Gizi Di Indonesia
description
Transcript of Gizi Di Indonesia
Masalah Gizi di Indonesia: Kondisi Gizi Masyarakat Memprihatinkan
Sabtu, 26 Juni, 2004 oleh: gklinis
Masalah Gizi di Indonesia: Kondisi Gizi Masyarakat Memprihatinkan
Gizi.net -
Oleh: Hidayat Syarief
Sekitar 37,3 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, setengah dari total rumah tangga
mengonsumsi makanan kurang dari kebutuhan sehari-hari, lima juta balita berstatus gizi kurang,
dan lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap berbagai masalah kurang gizi.
Itulah sebagian gambaran tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang perlu mendapat perhatian
sungguh-sungguh untuk diatasi. Apalagi Indonesia sudah terikat dengan kesepakatan global
untuk mencapai Millennium Development Goals (MDG's) dengan mengurangi jumlah penduduk
yang miskin dan kelaparan serta menurunkan angka kematian balita.
Perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia
terbukti sangat menentukan kemajuan dan keberhasilan pembangunan suatu negara-bangsa.
Terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas, yang sehat, cerdas, dan produktif
ditentukan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat esensial adalah terpenuhinya
kebutuhan pangan yang bergizi.
Permintaan pangan yang tumbuh lebih cepat dari produksinya akan terus berlanjut. Akibatnya,
akan terjadi kesenjangan antara kebutuhan dan produksi pangan domestik yang makin lebar.
Penyebab utama kesenjangan itu adalah adanya pertumbuhan penduduk yang masih relatif
tinggi, yaitu 1,49 persen per tahun, dengan jumlah besar dan penyebaran yang tidak merata.
Dampak lain dari masalah kependudukan ini adalah meningkatnya kompetisi pemanfaatan
sumber daya lahan dan air disertai dengan penurunan kualitas sumber daya tersebut. Hal ini
dapat menyebabkan kapasitas produksi pangan nasional dapat terhambat pertumbuhannya.
Rendahnya konsumsi pangan atau tidak seimbangnya gizi makanan yang dikonsumsi
mengakibatkan terganggunya pertumbuhan organ dan jaringan tubuh, lemahnya daya tahan
tubuh terhadap serangan penyakit, serta menurunnya aktivitas dan produktivitas kerja.
Pada bayi dan anak balita, kekurangan gizi dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut dapat bersifat
permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi dan balita, dengan
demikian, akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Oleh karena itu pangan dengan jumlah dan mutu yang memadai harus selalu tersedia dan dapat
diakses oleh semua orang pada setiap saat. Bahasan tersebut menggambarkan betapa eratnya
kaitan antara gizi masyarakat dan pembangunan pertanian. Keterkaitan tersebut secara lebih jelas
dirumuskan dalam pengertian ketahanan pangan (food security) yaitu tersedianya pangan dalam
jumlah dan mutu yang memadai dan dapat dijangkau oleh semua orang untuk hidup sehat, aktif,
dan produktif.
Masalah gizi adalah gangguan kesehatan seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak
seimbangnya pemenuhan kebutuhannya akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Masalah gizi
yang dalam bahasa Inggris disebut malnutrition, dibagi dalam dua kelompok yaitu masalah gizi-
kurang (under nutrition) dan masalah gizi-lebih (over nutrition), baik berupa masalah gizi-makro
ataupun gizi-mikro.
Gangguan kesehatan akibat masalah gizi-makro dapat berbentuk status gizi buruk, gizi kurang,
atau gizi lebih. Sedang gangguan kesehatan akibat masalah gizi mikro hanya dikenal sebutan
dalam bentuk gizi kurang zat gizi mikro tertentu, seperti kurang zat besi, kurang zat yodium, dan
kurang vitamin A.
Masalah gizi makro, terutama masalah kurang energi dan protein (KEP), telah mendominasi
perhatian para pakar gizi selama puluhan tahun. Pada tahun 1980-an data dari lapangan di
banyak negara menunjukkan bahwa masalah gizi utama bukan kurang protein, tetapi lebih
banyak karena kurang energi atau kombinasi kurang energi dan protein. Bayi sampai anak
berusia lima tahun, yang lazim disebut balita, dalam ilmu gizi dikelompokkan sebagai golongan
penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk KEP.
Berdasarkan data Susenas, prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita telah berhasil diturunkan
dari 35,57 persen tahun 1992 menjadi 24,66 persen pada tahun 2000.
Namun, terdapat kecenderung peningkatan kembali prevalensi pada tahun-tahun berikutnya.
Selain itu, jika melihat pertumbuhan jumlah penduduk dan proporsi balita pada dari tahun ke
tahun, sebenarnya jumiah balita penderita gizi buruk dan kurang cenderung meningkat.
Kronisnya masalah gizi buruk dan kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula dengan
tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting <-2 SD). Masih sekitar 30-40 persen anak
balita di Indonesia diklasifikasikan pendek. Tingginya prevalensi gizi buruk dan kurang pada
balita, berdampak juga pada gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Pada
tahun 1994 prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6-9 tahun adalah 39,8 persen
dan hanya berkurang sebanyak 3,7 persen, yaitu menjadi 36,1 persen pada tahun 1999.
Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang
vitamin A, kurang yodium, dan kurang zat besi. Meskipun berdasarkan hasil survei nasional
tahun 1992 Indonesia dinyatakan telah bebas dari xerophthalmia, masih 50 persen dari balita
mempunyai serum retinol <20 mcg/100 ml, yang berarti memiliki risiko tinggi untuk munculnya
kembali kasus xeropthalmia. Sementara prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY)
pada anak usia sekolah di Indonesia adalah 30 persen pada tahun 1980 dan menurun menjadi 9,8
persen pada tahun 1998.
Walaupun terjadi penurunan yang cukup berarti, GAKY masih dianggap masalah kesehatan
masyarakat, karena secara umum prevalensi masih di atas 5 persen dan bervariasi antar wilayah,
dimana masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30 persen.
Diperkirakan sekitar 18,16 juta penduduk hidup di wilayah endemik sedang dan berat; dan 39,24
juta penduduk hidup di wilayah endemis ringan. Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat
kurang zat besi. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa prevalensi
anemia pada ibu hamil adalah 50,9 persen pada tahun 1995 dan turun menjadi 40 persen pada
tahun 2001, sedangkan pada wanita usia subur 15-44 tahun masing-masing sebesar 39,5 persen
pada tahun 1995 dan 27,9 persen pada 2001. Prevalensi anemia gizi berdasarkan SKRT 2001
menunjukkan bahwa 61,3 persen bayi < 6 bulan, 64,8 persen bayi 6-11 bulan, dan 58 persen anak
12-23 bulan menderita anemia gizi.
Penyebab Utama Masalah Gizi
Terdapat dua faktor yang terkait langsung dengan masalah gizi khususnya gizi buruk atau
kurang, yaitu intake zat gizi yang bersumber dari makanan dan infeksi penyakit (lihat Gambar 3).
Kedua faktor yang saling mempengaruhi tersebut terkait dengan berbagai fakto penyebab tidak
langsung yaitu ketahanan dan keamanan pangan, perilaku gizi, kesehatan badan dan sanitasi
lingkungan.
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu utama upaya peningkatan status gizi masyarakat
yang paling erat kaitannya dengan pembangunan pertanian. Situasi produksi pangan dalam
negeri serta ekspor dan impor pangan akan menentukan ketersediaan pangan yang selanjutnya
akan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan di tingkat wilayah. Sementara ketahanan pangan
pada tingkat rumahtangga, akan ditentukan pula oleh daya daya beli masyarakat terhadap pangan
Seperti yang tersaji dalam Gambar 5, ketahanan pangan sebagai isu penting dalam pembangunan
pertanian menuntut kemampuan masyarakat dalam menyediakan kebutuhan pangan yang
diperlukan secara sustainable (ketersediaan pangan) dan juga menuntut kondisi yang
memudahkan masyarakat memperolehnya dengan harga yang terjangkau khususnya bagi
masyarakat lapisan bawah (sesuai daya beli masyarakat).
Menyeimbangkan antara ketersediaan pangan dan sesuai dengan daya beli masyarakat dengan
meminimalkan ketergantungan akan impor menjadi hal yang cukup sulit dilaksanakan saat ini.
Pada kenyataannya, beberapa produk pangan penting seperti beras dan gula, produksi dalam
negeri dirasa masih kalah dengan produk impor karena tidak terjangkau oleh daya beli
masyarakat kita.
Kebijakan yang ada pun tidak memberi kondisi yang kondusif bagi petani sebagai produsen,
untuk dapat meningkatkan produktivitasnya maupun mengembangkan diversifikasi pertanian
guna mengembangkan keragaman pangan.
Perkembangan Konsumsi Pangan
Intake zat gizi yang berasal dari makanan yang dikonsumsi seseorang merupakan salah satu
penyebab langsung dari timbulnya masalah gizi. Rata-rata konsumsi energi penduduk Indonesia
tahun 2002 adalah sekitar 202 kkal/kap/hari yang berarti sekitar 90.4 persen dari kecukupan yang
dianjurkan. Sementara rata-rata konsumsi protein sekitar 54,4 telah melebih kecukupan protein
yang dianjurkan baru mencapai 90,4 persendari kecukupan gizi yang dianjurkan sebesar 2200
kkal/hari.
Selain masih rendahnya tingkat konsumsi energi, data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pola
konsumsi pangan penduduk belum memenuhi kaidah gizi baik dari segi kualitas maupun
keragamannnya, dimana masih terjadi: (1) kelebihan padi-padian; (2) sangat kekurangan pangan
hewani; dan (3) kurang umbi-umbian, sayur dan buah, kacang-kacangan, minyak dan lemak,
buah/biji berminyak serta gula. Kondisi tersebut mencerminkan tingginya ketergantungan
konsumsi pangan penduduk pada padi-padian terutama beras. *
Kapanlagi.com - Upaya penanganan masalah gizi pada anak usia di bawah lima tahun (balita)
dinilai kurang efektif, karena dalam beberapa tahun terakhir status gizi buruk pada populasi itu
relatif stagnan.
"Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional menunjukkan angka kasus gizi buruk tidak banyak
berubah, masih sekitar 8,5% dari populasi anak balita. Stagnasi ini menunjukkan adanya sesuatu
yang tidak efektif," kata Ketua Umum Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan (Pergizi Pangan)
Prof. Dr. Hardinsyah, MS di Jakarta, Kamis (25/1).
Menurut dia, selama ini penanganan masalah gizi dilakukan secara parsial, sehingga tidak
mampu menyentuh semua aspek pokok yang menjadi akar dari permasalahan tersebut.
Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogir (IPB) itu mengatakan, selama ini
penanganan masalah gizi cenderung hanya difokuskan di hilir tanpa disertai upaya penanganan
secara komprehensif di hulu permasalahan.
Akibatnya, ia melanjutkan, dukungan dana untuk penanganan masalah gizi yang setiap tahun
dinaikkan tidak memperlihatkan dampak nyata terhadap penurunan jumlah kasus gizi buruk dan
kurang gizi di Tanah Air.
"Contohnya, pemberian Makanan Pendamping ASI. Program ini bagus untuk perbaikan gizi
anak, tapi setelah si anak sudah pulih program dihentikan dan orang tuanya tidak mampu
menyediakan kebutuhan gizi anaknya secara berlanjut karena miskin sehingga kasus itu
kemudian akan berulang lagi," paparnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, upaya penanganan masalah gizi seharusnya dilakukan secara
berlanjut dari berbagai aspek oleh lembaga/instansi lintas sektor dengan dukungan penuh dari
pimpinan tertinggi negara.
"Yang dilakukan sektor kesehatan sejauh ini memang sudah cukup bagus, tapi itu sia-sia bila
tidak ditopang dengan program pemberdayaan ekonomi karena hal itu akan terus berulang
selama mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya," tuturnya.
Ia mengatakan, upaya perbaikan gizi akan menampakkan hasil yang lebih baik jika
diintegrasikan dengan program penanganan masalah sosial yang lain seperti pemberdayaan
petani, pemberian kredit mikro dan pengembangan usaha kecil dan menengah.
"Dengan demikian setelah program intervensi masalah gizi selesai dilakukan, mereka tetap bisa
mempertahankan status gizinya secara mandiri," katanya.
Menurut dia upaya penanganan gizi terpadu semacam itu terbukti dapat menurunkan besaran
masalah gizi secara signifikan di Thailand.
"Dulu Thailand belajar dari Indonesia, mereka mencontoh pembentukan Dasa Wisma dan
Posyandu serta memadukan program itu dengan pengembangan agribisnis. Hasilnya kasus gizi
dapat diturunkan secara drastis," ujarnya.
Masih Tinggi
Dalam tiga tahun terakhir pemerintah secara rutin meningkatkan alokasi anggaran untuk program
perbaikan gizi masyarakat, guna menurunkan jumlah kasus gizi buruk dan kurang gizi pada
balita.
Tahun 2004, 2005 dan 2006 pemerintah berturut-turut mengalokasikan anggaran sebesar
Rp170.376.000, Rp175 juta, dan Rp582.379.595 untuk program perbaikan gizi masyarakat.
Departemen Kesehatan antara lain memanfaatkan tersebut untuk membiayai berbagai program
intervensi untuk mencegah menanggulangi insiden gizi buruk serta kurang.
Intervensi antara lain dilakukan dengan menggiatkan pemantauan pertumbuhan anak di
Posyandu, pemberian makanan suplemen (Makanan Pendamping ASI, Vitamin A dan tablet zat
besi), pendidikan dan konseling gizi, pendampingan keluarga dan promosi keluarga sadar gizi
serta Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) atau 'local area monitoring' melalui Puskesmas dan
Posyandu.
Upaya penanggulangan juga dilakukan melalui pemberian perawatan dan pengobatan gizi buruk
di rumah sakit dan Puskesmas secara gratis bagi balita dari keluarga miskin. Namun demikian
hingga saat ini angka kejadian gizi buruk dan kurang masih tinggi.
Data Departemen Kesehatan menyebutkan kasus gizi burung dan gizi kurang pada balita tahun
2004 (Pemantauan Status Gizi 2004)masing-masing 8,09% dan 20,47% dari seluruh populasi
balita sementara tahun 2005 (Survei Sosial Ekonomi Nasional/SUSENAS 2005) jumlah kasus
gizi buruk dan gizi kurang berturut-turut 8,8% dan 19,20%.
Tahun 2006, selama periode Januari-Oktober, jumlah total kasus gizi buruk yang dilaporkan dan
ditangani petugas kesehatan sebanyak 20.580 kasus dan 186 diantaranya menyebabkan kematian.
Pada seminar Hari Gizi Nasional Tahun 2007, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Aburizal Bakrie juga menyebutkan bahwa sekitar 5.543.944 balita dari 19.799.874 balita yang
ada di seluruh Indonesia menghadapi masalah gizi buruk dan gizi kurang. (*/bun)