GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

16
GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON YOGYAKARTA Afif Abdul Aziz, Hendrajaya Isnaeni (Pembimbing) Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16436, Indonesia E-mail: [email protected] ABSTRAK Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran adalah Gereja bernuansa Jawa yang terletak di Bantul, Yogyakarta. Pasca gempa besar yang melanda Yogyakarta sebelas tahun lalu, Gereja ini mengalami pemugaran yang merubah bentuk gereja yang semula seperti Gereja pada umumnya menjadi Gereja yang bernuansa Jawa dan berbentuk Tajug. Aspek fisik dan nonfisik Gereja Ganjuran banyak diambil dari Kraton Yogyakarta, sehingga Gereja Ganjuran adalah reinkarnasi dari Kraton Yogyakarta. Selain itu, Orientasi pada kosmos adalah salah satu ciri khas dari Gereja ini. Skripsi ini mencoba membahas mengenai unsur apa saja yang dibawa dari Kraton Yogyakarta dan kemudian lahir kembali di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Kata Kunci: Gereja Ganjuran, Reinkarnasi, Kosmos ABSTRACT Ganjuran Church is a Javanese-themed church located in Bantul, Yogyakarta. Subsequent to the heavy earthquake in Yogyakarta eleven years ago, this church underwent a restoration which transformed the shape of the building. It was transformed from a regular church into a Javanese-themed and Tajug-shaped church. The physical and non-physical aspects of Ganjuran Church is mainly adapted from Kraton Yogyakarta, so that Ganjuran Church can be called as its reincarnation. Furthermore, orientation in cosmos is one of the identity of this church. This work is an endeavour to discuss about the elements from Kraton Yogyakarta which is reincarnated in Ganjuran Church. Keywords: Ganjuran Church, Reincarnation, Cosmos Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Transcript of GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

Page 1: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI”

KRATON YOGYAKARTA Afif Abdul Aziz, Hendrajaya Isnaeni (Pembimbing)

Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16436,

Indonesia

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran adalah Gereja bernuansa Jawa yang

terletak di Bantul, Yogyakarta. Pasca gempa besar yang melanda Yogyakarta sebelas

tahun lalu, Gereja ini mengalami pemugaran yang merubah bentuk gereja yang semula

seperti Gereja pada umumnya menjadi Gereja yang bernuansa Jawa dan berbentuk Tajug.

Aspek fisik dan nonfisik Gereja Ganjuran banyak diambil dari Kraton Yogyakarta,

sehingga Gereja Ganjuran adalah reinkarnasi dari Kraton Yogyakarta. Selain itu,

Orientasi pada kosmos adalah salah satu ciri khas dari Gereja ini. Skripsi ini mencoba

membahas mengenai unsur apa saja yang dibawa dari Kraton Yogyakarta dan kemudian

lahir kembali di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

Kata Kunci: Gereja Ganjuran, Reinkarnasi, Kosmos

ABSTRACT

Ganjuran Church is a Javanese-themed church located in Bantul, Yogyakarta.

Subsequent to the heavy earthquake in Yogyakarta eleven years ago, this church

underwent a restoration which transformed the shape of the building. It was transformed

from a regular church into a Javanese-themed and Tajug-shaped church. The physical and

non-physical aspects of Ganjuran Church is mainly adapted from Kraton Yogyakarta, so

that Ganjuran Church can be called as its reincarnation. Furthermore, orientation in

cosmos is one of the identity of this church. This work is an endeavour to discuss about

the elements from Kraton Yogyakarta which is reincarnated in Ganjuran Church.

