun. Angka tersebut merupakan hasil penyisihan dana APBN dan hasil kelolaan

yang dimulai sejak 2010. Dana abadi tersebut dikelola Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP).

Meskipun Perpres 82/2021 sampai saat ini sudah disahkan namun pihak Kementerian Agama

selaku pengelola dana abadi pensantren perlu melakukan koordinasi bersama Kementerian Keuangan

(Kemenkeu) baik yang terkait mekanisme alokasi anggaran maupun prioritas program yang dapat

didanai oleh dana abadi pesantren ini. Rabithah Ma'ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

(RMI PBNU) mengusulkan agar alokasi untuk pesantren setidaknya 20 persen dari dana abadi

pendidikan. Hal ini tentunya merupakan hal yang perlu dikoordinasikan dengan Kemenkeu dengan

didukung kajian yang relavan terkait urgensi alokasi dana tersebut.

Dalam hal pemantauan dan evaluasi, Kementerian Agama merupakan kementerian teknis yang

melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap sumber dan pemanfaatan pendanaan penyelenggaraan

pesantren, termasuk dana abadi pesantren. Pemantauan dan evaluasi tersebut dilakukan secara

berkala dan sewaktu-waktu dapat dilakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dan

pemerintah daerah (Pasal 25 ayat 1 Perpres 82/2021).

Tantangan ke depan yang dihadapi pihak pesantren dalam hal adanya dana abadi pesantren

adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban dana abadi pesantren yang akuntabel. Hal ini mengingat

keberpihakan anggaran negara bagi pesantren masih minim maka dengan hadirnya dana abadi

pesantren dan juga dana APBN dan APBD yang menjadi sumber pendanaan penyelenggaraan pesantren

diharapkan pihak pesantren mampu menggunakan dana tersebut secara akuntabel dan transparan

(News.detik.com, 2021). Beberapa pihak juga menyampaikan di media perihal kehawatirannya atas

alokasi dana abadi pesantren jika dibagikan ke pesantren terutama begi pesantren yang berpaham anti-

NKRI. Dari kekhawatiran tersebut muncul himbauan agar dana abadi pesantren tidak disalurkan pada

pesantren yang terindikasi berpaham anti-NKRI, melainkan dana abadi tersebut harus disalurkan

kepada pesantren yang memang membutuhkan. Selain itu, diharapkan agar tidak terdapat motif politik

dari pengucuran dana abadi pesantren dikarenakan dampak kultural dan tradisi baru dalam sistem

pesantren yaitu mekanisme berpayung hukum yang menghubungkan antara pesantren dengan negara.

Penyaluran dana abadi pesantren ini juga diharapkan agar bebas dari praktik pungutan liar/pungli dan

harus bersih dari unsur suap atau risywah (Timesindonesia.co.id, 2021).

Page 5: Hal. 1 Hal. 3 Stunting di

www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran

1 Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed 20, November 2021 ISSN 2775-7994

Komisi IX KESEJAHTERAAN RAKYAT

Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun

2020-2024 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, pemerintah menargetkan prevalensi stunting sebesar 14 persen pada tahun 2024, untuk mencapai target tersebut diperlukan reorientasi program yang lebih nyata dan terarah dengan melakukan penekanan yang spesifik pada pemenuhan nutrisi, baik nutrisi yang dibutuhkan ibu hamil, anak-anak, dan bayi.

Perlu diketahui capaian prevalensi stunting di Indonesia sejak tahun 2013 hingga tahun 2019 berfluktuatif dengan tren positif (menurun). Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa dalam periode 2013-2019 terjadi penurunan prevalensi stunting sekitar 3 persen dari 30,8 persen tahun 2018 (Riskesdas, 2018) menjadi 27,67 persen tahun 2019 (SSGBI, 2019).

Capaian Prevalensi Stunting Tahun 2013-2019

Sumber: Survei Status Gizi Balita Indonesia (2021)

Berdasarkan dari data di atas, tujuan dari penulisan artikel ini untuk mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi pemerintah dalam menurunkan prevalensi stunting pada masa pandemi Covid-19, dan untuk mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah dalam menurunkan angka prevalensi stunting, serta mengetahui inovasi-inovasi yang dilakukan pemerintah dalam melaksanakan percepatan penurunan angka prevalensi stunting guna mencapai target yang telah ditentukan. Tantangan Penurunan Stunting

Terdapat beberapa tantangan dalam melaksanakan program percepatan penurunan stunting, di antaranya adalah pelaksanaan intervensi gizi untuk penurunan stunting di daerah masih banyak yang belum terintegrasi dan konvergen (terkoordinir dan terpadu) dengan pusat, dan masih terdapat kegiatan-kegiatan yang dilakukan tidak direncanakan secara tepat dan pelaksanaannya pun tidak terorganisir, yang mengakibatkan program penurunan prevalensi

37.20

28.90 29.00 27.50 29.60 30.8027.67

2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Capaian Prevalensi Stunting (%)

• Tahun 2019 capaian prevalensi stunting di Indonesia berdasarkan survei SSGBI tercatat 27,67 persen, angka ini masih jauh dari target pemerintah sebesar 14 persen pada tahun 2024.

