Hak Orang Tua Dalam Islam

15
Hak Orang Tua Dalam Islam Islam memberikan perhatian khusus terhadap keluarga dan upaya menjaganya. Caranya, Islam menetapkan hak-hak anggota-anggota keluarga yang harus dipenuhi mereka satu sama lain. Ini karena Islam menganggap terpeliharanya keluarga sebagai batu bata asasi dalam upaya mencapai bangunan masyarakat yang diidam-idamkan. Karena orang tua adalah pondasi dalam bangunan keluarga dan upaya membangun generasi, maka al-Quran menegaskan posisi mereka yang sangat agung dan kewajiban berbuat baik kepada mereka. Tulisan ini menjelaskan hak-hak orang tua seperti dijelaskan al- Quran dan Sunnah. Hak-hak orang tua Allah SWT menyandingkan kewajiban beribadah kepada-Nya dengan kewajiban berbakti kepada orang tua pada banyak ayat al-Quran. Di antaranya: Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al-Isra: 23) Juga dalam firman-Nya: Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak.” (Al- Baqarah: 83) Demikianlah kita dapati al-Quran menganggap berbuat baik kepada orang tua sebagai masalah yang sangat penting. Sedemikian pentingnya sampai-sampai di dalam level ungkapan al-Quran (al- Isra: 23) menggunakan kalimat, َ كُ ّ بَ ى رَ ضَ قَ و, yang artinya, “Dan Tuhanmu telah menetapkan.” Dan di dalam level pelaksanaan al-Quran (al- Baqarah: 83) menjelaskan, َ ل ي اَ رْ س ا ى نَ ! َ اقَ $ ي ي م اَ نْ ذَ خَ اْ ذ اَ و, “Ingatlah ketika Kami

description

PAI

Transcript of Hak Orang Tua Dalam Islam

Hak Orang Tua Dalam Islam

Islam memberikan perhatian khusus terhadap keluarga dan upaya menjaganya. Caranya, Islam menetapkan hak-hak anggota-anggota keluarga yang harus dipenuhi mereka satu sama lain. Ini karena Islam menganggap terpeliharanya keluarga sebagai batu bata asasi dalam upaya mencapai bangunan masyarakat yang diidam-idamkan. Karena orang tua adalah pondasi dalam bangunan keluarga dan upaya membangun generasi, maka al-Quran menegaskan posisi mereka yang sangat agung dan kewajiban berbuat baik kepada mereka.Tulisan ini menjelaskan hak-hak orang tua seperti dijelaskan al-Quran dan Sunnah.Hak-hak orang tuaAllah SWT menyandingkan kewajiban beribadah kepada-Nya dengan kewajiban berbakti kepada orang tua pada banyak ayat al-Quran. Di antaranya:Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al-Isra: 23)Juga dalam firman-Nya:Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak. (Al-Baqarah: 83)Demikianlah kita dapati al-Quran menganggap berbuat baik kepada orang tua sebagai masalah yang sangat penting. Sedemikian pentingnya sampai-sampai di dalam level ungkapan al-Quran (al-Isra: 23) menggunakan kalimat, , yang artinya, Dan Tuhanmu telah menetapkan. Dan di dalam level pelaksanaan al-Quran (al-Baqarah: 83) menjelaskan, , Ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil.Al-Quran menganggap pelanggaran terhadap kehormatan orang tua sebagai tindakan yang diharamkan. Catatan penting, al-Quran, dalam banyak ayat menegaskan urgensi anak-anak berbuat baik pada orang tua, sedangkan orang tua tidak diberi penegasan untuk memperhatikan anak-anak kecuali jarang dan dalam kondisi yang tidak normal, misalnya, mereka tidak boleh membunuh anak-anak mereka karena takut imlaq. Al-Quran sekadar menegaskan bahwa anak adalah zinah dan mutah, lokus fitrah dan ighra bagi orang tua, dan tidak menyebut mereka kecuali disandingkan dengan harta dan dalam konteks berbangga-banggaan.Lebih dalam lagi, berbuat baik kepada orang tua dijadikan sebagai manifestasi sosial dan ibadah yang benar dan semua bentuk perbuatan buruk terhadap orang tua secara khusus, walaupun hanya dengan kata uh, dianggap sebagai perusakan terhadap ibadah sebagaimana setitik cuka merusak madu. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.Hak ibu lebih besarAl-Quran memberikan ibu hak yang lebih besar dikarenakan pengorbanannya yang ia berikan lebih banyak. Hanya ibu yang menanggung beban mengandung, melahirkan, dan menyusui beserta pengorbanan dan derita yang menyertainya. Bayi tinggal di perutnya selama 9 bulan pada masa kehamilan yang normal, makan di perutnya dari apa yang ia makan, dan tinggal dengan tenang dengan mengorbankan ketenangan dan kesehatannya. Setelah itu tiba masa persalinan yang penderitaannya tidak dapat diketahui kecuali oleh ibu, bahkan nyawanya terkadang menjadi taruhan.Al-Quran memberikan wasiat khusus berkaitan dengan ibu. Allah SWT berfirman,Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. (Lukman: 14)Dengan penjelasan ini al-Quran menggelorakan perasaan para anak agar mereka tidak lupa atau pura-pura lupa jerih payah orang tua, khususnya ibu, dan penderitaan yang ia tanggung, karena memberikan perhatian sepenuhnya pada istri dan anak-anak saja.Hak orang tua menurut SunnahMasalah hak pada umumnya dan hak orang tua pada khususnya mengambil tempat yang luas dalam hadits dan wasiat Nabi saw. Beliau mengaitkan ridha Allah SWT dengan ridha kedua orang tua untuk memberikan dimensi ibadah bagi masalah ini. Beliau juga menegaskan bahwa durhaka kepada orang tua adalah salah satu dosa terbesar dan mengaitkan antara cinta dan ampunan Allah SWT dengan cinta dan kepatuhan kepada kedua orang tua.Sy.Zainal Abidin meriwayatkan, "Seseorang datang kepada Nabi saw lalu berkata, Wahai Rasulullah, tidak ada perbuatan yang buruk kecuali aku telah melakukannya. Apakah aku bisa bertobat? Rasulullah saw bertanya kepadanya, Adakah salah satu dari orang tuamu yang masih hidup? Dia berkata, Ayahku. Beliau bersabda, Pergilah kepadanya dan berbaktilah padanya. Setelah orang itu pergi, beliau bersabda, Jika yang masih hidup adalah ibunya, (aku akan mengatakan hal yang sama).Dalam salah satu arahan Nabi saw:Salah satu hak orang tua atas anaknya adalah ditakuti ketika marah agar kemuliaan orang tua tidak jatuh.Lebih dari itu, Rasulullah saw menganggap menyebabkan orang tua dicela karena mencela orang tua orang lain termasuk dosa besar yang pantas dihukum dan disiksa di akhirat.Berbakti kepada mereka tidak terbatas ketika mereka hidup. Anak yang patuh dapat berbakti kepada kedua orang tuanya dengan cara membayar hutang-hutang mereka, berdoa dan beristighfar bagi mereka, setelah perbuatan baik lainnya.Nabi saw telah mewujudkan wasiat-wasiat ini di dalam kehidupan nyata. Ketika beliau menganjurkan kaum Muslimin untuk hijrah dan membentuk benih masyarakat tauhid yang baru di Madinah, ketika kaum Muslimin berjumlah sedikit, buku-buku sejarah meriwayatkan bahwa seseorang datang kepada Nabi saw dan berkata, Aku datang untuk membaiatmu untuk berhijrah dan aku meninggalkan kedua orang tuaku sedang menangis. Maka, Nabi saw bersabda, Kembalilah kepada keduanya. Buat mereka tertawa sebagaimana engkau telah membuat mereka menangis.Para ulama terpilih dari keluarga Nabi saw memberikan ruh baru bagi arahan-arahan