gppa

49
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmatNya sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Secara keseluruhan, saya melaporkan hasil yang saya peroleh dari beberapa sumber jurnal dan buku terkait dengan gangguan Perkembangan Psikologis dan Assesment Psikologis. Dan harapan saya nantinya tugas ini dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman kami mengenai materi pada blok neuropsikiatri ini. Saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungan, hingga terselesaikannya tugas ini. Saya menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun, demi penyempurnaan tugas-tugas saya selanjutnya. Mataram, 20 April 2015 Penyusun

description

mnsbdhjsvdghvsgd

Transcript of gppa

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmatNya sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Secara keseluruhan, saya melaporkan hasil yang saya peroleh dari beberapa sumber jurnal dan buku terkait dengan gangguan Perkembangan Psikologis dan Assesment Psikologis. Dan harapan saya nantinya tugas ini dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman kami mengenai materi pada blok neuropsikiatri ini.

Saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungan, hingga terselesaikannya tugas ini. Saya menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun, demi penyempurnaan tugas-tugas saya selanjutnya.

Mataram, 20 April 2015

Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Gangguan-gangguan yang termasuk dalam gangguan perkembangan psikologis (F80-f89) pada umumnya mempunyai gambaran onset bervariasi selama masa bayi atau anak-anak, adanya hendaya atau keterlambatan perkembangan fungsi-fungsi yang berhubungan dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan berlangsung terus menerus tanpa ada remisi dan kekambuhan yang khas pada beberapa gangguan jiwa. Pada sebagian besar kasus, fungsi yang dipengaruhi termasuk bahasa, keterampilan video-spatial dan/atau koordinasi motorik. Yang khas adalah hendayanya yang berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia anak (walaupun defisit lebih ringan sering menetap hingga masa dewasa). Khas pada gangguan perkembangan terdapat riwayat keluarga dengan gangguan yang sama atau sejenisnya. Terdapat bukti bahwa faktor genetik juga berperan penting dalam beberapa kasus (meskipun tidak semuanya).BAB II

ISI

Etiologi

Gangguan perkembangan dapat disebabkan karena perkembangan yang salah selama dalam proses tumbuh dan berkembang. Perkembangan yang salah umumnya mencakup:

a. Ketidakmatangan atau fixasi, yaitu individu gagal berkembang lebih lanjut ke fase berikutnya

b. Titik-titik lemah yang ditinggalkan oleh pengalaman traumatic menjadi kepekaan kita terhadap jenis stressor atau stress tertentu

c. Distorsi, yaitu bila kita ingin mengembangkan sikap atau pola reaksi yang tidak sesuai atau bila kita gagal mencapai integrasi kepribadian yang normal.

Proses perkembangan psikologi yang salah umumnya disebabkan oleh berbagai hal seperti deprivasi dini, pola keluarga yang patohenik dan masa remaja yang dilalui dengan tidak baik (Maramis, 2009)

A. Gangguan Perkembangan khas berbicara dan berbahasa (F80)

Gangguan ini adalah gangguan pola normal penguasaan bahasa sejak awal perkembangan. Kondisi ini secara tidak langsung berkaitan dengan kelainan neurologis, mekanisme bicara, gangguan sensori, retardasi mental, atau faktor lingkungan. Anak mungkin lebih mampu berkomunikasi atau mengerti pada situasi tertentu yang sangat dikenalnya daripada situasi lain, tetapi kemampuan berbahasa pada setiap keadaan sedikit terganggu (Maslim, 2003). Kesulitan utama diagnosis gangguan perkembangan khas berbicara dan berbahasa adalah membedakannya dengan variasi perkembangan anak normal. Anak dengan perkembangan yang normal mempunyai variasi yang besar pada usia saat pertama kali belajar berbicara dan berbahasa. Anak normal dengan keterlambatan berbicara (slow speaker) sebagian besar bisa berkembang menjadi normal. Sebaliknya, anak dengan gangguan perkembangan khas bicara dan berbahasa, meskipun pada akhirnya sebagian besar mencapai tingkat normal dari keterampilan berbahasa, namun juga akan diikuti oleh masalah-masalah yang lainnya seperti kesulitan dalam membaca dan mengeja, kelainan dalam hubungan interpersonal, serta gangguan emosional dan prilaku. Terdapat empat kriteria utama yang digunakan untuk menemukan terjadinya gangguan klinis yang nyata yaitu: a. Keparahan; b. Perjalanan penyakit; c. Pola; d. Masalah yang menyertai (Maslim, 2003). Kesulitan kedua dalam mendiagnosis gangguan perkembangan khas berbicara dan berbahasa adalah membedakannya dengan retardasi mental atau kelambatan perkembangan global. Kecurigaan pada gangguan perkembangan khas jika ditemukan bahwa kelambatan perkembangan yang ditemukan tidak menyimpang dari tingkat rata-rata umum fungsi kognitif. Pada umumnya, retardasi mental akan disertai dengan pola prestasi intelektual yang tidak merata dan hendaya berbahasa yang lebih berat.

Kesulitan ketiga dalam mendiagnosis gangguan perkembangan khas berbicara dan berbahasa adalah membedakannya dari suatu gangguan sekunder akibat dari ketulian yang berat atau beberapa kelainan neurologis atau struktur lain yang khas. Ketulian yang berat pada awal masa kanak-kanak hampir selalu dapat menimbulkan keterlambatan perkembangan bahasa yang menyolok. Kelainan artikulasi yang lansung disebabkan oleh langit-langit mulut yang terbelah atau disatria yang diakibatkan oleh cerebral palsy juga dapat menyebabkan gangguan berbicara. Gangguan berbicara dan berbahasa yang disebabkan oleh hal-hal ini tidak termasuk dalam gangguan khas berbicara dan berbahasa (Maslim, 2003).1. Gangguan Artikulasi berbicara Khas (F80.0). Gangguan ini merupakan gangguan perkembangan khas dimana penggunaan suara untuk berbicara dari anak, berada di bawah tingkat yang sesuai dengan tingkat mentalnya, namun tingkat kemampuan bahasanya berada dalam batas normal. Perlu diperhatikan bahwa usia penguasaan suara untuk berbicara dan cara suara berkembang, menunjukan variasi yang cukup besar pada masing-masing individu. Pada perkembangan normal, anak berusia 4 tahun biasanya akan terjadi kesalahan mengungkapkan suara bicara, namun kesalahan ini dapat dimengerti dengan mudah oleh orang lain. Pada usia 6-7 tahun, sebagian besar suara untuk berbahasa akan diperoleh. Meskipun kesulitan berbicara dapat menetap dengan kombinasi suara tertentu, tetapi hal ini tidak menyebabkan masalah dalam komunikasi. Pada usia 11-12 tahun, penguasaan dari hampir semua suara untuk berbicara harus dicapai (Maslim, 2003). Pada perkembangan yang abnormal, kemahiran suara bicara akan terlambat dan/menyimpang sehingga hal ini dapat menimbulkan misartikulasi berbahasa anak dengan kesulitan orang lain memahami, subtitusi suara bicara dan inkontinensi mengeluarkan suara (anak dapat dengan benar mengucapkan beberapa kata tetapi tidak dapat untuk kata-kata yang lainnya) (Maslim, 2003). Diagnosis ditegakkan hanya jika beratnya gangguan artikulasi diluar batas variasi normal bagi usia mental anak. Pada gangguan ini, kecerdasan (intelegensia) non verbal anak masih dalam batas normal. kelainan artikulasi tidak langsung diakibatkan oleh suatu kelainan sensorik, struktural atau neurologis. Kesalahan ucap pada gangguan ini ditemukan tidak normal dalam konteks pemakaian bahasa percakapan sehari-hari (Maslim, 2003).2. Gangguan berbahasa ekspresif (F80.1). Gangguan berbahasa ekspresif adalah gangguan perkembangan khas dengan kemampuan anak dalam mengekspresikan bahasa lisan/ucapan dibawah rata-rata usia mentalnya, namun pengertian bahasa dalam batas normal, dengan atau tanpa gangguan artikulasi (Maslim, 2003).a. Etiologi