Keywords: Ganjuran Church, Reincarnation, Cosmos

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 2: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

PENDAHULUAN

Pada tahun 1924 dua orang pengusaha gula Gondang Lipuro, Joseph dan Julius

Schmutzer membangun Gereja Ganjuran. Mereka membangunnya untuk memperkenalkan

Katolik di Yogyakarta khususnya Bantul. Gereja ini adalah gereja bernuansa Jawa yang dapat

dilihat dari bentukannya. Pasca gempa besar yang menimpa Yogyakarta pada tahun 2006, pihak

gereja mengadakan pemugaran yang merubah wujud gereja menjadi bangunan yang berbentuk

tajug. Gereja ini kental akan unsur Jawa baik ditinjau secara fisik maupun nonfisik. Secara fisik

yang dapat dilihat adalah bentuk gereja yang mengadopsi bentuk Tajug. Kemudian, ornamen

yang terdapat pada bangunan utama gereja dan prasasti berisi cerita bagaimana Yesus dijatuhi

hukuman dan dieksekusi. Kisah itu digambarkan dalam bentuk prasasti batu dan cerita yang

diangkat adalah cerita asli bagaimana Yesus berjuang dan akhirnya dieksekusi, dimana Yesus

memakai pakaian kebesaran Mataram. Kemudian, aspek nonfisik dapat dilihat pada prosesi-

prosesi yang diadakan rutin didalam Gereja Ganjuran ini, salah satunya gunungan sebagai

perwujudan keselaran unsur alam yang dihadirkan pada acara rutin tersebut.

Dalam mengungkap beberapa hal mengenai kasus diatas, penulis ingin menggali berbagai

aspek yang menjadi faktor mengapa Gereja Ganjuran disebut mengadopsi konsep di Kraton

Yogyakarta. Pertanyaan yang akan diajukan secara garis besar adalah:

• Bagaimana keterkaitan aspek fisik dan spiritual Kraton terhadap Gereja Ganjuran dan

pengaruh kosmologi terhadap keduanya?

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui unsur fisik dan non-fisik pada bangunan

Gereja Ganjuran yang memiliki karakteristik dipengaruhi oleh budaya dan tradisi Jawa. Selain

itu, mengungkap segala elemen dan menemukan aspek-aspek fisik dan spiritual di Gereja

Ganjuran yang merupakan reinkarnasi dari Kraton kemudian dilahirkan kembali pada bangunan

gereja. Pengamatan dan analisis dilakukan terhadap dua bangunan itu, diamati secara berkala

mulai bulan Juli-November 2017. Kemudian akan dilakukan pencarian terhadap perbandingan

Kraton dan Ganjuran secara seksama dan menemukan segala karakteristik yang berbeda didalam

keduanya.

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 3: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

TINJAUAN TEORITIS

1.1 Budaya Jawa

1.1.1 Orang Jawa

Menurut A.M.W Pranarka, “Pada dasarnya, orang Jawa memiliki kebudayaan yang kuat

sehingga orang Jawa mampu menjadi akseptor yang kritis dan selektif sehingga dengan

sendirinya mereka tidak merusak identitas kebudayaan tersebut” (Pranarka, 1984). Sehingga,

kebudayaan yang masuk akan bercampur tanpa merusak identitas asli dari orang Jawa karena

telah disebutkan bahwa orang Jawa adalah orang yang selektif.

“Orang Jawa adalah orang yang secara bahasa menggunakan bahasa Jawa sebagai

bahasa induk dan penduduk aslinya menempati wilayah bagian tengah dan timur pulau Jawa”

(Suseno, 1991). Beliau juga mengatakan, mata pencaharian utama dari orang asli Jawa adalah

sebagai petani maupun buruh tani.

1.1.2 Budaya dan Kepercayaan Jawa

Suseno (1991), mengatakan bahwa orang Jawa juga meyakini akan kuasa tuhan dan

berusaha untuk mencapai kesatuan antara dirinya dengan sang pencipta (Pamore Kawula Gusti),

kesatuan itu adalah salah satu cara untuk mencapai Kawruh Sangkan Paraning Dumadi, yaitu

Kawruh (Pengetahuan), Sangkan (Tentang asal), Paran (Tujuan), Dumadi (Apa yang

diciptakan). Dalam konteks agama dan kebudayaan, salah satu kebiasaan yang sampai saat ini

masih dilakukan oleh orang Jawa adalah Slametan, yaitu sebuah ritus religius sentral orang Jawa

yang dilaksanakan ketika seseorang mendapat nikmat dari yang maha kuasa maupun sebagai

ritual memanjatkan doa memohon sesuatu (Suseno, 1991). Menurut beliau, seseorang yang

mengadakan slametan, diharuskan untuk mengundang seluruh tetangga karena orang Jawa

percaya bahwa keselarasan antara para tetangga dengan jagat raya harus selalu stabil.

