HADIS HUKUM KELUARGArepository.syekhnurjati.ac.id/3684/1/Cover depan dan isi...dari berbagai kitab...
Transcript of HADIS HUKUM KELUARGArepository.syekhnurjati.ac.id/3684/1/Cover depan dan isi...dari berbagai kitab...
HADIS HUKUM KELUARGA
TELAAH KRITIS
TERHADAP SANAD DAN MATAN
OLEH:
NURUL MA’RIFAH
FAKULTAS SYARIAH
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2013
HADIS HUKUM KELUARGA: Telaah Kritis terhadap Sanad dan Matan
Nurul Ma’rifah, M.Si
Cetakan pertama, Desember 2013 Penyunting: Dr. H. Kosim, M.Ag Design Cover: Maman Abdurachman, SE., MM Percetakan: CV. ELSi Pro Diterbitkan Oleh:Syariah Nurjati Press Fakultas Syariah
ISBN: 978-602-14858-5-9 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin
tertulis dari penerbit
i
KATA PENGANTAR
Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur`an, hadits memang
harus dipelihara, dijaga, dipahami dan diamalkan. Setiap umat Islam
dianjurkan untuk mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah saw. baik
melalui ucapan, perkataan atau persetujuan. Mengamalkan sunnah Rasul
berarti mengamalkan perintah Al-Qur`an. Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Bukankah Rasulullah saw. diperintahkan untuk menjelaskan al-Qur`an?
Penjelasan Rasul baik secara teoritis ataupun praktis, merupakan landasan
hukum yang mesti diamalkan. Posisi sunnah yang begitu esensial, sangat
dipahami oleh generasi Islam sepanjang masa. Itulah sebabnya segala cara
dilakukan demi terpeliharanya sumber Islam ini. Tidak sedikit di antara
mereka yang rela melakukan perjalanan (rihlah) ke berbagai kota hanya
untuk mendengar satu hadits saja. Upaya yang dilakukan tidak berhenti
hanya pada pengumpulan hadits-hadits Rasul melalui periwayatan. Namun
lebih dari itu, mereka berupaya memisahkan antara hadits yang bisa
dijadikan sandaran hukum (seperti hadits shahih dan hasan), dengan hadits
yang tidak layak untuk diamalkan seperti hadits dha‟if dan maudhu‟ (palsu).
Upaya pemeliharaan sunnah tersebut terus berlanjut sampai pada fase
pembukuan (‘ashru tadwîn) sekitar pertengahan abad kedua Hijriyah. Dari
sini muncullah segudang karya para ulama hadits yang memiliki orientasi
dan metode berbeda. Di antara mereka ada yang menulis tentang biografi seluruh
perawi hadits, lengkap dengan komentar ulama atas setiap perawi. Ada juga yang
khusus mengumpulkan hadits-hadits shahih; sementara sebagian lain berupaya
menginvetarisir para perawi yang dinilai lemah (dhu‟afa‟) dan perawi yang
dianggap terpercaya dalam meriwayatkan hadits (tsiqât). Dari sejumlah karya ini,
munculllah metodologi kritik hadits, baik ditinjau dari aspek matan atau sanad;
dan pada saat bersamaan muncul juga apa yang dikenal dengan metode tarjîh
dalam mengatasi beberapa hadits yang secara tekstual terlihat kontradiktif.
Sekalipun ulama hadits telah meletakkan lima syarat dalam menilai validitas
ii
hadits, namun dalam tataran praktis—khususnya penilaian sanad—sering terjadi
perdebatan di antara mereka. Akhirnya, muncullah ijtihad untuk menggabungkan
berbagai pendapat tersebut, atau memberikan penilaian tersendiri atas hadits yang
belum dikritisi. Ijtihad yang dimaksud tentu berdasarkan metodologi yang kuat
dan objektif; bukan ijtihad yang muncul dari sikap fanatik dan ‗mendewakan‘
rasio. Tulisan ini akan mencoba menelaah metode kritik hadits yang menjadi
landasan para ulama dalam menilai hadits, baik metode yang telah menjadi
kesepakatan bersama atau masih dalam perbedatan. Untuk selanjutnya dapat
dinilai apakah perbedaan ijtihad itu saling bertentangan (ikhtilâfu tadhâdh) atau
justru saling melengkapi (iktilâfu takamuly)
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …..i
DAFTAR ISI ……..iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pengertian Kritik Hadis …….1
B. Objek Studi Kritik Hadis …….3
1) Objek studi kkritik sanad hadis ……3
2) Objek studi kritik matan ……..4
C. Metode Kritik Hadis …….6
1) Metode Perbandingan …….. 6
2) Metode Rasional ……..13
3) Metode Kontekstual ……13
4) Metode Historis …….14
5) Metode Hermeneutik … 14
BAB II FAKTOR-FAKTOR PERLUNYA KRITIK HADIS
A. Faktor-faktor Pentingnya Kritik Sanad dan Matan Hadits…15
B. Bagian-bagian yang Harus Diteliti…….16
1) Kaidah-kaidah Mayor Kritik Sanad dan Matan …16
2) Kaidah-kaidah Minor dalam Kritik Sanad…..16
3. Kaidah-kaidah Minor dengan Kritik Matan 17
BAB III KRITIK HADIS DI KALANGAN SAHABAT DAN ULAMA HADIS
A. Periwayatan Hadis Masa Nabi Muhammad SAW …19
B. Periwayatan Hadis pada Masa Sahabat …….24
C. Periwayatan Hadits Pada Masa Tabi’in……29
D. Kriteria Kritik Hadis…….31
iv
E. Skema Pemahaman dan Kritik Hadis……34
BAB IV KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS-HADIS TENTANG KELUARGA
(AL AHWAL ASY-SYAKHSIYAH)
A. Hadis tentang Khitbah …38
B. Hadis tentang Rukun Nikah (Wali) …..55
C. Hadis tentang Maskawin (Mahar) …..61
D. Hadis tentang Hubungan Suami Isteri …77
E. Hadis tentang Azl ….85
F. Hadis tentang Poligami…91
G. Hadis tentang Pereceraian (Thalak) ..93
H. Hadis tentang Khulu’ …97
I. Hadis tentang Li’an …..106
J. Hadis tentang iddah ….109
K. Hadis tentang Hadlanah ….120
DAFTAR PUSTAKA ….130
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Kritik Hadis
Kata kritik dalam bahasa Arab menggunakan istilah naqd. Kata ini digunakan
oleh beberapa ulama hadis.1 Pengertian kritik dengan menggunakan kata naqd
mengindikasikan bahwa kritik harus dapat membedakan yang baik dan yang buruk,
sebagai pengimbang yang baik, ada timbal balik, menerima dan memberi, terarah
pada sasaran yang dikritik, adanya unsur perdebatan, dan bertujuan memperoleh
kebenaran yang tersembunyi.
Istilah naqd dalam pengertian kritik hadis tidak popular digunakan dikalangan
ulama hadis. Disiplin ilmu yang membahas tentang kritik hadis mereka namakan ilmu
jarh wa ta’dil. 2
Kata takhrij berasal dari kata kharaja, yang berarti al zhuhur (tampak) dan al
buruz (jelas).3 Takhrij juga bisa memiliki arti al istinbat (mengeluarkan kandungan), al
tadrib (meneliti), dan al tawjih (menerangkan). Takhrij juga bisa berarti Ijtima’ al
amraini al mutadladaini fi syai’in wahid (berkumpulnya dua persoalan yang
bertentangan dalam suatu hal), al istinbath (mengeluarkan dari sumbernya), al tadrib
(latihan), al tawjih (menjelaskan duduk persoalan, pengarahan) (Ali, 2008: 2). Sedang
menurut Syeh Manna’ Al Qaththan, takhrij berasal dari kata kharaja yang artinya
nampak dari tempatnya, atau keadaan, terpisah dan kelihatan. Al Ikhraj artinya
menampakkan dan memperlihatkannya, dan al Makhraj artinya tempat keluar, dan
Akhraja al Hadis wa Ikhrajuhu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadis
kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya. 4
Adapun secara terminologi, takhrij adalah menunjukkan tempat hadis pada
sumber-sumber aslinya, di mana hadis tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan
sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan (Al Tahhan, 1978: 9). 1 Muhammad Musthafa Azami, Studies in Hadits Metodologi and litetatures, (Indiana: Islamic Teaching
Center Indianapolis, 1997), h. 47 2 Ibid, h. 48 33 (Munawir, 1984: 356) 4 (Al Qaththan, 2006: 189).
2
Sedangkan takhrij menurut istilah ahli hadis, mempunyai pengertian:
1. Menunjukan asal usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya
dari berbagai kitab hadis yang disusun mukhorrij-nya langsung, kegiatan
takhrij seperti ini sebagaimana yang dilakukan oleh para penghimpun hadis
dari kitab-kitab hadis, misalnya Ibnu Hajar al ‘Asqalani yang menyusun kitab
Bulug al Maram.5
2. Mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis
atau berbagai kitab yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat
sendiri atau para gurunya atau temannya atau orang lain dengan
menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab ataupun karya
yang dijadikan sumber acuan, kegiatan ini, seperti yang dilakukan oleh Imam
Bukhari yang banyak mengambil hadis dari kitab al Sunan karya Abu Hasan al
Basri al Safar, lalu Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri. (Ali, 2008: 43)
3. Mengemukakan hadis dengan menyebutkan peristiwanya dengan sanad
lengkap serta dengan menyebutkan metode yang mereka tempuh, inilah yang
dilakukan para penghimpun dan penyusun kitab hadis, seperti Bukhari yang
menghimpun kitab hadis Sahih al Bukhari.6
4. Mengemukakan hadis berdasarkan kitab tertentu dengan disertakan metode
periwayatannya, sanadnya, dan penjelasan keadaan para periwayatnya serta
kualitas hadisnya, pengertian al takhrij seperti ini dilakukan oleh Zainuddin
‘Abdurrahhman ibn al Husai al ‘Iraqi yang melakukan takhrij terhadap hadis-
hadis yang dimuat dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam AlGhazali
dengan judul bukunya Ikhbar al Ihya’ bi Akhbar al Ihya’. 7
5. Menunjukkan tempat hadis pada sumber-sumber aslinya, di dalamnya
dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing,
kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan 8
5 (Ali, 2008: 43)
6 (Ismail, 1992: 42).
7 (Ismail, 1992: 43).
8 (Ismail, 2005:71).
3
Dengan demikian pengertian takhrij dalam tulisan ini adalah penelusuran atau
pencarian hadis dari berbagai sumbernya yang asli dengan mengemukakan matan
serta sanadnya secara lengkap untuk kemudian diteliti kualitas hadisnya.
B. Objek Studi Kritik Hadis
Kalangan muhaddisun mengelompokkan objek material kritik hadis menjadi
dua, yaitu an-naqd az-zhahiri atau an-naqd al khariji (kritik eksternal/kritik sanad)
dan an-naqd al batini atau an-naqd ad-dakhili (kritik internal/kritik matan) Kritik
sanad akan berkenaan dengan kritik terhadap para penyampai hadis, sementara kritik
matan akan berkenaan dengan elemen teks atau elemen makna.
Selain sanad dan matan, kitab-kitab hadis, pemahaman hadis (ma’ani al hadis),
dan kritik living hadis juga bisa dijadikan sebagai objek kritik hadis.
1) Objek studi kritik sanad hadis
Kritik sanad berarti kritik terhadap para penyampai hadis, baik sisi positifnya
maupun sisi negatifnya. Tujuannya untuk menelusuri kredibilitas dan kapasitas
intelektual para periwayat hadis berikut cara-cara mereka meriwayatkan hadis.
Jenis kritik ini diarahkan kepada kuantitas dan kualitas para periwayat hadis
dalam meriwayatkan hadis. Sehingga yang dinilai, bukan hanya sosok pribadi
mereka, tapi juga jumlah mereka dalam menyampaikan hadis Nabi.
Sebagaimana telah dijelaskan di awal, kritik sanad ini melahirkan ilmu rijal al
hadis, thabaqat al ruwat, tarikh rijal al hadis, jarh wa al ta’dil, yang semuanya
berkenaan dengan para periwayat hadis. Beberapa terminologi yang muncul dari
hasil penelitan sanad ini adalah mutawatir, ahad, marfu’, mauquf, aziz, gharib, dan
sebagainya.
Dalam melakukan kritik sanad ini, para peneliti menggunakan kriteria atau
syarat-syarat yang harus ada dalam sanad sehingga sanad bisa diterima. Kriteria
tersebut di antaranya sanad harus bersambung, para periwayatnya harus
adil, dhabith, serta tidak terdapat illat dan syad.
4
Al Idlibi menjelaskan empat langkah metodologis kritik sanad:
a) Uji ketersambungan proses periwayatan hadis dengan mencermati silsilah
keguruan hadis dan proses belajar mengajar hadis (tahammul dan ada’) yang
ditandai dengan lambanga perekat riwayat (shighat al tahdits);
b) Mencari bukti integritas keagamaan perawi (al adalah) yang menjangkau
paham akidah dan sikap politik perawi;
c) Menguji kadar ketahanan intelegensia perawi, data gangguan ingatan saat
memasuki usia tua, bukti pemilikan naskah dokumentasi hadis (dlabith);
d) Ada tidaknya jaminan “keamanan” dari gejala syadz atau dugaan illat dalam
sanad hadis.
2) Objek studi kritik matan
Kritik matan dipahami sebagai kritik terhadap isi hadis, baik dari sisi teks
maupun makna teks itu sendiri. Dibanding kritik sanad, kritik matan ini kurang
mendapat perhatian para pakar hadis. Energi para pakar hadis lebih tersedot pada
peneltian jalur periwayatan hadis (sanad). Padahal sebagaimana kritik sanad,
kritik matan juga merupakan studi yang sangat penting. Bahkan tidak ada jaminan
ketika sandanya sehat, maka matannya juga sehat. Hal ini menjelaskan bahwa hasil
kritik matan hadis bisa menjadikan sebuah hadis yang sanadnya shahih, tidak bisa
dijadikan hujah karena tidak shahih matannya.
Muhammad Thahir al Jawabi menjelaskan dua tujuan kritik matan: (1) untuk
menentukan benar tidaknya matan hadis dan (2) untuk mendapatkan pemahaman
yang benar mengenai kandungan yang terdapat dalam sebuah matan hadis.
Dengan demikian, kritik matan hadis ditujukan untuk meneliti kebenaran
informasi sebuah teks hadis atau mengungkap pemahaman dan interpretasi yang
benar mengenai kandungan matan hadis. Dengan kritik hadis kita akan
memperoleh informasi dan pemahaman yang benar mengenai sebuah teks hadis.
5
M. Syuhudi Ismail merinci tiga langkah metodologis kritik matan. Pertama,
meneliti matan hadis dengan melihat kualitas sanadnya. Artinya sebelum meneliti
sebuah matan hadis, harus memahami kualitas sanadnya. Kedua, meneliti susunan
lapal matan yang semakna. Dalam dunia kritik, langkah kedua ini disebut analisis
isi dengan pendekatan positifistik, yaitu menganalisis apa yang terlihat dari sisi
gramatika dan makna tekstualnya. Ketiga, meneliti kandungan matannya.
Langkah ketiga ini mengharuskan peneliti memahami maksud dan kandungan
hadis tersebut.
Ia juga menjelaskan lima kriteria hadis yang matannya bisa diterima, yaitu:
(1) tidak bertentangan dengan akal yang sehat,
(2) tidak bertentangan dengan Alquran, hadis mutawatir dan ijma,
(3) tidak bertentangan dengan tradisi ibadah ulama salaf,
(4) tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti dan
(5) tidak bertentangan dengan hadis yang kualitas kesahihannya lebih kuat.”
Abbas menjelaskan tiga langkah kritik matan, yaitu (1) kritik kebahasaan, (2)
analisis terhadap isi kandungan makna matan hadis, dan (3) penelusuran ulang
nisbah pemberitaan dalam matan hadis kepada narasumber.
Setelah menjelaskan beberapa kriteria kritik matan yang dirumuskan oleh para
ahli (ulama), [30] Suryadi menyimpulkan pokok-pokok pikiran kritik matan
hadis. Pertama, matan hadis harus diuji dengan ayat-ayat Alquran, sehingga
kandungan hadis tersebut tidak pertentangan dengan Alquran. Kedua, matan hadis
harus diujikan dengan hadis yang lebih shahih. Artinya, kandungan matan hadis
tersebut sesuai dengan kandungan hadis yang lebih shahih. Ketiga, matan hadis
tidak bertentangan dengan metode ilmiah. Namun ia harus sesuai dengan konsep
metode ilmiah. Keempat, matan hadis harus sesuai dengan fakta sejarah yang
diketahui umum. Artinya kandungan hadis tersebut tidak bertentangan dengan
realitas sejarah yang telah menjadi kebenaran umum (comman sense).
6
C. Metodologi Kritik Hadis
1. Metodologi Kritik Sanad
Para ulama Hadis sesungguhnya telah memiliki teori-teori sanad yang cukup
ketat. Namun demikian, jauhnya jarak antara masa Rasulullah Saw. dengan masa
kodifikasi hadis, sekitar satu setengah abad atau 150 tahun, menyebabkan teori-
teri tersebut dalam prakteknya menghadapi hambatan yang cukup serius. Di
antaranya yaitu terbatasnya data-data yang diperlukan dalam proses
pembuktian. Dan pada perkembangan selanjutnya keterbatasan-keterbatasan ini
diatasi oleh teori-teori baru, seperti Ash-shohabah Kulluhum 'Uduul (semua
sahabat bersifat adil). Dengan kata lain, validitas satu generasi pertama, generasi
sahabat, tidak perlu ada pembuktian.
Dalam ukuran modern, teori kritik sanad secara umum mengandung
kelemahan inheren, seperti anggapan tentang seorang manusia terhormat yang
tidak memiliki keinginan berdusta sehingga mereka pasti bercerita benar. Di
samping itu, para peneliti hadis kadang tidak menyadari adanya masalah ingatan
yang keliru, pikiran yang mengandung kepentingan, pembacaan ke belakang (dari
masa kini ke masa lalu) atau pun tersangkutnya pengaruh seseorang dan bahkan
tentang adanya berbagai tuntutan mendesak. Kelemahan yang terdapat dalam
teori kritik sanad ini mencerminkan tingkat kesulitan yang tinggi dalam proses
pembuktian validitas sebuah hadis. Oleh karena itu, bukan hanya kritik sanad saja
satu-satunya hal yang bisa dilakukan dalam proses pembuktian keshahihan hadis,
kritik matan pun semestinya menjadi suatu keharusan yang dilakukan dan
dikembangkan hingga kini dalam proses pembuktian validitas dan otentisitas
sebuah Hadis.
Prof. Ali Mustafa Ya‘kub, MA. dalam bukunya yang berjudul Kritik hadis
menyatakan bahwa upaya untuk mendeteksi ke-dhabit-an rawi dengan
memperbandingkan hadis-hadis yang diriwayatkannya dengan hadis lain atau
dengan Alquran, dapat dilakukan melalui enam metode perbandingan hadis,
yaitu:
7
1. Memperbandingkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah Shahabat
Nabi, antara yang satu dengan yang lain.
2. Memperbandingkan hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa
yang berlainan.
3. Memperbandingkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang
berasal dari seorang guru hadis.
4. Memperbandingkan suatu hadis yang sedang diajarkan oleh seorang dengan
hadis semisal yang diajarkan oleh guru lain.
5. Memperbandingkan antara hadis-hadis yang tertulis dalam satu buku dengan
yang tertulis dalam buku lain, atau dengan hafalan Hadis.
6. Memperbandingkan hadis dengan ayat-ayat Alquran.
Penelitian dan kritik sanad atau isnad (diringkas dan diubah dari Fitnah
Kubro karya Prof DR M. Amhazun yang diterjemahkan oleh Daud Rasyid dengan
beberapa perubahan dan penambahan), yaitu untuk meluruskan dan
membongkar kedustaan yang ada dalam khabar (berita) dengan melalui dua
aspek yaitu:
1. Aspek teoritis, yaitu penetapan kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya kedustaan.
2. Aspek praktis, yaitu penjelasan tentang peribadi-peribadi yang dianggap
sebagai pendusta dan seruannya pada umat manusia agar bersikap hati-hati
terhadap mereka.
Dalam aspek teoritis, metode kritik para ulama telah berhasil sampai pada
peletakan kaidah-kaidah ilmu periwayatan yang canggih dan sangat teliti sebagai
puncak kreasi yang dihasilkan oleh kemampuan manusia. Untuk mengetahui
ketelitian metode ilmiah yang diikuti ulama yang berkecimpung di bidang ini,
maka cukuplah kita baca karya-karya yang mereka hasilkan dalam bentuk kaidah-
kaidah Al Jarh dan At Ta‘dil.
8
Pengertian istilah-istilah yang tercakup dalam dua kategori itu, urutan
hirarkisnya yang dimuali dari yang teratas -Ta‘dil- sampai tingkat yang terbawah
–Jarh-, syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, di mana mereka tetapkan dua
syarat pokok terhadap perawi yang bisa diterima periwayatannya, yaitu:
1. Al Adalah (keadilan) yaitu seorang perawi itu harus muslim, baligh, berakal,
jujur, terbebas dari sebab-sebab kefasikan, dan terhindar dari hal hal yang
merusak muru‘ah (martabat diri)
2. Adh Dhobth yaitu seorang perawi harus menguasai apa yang diriwayatkannya,
hafal atas apa yang diriwayatkan, yakni ia tahu meriwayatkannya dengan
metode hafalan, cermat dengan kitabnya, dan ia meriwayatkannya dengan
melalui kitabnya.
Adapun dari aspek praktis adalah seperti penyebutan para perawi,
curriculum vitae-nya serta penjelasan kualiti atau penilaian terhadapnya. Untuk
kepentingan ini terdapat para ulama yang khusus menyusun sejumlah besar
karya yang menjelaskan hal tersebut. Dan sudah menjadi satu hal yang tidak
diragukan lagi bahawa karya-karya tentang kaidah-kaidah periwayatan dan
tentang para perawi itu telah memberi andil yang cukup besar dan penting dalam
pemurnian Islam dan pelurusan siroh dan sejarah Nabi, serta Islam umumnya.
Contoh kritik sanad hadis:
Dalam Kitab Shahih Bukhari dalam Syarah al Karmani, jilid 9, hal.166, no.
hadis 4904: Nabi Saw bersabda:
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita saja,
kecuali ia bersama muhrimnya”, lantas ada seorang laki-laki berdiri seraya berkata:
Ya Rasulallah, istriku keluar menunaikan ibadah haji, sedangkan saya terkena
kewajiban mengikuti peperangan ini. Beliau bersabda: “kembalilah! Dan tunaikan
haji bersama istrimu”,
9
Shahih Muslim dalam Syarah al Sanusi, jilid 4, hal. 435, no. hadis 424
menulis:
Diriwayatkan oleh Abu Ma’bad, ia berkata: “saya pernah mendengar Ibn
Abbas berkata: Saya pernah mendengar Nabi Saw berpidato: “janganlah sekali-kali
seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita saja, kecuali ia bersama
muhrimya. Tiba-tiba seorang laki-laki bangkit berdiri dan berkata: Ya Rasulallah,
sesungguhnya istriku bepergian untuk menunaikan ibadah haji, sedangkan aku
terkena kuwajiban mengikuti peperangan ini. Beliau bersabda: “Berangkatlah dan
tunaikanlah haji bersama istrimu”.
Rasulullah 10 H - Ibn Abbas 70 H - Ibn Ma‘bad 104 H - Amru bin Dinar 126 H
- Sufyan bin Uyainah 198 H - Ibn Abi Syaibah235 H - Zuhair bin Harb 234 H - Ali
bin Abdullah–234 H- Imam Muslim-261 H -Imam Bukhari 265 H.
Sanad hadis yang terdapat dalam riwayat Imam Muslim adalah sebagai
berikut:
1 Ibn Abbas.
Nama lengkapnya: Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib al Hashimi.
Wafat: 70 H. Guru-gurunya antara lain: Nabi Saw, Abbas bin Abd
Muthalib, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Afan, Ali bin Abi
Thalib, Abdurrahman bin Auf. Murid-muridnya antara lain: Abu Ma‘bad,
Ali dan muhammad bin Abdullah bin Abbas, Abu Imamah bin Sahal,
Sa‘ad bin Musayyab, Mujahid, Ata‘. Derajatnya: tsiqah.
Derajatnya: ‘udul
2 Abu Ma‘bad.
Nama lengkapnya: Nafidz Abu Ma‘bad. Wafat: 104 H. Gurunya: Ibn
Abbas. Murid muridnya: Amru bin Dinar, Yahya bin Abdullah, Abu
Zubair, Sulaiman al Ahwal, Qasim bin Abi Bazah.
Derajatnya: Menurut Ahmad bin Hambal, ibn Ma‘in dan Abu Zar‘ah:
Tsiqah. Ibn Hibban: Tsiqah.
10
3 Amru bin Dinar.
Nama lengkapnya: Amru bin Dinar al Maki Abu Muhammad. Wafat: 126
H. Guru-gurunya antara lain: Ibn Abbas, Abu Ma‘bad, Abu Hurairah, Ibn
Zubair, Jabir bin Abdullah, Ibn Amru ibn Ash. Murid-muridnya antara
lain: Sufyan bin Uyainah, Qatadah, Ayub, Ibn Juraih, Ja‘far Shadiq, Malik,
Daud Abdurrahman, Ibn Qasim.
Derajatnya: Menurut Imam Ahmad, Ibn al Madani: Tsiqah. Menurut
Abdiurrahman bin Hakim: Tsiqah.
4 Sufyan bin Uyainah.
Nama lengkapnya: Sufyan bin Uyainah bin Ali Imran abu Muhammad al
Kufi. Wafat: 198 H. Guru-gurunya antara lain: Amru bin Dinar, Abdul
Malik bin Umair, Abu Ishaq al Sabi‘iy, Aswad bin Qais, Ishaq bin
Abdullah. Murid muridnya antara lain: Ibn Abi Syaibah, Zuhair bin Harb,
Ibn Juraij, al A‘masyi, Muhammad bin Idris .
Derajatnya: menurut al Madani: Tsiqah. Al ‗Ajli Kufi: Tsiqah Tsubut.
5 Ibn Abi Syaibah.
Nama lengkapnya: Abu Bakar bin Ahmad bin Abi Syaibah Ibrahim bin
usman. Wafat; 235 H. Guru-gurunya antara lain: Sufyan bin Uyainah,
Abdullah bin Idris, Ibn Mubarak, Abu bakar bin Abbas, Jarir bin Abd
Hamid. Muridnya: Imam Bukhari, Imam Muslim, Dawud, Ibn Majah.
Derajatnya: Menurut al Ajli: Tsiqah. Menurut Abu Hatim dan Ibn
Kharazh: Tsiqah.
6 Zuhair bin Harb.
Nama lengkapnya: Zuhair bin Harb bin Syaddad al Harsy abu
Khasyamah. Wafat: 234 H. Guru-gurunya: Sufyan bin Uyainah, Hafas bin
Ghiyas, Humaid bin Abd Rahman, Jarir bin Abdul Hamin. Muridnya
antara lain: Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah.
Derajatnya: Menurut Abu Hatim: Shaduq. Ali bin Junaid: Dapat diterima.
Ibn Main: Tsiqah.
11
7 Imam Muslim.
Nama lengkapnya: Muslim bin Hajjaj bin Muslim al Qusyairi Abul Husain
an-Naisaburi. Wafat: 261 H. Guru-gurunya antara lain: Zuhair bin Harb,
Ibn Abi Syaibah, Ahmad bin Yunus, Ismail bin Uwais, Daud bin Amru.
Murid-muridnya antara lain: Ahmad bin salamah, Ibrahim bin Abu
Thalib, Abu Amru al Kharaf.
Derajatnya: Menurut Abi Hitam: Tsiqah, al Jarudi berkata: Ia sangat
banyak mengetahui hadis. Ibn Qasim: Tsiqah.
Sanad hadis yang terdapat dalam riwayat Imam Bukhari adalah -seperti
yang telah disebutkan di atas selain Ibn Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb- sebagai
berikut:
- Ali bin Abdullah.
Nama lengkapnya: Ali bin Abdullah bin Ja‘far, bin Najih Assa‘adi. wafat:
234 H. Guru-gurunya antara lain: Sufyan bin Uyainah, Hamad bin Zaid,
Hatim bin Wardan, Khalid bin Haris, Abi Dlamrah. Murid-muridnya
antara lain: Imam Bukhari, Abu Dawud, Tirmizi, Nasai dan Ibn Majah.
Derajatnya: Abu Hatim berkata: Ali adalah orang yang sangat mengerti
hadis. Ibn Main berkata: Ia banyak sekali meriwayatkan hadis. Jadi
derajatnya Tsiqah.
- Imam Bukhari.
Nama lengkapnya: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al
Bukhari. Wafat: 256 H. Guru-gurunya antara lain: Ali bin Abdullah,
Ubaidillah bin Musa, Muhammad bin Abdullah al Ansari, Abi ‗Asyim an-
Nabil, Abi Mughirah. Murid-muridnya antara lain: Imam Musli, Tirmidzi,
Nasai, Tabrani.
Derajatnya: Menurut Ahmad al Mawarzi: Ia banyak mencari hadis,
mengetahui dan menghafalnya, jadi derajatnya Tsiqah.
12
2. Metodologi Kritik Matan
Yang dimaksud dengan kritik matan hadis (naqd al matn) dalam konteks ini
ialah usaha untuk menyeleksi matan-matan hadis sehingga dapat ditentukan
antara matan-matan hadis yang sahih atau lebih kuat dan yang tidak. Kesahihan
yang berhasil diseleksi dalam kegiatan kritik matan tahap pertama ini baru pada
tahap menyatakan kesahihan matan menurut eksistensinya.
Pada tahap ini belum sampai pada pemaknaan matan hadis, kendatipun
unsur-unsur interpretasi matan boleh jadi ada terutama jika menyeleksi matan
dengan cara melihat tolok ukur kesahihan matan hadis. Bila terdapat matan-
matan hadis yang sangat rumit dikritik atau diseleksi berkaitan dengan
pemaknaannya, maka hal tersebut ―diserahkan― kepada studi matan hadis tahap
kedua yang menangani interpretasi atau pemaknaan matan hadis
Untuk melakukan kritik Hadis Nabi SAW., ada tiga metode yang lazim
digunakan, baik pada zaman Nabi SAW., atau pun era saat ini. yaitu: metode
perbandingan, metode rasional, dan metode kontekstual.
1) Metode Perbandingan
Ada empat ragam metode perbandingan menurut A’zami.
1. Membandingkan hadis-hadis dari para sahabat dan tabiin. Caranya
dengan mengumpulkan berbagai hadis kemudian membandingkannya
dengan yang lain.
2. Membandingan pernyataan ulama setelah jarak waktu tertentu
3. Membandingan dokumen yang ditulis dengan yang disampaikan dari
ingatan
4. Membandingan hadis dengan Alquran yang berkaitan
.
13
2) Metode Rasional
Metode rasional bisa dilakukan karena berbagai hal.
1. Karena adanya pertentangan antara hadis dengan Alquran. Ketika hadis
bertentangan dengan Alquran, maka hadis tersebut tidak bisa diterima
2. Karena adanya pertentangan antara hadis dengan hadis. Ketika ada dua
hadis yang saling bertentangan, maka yang diterima hadis yang paling
unggul kesahihahannya.
3. Karena adanya pertentangan antara hadis dan ilmu pengetahuan dan
kebenaran umum. Ketika hadis bertentangan dengan kebenaran umum
atau ilmu pengetahuan, maka hadis yang demikian harus ditolak
3) Metode Kontekstual
Metode ini sangat berkaitan dengan sebab-sebab atau latar belakang (asbab al
wurud atau ahwal al wurud) adanya sebuah hadis, atau kasus dan orang yang
dimaksud oleh sebuah hadis.