• Pelaksanaan intervensi gizi untuk penurunan stunting di daerah masih banyak yang belum terintegrasi dan konvergen (terkoordinir dan terpadu).

• Meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran dikhawatirkan akan meningkatkan stunting.

• Upaya pemerintah dalam menurunkan angka prevalensi stunting dengan melaksanakan 8 aksi konvergensi, aksi konvergensi ini dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi program/kegiatan.

HIGHLIGHTS

PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI

Penanggung Jawab Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Slamet Widodo · Marihot Nasution · Martha Carolina · Mutiara Shinta Andini · Savitri Wulandari Penulis Marihot Nasution · Firly Nur Agustiani

Tantangan dan Upaya Penurunan Angka Stunting di Masa

Pandemi

Page 6: Hal. 1 Hal. 3 Stunting di

2 Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed 20, November 2021 ISSN 2775-7994

www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran

stunting di daerah tidak akan bisa mencapai maksimal, karena pelaksanaannya tidak fokus dan tidak tepat sasaran (Karnavian, Kemendagri, 2021).

Tantangan penurunan stunting saat ini menjadi lebih besar lagi akibat adanya pandemi Covid-19 yang sedang terjadi saat ini. Pertama, pandemi Covid-19 dikhawatirkan akan meningkatkan angka stunting, sebagai dampak dari meningkatnya angka pengangguran dan angka kemiskinan selama pandemi Covid-19. Kondisi ini dikhawatirkan akan menurunkan konsumsi nutrisi pada kelompok ibu hamil, anak-anak, dan bayi yang secara tidak langsung akan menimbulkan risiko kejadian berat badan bayi rendah disertai juga tanda-tanda pertumbuhan secara fisik organnya juga rendah (Suprapto, Kemenko PMK, 2021). Kedua, adanya pandemi Covid-19 mengakibatkan banyaknya perubahan perilaku di masyarakat, salah satunya perubahan perilaku hidup bersih dan sehat, baik dalam langkah promotif maupun preventif. Dalam perubahan perilaku di masyarakat ini tidaklah mudah, yang mana diperlukan edukasi dan penyesuaian serta dalam pelaksanannya pun dibutuhkan waktu, kontinuitas, dan konsisten (Sadikin, Kemenkes, 2021). Perubahan perilaku yang dapat memengaruhi stunting ini, diperkuat dengan adanya 29 persen anak-anak dari kelompok menengah ke atas mengalami stunting (Mursalin, TP2AK, 2021). Ketiga, kegiatan program pencegahan stunting di masyarakat sempat terhenti karena petugas menerapkan pembatasan jarak dan aktivitas (Mursalin, TP2AK, 2021).

Dari Kementerian Kesehatan sendiri menyampaikan dalam laporan kinerja tahun 2020-nya mengakui beberapa tantangan yang dihadapi dalam penanganan stunting di masa pandemi diantaranya: 1) terjadinya gangguan layanan gizi terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dan posyandu karena adanya pembatasan mobilitas masyarakat untuk mencegah penularan virus Covid-19; 2) dalam menjalankan layanan kesehatan di masa pandemi diketahui bahwa hanya 19,2 persen puskesmas yang tetap melaksanakan Posyandu, sementara pelaksanaan pemantauan pertumbuhan bayi dan balita dilakukan di Posyandu tersebut. Upaya Percepatan Penurunan Stunting

Upaya pemerintah dalam percepatan penurunan stunting dengan melaksanakan 8 aksi konvergensi yang terdiri dari a) analisis situasi; b) rembug stunting; c) peran walikota/bupati, d) peran desa/kelurahan; e) pembinaan kader pembangunan manusia; f) sistem manajemen data; g) pengukuran dan publikasi data stunting; dan h) reviu kinerja tahunan. Aksi konvergensi ini dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi program/kegiatan. Selain dari 8 aksi konvergensi di atas, upaya yang sudah dilakukan pemerintah antara lain: melakukan intervensi spesifik terdiri dari pemberian makanan pendamping ASI; makanan tambahan ibu hamil dan balita kurus; imunisasi; konseling dan pendidikan gizi, dan intervensi sensitif terdiri dari: penyediaan air bersih; sanitasi; perlindungan sosial; stimulasi dini; PAUD; dan bantuan pangan.