Upacara keagamaan yang syarat akan kebudayaan ini menurut Ronald (2005) dipicu oleh

beberapa sifat manusia yang kemudian menjadi trigger untuk dilaksanakannnya rangkaian ini.

Menurutnya, homo festivus, dimana sifat tersebut muncul karena adanya hasrat manusia yang

senang mengadakan sebuah perayaan atau pesta yang menjadi pluralitas ekspresi seni budaya

mereka. Kemudian, sifat homo ludens menjadi pemicunya, yaitu sifat manusia yang senang akan

permainan atau hiburan.

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 4: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

1.1.3 Tradisi Jawa Gunungan

Dalam rangkaian sekatenan, tindakan simbolis berupa pemandian kereta kencana yang

berumur ratusan tahun dan barangsiapa yang dapat mencuci mukanya dengan sisa air pemandian

tersebut dianggap akan mendapat berkah (Herusatoto, 1984). Beliau mengatakan pula bahwa

puncak dari rangkaian ini adalah ketika dibagikannya Gunungan kepada rakyat di plataran

Masjid Agung Kraton yang dipimpin langsung oleh Raja. Dalam hal ini, gunungan

direpresentasikan sebagai mikrokosmos atau jagat cilik dan makrokosmos atau jagat gedhe.

Menurut terjemahan (Septiyani, 2013) oleh apa yang dikatakan Haryanto, mikrokosmos

digambarkan sebagai segala sesuatu yang ada pada diri manusia, sedangkan makrokosmosnya

digambarkan mengenai perwujudan alam semesta dimana keduanya digambarkan kedalam

sebuah simbol-simbol tertentu.

Gambar Gunungan

(sumber: http://v.ht/Yk8d)

1.2 Arsitektur dan Kosmologi dalam budaya Jawa

1.2.1 Pengertian Kosmologi

Perjalanan waktu membuat berbagai pengaruh dari luar yang kemudian masuk ke Jawa,

Kosmos merupakan keteraturan dan terstrukturnya jagat raya, dimana terdapat keselarasan antara

Alam dan Isinya, dalam hal ini makhluk hidup didalamnya (Suseno, 1991).

Orang Jawa sendiri, memercayai bahwa alam adalah sumber kekuatan yang menggariskan

keselamatan dan keruntuhan seseorang, alam yang pada akhirnya memutuskan segala kehidupan

manusia (Ronald, 2005)

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 5: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

1.2.2 Makrokosmos dan Mikrokosmos

Keselarasan dan keseimbangan antara makro dan mikrokosmos harus dijalankan agar

berdampak pada kesejahteraan dan kemakmuran manusia yang menjalankannya, sehingga dalam

hal penataan yang merupakan perwujudan antara mikro dan makrokosmos, manusia menata

ruang sakral dimana secara tingkah laku dan struktur bangunan teratur dan sesuai tindak tanduk

(Handinoto, 2015). Menurutnya, Berbeda dengan ruang profan yang cenderung tidak teratur

secara kosmos dan bukan merupakan kategori ruang yang suci.

Didunia, Raja digambarkan sebagai reinkarnasi Tuhan karena hanya raja yang memiliki

kekuatan dalam mengendalikan alam dan mencegah gonjang ganjing dengan menyelaraskan

kosmos, semua peristiwa alam berasal dari kekuatan kosmis yang sama dan dipusatkan kepada

raja (Prijotomo & Rachmawati, 1995).

Gambar Raja sebagai pusat penguasa Kosmos

(sumber: Sujamto, 1995, hlm.45)

1.2.3 Organisasi Ruang

Ketika mengacu pada Kawruh Sangkan Paraning Dumadi (Suseno, 1991), terdapat

makna yang dapat diambil didalamnya yang berarti dari arah mana ke arah mana (continuity).

Pada pandangan hidup ini, tersirat bahwa orang Jawa menghargai masa lalu dan memiliki

keinginan menggapai masa depan dengan konsep alur yang menerus (Ronald, 2005).

