Hadis Tentang Zakat - Lu'Lu Wa Al-Marjan PDF

download Hadis Tentang Zakat - Lu'Lu Wa Al-Marjan PDF

of 12

Transcript of Hadis Tentang Zakat - Lu'Lu Wa Al-Marjan PDF

  • Studi Naskah Hadis 2

    AL-LULU WA AL-MARJAN;

    Hadis Tentang Zakat

    Dosen Pembimbing :

    Dr. Abdul Rouf, Lc, MA

    Hasrul

    NPM : 10. 31 . 0264

    INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN JAKARTA

    FAKULTAS USHULUDDIN TAFSIR HADIS

    TAHUN AKADEMIK 2012-2013

  • Al-Lulu wa al-Marjan | Hadis Tentang Zakat

    2 Fakultas Ushuluddin VI IPTIQ Jakarta

    AL-LULU WA AL-MARJAN

    Hadis tentang Zakat

    Fakultas Ushuluddin Semester VI

    INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN

    JAKARTA SELATAN 2012-2013

  • Al-Lulu wa al-Marjan | Hadis Tentang Zakat

    3 Fakultas Ushuluddin VI IPTIQ Jakarta

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Zakat merupakan salah satu pilar rukun Islam yang senantiasa perlu wahana kajian

    seiring perkembangan zaman. Pilar zakat sangat penting mengingat keberadaanya memuat

    unsur taabbudi dan taaqquli. Kedua sisi ini perlu dipahami dengan baik agar dapat

    diaplikasikan secara proporsional. Unsur taabbudi berkaitan erat dengan sebagai suatu

    perintah yang sakral, absolut dan cenderung kaku. Adapun unsur taaqquli berkaitan dengan

    ibadah muamalah yang cenderung fleksibel, situasional dan kondisional.

    Istilah zakat dalam al-Quran dan hadis serta dalam kehidupan sehari-hari seringkali

    diungkapkan dengan arti sedekah/shadaqah dan infaq. Ketiga istilah tersebut, zakat, sedekah

    dan infaq seringkali dalam penggunaannya saling bertukar tempat atau saling bergantian

    untuk makna dan maksud yang sama. Zakat ( ) merupakan kata dasar dari zak () yang

    berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Menurut lisan Arab, arti dasar dari kata zakat

    ditinjau dari sudut bahasa ialah, suci, tumbuh, berkah dan terpuji. Pedapat lain yang

    bersumber dari Wahidi dan lain-lain menyebutkan bahwa kata dasar zakat berarti bertambah

    dan tumbuh.1 Bentuk zakat terbagi dua, yaitu zakat fitah dan zakat harta. Di dalam al-Quran

    dan hadis sering kali kata zakat disebut dengan kata sedekah. [Lihat Q.S. al-Taubah ayat 58

    & 60 dan H.R. Al-Bukhari No. 1447, H.R. Muslim No. 2310].

    Adapun sedekah ( ) terambil dari kata ( ) yang berarti benar.

    Sehubungan hal ini, Qadhi Abu Bakar menyatakan bahwa demikianlah sehingga zakat

    disamakan dengan sedekah sebab benar dalam hubungan dan sejalannya perbuatan dan

    ucapan serta kenyakinan. Itulah sebabnya Allah menggabungkan kata memberi dan

    membenarkan serta kata kikir dan dusta dalam Surah al-Lail.2 Perhatikan ayat berikut:

    . . . .

    . . : - Sedekah syariyyah dalam urusan harta memiliki tiga makna, Pertama: sedekah wajib

    tetapi bukan zakat. Kata sedekah wajib ini sering juga disebut infaq atau nafaqah; Kedua:

    sedekah wajib dengan makna zakat. Bentuk ini telah disinggung dalam paragraf di atas

    mengenai bentuk pengungkapan kata ( ) yang berarti zakat; ketiga: sedekah dengan arti

    sedekah sunnah.3 Adapun infaq berasal dari kata nafaqa ( ) atau nafiqa yanfiqu - nafqan

    ( - ) yang berarti habis laku terjual. Infaq menurut pengertian umum adalah

    mengeluarkan harta untuk memenuhi keperluan. Infaq dapat bermakna positif dan negatif.

    Mengeluarkan harta untuk membiayai kemaksiatan atau memerangi Islam termaksuk infaq.

