KONFLIK PEMBANGUNAN DAN GERAKAN SOSIAL BARU … · Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru...

178
KONFLIK PEMBANGUNAN DAN GERAKAN SOSIAL BARU (Upaya Memahami Perubahan Identitas Gerakan dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat”) RINTO TAIB SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Transcript of KONFLIK PEMBANGUNAN DAN GERAKAN SOSIAL BARU … · Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru...

KONFLIK PEMBANGUNAN DAN GERAKAN SOSIAL BARU(Upaya Memahami Perubahan Identitas Gerakan

dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat”)

RINTO TAIB

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2010

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DANSUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Konflik Pembangunan danGerakan Sosial Baru (Upaya Memahami Perubahan Identitas Gerakan dari“Petani” menjadi “Masyarakat Adat”) adalah karya saya sendiri dengan arahankomisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruantinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yangditerbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teksdan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Rinto TaibNRP. A.152050031

iii

ABSTRACT

RINTO TAIB. Development Conflict and New Social Movement (An Effort toUnderstand the Changes of Movement Identity from Peasants to CustomCommunity Supervised by ENDRIATMO SOETARTO and FREDIAN TONNY.

Land conflict in Ternate have been in existence from the era of pre-independence to the present reform era. One example is the conflict over thedevelopment of Sultan Babullah Ternate Airport, which has victimized thepeasant communities in the village of Tafure. This srudy used a strategy ofqualitative method of research. It is intended to development of Sultan BabullahTernate Airport, examine the formation and development of new socialmovements in Ternate and its relation to the issues of environmental and socio-economic impacts as well as the issues of ulayat (custom) land and the rights ofcustom communities, and determine to what extent the peasants’ movementscould become a solution to win the peasants’ rights and at the same tme feasibleas the forum to struggle for better life of peasants.

This study found that the peasant communities initially launched proteststo get the financial compensation for the land used for the airport and then in thenext development they changed their movement identity from peasants to customcommunities. It was also found that there were some factors that triggered thebirth of the new social movement, for example lost farm land, lost housing land,disappearing acces to forest area, lost rights for custom land, lost houses orsettlement, lost sources of livelihood or incomes, lost plantation land andcemetery, etc. The emergence of the peasants’ social movement in Ternate ismotivated by equal feeling of poor life and strong desire for a change However,the management of organizational aspects have not yet fully run well such asfiling, financing, and work division. In its development, the peasant’s movementhas experienced some structural constraints, for example the weak position ofpeasants concerning the evidence of land ownership, while the cultural obstacle isthe presence of internal conflicts or divisions in the movement.

Keywords: Development conflict, New social movement, Peasant communities,Custom community.

iv

RINGKASAN

RINTO TAIB. Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (UpayaMemahami Perubahan Identitas Gerakan dari “Petani” menjadi “MasyarakatAdat”). Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO dan FREDIAN TONNY.

Paradigma pembangunan yang bersandar pada prinsip ekonomi sematayang diarahkan pada strategi trickle down effects dan economic growth olehpemerintah, ternyata tidak dapat berjalan sebagaimana teorinya. Efek-efek yangmenetes ke bawah dimana diharapkan mampu menjunjung golongan miskinternyata malah sebaliknya. Dengan mengabaikan aspek sosial budaya lokalternyata memberikan rangsangan bagi tumbuhnya Gerakan Sosial Baru yangterkait dengan kepentingan-kepentingan masyarakat lokal tidak terkecuali petani.

Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metodepenelitian kualitatif guna memperoleh data dan informasi terutama yangberhubungan tentang konflik pembangunan dan gerakan sosial baru yang terjadidi Tafure Ternate. Penelitian dilaksanakan sejak tahun tanggal 1 Juni 2007 hingga1 Juni 2010. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk memahamifaktor-faktor penyebab munculnya gerakan-gerakan perlawanan rakyatterhadap perluasan pembangunan Bandara Sultan Babullah Ternate ?,mengkaji dimensi proses terbentuk dan berkembangnya gerakan sosialbaru di Ternate serta kaitannya dengan isu-siu dampak dilingkungan,dampak sosial ekonomi dan isu-isu tentang tanah ulayat dan hak-hakmasyarakat adat ?, serta untuk mengetahui sejauh mana gerakan petanidapat menjadi solusi dalam merebut hak-hak petani sekaligus diandalkansebagai wadah perjuangan nasib petani ?

Studi ini memperlihatkan bahwa masyarakat petani Tafure Ternate yangmelakukan protes untuk menuntut ganti rugi lahan bandara kemudian dalamperkembangannya memaksa petani mereka merubah bentuk identitas gerakan dari“Petani” menjadi “Masyarakat Adat” dengan mengusung isu tuntutan ataspengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Dari hasil penelitianini ditemukan beberapa faktor pendorong lahirnya gerakan sosial baru tersebutadalah karena berbagai potensi kerugian yang dialami masyarakat sehinggamemberi ruang bagi keberlangsungan gerakan sosial yang dilakoni. Beberapapotensi tersebut adalah hilangnya tanah pertanian, hilangnya kapling rumah,hilangnya akses ke tanah hutan, hilangnya hak atas tanah adat, hilangnya rumahatau tempat tinggal, hilangnya sumber mata pencaharian/pendapatan, hilangnyalahan perkebunan, pemakaman, dll.