Metode seperti ini mewajibkan para peneliti mencari peristiwa-peristiwa yang
menjadi alasan hadis diturunkan dan memahami konteks sosial budaya yang
menjadi tempat hadis diturunkan.
Ilmu tawarikh al matan merpakan salah satu dari produk ilmu ini. Ilmu Tawarukh Al
Mutun ini dipelopori oleh Imam Sirojuddin Abu Hafs ‘Ammar bin Salar Al Bulqiniy
degan kitabnya Mahasin al Ishthilah.
Jika ilmu asbab al wurud titik beratnya membahas tentang latar belakang dan sebab-
sebab lahirnya hadis, dengan kata lain, mengapa Nabi Saw. bersabda atau berbuat
demikian, maka ilmu tawarikh al mutun menitikberatkan pembahasannya pada kapan,
atau pada waktu apa hadis itu diucapkan atau perbuatan demikian itu dilakukan olen
Nabi Saw.
14
Selain ketiga metode tersebut, masih ada dua ragam metode yang bisa
digunakan, terutama berkenaan dengan living hadis. Mereka adalah metode
histori dan heurmeneutik.
1) Metode Historis. Metode historis yang dimaksud adalah studi yang kritis
terhadap peninggalan masa lampau dengan menggunakan dua standar ilmiah
sebagaimana dimaksud oleh Louis Gottschalk, yaitu (1) mampu membuktikan
fakta sejarah dan (2) mengkritisi dokumen sejarah. Metode ini digunakan
untuk menguji otentisitas atau validitas teks-teks hadis dari aspek sanad
maupun matan, sehingga teks-teks tersebut diyakini sebagai hadis Nabi.
2) Metode Hermeneutik. Sementara metode hermeneutik merupakan modifikasi
dari pemikiran Fazlur Rahman mengenai pemahamannya terhadap Alquran.
Konsep tersebut adalah makna teks, latar belakang teks, dan gagasan moral
yang dimaksud oleh teks.
Untuk mengaplikasikan konsep tersebut ke dalam hadis, konsep tersebut
berkembang menjadi lima konsep.
Pertama, pemahaman dari sisi bahasa. Kajian diarahkan pada sisi semantiknya,
baik makna leksikal maupun gramatikal. Kedua, pemahaman terhadap latar
belakang sejarah. Konsep kedua ini terkait erat dengan asbabul wurud hadis dan
konteks sosial budaya tempat hadis diturunkan. Ketiga, menghubungkan hadis
secara tematik dan komperehensif–integral. Dengan konsep ketiga ini, diharapkan
kandungan hadis bisa dipahami secara utuh, tidak parsial. Keempat, memaknai teks
dengan menyarikan ide dasarnya. Artinya, ketika meneliti hadis, kita tidak
melupakan kenyataan bahwa hadis adalah produk dialogis-komunikatif Nabi
dengan umat Islam pada waktu itu, sehingga intisari gagasan hadis tidak hilang.
Kelima, mengaitkan pemahaman teks-teks hadis dengan teori yang terkait. Konsep
terakhir ini menegaskan bahwa kritik hadis aspiratif dengan teori yang lain yang
sekiranya berkaitan.
15
BAB II
FAKTOR-FAKTOR PERLUNYA KRITIK HADIS
A. Faktor-faktor Pentingnya Kritik Sanad dan Matan Hadis
Dalam rangka memelihara hadis, siapa saja yang mengaku mendapat hadis
apalagi hendak menyampaikannya kepada yang lain, maka harus disertai dengan
sanad. Abdullah bin al Mubarak berkata:
“Perumpamaan orang yang mencari agamanya tanpa isnad, bagaikan orang yang
naik ke loteng tanpa tangga”.
Keharusan sanad dalam menerima hadis bukan pada orang-orang khusus saja,
bagi masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya dengan sanad.
Hal ini mulai berkembang sejak masa tabi’in, hingga merupakan suatu kewajiban bagi
ahli hadis menerangkan sanad hadis yang ia riwayatkannya.9 Oleh karena itu, kritik
sanad dan matan hadis sangat penting, karena disebabkan adanya beberapa faktor.
Faktor-faktornya adalah:10
1. Banyaknya pemalsuan hadis setelah Rasulullah Saw. wafat yang terjadi pada
zaman Khalifah Ali bin Abi Muthalib.
2. Proses penghimpunan hadis ke dalam kitab-kitab hadis yang memakan waktu
cukup lama setelah Rasulullah wafat.
3. Jumlah kitab hadis yang sangat banyak dengan metode penyusunan yang
sangat beragam.11
4. Terjadinya periwayatan hadis secara makna.
9 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Cet. ke-3 (Jakarta: Amzah, 2009) hlm. 213-214
10 Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Cet. ke-3 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004) hlm. 125-126
11 Untuk lebih jelas lagi lihat: Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Cet. ke-4 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004) hlm. 75-80
16
B. Bagian-bagian yang Harus Diteliti
1. Kaidah-kaidah Mayor Kritik Sanad dan Matan
Kaidah kritik sanad dan matan hadis dapat diketahui dari pengertian istilah
hadis shahih. Menurut ulama hadis, misalnya Ibnu al Shalah (w. 643 H),
menyatakan bahwa hadis shahih ialah “Hadis yang bersambung sanadnya sampai
kepada Nabi, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabit sampai akhir
sanad, di dalam hadis itu tidak terdapat kejanggalan (syudzuz) dan kecacatan
(illat)”.
Dari istilah pengertian tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur hadis shahih
menjadi:
1. Sanadnya bersambung sampai kepada Nabi
2. Periwayatnya bersifat adil.
3. Periwayatnya bersifat dhabit.
4. Di dalam hadis itu tidak terdapat kejanggalan (syudzuz)
5. Di dalam hadis itu tidak terdapat kecacatan (illat).
Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad di atas
sesungguhnya dapat didapatkan menjadi tiga unsur saja, yakni unsur-unsur
terhindari dari syudzuz dan terhindar dari illatdimasukkan pada unsur pertama
dan ketiga. Pemadatan unsur-unsur itu tidak mengganggu substansi kaidah sebab
hanya bersifat metodologi untuk menghindari terjadinya tumpang tindih unsur-
unsur, khususnya dalam kaidah minor.12
2. Kaidah-kaidah Minor dalam Kritik Sanad
Apabila masing-masing unsur kaidah mayor bagi keshahihan sanad
disertakan unsur-unsur kaidah minornya, maka dapat dikemukakan butir-butirnya
sebagai berikut:
12
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Op.cit., hlm. 126-127.
17
1. Unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsur-
unsur kaidah minor:
a. Muttasil (bersambung)
b. Marfu’ (bersandar kepada nabi)
c. Mahfuz (terhindar dari syudzuz)
d. Bukan Muallal (bercacat)
2. Unsur kaidah mayor yang kedua, periwayatnya bersifat adil, mengandung
unsur-unsur kaidah minor:
a. Beragama Islam
b. Mukallaf (balig dan berakal sehat)
c. Melaksanakan ketentuan agama Islam
d. Memelihara adab
3. Unsur kaidah mayor yang ketiga, periwayatnya bersifat dhabit, mengandung
unsur-unsur kaidah minor:
a. Hapal dengan baik hadis yang diriwayatkannya.
b. Mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadis yang dihapalnya kepada
orang lain.
c. Terhindar dari syudzuz.
d. Terhindar dari illat.
Dengan acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut, maka
kritik sanad hadis dilaksanakan. Sepanjang semua unsur diterapkan secara benar
dan cermat, maka kritik akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi
yang tinggi
3. Kaidah-kaidah Minor dengan Kritik Matan
Kaidah mayor untuk matan, sebagaimana telah disebutkan, ada dua macam,
yakni terhindar dari syudzudz dan terhindar dari illat. Ulama hadis tampaknya
mengalami kesulitan untuk mengemukakan klasifikasi unsur-unsur kaidah
minornya secara rinci dan sistematik. Dinyatakan demikian, karena dalam kitab-
kitab yang membahas kritik hadis, sepanjang yang penulis telah mengkajinya,
tidak terdapat penjelasan klasifikasi unsur-unsur kaidah minor berdasarkan
unsur-unsur kaidah mayornya. Padahal untuk sanad, klasifikasi itu dijelaskan.
18
Pernyataan tersebut tidak dimaksudkan bahwa para ulama hadis tidak
menggunakan tolok ukur dalam meneliti matan. Tolok ukur itu telah ada, hanya
saja dalam penggunaannya, ulama hadis menempuh jalan secara langsung tanpa
bertahap menurut unsur tahapan-tahapan kaidah mayor, misalnya dengan
memperbandingkan matan hadis yang sedang diteliti dengan dalil naqli tertentu
yang lebih kuat dan relevan. Jadi, kegiatan kritik tidak diklasifikasi, misalnya
langkah pertama meneliti kemungkinan adanya syudzudz dengan unsur-unsur
kaidah minornya, lalu diikuti langkah berikutnya meneliti kemungkinan
adanya illat dengan unsur-unsur kaidah minornya juga.
Yang dapat dinyatakan sebagai kaidah keshahihan matan, oleh jumhur ulama
dinyatakan sebagai tolok ukur untuk meneliti kepalsuan suatu hadis. Menurut
jumhur ulama, tanda-tanda hadis palsu ialah:
1. Susunan bahasanya rancu.
2. Isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit
diinterprasikan secara rasional.
3. Isinya bertentangan dengan tujuan pokok agama Islam.
4. Isinya bertentangan dengan hukum dan sunnatullah.
5. Isinya bertentangan dengan sejarah pasti.
6. Isinya bertentangan dengan petunjuk Alquran ataupun hadis mutawattir
yang telah mengandung suatu peunjuk secara pasti.
7. Isinya berada di luar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran Islam.
Walaupun butir-butir tolok ukur kritik matan tersebut tampak menyeluruh,
tetapi tingkat akurasinya ditentukan juga oleh ketetapan metodologis dalam
penerapannya. Untuk itu kecerdasan, keluasan pengetahuan, dan kecermatan
peneliti sangat dituntut.13
13
Ibid., hlm. 128-130.
19
BAB III
PERKEMBANGAN KRITIK HADIS PADA MASA NABI
KALANGAN SAHABAT DAN ULAMA HADIS
A. Periwayatan Hadis Masa Nabi Muhammad SAW
Nabi dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai utusan Allah (Rasul)
berdakwah, menyampaikan, dan mengajarkan risalah Islamiyah kepada umatnya.
Nabi sebagai sumber hadis menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para
sahabat. Segala aktifitas beliau seperti perkataan, perbuatan dan segala keputusan
beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya,
karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majelis Nabi dan tidak seluruhnya
selalu menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadis dari
beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang didengar dari
Rasulullah SAW. baik ayat-ayat Alquran maupun hadis-hadis dari Rasulullah Saw.
Mereka sangat antusias dan patuh pada perintah-perintahnya.
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat.
Karena, para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis
Nabi dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Hal ini terbukti dengan
beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai berikut:
‘Umar bin al Khaththab telah membagi tugas dengan tetangganya untuk
mencari berita yang berasal dari Nabi. Kata ‘Umar, bila tetangganya hari ini
menemui Nabi, maka ‘Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas
menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi,
maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas. Dengan
demikian, para sahabat Nabi yang kebetulan sibuk tidak sempat menemui Nabi,
mereka tetap juga dapat memperoleh hadis dari sahabat yang sempat bertemu
dengan Nabi. Malik bin al Huwayris menyatakan:
20
فلما راي ا,حيما رفيقين ليلة وكان ر قمنا عنده عشر أف ,من قؤمي نفر في م تيت النبي صأ)روه البخاي عن ما لك ... او صل و ,ىمو علموا ,ا فيهمو نو ا فكل: ارجعو ىالينا قاإلي أشؤقنا
بن الحؤيرث(“Saya dalam satu rombongan kaum saya datang kepada Nabi saw. Kami tinggal disisi beliau selama dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang dan akrab. Tatkala beliau melihat kami telah merasa rindu kepada para keluarga kami, beliau bersabda; “Kalian pulanglah, tinggallah bersama mereka kalian, ajarilah mereka, dan lakukan shalat bersama mereka….” (HR. bukhary dari Malik bin Huqairits)
Al Bara’ bin ‘Azib al Awsiy telah menyatakan:
لكن الناس لم و اشغال و كنت لنا ضيعو م, ؤل الله صو ليس كلنا كان يسمع حديث رس .ذ فيحدث الشاىد الغا ءبئن يؤمو ا يكذبو نو يك
“Tidaklah kami semua (dapat langsung) mendengar hadis Rasulullah Saw. (Kerena di antara) kami ada yang tidak memiliki waktu, atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan (terhadap hadis Nabi). Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis Nabi) memberitakan (hadis itu) kepada orang-orang yang tidak hadir.
Pernyataan al Bara’ ini memberi petunjuk: (1) Hadis yang diketahui oleh
sahabat tidaklah seluruhnya langsung diterima dari Nabi, melainkan ada juga yang
diterima melalui sahabat lain; (2) walaupun para sahabat banyak yang sibuk, tetapi
kesibukan itu tidak menghalangi kelancaran penyebaran hadis Nabi.
Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung.
Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi Saw. memberi ceramah atau
penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan
secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-
utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan
daerah yang datang kepada Nabi.
Pada masa Nabi Saw. kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah
bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan
sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghafal, memahami,
memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam amalan sehari-hari,
serta menyampaikannya kepada orang lain.
21
Tidak ditulisnya hadis secara resmi pada masa Nabi, bukan berarti tidak ada
sahabat yang menulis hadis. Dalam sejarah penulisan hadis terdapat nama-nama
sahabat yang menulis hadis, di antaranya:
a. ‘Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash (w. 65 H/685 M), shahifahnya disebut Ash-
Shadiqah.
b. Ali ibn Abi Thalib (w.40 H/611 M), penulis hadis tentang hukum diyat, hukum
keluarga, dan lain-lain.
c. Anas bin Malik
d. Sumrah ibn Jundab (w.60 H/680 M)
e. Abdullah ibn Abbas (w. 69 H/689 M)
f. Jabir ibn ‘Abdullah al Anshari (w. 78 H/697 M)
g. Abdullah ibn Abi Awfa’ (w.86 H)
Dalam menyampaikan hadis-hadisnya, Nabi menempuh beberapa cara,
yaitu:
Pertama, melalui majelis al ‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang
diadakan oleh Nabi untuk membina para jamaah, melalui majelis ini para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha
untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah yang menyampaikan hadisnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut
disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi
menyampaikan suatu hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,
baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat
yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk hal hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga
dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi
menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus ketika Nabi menjelaskan
tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW. tentang mandi wanita
yang telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaiman
22
mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga Nabi
bersabda: “Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian) dari
kasturi, maka bersihkanlah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi, “Bagaimana saya
membersihkannya?” Nabi bersabda: “Bersihkanlah dengannya”. Wanita tersebut
masih bertanya lagi, “Bagaimana (caranya)?” Nabi bersabda: “Subhanallah
hendaklah kamu bersihkan”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata: “Wanita itu saya tarik
ke arah saya dan saya katakan kepadanya, “Usapkanlah seperca kain itu ke tempat
bekas darah”.
Pada hadis ini, Nabi dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal
sensitif berkenaan dengan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal
hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul Saw.
Sering kali mereka bertanya kapada istri-istrinya.
Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika
futuh Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada tahun 10 H (631
M), Nabi menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu
kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan
bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia
Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya,
yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik
ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi, lalu Nabi
menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar di kalangan umat Islam. Misalnya
suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki
yang sedang membeli makanan (gandum), Nabi menyuruhnya memasukkan
tangannya ke dalam gandum tersebut, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi
bersabda: ليس منا من غش (Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu).
Secara resmi memang Nabi melarang menulis hadis bagi umum karena
khawatir campur antara hadis dan Alquran. Jika prasarana yang sangat sederhana
Alquran dan Hadis ditulis di atasnya dalam bentuk satu catatan atau satu lembar
pelepah kurma, sulit untuk membedakan antara Alquran dan Hadis.
23
Banyak hadis yang melarang para sahabat untuk menulisnya, tetapi banyak
juga hadis yang perintah menulisnya. Di antara hadis yang melarang penulisannya
adalah sebagai berikut :
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah engkau tulis dari padaku, barang siapa yang menulis dari padaku selain Alquran maka hapuslah. (HR. Muslim)
Sedang Hadis yang memperbolehkan penulisan sunnah juga banyak sekali,
di antaranya ialah:
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat anshar
menyaksikan hadis Rasulullah tetapi tidak hafal, kemudian bertanya kepada Abu
Hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah
Saw. tentang hafalannya yang minim tersebut, maka Nabi bersabda :
حفظك بيمينك ىعل تعناس “Bantulah hafalanmu dengan tanganmu” (HR. At-Tirmidzi)
Dalam mencari solusi dua versi yang kontra di atas para ulama berbeda
pendapat. Di antaranya mereka berpendapat bahwa hadis yang melarang penulisan
di hapus (di-nasakh) dengan hadis yang membolehkannya. Lebih dari itu, Bukhari
berpendapat hadis tentang larangan penulisan yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id
Khudri mauquf pada Abu Sa’id Khudri. Bahkan semua hadis tentang larangan
penulisan berkualitas dha’if, kurang kuat dijadikan alasan. Dengan demikian
penulisan hadis tetap diperbolehkan bahkan diperintahkan dalam rangka
memelihara sunnah sebagai sumber syari’ah Islamiyah sampai sekarang dan
kesimpulan inilah yang disepakati para ulama.
Di samping itu, ketika Nabi SAW. menyelenggarakan dakwah dan
pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan,
antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah
Islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara, dan barat. Surat-surat
tersebut merupakan koleksi hadis-hadis juga. Hal ini sekaligus membuktikan
bahwa pada masa Nabi Saw. telah dilakukan penulisan hadis dikalangan sahabat.
24
B. Periwayatan Hadis pada Masa Sahabat
Setelah Nabi wafat (11 H. = 632 M.), sahabat tidak dapat lagi mendengar
sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi secara
langsung. Kepada umatnya beliau juga meninggalkan dua pegangan sebagai dasar
bagi pedoman hidup, yaitu Alquran dan Hadis (as-Sunnah) yang harus dipegangi
dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Kendali kepemimpinan ummat Islam berada di tangan sahabat Nabi.
Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar Shiddiq
(wafat 13 H. = 634 M.), kemudian disusul oleh ‘Umar bin Khaththab (wafat 23 H. =
644 M.), ‘Usman bin ‘Affan (wafat 35 H. = 656 M.), dan ‘Ali bin Abi Thalib (wafat 40
H. = 661 M.). Keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal denga sebutan al Khulafa’
al Rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan Zaman Sahabat Besar.
Periwayatan hadis pada masa sahabat terutama masa al Khulafa’ al Rasyidun
sejak tahun 11 H. sampai 40 H., belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian
para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Alquran dan
mereka berusaha membatasi periwayatan hadis tersebut. Masa ini disebut dengan
masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al tatsabbut wa al ‘iqlah min al
riwayah). Pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan
dan penyebaran Alquran, tidak berarti mereka tidak memegang hadis sebagaimana
halnya yang mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat
berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadis itu.
Berikut ini dikemukakan sikap al Khulafa’ al Rasyidin tentang periwayatan
hadis Nabi.
a. Abu Bakar al Shiddiq
Menurut muhammad bin Ahmad al Dzahabiy (wafat 748 H. = 1347 M.), Abu
Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-
hatiannya dalam periwayatan hadis.
25
Pernyataan al Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala
menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek
menghadap kepada Khalifah Abu Bakar, memintah hak waris dari harta yang
ditinggal oleh cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk
Alquran dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek.
Abu Bakar lalu bertanya kepada para sahabat. Al Mughirah bin Syu’bah
menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi telah memberikan bagian waris
kepada nenek sebesar seperenam bagian. Kasus diatas memberikan petunjuk,
bahwa Abu Bakar ternyata tidak segara menerima riwayat hadis, sebelum
meneliti periwayatannya.
Dalam melakukan kritik, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk
menghadirkan saksi. Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan
hadis, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadis yang diriwayatkan relatif tidak
banyak. Padahal dia seorang sahabat yang telah bergaul lama dengan dan sangat
akarab dengan Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah sampai
Nabi wafat. Dalam pada itu harus pula dinyatakan, bahwa sebab lain sehingga
Abu Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadis karena: (a) dia selalu dalam
keadaan sibuk ketika menjabat Khalifah; (b) kebutuhan akan hadis tidak
sebanyak pada zaman sesudahnya; (c) jarak waktu antara wafatannya dengan
wafatnya Nabi sangat singkat.
b. Umar bin al Khaththab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat,
misalnya, ketika ‘Umar mendengar hadis yang disampaikan kepada Ubay bin
Ka’ab. ‘Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis dai Ubay, setelah para
sahabat yang lain, di antaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula
hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya ‘Umar
berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah
berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam
periwayatan hadis Nabi.”
26
Kabajikan ‘Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan
hadis, sesungguhnya tidaklah berarti bahwa ‘Umar sama sekali melarang para
sahabat meriwayatkan hadis. Laranga ‘Umar tampaknya tidak tertuju kepada
periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: (a) Agar masyarakat lebih berhati-
hati dalam periwayatan hadis; dan (b) agar perhatian masyarakat terhadap
Alquran tidak terganggu. Sebagian ahli hadis mengemukakan bahwa Abu Bakar
dan ‘Umar menggariskan bahwa hadis dapat diterima apabila diserta saksi atau
setidak-tidaknya periwayat berani bersumpah. Pendapat ini menurut al Siba’iy,
sampai wafatnya ‘Umar juga menerima beberapa hadis meskipun hanya
diriwayatkan oleh seorang periwayat hadis.
Untuk masalah tertentu sering kali ‘Umar juga menerima periwayatan tanpa
saksi dari orang tertentu, seperti hadis-hadis dari ‘Aisyah. Manurut al Siba’iy,
sampai wafatnya ‘Umar hadis belum banyak yang tersebar dan masih dalam
keadaan terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa ‘Utsman ibn ‘Affan,
periwayatan hadis diperlonggar.
c. Usman bin ‘Affan
Secara umum,kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh
berbedah dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua Khalifa pendahulunya.
Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin al Khaththab.
Dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman memintah kepada para sahabat agat
tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis
itu pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar. Pernyataan ‘Usman ini menunjukkan
pengakuan ‘Usman atas hati-hati kedua Khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati
itu ingin dilanjutkan pada zaman kekhalifahannya. Dengan demikian, para
sahabat Nabi sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadis.
Tradisi kritis di kalangan sahabat Nabi menunjukkan bahwa mereka sangat
peduli tentang kecermataan dan kebenaran dalam penyampaian atau
periwayatan hadis. Hal tersebut dilakukan oleh para sahabat Nabi disebabkan
oleh hal-hal berikut, antara lain:
27
Pertama, para sahabat, sebagaimana dirintis oleh al Khulafa’ al Rasyidun,
bersikap cermat dan berhati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini
dikarenakan meriwayatkan hadis Nabi merupakan hal penting, sebagai wujud
kewajiban taat kepadanya. Berhubung tidak setiap periwayat menerima riwayat
langsung dari Nabi, maka dibutuhkan perantara antara periwayat setelah
sahabat, bahkan antara sahabat sendiri dengan Rasulullah Saw. Karena tidak
dimungkinkan pertemuan langsung dengannya.
Kedua, para sahabat melakukan kritik dengan cermat terhadap periwayat
maupun isi riwayat itu sendiri.
Ketiga, para sahabat sebagaimana dipelopori oleh Abu Bakar Shidiq,
mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadis.
Keempat, para sahabat, sebagaimana dipelopori ‘Ali bin ‘Abi Thalib, meminta
sumpah dari periwayat hadis.
Kelima, para sahabat menerima sebuah riwayat dari orang-orang yang
terpercaya.
Keenam, di antara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadis
tanpa pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang
lain dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin
pendusta.
Sahabat ‘Umar bin Khaththab juga pernah ingin mencoba menghimpun
hadis tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan beliau
berkata:
“Sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan
suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka
sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah Swt. Demi Allah,
sesungguhnya aku tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan
sesuatu yang lain selamanya”.
28
Kekhawatiran ‘Umar bin Khathab dalam pembukuan hadis adalah
tasyabbuh atau menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang
meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan
menempatkan biografi para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. ‘Umar
khawatir umat Islam meninggalkan Alquran dan hanya membaca hadis. Jadi Abu
Bakar dan ‘Umar tidak berarti melarang pengkodifikasian hadis tetapi melihat
kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan suatu hadis, yaitu :
1. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi Saw.
Yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak
hafal lafazh asli dari Nabi Saw.
Pada masa ‘Ali r.a., timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat konflik
politik antara pendukung ‘Ali dengan Mu’awiyah. Umat Islam terpecah menjadi
tiga golongan :
1. Syi’ah, pendukung setia terhadap ‘Ali, di antara mereka fanatik dan terjadi
pengkultusan terhadap ‘Ali.
2. Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian
(tahkim) dua kelompok yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi
pendukung ‘Ali tetapi kemudian mereka keluar karena tidak menyetuji
perdamaian.
3. Jumhur Muslimin, di antara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali,
ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula yang netral
tidak mau melibatkan diri dalam kancah konflik.
29
C. Periwayatan Hadis Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana para sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam
periwayatan hadis. Hanya saja, beban mereka tidak terlalu berat jika dibandingkan
dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini, Alquran sudah dikumpulkan
dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada
masa akhir periode al Khulafa’ al Rasyidun (masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan) para
sahabat ahli hadis telah menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan Islam. Ini
merupakan kemudahan bagi para tabi’in untuk mempelajari hadis-hadis dari
mereka. Kondisi ini juga berimplikasi pada tersebarnya hadis keberbagai wilayah
Islam. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan
hadis (‘ashr intisyar al riwayah), yaitu masa di mana hadis tidak lagi hanya terpusat
di Madinah tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat
sebagai tokoh-tokohnya.
Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas. Banyak sahabat
ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, di
samping banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekah. Para sahabat
pindah ke daerah baru disertai dengan membawa perbendaharaan hadis yang ada
pada mereka, sehingga hadis-hadis tersebar diberbagai daerah. Kemudian
bermunculan sentra-sentra hadis sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu
Zahw, yaitu:
1. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Aisyah, Abu Hurairah,
Ibn ‘Umar, Abu Sa’id al Khudri, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan
tabi’in: Sa’id ibn Musayyib, ‘Umar ibn Zubair, Nafi’ Maula ibn ‘Umar, dan
lain-lain.
2. Mekah, dengan tokoh hadis dari kalangan sahabat: Ibn ‘Abbas, ‘Abdullah
ibn Sa’id, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in, tokohnya antara lain:
Mujahid ibn Jabr, ‘Ikramah Mawla ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah, dan
lain-lain.
30
3. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abdullah ibn Mas’ud, Sa’id
ibn Abi Waqqas, dan Salman al Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in:
Masruq ibn al Ajda’, Syuraikh ibn al Haris, dan lain-lain.
4. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Mu’adz ibn Jabal, Abu al
Darda’, ‘Ubadah ibn Shamit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in:
Abu Idris, Qabishah ibn Zuaib, dan Makhul ibn Abi Muslim.
5. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abdullah ibn Amr al Ash,
‘Uqbah ibn Amir, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in: Yazid ibn
Abi Hubaib, Abu Bashrah al Ghifari, dan lain-lain.
Hadis-hadis yang diterima oleh para tabi’in ini ada yang dalam bentuk
catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus dihafal, di samping
dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para
sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling
melengkapi, sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer atau terlupakan.
Sungguhpun demikian, pada masa pasca-sahabat ini muncul kekeliruan
periwayatan hadis ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah.
31
D. Kriteria Kritik Matan Menurut Ulama Hadis
1) Kritik terhadap Riwayat-riwayat yang Bertentangan dengan Alquran
Tidak diragukan lagi bagi setiap muslim bahwa riwayat manapun yang
berasal dari Rasulullah Saw. yang bertentangan dengan nas Alquran, bukanlah
kalam kenabian. Hal ini tidak diperselisihkan oleh ulama manapun.
QS. Yunus ayat 15.
لو ق وإذا ت ت لى عليهم آيت نا بينات قال الذين لا ي رجون لقاءن ائت بقرآن غي ىذا أو بد لو من تلقاء ن فسي إن أتبع إلا ما يوحى إلي إن أخاف إن عصيت رب ما يكون لي أن أ بد عذاب ي وم عظيم
"Dan apabila dibacakan kepada mereka, ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang
tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, berkata: 'Datangkanlah Alquran yang lain
dari ini, atau gantilah ia'. Katakanlah: 'Tidaklah patut bagiku menggantinya, dari pihak
diriku sendiri. Aku tidak mengikuti, kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya
aku takut, jika mendurhakai Tuhanku, (akan membawaku) kepada siksa hari yang besar
(kiamat)'." – (QS. Yunus: 15) Jika ditemukan sebuah hadis yang bertentangan dengan Alquran, maka
ada dua sudut pandang. Pertama, dari sudut wurud. Alquran seluruhnya adalah
qoth’iyu al wurud, benar dengan tingkat kebenarannya yang tidak mengandung
keraguan. Sedangkan hadis zhanniyul wurud, kecuali hadis mutawatir yang
berjumlah sedikit. Bahkan hadis mutawatir sekalipun mencapai tingkat paling
kuat wurud-nya tidak sampai pada qoth’iyul al wurud. Dengan dalil akal dapat
ditolak bahwa yang zanniy harus ditolak jika bertentangan dengan yang qat’iy.
Kedua, dari sudu dilalah. Alquran dan hadis adakalanya yang
qat’iyuddilalah dan adakalanya ada yang dhanniyuddalalah, untuk memastikan
adanya pertentangan di antara Alquran dan Hadis keduanya harus sama-sama
tidak mengandung kemungkinan takwil. Jika salah satu atau keduanya ada
kemungkinan takwil dan selanjutnya ada kemungkinan untuk dipadukan maka
di antara keduanya jelas tidak ada pertentangan dan tidak ada alasan untuk
menolak hadis yang bersangkutan semata karena dugaan bertentangan dengan
Alquran.
32
Dari sinilah terjadi kemungkinan perbedaan di kalangan ulama dan
terjadi keragaman hasil ijtihad. Ulama tertentu atau mazhab tertentu menolak
hadis tertentu karena menurutnya bertentangan dengan nash Alquran,
sementara yang lain menerima hadis tersebut (aljam’u) antara hadis dengan
nash Alquran.
Kesesuaian antara matan hadis dan ayat Alquran menjadi salah satu
tolok ukur kesahihan matan. Pertentanagan antara keduanya menunjukkan ke-
da’if-an hadis, oleh karena itu ketika menemukan hadis yang bertentangan
dengan Alquran maka langkah pertama mengupayakan ta’wil. Apabila tidak,
maka langkah kedua bila memungkinkan memadukan (al jam’u) antara
keduanya, tetapi bila tidak dapat dikompromikan (jama’), maka hadis tersebut
ditolak untuk dijadikan hujjah.
2) Kritik terhadap Riwayat-riwayat yang Bertentangan dengan Hadis Shahih
dan Sirah Nabawi yang Shahih
Apabila menolak hadis yang bertentangan dengan hadis yang lebih kuat,
maka menurut al Adlibi harus memenuhi dua syarat. 1. Hadis tersebut tidak
mungkin bisa untuk dipadukan (al Jama’), bila dapat dipadukan maka tidak
perlu menolak salah ssatu dari keduanya. Apabila tidak bisa dipadukan, maka
hadis tersebut harus di-tarjih; 2. Hadis yang lebih kuat tersebut adalah hadis
mutawatir.14
Berbeda dengan asy-Syafi’iy beliau memberikan gambaran bahwa
kemungkinan matan hadis yang tampak bertentangan mengandung petunjuk
bahwa adakalanya yang satu bersifat global (mujmal) dan yang satunya
bersifat rinci (mufassar), kemungkinan yang satu bersifat umum (‘am) dan
yang lainnya bersifat khusus (khas), kemungkinan yang satu bersifat an-naskh
(menghapus) dan yang lainnya al mansukh (dihapus), atau mungkin kedua-
duanya menunjukkan boleh diamalkan.