    Oleh karena itu, ada infaq fi sabilillah dan infaq fi sabil al-Syaithan.4

    Demikianlah uraian ringkas sekilas makna zakat, sedekah dan infaq. Mudah-mudahan

    dapat menjadi pengantar untuk memahami kajian dalam makalah ini yang memuat beberapa

    hadis terkait zakat yang bersumber dalam kitab Al-Lulu wa alMarjan.

    1 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat terj. Salman Harun (Bandung: Mizan, 1996), cet. IV, hal. 34 2 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, hal. 39 3 Wawan Shofwan. S, Risalah Zakat, Infaq dan Sedekah (Bandung: Tafakur, 2011), cet. I, hal. 22-24 4 Wawan Shofwan. S, Risalah Zakat, Infaq dan Sedekah, hal. 18-19

  • Al-Lulu wa al-Marjan | Hadis Tentang Zakat

    4 Fakultas Ushuluddin VI IPTIQ Jakarta

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A. KETENTUAN JENIS MAKANAN UNTUK ZAKAT

    :

    : .) (

    Artinya: Abu Said al-Khudriy r.a berkata: Pada zaman Nabi Saw kami memberi

    makan (mengeluarkan zakat fitri) satu sha dari makanan, satu sha dari kurma, satu sha

    dari gandum dan satu sha dari kismis (anggur kering). Ketika Muawiyah datang dan juga

    telah tersebar gandum Syam, ia berkata: Aku lihat samraa menyamai dua mud.5

    Ungkapan ( ), konteksnya menunjukkan adanya perbedaan

    antara makanan dan kurma serta apa yang disebutkan sesudahnya. Al-Khattabi dan lainnya

    berkata, maksud kata ( ) adalah hinthah (gandum) ketika disebutkan secara mutlak tanpa

    dikaitkan dengan sesuatu. Jika dikatakan pergilah ke pasar makanan, maka yang dipahami

    adalah pergilah ke pasar gandum. Namun argumentasi ini ditanggapi oleh Ibnu Al-Munayyar,

    ia berkata: sebagian ulama mazhab kami mengira bahwa lafazh ( ) menjadi dalil

    bagi mereka yang berpendapat satu sha hinthah (gandum), padahal ini adalah kesalahan yang

    mereka lakukan.6 Hal ini dapat dipahami dari hadis berikut:

    . ( ) Artinya: Dari Ibnu Umar, ia berkata: tidak ada yang dikeluarkan sebagai zakat

    fitrah pada masa Rasululllah Saw kecuali kurma, anggur kering dan syair.7

    Dalam riwayat lain, Imam Muslim meriwayatkan melalaui jalur Iyadh, dari Abu

    Said al-Khudry:

    . () Artinya: Kami mengelurkan zakat fitrah dari tiga macam, satu sha kurma, satu

    sha susu beku dan satu sha syair.8 (H.R. Muslim)

    Kedua hadis di ini menunjukkan bahwa maksud ( ) pada hadis di atas adalah

    selain hinthah (gandum). Maka, ada kemungkinan bahwa yang di maksud adalah jagung

    karena jagung merupakan makanan yang cukup dikenal oleh penduduk Hijaz serta termasuk

    5 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lulu wa al-Marjan terj. Ahmad Fadhil (Jakarta: Pustaka al-

    Kautsar, 2011), cet. I, hal 287-288, [Bukhari, Kitab Zakat, No. 1508] 6 Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. III, jilid 8, hal. 347-348 7 Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah (Beirut: Maktabah al-Islamiyyah, 1970), juz. IV, No. 2406,

    hal. 85 8 Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr al-Jill, tt), juz III, No. 2333, hal. 69