Penyebab spesifik gangguan bahasa ekspresif tidak diketahui. Kerusakan otak yang samar serta keterlambatan pematangan perkembangan otak dicurigai menjadi penyebab yang mendasari gangguan ini. Faktor genetik diperkirakan memainkan peran dalam gangguan ini. Terdapat bukti yang menunjukan bahwa gangguan bahasa terdapat dalam frekuensi yang lebih tinggi pada keluarga tertentu. Beberapa studi juga menunjukan bahwa pada anak kembar monozigot, ditemukan adanya kecenderungan kejadian bersama mengalami gangguan komunikasi yang signifikan. Faktor lingkungan dan pendidikan juga dicurigai turut berperan di dalam gangguan perkembangan bahasa dan perkembangan pada anak (Maslim, 2003).Perlu diperhatikan bahwa pada umumnya terdapat variasi individu yang cukup besar dalam tingkat perkembangan bahasa yang normal. Namun, pada anak berusia 2 tahun yang ditemukan tidaknya ada kata yang terucap atau hanya kemunculan beberapa kata, hal ini dapat menjadi tanda yang bermakna dalam mencurigai keterlambatan pada anak. Tanda keterlambatan lain juga dapat diberikan pada anak berusia 3 tahun yang tidak mampu mengerti kata majemuk sederhana. Tanda lain yang muncul belakangan dapat berupa perkembangan kosakata yang terbatas, kesulitan dalam memilih dan mengganti kata-kata yang tepat, penggunaan berlebihan dari sekelompok kecil kata-kata umum, pemendekan ucapan yang panjang, struktur kalimat yang mentah, kesalahan kalimat (syntactical), kehilangan awalan dan akhiran yang khas serta kesalahan/kegagalan dalam menggunakan aturan tata bahasa seperti kata penghubung, kata ganti, artikel dan kata kerja/benda yang mengalami perubahan. Dapat dijumpai generalisasi yang tidak tepat dari aturan tata bahasa, seperti kekurangan dalam pengucapan kalimat dan kesulitan mengurut kejadian yang telah lewat. Ketidakmampuan dalam bahasa lisan sering disertai dengan kelambatan atau abnormalitas dalam bunyi kata yang dihasilkan (Maslim, 2003). Diagnostik ditegakan jika tingkat keparahan dari kelambatan perkembangan berbahasa ekspresif telah melewati batas variasi normal dari umur mental anak, namun kemampuan pengertian bahasa masih dalam batas normal. Penggunaan bahasa non verbal (Senyum dan gerakan tubuh) dan bahasa internal yang tampak dalam imajinasi atau dalam permainan khayalan tetap utuh. Dalam hal ini, kemampuan dalam komunikasi sosial tanpa kata tidak terganggu. Anak sebagai kompensasi dari kekurangannya akan berusaha berkomunikasi dengan menggunakan demonsterasi, gerakan tubuh, mimik atau bunyi-bunyi non bahasa. Namun, anak sebagian besar akan menjumpai kesulitan dalam hubungan dengan teman sebayanya, gangguan emosional, gangguan prilaku dan/atau aktivitas berlebih serta kurang perhatian. Gangguan kehilangan pendengaran parsial sering ditemukan dalam kasus ini, namun hal ini tidak harus menjadi penyebab dari kelambatan bahasa. Gangguan dalam percakapan dapat dianggap sebagai penyebab terbesar dalam gangguan perkembangan berbahasa ekspresif (Maslim, 2003).3. Gangguan berbahasa Reseptif (F80.2) Gangguan berbahasa reseptif adalah gangguan perkembangan khas ditandai dengan kemampuan anak untuk mengerti bahasa di bawah rata-rata usia mentalnya. Namun, dalam hampir semua kasusnya dalam perkembangannya, kemampuan bahasa ekspresif juga akan kemungkinan besar juga ikut terganggu dalam gangguan ini (Maslim, 2003).Gangguan ini perlu dicurigai jika ditemukan anak tidak mampu memberi respon terhadap nama benda yang umum pada umur 1 tahun, anak ditemukan tidak mampu mengidentifikasi beberapa objek sederhana dalam umur 18 bulan serta anak ditemukan gagal mengikuti instruksi sederhana pada umur 2 tahun. Kesulitan yang ditemukan pada massa lanjut seperti kesulitan dalam pengertian struktur tata bahasa (bentuk kalimat, pertanyaan, perbandingan, dsb) dan pengertian kehalusan bahasa (nada suara, gerakan tubuh, dsb) (Maslim, 2003).Diagnostik gangguan berbahasa reseptif ditegakan jika tingkat kelambatan dalam bahasa reseptif anak berada di luar batas normal rata-rata usia mental anak dan jika kriteria gangguan perkembangan pervasif tidak dijumpai pada anak. Pada hampir semua kasus, perkembangan bahasa ekspresif juga ditemukan terlambat. Gangguan berbahasa reseptif mempunyai tingkat hubungan yang tinggi dengan gangguan sosio-emosional-perilaku. Meskipun tidak khas, anak dengan gangguan ini menunjukan hiperaktivitas, kurang perhatian, kecanggungan sosial, anxietas, sensitifitas dan malu yang tidak wajar. Anak dengan gangguan berbahasa reseptif yang berat biasanya disertai dengan kelambatan dalam perkembangan sosial, dapat mengulang kata yang tidak mereka mengerti dan menunjukan pola perhatian yang terbatas. Meskipun demikian, anak dengan gangguan berbahasa reseptif (Maslim, 2003).berbeda dengan anak autistik dalam hal interaksi sosial yang lebih normal, pemanfaatan orang tua untuk berlindung normal, penggunaan gerak tubuh yang hampir normal, dan ditemukan hanya sedikit kesulitan untuk berkomunikasi. Kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi dapat ditemukan, tetapi tingkat ketulian tidak cukup untuk menimbulkan hendaya berbahasa (Maslim, 2003).4. Afasia yang didapat dengan Epilepsi/ Sindrom Landau-Kleffnerr (F80.3). Sindrom ini merupakan suatu gangguan yang didahului terlebih dahulu dengan perkembangan berbahasa yang normal, kemudian kehilangan kedua kemampuan berbahasa reseptif dan ekspresif, namun intelegensia umum masih dalam batas normal. Onset gangguan disertai dengan abnormalitas paroksismal pada EEG dan dalam banyak kasus disertai kejang epileptik. Pada umumnya, onset gangguan ini berada pada rentang umur 3-7 tahun, tetapi dapat juga muncul lebih awal atau lebih lambat. Pada seperempat jumlah kasus, akan terjadi kehilangan berbahasa secara perlahan-lahan dalam beberapa bulan. Namun, pada kasus lain, onset terjadi secara mendadak dalam beberapa hari atau minggu (Maslim, 2003).Hubungan temporal antara onset kejang dengan kehilangan berbahasa bervariasi, biasanya salah satu mendahului yang lain dalam beberapa bulan sampai 2 tahun. Khas pada gangguan ini adalah ditemukannya hendaya berbahasa reseptif yang sangat berat., dengan kesulitan dalam pengertian melalui pendengaran yang sering timbul pada manifestasi awal. Beberapa anak menjadi membisu, mengeluarkan suara ulang yang tak berarti atau kekurang lancaran berbahasa. Pada beberapa kasus, kualitas suara terganggu dengan hilangnya alunan suara yang normal. Kadang-kadang gangguan berbahasa timbul-hilang dalam fase awal gangguan ini. Gangguan emosional dan prilaku sering menyusul beberapa bulan setelah gangguan berbahasa, tetapi hal itu cenderung membaik pada saat anak mampu berkomunikasi (Maslim, 2003). Penyebab kondisi ini tidak diketahui pasti, namun dengan ciri khas yang ditunjukan diperkirakan disebabkan proses radang pada otak. Perjalanan penyakit ini cukup bervariasi: kira-kira dua pertiga dari anak-anak ini akan tetap kurang mampu dalam bahasa reseptif sedangkan satupertiganya mampu untuk sembuh sempurna (Maslim, 2003).5. Gangguan perkembangan berbicara dan berbahasa lainnya (F80.8)6. Gangguan perkembangan berbicara dan berbahasa YTT (F80.9).

