HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA
Transcript of HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA
BAHAN AJAR HUKUM HAK ASASI MANUSIA (HAM) INTERNASIONAL
HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KONSTITUSI SINGAPURA
Oleh: Prof. Dr. I Made Pasek Diantha SH, MS
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
FEBRUARI 2016
2
DAFTAR ISI
ISI HALAMAN
I. Pendahuluan .................................................................................. 3
A. Profil Dan Sejarah Singkat Singapura .......................................... 3
B. Pengaturan HAM Dalam Konstitusi Singapura ............................. 5
C. Implementasi HAM .................................................................... 13
II. Posisi Singapura Dalam Keterkaitannya Terhadap
Hukum HAM Internasional ........................................................ 20
A. Penerapan ISA Singapura .......................................................... 20
B. Pelanggaran HAM Lainnya ........................................................ 23
A. Posisi Keterkaitan Singapura Pada Konvensi HAM .................... 30
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 32
3
I. Pendahuluan
A. Profil Dan Sejarah Singkat Singapura.
Luas wilayah Singapura : 712 km persegi atau 276 mil persegi. Penduduknya
pada tahun 2011 berjumlah 5,18 juta jiwa yang meliputi 3,79 juta jiwa warga Negara
dan 1,39 juta jiwa warga asing yang berdiam di Singapura. Mereka terdiri dari 76 %
China, 15 % Melayu, 7 % India, dan 1 % lain-lain. Bahasa yang digunakan adalah
bahasa Mandarin, Inggris, Melayu, dan Tamil yang merupakan bahasa-bahasa resmi,
sementara bahasa Inggris merupakan bahasa pergaulan yang digunakan secara luas.
Agama penduduk adalah : 33 % beragama Buda, 11 % Tao, 7 % Katolik, 11 % Kristen,
15 % Islam, 5 % Hindu, 1 % agama lain-lain, dan tidak beragama 17 %. Mata uang
adalah Dolar Singapura, sementara Partai Politik yang besar adalah Partai Aksi Rakyat
( People’s Action Party/PAP ) dan Partai Buruh (Workers Party/WP ). PAP sejak
kemerdekaan sampai kini terus menerus berkuasa dengan rata-rata memenangkan 60 %
suara di parlemen.Adapun bentuk pemerintahan adalah republic dengan sistem
parlementer. Kepala negaranya adalah Presiden dan kepala pemerintahannya adalah
Perdana Menteri. Pertumbuhan ekonomi pada kwartal pertama tahun 2012 ini mencapai
9,9 %. Singapura bersama Hong Kong, Korea Selatan dan Taiwan adalah tergolong
empat macan Asia yang pertumbuhan ekonominya rata-rata diatas Negara berkembang
lainnya.(http://www.fco.gov.uk;22-5-2012),
(http://www.tradingeconomics.com/singapore;21-5-2012),(http://www.bbc.co.uk; 21-5-
2012 ).
Pada sekitar abad ke 14 pulau Singapura merupakan bagian dari kerajaan Melayu
yang waktu itu bernama Temaseh yang artinya kota laut. Diantara abad ke 16 dan ke 19
kepulauan Melayu mengalami penjajahan dari bangsa-bangsa Eropah seperti Portugis,
Belanda dan Inggris. Pada abad 16 Portugis menguasai Malaka, dan pada abad 17
Belanda telah menguasai beberapa pelabuhan di kepulauan Melayu. Belanda saat itu
memonopoli perdagangan rempah-rempah, suatu komoditi yang sangat strategis bagi
pasar Eropah. Sementara, Inggris saat itu memiliki hak monopoli yang tidak begitu
berarti di kawasan itu.
4
Pada tahun 1818 Sir Stamford Raffles dilantik menjadi Gubernur Bengkulu.
Raffles menyadari untuk kemajuan perdagangan Inggris, EJC (East Indies Company
atau Serikat Dagang India Timur) perlu memiliki pelabuhan baru di Selat Malaka.
Pelabuhan lama seperti Pulau Pinang dan Bengkulu terlalu jauh dari Selat Malaka
seingga dinilai kurang strategis.
Raffles kemudian tiba di Pulau Singapura tanggal 29 Januari 1819. Saat itu pulau
Singapura dikuasai oleh kesultanan Johor yang pada saat pergantian Sultan terjadi
konflik antara para pengantinnya yakni Tengku Abdul Rahman dan Tengku Hussein.
Raffles bersedia membantu Tengku Hussein menjadi sultan asalkan Tengku
Hussein mengijinkan Raffles membuka pelabuhan di pulau Singapura sebagai
imbalannya, dan dia bersedia membayar uang tahunan kepada Tengku Hussein.
Perjanjian antara Inggris dan Sultan Johor itu ditanda tangani tanggal 6 Februari 1819.
Pelabuhan Singapura kemudian berkembang pesat, disinggahi oleh pedagang-pedagang
Arab, India, dan Cina.
Pendirian Singapura oleh Raffles menimbulkan masalah dengan kerajaan Belanda
karena Belanda menuduh Inggris melakukan intervensi pada kawasan yang berada
dibawah naungan pengaruh Belanda. Untuk menghindari konflik berkepanjangan
akhirnya kedua negara itu mengadakan perjanjian tahun 1824 yang salah satu isinya
Belanda mengakui kepemilikan Inggris atas pelabuhan Singapura. Disepakati pula
pembagian kepulauan Melayu atas dua pengaruh yakni kepulauan Melayu bagian utara
termasuk Pulau Pinang, Malaka dan Singapura berada dibawah pengaruh Inggris,
sementara kepulauan Melayu bagian selatan berada dibawah pengaruh Belanda.
Pada 7 Desember 1941, Jepang menyerang Pearl Harbour. Salah satu tujuan
Jepang adalah untuk menguasai Asia Tenggara berdasarkan pertimbangan faktor
ekonomi. Singapura yang merupakan pangkalan utama militer sekutu tak luput dari
serangan Jepang. Singapura diserang setelah Jepang berhasil menguasai hampir seluruh
tanah Melayu. Setelah Singapura dapat ditaklukan, akhirnya sekutu menyerah kalah
kepada Jepang pada tahun baru Imlek 15 Februari 1942. Lebih kurang 130.000 laskar
India, Australia dan Inggris menjadi tahanan perang. Jatuhnya Singapura merupakan
kekalahan terbesar Inggris dalam sejarah. Dibawah kekuasaan Jepang (1942-1945)
Singapura diganti namanya menjadi Syonan to yang artinya cahaya dari selatan.
5
Kekalahan Jepang oleh sekutu dalam Perang Dunia II tahun 1945 menyebabkan
Singapura diserahkan kembali kepada pemerintah Inggris. Sebagai salah satu Keloni
Inggris di Asia Tenggara, Inggris mengambil kebijakan moderat dengan memberi status
pemerintahan sendiri kepada Singapura dari 1955-1963.
Pada 16 September 1963 Inggris menyetujui penggabungan Singapura, Sabah dan
Sarawak dengan persekutuan tanah Melayu untuk membentuk federasi Malaysia. Untuk
membentuk pemerintah lokal yang baru, Singapura segera mengadakan pemilihan umum
yang dimenangkan oleh Partai Rakyat Pekerja (People’s Action Party/PAP). Lee Kuan
You sebagai ketua PAP di angkat menjadi Perdana Menteri Negara Bagian Singapura.
PAP memiliki garis kebijakan menentang kebijakan federal yang cendrung
mengutamakan kelompok Bumiputera (muslim Melayu). Garis kebijakan PAP itu tentu
saja dapat menimbulkan friksi antara Singapura dengan anggota-anggota federasi yang
lainnya. Akhirnya pada 7 Agustus 1965 Teuku Abdul Rahman Putera sebagai Perdana
Menteri Federasi Malaysia memutuskan mengeluarkan Singapura dari Federasi
Malaysia. Sejak itu Singapura menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh dengan
konstitusi sendiri. Menurut konstitusi, Singapura adalah negara merdeka dan berdaulat
yang berbentuk Republik dengan sistem pemerintahan parlementer.(
http://www.id.wikipedia.org; 7-8-2011 ).
B. Pengaturan HAM Dalam Konstitusi Singapura
1. Sistematika Konstitusi
Pada umumnya, jika dilihat dari segi bentuknya konstitusi dibedakan atas
konstitusi tertulis atau “written constitution” dan konstitusi tidak tertulis atau
“unwritten constitution”, tetapi C F Strong sempat mengkritik perbedaan semacam itu,
dan menurutnya lebih tepat dibedakan atas konstitusi terdokumentir dalam satu naskah
yang lengkap ( documentary constitution ) dan konstitusi yang tidak terdokumentir
dalam satu naskah yang lengkap ( undocumentary constitution ). (C F Strong; 1952 :
65), ( H Fenwick & G Philipson; 2003 : 7 ).
