Gerakan Sosial Film

24
1 Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Ide dari penulisan skripsi ini muncul karena kegemaran saya menonton film. Namun apabila membahas film, saya terbentur dengan begitu banyaknya karya tulis lain yang mengangkat film sebagai bahan kajian. Kedua, saya adalah mahasiswa ilmu politik dan bukan mahasiswa jurusan ilmu komunikasi. Maka, atas masukan dari beberapa pihak, saya mengalihkan fokus penelitian pada Komunitas Dokumenter. Tidak terlalu jauh dari pembahasan tentang film, meskipun menggunakan topik dan sudut pandang yang berbeda. Hasil penelitian yang saya angkat ini akan sangat sedikit membicarakan film dalam perspektif komunikasi massa yang biasanya membahas pesan-pesan tersembunyi atau simbol-simbol yang disampaikan oleh sebuah film. Apabila kita bicara film dokumenter, masyarakat akan lebih mengenalnya sebagai “Film hitam putih tentang sejarah”, “Film yang durasinya pendek”, “Film penyuluhan”, atau “Film propaganda”, “Film Ilmu Pengetahuan”, dan tentu saja “Film yang membosankan”. Bahkan sampai sekarang, saya selalu mengantuk jika menonton film dokumenter panjang sendirian. Pendapat-pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi hanya merujuk pada beberapa pendekatan yang digunakan dalam pembuatan film dokumenter. Namun karya tulis ini tidak akan membahas film-film dokumenter secara detail dan mendalam. Karya ilmiah ini justru akan terfokus pada strategi-strategi komunitas dokumenter dalam mengembangkan film dokumenter. Bagi mereka, apa yang sedang mereka lakukan adalah penting karena selama ini posisi film dokumenter seperti terpinggirkan.

description

jurnal

Transcript of Gerakan Sosial Film

Page 1: Gerakan Sosial Film

1

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Ide dari penulisan skripsi ini muncul karena kegemaran saya menonton film. Namun apabila

membahas film, saya terbentur dengan begitu banyaknya karya tulis lain yang mengangkat

film sebagai bahan kajian. Kedua, saya adalah mahasiswa ilmu politik dan bukan mahasiswa

jurusan ilmu komunikasi. Maka, atas masukan dari beberapa pihak, saya mengalihkan fokus

penelitian pada Komunitas Dokumenter. Tidak terlalu jauh dari pembahasan tentang film,

meskipun menggunakan topik dan sudut pandang yang berbeda. Hasil penelitian yang saya

angkat ini akan sangat sedikit membicarakan film dalam perspektif komunikasi massa yang

biasanya membahas pesan-pesan tersembunyi atau simbol-simbol yang disampaikan oleh

sebuah film.

Apabila kita bicara film dokumenter, masyarakat akan lebih mengenalnya sebagai

“Film hitam putih tentang sejarah”, “Film yang durasinya pendek”, “Film penyuluhan”, atau

“Film propaganda”, “Film Ilmu Pengetahuan”, dan tentu saja “Film yang membosankan”.

Bahkan sampai sekarang, saya selalu mengantuk jika menonton film dokumenter panjang

sendirian.

Pendapat-pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi hanya merujuk pada

beberapa pendekatan yang digunakan dalam pembuatan film dokumenter. Namun karya tulis

ini tidak akan membahas film-film dokumenter secara detail dan mendalam. Karya ilmiah ini

justru akan terfokus pada strategi-strategi komunitas dokumenter dalam mengembangkan film

dokumenter. Bagi mereka, apa yang sedang mereka lakukan adalah penting karena selama ini

posisi film dokumenter seperti terpinggirkan.

Page 2: Gerakan Sosial Film

2

Stigma-stigma tersebut muncul karena terlalu sering digunakannya salah satu

pendekatan di masa Orde Baru berkuasa, yaitu film dokumenter sebagai media penyuluhan

dan propaganda. Sehingga dalam perjalanannya, penonton dan pembuat film dokumenter

terbiasa dengan pendekatan tersebut, hingga pada akhirnya menjadi semacam standar baku

bagi pembuatan film dokumenter di Indonesia. Predikat “Film yang membosankan” ini

menjadi stigma dan cap yang melekat, sehingga media film dokumenter menjadi

terpinggirkan. Alasan kedua adalah referensi film dokumenter yang masih terbatas, tidak ada

acuan lain bagi pembuat film dokumenter selain film-film dokumenter dengan pendekatan “a

la Orde Baru”.

Pengembangan film dokumenter yang dilakukan komunitas ini berwujud pada usaha-

usaha mereka dalam membangun dan menyediakan infrastruktur bagi film dokumenter.

Esensi dari infrastruktur dokumenter tersebut adalah kemudahan dan ketersediaan akses bagi

masyarakat luas terhadap film dokumenter. Tujuannya agar masyarakat bisa dengan mudah

menonton film dokumenter, memperoleh informasi tentang dokumenter, mendapatkan

pelatihan produksi film dokumenter, dan segala hal yang berhubungan dengan media

dokumenter.

Kenapa penyediaan infrastruktur untuk film dokumenter ini menjadi layak untuk

dibahas? Bagi komunitas dokumenter, film dokumenter bisa jadi adalah media yang sekian

lama terlupakan di antara media massa lain yang lebih komersiil. Film dokumenter memiliki

ciri khas yang membedakannya dari media massa umum lainnya. Film dokumenter memiliki

kekuatan yang signifikan sebagai suatu media yang mencerdaskan, reflektif, dan dapat

melewati batas-batas ruang dan waktu. Film dokumenter adalah sebuah genre seni dan

sekaligus juga sejarah, sebuah berita sekaligus cerita, suatu media pembelajaran tapi juga bisa

memberi hiburan. Film dokumenter yang baik adalah yang mampu merekam jamannya,

sehingga generasi mendatang bisa melihat kondisi sosial, politik, kultural saat film tersebut

Page 3: Gerakan Sosial Film

3

diproduksi, atau bahkan kamera apa yang digunakan saat syuting film tersebut. Sedangkan

sebagai sebuah produk sinema, dokumenter tetaplah harus terlihat indah disamping mampu

menyampaikan pesan yang ia bawa.

Arti penting media film dokmenter tersebut harus tersampaikan kepada masyarakat

luas, untuk selanjutnya membentuk aprsesiasi penonton terhadap film dokumenter. Dalam hal

ini Komunitas dokumenter melalui Festival Film Dokumenter-nya akan menjadi wahana yang

demokratis bagi bertemunya sesama pekerja film dokumenter, para kreator senior, kalangan

akademik, dan masyarakat. Kesemua komponen tersebut dapat saling berinteraksi, belajar dan

berbagi, sehingga tercipta jaringan yang positif. Dari interaksi yang terjadi tersebut, maka

akan terjadi pengenalan, publikasi, penyebarluasan, dan pemasyarakatan film dokumenter.

