GERD

78
Laboratorium / SMF Ilmu Penyakit Dalam Case Report Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman RSUD A.W.Sjahranie Samarinda GERD + HT Stage II + DM Type II Uncontrolled + Gastroparesis Diabetic OLEH Amaliaturrahmah 06.55372.00315.09 PEMBIMBING dr. Ignatia Sinta Murti, Sp.PD.,M.Kes Dipresentasikan Dalam RangkaTugas Kepaniteraan Klinik Pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam 2011 0

description

Laboratorium / SMF Ilmu Penyakit Dalam Program Pendidikan Dokter Universitas Mulawarman RSUD A.W.Sjahranie SamarindaCase ReportGERD + HT Stage II + DM Type II Uncontrolled + Gastroparesis DiabeticOLEH Amaliaturrahmah 06.55372.00315.09PEMBIMBING dr. Ignatia Sinta Murti, Sp.PD.,M.KesDipresentasikan Dalam RangkaTugas Kepaniteraan Klinik Pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam 20110LEMBAR PENGESAHANCASE REPORTGERD + HT stage II + DM type II uncontrolled + Gastroparesis DiabeticDisusun o

Transcript of GERD

Page 1: GERD

Laboratorium / SMF Ilmu Penyakit Dalam Case ReportProgram Pendidikan Dokter Universitas MulawarmanRSUD A.W.Sjahranie Samarinda

GERD + HT Stage II + DM Type II Uncontrolled +

Gastroparesis Diabetic

OLEHAmaliaturrahmah06.55372.00315.09

PEMBIMBINGdr. Ignatia Sinta Murti, Sp.PD.,M.Kes

Dipresentasikan Dalam RangkaTugas Kepaniteraan Klinik

Pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam

2011

0

Page 2: GERD

LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT

GERD + HT stage II + DM type II uncontrolled + Gastroparesis Diabetic

Disusun oleh:

Amaliaturrahmah

06.55372.00315.09

Telah dipresentasikan pada:

Mengesahkan dan menyetujui,

Pembimbing

dr. Ignatia Sinta Murti, Sp.PD.,M.Kes

1

Hari : Selasa

Tanggal : 2 Maret 2011

Page 3: GERD

DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. 1

Daftar Isi........................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 3

1.1 Latar Belakang............................................................................................ 3

1.2 Tujuan......................................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 5

2.1 Definisi...................................................................................................... 5

2.2 Epidemiologi........................................................................................... 5

2.3 Etiologi dan Patogenesis......................................................................... 6

2.4 Manifestasi Klinis...................................................................................11

2.5 Diagnosis.................................................................................................12

2.6 Komplikasi..............................................................................................16

2.7 Diagnosa banding....................................................................................17

2.8 Penatalaksanaan......................................................................................24

2.9 Prognosis.................................................................................................27

BAB III LAPORAN KASUS...........................................................................28

BAB IV ANALISA KASUS............................................................................39

BAB V PENUTUP...........................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................50

2

Page 4: GERD

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/ Penyakit Refluks Gastroesofageal)

adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme

antireflux untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung

dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang.

Refluks asam sendiri merupakan suatu pergerakan dari isi lambung dari

lambung ke esophagus. Refluks ini sendiri bukan merupakan suatu penyakit, bahkan

keadan ini merupakan keadaan fisiologis. Refluks ini terjadi pada semua orang,

khususnya pada saat makan banyak, tanpa menghasilkan gejala atau tanda rusaknya

mukosa esophagus.

Pada GERD sendiri merupakan suatu spectrum dari penyakit yang

menghasilkan gejala heartburn dan regurgitasi asam. Telah diketahui bahwa refluks

kandungan asam lambung ke esophagus dapat menimbulkan berbagai gejala di

esophagus, seperti esofagitis, striktur peptik, dan Barret’s esophagus dan gejala

ekstraesophagus, seperti nyeri dada, gejala pulmoner, dan batuk.

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat ditemukan pada semua

umur, umum ditemukan pada populasi di Negara-negara barat, namun dilaporkan

relatif rendah insidennya di Negara-negara Asia-Afrika. Di Amerika dilaporkan

bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami refluks (heartburn dan/atau

regurgitasi) sekali dalam seminggu serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut

sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%,

sementara di negara-negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China

dan 2,7% di korea). Gastroesophageal reflux disease (GERD) terjadi pada semua

kelompok umur. Prevalensi GERD meningkat pada orang tua ≥ 40 tahun. GERD

3

Page 5: GERD

terjadi pada sebagian umum laki-laki daripada wanita. Rasio kejadian laki dan

perempuan untuk esophagitis adalah 2:1 - 3:1. Rasio kejadian laki dan perempuan

untuk Barrett esofagus adalah 10:1.

Di Indonesia sendiri belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini,

namun di Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI- RSUPN Cipto

Mangunkusumo Jakarta, didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua

pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.

1.2.   Tujuan Penulisan

Penulisan ini ditujukan untuk mengetahui definisi, patogenesis, gejala, tanda,

diagnosis, penanganan, komplikasi serta prognosis dari GERD (Gastroesophageal

Reflux Disease) yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi dengan memaparkan

contoh kasus yang diperoleh oleh penulis.

4

Page 6: GERD

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFENISI

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/ Penyakit Refluks Gastroesofageal)

adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme

antireflux untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung

dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang. bila terjadi refluks yang

berulang-ulang sehingga menyebabkan esophagus bagian distal terkena pengaruh isi

lambung untuk waktu yang lama. Kerusakan esophagus tersebut dikarenakan refluks

cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamosa esophagus.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat ditemukan pada semua

umur, umum ditemukan pada populasi di Negara-negara barat, namun dilaporkan

relatif rendah insidennya di Negara-negara Asia-Afrika. Di Amerika dilaporkan

bahwa 1:5 orang dewasa mengalami refluks (heartburn dan/atau regurgitasi) sekali

dalam seminggu serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam

sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%, sementara di

negara-negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di

korea). Prevalensi GERD meningkat pada orang tua ≥ 40 tahun. GERD terjadi pada

sebagian umum laki-laki daripada wanita. Rasio kejadian laki dan perempuan untuk

5

Page 7: GERD

esophagitis adalah 2:1 - 3:1. Rasio kejadian laki dan perempuan untuk Barrett

esofagus adalah 10:1Di Indonesia sendiri belum ada data epidemiologi mengenai

penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI-

RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8%

dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.

2.3 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat

sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila: 1). terjadi kontak –dalam waktu

yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa, 2). terjadi penurunan

resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat

dengan esofagus tidak lama. Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan

tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal

sphincter (LES).Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada

saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau retrograd yang

terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik gaster ke esofagus melalui LES

hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 rnmHg).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:

1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat.

2. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan

3. Meningkatnya tekanan intra abdomen.

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD

menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif

6

Page 8: GERD

dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah

antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan

ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif

adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.

Pemisah Antirefluks

Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus

LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya

peningkatan tekanan intrabdomen.

Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.

Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES: 1). Adanya hiatus hernia, 2).

panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), 3). obat-obatan seperti

antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain, 4). faktor hormonal.

Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.

Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak

bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam

terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi

LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului

proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada

beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung lambat

(delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.

Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial.

Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia,

7

Page 9: GERD

namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus

hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari

esofagus serta menurunkan tonus LES.

Bersihan asam dari lumen esophagus

Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah

gravitasi, peristaltik, ekresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian

besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang

dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang

disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.

Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara

bahan refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar kemungkinan

terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transit

esofagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik

esofagus yang minimal.

Refluks malam hari (nocturnal reflex) lebih besar berpotensi menimbulkan

kerusakan esofagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus

tidak aktif.

8

Page 10: GERD

Ketahanan Epitelial Esofagus

Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan

mukus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan epitelial esofagus

terdiri dari:

Membran sel

Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke

jaringan esofagus.

Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan bikarbonat, serta

mengeluarkan ion H+ dan CO2

Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion

H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraselular.

Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esofagus,

sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H+ .

Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak adalah potensi daya

rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat

terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, enzim pancreas.

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang

dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH <2,

atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki

potensi daya rusak paling tinggi adalah asam.

9

Page 11: GERD

Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah

kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain:

dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.

Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan

kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara

infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian

esofagitis, Barrett' esophagus dan adenokarsinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi

H.pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta

pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H.pylori

sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak

mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis,

pengaruh eradikasi H.pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu

pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.pylori dengan

corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat meningkatkan

sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan

gejala GERD pra infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi

H.pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung.

Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H.pylori dengan

corpus predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperburuk keluhan GERD

serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada

pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi.

10

Page 12: GERD

Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD

sebelum pengobatan PPl jangka panjang.

Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid

reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud

dengan non-acid reflux antara lain berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam

atau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena

hipersensitivitas viseral.

2.4 MANIFESTASI KLINIK

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di

epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan

sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia

(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau

demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan

temuan endoskopik. Kadang- kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip

dengan keluhan pada serangan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan

makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari

Barrett' es esofagus. Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan Pada

waktu menelan makanan) dapat timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.

GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang

atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest

pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya

bronkiektasis atau asma.

11

Page 13: GERD

Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk

timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophageal

high pressures zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan toms LES

(misalnya theofilin).

Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode

akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien

dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.

2.5 DIAGNOSIS

Di samping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa:

pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnoses GERD, yaitu:

1. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas.

Pemeriksaan endoskopi saluran cema bagian atas merupakan standar baku

untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis

refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan

makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain

yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan, mucosal break pada

pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas

GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflex disease (NERD).

Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang

dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan

bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.

Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barret’s esophagus,

12

Page 14: GERD

displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan

histopatologi/biopsi pada NERD.

Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi

dari pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.

Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles

Derajat kerusakan Gambaran EndoskopiA Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5 MMB Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa saling

berhubungan

C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumenD Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial

(mengelilingi seluruh lumen esofagus)

Tingkat Gambaran Endoskopi

I Adanya gambaran erosi kecil-kecil yang tidak menyatu (non-confluent) disertai bercak-bercak atau garis-garis merah, sedikit proksimal dari daerah peralihan mukosa

II Erosi memanjang, menyatu (confluent), yang tidak melingkar (non-circumferential)

III Erosi longitudinal, menyatu , dan melingkar, mudah berdarahIV a. adanya satu atau lebih dari satu tukak pada daerah peralihan mukosa

yang bisa disertai metaplasi atau striktur.b. adanya striktur tanpa tukak atau erosi

Tabel 2. Klasifikasi Savary dan Miller

2. Esofagografi dengan Barium.

Dibandingkan dengan endoskopi. pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali

tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan

yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinging dan lipatan

13

Page 15: GERD

mukosa, atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif

untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai

nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada

1). stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia,

2) hiatus hernia

3. Pemantauan pH 24 jam.

Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal

esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan

mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. pengukuran pH pada esofagus bagian

distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH di bawah 4 pada

jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

4. Tes Bernstein.

Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal

dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu

kurang dari sam jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada

pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri

dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak

menimbulkan nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative

tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esofagus.

14

Page 16: GERD

5. Manometri Esofagus.

Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien

dengan gejala nyeri epigastriurn dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi

barium dan endoskopi yang normal.

6. Sintigrafi Gastroesofageal.

Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat

yang dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium.

Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan memonitor

transit dari cairan/ makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas test ini

masih diragukan.

7. Penghambat Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor /PPI Test/ Tes supresi

asam) Acid Supression Test.

Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari

GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1 -2 minggu sambil melihat

respons terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik

seperti endoskopi, pH metri dan lain-lain. Test ini dianggap positif jika terdapat

perbaikan dari 50%-75% gejala yang teriadi. Dewasa ini terapi empiric/PPI test

merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD

pada pelayanan kesehatan lini pertama. Untuk pasien-pasien yang tidak disertai

dengan gejala alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm adalah: berat badan turun,

anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker

esofagus/lambung) dan umur >40 tahun.

15

Page 17: GERD

2.6 KOMPLIKASI

2.6.1 Esofagitis

Terjadinya esofagitis apabila isi beserta asam lambung masuk ke dalam

esofagus kemudian merusak permukaan mukosa dari esofagus. Tubuh kemudian

merespon hal tersebut sehingga terjadilah suatu proses inflamasi. Terjadinya suatu

respon inflamasi ini bertujuan untuk menetralisir agen yang telah rusak dan memulai

proses penyembuhan. Namun apabila kerusakan yang ditimbulkan pada esofagus

tersebut cukup dalam, lama kelamaan akan terbentuk suatu tukak/ulkus dimana ulkus

tersebut sangat rapuh. Ulkus yang meradang tersebut lama-kelamaan akan mengikis

mukosa hingga sampai ke pembuluh darah esofagus (esofagitis erosive) sehingga

pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya perdarahan pada esofagus.

2.6.2 Striktur

Striktur esofagus disebabkan karena ulkus-ulkus yang terdapat pada esofagus

telah pulih namun membentuk suatu jaringan fibrosis. Selanjutnya jaringan fibrosis

tersebut lama kelamaan akan menyusut dan menyempit sehingga lumen esofagus pun

ikut menyempit. Penyempitan ini disebut dengan striktur. Apabila penyempitan ini

semakin parah, hal ini dapat menyebabkan makanan yang masuk ke dalam esofagus

tidak dapat sampai ke lambung karena adanya obstruksi yang disebabkan oleh

penyempitan/striktur pada lumen esofagus tersebut.