al-Quran dan sabda-sabda Nabi saw yang dapat kita lihat lewat poin-poin berikut ini.Pertama, menafsirkan ayat-ayat al-QuranPertama, perlu disinggung di sini bahwa Keluarga Kenabian adalah orang-orang yang di rumahnya al-Quran diturunkan, Rasulullah saw mengaitkan mereka dengan al-Quran, dan menyebut mereka sebagai al-Quran nathiq, al-Quran yang berbicara. Mereka berbicara dengan kebenaran dan menegaskan penunaian hak-hak.Ash-Shadiq ra menjelaskan pengertian ihsan yang terdapat di dalam firman Allah SWT:Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al-Isra: 23)Dengan mengatakan:Ihsan adalah engkau menemani mereka dengan baik, tidak membuat mereka meminta apa yang mereka butuhkan, meskipun mereka dapat memenuhinya sendiri.Tentang firman Allah SWT:Jika salah seorang di antara mereka atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepadanya ah dan janganlah kamu membentak keduanya. (al-Isra: 23)Beliau mengatakan:Jika kedua orang tuamu membuatmu kesal, janganlah kamu mengatakan ah, dan jika mereka memukulmu, janganlah kamu membentak mereka.Tentang firman Allah SWT:Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, Wahai Tuhanku, kasihilah mereka sebagaimana mereka telah mendidik aku waktu kecil. (al-Isra: 24)Beliau mengatakan:Janganlah engkau memandang mereka kecuali dengan pandangan kasih sayang dan kelembutan, janganlah engkau mengangkat suaramu lebih keras daripada suara mereka dan mengangkat tanganmu lebih tinggi dari tangan mereka. Dan jangan maju ke depan mereka (?)Tentang firman Allah SWT:Dan berterimakasihlah kepada-Ku dan kedua orang tuamu dan kepada-Kulah kembalimu. (Luqman: 14)Beliau mengatakan:Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan bersyukur kepada-Nya dan berterima kasih kepada orang tua. Maka, orang yang tidak berterima kasih kepada orang tuanya, dia tidak bersyukur kepada Allah SWT.Kedua, membangkitkan motivator akhlak.Para imam menginginkan sistem moralitas tetap hidup dan efektif di dalam masyarakat dengan pijakan keinginan mereka yang sangat kuat akan keselamatan masyarakat Islam agar anggota-anggotanya tidak terjatuh ke jurang kegelisahan dan kesia-siaan. Karena itu, mereka menganjurkan berpegang teguh pada nilai-nilai akhlak dalam memperlakukan orang tua sampai hal ini menjadi tabiat yang mewarnai perilaku anak-anak. Mengenai hal ini, Imam Ali berkata:Berbakti kepada orang tua adalah watak yang paling mulia.Ketiga, menetapkan hukum syariat.Imam Ali memandang bahwa berbakti kepada orang tua adalah kewajiban yang paling utama.Tiga hal yang wajib dilakukan dan tidak ada rukhsoh di dalamnya bagi siapa pun: menunaikan amanah baik kepada orang yang baik maupun orang yang jahat, memenuhi janji baik kepada orang yang baik maupun orang yang jahat, dan berbakti kepada orang tua baik mereka orang yang baik maupun orang yang jahat.Perlu disebutkan di sini bahwa Islam tidak mengaiktkan hak orang tua dengan status agama mereka dan keharusan mereka beridentitas muslim, melainkan mewajibkan penunaian hak mereka tanpa memandang hal tersebut. Imam mengatakan:Berbakti kepada orang tua adalah kewajiban meskipun mereka musyrik, tapi tidak boleh taat kepada mereka dalam bermaksiat kepada Pencipta.Imam tidak cukup dengan menjelaskan hukum syariat, tapi mengungkap hikmah diharamkannya durhaka kepada orang tua. Beliau berkata:Allah SWT mengharamkan durhaka kepada orang tua karena