Hakekat Manusia Menurut Psikologi Kontemporer dan Psikologi Islam
-
Upload
lailaindralestari -
Category
Documents
-
view
90 -
download
14
Transcript of Hakekat Manusia Menurut Psikologi Kontemporer dan Psikologi Islam
BAB IV
HAKEKAT MANUSIA DALAM PERSPEKTIF
PSIKOLOGI KONTEMPORER DAN PSIKOLOGI ISLAM
Mengenai apa sebetulnya inti, esensi, hakikat atau struktur dasar manusia itu, ternyata
banyak mengundang jawaban yang beragam dari hampir setiap filsuf, bahkan mereka yang beraliran
sama sekalipun (Abidin, 1962).
Psikologi sebagai suatu ilmu, misalnya lebih menekankan pada aspek psikis dan fisiologis
manusia sebagai suatu organisme, dan tidak (atau enggan) bersentuhan dengan pengalaman-
pengalaman subjektif, spiritual, dan eksistensial (Abidin, 1962)
Di dalam ilmu psikologi terdapat pendekatan-pendekatan psikologi, seperti pendekatan
kognitif, behavioristik, psikoanalitik, dst. Pendekatan-pendekatan tersebut menyoroti aspek-aspek
tertentu dari manusia, seperti aspek kognisi, emosi, dan psikomotorik (Abidin, 1962).
Secara eksistensial, manusia adalah rohani–jasmani. Oleh karena itu pengertian yang
merupakan bagian manusia secara kodrati, tersusun sebagai pengertian rohani-jasmani, walaupun
yan nampak ke permukaan adalah jasmani dalam bentuk apa yang kita sebut pancaindera. Kesatuan
yang relatif lebih sempurna barulah dicapai jika hidup manusia diharmoniskan, diintegrasikan oleh
dan dalam kepribadian yang susila (Huky, 1982).
Menurut John W.M. Verhaar (1980) pada umumnya diantara pandangan filosifis tentang
manusia dapat dibedakan menjadi dua hal berikut:
Manusia dipandang sebagai "substansi” ; dan
Manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai “identitas” nya sendiri-sendiri; dan
identitas tersebut dibedakan lagi atas:
- Identitas sebagai “keakuan”; dan
- Identitas sebagai “kedirian”.
Akan tetapi sepanjang sejarah filsafat Barat hanya identitas sebagai “keakuan” saja yang sering
dibahas, dan pokok itu pun baru diulas sejak Rene Descartes. Sebaliknya, identitas sebagai “kedirian”
baru mulai dikenal di Barat dengan munculnya psikologi “Gestalt” yang disebut “Terapi Gestalt”
pada tahun 50-ab dan 60-an abad ke-20 ini, meskipun dalam Budhisme yaitu dalam aliran yang
sudah lama dikenal sebagai “Zen”, pendekatan secara “kedirian” itu sudah ribuan tahun umumnya.
Untuk lebih jelasnya bagaimana manusia dipandang oleh psikologi, akan mudah jika kita
membahasnya berdasarkan pandangan aliran-aliran yang berkembang dalam psikologi.
Menurut Hanna Djumhana Bastaman (dalam Ancok, 2001) sampai dengan penghujung abad XX,
yang terdapat empat aliran besar dalam psikologi, yaitu:
- Psikoanalisis (psychoanalysis)
- Psikologi perilaku (behaviorisme psychology)
- Psikolgi humanistik (humanistic psychology)
- Psikologi transpersonal (transpersonal psychology)
Masing-masing aliran meninjau manusia dari sudut pandang berlainan dan dengan metodologi
tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi dan asas tentang kehidupan manusia, kemudian
membangun teori filsafat mengenai manusia
a. Psikoanalisa (Sigmund Freud, 1856-1939)
Menurut Freud kepribadian manusia terdiri dari tiga sistem, yaitu Id (dorongan-dorongan
biologis), Ego (kesadaran terhadap realitas kehidupan), dan Superego (kesadaran normatif)
yang berinteraksi antara satu sama lain dan masing-masing memiliki fungsi dan mekanisme
yang khas (Bastaman, 2001). Dengan pembagian 3 aspek ini maka tingkatan tertinggi
kepribadian manusia adalah moralitas dan sosialitas, dan tidak menyentuh pada aspek
keagamaan, lebih lanjut Freud mengatakan bahwa tingkatan moralitas digambarkan sebagai
tingkah laku yang irasional, sebab tingkah laku hanya mengutamakan nilai-nilai luas, bukan nilai-
nilai yang berada dalam kesadaran manusia sendiri (Mujib dan Mudzakir, 2001).