Menurutnya, Apabila dikaitkan dengan organisasi ruang bangunan Jawa, dapat terlihat dalam

beberapa wujud salah satunya adalah alur susunan ruang yang menerus dari muka kebelakang

maupun samping kiri ke samping kanan.

1.2.4 Orientasi Bangunan

Mata angin memiliki arti dan makna tersendiri, bagian utara-selatan adalah termasuk

sumbu spiritual/ kelanggengan, dalam hal ini seringkali makna tersebut dihubungkan dengan

duniawi dan surgawi (Prijotomo, 1984).

NAGARIGUNG (DAERAH SEKITAR IBUKOTA KERAJAAN)

MANCANAGARA (PROFAN) NAGARI (IBUKOTA KERAJAAN/ SAKRAL)

JAGAT RAYA

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 6: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

1.3 Aspek fisik dan spiritual bangunan Jawa

1.3.1 Aspek Fisik bangunan Jawa

. Menurut terjemahan Ronald (2005) berdasarkan pernyataan dari Daldjoenir dan Sujitno,

“Dalam hal tipe tempat tinggal, bila ditinjau dari sudut pandang manusia yang akan tinggal

didalamnya, maka manusia menuntut beberapa hal untuk dapat memenuhi kebutuhannya, yaitu

Api, angin, tanah, air, dan udara, seperti juga digambarkan dalam simbol gunungan (wayang

kulit) - Api: Api, sinar matahari, sinar penerangan, panas, suhu

- Angin: Angin, aliran udara, gas, bau-bauan, ventilasi

- Tanah: Tanah, bumi, lahan (pertanian, pemukiman, kerja)

- Air: Air (Sumur), Kelembaban, cairan, uap, awan

- Udara: Udara, cuaca, iklim

Berdasarkan pengelompokan berdasarkan bentuknya, bangunan dalam arsitektur Jawa dibagi

menjadi lima tipe bangunan, yaitu Tajug, Limasan, Joglo, Panggangpe, dan Kampung (Wibowo,

Murniatmo, & Sukirman, 1998).

1.3.2 Aspek Spiritual bangunan Jawa

Dalam kehidupan Jawa, mereka menjunjung tinggi keselarasan antara kehidupan

duniawi dan kehidupan spiritual mereka (Ronald, 2005). Menurut beliau, Berbicara mengenai

keselarasan kehidupan, didalamnya tersirat bagaimana mereka memperhatikan tujuan hidup,

yang mencakup kehidupan sempurna (Sejatining Urip), dan perilaku sempurna (Sejatining

Laku).

Tindakan simbolis dalam seni pahat, seni topeng, seni kacurigan atau keris, dan seni

rupa juga dikenal sebagai perwujudan dalam menyelaraskan kosmos (Herusatoto, 1984). Dalam

hal ini, beliau mengemukakan bahwa bentuk-bentuk simbolisme tersebut memiliki tujuan dan

maksud tertentu yang sifatnya cenderung magis dan mistis. Kemudian, beliau juga mengatakan

Makna atau arti dari setiap simbol yang berada di bangunan Jawa, memiliki maksud dan tujuan

tertentu yang dihayati sebagai tanda atau peringatan, dan sebagai perantara dalam religi.

1.4 Reinkarnasi

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 7: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

Didalam Hinduisme, reinkarnasi dianggap sebagai hal yang minus apabila dipandang

secara tradisional, yaitu hidup penuh kemalangan (Duhkha) dan reinkarnasi akan terus

berlangsung hingga seseorang mencapai Moksa atau kebahagiaan yang kekal dan abadi yang

tidak diikuti duka itu (Sastrapratedja, 2009). Kemudian beliau juga mengatakan, Dalam

budhisme, ajaran tentang karma yang merujuk pada reinkarnasi adalah manusia dapat dilahirkan

kembali kedalam bentuk dan wujud kehidupan seperti misalnya dewa/dewi, manusia, asura (roh),

binatang, preta (hantu), hingga penghuni neraka.

STUDI KASUS

1.1 Kraton Yogyakarta

1.1.1 Tipe Bangunan

Bangunan utama adalah berjenis joglo mangkurat seperti yang ada pada bangsal kencono.

kemudian bangunan utama yang kedudukannya dibawah bangsal kencono adalah, jenis tajug

lambang gantung seperti bangsal ponconiti, kemudian tajug mangkurat seperti yang ada pada

bangsal witono.