itu sama dengan keluar dari bimbingan untuk taat kepada Allah SWT, penghormatan terhadap orang tua, bersanding dengan kufur nikmat, menafikan terima kasih, dan efek-efek yang ditimbulkannya seperti sedikit dan terputusnya keturunan karena durhaka itu sama dengan tidak menghormati orang tua dan tidak mengakui hak mereka, memutus silaturahim, orang tua tidak membutuhkan anak dan tidak mendidik mereka dengan dalih anak tidak berbakti kepada mereka.Menetapkan hak-hak orang tuaSesungguhnya bagi anak atas orang tuanya ada hak yaitu mematuhinya dalam apa saja kecuali dalam maksiat kepada Allah SWT.Di dalam Risalah al-Huquq Imam mengatakan:Adapun hak ayahmu adalah engkau mengetahui bahwa dia adalah asal muasalmu. Jika bukan karena dia, engkau tidak ada. Bagaimanapun engkau melihat pada dirimu hal-hal yang menakjubkanmu, ketahuilah, ayahmu adalah asal muasal nikmat itu. Karena itu, pujilah Allah dan berterimakasihlah kepada ayahmu sebanding dengan hal tersebut, dan tiada daya kecuali karena Allah.Al-Kazhim ra meriwayatkan dari Nabi saw:Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw, Apa hak orang tua dari anaknya? Beliau menjawab, Tidak dipanggil dengan namanya langsung, anak tidak berjalan di depannya, anak tidak duduk sebelum dia duduk, dan anak tidak mengundang celaan baginya.Durhaka kepada orang tua dan efek negatifnya di duniaPada penjelasan terdahulu kami telah menerangkan efek-efek durhaka kepada orang tua di akhirat, yang utamanya adalah mengundang murka Allah SWT, tidak diterimanya amal shalih, dll. Orang yang menelaah hadits-hadits Keluarga Nabi dalam masalah ini, akan mendapati banyak sekali hadits. Sekarang kami akan menerangkan efek-efek negatif durhaka kepada orang tua di dunia. Hal ini dapat kami klasifikasi dalam poin-poin berikut ini:Pertama, mengundang kemiskinan.Kedua, mendapat balasan yang setimpal.Anak-anak yang berperilaku buruk terhadap orang tua mereka akan mendapatkan perlakuan yang setimpal dari anak-anak mereka. Anak-anak mereka tidak akan menghargai mereka ketika mereka telah tua. Pengalaman sehari-hari telah membuktikan hakikat ini dan menjadi aksioma dari generasi ke generasi. Orang yang durhaka kepada orang tuanya, akan mendapati nasib yang sama dari anak-anaknya.Ketiga, mengundang kehinaan dan kerendahan.Tidak diragukan bahwa orang yang durhaka kepada orang tuanya akan dipandang masyarakat dengan pandangan benci dan rendah. Dia akan terasing dan dicela masyarakat, tidak disebut kecuali dengan celaan dan hujatan apa pun dalih yang ia lontarkan. Al-Hadi ra mengatakan:Durhaka akan melahirkan kemiskinan dan menyebabkan kehinaan.Kata kemiskinan di dalam riwayat ini dapat diartikan secara umum, sehingga mencakup kemiskinan harta dan kemiskinan mental serta sosial yang mewujud dalam sedikitnya teman serta kenalan. Orang-orang tidak akan menaruh kepercayaan kepada orang yang durhaka kepada orang tuanya. Bagaimana mungkin dia dapat dipercaya, sementara dia telah memutus tali kasih sayang dengan orang tuanya, orang yang paling dekat dengan dirinya? (Machtum/alha/prs)

Hak anak Dalam Islam