14
Al Adlibi, op.cit. h. 273-274
33
Menurut an-Nawawi ada dua metode penyelesaian ta’arud. 1. Bila
mungkin dipadukan keduanya (al Jam’u), maka dalam hal ini wajib
mengamalkan keduanya; 2. Bila tidak mungkin dipadukan, dan diketahui salah
satunya nasikh, maka menggunakan nasikh mansukh, tetapi apabila tidak
digunakan nasikh mansukh dapat mengamalkan yang lebih kuat setelah
diadakan tarjih, baik karena sifat-sifat perawi maupun banyaknya perawi yang
meriwayatkan.15
3) Kritik terhadap Riwayat-riwayat yang Bertentangan dengan Akal, Indra,
dan Sejarah
Termasuk yang menunjukkan kebatilan sebagian hadis yang
diriwayatkan dari nabi adalah keberadaan hadis tersebut bertentangan dengan
akal, indra, dan sejarah. Akal sehat yang dimaksud dalam hal ini bukanlah hasil
pemikiran manusia semata, melainkan akal yang mendapatkan sinar dari
Alquran dan sunnah nabi.16
4) Kritik terhadap Hadis-hadis yang Tidak Menyerupai Perkataan Nabi
Dalam masalah lafadz matan hadis yang dikatakan rancu menurut al
Adlibi adakalanya riwayatnya menunjukkan tidak beraturan atau serampangan
(mujafah), adakala lafaznya rancu atau lemah (rakakah), ada kalanya lafalnya
menyerupai ucapan ulama fiqh atau istilah-istilah muta’akhir. Menurut ibnu
Qayyim lafaz-lafaz yang tidak beraturan merupakan ciri hadis maudu’ yang
dimungkinkan mengetahuinya tidak dengan jalan melihat kepada sanad
terlebih dahulu.
15
As-suyuti, op.cit. h. 366-367 16 Al-idlibi, op.cit. h.304
34
C. Skema Pemahaman dan Kritik Hadis
H A D I S TENTANG HUKUM KELUARGA
Ayat-ayat Alquran Tentang hukum
keluarga
Ilmu Bahasa Arab
Hadis-hadis lain Ilmu Pengetahuan
Sosio Historis
SANAD
MATAN
Takhrij Hadis (Jarh wa ta’dil)
Asbbab wurud hadis
Ahwal wurud hadis
Ulum Quran
Ilmu Haiqiqy/Majazy,
dll.
Ilm Gharib al
Hadits. dll.
Al Jma’u
An Naskh
Maqbul
HASIL
35
Keterangan:
1. Hadis, karena berbahasa Arab, harus dipahami dengan ilmu dan logika bahasa
Arab. Ilmu Gharib al hadis produk ilmu ini. Tampaknya tema hakiki-majazi
termasuk logika bahasa universal yang tidak boleh diabaikan. Bila redaksi
hadis itu jelek maka ditolak otentisitasnya.
2. Karena hadis itu berfungsi menguakan yang sudah ada, atau menafsirkan yang
mujmal, atau mentakhshish yang ‘am, atau menjelaskan Alquran, maka perlu
dicari, ayat mana yang ditindaklanjuti oleh hadis yang sedang dibaca, baik
secara langsung maupun tidak.
3. Mustahil sebuah hadis hanya sendirian memberi informasi, kendati pada
tingkat sahabat bersumber dari satu orang. Hadis lain yang isinya sama atau
mirip perlu dihadapkan dengan hadis yang sedang dibaca. Penalaran ini pada
umumnya diberlakukan bukan saja terhadap hadis tentang dogma akidah dan
ibadah ritual semata, tetapi juga hadis-hadis yang berkenaan dengan sosial,
hukum, sejarah, dan lain-lain. Kemungkinan pertama, hadis tersebut senada
dengan hadis-hadis lain sehingga ia di sini disebut maqbul. Kemungkinan lain,
hadis itu bertentangan dengan hadis-hadis lain sehingga perlu langkah-langkah
seperti, al jam’, al naskh, dan at Tarjih.
4. Sekali waktu, hadis tidak berbicara tentang ‘agama’ tetapi menembus pada
dunia empiri. Hadis semacam ini perlu dipahami dengan ilmu empiri yang
membidanginya. Dimaksud dengan empiri di sini bukan hanya fisikal tetapi
juga sosial. Isi hadis yang bertentangan dengan ilmu empiri akan ditolak
karena agama tidak bertentangan dengan ilmu.
5. Hadis adalah produk masa lampau. Agar pemahaman terhadap teks
hadis itu utuh diperlukan informasi utuh tentang konfigurasi yang
menyelimuti munculnya hadis, apakah itu keadaan yang menyebabkan
munculnya sebuah hadis , ataukah setting sosial budaya. Penalaran ini
umumnya berlaku terhadap hadis yang mengandung norma
kemanusiaan. Hadis yang bermuatan dogma akidah tidak dapat
didekati dengan cara ini.
36
BAB IV
KRITIK HADIS TEMA KELUARGA
Hadis-hadis tentang keluarga (al Ahwal asy Syakhshiyyah) sejatinya
disikapi dengan bijaksana. Hadis-hadis yang begitu populer di kalangan ahli
hadis (Muhadditsun) dan ahli fiqh (Fuqaha), belakangan ini tampaknya harus
dikaji lebih mendalam. Begitu pentingnya informasi yang terkandung di
dalamnya, hanya segelintir orang yang concern terhadap kajian tersebut.
Seharusnya informasi penting tentang bagaimana Rasulullah Saw.
menyelesaikan problem rumah tangga para sahabatnya diketahui secara
merata oleh para sahabat ketika itu dengan indikasi mutawatir. Karena,
meskipun kasus rumah tangga para sahabat mungkin bersifat domestik atau
privasi (syakhshiyyah), tetapi fatwa-fatwa atau keputusan Rasulullah Saw.
tersebut setidaknya dapat dijadikan acuan bagi kehidupan sosial masyarakat
secara umum ketika itu. Terlepas dari tawatur atau tidaknya riwayat tersebut,
terdapat sanad yang shahih yang membawa informasi tersebut, sehingga
cukup alasan untuk memercayai hadis-hadis yang bersifat kasuistik-domestik
tersebut.
Informasi keagaamaan yang bersifat domestik atau privasi (al Ahwal asy
Syakhshiyyah) seperti bagaimana Rasulullah Saw. meyelesaikan status dan
penentuan kadar minimal-maksimal mahar dalam akad, kasus Fatimah bintu
Qais ketika dipinang (khitbah) oleh tiga lelaki dalam waktu yang bersamaan,
kasus khulu’ isterinya Tsabit bin Qais, prilaku ‘Azl, dan lain-lain kasus perdata,
tampaknya sering dijadikan salah satu acuan oleh ulama fiqh (fuqaha) dalam
ijtihadnya. Bahkan kini, ulama mutaakhkhirun pun menggunakan hadis-hadis
tersebut dalam mengambil keputusan-keputusan kontemporer yang terjadi
dalam masyarakat Islam saat ini. Apalagi kasus domestik urusan keluarga
(rumah tangga) seseorang yang bersifat perdata -dewasa ini- mungkin
memiliki dampak sosial yang cukup luas. Bahkan tidak sedikit yang masuk
melebar ke dalam ranah hukum pidana.
37
Hampir semua ulama hadis menulis tema ini kendati kadar keshahihan
dan kelengkapannya tidak sama, justru mereka saling melengkapi. Dan hampir
semua ulama fiqh menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai dalil syar’i
dalam ijtihad mereka. Sekiranya kita tidak memperhatikan akurasi
periwayatan, apa yang termuat dalam kitab-kitab hadis dan kitab-kitab fiqh
tentang tema ini langsung kita terima. Akan tetapi karena akal pikiran ikut
berbicara kritis, apalagi keadaan percepatan modernitas menyodorkan
problematika kehidupan yang semakin kompleks, tidak secara apriori
menerima atau menolak hadis, maka persoalan ini makin menarik untuk
didiskusikan. Banyak hal yang dapat dikaji lebih mendalam dari kandungan
hadis tersebut karena bila difahami apa adanya secara harfiyah mungkin justru
kita menjauh dari apa yang diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. dalam mencari
solusi dari problematika domestik kita.
Tema keluarga (al Ahwal asy Syakhshiyyah) termasuk kawasan ilmu
hukum perdata. Persoalan hukum perdata memerlukan kepastian-kepastian
yang tidak multi tafsir. Dengan demikian, memerlukan dalil-dalil qath’iy
(mutawatir). Hadis tidak mutawatir atau hadis ahad tidak dapat memaksa
orang lain untuk memercayainya apalagi mengamalkannya. Karena hadis-hadis
tentang keluarga (al Ahwal asy Syakhshiyyah) kebanyakan tidak mutawatir
(ahad) maka boleh diambil atau tidak.
Rupanya persoalannya bukan terletak pada status mutawatir atau ahad.
Karena orang Islam percaya kepada Rasulullah Saw, tentu mereka merasa
berkewajiban untuk mengindahkan ajaran-ajaran dan keteladanannya. Bagi
mereka yang menolaknya, tentu masalahnya sudah selesai. Akan tetapi bagi
mereka yang meyakini hadis itu berasal dari Rasulullah Saw., apakah melalui
jalur mutawatir atau ahad, dengan sendirinya akan menempatkannya sebagai
ajaran dan petunjuknya, baik memahaminya dengan “penyesuaian” agar
informasi keagamaan dapat diterima tanpa menimbulkan masalah, atau tidak.
38
A. Hadis tentang Peminangan
- Kritik sanad Hadis tentang Peminangan
Berikut ini akan ditampilkan beberapa riwayat hadis tentang
peminangan (khitbah), dari beberapa kitab hadis, kemudian akan
dijelaskan keadaan perawi pada sanad masing-masing.
Di dalam kitab Shahih Bukhary (No. 4746) disebutkan:
عت نفعا يدث أن ابن ث نا ابن جريج قال س ث نا مكي بن إب راىيم حد حدهما كان ي قول: ن هى النب صلى الل عليو وسلم أن يبيع عمر رضي الل عن
رك ب عضك م على ب يع ب عض ول يطب الرجل على خطبة أخيو حت ي ت لو أو يذن لو الاطب الاطب ق ب
Telah menceritakan kepada kami [Makki bin Ibrahim] Telah menceritakan kepada kami [Ibnu Juraij] ia berkata, Aku mendengar [Nafi'] menceritakan bahwa [Ibnu Umar] radliallahu 'anhuma berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga ia meninggalkannya atau pun menerimanya, atau pun ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama."
Di dalam kitab Sunan Ibnu Majah (No. 1868 dan 1869) disebutkan:
ث نا سفبان بن عيينة عن ث نا ىشام بن عمار وسهل بن أبي سهل قال: حد حد الزىري عن سعيد بن المسيب عن أبي ىريرة قال: قال رسول الله صلى الل
الرجل على خطبة أخيو يطب عليو وسلم: ل Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin ‘Ammar dan Sahl bin Abi Sahl] keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami [Sufyan bin ‘Uyainah] dari [Az Zuhry] dari [Sa’id bin Musayyab] dari [Abu Hurairah] radliallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaran
39
ث نا ث نا ين بن حكيمحد عن نفع عبيد الله بن عمرعن ين بن سعيدحد عليو وسلم: ل عن ابن عمر الرجل على يطب قال: قال رسول الله صلى الل
خطبة أخيو Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Hakin] keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sa’id] dari [Nafi’] dari [Ibnu Umar] radliallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya."
Di dalam kitab Shahih Muslim (No. 1412) disebutkan:
سعيد حدثنا ليث ح وحدثنا ابن رمح أخبرن الليث عن وحدثنا قتيبة بن -نفع عن ابن عمر عن النب ص قال: ل يبع بعضكم على بيع بعض ول
يطب بعضكم على خطبة بعض.
Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa’id] Telah menceritakan kepada kami [Laits] ia berkata, dan telah menceritakan kepada kami [Ibn Romah] Telah mengabarkan kepada kami [Laits] dari [Nafi'] dari [Ibnu Umar] dari Nabi Saw. beliau bersabda; "Janganlah sebagian kalian berjual beli atas jual beli sebagian yang lain. Dan janganlah sebagian kalian meminang atas pinangan sebagian yang lain."
وحدثني زىن بن حرب ومحمد بن المثنى جميعا عن ين القطان قال زىن -حدثنا ين عن عبيدالله أخبرني نفع عن ابن عمر عن النب ص قال: ل
يبع الرجل على بيع أخيو ول يطب على خطبة أخيو إل أن يذن لو,
وحدثناه أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا علي بن مسهر عن عبيدالله بهذا - الإسناد,
وحدثنيو أبو كامل الجحدري حدثنا حماد حدثنا أيوب عن نفع بهذا - الإسناد.
40
Telah menceritakan kepadaku [Zuhair bin Harb] dan [Muhammad bin Mutsnna] semuanya dari [Yahya al Qaththan], [Zuhair] berkata Telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari [Ubaidullah], telah mengabarkan kepada kami [Nafi'] dari [Ibnu Umar] dari Nabi Saw. beliau bersabda; "Janganlah seseorang berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya, kecuali jika ia diizinkan."
Dan telah menceritakan kepada kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Ali bin Musahhar] dari [Ubaidullah] dengan rangkaian isnad di atas.
Dan telah menceritakan kepadaku [Abu Kamil al Jahdariy]; telah menceritakan kepada kami [Hamad]; telah menceritakan kepada kami [Ayyub] dari [Nafi’] dengan rangkaian isnad di atas juga.
Di dalam kitab Sunan Abu Daud [no. 2080 dan 2081] disebutkan:
ث نا سفبان عن الزىري عن سعيد بن ث نا أحمد بن عمرو بن السرح حد حد عليو وسلم: ل يطب المسيب عن أبي ىريرة قال: قال رسول الله صل ى الل
الرجل على خطبة أخيو Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Amr bin As Sarh] telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Az Zuhry] dari [Sa’id bin Musayyab] dari [Abu Hurairah] radliallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaran
ث نا عبد الله بن نمن عن عبيد الله عن نفع عن ث نا حسن بن علي حد حدابن عمر قال: قال رسول الله صلى الل عليو وسلم: ل يطب أحدكم
طبة أخيو وليبيع على ب يع أخيو على خ Telah menceritakan kepada kami [Hasan bin ‘Ali] telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Numair] dari [Ubaidullah] dari [Nafi’] dari [Ibnu Umar] radliallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah seseorang di antara kalian meminang atas pinangan saudaranya, dan janganlah ia berjual beli atas jual beli saudaranya."
41
Dari hadis-hadis di atas dapat dibuat bagan periwayat sebagai berikut:
Nabi Saw.
IBN UMAR RA.
Nafi’
Ibn Juraij
Makki bin Ibrahim
Laits
Ibn Romh Qutaibah bin Sa’id
Muslim
Ubaidullah
Yahya Al Qaththan
Zuhair bin Harb
Muhammad bin al Mutsanna
Ali bin Mushir
Abu Kamil Al Jahdary
Ayyub
Hammad
Abu Bakar bin Abi Syaibah
Al Bukhariy
ABU HURAIRAH RA.
Ahmadbin Amr bin as Sarh
Abu daud Ibnu Majah
Sufyan bin Uyainah
Zuhry
Sa’id bin Al Musayyab
Hasan
bin Ali
Abdullah
bin Numair
Hisyam
bin Amr
+
Sahl
bin Abi Sahl
Yahya
bin Hakim
Yahya bin
Sa‟id
1 2 9 8 7 6 4 3 10
5 11
42
Dari bagan di atas dapat diketahui bahwa hadis ini diriwayatkan
melalui jalur sahabat 2 orang (Ibn Umar ra. dan Abu Hurairah ra.), sampai
periwayat nomor 2 (Nafi‟ dan Sa‟id bin Al Musayyab) dengan demikian
hadis ini termasuk hadis Ahad.
1. Jalur sanad 1: Bukhari (w. 265 H) : – Maki bin Ibrahim (w. 215 H). Ibnu Juraij (w. 150 H) - Ibnu Umar (w. 73 H) - Rasulullah (w. 10 H)
2. Jalur sanad 2: Muslim (w. 261 H)- Ibnu Romah (w….H) – Laits (w. 175 H) – Nafi’ (w. 117 H) - Ibnu Umar (w. 73 H.) - Rasulullah (w. 10 H)
Jalur sanad 3: Muslim (w. 261 H)- Qutaibah bin sa’id (w. 235 H)– Laits (w. 175 H) – Nafi’ (w. 117 H) – Ibnu Umar (w. 73 H) - Rasulullah (w. 10 H).
Jalur sanad 5: Muslim (w. 261 H)- Zuhair bin Harb (w. 234 H) – Yahya Al Qaththan (w. …) – Ubaidullah (w. 124/147 H) - Nafi’ (w. 117 H) – Ibnu Umar (w. 73 H) - Rasulullah (w. 10 H).
Jalur sanad 6: Muslim (w. 261 H)- Muhammad bin Al Mutsanna (w. …H) – Yahya Al Qaththan (w. …) – Ubaidullah (w. 124/147 H) - Nafi’ (w. 117 H) – Ibnu Umar (w. 73 H) - Rasulullah (w. 10 H).
Jalur sanad 7: Muslim (w. 261 H)- Ibn Abi Syaibah (w. 235 H) – Ali bin Mushir (w. ….H) - Ubaidullah (w. 124/147 H) - Nafi’ (w. 117 H) – Ibnu Umar (w. 73 H) - Rasulullah (w. 10 H).
Jalur sanad 8: Muslim (w. 261 H)- Abu Kamil Al Jadary (w. … H) –Hammad (w. ….H) - Ayyub (w. 131 H) - Nafi’ (117 H) – Ibnu Umar (w. 73 H) - Rasulullah (w. 10 H).
3. Jalur sanad 9: Abu Daud – Hasan bin Ali (w. 242 H) – Abdullah bin Numair (w. …H) - Ubaidullah (w. 124/147 H) - Nafi’ (117 H) – Ibnu Umar (w. 73 H - Rasulullah (w. 10 H).
Jalur sanad 10: Abu Daud – Ahmad bin Amr bin As Sarh (w. 250 H) – Sufyan bin Uyainah (w. 198 H) - Zuhry (w. 124 H) – Sa’id bin Al Musayyab (w. 93 H) – Abu Hurairah (w. 57 H) - Rasulullah (w. 10 H).
4. Jalur sanad 11: Ibnu Majah – Hisyam bin Amr (w. 245 H) dan Sahl bin Abu Sahl (w. ….) - Sufyan bin Uyainah (w. 198 H) - Zuhry (w. 124 H) – Sa’id bin Al Musayyab (w. 93 H) – Abu Hurairah (w. 57 H) - Rasulullah (w. 10 H).
Jalur snad 12: Ibnu Majah – Yahya bin Hakim (w. 256 H) – Yahya bin Sa’id (w. 144/198 H) - Ubaidullah (w. 124/147 H) - Nafi’ (w. 117 H) – Ibnu Umar (w. 73 H) - Rasulullah (w. 10 H).
43
Adapun penelusuran tentang para periwayat hadis-hadis di atas adalah
sebagai berikut:
1 Ibnu Umar
Nama lengkapnya: Abdullah Bin Umar Bin Khaththab Bin Nufail.
Kunyahnya: Abu Abdurrahman. Wafat: 73 H. Golongan: Sahabat. Tempat
menetap: Madinah. Derajatnya: ‘adl.
2 Abu Hurairah
Nama lengkapnya: Abdurrahman Bin Shakhr. Kunyahnya: Abu
Hurairah. Wafat: 57 H. Golongan: Sahabat. Tempat menetap: Madinah.
Derajatnya: ‘adl.
3 Nafi’
Nama lengkapnya: Nafi' Maula Ibn Umar. Kunyahnya: Abu Abdullah.
Wafat: 117 H. Golongan: Tabi’in dari kalangan biasa. Tempat menetap:
Madinah. Derajatnya: menurut Ibnu Ma’in: Tsiqah, AAdz Dzahaby:
Imam, Al Ajli: Tsiqah, Al Kharras: Tsiqah, An Nasa’iy: Tsiqah.
4 Sa’id bin Al Musayyab
Nama lengkapnya: Sa'id Bin Al Musayyab Bin Hazan Bin Abu Wahb Bin
'Amru. Kunyahnya: Abu Muhamad. Wafat: 93 H. Golongan: Tabi’in dari
kalangan tua. Tempat menetap: Madinah. Derajatnya: menurut Adz
Dzahaby: Faqih, Zur’ah: Tsiqah Imam, Ahmad bin Hambal: Tsiqah
5 Ibn Juraij
Nama lengkapnya: Abdul Malik Bin Abdul Aziz Bin Juraij. Kunyahnya:
Abu Al Walid. Wafat: 150 H. Golongan: Tabi’in yang tidak pernah
bertemu dengan Sahabat. Tempat menetap: Marur Rawdz. Derajatnya:
mwnurut Al ‘Asqalany: Tsiqah Faqih, Adz Dzahaby: Salah satu ahli ilmu,
Ibn Hibban: Tsiqah Al Ajli: Tsiqah
44
6 Laits
Nama lengkapnya: Laits Bin Sa'd Bin Abdurrahman. Kunyahnya: Abu Al
Haris. Wafat: 175 H. Golongan: Tabi’it-Tabi’in dari kalangan tua. Tempat
menetap: Maru. Derajatnya: menurut Ibnu Ma’in: Tsiqah, Al Madini:
Tsiqah Tsabat, Al Ajli: Tsiqah, Ibn Sa’d: Tsiqah,
7 Ubaidullah bin Umar
Nama lengkapnya: Ubaidullah bin Umar bin Hafsh bin Hasyim bin Umar
bin Khaththab. Kunyahnya: Abu Utsman. Wafat: 147 H. Golongan:
Tabi’i’in kalangan biasa. Tempat menetap: Madinah. Adz Dzahabi:
Tsiqoh, Al ‘Asqalani: Tsiqah Tsabat. Abu Hatim: Tsiqah, Abu Zur’ah:
tsiqah, An Nasa’iy: Tsiqah Tsabat. Abu Ma’in: Tsiqah.
8 Ubaidullah
Nama lengkapnya: Hisyam Muhammad bin Muslim bin Ubaidullah bin
Abdulah bin Syihab. Kunyahnya: Abu Bakar. Wafat: 124 H. Golongan:
Tabi’ittabi’in kalangan pertengahan. Tempat menetap: Madinah. Adz
Dzahabi: Tohoh, Al ‘Asqalani: Faqih, Hafizh, Mutqin.
9 Ayyub
Nama lengkapnya: Ayyub Bin Abu Tamimah Kaysan. Kunyahnya: Abu
Bakr. Wafat: 131 H. Golongan: Tabi’in dari kalangan biasa. Tempat
menetap: Bashrah. Derajatnya: Menurut Adz Dzahaby: Tsiqah. Nasa’iy:
Tsiqah Tssabat, Ibn Sa’d: Tsiqah Tssabat, Ibn Main: Imam.
10 Zuhry
Nama lengkapnya: Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidullah Bin Syihab.
Kunyahnya: Abu Bakar. Wafat: 124 H. Golongan: Tabi’it-Tabi’in dari
kalangan pertengahan. Tempat menetap: Madinah. Derajatnya: menurut
Al ‘Asqalani: Faqih, Hafizh, Mutqin, Adz Dzahabi: Tokoh,
45
11 Yahya Bin Sa'id
Nama lengkapnya: Yahya Bin Sa'id Bin Qays. Kunyahnya: Abu Sa’id.
Wafat: 144 H. Golongan: Tabi’in dari kalangan biasa. Tempat menetap:
Madinah. Derajatnya: menurut Abu Hatim: Tsiqah, Ibn Sa’d: Tsiqah
Ma’mun, Al ‘Asqalany: Tsiqah Tsabat, Adz Dzahaby: Imam, Al Ajli:
Zur’ah: Tsiqah, Tsiqah,
12 Yahya bin Sa’id
Nama lengkapnya: Yahya bin Sa’id bin Farukh. Kunyahnya: Abu Sa’id.
Wafat: 198 H. Golongan: Tabi’it Tabi’in kalangan biasa. Tempat
menetap: Bashrah. Abu Hatim: Tsiqah Hafizh, Abu Zur’ah: Tsiqah Hafizh,
Adz Dzahabi: Hafizh Kabir, Al Ajli: Tsiqah, An NAsa’iy: Tsiqah Tsabat, Al
Asqalani: Tsiqah Ma’mun, Ibn Sa’d: Tsiqah Ma’mun.
13 Yahya bin Hakim
Nama lengkapnya: Yahya bin Hakim. Kunyahnya: Abu Zkaria. Wafat:
256 H. Golongan: Tabi’ul Atba’ kalangan tua. Tempat menetap: Bashrah.
Adz Dzahabi: Hujjah, Al ‘Asqalani: Tsiqah-Hafizh, An Nasaiy: Tsiqah
Mutqin, Abu Daud: Hafizh, Ibnu Hibban: Tsiqah, Maslamah bin Qasi:
Tsiqah.
14 Sufyan bin Uyainah.
Nama lengkapnya: Sufyan bin Uyainah bin Ali Imran abu Muhammad al
Kufi. Wafat: 198 H. Guru-gurunya antara lain: Amru bin Dinar, Abdul
Malik bin Umair, Abu Ishaq al Sabi‘iy, Aswad bin Qais, Ishaq bin
Abdullah. Murid muridnya antara lain: Ibn Abi Syaibah, Zuhair bin Harb,
Ibn Juraij, al A‘masyi, Muhammad bin Idris . Derajatnya: menurut al
Madani: Tsiqah. Al ‘Ajli Kufi: Tsiqah Tsabat.
46
15 Maki bin Ibrahim
Nama lengkapnya: Maki bin Ibrahim bin Basyir bin Farqad. Kunyahnya:
Abu Sakan. Wafat: 215 H. Golongan: Tabi’in dari kalangan biasa. Tempat
menetap: Himsy. Derajatnya: menurut Abu Hatim: Terdapat kejujuran
padanya, An Nasa’iy: Laysa bihi ba’s, Daruquthni: Tsiqah Ma’mun, Al
‘Asqalany: Tsiqah Tsabat, Adz Dzahaby: Hafizh, Ibn Hibban: Tsiqah, Al
Ajli: Tsiqah,Hambal: Tsiqah,
16 Zuhair bin Harb.
Nama lengkapnya: Zuhair bin Harb bin Syaddad al Harsy. Kunyahnya:
Abu Khasyamah. Wafat: 234 H. Guru-gurunya: Sufyan bin Uyainah,
Hafas bin Ghiyas, Humaid bin Abd Rahman, Jarir bin Abdul Hamin.
Muridnya antara lain: Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah.
Derajatnya: Menurut Abu Hatim: Shaduq. Ali bin Junaid: Dapat diterima.
Ibn Main: Tsiqah.
17 Abu Bakr Abi Syaibah.
Nama lengkapnya: Abu Bakar bin Ahmad bin Abi Syaibah Ibrahim bin
usman. Wafat; 235 H. Guru-gurunya antara lain: Sufyan bin Uyainah,
Abdullah bin Idris, Ibn Mubarak, Abu bakar bin Abbas, Jarir bin Abd
Hamid. Muridnya: Imam Bukhari, Imam Muslim, Dawud, Ibn Majah.
Derajatnya: Menurut al Ajli: Tsiqah. Menurut Abu Hatim dan Ibn
Kharazh: Tsiqah.
18 Al Hasan bin Ali
Nama lengkapnya: Al Hasan bin Ali bin Muhammad. Kunyahnya: Abu Ali.
Wafat: 242 H. Golongan: Tabi’ul Atba’ kalangan pertengahan. Tempat
menetap: Marur Rawdz. Adz Dzahabi: Hujjah, Al ‘Asqalani: Tsiqah,
Hafizh, Turmudzi: Hafizh, Ibnu Hibban: Tsiqah, Ibnu Syaibah: Tsiqah. An
Nasa’iy: Tsiqah, Abu Bar Khatib: Tsiqah.
47
19 Ahmad bin Amru bin Abdullah bin Amru As Sarh
Nama lengkapnya: Ahmad bin Amru bin Abdullah bin Amru A Sarh.
Kunyahnya: Abu At Thahir. Wafat: 250 H. Golongan: Tabi’u Atba’ dari
kalangan tua. Tempat menetap: Maru. Derajatnya: menurut Ibnu
Hibban: Tsiqah, Ibnu Ma’in: Tsiqah, Abu Hatim: Laa Ba’sa bih, Al
‘Asqalany: Shiqah An Nasa’iy: Shiqah
20 Amru Bin Muhammad Bin Bukair Bin Muhammad
Nama Lengkapnya: Amru Bin Muhammad Bin Bukair Bin Muhammad.
Kunyahnya: Abu Utsman. Wafat: 232 H. Golongan: Tabi’ul Atba’
kalangan pertengahan. Tempat menetap: Baghdad. Al ‘Asqalani: Tsiqah
Hafizh wahm fi hadis. Abu Hatim Tsiqah, Adz Dzahabi: Hafizh.
21 Hisyam bin Ammar
Nama lengkapnya: Hisyam bin Ammar bin Nushoir bin Maisaroh bin
Aban. Kunyahnya: Abu Al Walid. Wafat: 245 H. Golongan: Tabi’in dari
kalangan biasa. Tempat menetap: Syam. Derajatnya: Ibnu Hibban:
Tsiqah, Ibnu Ma’in: Tsiqah, Al Ajli: Tsiqah, Adz Dzahaby: Hafizh, An
Nasa’iy: La Ba’sa bih, Abu Hatim: Kaisun, Al ‘Asqalany: Shaduq,
Daruquthni:Shaduq,
22 Imam Bukhari.
Nama lengkapnya: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al
Bukhari. Wafat: 256 H. Guru-gurunya antara lain: Ali bin Abdullah,
Ubaidillah bin Musa, Muhammad bin Abdullah al Ansari, Abi ‘Asyim an-
Nabil, Abi Mughirah. Murid-muridnya antara lain: Muslim, Tirmidzi,
Nasai, Tabrani. Derajatnya: Menurut Ahmad al Mawarzi: Ia banyak
mencari hadis, mengetahui dan menghafalnya, jadi derajatnya Tsiqah.
48
23 Imam Muslim.
Nama lengkapnya: Muslim bin Hajjaj bin Muslim al Qusyairi Abul Husain
an-Naisaburi. Wafat: 261 H. Guru-gurunya antara lain: Zuhair bin Harb,
Ibn Abi Syaibah, Ahmad bin Yunus, Ismail bin Uwais, Daud bin Amru.
Murid-muridnya antara lain: Ahmad bin salamah, Ibrahim bin Abu
Thalib, Abu Amru al Kharaf.
Derajatnya: Menurut Abi Hitam: Tsiqah, al Jarudi berkata: Ia sangat
banyak mengetahui hadis. Ibn Qasim: Tsiqah.
Selanjutnya melalui jalur Abu Daud dan Ibnu Majah, melalui tokoh yang
bernama Sufyan bin Uyainah (w. 198 H.), walaupun para komentator banyak
yang menilainya tsiqah, atau tsiqah tsabat, atau hafizh, namun nilainya kurang
shahih, karena ia dinilai hafalannya memburuk pada usia tuanya. Dan dilihat
dari perbedaan usia, tampaknya muridnya yang bernama Hisyam bin Amr (w.
245H.) dan Ahmad bin Amr bin As Sarh (w. 232 H) berguru dengannya ketika
sang guru sudah tua.
Dengan demikian, hadis dari berbagai jalur ini predikatnya hasan.