b. Behaviorisme
Aliran psikologi behaviorisme menunjukkan bahwa upaya rekayasa dan kondisi lingkungan-luar
adalah hal yang paling mempengaruhi dan menentukan kepribadian. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa bahwa Psikologi Behaviorisme menganggap manusia padahakikatnya adalah
netral, baik buruknya perilaku terpengaruh dari pengaruh situasi dan perilaku yang dialami
(Bastaman, 2001).
c. Humanistik
Berlainan dengan Psikoanalisis yang memandang buruk hakikat manusia, dan Behaviorisme yang
memandang netral, Psikologi Humanistik berasumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki
potensi-potensi yang baik, minimal lebih banyak baiknya daripada buruknya.
Psikologi Humanistik memusatkan perhatian untuk menelaah kualitas-kualitas insani, yakni
sifat-sifat dan kemampuan khusus manusia yang terpateri pada eksistensi manusia, seperti
kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi, kreativitas, kebebabasan
berkehendak, tanggung jawab, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan diri, humor, sifat
etis dan rasa estetika (Bastaman, 2001).
Selain itu Psikologi Humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas
atas kehidupan dirinya sendiri. Asumsi ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang
sadar, mandiri, perilaku aktif yang dapat menentukan (hampir) segalanya. Ia adalah makhluk
denan julukan the self determining being mampu sepenuhnya menentukan tujuan-tujuan yang
paling diinginkannya dan cara-cara mencapai tujuan itu dianggapnya paling tepat (Bastaman,
2001).
d. Transpersonal
Banyak perintis aliran Psikologi Transpersonal, antara lain Abraham Maslow, Anthony sutich dan
Carlos Taart yang juga pemuka psikologi Humanistik. Oleh karena itu cukup beralasan bila
dikatakan bahwa Psikologi Transpersonal merupakan kelanjutan atau lebih tepat sebagai salah
satu bentuk pengembangan Psikologi Humanistik. Mengenai aliran keempat ini, sebuah rumusan
yang disusun oleh S.I. Shapiro dan Denise H.Lajoie setelah mereka menelaah lebih dari empat
puluh ragam definisi tentang psikologi Transpersonal dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun,
kiranya cukup memberikan gambaran mengenai psikologi Transpersonal:
“Transpersonal Psychology is concerned with the study of humanitys highest potential,
and with there cognation , understanding, and realization of unitive, spiritual,
and transcendent states of consciousness”
Rumusan diatas menunjukkan dua unsur penting yang menjadi sasaran telaah Psikologi
Transpersonal, yaitu potensi-potensi luhur (the highest potential) dan fenomena kesadaran
(state of consciousness) manusia (Bastaman, 2001).
Psikologi transpersonal, sebagaimana psikologi humanistic menaruh perhatiaan kepada
dimensi spiritual manusia yang berpotensi mengembangkan kemampuan luar biasa, yang sejauh
ini terabaikan oleh telaah psikologi kontemporer. Perbedaan yang mencolok antara psikologi
Humanistik dengan transpersonal, adalah bahwa psikologi humanistik lrbih memanfaatkan
potensi-potensi ini untuk meningkatkan hubungan antara manusia, sedangkan psikologi
transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subjektif-transendental serta pengalaman
luar biasa dari dimensi spiritual manusia (Bastaman, 2001).
B. Hakekat Manusia dalam Psikologi Islam
Menurut Parvin (1980)- sebagaimana yang dikutip oleh Supratikya- menyatakan bahwa suatu
teori kepribadian dianggap lengkap apabila memiliki dimensi-dimensi struktur, proses,
pertumbuhan dan perkembangan, psikopatologi, dan perubahan tingkah laku yang memerlukan
psikoterapi.
Penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan substansi
manusia, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui hakikat dan
dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi substansi manusia atas jasad dan
ruh, tanpa memasukkan nafs (Mujib dan Mudzakir, 2001).