Secara ringkas, hak anak atas orang tua adalah sebagai berikut :Diberi nama yang baik. Ada orang yang memiliki nama yang bagus, mengandung makna yang dalam, dan mengenakan sehingga orang-orang tertarik kepara pemiliknya seperti lebah tertarik kepada wangi bunga.Ada orang yang namanya yang jelek, tidak bermakna, serta menyesakan dan menjijikan orang yang mendengarnya. Jadi, nama seseorang memiliki pengaruh psikologis dan sosiologis yang sangat besar.Banyak anak yang gelisah dan tidak dapat tidur karena namanya jelek dan membuatnya diejek dan dihina orang-orang di sekitarnya. Anak itu dibuat sengsara dan nelangsa oleh nama yang melekat pada dirinya dengan erat, seperti tato yang sulit dihilangkan dari kulit.Tentu saja ada orang-orang yang memiliki kepribadian yang kuat, yang hidupnya tidak terpengaruh oleh namanya yang jelek. Orang ini mengubah namanya yang jelek dan membuangnya seperti dokter bedah yang mahir membuang sel-sel kanker.Islam, sebagai agama yang mempelopori proses perubahan budaya yang besar, tidak mengabaikan masalah nama. Nabi saw melakukan pengubahan nama-nama yang jelek atau bertentangan dengan akidah tauhid. Beliau menyatakan bahwa salah satu hak anak atas orang tuanya adalah dipilihkan nama yang bagus.Rasulullah saw bersabda:Sesungguhnya warisan pertama dari salah seorang di antara kalian kepada anaknya adalah nama yang baik. Karena itu, hendaklah ia memberi anaknya nama yang baik.Di dalam hadits lain, Nabi saw menjelaskan dimensi ukharawi yang menjadi konsekuensi suatu nama. Beliau saww bersabda:Perbaikilah nama-nama kalian, karena kalian akan dipanggil dengannya pada hari Kiamat. Wahai Fulan bin Fulan, berdirilah menuju cahayamu. Wahai Fulan bin Fulan, tidak ada cahaya bagimu.Ilmu Psikologi belakangan ini telah mengungkap relasi yang erat antara seseorang dengan nama dan panggilannya. Mereka memberi contoh dengan seseorang yang namanya Susah. Terus menerus mengalirnya penamaan ini ke telinga dan kesadarannya akan mencetak akal batinnya dengan pengertian tersebut dan membuat akhlak dan perilakunya menjadi susah.Tidak diragukan lagi, ini adalah rahasia mengapa Rasulullah saw mengganti beberapa nama orang yang namanya seperti contoh tersebut. Beliau mengganti nama Harb (Perang) dengan Samah (Lembut). Jadi, ada bisikan terus menerus yang diberikan oleh nama kita dan sangat mewarnai watak kita.Nama bukan sekadar lafal yang ditulis dengan tinta di atas akte kelahiran. Nama adalah hak alami bagi bayi yang menentukan identitasnya, dan jiwanya yang segar akan menyambut kandungan namanya yang baik sebagaimana kelopak-kelopak bunga merekah di musim semi.Diajari dan dididik.Tidak diragukan lagi, tahun-tahun pertama dari umur seorang anak adalah fase terpenting dalam hidupnya. Dengan dasar ini para ahli pendidikan menegaskan urgensi perhatian yang lebih terhadap anak-anak dan pendidikan budi pekerti yang baik baginya.Imam Ali, ketika menjelaskan pentingnya budi pekerti dan keunggulannya daripada yang lain, mengatakan:Warisan yang terbaik dari orang tua bagi anak-anaknya adalah budi pekerti.Ash-Shadiq memberikan penegasan tentang penyebab diutamakannya budi pekerti daripada harta. Dia mengatakan:Warisan terbaik orang tua kepada anak-anak mereka adalah budi pekerti, dan bukannya harta, karena harta akan habis sedangkan budi pekerti tidak.Imam Ali kw mengatakan kepada anaknya, Sy. Al-Hasan:Sesungguhnya hati anak seperti tanah kosong. Apa pun yang dilemparkan kepadanya, ia terima. Maka, aku bersegera mendidikmu sebelum hatimu mengeras dan nuranimu sibuk.Prinsip utama dalam mendidik dan mengajar anak-anak adalah sebagai berikut:Pertama, pendidikan anak tidak terbatas oleh kedua orang tua