Diharapkan dengan meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap film dokumenter ini, dapat

membentuk pula kesadaran akan pentingnya menjaga serta memelihara catatan dan

dokumentasi sejarah. Cukuplah sudah kita selalu dikritik sebagai bangsa yang kurang

menghargai sejarah dan selalu mengulang kesalahan dari masa lalu. Selain itu, tentu saja

dengan semakin meningkatnya minat terhadap film dokumenter, akan melahirkan sineas-

sineas dokumenter baru yang lebih kreatif.

Ini adalah cerita bagaimana komunitas dokumenter bersama Festival Film

Dokumenter-nya berjuang memajukan, mengembangkan, dan memasyarakatkan film

dokumenter Indonesia, serta penolakannya terhadap segala bentuk homogenisasi pendekatan

pada Film Dokumenter.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana strategi Komunitas Dokumenter dalam membangun infrastruktur bagi film

dokumenter di Indonesia?

Page 4: Gerakan Sosial Film

4

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyuguhkan profil Komunitas Film

Dokumenter Yogyakarta, menyajikan cerita tentang strategi-strategi mereka dalam

membangun infrastruktur perfilman dokumenter Indonesia. Penelitian ini juga ingin

menyajikan sebuah fenomena gerakan sosial yang berbeda. Berbeda, karena ciri-ciri yang

ditampilkan sangat lain bila dibandingkan dengan gerakan buruh yang menuntut kenaikan

upah, atau gerakan petani untuk menolak kenaikan harga pupuk, misalnya. Dalam melihat

gerakan komunitas dokumenter ini, saya menggunakan kerangka Gerakan Sosial Baru.

Tujuan yang kedua, penyusunan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sedikit

penjelasan, menawarkan sudut pandang alternatif terhadap film dokumenter, merangsang rasa

penasaran pembaca terhadap film dokumenter, dan ikut membangkitkan apresiasi masyarakat

terhadap film dokumenter Indonesia. Meskipun di dalam skripsi ini banyak memuat informasi

tentang film-film tertentu, penulisannya tidak dimaksudkan untuk menjadi kumpulan resensi

film-film tersebut. Film-film tersebut dibahas untuk memberikan gambaran kepada penonton

tentang ragam pendekatan yang ada di dalamnya

D. Kerangka Konseptual

Dalam skripsi ini, saya menggunakan kerangka gerakan sosial untuk mengkerangkai

fenomena gerakan Komunitas Dokumenter dalam membangun infrastruktur perfilman

dokumenter di Indonesia.

Fenomena gerakan sosial yang melibatkan media film di Indonesia ternyata bukanlah

hal baru, bahkan lahirnya kesadaran sebagai bangsa yang terjajah juga dipengaruhi oleh

hadirnya film di masa kolonial. Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa film ikut pula

melewati fase-fase sejarah bangsa ini dari masa perang revolusi hingga terbentuknya dunia

perfilman Indonesia kontemporer. Terjadi pula pergeseran peran dan fungsi film dalam

Page 5: Gerakan Sosial Film

5

perjalanan tersebut, dari hanya sebagai alat pergerakan, film kemudian bergeser menjadi isu

utama gerakan tersebut. Karena itu lah saya menggunakan salah satu aspek dalam gerakan

sosial, yaitu Proses Framing, sebelum mengerucut pada teori Gerakan Sosial Baru.

D.1 Konsep Gerakan Sosial dan Film Sebagai Media Framing

Genealogi gerakan sosial mungkin bisa kita telusuri dari teori fungsionalisme-struktural,

pendekatan ini berusaha melacak penyebab perubahan sosial sampai ketidakpuasan

masyarakat akan kondisi sosialnya yang secara pribadi mempengaruhi diri mereka. Teori ini

meng-analogikan bahwa masyarakat itu seperti sebuah organisme. Organisme itu mempunyai

bagian-bagian tubuh yang saling terkait, sehingga apabila ada salah satu bagian yang tidak

bekerja dengan semestinya, maka akan mempengaruhi bagian-bagian lainnya. Teori ini

menganggap bahwa masyarakat pada dasarnya terintegrasi di atas kata sepakat di antara para

anggotanya akan nilai, norma, sistem sosial tertentu, dan suatu persetujuan umum yang

memiliki kekuatan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara

para anggota masyarakat, sehingga tercipta lah apa yang disebut dengan keseimbangan

(equilibrium).

Sistem sosial terdiri dari sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi

(Parsons, 1951:5-6). Kunci masalah yang dibahas pada sistem sosial ini meliputi aktor,

interaksi, lingkungan, optimalisasi, kepuasan, dan cultural.1 Parsons menempatkan analisis

sruktur keteraturan masyarakat pada prioritas utama,2 sehingga Ia tidak memberikan antisipasi

terhadap perubahan sosial yang berupa pergeseran, atau berubahnya struktur di dalam

1 Parsons, Talcott, The Social System, New York, Routledge Sociology Classics, 1951. 2 Teori ini terlalu normatif dengan menganggap bahwa masyarakat akan selalu berada pada situasi harmoni,

stabil, seimbang, dan mapan. Ini terjadi karena analogi dari masyarakat dan tubuh manusia yang dilakukan oleh

Parson bisa diilustrasikan, bahwa tidak mungkin terjadi konflik antara tangan kanan dengan tangan kiri dengan

tangan kanan, demikian pula tidak mungkin terjadi ada satu tubuh manusia yang membunuh dirinya sendiri

dengan sengaja. Demikian pula karakter yang terdapat dalam suatu sistem social. Lembaga masyarakat misalnya,

akan selalu terkait secara harmonis, berusaha menghindari konflik,dan tidak mungkin akan menghancurkan

keberadaannya sendiri. Dalam teori ini, perubahan sosial terjadi secara evolutif.

Page 6: Gerakan Sosial Film

6

masyarakat yang meliputi pola pikir, inovasi, sikap, yang sangat mungkin disebabkan oleh

interaksi aktor-aktor anggota masyarakat tersebut dengan struktur di luarnya. Asumsi yang

terbangun adalah: apabila tidak ada resolusi ketegangan antara aktor-aktor tersebut dengan

sistem sosialnya, dan konflik ini terjadi terus menerus, maka akan melahirkan gerakan sosial.

Penelusuran berikutnya adalah pada konsep kelas dan perjuangan kelas yang diinisiasi

oleh Karl Marx, dengan bahasan utamanya adalah eksploitasi yang dilakukan oleh satu

kelompok manusia terhadap kelompok manusia lain. Eksploitasi ini terjadi dalam konteks

proses produksi di dalam masyarakat industri, di mana pemilik modal menjadi kelas dominan

dan mendapatkan keuntungan berlebih daripada kelas pekerja. Distribusi keuntungan yang

tidak seimbang ini lah yang dianggap Marx sebagai awal terbentuknya kelas sosial dalam

masyarakat industri sehingga melahirkan pertentangan dan konflik kelas secara laten,

kemudian membentuk struktur kelas sosial di masyarakat. Konsep Marx tentang struktur kelas

sosial dan perjuangan kelas ini lah yang menjadi motor penggerak bagi gerakan sosial, dan

menginspirasi munculnya teori Gerakan Sosial Lama.