Singapura meskipun bekas jajahan Inggris, namun Singapura tidak mengikuti
tradisi Inggris yang menggunakan konstitusi tidak tertulis atau konstitusi yang tidak
6
terdokumentir dalam satu naskah yang lengkap. Semua bagian konstitusi Singapura
terkumpul dalam satu naskah yang dianggap lengkap. Salah satu keunikan konstitusi
Singapura adalah konstitusi itu tidak memiliki Pembukaan tetapi langsung dimulai
dengan Batang Tubuh.
Batang Tubuh konstitusi Singapura terdiri dari : Bab I Pendahuluan, 2 pasal;
Bab II Republik dan Konstitusi, 3 pasal; Bab III Perlindungan Kedaulatan, 5 pasal ;
Bab IV Kebebasan Fundamental, 8 pasal; Bab V Pemerintah, 36 pasal; Bab Va
Dewan Pertimbangan Presiden, 13 pasal; Bab VI Legislatif 31 pasal; Bab
VII Dewan Kepresidenan untuk Hak-Hak Minoritas, 25 pasal; Bab VIII Lembaga
Judicial, 10 pasal; Bab IX Pelayanan Umum, 23 pasal; Bab X Kewarganegaraan, 22
pasal; Bab XI Keuangan, 15 pasal; Bab XII Kekuasaan Khusus Melawan
Subversi dan Darurat, 4 pasal; Bab XIII Ketentuan Umum, 6 pasal; Bab XIV
Ketentuan Peralihan, 6 pasal;
Dari 16 Bab itu yang berkaitan dengan HAM adalah Bab IV, BabVII dan Bab
XII. Hal yang menarik dalam pengaturan HAM ini adalah kemunculan Bab XII tentang
Ketentuan-ketentuan Khusus Untuk Melawan Subversi yang memberi legitimasi
penyimpangan terhadap Bab IV tentang Kebebasan Dasar Manusia. Disatu sisi
pengaturan seperti itu nampak sebagai suatu kontroversi dalam upaya penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan HAM, namun disisi lain ketentuan Bab XII itu justru
mempunyai peran penting dalam menimbulkan suasana kondusif untuk membangun
ekonomi Singapura, sehingga negara ini cukup pesat pertumbuhan ekonominya.
2. Pengaturan Substansi HAM
1) .Kebebasan Dasar Manusia
Kebebasan atau “vrijheid ” menurut D H M Meuwissen adalah salah satu issu
sentral yang perlu diatur dalam konstitusi agar diperoleh suatu kepastian. ( D H
M Meuwissen; 1984 : 19 ).
7
Berkenaan dengan kebebasan dasar, konstitusi Singapura mengaturnya dalam
Bab IV yang meliputi beberapa substansi sebagai berikut :
(1).Kebebasan perseorangan
Kebebasan perseorangan ini diatur dalam Pasal 9 konstitusi Singapura, ayat (1)
s/d ayat (6). Inti dari Pasal ini adalah :
=. .Bahwa tidak seorangpun dapat dirampas kehidupannya atau kebebasan
pribadinya sesuai ketentuan Undang-Undang.
=. Bila seseorang membawa pengaduan kepada Pengadilan Tinggi atau kepada
Hakim tentang keabsahan penahanannya maka pengadilan itu akan
memeriksanya dan bila penahanannya tidak absah, pengadilan harus
memerintahkan agar orang itu dilepaskan.
=.Bila seseorang ditahan, dia harus diberitahu sesegera mungkin alasan
penahanannya dan harus diijinkan memilih penasehat hukum untuk
berkonsultasi dan membelanya.
=. Bila seseorang ditahan dan tidak dibebaskan dia harus tanpa penundaan
dalam jangka waktu 48 jam sudah diperiksa oleh penyidik dan tidak boleh
selanjutnya ditahan dirumah tahanan oleh penyidik yang tak berwenang.
=. Ketentuan penahanan tersebut tidak berlaku bagi musuh asing atau bagi orang
yang menghina parlemen yang surat penahannya diterbitkan oleh ketua
parlemen.
=.Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 9 ini tidak dapat membatalkan Undang-
Undang mengenai :
(a).Penangkapan dan penahanan terhadap orang-orang dengan alasan
keselamatan publik, kedamaian, dan ketertiban umum yang sudah berlaku
sebelum 16 September 1963.
(b).Penyalah gunaan obat bius , yang Undang-Undangnya telah berlaku sebelum
10 Maret 1978.
(2). Larangan perbudakan, asas non retroaktif dan asas non bis in idem.
Mengenai perbudakan dan kerja paksa diatur dalam Pasal 10 konstitusi
Singapura yang pada pokoknya menyatakan bahwa tidak seorangpun dapat
diperlakukan sebagai budak. Juga dilarang segala bentuk kerja paksa, tetapi
8
parlemen dapat membuat Undang-Undang yang mengatur pelayanan mendesak
untuk kepentingan negara. Selain itu pekerjaan yang dilakukan oleh narapidana
dalam menjalani hukuman tidak termasuk dalam pengertian kerja paksa dalam
kaitan ini. Disisi lain, larangan tentang tidak berlaku surutnya undang-undang
pidana dan larangan seseorang tidak dapat diadili kembali atas perbuatan pidana
yang sama oleh pengadilan sederajat diatur dalam Pasal 11. Lebih jauh
dinyatakan bahwa tidak seorangpun akan dihukum atas perbuatan pidana yang
pada saat dilakukan perbuatan itu bukan merupakan perbuatan yang dapat di
hukum atau tidak dapat di hukum dengan hukum yang lebih berat dari hukuman
yang ditentukan pada saat perbuatan itu dilakukan.
(3).Kesetaraan, Larangan Pembuangan dan Kebebasan Bergerak
Kesetaraan didepan hukum diatur dalam Pasal 12. Pasal itu pada pokoknya
menentukan antara lain :
a) Semua orang adalah setara didepan hukum dan berhak mendapatkan
perlindungan hukum yang sama
b) Kecuali dinyatakan dengan tegas dalam konstitusi ini, tidak boleh terjadi
diskriminasi terhadap warga negara dengan alasan agama, ras, keturunan
atau tempat kelahiran dalam segala ketentuan hukum atau dalam segala
jabatan publik atau dalam penerapan segala hukum yang berkenaan
dengan perolehan, pemilihan atau peralihan properti atau dalam
membangun atau mengelola perdagangan, usaha, profesi, keahlian atau
pekerjaan.
c) Ketentuan ini tidak membatalkan atau melarang suatu ketentuan yang
mengatur hukum perorangan atau suatu ketentuan atau praktik yang
membatasi jabatan atau pekerjaan yang berkaitan dengan suatu agama
atau lembaga yang dikelola oleh kelompok suatu agama, pembatasan ini
ditujukan pada orang-orang penganut agama tersebut.
Sementara itu larangan pembuangan dan kebebasan bergerak diatur
dalam Pasal 13 yang menyatakan bahwa tidak akan ada warga negara
Singapura dibuang atau dikeluarkan dari wilayah Singapura dan dengan
tunduk pada hukum yang mengatur keamanan Singapura atau keamanan
9
bagian-bagian Singapura, ketertiban umum, kesehatan umum, setiap
warga negara Singapura mempunyai hak untuk bergerak secara bebas
keseluruh wilayah Singapura dan bebas bertempat tinggal dibagian
tertentu dari wilayah Singapura.
(4).Kebebasan Berbicara, Berkumpul, Berserikat dan Beragama.
Kebebasan berbicara mengeluarkan pendapat, berkumpul dan
berserikat diatur dalam Pasal 14 konstitusi Singapura. Pasal itu pada
intinya menyatakan bahwa semua warga negara Singapura memiliki
kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat. Dalam pelaksanaannya
kebebasan-kebebasan itu dapat dibatasi dengan undang-undang yang
dibuat parlemen. Pembatasan terhadap hak berbicara dan mengeluarkan
pendapat didasarkan atas pertimbangan keamanan negara Singapura
termasuk keamanan bagian-bagian wilayahnya, hubungan bersahabat
dengan negara lain, ketertiban umum dan juga untuk melindungi hak-hak
istimewa parlemen, kehormatan peradilan, fitnah (defamation) atau
hasutan (incitement) dalam segala bentuk pelanggarannya dilarang.
Selanjutnya pertimbangan pembatasan terhadap hak untuk
berkumpul didasarkan atas kepentingan keamanan negara Singapura
beserta bagian-bagian wilayahnya atau atas alasan ketertiban umum.