2.6.3 Barret esofagus

Merupakan bentuk komplikasi dari gerd derajat berat dimana terjadi

metaplasia dari sel epitel squamous berubah menjadi esofagus columnar. Barret

16

Page 18: GERD

merupakan factor resiko terjadinya adenoca esofagus. Perubahan epitel dari

squamous menjadi columnar pada esofagus terjadi pada saat proses penyembuhan

dari esofagitis erosive namun selama dalam masa proses pemulihan tersebut, refluks

asam lambung ke esofagus juga terus berlangsung. Akibat adanya paparan yang

berulang-ulang terhadap asam lambung tersebut maka sel epitel squamous esofagus

tersebut lama kelamaan bermetaplasia jadi epitel sel columnar.

2.6.4 Mallory-Weiss tear

Merupakan mukosa linear yang robek(ruptur) pada gastroesofageal junction

yang sering diakibatkan oleh muntah, ketika tear mengganggu submukosa arteriola,

dapat menyebabkan perdarahan cepat. Endoskopi adalah metode diagnostic terbaik,

dan perdarahan aktif tear dapat diobati dengan menggunakan endoskopi yaitu injeksi

epinefrin, koagulan, hemoclips atau ligasi band. Berbeda dengan peptic ulcers,

Mallory-weiss tear non bleeding dengan sentinel clot pada alasnya jarang rebleeds

dan dengan demikian tidak diperlukan terapi endoskopi.

2.7 DIAGNOSA BANDING

1. Akalasia (Kardiospasme, Esophageal aperistaltis, Megaesofagus) adalah

suatu kelainan yang berhubungan dengan saraf, yang tidak diketahui

penyebabnya.

2. Gastritis (radang lapisan lambung), gastritis adalah peradangan pada lapisan

lambung.

3. Kanker esophagus, pada kanker kerongkongan adalah squamous sel

carcinoma dan adenocarcinoma, yang terjadi di dalam sel yang melewati

17

Page 19: GERD

dinding pada kerongkongan. Kanker ini bisa terjadi dimana saja di dalam

kerongkongan dan bisa terlihat sebagai penyempitan pada kerongkongan

(penyempitan), sebuah pembengkakan, daerah flat yang tidak normal

(plaque), atau jaringan yang tidak normal (fistula).

4. Ulkus Peptikum, luka berbentuk bulat atau oval yang terjadi karena lapisan

lambung atau usus dua belas jari (duodenum) telah termakan oleh asam

lambung dan getah pencernaan. Ulkus yang dangkal disebut erosi.

5. Esophagitis, esophagitis terutama disebabkan oleh GERD. Tetapi dapat pula

disebabkan oleh infeksi, efek obat, terapi radiasi, penyakit sistemik, dan

trauma.

2.7 PENATALAKSANAAN

Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat

kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus

ataupun esofagus Barrett yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya

penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang adekuat. Pada prinsipnya,

penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa,

terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.

Target penatalaksanaan GERD adalah: a). menyembuhkan lesi esofagus, b).

menghilangkan gejala/keluhan, c). mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas

hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi.

18

Page 20: GERD

2. 4.1 Modifikasi Gaya Hidup

Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan

GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang

dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan

untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai

berikut:

1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum

tidur dengan tujuan umuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta

mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus

2. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat

menurunkan torus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel

3. Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang

dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung

4. Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian

ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen

5. Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan

minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam

6. Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan torus LES

seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist

beta adrenergik, progesteron.

19

Page 21: GERD

2.4.2 Terapi Medikamentosa

Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada

penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini

GERD merupakan atau ten-masuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cema

bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi

supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk

memperbaiki gangguan motilitas.

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step

down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong

kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H) atau golongan

prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat

dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton IPPI). Sedangkan pada

pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat

dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih

rendah atau antagonis reseptor H, atau prokinetik atau bahkan antasid.

Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata

lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan

pendekatan terapi step up. Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia

Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini

pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step

down.

20

Page 22: GERD

Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan di

atas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi

pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi "bila perlu" (on demand

therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika

ada kekambuhan sampai gejala hilang.

Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala

menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal

ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala

pada tatalaksana GERD.

Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa

GERD :

1. Antasid

Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala

GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadan

HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Kelemahan

golongan obat ini adalah 1). Rasanya kurang menyenangkan, 2). Dapat menimbulkan

diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang

mengandung alumunium, 3). Penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal.

Dosis: sehari 4 x I sendok makan

21

Page 23: GERD

2. Antagonis Reseptor H2

Yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin, raniditin, famotidin dan

nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan

penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis

untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis

derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.

Dosis pemberian:

Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg

Ranitidin : 4 x 150 mg

Famotidin : 2 x 20 mg

Nizatidin : 2 x 150 mg

3. Obat-obatan prokinetik

Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena

penyakit ini dianggap lebih condong ke arah gangguan motilitas. Namur pada

prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada penekanan sekresi asam.

Metoklopramid : Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin..

Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam

penyembuhan lesi di esofagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2

atau penghambat pompa proton.. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat

tumbuh efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor

dan diskinesia. Dosis: 3 x 10 mg

22

Page 24: GERD

Domperidon : Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamin dengan efek

samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar

darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan

lesi esofageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat

meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.

Dosis: 3 x 10-20 mg sehari

Cisapride : Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat

pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam

menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esofagus lebih baik dibanding

domperidon.

Dosis 3 x 10 mg sehari

4. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)

Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki

efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan

pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat

mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena

bekerja secara topikal (sitoproteksi)

Dosis: 4 x 1 gram

5. Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI).

Golongan ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan

obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan

mempengaruhi enzim H,K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses

23

Page 25: GERD

pembertukan asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan

keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat

berat serta yang refrakter dengan golongan antagonist reseptor H,.

Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu:

Omeprazole : 2 x 20 mg

Lansoprazole :2x30mg

Pantoprazole :2x40mg

Rabeprazole :2x 10 mg

Esomeprazole : 2 x 40 mg

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial yang dapat

dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy: selama 4 bulan atau on

demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya. Efektivitas golongan obat ini

semakin bertambah jika dikombinasikan dengan golongan prokinetik.

Untuk pengobatan NERD diberikan dosis standar, yaitu:

Omeprazole 1 x 20 mg

Lansoprazole 1 x 30 mg

Pantoprazole 1 x 40 mg

Rabeprazole 1 x 10 mg

Esomeprazole 1 x 40 mg

Umumnya pengobatan diberikan selama minimal 4 minggu, dilanjutkan dengan on

demand therapy.