  • Al-Lulu wa al-Marjan | Hadis Tentang Zakat

    5 Fakultas Ushuluddin VI IPTIQ Jakarta

    makanan pokok di antara mereka. Ibnu Mundzir berkata, kami tidak mengenal riwayat akurat

    mengenai gandum yang dinukil dari Nabi Saw yang dapat dijadikan pegangan. Pada saat itu,

    di Madinah belum ada gandum (hinthah) kecuali sedikit. Ketika bahan makanan ini

    melimpah pada masa sahabat, maka mereka berpandangan bahwa setengah sha gandum

    sama dengan satu sha syair (salah satu jenis gandum).9

    Jenis makanan yang disebutkan dalam hadis di atas menunjukkan beragamnya bentuk

    zakat yang disesuaikan dengan makanan pokok tiap-tiap daerah. Dalam Al-Umm, Imam

    Syafii menyebut istilah makan pokok dengan qut, yaitu makanan harian yang

    mengeyangkan. Apabila seseorang berqut dengan biji-bijian seperti, syair, gandum, zabib,

    dan tamr, maka saya lebih menyukai supaya dibayarkan dengan gandum. Sebaliknya, jika

    orang itu berqut dengan gandum, lalu ia bermaksud mengeluarkan zabib, tamr atau syair

    maka hukumnya makruh.10

    Disebutkan juga dalam al-Ikhtiyarat, zakat fitrah boleh ditunaikan

    dengan jenis makanan pokok negeri masing-masing, seperti beras dan sebagainya. Hal ini

    bisa dianggap sebagai kiasan terhadap jenis-jenis makanan yang disebutkan dalam hadis di

    atas dan merupakan pendapat mayoritas ulama.11

    Apabila dicermati, bahan-bahan makanan yang disebutkan dalam hadis ini meskipun

    nilainya berbeda, namun ukuran zakat yang dikeluarkannya adalah sama. Maka seakan-akan

    yang dimaksud adalah mengeluarkan jumlah tersebut dari bahan makanan jenis apapun tidak

    ada perbedaan anatar gandum jenis hinthah dan bahan makanan lainnya. Sedangkan para

    ulama yang mengatakan setengan sha hinthah sama dengan stu sha syair ditetapkan

    berdasarkan ijtihad atas pertimbangan harga hintah yang relative mahal dibandingkan jenis

    makanan lainnya. Ketetapan harga dalam hal ini berkonsekuensi seiring waktu dan tempat

    sehingga ukurannya berbeda-beda dan tidak pasti. Ibnu Abbas ketika menjabat sebagai

    khalifah Basrah, ia memerintahkan agar mereka mengeluarkan zakat fitrah seraya

    menjelaskan bahwa zakat tersebut berupa satu sha kurma, atau setengah sha gandum.

    Demikain juga ketika Ali menjabat sebagai khalifah dan menetapkan kebijakan menurunkan

    harga, maka Ibnu Abbas berkata: keluarkanlah zakat satu sha dari setiap bahan makanan.12

    Keterangan ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas menetapkan kadar jenis makanan untuk

    zakat berdasarkan harga.

    Kata ( ) ketika Muawiyah datang, Imam Muslim memberi tambahan dalam

    riwayatnya, ( ), kami senantiasa mengeluarkan zakat

    demikian hingga Muawiyah datang menunnaikan haji dan umrah lalu di berkhutbah. Ibnu

    Khuzaimah menambahkan, dan ketika itu sebagai khalifah. Muawiyah berkata (

    ), semua jenis makanan yang disebutkan di atas, jagung, tamr, syair (jenis gandum)

    dan anggur kering pada zaman nabi zakatnya dikeluarkan sebesar satu sha. Ketika ada

    gandum coklat dari negeri Syam sampai ke Madinah pada masa Muawiyah dan gandum

    tersebut samapi ke Madinah pada tahun hajinya, ia berkata: Aku melihat bahwa satu mud

    gandum coklat sama dengan dua mud dari gandum jenis lainnya. Hal ini disebabkan

    kualitasnya yang bagus dan manfaatnya.13

    9 Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. III, jilid 8, hal. 350 10 Al-Syafii, Al-Umm (Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1989, cet. I, hal 405) 11 Faishal bin Abdul Aziz, Nailu Authar terj. Amir H.F. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), cet. I, hal. 335 12 Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddin, hal. 351 13 Al-Bazzam, Syarah Bulughul Maram terj. Thahirin. S, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hal 411

  • Al-Lulu wa al-Marjan | Hadis Tentang Zakat

    6 Fakultas Ushuluddin VI IPTIQ Jakarta

    Sebelum mengakhiri penjelasan hadis di atas, perlu diketahui bahwa satu sha Satu

    dengan empat mud. Satu mud setara dengan 675 Gram. Jadi satu Sha sama dengan 2700 gr

    (2,7 kg). Demikian menurut madzhab Maliki. Sedangkan menurut al-Rafii dan madzhab

