GKM FIX
-
Upload
kim-yessaclouds-saranghae-yesung -
Category
Documents
-
view
217 -
download
2
description
Transcript of GKM FIX
MAKALAH DEFISIENSI FE
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Gizi Kesehatan Masyarakat
Dosen Pengampu : Prof. Dr. dr. Oktia Woro Kasmini Handayani M. Kes.
Disusun oleh :
Dwi Yuli Kristanti (6411413091)
Hanifah Hasbi (6411413100)
Farissa Ulfa (6411413120)
Rombel 4
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmatNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Makalah Defisiensi Fe ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Gizi Kesehatan Masyarakat.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak–pihak yang telah
mendukung dan memberikan bimbingan dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan dan kekurangan. Penyusun dengan senang hati menerima
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga hasil dari penyusunan makalah ini dapat bermanfaat. Akhir kata
melalui kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih.
Semarang, 5 Oktober 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah gizi merupakan masalah kompleks dimana maslah ini dapat
mengakibatkan banyak maslah lain. Yang pada akhirnya dapat menimbulkan
kondisi sakit. Untuk itu dalam proses kehidupan gizi sangatlah penting.
Zat besi merupakan salah satu mikronutrien terpenting kehidupan anak.
Kekurangan atau defisiensi besi yang berat akan menyebabkan anemia atau
kurang darah. Di dunia, defisiensi besi terjadi pada 20-25% bayi. Di Indonesia,
ditemukan anemia pada 40,5% balita, 47,2% usia sekolah, 57,1% remaja putri,
dan 50,9% ibu hamil. Penelitian pada 1000 anak sekolah yang dilakukan oleh
IDAI di 11 propinsi menunjukkan anemia sebanyak 20-25%. Jumlah anak yang
mengalami defisiensi besi tanpa anemia tentunya jauh lebih banyak lagi.
Anemia, disini merupakan sakit dimana tubuh mengalami defisiensi
besi yang diakibatkan oleh pendarahan. Namun penyebab dari anemia itu
sendiri tidak hanya disebabkan oleh pendarahan. Banyak faktor lain yang
mempengaruhi. Disini apabila kita kaji dari teori Bloom dimana didapat 3
komponen utama yang dapat menjadi faktor penyebab dari suatu penyakit yaitu
agens (sumber penyakit), host (pejamu), dan environment (lingkungan) ketiga
unsur tersebut harus seimbang.
Anemia gizi defisiensi besi dapat diketahui melalui kadar Hb. Hb
normal dari pria dewasa 13 g / 100 ml dan pada wanita 12 g / 100 ml. Namun
penderita pada umumnya adalah wanita, akibat menstruasi, kehamilan serta
menyusui. Selain itu juga terjadi Apa pengertian dari Defisiensi pada bayi dan
anak dimana kebutuhan gizi awan besi tinggi seiring pertumbuhan tubuh yang
cepat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana angka kejadian dari Defisiensi Besi?
2. Apa tanda-tanda/gejala dari Defisiensi Besi?
3. Apa etiologi dari Defisiensi Besi?
4. Bagaimana epidemiologi dari Defisiensi Besi?
5. Apa program yang dapat dilakukan untuk menangani masalah defisiensi
besi?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui angka kejadian dari defisiensi besi.
2. Mengetahui tanda-tanda/gejala dari defisiensi besi.
3. Mengetahui etiologi dari defisiensi besi.
4. Mengetahui epidemiologi dari defisiensi besi.
5. Membuat program yang dapat dilakukan untuk menangani masalah
defisiensi besi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Angka Kejadian Defisiensi Fe
Perkiraan prevalensi anemia secara global adalah sekitar 51%.
Bandingkan dengan prevalensi untuk balita yang sekitar 43%, anak usia
sekolah 37%, pria dewasa hanya 18%, dan wanita tidak hamil 35%. Survey
terhadap mahasiswi kedokteran di Prancis misalnya, membuktikan bahwa 16%
mahasiswi kehabisan cadangan besi, sementara 75% menderita kekurangan.
