HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

34
BAHAN AJAR HUKUM HAK ASASI MANUSIA (HAM) INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA Oleh: Prof. Dr. I Made Pasek Diantha SH, MS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA FEBRUARI 2016

Transcript of HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

Page 1: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

BAHAN AJAR HUKUM HAK ASASI MANUSIA (HAM) INTERNASIONAL

HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

Oleh: Prof. Dr. I Made Pasek Diantha SH, MS

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

FEBRUARI 2016

Page 2: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

2

DAFTAR ISI

ISI HALAMAN

I. Pendahuluan .................................................................................. 3

A. Profil Dan Sejarah Singkat Singapura .......................................... 3

B. Pengaturan HAM Dalam Konstitusi Singapura ............................. 5

C. Implementasi HAM .................................................................... 13

II. Posisi Singapura Dalam Keterkaitannya Terhadap

Hukum HAM Internasional ........................................................ 20

A. Penerapan ISA Singapura .......................................................... 20

B. Pelanggaran HAM Lainnya ........................................................ 23

A. Posisi Keterkaitan Singapura Pada Konvensi HAM .................... 30

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 32

Page 3: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

3

I. Pendahuluan

A. Profil Dan Sejarah Singkat Singapura.

Luas wilayah Singapura : 712 km persegi atau 276 mil persegi. Penduduknya

pada tahun 2011 berjumlah 5,18 juta jiwa yang meliputi 3,79 juta jiwa warga Negara

dan 1,39 juta jiwa warga asing yang berdiam di Singapura. Mereka terdiri dari 76 %

China, 15 % Melayu, 7 % India, dan 1 % lain-lain. Bahasa yang digunakan adalah

bahasa Mandarin, Inggris, Melayu, dan Tamil yang merupakan bahasa-bahasa resmi,

sementara bahasa Inggris merupakan bahasa pergaulan yang digunakan secara luas.

Agama penduduk adalah : 33 % beragama Buda, 11 % Tao, 7 % Katolik, 11 % Kristen,

15 % Islam, 5 % Hindu, 1 % agama lain-lain, dan tidak beragama 17 %. Mata uang

adalah Dolar Singapura, sementara Partai Politik yang besar adalah Partai Aksi Rakyat

( People’s Action Party/PAP ) dan Partai Buruh (Workers Party/WP ). PAP sejak

kemerdekaan sampai kini terus menerus berkuasa dengan rata-rata memenangkan 60 %

suara di parlemen.Adapun bentuk pemerintahan adalah republic dengan sistem

parlementer. Kepala negaranya adalah Presiden dan kepala pemerintahannya adalah

Perdana Menteri. Pertumbuhan ekonomi pada kwartal pertama tahun 2012 ini mencapai

9,9 %. Singapura bersama Hong Kong, Korea Selatan dan Taiwan adalah tergolong

empat macan Asia yang pertumbuhan ekonominya rata-rata diatas Negara berkembang

lainnya.(http://www.fco.gov.uk;22-5-2012),

(http://www.tradingeconomics.com/singapore;21-5-2012),(http://www.bbc.co.uk; 21-5-

2012 ).

Pada sekitar abad ke 14 pulau Singapura merupakan bagian dari kerajaan Melayu

yang waktu itu bernama Temaseh yang artinya kota laut. Diantara abad ke 16 dan ke 19

kepulauan Melayu mengalami penjajahan dari bangsa-bangsa Eropah seperti Portugis,

Belanda dan Inggris. Pada abad 16 Portugis menguasai Malaka, dan pada abad 17

Belanda telah menguasai beberapa pelabuhan di kepulauan Melayu. Belanda saat itu

memonopoli perdagangan rempah-rempah, suatu komoditi yang sangat strategis bagi

pasar Eropah. Sementara, Inggris saat itu memiliki hak monopoli yang tidak begitu

berarti di kawasan itu.

Page 4: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

4

Pada tahun 1818 Sir Stamford Raffles dilantik menjadi Gubernur Bengkulu.

Raffles menyadari untuk kemajuan perdagangan Inggris, EJC (East Indies Company

atau Serikat Dagang India Timur) perlu memiliki pelabuhan baru di Selat Malaka.

Pelabuhan lama seperti Pulau Pinang dan Bengkulu terlalu jauh dari Selat Malaka

seingga dinilai kurang strategis.

Raffles kemudian tiba di Pulau Singapura tanggal 29 Januari 1819. Saat itu pulau

Singapura dikuasai oleh kesultanan Johor yang pada saat pergantian Sultan terjadi

konflik antara para pengantinnya yakni Tengku Abdul Rahman dan Tengku Hussein.

Raffles bersedia membantu Tengku Hussein menjadi sultan asalkan Tengku

Hussein mengijinkan Raffles membuka pelabuhan di pulau Singapura sebagai

imbalannya, dan dia bersedia membayar uang tahunan kepada Tengku Hussein.

Perjanjian antara Inggris dan Sultan Johor itu ditanda tangani tanggal 6 Februari 1819.

Pelabuhan Singapura kemudian berkembang pesat, disinggahi oleh pedagang-pedagang

Arab, India, dan Cina.

Pendirian Singapura oleh Raffles menimbulkan masalah dengan kerajaan Belanda

karena Belanda menuduh Inggris melakukan intervensi pada kawasan yang berada

dibawah naungan pengaruh Belanda. Untuk menghindari konflik berkepanjangan

akhirnya kedua negara itu mengadakan perjanjian tahun 1824 yang salah satu isinya

Belanda mengakui kepemilikan Inggris atas pelabuhan Singapura. Disepakati pula

pembagian kepulauan Melayu atas dua pengaruh yakni kepulauan Melayu bagian utara

termasuk Pulau Pinang, Malaka dan Singapura berada dibawah pengaruh Inggris,

sementara kepulauan Melayu bagian selatan berada dibawah pengaruh Belanda.

Pada 7 Desember 1941, Jepang menyerang Pearl Harbour. Salah satu tujuan

Jepang adalah untuk menguasai Asia Tenggara berdasarkan pertimbangan faktor

ekonomi. Singapura yang merupakan pangkalan utama militer sekutu tak luput dari

serangan Jepang. Singapura diserang setelah Jepang berhasil menguasai hampir seluruh

tanah Melayu. Setelah Singapura dapat ditaklukan, akhirnya sekutu menyerah kalah

kepada Jepang pada tahun baru Imlek 15 Februari 1942. Lebih kurang 130.000 laskar

India, Australia dan Inggris menjadi tahanan perang. Jatuhnya Singapura merupakan

kekalahan terbesar Inggris dalam sejarah. Dibawah kekuasaan Jepang (1942-1945)

Singapura diganti namanya menjadi Syonan to yang artinya cahaya dari selatan.

Page 5: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

5

Kekalahan Jepang oleh sekutu dalam Perang Dunia II tahun 1945 menyebabkan

Singapura diserahkan kembali kepada pemerintah Inggris. Sebagai salah satu Keloni

Inggris di Asia Tenggara, Inggris mengambil kebijakan moderat dengan memberi status

pemerintahan sendiri kepada Singapura dari 1955-1963.

Pada 16 September 1963 Inggris menyetujui penggabungan Singapura, Sabah dan

Sarawak dengan persekutuan tanah Melayu untuk membentuk federasi Malaysia. Untuk

membentuk pemerintah lokal yang baru, Singapura segera mengadakan pemilihan umum

yang dimenangkan oleh Partai Rakyat Pekerja (People’s Action Party/PAP). Lee Kuan

You sebagai ketua PAP di angkat menjadi Perdana Menteri Negara Bagian Singapura.

PAP memiliki garis kebijakan menentang kebijakan federal yang cendrung

mengutamakan kelompok Bumiputera (muslim Melayu). Garis kebijakan PAP itu tentu

saja dapat menimbulkan friksi antara Singapura dengan anggota-anggota federasi yang

lainnya. Akhirnya pada 7 Agustus 1965 Teuku Abdul Rahman Putera sebagai Perdana

Menteri Federasi Malaysia memutuskan mengeluarkan Singapura dari Federasi

Malaysia. Sejak itu Singapura menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh dengan

konstitusi sendiri. Menurut konstitusi, Singapura adalah negara merdeka dan berdaulat

yang berbentuk Republik dengan sistem pemerintahan parlementer.(

http://www.id.wikipedia.org; 7-8-2011 ).

B. Pengaturan HAM Dalam Konstitusi Singapura

1. Sistematika Konstitusi

Pada umumnya, jika dilihat dari segi bentuknya konstitusi dibedakan atas

konstitusi tertulis atau “written constitution” dan konstitusi tidak tertulis atau

“unwritten constitution”, tetapi C F Strong sempat mengkritik perbedaan semacam itu,

dan menurutnya lebih tepat dibedakan atas konstitusi terdokumentir dalam satu naskah

yang lengkap ( documentary constitution ) dan konstitusi yang tidak terdokumentir

dalam satu naskah yang lengkap ( undocumentary constitution ). (C F Strong; 1952 :

65), ( H Fenwick & G Philipson; 2003 : 7 ).