Gerakan sosial menurut definisi dari A Dictionary of Civil Society, Philanthropy, and

the Non-Profit Sector, dimaknai sebagai aksi kolektif di luar institusi formal negara untuk

menyuarakan perubahan sistem dalam institusi, masyarakat, negara, atau bahkan tatanan

dunia. Di dalamnya adalah orang-orang yang terorganisasi dan terkoordinir secara baik, dan

memiliki orientasi jangka panjang terhadap tujuannya tersebut (Helmut K.Anheier and Regina

A.List, 2005:239). Dalam bukunya Gerakan Sosial Baru, Rajendra Singh menjelaskan bahwa

gerakan sosial adalah sebuah aksi kolektif, namun tidak semua aksi kolektif adalah gerakan

sosial. Singh membedakan gerakan sosial dari beberapa konsep lain, seperti Kerusuhan,

Pemberontakan, dan Revolusi.3 Pengalaman-pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ketiga

3 Kerusuhan adalah kekacauan massa penuh dengan kekerasan sebagai bentuk akumulasi ketidakpuasaan publik,

terjadi dalam waktu relatif singkat dan cenderung spontan, namun tidak mempunyai tendensi untuk

menggulingkan rezim yang berkuasa. Pemberontakan adalah sikap dan upaya dari sekelompok warga negara

Page 7: Gerakan Sosial Film

7

konsep tersebut lebih sering diikuti oleh kekerasan dan chaos dibandingkan dengan gerakan

sosial. Gerakan sosial selalu melibatkan mobilisasi massa meskipun ia tidak selalu melibatkan

kekerasan. Di dalamnya terdapat kesadaran kolektif tentang tujuan gerakan, adanya ideologi

gerakan, strategi gerakan, struktur organisasi, komunikasi yang jelas, adanya pihak yang

menjadi lawan, dan dampak atau efek gerakan dalam tatanan sosial politik. Artinya, ia

merupakan buah dari kesadaran kolektif dari sekelompok masyarakat yang bangkit sebagai

oposisi dari beberapa nilai, norma, dan praktek sosial yang dianggap tidak adil, menindas, dan

tidak bisa ditolerir oleh pelaku gerakan tersebut. Gerakan sosial dicirikan pula dengan

ideologi politik yang selanjutnya berkembang menjadi pertarungan kanan konservatif dan kiri

reformis. Sedangkan pada pengalaman sejarah negara-negara Asia-Afrika, gerakan ini

berwujud melalui gerakan perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah.

Analisis tentang gerakan sosial menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang memicu

kemunculannya, yaitu:

1. Struktur kesempatan politik

2. Struktur mobilisasi

3. Proses framing

4. Repertoir gerakan

5. Sumber intelektual, dan

6. Contentious politic

Struktur kesempatan politik diadopsi oleh Peter Eisinger dari pandangan Tocqueville

bahwa: revolusi terjadi bukan karena suatu kelompok masyarakat tertentu dalam keadaan

tertekan. Tetapi revolusi muncul ke permukaan ketika sebuah sistem ekonomi dan politik

untuk menolak atau memberontak kepada otoritas politik. Pemberontakan bersifat terbatas dan lingkupnya lebih

sempit bila dibandingkan dengan revolusi, yang merujuk pada keikutsertaan semua lapisan masyarakat di sebuah

negara untuk menggulingkan atau menggantikan seluruh tatanan sosial politik sebelumnya. Singh hlm 30

Page 8: Gerakan Sosial Film

8

yang sebelumnya tertutup mengalami keterbukaan.4 Secara lebih spesifik, struktur

kesempatan politik ini didukung oleh beberapa variabel, antara lain:

1. Ketika tingkat akses terhadap lembaga-lembaga politik mengalami keterbukaan

2. Ketika keseimbangan politik sedang labil, sedangkan keseimbangan baru belum terbentuk

3. Ketika terjadi konflik antar elit politik, sehingga keadaan tersebut bisa dimanfaatkan oleh para

pelaku perubahan sebagai kesempatan

4. Ketika para pelaku perubahan digandeng oleh elit-elit yang berada di dalam sistem untuk

melakukan perubahan.5

Dalam konteks sejarah film Indonesia, kedatangan Jepang memberikan kesempatan

bagi bangsa Indonesia untuk mengenal lebih jauh tentang fungsi film dengan memberikan

pendidikan dan posisi-posisi strategis dalam sebuah produksi film, yang sebelumnya tidak

bisa diakses oleh orang-orang pribumi. Artinya, pemerintah militer Jepang dengan sengaja

menggandeng insan-insan film Indonesia dalam rangka kampanye Asia Timur Raya-nya,

tetapi untuk selanjutnya pengetahuan baru tentang film ini dapat dimanfaatkan sebagai salah

satu alat perjuangan di fase revolusi fisik paska proklamasi kemerdekaan. Periode revolusi

fisik adalah fase di mana segala kondisi serba tidak menentu, sehingga ketidakstabilan ini ikut

memberikan pengaruh terhadap gerakan film di masa itu. Pertama, kondisi tersebut justru

memberikan kesempatan bergerak bagi perintis perfilman Indonesia. Kedua, dalam masa

revolusi fisik ini, film merupakan media framing sebagai counter wacana terhadap tuduhan

Belanda bahwa yang terjadi di Indonesia adalah tindakan-tindakan terorisme.

Contoh penggunaan film sebagai salah satu alat perjuangan di atas, dalam gerakan

sosial disebut Proses Framing. Proses Framing menjadi elemen penting karena ia menjadi

tolok ukur sejauh mana pelaku gerakan memenangkan pertarungan atas makna. Hal ini

berhubungan dengan usaha para pelaku gerakan untuk mempengaruhi dan membentuk opini

4 Abdul Wahib Situmorang, Gerakan Sosial 5 Abdul Wahib Situmorang, ibid

Page 9: Gerakan Sosial Film

9

di masyarakat (atau kelompok sasaran tertentu), dan meyakinkan khalayak luas bahwa sedang

terjadi ketidakadilan, sehingga perlu adanya gerakan untuk merubah keadaan menjadi lebih

baik. Proses framing adalah upaya pelaku gerakan untuk mempengaruhi opini publik untuk

memunculkan kesadaran kolektif.6

Dalam proses framing ini, terdapat dua komponen penting, yaitu: diagnosis elemen

atau pendefinisian masalah beserta sumbernya, dan yang kedua adalah strategi yang tepat

untuk mengatasi masalah tersebut.7 Dalam proses framing sendiri, terdapat faktor-faktor yang

mendukung pembentukan framing, misalnya saja kontradiksi budaya dan alur sejarah yang

menimbulkan keluhan, ketidakadilan sehingga memunculkan aksi kolektif.