1.1.2 Tradisi Jawa Gunungan

Gambar Sirkulasi Tradisi Garebeg di Kraton

(Sumber: KHP Widyobudoyo dan Olahan Pribadi)

1.1.3 Arsitektur dan Kosmologi dalam Budaya Jawa

A. Makrokosmos dan Mikrokosmos

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 8: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

Karena raja yang digambarkan sebagai penguasa kosmos bersemayam di Kraton, maka

Kraton adalah pusat kekuatan yang sangat dihormati kedudukannya (Suseno, 1991). Dalam

konteks ini, raja dihayati sebagai mikrokosmos yang bernaung di Kraton yang dihayati sebagai

makrokosmos. Kraton sebagai pusat kosmos menjadikannya sebagai salah satu central dalam

segala pelaksanaan kebudayaan.

Dalam membatasi wilayahnya, area kraton yang sifatnya sakral dan area disekitarnya

sebagai wilayah profan, dibatasi oleh benteng atau gerbang yang dinamakan plengkung.

B. Organisasi Ruang

Secara garis besar, bangunan yang notabenenya memiliki fungsi yang penting di Kraton

Yogyakarta, menggunakan bangunan yang bertipe tajug dan joglo. Namun, untuk pusat bangsal

dari Kraton Yogyakarta yang berada di area Kedhaton, yaitu Bangsal Kencono adalah bangunan

yang memiliki jenis bangunan Joglo mangkurat.

Gambar Tata ruang di Kraton Yogyakarta

(sumber: http://peta-yogyakarta.blogspot.co.id/2012/06/)

Bangsal Kencono berada di tengah-tengah Komplek Kraton Yogyakarta. Ketika merujuk

pada salah satu teori yang diungkapkan oleh Arya Ronald, bahwa Ruang pada bangunan jawa

memiliki nilai kekuatan dan makna tersendiri dari setiap ruangnya (Ronald, 2005). Beliau juga

mengatakan, Zona yang notabenenya berada pada sisi luar dan tepi, cenderung memiliki nilai

kekuatan, kekuasaan dan karisma yang terendah. Namun, ketika memasuka Zona yang masuk

dalam kategori pusat, akan memiliki nilai kesakralan yang tinggi serta kedudukannya

diutamakan karena tempat tersebut telah diduduki oleh orang yang suci.

C. Orientasi Bangunan

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 9: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

Kesatuan kosmologis menjadi salah satu perwujudan Kraton Yogyakarta, seperti

misalnya agni/ merapi, udara/ laut, dan maruta/ udara segar), terdapat pula disisi sitihinggil yang

cenderung tanahnya ditinggikan sebagai manifestasi kesatuan kosmos yang telah dijelaskan

sebelumnya (Khairuddin, 1995).

Gambar Orientasi bangsal Kencono dan bangunan lain

(Sumber: KHP Widyobudoyo Kraton Yogya dan olahan pribadi)

1.2 Gereja HKTY Ganjuran

U

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 10: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

MOLO

BRUNJUNG

LAMBANGSRI

SOKO PENANGGAP

UMPAK

1.2.1 Tipe Bangunan

Sebagai salah satu bangunan yang memiliki fungsi utama sebagai tempat beribadah,

gereja ini mengadopsi bentuk tajug sebagaimana diterapkan pada masjid. Hal ini dilakukan

karena citra Tajug yang cenderung digunakan sebagai bangunan masjid yang merupakan tempat

suci bagi umat beragama Islam.

Gambar 3. 1 Gereja HKTY Ganjuran

(sumber: Paroki gereja HKTY Ganjuran)

1.2.2 Prosesi Gunungan

Berdasarkan tujuannya, umat yang hadir tidak hanya memanjatkan doa saja, namun

banyak dari mereka yang hanya ingin berwisata khususnya umat non-Katolik, sehingga

Biru: Umat

Merah jambu: Imam/ Romo

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 11: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

B

Keterangan:

A : Rohangan/Liwan

B: Paimbaran/Mikrab

C : Serambi

menyebabkan sirkulasi yang sifatnya menyebar ke beberapa komponen yang ada di Komplek

Gereja Hati Kudus Ganjuran ini.