24

Page 26: GERD

Terdapat beberapa algoritme dalam penatalaksanaan GERD pelayanan

kesehatan lini pertama, salah saw di antaranya adalah direkomendasikan dalam

Konsensus Nasional untuk Penatalaksaan GERD di Indonesia (2004). (Gambar 4)

Adapun algoritme penatalaksanaan GERD di pusat pelayanan memiliki fasilitas

diagnostik memadai terdapat pada gambar 5.

Table 2. Efektivitas Terapi Obat-obatan Tersebut di Atas

Golongan Obat Mengurangi gejala

Penyembuhan Mencegah komplikasi

Mencegahkekambuhan

Antasid +1 0 0 0Prokinetik +2 +1 0 +1Antagonisreseptor H2

+2 +2 +1 +1

Antagonis reseptor H2 + prokinetik

+3 +3 +1 +1

Antagonis reseptor H2 dosis

+3 +3 +2 +2

Penghambat pompa proton

+4 +4 +3 +4

Pembedahan +4 +4 +3 +4

Terapi terhadap Komplikasi

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah striktur dan perdarahan Sebagai

dampak adanya rangsangan kronik asam lambung terhadap mukosa esofagus, dapat

terjadi perubahan mukosa esofagus dari skuamous menjadi epitel kolumnar yang

metaplastik. Keadaan ini disebut sebagai esofagus Barrett (Barrett's esophagus) dan

merupakan suatu keadaan premaligna. Risiko terjadinya karsinoma pada Barrett '

esophagus adalah sampai 30-40 kali dibandingkan populasi normal.

25

Page 27: GERD

a. Striktur Esofagus

Jika pasien mengeluh disfagia dengan diameter striktur kurang dari 13 mm,

dapat dilakukan dilatasi busi (Hurst bougie, Maloney bougie. Savarry bougie,

Pneumatic bougie). Jika dilatasi busi gagal, dapat dilakukan operasi.

b. Barrett Esofagus

Esofagus Barrett dapat diobati secara medikamentosa. Berikut ini adalah

algoritme penatalaksanaan Barrett' esophagus pada, pasien GERD:

a. Terapi Bedah

Beberapa keadaan dapat menyebabkan gagalnya terapi medikamentosa yaitu:

1). Diagnosis tidak benar; 2). Pasien GERD sering disertai gejala-gejala lain seperti

rasa kembung, cepat kenyang dan mual-mual yang lebih lama untuk menyembuhkan

esofagitisnya; 4). Kadang-kadang beberapa kasus Barrett's esophagus tidak

memberikan respons terhadap terapi PPI. Begitu pula halnya dengan

adenokarsinoma; 5). Terjadi striktur; 6). Terdapat stasis lambung dan disfungsi LES.

Terapi bedah merupakan terapi altematif yang penting jika terapi medikamentosa

gagal, atau pada pasien GERD dengan striktur berulang. Umumnya pembedahan

yang dilakukan adalah fundoplikasi.

b. Terapi Endoskopi

walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam konteks penelitian,

akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi ada pasien GERD,

yaitu:

penggunaan energi radiofrekuensi

26

Page 28: GERD

plikasi gastrik endoluminal

implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implant

2.5 PROGNOSIS

Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan

diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan

terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi “bila perlu” (on-

demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua

minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.

Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala

menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal

ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala

pada tatalaksana GERD.

27

Page 29: GERD

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 ANAMNESIS

Anamnesa dilakukan di ruang Flamboyan RSUD.A.W.Sjahranie pada hari

Rabu tanggal 10 januari 2011.

Sumber : Autoanamnesa & alloanamnesa (ibu pasien).

Identitas Pasien

Nama : Ny. J

Umur : 34 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jln.otto iskandar dinata gg. Budiman Rt 10 no. 7

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam

Pendidikan Terakhir : SLTP

Status Pernikahan : Menikah

Masuk Rumah Sakit : Sabtu, 08 Januari 2011

28

Page 30: GERD

Keluhan utama

Muntah kecoklatan.

Riwayat Penyakit Sekarang

Muntah kecoklatan, keadaan ini dialami sejak 3 hari SMRS, muntah

kecoklatan bercampur makanan, tidak ada darah, muntah sebanyak 5x/hr, banyaknya

sekitar 1 gelas aqua/ kali. Muntah ini disertai rasa mual, hingga pasien tidak memiliki

nafsu makan. Pasien sudah mengeluhkan adanya keluhan sering muntah ini sejak 8

bulan yang lalu, keluhan muntah kecoklatan ini disertai rasa terbakar di dada yang

tidak disertai penjalaran baik ke lengan maupun ke punggung. Pasien juga merasakan

rasa pahit di mulut. Tidak ada nyeri maupun kesulitan menelan. Pasien mengeluhkan

sering merasa cairan dari perutnya naik ke tenggorokan saat berbaring,sehingga

kadang-kadang pasien terbangun dan sulit tidur, Pasien juga mengeluhkan sering

bersendawa dan perutnya terasa kembung serta cepat terasa kenyang ketika makan

pasien tidak mengeluhkan adanya batuk dan demam. BAB pasien normal dan

BAK normal tidak ada keluhan BAK keruh atau berbuih, pasien mengaku sejak 6

bulan terakhir tidak mengalami menstruasi dan periksa tes kehamilan hasilnya

negativ.

Pada tahun 2007 pasien mengeluhkan adanya banyak kencing, pasien

mengeluhkan sering terbangun malam sampai 5-6 kali di malam hari, pasien juga

mengeluhkan adanya banyak minum, pasien dapat minum 2 botol aqua besar dalam

29

Page 31: GERD

sehari, tetapi pasien mengeluhkan tidak banyak makan, pasien juga mengaku BB nya

menurun sebanyak 5 kg dalam 3 tahun.

Riwayat Sakit Dahulu

pasien mengeluhkan keadaan yang sama sejak 8 bulan yg lalu dan 6 kali di rawat di

RS.

DM (+) sejak 1 tahun yang lalu

HT (-), asma (+)

Riwayat kebiasaan

konsumsi obat-obatan anti nyeri (-),

Konsumsi alkohol (-), merokok (-)

Konsumsi kopi (-), soda (-)

Konsumsi makanan berminyak (+)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami gejala serupa

3.2 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan di ruang Flamboyan RSUD.A.W. Sjahranie pada

tanggal 10 januari 2011.