Singapura meskipun bekas jajahan Inggris, namun Singapura tidak mengikuti

tradisi Inggris yang menggunakan konstitusi tidak tertulis atau konstitusi yang tidak

Page 6: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

6

terdokumentir dalam satu naskah yang lengkap. Semua bagian konstitusi Singapura

terkumpul dalam satu naskah yang dianggap lengkap. Salah satu keunikan konstitusi

Singapura adalah konstitusi itu tidak memiliki Pembukaan tetapi langsung dimulai

dengan Batang Tubuh.

Batang Tubuh konstitusi Singapura terdiri dari : Bab I Pendahuluan, 2 pasal;

Bab II Republik dan Konstitusi, 3 pasal; Bab III Perlindungan Kedaulatan, 5 pasal ;

Bab IV Kebebasan Fundamental, 8 pasal; Bab V Pemerintah, 36 pasal; Bab Va

Dewan Pertimbangan Presiden, 13 pasal; Bab VI Legislatif 31 pasal; Bab

VII Dewan Kepresidenan untuk Hak-Hak Minoritas, 25 pasal; Bab VIII Lembaga

Judicial, 10 pasal; Bab IX Pelayanan Umum, 23 pasal; Bab X Kewarganegaraan, 22

pasal; Bab XI Keuangan, 15 pasal; Bab XII Kekuasaan Khusus Melawan

Subversi dan Darurat, 4 pasal; Bab XIII Ketentuan Umum, 6 pasal; Bab XIV

Ketentuan Peralihan, 6 pasal;

Dari 16 Bab itu yang berkaitan dengan HAM adalah Bab IV, BabVII dan Bab

XII. Hal yang menarik dalam pengaturan HAM ini adalah kemunculan Bab XII tentang

Ketentuan-ketentuan Khusus Untuk Melawan Subversi yang memberi legitimasi

penyimpangan terhadap Bab IV tentang Kebebasan Dasar Manusia. Disatu sisi

pengaturan seperti itu nampak sebagai suatu kontroversi dalam upaya penghormatan,

perlindungan dan pemenuhan HAM, namun disisi lain ketentuan Bab XII itu justru

mempunyai peran penting dalam menimbulkan suasana kondusif untuk membangun

ekonomi Singapura, sehingga negara ini cukup pesat pertumbuhan ekonominya.

2. Pengaturan Substansi HAM

1) .Kebebasan Dasar Manusia

Kebebasan atau “vrijheid ” menurut D H M Meuwissen adalah salah satu issu

sentral yang perlu diatur dalam konstitusi agar diperoleh suatu kepastian. ( D H

M Meuwissen; 1984 : 19 ).

Page 7: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

7

Berkenaan dengan kebebasan dasar, konstitusi Singapura mengaturnya dalam

Bab IV yang meliputi beberapa substansi sebagai berikut :

(1).Kebebasan perseorangan

Kebebasan perseorangan ini diatur dalam Pasal 9 konstitusi Singapura, ayat (1)

s/d ayat (6). Inti dari Pasal ini adalah :

=. .Bahwa tidak seorangpun dapat dirampas kehidupannya atau kebebasan

pribadinya sesuai ketentuan Undang-Undang.

=. Bila seseorang membawa pengaduan kepada Pengadilan Tinggi atau kepada

Hakim tentang keabsahan penahanannya maka pengadilan itu akan

memeriksanya dan bila penahanannya tidak absah, pengadilan harus

memerintahkan agar orang itu dilepaskan.

=.Bila seseorang ditahan, dia harus diberitahu sesegera mungkin alasan

penahanannya dan harus diijinkan memilih penasehat hukum untuk

berkonsultasi dan membelanya.

=. Bila seseorang ditahan dan tidak dibebaskan dia harus tanpa penundaan

dalam jangka waktu 48 jam sudah diperiksa oleh penyidik dan tidak boleh

selanjutnya ditahan dirumah tahanan oleh penyidik yang tak berwenang.

=. Ketentuan penahanan tersebut tidak berlaku bagi musuh asing atau bagi orang

yang menghina parlemen yang surat penahannya diterbitkan oleh ketua

parlemen.

=.Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 9 ini tidak dapat membatalkan Undang-

Undang mengenai :

(a).Penangkapan dan penahanan terhadap orang-orang dengan alasan

keselamatan publik, kedamaian, dan ketertiban umum yang sudah berlaku

sebelum 16 September 1963.

(b).Penyalah gunaan obat bius , yang Undang-Undangnya telah berlaku sebelum

10 Maret 1978.

(2). Larangan perbudakan, asas non retroaktif dan asas non bis in idem.

Mengenai perbudakan dan kerja paksa diatur dalam Pasal 10 konstitusi

Singapura yang pada pokoknya menyatakan bahwa tidak seorangpun dapat

diperlakukan sebagai budak. Juga dilarang segala bentuk kerja paksa, tetapi

Page 8: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

8

parlemen dapat membuat Undang-Undang yang mengatur pelayanan mendesak

untuk kepentingan negara. Selain itu pekerjaan yang dilakukan oleh narapidana

dalam menjalani hukuman tidak termasuk dalam pengertian kerja paksa dalam

kaitan ini. Disisi lain, larangan tentang tidak berlaku surutnya undang-undang

pidana dan larangan seseorang tidak dapat diadili kembali atas perbuatan pidana

yang sama oleh pengadilan sederajat diatur dalam Pasal 11. Lebih jauh

dinyatakan bahwa tidak seorangpun akan dihukum atas perbuatan pidana yang

pada saat dilakukan perbuatan itu bukan merupakan perbuatan yang dapat di

hukum atau tidak dapat di hukum dengan hukum yang lebih berat dari hukuman

yang ditentukan pada saat perbuatan itu dilakukan.

(3).Kesetaraan, Larangan Pembuangan dan Kebebasan Bergerak

Kesetaraan didepan hukum diatur dalam Pasal 12. Pasal itu pada pokoknya

menentukan antara lain :

a) Semua orang adalah setara didepan hukum dan berhak mendapatkan

perlindungan hukum yang sama

b) Kecuali dinyatakan dengan tegas dalam konstitusi ini, tidak boleh terjadi

diskriminasi terhadap warga negara dengan alasan agama, ras, keturunan

atau tempat kelahiran dalam segala ketentuan hukum atau dalam segala

jabatan publik atau dalam penerapan segala hukum yang berkenaan

dengan perolehan, pemilihan atau peralihan properti atau dalam

membangun atau mengelola perdagangan, usaha, profesi, keahlian atau

pekerjaan.

c) Ketentuan ini tidak membatalkan atau melarang suatu ketentuan yang

mengatur hukum perorangan atau suatu ketentuan atau praktik yang

membatasi jabatan atau pekerjaan yang berkaitan dengan suatu agama

atau lembaga yang dikelola oleh kelompok suatu agama, pembatasan ini

ditujukan pada orang-orang penganut agama tersebut.

Sementara itu larangan pembuangan dan kebebasan bergerak diatur

dalam Pasal 13 yang menyatakan bahwa tidak akan ada warga negara

Singapura dibuang atau dikeluarkan dari wilayah Singapura dan dengan

tunduk pada hukum yang mengatur keamanan Singapura atau keamanan

Page 9: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

9

bagian-bagian Singapura, ketertiban umum, kesehatan umum, setiap

warga negara Singapura mempunyai hak untuk bergerak secara bebas

keseluruh wilayah Singapura dan bebas bertempat tinggal dibagian

tertentu dari wilayah Singapura.

(4).Kebebasan Berbicara, Berkumpul, Berserikat dan Beragama.

Kebebasan berbicara mengeluarkan pendapat, berkumpul dan

berserikat diatur dalam Pasal 14 konstitusi Singapura. Pasal itu pada

intinya menyatakan bahwa semua warga negara Singapura memiliki

kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat. Dalam pelaksanaannya

kebebasan-kebebasan itu dapat dibatasi dengan undang-undang yang

dibuat parlemen. Pembatasan terhadap hak berbicara dan mengeluarkan

pendapat didasarkan atas pertimbangan keamanan negara Singapura

termasuk keamanan bagian-bagian wilayahnya, hubungan bersahabat

dengan negara lain, ketertiban umum dan juga untuk melindungi hak-hak

istimewa parlemen, kehormatan peradilan, fitnah (defamation) atau

hasutan (incitement) dalam segala bentuk pelanggarannya dilarang.

Selanjutnya pertimbangan pembatasan terhadap hak untuk

berkumpul didasarkan atas kepentingan keamanan negara Singapura

beserta bagian-bagian wilayahnya atau atas alasan ketertiban umum.

