Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal

12
Hadits-Hadits tentang Pengharaman Isbal Jumhur ulama mengatakan bahwa isbal jika tidak disertai dengan kesombongan, maka hukumnya tidak sampai pada derajat haram. Paling berat adalah makruh/tercela. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa isbal itu haram secara mutlak, baik dengan atau tanpa kesombongan. Saya ingin mengajak teman-teman mencermati keseluruhan hadits (walau di sini nanti saya tidak menyebutkan keseluruhannya – namun hanya berkisar pada sebagian besarnya saja) yang berbicara mengenai sifat pakaian, khususnya dalam bahasan isbal. Di sini saya lebih condong pada pendapat yang mengatkan bahwa isbal haram secara mutlak. Berikut penjelasannya : 1. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ار ن ل ا ي ف ف ار ر الإ ن م ن ي ن لكع ا ن م ل سف ال ما ا م ق سل ه و ي علله ي ال صل ي ب لن ا ن ع ه ي ع ى ل عا له ت ي ال ض ر رة ي ر ه ى ب ا ن عDari Abi Hurairah radliyallaahu ta’ala ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallambahwasannya beliau bersabda : "Apa-apa yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah di neraka" [HR. Al-Bukhari nomor 5450, Ahmad nomor 9936, Abdurrazzaq nomor 19987, dan yang lainnya]. Abul-Jauzaa’ berkata : "Hadits ini bermakna umum, yaitu bahwa segala sesuatu dari kain yang dikenakan yang melebihi mata kaki adalah berdosa dan tempatnya di nereka (akibat dosa tersebut). Di sini tidak ditunjukkan pembatasan (taqyid) atas kesombongan. Objek yang dituju oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah pakaian. Bukan pelakunya secara langsung". 2. Hadits Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu : ه ي علله ي ال صلله ال ول س ها ر را ق ف ال م ق ي ل ا اب م عذ ه ل م و ه كي ر ي م ولإ ه لي ر اH ظ ن ي ولإ امه ن ق ل اO وم يله م ال ه مل ك ي لإ هW لإثW ال ث م ق سل ه و ي علله ي ال صل ي ب لن ا ن ع ر ذ ى ب ا ن ع ب لكاذ ا ف حل ل ا ه ث ي سلع ق ف ن م ل وا ان ن م ل ل وا ن س م لل ا ا له ق ال ول س ا ر م ث ه ن م روا س خا و و ي ا ر خ و ذ ي ل ا ا ار ق ر مW لإبW م ث سل وDari Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, tidak dilihat, dan tidak pula disucikan serta baginya adzab yang sanga pedih” . Abu Dzar berkata : “Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya tiga kali”. Kemudian Abu Dzarr bertanya : “Sungguh sangat jelek dan meruginya mereka itu wahai Rasulullah ?”. Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “(Mereka adalah) Musbil (orang yang melakukan isbal), orang yang gemar mengungkit-ungkit kebaikan yang telah diberikan, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu” [HR. Muslim nomor 106, Abu Dawud nomor 4087, At- Tirmidzi nomor 1211, dan yang lainnya]. 3. Hadits Hubaib Al-Ghiffary radliyallaahu ‘anhu : م ي ه ج ار ث ي ف ي ط لإء و ن خ ارة ر ي ا عل ي ط و ن م م سل ه و ي علله ي ال صلله ال ول س ال ر ال ق ق اري ف لغ ا ب يw هن ن عDari Hubaib Al-Ghiffary radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang kainnya melebihi mata kaki karena sombong, ia akan menginjaknya di neraka Jahannam” [HR. Ahmad nomor 15644, Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabiir nomor 2907, dan yang lainnya; serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul-Jaami’ nomor 6592].

Transcript of Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal

Page 1: Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal

Hadits-Hadits tentang Pengharaman Isbal

Jumhur ulama mengatakan bahwa isbal jika tidak disertai dengan kesombongan, maka hukumnya

tidak sampai pada derajat haram. Paling berat adalah makruh/tercela. Sebagian ulama yang lain

mengatakan bahwa isbal itu haram secara mutlak, baik dengan atau tanpa kesombongan. Saya

ingin mengajak teman-teman mencermati keseluruhan hadits (walau di sini nanti saya tidak

menyebutkan keseluruhannya – namun hanya berkisar pada sebagian besarnya saja) yang

berbicara mengenai sifat pakaian, khususnya dalam bahasan isbal. Di sini saya lebih condong pada

pendapat yang mengatkan bahwa isbal haram secara mutlak. Berikut penjelasannya :

1.          Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu

عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ما أسفل من الكعبين من اإلزار ففي النار

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ta’ala ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallambahwasannya

beliau bersabda : "Apa-apa yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah di

neraka"  [HR. Al-Bukhari nomor 5450, Ahmad nomor 9936, Abdurrazzaq nomor 19987, dan yang

lainnya].

Abul-Jauzaa’ berkata : 

"Hadits ini bermakna umum, yaitu bahwa segala sesuatu dari kain yang dikenakan yang melebihi

mata kaki adalah berdosa dan tempatnya di nereka (akibat dosa tersebut). Di sini tidak

ditunjukkan pembatasan (taqyid) atas kesombongan. Objek yang dituju oleh

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah pakaian. Bukan pelakunya secara langsung".