    Syafii, sama dengan 693 1/3 dirham. Jika dikonversi ke dalam satuan gram, sama dengan

    2751 gram (2,75 kg). Dari kalangan Hanbali berpendapat, satu sha juga sama dengan 2751

    gram (2,75 kg). Adapun Imam Hanafi ukuran satu sha menurut madzhab ini lebih tinggi dari

    pendapat para ulama yang lain, yakni 3,8 kg. 14

    Di Indonesia, berat satu sha dibakukan

    menjadi 2,5 kg. dalam ukuran liter, 1 sha setara dengan 2,5 liter atau ada juga yang

    menggenapkannya menjadi 3 liter. Jumlah ini tidak terlepas dengan kondisi dan harga barang

    yang bersangkutan.

    Uraian hadis di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

    1) Jumlah makanan pokok untuk zakat adalah satu sha dari setiap jenis makanan. Adapun

    jika terdapat berbedaan harga atau kualitas makanan, maka jumlahnya berbeda pula tetapi

    hakikatnya ukurannya adalah sama. Contoh, pada zaman Ali, setengah sha Hinthah

    setara dengan 1 sha syair karena harga hinthah ketika itu mahal

    2) Hinthah menjadi zakat pada zaman sahabat

    3) Jenis dan Jumlah zakat yang dikeluarkan tergantung dengan daerah/negeri masing-masing

    4) Penetapan hinthah sebagai zakat telah disepakati beberapa sahabat senior sebelumnya

    ketika Muawiyah menyamakan 1 mud hinthah setara dengan 2 mud gandum jenis

    lainnya.

    B. INFAQ DAN SEDEKAH KEPADA KERABAT

    ) ( ) (

    :

    .

    ) ( Artinya: Abu Thalhah adalah orang yang paling banyak hartanya dari kalangan

    Anshar di kota Madinah berupa kebun pohon kurma dan harta benda yang paling

    dicintainya adalah Bairuha (sumur yang ada di kebun itu) yang menghadap ke masjid dan

    Rasulullah Saw sering mamasuki kebun itu dan meminum airnya yang baik tersebut. Anas

    berkata: Ketika turun firman Allah dalam surah al-'Imran ayat 92 yang artinya: Kamu

    sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu

    menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Abu Thalhah kemudian mendatangi

    14 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Beirut, Dar al-Fikr, tt), juz II, hal. 909-911

  • Al-Lulu wa al-Marjan | Hadis Tentang Zakat

    7 Fakultas Ushuluddin VI IPTIQ Jakarta

    Rasulullah Saw lalu berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah berfirman:

    Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu

    menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai, sesungguhnya harta yang paling aku

    cintai adalah Bairuha itu dan sekarang dia menjadi shadaqah di jalan Allah dan aku

    berharap kebaikannya dan sebagai simpanan pahala di sisi-Nya. Maka ambillah wahai

    Rasulullah sebagaimana petunjuk Allah kepada Tuan. Maka Rasulullah Saw bersabda:

    beruntunglah, itu adalah harta yang menguntungkan, itulah harta yang menguntungkan. Aku

    telah mendengar perkataanmu dan menurutku engkau harus membagikannya kepda

    kerabatmu. Abu Thalhah berkata: Aku akan segera melaksanakannya wahai Rasulullah.

    Lalu kebun itu dibagi-bagikan oleh Abu Thalhah kepada kerabat dan anak-anak

    pamannya.15 (H.R. Bukhari, No. 4554)

    Menurut Al-Munayyar, sisi penetapan hadis di atas dalam bab ini untuk menegaskan

    bahwa pahala sedekah sunnah kepada kaum kerabat tidak berkurang meskipun dengan tujuan

    mempererat hubungan kekeluargaan. Hal penting yang dapat dipahami dari hadis di atas

    terletak pada sabda nabi ( ) engkau harus membagikannya kepada

    kerabatmu. Dalam hadis disebutkan:

    : . ( ) Artinya: Bersedekah kepada orang miskin adalah satu sedekah, sedangkan kepada

    kerabat ada dua: sedekah dan silaturahmi.16

    (H.R. Ibnu Khuzaimah, N0. 2067)

    Menurut Al-Ismaili, hadis di atas tidak dapat dijadikan dalil bolehnya memberikan

    zakat kepada kaum kerabat. Kecuali apa bila yang dimaksud adalah menetapkan dalil bahwa

    kaum kerabat yang tergolong penerima zakat lebih berhak mendapatkan zakat tersebut. Jadi,

    Al-Ismaili memandang bahwa hadis ini hanya menegaskan mendahulukan kerabat dalam

    memberikan sedekah sunnah, bukan zakat.17

    Terkait penyaluran zakat pada zaman sekarag,

    tentunya dibawah tanggung jawab amil zakat, baik pengumpulannya maupun penyalurkannya

    kepada masing-asing mustahiq.