Sementara, pertimbangan pembatasan terhadap hak berserikat

didasarkan pada alasan keamanan negara Singapura berikut bagian-

bagian wilayahnya, ketertiban umum atau moral umum. Ditegaskan,

melalui ayat (3) Pasal 14 itu bahwa pembatasan kebebasan berserikat itu

dapat juga diatur melalui undang-undang perburuhan atau undang-

undang pendidikan.

Berkenaan dengan kebebasan beragama, konstitusi Singapura

mengaturnya dalam Pasal 15. Ada 4 hal yang dinyatakan diatur dalam

pasal itu yakni :

a. Tiap orang mempunyai hak untuk memeluk agama, beribadah, dan

mengembangkan agamanya

Page 10: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

10

b. Tiada seorangpun dapat dipaksa membayar pajak hasil kegiatan yang

seluruhnya atau sebagian dilaksanakan untuk kepentingan

agamanya sendiri.

c. Setiap kelompok keagamaan mempunyai hak untuk : (1) mengurus

urusan agamanya sendiri; (2) membentuk lembaga-lembaga

keagamaan atau lembaga-lembaga sosial keagamaan; (3) mencari dan

memiliki kekayaan, memanfaatkan dan mengurusnya sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku.

d. Ketentuan dalam Pasal 15 ini dalam pelaksanaannya tidak dibenarkan

bertentangan dengan hukum umum yang berkaitan dengan ketertiban

umum, kesehatan umum dan moral.

(5).Hak Atas Pendidikan

Hak atas pendidikan diatur dalam Pasal 16 sebagai berikut :

a.Tanpa bertentangan dengan Pasal 12 (tentang persamaan), tidak akan

terjadi diskriminasi diantara warga negara Singapura atas dasar agama,

ras, keturunan dan tempat kelahiran dalam hal : (a) pengelolaan

pendidikan yang diselenggarakan oleh otoritas publik dan khususnya

dalam penerimaan murid atau mahasiswa atau dalam pembiayaan murid

atau mahasiswa atau dalam pembayaran uang pendidikan; atau (b)

dalam pemberian dana bantuan dari otoritas publik untuk

penyelenggaraan pendidikan murid atau mahasiswa dalam lembaga

pendidikan baik yang dikelola oleh otoritas publik maupun yang bukan,

dan baik lembaga itu berada di dalam maupun diluar negara Singapura.

b. Setiap kelompok keagamaan mempunyai hak untuk mendirikan dan

mengembangkan lembaga pendidikan agama untuk anak-anak, dan

melaksanakan perintah agama mereka sendiri, dan tidak boleh terjadi

diskriminasi dibidang hukum dan penerapannya terhadap lembaga itu

semata-mata berdasarkan alasan agama.

Page 11: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

11

c.Tidak ada orang yang dapat diminta untuk menerima perintah atau

mengambil bagian dalam suatu upacara atau persembahyangan dari

sebuah agama lain, selain terhadap agamanya sendiri.

d.Berkaitan dengan ketentuan tersebut, agama seseorang yang belum

berumur 18 tahun ditentukan oleh orang tuanya atau oleh walinya.

2).Dewan Kepresidenan Untuk Hak-Hak Minoritas

Dewan kepresidenan untuk hak-hak minoritas ini diatur dalam Bab VII,

Pasal 69 hingga Pasal 92. Beberapa bagian penting dari Bab VII ini adalah

menyangkut eksistensi, fungsi dan kewajiban Dewan ini.

a) Eksistensi

Keberadaan Dewan ini ditegaskan dalam Pasal 69 yang

menyatakan bahwa ada sebuah Dewan Kepresidenan untuk perlindungan

hak-hak minoritas. Susunan keanggotaan Dewan ini terdiri dari : (a)

sebanyak-banyaknya 10 orang anggota tetap dengan masa jabatan

seumur hidup; (b) dan sebanyak-banyaknya 10 orang anggota tidak tetap

dengan masa jabatan 3 tahun. Anggota tidak tetap dapat diangkat

kembali dengan tanpa pembatasan periode masa jabatannya. Ketua dan

anggota diangkat oleh Presiden atas rekomendasi Kabinet.

b) Fungsi Dewan

Dewan mempunyai fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum diatur

dalam Pasal 76 yang menentukan bahwa fungsi utama dari dewan adalah

untuk mempertimbangkan dan melaporkan segala persoalan yang

menimpa seseorang dari ras tertentu atau dari kelompok agama tertentu.

Persoalan yang menimpa minoritas tersebut disampaikan kepada Dewan

oleh Parlemen atau oleh pemerintah.

Sementara fungsi khusus dari Dewan adalah penilaian (review) terhadap

ketentuan aturan perundang-undangan yang di dalamnya mengatur hal-hal

yang bersifat bertentangan (differentiating measure) dengan konstitusi.

Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 80 dan Pasal 81.

Page 12: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

12

Fungsi khusus lainnya adalah menilai apakah sebuah rancangan undang-

undang darurat yang diusulkan oleh pemerintah betul-betul memenuhi

kualifikasi darurat atau tidak. Untuk keperluan itu Ketua Parlemen wajib

mengirim salinan otentik dari naskah itu kepada Dewan untuk dinilai (Pasal

79).

c) Kewajiban Dewan

Dewan wajib dalam setiap persidangan dilaksanakan secara tertutup dan tidak

dibenarkan mendengar pihak-pihak yang keberatan atau saksi-saksi dalam hal

Dewan melakukan penilaian terhadap aturan perundang-undangan, demikian

ditegaskan dalam Pasal 84.

Kewajiban Dewan lainnya diatur dalam Pasal 69 adalah

melaporkan kegiatannya tiap tahun kepada Presiden dan mengirim

tembusannya kepada Parlemen secepatnya.

3). Ketentuan Khusus Untuk Melawan Subversi dan Ketentuan Keadaan Darurat.

Hal menarik lainnya dalam konstitusi Singapura adalah mengenai

adanya pasal yang mengatur penindakan terhadap subversi yakni Pasal 149.

Secara implisit pasal ini memberi pengertian tentang subversi sebagai

berikut : subversi adalah tindakan berupa; timbulnya rasa takut dikalangan

warga negara Singapura, kekerasan yang terorganisir, tindakan yang

menimbulkan rasa benci terhadap Presiden dan pemerintah, menyebarkan

rasa permusuhan antar ras, dan pengrusakan.

Selanjutnya Pasal 149 ini menyatakan bahwa untuk melawan

subversi, Parlemen dapat membuat Undang-Undang sekalipun isinya

bertentangan dengan Pasal 9, 11, 12, 13, 14 konstitusi yakni pasal-pasal

yang mengatur kebebasan dasar manusia. Nampaknya Pasal 149 ini menjadi

dasar konstitusional untuk munculnya berbagai Undang-Undang yang

bersifat sangat represif, salah satunya adalah Undang-Undang tentang

keamanan dalam negeri (internal security act/ISA).

Page 13: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

13

Disamping ketentuan untuk melawan subversi, konstitusi juga

mengatur tentang negara dalam keadaan darurat. Pada pokoknya menurut

Pasal 150, Presiden diberi kewenangan oleh konstitusi untuk menyatakan

keadaan darurat dan menerbitkan peraturan pelaksanaannya.

Pernyataan itu harus segera diajukan kepada Parlemen untuk

mendapat persetujuan. Apabila tidak mendapat persetujuan, pernyataan

darurat beserta peraturan pelaksanaannya tidak lagi mempunyai kekuatan

mengikat. Namun apabila Presiden menganggap perlu, maka Presiden

kemudian dapat mengeluarkan pernyataan keadaan darurat yang baru.

Disisi lain, ketentuan yang berkaitan dengan hak asasi manusia

adalah Pasal 151 yang mengatur pembatasan masa penahanan atas seseorang

yang dikenakan penahanan untuk pencegahan kejahatan (preventive

detention). Lebih jauh pasal ini menyatakan bahwa seseorang yang ditahan

harus segera diberi tahu alasan penahanannya dan diberi kesempatan untuk

mengajukan keberatan dan seseorang tidak boleh ditahan melebihi 3 bulan

kecuali suatu Badan Pertimbangan (Advisory Board) memberi

pertimbangan kepada Presiden atas urgensi penahanan itu. Namun dalam

praktiknya nampaknya ketentuan itu kerap dilanggar sehingga

mengakibatkan seseorang ditahan bertahun-tahun tanpa proses peradilan.

C. Implementasi HAM

1. Internal Security Act (ISA)

(1) Sejarah Singkat ISA

Pada tahun 1948 pemerintah kolonial Inggris di Malaya mengalami

gangguan keamanan yang dipicu oleh pemberontakan komunis. Untuk

menumpas pemberontakan itu pemerintah kolonial menerbitkan Peraturan

Darurat (Emergency Regulation) yang kemudian terkenal dengan sebutan

Internal Security Act ( ISA) atau Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri.