1.2.3 Arsitektur dan Kosmologi dalam Budaya Jawa

A. Makrosmos dan Mikrokosmos

Gambar 3. 2 Ilustrasi mikrokosmos dan makrokosmos

(Sumber: digambar dan diolah ulang oleh penulis)

Dalam mengacu pada pembahasan mengenai pembatas, gereja dan kompleknya dianggap umat

sebagai mikrokosmos yang berbatasan langsung dengan makrokosmos yaitu lingkungan sekitarnya.

Pembatas dari gereja ini cenderung terbuat dari batu yang dapat terlihat pada gerbang yang terukir.

Gerbang masuk sebelah barat cenderung berbentuk seperti gerbang candi, yang bertuliskan “Berkah

Dalem”. Menurut mas aris selaku sekretaris Ganjuran, arti dari “berkah dalem” yaitu Semoga Tuhan

Memberkatimu yang diterjemahkan dari bahasa jawa.

B. Organisasi Ruang

Sebagai penghayatan dari Kawruh Sangkan Paraning Dumadi (Suseno, 1991), yang sebelumnya

telah dijelaskan dilandasan teori, yang mana cenderung bersifat continuity yang dapat dilihat dari hierarki

ruang tajug ini. Sehingga, mengacu pada teori tersebut, bahwa ruang pada Gereja Hati Kudus Tuhan

Yesus Ganjuran ini memiliki nilai kekuatan dan makna tersendiri dari setiap ruang yang ada didalamnya.

Merah jambu: Makrokosmos

Biru: Mikrokosmos

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 12: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

C. Orientasi Bangunan

Bangunan gereja menghadap kearah selatan diikuti dengan candi yang letaknya disisi barat

gereja. Arah mata angin memiliki hubungan dengan duniawi dan surgawi, yaitu timur diartikan

sebagai kelahiran, barat sebagai kematian, dan utara sebagai surgawi atau kesakralan yang tinggi,

sedangkan selatan sebagai dunia bawah (Prijotomo, 1984).

Gambar 3. 3 Orientasi arah dari Gereja Ganjuran

(sumber: peta ganjuran dan olahan pribadi)

ANALISIS OBSERVASI

A. Elemen Fisik Sebagai Pembatas Ruang Sakral Dan Profan

Dalam hal penataan yang merupakan perwujudan antara mikro dan makrokosmos, manusia menata

ruang sakral dimana secara tingkah laku dan struktur bangunan teratur dan sesuai tindak tanduk

Gambar Batasan ruang profane dan sakral Kraton dan Ganjuran

(Sumb er: Tepas KHP Widyobudoyo, Paroki Ganjuran dan olahan pribadi)

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 13: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

(Handinoto, 2015). Beliau juga menyebutkan, bahwa pembatas tersebut tidak hanya digunakan sebagai

sarana mendapat keamanan saja namun lebih kepada membatasi ruang sakral dan profan yang

orientasinya kepada duniawi dan surgawi.

B. Pusat sebagai perwujudan kesakralan

Dalam pandangan hidup jawa, tuhan sering disebut gusti yang dihayati sebagai sosok yang maha

kuasa atas segala apapun. Berbagai macam area dan bangunan khususnya bangsal di Kraton memiliki

orientasi tersendiri dan berbeda satu sama lain tergantung fungsi dan kedudukannya sebagai bangunan

yang sakral. Bangsal yang secara fungsi memiliki arti penting dan merupakan bangsal yang kerap

diduduki dan siniwoko Sultan, mendapat prioritas khusus dalam peletakan dan simbolisasi ornamen yang

mewah.

Gambar 4. 1 Ilustrasi posisi dan makna nilai kekuatan ruang Jawa

(Sumber: olahan pribadi)

C. Keterkaitan antara ruang sakral terhadap simbol dan ornament

Dalam hal ini kewibawaan dan karisma digambarkan melalui bentuk yang secara simbolik akan memunculkan kewibawaan tersebut (Ronald, 2005). Hal ini diungkapkan pula oleh beliau, bahwa kewibawaan dan karisma digambarkan melalui bentuk yang secara simbolik akan memunculkan kewibawaan tersebut. Sehingga, ruang yang notabenenya ditinggikan memiliki sentuhan seni tinggi yang akan mengangkat kharisma dan wibawa seseorang dalam hal ini Raja.