Islam memandang manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki keunikan dan keistimewaan
tertentu. Sebagai salah satu makhlukNya karakteristik eksistensi manusia harus dicari dalam
relasi dengan Sang Pencipta dan makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Sekurang-kurangnya terdapat
empat ragam relasi manusia yang masing-masing memiliki kutub positif dan negatif, yaitu:
- Hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablun minannas) yang ditandai oleh
kesadaran untuk melakukan ‘amal ma’ruf nahi munkar (S.3 :110) atau sebaliknya
menumbar nafsu-nafsu rendah (S.38:6; S.45:23).
- Hubungan antar manusia (hablun minannas) dengan usaha membina silaturrahmi (S. 4:
1) atau memutuskannya (S. 12:100).
- Hubungan manusia dengan alam sekitar (hablun minal ’alam) yang ditandai upaya
pelestarian dan pemanfaatan alam dengan sebaik-baiknya (S. 11:6) atau sebaliknya
menimbulkan kerusakan alam (S.30: 41).
- Hubungan manusia dengan Sang Pencipta (hablun minallah) dengan kewajiban ibadah
kepadaNya (S. 51: 56) atau menjadi ingkar dan syirik kepadaNya (S.4:48).
Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa teori Freud tentang kepribadian manusia mendapat
kecaman, maka ditawarkan manusia dalam perspektif psikologi Islam (Bastaman, 2001)
Penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan substansi manusia,
sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui hakikat manusia dan dinamika
prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi substansi manusia atas jasad dan ruh, tanpa
memasukkan nafs (Mujib dan Mudzakir, 2001).
Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan, jasad tanpa
ruh merupakan substansi yang mati, sedang ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi, karena saling
membutuhkan maka diperlukan maka diperlukan perantara yang dapat menampung kedua naluri
yang berlawanan, yang dalam terminologi psikologi Islam disebut dengan nafs. Pembagian substansi
tersebut seiring dengan pendapat Khair al-Din al-Zarkaly yang di rujuk dari konsep Ikhwan al-Shafa.
1. Substansi jasmani
Jasad adalah substansi manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik. Organisme fisik
manusia lebih sempurna dibandingkan dengan organisme fisik makhluk-makhluk lain. Setiap
manusia biotik lahiriyah memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api,
udara, dan air (Mujib dan Mudzakir, 2001).
Jisim manusia memiliki natur tersendiri. Al-Farabi menyatakan bahwa komponen ini dari
alam ciptaan, yang memiliki bentuk rupa, berkualitas, berkadar, bererak dan diam serta
berjasad yan terdiri dari beberapa organ. Begitu juga Al Ghazali memberikan sifat komponen ini
dengan dapat bergerak, memiliki ras, berwatak gelap dan kasar, dan tidak berbeda dengan
benda-benda lain. Sementara itu Ibnu Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan
komponen materi, sedang menurut Ibnu Maskawaih bahwa badan sifatnya material. Ia hanya
dapat menangkap satu bentuk kemudian perhatiannya berpinddah pada bentuk yang lain maka
bentuk pertama itu lenyap (Mujib dan Mudzakir, 2001).
2. Substansi Rohani
Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Sebagian ahli
menyebut ruh sebagai badan halus (jism latief). Ada yang substansi sederhana (jaubar hasiib),
dan ada juga substansi ruhani (jaubar ruhani). Ruh yang menjadi pembeda antara esensi
manusia dengan esensi makhluk lain. Ruh berbeda dengan spirit dalam terminologi psikologi,
sebab term ruh memiliki jaubar (subtance) sedang spririt lebih bersifat aradh (Accident) (Mujib
dan Mudzakir, 2001).
Ruh adalah substansi yang memiliki natur tersendiri. Menurut Ibnu Sina, ruh adalah
kesempurnaan awal jisin alami manusia yang tinggi yang memiliki kehidupan dengan daya.
Sedang bagi Al Farabi, ruh bersal dari alam perintah (amar) yang mempunyai sifat berbeda
dengan jasad (Mujib dan Mudzakir, 2001).
Fitrah ruh multidimensi yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Ruh dapat keluar masuk ke
dalam tubuh manusia. Ruh hidup sebelum tubuh manusia ada (QS. al A'raf:172, al-Ahzab:72).