2.          Hadits Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu :

عن أبي ذر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ثالثة ال يكلمهم الله يوم القيامة وال ينظر إليهم وال يزكيهم ولهم عذاب أليم

قال فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم ثالث مرار قال أبو ذر خابوا وخسروا من هم يا رسول الله قال المسبل والمنان

والمنفق سلعته بالحلف الكاذب

Dari Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Ada

tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, tidak dilihat, dan tidak pula

disucikan serta baginya adzab yang sanga pedih”.  Abu Dzar berkata : “Rasulullahshallallaahu

‘alaihi wasallam mengucapkannya tiga kali”. Kemudian Abu Dzarr bertanya : “Sungguh sangat

jelek dan meruginya mereka itu wahai Rasulullah ?”. Rasulullahshallallaahu ‘alaihi

wasallam bersabda : “(Mereka adalah) Musbil (orang yang melakukan isbal), orang yang gemar

mengungkit-ungkit kebaikan yang telah diberikan, dan orang yang menjual barang dagangannya

dengan sumpah palsu” [HR. Muslim nomor 106, Abu Dawud nomor 4087, At-Tirmidzi nomor 1211,

dan yang lainnya].

3.          Hadits Hubaib Al-Ghiffary radliyallaahu ‘anhu :

عن هبيب الغفاري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من وطئ على إزاره خيالء وطئ في نار جهنم

Dari Hubaib Al-Ghiffary radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu

‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang kainnya melebihi mata kaki karena sombong, ia akan

menginjaknya di neraka Jahannam”  [HR. Ahmad nomor 15644, Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-

Kabiir nomor 2907, dan yang lainnya; serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul-

Jaami’ nomor 6592].

4.          Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :

عن سالم بن عبد الله عن أبيه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال اإلسبال في اإلزار والقميص والعمامة من جر منها شيئا

خيالء لم ينظر الله إليه يوم القيامة

Page 2: Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal

Dari Salim bin Abdillah dari ayahnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Isbal

itu pada kain (sarung), pakaian, dan imamah (surban). Barangsiapa yang memanjangkannya

dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”  [HR. Abu Dawud nomor 4049;

Nasa’i dalam Al-Mujtabaa nomor 5327,5328; dan Ibnu Majah nomor 3576; dengan sanad shahih].

Abul-Jauzaa’ berkata :

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata dalam As-ilah Mihimmah halaman 29-30 :

‘“Sesungguhnya melabuhkan sarung dengan niat sombong hukumnya adalah Allah tidak akan

melihatnya pada hari kiamat, tidak akan berbicara dengannya, tidak akan mensucikannya, dan dia

mendapatkan siksaan yang pedih. Adapun apabila tidak diniatkan sombong, maka hukumnya

adalah yang dibawah mata kaki akan disiksa dengan neraka”. Kemudian beliau (Asy-Syaikh

Al-‘Utsaimin) menyebutkan hadits Abu Dzar. Kemudian beliau melanjutkan : “Hadits ini adalah

hadits muthlaq, akan tetapi dirinci dengn hadits Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhumaa, dari

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda : من ج��ر ثوب��ه من الخيالء لم ينظ��ر الل��ه إلي��ه ي��وم }

Barangsiapa yang melabuhkan/menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan”{القيامة

melihatnya di hari kiamat” [HR. Al-Bukhari]. 

Kemutlakan hadits Abu Dzar dirinci oleh hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Sekali lagi, jika

dia melakukan karena sombong, Allah tidak akan melihatnya, membersihkannya, dan dia akan

mendapat adzab yang pedih. Hukuman ini lebih berat daripada hukuman orang yang menurunkan

pakaiannya di bawah mata kaki tanpa niat sombong.  Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu

Hurairah radliyallaahu ‘anhubahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : م��ا أس��فل من }

Apa saja yang berada di bawah kedua mata kaki dari kain sarung, maka” {الكعبين من اإلزار ففي النار

tempatnya di neraka”. 

Beliau tidak membatasi hal itu dengan kesombongan, dan sangat keliru apabila membatasinya

dengan kesombongan, berdasarkan hadits terdahulu.  Hal ini ditegaskan lagi dengan hadits Abu

Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam telah

bersabda : {إزرة المؤمن إلى نصف الساق وال حرج أو ال جناح فيما بينه وبين الكعبين ما كان أسفل من ذلك فهو في النار

Batas” {ومن جر إزاره بطرا لم ينظر الل��ه إلي��ه ي��وم القيام��ة sarung seorang mukmin sampai pertengahan

betis, dan dibolehkan sampai kedua mata kaki, dan yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka.

Dan barangsiapa melabuhkan/menyeret-nyeret sarungnya dengan sombong, Allah tidak akan

melihatnya pada hari kiamat” [HR. Malik, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan lainnya].

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan dua masalah dalam satu hadits, dan beliau

menerangkan perbedaan hukum antara keduanya karena adanya perbedaan sanksi, sehingga

kedua masalah itu berbeda bentuk perbuatannya dan berbeda status hukum dan sanksinya.

Dan jika hukum dan sebab berbeda, tidak boleh membawa (dalil) muthlaq kepadamuqayyad,

karena kaidah membawa (dalil) muthlaq kepada muqayyad harus memenuhi syarat diantaranya

adalah persamaan nash muthlaq dan muqayyad dalam hukum. Adapun jika terdapat perbedaan

hukum, maka tidak boleh membatasi nash muthlaqdengan nash muqayyad. [:: selesai nukilan saya

dari penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah:::].

Abul-Jauzaa’ berkata :

“Hadits Abu Dzarr menjelaskan secara muthlaq bahwa semua Musbil akan mendapat sanksi yang

berat berupa Allah tidak mengajaknya bicara, tidakmelihat mereka, tidak mensucikan mereka, dan

diberikan siksa yang pedih. Ini adalah jenis adzab “ekstra” daripada sekedar dimasukkan ke

neraka. Namun, dalam hadits Ibnu ‘Umar dijelaskan bahwa yang mendapat adzab seperti itu

adalah orang yang melakukan isbal secara sombong.