Sementara, pertimbangan pembatasan terhadap hak berserikat
didasarkan pada alasan keamanan negara Singapura berikut bagian-
bagian wilayahnya, ketertiban umum atau moral umum. Ditegaskan,
melalui ayat (3) Pasal 14 itu bahwa pembatasan kebebasan berserikat itu
dapat juga diatur melalui undang-undang perburuhan atau undang-
undang pendidikan.
Berkenaan dengan kebebasan beragama, konstitusi Singapura
mengaturnya dalam Pasal 15. Ada 4 hal yang dinyatakan diatur dalam
pasal itu yakni :
a. Tiap orang mempunyai hak untuk memeluk agama, beribadah, dan
mengembangkan agamanya
10
b. Tiada seorangpun dapat dipaksa membayar pajak hasil kegiatan yang
seluruhnya atau sebagian dilaksanakan untuk kepentingan
agamanya sendiri.
c. Setiap kelompok keagamaan mempunyai hak untuk : (1) mengurus
urusan agamanya sendiri; (2) membentuk lembaga-lembaga
keagamaan atau lembaga-lembaga sosial keagamaan; (3) mencari dan
memiliki kekayaan, memanfaatkan dan mengurusnya sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
d. Ketentuan dalam Pasal 15 ini dalam pelaksanaannya tidak dibenarkan
bertentangan dengan hukum umum yang berkaitan dengan ketertiban
umum, kesehatan umum dan moral.
(5).Hak Atas Pendidikan
Hak atas pendidikan diatur dalam Pasal 16 sebagai berikut :
a.Tanpa bertentangan dengan Pasal 12 (tentang persamaan), tidak akan
terjadi diskriminasi diantara warga negara Singapura atas dasar agama,
ras, keturunan dan tempat kelahiran dalam hal : (a) pengelolaan
pendidikan yang diselenggarakan oleh otoritas publik dan khususnya
dalam penerimaan murid atau mahasiswa atau dalam pembiayaan murid
atau mahasiswa atau dalam pembayaran uang pendidikan; atau (b)
dalam pemberian dana bantuan dari otoritas publik untuk
penyelenggaraan pendidikan murid atau mahasiswa dalam lembaga
pendidikan baik yang dikelola oleh otoritas publik maupun yang bukan,
dan baik lembaga itu berada di dalam maupun diluar negara Singapura.
b. Setiap kelompok keagamaan mempunyai hak untuk mendirikan dan
mengembangkan lembaga pendidikan agama untuk anak-anak, dan
melaksanakan perintah agama mereka sendiri, dan tidak boleh terjadi
diskriminasi dibidang hukum dan penerapannya terhadap lembaga itu
semata-mata berdasarkan alasan agama.
11
c.Tidak ada orang yang dapat diminta untuk menerima perintah atau
mengambil bagian dalam suatu upacara atau persembahyangan dari
sebuah agama lain, selain terhadap agamanya sendiri.
d.Berkaitan dengan ketentuan tersebut, agama seseorang yang belum
berumur 18 tahun ditentukan oleh orang tuanya atau oleh walinya.
2).Dewan Kepresidenan Untuk Hak-Hak Minoritas
Dewan kepresidenan untuk hak-hak minoritas ini diatur dalam Bab VII,
Pasal 69 hingga Pasal 92. Beberapa bagian penting dari Bab VII ini adalah
menyangkut eksistensi, fungsi dan kewajiban Dewan ini.
a) Eksistensi
Keberadaan Dewan ini ditegaskan dalam Pasal 69 yang
menyatakan bahwa ada sebuah Dewan Kepresidenan untuk perlindungan
hak-hak minoritas. Susunan keanggotaan Dewan ini terdiri dari : (a)
sebanyak-banyaknya 10 orang anggota tetap dengan masa jabatan
seumur hidup; (b) dan sebanyak-banyaknya 10 orang anggota tidak tetap
dengan masa jabatan 3 tahun. Anggota tidak tetap dapat diangkat
kembali dengan tanpa pembatasan periode masa jabatannya. Ketua dan
anggota diangkat oleh Presiden atas rekomendasi Kabinet.
b) Fungsi Dewan
Dewan mempunyai fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum diatur
dalam Pasal 76 yang menentukan bahwa fungsi utama dari dewan adalah
untuk mempertimbangkan dan melaporkan segala persoalan yang
menimpa seseorang dari ras tertentu atau dari kelompok agama tertentu.
Persoalan yang menimpa minoritas tersebut disampaikan kepada Dewan
oleh Parlemen atau oleh pemerintah.
Sementara fungsi khusus dari Dewan adalah penilaian (review) terhadap
ketentuan aturan perundang-undangan yang di dalamnya mengatur hal-hal
yang bersifat bertentangan (differentiating measure) dengan konstitusi.
Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 80 dan Pasal 81.
12
Fungsi khusus lainnya adalah menilai apakah sebuah rancangan undang-
undang darurat yang diusulkan oleh pemerintah betul-betul memenuhi
kualifikasi darurat atau tidak. Untuk keperluan itu Ketua Parlemen wajib
mengirim salinan otentik dari naskah itu kepada Dewan untuk dinilai (Pasal
79).
c) Kewajiban Dewan
Dewan wajib dalam setiap persidangan dilaksanakan secara tertutup dan tidak
dibenarkan mendengar pihak-pihak yang keberatan atau saksi-saksi dalam hal
Dewan melakukan penilaian terhadap aturan perundang-undangan, demikian
ditegaskan dalam Pasal 84.
Kewajiban Dewan lainnya diatur dalam Pasal 69 adalah
melaporkan kegiatannya tiap tahun kepada Presiden dan mengirim
tembusannya kepada Parlemen secepatnya.
3). Ketentuan Khusus Untuk Melawan Subversi dan Ketentuan Keadaan Darurat.
Hal menarik lainnya dalam konstitusi Singapura adalah mengenai
adanya pasal yang mengatur penindakan terhadap subversi yakni Pasal 149.
Secara implisit pasal ini memberi pengertian tentang subversi sebagai
berikut : subversi adalah tindakan berupa; timbulnya rasa takut dikalangan
warga negara Singapura, kekerasan yang terorganisir, tindakan yang
menimbulkan rasa benci terhadap Presiden dan pemerintah, menyebarkan
rasa permusuhan antar ras, dan pengrusakan.
Selanjutnya Pasal 149 ini menyatakan bahwa untuk melawan
subversi, Parlemen dapat membuat Undang-Undang sekalipun isinya
bertentangan dengan Pasal 9, 11, 12, 13, 14 konstitusi yakni pasal-pasal
yang mengatur kebebasan dasar manusia. Nampaknya Pasal 149 ini menjadi
dasar konstitusional untuk munculnya berbagai Undang-Undang yang
bersifat sangat represif, salah satunya adalah Undang-Undang tentang
keamanan dalam negeri (internal security act/ISA).
13
Disamping ketentuan untuk melawan subversi, konstitusi juga
mengatur tentang negara dalam keadaan darurat. Pada pokoknya menurut
Pasal 150, Presiden diberi kewenangan oleh konstitusi untuk menyatakan
keadaan darurat dan menerbitkan peraturan pelaksanaannya.
Pernyataan itu harus segera diajukan kepada Parlemen untuk
mendapat persetujuan. Apabila tidak mendapat persetujuan, pernyataan
darurat beserta peraturan pelaksanaannya tidak lagi mempunyai kekuatan
mengikat. Namun apabila Presiden menganggap perlu, maka Presiden
kemudian dapat mengeluarkan pernyataan keadaan darurat yang baru.
Disisi lain, ketentuan yang berkaitan dengan hak asasi manusia
adalah Pasal 151 yang mengatur pembatasan masa penahanan atas seseorang
yang dikenakan penahanan untuk pencegahan kejahatan (preventive
detention). Lebih jauh pasal ini menyatakan bahwa seseorang yang ditahan
harus segera diberi tahu alasan penahanannya dan diberi kesempatan untuk
mengajukan keberatan dan seseorang tidak boleh ditahan melebihi 3 bulan
kecuali suatu Badan Pertimbangan (Advisory Board) memberi
pertimbangan kepada Presiden atas urgensi penahanan itu. Namun dalam
praktiknya nampaknya ketentuan itu kerap dilanggar sehingga
mengakibatkan seseorang ditahan bertahun-tahun tanpa proses peradilan.
C. Implementasi HAM
1. Internal Security Act (ISA)
(1) Sejarah Singkat ISA
Pada tahun 1948 pemerintah kolonial Inggris di Malaya mengalami
gangguan keamanan yang dipicu oleh pemberontakan komunis. Untuk
menumpas pemberontakan itu pemerintah kolonial menerbitkan Peraturan
Darurat (Emergency Regulation) yang kemudian terkenal dengan sebutan
Internal Security Act ( ISA) atau Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri.