Keadaan Umum

Kesadaran : Compos Mentis (GCS: E4V5M6)

Keadaan sakit : Sakit sedang

30

Page 32: GERD

Tanda Vital

Tekanan Darah : 160/100 mmHg

Frekuensi Nadi : 78 x/mnt, reguler

Frekuensi Nafas : 24 x/mnt

Suhu : 36,5 C

Status Gizi

BB : 58 kg

TB : 150 cm

IMT : 25.8, BBR : 116 % = (over weight)

Kepala dan Leher

Umum

Ekspresi : sakit sedang

Rambut : hitam, normal

Kulit muka : normal

Mata

Alis : Normal

Palpebra : Edema (-/-)

Konjungtiva : Anemis (-/-)

31

Page 33: GERD

Sclera : Ikterik (-/-)

Pupil : Bulat, isokor (3mm/3mm), reflex cahaya (+/+)

Telinga

Bentuk : Normal

Lubang Telinga : Normal, secret (-/-)

Proc.Mastoideus : Nyeri (-/-)

Pendengaran : Normal

Hidung

Penyumbatan : (-/-)

Perdarahan : (-/-)

Daya Penciuman : Normal

Nafas cuping : (-)

Mulut

Bibir : Pucat (-), cyanosis (-)

Gusi : Berdarah (-)

Mukosa : Pigmentasi (-), hiperemis (-), pucat (-)

Lidah : Makro/mikroglosia (-)

Faring : Hiperemis (-)

32

Page 34: GERD

Leher

Umum : Simetris

Kelenjar limfe : Membesar (-)

Trachea : Ditengah

Tiroid : Membesar (-)

V.Jugularis : JVP 5 + 2 dengan posisi berbaring 30º

Thorax

Bentuk : Simetris

Axilla : Pembesaran KGB (-)

Sternum : Nyeri tekan (-)

Paru

Inspeksi : Bentuk dada dan pergerakan simetris, retraksi (-/-)

Palpasi : Fremitus raba seimbang (D=S), pelebaran ICS (-/-)

Perkusi : Sonor (+/+)

Auskultasi : Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

33

Page 35: GERD

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas jantung kanan PSL dextra pd ICS III

Batas jantung kiri MCL sinistra pd ICS V

Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : flat, kulit normal, hernia umbilicalis (-/-), hernia inguinalis (-/-)

Pembesaran KGB inguinal (-/-), vena kolateral (-/-), scar (-/-)

Palpasi : Turgor & tonus normal, nyeri tekan epigastrium (+),

Hepar/Lien/Ginjal tidak teraba.

Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal.

Genitalia

Penis : Normal

Skrotum : Edema (-)

Ekstremitas

Superior : Sendi bengkak (-/-), tremor (-/-), akral pucat (-/-) dingin (-/-)

Edema (-/-), cyanosis (-/-), reflex biceps (+/+), reflex triceps (+/+)

Inferior : Sendi bengkak (-/-), akral pucat (-/-) dingin (+/+), edema (-/-),

34

Page 36: GERD

Reflex achilles (+/+), reflex patella (+/+)

3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Laboratorium:

23/10/10 25/10/10 26/10/10Leukosit 10.900 9600 5.000 – 10.000 /uLHB 10,3 g/dl 11,5 g/dl 12 – 16 g/dlHt 32,8% 35,7% 36 -48 %Trombo 506.000 518.000 200.000–400.000 /uLKimia Darah LengkapGDP 215 mg/dl 60-100G2PP 232 mg/dl 70-150GDS 222 mg/dl 187 mg/dl 60 – 150 mg/dlSGOT 10 U/L P<25 / W<31 UISGPT 11 U/L P<41 / W<32 UIBilirubin Total 0,4 mg/dl 0 – 1,0 mg/dlBilirubin Direct 0,1 mg/ dl 0 – 0,25 mg/dlBilirubin Indirect 0,3 mg/dl 0 – 0,75 mg/dlProtein Total 7,4 g/L 6,6 – 8,7 mg/dlAlbumin 3,6 g/L 3,2 – 4,5 g/dlGlobulin 3,8 g/L 2,3 – 3,5 g/dlCholesterol 236 mg/dl 150 – 220 mg/dlTrigliserida < 200 mg/dlHDL P>35 / W>45 mg/dlLDL <190 mg/dlAsam Urat 6,7 mg/dl P 2,5 – 7 / W 2 – 6 mg/dlHBA1C 13,2 %Ureum 75,4 mg/dl 60,1 mg/dl 10 – 40 mg/dlCreatinin 2,7 mg/dl 1,8 mg/dl 0,5 – 1,5 mg/dlNatrium 133 mmol/L 135-155kalium 3,3 mmol/L 3,6-5,5chlorida 96 mmol/L 95-108

35

Page 37: GERD

Hasil EKG: Normal sinus

Hasil Pemeriksaan endoscopy:

• Mukosa esofagus hiperemis, mucosal break (+),• Fundus normal, corpus, antrum, pylorus mucosa hyperemis, edem, banyak

sisa makanan. • Duodenum, bulbus normal• Kesan : esofagitis, gastropathy, GERD LA class B.

3.5 DIAGNOSIS

GERD + HT stage II+ DM type II uncontrolled

36

Page 38: GERD

3.6 PENATALAKSANAAN

IVFD RL 10 tpm Ranitidin inj 2x1 amp Omeprazole 2x1 tab Captopril 2x50 mg Amlodipin 1x 10 mg Primperan 1 amp/12 jam RI 3x6 UI Inpepsa syr 4x 1C

Cek Kimia Darah Lengkap (KDL)

Endoscopy

3.7 PROGNOSIS

Vitam : bonam

functionam: bonam

3.8 LEMBAR FOLLOW UP

Tanggal S O A P

Hari I

8/1/ 2011

Rasa panas

terbakar di dada

(+), muntah (+) isi

makanan, muntah

darah(-), luka di

kaki kanan (+)

CM, E4V5M6 TD:

180/120, N: 84 x/i,

RR: 20 x/i

T: 36ºC,

Abdomen:soefl,

NT(-), timpani, BU

(+) Normal

Hematemesis e.c

susp gastritis

erosive + DM

type II

uncontrolled

IVFD RL 10 tpm

Ranitidin inj 2x1

amp

Omeprazole 2x1 tab

Ondansentron 2x1

amp

Captopril 3x 25 mg

Amlodipin 1x 10 mg

Primperan 2x1 amp

RI 3x4 UI

Inpepsa syr 4x 1C

Hari II Rasa panas CM, E4V5M6 TD: Hematemesis e.c IVFD RL 10 tpm

37

Page 39: GERD

9/1/ 2011 terbakar di dada

(+), muntah (+)

berupa buih

seperti liur,

muntah darah (-),

luka di kaki kanan

(+)

160/110, N: 80 x/i,

RR: 24 x/i

T: 36ºC,

Abdomen:

distended (+),

soefl, NT(-),

timpani, BU (+)

Normal

susp gastritis

erosive + DM

type II

uncontrolled

Ranitidin inj 2x1

amp

Omeprazole 2x1 tab

Captopril 2x50 mg

Amlodipin 1x 10 mg

Primperan 1 amp/12

jam

RI 3x6 UI

Inpepsa syr 4x 1C

Hari III

11/1/

2011

Rasa panas

terbakar di dada

(+), muntah (+)