Adapun hadits Abu Hurairah adalah hadits umum bagi Musbil dengan neraka. Yang lebih

menguatkan bahwa ancaman neraka ini lebih bersifat umum (dengan atau tanpa sombong) adalah

bahwa konteks ancaman adalah tidak menyebutkan pelaku isbal secara langsung. Tapi tertuju

pada objek pakaian, yaitu dengan lafadh ancaman : “Apa-apa  yang berada di bawah mata kaki

Page 3: Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal

dari kain, maka tempatnya adalah di neraka”. Di sini sama sekali tidak menyebutkan latar

belakang dari pelaku isbal. 

5.          Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu

عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إزرة المسلم إلى نصف الساق وال حرج أو ال جناح فيما بينه

وبين الكعبين ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار من جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه

Dari Abi Sa’id Al-Khudry radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu

‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya batas sarung seorang muslim adalah setengah betis dan tidak

mengapa atau tidak berdosa jika berada di antara setengah betis dan mata kaki. Apabila di bawah

mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan barangsiapa menjulurkan sarungnya karena sombong,

maka Allah tidak akan melihat kepadanya” [HR. Abu Dawud nomor 4093 dan Ibnu Majah nomor

3573. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud juz 2 halaman 518].

Telah berkata Al-‘Adhim ‘Abadi ketika mensyarah hadits tersebut :

والحديث فيه داللة على أن المستحب أن يكون إزار المسلم إلى نصف الساق والجائز بال كراهة ما تحته إلى الكعبين , وما. كان أسفل من الكعبين فهو حرام وممنوع

"Hadits ini menunjukkan atas disukainya keadaan kain sarung seorang muslim sampai pada

pertengahan betisnya. Dan diperbolehkan tanpa dibenci sampai dengan dua mata kaki. Dan apa-

apa di bawah dua mata kaki, maka hal itu haram lagi terlarang” [Lihat kitab  ‘Aunul-Ma’bud,

pada Kitaabul-Libaas, Bab Fii Qadri Maudli’i ‘Izaar]. 

Abu Al-Jauzaa’ berkata :

“Hadits ini menyebutkan dua permasalahan dan dua hukum sekaligus sebagaimana telah

dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin sebelumnya. Yaitu : Larangan keumuman isbal dengan

konsekuensi “neraka”; dan larangan isbal dengan sombong dengan konsekuensi hukum tidak akan

dilihat Allah di hari kiamat”.

Hadits ini merupakan penjelas dari keterangan sebelumnya dalam hadits Abu Hurairah, Abu Dzarr,

Ibnu ‘Umar, dan Hubaib radliyallaahu ‘anhum. Tidak bisa dikatakan bahwa pelarangan isbal itu

hanya di-taqyid jika sombong saja. Jika ada seseorang yang memaksa untuk mengatakan seperti

itu, maka makna hadits ini jadi janggal. Lafadh {من جر إزاره بطرا لم ينظر الله إلي��ه } dalam hadits

tersebut seakan tidak berfungsi karena sudah adataqyid kesombongan di kalimat sebelumnya

yaitu pada { ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار }. Tentu saja perkataan ini tidak bisa diterima. 

6.          Hadits ‘Amr bin Asy-Syariid radliyallaahu ‘anhu

أن النبي صلى الله عليه وسلم تبع رجال من ثقيف حتى هرول في أثره حتى أخذ ثوبه فقال ارفع إزارك قال فكشف الرجل

عن ركبتيه فقال يا رسول الله انى أحنف وتصطك ركبتاي فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم كل خلق الله عز وجل

حسن قال ولم ير ذلك الرجل اال وإزاره إلى أنصاف ساقيه حتى مات

“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengikuti seorang laki-laki dari Tsaqif dengan

berlari-lari kecil hingga beliau memegang pakaian yang dikenakannya (karena isbal). Maka beliau

bersabda : “Angkatlah kain sarungmu !”. Perawi berkata : Maka laki-laki tersebut menyingkap

kedua lutut seraya berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kakiku bengkok dan saling beradu

kedua lututku tersebut (yaitu : cacat – Abul-Jauzaa’)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi

wasallam bersabda : “Setiap ciptaan Allah ‘azza wa jalla itu baik”. Perawi berkata : Maka orang

tersebut tidak pernah terlihat sejak itu melainkan kain sarungnya hanya sampai pertengahan

betisnya hingga ia meninggal dunia” [HR. Ahmad nomor 19490, Al-Humaidi nomor 810, dan Ath-

Thahawi Bab Bayan Musykilah Maa Ruwiya ‘an Rasuulillah shallallaahu ‘alaihi wasallam fii Dzikril-

Fakhidzi Hal Huwa Minal ‘Aurah ?; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-

Shahiihah nomor 1441].

Abu Al-Jauzaa’ berkata :

Page 4: Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal

“Perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk meninggikan kain sarung orang tersebut di

atas sama sekali tidak menunjukkan  adanya ‘illat kesombongan. Pengingkaran beliau shallallaahu

‘alaihi wasallam dilakukan semenjak beliau melihat orang tersebut dari kejauhan.

Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menanyakan kepada orang tersebut : “Apakah engkau

melakukannya dengan sombong ?”. Tapi beliau memutlakkan perintahnya ketika behasil

memegang kain yang dikenakannya dengan perkataan : “Angkatlah kainmu !”.  Alasan sakit dan

cacat yang ada di dua lututnya tidak menghalangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi

wasallam memerintahkan tetap mengangkat kedua kainnya. Padahal kita tahu, bahwa alasan sakit

dan cacat pada kasus-kasus tertentu sebenarnya mendapat dispensasi dalam syari’at untuk

melakukan sesuatu yang pada asalnya adalah dilarang.

Tegasnya, hadits ini mengingkari adanya pembolehan isbal dengan alasan tidak sombong. 