Namun demikian, melalui jalur Bukhari diketahui hadis itu semua sanadnya
shahih karena di samping bersambung sanadnya (muttashil), semua
periwayatnya tsiqah dan dhabith. Oleh karena itu sekiranya melalui jalur lain
sanadnya tidak shahih, maka jalur-jalur tersebut menjadi shahih li ghairih.
Setidaknya tidak mengurangi keshahihan sanad jalur Bukhari.
49
- Kritik Matan Hadis tentang Peminangan
Alquran menggunakan term peminangan dengan kosa kata ‘khitbah’
dalam satu ayat saja, yaitu QS. Al Baqarah ayat 235:
"Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu1 dengan sindiran2 atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf3. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. QS. Al Baqarah: 235)
Prosesi peminangan sebelum akad nikah boleh saja ada dan boleh
pula tidak ada. Bagi mereka yang melakukan peminangaan, syari’at
memperhatikan pendahuluan ini didorong oleh sebuah keinginan kuat
untuk menciptakan pernikahan di atas asas yang paling kokoh dan di atas
prinsip yang paling kuat agar tercipta sebuah tujuan yang benar dan baik,
yaitu; kelanggengan, kebahagian keluarga, damai, penuh cinta kasih,
kelembutan, ketentraman batin, serta terhindar dari perselisihan,
pertengkaran, dan keretakan rumah tangga.
1 Wanita yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah. 2 Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena meninggal suaminya, atau
karena talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah talak raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran. 3 Perkataan sindiran yang baik.
50
Bukan tempatnya pada halaman ini untuk membahas pengertian
peminangan (khitbah), hikmahnya, macam-macam khitbah, konsekwensi
setelah khitbah, kriteria perempuan yang boleh atau tidak boleh di-khitbah,
boleh tidaknya melihat perempuan yang di-khitbah, waktu dan batasan
yang boleh dilihat, pembatalan khitbah, dan lain-lain yang berkaitan
dengan khitbah. Karena hal itu tentu didasarkan atas kajian mendalam
para ulama terhadap hadis-hadis ahad.
Yang perlu diperhatikan adalah;
Pertama, peminangan (khitbah) adalah sebatas cara seorang laki-
laki mengungkapkan keinginan untuk menikah dengan seorang
perempuan tertentu dan memberitahukan keinginan tersebut kepada
perempuan dimaksud dan keluarganya (wali). Pemberitahuan tersebut
bisa dilakukan secara langsung oleh laki-laki yang hendak meminang, atau
bisa juga dengan cara memakai perantara. Jika si perempuan dimaksud
atau keluarganya (wali) setuju maka tunangan dinyatakan sah.
Kedua, peminangan (khitbah) sebagaimana halnya pendahuluan
pernikahan lainnya adalah sebuah cara bagi seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk saling mengenal, mempelajari akhlak, tabiat, dan
kecenderungan masing-masing. Akan tetapi hal itu harus dilakukan
sebatas yang diperbolehkan secara syariat, dan cukup satu kali saja.
Ketiga, ada kalanya peminangan (khitbah) dilakukan dengan
mengungkapkan perasaan cinta secara terang-terangan, seperti perkataan
seorang laki-laki yang hendak mengkhitbah, “Saya ingin menikahi si
Fulanah.” Dan ada kalanya juga dilakukan secara implisit dan indikasi. Cara
tersebut dilakukan dengan langsung berbicara kepada si perempuan
seperti, “Kamu sangat layak untuk dinikahi,” atau, “Orang yang
mendapatkanmu pasti beruntung,’ atau, “Saya sedang mencari perempuan
yang cocok sepertimu.” dan lain-lain.
51
Keempat, dan yang paling penting diperhatikan adalah bahwa
peminangan (khitbah) hanya sekedar janji untuk menikah, bukan
merupakan pernikahan itu sendiri. Karena sesungguhnya pernikahan tidak
akan terjadi melainkan dengan diselenggarakannya akan nikah yang sudah
ma’ruf. Kedua insan yang telah melakukan khitbah tetap berstatus orang
lain. Yang laki-laki tidak boleh melihat kepada si perempuan kecuali
sebatas yang diperbolehkan oleh syariat, yaitu wajah dan telapak tangan,
demikian pula sebaliknya.
Dengan demikian, bagaimana konsekuensi setelah terjadinya
peminangan (khitbah) yang status laki-laki yang meng-khitbah adalah
orang lain bagi si perempuan yang di-khitbah.
a. Bagi perempuan yang telah dipinang; bolehkah ia menerima pinangan orang
lain?, bolehkah ia membatalkan pinangan pertama karena terpikat oleh
pinangan kedua misalnya, atau bahkan sebelum pembatalan pinangan
pertama?
b. Bagaimana hukumnya, adilkah bagi seorang perempuan, jika si laki-laki
meminangya (berjanji untuk menikah dengannya), dalam waktu yang
bersamaan melakukan pinangan terhadap perempuan lain, sementara di lain
pihak, ia (perempuan yang telah dipinang) tersebut tidak bisa menerima
pinangan laki-laki lain sebelum pembatalan?
c. Bolehkah laki-laki lain melakukan pinangan, atau mengungkapkan
keinginannya untuk menikah dengannya, atau haramkah, atau makruhkah?
baik dengan pemberian yang sama, atau lebih tinggi?
d. Atau bahkan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan teknis lainnya, misalnya;
bagaimana jika ada lebih dari satu laki-laki sepakat untuk melakukan pinangan
kepada satu perempuan dalam waktu yang bersamaan dan dengan pemberian
hadiah yang sama? atau hadiah yang berbeda?, atau dijadwalkan dalam waktu
yang berbeda terlepas sebelum atau setelah pinangan pertama diterima atau
dibatalkan?
52
Dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, hendaknya hadis-hadis ahad
tentang khitbah dipahami sebagai upaya penyelarasan atau prosedur
teknis kemaslahatan bagi kedua belah pihak, bukan saja bagi laki-laki yang
meng-khitbah, tetapi juga (terutama) bagi perempuan yang di-khitbah.
Salah satu hadis yang sering dijadikan acuan dalam meminang
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary yang berbunyi:
“Telah menceritakan kepada kami [Makki bin Ibrahim], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Juraij] ia berkata, Aku mendengar [Nafi'] menceritakan bahwa [Ibnu Umar] radliallahu 'anhuma berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga ia meninggalkannya, atau pun ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama."
Hadis tersebut di atas atau hadis yang senada dengannya, jangan
sampai dipahami bahwa pinangan disamakan dengan akad jual beli,
sehingga menyamakan perempuan sebagai harta niaga atau barang
dagangan. Bukankah ada ulama fiqh yang menyamakan keduanya?. 4
Selanjutnya, berhakkah perempuan menerima beberapa pinangan
terlebih dahulu sebelum ia memilih mana yang akan benar-benar diterima
untuk dijadikan suaminya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis yang
lain, bahwa Fatimah binti Qais setelah diceraikan oleh suaminya Abu Amr
bin Hafsh bin Mughirah dan setelah selesai iddah-nya pernah di-khitbah
oleh 3 orang, yaitu Muawiyah, Abu Jahm bin Hudzafah, dan Usamah bin
Zaid. Ia datang kepada Rasulullah Saw. dan memberitahukan hal tersebut.
Rasulullah Saw. menjawab, “Abu Jahm tidak pernah meletakkan tongkatnya
dari bahunya. Adapun Muawiyah adalah orang miskin yang tidak punya
uang. Menikahlah kamu dengan Usamah bin Zaid.” 5
4 Al ‘Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam:290: Hadis tersebut
diriwayatkan oleh Imam Bukhary. Hadis senada juga diriwayatkan oleh Imam Muslim.
5 Subul as Salam, 3/129: Diriwayatkan oleh Muslim dari Fatimah bintu Qais. Ia adalah wanita Quraisy
saudarinya Adh Dhahhaq bin Qais, termasuk wanita yang pertama hijrah, cantik, memiliki keutamaan dan kesempurnaan.
53
Dalam hadis pertama jelas adanya pelarangan pinangan kedua jika
pinangan pertama telah disetujui, dan tidak mengizinkan laki-laki lain
mengajukan pinangan. Karena hal itu dapat menyakiti pihak pelaku
pinangan pertama. Akan tetapi, jika pihak laki-laki yang telah melakukan
perjanjian khitbah membatalkan atau mengizinkan orang lain untuk
melakukan pinangan kedua, maka laki-laki lain boleh mengajukan.
Akan tetapi sayang, hadis tersebut hanya mengisyaratkan pihak laki-
laki saja yang berhak melakukan pembatalan atau memberikan izin, tidak
menyebutkan apakah pihak perempuan boleh melakukan pembatalan atau
mengizinkan laki-laki lain mengajukan pinangan.
Bagaimana halnya jika pinangan (khitbah) pertama belum dijawab
atau diterima, karena hal itu masih dalam taraf dimusyawarahkan atau
dalam kondisi bimbang dan ragu-ragu. Bagaimana memahami hadis-hadis
di atas? Bolehkah atau justru makruhkah atau bahkan haramkah laki-laki
lain melakukan pinangan (khitbah) kedua? bagaimana dengan pihak
perempuan, berhakkah dalam kondisi tersebut menerima pinangan orang
lain yang diyakininya cocok untuk diterima?
Dalam hal ini, para ahli fiqh (fuqaha) terutama madzhab hanafi
menghukumi makruh dilakukan khitbah kedua dengan alasan keumuman
pengertian hadis di atas bahwa adanya pelarangan meng-khitbah
perempuan yang telah di-khitbah oleh seseorang, sebagaimana dilarang
menjual/membeli sesuatu yang telah dijual/dibeli oleh seseorang, dan
menawar sesuatu yang sudah ditawar oleh seseorang. Adapun jumhur
ulama berpendapat bahwa dalam kondisi tersebut, membolehkan laki-laki
lain melakukan peminangan (khitbah) jika pihak perempuan belum
menjawab atau menerima pinangan (khitbah) pertama, apalagi jika si laki-
laki tersebut belum atau tidak mengetahui sudah ada orang pertama yang
telah melakukan pinangan (khitbah) kepada perempuan tersebut.6
6 Wahbah Az Zuhaily, Al Fiqh al Islamy wa Adilatuh,7/ 25
54
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan pihak keluarga
perempuan, berhakkah dalam kondisi tersebut pihak perempuan yang
belum menjawab atau menerima pinangan seseorang karena masih ragu-
ragu, kemudian kemudian berusaha mencari atau memilih-milih atau
membuka diri kepada laki-laki lain untuk meminang dirinya yang
diyakininya cocok untuk diterima?. Bukankah pihak perempuan terutama
si perempuan itu sendiri adalah orang yang mau menjalani kehidupan
rumah tangganya, bukan sekedar barang yang dijual-belikan (akad).
Bagaimana memahami hadis-hadis di atas?
Walau bagaimana pun, etika Islam menganjurkan agar pihak
perempuan tidak tergesa-gesa melakukan atau menerima pinangan
(khitbah) kedua hingga usai masa keragu-raguan, kebimbangan, negosiasi,
dan musyawarah. Hal ini demi menjaga hubungan kasih sayang
(shilturrahim) antar manusia serta menjauhi timbulnya rasa permusuhan
dan kedengkian dalam hati. Tentu pula tanpa mengorbankan hak-hak
pihak perempuan terutama perempuan itu sendiri untuk mengambil
langkah-langkah yang diyakininya bermanfaat dan bermaslahat bagi
dirinya saat itu, bahkan untuk mengarungi bahtera rumah tangganya kelak
agar tidak ada penyesalan di belakangnya.
Untuk menambah wawasan penjelasan, Al Imam Al ‘Asqalani (2010;
245) mengatakan bahwa tidak sedikit ulama yang mengatakan bahwa
walaupun zhahir hadis yang pertama disebut di atas jelas menunjukkan
kepada larangan, tetapi larangan tersebut hanya menunjukkan kode etik
antar laki-laki, dan tidak menunjukkan pengertian haram. Bukankah tidak
semua larangan menunjukkan keharaman. Salah satu ulama dimaksud
adalah Al Khaththabi.
55
B. HADIS TENTANG RUKUN NIKAH: WALI
- Kritik Sanad Hadis tentang Wali
Berikut ini akan ditampilkan salah satu hadis tentang salah satu
rukun nikah yaitu adanya wali. Di dalam Sunan Ibnu Majah (No. 1872)
diriwayatkan:
ث نا ىشام بن د بن مروان العقيلي حد ث نا مم يل بن السن العتكي حد ث نا جم حدد بن سنين عن أبي ىري رة قال قال رسول الل صلى الل عليو وسلم ل ان عن مم حس
المرأة المرأة ول ت زوج المرأة ن فسها فإن الزانية ىي الت ت زوج ن فسها ت زوج “Telah menceritakan kepada kami [Jamil bin Al Hasan Al 'Ataki] berkata, telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Marwan Al 'Uqaili] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin Hassan] dari [Muhamamad bin Sirin] dari [Abu Hurairah] ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan dan tidak boleh seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri."
Nabi Saw.
Abu Hurairah ra.
Muhammad Ibn Sirin
Hisyam bin Hassan
Muhammad bin Marwan al ‘Uqaily
Jamil bin Hasan al ‘Atakiyy
Ibn Majah
1
2
3
4
5
56
1 Abu Hurairah
Nama lengkapnya: Abdurrahman Bin Shakhr. Kunyahnya: Abu Hurairah. Wafat: 57 H. Golongan: Sahabat. Tempat menetap: Madinah. Derajatnya: ‘adl.
2 Ibn Sirin
Nama lengkapnya: Muhammad Bin Sirin: Maula Anas Bin Malik. Kunyahnya: Abu Bakar. Wafat: 110 H. Golongan: Tabi’in dari kalangan pertengahan. Tempat menetap: Bashrah. Derajatnya: menurut Ibn Hibban: Hafizh, Al ‘Asqalany: Tsiqah-Tsabat, Adz Dzahaby: Tsiqah Hujjah, Ibn Sa’d: Tsiqah-Ma’mun, Ibn Ma’in: Tsiqah, Al Ajli: Tsiqah, Hambal: Tsiqah.
3 Hisyam Bin Hasan
Nama lengkapnya: Hisyam Bin Hasan. . Kunyahnya: Abu Abdullah. Wafat: 148 H. Golongan: Tabi’in yang tidak pernah bertemu sahabat. Tempat menetap: Bashrah. Derajatnya: menurut Ibn Hibban: Hafizh, Al ‘Asqalany: Tsiqah, Adz Dzahaby: hafizh, Ibn Sa’d: Tsiqah, Ibn Ma’in: Tsiqah, Al Ajli: Tsiqah, Hambal: Shalih, Abu Hatim: Shaduq,
4 Muhammad bin Marwan Al Uqaily
Nama lengkapnya: Muhammad bin Marwan bin Qudamah. Kunyahnya: Abu Bakar. Wafat: ?H. Golongan: Tabi’ul Atba; kalangan tua. Tempat menetap: Bashrah. Derajatnya: menurut Al ‘Aaqalani: Shaduq, Abu Daud: Shaduq, Ibnu Hibban: Tsiqah, Ibnu Ma’in: Shalih.
5 Jamil bin Hasan Al ‘Ataky
Jamil bin Al Hasan bin Al Jamil. Kunyahnya: Abu Al Hasan. Wafat: ?H. Golongan: Tabi’ul Atba; kalangan tua. Tempat menetap: Bashrah. Derajatnya: menurut Al ‘Aaqalani: Shaduq-Yukhthi, Ibnu Hibban: Tsiqah.
Selanjutnya, hadis melalui jalur Ibnu Majah ini melalui tokoh
periwayat no. 3 yang bernama Hisyam Bin Hasan (w. 148 H.), walaupun
para komentator banyak yang menilainya tsiqah, atau tsiqah tsabat, atau
hafizh, namun nilainya kurang shahih, karena ada yang menilainya sebagai
shaduq. Ditambah periwayat no. 4 (Muhammad bin Marwan Al Uqaily) dan
5 (Jamil bin Hasan Al ‘Ataky) juga shaduq, bahkan Ibu Hajar Al ‘Asqalani
menilainya Yukthi’ (banyak salah). Dengan demikian, hadis dari jalur ini
predikatnya hasan. Jika tidak ada hadis lain yang menguatkannya, maka
agak sulit untuk dijadikan hujjah.
57
- Kritik Matan Hadis tentang Wali
Wali adalah kerabat dekat mempelai perempuan dari kalangan para
‘ashabah (ahli waris lelakinya) bukan dari kalangan dzawi al arham (kerabat
jauh).7
Tentang perwalian, diisyaratkan oleh beberapa ayat Alquran, antara
lain QS. Al Baqarah: 230, 232, dan 234: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. ….” (QS. Al Baqarah: 230) “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah
kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila
telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. … (QS. Al Baqarah:
232).
"… Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. ... (QS. Al
Baqarah: 234)
7 Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 252.
58
QS. AL Baqarah: 232 digunakan oleh ulama jumhur selain Hanafiah
sebagai dalil bahwa nikah tidak sah jika tidak ada wali.
- Imam Syafi’iy mengatakan bahwa QS. Al Baqarah: 232 jelas
mengisyaratkan adanya wali, jika tidak, maka tidak mungkin ada
ungkapan yang menunjukkan keengganan wali “fa la Ta’dhuluhuna”
(janganlah kalian menghalangi) dalam ayat tersebut. Hal ini dikuatkan
oleh hadits:
1. “La nikaha illa bi Waliyyin (Tidak ada pernikahan tanpa wali).
Menurutnya, hal ini jelas penafyian secara hakikat oleh syariat.
Yang dikuatkan oleh hadis:
2. “Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka
nikahnya batal, batal, batal. Maka jika suami (akibat pernikahan ini)
menyetubuhinya, maka ia harus mendapatkan mahar karena telah
menghalalkan farjinya. Maka jika mereka bersitegang, maka sultan
merupakan wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”
Yang dikuatkan oleh hadis:
3. "Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan dan tidak boleh
seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya
wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.”
Ia menegaskan bahwa
- Hadis pertama menunjukkan tidak ada nikah syar’iy kecuali jika ada
wali.
- Hadis kedua menunjukkan bahwa sahnya pernikahan adalah dengan
izin wali. Tidak dapat diartikan bahwa perempuan –sebenarnya-
mampu menikahkan dirinya sendiri tanpa izin walinya.
- Hadis ketiga menunjukkan bahwa perempuan tidak memiliki hak
perwalian (walayah) di dalam pernikahan, baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi wanita lain. Perempuan tidak memiliki hak untuk ijab-
qabul.
59
Secara singkat dapat dikatakan bahwa jumhur ulama berpendapat
bahwa pernikahan tidak diakui secara sah atau bahkan tidak bisa
diselenggarakan jika melalui ungkapan (ijab-qabul) perempuan sama sekali,
untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, atau mewakili orang lain
walaupun dengan izin walinya yang laki-laki.
Namun demikian ada ulama seperti ulama Hanafiah menurut riwayat
yang jelas; Abu Hanifah dan Abu Yusuf mengatakan bahwa perempuan yang
telah baligh dan berakal boleh menikahkan dirinya sendiri atau menikahkan
puteri gadisnya yang masih kecil, dan tidak membutuhkan yang lain, dengan
syarat jika ia memandang dirinya mampu dan tanpa ada halangan. Ungkapan
mereka sebagai berikut:
“Nikah seorang perempuan yang merdeka dan baligh terselenggara (sah) dengan kerelaanya walaupun tanpa wali, gadis perawan ataupun janda, sedangkan adanya wali adalah dianjurkan dan disunnahkan saja.”
Mereka berargumen dengan 3 ayat Alquran di atas, yaitu:
- “… hingga dia menikah dengan suami yang lain…” (QS. Al Baqarah: 230),
- “… maka janganlah kamu sekalian menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya …” QS. Al Baqarah: 232), dan
- “ … Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. ... (QS. Al Baqarah: 234).
Mereka mengatakan bahwa 3 ayat Alquran tersebut dengan jelas
menunjukkan bahwa pernikahan perempuan timbul dari diri perempuan
sendiri. Mereka pun berargumen dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim:
“Janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya. Sedangkan gadis perawan dimintai persetujuannya (izin/kerelaannya), dan tanda persetujuannya adalah diamnya.”
60
Mereka memahami bahwa hadis ini telah menjadikan hak menikahkan
dirinya sendiri bagi janda, demikian juga bagi gadis perawan. Akan tetapi
melihat kebiasaan rasa malu mereka yang besar, syariat menganggap cukup
dengan meminta izinnya yang menunjukkan kerelaannya, bukan mencabut hak
menikahkan dirinya dan segala apa yang menyangkut wilayahnya.
Bagaimana jika mengambil jalan tengah, sebagaimana dilakukan oleh
Abu Stawr dari madzhab Syafiiyah bahwa pernikahan harus dengan kerelaan
perempuan dan walinya bersama-sama, tidak boleh salah satu saja. Jika kedua-
duanya setuju menjadi (sah) terselenggara pernikahan, jika salah satunya tidak
setuju maka tidak. Karena pada dasarnya seorang perempuan pun memiliki
kebebasan sempurna dalam mendayagunakan potensinya.
Cara pandang dan diskusi para ulama terhadap ayat-ayat Alquran dan
hadis-hadis Nabi tentang pernikahan, khususnya tentang adanya wali sebagai
rukun nikah sebaiknya dikaji dan dicermati lebih dalam dan dihidupkan
kembali. Bukankah dewasa ini banyak permasalahan-permasalahan dan
pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dan dicari solusinya melalui
pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi Saw. secara
komprehensif, terutama masalah pernikahan.
Antara lain; apakah hanya agama Islam yang menyelenggarakan atau
menganggap sah sebuah pernikahan, jika dan hanya jika- ijab-qabulnya
dilakukan antara laki-laki (mempelai) dan laki-laki (wali) lagi, padahal yang
menikah adalah antara laki-laki dan perempuan. Apakah perempuan masa kini,
terutama gadis perawan masih besar rasa malunya sehingga diam ketika
ditanya merupakan jawaban tanda setuju? Apakah tidak ada cara lain untuk
mengetahuinya? Ataukah memang syari’at memberikan batasan tersebut
bahwa memang harus diam ketika setuju? Jangan-jangan besar sekali hikmah
yang ada di baliknya? Wallahu A’lam.
61
C. MASKAWIN (MAHAR)
- Kritik Sanad Hadis tentang Maskawin (Mahar)
Berikut ini akan ditampilkan beberapa riwayat hadis tentang
kewajuban membayar mahar. Di antaranya:
a. Di dalam Shahin Muslim (No. 2555) diriwayatkan:
ثني يزيد بن عبد د حد ث نا إسحق بن إب راىيم أخب رن عبد العزيز بن مم حدد بن أبي عمر المكي واللفظ لو ثني مم الل بن أسامة بن الاد ح و حد
ث نا عبد د بن إب راىيم عن أبي سلمة بن عبد حد العزيز عن يزيد عن ممالرحمن أنو قال سألت عائشة زوج النب صلى الل عليو وسلم كم كان
ت صداق رسول الل صلى الل عليو وسلم ق الت كان صداقو لزواجو ثن ا قالت أتدري ما النش قال ق لت ل قالت نصف أوقية عشرة أوقية ونشفتلك خس مائة درىم ف هذا صداق رسول الل صلى الل عليو وسلم
اجو لزو Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Ibrahim]; telah mengabarkan kepada kami [Abdul Aziz bin Muhammad]; telah menceritakan kepadaku [Yazid bin Abdullah bin Usamah bin Mahdi]; Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku [Muhammad bin Abi Umar Al Makki]; sedangkan lafazhnya dari dia, telah menceritakan kepada kami [Abdul Aziz]; dari [Yazid;] dari [Muhammad bin Ibrahim]; dari [Abu Salamah bin Abdurrahman]; bahwa dia berkata; Saya pernah bertanya kepada ['Aisyah], istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Berapakah maskawin Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Dia menjawab; "Mahar beliau terhadap para istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu, berapakah satu nasy itu?" Abu Salamah berkata; Saya menjawab; "Tidak." 'Aisyah berkata; "Setengah uqiyah, jumlahnya sama dengan lima ratus dirham. Demikianlah maskawin Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk masing-masing istri beliau."
62
Hadis di atas memiliki rangkaian sanad sebagai berikut;
Nabi Saw.
Aisyah ra.
Abu Salamah bin Abdurrahaman
Muhammad bin Ibrahim
Yazid bin Abdullah
bin Usaah bin al Hady
Abdul Aziz bin Muhammad
Ishaq bin Ibrahim
Muslim
Muhammad bin Abu Umar al Makky
63
Hadis tersebut di atas memiliki 1 jalur dari periwayat no 1: sahabat
Aisyah sampai periwayat no. 5. Namun selanjutnya ada 2 tokoh yang
meriwayatkan hadis tersebut, yaitu Ishaq bin Ibrahim dan Muhammad
bin Umar Al Maky. Matan hadis di atas adalah redaksi dari Muhammad
bin Umar Al Maky.
Para periwayat di dalam hadis ini adalah sebagai berikut:
1 Aisyah
Nama lengkapnya: Aisyah Bint Abu Bakr. Kunyahnya: Ummu Abdullah.
Wafat: 58 H. Golongan: Sahabat. Tempat menetap: Madinah. Derajatnya:
‘adl.
2 Abu Salamah bin Abdurrahman
Nama lengkapnya: Abdullah bin Abdurrahman bin Auf. Kunyahnya: Abu
Salamah. Wafat: 94 H. Golongan: Tabi’in dari kalangan pertengahan.
Tempat menetap: Madinah. Derajatnya: menurut Ibn Hibban: Tsiqah,
Abu Zur’ah: Tsiqah.
3 Muhammad bin Ibrahim
Nama lengkapnya: Muhammad bin Ibrahim bin Al Harits bin Khalid.
Kunyahnya: Abu Abdullah. Wafat: 120 H. Golongan: Tabi’in yang tidak
pernah bertemu sahabat. Tempat menetap: Madinah. Derajatnya:
menurut Adz Dzahaby: mereka mentsiqahkan. Al ‘Asqalany: Tsiqah lahu
Afrad, Ibnu Syaibah: Tsiqah.
4 Yazid bin Abdullah
Nama lengkapnya: Yazid bin Abdullah bin Usamah bin Al Had.
Kunyahnya: Abu Abdullah. Wafat: 139 H. Golongan: Tabi’in kalangan
biasa. Tempat menetap: Madinah. Derajatnya: menurut Adz Dzahaby:
Tsiqah Mukatstsir, Abu Hatim: Tsiqah, Al ‘Asqalany: Tsiqah lahu Afrad,
Ibn Ma’in: Tsiqah, Ahmad bin Hanbal: Laysa bihi ba’s, Ya’qub bin Sufyan:
Tsiqah, Ibn Hibban: Tsiqah, An Nasa’iy: Tsiqah, Al Ajli: Tsiqah.
64
5 Abdul Aziz bin Muhammad
Nama lengkapnya: Abdul Aziz bin Muhammad bin Ubaid bin Abi Ubaid.
Kunyahnya: Abu Muhammad. Wafat: 187 H. Golongan: Tabi’ittabi’in
kalangan pertengahan. Tempat menetap: Madinah. Derajatnya: menurut
Abu Zur’ah: Buruk hafalan, Ibn Hibban: tsiqah, Al Ajli: Tsiqah, Ibn Ma’in:
laysa bihi ba’s.
6 a. Ishaq bin Ibrahim
Nama lengkapnya: Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad. Kunyahnya: Abu
Ya’kub. Wafat: 238 H. Golongan: Tabi’ul Atba’ kalangan tua. Tempat
menetap: Himsy. Derajatnya: menurut An Nasa’iy: Ahad al Aimmah,
Hambal: Imam, Ibn Sa’d: Tsiqah, Al Ajli: Tsiqah, Adz Dzahaby: Imam, Al
‘Asqalany: Tsiqah-Hafizh-Mujtahid, Ibnu Hibban: Tsiqah.
6 b. Muhammad bin Umar Al Maky
Nama lengkapnya: Muhammad bin yahya bin Abi Umar. Kunyahnya:
Abu Abdullah. Wafat: 243 H. Golongan: Tabi’ul Atba’ kalangan tua.
Tempat menetap: Marur Rawdz. Derajatnya: menurut Ahmad bin
Hanbal: Shalih, Ibn uyainah: Shaduq, Adz Dzahaby: Hafizh. Al ‘Asqalany:
Shaduq, Ibnu Hibban: Tsiqah, Maslamah bin Qasim: La ba’sa bih.
Selanjutnya, hadis riwayat Muslim melalui jalur ini adalah
berpredikat hasan, karena tokoh no. 6b. yang bernama Muhammad bin
Umar Al Maky (w. 243 H.) berderajat shaduq, dan tokoh no. 5 yang
bernama Abdul Aziz bin Muhammad (w. 187) hapalannya buruk,
ditambah tokoh lain jiga kurang berpredikat tsiqah, banyak yang
menulainya laysa bihi ba’s.
65
b. Di dalam Shahin Muslim (No. 2554) diriwayatkan:
ث نا ي عقوب ي عني ابن عبد الرحمن القاري عن أبي بة بن سعيد الث قفي حد ث نا ق ت ي حدث ناه ق ث نا عبد العزيز بن أبي حازم عن أبيو حازم عن سهل بن سعد ح و حد بة حد ت ي
اعدي قال جاءت امرأة إل رسول الل صلى الل عليو وسلم عن سهل بن سعد السها رسول الل صلى الل عليو ف قالت ي رسول الل جئت أىب لك ن فسي ف نظر إ لي
ا وسلم فصعد النظر فيها وصوبو ث طأطأ رسول الل صلى الل عليو وسلم رأسو ف لمئا جلست ف قام رجل من أصحابو ف قال ي رسول الل رأت المرأة أنو ل ي قض فيها شي
إن ل يكن لك بها حاجة ف زوجنيها ف قال ف هل عندك من شيء ف قال ل والل ي رسول ئا فذىب ث رج د شي ع ف قال ل والل ما الل ف قال اذىب إل أىلك فانظر ىل ت
ئا ف قال رسول الل صلى الل عليو وسلم انظر ولو خاتا من حديد فذىب وجدت شي ي قال سهل ما ث رجع ف قال ل والل ي رسول الل ول خاتا من حديد ولكن ىذا إزار
و ل لو رداء ف لها نصفو ف قال رسول الل صلى الل عليو وسلم ما تصنع بزارك إن لبست ها منو شيء وإن لبستو ل يكن عليك منو شيء فجلس الرجل حت إذا طال يكن علي
ا جاء ق ال ملسو قام ف رآه رسول الل صلى الل عليو وسلم موليا فأمر بو فدعي ف لمدىا ف قال ت قرؤىن ع ن ظهر ماذا معك من القرآن قال معي سورة كذا وسورة كذا عد
ق لبك قال ن عم قال اذىب ف قد ملكت ها با معك من القرآن ىذا حديث ابن أبي حازم ث نا حماد بن زيد ح و ث ناه خلف بن ىشام حد وحديث ي عقوب ي قاربو ف اللفظ و حد
ثنيو ث نا إسحق بن إب راىيم عن حد نة ح و حد ث نا سفيان بن عي ي ر بن حرب حد زىي ث نا حسن بن علي عن زائدة كلهم بة حد ث نا أبو بكر بن أبي شي راوردي ح و حد الد
ر أن ف عن أبي حازم عن س هل بن سعد بهذا الديث يزيد ب عضهم على ب عض غي حديث زائدة قال انطلق ف قد زوجتكها ف علمها من القرآن
66
Dan telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa'id Ats Tsaqafi] telah menceritakan kepada kami [Ya'qub yaitu Ibnu Abdirrahman Al Qari] dari [Abu Hazim] dari [Sahl bin Sa'd]. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami [Abdul Aziz bin Abi Hazim] dari [ayahnya] dari [Sahl bin Sa'd As Sa'idi] dia berkata; “Seorang wanita datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata; "Wahai Rasulullah, saya datang untuk menyerahkan diriku kepadamu." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat wanita tersebut dari atas sampai ke bawah lalu menundukkan kepalanya. Kemudian wanita tersebut duduk setelah melihat beliau tidak memberi tanggapan apa-apa, maka berdirilah salah seorang sahabatnya sambil berkata; "Wahai Rasulullah, jika anda tidak berminat dengannya, maka nikahkanlah saya dengannya." Beliau bersabda: "Adakah kamu memiliki sesuatu sebagai maskawinnya?" Jawab orang itu; "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Temuilah keluargamu, barangkali kamu mendapati sesuatu (sebagai maskawin)." Lantas dia pergi menemui keluarganya, kemudian dia kembali dan berkata; "Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cobalah kamu cari, walaupun hanya cincin dari besi." Lantas dia pergi lagi dan kembali seraya berkata; "Demi Allah wahai Rasulullah, saya tidak mendapatkan apa pun walau hanya cincin dari besi, akan tetapi, ini kain sarungku. -Kata Sahl; Dia tidak memiliki kain sarung kecuali yang dipakainya-. Ini akan kuberikan kepadanya setengahnya (sebagai maskawin) ". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apa yang dapat kamu perbuat dengan kain sarungmu? Jika kamu memakainya, dia tidak dapat memakainya, dan jika dia memakainya, kamu tidak dapat memakainya." Oleh karena itu, laki-laki tersebut duduk termenung, setelah agak lama duduk, dia berdiri, ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat dia hendak pergi, beliau menyuruh agar dia dipanggil untuk menemuinya. Tatkala dia datang, beliau bersabda: "Apakah kamu hafal sesuatu dari Al Qur'an?" Dia menjawab; "Saya hafal surat ini dan ini -sambil menyebutkannya- beliau bersabda: "Apakah kamu hafal di luar kepala?" Dia menjawab; "Ya". Beliau bersabda: "Bawalah dia, saya telah nikahkan kamu dengannya, dengan maskawin mengajarkan Al Qur'an yang kamu hafal."