D. Penempatan Ruang berdasarkan kedudukan

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 14: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

Gambar potongan Kraton dan Gereja (atas-bawah)

Sumber: Paroki Ganjuran, Tim pelestarian Kraton dan olahan pribadi

Terlihat pada Bangsal yang diduduki oleh Sinuwun Hamengkubuwono yang levelnya lebih tinggi dalam

konteks ketinggian lantai misalnya. Dalam hal kedudukannya, Panti Imam atau Rohangan di ganjuran

ditempatkan lebih tinggi dari posisi umat.

E. Gunungan sebagai elemen ritual bernuansa kosmos

- Gunungan menampilkan hasil bumi yang berdasar filosofi tertentu (Kraton) dan tidak berfilosofi dan

cenderung tidak beraturan (Ganjuran)

- Esensi mendapat berkah bagi yang mencapai puncak

- Sirkulasi berhubungan dengan filosofi ruang dan sejarahnya

- Hasil alam sebagai perwujudan keselarasan alam

KESIMPULAN

Ketika berbicara mengenai Kosmologi, menurut penulis kedua bangunan menghayati dan

mengaplikasikan sesuai faedah. Namun, menurut penulis berbagai ketentuan dalam kosmologi dan

falsafah Jawa lebih condong maksimal dijalankan di Kraton dibanding Gereja Ganjuran.

Sehingga,berdasarkan pada penjelasan diatas terungkap bahwa Gereja HKTY Ganjuran menyerap konsep

yang melahirkan kembali unsur fisik dan nonfisik yang mencakup spiritual.

Aspek fisik seperti organisasi dan hierarki ruang, orientasi bangunan di Kraton Yogyakarta maupun

Gereja Ganjuran selalu bersendikan pada kosmologi. Hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya dan

kepercayaan Jawa terhadap keselarasan alam sebagai wujud taat kepada Tuhan. Berbicara tentang Tuhan,

Pandangan Jawa meyakini bahwa Raja adalah perwakilan Tuhan di bumi. Filosofi kedudukan raja sebagai

junjungan ini menjadi acuan dalam menentukan organisasi dan hierarki ruang, ornamen, dan ragam hias

lainnya.

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 15: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

DAFTAR PUSTAKA

Hadiwijono, H. (1983). Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Handinoto. (2015). Perkembangan Kota di Jawa Abad XVIII Sampai Pertengahan Abad XX Dipandang dari Sudut Bentuk dan Struktur Kotanya. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Herusatoto, B. (1984). Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT Hanindita.

Khairuddin. (1995). Filsafat Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Liberty.

Larasati, T. A. (2013). Berbagai Macam Gunungan dalam Upacara Garebeg di Kraton Yogyakarta. Jurnal BPAD Yogyakarta, 1-5.

Pranarka, A. (1984). Imanensi dan Trancedensi Didalam Alam Pikiran Jawa. Yogyakarta: Yayasan Panunggalan Lembaga Javanologi.

Prijotomo, J. (1984). Ideas and Forms of Javanese Architecture. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Prijotomo, J., & Rachmawati, M. (1995). Petungan: Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Puntohendro, E. (2001). Kraton Yogyakarta Dalam Balutan Hindu. Yogyakarta: Penerbit Bendera.

Ronald, A. (2005). Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sabdacarakatama, K. (2009). Sejarah Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Narasi.

Sastrapratedja. (2009). Manusia: Teka-teki yang mencari solusi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Septiyani, A. (2013). Perbedaan Makna Simbolik Gunungan Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta dan Gagrag Banyumas. Depok: Skripsi FIB Universitas Indonesia.

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017

Page 16: GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …

Sujamto. (1992). Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. Semarang: Dahara Prize.

Suseno, F. M. (1991). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wibowo, H., Murniatmo, G., & Sukirman. (1998). Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017