Upaya lain yang dilakukan dalam menurunkan angka prevalensi stunting yang disebabkan adanya pembatasan jarak dan aktivitas, tenaga kesehatan dari Posyandu masing-masing daerah melakukan pemantauan ibu hamil dan anak balita. Upaya ini dilakukan di lingkungan RT dengan melakukan pemantauan melalui grup WhatsApp dengan sasaran bayi, balita dan ibu hamil, serta melakukan Posyandu keliling (Posling) langsung ke rumah sasaran secara door to door untuk menyambangi setiap rumah bayi, balita, dan ibu hamil. Kegiatan ini menjadi rutinitas para kader-kader Posyandu selama pandemi Covid-19, para kader tersebut mendatangi rumah-rumah sasaran didampingi tim dari Puskesmas dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Melihat adanya tantangan dan kendala yang dihadapi, serta upaya yang dilakukan pemerintah dalam menurunkan prevalensi stunting, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya yang lebih komprehensif dalam menurunkan prevalensi stunting seperti: ketersediaan tenaga kesehatan dan tim penyuluh untuk menyosialisasikan dan mengedukasi langkah-langkah yang harus dilakukan dalam percepatan penurunan stunting. Dibutuhkan pula kerja keras dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa serta peran dan dukungan masyarakat untuk ikut dalam program penurunan stunting, mengingat hingga saat ini pandemi Covid-19 masih berlangsung, dan pandemi Covid-19 ini merupakan bagian yang menghambat survei prevalensi stunting.

Page 7: Hal. 1 Hal. 3 Stunting di

www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran

1 Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed 20, November 2021 ISSN 2775-7994

Komisi X KESEJAHTERAAN RAKYAT

*Edisi Khusus: Hasil Karya Magang di Rumah Rakyat*

Selaras dengan amanat dari Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan Pendidikan. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, juga menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan wajib untuk menjamin pendidikan warga Indonesia serta pelaksanaan wajib belajar selama 12 tahun, baik jalur pendidikan formal, non-formal, dan informal untuk anak usia sekolah secara umum maupun berkebutuhan khusus. Namun wajib belajar 12 tahun belum dijalankan secara optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari data tingkat putus sekolah jenjang Sekolah Dasar/SD, Sekolah Menengah Pertama/SMP, Sekolah Menengah Atas/SMA, hingga Sekolah Menengah Kejuruan/SMK selama tahun ajaran 2019/2020 dan 2020/2021 masih terbilang tinggi walaupun mengalami penurunan yang cukup signifikan.

Sumber: statistik.data.kemdikbud.go.id/

Pemerintah sejak tahun 2014 meluncurkan Program Indonesia Pintar (PIP) yang diwujudkan dalam bentuk Kartu Indonesia Pintar (KIP). Program ini menyasar masyarakat usia sekolah, mulai 6 hingga 21 tahun yang berasal dari keluarga tidak mampu. Tujuan PIP adalah untuk membantu anak-anak usia sekolah dari keluarga tidak mampu agar dapat menyelesaikan pendidikannya, baik melalui jalur formal, SD hingga SMA/SMK, maupun jalur non formal yaitu Paket A, Paket C dan pendidikan khusus. PIP merupakan bantuan tunai pendidikan untuk anak usia sekolah (usia 6 – 21 tahun) yang berasal dari keluarga miskin, rentan miskin yang memiliki Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), peserta Program Keluarga Harapan (PKH), yatim piatu, penyandang disabilitas, dan korban bencana alam/musibah dan dijalankan dengan menyalurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Pada tahun 2021, Kemendikbud menargetkan penerima KIP Sekolah sebanyak

• Perencanaan, pendataan, sosialisasi,

dan edukasi memegang peranan

penting dalam pelaksanaan Program

Indonesia Pintar (PIP).

• Pencairan anggaran PIP hingga saat

ini sebesar 97,01 persen dan masih

dalam tahap proses pencairan.

• Ketidaktepatan sasaran ini juga

disebabkan belum ada data yang

padu terkait keluarga miskin. Jadi

masih banyak masyarakat yang

masih belum mendapatkan haknya

secara merata.

• Perlunya kerjasama antara

Kemendikbud dengan lembaga

lainnya seperti Kementerian Sosial,

Tim Nasional Percepatan

Penanggulangan Kemiskinan

(TNP2K), dan Badan Pusat Statistik

(BPS) untuk sinkronisasi data

penerima PIP.