Proses framing juga merupakan strategi gerakan, karena hal-hal seperti kontradiksi

budaya, ketidakadilan sosial, maupun keluhan, akan menyediakan momentum, konteks, dan

sekaligus kesempatan bagi pelaku gerakan, untuk kemudian menciptakan simbol, ideologi

gerakan, dan langkah-langkah berikutnya. Sedangkan untuk mencapai tujuan, pelaku gerakan

membutuhkan alat dalam proses framing ini, yaitu media. Dan media massa memang menjadi

target utama dalam proses framing ini. Media di sini dapat berupa media cetak, maupun

audio-visual (dalam konteks ini, film). Para pelaku gerakan juga menggunakan ruang-ruang

publik untuk menyebarkan gagasan-gagasan mereka kepada masyarakat.

Proses framing dalam gerakan sosial bukanlah satu-satunya cara dalam mencapai cita-

cita gerakan. Setelah persepsi dan opini publik terbentuk melalui proses framing, pelaku

gerakan harus melangkah ke tahap berikutnya yaitu taktik, strategi, dan aksi nyata gerakan

sebagai pengejawantahan formulasi yang diperoleh di dalam proses framing sebelumnya.

Tilly menyebutnya sebagai repertoir gerakan. Repertoir ini diartikan sebagai penciptaan

budaya melalui proses pembelajaran.8 Pada tahap ini, repertoir bukan lagi berupa slogan-

6 Abdul Wahib Situmorang, ibid 7 Snow dan Banford dalam Abdul Wahib Situmorang, ibid 8 ibid

Page 10: Gerakan Sosial Film

10

slogan atau jargon-jargon, tetapi sudah berwujud tindakan nyata seperti aksi turun ke jalan,

mengeluarkan petisi, pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat umum, bahkan lebih ekstrim lagi

bisa berwujud aksi-aksi boikot, pendudukkan tempat-tempat strategis, atau perusakan kantor-

kantor pemerintah. Bentuk-bentuk aksi tersebut adalah akumulasi ketidakpuasan yang pada

akhirnya meluap menjadi sebuah protes politik.9Aksi-aksi tersebut menunjukkan bahwa

repertoir gerakan merupakan bentuk interaksi antar kelompok pelaku perubahan dalam jumlah

besar dan bukan hanya antar individu saja.

D.2 Gerakan Sosial Baru

Cara mudah untuk mendefiniskan Gerakan Sosial Baru (GSB) adalah dengan

membandingkannya dengan Gerakan Sosial Lama/ Klasik (GSK). Secara singkat, perbedaan

keduanya mungkin dapat terjelaskan melalui tabel di bawah ini:

GSB menunjukkan ciri-ciri gerakan yang berbeda dibanding dengan gerakan sosial

klasik. Lebih jauh lagi perbedaan tersebut dapat dirumuskan kedalam beberapa hal (Singh,

2010:126-129), yaitu:

1. Tujuan gerakan. Mereka berjuang untuk otonomi, pluralitas, perubahan gaya hidup dan

kebudayaan, keberbedaan tanpa menolak prinsip egaliterianisme, demokrasi, partisipasi

politik, parlemen, dan hukum positif. GSB ingin merekonstruksi hubungan negara,

9 Protes Politik menurut The Canadian Encyclopedia, adalah kegiatan politik seperti aksi demonstrasi,

perlawanan, yang bahkan bisa berwujud aksi kekerasan. Protes ini biasanya dilakukan oleh mereka yang tidak

mempunyai akses terhadap sumber daya tertentu, atau oleh mereka yang tertindas oleh kelompok elit tertentu.

Tipe Gerakan Tujuan Struktur Taktik Partisipan Ruang Lingkup

GSK

Retribusi

Ekonomi-

Politik

Institusional

Mobilisasi

untuk

Revolusi

Kelas

tertentu

Lokal, dan

Nasional

GSB

Isu Identitas

Politik

Non-

institusional

Mobilisasi

untuk

pengaruh

Lintas

kelas

Trans-nasional

Page 11: Gerakan Sosial Film

11

masyarakat, sistem politik-ekonomi agar tercipta ruang publik yang baik. Ini membuktikan

bahwa GSB bergerak merespon isu-isu yang bersumber dari masyarakat sipil daripada

persoalan ekonomi dan politik secara makro, lebih memilih mengurusi persoalan demoralisasi

kehidupan sehari-hari, dan memusatkan perhatian pada kepentingan-kepentingan masyarakat

secara kolektif.

2. Ideologi Gerakan. GSB seolah mengesampingkan faktor ideologi dalam gerakannya. Ia tidak

melibatkan diri pada wacana ‘anti kapitalisme’, ‘revolusi kelas’, ‘perjuangan kelas’, maupun

penggulingan kekuasaan suatu rezim secara revolusioner. Bahkan gerakan ini tidak berpotensi

untuk merombak struktur ekonomi-politik secara makro. Bentuknya yang beragam terlihat

mulai dari gerakan anti nuklir, isu lingkungan, penyelamatan fauna, pendidikan, kebebasan

sipil, kebebasan personal dan perdamaian, dan lain-lain. Keberagaman bentuk dari GSB ini

merupakan indikator kebosanan terhadap ide-ide modernisme tentang pertumbuhan,

pembangunan, barat dan timur, maupun pertarungan ideologi kanan dan kiri. Sebagai sebuah

paradigma baru dalam gerakan sosial, GSB adalah bentuk baru pertahanan terhadap ekspansi

negara dan pasar yang semakin masif terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dalam hal

perlawanannya terhadap negara, GSB bukanlah untuk anakhi, namun ia menentang campur

tangan negara yang terlalu jauh terhadap otonomi dan kebebasan manusia, terhadap kebebasan

atas tubuh, atau terhadap urusan moral dan keber-agamaan secara individu. Sedangkan

terhadap pasar, GSB menentang komodifikasi, komersialisasi dan materialisme yang sudah

merambah segala hal. Dari bentuk-bentuk gerakan yang sudah ada, GSB menyerukan sebuah

kondisi yang adil dan bermartabat bagi konsep kelahiran, kedewasaan, dan reproduksi

manusia yang kreatif dan selaras dengan alam.