14
Menurut undang-undang ini, polisi dibenarkan untuk menahan
seseorang yang perbuatannya diperkirakan dapat mengancam keselamatan
negara tanpa alat-alat bukti pendahuluan, dan tanpa perlu diperiksa di
pengadilan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.
Tiga tahun setelah Malaya (kini Malaysia) merdeka yakni tahun 1960,
keadaan darurat dinyatakan telah berakhir. Namun ISA tetap diperlakukan di
Malaysia sama seperti sebelumnya. Dalam suatu debat Parlemen, Perdana
Menteri Malaysia saat itu, Tengku Abdul Rahman mengatakan bahwa
berlakunya ISA hanya ditujukan kepada sisa-sisa pemberontakan komunis.
Pada tahun 1965 Singapura memisahkan diri dari federasi Malaysia.
Meski telah memisahkan diri, Singapura tetap memberlakukan ISA hingga
saat ini. Beberapa kejadian penting berkaitan dengan penerapan ISA
Singapura antara lain ; a), tahun 1963 operasi bersama Malaysia – Singapura
untuk menangkap 117 orang dari partai oposisi dan pemimpin serikat buruh
dan beberapa diantara mereka ditahan melebihi 17 tahun; (b), tahun 1966
Chia Thye Poh, seorang anggota partai barisan sosialis ditahan tanpa diadili
selama 32 tahun dan sembilan tahun terakhir dia ditahan dalam tempat
khusus di pulau Sentosa dan dibatasi hak-hak sipilnya; (c), tahun 1987
dalam suatu operasi siaga, 22 orang aktivis gereja Katolik dan aktivis sosial
serta beberapa profesional ditahan dengan tuduhan mereka melakukan
persekongkolan untuk mendirikan negara dengan idiologi marxist; (d), tahun
2001 beberapa anggota Jemaah Islamiah ditahan karena terlibat rencana
serangan di beberapa kedubes Singapura; (e), pada Agustus – September
2002, 21 anggota Jemaah Islamiah ditahan lagi; (f),pada Februari 2006,
tokoh Jemaah Islamiah Mas Slamet bin Kastari diekstradisikan dari
Indonesia kemudian ditahan tanpa diadili dibawah ISA Singapura, namun
tahun 2008 dia melarikan diri dari penjara Singapura ke Malaysia dan pada
1 April 2009 ditahan kembali setelah diekstradisi oleh Malaysia; (f), Juni
2007 pengacara Abdul Bacheer ditangkap di wilayah Middle Eastern dan
ditahan di Singapura atas tuduhan merencanakan dan mempersiapkan
15
sesuatunya untuk keperluan aktivis militan Afganistan, dan pada Februari
2010 dia dibebaskan dari tahanan (http://www.en.wikipida.org; 20-1-11).
(2). Komentar
Penerapan ISA oleh pemerintah Singapura seperti terlihat pada
peristiwa-peristiwa diatas dapat diberi komentar sebagai berikut ini.
Pada pokoknya penerapan ISA itu jika ditinjau dari segi jenis
kejahatan, diterapkan pada jenis kejahatan biasa (kejahatan politik) dan
kejahatan luar biasa (kejahatan terorisme). Perlu dilihat apakah di dalam
melakukan unjuk rasa, kritik, atau protes dari partai oposisi itu telah
menimbulkan tindak kriminal. Kalau itu yang terjadi seharusnya pelakunya
dikenakan prosedur pidana biasa. Adapun ISA yang sesungguhnya
mengandung prosesdur pidana luar biasa, karena dimungkinkan penahanan
tanpa diadili, tidak tepat diterapkan kepada lawan-lawan politik partai yang
berkuasa. Dikhawatirkan penerapan itu semata-mata untuk membungkam
suara oposisi dalam suatu negara demokrasi modern.
Sebaliknya, kalau ISA yang mengandung prosedur pidana luar biasa
itu diterapkan kepada kejahatan terorisme mungkin masih dapat dibenarkan
karena kejahatan terorisme itu bersifat luar biasa, kejahatan terorisme itu
dirancang dan dilaksanakan oleh jaringan internasional sehingga relatif sulit
untuk mendapatkan alat-alat buktinya. Disamping itu diperlukan tindakan
intelijen yang cermat untuk pencegahannya terutama dengan mengisolasi
penyebarannya. Sehingga terkadang diperlukan penahanan relatif lama,
namun pada akhirnya mereka harus diadili untuk membuktikan
kesalahannya, kalau tidak bersalah tentu segera harus dibebaskan.
Namun ada kemungkinan penahanan tanpa batas waktu dimaksukan
untuk menerapkan salah satu prinsip pengamanan adalah “pencegahan dini”
yakni lebih baik mencegah lebih awal dari pada menindak setelah kejadian.
Prinsip semacam ini sempat dikemukakan oleh Jaksa Agung AS, Michael B
Mukasey di depan Federalist Society National Lawyer’s Covention di New
York sbb : ….”FBI….designed to detect and prevent attack before they
16
occur rather than simply investigating them afterward”. ( M B Mukasey;
2009 : 834 ).
Prinsip “pencegahan dini” ini nampaknya mewarnai kemunculan
undang-undang patriot ( Patriot Act ) AS yang memungkinkan penahanan
tanpa peradilan dalam pembrantasan tindak pidana terorisme dengan
menempatkan para tersangka teroris pada kamp Guantanamo.
Disisi lain, perlu dipertanyakan, apakah penahanan tanpa peradilan
itu dapat dianggap syah menurut hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini
kiranya dapat dirujuk dua landasan system hukum yakni sistem hukum
internasional dan sistem hukum nasional. Sistem hukum internasional
mengacu pada instrument internasional HAM yang berkualifikasi sebagai
norma hukum positif ( legal norm ) dan yang berkualifikasi sebagai
prinsip hukum ( legal principle ) atau moral positif. Instrumen internasional
yang berkualifikasi sebagai moral positif adalah Deklarasi Universal HAM (
Universal Declaration on Human Rights ) 1948, dan yang berkualifikasi
sebagai norma hukum positif adalah Kovenan Internasional Tentang Hak
Sipil dan Politik ( International Covenant on Civil and Political Rights )
1966. Kualifikasi sebagai legal norm dari Kovenan ini ditandai dengan
adanya persyaratan untuk melakukan tindakan ratifikasi bagi Negara peserta
agar kovenan dapat mengikat secara hokum di wilayah masing-maing,
sementara Deklarasi Universal HAM tidak mengandung persyaratan itu
sehingga kekuatan mengikatnya hanya sebatas moral belaka. Mengikat
secara hukum artinya terdapat kewajiban dan tanggungjawab hukum didalam
melaksanakan kovenan, dan jika semua itu tidak terpenuhi, Negara dapat
dikenakan sanksi hukum internasional.
Kalau diperhatikan naskah Deklarasi HAM PBB, dalam Pembukaan
terlihat alinea-alinea yang relevan dengan kondisi Singapura. Dalam alinea I
dinyaatakan bahwa PBB mengakui kemuliaan martabat manusia beserta hak-
hak alamiahnya, itu adalah merupakan dasar bagi kebebasan, keadilan dan
perdamaian dunia. Terkait dengan itu alinea V menegaskan bahwa Negara-
negara anggota PBB telah berjanjia untuk bekerjasama dengan PBB dalam
17
rangka menegakkan martabat dan HAM itu. Lebih jauh tentang martabat dan
Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) itu dengan tegas diakui keberadaannya
dalam Pasal 1 yang bunyinya sbb; “Semua orang dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama, mereka dikarunia akal dan
budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan “ ( Ian
Brownlie, 1993 : 28 ). Dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa setiap orang berhak
atas semua hak dan kebebasan-kebebasannya itu. Salah satu kebebasan yang
diakui Deklarasi adalah kebebasan bergerak sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 13 ayat (1). Penahanan secara sewenang-wenang pada
hakikatnya merupakan pelanggaran tehadap ketentuan Pasal 13 ayat (1) itu
dan oleh karena itu tindakan demikian jelas dilarang yang menurut
ketentuan Pasal 9 menyatakan bahwa tidak seorangpun boleh ditahan atau
dibuang secara sewenang-wenang.
Berdasarkan ketentuan itu, nampaknya yang dilarang oleh
Deklarasi adalah penahanan yang sewenang-wenang ( arbitrary detention ).
Perlu dicermati apakah penahanan yang diatur dalam ISA Singapura
termasuk penahanan sewenang-wenang ataukah penahanan yang prosedural
( procedural detention ). Prosedur penahanannya sesungguhnya memang
telah diatur dalam ISA itu sendiri. Jika demikian permasalahannya sekarang
telah meningkat menjadi permasalahan apakah ISA itu sah; tidak lagi pada
permasalahan apakah penahanan tanpa peradilan itu sah ? Untuk menjawab
pertanyaan ini ada baiknya kembali dirujuk ketentuan Deklarasi HAM PBB
yakni ketentuan Pasal 29 ayat (2). Pasal ini menyatakan :
“In the exercise of his rights and freedom, everyone shall be subject
only to such limitation as are determined by law solely for the
purpose of securing due recognition and respect for the rights and
freedom of others and of meeting the just requirement of morality,
public order and the general welfare in a democratic society”.