HIGHLIGHTS

PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI

Penanggung Jawab Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Slamet Widodo · Marihot Nasution · Martha Carolina · Mutiara Shinta Andini · Savitri Wulandari Penulis Savitri Wulandari · Iranisa · Eugenius Evan · Gina Zahira · Firja Fauziah · Akbar Mahdafi · Syahfira Angela Nurhaliza

Meninjau Permasalahan Penyelenggaraan Program

Indonesia Pintar (PIP)

Page 8: Hal. 1 Hal. 3 Stunting di

2 Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed 20, November 2021 ISSN 2775-7994

www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran

17.927.308 siswa dengan total anggaran mencapai Rp9,6 triliun. Namun, hingga saat ini anggaran yang direalisasikan baru sebesar Rp5,5 triliun dan dana yang baru dicairkan ke dalam rekening peserta sebesar Rp5,3 triliun atau 97.01 persen. Meskipun program ini bermanfaat bagi keluarga tidak mampu, tetapi dalam pengelolaannya masih dijumpai beberapa hambatan/kekurangan. Beberapa masalah tersebut antara lain terkait buruknya pendataan penerima bantuan, ketidakjelasan koordinasi antar lembaga, dan kurangnya sosialisasi serta edukasi tentang mekanisme pencairan bantuan dari program.

Berdasarkan hasil audit tahun anggaran 2018 hingga semester I 2020 oleh Badan Pemeriksa Keuangan/BPK ditemukan bahwa perencanaan PIP belum dilaksanakan secara memadai yang mengakibatkan pendataan PIP yang berdasarkan Nomor Induk Siswa Nasional dan Nomor Induk Kependudukan belum dapat digunakan sebagai acuan untuk pemberian bantuan karena tidak dapat menerangkan status ekonominya sehingga PIP seringkali tidak tepat sasaran karena diberikan kepada siswa yang tidak layak/tidak diusulkan menerima. Pendataan yang dilakukan secara tidak transparan merupakan salah satu permasalahan utama PIP. Dalam mengalokasikan dana bantuan pendidikan nasional, pemerintah selalu mengacu pada Dapodik. Namun, data tersebut mengandung banyak permasalahan. Menurut Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, salah satu permasalahan adalah adanya pendataan yang tidak dilakukan secara partisipatif. Kemendikbud memperoleh data dari Dapodik langsung melalui Dinas Pendidikan dan sekolah. Akan tetapi, data tersebut tidak dapat menjamin kebenaran status ekonomi siswa saat ini. Misalnya, siswa yang seharusnya tergolong tidak mampu tergolong kelompok yang mampu di sekolah sehingga pendampingan PIP tidak mengarah pada personil terkait. Di sisi lain, pihak sekolah juga tidak melakukan pemutakhiran data dan tidak langsung meninjau status ekonomi masing-masing siswa. Kerjasama antar lembaga pelaksana PIP yang juga belum terintegrasi dengan baik sehingga menyebabkan setiap lembaga memiliki data status ekonomi warga yang berbeda-beda yang mengakibatkan masih terdapat banyak keluhan terhadap ketidak tepat sasaran penerima PIP. Salah

satu penyebab lain masih dijumpainya ketidaktepatan sasaran penerima KIP adalah kurangnya sosialisasi dari pemangku kepentingan terkait dengan siapa yang seharusnya berhak mendapatkan KIP dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam prosedur pengajuannya. Kurangnya edukasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh pemangku

kepentingan terkait, menyebabkan masih adanya calon penerima PIP yang seharusnya mendapatkan haknya, tidak mendapatkan haknya dikarenakan masih belum adanya panduan, maupun sosialisasi terkait aktivasi tata cara pendanaan dari program tersebut, yang menyebabkan dana yang seharusnya sudah dicairkan guna kepentingan program ini, kembali kepada kas negara kembali.

Pemerintah perlu mengatasi berbagai permasalahan dalam hal pengelolaan program ini di masa mendatang. Oleh karenanya, diperlukan sistem yang dapat mengakomodir alur koordinasi untuk setiap lembaga pelaksana, terutama untuk kerjasama antara Kemendikbud, Kementerian Sosial, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dan Badan Pusat Statistik, serta memadukan PIP dengan Program Keluarga Harapan (PKH) agar data yang digunakan relevan dengan kondisi ekonomi penerima PIP. Menyatukan sistem PIP dengan PKH tidak hanya membantu pemerintah dalam permasalahan pendataan tetapi juga dapat memangkas anggaran pemerintah terhadap sistem kedua program tersebut dan mengalihkannya untuk menambah besaran jumlah yang diterima peserta program. Pemerintah juga perlu meningkatkan kerjasama dengan dinas terkait pada level provinsi, kabupaten, kota, dan tiap-tiap sekolah agar kegiatan sosialisasi PIP dapat terlaksana secara merata sehingga masyarakat memahami prosedur pengajuan maupun pencairan dana PIP.

Sumber: pip.kemdikbud.go.id/nominasi/nasional