Kematian tubuh bukan berarti kematian ruh. Ruh masuk pada tubuh manusia ketika tubuh
tersebut siap menerimanya. Menurut hadist Nabi, bahwa kesepian itu ketika manusia berusia
empat bulan dalam kandungan. Pada saat inilah ruh berubah nama menjadi al-nafs (gabungan
antara ruh dan jasad) (dalam Mujib dan Mudzakir, 2001)
Di alam arwah (sebelum bersatunya ruh dengan jasad), sebagaimana dalam QS. al-A'raf ayat
172, Allah SWT telah mengadakan perjanjian primordial dengan ruh, yang mana perjanjian itu
merupakan natur aslinya.
Pembahasan tentang ruh dibagi menjadi dua bagian; Pertama, ruh yang berhubungan
dengan badan jasmani. Ruh yang pertama disebut al munazzalab, sedang yang kedua disebut
dengan al-gharizab, atau disebut dengan nafsaniah. Ruh al-munazzalab berkaitan dengan
esensi asli ruh yang diturunkan atau diberikan secara langsung dari Allah SWT kepada manusia.
Ruh ini esensinya tidak berubah, sebab jika berubah berarti berubah pula eksistensi manusia
(Mujib & Mudzakir, 2001).
Ruh ini diciptakan di alam ruh ('alam al-arwah) atau di alam perjanjian (alam al-mistaq aw
'alam al-'ahd). Karena itu, ruh munazzalat ada sebelum tubuh manusia ada, sehingga sifatnya
sangat ghaib yang adanya hanya diketahui melalui informasi wahyu. Ruh al-munazzalah
melekat pada diri manusia. Ruh ini dapat dikatakan sebagai fitrah asal yang menjadi esensi
(hakikat) struktur manusia. Fungsinya berguna untuk memberikan motivasi dan menjadikan
dinamisasi tingkah lakunya. Ruh ini membimbing kehidupan spiritual mafsahi manusia (Mujib &
Mudzakir, 2001).
Wujud ruh munazzalah adalah al-amanah. Fazlur Rahman menyatakan bahwa amanah
merupakan inti kodrat manusia yang diberikan sejak awal penciptaan, tanpa amanah manusia
tidak memiliki keunikan dengan makhluk-makhluk lain. Amanah adalah titipan atau
kepercayaan Allah yang dibebankan (taklif) kepada manusia untuk menjadi hamba dan khalifah
di bumi. Tugas hamba adalah menyembah dan berbakti kepada Penciptanya (QS. al-Zariyah:56),
sebab di alam arwah manusia suadah berjanji bahwa Allah adalah Tuhannya (QS. al-A'raf:172).
Sedang tugas khalifah adalah menjadi wakil Allah di muka bumi (QS. al-Baqarah:30, Shad:26),
pengganti dan penerus person yang mendahuluinya (QS. al-An'am:165), pewaris-pewaris di
bumi (QS. al-Naml:62). Ruh al-munazzalab perlu pengingat, petunjuk maupun pembimbing.
Sedang pengingat yang dimaksud adalah Al-Qur'an (QS. al-Baqarah:2) dan Sunnah (QS. al-
Hasyr:7). Apabila aspek inhern (al-gharizah) lupa akan dirinya, maka ruh ini memberi peringatan
(Mujib & Mudzakir, 2001).
3. Substansi Nafsahi
Nafs dalam khasanah Islam memiliki banyak pengertian. Nafs dapat berarti jiwa (soul),
nyawa, ruh, konasi dan bedaya syahwat dan ghadab, kepribadian, dan substansi psikofisik manusia.
Pada substansi nafs ini, komponen jasad dan ruh bergabung. Nafs memiliki natur gabungan antara
natur jasad dan ruh. Nafs adalah potensi jasadi-ruhani (psikofisik) manusia yang secara inhern telah
ada sejak manusia siap menerimanya. Potensi ini terkait dengan hukum yang bersifat jasadi-ruhani.
Semua potensi yang terdapat pada nafs bersifat potensial, tetapi dapat aktual jika manusia
mengupayakannya. Setiap komponen yang ada memiliki daya-daya laten yang dapat menggerakkan
tingkah laku manusia. Aktualisasi nafs membentuk kepribadian, yang perkembangannya dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal (Mujib dan Mudzakir, 2001).