    Ibnu Rasyid berkata, pandangan yang dipilih oleh imam Bukhari dapat disimpulkan

    dari hadis Abu Thalhah tentang pemahamannya terhadap ayat ( ).

    Kata ( ) pada ayat ini mencakup sedekah wajib (zakat) ataupun sedekah sunnah. Dalam

    keterangan ayat di atas, Abu Thalhah telah mengamalkannya dengan memberikan

    sedekahnya kepada kaum kerabatnya. Langkah Abu Thalhah memilih kerabatnya karena

    sekaligus tergolong penerima zakat.18

    Dengan demikian, hal ini sejalan dengan tidak

    bertentangan dengan pernyataan Al-Ismaili sebelumnya. Hadis lain menyebutkan:

    :

    .) (

    15 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lulu wa al-Marjan terj. Ahmad Fadhil (Jakarta: Pustaka al-

    Kautsar, 2011), cet. I, hal 293-294, [Bukhari, Kitab Zakat, No. 4554] 16 Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah (Beirut, Maktabah al-Islamiyyah, 1970), juz. III, No.

    2067, hal. 278

    17 Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. III, jilid 8, hal. 198 18 Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddin, hal. 198-199

  • Al-Lulu wa al-Marjan | Hadis Tentang Zakat

    8 Fakultas Ushuluddin VI IPTIQ Jakarta

    Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda: sebaik-baik

    sedekah adalah yang ia sendiri berkecukupan. Maka mulailah memberikan sedekah kepada

    tanggungan-tanggunganmu.19

    (H.R. Bukhari, No. 5356)

    Maksud hadis ini adalah mendahulukan anak istri, orang-orang yang dalam

    tanggungan, membayar utang dan kebutuhan primer lainnya baru berbagi dengan yang

    lainnya. Itulah sebanya, sedekah dalam hal ini sering juga disebut infaq atau nafaqah. Seperti

    disebutkan dalam sebuah hadis:

    :

    .) ( Artinya: Dari Abdullah bin Yazid, ia mendengar dari Abu Masud al-Badri

    dari nabi Saw bersabda: Nafaqah seorang kepada keluarganya adalah sedekah.20 (H.R.

    Al-Bukhari, No. 4006)

    Diriwayatkan bahwa Zainab, isteri Abdullah berkata: Aku pernah berada di masjid

    lalu aku melihat Nabi bersabda: Bersedekahlah kalian walaupun dari perhiasan kalian. Pada

    saat itu Zainab berinfaq untuk Abdullah dan anak-anak yatim di rumahnya. Zainab lalu

    berkata kepada Abdullah: Tanyakanlah kepada Rasulullah, apakah aku akan mendapat

    pahala bila aku menginfaqkan shadaqah (zakat) ku kepadamu dan kepada anak-anak yatim

    dalam rumahku. Maka Abdullah berkata: Tanyakanlah sendiri kepada Rasulullah Maka

    aku berangkat untuk menemui Nabi dan aku mendapatkan seorang wanita Anshar di depan

    pintu yang sedang menyampaikan keperluannya seperti keperluanku. Kemudian Bilal lewat

    di hadapan kami maka kami berkata: Tolong tanyakan kepada Nabi: apakah aku akan

    mendapat pahala bila aku meninfaqkan shadaqah (zakat) ku kepada suamiku dan kepada

    anak-anak yatim yang aku tanggung dalam rumahku?. Bilal masuk lalu menyampaikan

    pertanyaan tersebut kepda Rasulullah. Maka Beliau bersabda: Ya benar, baginya dua pahala,

    yaitu pahala (menyambung) kekerabatan dan pahala zakatnya.21

    Riwayat di atas dijadikan dalil tentang bolehnya wanita memberikan zakat hartanya