7.          Hadits Abu Juray Jabir bin Salim radliyallaahu ‘anhu

عن أبي جري جابر بن سليم قال رأيت رجال يصدر الناس عن رأيه ال يقول شيئا إال صدروا عنه قلت من هذا قالوا هذا رسول

الله صلى الله عليه وسلم قلت عليك السالم يا رسول الله مرتين قال ال تقل عليك السالم فإن عليك السالم تحية الميت قل

السالم عليك قال قلت أنت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أنا رسول الله الذي إذا أصابك ضر فدعوته كشفه عنك وإن

أصابك عام سنة فدعوته أنبتها لك وإذا كنت بأرض قفراء أو فالة فضلت راحلتك فدعوته ردها عليك قلت اعهد إلي قال ال

تسبن أحدا قال فما سببت بعده حرا وال عبدا وال بعيرا وال شاة قال وال تحقرن شيئا من المعروف وأن تكلم أخاك وأنت

منبسط إليه وجهك إن ذلك من المعروف وارفع إزارك إلى نصف الساق فإن أبيت فإلى الكعبين وإياك وإسبال اإلزار فإنها من

المخيلة وإن الله ال يحب المخيلة وإن امرؤ شتمك وعيرك بما يعلم فيك فال تعيره بما تعلم فيه فإنما وبال ذلك عليه

Dari Abu Juray Jaabir bin Salim radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku melihat seorang laki-laki yang

pemikirannya senantiasa diterima oleh rakyat banyak dan tidak ada seorang pun yang

mengomentari ucapannya. Aku bertanya : “Siapa ini ?”. Mereka menjawab : “Ini

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Lalu aku katakan : “Alaikas-Salaam ya Rasulullah”.

Sebanyak dua kali. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jangan kamu ucapkan

‘alaikas-salaam, karena ucapan ‘alaikas-salaam itu adalah ucapan selamat terhadap orang yang

mati. Tapi ucapkanlah : Assalamu ‘alaika”. Aku bertanya : “Apakah engkau Rasulullah ?”.

Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Aku adalah Rasulullah (utusan Allah). Apabila

kamu tertimpa marabahaya lalu berdoa kepada-Nya, maka marabahaya tersebut akan lenyap

darimu. Apabila daerahmu sedang dilanda kegersangan lalu kamu berdoa kepada-Nya, maka

bumimu akan kembali subur. Apabila kamu berada di sebuah padang tandus lalu kendaraanmu

hilang kemudian kamu berdoa kepada-Nya, maka Dia akan mengembalikan kendaraanmu itu”. Aku

katakan : “Berikan kepadaku sebuah wasiat”. Beliau bersabda :“Jangan cela siapapun”. Maka ia

(Juray bin Salim) berkata : “Maka mulai saat ini tidak ada seorang pun yang aku cela, baik orang

merdeka, budak, unta, maupun kambing”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jangan

engkau sepelekan perbuatan baik walau sedikit. Berbicaralah kepada saudaramu dengan wajah

berseri-seri sebab hal itu juga sebuah kebaikan. Angkat kain sarungmu hingga setengah betis. Jika

engkau enggan, maka julurkan persis di atas mata kaki. Janganlah kamu melakukan isbal, sebab

isbal itu termasuk perbuatan sombong (al-makhillah). Sesungguhnya Allah tidak mencintai

kesombongan. Apabila ada seseorang yang mencela atau mencacimu dengan sesuatu yang ia

ketahui dari dirimu, maka jangan engkau balas mencercanya dengan sesuatu yang engkau ketahui

dari dirinya. Sebab, bencana tersebut hanya akan menimpa dirinya sendiri” [HR. Abu Dawud

nomor 4084; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud juz 2 halaman 515-

516].

Abu Al-Jauzaa’ berkata :

“Mari kita perhatikan kalimat { وارفع إزارك إلى نصف الساق فإن أبيت فإلى الكعبين وإياك وإسبال اإلزار فإنها من

المخيلة يحب ال الله وإن ,Angkat kain sarungmu hingga setengah betis. Jika engkau enggan“ { المخيلة

maka julurkan persis di atas mata kaki. Janganlah kamu melakukan isbal, sebab isbal itu termasuk

perbuatan sombong (al-makhillah). Sesungguhnya Allah tidak mencintai kesombongan”.

Page 5: Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal

Di sini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebut tiga keadaan kain sarung. Dua

diperbolehkan, dan satu dilarang. Dua diperbolehkan yaitu keadaan setengah betis; dan keadaan

dijulurkan sampai batas maksimal mata kaki. Ini adalah penegasan perintah Rasulullah shallallaahu

‘alaihi wasallam : irfa’ izaarak !! . Kemudian dua keadaan yang diperbolehkan tersebut diikuti

dengan satu keadaan yang tidak diperbolehkan, yaitu melebihi batas kaki dengan kalimat larangan

: wa iyyaaka wa isbaala (Janganlah/jauhilah kamu dari melakukan isbal). Kalimat ini adalah kalimat

larangan muthlaq tanpa ada indikasi kebolehan jika tanpa kesombongan.

Jikalau mau ditartibkan keadaan kain dalam wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallamtersebut

adalah :

     sampai pertengahan betis (dianjurkan)

     dijulurkan sampai mata kaki (diperbolehkan)

     melebihi mata kaki (dilarang).

Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan tartib :

     sampai pertengahan betis (dianjurkan).

     dijulurkan sampai mata kaki (diperbolehkan).

     melebihi mata kaki jika sombong (dilarang).