F81 GANGGUAN PERKEMBANGAN BELAJAR KHAS

Suatu gangguan pada pola normal kemampuan penguasaan keterampilan, yang terganggu sejak stadium awal dari perkembangan(specific developmental disorders of scholastic skills).

Gangguan dalam belajar ini tidak merupakan hasil langsung dari gangguan yang lain (seperti retardasi mental, deficit neurologis yang besar, masalah visus dan daya denger uang tidak terkoreksi, atau gangguan emosional), walaupun mungkin terdapat bersamaan dengan kondisi tersebut.

Gangguan perkembangan khas seringkali terdapat bersama dengan sindrom klinis lain (seperti gangguan pemusatan perhatian atau gangguan tingkah laku) atau gangguan perkembangan lain (seperti gangguan perkembangan motorik khas atau gangguan perkembangan khas berbicara atau berbahasa).

Etiologi dari gangguan perkembangan belajar khas tidak diketahui, tetapi diduga bahwa manifestasi gangguan ini disebabkan oleh factor biologis yang berinteraksi dengan faktor non-biologis (seperti kesempatan belajar dan kualitas pengajaran).

Pedoman Diagnostik

Terdapat beberapa syarat dasar untuk diagnosis gangguan perkembangan belajar khas :

a. Secara klinis terdapat derajat hendaya yang bermakna dalam keterampilan skolastik, tertentu ( beratnya hendaya dinilai dari : ukuran skolastik, gangguan perkembangan yang mendahului masalah yang terkait, pola, dan respon);

b. Hendayanya harus khas dalam arti bahwa tidak semata-mata dapat dijelaskan dari retardasi mental atau hendaya ringan dalam intelegensiumum, sebab IQ dan kinerja skolastik tidak persis berjalan bersamaan/parallel);

c. Hendaya harus dalam masa perkembangan, dalam arti harus sudah ada dalam awal usia sekolah dan tida didapat dalam proses perjalanan pendidikan ebih lanjut;

d. Harus tidak ada faktor luar yang dapat menjadi alas an untuk kesulitan skolastik (misalnya: kesempatan belajar, sistem pengajaran, pindah sekolah, dsb);

e. Tidak langsung disebabkan oleh hendaya visus atau pendengaran yang tidak terkoreksi.

Dengan petunjuk diatas, diagnosis gangguan perkembangan belajar khas harus berlandaskan temuan positif dari gangguan kinerja skolastik yang secra klinis bermakna, yang berkaitan dengan faktor-faktor dalam (intrinsic) dari perkemabngan anak.

F81.0 Gangguan Membaca Khas

Pedoman Diagnostik

Kemampuan membaca anak harus secra bermakna lebih rendah tingkatannya daripada kemampuan diharapkan berdasarkan pada usianya, inteligensia umum, dan tingkatan sekolahnya.

Gangguan perkembangan khas membaca biasanya didahului oleh riwayat gangguan perkembangan berbicara atau berbahasa.

Hakikat yang tepat dari masalah membaca tergantung pada taraf yang diharapkan dari kemampuan membaca,berbahasa, dan tulisan.

Namun dalam tahap awaldari belajar membaca tulisan abjad, dapat terjadi kesulitan mengucapkan huruf abjad, abjad, dapat terjadi kesulitan mengucapkan huruf abjad, menyebut nama yang benar dari tulisan, member irama sederhana dari kata-kata yang diucapkan, dan dalam menganalisis atau mengelompok bunyi-bunyi (meskipun ketajaman pendengaran normal).

Kemudian dapat terjadi kesalahan dalam kemampuan membaca lisan, seperti ditunjukkan berikut ini :

a. Ada kata-kata atau bagian-bagiannya yang mengalami penghilangan, penggantian, penyimpangan, atau penambahan.

b. Kecepatan membaca yang lambat.

c. Salah memulai, keraguan yang lama atau kehilangan bagian dari teks dan tidak dapat menyusun kalimat.

d. Susunan kata-kata yang terbalik dalam kalimat, atau huruf-huruf terbalik dalam kata-kata.

Dapat juga terjadi defisit dalam memahami bacaan, seperti diperlihatkan oleh contoh:

e. Ketidakmampuan menyebut kembali isi bacaan

f. Ketidakmampuan untuk menarik kesimpulan dari materi bacaan

g. Dalam menjawab pertanyaan perihal sesuatu bacaan, lebih menggunakan pengetahuan umum sebagai latar belakang informasi daripada informasi yang berasal dari materi bacaan tersebut.

Gangguan emosional dan/atau perilaku yang menyertai biasanya timbul pada masa usia sekolah. Masalah emosional biasanya lebih banyak pada masa tahun pertama sekolah, tetapi gangguan perilaku dan sindrom hiperaktivitas hampir selalu ada pada akhir masa kanak dan re,aja.

F81.1 Gangguan Mengejar Khas

Pedoman Diagnostik

Gangguan utama dari gangguan ini adalah hendaya yang khas dan bermakna dalam perkembangan kemampuan mengeja tanpa riwayat gangguan membaca khas, yang bukan disebabkan oleh rendahnya usia mental, masalah ketajaman penglihatan, pendengaran atau fungsi neurologis, dan juga bukan didapatkan sebagai akibat gangguan neurologis, gangguan jiwa, atau gangguan lainnya.

Kemampuan mengeja anak harus sevara bermakna dibawah tingkat yang seharusnya berdasarkan usiany, inteligensia umum, dan tingkat sekolahnya, dan terbaik dinilai dengan cara pemeriksaan untuk kemampuan mengeja yang baku.

F81.2 Gangguan Berhitung Khas

Pedoman diagnostic

Gangguan ini meliputi hendaya yang khas dalam kemampuan berhitung yang tidak dapat diterangkan berdasarkan adanya retardasi mental umum atau tingkat pendidikan di sekolah yang tidak adekuat. Kekurangannya ialah penguasaan pada kemampuan dasar berhitung yaitu tambah, kurang, kali, bagi (bukan kemampuan matematika yang lebih abstrak dalam aljabar, trigonometr, geometri atau kalkulus).