Artinya, dalam pelaksanaannya, jika terpaksa dilakukan pembatasan
terhadap hak dan kebebasan yang tertuang dalam Deklarasi,
pembatasan itu haruslah memenuhi syarat-syarat sbb :
18
(1), pembatasan itu harus berbentuk Undang-Undang ( by law ); (2),
tujuannya untuk menjaga agar hak-hak orang lain diakui dan
dihormati ( recognition and respect for rights and freedom of others
); (3), juga untuk memenuhi tuntutan keadilan moral ( just
requirement of morality ); (4), untuk menjaga ketertiban umum dan
kesejahteraan umum ( public order and general walfare ); ( 5), dan
kesemuanya itu harus berlangsung dalam suasana masyarakat yang
demokratis ( in a democratic society ).
Dikaitkan dengan keberadaan ISA, semua unsur itu nampaknya terpenuhi, karena;
bentuknya memang Undang-Undang, tujuannya memang untuk menjaga agar hak dan
kebebasan orang lain tidak terancam terutama jika penahanan itu ditujukan pada teroris,
dan tentu saja tujuan akhirnya untuk tetap terwujudnya ketertiban umum dam
kesejahteraan umum rakyat Singapura. Tetapi, memang yang masih perlu ditelusuri
apakah proses penetapan ISA sebagai Undang-Undang telah berlangsung dalam suasana
demokratis. Kalau jawabannya ya, maka dari sudut pandang Deklarasi HAM PBB
keberadaan ISA sebagai sebuah Undang-Undang yang melegalkan penahanan tanpa
peradilan ( terutama bagi kelompok teroris ) bukanlah persoalan kontroversial. Namun
karena Deklarasi hanya mengikat secara moral dan secara hukum ia hanya
berkualifikasi sebagai asas hukum ( legal principles ) maka tidak dapat dipakai
sebagai landasan hukum internasional bagi keabsahan ISA itu sendiri.
Bagaimana dengan Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan
Politik ( International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR ) 1966 yang
memiliki kekuatan mengikat secara hukum atau yang berkualifikasi sebagai norma
hukum atau legal norm? Sebagaimana halnya dengan Deklarasi, Kovenan juga
mengatur dengan tegas keberadaan hak kebebasan bergerak dalam Pasal 12 ayat (1).
Pembatasan terhadap pelaksanaan hak itu diatur dalam Pasal 12 ayat (3) dengan
rumusan yang sedikit berbeda dengan Deklarasi namun mengandung makna yang sama.
Untuk jelasnya, kutipan dari aslinya Pasal 12 ayat (3) tersebut sebagai berikut :
“The above mention rights shall not be subject to any restriction
except those which are provided by law , are necessary to protect national
security, public order ( ordre public ), public health or morals or the rights and
19
freedom of others, and are consistent with the other rights recognized in the
present Covenant”.
Jadi, syarat pembatasan menurut Pasal itu adalah : (1), bentuk aturan hukumnya
adalah Undang-Undang; (2), tujuannya untuk melindungi kamanan nasional (
national security); (3), untuk menjaga ketertiban umum; (4), untuk melindungi
kesehatan (jiwa) umum atau moral; (5), untuk melindungi hak-hak dan
kebebasan orang lain; (6), dan tidak bertentangan dengan hak-hak lainnya yang
diakui oleh Kovenan ini.
Jika persyaratan itu dibandingkan dengan persyaratan pada Deklarasi
maka penekanan persyaratan pada “demi melindungi keamanan nasional”
nampak lebih diutamakan oleh Kovenan, bahkan persyaratan semacam itu sama
sekali tidak ada dalam Deklarasi. Hal yang menarik justru pesyaratan “dalam
suasana masyarakat demokkratis” tidak muncul dalam Kovenan. Dapat ditafsir,
bahwa asalkan untuk kepentingan keamanan Negara, dapat dilakukan
pembatasan terhadap kebebasan bergerak tanpa memerlukan prosedur
persetujuan demokratis. Ada kemungkinan tafsir ini yang diikuti oleh pemerintah
Singapura.
Persyaratan lain yang tidak ada dalam Deklarasi namun muncul dalam
Kovenan adalah persyaratan “tidak bertentangan dengan hak-hak lainnya yang
diakui Kovenan”. Artinya, pembatasan itu tidak boleh bertentangan dengan hak-
hak lainnya misalnya hak untuk tidak disiksa, dalam melakukan penahanan orang
yang ditahan tidak boleh disiksa.
Disisi lain, kendati Kovenan sepertinya membenarkan tindakan Singapura,
tidaklah serta merta dapat dipakai landasan hukum internasional untuk keabsahan
ISA, karena terlebih dahulu harus ada transformasi Kovenan oleh Singapura
melalui tindakan ratifikasi.Tentang apakah Singapura telah meratifikasi
Kovenan atau belum, hal itu akan disinggung lebih jauh dalam Bab III.
Sementara dalam tataran sistem hukum nasional, satu-satunya dasar
hukum keabsahan ISA dapat dipulangkan pada ketentuan Pasal 149 dari Bab XII
Konstitusi Singapura. Seperti telah disinggung diatas, Pasal itu merupakan
sumber dari berbagai Undang-Undang yang menyangkut tindakan Subversi.
20
Sekali lagi perlu diingat, Bab XII itu memberikan kewenangan atributif kepada
Parlemen untuk membuat Undang-Undang yang menyimpang dari Bab IV
tentang Kebebsan Fundamental ( Fundamental Freedom ). Dapat dikatan bahwa
semua norma hukum yang lahir dari Bab XII itu, termasuk ISA, memiliki
karakter yang anomali, karena keabsahannya didasarkan pada penyimpangan
yang dibenarkan oleh konstitusi atau penyimpangan yang konstitusinal atau
penyimpangan yang lahir dari konflik norma interen konstitusi.
II. Posisi Singapura Dalam Keterkaitannya Terhadap Hukum HAM Internasional
Sebagai bagian dari Hukum Internasional, Hukum HAM Internasional dalam
perkembangannya juga memiliki dua fungsi penting yakni : (1), sebagai instrumen
untuk mengkoordinasikan praktek hubungan internasional lintas batas dalam bidang
HAM atau sebagai “operating system”; (2), dan sebagai instrumen untuk meletakkan
nilai-nilai dan tujuan dasar yang harus dirujuk dalam hubungan internasional atau
sebagai “normative system”. ( P F Diehl & Charlotte Ku; 2010 : 2 )
Dalam kaitan ini akan dilakukan telaah terhadap praktik HAM Singapura (
pada Bab III ) dan praktik HAM RRC ( pada Bab IV ) apakah kedua Negara telah
menggunakan instrument internasiona HAM sebagai rujukan.
A. Penerapan ISA Singapura
Sebagaimana diketahui salah satu keunikan konstitusi Singapura adalah
secara tegas mengatur pemidanaan terhadap subversi melalui Pasal 149. Ketegasan
itu tampak dari formulasi Pasal itu yang menyatakan bahwa parlemen dapat
membuat Undang-Undang yang mengatur pemidanaan atas tindak pidana subversi
dengan boleh menyimpangi Pasal 9, 11, 12, 13 dan 14 konstitusi yakni pasal-pasal
tentang kebebasan dasar manusia.
Salah satu Undang-Undang dimaksud adalah Undang-Undang Keamanan
Dalam Negeri atau Internal Security Act (ISA). Berdasarkan landasan
21
konstitusional tersebut dalam penerapannya ISA kemudian digunakan sebagai dasar
hukum melakukan penahanan tanpa proses peradilan (preventive detention)
terhadap mereka yang dianggap melakukan tindakan subversi seperti diatur dalam
Bab II ISA yang terdiri dari tidak kurang dari 45 Pasal. Tafsir atas ke 45 pasal itu
memberi kesimpulan bahwa , menurut versi ISA, t indakan subversi itu adalah
segala tindakan yang bermuara pada terjadinya suatu situasi berupa ancaman
terhadap keselamatan dalam negeri.
Demikianlah misalnya tampak, bahwa dari sejak awal berlakunya
ISA,sekitar 1963 hingga 2010 pejabat ISA telah mengenakan penahanan tanpa
peradilan kepada dua kelompok masyarakat yang sama sekali berbeda kualifikasi
kejahatannya.