saja, melainkan tanggung jawab sosial yang dipikul oleh seluruh anggota masyarakat. Tentang prinsip ini, Imam mengatakan:Anak kecil mana saja yang tumbuh di suatu kaum lalu dia tidak dididik untuk meninggalkan maksiat, maka azab pertama yang akan diberikan Allah kepada mereka adalah Dia akan mengurangi rezeki mereka.Dalam pandangan Para Imam, individu-individu masyarakat, terutama anak-anak, harus dididik dalam ketaatan, dan cenderung menetapkan bahwa tanggung jawab dalam hal ini tidak dipikul oleh kedua orang tua saja, meskipun peran mereka adalah yang utama, melainkan meluas hingga dipikul oleh semua orang, karena hukum sosial pada gilirannya berlaku pada semua orang tanpa kecuali.Perlu diungkapkan di sini bahwa para imam secara umum mengadopsi konsep penahapan hidup anak-anak menjadi tiga tahap. Pada setiap periode, anak membutuhkan perhatian, budi pekerti, dan pengajaran khusus dari orang tua.Hal ini kita simpulkan dari hadits-hadits yang ada tentang masalah ini. Sebagai bukti bahwa mereka membuat tiga tahapan tersebut, berikut ini beberapa riwayat dari mereka.Imam mengatakan:Biarkan anakmu bermain selama 7 tahun, dididik selama 7 tahun, dan ikutkan dia pada dirimu selama 7 tahun. Jika berhasil, maka demikian. Jika tidak, maka sesungguhnya tidak ada kebaikan pada dirinya.Periode pertama adalah periode bermain, periode kedua adalah periode pendidikan, dan periode ketiga adalah periode tabbanni mubasyir pada anak, dan mengawasinya seperti bayangannya.Ketiga, tidak boleh berlebih-lebihan dalam memanjakan anak, menggunakan metode pendidikan yang bersandar pada prinsip reward and punishment, dan tidak mendidik ketika marah.Imam Ali mengatakan:Jangan mendidik ketika marah.Sebab, kemarahan adalah kondisi yang menggerakkan emosi dan tidak mencerahkan akal. Proses pendidikan pada kondisi ini tidak akan memberi hasil yang diinginkan, bahkan proses ini membutuhkan terapi kesabaran, keuletan, dan kecanggihan seperti yang dibutuhkan oleh penyakit-penyakit yang parah.Anak-anak membutuhkan bimbingan rasional yang berkelanjutan agar ia mengetahui akibat dari perbuatan-perbuatannya. Hal ini biasanya tidak terjadi ketika marah yang berasal dari mendidih dan membaranya emosi. Tanpa bimbingan rasional yang berkelanjutan, proses pendidikan tidak akan mewujudkan tujuan yang diharapkannya, tak ubahnya memukul besi yang dingin.Ada hak anak yang lain sebagai penyempurna haknya untuk mendapatkan budi pekerti, yaitu hak pengajaran. Seperti budi pekerti, pengajaran juga merupakan pusaka yang agung. Keluarga Nabi memotivasi para orang tua untuk mewariskan ilmu kepada anak-anak mereka. Ilmu adalah gudang harta berharga yang tidak akan habis, sedangkan harta dapat hilang atau dicuri. Karena itu, Imam Ali mengatakan:Tidak ada harta yang lebih berharga daripada ilmu.Karena mempelajari ilmu pada masa kecil seperti memahat di batu, maka masa kecil harus dimanfaatkan untuk memperoleh ilmu sebaik-baiknya berdasarkan program ilmiah yang mengikuti prinsip prioritas, yaitu mendahulukan yang paling penting daripada yang penting, apalagi kita hidup di masa revolusi ilmiah dan pengetahuan dan di era kecepatan dan spesialisasi.Sebagai dalilnya, kita dapati salah satu wasiat Amirul Mukminin kepada anaknya, Al-Hasan ra:Aku memulai dengan mengajarkan Kitabullah dan takwilnya kepadamu, lalu syariat-syariat Islam, hukum-hukumnya, halal dan haramnya, dan