Penelitian lain terhadap masyarakat miskin di Kairo menunjukkan asupan besi
sebagian besar remaja putri tidak mencukupi kebutuhan harian yang
dianjurkan.
Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008, diketahui bahwa prevalensi
anemia defisiensi besi di Asia >75%, di Indonesia kasus anemia gizi mencapai
63,5%. Di Indonesia sendiri menurut data Depkes RI (2006), prevalensi anemia
defisiensi besi pada remaja puteri yaitu 28% (Hayati, 2010), dan dari Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, menyatakan bahwa prevalensi
anemia defisiensi besi pada balita 40,5%, ibu hamil 50,5%, ibu nifas 45,1%,
remaja putri 10-18 tahun 57,1%, dan usia 19-45 tahun 39,5%. Dari semua
kelompok umur tersebut, wanita memiliki resiko paling tinggi untuk menderita
anemia terutama remaja putri (Isniati, 2007)
2.2 Tanda
Defisiensi zat besi mengganggu proliferasi dan pertumbuhan sel. Yang
utama adalah sel dari sum-sum tulang, setelah itu sel dari saluran makan.
Akibatnya banyak tanda dan gejala anemia defisiensi besi terlokalisasi pada
sistem organ ini:
o Glositis ; lidah merah, bengkak, licin, bersinar dan lunak, muncul
secara sporadis.
o Stomatitis angular ; erosi, kerapuhan dan bengkak di susut mulut.
o Atrofi lambung dengan aklorhidria ; jarang
o Selaput pascakrikoid (Sindrom Plummer-Vinson) ; pada defisiensi zat
besi jangka panjang.
o Koilonikia (kuku berbentuk sendok) ; karena pertumbuhan lambat dari
lapisan kuku.
o Menoragia ; gejala yang biasa pada perempuan dengan defisiensi besi.
Satu gejala aneh yang cukup karakteristik untuk defisiena si zat besi
adalah Pica, dimana pasien memiliki keinginan makan yang tidak dapat
dikendalikan terhadap bahan seperti tepung (amilofagia), es (pagofagia), dan
tanah liat (geofagia). Beberapa dari bahan ini, misalnya tanah liat dan tepung,
mengikat zat besi pada saluran makanan, sehingga memperburuk defisiensi.
Konsekuensi yang menyedihkan adalah meningkatnya absorpsi timbal oleh
usus halus sehingga dapat timbul toksisitas timbal disebabkan paling sedikit
sebagian karena gangguan sintesis heme dalam jaringan saraf, proses yang
didukung oleh defisiensi zat besi.
2.3 Etiologi
Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau penggunaan
elemen tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Penurunan cadangan zat
besi jika bukan pada anemia yang nyata, biasanya dijumpai pada bayi dan
remaja dimana merupakan masa terbanyak penggunaan zat besi untuk
pertumbuhan. Neonatal yang lahir dari perempuan dengan defisiensi besi
jarang sekali anemis tetapi memang memiliki cadangan zat besi yang rendah.
Bayi ini tidak memiliki cadangan yang diperlukan untuk pertumbuhan setelah
lahir. ASI merupakan sumber zat besi yang adekuat secara marginal.
Berdasarkan data dari “the third National Health and Nutrition Examination
Survey” ( NHANES III ), defisiensi besi ditentukan oleh ukuran yang abnormal
dari serum ferritin, transferring saturation, dan/atau erythrocyte
protophorphyrin.