Sehubungan dengan itu Papademas dalam sebuah pernyataannya
mengatakan bahwa dua Negara yang sama-sama menerapakan ISA yakni Singapura
dan Malaysia adalah pelanggar HAM terjelek meskipun mereka mengalami
kemakmuran ekonomi. Lebih jauh Papademas mengatan : “Malaysia and
Singapore, though some what economically prousperous, have been some of the
worst violator of human rights”. ( Diana Papademas; 2011 : 13 ).
Seperti telah disinggung di depan, pada 1963 Singapura dan Malaysia
melakukan operasi bersama untuk menangkap 117 orang pimpinan partai oposisi
dan pmimpinan serikat buruh dan beberapa dari mereka ditahan melebihi 17 tahun
tanpa diadili; Tahun 1966 seorang tokoh partai oposisi juga ditahan tanpa diadili
selama 32 tahun dan sembilan tahun terakhir dikenakan tahanan khusus
ditempatkan di Pulau Sentosa dengan pembatasan hak-hak sipilnya. Sementara itu
penahanan tanpa diadili untuk terorist dikenakan pada para anggota Jemaah
Islamiah yang berencana meledakkan kedubes Singapura diberbagai negara, dan
terakhir 2009 gembong teroris Singapura yakni Mas Selamet Bin Kastari
meringkuk dalam tahanan tanpa pernah diadili atas kuasa ISA .
(http://www.en.wikipedia, org ; 20-1-2011). .
Jika sekiranya ISA itu dianggap sebagai suatu instrumen hukum luar biasa
untuk menyelematkan negara dari ancaman teroris mungkin dalam derajat tertentu
dapat dibenarkan. Artinya, kejahatan terorisme itu adalah tergolong kejahatan luar
22
biasa (extraordinary crime) yang harus juga ditangani dengan hukum luar biasa
(extraordinary law) seperti ISA.
Terorisme dapat digolongkan dalam kejahatan luar biasa karena sebenarnya
terorisme memenuhi unsur-unsur kejahatan atas kemanusiaan (crime against
humanity) yang tergolong pelanggaran berat HAM.
Pada prinsipnya penulis hukum pidana internasional maupun penulis
hukum pidana nasional menyepakati bahwa unsur-unsur kejahatan kemanusiaan
paling tidak terdiri dari:
a. Unsur Internasional berupa :
(1) Merupakan ancaman secara langsung atas perdamaian dan keamanan dunia
(direct threat to world peace and security).
(2) Atau ancaman secara tidak langsung atas perdamaian dan keamanan dunia
(indirect to the world peace and security).
(3) Menggoyahkan perasaan kemanusiaan (shocking to the concience of
humanity).
b. Unsur Transnasional yang berupa :
(4) Tindakan itu menyimpulkan dampak pada lebih dari satu negara (affecting
of more than one state).
(5) Melibatkan atau memberi dampak terhadap warga negara lebih dari satu
negara (conduct or affecting citizen of more than one state).
(6) Sarana, prasarana atau metode yang digunakan melampaui batas-batas suatu
negara (means and methods trancend national boundaries).
c. Unsur “necessity” berupa kebutuhan kerjasama antar negara untuk
penanggulangannya (cooperation of state, necessary to enforce). ( Romli
Atmasasmita; 1995 : 58-59 ).
Jika diperhatikan unsur-unsur itu nampaknya terorisme memenuhi ketiga-
tiganya yakni : unsur internasional, unsur transnasional; unsur “kebutuhan”
terutama berupa : menggoncang perasaan kemanusiaan, kegiatannya melintasi
batas negara dan adanya kebutuhan bersama negara-negara untuk
menanggulanginya.
23
Meski teroris dapat digolongkan penjahat kemanusiaan, penerapan ISA
dengan menahan tanpa diadili dapat dinilai sebagai tindakan yang sewenang-
wenang serta melanggar salah satu prinsip negara hukum yakni prinsip “kepastian
hukum”. Supaya ada kepastian hukum pengadilan adalah instansi terakhir dalam
suatu negara hukum yang seharusnya memutuskan apakah seseorang bersalah atau
tidak.
Terhadap kekuatan partai oposisi, penerapan ISA dengan penahanan tanpa
peradilan adalah sangat tidak tepat karena hal itu merupakan pelanggaran atas hak
kebebasan berpendapat (freedom of expressian) jika kegiatan itu dilakukan oposisi
secara damai. Jika dilakukan dengan kekerasan berupa pelanggaran pidana,
seyogyanya yang diterapkan adalah hukum pidana biasa dan bukan ISA karena
kualifikasi kejahatannya adalah kejahatan biasa, dan bukan kejahatan luar biasa
seperti apa yang dilakukan oleh teroris.
Namun demikian tindakan Singapura menerapkan ISA terhadap
warganegaranya tidaklah dapat digolongkan pelanggaran terhadap hukum
Humaniter Internasional yang termaktub dalam konvensi Den Haag dan konvensi
Jenewa, tetapi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hukum HAM Internasional
yakni pelanggaran atas kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1966.
B. Pelanggaran HAM Lainnya
Selain penerapan ISA, menurut laporan tahunan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Internasional, Singapura tiap tahun dilaporkan melakukan
pelanggar HAM.
Seperti telah disinggung di depan pelanggaran HAM menurut laporan itu
antara lain : (a) pelanggaran terhadap hak untuk hidup berhubung diterapkannya
hukuman mati; (b) hak untuk tidak disiksa; (c) hak atas informasi; (d) hak
kebebasan berkumpul, berekspresi dan berserikat ; (e) hak kebebasan seksual dan
gender; (d) diskriminasi atas buruh migran (http://www.en.wikipedia.org, 27–8–
2011) (http://www.hrw.org; 23-6-2011).
24
1.Pelanggaran Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil Dan Politik
Dari laporan internasional itu, nampaknya instrument internasional yang
dilanggar Singapura adalah konvenan Hak Sipil dan Politik, konvensi Ant i
Penyiksaan dan konvensi Buruh Migran. Namun ada satu hal yang perlu
dicermati lebih jauh, yakni apakah tindakan Singapura menerapkan hukuman
mati dapat dikatakan melanggar kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik.
Berkenaan dengan penerapan hukuman mati, konvenan internasional
Hak Sipil dan Politik mengaturnya secara luas dalam Pasal 6 yang terdiri dari 6
ayat. Untuk kejelasan makna, perlu dikutip seutuhnya bunyi pasal tersebut
sebagai berikut :
Ayat (1) Every human being has the inherent right to life. This right shall be
protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his live.
Ayat ini mengatur hak yang paling mendasar dari manusia dengan menyatakan
bahwa setiap umat manusia mempunyai hak dasar untuk hidup. Hak dasar ini
harus dilindungi dengan Undang-Undang , dan tidak seorangpun dengan
sewenang-wenang dapat mencabut nyawa seseorang.
Ayat (2) In countries which have not abolished the death penalty, sentence of
death may be imposed only for the most serious crime in accordance
with the law inforce at the time of the commission of the crime and
not contrary to the provisions of the present covenant and to the
convention on the prevention and punishment of the crime of
genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final
judgement by a competent court. (Garis bawah dari penulis).
Pada negara-negara yang tidak menghapus hukuman mati, hukuman mati hanya
dapat diberlakukan pada kejahatan yang amat serius sesuai dengan Undang-
Undang yang berlaku pada saat kejahatan itu diperbuat, dan tidak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan kovenan ini dan tidak bertentangan dengan
konvensi pencegahan dan penghukuman kejahatan Genosida. Hukuman mati ini
25
hanya dapat dilaksanakan atas dasar putusan yang bersifat final dari pengadilan
yang berwenang.
Dalam ayat ini, diatur unsur-unsur normatif jika suatu negara tetap
menerapkan hukuman mati. Paling tidak ada 5 unsur yakni :
1) Hukuman mati itu hanya dapat dikenakan pada kejahatan yang diberi
dikualifikasi amat serius (the most serious crime). Tafsir terhadap istilah
“the most serious crime” mengarah kepada kejahatan luar biasa
(extraordinary crime) sebagai lawan dari kejahatan biasa (ordinary crime),
dimana yang pertama berkonotasi pada pelanggaran berat HAM sementara
yang kedua berkonotasi pada pelanggaran biasa HAM.
2) Penjatuhan hukuman mati itu sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku
pada saat perbuatan pidana itu dilakukan oleh pelaku (at the time of the
commission). Ini berarti hukuman mati tidak boleh berlaku surut (non
retroaktif).
3) Penjatuhan hukuman mati tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan dalam konvensi Hak Sipil dan Politik. Misalnya hukuman mati itu
tidak boleh bertentangan dengan Pasal 7 yakni diterapkan dengan cara-cara
yang kejam (inhuman punishment). Atau anak-anak dibawah umur 18 tahun
dan wanita hamil tidak dapat dijatuhi hukuman mati sesuai ketentuan ayat 5
Pasal 6 kovenan ini..