Kemampuan berhitung anak harus secara bermakna lebih rendah daripada tingkat yang seharusnya dicapai berdasarkan usianya, inteligensia umum, tingkat sekolahnya, dan terbaik dinilai dengan cara pemeriksaan untuk kemampuan berhirung yang baku.

Keterampilan membaca dan mengeja harus dalam batas normal sesui dengan umur mental anak.

Kesulitan dalam berhitung bukan disebabkan oleh pengajaran yang tidak adekuat, atau efek langsung dari ketajaman penglihatan, pendengaran, atau fungsi naurologis, dan tidak didapatkan sebagai akibat dari gangguan naurologis, gangguan jiwa, atau gangguan lainnya.

F81.3 Gangguan Belajar Campuran

Pedoman Diagnostik

Merupakan kategori sisa gangguan yang batasnya tidak jelas,

Hendaya pada kemampuan berhitung,membaca atau mengeja secara bermakna, tetapi tidak dapat diterangkan sebagai akibat dari retardasi mental atau pengajaran yang tidak adekuat, atau efek langsung dari ketajaman penglihatan, pendengaran, atau fungsi neurologis.

Gangguan yang memenuhi criteria pada F81.2, F81.0 atau F81.1F82 GANGGUAN PERKEMBANGAN MOTORIK KHAS

Gambaran utama dari gangguan ini adalah hendaya berat dalam perkembangan kordinasi motorik yang tidak semata-mata disebabkan oleh retardasi mental atau gangguan neurologi khas baik yang didapat atau yang kongenital (selain dari yang secara implicit ada kelainan koordinasi). Sesuatu yang biasanya bahwa kelambanan motorik dihubungkan dengan hendaya dalam kemampuan melaksanakan tugas kognitif visuo-spasial.

Koordinasi motorik anak, dalam gerak halus atau kasar, harus secara bermakna di bawah rata-rata dari yang seharusnya berdasarkan usianya dan intelegensia umum. Keadaan ini terbaik dinilai dengan tes baku dari koordinasi motorik.

Kesulitan dalam koordinasi harus sudah tampak sejak dalam fase perkembangan awal(bukan merupakan hendaya yang didapat), dan juga bukan akibat langsung dari gangguan penglihatan atau pendengaran atau dari gangguan neurologis lainnya.

Jangkauan dari gangguan yang meliputi koordinasi motorik halus dan kasar sangat luas, dan pola hendaya motorik bervariasi sesuai usia. Tahap perkembangan motorik dapat terlambat dan dapat berkaitan dengan kesulitan berbicara (khususnya mengenai gangguan artikulasi). Anak tampak aneh cara berjalannya, lambat belajar berlari, meloncat dan naik turun tangga. Terdapat kesulitan belajar mengikat tali sepatu, memasang dan melepaskan kancing, serta melempar dan menangkap bola. Anak tampak lamban dalam gerak halus dan kasar, benda yang dipegang mudah jatuh, terjatuh, tersandung, menabrak, dan tulisan tangan tangan yang buruk. Tak pandai menggambar, dan sulit mengerjakan permainan jigsaw, menggunakan peralatan konstruksional, menyusun bentuk bangunan, membangun model, main bola serta menggambar dan mengerti peta. Sering disebut juga the Clumsy Child Syndrome.

Kesulitan bersekolah dapat dijumpai dan kadang-kadang tarafnya sangat berat, dalam beberapa kasus terdapat juga masalah perilaku sosio-emosional, tetapi frekuensi dan cirinya tidak banyak diketahui.

Tidak dijumpai kelainan neurologis yang nyata (seperti cerebral palsy atau distrofi otot). Pada kebanyakan kasusdengan pemerksaan klinis yang teliti, menunjukkan kelambatan perkembangan neurologis (didapatkan soft neurological signs yang dapat terjadi pada anak normal tanpa menunjukkan lokasi lesi). Pada beberapa kasus dapat dijumpai riwayat komplikasi perinatal seperti berat badan lahir rendah (lahir prematur).

F83 GANGGUAN PERKEMBANGAN KHAS CAMPURAN

Keadaan ini merupakan sisa kategori gangguan yang batasannya tak jelas, konsepnya tidak adekuat (tetapi perlu) dengan gangguan perkembangan khas campuran dari berbicara dan berbahasa (F80), keterampilan skolastik (F81), dan atau fungsi motorik (F82), tetapi tidak ada satu gejala yang cukup dominan untuk dibuat sebagai diagnosis utama. F84 GANGGUAN PERKEMBANGAN PERVASIF

Kelompok gangguan ini ditandai dengan kelainan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbale balik dan dalam pola komunikasi serta minat dan aktivitas yang terbatas, stereoptik, berulang. Kelainan kualitatif ini menunjukkan gambaran yang pervasive dari fungsi-fungsi individu dalam semua situasi, meskipun dapat berbeda dalam derajat keparahannya.

F84.0 Autisme Masa Kanak

Pedoman diagnostik :

Gangguan perkembangan pervasive yang ditandai oleh adanya kelainan dan atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3tahun dan dengan cirri kelainan fungsi dalam tiga bidang interaksi soasial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang.

Biasanya tidak jelas ada periode perkembangan yang normal sebelumnya, tetapi bila ada, kelainan perkembangan sudah menjadi jelas sebelum usia 3 tahun, sehingga diagnosis sudah dapat ditegakkan. Tetapi gejala-gejalanya (sindrom) dapat di diagnosis pada semua kelompok umur.

Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi sosial yang timbale balik (reciprocal social interaction). Ini berbentuk apresiasi yang tidakadekuat terhadap isyarat sosio-emosional, yang tambpak sebagai kurangnya respons terhadap emosi orang lain dan atau kurangnya modulasi terhadap perilaku dalam konteks sosial, buruk dalam menggunakan isyarat sosial dan integrasi yang lemah dalam perilaku sosial, emosional dan komunikatif, dan khususnya kurangnya respons timbale balik sosio-emosional.

Demikian juga terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi. Ini berbentuk kurangnya penggunaan keterampilan bahasa yang dimiliki di dalam hubungan sosial, hendaya dalam permainan imaginatif dan imitasi sosial, keserasian yang buruk dan kurangnya interaksi timbale balik dalam percakapan, buruknya keluwesan dalam bahasa ekspresif dan kreatifitas dan fantasi dalam proses piker yang relatif kurang, kurangnya respon emosional terhadap ungkapan verbal dan non-verbal orang lain, hendaya dalam menggunakan variasi irama atau penekanan sebagai modulasi komunikatif, dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau member arti tambahan dalam komunikasi lisan.

Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat dan kegiatan yang terbatas, berulang dan stereotipik. Ini berbentuk kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, ini biasanya berlaku untuk kegiatan baru dan juga kebiasaan sehari-hari serta pola bermain. Terutama sekali dalam masa kanak yang dini, dapat terjadi kelekatan yangkhas terhadap benda-benda yang aneh, khususnya benda yang tidak lunak. Anak dapat memaksakan kegiatan rutin dalam ritual yang sebetulnya tidak perlu, dapat terjadi preokupasi yang stereotipik terhadap suatu minat seperti tanggal, rute atau jadwal, sering terdapat stereotipik motorik, sering menunjukkan minat khusus terhadap segi-segi non-fungsional dari benda-benda (misalnya bau atau rasanya), dan terdapat penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam detil dari lingkungan hidup pribadi (seperti perpindahan mebel atau hiasan dalam rumah).

Semua tingkatan IQ dapat ditemukan dalam hubungannya dengan autism, tetapi pada tiga perempat kasus secara signifikan terdapat retardasi mental.