CM, E4V5M6 TD:

140/90, N: 80 x/i,

RR: 24 x/i

T: 36ºC,

Abdomen:

distended (+),

soefl, NT(-),

timpani, BU (+)

Normal

Hematemesis e.c

susp gastritis

erosive + DM

type II

uncontrolled

IVFD RL 10 tpm

Ranitidin inj 2x1

amp

Omeprazole 2x1 tab

Captopril 2x50 mg

Amlodipin 1x 10 mg

Primperan 1 amp/12

jam

RI 3x6 UI

Inpepsa syr 4x 1C

38

Page 40: GERD

BAB IV

ANALISA KASUS

4.1 Anamnesis

Teori Fakta pada pasien

Terjadi pada semua umur dan meningkat pada usia ≥ 40 thn, laki : perempuan (2:1)

Riwayat asma dan penggunaan obat asma

konsumsi obat-obatan anti nyeri, alkohol, merokok,Konsumsi makanan yang berlemak

Konsumsi kopi, sodaKonsumsi makanan pedas dan asam

Memiliki berat badan yang berlebih

Mekanisme TLESR, adanya hubungannya dengan pengosongan lambung lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung

Gejala

Mual dan muntah

nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn),

Wanita, 34 tahun

Riwayat asma (+), penggunaan obat asma(-)

konsumsin obat-obatan antinyeri(-),Konsumsi alkohol (-), merokok (-Konsumsi makanan yang berlemak(+)

Konsumsi kopi(-), soda(-)Konsumsi makanan pedas dan asam(+)Pasien memiliki BB yang berlebih

Pasien mengeluhkan cepat merasa kenyang walau makan sedikit

Muntah kecoklatan dan disertai rasa mual,

rasa terbakar di dada yang tidak disertai penjalaran baik ke lengan maupun ke punggung.

39

Page 41: GERD

rasa pahit di lidah

regurgitasi

Disfagia dan odinofagia

Nafas berbau dan infeksi telinga

Sendawa yang terlalu sering

Muntah darah

Pasien merasakan rasa pahit di mulut

Pasien mengeluhkan sering merasa cairan dari perutnya naik ke tenggorokan trutama saat berbaring

pasien tidak ada mengeluhkan adanya disfagia dan odinofagia

Pada Pasien ini tidak ditemukan adanya Nafas berbau dan infeksi telinga

Pasien mengeluhkan sering bersendawa

Pasien tidak ada mengeluhkan adanya muntah darah.

Anamnesa yang didapat dari pasien ini menunjukkan kesesuaian dengan teori

mengenai gejala klinis yang mengarah kepada diagnosa GERD dan esofagitis, dari

data identitas pasien dengan prevalensi terjadinya GERD, yaitu dapat terjadi pada

semua kelompok umur, meningkat pada usia 40 tahun,dan 20-40% populasi dewasa

dapat menderita heartburn, rasio kejadian laki-untuk-perempuan untuk esophagitis

adalah 2:1 - 3:1. Rasio kejadian laki : perempuan untuk esofagus Barrett 10:1, pada

pasien ini ditemukan adanya ketidak sesuaian karena pasien adalah wanita dan

usianya 34 tahun.

Gastroesophageal reflux disease (GERD) biasanya disebabkan oleh adanya

peningkatan berat badan, yang mana ini sesuai dengan pasien yang memiliki

IMT : 25.8 dan BBR: 116 % yang maknanya status gizi pasien adalah over weight,

beberapa faktor resiko GERD yang lain adalah kebiasaan mengkonsumsi makanan

pedas dan berlemak, minum alkohol dan kopi, dan obat tertentu, yang semuanya

dapat menyebabkan relaksasi dari otot sfingter bawah esofagus dan refluks asam

40

Page 42: GERD

lambung, yang mana pada pasien ini di dapatkan kebiasaan makan-makanan pedas

dan asam.

Pada kasus ini pasien mengeluhkan adanya muntah kecoklatan yang tidak

disertai dengan darah,dan muntah disertai rasa mual, pasien juga mengeluhkan

adanya rasa terbakar di dada yang tidak disertai penjalaran baik ke lengan maupun ke

punggung, rasa pahit di mulut, sering bersendawa lalu pasien mengeluhkan sering

merasa cairan dari perutnya naik ke tenggorokan terutama saat berbaring, pasien tidak

ada mengeluhkan adanya disfagia dan odinofagi, Pada Pasien ini juga tidak

ditemukan adanya nafas berbau dan infeksi telinga.

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di

epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan

sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia

(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau

demikian, derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi

dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang

mirip dengan keluhan pada serangan angina pectoris. Disfagia yang timbul saat

makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang

berkembang dari Barrett’s esophagus. Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan)

bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esophagus yang berat.

Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan

yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan atau

keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran

berwarna ter (melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.

Penyempitan (stricture) pada kerongkongan dari reflux membuat menelan makanan

keras meningkat lebih sulit. Gejala-gejala lain pada gastroesophageal reflux termasuk

nyeri dada, luka tenggorokan, suara parau, ludah berlebihan (water brash), rasa

bengkak pada tenggorokan (rasa globus), dan peradangan pada sinus (sinusitis).

dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang, lapisan

41

Page 43: GERD

sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang disebut

Barrett’s esophagus). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak

ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada

beberapa orang.

Pasien pada kasus ini memiliki riwayat asma, dari teori didapatkan bahwa

Dalam keadaan normal GERD ini tidak terjadi karena adanya mekanisme anti refluk

pada Lower Esofageal Spincter (LES). Refluk ini terjadi bila tidak ada (hilangnya)

perbedaan tekanan antara LES dengan laring. Ada beberapa teori yang dikemukakan

mengenai hubungan GERD dengan Asma antara lain adalah : Stimulasi pada reflek

esofagopulmnaris/esofagolaringeal, reflek dari esofagus bagian distal menstimuli

reflek vagal yang menyebabkan bronkokonstriksi ( reflux theory). Mekanisme lain

adalah refluk esfagobrokhial ; asam dari esofagus dapat menstimuli reseptor asam

yang sensitif disaluran nafas bagian atas, menimbulkan bronkospasme.

Pada pembahasan dinyatakan bahwa gastroesofageal reflux didapatkan pada

45-89% penderita asma, hal ini mungkin disebabkan oleh refluks esofageal,

refluksesfagopulmoner dan obat relaksan otot polos yaitu golongan beta adrenergik,

aminofilin, inhibitr fosfodiesterase menyebabkan inkompetensi LES esofagus.

GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang

atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest

pain/NCCP), suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya

bronkiektasis atau asma. Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor

predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah

gastroesophageal high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang

menurunkan tonus LES (misalnya teofilin).

42

Page 44: GERD

Teori Fakta pada Pasien

Pemeriksaan Fisik 

Nyeri tekan epigastrium

gigi rusak

Pemeriksaan penunjang

Endoskopi SCBA, merupakan standar baku untuk diagnosis GERD ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis refluks).

Esofagografi dengan Barium

Pemantauan pH 24 jam

Tes Bernstein. Manometri Esofagus. Sintigrafi Gastroesofageal. PPI Test/ Tes supresi asam) Acid Supression Test.

Terdapat nyeri tekan epigastrium

Beberapa gigi pasien tanggal, terdapat karang gigi.

Mukosa esofagus hiperemis, mucosal break (+),Fundus normal, corpus, antrum, pylorus mucosa hyperemis, edem, banyak sisa makananDuosenum, bulbus normalKesan : esofagitis, gastropathy, GERD LA class B

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Pemeriksaan endoskopi saluran cema bagian atas merupakan standar baku

untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis

refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan

makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain

43

Page 45: GERD

yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan, mucosal break pada

pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas

GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflex disease (NERD).

Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan

dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa gejala

heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD. Pemeriksaan

histopatologi juga dapat memastikan adanya Barret’s esophagus, displasia atau

keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan

histopatologi/biopsi pada NERD.

Pada pasien ini kesan endoscopynya adalah esofagitis, gastropathy, GERD LA

CLASS B, yang maknanya terdapat erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan

diameter > 5mm tanpa saling berhubungan.

Klasifikasi Los Angeles

Derajat kerusakan

Gambaran Endoskopi

A Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5 MMB Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa

saling berhubunganC Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh

lumenD Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial

(mengelilingi seluruh lumen esofagus)

Dari hasil endoscopy lainnya pada pasien ini adalah fundus normal, corpus,

antrum, pylorus mucosa hyperemis, edem, banyak sisa makanan, adanya corpus dan

antrum yang edem serta ditemukannya banyak sisa makanan ini menunjukkan bahwa

pada pasien ini mengalami pengosongan lambung yang lambat atau gastroparesis,

yang mana gastroparesis ini merupakan salah satu komplikasi dari penyakit diabetes

mellitus, teori mengenai adanya delayed gastric emptying yang mana pada kasus-

kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses

44

Page 46: GERD

refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang

bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses

menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa

individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung lambat (delayed

gastric emptying) dan dilatasi lambung

Rasa perut cepat kenyang, penuh dan bloating merupakan gejala umum terkait

dengan gastroparesis diabetic. Sebanyak 50 % pasien diabetes mengalami

pengosongan lambung yang lambat atau gastroparesis. Gejala gangguan saluran cerna

bagian atas pada pasien diabetes dab hubungan antara gejala dengan disfungsi

motilitas lambung contohnya disfungsi neuromuscular lambung (gastropati diabetic)

akan dibahas. Gastropati diabetic merupakan abnormalitas neuromuscular pada perut

pada pasien diabetes. Gangguan ini terdiri dari gaster disritmia, antral dilatasi, antral

hipomotilitas, dan gastroparesis.

Gastroparesis diabetik adalah kondisi klinik yang mengenai pasien-pasien

diabetes mellitus. Kondisi ini ditandai oleh perlambatan pengosongan lambung dan

dihubungkan dengan gejala gastrointestinal bagian atas tanpa adanya obstruksi

mekanik. Perlambatan pengosongan lambung pada pasien-pasien diabetes

diakibatkan oleh hiperglikemia yang tidak terkontrol, gizi buruk, dan dehidrasi, yang

akan menyebabkan kualitas hidup yang buruk, perawatan lama di rumah sakit, dan

menurunnya tingkat produktivitas. Namun, mendiagnosis gastroparesis diabetik tidak

semudah yang dibayangkan, gejalanya tidak spesifik dan banyaknya diagnosis

banding. Begitu pula, penatalaksanaannya juga tak mudah, diagnosis umumnya

terlambat, pelayan kesehatan tidak mengenali gastroparesis diabetik sebelum timbul

komplikasi serta masih adanya bias terapi. Penelitian terkontrol acak mengenai terapi

gastroparesis diabetik pun masih sangat sedikit. Sehingga, keterampilan menegakkan

diagnosis serta menatalaksana pasien gastroparesis diabetik penting diketahui dan

dikuasai oleh dokter umum.

Mengenai definisi gastroparesis diabetik belum ada konsensus yang jelas. Bell

et al. menjelaskan gastroparesis diabetik sebagai neuropati yang terjadi di saluran

45

Page 47: GERD

cerna pada pasien diabetes. Talley menggunakan istilah diabetik gastropati merujuk

pada sindrom klinik dari gejala saluran cerna atas yang memperlihatkan gangguan

motilitas pada pasien diabetes dengan atau tanpa keterlambatan pengosongan

lambung. Namun, seluruhnya setuju bahwa keterlambatan pengosongan lambung

pada gastroparesis diabetik terjadi tanpa adanya obstruksi mekanik. Pedoman dari

American Gastroenterological Association (AGA) tentang diagnosis dan terapi

gastroparesis menyatakan bahwa diagnosis gastroparesis sebaiknya didasarkan pada

adanya gejala dan tanda yang sesuai, perlambatan pengosongan lambung, dan tidak

adanya lesi obstruksi struktural di lambung atau usus halus.

DIABETIC GASTROPATHY : SPEKTRUM NEUROMUSCULAR ABNORMALITASGastroparesis

Abnormalitas neuromuskular yang paling berat adalah gastroparesis yang

didiagnosa saat pegosongan lambung terlambat. Ditemukan pada 30 % pasien

diabetes. Neuropati otonom (disfungsi vagal) dan myopati merupakan penyebab

gastroparese.

Gastric Dysrhythmias

Gastric dysrhythmia merupakan abnormalitas siklus kontraksi lambung yaitu

lebih cepat bradygastrias (1.0 ± 2.4 cpm) lebih cepat tachygastrias (3.6 ± 9.9 cpm).

Antral Hypomotility

Kontraksi ntrum yang buruk mrnyrbabkan keterlambatan pengosongan

makanan dari natrum kr duodenum.

Antral Dilatasi

Diameter antrum yang lebih besar pada kondisi postpandrial, terkait dengan

gejala bloating.

Antroduodenal Coordination

Pylorus dan duodenum menahan pengosongan chime dari antrum.

Pylorospasme atau kontraksi pylorus yang tidak terkontrol.

Gastric Tone

46

Page 48: GERD

Tonus fundus tidak relaksassi (balloon distensi)

Penatalaksanaan

Teori Fakta pada Pasien

Penatalaksanaan GERD1. Modifikasi gaya hidup.2. Medikamentosa

Antagonis Reseptor H2

Simetidin, Ranitidin : 4 x 150 mg, Famotidin, Nizatidin

Obat-obatan prokinetikMetoklopramid, Domperidon, Cisapride,

SukralfatDosis: 4 x 1 gram

Proton pump inhibitor/PPI).Omeprazole : 2 x 20 mg, Lansoprazole :2x30mg, Pantoprazole :2x40mg, Rabeprazole :2x 10 mg, Esomeprazole : 2 x 40 mg

Penatalaksanaan HTKombinasi dari ACE inhibotor dan Calsium Channel Blocker

Penatalaksanaan DM dan gastroparesisModifikasi gaya hidup, medikamentosa (OAD, Insulin), obat-obatan prokinetik, agen antiemetik,

IVFD RL 10 tpm Ranitidin inj 2x1 amp

Primperan 1 amp/12 jam( metoclopramid)

Inpepsa syr 4x 1C

Omeprazole 2x1 tab

Captopril 2x50 mg Amlodipin 1x 10 mg

RI 3x6 UI

Terapi/Penatalaksanaan

1. Modifikasi gaya hidup, beberapa advice yang semestinya disampaikan

kepada pasien ini adalah: meninggikan posisi kepala pada saat tidur sehingga

47

Page 49: GERD

mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus, mengurangi konsumsi

lemak, menurunkan berat badan , menghindari makanan/minuman seperti

coklat, teh, peppermint, kopi dan soda

2. Medikamentosa, pada pasin ini diberikan terapi dari golongan PPI, Antagonis

Reseptor H2, prokinetik, sukralfat, , ini sudah sesuai dengan pengobatan

GERD.

3. Tatalaksana untuk penyakit lainnya, yaitu jika terdapat hipertensi. Captopril 2

x 12,5 mg (dosis awal untuk hipertensi berat, dinaikkan bertahap bisa sampai

3 x 50 mg, maksimal 150 mg/hari)., dan terapi untuk penyakit DM pasien ini

adalah insulin.

4. pengobatan pasien gastroparesis diabetik adalah untuk menjaga kadar glukosa

darah terkontrol, mengontrol gejala saluran cerna atas, menjamin hidrasi dan

nutrisi yang cukup, meningkatkan pengosongan lambung, dan mencegah

komplikasi seperti dehidrasi, malnutrisi, dan perawatan di rumah sakit.

Penatalaksanaan medis dengan obat-obatan prokinetik, agen antiemetik, dan

analgesik dibutuhkan untuk mengontrol gejala gastroparesis diabetik.

48

Page 50: GERD

BAB V

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang

dilakukan pada pasien ini maka diagnosa pada pasien ini adalah GERD, DM tipe

II uncontrolled serta HT stage II.

2. Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan tambahan lengkap yang membantu

melihat perkembangan penyakit.

3. Penatalaksanaan yang didapatkan pada pasien ini memenuhi standar terapi yang

sesuai dengan literatur.

49

Page 51: GERD

DAFTAR PUSTAKA

Ajumobi AB, Griffin RA. Diabetic gastroparesis: evaluation and management. Hospital physician 2008; p.27-35. Available from: http://www.turner-white.com/memberfile.php?PubCode=hp_mar08_gastro.pdf

Bell RA, Jones-Vessey K, Summerson JH. Hospitalizations and outcomes for diabetic gastroparesis in North Carolina. South Med J 2002;95:1297–9

Camilleri M. Diabetic gastroparesis. N Engl J Med 2007;356:820-9. Available from: http://nejm.highwire.org/cgi/content/extract/356/8/820

Dadang Makmun. Management of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology, Hepatology and Digestive Endoscopy 2001; 2(1): 2127.

Dent J. Definition of reflux disease and its separation from dyspepsia. Gut 2002, 50 (suppl. IV): iv 17-iv20.

Dent J., Brun J, Fendrick AM, Fennerty MB, Janssens J, Kahrilas PJ, Lauritsen K, Reynolds JC, Shaw M, Talley NJ. An evidence-based appraisal of reflux disease management - The Genval Workshop Report. Gut 1999; 44 (Suppl.2): Sl-S6.

Fass R, Ofman JJ. Gastroesohageal reflux disease - should we adopt a new conceptual framework?. Am J Gastroenterol. 2002; 97(8): 1901-1909.

Fisichella, Piero. 2009. Gastro-esophageal reflux disease. Chicago, Loyola University Medical Center

Fock K.M., Talley N., Hunt R., Fass R, Nandurkar S, Lam S.K., Goh K.L., Sollano J. Report of the Asia-Pacific Consensus on The Management of gastroesophageal reflux disease. J Gastroenterol Hepatol. 2004; 19:11-20.

Galmiche JP, Bruley S. Endoscopy-negative reflux disease. Current Gastroenterology Report 2001; 3: 206-214.

Gardner JD, Stanley SR, Robinson M. Integrated acidity and the pathophysiology of gastroesophageal reflux disease. The American Journal of Gastroenterology. 2001; 96(5): 1363-1370.

50

Page 52: GERD

Inadomi JM, Jamal R, Murata GH, Hoffman RM, Lavezola, Vigie JM, Swanson KM, Sonnenberg A. Step-down management of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology 2001; 121: 1095-1100.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal/ GERD di Indonesia 2004.

Lazenby PJ, Hardwig SM. Chronic cough, asthma, and gastroesophageal refux. Current Gastroenterology Report 2000; 2: 217-223.

Martin CJ. Heartburn, regurgitation and noncardiac chestpain. In Talley NJ, Martin CJ (eds). Clinical Gastroenterology, I` edition, Sydney, MacLennan & Petty Pty Limited, 1996: 1-19.

Orlando RC. Reflux Esophagitis. In Yamada T (ed). Textbook of Gastroenterology, 2°d edition, Philadelphia. JB Lippincot Co. 1995: 1214-1242

Powell LW. Mouth, pharynx and oesophagus. In Powell LW, Piper DW (eds). Fundamental of gastroenterology. 41 edition. Sydney, ADIS Health science Press 1984: 1-13.

Stanghellini V. Gastro-esophageal reflux disease: therapeutic strategies for the new millenium. European Journal of Clinical Research 1997; 9: 7177.

Syafruddin ARL. Peranan derajat keasaman lambung dan tonus fingter esofagus bawah terhadap esofagitis pada dispepsia. Laporan Penelitian Akhir, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 1998.

Talley NJ. Diabetic gastropathy and prokinetics. Am J Gastroenterol 2003; 98:264–71. 32

Triadafilopoulos MD. Endoscopic therapies for gastroesophageal reflux disease. Current Gastroenterology Reports 2002; 4: 200-204.

Zarling EJ. A review of reflux esophagitis around the world. WJG, 1998; 4(4): 1996; 12 (2 suppl): 2-24.

Zhang TC. Endoscopic studies of reflux esophagitis. JAMA Southeast Asia 1996; 1212 Supp1.1:22

51