    kepada suaminya. Ini adalah pendapat Imam Syafii, Al-Tzauri, sahabat Abu Hanifah, dan

    salah satu riwayat Imam Malik dan Ahmad. Bahkan sebagian ulama membolehkannya

    secara mutlak.22

    Ada perbedaan pendapat mengenai kondisi sebaliknya, yaitu suami

    memberikan zakatnya kepada istrinya. Ibnu Mundzir mengatakan, mereka telah sepakat

    bahwa laki-laki tidak boleh meberikan zakatnya kepada istrinya karena pemberian

    nafkah itu merupakan kewajibannya. Jika suami yang membayar zakat kepada istrinya maka

    seakan-akan zakat suami kembali kepadanya dan hakikatnya ia belum mengeluarkannya.23

    Adapun mazhab Hanafi dan Hanbali mengenai zakat istri terhadap suaminya bahwa hal yang

    demikian tidak boleh karena zakat akan kembali kepadanya saat suami meberikan nafkah

    kepada istrinya.

    19 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kairo: Darr al-Syaab, 1987), cet. I, juz 7, No. 5356, hal. 81 20 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, No. 4006, hal. 107 21 Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. III, jilid 8, hal. 204-

    205 22 Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddi, hal. 207 23 Faishal bin Abdul Aziz, Nailu Authar terj. Amir H.F. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), cet. I, hal.

    330, Lihat juga: Al-Bazzam, Syarah Bulughul Maram terj. Thahirin. S, hal 437

  • Al-Lulu wa al-Marjan | Hadis Tentang Zakat

    9 Fakultas Ushuluddin VI IPTIQ Jakarta

    C. OBJEK ZAKAT BUKAN PADA TEMPATNYA

    - .

    .

    . .

    .

    .

    . ( ) Artinya: Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda,: Ada seorang

    laki-laki berkata: Aku pasti akan bershadaqah. Lalu dia keluar dengan membawa

    shadaqahnya dan ternyata jatuh ke tangan seorang pencuri. Keesokan paginya orang-orang

    ramai membicarakan bahwa dia telah memberikan shadaqahnya kepada seorang pencuri.

    Mendengar hal itu orang itu berkata,: Ya Allah segala puji bagi-Mu, aku pasti akan

    bershadaqah lagi. Kemudian dia keluar lagi dengan membawa shadaqahnya lalu ternyata

    jatuh ke tangan seorang pezina. Keesokan paginya orang-orang ramai membicarakan bahwa

    dia tadi malam memberikan shadaqahnya kepada seorang pezina. Maka orang itu berkata,

    lagi: Ya Allah segala puji bagi-Mu, ternyata shadaqahku jatuh kepada seorang pezina, aku

    pasti akan bershadaqah lagi. Kemudian dia keluar lagi dengan membawa shadaqahnya lalu

    ternyata jatuh ke tangan seorang yang kaya. Keesokan paginya orang-orang kembali ramai

    membicarakan bahwa dia memberikan shadaqahnya kepada seorang yang kaya. Maka orang

    itu berkata: Ya Allah segala puji bagi-Mu, (ternyata shadaqahku jatuh) kepada seorang

    pencuri, pezina, dan orang kaya. Setelah itu orang tadi bermimpi dan dikatakan padanya:

    Adapun shadaqah kamu kepada pencuri, mudah-mudahan dapat mencegah si pencuri dari

    perbuatannya; sedangkan shadaqah kamu kepada pezina, mudah-mudahan dapat

    mencegahnya berbuat zina kembali; dan shadaqah kamu kepada orang yang kaya

    mudah-mudahan dapat memberikan pelajaran baginya agar menginfaqkan harta yang

    diberikan Allah kepadanya.24

    Kata ( ), dalam riwayat imam Ahmad sehubungan hadis ini disebutkan bahwa

    kejadian ini terjadi pada bani Israil. Selanjutnya lafazh ( ) di ulangi pada tiga

    tempat dalam hadis di atas. Hal ini sehubungan dengan keinginannya untuk bersedekah

    hingga sampai kepada orang yang berhak menerimanya. Kasus pertama, ternyata sedekahnya

    jatuh pada tangan pencuri, selanjutnya yang kedua dan ketiga masing-masing jatuh pada

    tangan pezina dan orang kaya. Laki-laki tersebut berkata pada tiap kejadian tersebut: (