3. Strategi atau Repertoir Gerakan. Repertoir dalam definisi yang diberikan oleh Tilly, ia adalah

penciptaan budaya melalui proses pembelajaran. Artinya, diperlukan repetisi dalam jangka

waktu yang lama sehingga ia menjadi kebiasaan dan pada akhirnya membudaya dan

membentuk identitas gerakan. GSB mengikuti dinamika bentuk masyarakat baru post-modern,

dan paradigma baru mereka dalam memandang gerakan sosial. Sebagai produk dari post-

modernisme watak GSB juga terlihat pada tujuan gerakannya yang nampak membingungkan,

Page 12: Gerakan Sosial Film

12

relatif acak, terlihat tidak terpadu dengan baik, tetapi tegas dalam menolak penunggalan,

homogenisasi, dan penyamaan ideologi global dari teori-teori ilmu sosial konvensional

maupun sistem kekuasaan yang mengambil keuntungan dari penyeragaman tersebut. GSB

tidak lagi berbentuk gerakan-gerakan union atau perserikatan, perjuangan proletar, parpol,

melainkan berwujud gerakan akar rumput, bersifat horizontal grass root politic, dan biasanya

berbentuk komunitas-komunitas yang mengusung isu spesifik, dan jangkauannya melampaui

batas-batas teritorial negara. GSB lebih menyukai jalur-jalur di luar politik formal dan

memakai taktik pengacauan seperti memobilisasi opini publik melalui media massa, diskusi

atau seminar terbuka, atau menampilkan aksi-aksi dramatic dengan mengenakan kostum-

kostum aneh sebagai representasi simbolik dalam aksi-aksi politiknya. Dalam struktur dan

keorganisasian, GSB memilih bentuk yang tidak institusional. Artinya mereka mengorganisir

diri dengan gaya yang lentur, cair, dan lebih kental dengan semangat komunalitas.

4. Aktor gerakan. Jika melihat orientasi, tujuan, dan model gerakan yang sangat lentur, orang-

orang di balik GSB mempunyai basis sosial yang beragam pula. Mode produktivitas a la

Marxis diabaikan (Singh, 2010:133), kelas proletar dan kelas borjuis bisa bersama-sama

bergabung di dalam GSB. Secara teoritis, partisipan GSB berasal dari tiga sector, yaitu: kelas

menengah baru, kelas menengah lama, orang-orang pinggiran yang tidak terlibat dalam pasar

kerja.10 Basis sosial mereka luas, tidak terbagi-bagi, melampaui kategori-kategori gender,

pendidikan, dan pekerjaan. Dari berbagai latar belakang tersebut, nampak jelas bahwa

orientasi perjuangan mereka bukanlah untuk kelas atau golongan tertentu saja, tetapi untuk

kemanusiaan yang universal.

5. Ruang lingkup gerakan. Para aktor GSB berasal dari bermacam basis sosial dan ruang gerak

mereka tidak terbatas teritorial negara. Para aktor GSB adalah orang-orang yang melek

teknologi, banyak dari mereka yang berasal dari kelas menengah, mempunyai jejaring luas

dan kuat, sehingga mereka dengan mudah mengatasi kendala ruang dan waktu dalam

10 Kelas menangah lama misalnya petani, pedagang, seniman dll. Orang-orang pinggiran yang tidak terlibat

dalam pasar kerja misalnya mahasiswa, ibu rumah tangga, dan pensiunan. Suharko, Gerakan Sosial Baru di

Indonesia: Repertoar Gerakan Petani dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.10, FISIPOL UGM, 2006

Page 13: Gerakan Sosial Film

13

berkomunikasi. Wilayah aksi, cara mobilisasi, dan strategi mereka adalah global. Perhatian

sosial dan isu-isu yang mereka perjuangkan menyeberangi batas-batas bangsa dan masyarakat.

D.3 Dua Pendekatan Dalam Memandang GSB

Teori pertama adalah Teori Mobilisasi Sumber Daya. Menurut teori ini, para aktor

GSB merupakan makhluk rasional yang mampu menalar, berstrategi, dan mampu

memperhitungkan keberhasilan dan kegagalan gerakan mereka. Dalam teori ini, dikatakan

bahwa gerakan sosial muncul karena tersedianya sumber-sumber pendukung seperti

kelompok koalisi, dukungan finansial yang cukup, pengorganisasian yang baik, dan sumber

daya lainnya berupa ide, akses terhadap media massa dan teknologi informasi (media cetak,

audio-visual, dunia maya), atau bahkan cara-cara unik lainnya dalam menyerukan ide-ide

mereka. Teori mobilisasi sumber daya ini menekankan pada permasalahan teknis dan

pengorgnisasian gerakan daripada penyebab munculnya gerakan sosial itu sendiri.

Teori yang berasal dari analisis Mancur Olson ini mengedepankan rasionalitas para

aktor gerakan. Artinya, dalam teori ini, para aktor yang rasional tersebut bertindak dan beraksi

dalam sebuah gerakan kolektif didasarkan pada pertimbangan untung-rugi.11 Olson

berpendapat bahwa para aktor gerakan sosial dalam teori ini mempertimbangkan keuntungan

dan kerugian apa yang didapat saat mereka ikut dalam sebuah aksi gerakan. Teori ini

menggambarkan bahwa GSB diibaratkan sebuah perusahaan besar yang dijalankan oleh

struktur manajerial besar, dan pemimpin gerakan harus bertindak sebagai pengusaha yang

dapat memikat orang lain untuk berinvestasi dalam gerakan.

Dalam beberapa hal, teori ini mampu menjelaskan bagaimana para aktor GSB dapat

memaksimalkan segala sumber daya yang ada, namun di sisi lain ia tidak bisa menjelaskan

bagaimana loyalitas dan solidarisme bisa muncul di dalam gerakan sosial baru. Sehingga aksi

kolektif seakan hanya persoalan konsumsi, menghabiskan nilai guna barang, atau pertukaran 11 Lihat Rajendra Singh, Gerakan Sosial Baru, hlm 135

Page 14: Gerakan Sosial Film

14

komoditas saja. Teori ini tidak menyentuh latar belakang bagaimana mereka bisa membentuk

aksi kolektif, dan bagaimana GSB saling menyebarkan pemahaman mereka, bagaimana

menanamkan solidaritas antar individu, dan bagaimana GSB mengartikulasikan kepentingan

mereka.

Teori kedua yang melengkapi analisis tentang GSB adalah Teori Berorientasi

Identitas. Teori ini menolak logika utilitarian (logika untung-rugi) yang terlalu rasionalistik

dari teori mobilisasi sumber daya, dan menekankan analisisnya di seputar integritas dan

solidaritas di dalam GSB. Ia menerima beberapa konsep klasik Marxis seperti ‘perjuangan’,

‘mobilisasi’, ‘kesadaran’, dan ‘solidaritas’ dengan tetap menolak orientasi materialistik dan

penggolongan kelas.12 Orientasi identitas yang diusung merupakan ekspresi dalam pencarian

terhadap identitas, otonomi, dan pengakuan atas eksistensi mereka. Dari orientasi ini lah, aksi-

aksi mereka lebih ekspresif dan menimbulkan kesan unik bagi yang melihatnya. Aksi-aksi

‘unik’ ini adalah cara mereka untuk memaknai dan menafsirkan kembali norma-norma,

penciptaan makna-makna baru, dan merekonstruksi nilai-nilai sosial dari batas-batas antara

wilayah publik, privat, dan wilayah politis.13 Ini mengingatkan kita pada semangat gerakan

sosial klasik sebagai oposisi dari beberapa nilai, norma, dan praktek sosial yang dianggap

tidak adil, menindas, dan tidak bisa ditolerir oleh pelaku gerakan.