4) Penjatuhan hukuman mati itu juga tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan konvensi Genocide 1948; misalnya jika penjatuhan
hukum mati dimaksudkan untuk melakukan persekongkolan dengan pihak
tertentu untuk melakukan (conspiracy to commit) genosida sebagaimana
diatur dalam Pasal III huruf b konvensi Genosida itu.
5) Hukuman mati itu harus dijatuhkan oleh Pengadilan yang berwenang dan
putusan harus telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Seperti telah disebutkan di depan ada sekitar 12 tindak pidana yang
diancam hukuman mati di Singapura yakni : (1) memerangi pemerintah; (2)
menyerang Preiden; (3) Pemberontakan; (4) pembajakan; (5) sumpah palsu; (6)
26
pembunuhan ; (7) membantu bunuh diri; (8) percobaan pembunuhan oleh
narapidana ; (9) penculikan; (10) perampokan ; (11) narkotika, (12)
pemilikan/penguasaan senjata api (http://www.en.wikipedia.org ; 27-8-2011).
Ada dua jenis tindak pidana barangkali yang dapat digolongkan
kejahatan sangat serius (utmost serious crime) yakni : memerangi pemerintah
tertama jika dilakukan oleh teroris internasional seperti Jmaah Islamiah dan
pembajakan di laut ataupun di udara. Kejahatan lainnya nampaknya adalah
kejahatan biasa, sehingga tidak tergolong kejahatan sangat serius menurut
ketentuan Pasal 6 ayat (1) kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Dengan
demikian kejahatan lainnya itu tidaklah tepat diancam dengan hukuman mat i
menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) kovenan tersebut.
Selanjutnya ayat 3 berbunyi : “When deprivation of life constitutes the
crmie of genocide, it is understood that nothing in this articles shall authorize
anay state party to the present convenant to derogate in any way from any
obligation assumed under the provisions of the convention on the prevention
and punushment of the crime of Genocide”.
Bila penghilangan nyawa itu merupakan kejahatan genosida, perlu
dipahami bahwa tidak ada ketentuan yang membenarkan suatu negara peserta
kovenan ini untuk mengesampingkan kewajiban-kewajiban yang tertera dalam
konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida.
Sementara ayat 4 mengatakan : “Any one sentence to death shall has the
right to seek pardon or commutation of the sentence. Amnesty, pardon of
commutation of the sentence of death may be granted in all cases”.
Ini berarti bahwa seseorang yang dikenakan hukuman mati mempunyai
hak untuk mendapat pengampunan atau keringanan hukuman. Pengampunan
atau keringanan hukuman itu dapat diberikan kepada segala jenis kejahatan
(yang diancam hukuman mati).
Lebih jauh ayat 5 menegaskan sebagai berikut :
“Sentence of death shall not be imposed for crimes cominited by
persons below eighteen years of age and shall not be carried out on pregnant
women”.
27
Kemudian disusul ayat (6) sebagai berikut :
“Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the
abolition of capital punishment any state party to the present covenant”.
Ayat 5 itu menyatakan bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan
terhadap orang yang berumur dibawah 18 tahun dan terhadap wanita hamil;
sementara ayat 6 menekankan bahwa penerapan Pasal 6 ini tidaklah
dimaksudkan untuk menunda atau mencegah upaya penghapusan hukuman mat i
oleh suatu Negara Peserta kovenan.
Ketentuan ayat 6 ini tentu menarik untuk dianalisis lebih jauh, karena
sementara kalangan berpendapat bahwa ayat 6 ini secara berangsur-angsur
kovenan berart bermaksud menghapus hukuman mati. Penulis beranggapan
bahwa kovenan tidak melarang hukuman mati asalkan dilaksanakan sesuai
persyaratan yang tercantum pada Pasal 6 ayat 2 seperti telah disebutkan di atas.
Namun jika ada Negara Peserta yang tengah berupaya menghapuskan hukuman
mati, dengan adanya ketentuan ayat 2 itu tidaklah berarti upaya itu ditunda atau
dibatalkan seperti tersirat pada ayat 6 dari Pasal 6 kovenan.
Jadi untuk mengevaluasi apakah Singapura melanggar atau tidak Pasal
6 ayat (2) perlu diadakan penelitian lebih jauh apakah hukuman mati itu
diterapkan pada kejahatan yang tergolong sangat serius (utmost serious crime)
ataukah kejahatan biasa.
Disisi lain, laporan internasional juga menyatakan bahwa Singapura
telah melakukan pelanggaran HAM atas hak kebebasan informasi, kebebasan
berkumpul, berserikat; serta kebebasan seksual sesama jenis.
Berkenaan dengan kebebasan informasi, berkumpul dan berserikat
kovenan memang mengatur dengan jelas, namun kebebasan seksual sesama
jenis tidak jelas pengaturannya.
Kebebasan mendapat informasi diatur dalam Pasal 19 ayat (2) dimana
kebebasan itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Dikatakan bahwa ;
“… every one shall have the right to freedom of expression, this right include
freedom to seek, receive and impart information…”.( Setiap orang mempunyai
28
hak atas kebebasan berekspresi, hak ini meliputu hak untuk mencari, menerima
dan member informasi ).
Kebebasan untuk berkumpul dan berserikat diatur dalam Pasal 21 dan
Pasal 22 ayat (1). Pasal 21 mengatakan bahwa hak berkumpul secara damai
adalah diakui atau…. the right of peaceful assembly shall be recognized.
Sementara Pasla 22 ayat (2) menyatakan bahwa tiap orang memiliki hak untuk
kebebasan berserikat dengan yang lainnya, atau….. every one shall have the
right to freedom of association with others.
Sehubungan dengan laporan internasional tentang pelanggaran hak
kebebasan seksual sesama jenis oleh Singapura ternyata setelah ditelit i
keseluruhan ketentuan kovenan tidak ada indikasi kearah tindakan seperti itu.
Kovenan tidak ada mengatur hak kebebasan sesama jenis melakukan hubungan
seksual. Bahkan Pasal 23 ayat (2) hanya membenarkan dilangsungkan
perkawinan pasangan beda jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dewasa
dengan rumusan sebagai berikut : “The right of men and women of
marriageable age to marry and to found a famiy shall be recognized”.
2. Pelanggaran Konvensi Anti Penyiksaan
Sebagaimana diketahui, hukum pidana Singapura mengenal hukuman
cambuk dengan rotan, sebagai hukuman tambahan atas hukuman pokok. Pasal
325 s/d 332 hukum acara pidana Singapura mengatur tata cara pelaksanaan
hukuman cambuk dengan rotan, diantaranya : hanya boleh dikenakan pada
orang yang telah berumur 18 hingga 50 tahun, paling banyak dipukul sampai 24
kali, panjang dan diameter rotan adalah 1,2 meter dan 1,27 cm, dalam keadaan
sehat dengan terlebih dahulu diperiksa dokter, dipukul dengan sekuat tenaga
dengan interval pukulan 10 s/d 15 detik (http://www.en.wikipedia.org; 27-8-
2011).
Lembaga Swadaya Masyarakat dan pengamat internasional mengecam
hukuman cambuk ini sebagai suatu tindakan yang kejam dan tidak
29
berperikemanusiaan. Hukum Hak Asasi Manusia Internasional melarang
penyiksaan seperti itu melalui konvensi internasional tentang Anti Penyiksaan.
Konvensi ini lengkapnya berjudul “Konvensi Anti Penyiksaan dan
Kekejaman Lainnya, Hukuman Atau Tindakan Yang Tidak
Berperikemanusiaan” (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman
or Degrading Treatment or Punishment) 1984.
Pasal 2 Konvensi mewajibkan Negara Peserta untuk melakukan upaya
legislasi, administrasi dan judisial untuk melaksanakan Konvensi ini. Juga
ditegaskan bahwa segala jenis keadaan darurat dan perintah atasan tidak dapat
dijadikan alasan untuk melakukan penyiksaan. Sementara Pasal 4 mewajibkan
Negara Peserta untuk menyatakan dengan tegas dalam hukum pidananya bahwa
penyiksaan adalah perbuatan pidana dapat dihukum sebagaimana mestinya
sesuai dengan berat ringannya kejahatan itu.
3. Pelanggaran Konvensi Buruh Migran
Laporan HRW (Human Right Watch) internasional menyatakan
Singapura telah melakukan diskriminasi terhadap buruh migran. Diskriminasi
itu misalnya ; (1) menerapkan standard kontrak yang menempatkan buruh
migran pada posisi yang lemah ; (2) buruh yang hamil dapat diusir dari
Singapura; (3) buruh migran tidak boleh kawin dengan warga negara
Singapura. (http://www.hrw.org; 23-6-2011).