Ini adalah hadits Ibnu Abi Hazim, dan hadits Ya'qub lafazhnya hampir sama dengan hadits ini.
Dan telah menceritakan kepada kami [Khalf bin Hisyam] telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Zaid]. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku [Zuhair bin Harb] telah menceritakan kepada kami [Sufyan bin 'Uyainah]. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Ibrahim] dari [Ad Darawardi]. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abi Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Husain bin Ali] dari [Za`idah] semuanya dari [Abu Hazim] dari [Sahl bin Sa'd] dengan hadits ini, sebagian yang satu menambahkan atas sebagian yang lain. Namun dalam hadits Za`idah dia menyebutkan sabda beliau; "Pergilah kepadanya, saya telah nikahkan kamu kepadanya, maka ajarilah dia surat dari Alqur'an."
67
Muslim
Zuhair bin Harb
Sufyan bin Uyainah
Khalaf bin Hisyam
Hamad bin Zaid
Qutaibah bin Sa’id Ats Tsaqafy Ishaq bin Ibrahim
Ad Darawardi
Abu Bakar bin Abi Saibah
Husain bin Ali
Zaidah
Ya’qub (Ibn Abdurrahman Al Qari)
Abdul Aziz Bin Abi Hazim
Abu Hazim
Sahl bin As Sa’id
Nabi Saw.
5 3
68
Para periwayat di dalam hadis ini adalah sebagai berikut:
1 Sahl bin Sa’d As Sa’idy
Nama lengkapnya: Sahl Bin Sa'd Bin Malik. Kunyahnya: Abu Al Abbas.
Wafat: 88 H. Golongan: Sahabat. Tempat menetap: Madinah. Derajatnya:
‘adl.
2 Abu Hazim
Nama lengkapnya: Salamah bin Dinar. Kunyahnya: Abu Hazim. Wafat:
135 H. Golongan: Tabi’in dari kalangan biasa. Tempat menetap:
Madinah. Derajatnya: menurut Ibn Hibban: Tsiqah, Ibn Ma’in: Tsiqah,
Adz Dzahaby: Imam. Al ‘Asqalany: Tsiqah ahli ibadah.
3 Sufyan bin Uyainah.
Nama lengkapnya: Sufyan bin Uyainah bin Ali Imran abu Muhammad al
Kufi. Wafat: 198 H. Guru-gurunya antara lain: Amru bin Dinar, Abdul
Malik bin Umair, Abu Ishaq al Sabi‘iy, Aswad bin Qais, Ishaq bin
Abdullah. Murid muridnya antara lain: Ibn Abi Syaibah, Zuhair bin Harb,
Ibn Juraij, al A‘masyi, Muhammad bin Idris . Derajatnya: menurut al
Madani: Tsiqah. Al ‘Ajli Kufi: Tsiqah Tsabat.
4 Hammad bin Zaid
Nama lengkapnya: Hammad Bin Zaid Bin Dirham. Kunyahnya: Abu
Ismail. Wafat: 179 H. Golongan: Tabi’ittabi’in dari kalangan
pertengahan. Tempat menetap: bashrah. Derajatnya: menurut Al
‘Asqalany: Tsiqah Tsabat Faqih, Ibn Hibban: Tsiqah, Hambal, Imam
5 Zuhair bin Harb
Nama lengkapnya: Zuhair bin Harb bin Syaddad al Harsy. Kunyahnya:
Abu Khasyamah. Wafat: 234 H. Guru-gurunya: Sufyan bin Uyainah,
Hafas bin Ghiyas, Humaid bin Abd Rahman, Jarir bin Abdul Hamin.
Muridnya antara lain: Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah.
Derajatnya: Menurut Abu Hatim: Shaduq. Ali bin Junaid: Dapat diterima.
Ibn Main: Tsiqah.
69
6 Abu Bakar bin Ahmad bin Abi Syaibah
Nama lengkapnya: Abu Bakar bin Ahmad bin Abi Syaibah Ibrahim bin
usman. Wafat; 235 H. Guru-gurunya antara lain: Sufyan bin Uyainah,
Abdullah bin Idris, Ibn Mubarak, Abu bakar bin Abbas, Jarir bin Abd
Hamid. Muridnya: Imam Bukhari, Imam Muslim, Dawud, Ibn Majah.
Derajatnya: Menurut al Ajli: Tsiqah. Menurut Abu Hatim dan Ibn
Kharazh: Tsiqah
7 Qutaibah Bin Sa'id
Nama lengkapnya: Qutaibah Bin Sa'id Bin Jamil Bin Tharib Bin Abdullah.
Kunyahnya: Abu Roja’. Wafat: 240 H. Golongan: Tabi’ul Atba’ dari
kalangan tu. Tempat menetap: Himsy. Derajatnya: menurut Abu Hatim:
Tsiqah,Al ‘Asqalany: Tsiqah Tsabat, Ibn Ma’in: Tsiqah, An Nasa’iy:
Tsiqah, Daruquthni Tsiqah, Ibn Numair Al madini: Tsiqah.
8 Ya’qub bin Abdullah Qariy
Nama lengkapnya: Ya’qub bin Abdurrahman bin Muhammad bin
Abdullah bin Abdul Qariy. Kunyahnya:?. Wafat: 181 H. Golongan:
Tabi’ittabi’in kalangan pertengahan. Tempat menetap: Maru.
Derajatnya: menurut Ibn Hibban: Tsiqah, Ibn Ma’in: Tsiqah, Hambal:
Tsiqah, Al ‘Asqalany: Tsiqah
Selanjutnya, hadis riwayat Muslim tersebut di atas melalui jalur
sanad nomor 3 dapat dinilai sebagai hadis yang berpredikat hasan,
karena tokoh yang bernama Zuhair bin Harb berderajat shaduq. Namun
demikian bisa naik menjadi shahih li ghairih, karena ada hadis melalui
jalur nomor 5 yang berderajat shahih, karena semua tokohnya berderajat
Tsiqah. Walaupun tidak disebutkan di sini, jalur sanad no 1,2, 4, dan 6
bisa saling menguatkan. Yang menguatkan berposisi sebagai hadis ‘Aly,
dan yang dikuatkan berposisi sebagai hadis Nazil.
70
- Kritik Matan Hadis tentang maskawin (Mahar)
Bukan tempatnya pada halaman ini untuk membahas pengertian
mahar, hukumnya, hikmahnya, sebab diwajibkannya laki-laki untuk
mengeluarkannya, syarat, ukuran kadar atau yang pantas dan tidak pantas
dijadikan mahar, jenis-jenis mahar, pemilik hak dalam mahar,
penerimaannya, konsekwensi yang timbul akibat menerima mahar,
mempercepat atau memperlambatnya, tambahan dan pengurangan mahar,
kapan mahar diwajibkan, kapan mahar berubah menjadi setengahnya,
kapan kewajiban mahar hilang, hukum kehilangannya, penggunaannya dan
lain-lain yang berhubungan dengannya. Karena hal itu tentu telah banyak
dilakukan oleh para ulama terutama para ahli fiqh (fuqaha) didasarkan
atas kajian mendalam terhadap ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis ahad.
Pertanyaannya adalah bagaimana menyelaraskan tuntunan dalil qath’iy
Alquran dengan tuntunan yang terdapat di dalam hadis-hadis ahad yang
ada tentang mahar.
Mahar di dalam Islam memiliki sepuluh nama, yaitu: mahr, shidaq
atau shoduqah, nihlah, ajr, faridhah, thaul, hiba, uqr, ‘alaiq, dan nikah.8
Empat yang disebut pertama di antaranya digunakan di dalam Alquran,
antara lain: QS. Al Baqarah: 236-237, QS. An Nisa: 4, 24-25, dan QS. Al
Qashash: 27, “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. …” (QS. Al Baqarah: 236). “Dan jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya,
maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, ...” (QS.
Al Baqarah: 237).
8 Wahbah Az Zuhaily, Al Fiqh al Islamy wa Adilatuh, 7/247.
71
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan.9 Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.” (QS. An Nisa: 4). “… Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu10 …” (QS. An
Nisa: 24).
“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain, 11
karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut, …”(QS. An Nisa: 25).
“Berkatalah ia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan mu
dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu
bekerja denganku 8 tahun dan jika kamu cukupkan 10 tahun, maka itu
adalah (suatu kebaikan) dari kamu ... " (QS. Al Qashash: 27)
9 Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian
itu harus dilakukan dengan ikhlas.
10 Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan.
11 Maksudnya: orang merdeka dan budak yang dikawininya itu adalah sama-sama keturunan Adam dan hawa dan sama-sama beriman.
72
Mahar sebagai suatu kewajiban atas laki-laki bukannya perempuan
selaras dengan prinsip syariat bahwa seorang perempuan sama sekali
tidak dibebani kewajiban nafkah, baik sebagai seorang ibu, anak
perempuan, atau sebagai seorang isteri. Sesungguhnya yang dibebani
kewajiban nafkah adalah laki-laki; baik berupa mahar atau nafkah wajib
lainnya. Sedangkan seorang perempuan memiliki beban berat mulai dari
mengandung (hamil), melahirkan keturunan, menyusuinya, mengasuhnya,
dan mengurus urusan rumah lainnya. Jika perempuan dibabani kewajiban
untuk memberikan mahar atau diwajibkan berusaha untuk
mendapatkannya, maka ia terpaksa menanggung beban tambahan yang
baru, bukan semakin terhormat malah justru sebaliknya harga diri dan
kehormatannya bisa menjadi terhina dalam upaya mencapainya. Alquran
telah meletakkan prinsip-prinsip pembagian tanggung jawab tersebut
dalam firman-Nya: “Laki-laki (suami) adalah pelindung bagi perempuan
(isteri), karena Allah telah melebihkan mereka (suami) atas sebagian yang
lain (isteri), dan karena mereka (suami) telah memberikan nafkah dari
hartanya.” (QS. An Nisa: 34)
Di samping terminologi mut’ah (pemberian sukarela), khalwat
(hubungan intim), dan nafaqah (biaya hidup), maka maskawin (mahar)
merupakan salah satu dari berbagai konsekwensi akan nikah yang
merupakan hak perempuan dan kewajiban suami, bukan merupakan
rukun atau syarat sahnya akad nikah.
Sesungguhnya mahar meskipun ia sebuah kewajiban di dalam akad
–akan tetapi- ia bukanlah rukun, juga bukan salah satu syarat sahnya
perkawinan. Tetapi –sekali lagi- ia adalah dampak yang diakibatkan oleh
adanya akad. Oleh karena itu, jika sebuah akad pernikahan berlangsung
dengan tanpa mahar, maka sah akad tersebut, dan si isteri wajib menerima
mahar pasca akad nikah terjadi; sebelum atau sesudah dicampuri.12
12
Wahbah Az Zuhaily, Al Fiqh al Islamy wa Adilatuh, 7/249.
73
Hal ini diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya: “Tidak ada dosa
bagimu jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu yang belum kamu sentuh
(campuri) atau belum kamu tentukan maharnya … .” (QS. Al Baqarah: 236)
Sesungguhnya menurut bunyi ayat Alquran di atas dibolehkan
terjadi perceraian sebelum dilakukan persetubuhan, dan sebelum
ditentukan (diwajibkan) mahar. Hal ini menunjukkan bahwa mahar bukan
merupakan rukun atau syarat akad pernikahan.
Bagaimana halnya dengan kandungan hadis-hadis tentang mahar.
Ada sebuah hadis riwayat Alqamah, dia berkata, “Abdullah (Ibn Mas’ud)
datang membicarakan persoalan perempuan yang dinikahi oleh seorang
laki-laki, lalu laki-laki tersebut meninggal dunia sebelum ia memberikan
mahar kepada isterinya dan sebelum menggaulinya. Dia berkata, bahwa
mereka mengadukan persoalan ini kepadanya. Maka dia menjawab: ‘Aku
berpendapat untuk perempuan itu adalah mahar seperti kerabat
perempuannya (Fa Laha Mahru Nisa’iha) dan ia juga mendapatkan warisan,
serta harus menjalani masa iddah’. Maka Ma’qil bin al Asyja’iy bersaksi
bahwa Nabi Saw. memberikan keputusan yang sama dengan keputusan Ibn
Mas’ud dalam permasalahan Barwa bintu Watsiq.”13
Atsar tersebut di atas dikuatkan dengan hadis riwayat Uqbah bin
Amir, ia berkata, “Rasulullah Saw. berkata kepada seorang laki-laki,
‘Sesungguhnya aku nikahkan kamu dengan si fulanah?’ laki-laki itu
menjawab, ‘Iya’. Lalu Rasulullah Saw. berkata kepada si perempuan, ‘Apakah
kamu rela jika aku nikahkan kamu dengan si fulan?’. Perempuan itu
menjawab, ‘Iya’. Kemudian Rasulullah Saw. menikahkan salah satu dari
keduanya kepada sahabatnya. Dan orang tersebut menggaulinya tanpa
memberikan mahar kepadanya. Tatkala perempuan tersebut meninggal
dunia, laki-laki tersebut berkata, “Rasulullah Saw. menikahkan aku dengan
13
Asy Syawkany, Nayl al Awthar, 6/172: diriwayatkan oleh 5 tokoh (Ahmad dan 4 Ashab as Sunan),
dianggap shahih oleh At Tirmidzy. Diriwayatkan pula oleh Al Hakim, Al Bayhaqy, dan Ibn Hibban, dan
dianggap shahih pula oleh Ibn Mahdy.
74
si fulanah, dan aku tidak memberikan mahar kepadanya, dan aku pun tidak
memberikan sesuatu pun kapadanya. Sesungguhnya aku telah memberikan
mahar berupa bagianku di Khaibar, lalu ia (isteriku) telah mengambil
bagiannya lalu menjualnyanya dengan seribu.”14
Sesungguhnya, atsar dan hadis di atas hanya merupakan bukti
ekspresi para sahabat terhadap ayat Alquran yang menyatakan terjadinya
akad nikah dengan tanpa mahar. Bukankah Alquran telah mengatakannya
dengan jelas bahwa perempuan yang dicerai sebelum digauli dan sebelum
ditentukan/dibayar maharnya harus mendapatkan mut’ah (pemberian
sukarela) dari mantan suaminya. Artinya adanya perceraian tersebut
menunjukkan adanya akad pernikahan yang sah.
Pertanyaan selanjutnya, jika mahar merupakan kewajiban suami
dan hak isteri, adakah ukuran minimal atau maksimalnya? Ataukah
berdasarkan suka rela di antara keduanya?, ataukah benar-benar
tergantung kepada kemampuan si calon suami? Ataukah si calon isteri
boleh menentukan harganya? Jika si calon suami mampu tentu tidak ada
masalah. Tetapi bagi yang tidak mampu haruskah merelakan batal
menikah karena tidak mampu memberikan mahar sesuai kehendak si
calon isteri. Atau bolehkah dengan melakukan suatu jasa seperti
maskawinnya Nabi Musa as. Kepada Zafira bintu Syu’aib yakni
menggembalakan kambing ayahnya selama 8 tahun (QS. Al Qashash: 28).
Apakah hak tersebut hanya hak menerimanya saja tanpa dibarengi
dengan hak menentukan kadarnya? Ataukah mahar dalam akad
pernikahan tersebut hanya merupakan formalitas belaka. Rasanya jika
menganggap mahar hanya sebagai formalitas saja jauh dari visi idealitas
Alquran dan Sunnah Rasulullah Saw.
14
Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al Hakim
75
Atau bolehkah mahar tersebut dengan hafalan surat-surat tertentu
dari Alquran atau membacanya, atau mengajarkannya sebagaimana
riwayat hadis ahad dari Sahl bin Sa'd As Sa'idi dia berkata;
“Seorang wanita datang menemui Rasulullah Saw. seraya berkata; "Wahai
Rasulallah, saya datang untuk menyerahkan diriku kepadamu." Maka
Rasulullah Saw. melihat wanita tersebut dari atas sampai ke bawah lalu
menundukkan kepalanya. Kemudian wanita tersebut duduk setelah melihat
beliau tidak memberi tanggapan apa-apa, maka berdirilah salah seorang
sahabatnya sambil berkata; "Wahai Rasulallah, jika anda tidak berminat
dengannya, maka nikahkanlah saya dengannya." Beliau bersabda: "Adakah
kamu memiliki sesuatu sebagai maskawin?" Jawab orang itu; "Tidak, demi Allah
wahai Rasulallah." Beliau bersabda: "Temuilah keluargamu, barangkali kamu
mendapati sesuatu (sebagai maskawin)." Lantas dia pergi menemui
keluarganya, kemudian dia kembali dan berkata; "Demi Allah, saya tidak
mendapatkan sesuatu pun." Maka Rasulullah Saw. bersabda: "Cobalah kamu
cari, walaupun hanya cincin dari besi." Lantas dia pergi lagi dan kembali seraya
berkata; "Demi Allah wahai Rasulallah, saya tidak mendapatkan apa pun walau
hanya cincin dari besi, akan tetapi ini kain sarungku. -Kata Sahl; Dia tidak
memiliki kain sarung kecuali yang dipakainya-. Ini akan kuberikan kepadanya
setengahnya (sebagai maskawin)". Maka Rasulullah Saw. bersabda: "Apa yang
dapat kamu perbuat dengan kain sarungmu? Jika kamu memakainya, dia tidak
dapat memakainya, dan jika dia memakainya, kamu tidak dapat memakainya."
Oleh karena itu, laki-laki tersebut duduk termenung, setelah agak lama duduk,
dia berdiri, ketika Rasulullah Saw. melihat dia hendak pergi, beliau menyuruh
agar dia dipanggil untuk menemuinya. Tatkala dia datang, beliau bersabda:
"Apakah kamu hafal sesuatu dari Alquran?" Dia menjawab; "Saya hafal surat ini
dan ini -sambil menyebutkannya- beliau bersabda: "Apakah kamu hafal di luar
kepala?" Dia menjawab; "Ya". Beliau bersabda: "Bawalah dia, saya telah
nikahkan kamu dengannya, dengan maskawin mengajarkan Alquran yang
kamu hafal."
76
Jika melihat hadis ahad di atas, tentu tidak masalah jika si calon
isteri menerimanya dan harga diri serta kehormatannya tidak merasa
terganggu. Dan apakah hal ini selaras dengan isyarat-isyarat Alquran
tentang maskawin?. Oleh karena itu wajar kiranya jika beberapa madzhab
atau ulama fiqh (fuqaha) berbeda pendapat tentang boleh tidaknya bacaan
atau hafalan Alquran sebagai maskawin. Dan hal ini tidak berarti para
fuqaha menolak hadis-hadis semacam ini.
Bandingkan pula dengan hadis ahad yang lain yang menggambarkan
bahwa Rasulullah Saw. senantiasa memberikan maskawin berupa harta
kepada setiap isterinya dengan standar yang layak; layak bagi dirinya
sebagai panutan dan teladan, dan layak bagi posisi, status sosial, dan
kehormatan isteri-isterinya. Tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa
beliau memberikan maskawin berupa hafalan atau bacaan Alquran
walaupun tentu beliau paling hafal dan paling fasih terhadapnya.
Perhatikan hadis yang diriwayatkan oleh Musli (No. 2555) dari Abu
Salamah bin Abdurrahman bahwa dia berkata; Saya pernah bertanya
kepada 'Aisyah, istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Berapakah
maskawin Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Dia menjawab; "Mahar
beliau terhadap para istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy.
Tahukah kamu, berapakah satu nasy itu?" Abu Salamah berkata; Saya
menjawab; "Tidak." 'Aisyah berkata; "Setengah uqiyah, jumlahnya sama
dengan lima ratus dirham. Demikianlah maskawin Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam untuk masing-masing istri beliau."
Walhasil, apa yang dinyatakan di dalam Alquran dan apa yang
dicontohkan oleh diri Rasulullah Saw. sendiri ketika memberikan mahar
kepada para isterinya senantiasa sesuai dengan cara beliau menjaga dan
menjunjung tinggi hak-hak perempuan baik berupa materi maupun
kehormatan.
77
D. HADIS TENTANG HUBUNGAN SUAMI ISTERI
- Kritik Sanad Hadis tentang Hubungan Intim
Berikut ini akan ditampilkan beberapa riwayat hadis tentang salah
satu rukun nikah yaitu adanya wali. Di antaranya:
Di dalam Shahin Bukhari (No. 4794) diriwayatkan:
ث نا ابن أبي عدي عن شعبة عن سليمان عن ار حد د بن بش ث نا مم أبي حازم عن حدو إل أبي ىري رة رضي الل عنو عن النب صلى الل عليو وسلم قال إذا دعا الرجل امرأت
ها الملئكة حت تصبح يء لعن ت فراشو فأبت أن ت“Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basysyar] Telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu Adi] dari [Syu'bah] dari [Sulaiman] dari [Abu Hazim] dari [Abu Hurairah] radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jika seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, lalu ia enggan untuk memenuhi ajakan suaminya, maka ia akan dilaknat Malaikat hingga pagi”.
Al Bukhariy
Ibnu Abu Adi
Muhammad bin Basysyar
Syu'bah
Sulaiman
Nabi Saw.
Abu Hurairah ra.
Abu Hazim
78
1 Abu Hurairah
Nama lengkapnya: Abdurrahman Bin Shakhr. Kunyahnya: Abu Hurairah. Wafat: 57 H. Golongan: Sahabat. Tempat menetap: Madinah. Derajatnya: ‘adl.
2 Abu Hazim
Nama lengkapnya: Salamah bin Dinar. Kunyahnya: Abu Hazim. Wafat: 135 H. Golongan: Tabi’in dari kalangan biasa. Tempat menetap: Madinah. Derajatnya: menurut Ibn Hibban: Tsiqah, Ibn Ma’in: Tsiqah, Adz Dzahaby: Imam. Al ‘Asqalany: Tsiqah ahli ibadah.
3 Sulaimanbin Mihran
Nama lengkapnya: Sulaimanbin Mihran. Kunyahnya: Abu Muhamad. Wafat: 147 H. Golongan: Tabi’in kalangan biasa. Tempat menetap: Kufah. Derajatnya: menurut Abu Hatim: Tsiqah, Ibn Hibban: Tsiqah, Ibnu Ma’in:: Tsiqah, An Nasa’iy: Tsiqah Tsabat, Al ‘Asqalany: Yudallis, Ajli: Tsiqah Tsabat,
4 Syu’bah
Nama lengkapnya: Syu’bah bin Al Hajjaj bin Al Warad. . Kunyahnya: Abu Bistham. Wafat: 160 H. Golongan: Tabi’uttabi’in kalangan tua. Tempat menetap: Bashrah. Derajatnya: menurut Ibnu Sa’d: Tsiqah Ma’mun, Adz Dzahaby: Tsabat-hujjah, An Nasa’iy: Tsiqah, Al ‘Asqalany: Tsiqah-Hafizh. Atsauri: Amirulmu’minin fi al Hadits, Al ajli: Tsiqah Tsabat Abu Daud: Tidak ada yang lebih baik dari pada hadisnya
5 Ibnu Abi Adiy
Nama lengkapnya: Muhammad Bin Ibrahim Bin Abi Adiy. Kunyahnya: Abu Amru. Wafat: 194 H. Golongan: Tabi’uttabi’in kalangan biasa Tempat menetap: Bashrah. Derajatnya: menurut Abu Hatim: Tsiqah, Ibn Hibban: Tsiqah, Adz Dzahaby: Tsiqah, An Nasa’iy: Tsiqah, Al ‘Asqalany: Tsiqah.
6 Muhammad bin Basyar
Nama lengkapnya: Muhammad Bin Basyar Bin 'Utsman. Kunyahnya: Abu Bakar. Wafat: 252 H. Golongan: Tabi’ul Atba’ dari kalangan tua. Tempat menetap: Bashrah. Derajatnya: menurut Abu Hatim: Shaduq, Ibn Hibban: Tsiqah, Adz Dzahaby: Hafizh, An Nasa’iy: La Ba’sa bih, Al ‘Asqalany: Tsiqah.
7 Imam Bukhari.
Nama lengkapnya: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al Bukhari. Wafat: 256 H. Guru-gurunya antara lain: Ali bin Abdullah, Ubaidillah bin Musa, Muhammad bin Abdullah al Ansari, Abi ‘Asyim an-Nabil, Abi Mughirah. Murid-muridnya antara lain: Muslim, Tirmidzi, Nasai, Tabrani. Derajatnya: Menurut Ahmad al Mawarzi: Ia banyak mencari hadis, mengetahui dan menghafalnya, jadi derajatnya Tsiqah.
Selanjutnya, hadis riwayat Bukhari melalui jalur ini adalah
berpredikat hasan, karena tokoh no. 3. yang bernama Sulaimanbin Mihran
berderajat yudallis, ditambah tokoh lain juga kurang berpredikat tsiqah,
banyak yang menilainya laysa bihi ba’s. Muhammad bin Basyar
79
- Kritik Matan Hadis tentang Hubungan Intim
Sesuai dengan firman Allah Swt. Yang artinya: “Dan para wanita
(isteri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228). Ada yang menafsirkan bahwa hak
isteri adalah mahar dan nafkah, sedangkan kewajibannya adalah taat
kepada suaminya dan menjaga aibnya. Lalu, apakah nafkah batin –dalam
istilah sebagian orang Indonesia- yang antara lain berhubungan intim
merupakan hak bagi seorang isteri sehingga boleh meminta kepada
suaminya, atau kewajibannya semata. Dan sebaliknya apakah hubungan
intim tersebut merupakan hak semata bagi seorang suami atau juga
merupakan kewajibannya.
Sebelum mengkaji hal tersebut di atas berdasarkan hadis yang ada
yang menjelaskan tentang hubungan intim, baik kiranya dibahas terlebih
dahulu isyarat-isyarat Alquran tentang hubungan suami isteri secara
umum. Alquran menjelaskan.
1. “Wa ‘Asyiruhuna bi al Ma’ruf (dan pergaulilah oleh kalian wahai para
suami dengan mereka/para isteri secara patut).” (QS. An Nisa: 19)
Dari potongan ayat di atas saja sudah didapat isyarat bahwa pergaulan
antara suami-isteri yang patut tersebut sebaiknya dipahami memiliki
makna saling berinteraksi, saling bergaul. Bukan satu pihak saja
kewajiban suami yang menjadi hak isterinya atau sebaliknya. Karena
redaksi Alquran menggunakan kosa kata Mu’asyaroh bi al Ma’ruf yang
memiliki makna resiprok (musyarokah); yang berarti hubungan timbal
balik atau makna saling antara du pihak. Sehingga ayat tersebut dapat
dimaknai’ hendaknya suami dan isteri saling mempergauli secara patut,
adapun hak dan kewajiannya menjadi seimbang.
2. “Huna Libasun Lakum wa Antum Libasun Lahuna (mereka/para isteri
adalah pakaian bagi kalian/para suami, dan kalian adalah pakaian bagi
mereka).” (QS. )
80
Potongan ayat ini pun jelas mengisyaratkan hal yang seimbang,
sangat seimbang. Isteri adalah laksana pakaian bagi suami, demikian pula
suami adalah ibarat pakaian bagi isteri. Keduanya sejatinya dapat saling
menghangatkan badan atau suasana, saling menutupi ‘aib atau
kekurangan, dan saling menghiasi dan mempercantik, persis laksana
pakaian.
Dari dua ayat ini saja sudah dapat diketahui bahwa pada dasarnya
pergaulan suami isteri, interaksi, cara berkomunikasi, dan lain-lain di luar
pembagian tugas qadrati yang sudah ditentukan dengan tegas oleh Alquran
adalah menjadi hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Dengan adanya ikatan pernikahan yang sah akan menimbulkan
akibat hukum, dan selanjutnya terbentuk pula pembagian hak dan
kewajiban. Berkaitan dengan hak dan kewajiban setidaknya terbagi
menjadi tiga kemungkinan, yaitu: a. ada yang berupa kewajiban isteri yang
menjadi hak suami; b. ada yang berupa kewajiban suami yang menjadi hak
isteri; dan c. ada yang berupa hak dan kewajiban bersama.
Hubungan intim suami isteri sebaiknya dipahami sebagai hak dan
kewajiban poin c, yakni hak dan kewajiban bersama. Hubugan intim
merupakan kebutuhan bersama yang dihalalkan secara timbal balik. Bagi
suami halal bertindak kepada isterinya, sebagaimana isteri kepada
suaminya. Hubungan intim adalah hak bagi kedua belah pihak, dan tidak
boleh dilakukan kalau tidak bersama-sama, sebagaimana tidak dapat
dilakukan secara sepihak saja.
Para fuqaha dan imam madzhab pun telah sejak lama berpikir
tentang status hubungan intim tersebut, antara lain sebagai berikut:
Ulama hanafiah berpendapat bahwa seorang isteri boleh meminta
kepada suaminya untuk berhubungan intim, karena kehalalan suami bagi
seorang isteri merupakan hak baginya. Sebagaimana sebaliknya, apabila
seorang isteri meminta berhubungan intim maka suami berkewajiban
memenuhinya.
81
Ulama Malikiah berpendapat bahwa berhubungan intim merupakan
kewajiban bagi seorang suami atas isterinya jika tidak ada suatu halangan.
Ulama Hanabilah berpendapat diwajibkan atas seorang suami untuk
menggauli isterinya di setiap empat bulan sekali jika tidak ada halangan.
Karena jika jimak (berhubungan intim) minimal setiap empat bulan sekali
tidak diwajibkan, maka tidak akan ada hukum yamin al Ila (Sumpah dalam
kasus ILA). Di samping itu dikarenakan pernikahan merupakan syariat
Islam untuk kemaslahatan suami isteri dan mencegah bahaya syahwat dari
keduanya, bagi suami maupun isteri. Dengan demikian hubungan intim
menjadi hak bagi keduanya. Sebab seandainya isteri tidak berhak untuk
berhubungan intim maka tidaklah wajib seorang suami meminta izin
kepada isterinya ketika hendak melakukan ‘azl (ejakulasi di luar vagina).