Kalaupun misal keadaan isbal tanpa sombong itu diperbolehkan, tentu ia akan disebutkan secara

gamblang dalam hadits tersebut dan juga dalam hadits-hadits lain. Tapi ternyata tidak bukan ? Ini

menunjukkan bahwa keadaan kain lebih dari mata kaki itu memang keadaan kain yang tidak

diperbolehkan/diharamkan. Bahkan,….. dalam hadits di atas disebutkan bahwa isbal tersebut

merupakan hakikat kesombongan, baik si pelakunya berniat untuk sombong atau tidak sombong.

Saya kira, dalil ini secara sharih menolak pendapat yang mengatakan isbal itu boleh asal tidak

sombong.

8.          Hadits ‘Ubaid bin Khalid

أنه كان بالمدينة يمشي فإذا رجل قال ارفع إزارك فإنه أبقى وأتقى فنظرت فإذا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت يا

رسول الله إنما هي بردة ملحاء قال أما لك في أسوة فنظرت فإذا إزاره على نصف الساق

Bahwasannya ia sedang berjalan di Madinah (dengan keadaan pakaiannya yang terjulur sampai ke

tanah) dan ketika itu ada seseorang yang menegurku : “Angkatlah kainmu, karena hal itu lebih

baik dan lebih bertaqwa bagimu!”. Maku aku pun menoleh, dan ternyata orang tersebut adalah

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia

hanyalah burdah bergaris saja”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Apakah

engkau tidak menganggapku sebagai contoh ?”. Maka aku melihat dan ternyata kain beliau

sebatas pertengahan betis”  [HR. Ahmad nomor 23136 dan Nasa’i dalam Al-Kubraa nomor 9683;

serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Musktashar Asy-Syamaail Al-

Muhammadiyyah nomor 97 halaman 69 – Maktabah Al-Islamiyyah ‘Amman].

Abu Al-Jauzaa’ berkata :

“Dalam hadits ini terdapat perintah untuk meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi

wasallam dalam berpakaian. Beliau juga tidak menebak-nebak apakah ‘Ubaid bin Khalid

melakukannya secara sombong (sehingga menyebabkan beliau menegurnya). Hadits ini juga

sekaligus membantah sebagian hujjah orang yang mengatakan bahwa hukum asal dari pakaian

adalah boleh sehingga tidak mengapa isbal asal tidak sombong. Lihatlah, alasan ‘Ubaid yang

kemukakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam “mirip” dengan alasan yang

disampaikan kebanyakan orang. Perkataan ‘Ubaid : { إنما هي بردة ملحاء} “sesungguhnya ia hanyalah

burdah bergaris saja” ; bukankah bisa kita kiaskan dengan alasan : “Bukankah ia hanya perkara

adat keduniawian saja” ? (yang membolehkan di dalamnya isbal asalkan tidak sombong) Ternyata,

Page 6: Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallamtidak menerima alasan tersebut dan bahkan

memerintahkan untuk mencontoh keadaan pakaian yang beliau kenakan.

9.          Hadits Abu Bakar (lebih tepatnya hadits Ibnu ‘Umar) radliyallaahu ‘anhuma

عن عبد الله بن عمر رضى الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من جر ثوبه خيالء لم ينظر الله إليه

يوم القيامة فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إال أن أتعاهد ذلك منه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنك

لست تصنع ذلك خيالء

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu

‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang memanjangkannya dengan sombong, maka Allah tidak akan

melihatnya di hari kiamat” . Maka Abu Bakar berkata : “Sesungguhnya salah satu sisi pakaianku

selalu turun kecuali jika aku terus menjaganya”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi

wasallam bersabda : “Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang melakukannya dengan

kesombongan”  [HR. Al-Bukhari nomor 3465 dan Muslim nomor 2085].

Abu Al-Jauzaa’ berkata :

“Hadits ini sering dijadikan dalil tentang diperbolehkannya isbal tanpa ada niat kesombongan. Hal

ini tertolak dari beberapa segi :

a.    Abu Bakar memahami bahwa hakikat isbal itu merupakan kesombongan yang diharamkan, baik

dengan atau tanpa niat sombong.

b.    Abu Bakar selalu menjaganya agar tidak melorot. Hal ini tercermin dari perkataannya : { إال أن 

kecuali jika aku terus menjaganya”. Perkataan ini menunjukkan bahwa sebenarnya Abu“ { أتعاهد

Bakar tidak berniat isbal. Sebab melorotnya baju Abu Bakar kemungkinan besar adalah karena

tubuhnya yang ringan (kurus) – sebagaimana dikenal dalam beberapa riwayat.

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata : { قوله اال أن أتعاهد ذلك منه أي يسترخي إذا غفلت عنه } “Perkataan Abu Bakar

: Kecuali jika aku terus menjaganya ; maknanya adalah selalu melorot/turun apabila ia terlupa

darinya” [Fathul-Baari juz 10 halaman 276 – Maktabah Sahab].

c.     Jawaban Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam { إن��ك لس��ت تص��نع ذل��ك خيالء} “Sesungguhnya kamu

bukan termasuk yang melakukannya dengan kesombongan” ; bukanlah sebagai pengakuan bahwa

isbal tanpa sombong itu boleh. Jawaban tersebut sebagai satu jawaban yang menenangkan hati

tentang kekhawatiran Abu Bakar bahwa ia termasuk katagori orang yang sombong (sebagaimana

Abu Juray di Nomor 7 tentangmakhiilah). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tahu bahwa Abu

Bakar sering menjaganya, namun akhirnya sering melorot. 

d.    Perbedaan antara keadaan Abu Bakar dan sebagian di antara mereka yang membolehkan isbal

dengan niat tidak sombong adalah sangat jelas. Setidaknya ada dua :

-         Abu Bakar selalu menjaga pakaiannya agar tidak melorot (isbal), sementara mereka melakukan

isbal dengan sengaja dan menjadi satu kebiasaan.