Fakta gerakan sosial di lapangan memang tidak bisa dijelaskan hanya dengan

menggunakan logika untung-rugi, meskipun penjabaran teori berorientasi identitas juga belum

bisa memuaskan peminat studi GSB. Dalam konteks gerakan yang dilakukan komunitas

dokumenter sendiri, mobilisasi sumber daya memang terjadi. Komunitas ini benar-benar

memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki (SDM, teknologi informasi, koneksi

jaringan antar pelaku gerakan hingga ke luar negeri), menjadi ajang untuk lebih berprestasi

menggeluti film dokumenter bagi masing-masing individu, juga tetap menjaga identitas dan 12 Ibid, Singh hlm 145 13 Jean Cohen dalam Singh, ibid, hlm 148

Page 15: Gerakan Sosial Film

15

eksistensi mereka lewat tema-tema di setiap festival film dokumenter mereka. Namun yang

lebih penting dari itu semua, mereka mampu bersatu di bawah visi-misi memajukan film

dokumenter Indonesia. Bahkan Komunitas Dokumenter menunjukan bahwa mereka

mempunyai orientasi jangka panjang yang jelas.

Salah satu tujuan gerakan GSB adalah menekankan pada perubahan-perubahan gaya

hidup dan kebudayaan. Dalam konteks ini, komunitas dokumenter ingin merubah cara

pandang masyarakat terhadap media film dokumenter, dan membentuk segmen penonton bagi

film dokumenter, sehingga film dokumenter bisa lebih diterima oleh masyarakat luas. Secara

sederhana, mereka ingin agar film dokumenter tidak lagi dipandang sebagai media

komunikasi yang disajikan secara top down, namun juga bisa dijadikan sebagai alat

penyampai aspirasi, penyuara kehendak secara bottom up, maupun alat perlawanan terhadap

kesewenang-wenangan penguasa. Bahkan, seperti film fiksi, dokumenter bisa disajikan

sebagai media hiburan, karena bagaimanapun dokumenter adalah produk sinema yang bisa

dipandang sebagai sebuah karya seni yang multi-approach.

E. Definisi Operasional

Menurut UU no.8/1992 Tentang Perfilman, film adalah karya cipta seni dan budaya yang

merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas

sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan

hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses

kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat

dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau

lainnya.14

14 http://www.dpr.go.id/uu/uu1992/UU_1992_8.pdf, 25-11-2013, 22.51 wib

Page 16: Gerakan Sosial Film

16

Sedangkan film dokumenter, salah satu definisinya adalah: Teks Non-Fiksi yang

menggunakan footage–footage yang aktual, di mana termasuk di dalamnya perekaman

langsung dari peristiwa yang akan disajikan dan materi-materi riset yang berhubungan dengan

peristiwa itu, misalnya hasil wawancara, statistik, dll.15 Teks-teks seperti ini biasanya

disuguhkan dari sudut pandang tertentu dan memusatkan perhatiannya pada sebuah isu-isu

sosial tertentu yang sangat memungkinkan bisa menarik perhatian penontonnya. Definisi ini

bukan merujuk pada subjek atau sebuah gaya (genre), tetapi dokumenter adalah sebuah

pendekatan. Pendekatan dalam menampilkan faktualitas agar sesuai dengan harapan, maksud,

dan tujuan dari si pembuat film tersebut.

Riset menjadi proses yang sangat penting dalam produksi sebuah film dokumenter.

Riset di sini bukan hanya seputar data seperti jumlah penduduk, mata pencarian penduduk,

ketinggian desa, atau semacamnya. Dalam proses produksi film dokumenter, riset lebih

berupa mengamati kebiasaan subjek yang akan difilmkan, misalnya bagaimana kegiatan

sehari-harinya dilakukan, jalan mana saja yang tiap hari dilewati, dan permasalahan yang

dihadapi oleh subjek yang akan menjadi topik dalam film tersebut. Sedangkan untuk 15 Definisi ini disampaikan oleh praktisi documenter Paul Wells. Dokumenter dapat digolongkan menjadi

beberapa pendekatan, antara lain: film factual, film etnografik, film eksplorasi, film jurnalistik dan film

propaganda. Sedangkan apabila kita melihat unsure-unsur visual dan verbal yang digunakan, film documenter

dapat digolongkan menjadi observasionalisme reaktif, yaitu pembuatan film documenter yang sebisa mungkin

bahan-bahannya diambil dari subjeknya, dan mengutamakan ke-otentikan footage-footagenya;

Obseravasionalisme proaktif, yaitu pembuatan film documenter yang mengambil gambar/ footage secara khusus

sesuai riset yang dilakukan sebelumnya; Dokumenter ilustratif, pendekatan yang banyak menggunakan voice

over/ narasi dalam penyampainnya; Dokumenter asosiatif, pendekatan yang menggunakan potongan-potongan

gambar/ rekaman yang kemudian dihubung-hubungkan dalam penyampaiannya. Dengan demikian, diharapkan

arti metafora dan simbolis yang ada pada informasi harfiah dalam film itu, dapat terwakili; Overheard exchange;

rekaman pembicaraan antara dua sumber atau lebih yang terkesan direkam secara tidak sengaja dan secara

langsung; Kesaksian, yaitu rekaman pengamatan, pendapat atau informasi, yang diungkapkan secara jujur oleh

saksi mata, pakar, dan sumber lain yang berhubungan dengan subyek dokumenter. Hal ini merupakan tujuan

utama dari wawancara; Eksposisi, yaitu penggunaan voice over atau orang yang langsung berhadapan dengan

kamera, secara khusus mengarahkan penonton yang menerima informasi dan argumen-argumennya.

Page 17: Gerakan Sosial Film

17

kepentingan pengambilan gambar, riset berguna untuk menjalin keakraban pembuat film

dengan lingkungan (termasuk orang-orang di lingkungan tersebut) di sekitar subjek film, agar

mereka terbiasa dengan kru film dan “tidak melihat” kehadiran kamera di sekitarnya.

Mengetahui kebiasaan subjek dan lingkungannya akan membantu bagaimana sudut

pengambilan gambar, pencahayaan, dan bagaimana gambar akan dipilih dalam proses editing

nanti. Ini lah yang membuat produksi film dokumenter memakan waktu lama, bahkan hingga

bertahun-tahun.

Sebagai sebuah karya seni, film juga dipengaruhi faktor-faktor ekstrinsik dan intrinsik.