Page 14: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

14

Menurut undang-undang ini, polisi dibenarkan untuk menahan

seseorang yang perbuatannya diperkirakan dapat mengancam keselamatan

negara tanpa alat-alat bukti pendahuluan, dan tanpa perlu diperiksa di

pengadilan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.

Tiga tahun setelah Malaya (kini Malaysia) merdeka yakni tahun 1960,

keadaan darurat dinyatakan telah berakhir. Namun ISA tetap diperlakukan di

Malaysia sama seperti sebelumnya. Dalam suatu debat Parlemen, Perdana

Menteri Malaysia saat itu, Tengku Abdul Rahman mengatakan bahwa

berlakunya ISA hanya ditujukan kepada sisa-sisa pemberontakan komunis.

Pada tahun 1965 Singapura memisahkan diri dari federasi Malaysia.

Meski telah memisahkan diri, Singapura tetap memberlakukan ISA hingga

saat ini. Beberapa kejadian penting berkaitan dengan penerapan ISA

Singapura antara lain ; a), tahun 1963 operasi bersama Malaysia – Singapura

untuk menangkap 117 orang dari partai oposisi dan pemimpin serikat buruh

dan beberapa diantara mereka ditahan melebihi 17 tahun; (b), tahun 1966

Chia Thye Poh, seorang anggota partai barisan sosialis ditahan tanpa diadili

selama 32 tahun dan sembilan tahun terakhir dia ditahan dalam tempat

khusus di pulau Sentosa dan dibatasi hak-hak sipilnya; (c), tahun 1987

dalam suatu operasi siaga, 22 orang aktivis gereja Katolik dan aktivis sosial

serta beberapa profesional ditahan dengan tuduhan mereka melakukan

persekongkolan untuk mendirikan negara dengan idiologi marxist; (d), tahun

2001 beberapa anggota Jemaah Islamiah ditahan karena terlibat rencana

serangan di beberapa kedubes Singapura; (e), pada Agustus – September

2002, 21 anggota Jemaah Islamiah ditahan lagi; (f),pada Februari 2006,

tokoh Jemaah Islamiah Mas Slamet bin Kastari diekstradisikan dari

Indonesia kemudian ditahan tanpa diadili dibawah ISA Singapura, namun

tahun 2008 dia melarikan diri dari penjara Singapura ke Malaysia dan pada

1 April 2009 ditahan kembali setelah diekstradisi oleh Malaysia; (f), Juni

2007 pengacara Abdul Bacheer ditangkap di wilayah Middle Eastern dan

ditahan di Singapura atas tuduhan merencanakan dan mempersiapkan

Page 15: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

15

sesuatunya untuk keperluan aktivis militan Afganistan, dan pada Februari

2010 dia dibebaskan dari tahanan (http://www.en.wikipida.org; 20-1-11).

(2). Komentar

Penerapan ISA oleh pemerintah Singapura seperti terlihat pada

peristiwa-peristiwa diatas dapat diberi komentar sebagai berikut ini.

Pada pokoknya penerapan ISA itu jika ditinjau dari segi jenis

kejahatan, diterapkan pada jenis kejahatan biasa (kejahatan politik) dan

kejahatan luar biasa (kejahatan terorisme). Perlu dilihat apakah di dalam

melakukan unjuk rasa, kritik, atau protes dari partai oposisi itu telah

menimbulkan tindak kriminal. Kalau itu yang terjadi seharusnya pelakunya

dikenakan prosedur pidana biasa. Adapun ISA yang sesungguhnya

mengandung prosesdur pidana luar biasa, karena dimungkinkan penahanan

tanpa diadili, tidak tepat diterapkan kepada lawan-lawan politik partai yang

berkuasa. Dikhawatirkan penerapan itu semata-mata untuk membungkam

suara oposisi dalam suatu negara demokrasi modern.

Sebaliknya, kalau ISA yang mengandung prosedur pidana luar biasa

itu diterapkan kepada kejahatan terorisme mungkin masih dapat dibenarkan

karena kejahatan terorisme itu bersifat luar biasa, kejahatan terorisme itu

dirancang dan dilaksanakan oleh jaringan internasional sehingga relatif sulit

untuk mendapatkan alat-alat buktinya. Disamping itu diperlukan tindakan

intelijen yang cermat untuk pencegahannya terutama dengan mengisolasi

penyebarannya. Sehingga terkadang diperlukan penahanan relatif lama,

namun pada akhirnya mereka harus diadili untuk membuktikan

kesalahannya, kalau tidak bersalah tentu segera harus dibebaskan.

Namun ada kemungkinan penahanan tanpa batas waktu dimaksukan

untuk menerapkan salah satu prinsip pengamanan adalah “pencegahan dini”

yakni lebih baik mencegah lebih awal dari pada menindak setelah kejadian.

Prinsip semacam ini sempat dikemukakan oleh Jaksa Agung AS, Michael B

Mukasey di depan Federalist Society National Lawyer’s Covention di New

York sbb : ….”FBI….designed to detect and prevent attack before they

Page 16: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

16

occur rather than simply investigating them afterward”. ( M B Mukasey;

2009 : 834 ).

Prinsip “pencegahan dini” ini nampaknya mewarnai kemunculan

undang-undang patriot ( Patriot Act ) AS yang memungkinkan penahanan

tanpa peradilan dalam pembrantasan tindak pidana terorisme dengan

menempatkan para tersangka teroris pada kamp Guantanamo.

Disisi lain, perlu dipertanyakan, apakah penahanan tanpa peradilan

itu dapat dianggap syah menurut hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini

kiranya dapat dirujuk dua landasan system hukum yakni sistem hukum

internasional dan sistem hukum nasional. Sistem hukum internasional

mengacu pada instrument internasional HAM yang berkualifikasi sebagai

norma hukum positif ( legal norm ) dan yang berkualifikasi sebagai

prinsip hukum ( legal principle ) atau moral positif. Instrumen internasional

yang berkualifikasi sebagai moral positif adalah Deklarasi Universal HAM (

Universal Declaration on Human Rights ) 1948, dan yang berkualifikasi

sebagai norma hukum positif adalah Kovenan Internasional Tentang Hak

Sipil dan Politik ( International Covenant on Civil and Political Rights )

1966. Kualifikasi sebagai legal norm dari Kovenan ini ditandai dengan

adanya persyaratan untuk melakukan tindakan ratifikasi bagi Negara peserta

agar kovenan dapat mengikat secara hokum di wilayah masing-maing,

sementara Deklarasi Universal HAM tidak mengandung persyaratan itu

sehingga kekuatan mengikatnya hanya sebatas moral belaka. Mengikat

secara hukum artinya terdapat kewajiban dan tanggungjawab hukum didalam

melaksanakan kovenan, dan jika semua itu tidak terpenuhi, Negara dapat

dikenakan sanksi hukum internasional.

Kalau diperhatikan naskah Deklarasi HAM PBB, dalam Pembukaan

terlihat alinea-alinea yang relevan dengan kondisi Singapura. Dalam alinea I

dinyaatakan bahwa PBB mengakui kemuliaan martabat manusia beserta hak-

hak alamiahnya, itu adalah merupakan dasar bagi kebebasan, keadilan dan

perdamaian dunia. Terkait dengan itu alinea V menegaskan bahwa Negara-

negara anggota PBB telah berjanjia untuk bekerjasama dengan PBB dalam

Page 17: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

17

rangka menegakkan martabat dan HAM itu. Lebih jauh tentang martabat dan

Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) itu dengan tegas diakui keberadaannya

dalam Pasal 1 yang bunyinya sbb; “Semua orang dilahirkan merdeka dan

mempunyai martabat dan hak-hak yang sama, mereka dikarunia akal dan

budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan “ ( Ian

Brownlie, 1993 : 28 ). Dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa setiap orang berhak

atas semua hak dan kebebasan-kebebasannya itu. Salah satu kebebasan yang

diakui Deklarasi adalah kebebasan bergerak sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 13 ayat (1). Penahanan secara sewenang-wenang pada

hakikatnya merupakan pelanggaran tehadap ketentuan Pasal 13 ayat (1) itu

dan oleh karena itu tindakan demikian jelas dilarang yang menurut

ketentuan Pasal 9 menyatakan bahwa tidak seorangpun boleh ditahan atau

dibuang secara sewenang-wenang.

Berdasarkan ketentuan itu, nampaknya yang dilarang oleh

Deklarasi adalah penahanan yang sewenang-wenang ( arbitrary detention ).