-         Yang menegaskan bahwa Abu Bakar bukanlah termasuk orang yang sombong dalam berpakaian

adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam; sedangkan mereka tidak.

Hadits tersebut dibawakan juga oleh Al-Imam Ahmad dengan salah satu lafadhnya sebagai

berikut :

عن زيد بن أسلم سمعت بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من جر إزاره من الخيالء لم ينظر الله

عز وجل إليه قال زيد وكان بن عمر يحدث ان النبي صلى الله عليه وسلم رآه وعليه إزار يتقعقع يعني جديدا فقال من هذا

فقلت انا عبد الله فقال ان كنت عبد الله فارفع إزارك قال فرفعته قال زد قال فرفعته حتى بلغ نصف الساق قال ثم التفت

إلى أبي بكر فقال من جر ثوبه من الخيالء لم ينظر الله إليه يوم القيامة فقال أبو بكر انه يسترخي إزاري أحيانا فقال النبي

صلى الله عليه وسلم لست منهم

Dari Zaid bin Aslam : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu

‘alaihi wasallam berkata : “Barangsiapa yang memanjangkan/melabuhkan kain sarungnya dengan

Page 7: Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal

sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”. Berkata Zaid : Adalah Ibnu ‘Umar

mengatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat kain sarung yang dikenakannya

yang berbunyi karena terseret. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapakah ini”.

Aku berkata : “Aku adalah Abdullah bin ‘Umar”. Beliau berkata : “Apabila engkau adalah Abdullah

bin ‘Umar, angkatlah kain sarungmu”. Maka ia pun mengangkat kain sarungnya.

Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menambahkan : “Tambah lagi”. Maka Abdullah bin ‘Umar

mengangkat lagi hingga sampai pertengahan betisnya. Kemudian beliau menoleh kepada Abu

Bakar kemudian bersabda : “Barangsiapa yang memanjangkan/melabuhkan kain sarungnya

dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”. Maka Abu Bakar berkata :

“Bahwasannya kain sarungku sering turun/melorot”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi

wasallam bersabda kepadanya : “Sesungguhnya kamu bukan termasuk mereka (orang-orang yang

sombong)” [HR. Ahmad juz 2 nomor 6340].

Abu Al-Jauzaa’ berkata :

“Dalam hadits tersebut ada dua perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada dua

orang shahabat yang mulia yang sama-sama terkenal ittiba’-nya. Pada kesempatan pertama beliau

menegur Ibnu ‘Umar agar menaikkan pakaian yang dikenakannya. Dan pada kesempatan kedua,

beliau menegur Abu Bakar. Perbedaannya, dalam kasus Abu Bakar, beliau menyatakan bahwa Abu

Bakar bukan termasuk orang-orang yang sombong. Kalau perkataan beliau kepada Abu Bakar kita

anggap sebagai dalil bolehnya isbal tanpa sombong, maka apakah di saat yang bersamaan akan

kita katakan bahwa Ibnu ‘Umar termasuk orang yang sombong sehingga beliau tetap menyuruh

untuk mengangkat pakaian yang dikenakannya ? Tentu tidak. Hukum yang berlaku pada Ibnu

‘Umar sama dengan yang berlaku pada Abu Bakar. Hanya saja Abu Bakar telah menyatakan di

riwayat sebelumnya bahwa pakaian tersebut turun jika ia tidak menjaganya. Dan ia memang tidak

sengaja melakukannya. 

Dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Umar dari Al-Imam Muslim menunjukkan pelarangan adanya isbal

secara mutlak (dengan lafadh : istirkhaa’). Berikut riwayat tersebut :

عن بن عمر قال مررت على رسول الله صلى الله عليه وسلم وفي إزاري استرخاء فقال يا عبد الله ارفع إزارك فرفعته ثم

قال زد فزدت فما زلت أتحراها بعد فقال بعض القوم إلى أين فقال أنصاف الساقين

Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Aku melewati Rasulullah shallallaah ‘alaihi

wasallam sedangkan kain sarungku turun (istirkhaa’)”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam

bersabda : “Wahai Abdullah, angkatlah kain sarungmu”. Maka akupun mengangkatnya. Kemudian

beliau bersabda lagi : “Tambah !” Maka aku menambahkannya. Maka semenjak saat itu aku selalu

menjaganya. Maka sebagian manusia bertanya kepada Ibnu ‘Umar : “Sampai batas mana kain

sarung tersebut diangkat ?”. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Sampai batas pertengahan kedua

betis” [HR. Muslim nomor 2086].

Kata istirkhaa’ di sini menunjukkan ketidaksengajaan. Jikalau ketidaksengajaan saja beliau tetap

memerintahkan Ibnu ‘Umar untuk mengangkatnya, lantas bagaimana halnya dengan yang

disegaja ? (walau dengan alasan tidak sombong). Terkait dengan kasus Abu Bakar, maka tidak ada

ruang penafsiran untuk membawa ucapan Rasulullahshalallaahu ‘alaihi wasallam kepada Abu

Bakar sebagai dalil pembolehan isbal dengan tidak sombong. Wallaahu a’lam.

Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

قوله لست ممن يصنعه خيالء في رواية زيد بن أسلم لست منهم وفيه أنه ال حرج على من انجر إزاره بغير قصده مطلقا

“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam : ’Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang

melakukannya dengan kesombongan’ dan pada riwayat Zaid bin Aslam ’Sesungguhnya engkau

bukan termasuk mereka’ ; sabda beliau tersebut menunjukkan bahwa orang yang pakaiannya

melorot (sehingga isbal) dengan tanpa sengaja adalah tidak mengapa” [Fathul-Baari juz 10

halaman 276].