F84.1 Autisme Tak Khas

Pedoman diagnostik :

Gangguan perkembangan pervasive yang berbeda dari autism dalam hal usia onset maupun tidak terpenuhnya ketiga kriteria diagnostik. Jadi kelainan dan atau hendaya perkembangan menjadi jelas untuk pertama kalinya pada usia setelah 3 tahun, dan atau tida cukup menunjukkan kelinan dalam satu atau dua dari tiga bidang psikopatologi yang dibutuhkan untuk diagnosis autisme (interaksi sosial timbale balik, komunikasi, dan perilaku terbatas stereotipik, dan berulang) meskipun terdapat kelainan yang khas dalam bidang lain.

Autism tak khas sering muncul pada individu dengan retardasi mental yang berat, yang sangat rendah kemampuannya, sehingga pasien tidak mampu menampakkan gejala yang cukup untuk menegakkan diagnosis autism. Ini juga tampak pada individu dengan gangguan perkembangan yang khas dari bahsa reseptif yang berat.

F84.2 Sindrom Rett

Pedoman diagnostik :

Pada sebagian besar kasus onset gangguan terjadi pada usia 7-24 bulan. Pola perkembangan awal yang tampak normal atau mendekati normal, diikuti dengan kehilangan sebgian atau seluruhnya keterampilan tangan dan berbicara yang telah didapat, bersamaan dengan terdapatnya kemunduran/ perlambatan pertumbuhan kepala. Perjalanan gangguan bersifat progressive motor deterioration.

Gejala khas yang paling menonjoladalah hilangnya kemampuan gerakan tangan yang bertujuan dan keterampilan manipulative dari motorik halus yang telah terlatih. Disertai kehilangan atau hambatan seluruh atau sebagian perkembangan berbahasa, gerakan seperti mencuci tangan yang stereotipik, dengan fleksi lengan di depan dada atau dagu, membahsahi tangan secara stereotipik dengan ludah (saliva), hambatan dalam mengunyah makanan yang baik, sering terjadi episode hiperventilasi, hampir selalu gagal dalam pengaturan buang air besar dan buang air kecil, sering terdapat penjuluran lidah dan air liur yang menetes, dan kehilangan dalam ikatan sosial.

Secara khas tampak anak tetap dapat senyum sosial (social smile), menatap seseorang dengan kosong, tetapi tidak terjadi interaksi sosial dengan merekapada awal masa kanak (walaupun interaksi sosial dapat berkembang kemudian).

Cara berdiri dan berjalan cenderung melebar (broad based), otot hipotonik, koordinasi gerak tubuh memburuk (ataksia), serta skoliosis atau kifoskoliosis yang berkembang kemudian. Atrofi spinal, dengan disabilitas motorik berat yang muncul pada saat remaja atau dewasa pada kurang lebih 50% kasus. Kemudian dapat timbul spastisitas dan rigiditas yang biasanya lebih banyak terjadi pada ekstremitas bawah dari pada ekstremitas atas. Serangan epileptic yang mendadak (epileptic fits), biasanya dalam bentuk yang kecil-kecil, dengan onset serangan umumnya sebelum usia 8 tahun, hal ini terjadi pada kebanyakan kasus. Berbeda sekali dengan autism, disini jarang terjadi perilaku mencederai diri dengan sengaja dan preokupasi yang stereotipik kompleks atau yang rutin.

F84.3 Gangguan Desintegratif Masa Kanak Lainnya

Pedoman diagnostik :

Diagnosis ditegakkan berdasarkan suatu perkembangan normal yang jelas sampai usia minimal 2 tahun, yang diikuti dengan kehilangan yang nyata dari keterampilan yang sudah diperoleh sebelumnya, disertai dengan kelainan kualitatif dalam fungsi-fungsi sosial.

Biasanya terjadi regresi yang berat atau kehilangan kemampuan berbahasa, regresi dalam kemampuan bermain, keterampilan sosial, dan perilaku adaptif, dan sering dengan hilangnya pengendalian buang air besar atau kecil, kadang-kadang disertai dengan kemerosotan pengendalian motorik.

Yang khas, keadaan tersebut bersamaan dengan hilangnya secara menyeluruh perhatian/ minat terhadap lingkungan , adanya mannerisme motorik yang stereotipik dan berulang, serta hendaya dalam interaksi sosial dan komunikasi yang mirip dengan autism.

Dalam hal-hal tertentu sindrom ini mirip dengan dementia pada orang dewasa, tetapi berbeda dalam tiga hal biasanya tidak ada bukti penyakit atau kerusakan organic yang dapat ditemukan 9walaupun beberap tipedisfungsi otot organic dapat ditelesuri), kehilangan keterampilan dapat diikuti dengan beberapa derajat perbaikan, hendaya dalam fungsi sosial dan komunikasi mempunyai kualitas lebih berciri autistic daripada kemunduran intelektual.

F84.4 Gangguan Aktivitas Berlebih Yang Berhubungan dengan Retardasi Mental dan Gerakan Stereotipik

Pedoman diagnostik :

Diagnosis ditentukan oleh kombinasi antara perkembangan yang tak serasi dari overaktivitas yang berat, stereotipik motorik, dan retardasi mental berat

Ketiga hal tersebut harus ada untuk menegakkan diagnosis. Bila kriteria diagnostik untuk F84.0, F84.1, atau F84.2 terpenuhi, keadaan tersebut harus didiagnosis sesuai kriterianya.

F84.5 Sindrom Asperger

Pedoman diagnostik :

Diagnosis ditentukan oleh kombinasi antara:

a. Tidak adanya hambatan/keterlambatan umum dalam perkembangan berbahasa atau perkembangan kognitif yang secara klinis jelas, seperti pada autism

b. Adanya defisiensi kualitatif dalam fungsi interaksi sosial yang timbal balik]

c. Adanya pola perilaku, perhatian dan aktivitas yang terbatas, berulang dan stereotipik.

Mungkin terdapat atau tidak terdapat masalah dalam komunikasi yang sama seperti yang berkaitan dengan autism, tetapi terdapatnya keterlambatan berbahsa yang jelas akan menyingkirkan diagnosis ini.

F84.8 Gangguan Perkembangan Pervasif Lainnya

F84.9 Gangguan Perkembangan Pervasif YTT

F88 GANGGUAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS LAINNYA

F89 GANGGUAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS YTT

PROSES ASESMEN KLINIS

Inti asesmen adalah mengumpulkan informasi yang akan digunakan untuk mengenali dan menyelesaikan masalah menjadi lebih efektif.

I II III

IV

I. PLANNING DATA COLLECTION PROCEDURES Apa yang ingin kita ketahui ?

Usaha-usaha atau penekanan asesmen yang dilakukan disesuaikan dengan pendekatan atau teori yang akan digunakan. Penekanan asesmen berkaitan dengan dinamika kepribadian, latar belakang lingkungan sosial dan keluarga, pola interaksi dengan orang lain, persepsi terhadap diri dan realita atau riwayat secara genetis dan fisiologi.