Perlu dicermati apakah penahanan yang diatur dalam ISA Singapura

termasuk penahanan sewenang-wenang ataukah penahanan yang prosedural

( procedural detention ). Prosedur penahanannya sesungguhnya memang

telah diatur dalam ISA itu sendiri. Jika demikian permasalahannya sekarang

telah meningkat menjadi permasalahan apakah ISA itu sah; tidak lagi pada

permasalahan apakah penahanan tanpa peradilan itu sah ? Untuk menjawab

pertanyaan ini ada baiknya kembali dirujuk ketentuan Deklarasi HAM PBB

yakni ketentuan Pasal 29 ayat (2). Pasal ini menyatakan :

“In the exercise of his rights and freedom, everyone shall be subject

only to such limitation as are determined by law solely for the

purpose of securing due recognition and respect for the rights and

freedom of others and of meeting the just requirement of morality,

public order and the general welfare in a democratic society”.

Artinya, dalam pelaksanaannya, jika terpaksa dilakukan pembatasan

terhadap hak dan kebebasan yang tertuang dalam Deklarasi,

pembatasan itu haruslah memenuhi syarat-syarat sbb :

Page 18: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

18

(1), pembatasan itu harus berbentuk Undang-Undang ( by law ); (2),

tujuannya untuk menjaga agar hak-hak orang lain diakui dan

dihormati ( recognition and respect for rights and freedom of others

); (3), juga untuk memenuhi tuntutan keadilan moral ( just

requirement of morality ); (4), untuk menjaga ketertiban umum dan

kesejahteraan umum ( public order and general walfare ); ( 5), dan

kesemuanya itu harus berlangsung dalam suasana masyarakat yang

demokratis ( in a democratic society ).

Dikaitkan dengan keberadaan ISA, semua unsur itu nampaknya terpenuhi, karena;

bentuknya memang Undang-Undang, tujuannya memang untuk menjaga agar hak dan

kebebasan orang lain tidak terancam terutama jika penahanan itu ditujukan pada teroris,

dan tentu saja tujuan akhirnya untuk tetap terwujudnya ketertiban umum dam

kesejahteraan umum rakyat Singapura. Tetapi, memang yang masih perlu ditelusuri

apakah proses penetapan ISA sebagai Undang-Undang telah berlangsung dalam suasana

demokratis. Kalau jawabannya ya, maka dari sudut pandang Deklarasi HAM PBB

keberadaan ISA sebagai sebuah Undang-Undang yang melegalkan penahanan tanpa

peradilan ( terutama bagi kelompok teroris ) bukanlah persoalan kontroversial. Namun

karena Deklarasi hanya mengikat secara moral dan secara hukum ia hanya

berkualifikasi sebagai asas hukum ( legal principles ) maka tidak dapat dipakai

sebagai landasan hukum internasional bagi keabsahan ISA itu sendiri.

Bagaimana dengan Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan

Politik ( International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR ) 1966 yang

memiliki kekuatan mengikat secara hukum atau yang berkualifikasi sebagai norma

hukum atau legal norm? Sebagaimana halnya dengan Deklarasi, Kovenan juga

mengatur dengan tegas keberadaan hak kebebasan bergerak dalam Pasal 12 ayat (1).

Pembatasan terhadap pelaksanaan hak itu diatur dalam Pasal 12 ayat (3) dengan

rumusan yang sedikit berbeda dengan Deklarasi namun mengandung makna yang sama.

Untuk jelasnya, kutipan dari aslinya Pasal 12 ayat (3) tersebut sebagai berikut :

“The above mention rights shall not be subject to any restriction

except those which are provided by law , are necessary to protect national

security, public order ( ordre public ), public health or morals or the rights and

Page 19: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

19

freedom of others, and are consistent with the other rights recognized in the

present Covenant”.

Jadi, syarat pembatasan menurut Pasal itu adalah : (1), bentuk aturan hukumnya

adalah Undang-Undang; (2), tujuannya untuk melindungi kamanan nasional (

national security); (3), untuk menjaga ketertiban umum; (4), untuk melindungi

kesehatan (jiwa) umum atau moral; (5), untuk melindungi hak-hak dan

kebebasan orang lain; (6), dan tidak bertentangan dengan hak-hak lainnya yang

diakui oleh Kovenan ini.

Jika persyaratan itu dibandingkan dengan persyaratan pada Deklarasi

maka penekanan persyaratan pada “demi melindungi keamanan nasional”

nampak lebih diutamakan oleh Kovenan, bahkan persyaratan semacam itu sama

sekali tidak ada dalam Deklarasi. Hal yang menarik justru pesyaratan “dalam

suasana masyarakat demokkratis” tidak muncul dalam Kovenan. Dapat ditafsir,

bahwa asalkan untuk kepentingan keamanan Negara, dapat dilakukan

pembatasan terhadap kebebasan bergerak tanpa memerlukan prosedur

persetujuan demokratis. Ada kemungkinan tafsir ini yang diikuti oleh pemerintah

Singapura.

Persyaratan lain yang tidak ada dalam Deklarasi namun muncul dalam

Kovenan adalah persyaratan “tidak bertentangan dengan hak-hak lainnya yang

diakui Kovenan”. Artinya, pembatasan itu tidak boleh bertentangan dengan hak-

hak lainnya misalnya hak untuk tidak disiksa, dalam melakukan penahanan orang

yang ditahan tidak boleh disiksa.

Disisi lain, kendati Kovenan sepertinya membenarkan tindakan Singapura,

tidaklah serta merta dapat dipakai landasan hukum internasional untuk keabsahan

ISA, karena terlebih dahulu harus ada transformasi Kovenan oleh Singapura

melalui tindakan ratifikasi.Tentang apakah Singapura telah meratifikasi

Kovenan atau belum, hal itu akan disinggung lebih jauh dalam Bab III.

Sementara dalam tataran sistem hukum nasional, satu-satunya dasar

hukum keabsahan ISA dapat dipulangkan pada ketentuan Pasal 149 dari Bab XII

Konstitusi Singapura. Seperti telah disinggung diatas, Pasal itu merupakan

sumber dari berbagai Undang-Undang yang menyangkut tindakan Subversi.

Page 20: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

20

Sekali lagi perlu diingat, Bab XII itu memberikan kewenangan atributif kepada

Parlemen untuk membuat Undang-Undang yang menyimpang dari Bab IV

tentang Kebebsan Fundamental ( Fundamental Freedom ). Dapat dikatan bahwa

semua norma hukum yang lahir dari Bab XII itu, termasuk ISA, memiliki

karakter yang anomali, karena keabsahannya didasarkan pada penyimpangan

yang dibenarkan oleh konstitusi atau penyimpangan yang konstitusinal atau

penyimpangan yang lahir dari konflik norma interen konstitusi.

II. Posisi Singapura Dalam Keterkaitannya Terhadap Hukum HAM Internasional

Sebagai bagian dari Hukum Internasional, Hukum HAM Internasional dalam

perkembangannya juga memiliki dua fungsi penting yakni : (1), sebagai instrumen

untuk mengkoordinasikan praktek hubungan internasional lintas batas dalam bidang

HAM atau sebagai “operating system”; (2), dan sebagai instrumen untuk meletakkan

nilai-nilai dan tujuan dasar yang harus dirujuk dalam hubungan internasional atau

sebagai “normative system”. ( P F Diehl & Charlotte Ku; 2010 : 2 )

Dalam kaitan ini akan dilakukan telaah terhadap praktik HAM Singapura (

pada Bab III ) dan praktik HAM RRC ( pada Bab IV ) apakah kedua Negara telah

menggunakan instrument internasiona HAM sebagai rujukan.

A. Penerapan ISA Singapura

Sebagaimana diketahui salah satu keunikan konstitusi Singapura adalah

secara tegas mengatur pemidanaan terhadap subversi melalui Pasal 149. Ketegasan

itu tampak dari formulasi Pasal itu yang menyatakan bahwa parlemen dapat

membuat Undang-Undang yang mengatur pemidanaan atas tindak pidana subversi

dengan boleh menyimpangi Pasal 9, 11, 12, 13 dan 14 konstitusi yakni pasal-pasal

tentang kebebasan dasar manusia.

Salah satu Undang-Undang dimaksud adalah Undang-Undang Keamanan

Dalam Negeri atau Internal Security Act (ISA). Berdasarkan landasan

Page 21: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

21

konstitusional tersebut dalam penerapannya ISA kemudian digunakan sebagai dasar

hukum melakukan penahanan tanpa proses peradilan (preventive detention)

terhadap mereka yang dianggap melakukan tindakan subversi seperti diatur dalam

Bab II ISA yang terdiri dari tidak kurang dari 45 Pasal. Tafsir atas ke 45 pasal itu

memberi kesimpulan bahwa , menurut versi ISA, t indakan subversi itu adalah

segala tindakan yang bermuara pada terjadinya suatu situasi berupa ancaman

terhadap keselamatan dalam negeri.

Demikianlah misalnya tampak, bahwa dari sejak awal berlakunya

ISA,sekitar 1963 hingga 2010 pejabat ISA telah mengenakan penahanan tanpa

peradilan kepada dua kelompok masyarakat yang sama sekali berbeda kualifikasi

kejahatannya.