Page 8: Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal

Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata : “Maksud ucapan beliau shallallaahu ‘alaihi

wasallam (kepada Abu Bakar) adalah bahwa orang yang menjaga pakaiannya apabila melorot lalu

menaikkannya, dia tidak termasuk orang yang melabuhkannya dengan sombong, karena dia tidak

melakukan hal itu dengan sengaja. Tetapi hanyalah sarung itu terkadang melorot lalu ia naikkan.

Tidak diragukan lagi bahwa ini dimaafkan….” [Al-Isbal li-Ghairi Khuyalaa’ halaman 23].

Hal yang sama dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail Al-

Muhammadiyyah dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fataawaa Haammah.

10.     Hadits Ummu Salamah (lebih tepatnya hadits Ibnu ‘Umar) radliyallaahu ‘anhum.

: (( م¼نº جر« ثوºبه خيالء ، لم ينظر الله إليه يوم القيامة ))   حديث ابن عمر � رضي الله عنه � قال : قال رسول الله .

½ ، ال ½. فقالت : إذن تنكشف أقدامهن ! قال : فيرخينه ذراعا «ساء¿ بذيولهن« ؟ قال : يرخين شبرا فقالت أم سلمة : فكيف يصنع الن

. يزدن عليه

½ وفي رواية : (( رخص رسول الله ½ ، فكن يرسلن إلينا ، فنذرع لهن ذراعا ½ ، ثم استزدنه ، فزادهن« شبرا ألمهات المؤمنين شبرا

((.

Hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi

wasallam : “Barangsiapa yang memanjangkannya dengan sombong, maka Allah tidak akan

melihatnya di hari kiamat” . Ummu Salamah berkata : “Bagaimana dengan pakaian yang

dikenakan para wanita di bagian belakang/bawahnya ?”. Beliau menjawab : “Hendaknya ia

memanjangkannya sejengkal”. Ummu Salamah menimpali : “Jika begitu, kaki mereka masih

tersingkap/terlihat”. Maka beliau menjawab : “Maka hendaknya mereka menambah sehasta dan

tidak boleh lebih dari itu”.

Dalam riwayat yang lain disebutkan : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi

wasallam memberikanrukhshah (keringanan) bagi Ummahatul-Mukminin (untuk memanjangkan

pakaian mereka) satu jengkal. Kemudian mereka meminta agar ditambah lagi. Maka

beliaushallallaahu ‘alaihi wasallam menambah satu jengkal lagi. Kami pun mengukurnya bagi kami

yaitu sepanjang satu dzira’ (sehasta)”  [HR. Al-Bukhari Kitaabul-Libas Bab Man Jarra Tsaubuhu

Minal-Khuyalaa 10/285 nomor 5791 di bagian awal hadits khususnya bagian pertanyaan Ummu

Salamah. Diriwayatkan juga secara sempurna oleh At-TirmidziAbwaabul-Libaas : Bab Maa Jaa-a fii

Jarri Dzuyuulin-Nisaa’ 4/223 nomor 1731 dan ia berkata : Hadits ini hasan shahih. Selengkapnya,

lihat catatan kaki. ---- Hadits beserta takhrijnya diambil dari Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-

Mushalliin oleh Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Aalu Salman, Maktabah Al-Misykah halaman 14].

Hadits ini terdapat dalil tentang diharamkannya isbal baik dengan atau tanpa sombong. Asy-Syaikh

Masyhur menjelaskan sebagai berikut :

½ جر عن اإلسبال مطلقا «ساء في جر« ذيولهن« معنى ، بل فهمت الز« «ه لو كان كذلك لما كان في استفسار أم سلمة عن حكم الن أن

، سواء كان عن مخيلة أم ال ، فسألت عن حكم النساء في ذلك الحتياجهن« إلى اإلسبال من أجل ستر العورة ، ألن جميعجال في هذا المعنى فقط «ن لها : أن حكمهن« في ذلك خارج عن حكم الر« . قدمها عورة ، فبي

«ساء ، ومراده منع اإلسبال ، لتقريره أم سلمة على فهمها جال دون الن . وقد نقل عياض اإلجماع على أن المنع في حقÁ الر«: والحاصل : أن للرجل حالين

اق . حال استحباب : وهو أن يقتصر باإلزار على نصف الس«

. حال جواز : وهو إلى الكعبين«ساء حاالن : وكذلك للن

جال ، بقدر الشبر . حال استحباب : وهو ما يزيد على ما هو جائز للر«

.حال جواز : بقدر الذ«راع. وعلى هذا جرى العمل من في عهد وما بعده

“Bahwasannya apabila benar klaim mereka bahwa larangan isbal itu adalah karena sombong, pasti

Ummu Salamah tidak akan meminta keterangan lagi tentang hukum para wanita yang

memanjangkan bagian bawah pakaian mereka. Bahkan, yang dipahami oleh Ummu Salamah

adalah bahwa isbal itu terlarang secara mutlak, baik karena sombong ataupun bukan karena

sombong. Maka ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang hukum wanita

Page 9: Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal

yang melakukan isbal untuk menutup aurat mereka. Hal itu dikarenakan seluruh bagian kaki

adalah aurat. Oleh karena itu, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan keterangan bahwa

hukum isbal bagi wanita keluar (maksudnya : berbeda) dari hukum isbal bagi laki-laki.

Dan ‘Iyadl telah menukil ijma’ bahwasannya larangan isbal itu hanya berlaku bagi laki-laki, tidak

bagi para wanita. Maksudnya, isbaal itu hanya berlaku pada laki-laki berdasarkan taqrir beliau atas

pemahaman Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa. 