Faktor-faktor intrinsik film antara lain: Tema, karakter, konflik dalam cerita, seting dalam

cerita (waktu, tempat, suasana), dan masalah-masalah teknis (sudut penempatan kamera,

pencahayaan, editing, dan lainnya). Sedangkan faktor-faktor ekstrinsik film adalah kondisi

sosial, kultural, politik, ekonomi sebuah tempat atau negara di mana film itu dibuat.16

Komunitas Dokumenter di sini secara khusus mengacu pada komunitas film

dokummeter yang bersekretariat di Jl. Sajiono no.15 Kota Baru Yogyakarta, tepatnya berada

di sebelah utara SMA Negeri 3 Yogyakarta. Namun dalam tulisan ini, secara lebih luas,

komunitas dokumenter tersebut adalah representasi dari seluruh gerakan dokumenter di

Indonesia bahkan juga Internasional. Secara kongkrit, visi-misi Komunitas Dokumenter

dalam membangun infrastruktur film dokumenter di Indonesia dapat dijabarkan sebagai

berikut:

1. Pengembangan SDM

16 Faktor ekstrinsik atau lebih spesifiknya kondisi sosio-politik di negeri ini lah yang membuat film-film

dokumenter kita dianggap ketinggalan dari negara-negara lain, terutama eropa, yang sering menjadi barometer

film-film dokumenter. Tapi terasa kurang bijak jika kita membandingkan konteks Indonesia dengan negara-

negara Eropa di mana para pembuat filmnya sudah tidak berhadapan lagi dengan masalah-masalah sosial dan

politik seperti di negeri ini.

Page 18: Gerakan Sosial Film

18

Komunitas Dokumenter memandang sumber daya manusia sebagai salah satu bagian

penting dalam kemajuan masyarakat di berbagai bidang. Begitu pula di bidang film

dokumenter, komunitas ini menempatkan diri sebagai fasilitator bagi aktivitas-

aktivitas belajar bersama dan berbagi pengetahuan, tidak hanya di kalangan seniman

atau kreator film dokumenter dan film secara umum, tetapi juga bagi seluruh lapisan

masyarakat. Di dalam internal komunitas ini, setiap orang berhak dan boleh

mengembangkan diri sendiri melalui pelatihan atau seminar tentang dokumenter yang

diselenggarakan oleh lembaga atau komunitas lain.

2. Membangun pusat data dan informasi

Komunitas Dokumenter menyediakan diri sebagai pusat data dan informasi film

dokumenter, baik dalam tataran keilmuan maupun praktis, dan katalogisasi film-film

dokumenter. Pengembangan Komunitas Dokumenter sebagai pusat data dan informasi

ini dilakukan sebagai bagian dari usaha untuk mengembangkan dan memajukan film

dokumenter Indonesia.

3. Sosialisasi dan membangun jaringan kerja

Film dokumenter sebagai wahana seni, informasi, dan ilmu pengetahuan perlu

disosialisasikan ke masyarakat umum. Selain untuk memperkenalkan dan

meningkatkan apresiasi masyarakat atas film dokumenter, sosialisasi ini juga

diperlukan . Untuk itu, Komunitas Dokumenter membangun jaringan kerja di antara

individu dan kelompok yang bergerak di bidang film documenter, sehingga terjalin

kerja sama bagi perkembangan dan kemajuan film dokumenter Indonesia.

4. Mengadakan pendidikan dan pelatihan

Komunitas kumenter melihat aspek pendidikan dan pelatihan dalam arti yang seluas-

luasnya. Selain keterampilan teknis dan pengetahuan teoritis, pendidikan dan pelatihan

Page 19: Gerakan Sosial Film

19

terwujud juga dalam kemampuan apresiasi atas lingkungan, kehidupan, dan

kebudayaan, sebagai bagian dari pengembangan SDM. Aktualisasi dari pendidikan

dan pelatihan ini terwujud dalam berbagai kemungkinan, antara lain: diskusi,

workshop, klinik film, ajang apresiasi, produksi film, dan lain sebagainya.

5. Festival dokumenter

Festival adalah implementasi dari keseluruhan visi dan misi Komunitas Dokumenter.

Festival dilaksanakan setiap satu tahun sekali dengan arahan sebagai muara dari setiap

aktivitas dan program kegiatan, baik dari komunitas sendiri maupun dari masyarakat

umum. Festival disusun dengan semangat kebersamaan dan kegotongroyongan,

sebagai perayaan dan ajang berbagi pengalaman dan pengetahuan di bidang film

dokumenter di antara berbagai elemen masyarakat, dari dalam dan luar negeri. Festival

juga menjadi ajang bagi apresiasi film-film dokumenter terpilih dari berbagai penjuru

dunia, dan ajang kompetisi untuk memberikan penghargaan bagi karya-karya dan

kreator-kreator film dokumenter Indonesia terbaik. Festival Film Dokumenter sendiri

memiliki peran penting, yaitu sebagai:

• Dokumentasi karya-karya film dokumenter.

Film dokumenter adalah rekaman sejarah yang memiliki nilai penting tetapi

selama ini senantiasa terabaikan. Bangsa kita termasuk bangsa yang kurang

menghargai catatan dan dokumentasi sejarah, sesuatu yang bisa jadi membuat

bangsa ini terlalu sering mengulang kesalahan masa lalu.

• Publikasi karya-karya film dokumenter.

Film dokumenter adalah media alternatif yang tidak banyak memiliki ruang

publikasi. Festival ini akan menjadi jembatan yang memadai bagi publikasi

karya ke khalayak umum.

• Wahana interaksi dan belajar.

Page 20: Gerakan Sosial Film

20

Festival ini akan menjadi wahana yang demokratis bagi bertemunya sesama

pekerja film dokumenter, para kreator senior, kalangan akademik, dan

masyarakat. Kesemua unsur tersebut dapat saling berinteraksi, belajar dan

berbagi, sehingga tercipta jaringan yang positif.

• Pemasyarakatan film dokumenter.

Film dokumenter memiliki karakteristik yang khusus dan khas. Ada banyak

aspek positif yang dapat digali dan ditemukan dalam film dokumenter. Festival

ini dapat dijadikan sebagai arena bagi pengenalan, penyebarluasan, dan

pemasyarakatan film dokumenter.

F. Metodologi Penelitian

F.1 Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif-deskriptif dan lebih banyak

mengesampingkan aspek-aspek analisis berbasis statistik. Metode ini berusaha

mendeskripsikan gejala-gejala atas suatu fakta secara lengkap dengan tujuan menjelaskan

bagaimana keadaan dan kondisinya.17 Bogdan and Taylor menjelaskan bahwa metode

penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.18 Berdasarkan

definisi tersebut, penelitian ini tergolong penelitian kualitatif yang mengutamakan kualitas

analisis serta interpretasi data dan bukan menggunakan data statistik angka-angka sebagi basis

analisisnya.