    ) Ya Allah, bagimu segala puji. Maksud ungkapan tersebut bahwa orang itu pasrah dan

    menyerahkan segala urusan kepada Allah dan ridha dengan keputusan-Nya. Maka dia pun

    24 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lulu wa al-Marjan terj. Ahmad Fadhil (Jakarta: Pustaka al-

    Kautsar, 2011), cet. I, hal. 303, [Al-Bukhari, Kitab Zakat, No. 1421] & [Muslim, Kitab Zakat, No. 1698]

  • Al-Lulu wa al-Marjan | Hadis Tentang Zakat

    10 Fakultas Ushuluddin VI IPTIQ Jakarta

    memuji Allah atas semua itu sebab Allah Maha Terpuji atas segala keadaan. Telah dinukil

    melalui jalur shahih bahwa Nabi Saw apabila melihat sesuatu yang tidak menyenangkan,

    beliau mengucapkan, Ya Allah, bagi-Mu segala puji atas segala keadaan. Lalu ia di datangi

    dalam mimpi dan dikatakan sesuatu kepadanya ( ). Dalam riwayat Al-Thabrani

    disebutkan ( ) hal ini telah mengganggnya maka ia didatangi di dalam

    tidurnya. Al-Karmani berkata: Lafazh ( ) didatangi yakni diperlihatkan dalam mimpinya,

    mendengar bisikan dari malaikat ataupun selainnya, diberitahukan oleh seorang Nabi atau ia

    diberi fatwa oleh seorang ulama.25

    Laki-laki tersebut kemudian mengetahui bahwa Adapun shadaqanya kepada pencuri,

    mudah-mudahan dapat mencegah si pencuri dari perbuatannya; sedangkan shadaqahnya

    kepada pezina, mudah-mudahan dapat mencegahnya berbuat zina kembali; dan

    shadaqahnya kepada orang yang kaya mudah-mudahan dapat memberikan pelajaran baginya

    agar menginfaqkan harta yang diberikan Allah kepadanya. Keterangan hadis di atas

    memberikan isyarat bahwa sedekah pada masa itu khusus bagi orang-orang baik yang

    membutuhkan. Oleh sebab itu mereka merasa heran terhadap sedekah yang diberikan kepada

    tiga golongan tersebut.

    Para ulama berbeda pendapat bila yang demikian itu terjasdi pada zakat wajib karena

    hadis di atas tidak ada indikasi yang menyatakan sah dan yang melarangnya. Menurut

    keterangan Ibnu Hajar bahwa hukumnya dapat dilihat pada teks hadis yang menyebutkan

    bahwa sedekah itu dapat menjaga diri penerimanya. keterangan tersebut merupakan dalil

    bahwa hukumnya tidak hanya terbatas pada pelaku kisah itu sendiri. Bahkan, sedekah yang

    berkaitan dengan sebab-sebab tadi seharusnya diterima.26

    D. PAHALA SEDEKAH UNTUK ORANG YANG MENINGGAL DUNIA

    . ( ) Artinya: Dari Aisyah r.a bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi

    Saw: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara tiba-tiba dan aku kira apabila dia

    sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah aku boleh bersedekah atas namanya?

    Beliau menjawab: Ya.27 (H.R. Bukhari, No. 1388 & H.R. Muslim, No. 1672)

    Terkait hadis di atas, Ibnu Hajar mengisyaratkan bahwa maksud ( ) yang tidak

    disebutkan dalam hadis ini ialah Saad bin Ubadah. Hadis Ibnu Abbas menyatakan: Saad

    bin Ubadah berkata: Sesungguhnya ibuku meninggal dunia dan ia masih memiliki nadzar.