Tabel 1. Tingkat asesmen dan data yang berkaitan

TINGKAT ASESMENJENIS DATA

1. SomatisGolongan darah, pola respon somatis terhadap stres, fungsi hati, karakteristik genetis, riwayat penyakit, dsb

2. FisikBerat/tinggi badan, jenis kelamin, warna kulit, bentuk tubuh, tipe rambut, dsb

3. DemografisNama, umur, tempat/tanggal lahir, alamat, nomor telepon, pekerjaan, pendidikan, penghasilan, status perkawinan, jumlah anak, dsb

4. Overt behaviorKecepatan membaca, koordinasi mata-tangan, kemampuan conversation, ketrampilan bekerja, kebiasaan merokok, dsb

5. Kognitif/intelektualRespon terhadap tes intelegensi, daya pikir, respon terhadap tes persepsi, dsb

6. Emosi/afeksiPerasaan, respon terhadap tes kepribadian, emosi saat bercerita, dsb

7. LingkunganLokasi dan karakteristik tempat tinggal, deskripsi kehidupan pernikahan, karakteristik pekerjaan, perilaku anggota keluarga dan teman, nilai-nilai budaya dan tradisi, kondisi sosial ekonomi, lokasi geografis, dsb

PEDOMAN STUDI KASUS :

1. Identifikasi data, meliputi : nama, jenis kelamin, pekerjaan, penghasilan, status perkawinan, alamat, tempat tanggal lahir, agama, pendidikan, suku bangsa.

2. Alasan kedatangan dan keluhan, harapan-harapan klien.

3. Situasi saat ini, meliputi : di tempat tinggal, kegiatan harian, perubahan dalam hidup yang terjadi dalam satu bulan, dsb.

4. Keluarga, meliputi : deskripsi orang tua, saudara, figur lain dalam keluarga yang dekat dengan klien (significant other), peran dalam keluarga, dsb.

5. Ingatan awal, mendeskripsikan tentang kejadian dan situasi pada awal kehidupannya.

6. Kelahiran dan perkembangan, meliputi : usia saat bisa berjalan dan berbicara, permasalahan dengan anak lain, pengaruh dari pengalaman masa kecil, dsb.

7. Kondisi fisik dan kesehatan, meliputi : penyakit sejak kecil, penggunaan obat dokter atau obat terlarang yang berturut-turut, merokok, alkohol, kebiasaan makan atau olahraga, dsb.

8. Pendidikan, meliputi : riwayat pendidikan, bidang pendidikan yang diminati, prestasi, bidang yang dirasa sulit, dsb.

9. Pekerjaan, meliputi : alasan berhenti atau pindah kerja, sikap dalam menghadapi pekerjaan, dsb.

10. Minat dan hobi, meliputi : kesenangan, ekspresi diri, hobi, dsb.

11. Perkembangan seksual, meliputi : aktivitas seksual, ketepatan dalam pemuasan kebutuhan seksual, dsb.

12. Data perkawinan dan keluarga, meliputi : alasan menikah, kehidupan perkawinan dalam budayanya, masalah selama menikah, kebiasaan dalam rumah tangga, dsb.

13. Dukungan sosial, minat sosial dan komunikasi dengan orang lain, meliputi : tingkat frekuensi untuk berhubungan dengan orang lain, kontribusi selama berinteraksi, kesediaan menolong orang lain, dsb.

14. Self description, meliputi : kekuatan dan kelemahan, daya imajinasi, kreativitas, nilai-nilai dan ide.

15. Pilihan dalam hidup, meliputi : keputusan untuk berubah, kejadian penting, dsb.

16. Tujuan dan masa depan, meliputi : harapan pada 5 10 tahun yang akan datang, hal-hal yang perlu disiapkan untuk itu, kemampuan untuk menetapkan tujuan, daya realistis berhubungan dengan waktu, dsb.

17. Hal-hal lain dapat dilihat dari riwayat atau latar belakang klien.

Pedoman tersebut harus selalu disesuaikan dengan pendekatan yang akan digunakan :

Psikodinamika lebih memfokuskan pada pertanyaan seputar motif bawah sadar, fungsi ego, perkembangan pada awal kehidupan (5 tahun pertama) dan berbagai macam defense mechanism.

Kognitif-behavior memfokuskan pada skill, pola berpikir yang biasa digunakan, berbagai stimulus yang mendahului serta permasalahan perilaku yang menyertainya.

Fenomenologi cenderung mengikuti outline asesmen dan melihat bahwa serangkaian asesmen merupakan kolaborasi untuk memahami klien dalam hal bagaimana klien melihat atau mempersepsi dunia.

TUJUAN ASESMEN KLINIS

Ada tiga macam yaitu klasifikasi diagnostik, deskripsi dan prediksi.

1. Klasifikasi diagnostik

Maksud dari klasifikasi (penegakan) diagnostik yang tepat antara lain :

Untuk menentukan jenis treatment yang tepat. Suatu treatment sangat bergantung pada bagaimana pemahaman klinisi terhadap kondisi klien termasuk jenis gangguannya (vermande, van den Bercken, & De Bruyn, 1996).

Untuk keperluan penelitian. Penelitian tentang berbagai penyebab suatu gangguan sangat bergantung kepada validitas dan reliabilitas diagnostik yang ditegakkan.

Memungkingkan klinisi untuk mendiskusikan gangguan dengan cara efektif bersama profesional yang lain (Sartorius et.al, 1996).

Diagnostic System : DSM-IV

Teknik pengklasifikasian gangguan mental sudah dilakukan sejak tahun 1900-an. Sedangkan secara formal baru pada tahun 1952 ketika APA (American Psychiatric Association) menerbitkan sistem klasifikasi diagnostik yang pertama kali, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Sistem ini kemudian terkenal dengan nama DSM I dan berlaku hingga tahun 1968, ketika WHO mengeluarkan International Classification of Diseases (ICD). DSM I kemudian direvisi dan disamakan dengan ICD, kemudian terbit DSM II. DSM I dan II menyeragamkan terminologi untuk mendeskripsikan dan mendiagnosa perilaku abnormal, tetapi tidak menjelaskan tentang aturan sebagai pedoman dalam memutuskan suatu diagnostik. Di dalamnya tidak terdapat suatu kriteria yang jelas bagi tiap gangguan sehingga agak sulit untuk mengklasifikasikan diagnostik. Pada tahun 1980 DSM II mengalami perubahan menjadi DSM III yang diikuti pada tahun 1987 dengan edisi revisi sehingga namanya menjadi DSM III-R. Dalam DSM III ini, sudah terdapat suatu kriteria operasional untuk masing-masing label diagnostik. Kriteria ini meliputi simtom utama dan simtom spesifik serta durasi simtom muncul. Disini juga digunakan pendekatan multiaxial, dimana klien dideskripsikan ke dalam lima dimensi (axis), yaitu :

a. Axis I : 16 gangguan mental major

b. Axis II: Berbagai problem perkembangan dan gangguan kepribadian

c. Axis III: Gangguan fisik atau kondisi-kondisi yang mungkin berhubungan dengan gangguan mental

d. Axis IV:Stressor psikososial (lingkungan) yang mungkin memberi kontribusi terhadap gangguan pada Axis I dan II

e. Axis V: Rating terhadap fungsi psikologis, sosial dan pekerjaan dalam satu tahun terakhir

DSM III-R pun kemudian dikritik karena beberapa kriteria diagnostiknya masih terlalu samar dan masih membuka peluang untuk muncul bias dalam penggunaannya. Dan Axis II, IV dan V mempunyai kekurangan dalam pengukurannya. Akhirnya pada tahun1988, APA membentuk tim untuk membuat DSM IV. Di dalamnya tetap menggunakan pendekatan multiaxial seperti pada DSM III-R dan Axis I hanya dapat di tegakkan jika terdapat jumlah kriteria minimum dari daftar simtom yang disebutkan. Pada DSM IV ini terdapat beberapa modifikasi dalam terminologi sebelumnya dan skema rating yang digunakan pada beberapa axis. Sekarang ini telah diterbitkan DSM IV-TR (Text Revised). Sampai saat ini DSM IV dan DSM IV-TR digunakan sebagai pedoman klinisi dan profesional terkait untuk menentukan diagnostik.