Ulama Syafi’iah mengatakan, seorang suami tidak wajib melakukan
hubungan intim, kecuali satu kali, karena hal itu merupakan haknya. Dia
pun dibolehkan untuk meninggalkan haknya tersebut, seperti halnya
menepati rumah sewaan. Demikian juga karena factor pendorong untuk
melakukan hubungan intim adalah syahwat dan kasih saying, maka tidak
mungkin untuk melakukan hal itu. Akan tetapi sangat dianjurkan agar
seorang suami tidak mengekang syahwat dan kecintaannya sama sekali.
Kalimat menempati rumah sewaan dari Ulama Syafi’iah
mengimplikasikan banyak makna yang berhubungan dengan kewajiban
suami memberikan nafkah kepada isteri sebagaimana penyewa boleh
tinggal di rumah sewaan jika membayar sewaannya, jika tidak maka
pemilik rumah berhak mengeluarkannya kecuali jika diizinkan.
Dengan demikian, jika hubungan intim dipahami sebagai kebutuhan
bersama suami isteri dan menjadi hak bagi keduanya, bagaimana
seseorang dicela ketika tidak menggunakan haknya. Artinya, ketika suami
boleh tidak menggunakan haknya untuk berhubungan intim, demikian
pula isteri, sebagaimana suami boleh meminta kepada isterinya untuk
82
melayaninya, maka isteri pun boleh meminta kepada suaminya. Dalam hal
ini kedua belah pihak mesti memahami dan mendukung pemenuhan hak
tersebut. Dan seterusnya.
Demikian halnya dengan penolakan berhubungan intim oleh salah
satu pihak, jika alasannya cukup kuat dan dibenarkan oleh syariat untuk
tidak mendukung pemenuhan hak tersebut maka tidak mengapa, baik dari
pihak suami maupun isteri. Sekarang mari kita lihat hadis yang berkaitan
dengan tema tersebut.
Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary
(No. 4794) sebagai berikut: “
Dari [Abu Hurairah] radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jika seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, lalu ia enggan untuk memenuhi ajakan suaminya, maka ia akan dilaknat Malaikat hingga pagi."
Dalam redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Muslim:
“… maka yang di langit murka kepada sang isteri sampai sang suami memaafkannya.”
Hadis-hadis tersebut di atas menjelaskan bahwa sang isteri wajib
memenuhi ajakan suaminya jika diajak berhubungan intim. Jika tidak maka
yang di langit atau malaikat akan melaknatnya sampai pagi atau sampai
suami memaafkannya. Hadis tersebut sangat umum, tanpa menjelaskan
situasi dan kondisi pasangan suami-isteri, sehingga seolah-olah dalam
keadaan apapun isteri tidak boleh menolak ajakan suaminya.
Bandingkan dengan hadis di bawah ini yang menginformasikan
bahwa Rasulullah Saw. sangat mengapresiasi keinginan seorang isteri yang
bernama Habibah bintu Sahl untuk meminta cerai (khulu’) kepada
suaminya yang benama Tsabit bin Qais, padahal antara dirinya dan
suaminya tidak terjadi apa-apa dalam hal rumah tangganya. Bahkan ia
mengatakan bahwa ia tidak membenci suaminya dan akhlak atau agama
suaminya pun termasuk baik baik. Secara kehidupan ekonomi pun
83
tergambar bahwa ia diberi mahar (shidak) oleh suaminya 2 kebun yang
cukup luas. Rasulullah pun memerintahkan suaminya (Tsabit bin Qais)
untuk menceraikannya melalui khulu’ (permintaan cerai dari isterinya
(Habibah bintu Sahl) dengan kewajiban sang isteri untuk membayar
‘iwadh (mengembalikan 2 kebun tersebut). Hadis dimaksud di antaranya
hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari (no. 4869) sebagai berikut:
“Dari [Ibnu Abbas] ra., ia berkata; Suatu ketika, isteri Tsabit bin Qais
bin Syammas kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata,
"Wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela Tsabit atas agama atau pun
akhlaknya, akan tetapi aku khawatirkan akan terjerumus dalam
kekufuran." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Kalau begitu, kembalikanlah kebun miliknya." Ia berkata, "Ya."
Maka ia pun mengembalikan kebun itu pada Tsabit, sehingga Tsabit
meninggalkan wanita itu.
Bagaimana halnya dengan sekedar penolakan seorang isteri
terhadap ajakan suaminya untuk melakukan hubungan intim?, benarkah ia
akan dilaknat oleh malaikat sampai pagi? Bukankah hubungan intim
tersebut bukan hanya merupakan hak dan kewajiban salah satu pihak,
akan tetapi merupakan kebutuhan bersama yang harus dilakukan bersama
atas perasaan cinta kasih bersama sebagaimana dijelaskan sebelumnya?.
Apakah hubungan intim hanya dilakukan pada malam hari?
Bagaimana jika dilakukan pada siang hari, apakah malaikat pun akan
melaknat hingga malam datang, jika isteri menolak ajakan suami?
Bagaimana jika suami yang menolak ajakan isteri? Apakah malaikat juga
melaknat sang suami?
Namun demikian, hadis-hadis yang bernada seperti itu sebaiknya
disikapi dengan pendekatan moral, bukan pendekatan hukum. Bukankah
masih banyak cara untuk memadukan kandungan makna dalam hadis-
hadis di atas.
84
Di samping melalui konsep al jam’u (memadukan), at Tarjih
(melihat mana yang prioritas), an Naskh (melihat mana yang menghapus
dan dihapus), salah satunya melalui sebuah disiplin ilmu yang bernama
ilmu mukhtalif al Hadits (yang dipelopori oleh Imam Asy Syafi’iy, Ibnu
Qutaibah Ad Dainury dengan kitabnya Ta’wilu Mukhtalif al Hadits, Ath
Thahawy dengan kitabnya Musykilu al Atsar, dan Ibnu Furak dengan
kitabnya Musykil al Hadits wa Bayanuh).15 Melalui konsep talfiq al hadits
dalam disiplin ilmu tersebut kita bisa mengamalkan dua hadis yang
kelihatannya secara makna saling bertolak belakang.
Hadis tentang laknat malaikat bagi isteri yang menolak ajakan
suaminya untuk berhubungan intim sebaiknya dikaji kapan dan kepada
siapa Rasulullah Saw. berkata seperti itu Salah satu ilmu yang berguna
untuk mengetahui hal tersebut adalah: Asbab al wurud Ilmu Tawarukh Al
Mutun yang dipelopori oleh Sirojuddin Abu Hafs ‘Ammar bin Salar Al
Bulqiniy degan kitabnya Mahasin al Ishthilah atau ahwal al wurud, atau. 16
Hal tersebut penting agar diketahui apakah bersifat muthlaq (absolut) atau
muqayyad (nisbi), ‘aam (umum) atau takhshish (khusus), dan bagaimana
hubungannya dengan hadis-hadis lain atau ayat-ayat Alquran yang sama-
sama menjelaskan tentang hubungan intim suami isteri sebagaimana
dijelaskan di atas. Sehingga kita bisa tetap menjaga, melestarikan, dan
mengamalkan sunnah Rasulullah Saw. dan firman-firman Allah secara utuh
tanpa mengabaikan sebagiannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan
kita kepada syariat. Wallahu A’lam.
15
Ajjaj: Ushul al Hadits, 289 16
Fathurrahman: Ikhtisar Musthalah Hadits: 296-290
85
E. AZL
- Sanad Hadis tentang ‘Azl
Berikut ini akan ditampilkan beberapa riwayat hadis tentang salah
satu rukun nikah yaitu adanya wali. Di antaranya:
Di dalam Shahin Muslim (No. 2613) diriwayatkan:
ث نا سعيد بن ث نا المقرئ حد د بن أبي عمر قال حد ث نا عب يد الل بن سعيد ومم أبي أيوب حداشة قالت حض ثني أبو السود عن عروة عن عائشة عن جدامة بنت وىب أخت عك رت حد
ظرت ف رسول الل صلى الل عليو وسلم ف أنس وىو ي قول لقد همت أن أن هى عن الغيلة ف ن ئا ث سألو ه عن العزل ف قال الروم وفارس فإذا ىم يغيلون أولدىم فل يضر أولدىم ذلك شي
عليو وسلم ذلك الوأد الفيز, زاد عب يد الل ف حديثو عن ال مقرئ وىي )وإذا رسول الل صلى الل الموءودة سئلت(
ث ن بة حد ث ناه أبو بكر بن أبي شي د بن عبد وحد ث نا ين بن أيوب عن مم ا ين بن إسحق حدعت الرحمن بن ن وفل القرشي عن عروة عن عائشة عن جدامة بنت وىب السدية أن ها قال ت س
ر أنو رسول الل صلى الل ع ليو وسلم فذكر بثل حديث سعيد بن أبي أيوب ف العزل والغيلة غي قال الغيال.
“Telah menceritakan kepada kami [Ubaidullah bin Sa'id] dan [Muhammad bin Abu Umar] keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami [Al Muqri`] telah menceritakan kepada kami [Sa'id bin Abu Ayyub] telah menceritakan kepadaku [Abu Al Aswad] dari [Urwah] dari [Aisyah] dari [Judamah binti Wahb] saudarinya Ukasyah, dia berkata; Saya hadir waktu Rasulullah bersama orang-orang, sedangkan beliau bersabda: "Sungguh saya bertekad untuk melarang ghilah, setelah saya perhatikan orang-orang Romawi dan Persia, mereka melakukan ghilah, ternyata hal itu tidak membahayakan anak-anak mereka sedikit pun." Kemudian mereka bertanya mengenai azl, Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Itu adalah pembunuhan secara tidak langsung." [Ubaidullah] menambahkan dalam haditsnya dari [Al Muqri`] yaitu Firman Allah: "Jika bayi-bayi yang dibunuh ditanya."
Dan telah menceritakan kepada kami [Abu bakar bin Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Ishaq] telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Ayyub] dari [Muhammad bin Abdurrahman bin Naufal Al Qurasyi] dari [Urwah] dari [Aisyah] dari [Judamah binti Wahb Al Asadiyyah] bahwa dia berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian dia menyebutkan seperti hadits Sa'id bin Ayyub tentang azl dan ghilah, namun dia menggunakan kata Al Ghiyal.
86
Skema Sanad Hadis tentang ‘Azl
Muslim
Nabi Saw.
Judamah bint Wahb
Aisyah ra.
Urwah
Abu al Aswad Muhammad bin Abdurrahman bin Naufal Al Qurasyi
Sa‟id bin Abu Ayyub Yahya bin Abu Ayyub
Yahya bin Ishaq
Abu Bakar bin Abu Syaibah Muhammad bin Abu Umar Ubaidullah bin Sa’id
Al Muqri
1 3 2
87
Para periwayat hadis tersebut di atas pada Jalur sanad nomor 1
adalah sebagai berikut:
1 Judamah bintu Wahab
Nama lengkapnya: Judamah bintu Wahab. Kunyahnya: -. Wafat: - H. Golongan: Sahabat. Tempat menetap: Madinah. Derajatnya:’udul
2 Aisyah
Nama lengkapnya: Aisyah Bint Abu Bakr. Kunyahnya: Ummu Abdullah. Wafat: 58 H. Gol.: Sahabat. Tempat menetap: Madinah. Derajatnya: ‘adl.
3 Urwah
Nama lengkapnya: Urwah bin Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Aziz bin Qi. Kunyahnya: Abu Abdullah. Wafat; 93 H. Golongan: Tabi’in dari kalangan pertengahan. tempat menetap: Madinah. Guru-gurunya antara lain: Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Ibn Mubarak, Abu bakar bin Abbas, Jarir bin Abd Hamid. Muridnya: Imam Bukhari, Imam Muslim, Dawud, Ibn Majah.
Derajatnya: Menurut Al ‘Atsqalani: siqah, al Ajli: Tsiqah. Ibnu Hibban: Tsiqah, Abu Hatim dan Ibn Kharazh: Tsiqah.
4 Abu Al Aswad
Nama lengkapnya: Muhammad bin Abdurrahman bin naufal bin Al Aswad. Kunyahnya: Abu Al Aswad. Wafat: 131 H. Golongan: Tabi’ittabi’in kalangan tua. Tempat menetap: Mandinah. Derajatnya: menurut Abu Hatim: Tsiqah, Ibn Hibban: Tsiqah, An Nasa’iy: Tsiqah, Al ‘Asqalany: Tsiqah.
5 Sa’id bin Abu Ayyub
Nama lengkapnya: Sa’id bin Miqlash Abu Ayyub. Wafat; 161 H. Tempat menetap: Maru. Kunyahnya: Abu Yahya. Menurut : Abu Hatim: La ba’sa bih, Ahmad bin Hnbal : La ba’sa bih, Yahya bin Mu’in: Tsiqah, Muhammad bin Sa’d: Tsiqah Tsabat.
6 Al Muqri
Nama lengkapnya: Abdullah bin Yazid, Maula Al aswad bin Sufyan. Wafat; 148 H. Kunyah: Abu Abdurrahman, Tempat menetap: Madinah. Derajat: menurut Abu Hatim: Tsiqah, Ahmad bin Hanbal: Tsiqah, An Nasa’iy: Tsiqah: Yahya bin Mu’in: Tsiqah.
7 Ubaidullah bin Sa’id
Nama lengkapnya: Ubaidullah bin Sa’id bin Yahya. Kunyahnya: Abu Qudamah. Wafat: 241 H. Golongan: Tabi’in kalangan biasa. Tempat menetap: Himsy. Derajatnya: menurut Abu Hatim: Tsiqah, Ibn Hibban: Tsiqah, Abu Daud: Tsiqah Tsabat, Al ‘Asqalany: Tsiqah Ma’mun.
88
- Kritik Matan Hadis tentang ‘Azl
‘Azl adalah mengeluarkan sperma di luar vagina. Termasuk
interaksi yang baik adalah tidak melakukan ‘azl dari isteri merdeka kecuali
dengan izin isterinya tersebut.17
Salah satu hadis tentang ‘azl adalah apa yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari Aisyah dari Judamah binti Wahb saudarinya Ukasyah,
dia berkata; Saya hadir waktu Rasulullah bersama orang-orang, sedangkan
beliau bersabda: "Sungguh saya bertekad untuk melarang ghilah, setelah
saya perhatikan orang-orang Romawi dan Persia, mereka melakukan ghilah,
ternyata hal itu tidak membahayakan anak-anak mereka sedikit pun."
Kemudian mereka bertanya mengenai ‘azl, maka Rasulullah Saw. menjawab:
"Itu adalah al Wa’d (Anak/bayi dikubur hidup-hidup) secara tidak
langsung." Ubaidullah menambahkan dalam hadisnya dari Al Muqri` yaitu
Firman Allah: "wa Idza al Maw’udatu Suilat (Jika bayi-bayi yang dikubur
hidup-hidup ditanya)."
Hadis di atas, di samping menjelaskan bolehnya melakukan ghilah
(berhubungan dengan isteri saat sedang menyusui) karena hal itu tidak
membahayakan anak, sebagaimana halnya ia masih menyusui lalu hamil
lagi, juga menjelaskan tentang larangan Rasulullah Saw. terhadap prilaku
‘azl (ejakulasi di luar vagina). Akan tetapi hadis tersebut sangat
bertentangan dengan hadis-hadis lain di bawah ini yang sama-sama
menjelaskan tentang ‘azl, yaitu:
1. Dari Abu Sa’id al Khudry ia berkata, “Pernah ada seorang laki-laki
bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai seorang
budak perempuan dan aku biasa melakukan ‘azl saat berhubungan
dengannya, karena aku khawatir ia akan hamil. Sedangkan aku adalah
seorang lelaki yang menginginkan hal yang sama seperti lelaki lainnya.
namun orang-orang Yahudi mengatakan bahwa perbuatan ‘azl sama
17
Wahbah Az Zuhaily, Al Fiqh al Islamy wa Adilatuh, Juz 7, h. 247, 2010, Dar al Fikr , Damaskus, Libanon.
89
dengan pembunuhan kecil terhadap bayi”. Beliau menjawab, “Orang-
orang Yahudi telah berdusta, seandainya Allah berkehendak
menciptakannya, tentulah kamu tidak dapat menghindar darinya.”18
2. Dari Jabir ra, ia mengatakan, “Dahulu di masa Rasulullah Saw. kami
sering melakukan ‘azl sedangkan Alquran senantiasa diturunkan.
Seandainya ‘azl sesuatu yang dilarang tentulah Alquran melarang kami
melakukannya.”19 Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan, “Ketika
hal tersebut sampai kepada Nabi Saw. maka beliau tidak melarang kami
melakukannya.”
Makna dan kandungan kedua hadis terakhir menjelaskan bahwa
prilaku ‘Azl (ejakulasi di luar vagina) diperbolehkan dan tidak diharamkan.
Hal tersebut pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan beliau tidak
melarangnya, serta tidak ada satu ayat pun dari Alquran yang
menyebutkan keharamannya. Oleh karena itu, tidak ada alas an bagi yang
mengharamkannya, atau bahkan menganggapnya sebagai al Mau’udah
(pembunuhan kecil terhadap bayi secara hidup-hidup).
Sehubungan dengan hal tersebut, Imam Ahmad dan Al Bazzar
menyampaikan sebuah hadis dari Anas bin Malik ra. yang dinilai shahih
oleh Ibnu Majah, “Bahwa pernah ada seorang lelaki bertanya kepada Nabi
Saw. tentang ‘azl, maka beliau menjawab, ‘Seandainya sperma yang
ditakdirkan dapat menjadi anak engkau tumpahkan ke atas sebuah batu
besar, tentulah Allah Swt. akan menjadikan seorang anak melalui hal
tersebut.”20
18
Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 289. Hadis diriwayatkan
oleh Ahmad dan Abu Daud (teksnya dari Abu Daud), An Nasa‟iy, dan Ath Thahawy, semua perawinya
berpredikat shahih.
19 Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 290: Hadis Muttafaq
„alaih.
20 Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 290.
90
Hadis ini dan dua hadis sebelumnya menunjukkan kebolehan
melakukan ‘azl, sedangkan mengenai hadis-hadis lain yang melarangnya
seperti hadis yang disebutkan pertama menunjukkan pengertian bahwa
prilaku ‘azl adalah perbuatan yang dimakruhkan.
Wajar kiranya jika para ulama fiqh sepakat bahwa melakukan ‘azl
hukumnya makruh dengan alasan hubungan intim merupakan sebab untuk
mendapatkan anak. Sedangkan isteri mempunyai hak untuk mendapatkan
anak. Dengan dilakukannya ‘azl kesempatan mendapatkan anak menjadi
sirna.21
Kalangan mutakhkhirin dari ulama Hanafiyah berkata, “Ada
beberapa sebab seseorang boleh melakukan ‘azl tanpa izin dari isteri.
Antara lain:
1 Ketika dalam perjalanan jauh, sehingga dikhawatirkan akan
keselamatan anak,
2 Di dalam area peperangan, sehingga dikhawatirkan akan
keselamatan anak,
3 Karena si isteri berakhlak buruk sehingga sang suami ingin
menceraikannya, dan itu dilakukan karena dikhawatirkan terjadi
kehamilan.22 -
21
Al Bada’i’: 2/234, Ad Dur al Mukhtar wa Rad al Mukhtar:: 2/551, Al Qawanin al Fiqhiyah: 212, Al
Muhadzab: 2/66, Takmilatul Majmu’: 15/578, dan Kasyf al Qina: 5/214.
22 Ad Dur al Mukhtar wa Rad al Mukhtar: 2/552
91
F. Hadis tentang Poligami
Sanad Hadis tentang Poligami
Berikut ini akan ditampilkan beberapa riwayat hadis tentang salah
satu rukun nikah yaitu adanya wali. Di antaranya:
Di dalam Shahin Bukhari (No. 4813) diriwayatkan:
ث نا أيوب وخالد ث نا أبو أسامة عن سفيان حد ث نا يوسف بن راشد حد حدنة إذا ت زوج الرجل البكر على الث يب عن أبي قلبة عن أنس قال من الس
عا وقسم وإذا ت زوج الث يب على البكر أقام عندها ثلث أقام عندها سب .ث قسم قال أبو قلبة ولو شئت لقلت إن أنسا رف عو إل النب صلى الل
وب وخالد قال خالد عليو وسلم. وقال عبد الرزاق أخب رن سفيان عن أي عليو وسلم ولو شئت ق لت رف عو إل النب صلى الل
Telah menceritakan kepada kami [Yusuf bin Rasyid] Telah
menceritakan kepada kami [Abu Usamah] dari [Sufyan] Telah
menceritakan kepada kami [Ayyub] dan [Khalid] dari [Abu Qilabah] dari
[Anas] ia berkata; Termasuk perbuatan sunnah apabilah seseorang
menikahi seorang gadis adalah bermukim di tempatnya selama tujuh
hari, baru kemudian ia membagi hari-harinya. Dan bila ia menikahi
seorang janda atas gadis, maka ia boleh tinggal di tempat wanita itu
selama tiga hari, baru kemudian ia membagi-bagi harinya."
Abu Qilabah berkata; Jika aku mau, niscaya aku akan mengatakan bahwa
Anas telah memarfu'kannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
[Abdurrazzaq] berkata; Telah mengabarkan kepada kami [Sufyan] dari
[Ayyub] dan [Khalid] ia berkata; Khalid berkata; Jika aku mau, aku akan
mengatakan; Ia memarfu'kannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam.
92
Skema Sanad Hadis tentang Poligami
Al Bukhariy
Sufyan
Abu Usamah
Ayyub
Nabi Saw.
Abu Qilabah
Khalid
Anas ra.
Yusuf bin Rasyid
Abu Qilabah berkata; “Jika aku mau, niscaya aku akan mengatakan bahwa Anas telah memarfu'kannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam”.
Abdurrazzaq (?) berkata; “Telah mengabarkan kepada kami [Sufyan] dari [Ayyub] dan [Khalid] ia berkata; Khalid berkata; Jika aku
mau, aku akan mengatakan; Ia memarfu'kannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam”.
93
G. HADIS TENTANG PERCERAIAN (THALAK)
Kritik Sanad Hadis tentang Perceraian (Thalak)
Hadis yang mengandung informasi tentang thalak antara lain: di
dalam Shahih Muslim (no. 2691) diriwayatkan:
ث نا إسحق بن إب راىيم أخب رن سليمان بن حرب عن حماد بن زيد عن أيوب وحدختياني عن إب راىيم بن ميسرة عن طاوس أن أب الصهباء قال لبن عباس ىات من الس
يكن الطلق الثلث على عهد رسول الل صلى الل عليو وسلم وأبي بكر ىناتك أل ا كان ف عهد عمر ت تايع الناس ف الطلق فأجازه عليهم واحدة ف قال قد كان ذلك ف لمDan telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Ibrahim] telah mengabarkan kepada kami [Sulaiman bin Harb] dari [Hammad bin Zaid] dari [Ayyub As Sakhtiyani] dari [Ibrahim bin Maisarah] dari [Thawus] bahwa Abu As Shahba` berkata kepada [Ibnu Abbas]; “Beritahukanlah kepada kami apa yang engkau ketahui! Bukankah talak tiga (yang di ucapkan sekaligus) pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakar dinyatakan hanya jatuh talak sekali? Jawab Ibnu Abbas; Hal itu telah berlaku, dan pada masa pemerintahan Umar orang-orang terlalu mudah untuk menjatuhkan talak, lantas dia memberlakukan hukum atas mereka (yaitu jatuh talak tiga dengan sekali ucap).
Muslim
Hammad bin Zaid
Sulaiman bin Harb
Ayyub as Sakhtiyaniy
Thawus
Ibrahim bin Maysarah
Abu ash Shahba’ + Ibn Abbas
Ishaq bin Ibrahim
94
Skema hadis yang menginformasikan bahwa;
Talak adalah sesuatu yang halal tetapi dibenci Allah.
1 Kritik Matan Hadis tentang Perceraian (Thalak)
Thalaq menurut terminology bahasa artinya melepaskan ikatan,
berakar dari kata ithlaq yang artinya membebaskan dan membiarkan.
Apabila dikatakan Fulanun Thalqa al Yadaini artinya Si Anu orang yang
baik, yakni banyak member dan kedua tangannya selalu diulurkan untuk
member bantuan. Sedangkan menurut terminolgi syariat artinya
melepaskan tali ikatan pernikahan. Imam Haramain (Imam Rafi’iy dan
Imam Nawawy) mengatakan bahwa thalak merupakan istilah yang berlaku
di masa meJahiliyah, kemudian diakui oleh syariat Islam.23
Adapun hadis yang mengandung informasi tentang talak banyak
sekali jumlahnya. Imam Muslim meriwayatkan sebanyak ± 118 hadis,
Bukhary sebanyak ± ? hadis, Abu Daud sebanyak ± 137 hadis (no. 2175-
2312), Ibnu Majah sebayak ± 72 hadis (dari no. 2016-2088), Nasa’iy
sebanyak ? ± hadis, dan Ahmad bin Hanbal sebanyak ? ± Hadis. Dst.
23
Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 327.
الطلقمن إليه أبغض شيئاالله ل ما أح الطلق (عز وجل )الحلل إلى الله أبغض
Ahmad bin Yunus
ABU DAUD
Muharib bin Di’ar
Mu’arrif
IBNU UMAR
Ubaidullah bin Walid Al Washhafy
Muhammad bin Khalid
Katsir bin Ubaid Al Himshy
IBNU MAJAH
95
Bukan tempatnya pada halaman ini untuk menjelaskan berbagai
pendapat para ahli hukum Islam (fuqaha) tentang talak, hukumnya,
hikmahnya, jenisnya, konsekwensinya, dan lain-lain. Sudah bermadzhab-
madzhab dan berjilid-jilid buku (kitab) yang berusaha menulis dan
menjelaskannya.
Namun demikian, kiranya dapat dimaklumi jika para ahli hukum
Islam (fuqaha) banyak berselisih pendapat tentang talak. Bagaimana tidak,
sesuatu yang halal, yang senantiasa terjadi dalam kehidupan manusia dan
tidak mudah untuk dihindari, tetapi dibenci Allah adalah talak.
Hadis tentang hal ini pula yang dijadikan sandaran oleh para fuqaha
untuk hukum talak. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud (hadis no. 2177
dan no. 2178), dan oleh Ibnu Majah (hadis no. 2018)24, dan dinilai shahih
oleh Al Hakim, namun Ibnu Abu Hatim lebih cenderung menilainya sebagai
hadis yag berpredikat mursal.25 Sementara para perawi lain tidak
meriwayatkan hadis tersebut atau yang senada dengannya.
Terlepas dari shahih atau tidaknya sanad untuk kedua hadis di atas,
jika kita boleh bertanya dari sisi kandungan maknanya; bagaimana bisa
perceraian yang oleh Alquran diberikan gambaran rambu-rambunya dan
kebolehannya, bahkan sampai teknis pelaksanaanya, ternyata dibenci oleh
Allah Swt.? Bukankah Rasulullah Saw. pernah menceraikan sebagian
isterinya di antaranya Sayyidah Hafshah lalu dirujuknya kembali? Apakah
hal itu berarti Rasulullah Saw. melakukan hal yang dibenci oleh Allah?
Namun demikian, jika berpikr positif apa yang dianjurkan oleh isi
kandungan kedua hadis di atas adalah agar suami isteri tidak mudah
membubarkan ikatan pernikahan yang agung, di samping tidak pula
mengharamkan sesuatu yang halal (talak) sebagaimana dilakukan oleh
agama lain. Untuk menyikapi hadis semacam di atas, para ulama telah
memberikan rambu-rambu tertentu.
24
Hadis riwayat Ibnu Majah tidak memakai kalimat عز وجل. 25
Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 327.
96
H. HADIS TENTANG THALAK TEBUS (KHULU’)
Skema sanad hadis yang memberikan informasi tentang ketentuan Gugat Cerai oleh isteri (Khulu’)
dan ketentuan-ketentuan lainnya menurut riwayat Abu Daud (6 hadis dengan 6 jalur sanad) dan riwayat Ibn Majah (5 hadis dengan 5 jalur sanad)
dan riwayat Bukhary (2 hadis dengan 2 jalur sanad)
‘ATHA’
‘UMARAH Bin Tsauban
JA’FAR Bin Yahya Bin
Tsauban
BAKR BIN KHALAF ABU BISYR
ABU ‘ASHIM
AHMAD Bin Azhar
MUHAMMAD Bin Ma’mar
ABU AMIR Abd Malik Bin Amr
ABU AMR As Sadusy Al Madainy
A’ISYAH
ABDULLAH bin Abu Bakr bin Muh.
Bin Amr bin Hazm
IBNU MAJAH ABU DAUD
QATADAH
‘IKRIMAH
ABU KURAIB
AMR Bin Syu’aib
HAJJAJ
SYU’AIB
SA’ID Bin Abu Arabah MALIK
AL QA’NABY
YAHYA
Bin Sa’id
AMRAH Bintu Abdurrahman bin Sa’d bin Zuroroh
TSAWBAN
ABU KHALID Al Ahmar
Bapaknya SYU”AIB
ABU QILABAH
MUHAMMAD Bin Fadhl
ABU ASMA’
ABDUL A’LA Bin Abdul A’la
AZHAR Bin Marwan
SULAIMAN Bin Harb
2 1 3 4 5
BUKHARY
JARIR
Bin Hazim
QURAD
Abu Nuh
Muhammad bin Abdullah bin Al
Mubarak Al Mukharrimi
AYYUB
IBN ‘ABBAS
HAMMAD Bin Zaid
6 7 8 9
NABI SAW.
ROBI’ bintu Mu’awidz bintu
‘Afra
IBN ‘UMAR
‘UBADAH Bin Shomit
‘UBADAH bin Walid Bin
Ubadah bin Shomit
IBN ISHAQ
IBRAHIM Bin Sa’d
YA’QUB Bin Ibrahim bin Sa’d
ALI Bin Salamah
An Naysabury
ABDURRAZAQ
MUHAMMAD
Bin Abdrrahim Al Bazzar
‘ALI Bin Bar Al Qaththan
HISYAM Bin Yusuf
MA’MAR
UBAIDILLAH Bin Abdullah bin Utbah
‘AMR Bin Muslim
10 11 12 13
97
Kritik Matan Hadis tentang Khulu’
Khulu adalah permintaan cerai dari pihak isteri yang disertai dengan
konpensasi materi. Istilah ini berasal dari kata Khal’u ats Tsawbi artinyan
menanggalkan baju. Dikatakan demikian karena secara kiasan kedudukan
suami-isteri tak ubahnya bagaikan pakaian satu sama lainnya (lihat QS.
………), kemudian dibaca Khulu’ untuk membedakan antara arti yang
sebenarnya dengan arti kiasannya.26
Pada dasarnya, hokum khulu’ diambul dari makna yang terkandung
dalam firman Allah Swt. QS. Al Baqarah: 229:
“ …. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]…” (QS. Al Baqarah: 229)
Ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu’ dan penerimaan mater
sebagai bayaran pengganti ('iwadh).
Di dalam beberapa hadis digunakan kata-kata khulu’ sebagai maksud
seorang isteri jika hendak meminta cerai kepada suaminya, baik karena
ada sebab sengketa rumah tangga maupun tidak. Satu-satunya sebab yang
disebutkan ayat Alquran di atas adalah Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Namun demikian, beberapa hadis mengindikasikan keharaman bagi
isteri melakukan khulu’ tanpa sebab, antara lain hadis (No. 2226) yang
diriwayatkan oleh Abu Daud:
“Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Harb]; telah
menceritakan kepada kami [Hammad]; dari [Ayyub]; dari [Abu
Qilabah]; dari [Abu Asma]; dari Tsawban]; ia berkata, Rasulullah
26
Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 321.
98
Saw. bersabda: “Perempuan (isteri) mana saja yang meminta cerai
kepada suaminya tanpa ada sebab apa-apa maka haram atasnya
harumnya bau surga”.