Sehubungan dengan itu Papademas dalam sebuah pernyataannya

mengatakan bahwa dua Negara yang sama-sama menerapakan ISA yakni Singapura

dan Malaysia adalah pelanggar HAM terjelek meskipun mereka mengalami

kemakmuran ekonomi. Lebih jauh Papademas mengatan : “Malaysia and

Singapore, though some what economically prousperous, have been some of the

worst violator of human rights”. ( Diana Papademas; 2011 : 13 ).

Seperti telah disinggung di depan, pada 1963 Singapura dan Malaysia

melakukan operasi bersama untuk menangkap 117 orang pimpinan partai oposisi

dan pmimpinan serikat buruh dan beberapa dari mereka ditahan melebihi 17 tahun

tanpa diadili; Tahun 1966 seorang tokoh partai oposisi juga ditahan tanpa diadili

selama 32 tahun dan sembilan tahun terakhir dikenakan tahanan khusus

ditempatkan di Pulau Sentosa dengan pembatasan hak-hak sipilnya. Sementara itu

penahanan tanpa diadili untuk terorist dikenakan pada para anggota Jemaah

Islamiah yang berencana meledakkan kedubes Singapura diberbagai negara, dan

terakhir 2009 gembong teroris Singapura yakni Mas Selamet Bin Kastari

meringkuk dalam tahanan tanpa pernah diadili atas kuasa ISA .

(http://www.en.wikipedia, org ; 20-1-2011). .

Jika sekiranya ISA itu dianggap sebagai suatu instrumen hukum luar biasa

untuk menyelematkan negara dari ancaman teroris mungkin dalam derajat tertentu

dapat dibenarkan. Artinya, kejahatan terorisme itu adalah tergolong kejahatan luar

Page 22: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

22

biasa (extraordinary crime) yang harus juga ditangani dengan hukum luar biasa

(extraordinary law) seperti ISA.

Terorisme dapat digolongkan dalam kejahatan luar biasa karena sebenarnya

terorisme memenuhi unsur-unsur kejahatan atas kemanusiaan (crime against

humanity) yang tergolong pelanggaran berat HAM.

Pada prinsipnya penulis hukum pidana internasional maupun penulis

hukum pidana nasional menyepakati bahwa unsur-unsur kejahatan kemanusiaan

paling tidak terdiri dari:

a. Unsur Internasional berupa :

(1) Merupakan ancaman secara langsung atas perdamaian dan keamanan dunia

(direct threat to world peace and security).

(2) Atau ancaman secara tidak langsung atas perdamaian dan keamanan dunia

(indirect to the world peace and security).

(3) Menggoyahkan perasaan kemanusiaan (shocking to the concience of

humanity).

b. Unsur Transnasional yang berupa :

(4) Tindakan itu menyimpulkan dampak pada lebih dari satu negara (affecting

of more than one state).

(5) Melibatkan atau memberi dampak terhadap warga negara lebih dari satu

negara (conduct or affecting citizen of more than one state).

(6) Sarana, prasarana atau metode yang digunakan melampaui batas-batas suatu

negara (means and methods trancend national boundaries).

c. Unsur “necessity” berupa kebutuhan kerjasama antar negara untuk

penanggulangannya (cooperation of state, necessary to enforce). ( Romli

Atmasasmita; 1995 : 58-59 ).

Jika diperhatikan unsur-unsur itu nampaknya terorisme memenuhi ketiga-

tiganya yakni : unsur internasional, unsur transnasional; unsur “kebutuhan”

terutama berupa : menggoncang perasaan kemanusiaan, kegiatannya melintasi

batas negara dan adanya kebutuhan bersama negara-negara untuk

menanggulanginya.

Page 23: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

23

Meski teroris dapat digolongkan penjahat kemanusiaan, penerapan ISA

dengan menahan tanpa diadili dapat dinilai sebagai tindakan yang sewenang-

wenang serta melanggar salah satu prinsip negara hukum yakni prinsip “kepastian

hukum”. Supaya ada kepastian hukum pengadilan adalah instansi terakhir dalam

suatu negara hukum yang seharusnya memutuskan apakah seseorang bersalah atau

tidak.

Terhadap kekuatan partai oposisi, penerapan ISA dengan penahanan tanpa

peradilan adalah sangat tidak tepat karena hal itu merupakan pelanggaran atas hak

kebebasan berpendapat (freedom of expressian) jika kegiatan itu dilakukan oposisi

secara damai. Jika dilakukan dengan kekerasan berupa pelanggaran pidana,

seyogyanya yang diterapkan adalah hukum pidana biasa dan bukan ISA karena

kualifikasi kejahatannya adalah kejahatan biasa, dan bukan kejahatan luar biasa

seperti apa yang dilakukan oleh teroris.

Namun demikian tindakan Singapura menerapkan ISA terhadap

warganegaranya tidaklah dapat digolongkan pelanggaran terhadap hukum

Humaniter Internasional yang termaktub dalam konvensi Den Haag dan konvensi

Jenewa, tetapi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hukum HAM Internasional

yakni pelanggaran atas kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966.

B. Pelanggaran HAM Lainnya

Selain penerapan ISA, menurut laporan tahunan Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) Internasional, Singapura tiap tahun dilaporkan melakukan

pelanggar HAM.

Seperti telah disinggung di depan pelanggaran HAM menurut laporan itu

antara lain : (a) pelanggaran terhadap hak untuk hidup berhubung diterapkannya

hukuman mati; (b) hak untuk tidak disiksa; (c) hak atas informasi; (d) hak

kebebasan berkumpul, berekspresi dan berserikat ; (e) hak kebebasan seksual dan

gender; (d) diskriminasi atas buruh migran (http://www.en.wikipedia.org, 27–8–

2011) (http://www.hrw.org; 23-6-2011).

Page 24: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

24

1.Pelanggaran Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil Dan Politik

Dari laporan internasional itu, nampaknya instrument internasional yang

dilanggar Singapura adalah konvenan Hak Sipil dan Politik, konvensi Ant i

Penyiksaan dan konvensi Buruh Migran. Namun ada satu hal yang perlu

dicermati lebih jauh, yakni apakah tindakan Singapura menerapkan hukuman

mati dapat dikatakan melanggar kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan

Politik.

Berkenaan dengan penerapan hukuman mati, konvenan internasional

Hak Sipil dan Politik mengaturnya secara luas dalam Pasal 6 yang terdiri dari 6

ayat. Untuk kejelasan makna, perlu dikutip seutuhnya bunyi pasal tersebut

sebagai berikut :

Ayat (1) Every human being has the inherent right to life. This right shall be

protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his live.

Ayat ini mengatur hak yang paling mendasar dari manusia dengan menyatakan

bahwa setiap umat manusia mempunyai hak dasar untuk hidup. Hak dasar ini

harus dilindungi dengan Undang-Undang , dan tidak seorangpun dengan

sewenang-wenang dapat mencabut nyawa seseorang.

Ayat (2) In countries which have not abolished the death penalty, sentence of

death may be imposed only for the most serious crime in accordance

with the law inforce at the time of the commission of the crime and

not contrary to the provisions of the present covenant and to the

convention on the prevention and punishment of the crime of

genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final

judgement by a competent court. (Garis bawah dari penulis).

Pada negara-negara yang tidak menghapus hukuman mati, hukuman mati hanya

dapat diberlakukan pada kejahatan yang amat serius sesuai dengan Undang-

Undang yang berlaku pada saat kejahatan itu diperbuat, dan tidak bertentangan

dengan ketentuan-ketentuan kovenan ini dan tidak bertentangan dengan

konvensi pencegahan dan penghukuman kejahatan Genosida. Hukuman mati ini

Page 25: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

25

hanya dapat dilaksanakan atas dasar putusan yang bersifat final dari pengadilan

yang berwenang.

Dalam ayat ini, diatur unsur-unsur normatif jika suatu negara tetap

menerapkan hukuman mati. Paling tidak ada 5 unsur yakni :

1) Hukuman mati itu hanya dapat dikenakan pada kejahatan yang diberi

dikualifikasi amat serius (the most serious crime). Tafsir terhadap istilah

“the most serious crime” mengarah kepada kejahatan luar biasa

(extraordinary crime) sebagai lawan dari kejahatan biasa (ordinary crime),

dimana yang pertama berkonotasi pada pelanggaran berat HAM sementara

yang kedua berkonotasi pada pelanggaran biasa HAM.

2) Penjatuhan hukuman mati itu sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku

pada saat perbuatan pidana itu dilakukan oleh pelaku (at the time of the

commission). Ini berarti hukuman mati tidak boleh berlaku surut (non

retroaktif).

3) Penjatuhan hukuman mati tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-

ketentuan dalam konvensi Hak Sipil dan Politik. Misalnya hukuman mati itu

tidak boleh bertentangan dengan Pasal 7 yakni diterapkan dengan cara-cara

yang kejam (inhuman punishment). Atau anak-anak dibawah umur 18 tahun

dan wanita hamil tidak dapat dijatuhi hukuman mati sesuai ketentuan ayat 5

Pasal 6 kovenan ini..