2.4 Epidemiologi
Prevalensi defisiensi besi sangat bervariasi menurut umur, jenis
kelamin, kondisi patologis, keadaan lingkungan dan social ekonomi. Sebagian
dari penduduk dunia menderita defisiensi besi dan sekitar sepertiganya (kurang
lebih 2 milyar jiwa) menderita anemia defisiensi besi. Menurut survey data di
Amerika Serikat sekitar 30-40% balita dan wanita usia peoduktif mengalami
anemia karena defisiensi besi. Prevalensi defisiensi besi berdasarkan National
Health and Nutrition Examination Survey adalah 13% pada usia 1 tahun, 5%
pada usia 2 tahun, 9% pada remaja putri dan 11% pada wanita usia subur (16-
49 tahun) (Wu et al., 2002; WHO, 2001). Seperti halnya di negara sedang
berkembang lainnya, ADB merupakan masalah defisiensi nutrisi utama di
Indonesia dimana sekitar 50-70 juta orang menderita anemia defisiensi besi
(sekitar 20-30% populasi). Pada tahun 1995 prevalensi ADB pada wanita
hamil, balita dan pekerja wanita berturut-turut 50,9%; 40,5% dan 30% (Kodyat
et al., 1998).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh The Global Health
Technical Assistance Project (2010) di Indonesia 27,7% anak usia 1-4 tahun
menderita anemia, namun penelitian pada tahun 2000 di daerah perkotaan yang
sosial ekonominya lebih rendah dan daerah pedesaan terdapat 50-85% anak
usia 12-23 bulan menderita anemia. Anemia defisiensi besi lebih banyak terjadi
pada anak berkulit hitam dari pada yang berkulit putih. Hal ini berhubungan
dengan status social ekonomi anak berkulit hitam yang lebih rendah.
2.5 Program yang Dapat Dilakukan
Penanganan dalam kasus defisiensi besi khususnya pada anak remaja
sangat perlu. Hal ini karena prevalensi kejadian anemia karena defisiensi besi
terjadi paling banyak adalah pada anak usia remaja. Selain itu remaja
mempunyai kebutuhan nutrisi yang spesial, karena pada saat tersebut terjadi
pertumbuhan yang pesat dan terjadi perubahan kematangan fisiologis
sehubungan dengan timbulnya pubertas. Pertumbuhan pada masa remaja akan
mempengaruhi kebutuhan, absorbsi, serta cara penggunaan zat gizi. Hal ini
disertai dengan pembesaran organ dan jaringan tubuh yang cepat. Perubahan
hormon yang menyertai pubertas juga menyebabkan banyak perubahan
fisiologis yang mempengaruhi kebutuhan gizi pada remaja.
Program yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi
kejadian anemia defisiensi besi adalah:
a. Meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan, mengkonsumsi pangan
hewani dalam jumlah cukup. Namun karena harganya cukup tinggi sehingga
masyarakat sulit menjangkaunya. Untuk itu diperlukan alternatif yang lain
untuk mencegah anemia gizi besi. Memakan beraneka ragam makanan yang
memiliki zat gizi saling melengkapi termasuk vitamin yang dapat
meningkatkan penyerapan zat besi, seperti vitamin C. Peningkatan konsumsi
vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat meningkatkan penyerapan
zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan sayuran sumber
vitamin C, namun dalam proses pemasakan 50 - 80 % vitamin C akan
rusak.Mengurangi konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat
besi seperti : fitat, fosfat, tannin.
b. Suplementasi zat besi. Pemberian suplemen besi menguntungkan karena
dapat memperbaiki status hemoglobin dalam waktu yang relatif singkat. Di
Indonesia pil besi yang umum digunakan dalam suplementasi zat besi adalah
frrous sulfat. Namun pemberian besi feroral memberikan efek samping seperti
mual, ketidaknyamanan epigastrium, kejang perut, konstipasi dan diare. Efek
ini tergantung dosis yang diberikan dan dapat diatasi dengan mengurangi dosis
dan meminum tablet segera setelah makan atau bersamaan dengan makanan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Perkiraan prevalensi anemia
secara global adalah sekitar 51%. Berdasarkan hasil penelitian WHO tahun 2008,
diketahui bahwa prevalensi anemia defisiensi besi di Asia >75%, di Indonesia
kasus anemia gizi mencapai 63,5%. Dari semua kelompok umur tersebut, wanita
memiliki resiko paling tinggi untuk menderita anemia terutama remaja putri.
Defisiensi zat besi mengganggu proliferasi dan pertumbuhan sel. Banyak tanda
dan gejala anemia defisiensi besi terlokalisasi pada beberapa sistem organ
seperti, glositis, stomatitis angular, atrofi lambung dengan aklorhidria, selaput
pascakrikoid (Sindrom Plummer-Vinson), koilonikia (kuku berbentuk sendok),
menoragia.c