Ibnu Majah pun meriwayatkan hadis (No. 2055) yang redaksinya
sama dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud di atas yang
berbunyi:
“Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Azhar]; telah
menceritakan kepada kami [Muhammad bin Fadhl]; dari [Hammad];
dari [Ayyub]; dari [Abu Qilabah]; dari [Abu Asma]; dari Tsawban]; ia
berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Perempuan (isteri) mana saja
yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada sebab apa-apa
maka haram atasnya harumnya bau surga”.
Bahkan Ibnu Majah meriwayatkan hadis lain (No. 2054) yang senada
namun berbeda redaksi sebagai berikut:
“Telah menceritakan kepada kami [Bakr bin Khalaf; Abu Basyr]; telah
menceritakan kepada kami [Abu ‘Ashuim]; dari [Ja;far bin Yahya bin
Tsawban]; dari [‘Atha]; dari [Ibnu ‘Abbas]; bahwa Nabi Saw.
bersabda: “Janganlah seorang perempuan (isteri) meminta cerai
kepada suaminya fi ghairi kunhihi, maka ia hanya akan menemukan
harumnya bau surga sepanjang jarak tempuh 40 tahun”.
Selanjutnya, hadis-hadis berikut memberikan gambaran kapan dan
bagaimana kasus khulu’ terjadi pada masa Rasululllah Saw.
99
a. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud (No. 2228 dan no. 2227),
1. “Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ma’mar]; telah
menceritakan kepada kami [Abdul Malik bin ‘Amr]; telah
menceritakan kepada kami [Abu ‘Amr As Sadusy Al Madainy]; dari
[Abdullah bin Abu Bakr bin Muhammad bin Ar bin Hazm]; dari
[Amrah] dari [‘Aisyah]; Bahwa Habibih bintu Sahl ia adalah isteri
dari Tsabit bin Qais bin Syammas. Tsabit memukulnya dan
fakasara ba’dhoha. Lalu Habibah mendatangi Nabi Saw. setelah
shubuh dan mengadukan masalah tersebut kepada Nabi. Lalu Nabi
Saw. memanggil Tsabit dan berkata: “Ambil olehmu (Tsabit)
sebagian hartanya dan ceraikanlah!”. Tsabit bertnya: “Pantaskah
itu wahai Rasulallah?”, Rasulullah menjawab: “Ya”, Tsabit berkata:
“Sesungguhnya aku telah memberikan maskawin kepadanya 2
kebun, dan keduanya berada dalam genggamannya”, lalu
Rasulullah Saw. berkata: “Ambillah keduanya, lalu ceraikanlah!”.
Tsabit pun melakukan hal itu.
2. “Telah menceritakan kepada kami [Al Qa’naby]; dari [Malik]; dari
[Yahya bin Sa’id]; dari [‘Amrah bintu Abdurrahman bin Sa’d bin
Zuroroh]; bahwa ia diberitahu tentang kasus Habibih bintu Sahl
Al Anshoriyah, ia adalah isteri dari Tsabit bin Qais bin Syammas;
bahwa Nabi Saw. keluar pagi-pagi, ia mendapatkan Habibah
sedang berada di depan pintunya dalam keadaan ghalas.
Rasulullah Saw. bertanya, “Siapa ini?”, Habibah menjawab, “Saya
Habibah bintu Sahl,”, Rasulullah Saw. bertanya lagi, “Ada apa?”,
Habibah menjawab, “Aku tidak ada apa-apa juga Tsabit bin Qais
(suaminya)”. Ketika Tsabit bin Qais datang, Rasulullah Saw.
bertanya kepadanya, “Ini Habibah bintu Sahl”, Habibah
mengucapkan Ma Sya’a Allah, engkau ingat, dan berkata lagi, “Ya
Rasulallah, segala sesuatu yang ia (suaminya) berikan adalah
milikku”. Maka Rasulullah Saw. berkata kepada Tsabit bin Qais,
“Ambillah sebagiannya!”. Lalu Tsabit mengambil sebagiannya,
sedangkan Habibah tinggal dengan keluarganya.”
100
b. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah (No. 2056, 2057, dan 2058),
1. Telah menceritakan kepada kami [Azhar bin Marwan]; telah menceritakan kepada kami [Abdul A’la bin Abdil A’la]; telah menceritakan kepada kami [Sa’id bin Abu Arubah]; dari [Qatadah]; dari [Ikrimah] dari [Ibnu ‘Abbas]; bahwa Jamilah bintu Salul datang kepada Nabi Saw. dan berkata: “Demi Allah, saya tidak membenci Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, tetapi aku tidak suka kekufuran di dalam keislaman, aku sudah tidak tahan bersamanya”. Maka Rasulullah Saw, berkata kepadanya: “Apakah engkau bersedia mengembalikan kebun miliknya?”. Jamilah menjawab: “Ya”. Lalu Nabi Saw. menyuruhnya (Tsabit) untuk mengambil-alih kebun tersebut dari tangannya (Jamilah) dan tidak lebih.”
2. Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib]; telah menceritakan kepada kami [Abu Kholid Al Ahmar]; dari [Hajjaj]; dari [‘Amr bin Syu’aib]; dari [Bapaknya] dari [Kakeknya]; ia berkata: bahwa Habibah bintu Sahl adalah isteri dari Tsabit bin Qais bin Syammas; seseorang yang jelek rupanya. Habibah berkata: “Wahai Rasulallah, demi Allah, jikalah aku tidak takut kepada Allah, kalau ia hendak menggauliku akan kuludahi mukanya”. Kenudian Rasulullah Saw. berkata: “Apakah engkau bersedia mengembalikan kebun miliknya?”. Jamilah menjawab: “Ya”. Lalu Jamilah mengembalikan kebun tersebut kepada Tsabit (suaminya). Lalu Rasulullah Saw. memisahkan (menceraikan) keduanya.”
3. Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Salamah An Naisabury]; telah menceritakan kepada kami [Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d]; telah mengabarkan kepada kami [Bapakku]; dari [Ishaq]; telah mengabarkan kepadaku [Ubadah ibn Walid ibn Ubadah ibn Shomit]; dari [Ubadah ibn Shomit]; dari [Robi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra]; ia berkata: Aku bertaya kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku tentang hadismu!”, Robi Bintu Mu’awwidz menjawab, “Aku minta cerai (melakukan khulu’) kepada suamiku, lalu aku datang kepada Utsman, dan kutanyakan bagaimana aku harus melakukan iddah”. Maka Utsman menjawab, “Tidak ada iddah atasmu kecuali kamu telah berjanji atas dirimu, maka tinggalah bersamanya sampai kamu haidh 1 kali. Ia (Robi’ bintu Mu’awwidz) berkata: “Sesungguhnya ia (Utsman) mengikutkan hal tersebut terhadap keputusan Rasulullah Saw. dalam kasus Maryam Al Ghaliyah ketika menjadi isteri Tsabit bin Qais, lalu ia minta cerai (khulu’) kepadanya.“
101
c. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhary (No. 4869 dan no. …..),
1. Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Abdullah bin Al
Mubarak Al Mukharrimi]; telah menceritakan kepada kami [Qurad
Abu Nuh]; telah menceritakan kepada kami [Jarir bin Hazim]; dari
[Ayyub]; dari [Ikrimah]; dari [Ibnu Abbas] ra., ia berkata; “Isteri
Tsabit bin Qais bin Syammas kepada Nabi Saw. dan berkata,
"Wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela Tsabit atas agama atau
pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatir akan terjerumus dalam
kekufuran." Maka Rasulullah Saw. bersabda: "Kalau begitu,
kembalikanlah kebun miliknya." Ia berkata, "Ya." Maka ia pun
mengembalikan kebun itu pada Tsabit, sehingga Tsabit
meninggalkan wanita itu.
Dari ketujuh hadis tersebut di atas, tergambar beberapa hal penting
berikut:
a. Semua hadis sepakat menginformasikan bahwa nama suami yang
digugat cerai (khulu’) adalah bernama: Tsabit bin Qais.
b. Sedangkan nama isteri yang melakukan gugatan cerai (khulu’)
tidak sepakat; yakni:
- Riwayat Ibnu Majah: Jamilah bin Salul pada hadis no: 2056,
Habibah bintu Sahl pada hadis no: 2057, dan Maryam Al
Ghaliyah pada hadis no: 2058.
- Riwayat Ibnu Abu Daud: Habibah bintu Sahl pada hadis no.
2228 dan 2227.
- Riwayat Bukhary: tidak menyebutkan nama isterinya pada
semua hadis tentang khulu’.
c. Semua hadis tidak sepakat apakah kasus khulu’ tersebut
dikarenakan keretakan rumah tangga atau dalam keadaan
normal;
102
- Riwayat Bukhari dan riwayat Ibnu Majah (hadis no: 2056)
terkesan dalam keadaan normal; sang isteri shalihah, dengan
ungkapan bahwa ia takut terjerumus kepada kekafiran kalau
tetap menjalani hidup bersama suaminya. Sedangkan pada
hadis no: 2057 riwayat Ibnu Majah terkesan sang isteri tidak
shalihah, ada ketidaksenangan dirinya terhadap suaminya
dengan ungkapan ia akan meludahinya jika ia hendak
menggaulinya, karena suaminya buruk rupa (damim).
- Riwayat Abu Daud terkesan tidak ada keretakan di dalam
rumah tangga mereka, terbukti dalam jawaban sang isteri
bahwa memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan
suaminya, hanya saja ia mengklaim bahwa apa yang telah
diberikan suaminya adalah telah menjadi hak miliknya.
d. Semua hadis sepakat bahwa Rasulullah Saw. mengabulkan
permintaan cerai (khulu’) dari pihak isteri kepada suaminya,
dengan konpensasi ia mengembalikan maskawain (shidaq) yang
telah diberikan suaminya yaitu berupa kebun. Hanya saja apakah
seluruh maskawin, atau sebagiannya;
- Pada riwayat Abu daud; hadis no. 2228, tergambar Rasulullah
Saw. menyuruh Tsabit bin Qais untuk mengambil 2 kebun
miliknya yang dulu ia berikan sebagai shidaq (maskawin),
sedangkan pada hadis no. 2227, tergambar bahwa Nabi Saw.
menyuruh sang suami untuk mengambil sebagiannya saja.
- Sedangkan pada riwayat Ibnu Majah dan Bukhary
digambarkan sangat umum, yakni sang isteri harus
mengembalikan kebun milik sang suami yang diklaim telah
menjadi haknya.
Dengan demikian, hadis-hadis di atas mengandung gambaran-
gambaran sebagai berikut:
103
1. Kebolehan seorang isteri mengajukan cerai (khulu’) kepada
suaminya, dan dibolehkan pula suami mengambil atau menerima
konpensasi dari sang isteri.
2. Ketidakjelasan penyebab adanya pengajuan cerai (khulu’).
Mungkin inilah yang menyebabkan para ahli hokum Islam
(fuqaha) berselisih pendapat tentang hal tersebut. Bolehkan
dalam keadaan normal ada pengajuan atau tidak.
- Al Hadi dan madzhab Dzahiri, serta Ibnul Mundzir
menyatakan harus ada penyebab tertentu, sehingga suami
boleh mengambil konpensasi. Madzhab Hanafiah dan
Syafi’iyah, serta jumhur boleh ada pengajuan walaupun dalam
keadaan normal asal disetujui oleh suami, dan suami boleh
pula menerima atau mengambil konpensasi. Mereka
berargumen dengan QS. An Nisa: 4:
“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya”.
Ayat tersebut tidak menjelaskan apakah ada bangkangan atau
tidak dari sang isteri.27
3. Ketidakjelasan apakah suami boleh meminta konpensasi lebih
atau tidak. Hal ini pula –mungkin- yang menyebabkan para ahli
hukum Islam berselisih pendapat:
- Imam Syafi’iy dan Imam Malik membolehkan suami
menerima atau mengambil konpensasi lebih, jika yang
melakukan pembangkangan adalah isteri. Namun imam malik
mengatakan minta lebih bukanlah akhlak yang mulia.
- ‘Atha, Thowus, Ahmad, Ishaq, dan madzhab Hadawiyah tidak
membolehkan suami minta konpensasi lebih. Dan khulu’ 27
Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 324.
104
terjadi dengan ungkapan thalaq dengan persetujuan isteri
melalui pengembalian maskawin yang dulu pernah
diterimanya.28
4. Apakah proses khulu’ termasuk thalak raj’iy, thalak ba’in, atau
fasakh. Hal ini pula yang diperdebatkan oleh para ulama
mutaqaddimin.
- Ibnu ‘Abbas dan yang lainnya menganggap bahwa
pengembalian maskawin (shidaq) oleh isteri sebagai fasakh
(pembatalan nikah). Hal ini bisa didapatkan dalam riwayat
Ahmad bin Hanbal dengan argument bahwa Rasulullah Saw.
memerintahkan kepada isteri Tsabit bin Qais untuk
melakukan iddah dengan 1 kali haidh, yang persis sama
dengan iddah pada pembatalan nikah (fasakh).
- Bahkan ibnu ‘Abbas pernah ditanya tentang seorang laki-laki
yang telah menceraikan isterinya sebanyak 2 kali talak, lalu
setelah itu sang isteri mengajukan khulu’. Bolehkah sang
suami menikahi mantan isterinya tersebut (tanpa sang
mantan isteri harus menikah terlebih dahulu dengan laki-laki
lain)?. Ibnu ‘Abbas memberikan jawaban boleh, dengan alas
an bahwa khulu’ bukanlah talak, tetapi fasakh (pembatalan
nikah).29
5. Hadis-hadis di atas pun belum menjelaskan tentang apakah sang
isteri yang melakukan khulu’ harus beriddah? Seperti apa
iddahnya? Atau bahkan ia mendapatkan nafakah, muth’ah, dan
lain-lain, selain ia harus mengembalikan maskawin yang telah
menjadi haknya.
Untuk menjelaskan poin no 5 di atas akan dibahas pada bahasan
selanjutnya (lihat bahasan tentang ‘iddah).
28
Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 325.
29 Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 326.
105
Menurut Ahmad bin Hanbal melalui Sahl Ibn Abu Hasmah, bahwa
kasus khulu’ oleh sang isteri terhadap Tsabit bin Qais dianggap sebagai
kasus pertama pengajuan cerai oleh pihak isteri dalam Islam (Wa Kana
dzalika Awwala Khal’in fi al Islam).30 Bahkan kasus inilah yang menjadi
sebab turunnya ayat-ayat alquran yang menyitirnya.
Yang paling penting diperhatikan adalah bagaimana menyelaraskan
apa yang ditegaskan oleh Alquran tentag khulu’ sebagai dalil qath’iy dengan
penjelasan-penjelasan yang dikandung oleh hadis-hadis di atas sebagai
bukti pelaksanaan hukum syara’ oleh Rasulullah Saw. dan petunjuk-
petunjuknya yang tegas dan lugas.
Bagaimana penerapan dan pelaksanaan gugat cerai di negara-negara
yang mengklaim menggunakan hukum Islam, dan bagaimana pula dengan
di negara kita?. Benarkah cukup dengan mengatakan bahwa konpensasiya
adalah beban dan tanggung jawab biaya selama proses sidang di
pengadilan ditanggung oleh sang isteri yang mengajukan khulu’?,
Bagaimana dengan pengembalian maskawin? lebih atau kurang? dianggap
cerai biasa (thalaq)? Raj’iy atau Bain? Atau dianggap fasakh?.
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut harus benar-benar
cermat dan teliti, karena akan memiliki konsekwensi perdata lanjutan bagi
kedua belah pihak, terutama bagi si mantan isteri. Wallahu A’lam.
30
Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 324/326.
106
H. Hadis tentang Li’an
ث نا محمد بن جعفر الوركاني: أخبرن إيراىيم يعني ابن سعد عن الزىري عن سهل ابن حد عليو وسلم الن : قال سعد ف خبر المتلعنن قال أيصروىا, فإن جاءت بو أدعج ب صلى الل
العينن عظيم الليتن فل أراه إل قد صدق, وإن جاءت بو أحيمر كأنو وحرة فل أراه إل كاذب, قال: " فجاءت بو على النعت المكروه.
“Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ja’far Al
Warakany] Telah mengabarkan kepada kami [Ibrahim, yakni ibnu
Sa’id] dari [Az Zuhry] dari [Sahl bin Sa’dy] tetang berita dua orang
(suami-isteri) yang saling melakukan li’an Sahl bin Sa’id berkata; Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "Lihatlah ia (sang
isteri) oleh kalian, apabila ia melahirkan anak bermata hitam dan
berpantat tebal, maka tidak diperlihatkan kepadaku suamiya kecuali ia
benar. Dan apabila ia (sang isteri) melahirkan anak yang berwarna
kemerah-merahan sepert waharah (binatang semacam tokrk), maka
tidak diperlihatkan kepadaku kecuali suaminya itu berdusta. Kemudian
Sahl berkata: “Maka sang isteri ternya melahirkan anak dengan
keadaan yang tidak diinginkan.”
Seluruhnya Abu Daud meriwayatkan 14 hadis dengan 14 rangkaian
sanad yang berbeda; 11 hadis berisi informasi tentang peristiwa ‘Uwaimir
bin Asyqar al ‘Ijlaini dengan Istrinya (seperti skema di bawah) dan 3
hadis lagi berisi informasi tentang kasus Hilal bin ‘Umayyah dengan
istrinya (seperti dapat dilihat pada skema berikutnya). Abu daud pun
mengambil atau meriwayatkan 2 hadis dari Ahmad bin Hambal.
Sedangkan Ibn Majah meriwayatkan 6 hadis dengan 6 rangkaian
sanad yang berbeda pula; 4 hadis berisi informasi tentang peristiwa
‘Uwaimir bi Asyqar al ‘Ijlaini dengan Istrinya (seperti skema di atas); 1
hadis lagi berisi informasi tentang kasus Hilal bin ‘Umayyah dengan
istrinya, dan 1 hadis berisi informasi umum tentang 4 macam wanita yang
tidak ada li’an bagi mereka (seperti dapat dilihat pada skema berikutnya).
107
Skema sanad hadis yang memberikan informasi tentang peristiwa Li’an antara ‘Uwaimair bin Asyqar al ‘Ijlany dan Isterinya
melalui riwayat Abu Daud (11 hadis dengan 11 jalur sanad) dan riwayat Ibn Majah (4 hadis dengan 4 jalur sanad)
Ayyub ‘Amru
IBN MAJAH ABU DAUD
IBNU ‘ABBAS
Yunus Al Awza’iy
Ibn Wahb
Fulaih
Sulaiman bin Daud Al ‘Ataky
Muhammad Utsman Al Utsmany
Ahmad bin Amr as Sarh
Al Firyaby
Abdullah bin Maslamah al Qa’naby
Muhammad bin Ishaq
Abdul ‘Aziz Bin Yahya
Usman bin Abi Syaibah
‘Alqamah
Ibrahim
Al A’masy
Jarir Ubdah bin Sulaiman
Abu Bakr bin Khallad Al Bahily
dan Ishaq bin Ibrahim bin
Hubaib
Nafi’
Abdurrahman bin Mahdi
Ahmad bin Sinan
Thalhah ibn Nafi’ Malik bin Anas
Ibn Ishaq
Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’id
Alin bin Salamah An Naisabury
Sa’id Bin Jubair
IBNU ‘UMAR
Sufyan bin Uyainah Isma’il
AHMAD BIN HANBAL
Ibrahim bin Sa’id
Muhammad bib Ja’far Al Warakany
Sufyan
Mahmud Khalid ad Dimasyky
Musadad + Wahb bin Bayan
+ Amru bin ‘Utsman
Iyadh bin Abdullah al Fihry Malik
Zuhry Ibn Syihab ‘Abbas bin Sahl
IBNU MAS’UD
NABI SAW.
Ahmad bin Shalih
SAHL BIN SA’D AS SA’IDY
108
Skema sanad hadis yang memberikan informasi tentang peristiwa Li’an antara Hilal bin ‘Umayyah dengan istrinya,
melalui riwayat Abu Daud (3 hadis dengan 3 jalur sanad) dan riwayat Ibn Majah (1 hadis dengan menggunakan salah satu jalur sanad yang dipakai Abu Daud)
NABI SAW.
ABU DAUD IBNU MAJAH
IBNU ‘ABBAS
‘UBAD BIN MANSHUR
‘IKRIMAH
YAZID IBN HARUN
HASAN BIN ‘ALI
KULAIB
‘ASHIM BIN KULAIB
SUFYAN
HISYAM BIN HASSAN
IBN ABI ‘ADIY
MUHAMMAD BIN BASYSYAR MUKHALLLAS BIN KHALID ASYSYA’IRIY
109
I. HADIS TENTANG ‘IDDAH
a. Kritik Sanad Hadis tentang iddah
Salah satu hadis yang Imam Bukhari (No. 4924)
لم بن حرب عن ىشام عن حفصة عن أم عطية ق ث نا عبد الس ث نا الفضل بن دكن حد الت قال النب حدتد ف وق ثلث إل على زوج فإن ها ل ل يل لمرأة ت ؤمن بلل والي وم الخر أن صلى الل عليو وسلم
ث تني أم تكتحل ول ت لبس ث وب مصبوغا إل ث وب عصب نا حفصة حد ث ت ث نا ىشام حد . وقال النصاري حد. قال ول تس طيبا إل أدن طهرها إذا طهرت ن بذة من قسط وأظفار و وسلم عطية ن هى النب صلى الل علي
أبو عبد الل القسط والكست مثل الكافور والقافور.Telah menceritakan kepada kami [Al Fadlu bin Dukain] Telah menceritakan kepada kami [Abdus Salam bin Harb] dari [Hisyam] dari [Hafshah] dari [Ummu 'Athiyah] ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda kepadaku: "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap suaminya. Maka ia tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai pakaian yang berwarna (bercorak) kecuali pakaian yang terbuat dari bahan dedaunan." Dan [Al Anshari] berkata; Telah menceritakan kepada kami [Hisyam] Telah menceritakan kepada kami [Hafshah] Telah menceritakan kepadaku [Ummu 'Athiyyah] ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang: "Dan janganlah ia memakai wewangian kecuali pada akhir masa sucinya. Dan jika ia telah suci, ia boleh memakai potongan kecil dari dahan yang dibuat kemenyan dan obat yang sering disebut qusth atau minyak wangi azhfar." Abu Abdullah berkata; Al Qusth dan Al Kust adalah seperti Al Kafur dan Al Qafur (maksudnya dalam kesesuaian huruf qaf dan kaf).
Skema Hadis tentang iddah
Nabi Saw. Nabi Saw.
Ummu 'Athiyyah
Hafshah ra.
Hisyam
Abdussalam bin Harb
Al Anshoriy
Al Bukhary
Al Fadhlu bin Dukkain
110
Kritik Matan Hadis tentang Iddah
Salah satu konsekwensi hukum dari adanya perpisahan atau
pembubaran dari ikatan pernikahan yang sah adalah iddah bagi isteri.
Iddah secara bahasa dengan mengkasrahkan huruf pertamanya yang
memiliki bentuk jamak ‘idad yang diambil dari kata al ‘adad bermakna
hitungan, karena biasanya mencakup hitungan bulan. Jika dikatakan
‘Adadtu asy Sayai’a ‘iddatan bermakna aku menghitung sesuatu dengan
hitungan.31
. Iddah adalah masa menunggu bagi seorang isteri yang ditinggal
mati atau diceraikan oleh suaminya. Masa iddah ini adakalanya habis
dengan kelahiran bayinya jika isteri dicerai dalam keadaan hamil,
adakalanya dengan beberapa kali quru (suci/haidh), atau dengan hitungan
bulan.32
Iddah diwajibkan hukumnya secara syariat bagi perempuan kecuali
beberapa perempuan dalam situasi dan kondisi tertentu. Di antara
hikmahnya adalah untuk mengetahui terbebasnya rahim isteri, atau demi
ibadah (ta’bbudy), atau demi berkabung atas kematian suami, atau untuk
memberikan kesempatan yang cukup untuk suami setelah terjadi
perceraian (talak) agar kembali (rujuk).33
Sedangkan laki-laki (suami) tidak memiliki masa menunggu (iddah)
sebagaimana istilah dimaksud di atas. Boleh baginya langsung menikah
dengan perempuan lain setelah terjadi perceraian, selama tidak ada
penghalang secara syari’at.34
Di dalam Alquran sudah jelas hukum dan batasan masa menunggu
bagi isteri (‘iddah) ini, baik bagi yang ditinggal mati, atau dalam keadaan
hamil, maupun yang diceraikan, atau yang tidak/belum haid, yaitu:
31
Wahbah Az Zuhaily, Al Fiqh al Islamy wa Adilatuh, 7/… . 32
Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 324/326. 33
Wahbah Az Zuhaily, Al Fiqh al Islamy wa Adilatuh, 7/… . 34
Radd al Mukhtar, 2/823-824.
111
- QS. Al Baqarah: 228:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru' (suci atau haidh), …” (QS. Al Baqarah: 234)
- QS. Al Baqarah: 234:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis
'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut …” (QS. Al
Baqarah: 234)
- QS. Ath Thalaq: 4:
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya ….” (QS. Ath Thalaq: 4)
- QS. Al Ahzab: 49:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka
'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya ... (QS. Al Ahzab:
49)
Bagaimana halnya dengan hadis yang berisi informasi tentang iddah
tersebut, terutama –mungkin- kaitannya dengan teknis pelaksanaan yang
dicontohkan oleh Rasulullah Saw. ada banyak hadis yang bisa didapatkan.
Abu Daud meriwayatkan ± 40 hadis, Ibu Majah ±10 hadis, Muslim ± ? hadis,
Bukhary ± ? hadis, Turmudzi ± ? hadis, Nasa’iy ± ? hadis, dan Ahmad bin
Hanbal sebanyak ± ? hadis, dan lain-lain.
Setelah didapati hadis-hadis tersebut, bisa diklasifikasikan mana
hadis yang berkaitan dengan perempuan (isteri) yang ditinggal mati
112
suaminya, atau dalam keadaan hamil, atau yang diceraikan, atau yang
belum atau tidak haid lagi (manupouse), atau isteri yang diceraikan
sebelum disetubuhi (jima’) oleh suaminya, sebagaimana dalil-dalil Alquran
yang sudah disebutkan di atas. Hal tersebut penting dilakukan agar kita
bisa menganalisa isi kandungan matan hadis apakah sesuai atau
memperkuat, menambah, mengurangi, atau pun menghapus (nasakh)
terhadap isi kandungan ayat-ayat Alquran di atas, sesuai dengan posisi dan
fungsi hadis terhadap Alquran.
a. Hadis yang menjelaskan iddah bagi perempuan yang ditinggal mati
suaminya.
Hadis-hadis yang menjelaskan iddah bagi perempuan yang ditinggal
mati suaminya antara lain bisa dilihat dari riwayat Abu Daud sebanyak
± 10 hadis (no. 2298-2205), dan Ibnu Majah sebanyak ± 4 hadis (no
2084- 2087).
Hadis-hadis tersebut menjelaskan beberapa hal, yaitu batasan
lamanya imasa menunggu (iddah) dan ketentuan-ketentuan yang boleh
dan tidak boleh dilakukan selama masa menunggu (iddah) tersebut.
113
Skema sanad hadis yang memberikan informasi tentang ketentuan ‘Iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya
dan ketentuan-ketentuan lainnya menurut riwayat Abu Daud (10 hadis dengan 10 jalur sanad)
dan riwayat Ibn Majah (4 hadis dengan 4 jalur sanad)
ABU DAUD
‘Atha
Mukhromah Syibl
IBNU MAJAH
Musa bin Ma’ud
Ahmad bin Muhammad
Al Marzawy
Ibn Abu Najih
Ibunya Ummu Hakim
Ummu Hakim bintu Asid
Mughirah Bin adh Dhahhak
Bapaknya Mukhromah
Ahmad bin Shalih
Ibn Wahb
ZAINAB BINT JAHSY
UMMU HABIBAH
Harun Bin Abdullah
Ya’qub Bin Ibrhim
Ad Dauroqy
HISYAM
Abdullah Ibn Abu Bakr as Suhamy
Abdullah Ibn Al Jarh al Fuhusytany
Hannad Bin as Sirry
Abu al Akhwash
SHOFIYAH Bintu Abu Ubaid
NAFI’
Abu Bakar Bin Abu Syaibah
URWAH
Zuhry
Sufyan Bin Uyainah
‘AISYAH
NABI SAW.
Sa’d bin Ishaq Bintu Ka’b bin ‘Ujroh
Abdullah Bin Abu Bakr
Malik Bin Abd Wahid al Asma;iy
Al Qa’naby
Yahya bin Sa’id
Yazid Bin Harun
Humaid bin Nafi’
ZAINAB Bintu Abu Salamah
Abdullah bin Numair
Hisyam bin Hassan
HAFSHAH
UMMU ‘ATHIYYAH UMMU SALAMAH
Ali bin Husen bin Waqid
Husen bin Waqid
Yazid an Nahwy
‘IKRIMAH
IBNU ‘ABBAS
SHOFIYAH Bintu Syaibah
Hasan Bin Muslim
Ibrahim Bin Thahman
Yahya bin Abu Bukair
Zuhair bin Harb
ZAINAB Bintu Ka’b bin ‘Ujroh
1 2
3 4 5 6
7 8 9
10
11
12
13 14
114
Dari ke-14 hadis di atas terlihat sebanyak 12 hadis diterima dari
Rasulullah Saw. oleh para sahabat beliau dari kalangan perempuan, dan
dua sisanya diterima oleh Ibnu Abbas. Hal ini sekaligus menjadi kesaksian
mereka sebagai pelaku atau –paling tidak- sebagai perempuan yang sangat
mengetahui betul tentang pentingnya pelaksanaan iddah di kalangan
mereka.
Hadis yang diriwayatkan melalui jalur Ibnu Abbas (jalur no. 1 dan 2
pada skema) yang diriwayatkan oleh Abu Daud, kedua-duanya
menjelaskan tentang penghapusan (nasakh) hukum iddah dan nafakah
perempuan yang ditinggal mati suaminya berdasarkan wasiat suaminya
selama 1 tahun yang terdapat dalam QS. Al Baqarah: 240 oleh hukum baru
yaitu iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya selama 4 bulan 10
hari yang terdapat di dalam QS. Al Baqarah: 234, dan nafakah dan rumah
tinggal di rumah suaminya selama 1 tahun dinasakh oleh ayat-ayat waris
yang terdapat dalam QS. An Nisa.35 “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al Baqarah: 240).
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut …” (QS. Al Baqarah: 234)
Pada hadis riwayat Abu Daud jalur sanad no. 7, 8, 9, 10, 11, 12 dan
13, dan riwayat Ibnu Majah jalur sanad no. 3, 4, dan 6 pada skema di atas
menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. melarang perempuan untuk
berkabung terhadap yang bukan suaminya, kecuali isteri yang ditinggal
mati suaminya. Itu pun hanya boleh berkabung selama 3 hari tidak lebih,
35
Sunan Abu Daud, 334-335
115
dan melakukan masa menunggu (‘iddah) 4 bulan 10 hari, plus tidak boleh
memakai pakaian dan wewangian tertentu (berdandan dan berhias)
kecuali sesuai dengan kepentingannya yang diperbolehkan syariat.
Batasan berdandan dan berhias tentu disesuaikan dengan batasan adat
dan budaya setempat.
Hal tersebut diperkuat oleh hadis jalur sanad no. 14 yang
menginformasikan tentang 2 orang isteri yaitu ibunya Ummu Hakim dan
Ummu Salamah yang ketika ditinggal mati oleh suaminya masing-masing,
lalu mereka menggunakan celak mata (berhias) untuk sekedar menutupi
matanya akibat bersedih (selama masa iddah). Rasulullah Saw. melarang
hal tersebut dan hal-hal lain yang bersifat dandan dan berhias pada siang
hari, kecuali malam hari dengan ala kadarnya. Hal tersebut senada dengan
hadis riwayat Ibnu Majah jalur no. 5 pada skema di atas yang melarang
celak mata dan harus ber-iddah selama 4 bulan 10 hari.