Multiaxial DSM IV :

a. Axis I: Clinical Disorders, Other Conditions That May Be a Focus of Clinical Attentionsb. Axis II: Personality Disorders, Mental Retardationc. Axis III: General Medical Conditions

d. Axis IV: Psychosocial and Environtmental Problemse. Axis V: Global Assessment of Functioning (GAF)

2. Deskripsi

Para klinisi beranggapan bahwa untuk memahami content dari perilaku klien secara utuh maka harus mempertimbangkan juga tentang context sosial, budaya dan fisik klien. Hal itu menyebabkan asesmen diharapkan dapat mendeskripsikan kepribadian seseorang secara lebih utuh dengan melihat pada person-environtment interactions. Dalam fungsinya sebagai sarana untuk melakukan deskripsi terhadap kepribadian seseorang secara utuh, di dalam asesmen harus terdapat antara lain : motivasi klien, fungsi intrapsikis, respon terhadap tes, pengalaman subjektif, pola interaksi, kebutuhan (needs) dan perilaku. Dengan menggunakan pendekatan deskriptif tersebut memudahkan klinisi untuk mengukur perilaku pra treatment, merencanakan jenis treatment dan mengevaluasi perubahan perilaku pasca treatment.

3. Prediksi

Tujuan asesmen yang ketiga adalah untuk memprediksi perilaku seseorang. Misalnya klinisi diminta oleh perusahaan, kantor pemerintah atau militer untuk menyeleksi seseorang yang tepat bagi suatu posisi kerja tertentu. Dalam kasus tersebut, klinisi akan melakukan asesmen dengan mengumpulkan dan menguji data deskriptif yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk melakukan prediksi dan seleksi.

Klinisi kadang dihadapkan pada situasi untuk memprediksi hal-hal yang berbahaya, misalnya pertanyaan seperti Apakah si A akan bunuh diri ?, Apakah si B tidak akan menyakiti orang lain setelah keluar dari RS?. Pada saat itu klinisi harus menentukan jawaban ya atau tidak. Prediksi klinisi tentang berbahaya atau tidak berbahaya dapat dievaluasi dengan empat kemungkinan jawaban.

a. True positive, jika prediksi klinisi berbahaya dan ternyata klien menunjukkan perilaku berbahaya.

b. True negative, jika prediksi klinisi tidak berbahaya dan ternyata klien menunjukkan perilaku yang tidak berbahaya.

c. False negative, jika prediksi klinisi tidak berbahaya tetapi klien menunjukkan perilaku berbahaya.

d. False positive, jika prediksi klinisi berbahaya tetapi klien menunjukkan perilaku tidak berbahaya.

II. COLLECTING ASSESSMENT DATA

Bagaimana seharusnya kita mencari tahu tentang hal itu ?

SUMBER ASESMEN DATA

Ada empat macam yaitu : interview, tes, observasi dan life record.

1. Interview

Interview merupakan dasar dalam asesmen dan merupakan sumber yang sangat luas. Ada beberapa kelebihan interview antara lain:

a. Merupakan hal biasa dalam interaksi sosial sehingga memungkinkan untuk mengumpulkan sampel tentang perilaku verbal atau non verbal individu bersama-sama.

b. Tidak membutuhkan peralatan atau perlengkapan khusus dan dapat dilakukan dimanapun juga.

c. Mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi. Klinisi bebas untuk melakukan inquiry (pendalaman) terhadap topik pembicaraan yang mungkin dapat membantu proses asesmen.

Tetapi interview dapat terdistorsi oleh karakteristik dan pertanyaan interviewer, karakteristik klien dan oleh situasi pada saat interview berlangsung.

2. Tes

Seperti interview, tes juga memberikan sampel perilaku individu, hanya saja dalam tes stimulus yang direspon klien lebih terstandardisasikan daripada interview. Bentuk tes yang sudah standar tersebut membantu untuk mengurangi bias yang mungkin muncul selama proses asesmen berlangsung. Respon yang diberikan biasanya dapat diubah dalam bentuk skor dan dibuat analisis kuantitatif. Hal itu membantu klinisi untuk memahami klien. Skor yang didapat kemudian diinterpretasi sesuai dengan norma yang ada.

3. Observasi

Tujuan observasi adalah untuk mengetahui lebih jauh di luar apa yang dikatakan klien. Banyak yang mempertimbangkan bahwa observasi langsung mempunyai tingkat validitas yang tertinggi dalam asesmen. Hal itu berhubungan dengan kelebihan observasi antara lain:

a. Observasi dilakukan secara langsung dan mempunyai kemampuan untuk menghindari permasalahan yang muncul selama interview dan tes seperti masalah memori, jenis respon, motivasi dan bias situasional.

b. Relevansinya terhadap perilaku yang menjadi topik utama. Misalnya perilaku agresif anak dapat diobservasi sebagaimana perilaku yang ditunjukkan dalam lingkungan bermain dimana masalah itu telah muncul.

c. Observasi dapat mengases perilaku dalam konteks sosialnya. Misalnya untuk memahami seorang pasien yang kelihatan depresi setelah dikunjungi keluarganya, akan lebih bermakna dengan mengamati secara langsung daripada bertanya, Apakah Anda pernah depresi?.

d. Dapat mendeskripsikan perilaku secara khusus dan detail. Misalnya untuk mengetahui tingkat gairah seksual seseorang dapat diobservasi dengan banyaknya cairan vagina yang keluar atau observasi melalui bantuan kamera.

4. Life record

Asesmen yang dilakukan melalui data-data yang dimiliki seseorang baik berupa ijazah sekolah, arsip pekerjaan, catatan medis, tabungan, buku harian, surat, album foto, catatan kepolisian, penghargaan, dsb. Banyak hal dapat dipelajari dari life record tersebut. Pendekatan ini tidak meminta klien untuk memberi respon yang lebih banyak seperti melalui interview, tes atau observasi. Selama proses ini, data dapat lebih terhindar dari distorsi memori, jenis respon, motivasi atau faktor situasional. Contohnya, klinisi ingin mendapatkan informasi tentang riwayat pendidikan klien. Data tentang transkrip nilai selama sekolah mungkin dapat lebih memberikan informasi yang akurat tentang hal itu daripada bertanya ,Bagaimana saudara di sekolah?. Buku harian yang ditulis selama periode kehidupan seseorang juga dapat memberikan informasi tentang perasaan, harapan, perilaku atau detail suatu situasi yang mana hal itu mungkin terdistorsi karena lupa selama interview. Dengan merangkum informasi yang di dapat tentang pikiran dan tingkah laku klien selama periode kehidupan yang panjang, life records memberikan suatu sarana bagi klinisi untuk memahami klien dengan lebih baik.

III. PROCESSING ASSESSMENT DATA Bagaimana seharusnya data-data tersebut dikombinasikan ?

Bagaimana asesor dapat meminimalkan bias selama interpretasi data ?

Didasarkan pada teori apa yang akan digunakan : psikoanalisa, behavioral atau fenomenologi.

Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya dalam asesmen adalah menentukan arti dari data tersebut. Jika informasi tersebut sekiranya berguna dalam pancapaian tujuan asesmen, maka informasi itu akan dipindahkan dari data kasar menjadi format interpretatif. Langkah tersebut biasanya disebut pemrosesan data asesmen atau clinical judgment.