aku tidak akan melewati hal itu pada selainnya.Selain pentingnya mengajarkan anak-anak ilmu-ilmu agama seperti al-Quran dan fiqih, sunnah Nabi saw menekankan juga urgensi mengajarkan anak-anak keterampilan praktis tertentu, seperti menulis, renang, dan memanah.Nabi saw bersabda:Hak anak atas ayahnya adalah diajarkan menulis, berenang, memanah, dan tidak diberi nafkah kecuali yang baik.Imam Ali berkata:Ajari anak-anakmu ilmu kami yang manfaat darinya pasti diberikan Allah kepada mereka agar Murjiah tidak mengalahkan mereka dengan pandangan-pandangannya.Diperlakukan dengan adil dan sama.Membeda-bedakan anak, terutama antara anak laki-laki dengan perempuan, tak ubahnya menabur benih-benih perselisihan antara saudara dan menggali jurang yang dalam di jalur relasi persaudaraan di antara mereka.Anak-anak sangat peka dan sensitif. Ketika ia merasakan ayahnya lebih memperhatikan saudaranya, maka dadanya akan menggelembung oleh perasaan benci kepada saudarannya tersebut.Terkadang salah satu dari orang tua, atau kedua-duanya, mencintai atau mengasihi salah satu anaknya lebih daripada anak-anak yang lain. Ini alamiah dan naluriah. Tapi, menampakkan hal ini di hadapan anak-anak yang lain, mengutamakan anak tercinta dengan perhatian dan hadiah yang melebihi yang lain, akan memperdalam rasa sedih dan nestapa pada anak yang lain dan mengundang masa depan yang boleh jadi sangat suram.Karena itu, komitmen pada keadilan dan persamaan antar anak tak ubahnya penangkal petir, karena hal ini mencegah terjadinya celah sekecil apa pun dalam relasi antar anggota keluarga. Jika tidak, maka akan mendorong munculnya perasaan cemburu dan dendam di antara mereka.Ada bukti-bukti yang menguatkan hal ini dari wasiat-wasiat Nabi saw, yang mengungkap hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak, yakni orang tua menanggung hak-hak anak selama anak menanggung hak-hak orang tua.Nabi saw bersabda:Mereka memiliki hak atasmu, yaitu diperlakukan secara adil, sebagaimana engkau memiliki hak atas mereka, yaitu berbakti kepadamu.Beliau juga bersabda:Adillah di antara anak-anakmu dalam memberi sebagaimana engkau ingin mereka berlaku adil dalam berbakti dan mengasihi.Di dalam hadits ini kita temukan perspektif terhadap kebenaran yang lebih luas dan dalam. Yaitu, orang tua berhak menerima bakti dari anak-anaknya. Sebagai gantinya, mereka wajib berlaku adil. Masing-masing harus memenuhi komitmennya.Kita dapat membuktikan dalamnya pandangan Nabi saw lewat sabdanya:Sesungguhnya Allah SWT mencintai keadilanmu pada anak-anakmu bahkan dalam mencium.Benar, prinsip umum bagi orang tua dalam memperlakukan anak menurut Islam adalah prinsip ihsan (kebaikan), bukan prinsip keadilan. Karena itu, anak tidak dapat mengatakan, Ayahku tidak memberiku, maka aku tidak memberinya. Atau, Ayahku tidak menghormatiku, maka aku tidak menghormatinya. Sebab, ayah adalah sebab diberikannya kehidupan bagi anak. Ayah adalah asal muasalnya.Tapi, benar juga bahwa orang tua harus menerapkan prinsip keadilan dan persamaan dalam perlakuan mereka terhadap anak-anak, bukan saja dalam masalah maknawiah seperti kasih sayang dan ciuman, tapi juga dalam masalah material seperti pemberian.Nabi saw berwasiat kepada para orang tua:Samakan pemberian kepada anak-anakmu. Jika aku mau mengutamakan salah seorang dari mereka, aku pasti akan mengutamakan anak perempuan.(AFmachtum/alha)