Kegiatan generik dalam penelitian kualitatif selalu menampilkan lima fase tataran dari

masing-masing pendekatan:19

17 Nawawi, dalam Utan Parlindungan, Genjer-genjer dan Hermaphrodyte Complex, Skripsi JPP UGM, 2007 18 Lexy, J. Moleong.2002,Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya,Bandung,hal.3 19 Dr. Agus Salim MS, Teori&Paradigma Penelitian Sosial, Teori Wacana, Yogyakarta, 2006

Page 21: Gerakan Sosial Film

21

1. Peneliti dan persoalan yang diteliti sebagai subjek yang multikultural

2. Paradigma dan sudut pandang Interpretif

3. Sratategi penelitian

4. Metode pengumpulan data analisis bahan empiris

5. Seni interpretasi dan pemaparan hasil penelitian

Kemudian dari bentuknya yang interpretif, penelitian kualitatif berhadapan dengan

masalah yang cukup menggangu. Di satu pihak, periset harus menyajikan dan melaporkan

data secara objektif, namun di sisi lain para subjek yang diteliti juga memiliki kompetensi

untuk menceritakan pengalaman-pengalamannya dari sudut pandangnya sendiri.20 Dari dua

persoalan tersebut, maka diperlukan kompetensi periset untuk menginterpretasikan fakta-fakta

yang ada ke dalam bentuknya yang lebih mudah dimengerti.

Sebagai perangkat tafsir fenomena sosial, metode kualitatif tidak mengistimewakan

salah satu metodologi atas metodologi yang lain. Di samping itu, metode kualitatif juga relatif

sulit untuk didefinisikan secara pasti dan tidak memiliki suatu teori dan paradigma yang khas.

Sedangkan untuk kepentingan riset ini, penyusun akan menggunakan salah satu jenis

penelitian deskriptif, yaitu Studi Kasus. Metode ini akan melibatkan peneliti secara intensif,

dan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap subjek penelitian.21 Studi kasus adalah suatu

penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi,

lembaga atau gejala tertentu.

Penulis memilih menggunakan metode studi kasus karena ia memiliki sifat-sifat yang

sesuai dengan objek penelitian, yaitu: spesifik, khusus, dan berskala lokal. Selain itu, dalam

studi kasus kadang-kadang melibatkan peneliti dalam unit sosial terkecil seperti keluarga,

sekolah, perkumpulan atau komunitas.22 Kedua, metode ini juga berlaku apabila suatu

20 Ibid 21 Consuelo G. Sevilla dkk, Op.cit, hlm 73 22 Consuelo G. Sevilla dkk, ibid hlm 74

Page 22: Gerakan Sosial Film

22

pertanyaan ‘bagaiamana’ dan ‘mengapa’ diajukan terhadap seperangkat peristiwa yang

mustahil dikontrol oleh peneliti (Agus Salim, 2006: 118).

F.2 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian dalam skripsi ini dilakukan di sekretariat Komunitas Dokumenter, Jl. Sajiono no.15

Yogyakarta, tepatnya berada di sebelah utara SMA Negeri 3 Yogyakarta. Lokasi kedua adalah

tempat diselenggrakannya Festival Film Dokumenter yaitu Taman Budaya Yogyakarta

(TBY). Pencarian data di TBY dilakukan dengan cara mengikuti hampir semua kegiatan FFD,

seperti dengan menjadi peserta seminar, menonton hampir semua film di festival, atau sekedar

berbincang ringan dengan anggota panitia, peserta festival, dan para pengunjung festival.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data primer dan data sekunder. Data

primer diperoleh dari wawancara–yang lebih sering bersifat informal–dengan orang-orang di

komunitas tersebut. Sedangkan data sekunder didapat dari arsip-arsip dari setiap kegiatan

yang telah dilaksanakan oleh Komunitas Dokumenter, atau dari wawancara-wawancara

dengan orang-orang di FFD di luar panitia. Studi pustaka juga dilakukan untuk memperoleh

data sekunder dalam penelitian ini, terutama menyangkut sejarah perfilman Indonnesia.

Wawancara adalah tanya jawab lisan diantara dua orang atau lebih secara langsung.23

Pada dasarnya wawancara dalam penelitian merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh

informasi atau data dengan cara bertanya secara langsung kepada responden, narasumber, atau

pemberi informasi (informan).24 Wawancara dalam proses penelitian ini dilakukan dengan

cara membuat interview guide terlebih dahulu dengan tetap memberi ruang bagi

berkembangnya pertanyaan yang bisa saja muncul secara spontan saat wawancara

berlangsung. Para informan dalam penelitian ini adalah anggota-anggota Komunitas

Dokumenter yang saya anggap lebih ‘senior’ daripada anggota yang lain. Mereka adalah Dwi 23 M.Iqbal Hasan, MM dalam Rizky Lia Pratiwi, Pengelolaan Sampah Tinjauan Deskriptif Mendalam

Pengelolaan Sampah Berbasis Reduce, Reuse, Recycle (3R) di Kampung Cokro, Kota Yogyakarta, Skripsi,

Sosiologi UGM 2011 24 Ibid

Page 23: Gerakan Sosial Film

23

Sujanti Nugraheni, Kurnia Yudha, Surya Adi Wibowo, Alia Damaihati,Azizah Laurensia,

Krisna Putranto.

Suasana informal dan interaktif diperlukan guna memperoleh kedekatan antara peneliti

dan narasumber, sehingga dalam proses penelitian terbangun rasa akrab dan saling percaya.

Hubungan ini diperlukan agar tidak terjadi sikap defensif, yang mengakibatkan narasumber

menjadi enggan memberikan informasi.

Cara kedua yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pengamatan, dan

persinggungan langsung dengan subjek penelitian. Pengamatan ini akan difokuskan pada

tingkah laku responden (analisis kegiatan atau analisis proses).25

G. Sistematika Penulisan

Setelah mengkerangkai topik yang akan dibahas dengan konsep Gerakan Sosial Baru di Bab I

ini. Pada Bab II secara sengaja penulis tidak langsung secara tegas membedakan antara film

dokumenter dan film fiksi, meskipun pembahasannya akan mengerucut pada media film

dokumenter dan dinamikanya pasca reformasi. Penulis berusaha mengajak pembaca

bernostalgia sejenak di Bab II guna melihat bagaimana perjalanan film di Indonesia hingga

saat ini. Penelusuran sejarah film Indonesia ini dimaksudkan untuk memperlihatkan kepada

pembaca bagaimana dunia per-filman Indonesia terbentuk, bagaimana para insan perfilman

memperjuangkan kemajuan film Indonesia, juga untuk menunjukan bagaimana pemanfaatan

film di setiap rezim dan situasi sosial politik yang berbeda. Bab III akan memberikan

deskripsi kepada pembaca tentang perfilman dokumenter secara lebih komprehensif, dan

strategi-strategi yang dilakukan oleh Komunitas Dokumenter dalam membangun infrastruktur

film dokumenter.

25 Consuello G. Sevilla dkk, ibid hlm 72

Page 24: Gerakan Sosial Film

24

Pembahasan di Bab IV akan terfokus pada contoh penggunaan film dokumenter

sebagai alat untuk merespon sebuah permasalahan sosial, untuk kemudian akan disimpulkan

dalam Bab V.