Klinisi cenderung melihat data asesmen melalui tiga cara yaitu : sebagai sampel, korelasi atau tanda (sign). Contoh : Seorang laki-laki menelan 20 tablet obat penenang sebelum tidur tadi malam di sebuah hotel, tapi berhasil diselamatkan oleh petugas kebersihan yang akhirnya membawanya ke RS.

1. Data dilihat sebagai sampel dari perilaku klien. Kemungkinan judgment :

Klien mempunyai cara potensial untuk melakukan pembunuhan secara medis

Klien tidak ingin diselamatkan sebab tidak ada seorangpun yang tahu tentang usaha bunuh diri tersebut sebelum hal itu terjadi.

Dalam situasi yang sama, klien mungkin akan mencoba bunuh diri lagi.

Disini dapat dilihat, bahwa data berupa usaha bunuh diri dilihat sebagai contoh dari apa yang dilakukan klien dalam situasi seperti itu. Tidak ada usaha untuk mengetahui mengapa dia mencoba bunuh diri. Jika dilihat sebagai sampel, akan didapat kesimpulan tingkat rendah. Teori yang mendasarinya adalah behavioral.

2. Data dilihat sebagai korelasi dengan aspek lain dalam hidup klien. Kemungkinan judgment :

Klien sepertinya seorang lelaki setengah baya yang masih single atau bercerai dan mengalami kesepian.

Klien saat itu mungkin mengalami depresi.

Klien kurang mendapatkan dukungan emosi dari teman dan keluarganya.

Ada kombinasi antara : 1). Fakta tentang perilaku klien. 2). Pengetahuan klinisi tentang apa yang sekiranya dapat dikorelasikan dengan perilaku klien. Disini kesimpulan yang diambil berada pada tingkat yang lebih tinggi. Kesimpulannya didasarkan pada data-data pendukung yang ada di luar data asli seperti hubungan antara bunuh diri, usia, jenis kelamin, dukungan sosial, dan depresi. Semakin kuat pemahaman terhadap hubungan antar variabel, maka kesimpulan yang di dapat semakin akurat. Pendekatan ini bisa didasarkan pada beragam teori.

3. Data dilihat sebagai tanda (sign) yang lain, untuk mengetahui karakteristik kilen yang masih kurang jelas. Kemungkinan judgment :

Dorongan agresif klien berubah menyerang diri sendiri.

Perilaku klien merefleksikan adanya konflik intrapsikis.

Perilaku minum obat merupakan manifestasi adanya kebutuhan untuk ditolong yang tidak disadarinya.

Kesimpulan yang didapat berada pada tingkat paling tinggi. Teori yang mendasari pendekatan ini adalah psikoanalisa atau fenomenologi.

IV. COMMUNICATING ASSESSMENT DATA Siapa yang akan diberi laporan asesmen dan tujuannya apa ?

Bagaimanakah asesmen akan mempengaruhi klien yang di ases ?

Hasil dari asesmen biasanya akan ditulis menjadi sebuah laporan asesmen. Ada tiga kriteria yang harus dipenuhi suatu laporan asesmen yaitu : jelas, relevan dengan tujuan dan berguna.

1. Jelas

Kriteria pertama yang harus dipenuhi adalah laporan itu harus jelas. Tanpa kriteria ini, relevansi dan kegunaan laporan tidak dapat dievaluasi. Ketidakjelasan laporan psikologis merupakan suatu masalah karena kesalahan interpretasi dapat menyebabkan kesalahan pengambilan keputusan.

2. Relevan dengan tujuan

Laporan asesmen harus relevan dengan tujuan yang sudah ditetapkan pada awal asesmen. Jika tujuan awalnya adalah untuk mengklasifikasikan perilaku klien maka informasi yang relevan dengan hal itu harus lebih ditekankan.

3. Berguna

Laporan yang ditulis diharapkan dapat memberikan sesuatu informasi tambahan yang penting tentang klien. Kadang terdapat juga laporan yang mempunyai validitas tambahan yang rendah. Misalnya klinisi menyimpulkan bahwa klien mempunyai kecenderungan agresifitas tinggi, tapi data kepolisian mencatat bahwa klien tersebut telah berulang kali ditahan karena kasus kekerasan. Informasi yang diberikan klinisi tidak memberikan suatu hal penting lainnya dari klien.

OUTLINE ASSESSMENT DATA

1. Psikoanalisa

I. Konflik

A. Persepsi diri

B. Tujuan

C. Frustrasi

D. Hubungan interpersonal

E. Persepsi lingkungan

F. Dorongan, dinamika

G. Kontrol emosi

II. Nilai stimulus sosial

A. Kemampuan kognitif

B. Faktor konatif

C. Tujuan

D. Peran sosial

III. Fungsi kognitif

A. Penurunan

B. Psikopatologi

IV. Defenses

A. Represi

B. Rasionalisasi

C. Regresi

D. Fantasi

E. Dsb

2. Fenomenologi ; pendekatan subjektif dan cenderung mengikuti format umum asesmen.I. Klien dari sudut pandang sendiri

II. Klien seperti yang direfleksikan dalam tes

III. Klien seperti yang dilihat klinisi

3. Cognitive-BehavioralI. Deskripsi tentang penampilan fisik dan perilaku selama asesmen

II. Permasalahan

A. Masalah saat ini

B. Latar belakang masalah

C. Situasi tertentu yang menentukan masalah

D. Variabel yang relevan

1. Aspek fisiologis

2. Pengaruh medis

3. Aspek kognitif yang menentukan masalah

E. Dimensi masalah

1. Durasi

2. Frekuensi

3. Keseriusan masalah

F. Konsekuensi masalah

1. Positif

2. Negatif

III. Masalah yang lain (diobservasi oleh asesor, tidak dinyatakan oleh klien)

IV. Aset individu

V. Target perubahan

VI. Treatment yang direkomendasikan

VII. Motivasi klien untuk treatment

VIII. Prognosis

IX. Prioritas treatmentX. Harapan klien

A. Penyelesaian masalah yang spesifik

B. Pada treatment secara umum

XI. Komentar lain

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Gangguan-gangguan yang termasuk dalam gangguan perkembangan psikologis (F80-f89) pada umumnya mempunyai gambaran onset bervariasi selama masa bayi atau anak-anak, adanya hendaya atau keterlambatan perkembangan fungsi-fungsi yang berhubungan dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan berlangsung terus menerus tanpa ada remisi dan kekambuhan yang khas pada beberapa gangguan jiwa. Pada sebagian besar kasus, fungsi yang dipengaruhi termasuk bahasa, keterampilan video-spatial dan/atau koordinasi motorik.DAFTAR PUSTAKA

Indayani, F. 2015. Pengembangan Rawat diri anak pada spektrum autisme. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi 2015, Volume 3 (I): 91-99 Maramis, W., Maramis, A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 2. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan (AUP)Maslim, R. 2003. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Atma JayaMaslim R, 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: PT Nuh JayaRahma. 2012. Diagnosis Gangguan Perkembangan Pervasif. Universitas Islam Sultan Agung: Semarang. Diakses tanggal 23 April 2015 http://fkunissula.ac.id/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=217&Itemid=55&lang=idCOMMUNICATING ASSESSMENT DATA

COLLECTING ASSESSMENT DATA

DATA PROCESSING AND HYPOTHESIS FORMATION

PLANNING DATA COLLECTION PROCEDURES