Jika dikaitkan dengan konvensi tentang buruh migran (lengkapnya;
Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak-hak Hemua Huruh Migran
dan Keluarga) atau International Convention on the Protection of the Rights of
All Migrant Workers and Members of their Families) 1990, maka nampak
tindakan Singapura itu melanggar Pasal 7 tentang larangan melakukan
diskriminasi terhadap buruh migran.
Lengkapnya pasal itu berbunyi sebagai berikut :
“State Parties Undertake in accordance with the international
instruments concerning human rights, to respect and ensure to all migrant
30
workers and members of their families within their territory or subject to their
jurisdiction the rights provided for the present convention without distinction of
any kind such as sex, race, colour, language, religion or conviction, political or
other opinion, nationality, age, echonomic position, property, marital status,
birth and others status. (Negara Peserta bertindak sesuai dengan instrumen
internasional HAM menghormati dan memastikan bahwa semua buruh migran
beserta keluarga mereka yang berada dalam wilayah atau dibawah jurisdiksinya
hak-hak yang dijamin dalam konvensi ini akan dinikmati tanpa membeda-
bedakan latar belakang jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agam atau
keyakinan, pandangan politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, umur, posisi
ekonomi, kekayaan, status perkawinan, status kelahiran dan status lainnya).
C. Posisi Keterikatan Singapura Pada Konvensi HAM
Berdasarkan uraian di atas sepintas nampak Singapura melanggar
konvenan/konvensi Internasional HAM tentang Hak Sipil dan Politik, Ant i
Penyiksaan, dan Buruh Migran.
Perlu dicermati lebih jauh, apakah Singapura mempunyai kewajiban hukum
untuk mentaati konvenan/konversi tersebut atau dengan kata lain, apakah Singapura
telah meratifikasi atau mengaksesi konvenan/konvensi tersebut sehingga Singapura
memikul tanggung jawab internasional atas pelanggarannya.
Menurut catatan PBB hingga pada tanggal 17 Januari 2012 ternyata
Singapura belum meratifikasi kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Kovenan yang
disyahkan 16 Desember 1966 dan mulai berlaku 23 Maret 1976 itu, hingga tanggal
17 Januari 2012 tersebut telah diratifikasi/diaksesi oleh 167 negara. Dapat
ditambahkan bahwa Negara ASEAN yang telah meratifikasi/mengaksesi adalah ;
Vietnam, 14 Nopember 1982; Pilipina, 23 Oktober 1986;Kamboja, 26 Mei 1992;
Indonesia, 23 Februari 2006 ; ; Laos, 25 Nopember 2009; Thailand, 29 Oktober
1996, Timor Leste, 18 September 2003 .
Sementara keterikatan Singapura terhadap Konvensi Anti Penyiksaan Dan
Kekejaman Lainnya, Penghukuman Atau Tindakan Yang Tidak
Berperikemanusiaan (disingkat Konvensi Anti Penyiksaan) terlihat hal sama yakni
31
hingga pada tanggal 17 Januari 2012 juga Singapura belum meratifikasinya.
Kovensi ini disyahkan 10 Desember 1984 dan mulai berlaku 26 Juni 1987. Hingga
pada tanggal tersebut, konvensi ini telah diratifikasi oleh 149 negara. Tercatat
negara-negara ASEAN yang telah meratifikasi/mengaksesinya adalah ; Kamboja,
15 Oktober 1992 ; Indonesia, 28 Oktober 1998; Pilipina, 18 Juni 1986; Thailand, 2
Oktober 2007; dan Timor Leste, 16 April 2003.
Demikian juga Singapura belum meratifikasi Konvensi Buruh Migran pada
posisi tanggal 17 Januari 2012. Konvensi yang disyahkan oleh Majelis Umum PBB
tanggal 18 Desember 1990, mulai berlaku sejak 1 Juli 2003. Negara yang telah
meratifikasi berjumlah 45 negara, meskipun jumlah ini relatif kecil tetapi sudah
melampaui jumlah persyaratan untuk berlaku yakni 20 negara sesuai Pasal 87 ayat
(1) konvensi. Negara ASEAN yang sudah meratifikasi tercatat baru Pilipina dan
Timor Leste masing-masing pada 5 Juli 1995 dan 30 Januari 2004. Sementara
Indonesia baru menandatangani pada 22 September 2004 dan Kamboja pada 27
September 2004 (http://www.treaties.un.org; 17-1-2012).
Dari telaah di atas ternyata Singapura belum meratifikasi satu kovenan dan
dua konvensi tersebut sehingga secara hukum Singapura tidak bisa diminta
pertanggung jawabannya dihadapan Komite-Komite HAM Internasional yang
dibentuk berdasarkan ketentuan masing-masing kovenan/konvensi.
Meski tidak bertanggung jawaban secara hukum, namun secara moral
patut kiranya Singapura memperhatikan ketentuan-ketentuan instrumen HAM
internasional terutama sekali Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia PBB 1948,
karena didalam Deklarasi itu telah tersirat nilai-nilai standar HAM universal yang
patut diindahkan oleh seluruh Negara anggota PBB.
32
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abizadeh, Arash; 2009. Human Rights And Indivisible Rights. Martinus Nijhoff,
Leiden, Boston.
Atmasasmita, Romli; 1995. Pengantar Hukum Pidana Internasional. PT Eresco,
Bandung
Christie, Kenneth & Roy, Denny; 2001. The Politic of Human Rights in East Asia. Pluto
Press, London, Sterling, Virginia.
Corradety , Claudio ( ed); 2012. Philosophical Dimension of Human Rights. Springer,
Rome.
Cornelisse, Galina; 2010. Immigration Detention and Human Rights. Martinus Nijhoff,
Leiden, Boston.
Dembour, Marie Benedicte; 2006. Who Believe in Human Rights? Cambridge University
Press, Cambridge, New York, etc.
Diehl, E Paul & Ku, Charlotte ; 2010. The Dynamics of International Law. Cambridge
University .
Fenwick, Helen & Philipson, Gavin; 2003. Politic Law and Human Rights. Cavendish
Publishing Limited, London, Sydney, etc.
Kadragic, Alma; 2006. Globalization and Human Rights. Chelsea House Publisher,
Phladelphia.
Koch, Ida Elisabeth; 2009. Human Rights and Indivisible Rights. Martinus Nijhoff,
Leiden, Boston.
Kolb, Robert & Hyde, Richard; 2008. An Introduction to the Law of Armed Conflicts.
Hart Publishing, Oxford, Portland, Oregon.
Kusumaatmadja, Muchtar; 1976. Pengantar Hukum Internasional. Binacipta, Bandung.
Martin, Francisco Forrest, (ed); 2006. International Human Rights and Humanitarian
Law. Cambridge University Press, Cambridge, New York, etc.
33
Meuwissen, DHM; 1984. Grondrechten. AULA Uitgevery Het Spectrum, Utrecht,
Antwerpen.
Osiatynski, Wiktor; 2009. Human Rights and Their Limit. Cambridge University Press,
Cambridge, New York, etc.
Papademas, Diana; 2011. Human Rights and Media. Emerald, UK, etc.
Parthiana, I Wayan; 2006. Hukum Pidana Internasional. CV Wirama Widya, Bandung.
Parthiana, I Wayan; 2004. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi; CV Wirama
Widya, Bandung.
Parthiana, I Wayan; 1987. Beberapa Masalah Dalam Hukum Internasional dan Hukum
Nasional. Binaciptra, Bandung. Boston.
Starke, J G; 1992. Pengantar Hukum Internasional. Terjemahan B I Djajaatmadja, Sinar
Grafika, Jakarta.
Strong, CF; 1952. Modern Political Cinstitution. Sidwick, Jackson Limited, London,
UK.
Stigen, Jo; 2008. The Relationship Between the International Criminal Court and
National Jurisd Jurisdiction. Martinus Nijhoff, Leiden, Boston.
B. Peraturan Perundang-Undangan
……………..; Constitution of Singapore. 2010.
……………..: Constitution of China, 2004
………………; Internal Security Act of Singapore, 1960
……………..; International Covenant on Civil and Political Rights, 1966.
……………..; Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment of Punishment, 1984.
………………; International Convention on the Elimination of All Form of Racial
Discrimination, 1965.
………………; Convention Relating to the Status of Refugee, 1951.
………………; International Convention on the Protection of the Rights of Migrant
Workers and Members of Their Family, 1990.
……………….; Rome Statute, 1998.
34
C. Internet
…………..: http://www.id.wikipedia.org; 7-8-2011
…………..; http://www.en.wikpedia.org; 20-8-2011
………….; http://www. id.wikipedia.org; 12-9-2011