4) Penjatuhan hukuman mati itu juga tidak boleh bertentangan dengan

ketentuan-ketentuan konvensi Genocide 1948; misalnya jika penjatuhan

hukum mati dimaksudkan untuk melakukan persekongkolan dengan pihak

tertentu untuk melakukan (conspiracy to commit) genosida sebagaimana

diatur dalam Pasal III huruf b konvensi Genosida itu.

5) Hukuman mati itu harus dijatuhkan oleh Pengadilan yang berwenang dan

putusan harus telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Seperti telah disebutkan di depan ada sekitar 12 tindak pidana yang

diancam hukuman mati di Singapura yakni : (1) memerangi pemerintah; (2)

menyerang Preiden; (3) Pemberontakan; (4) pembajakan; (5) sumpah palsu; (6)

Page 26: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

26

pembunuhan ; (7) membantu bunuh diri; (8) percobaan pembunuhan oleh

narapidana ; (9) penculikan; (10) perampokan ; (11) narkotika, (12)

pemilikan/penguasaan senjata api (http://www.en.wikipedia.org ; 27-8-2011).

Ada dua jenis tindak pidana barangkali yang dapat digolongkan

kejahatan sangat serius (utmost serious crime) yakni : memerangi pemerintah

tertama jika dilakukan oleh teroris internasional seperti Jmaah Islamiah dan

pembajakan di laut ataupun di udara. Kejahatan lainnya nampaknya adalah

kejahatan biasa, sehingga tidak tergolong kejahatan sangat serius menurut

ketentuan Pasal 6 ayat (1) kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Dengan

demikian kejahatan lainnya itu tidaklah tepat diancam dengan hukuman mat i

menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) kovenan tersebut.

Selanjutnya ayat 3 berbunyi : “When deprivation of life constitutes the

crmie of genocide, it is understood that nothing in this articles shall authorize

anay state party to the present convenant to derogate in any way from any

obligation assumed under the provisions of the convention on the prevention

and punushment of the crime of Genocide”.

Bila penghilangan nyawa itu merupakan kejahatan genosida, perlu

dipahami bahwa tidak ada ketentuan yang membenarkan suatu negara peserta

kovenan ini untuk mengesampingkan kewajiban-kewajiban yang tertera dalam

konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida.

Sementara ayat 4 mengatakan : “Any one sentence to death shall has the

right to seek pardon or commutation of the sentence. Amnesty, pardon of

commutation of the sentence of death may be granted in all cases”.

Ini berarti bahwa seseorang yang dikenakan hukuman mati mempunyai

hak untuk mendapat pengampunan atau keringanan hukuman. Pengampunan

atau keringanan hukuman itu dapat diberikan kepada segala jenis kejahatan

(yang diancam hukuman mati).

Lebih jauh ayat 5 menegaskan sebagai berikut :

“Sentence of death shall not be imposed for crimes cominited by

persons below eighteen years of age and shall not be carried out on pregnant

women”.

Page 27: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

27

Kemudian disusul ayat (6) sebagai berikut :

“Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the

abolition of capital punishment any state party to the present covenant”.

Ayat 5 itu menyatakan bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan

terhadap orang yang berumur dibawah 18 tahun dan terhadap wanita hamil;

sementara ayat 6 menekankan bahwa penerapan Pasal 6 ini tidaklah

dimaksudkan untuk menunda atau mencegah upaya penghapusan hukuman mat i

oleh suatu Negara Peserta kovenan.

Ketentuan ayat 6 ini tentu menarik untuk dianalisis lebih jauh, karena

sementara kalangan berpendapat bahwa ayat 6 ini secara berangsur-angsur

kovenan berart bermaksud menghapus hukuman mati. Penulis beranggapan

bahwa kovenan tidak melarang hukuman mati asalkan dilaksanakan sesuai

persyaratan yang tercantum pada Pasal 6 ayat 2 seperti telah disebutkan di atas.

Namun jika ada Negara Peserta yang tengah berupaya menghapuskan hukuman

mati, dengan adanya ketentuan ayat 2 itu tidaklah berarti upaya itu ditunda atau

dibatalkan seperti tersirat pada ayat 6 dari Pasal 6 kovenan.

Jadi untuk mengevaluasi apakah Singapura melanggar atau tidak Pasal

6 ayat (2) perlu diadakan penelitian lebih jauh apakah hukuman mati itu

diterapkan pada kejahatan yang tergolong sangat serius (utmost serious crime)

ataukah kejahatan biasa.

Disisi lain, laporan internasional juga menyatakan bahwa Singapura

telah melakukan pelanggaran HAM atas hak kebebasan informasi, kebebasan

berkumpul, berserikat; serta kebebasan seksual sesama jenis.

Berkenaan dengan kebebasan informasi, berkumpul dan berserikat

kovenan memang mengatur dengan jelas, namun kebebasan seksual sesama

jenis tidak jelas pengaturannya.

Kebebasan mendapat informasi diatur dalam Pasal 19 ayat (2) dimana

kebebasan itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Dikatakan bahwa ;

“… every one shall have the right to freedom of expression, this right include

freedom to seek, receive and impart information…”.( Setiap orang mempunyai

Page 28: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

28

hak atas kebebasan berekspresi, hak ini meliputu hak untuk mencari, menerima

dan member informasi ).

Kebebasan untuk berkumpul dan berserikat diatur dalam Pasal 21 dan

Pasal 22 ayat (1). Pasal 21 mengatakan bahwa hak berkumpul secara damai

adalah diakui atau…. the right of peaceful assembly shall be recognized.

Sementara Pasla 22 ayat (2) menyatakan bahwa tiap orang memiliki hak untuk

kebebasan berserikat dengan yang lainnya, atau….. every one shall have the

right to freedom of association with others.

Sehubungan dengan laporan internasional tentang pelanggaran hak

kebebasan seksual sesama jenis oleh Singapura ternyata setelah ditelit i

keseluruhan ketentuan kovenan tidak ada indikasi kearah tindakan seperti itu.

Kovenan tidak ada mengatur hak kebebasan sesama jenis melakukan hubungan

seksual. Bahkan Pasal 23 ayat (2) hanya membenarkan dilangsungkan

perkawinan pasangan beda jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dewasa

dengan rumusan sebagai berikut : “The right of men and women of

marriageable age to marry and to found a famiy shall be recognized”.

2. Pelanggaran Konvensi Anti Penyiksaan

Sebagaimana diketahui, hukum pidana Singapura mengenal hukuman

cambuk dengan rotan, sebagai hukuman tambahan atas hukuman pokok. Pasal

325 s/d 332 hukum acara pidana Singapura mengatur tata cara pelaksanaan

hukuman cambuk dengan rotan, diantaranya : hanya boleh dikenakan pada

orang yang telah berumur 18 hingga 50 tahun, paling banyak dipukul sampai 24

kali, panjang dan diameter rotan adalah 1,2 meter dan 1,27 cm, dalam keadaan

sehat dengan terlebih dahulu diperiksa dokter, dipukul dengan sekuat tenaga

dengan interval pukulan 10 s/d 15 detik (http://www.en.wikipedia.org; 27-8-

2011).

Lembaga Swadaya Masyarakat dan pengamat internasional mengecam

hukuman cambuk ini sebagai suatu tindakan yang kejam dan tidak

Page 29: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

29

berperikemanusiaan. Hukum Hak Asasi Manusia Internasional melarang

penyiksaan seperti itu melalui konvensi internasional tentang Anti Penyiksaan.

Konvensi ini lengkapnya berjudul “Konvensi Anti Penyiksaan dan

Kekejaman Lainnya, Hukuman Atau Tindakan Yang Tidak

Berperikemanusiaan” (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman

or Degrading Treatment or Punishment) 1984.

Pasal 2 Konvensi mewajibkan Negara Peserta untuk melakukan upaya

legislasi, administrasi dan judisial untuk melaksanakan Konvensi ini. Juga

ditegaskan bahwa segala jenis keadaan darurat dan perintah atasan tidak dapat

dijadikan alasan untuk melakukan penyiksaan. Sementara Pasal 4 mewajibkan

Negara Peserta untuk menyatakan dengan tegas dalam hukum pidananya bahwa

penyiksaan adalah perbuatan pidana dapat dihukum sebagaimana mestinya

sesuai dengan berat ringannya kejahatan itu.

3. Pelanggaran Konvensi Buruh Migran

Laporan HRW (Human Right Watch) internasional menyatakan

Singapura telah melakukan diskriminasi terhadap buruh migran. Diskriminasi

itu misalnya ; (1) menerapkan standard kontrak yang menempatkan buruh

migran pada posisi yang lemah ; (2) buruh yang hamil dapat diusir dari

Singapura; (3) buruh migran tidak boleh kawin dengan warga negara

Singapura. (http://www.hrw.org; 23-6-2011).