Substansi nafs memiliki potensi gharizah. Jika potensi ghazirah ini dikaitkan dengan substansi jasad
dan ruh maka dapat dibagi menjadi tiga bagian; (1) al-qalb yang berhubungan dengan rasa atau
emosi; (2) al'aql yang berhubungan dengan cipta atau kognisi; dan (3) daya al-nafs yang
berhubungan dengan karsa atau konasi. Ketiga potensi tersebut merupakan sub-sistem nafs manusia
yang dapat membentuk kepribadian. Berikut rinciannya:
a. Kalbu
Kalbu secara psikologis memiliki daya-daya emosi (al-infi'aliy), yang menimbulkan daya
"rasa" (al-syu'ur). Sementara al-Thabathabai menyebut dalam tafsirannya bahwa fungsi kalbu selain
berdaya emosi juga berdaya kognisi. Hal itu menunjukkan bahwa kalbu memiliki dua daya, yaitu
daya kognisi dan daya emosi. Daya emosi kalbu lebih banyak diungkap daripada daya kognisinya,
sehingga para ahli sering menganggap kalbu sebagai aspek nafsani yang berdaya emosi. Apabila
terpaksa menyebut kalbu sebagai daya kognisi, itupun hanya dibatasi pada kognisi yang diperoleh
melalui pendekatan cita rasa (zawq) bukan pendekatan nalar (Mujib dan Mudzakir, 2001)
Fungsi kalbu dalam Al-Qur'an seperti dalam kategori berikut ini: Dari sudut fungsinya, kalbu
memiliki (1) fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa; (2) fungsi kognisi yang menimbulkan daya
cipta; dan (3) fugsi konasi yang menimbulkan daya karsa. Dari sudut kognisinya; kalbu memiliki
kognisi (1) baik, yaitu kalbu yang hidup (al-hayy), sehat (salim), dan mendapatkan kebahagiaan (al-
sa'adah); (2) buruk, yaitu kalbu yang mati (al-mayt) dan mendapatkan kesengsaraan (al-saqawah);
dan (3) antara baik dan buruk, yaitu kalbu yang hidup tetapi berpenyakit (mardh).
b. Akal
Akal secara psikologi memiliki fungsi kognisi (daya cipta). Kognisi adalah suatu konsep umum
yang mencakup semua bentuk pengalaman kognisi, mencakup mengamati, melihat, memperhatikan,
memberikan pendapat, mengasumsikan, berimajinasi, memprediksi, bepikir, mempertimbangkan,
menduga, dan menilai (Mujib dan Mudzakir, 2001).
Akal bukanlah kalbu. Ia memiliki substansi nafsani tersendiri yang berkedudukan di otak.
Akal merupakan substansi nafsani tersendiri yang berfungsi untuk berfikir. Ini bukan aktivitas kalbu.
Ia memiliki kesamaan dengan kalbu yang memperoleh daya kognisi, tetapi cara dan hasilnua
berbeda (Mujib dan Mudzakir, 2001).
c. Nafsu
Nafsu dalam terminologi psikologi lebih dikenal dengan sebutan konasi (daya karsa). Konasi
(kemauan) adalah bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan, dan berkehendak. Aspek konasi
kepribadian ditandai dengan tungkah laku yang bertujuan dan impuls untuk berbuat. Nafsu
menunjukkan struktur di bawah-sadar dari kepribadian manusia. Apabila manusia menggunakan
dominasi nafsunya maka kepribadiannya tidak akan mampu bereksistensi, baik di dunia apalagi
akhirat (Mujib dan Mudzakir, 2001)..
Daftar Pustaka
Abidin, Zainal. 2003. Filsafat Manusia. Bandung; PT. Remaja Rosdakarya
Huky, DA. Willa. 1982. Capita Selecta : Pengantar Filsafat. Surabaya; Usaha Nasional
Verhaar, John W.M. 1991. Identitas Manusia Menurut Psikologi dan Psikiatri Abad Ke-20. Jakarta;
Kanisius
Djumhana B, Hanna. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta; Pustaka Pelajar
Mujib, Abdul & Yusuf Muzakir. 2001. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta; PT. Raja Grafindo
Persada
Feist, Jess & Gregory J. Feist. 2014. Teori Kepribadian. Jakarta; Salemba Humanika
Kafie, Jamaluddin. 1993. Psikologi Dakwah. Surabaya; Offset Indah