    Dalam kitab Muwaththa disebutkan: Saad bin Ubadah keluar berperang bersama Rasulullah

    dan ketika itu ibunya menghadapi kemataian di Madinah. Maka dikatakan kepadanya,

    berwasiatlah! Ia berkata: Apa yang aku wasiatkan? Yaitu harta, harta pada Saad. Lalu, dia

    meninggal dunia sebelum Saad kembali ke Madinah.28

    25 Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. III, jilid 8, hal. 90 26 Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddin, hal. 91 27

    Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lulu wa al-Marjan terj. Ahmad Fadhil (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), cet. I, hal 296-297

    28 Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddin, jilid 15, hal. 489

  • Al-Lulu wa al-Marjan | Hadis Tentang Zakat

    11 Fakultas Ushuluddin VI IPTIQ Jakarta

    Pelajaran yang daapt di ambil dari hadis di atas ialah boleh bersedekah atas nama

    mayit dan pahalanya akan sampai kepadanya serta lebih utama apabila berasal dari

    anaknya. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani dan Fath al-Bari, sedekah atas mayit dikhususkan

    dari cakupan umum firman-Nya:

    . : Artinya: Taka da bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan. (Q.S. al-Najm : 39)

    E. BERSEDEKAH SEBELUM DITOLAK

    - -

    .) ( Artinya: Dari Haritsah bin Wahab berkata; Aku mendengar Nabi Saw bersabda:

    Bersedekahlah karena akan datang kepada kalian suatu zaman yang ketika itu

    seseorang berkeliling dengan membawa sedekahnya namun dia tidak mendapatkan

    seorangpun yang menerimanya. Lalu seseorang berkata: Seandainya kamu datang

    membawanya kemarin pasti aku akan terima. Adapun hari ini aku tidak membutuhkannya

    lagi.29 (H.R. Al-Bukhari, No. 1411)

    Dalam hadis di atas, Rasulullah mengabarkan bahwa akan datang suatu masa dimana

    tidak ditemukan orang-orang yang membutuhkan sedekah. Imam Al-Bukhari dalam kitab

    Shahihnya menyebutkan empat hadis yang mengandung peringatan akan datangnya suatu

    masa dimana tidak akan ditemukan orang-orang yang mau menerima sedekah. Al-Munayyar

    berkata: maksud hadis ini adalah anjuran untuk tidak menunda-nunda sedekah karena

    bersedekah merupakan suatu kesempatan untuk meraih pahala. 30

    Jika orang yang mengeluarkan sedekah telah diberi pahala karena niatnya meski tidak

    menemukan orang yang menerimanya, maka orang yang menemukan penerima sedekah

    diberi balasan setimpal ditambah dengan pahala keutamaan. Hadis di atas mengindikasikan

    bahwa kejadian tersebut berlangsung di akhir zaman sehingga sebagian orang menyebutnya

    sebagai tanda-tanda kiamat kubra. Ibnu Al-Tin berkata: sesungguhnya yang demikian akan

    terjadi saat turunnya Isa ketika bumi mengeluarkan keberkahannya dan kekeyangan dirasakan

    oleh semua orang. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Baththal bahwa secara dzhahir hal

    ini terjadi pada saat harta banyak dan melimpah menjelang hari kiamat.31

    SEKIAN

    29 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lulu wa al-Marjan terj. Ahmad Fadhil (Jakarta: Pustaka al-

    Kautsar, 2011), cet. I, hal 298-299 30 Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. III, jilid 8, hal. 63 31 Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddin, hal. 64

  • Al-Lulu wa al-Marjan | Hadis Tentang Zakat

    12 Fakultas Ushuluddin VI IPTIQ Jakarta

    DAFTAR PUSTAKA

    Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddin, cet. III, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007

    Al-Bazzam, Abdullah bin Abdurrahman. Syarah Bulughul Maram terj. Thahirin. S, dkk, cet.

    I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006

    Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, cet. I, Kairo: Darr al-Syaab, 1987

    Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut, Darr al-Fikr, tt

    Aziz, Faishal bin Abdul. Nailu Authar terj. Amir H.F., cet. I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006

    Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Al-Lulu wa al-Marjan terj. Ahmad Fadhil, cet. I, Jakarta:

    Pustaka al-Kautsar, 2011

    Ibnu Hajar, Fathu Bari terj. Amiruddin, cet. III, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007

    Ibnu Khuzaimah. Shahih Ibnu Khuzaimah, Beirut: Maktabah al-Islamiyyah, 1970

    Imam Al-Syafii, Al-Umm, cet. I, Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1989

    Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Darr al-Jill, tt

    Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat terj. Salman Harun, cet. IV, Bandung: Mizan, 1996

    Shofwan. S, Wawan. Risalah Zakat, Infaq dan Sedekah, cet. I, Bandung: Tafakur, 2011