Berhias atau dandan pada malam hari pun dalam hadis jalur sanad
no. 14 tersebut di atas perlu dilihat secara cermat. Pada masa sekarang
tidak pula berarti diperbolehkan jika dimaksudkan untuk hal-hal yang
tidak diperbolehkan syariat, apalagi pada waktu menjalani masa iddah.
Pada hadis riwayat Abu Daud jalur sanad no. 13 menjelaskan
tentang seorang isteri yang bernama Furai’ah bintu Malik bin Sinan yang
ditinggal mati suaminya tanpa nafakah dan tempat tinggal yang layak. Ia
meminta izin kepada Rasulullah Saw. untuk pulang ke rumahnya sendiri
(rumah keluarganya). Dan Rasulullah Saw. mengizinkannya menjalani
iddah di rumahnya sendiri (keluarga Furai’ah) selama 4 bulan 10 hari.
b. Hadis yang menjelaskan iddah bagi perempuan hamil
Hadis-hadis yang menjelaskan iddah bagi perempuan yang hamil,
baik karena ditinggal mati suaminya maupun yang dicerai, antara lain bisa
116
dilihat dari riwayat Abu Daud sebanyak ± 2 hadis (no. 2298-2205), dan
Ibnu Majah sebanyak ± 7 hadis (no 2084- 2087).
Hadis-hadis tersebut menjelaskan beberapa hal, yaitu batasan
lamanya imasa menunggu (iddah) dan ketentuan-ketentuan yang boleh
dan tidak boleh dilakukan selama masa menunggu (iddah) tersebut.
Dari ke-9 hadis di atas terlihat sebanyak 5 hadis diterima dari
Rasulullah Saw. oleh para sahabat beliau dari kalangan perempuan, dan 4
sisanya diterima oleh para sahabat laki-laki. Hal ini sekaligus menjadi
kesaksian mereka sebagai pelaku atau –paling tidak- sebagai perempuan
yang sangat mengetahui betul tentang pentingnya pelaksanaan iddah di
kalangan mereka.
117
Skema sanad hadis yang memberikan informasi tentang ketentuan ‘Iddah perempuan yang hamil
dan ketentuan-ketentuan lainnya menurut riwayat Abu Daud (2 hadis dengan 2 jalur sanad)
dan riwayat Ibn Majah (7 hadis dengan 7 jalur sanad)
NABI SAW.
UMAR bin Abdullah bin Al Arqam Az Zuhry Al Aslamiyyah
ABDULLAH Bin Utbah
UBAIDILLAH Bin Abdullah bin Utbah
IBN SYIHAB
YUNUS
SULAIMAN
bin Daud Al Mahry
IBN WAHB
MUSLIM
AL A’MASY
ABU MU’AWIYAH
MUHAMMAD Bin Al ‘Ala
UTSMAN Bin Abu Syaibah
ABDULLAH (IBN MAS’UD)
ABU BAKR Bin Abu Syaibah
YAZID Bin Harun
YAHYA Bin Sa’id
ZAINAB Ibnatu Ummu Salmah
UMMU SALAMAH +
UMMU HABIBAH
HUMAID Bin Nafi’
IBNU MAJAH ABU DAUD
ABU AL AKHWASH
MANSHUR
AL ASWAD
IBRAHIM
ABU SANABIL
ALI Bin Mushir
DAUD Bin Abi Hind
ASY SYA’BY
AMR Bin Utbah
MAYRUQ
MUHAMMAD Bin Al Mutsanna
NASHR Bin Ali
+
MUHAMMAD Bin Basysyar
‘URWAH
HISYAM Bin ‘Urwah
ABDUULLAH Bin Daud
MISWAR Bin Makhromah
SULAIMAN Bin Hayyan
ABU KHALID Al Akhmar
SA’D Bin Ishaq Bin Ka’b Bin ‘Ujroh
ZAINAB Bin Ka’b Bin ‘Ujrah
FURAI’AH Bintu Malik
UMMU KULTSUM Bintu ‘Uqbah
‘AMR Bin Maymun
SUFYAN
QABIDHOH Bin Uqbah
MUHAMMAD bin Umar bin Hayyaj
ZUBAIR Bin ‘Awwam
MAYMUN
1 2 3 4 5 6 7 8 9
118
Hadis riwat Ibnu Majah pada jalur sanad no. 8 pada skema di atas
menginformasikan bahwa Zubair bin Awwam memiliki isteri yang bernama
Ummu Kultsum. Isterinya berkata, “Baik, diriku tertalak”. Maka Zubair
menjatuhlah talak kepadanya dengan talak satu. Lalu ia pergi ke masjid untuk
melakukan shalat. Sekembalinya dari masjid ia mendapati isterinya telah
melahirkan. Ia berkata, “Apa yang terjadi padanya, ia telah mengelabuiku, dan
Allah telah mengelabuinya”. Lalu Zubair datang kepada Nabi Saw. dan Nabi
Saw. bersabda: “Sabaqa al Kitab Ajalah, khitabkanlah hal itu kepada dirinya
(Ummu Khultsum)”.
Yang dimaksud oleh sabda Rasulullah Saw. di atas mengisyaratkan
beberapa hal, yaitu: Ummu Kultsum harus melakukan iddah sebagaimana yang
tercantum di dalam Alkitab (Alquran), yaitu sampai ia melahirkan. Hal itu
berarti ia telah habis masa iddah-nya dan berarti tidak ada lagi
waktu/kesempatan bagi Zubair untuk merujuknya, serta berarti Ummu Kultsum
telah terbebas dari Zubair. Hal itu menjelaskan pula bahwa telah terjadi
perceraian dalam keadaan isteri sedang hamil, walaupun suaminya tidak
mengetahuinya.
Hal yang senada ditunjukkan pula oleh hadis riwat Ibnu Majah pada
jalur sanad no. 5 pada skema di atas yang menginformasikan bahwa Syubai’ah
bintu Harits melahirkan anak pada saat 25 hari setelah kematian suaminya. Lalu
ia siap-siap bebenah untuk mencari kebaikan (Al khair: suami baru). Kemudian
lewat kepadanya (didatangi) oleh Abu Sanabil bin Ba‟kak dan berkata: “Kamu
cepet-cepet, beriddah-lah sampai habis 2 masa (ajalain) yaitu 4 bulan 10 hari”.
Lalu Syubai‟ah mendatangi Nabi Saw. dan berkata: “Wahai Rasulallah,
mintakanlah ampun untukku”. Nabi Saw. bertanya: “Apa yang terjadi padamu”.
Syubai‟ah pun menjelaskannya. Maka Nabi bersabda: “Jika engkau
mendapatkan suami yang shalih, nikahlah!”.
Ungkapan Abu Sanabil yang merasa kaget dengan keadaan Syubai‟ah
yang cepet-cepet mencari suami baru padahal belum habis masa iddah-nya (4
bulan 10 hari) sebagaimana iddah yang ditinggal wafat suaminya. Namun Nabi
Saw. membolehkan Syubai‟ah untuk menikah lagi pasca melahirkan. Hal
119
tersebut diperkuat oleh hadis pada jalur sanand no. 8 yang menjelaskan bahwa
Nabi Saw. memerintahkan Syubai‟ah untuk menikah jika telah bersih dari
nipasnya.
Lebih terperinci tentang Syubai‟ah dapat digambarkan dalam hadis
riwayat Abu Daud jalur sanad no. 1 pada skema di atas sebagai berikut:
“Telah menceritakan kepadaku [Sulaiman bin Daud Al Muhry]; telah
mengabarkan kepadaku [Ibnu Wahb]; telah mengabarkan kepadaku
[Yunus] dari [Ibnu Syihab]; telah menceritakan kepaku [Ubaidullah bin
Abdullah bin Utbah]; bahwa ayahnya mengirim surat kepada Umar bin
Abdullah bin Arqam Az Zuhry yang berisi perintah untuk mengunjungi
Syubai’ah bintu Harits Al Aslamiyah dan bertanya tentang hadisnya, dan
tentang apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. ketika ia meminta
fatwanya. Lalu Umar bin Abdullah bin Arqam Az Zuhry membalas surat
kepada Abdullah bin Utbah yang berisi informasi bahwa Syubai‟ah telah
menceritakannya; bahwa ia ketika itu sedang menjadi isteri Sa‟d bin
Khaulah dari Bani Amir bin Luay yang pernah mengikuti perang Badar,
ia wafat meninggalkan dirinya pada waktu haji wada‟ ketia dirinya
sedang hamil. Syubai’ah tidak menyadari bahwa ia akan melahirkan
setelah kematian suaminya. Ketika ia telah bersih dari masa nifasnya ia
mempercantik diri untuk para pelamar. Lalu datanglah Abu Sanabil bin
Ba‟kak seorang laki-laki dari Bani Abdi Dar dan ia berkata: “Mengapa
kamu melihamu mempercantik diri, rupanya kamu berharap segera
menikah. Demi Allah!, sesungguhnya kamu tidak akan menikah sampai
kamu melewati 4 bulan 10 hari”. Syubai‟ah berkata: “Ketika ia (Abu
Sanabil) mengatakan hal itu kepadaku, maka aku kumpulkan pakaianku
pada sore hari dan aku dating kepada Rasulullah Saw, lalu aku tanyakan
tentang hal itu. Maka Rasulullah Saw. memberikan fatwa kepadaku
bahwa aku telah halal (bebas) ketika aku melahirkan, dan beliau
menyuruhku untuk menikah, jika hal itu telah jelas bagiku”. Ibnu Syihab
berkomentar: “Bahkan aku melihat tidak apa-apa ia menikah ketika
setelah melahirkan, walaupun masih berdarah (nifas pasca melahirkan),
tetapi ia tidak boleh didekati dahulu oleh suamiya sampai ia suci.”
Bahkan pada jalur sanad no. 4 riwayat Ibnu Majah disampaikan oleh
pelakunya yakni Abu Sanabil yang mengatakan bawa:
“Syuba‟ah Al Aslamiyah bintu Haris melahirkan kandungannya pada
malam hari; 20 sekian hari setelah kematian suaminya. Ketika telah
selesai (suci) dari masa nifasnya ia berdandan. Dan diceritakanlah
kasusnya kepada Nabi Saw. dan beliau bersabda: “Jika engkau perbuat,
telah lewat waktu (iddahnya)”.
120
J. HADIS TENTANG HADHANAH (MENGASUH ANAK)
Salah satu hadis yang menginformasikan tentang Hadhanah antara in
yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (No. 1916)
ث نا عبد الميد بن جعفر ث نا إب راىيم بن موسى الرازي أخب رن عيسى حد حدأخب رني أبي عن جدي رافع بن سنان أنو أسلم وأبت امرأتو أن تسلم فأتت
وسلم ف قالت اب نت وىي فطيم أو شب هو وقال رافع اب نت النب صلى الل عليو قال لو النب صلى الل عليو وسلم اق عد نحية وقال لا اق عدي نحية قال
ن هما ث قال ادعواىا بية ب ي ها ف قال النب صلى وأق عد الص فمالت الصبية إل أم عليو وسلم اللهم اىدىا فمالت الصبية إل أبيها فأخذىا الل
Telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Musa Ar Razi], telah
mengabarkan kepadaku [Isa], telah menceritakan kepada kami [Abdul
Hamid bin Ja'far], telah mengabarkan kepadaku [ayahku], dari [kakekku
yaitu Rafi' bin Sinan], bahwa ia telah masuk Islam sedangkan isterinya
menolak untuk masuk Islam. Kemudian wanita tersebut datang kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; anak wanitaku ia masih menyusu -
atau yang serupa dengannya. Rafi' berkata; ia adalah anak wanitaku. Beliau
berkata kepada wanita tersebut; duduklah di pojok. Dan mendudukkan anak
kecil tersebut di antara mereka berdua, kemudian beliau berkata; panggillah
ia. Kemudian anak tersebut menuju kepada ibunya. Lalu Nabi shallallahu
'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia petunjuk!" kemudian anak
tersebut menuju kepada ayahnya. kemudian Rafi' bin Sinan membawa anak
tersebut.
121
SKEMA HADIS TENTANG HADHANAH (MENGASUH ANAK)
Abu Daud
Ibrahim bin Musa Ar Razi
Isa
Ja'far (Ayahnya Abdul Hamid)
Abdul Hamid bin Ja'far
Rafi’ bin Sinan
NABI SAW.
122
- Kritik Matan Hadis tentang Hadhanah
Sebelum membahas tentang hadis hadhanah yang dimaksud,
sebaiknya dibedakan antara hadhanah (mengasuh anak) dengan
pemeliharaan anak secara umum yang menyangkut banyak hal antara lain;
radha’ah (penyusuan), wilayah (perwalian), tarbiyah (pendidikan), dan
nafaqah (nafkah/biaya hidup). Karena keempat hal yang menyangkut
pemeliharaan anak secara umum tentu harus kembali kepada dalil-dalil
(ayat Alquran dan hadis) yang khusus tentangnya, apalagi ulama fiqh
(fuqaha) menempatkannya pada bab-bab khusus. Sehingga hadhanah
memiliki posisi khusus, yaitu terutama dalam kasus mengasuh anak pasca
terjadiya perpisahan antara suami isteri baik akibat perceraian ataupun
hal lainnya. Apakah hak asuh anak dimaksud jatuh ke tangan bapaknya
atau ibunya. Jadi yang dimaksud mengasuh anak (hadhanah) tidak
mencakup keempat hal tersebut di atas.
Hadhanah berakar dari kata kerja Hadhana-Yahdhunu-Hidhnan wa
Hadhanatan, yang artinya menggendong atau mengasuh. Menurut kitab Al
Qamus; Al Hidhn ialah menggendong anak di antara ketiak, pinggang, dan
dada, atau memeluk anak di antara dua lengan. Sedangkan Hadhanah
menurut terminologi syari’at artinya memelihara anak yang masih belum
dapat menangani urusannya secara mandiri dengan membimbing dan
menjaganya dari hal-hal yang dapat membayakannya.36
Adapun hadhanah hukumnya adalah wajib, sebab al Mahdhun (anak
pasca perpisahan suami-isteri) akan rusak fisik maupun psikisnya jika
tidak ada hadhanah, yakni jika tidak diasuh/dipelihara. Maka wajib
hukumnya mengasuh atau memelihara anak dari kerusakan sebagaimana
wajibnya memberikan nafkah kepadanya.37
36
Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 409, 2006 Dar al Fikr ,
Damaskus, Libanon.
37 Wahbah Az Zuhaily, Al Fiqh al Islamy wa Adilatuh, 7/679.
123
Hadis-hadis ahad yang menggambarkan keputusan Rasulullah Saw.
tentang hadhanah antara lain:
a) Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud :
“Telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Musa Ar Raziy], telah
mengabarkan kepadaku [Isa], telah menceritakan kepada kami
[Abdul Hamid bin Ja'far], telah mengabarkan kepadaku [ayahku]
yakni: Ja’far, dari kakekku yaitu Rafi' bin Sinan, bahwa ia (Rafi’) telah
masuk Islam sedangkan isterinya menolak untuk masuk Islam.
Kemudian isterinya datang kepada Nabi Saw. dan berkata; “Putriku, ia
masih menyusu atau yang serupa dengannya”. Rafi' berkata; “Ia
adalah putriku”. Maka Nabi Saw. berkata kepadanya: “Duduklah di
sebelah sana!”, dan berkata kepada isterinya; “Duduklah di sebelah
sana!”. Lalu Nabi Saw. mendudukkan anak perempuan kecil tersebut di
antara mereka berdua, kemudian beliau berkata; “Panggillah ia oleh
kalian berdua”. Kemudian anak tersebut menuju kepada ibunya. Lalu
Nabi Saw. berdoa: "Ya Allah, berilah ia petunjuk!". Lalu anak tersebut
menuju kepada ayahnya. Kemudian Rafi' bin Sinan membawa
putrinya.”
Hadis di atas menggambarkan beberapa hal, antara lain:
1. Kebijaksanaan Rasulullah Saw. dalam memutuskan hak asuh anak
perempuan yang ayahnya muslim (Rafi’ bin Sinan) sedangkan ibunya
kafir, dengan cara menyimpan puteri mereka di tengah-tengah atau di
antara mereka berdua.
2. Anak perempuan kecil yang masih menyusu dan lain-lain tersebut tetap
membutuhkan atau memiliki kecenderungan kepada ibunya. Terbukti
ketika dipanggil bersama-sama oleh ayah dan ibunya ia datang kepada
pangkuan ibunya.
124
3. Kemudian Rasulullah Saw. meminta petunjuk kepada Allah dengan
berdoa ketika anak perempuan tersebut lebih memilih atau cenderung
ke pangkuan ibunya yang kafir.
4. Melalui doanya kepada Allah, Rasulullah Saw. memberikan keputusan
bahwa hak asuh anak (hadhanah) tersebut jatuh ke tangan ayahnya
yang muslim. Terbukti dengan membiarkan anak perempuan tersebut
dibawa ayahnya (Rafi’ bin Sinan).
5. Hadis tersebut di atas tidak memberikan gambaran utuh tentang latar
belakang keluarga sang ibu; apakah ia memiliki ibu atau saudara
perempuan yang muslim atau tidak, dan informasi lainnya. Hal tersebut
penting, karena dalam kasus lain Nabi Saw. kadang memberikan
keputusan hak asuh anak kepada bibi dari pihak ibunya.
6. Hadis yang bersifat kasuistis tersebut pun tidak memberikan gambaran
selanjutnya tentang keputusan-keputusan Rasulullah Saw. yang bersifat
teknis lainnya yang lebih detil, misalnya bagaimana sang anak
mendapatkan ASI, apakah disusui oleh ibunya, atau sang ayah
membayar orang lain untuk menyusuinya, dan lain-lain.
Walaupun demikian, betapa hadis tersebut menggambarkan kehati-
hatian Rasulullah Saw. ketika mengambil keputusan dalam kasus sengketa
hadhanah. Dengan tetap memperhatikan kebutuhan anak terhadap
kehadiran seorang ibu, ia memposisikan ibunya pada tempat yang
semestinya. Namun kekafiran ibunya membuat beliau meminta petunujuk
kepada Allah agar anak tetap mendapatkan hal-hal yang terbaik bagi anak,
yakni membiarkannya dibawa ayahnya.
Hal tersebut menggambarkan betapa seorang pengambil keputusan
(hakim) harus bijak dan arif. Jika Rasulullah melalui doa langsung kepada
Allah, maka para pengambil keputusan (hakim) sebaiknya dengan cara
meneliti secara mendalam dan menganalisa kasus dan situasi sengketa
hadhanah, agar tercipta keputusan terbaik bagi sang anak.
125
Jika dalam hadis di atas digambarkan ada dua situasi kontras antara
ayah muslim dan ibu kafir, maka saat ini para pengambil keputusan
(hakim) harus jeli melihat situasi dan kondisi di mana kira-kira sang anak
dapat hidup dan berkembang sesuai dengan fitrahnya. Bukan sekedar
melihat ayahlah atau ibulah yang berhak mengasuh anak. Bagaimana jika
situasinya terbalik, ibu yang muslim dan ayah yang kafir, atau jika kedua-
duanya kafir, atau jika kedua-duanya muslim. Apakah kekafiran termasuk
salah satu penyebab gugurnya hak asuh bagi ibunya, atau ada hal lain?.
Hadis di atas pun tidak menggambarkan situasi selanjutnya,
bagaimana anak perempuan kecil yang masih menyusu tersebut
mendapatkan air susu ibu (ASI), dan lain-lain. Walaupun hak asuh jatuh
kepada ayahnya, maka masalah penyusuan (radha’ah) bisa dilihat pada
hadis-hadis lainnya, bahkan di dalam ayat Alquran pun memberikan
arahan tertentu tentang hal itu.
Hadis di atas bukan satu-satunya informasi yang menggambarkan
situasi sengketa hak asuh anak (hadhanah). Banyak hadis lainnya yang
dapat dijadikan acuan; bagaimana Rasulullah Saw. mengambil keputusan
terbaik terutama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak yang sesuai
dengan fitrahnya.
b) Hadis diriwayatkan oleh Abu Daud:
dari Abdullah bin Amr ra., ia menceritakan: “Seorang perempuan
berkata, ‘Wahai Rasulallah, sungguh anak ini akulah yang
mengandungnya, ASI-ku yang jadi minumannya, pangkuankulah
tempat berlindungnya, namun ayahnya menceraikanku dan
bermaksud merebutnya dariku’. Rasulullah Saw. menjawab, ‘Engkau
lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah lagi’.” 38
38
Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 408: hadis ini dinilai
shahih oleh Al Hakim.
126
Hadis poin b) di atas menunjukkan bahwa pada situasi tertentu sang
ibu lebih berhak mengasuh anaknya, apabila sang ayah bermaksud
merebut hak asuh tersebut dari tangannya. Para ulama sepakat dan
memperkuatnya dengan atsar sahabat bahwa Abu bakar dan Umar bin
Khaththab memutuskan hal yang sama pada masa kekhalifahannya
masing-masing. Ibnu Abbas mengatakan bahwa bau tubuh sang ibu,
tempat tidurnya dan kehangatan pelukannya lebih baik bagi sang bayi
(anak) daripada ayahnya sampai anak tumbuh besar/dewasa dan mampu
memilih ikut siapa atas kehendaknya sendiri.39
Hadis di atas pun menunjukkan bahwa hak asuh anak bagi sang ibu
dibatasi hanya apabila ia tidak atau belum menikah lagi. Bagaimana jika ia
telah menikah lagi? Di sinilah diperlukan kecermatan dan kejelian untuk
kiranya diperhatikan asbab al wurud (sebab-sebab atau latar belakang
adanya sabda nabi pada situasi yang berbeda-beda). Hadis tersebut tidak
memberikan gambaran mengapa Rasulullah Saw. membatasi sang ibu pada
kasus ini bahwa hak asuhnya dibatasi jika atau selama ia belum atau tidak
menikah lagi. Subjektivitaskah atau Khususkah batasan tersebut berlaku
baginya seorang, karena –misalnya- Rasulullah Saw. mengetahui betul
situasi dan kondisi sang ibu tersebut dan mengetahui betul keadaan yang
terbaik bagi anaknya?. Atau objektivitaskah (umum) bahwa batasan
tersebut belaku bagi semua ibu, karena dikhawatirkan situasi tidak
berpihak kepada kepentingan sang anak dari ayah tirinya nanti.
Hadis di atas sebaiknya tidak dipahami langsung dari mafhum
mukhalafah-nya secara umum, artinya tidak serta merta menyatakan
bahwa hak asuh anak gugur dari sang ibu jika ia telah menikah lagi.
Karena; pertama, mungkin (ihtimal) berlaku bagi perempuan itu saja dan
ketika itu saja; kedua, banyak pula hadis lain atau atsar para sahabat yang
menggambarkan kasus yang sama dengan situasi yang berbeda-beda.
39
Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 410.
127
Al ‘Asqalany (2010: 410) menjelaskan bahwa Al Hasan dan Ibn
Hazm berpendapat bahwa hak asuh anak belum tentu gugur dari sang ibu
meskipun telah menikah lagi. Mereka berdua berargumen bahwa Anas bin
Malik ketika kecil diasuh oleh ibunya padahal sang ibu telah menikah lagi
dengan Rasulullah. Ummu Salamah pun menikah dengan Rasulullah Saw.
dan anaknya ikut bersamanya dan berada dalam asuhannya bersama
Rasulullah Saw. Demikian pula anak perempuan Hamzah yang masih kecil
diputuskan oleh Rasulullah Saw. untuk ikut bibinya dari pihak ibunya,
padahal bibinya tersebut telah menikah.
Dalam situasi normal atau kondisi tidak ada sengketa tentang hak
asuh anak, maka jelas sang ibulah yang lebih berhak mendapatkannya.
Akan tetapi jika terjadi sengketa, maka situasi dan kondisilah yang harus
diperhatikan mana yang lebih kondusif untuk kepentingan dan kebaikan
pertumbuhan sang anak.
Para ulama fiqh (fuqaha) sepakat pada situasi sengketa bukan hanya
ibu yang berhak atas hak asuh anak, tetapi juga pihak ibu yang lainnya;
nenek, bibi, uwa, dan seterusnya, sebelum jatuh kepada ayahnya atau
pihak ayahnya yang lain. Mereka menggunakan hadis-hadis yang lain,
sebagai hujjah, antara lain:
Hadits diriwayatkan oleh Bukhary dari Al Barra Ibn Azib ra., ia
menceritakan bahwa Nabi Saw. memberikan keputusan bahwa hak asuh
puteri Hamzah kepada saudara perempuan ibunya (bibi dari pihak ibunya)
seraya bersabda, ‘Saudara perempuan ibu (bibi dari pihak ibu) memiliki
kedudukan sama dengan ibu’.”
Dan perhatikan pula hadis diriwayatkan oleh Ahmad dari Ali bin
Abu Thalib ra. bahwa: “Anak gadis berada dalam asuhan saudara
perempuan ibunya (bibi dari pihak ibunya), karena sesungguhnya bibi
adalah (sama dengan) ibu.”
128
c) Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad:
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: “Seorang perempuan berkata,
“Wahai Rasulallah, sesungguhnya mantan suamiku bermaksud
membawa anakku, padahal anakku ini sangat berguna bagiku, dialah
yang mengambilkan air minum untukku dari sumur Abu Inabah’.
Lalu datang mantan suaminya, maka Rasulullah bersabda, “Wahai
anak muda, inilah ayahmu, dan inilah ibumu, maka peganglah
tangan salah satu dari keduanya yang kamu mau’. Ternyata anak
muda itu memegang tangan ibunya, lalu sang ibu pergi
bersamanya.”40
Hadis poin c) di atas menggambarkan kepada kita bahwa
1. Sang anak telah mencapai usia yang tidak memerlukan bantuan orang
lain lagi (ghulam) dengan gambaran ia telah mampu bekerja
membantu ibunya mengambilkan air minum dari sebuah sumur, atau
bahwa sang ibu sangat memerlukan bantuannya.
2. Rasulullah Saw. mempersilakan sang anak (ghulam) tersebut untuk
memilih kepada siapa ia akan ikut; ibunya atau ayahnya.
3. Ternyata sang anak (ghulam) tersebut lebih ikut bersama ibunya
tinimbang ayahnya.
Dengan demikian, jika situasinya memungkinkan sang anak telah
mampu mimilih atas kehendaknya sendiri dan diyakini bahwa pilihannya
tepat atau baik bagi dirinya, maka bolehlah hal itu dilakukan. Akan tetapi
jika situasinya tidak memungkinkan untuk hal itu, sebaiknya tidak
dilakukan pilihan. Di sinilah pentingnya peran hakim atau para pengambil
keputusan yang mahir, arif, dan bijak untuk mengarahkan hal terbaik bagi
sang anak.
40
Al „Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 410-411: hadis ini
diriwayatkan pula ole Al Arba‟ah (4 ahli hadis) dan dinilai shahih oleh Turmudzy.
129
Dari pembahasan ketiga hadis ahad di atas dan hadis-hadis
pendukung lainnya -terlepas dari tingkat kwalitas keshahihannya-
didapatkan gambaran tentang keputusan-keputusan yang diambil oleh
Rasulullah Saw. berkaitan dengan sengketa hak asuh anak (hadhanah),
antara lain bahwa keputusan Rasulullah Saw. berbeda-beda sesuai dengan
situasi dan kondisi suami isteri yang bersengketa. Ada yang jatuh kepada
ayahnya, ada yang jatuh kepada ibunya, dan ada juga yang dipersilakan
sang anak untuk memilih kepada siapa ia ikut; ibunya atau ayahnya, sesuai
dengan keadaan sang anak.
Di sinilah pentingnya menelusuri Asbab al Wurud sebuah hadis.
Asbab wurud hadis bisa didapatkan di dalam matan hadis seperti
gambaran global pasutri yang bersengketa yang terdapat di dalam ketiga
hadis di atas. dan ada juga yang tidak, seperti detailnya informasi tentang
latar belakang ekonomi dan pendidikan pasutri yang bersengketa,
keputusan-keputusan teknis yang diberikan Rasulullah Saw. tentang
keadaan pemeliharaan anak di luar hadhanah (susuan, nafkah, pendidikan,
dan lain-lain). Mungkin hal itu bisa didapatkan di hadis-hadis lain atau
bahkan dalam disiplin ilmu lain, seperti ilmu tarikh atau yang lainnya.
Dari bahasan di atas juga didapatkan nuansa maslahat bagi sang
anak yang menjadi dasar keputusan-keputusan Rasulullah Saw. yang
berbeda-beda. Adapun untuk lebih mengetahui detailnya informasi tentang
gambaran hukum-hukum hadhanah tentu ada baiknya kembali kepada
hasil penelusuran para ulama; baik ulama terdahulu maupun ulama
kontemporer, serta melihat penerapan hukum-hukum tersebut dalam
undang-undang perkawinan di beberapa negara (Islam?) yang mengklaim
mengadopsi atau mengambil beberapa pendapat imam madzhab fuqaha
dan muhadditsun. Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. Matn al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah al-Sindi.
Beirut, Dar-al Fikri, tth. Al Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn Inda Ulama’ al Hadist al Nabawi, Lebanon, Dar el-Fikr Asy Syawkany, Muhammad bin Ali bin Muhammad Nayl al Awthar Syarh Muntaq al-
Akbar min Aahadits Sayyid al-Akhyar, Beirut: Dar al-Fikr, 1994
Al-Tirmidzi, Muhammad bin Isa. Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dar al-Fikr, 1983 Al-Shan’ani, Muhammad bin Ismai’il, Subul as Salam Syarh Bulugh al-Maram min Jami’
‘Adillah al-Ahkam. Bandung: Maktabah Dahlan, t.th Al-Nasa’I, Abu ‘Abdu Rahman bin Syu’aib. Sunan al-Nasa’I al-Mujtaba. Mesir: Mustafa
al-Babi al-Halabi, 1964 Abu Daud. Sunan Abu Daud, Dar al-Fikr, Beirut, 1984 Al ‘Asqalany, Hidayat al Anam bi Syarh Bulugh al Maram min Adilat al Ahkam, 409,
2006, Dar al Fikr , Damaskus, Libanon.
Al-Khatib, Ajjaj, Ushul al Hadits wa Musthaluhu, Dar al-Fikr, Beirut, 1979 Asqalani –al, Ibnu Hajar, Tahzib al Tahzib Al-Qattan , Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al-Qura’an A’zami, Musthafi, Studies in Hadith Metodology and Litetaures, Amirican Trust
Publication, 1977
Al-Siba’I, Musthafa, al-Sunnat wa Makanatuha min al-Tasyri’ al-Islami, Beirut: al- Maktabah al-Islami, 1978
Az-Zuhaily, Wahbah, Al Fiqh al Islamy wa Adilatuh, Juz 7, Dar al Fikr , Damaskus, Libanon.
Fathurrahman: Ikhtisar Musthalah Hadits, Bandung: PT. Al. Ma’arif, 1970
Fudahili, Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-Hadis Shahih, Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jendral Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010 Majah, Ibnu. Sunan Ibnu Majah, Dar al-Fikr, Beirut, 1984 Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Cet. ke-3, Jakarta: Amzah, 2009 Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Cet. ke-3. Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2004 Muh. Zuhri. Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: LESFI,
2003 Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Dar-al Fikri, tth Nasution, Khoruddin dan Ma’rifah, Nurul, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia
Muslim Modern, Yogyakarta: ACAdeMIA Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN Malang Press, 2010 Ad Dur al Mukhtar wa Rad al Mukhtar:: 2/551, Al Qawanin al Fiqhiyah: 212, Al Muhadzab: 2/66, Takmilatul Majmu’: 15/578, dan Kasyf al Qina: 5/214. Ad Dur al Mukhtar wa Rad al Mukhtar: 2/552 Radd al Mukhtar, 2/823-824. Ya’qub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Cet. ke-4, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004 Wensinck, A.J., Mu’jam al-Mufahras li Al-Fadz al-Hadits