Jika dikaitkan dengan konvensi tentang buruh migran (lengkapnya;

Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak-hak Hemua Huruh Migran

dan Keluarga) atau International Convention on the Protection of the Rights of

All Migrant Workers and Members of their Families) 1990, maka nampak

tindakan Singapura itu melanggar Pasal 7 tentang larangan melakukan

diskriminasi terhadap buruh migran.

Lengkapnya pasal itu berbunyi sebagai berikut :

“State Parties Undertake in accordance with the international

instruments concerning human rights, to respect and ensure to all migrant

Page 30: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

30

workers and members of their families within their territory or subject to their

jurisdiction the rights provided for the present convention without distinction of

any kind such as sex, race, colour, language, religion or conviction, political or

other opinion, nationality, age, echonomic position, property, marital status,

birth and others status. (Negara Peserta bertindak sesuai dengan instrumen

internasional HAM menghormati dan memastikan bahwa semua buruh migran

beserta keluarga mereka yang berada dalam wilayah atau dibawah jurisdiksinya

hak-hak yang dijamin dalam konvensi ini akan dinikmati tanpa membeda-

bedakan latar belakang jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agam atau

keyakinan, pandangan politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, umur, posisi

ekonomi, kekayaan, status perkawinan, status kelahiran dan status lainnya).

C. Posisi Keterikatan Singapura Pada Konvensi HAM

Berdasarkan uraian di atas sepintas nampak Singapura melanggar

konvenan/konvensi Internasional HAM tentang Hak Sipil dan Politik, Ant i

Penyiksaan, dan Buruh Migran.

Perlu dicermati lebih jauh, apakah Singapura mempunyai kewajiban hukum

untuk mentaati konvenan/konversi tersebut atau dengan kata lain, apakah Singapura

telah meratifikasi atau mengaksesi konvenan/konvensi tersebut sehingga Singapura

memikul tanggung jawab internasional atas pelanggarannya.

Menurut catatan PBB hingga pada tanggal 17 Januari 2012 ternyata

Singapura belum meratifikasi kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Kovenan yang

disyahkan 16 Desember 1966 dan mulai berlaku 23 Maret 1976 itu, hingga tanggal

17 Januari 2012 tersebut telah diratifikasi/diaksesi oleh 167 negara. Dapat

ditambahkan bahwa Negara ASEAN yang telah meratifikasi/mengaksesi adalah ;

Vietnam, 14 Nopember 1982; Pilipina, 23 Oktober 1986;Kamboja, 26 Mei 1992;

Indonesia, 23 Februari 2006 ; ; Laos, 25 Nopember 2009; Thailand, 29 Oktober

1996, Timor Leste, 18 September 2003 .

Sementara keterikatan Singapura terhadap Konvensi Anti Penyiksaan Dan

Kekejaman Lainnya, Penghukuman Atau Tindakan Yang Tidak

Berperikemanusiaan (disingkat Konvensi Anti Penyiksaan) terlihat hal sama yakni

Page 31: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

31

hingga pada tanggal 17 Januari 2012 juga Singapura belum meratifikasinya.

Kovensi ini disyahkan 10 Desember 1984 dan mulai berlaku 26 Juni 1987. Hingga

pada tanggal tersebut, konvensi ini telah diratifikasi oleh 149 negara. Tercatat

negara-negara ASEAN yang telah meratifikasi/mengaksesinya adalah ; Kamboja,

15 Oktober 1992 ; Indonesia, 28 Oktober 1998; Pilipina, 18 Juni 1986; Thailand, 2

Oktober 2007; dan Timor Leste, 16 April 2003.

Demikian juga Singapura belum meratifikasi Konvensi Buruh Migran pada

posisi tanggal 17 Januari 2012. Konvensi yang disyahkan oleh Majelis Umum PBB

tanggal 18 Desember 1990, mulai berlaku sejak 1 Juli 2003. Negara yang telah

meratifikasi berjumlah 45 negara, meskipun jumlah ini relatif kecil tetapi sudah

melampaui jumlah persyaratan untuk berlaku yakni 20 negara sesuai Pasal 87 ayat

(1) konvensi. Negara ASEAN yang sudah meratifikasi tercatat baru Pilipina dan

Timor Leste masing-masing pada 5 Juli 1995 dan 30 Januari 2004. Sementara

Indonesia baru menandatangani pada 22 September 2004 dan Kamboja pada 27

September 2004 (http://www.treaties.un.org; 17-1-2012).

Dari telaah di atas ternyata Singapura belum meratifikasi satu kovenan dan

dua konvensi tersebut sehingga secara hukum Singapura tidak bisa diminta

pertanggung jawabannya dihadapan Komite-Komite HAM Internasional yang

dibentuk berdasarkan ketentuan masing-masing kovenan/konvensi.

Meski tidak bertanggung jawaban secara hukum, namun secara moral

patut kiranya Singapura memperhatikan ketentuan-ketentuan instrumen HAM

internasional terutama sekali Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia PBB 1948,

karena didalam Deklarasi itu telah tersirat nilai-nilai standar HAM universal yang

patut diindahkan oleh seluruh Negara anggota PBB.

Page 32: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

32

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abizadeh, Arash; 2009. Human Rights And Indivisible Rights. Martinus Nijhoff,

Leiden, Boston.

Atmasasmita, Romli; 1995. Pengantar Hukum Pidana Internasional. PT Eresco,

Bandung

Christie, Kenneth & Roy, Denny; 2001. The Politic of Human Rights in East Asia. Pluto

Press, London, Sterling, Virginia.

Corradety , Claudio ( ed); 2012. Philosophical Dimension of Human Rights. Springer,

Rome.

Cornelisse, Galina; 2010. Immigration Detention and Human Rights. Martinus Nijhoff,

Leiden, Boston.

Dembour, Marie Benedicte; 2006. Who Believe in Human Rights? Cambridge University

Press, Cambridge, New York, etc.

Diehl, E Paul & Ku, Charlotte ; 2010. The Dynamics of International Law. Cambridge

University .

Fenwick, Helen & Philipson, Gavin; 2003. Politic Law and Human Rights. Cavendish

Publishing Limited, London, Sydney, etc.

Kadragic, Alma; 2006. Globalization and Human Rights. Chelsea House Publisher,

Phladelphia.

Koch, Ida Elisabeth; 2009. Human Rights and Indivisible Rights. Martinus Nijhoff,

Leiden, Boston.

Kolb, Robert & Hyde, Richard; 2008. An Introduction to the Law of Armed Conflicts.

Hart Publishing, Oxford, Portland, Oregon.

Kusumaatmadja, Muchtar; 1976. Pengantar Hukum Internasional. Binacipta, Bandung.

Martin, Francisco Forrest, (ed); 2006. International Human Rights and Humanitarian

Law. Cambridge University Press, Cambridge, New York, etc.

Page 33: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

33

Meuwissen, DHM; 1984. Grondrechten. AULA Uitgevery Het Spectrum, Utrecht,

Antwerpen.

Osiatynski, Wiktor; 2009. Human Rights and Their Limit. Cambridge University Press,

Cambridge, New York, etc.

Papademas, Diana; 2011. Human Rights and Media. Emerald, UK, etc.

Parthiana, I Wayan; 2006. Hukum Pidana Internasional. CV Wirama Widya, Bandung.

Parthiana, I Wayan; 2004. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi; CV Wirama

Widya, Bandung.

Parthiana, I Wayan; 1987. Beberapa Masalah Dalam Hukum Internasional dan Hukum

Nasional. Binaciptra, Bandung. Boston.

Starke, J G; 1992. Pengantar Hukum Internasional. Terjemahan B I Djajaatmadja, Sinar

Grafika, Jakarta.

Strong, CF; 1952. Modern Political Cinstitution. Sidwick, Jackson Limited, London,

UK.

Stigen, Jo; 2008. The Relationship Between the International Criminal Court and

National Jurisd Jurisdiction. Martinus Nijhoff, Leiden, Boston.

B. Peraturan Perundang-Undangan

……………..; Constitution of Singapore. 2010.

……………..: Constitution of China, 2004

………………; Internal Security Act of Singapore, 1960

……………..; International Covenant on Civil and Political Rights, 1966.

……………..; Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading

Treatment of Punishment, 1984.

………………; International Convention on the Elimination of All Form of Racial

Discrimination, 1965.

………………; Convention Relating to the Status of Refugee, 1951.

………………; International Convention on the Protection of the Rights of Migrant

Workers and Members of Their Family, 1990.

……………….; Rome Statute, 1998.

Page 34: HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA

34

C. Internet

…………..: http://www.id.wikipedia.org; 7-8-2011

…………..; http://www.en.wikpedia.org; 20-8-2011

………….; http://www. id.wikipedia.org; 12-9-2011