Kesimpulannya, ada dua keadaan pakaian yang diperbolehkan bagi laki-laki :

a.    Keadaan yang disukai (disunnahkan), yaitu memendekkan kain sarung sampai pertengahan betis.

b.    Keadaan yang diperbolehkan, yaitu keadaan panjang kain sarung hingga mata kaki (dan tidak

boleh lebih).

Begitu pula bagi wanita ada dua keadaan :

a.    Keadaan yang disukai (disunnahkan), yaitu memanjangkan sejengkal dari batas yang

diperbolehkan bagi laki-laki (maksudnya : dipanjangkan sejengkal di bawah mata kaki).

b.    Keadaan yang diperbolehkan, yaitu memanjangkan satu hasta (satu dzira’)  [Fathul-Baari 10/259]

Atas dasar inilah dipraktekkan oleh orang-orang di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi

wasallam atau setelahnya. [selesai perkataan Syaikh Masyhur – lihat selengkapnya di Al-Qaulul-

Mubiin fii Akhthaail-Mushalliin halaman 15 – Maktabah Al-Misykah]. 

11.     Hadits Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu

عن حذيفة قال أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بعضلة ساقي أو ساقه فقال هذا موضع اإلزار فإن أبيت فأسفل فإن

أبيت فال حق لإلزار في الكعبين قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح

Dari Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallammemegang

urat betisku”. Maka beliau bersabda : “Ini adalah batas panjang kain sarungmu. Apabila engkau

enggan, maka boleh di bawahnya. Dan jika engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung

untuk melebihi mata kaki”  [HR. At-Tirmidzi nomor 1783; dan beliau berkata : Ini adalah hadits

hasan shahih. Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi juz 2 halaman 290].

Jika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menisbatkan panjang sarung dari pertengahan betis

sampai kedua mata kaki sebagai sesuatu yang Haq, dan selain daripada itu laisa minal- haqq (ini

redaksi saya – Abul-Jauzaa’, sedangkan redaksi hadits : Falaa Haqq). Maka hal itu dapat kita pahami

bahwa memanjangkan kain di bawah mata kaki adalah bathil. Sebab dalam Al-Qur’an telah

dijelaskan bahwa tidak ada setelah al-haqq itu melainkan kebathilan. 

Hadits ini juga merupakan pengharaman mutlak isbal, baik sombong maupun tidak sombong. Di

situ tidak ada qarinah apa-apa yang menunjukkan pelarangan Rasulullahshallallaahu ‘alaihi

wasallam berkaitan dengan kesombongan.

12.     Hadits 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم نعم الرجل خريم األسدي لوال طول جمته وإسبال إزاره

Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Sebaik-baik laki-laki adalah Khuraim Al-

Asady jika saja dia tidak panjang rambutnya dan isbal kain sarungnya” [HR. Ahmad nomor

17659; hasan lighairihi].

Pendalilan dari hadits ini bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallammenghukumi

Khuraim dari dhahirnya saja yaitu pada masalah rambut dan isbal. Beliaushallallaahu ‘alaihi

wasallam tidak mengatakan [لوال طول جمته وإسبال إزاره خيالء] “jika saja dia tidak panjang rambutnya

dan isbal kain sarungnya dengan sombong”.  Sebab, jika yang dimaksud kesombongan di sini

adalah kesombongan bathin, tentu adalah tidak mungkin beliau mengatakannya. Kesombongan

jenis itu tidakmungkin dihukumi dari sekedar melihat rambut dan pakaian saja. 

Page 10: Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal

Kesimpulannya, hadits ini menunjukkan tercelanya isbal secara umum, baik dengan atau tanpa

kesombongan.

13.     Atsar Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu :

االزار إلى نصف الساق أو إلى الكعبين ، ال خير فيما هو أسفل من ذلك

“Panjang kain sarung itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. Tidak ada

kebaikan terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki)”  [Al-Mushannaf Ibnu

Abi Syaibah juz 6 halaman 29; dengan sanad shahih].

Abu Al-Jauzaa’ berkata :

“Dalam atsar tersebut terdapat dua kalimat, yaitu :

a.          Panjang kain sarung itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. 

b.          Tidak ada kebaikan terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki)”

Kalimat pertama menunjukkan tentang batas dibolehkannya dalam pakaian. Kalimat kedua

menunjukkan sisi hukum yang menyertai. 

Di sini tidak ada qarinah bahwa kalimat tidak“ {ال خ��ير } ada kebaikan”  dibatasi oleh alasan

sombong. Bahkan itu umum, dengan dan tanpa sombong. Dan adalah menjadi aneh jika hadits

tersebut dimaknakan dengan kesombongan, sehingga lafadh hadits tersebut ekuivalen dengan

kalimat : 

“Panjang kain sarung itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. Tidak ada

kebaikan terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki) yaitu jika disertai

kesombongan”.

Jika memang makna di atas yang ingin dibawa, tentu kalimat pertama dalam hadits menjadi tidak

berfungsi. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutkan dua keadaan ‘izar (kain

sarung) yang tidak ada ketiganya, yaitu :  1) Sampai pertengahan betis, 2) Di bawah pertengahan

betis sampai mata kaki. Di sinilah letak kebaikan. Di luar keadaan ini, maka tidak ada nisbah

kebaikan. Jika ada orang yang menginginkan bahwa tidak apa-apa hukumnya melabuhkan pakaian

di bawah mata kaki, maka dimana letak kebaikannya di sini ? Al-Jawab : "Tidak ada !".  Tidak ada

hukum yang bisa dibawa kepada keadaan ketiga (melabuhkan pakaian di bawah mata kaki/isbal

dengan tidak sombong), kecuali dosa. Karena hal itu diluar dua keadaan diperbolehkannya

panjang‘izar (kain sarung).

Wallaahu a'lam.

Page 11: Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal