Gerakan Tanah dan Arahan Penanggulangan Di Daerah Dongko ...

12
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta 170 GERAKANTANAH DAN ARAHAN PENANGGULANGAN DI DAERAH DONGKO DAN SEKITARNYA KECAMATAN DONGKO KABUPATEN TRENGGALEK JAWA TIMUR GUIDANCE OF MASS MOVEMENT PREVENTION IN DONGKO REGION AND SURROUNDING, TRENGGALEK REGENCY, EAST JAVA Norrohman* ) & Miftahussalam* ) *) Program Studi Teknik Geologi, Jurusan Teknik Geologi FakultasTeknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta ABSTRACT The aim of research is to recognize types and level of mass-movement potential and to give guidance for prevention system in Dongko Region and surroundings, Trenggalek Regency, East Java. Research methods are field observation and laboratory analysis. The types of mass-movement in the research area were rock fall, debris fall, rock slide, debris slide, slump and debris flow. Suggested guidance of prevention system are to change geometrical slope and to improve slope stability using drainage method and seepage control. Keywords: mass movement, direction of prevention system INTISARI Tujuan penelitian untuk mengetahui jenis-jenis dan tingkat potensi gerakantanah serta memberikan arahan penanggulangannya di daerah Dongko dan sekitarnya, Kabupaten Trenggalek Jawa Timur. Metode penelitian menggunakan gabungan antara pemetaan lapangan dan analisis laboratorium. Jenis gerakantanah di daerah penelitian adalah runtuhan batuan (rock fall), runtuhan debris (debris fall), longsoran batuan (rock slide), longsoran debris (debris slide), nendatan (slump) dan aliran debris (debris flow). Arahan penanggulangan yang disarankan adalah merubah bentuk geometri lereng dan memperbaiki stabilitas lereng dengan cara mengontrol drainase dan rembesan. Kata kunci: gerakan tanah, arahan penanggulangan PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Seperti kita ketahui bersama, saat ini sering sekali terjadi bencana alam berupa gerakantanah yang dapat menyebabkan kerugian baik materi maupun dapat menimbulkan korban jiwa. Telah banyak nyawa yang terenggut akibat adanya bencana alam tersebut, yang disebabkan kurangnya pengertian maupun pemahaman tentang bahaya gerakantanah yang terkadang dapat merenggut korban jiwa. Pemahaman tentang gerakantanah akan dapat membantu meminimalisasi kerugiaan- kerugian yang ditimbulkannya serta sangat membantu dalam perencanaan tata ruang daerah tersebut. Gerakantanah dapat terjadi baik pada lereng yang mantap maupun lereng yang tidak mantap, baik yang berpotensi longsor maupun yang telah longsor. Lereng yang mantap, adalah lereng yang tidak menimbulkan keruntuhan menurut persyaratan kesetimbangan. Ketidakmantapan suatu lereng dapat terjadi setelah dicapai suatu kondisi di mana tegangan yang bekerja sepanjang bidang gelincir atau massa tanahnya lebih kecil dari gerakantanah itu sendiri. Gerakantanah sering terjadi pada tanah yang merupakan hasil dari pelapukan suatu batuan, akumulasi debris maupun pada batuan dasarnya, yang dapat terjadi baik secara lambat maupun cepat sekali. Terjadinya gerakantanah antara lain karena berkurangnya kemantapan lereng akibat terjadinya degradasi tanah atau batuan karena waktu dan usianya. Aktivitas manusia seperti penebangan hutan, pembuatan kolam-kolam pada daerah lereng, mengadakan pemotongan dan penggalian lereng tanpa memperhitungkan akibat yang ditimbulkannya, seringkali dapat menyebabkan terganggunya kestabilan serta kemantapan lereng, sehingga dapat menyebabkan

Transcript of Gerakan Tanah dan Arahan Penanggulangan Di Daerah Dongko ...

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta

170

GERAKANTANAH DAN ARAHAN PENANGGULANGAN DI DAERAH DONGKO DAN SEKITARNYA

KECAMATAN DONGKO KABUPATEN TRENGGALEK JAWA TIMUR

GUIDANCE OF MASS MOVEMENT PREVENTION IN DONGKO REGION AND SURROUNDING, TRENGGALEK REGENCY, EAST

JAVA

Norrohman*) & Miftahussalam*) *) Program Studi Teknik Geologi, Jurusan Teknik Geologi

FakultasTeknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta

ABSTRACT The aim of research is to recognize types and level of mass-movement potential and to give

guidance for prevention system in Dongko Region and surroundings, Trenggalek Regency, East Java. Research methods are field observation and laboratory analysis. The types of mass-movement in the research area were rock fall, debris fall, rock slide, debris

slide, slump and debris flow. Suggested guidance of prevention system are to change geometrical slope and to improve slope stability using drainage method and seepage control.

Keywords: mass movement, direction of prevention system INTISARI

Tujuan penelitian untuk mengetahui jenis-jenis dan tingkat potensi gerakantanah serta memberikan arahan penanggulangannya di daerah Dongko dan sekitarnya, Kabupaten Trenggalek Jawa Timur.

Metode penelitian menggunakan gabungan antara pemetaan lapangan dan analisis laboratorium.

Jenis gerakantanah di daerah penelitian adalah runtuhan batuan (rock fall), runtuhan debris (debris fall), longsoran batuan (rock slide), longsoran debris (debris slide), nendatan (slump) dan aliran debris (debris flow). Arahan penanggulangan yang disarankan adalah merubah bentuk geometri lereng dan memperbaiki stabilitas lereng dengan cara mengontrol drainase dan rembesan.

Kata kunci: gerakan tanah, arahan penanggulangan PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Seperti kita ketahui bersama, saat ini sering sekali terjadi bencana alam berupa gerakantanah yang dapat menyebabkan kerugian baik materi maupun dapat menimbulkan korban jiwa. Telah banyak nyawa yang terenggut akibat adanya bencana alam tersebut, yang disebabkan kurangnya pengertian maupun pemahaman tentang bahaya gerakantanah yang terkadang dapat merenggut korban jiwa. Pemahaman tentang gerakantanah akan dapat membantu meminimalisasi kerugiaan-kerugian yang ditimbulkannya serta sangat membantu dalam perencanaan tata ruang daerah tersebut. Gerakantanah dapat terjadi baik pada lereng yang mantap maupun lereng yang tidak mantap, baik yang berpotensi longsor maupun yang telah longsor. Lereng yang mantap, adalah lereng yang tidak menimbulkan keruntuhan menurut persyaratan kesetimbangan. Ketidakmantapan suatu lereng dapat terjadi setelah dicapai suatu kondisi di mana tegangan yang bekerja sepanjang bidang gelincir atau massa tanahnya lebih kecil dari gerakantanah itu sendiri. Gerakantanah sering terjadi pada tanah yang merupakan hasil dari pelapukan suatu batuan, akumulasi debris maupun pada batuan dasarnya, yang dapat terjadi baik secara lambat maupun cepat sekali. Terjadinya gerakantanah antara lain karena berkurangnya kemantapan lereng akibat terjadinya degradasi tanah atau batuan karena waktu dan usianya. Aktivitas manusia seperti penebangan hutan, pembuatan kolam-kolam pada daerah lereng, mengadakan pemotongan dan penggalian lereng tanpa memperhitungkan akibat yang ditimbulkannya, seringkali dapat menyebabkan terganggunya kestabilan serta kemantapan lereng, sehingga dapat menyebabkan

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta

171

terjadinya gerakantanah yang dapat menyebabkan kerugian materi, bahkan dapat menyebabkan terjadinya korban jiwa.

Gerakantanah tidak selalu dikaitkan dengan dimensi luas dan volume longsoran, akan tetapi lebih cenderung dikaitkan dengan mekanisme, bentuk, jenis dan sifat gerakantanah serta cara penanggulangannya. Gerakantanah sering kali tejadi pada suatu daerah dengan kondisi geologi, geomorfologi, hidrologi serta iklim yang kurang menguntungkan.

Gerakantanah di suatu daerah akan sangat besar artinya terhadap perkembangan dan letak bentang alam di samping itu pula terjadinya gerakantanah dapat mempengaruhi kelangsungan hidup manusia serta pengaturan tataguna lahannya. Kenyataan ini dibuktikan dengan banyak sekali terjadinya peristiwa gerakantanah dalam skala besar maupun kecil yang dapat menyebabkan kerugian materi bahkan dapat menyebabkan terjadinya korban jiwa.

Perumusan Masalah

Dari permasalahan yang ada di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Mengetahui jenis-jenis dan karakteristik gerakantanah di daerah penelitian. 2. Memberikan arahan penanggulangan gerakantanah di daerah Dongko dan sekitarnya,

Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Tujuan

Untuk mengetahui jenis dan tingkat potensi gerakantanah serta memberikan arahan penanggulangannya di daerah penelitian, untuk meminimalkan dampak negatif kemungkinan terjadinya gerakantanah. Metodologi

Metodologi yang dilakukan dengan cara pendekatan penelitian, obyek penelitian dan tahapan penelitian. a. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian dilakukan dengan metode gabungan penelitian di lapangan (penentuan jenis dan karakteristik gerakantanah), serta analisis laboratorium.

b. Obyek penelitian Obyek penelitian memfokuskan pada penentuan jenis dan karakteristik gerakan tanah serta memberikan arahan penanggulangannya untuk meminimalisasi dampak buruk yang ditimbulkan karena terjadinya gerakantanah. Daerah penelitian secara administratif terletak di daerah Dongko dan sekitarnya, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Propinsi Jawa Timur. Secara geografis terletak pada koordinat 8°10’00” -8°15’00” LS dan 111°32’30”-111°37’30” BT, lembar peta topografi 51/XLIII-k, skala peta 1: 25.000 dengan luas 81 km².

c. Tahapan penelitian Tahap penelitian dibagi menjadi 3, yaitu (1) studi pustaka; (2) penelitian langsung di lapangan, dilakukan untuk memperoleh data geologi berupa geomorfologi, litologi, struktur geologi, geologi lingkungan dan data gerakantanah yang dibutuhkan dalam penelitian. Data penelitian diperoleh dengan pengamatan, pengukuran, pencatatan, penggambaran sketsa atau pengambilan foto singkapan serta pengambilan sampel batuan dan data gerakantanah; (3) analisis laboratorium, dilakukan untuk melengkapi data geologi serta penentuan jenis dan karakteristik gerakantanah di daerah penelitian, sehingga arahan penanggulangannya dapat ditentukan.

Tinjauan Pustaka

Gerakantanah merupakan proses alamiah yang biasa terjadi di alam, akan tetapi dengan masuknya unsur manusia dengan segala aktivitasnya, maka nilainya dapat berubah menjadi suatu bencana alam. Pengaruh geologi sangat besar dalam proses terjadinya suatu gerakantanah ditunjang faktor lain dari aktivitas manusia, hewan, air, tumbuhan, gempa bumi dan sebagainya.

Flint & Skinnner (1977), mengklasifikasikan gerakantanah menjadi beberapa jenis, di antaranya adalah: runtuhan batuan (rock fall), runtuhan debris (debris fall), longsoran batuan (rock slide), longsoran debris (debris slide), nendatan (slump), aliran debris (debris flow) dan aliran lumpur (mud flow)

Secara umum faktor penyebab terjadinya gerakantanah dapat dibagi menjadi 2 faktor, yaitu faktor geologi dan faktor non geologi. Pada ke dua faktor tersebut dapat berupa faktor alami maupun hasil budidaya manusia yang dapat mempengaruhi kesetabilan lereng, sehingga dapat menyebabkan terjadinya gerakantanah. Faktor geologi meliputi (1) faktor topografi: sudut/kemiringan lereng dan

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta

172

kerapatan sungai, (2) jenis litologi dan (3) struktur geologi. Sedangkan faktor non geologi di antaranya tataguna lahan serta curah hujan. Faktor geologi

1. Sudut/kemiringan lereng Sudut/kemiringan lereng mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses terjadinya gerakantanah. Semakin besar sudut/kemiringan lereng, maka akan semakin besar peluang untuk terjadinya gerakantanah.

2. Kerapatan sungai Kerapatan sungai suatu daerah mempunyai peranan yang cukup berarti, semakin rapat jarak antara sungai-sungai di suatu daerah, maka daerah tersebut menjadi semakin tidak stabil. Dikarenakan banyaknya kandungan air yang meresap ke dalam tanah, memungkinkan tanah bergerak mengikuti pergerakan airtanah. Untuk mengetahui densitas didapat dengan rumus:

Dengan mengacu klasifikasi Departemen Pekerjaan Umum (1986) yaitu: 0-1 km/km²: densitas halus, 1-2 km/km²: densitas sedang, >2 km/km²: densitas kasar.

3. Litologi Jenis litologi penyusun pada suatu daerah akan sangat menentukan suatu mekanisme terjadinya gerakantanah. Jenis litologi yang mempunyai resistensi rendah akan menyerap air yang cukup banyak, sehingga proses pelapukan batuan dapat terjadi secara cepat dan sangat dimungkinkan terjadi longsor.

4. Struktur geologi Struktur geologi berupa kekar dan sesar-sesar akan menyebabkan terjadinya zone-zone lemah yang dapat memicu terjadinya gerakantanah. Dengan adanya struktur geologi yang masih aktif, menyebabkan proses terjadinya gerakantanah sangat cepat.

Faktor non geologi

Faktor non geologi yang dapat menyebabkan terjadinya gerakantanah adalah: 1. Tataguna lahan/Budaya manusia

Perencanaan tataguna lahan pada suatu daerah akan sangat mempengaruhi proses terjadinya gerakantanah. Kesalahan perencanaan dalam penetapan tataguna lahan maka akan berakibat terjadinya gerakantanah.

2. Curah hujan Intensitas curah hujan yang cukup tinggi sangat berpengaruh terhadap penyerapan air oleh tanah. Semakin banyak air yang dapat diserap oleh tanah, maka semakin besar peluang untuk terjadinya gerakantanah pada daerah tersebut terutama pada daerah yang mempunyai kemiringan lereng yang cukup curam.

HASIL DAN PEMBAHASAN Tatanan Geologi 1. Geomorfologi daerah penelitian

Secara geografis daerah penelitian termasuk ke dalam lajur Pegunungan Selatan Jawa Timur, yang secara umum merupakan suatu blok yang miring ke arah selatan dengan topografi yang relatif terjal dengan pola aliran meranting serta disusun oleh 2 kelompok batuan, yaitu batuan volkanik dan batuan karbonat yang tercermin dari litologinya.

Berdasarkan interpretasi peta topografi, data lapangan dan hasil tinjauan pustaka dari peneliti terdahulu, maka subsatuan geomorfik daerah penelitian dibagi menjadi 2 yaitu subsatuan geomorfik zona lipatan (S9) yang sebagian besar terdapat pada litologi breksi andesit dan batugamping dan subsatuan geomorfik dike (S12) yang mempunyai litologi intrusi andesit (Lampiran 1). Dalam pengelompokan satuan geomorfologi di daerah penelitian menggunakan dua aspek yang saling berkaitan, yaitu berdasarkan aspek morfometri dengan memperhatikan harga-harga sudut lereng dan beda tinggi mengacu pada klasifikasi Zuidam (1983). Subsatuan zona lipatan (S9) memiliki luas penyebaran + 99% dan memiliki beda tinggi rata–rata 112,71 m dengan besar kelerengan rata–rata 35,06%. Subsatuan geomorfik dike (S12) terbentuk oleh proses terobosan magma ke permukaan yang disebut intrusi, dan adanya kekar meniang pada tubuh intrusi tersebut. Subsatuan geomorfik dike (S12) menempati area seluas 1% dari seluruh total luas daerah penelitian, mempunyai kenampakan punggungan dengan lereng menengah-curam, terajam menengah. Mempunyai pola aliran dentritik dengan stadia daerah dewasa.

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta

173

2. Stratigrafi daerah penelitian

Berdasarkan peta geologi regional Lembar Tulungagung (Samodra, dkk 1992), daerah penelitian terdiri Formasi Mandalika yang berumur Oligosen Tengah–Miosen Bawah (N2–N4). Formasi ini terbentuk bersamaan dengan kegiatan magmatisme yang menghasilkan terobosan batuan beku diorit, dasit dan andesit. Kontak dengan batuan di atasnya ternasuk dalam Formasi Campurdarat yang diendapkan selaras di atas Formasi Mandalika dan masih dalam satu seri batuan sedimen. Tersusun oleh batugamping hablur dengan sisipan batulempung berkarbon. Formasi Campudarat diendapkan pada Kala Miosen Bawah (N5-N6) dan merupakan formasi yang diendapkan setelah terhentinya kegiatan magmatisme pada Kala Oligosen Atas-Miosen Bawah. Di atas Formasi Campurdarat diendapkan secara tidak selaras endapan aluvial yang merupakan hasil erosi dan denudasi.

Stratigrafi daerah penelitian dari tua ke muda yaitu: 1. Satuan breksi andesit berumur Oligosen Tengah-Miosen Bawah (N2-N4). Satuan ini terdiri dari breksi andesit, lava dan batupasir tufan, satuan intrusi andesit yang terdiri dari intrusi andesit, satuan batuganping berumur Miosen Bawah (N5-N6), terdiri dari litologi batugamping bioklastik dan satuan endapan aluvial tersusun oleh endapan berukuran lempung-kerakal (Lampiran 2). 3. Struktur geologi daerah penelitian

Menurut Bemmelen (1949) Pegunungan Selatan Jawa Timur merupakan sayap Geantiklin Jawa yang miring ke arah selatan dengan struktur regional berarah barat-timur. Adanya pengangkatan pada Geantiklin Jawa yang terletak pada Zona Solo meluncur ke arah utara dan terpisah dengan Pegunungan Selatan oleh beberapa sesar tangga (step fault) dan membentuk flexure dengan blok-blok antithetic fault. Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian berupa struktur lipatan yaitu Sinklin Dongko dan Antiklin Ngerdani, kekar dan Sesar Geser Ngajaran. 4. Geologi lingkungan a. Sesumber Berupa sumberdaya air dan bahan galian Sumberdaya air yang dimanfaatkan masyarakat berasal dari air permukaan sungai yang berada di sekitar pemukiman penduduk dan airtanah pada air sumur. Besarnya debit air sungai yang ada di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Masyarakat yang berada di perbukitan umumnya memanfaatkan air sungai untuk keperluan sehari-hari Potensi bahan galian yang terdapat pada daerah penelitian berupa batugamping dan andesit, di mana semua potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat setempat. b. Bencana Geologi Bencana alam merupakan suatu proses alam yang dapat menyebabkan kerugian besar terhadap lingkungan, material dan manusia. Proses alam tersebut berkaitan dengan proses geologi yang banyak menimbulkan kerugian material maupun korban jiwa. Bencana alam secara umum berlangsung secara tiba-tiba dalam waktu yang relatif cepat ataupun secara perlahan-lahan. Bencana alam yang ada di daerah penelitian berupa gerakan tanah berjenis nendatan (slump), runtuhan batuan (rock fall), runtuhan debris (debris fall), longsoran batuan (rock slide), longsoran debris (debris slide), dan aliran debris (debris flow). Bencana ini lebih banyak disebabkan oleh faktor alam (kemiringan lereng yang terjal, jenis litologi, vegetasi, curah hujan, struktur geologi), maupun disebabkan oleh faktor manusia (penebangan hutan pada wilayah rawan longsor). 5. Jenis-jenis gerakan tanah di daerah penelitian

Dengan mengacu pada Flint & Skinnner (1977), gerakantanah di daerah penelitian dibagi menjadi beberapa jenis, di antaranya adalah: runtuhan batuan (rock fall), runtuhan debris (debris fall), longsoran batuan (rock slide), longsoran debris (debris slide), nendatan (slump), aliran debris (debris flow) dan aliran lumpur (mud flow) 1) Runtuhan batuan (rock fall)

Runtuhan batuan (rock fall) adalah jenis gerakantanah, di mana massa batuan dasar jatuh secara bebas karena tidak adanya penyangga di bawahnya. Gerakantanah jenis ini sering terjadi pada daerah yang mempunyai kemiringan lereng curam-sangat curam 2) Runtuhan debris (debris fall) Runtuhan debris atau bahan rombakan adalah jenis gerakantanah, di mana bahan rombakan batuan jatuh secara bebas karena tidak adanya penyangga di bawahnya. Gerakantanah jenis ini

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta

174

biasanya terjadi pada daerah dengan kemiringan lereng curam-sangat curam dan juga akibat dari pengaruh gaya gravitasi. 3) Longsoran batuan (rock slide) Longsoran batuan (rock slide) adalah jenis gerakantanah, di mana massa batuan mengalami longsoran cukup cepat karena penyangga di bawahnya tidak mampu menahan beban di atasnya. Gerakan tanah jenis ini biasanya terjadi pada daerah dengan kemiringan lereng menengah-curam. 4) Longsoran debris (debris slide) Longsoran debris (debris slide) adalah jenis gerakantanah, di mana bahan rombakan mengalami longsoran cukup cepat karena penyangga di bawahnya tidak mampu menahan beban di atasnya. Gerakan tanah jenis ini biasanya terjadi pada daerah dengan kemiringan lereng menengah-curam. 5) Nendatan (slump) Nendatan (slump) jenis gerakantanah, di mana material atau tubuh batuan mengalami longsoran sepanjang permukaan retakan yang lengkung dan biasanya terjadi pada daerah dengan kemiringan lereng menengah-curam. 6) Aliran debris (debris flow) Aliran debris (debris flow) adalah jenis gerakantanah, di mana material bahan rombakan yang bersifat plastis bergerak menuruni lereng secara perlahan-lahan, biasa terjadi pada daerah dengan kemiringan lereng landai-menengah. Faktor penyebab terjadinya gerakantanah a. Faktor geologi

1). Sudut/kemiringan lereng Di daerah penelitian yang mempunyai sudut/kemiringan lereng antara 28,88 % -44,24 % atau curam menengah-curam, mempunyai peran yang potensial untuk terjadinya gerakan tanah (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi lereng (Zuidam,1983)

No Relief Kemiringan lereng (%) 1 Datar atau hampi datar/Flat or almost flat 0 – 2 2 Miring landai/Gently sloping 2 - 7 3 Miring/Sloping 7 -15 4 Curam menengah/ Moderately steep 15 – 30 5 Curam/Steep 30 – 70 6 Sangat curam/Very steep 70 – 140 7 Amat sangat curam/Extremely steep > 140

2). Kerapatan sungai

Dari hasil perhitungan, kerapatan sungai (L): 153.750 km/(A): 81 km²: 1,9 km/km² (Dd), menunjukkan bahwa kerapatan sungai di daerah penelitian termasuk dalam kategori sedang (1-2 km/km²)

3). Litologi Daerah penelitian tersusun oleh 4 satuan batuan yang berbeda ciri dan nilai resistensinya antar masing-masing satuan batuan. Dari pengamatan di lapangan, tingkat resistensi ini dapat dilihat dari hubungan dengan bentuk morfologi dan relief, besarnya sudut/kemiringan lereng satuan batuan. Pada satuan breksi andesit, terjadi gerakan tanah debris slide sebanyak 11 buah, nendatan sebanyak 4 buah, rock slide sebanyak 6 buah dan aliran debris sebanyak 1 buah. Pada satuan intrusi andesit terdapat gerakan tanah debris slide 1 buah dan pada satuan batugamping terdapat rock fall sebanyak 1 buah dan debris fall sebanyak 1 buah.

4). Struktur geologi Di daerah penelitian dijumpai bayak gerakantanah, retakan-retakan atau zone hancuran. Di lapangan terlihat dari curamnya morfologi yang ada, dan lereng yang tidak stabil ini mengakibatkan bergeraknya batuan. Pada pergerakan massa batuan yang besar, akan menimbulkan bencana yang merugikan masyarakat sekitarnya. Jenis gerakantanah yang terbanyak dijumpai di daerah penelitian adalah debris slide atau longsoran debris.

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta

175

b. Faktor non geologi

Faktor non geologi yang dapat menyebabkan terjadinya gerakantanah adalah: 1). Tataguna lahan/Budaya manusia

Penggunaan lahan di daerah penelitian sebagai ladang dan kebun campuran akan menyebabkan kestabilan menjadi kurang, sehingga rawan mengakibatkan terjadinya gerakantanah. Oleh karena itu disarankan sebagian besar lahan di daerah penelitian dipakai sebagai hutan yang bervegetasi lebat dan tinggi, yang dapat menehan lajunya gerakantanah yang ada.

2). Curah hujan Dari data curah hujan di daerah penelitian sebesar 2.000-2.500 mm/per tahun, menyebabkan terjadinya penyerapan air oleh tanah, sehingga semakin besar peluang terjadinya variasi jenis gerakantanah yang ada.

b. Potensi gerakan tanah di daerah penelitian Selain mencari faktor penyebab serta metode pengendalian gerakantanah di daerah penelitian, penulis mengelompokkan suatu daerah menurut potensi gerakantanah yang terjadi. Pengelompokan tersebut disusun berdasarkan dari hasil analisis yang meliputi sudut lereng, vegetasi serta data gerakantanah yang ada di lapangan (Tabel 2).

Tabel 2. Jenis gerakantanah di daerah penelitian

No Jenis gerakantanah Jumlah1 Runtuhan batuan (rock fall) 1 2 Runtuhan debris (debris fall) 1 3 Longsoran batuan (rock slide) 6 4 Longsoran debris (debris slide) 12 5 Nendatan (slump) 4 6 Aliran debris (debris flow) 1 JUMLAH 25

Dari data yang diperoleh, maka potensi gerakantanah pada daerah penelitian dapat

dikelompokkan menjadi 3 zona, yaitu: 1. Zone kerentanan gerakantanah rendah, dengan litologi batugamping. Zone ini menempati 15%

dari luas daerah penelitian dan merupakan daerah yang relatif aman untuk didirikan permukiman. 2. Zone kerentanan gerakantanah menengah dengan litologi breksi andesit. Zone ini menempati

24% dari luas daerah penelitian, lahan sebaiknya digunakan untuk pertanian, sedikit perumahan dan setempat hutan lindung.

3. Zone kerentanan gerakantanah tinggi dengan litologi breksi andesit. Zone ini menempati 61% dari luas daerah penelitian, lahan digunakan sebagai hutan lindung dan setempat ladang.

6. Arahan Penanggulangan Gerakantanah Di Daerah Penelitian Penanggulangan gerakantanah di daerah penelitian dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan jenis dan karakteristik masing-masing. Ada beberapa metode yang dapat diterapkan guna menanggulangi terjadinya gerakantanah di daerah penelitian, di antaranya: a. Mengubah geometri lereng Penggalian bagian tertentu pada suatu lereng, dimaksudkan untuk mengurangi gaya-gaya yang menggerakkan dan menyebabkan gerakan pada suatu lereng. Penanggulangan gerakantanah dengan cara ini adalah cara yang paling sederhana serta efektif untuk pengendalian gerakantanah jenis runtuhan batuan (rock fall), runtuhan debris (debris fall), longsoran batuan (rock slide), longsoran debris (debris slide) dan nendatan (slump). Perbaikan kesetabilan lereng dengan mengubah geometri lereng meliputi: (1) Pelandaian kemiringan lereng dan (2) pembuatan trap-trap/bangku (benching). 1) Pelandaian kemiringan lereng

Metode pengendalian gerakantanah dengan cara melandaikan kemiringan lereng merupakan salah satu cara yang murah dan efisien. Namun penerapan metode ini juga bergantung pada ruang bebas yang tersedia (Gambar 1 dan 2). Jika timbunan terletak pada lereng yang curam, hal

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta

176

ini mungkin akan sulit dilakukan. Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam proses pelandaian lereng adalah lereng harus menutupi area longsoran. Contoh pada Gambar 3, di mana kaki longsoran tidak tertutup oleh tanah timbunan, akan mengakibatkan sebagian besar tambahan beban pada lereng berada di kiri garis vertikal yang ditarik dari pusat lingkaran longsor. Melandaikan kemiringan lereng ini biasanya dilakukan pada lereng yang terletak pada tepi jalan. Pada umumnya perbaikan stabilitas lereng dengan metode ini dilakukan dengan cara membuat kemiringan suatu lereng menjadi lebih landai.

Gambar 1. Konsep melandaikan kemiringan lereng (Hardiyatmo, 2006)

Gambar 2. Melandaikan kemiringan lereng yang miring terlalu tajam (Hardiyatmo, 2006)

Gambar 3. Melandaikan kemiringan lereng yang salah, karena tidak menutup kaki area longsoran (Hardiyatmo, 2006)

2) Trap/Bangku (Benching)

Metode perbaikan stabilitas tanah dengan cara penggalian tanah berbentuk trap atau bangku cukup efektif dan efisien diterapkan pada lereng yang terjal, di mana perbaikan stabilitas membuat lereng lebih landai sulit dilakukan (Gambar 4). Struktur trap ini dapat menghambat laju erosi tanah serta dapat menahan gerakan turun debris menjadi lebih lambat.

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta

177

Gambar 4. Pembuatan trap/bangku untuk lereng yang bermasalah (Hardiyatmo, 2006) Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pengendalian gerakantanah dengan metode mengubah geometri lereng adalah: a) Ketersediaan biaya/dana dalam membuat jalan, karena umumnya lereng digali dari atas menuju

ke bawah. Walaupun merubah geometri lereng termasuk perbaikan yang murah, namun perlu dipertimbangkan segi ekonomis dari struktur perbaikan lereng yang akan dilakukan.

b) Topografi di lokasi, akan berpengaruh terhadap tingkat kesulitan dalam proses pengerjaan penggalian.

c) Pengangkutan dan pembuangan tanah hasil galian, kecuali bila timbunan akan dipakai pada daerah lain

d) Ketersediaan peralatan dan personil. Ketersediaan peralatan yang memadai serta personil yang ahli dalam bidang gerakantanah/tanah longsor harus diutamakan guna kelancaran pekerjaan serta mendukung keselamatan kerja. Pemahaman mengenai longsoran yang terjadi atau yang akan terjadi, menjadi masalah penting terutama mengenai potensi kelongsorannya.

2). Perbaikan stabilitas lereng dengan cara mengontrol drainase dan rembesan Drainase permukaan dan rembesan bawah tanah pada suatu timbunan maupun galian pada jalan raya sering memicu terjadinya longsoran. Oleh karena itu pengontrolan rembesan permukaan maupun bawah permukaan sangat penting dalam mencegah keruntuhan lereng. Beberapa metode drainase permukaan dan bawah permukaan adalah: a. Drainase air permukaan

(1) Parit permukaan Parit permukaan terbuka dapat digunakan untuk mereduksi genangan air dan untuk mengontrol aliran air permukaan pada zone berpotensi longor. Selokan terbuka juga digunakan untuk mengalirkan air yang akan masuk pada zone tanah tidak stabil. Pembuatan selokan terbuka pada zone tanah tidak stabil harus dilakukan dengan sangat hati-hati, karena dapat menambah parah zona tersebut. Penempatan selokan terbuka harus dipelajari dengan baik, sehingga aliran air tidak masuk ke dalam zone tanah tidak stabil tersebut. Parit permukaan berupa galian parit sederhana, atau membuat selokan yang dasarnya relatif kedap air. (2) Pengalihan air permukaan Aliran air yang mengalir pada permukaan zone berpotensi longsor, atau ke dalam lereng yang telah longsor, dapat dialirkan dengan cara menggali parit di sekitar puncak longsoran. Selain saluran drainase yang dasarnya dilindungi batu, geotekstil, serta pipa drainase dapat digunakan aliran air dalam tanah, sehingga air tidak mengalir ke zone tanah tidak stabil. Batuan untuk drainase dibungkus secara keseluruhan dengan geotekstil nir anyam (non woven) sehingga memungkinkan air melewati dan masuk ke dalam parit. akan tetapi dapat menahan terangkutnya butiran halus ke dalam urugan batu tersebut, sehingga lapisan drainase tidak tersumbat butiran halus. Jika mungkin, arah aliran air dan pipa-pipa dalam tanah dibuat sejauh mungkin dari tepi puncak lereng dengan jarak minimal sama dengan tinggi lereng (d=h), sehingga kestabilan pada puncak lereng tetap terjaga (Gambar 5).

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta

178

Gambar 5. Drainase bawah tanah dengan pipa pengumpul dan kerikil dibungkus geotekstil (Hardiyatmo, 2006)

(3) Menutup retakan pada bagian atas lereng Aliran air permukaan yang mengalir ke dalam celah terbuka akan menyebabkan terganggunya stabilitas suatu lereng (Gambar 6). Gaya tarik yang berkembang di puncak lereng menyebabkan tanah mengalami keretakan yang panjangnya dapat mencapai beberapa meter yang kemudian terisi oleh air, akan menghasilkan gaya lateral yang dapat menyebabkan terjadinya longsor. Oleh karena itu pentingnya menutup retakan yang terjadi pada puncak lereng, harus dilakukan agar tidak terjadi longsoran.

Gambar 6. Aliran air permukaan yang mengalir ke dalam celah terbuka (Hardiyatmo, 2006)

(4) Perataan kembali untuk menghilangkan genangan air Genangan air pada permukaan lereng yang tidak stabil, harus segera dihilangkan (Gambar 7). Air yang tergenang, bila merembes ke dalam tanah pembentuk lereng dapar mereduksi kekuatan tanah maupun batuan menjadi tidak kompak dan mudah lapuk. Genangan air pada permukaan lereng, akan mengalirkan air tersebut atau meratakan permukaan tanah, sehingga air tidak masuk ke dalam tanah dan membuat tanah menjadi jenuh, sehingga berpotensi menyebakan longsor.

Gambar 7. Genangan air yang menyebabkan terjadinya longsor (Hardiyatmo, 2006)

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta

179

(5) Perkerasan permukaan lereng Perkerasan dengan membuat kedap air permukaan lereng adalah salah satu usaha untuk mengontrol terjadinya erosi dan rembesan air akibat dari aliran permukaan. Metode ini cocok digunakan mencegah infiltrasi air ke dalam tanah. (6) Penanaman tumbuh-tumbuhan Penanaman tumbuh-tumbuhan pada daerah lereng akan sangat berguna dalam upaya memperkuat stabilitas tanah. Tanaman yang digunakan sebaiknya tanaman yang mempunyai akar serabut, terutama untuk yang ditanam pada lereng bagian atas. Dengan penanaman tumbuhan berakar serabut ini, diharapkan air hujan yang masuk ke dalam tanah, akan lebih banyak yang dapat diserap oleh akar tumbuhan tersebut. Tumbuhan yang berakar tunggal lebih cocok ditanam pada bagian bawah lereng sebagai upaya perkuatan lereng bagian bawah.

3). Alternatif pengendalian gerakantanah Selain beberapa cara di atas, ada beberapa alternatif pengendalian gerakantanah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk meminimalisasi. Berikut alternatif-alternatif pengendalian gerakantanah

a). Jangan mencetak sawah dan membuat kolam pada lereng bagian atas dekat pemukiman: b). Buatlah terasering (sengkedan) pada lereng terjal bila membangun permukiman. c). Jangan melakukan penggalian di bawah lereng terjal. d). Jangan menebang pohon pada daerah lereng. e). Jangan membangun rumah di bawah tebing. f). Jangan mendirikan permukiman di tepi lereng yang terjal.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Gerakantanah di daerah penelitian berupa nendatan (slump), runtuhan batuan (rock fall), runtuhan debris (debris fall), longsoran batuan (rock slide), longsoran debris (debris slide), aliran debris (debris flow).

Arahan penanggulangan gerakantanah yaitu: Mengubah geometri lereng dengan cara: pelandaian kemiringan lereng dan pembuatan trap-trap/bangku (benching) dan perbaikan stabilitas lereng dengan cara mengontrol drainase dan rembesan dengan cara: membuat parit permukaan, menutup retakan pada bagian atas lereng, perataan kembali untuk menghilangkan genangan air, perkerasan permukaan lereng dan penanaman tumbuh-tumbuhan. Saran

Kepada pemerintah daerah maupun penduduk setempat, agar lebih cermat memperhatikan gejala-gejala awal terjadinya gerakantanah, agar proses penanggulang-annya dapat segera dilakukan guna meminimasi dampak buruk dari gerakantanah tersebut. Kedua yaitu, pengaturan tata guna lahan untuk permukiman disarankan menempati pada daerah yang relatif aman. PUSTAKA Bemmelen, R. W. Van., 1949, The Geology of Indonesia, Vol.IA, The Haque Martinus Nijhoff,

Netherlands. Blow, 1969., Late Middle Eocene Forecent Planktonik Foraminifera Biosstratigraphy-Internal Cont,

Planktonik microfosiles, 1st edition, Geneva (1967), Proc. Leiden E.F. Brill, v.l Hardiyatmo, C., H., 2006, Penanganan Tanah Longsor dan Erosi, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta. Samodra, dkk., 1992, Peta Geologi Lembar Tulungagung, Skala 1:25.000, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Geologi (PPPG), Bandung. Zuidam, R.A. Van., 1983, Aspects Of The Applied Geomorphologic Map Of The Republic Of

Indonesia, Department of Geomorphology and Geography, ITC, Enscede, Netherlands.

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta

180

Lampiran 1. Peta geomorfologi daerah penelitian

Lampiran 2. Peta geologi daerah penelitian

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 – IST AKPRIND Yogyakarta

181

Lampiran 3. Peta potensi gerakantanah di daerah penelitian