Proses terbentuknya gerakan sosial petani di Tafure didasarkan padapersamaan nasib dan keinginan untuk melakukan perubahan. Dalam ranah inimanajemen organisasi belum sepenuhnya berjalan dengan baik sepertipengarsipan, keuangan, dan pembagian tugas. Keberadaan organisasi gerakan inidari terbentuknya sampai perkembangan selanjutnya tidak lepas dari keterlibatankelompok pendamping non petani. Model atau tipe gerakan sosial yang dilakukanmasyarakat petani Tafure dapat dikategorikan ke dalam gerakan sosial baru.Selanjutnya dari sisi efektifitas, dalam jangka pendek organisasi gerakan petanibelum mendapat hasil yang maksimal. Tuntutannya atas pengembalian hak tanah

v

adat menemui kendala yaitu lemahnya posisi petani dalam segi bukti hakkepemilikan tanah, maupun perpecahan dalam struktur internal gerakan itusendiri. Meskipun demikian derajat radikalisme gerakan semakin mengalamipeningkatan ketika persoalan sengketa lahan tersebut digiring ke isu-isu tuntutanpengakuan dan perlindungan hak-hak atas tanah adat.

Secara strategis, penyelesaian konflik harus mengacu kepada usahauntuk memajukan, dan bukan untuk memenangkan satu pihak danmengalahkan pihak lain. Dalam konflik pembangunan bandara di Ternate,dijumpai metode penyelesaian yang mengandung bias kepentingan. Dalamkonteks ini pula maka semestinya, penyelesaian konflik patut menghindarkandiri dari berbagai bias kepentingan sebagaimana yang terjadi selama ini,sehingga resolusi merupakan keputusan yang demokratik, adil dan setara. Halini akan terwujud bila dibukanya ruang dialog bagi kedua belah pihak untukmencari jalan keluar dari persoalan yang terjadi karena hingga saat ini, prosespenyelesaiannyapun belum terwujud dan yang terjadi hanyalah “masa jedah”.

Kondisi ini dapat dipastikan bahwa pada suatu ketika konflik ini bisasaja terjadi dengan eskalasi yang lebih tinggi. Konflik yang dimaksudtersebut adalah terkait dengan tuntutan masyarakat adat untuk mendapatpengakuan dan perlindungan atas hak-hak ulayat termasuk juga hakpemilikan dan penguasaan atas tanah adat yang selama ini dipertahankan.Konflik ideologis seperti ini sulit dicari jalan keluarnya bahkan tidak akanmenemukan resolusinya kecuali oleh kehancuran ideologi salah satu pihak.Oleh sebab itu, manajemen kolaboratif merupakan pilihan pola pemgelolaanyang paling dianggap ideal bagi semua pihak.

Dinamika gerakan petani dari setiap masa menunjukkan perjalanan yanghampir senada. Pada masa Soeharto, pemerintah melakukan tekanan yang sangatkuat terhadap munculnya gerakan perlawanan petani. Tindakan ini menghambatperjuangan petani dalam menuntut hak kepemilikan atas tanahnya yang diambilalih negara sehingga setiap organisasi yang dibentuk di tingkat lokal dianggapsebagai bentuk perlawanan terhadap negara. Transformasi ideologi dan isu darituntutan ganti menjadi gerakan kultural (pengakuan hak ulayat) ini ternyatamampu mensikapi persoalan struktural yang dialami petani.

Kata Kunci : Konflik pembangunan, Gerakan sosial baru, Petani, Masyarakatadat.

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan ataumenyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atautinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentinganyang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

vii

KONFLIK PEMBANGUNAN DANGERAKAN SOSIAL BARU

(Upaya Memahami Perubahan Identitas Gerakandari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat”)

RINTO TAIB

TesisSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains padaProgram Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR2010

viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Satyawan Sunito

ix

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (Upaya

Memahami Perubahan Identitas Gerakan dari “Petani”

menjadi “Masyarakat Adat”)

Nama Mahasiswa : Rinto Taib

NRP : A.152050031

Program Studi : Sosiologi Pedesaan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MAKetua

Ir. Fredian Tonny, MSAnggota

Diketahui,

Ketua Program StudiMayor Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc. Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 12 Juli 2010 Tanggal Lulus :

x

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil’alamin !

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala

Rahmat dan Karunia-Nya. Akhirnya penulisan tesis sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan,

Sekolah Pasca Sarjana IPB selesai juga. Banyak pihak yang telah memberikan

kontribusi penyelesaian studi ini sehingga tesis dengan judul “Konflik

Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (Upaya Memahami Perubahan Identitas

Gerakan dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat”) dapat diselesaikan.

Kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang setulusnya kepada bapak

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA dan Ir. Fredian Tonny, MS., sebagai ketua komisi

pembimbing dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan

dan bimbingan kepada penulis dari penyusunan proposal hingga selesainya tesis ini.

Penulis sadari bahwa mereka berdua dengan caranya masing-masing telah mengajarkan

penulis untuk belajar konsisten dan tertib dalam menggunakan paradigma atau teori

dalam ilmu-ilmu sosial.

Ucapan terimakasih dan penghargaan setulusnya kemudian penulis

sampaikan kepada kedua orang yang telah mendidik dan membesarkan penulis yaitu

ayah Taib Hi. A. Rachman dan Ibu Djaitun S. Petta. Lebih sekedar itu, mereka berdua

secara tidak langsung telah menanamkan prinsip-prinsip memahami makna hidup ini

dalam diri penulis. Jika diri penulis ini dianggap sebagai “buah”, maka sejatinya hal

itu merupakan hasil dari “benih” yang telah engkau tanam sejak lama. Atas seluruh

doa dan ridhonya itu, penulis bersimpuh sebagai wujud terima kasih yang tak

berujung. Rifanto, Rifon, dan Rifirda, yang selalu memahami kekurangan dan

keterbatasan kakaknya, semoga kebahagiaan dan kesuksesan selalu menyertai kalian.

Penulis juga ucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan,

MSc. Agr. sebagai Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana

IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa pada

program studi yang dipimpinnya. Kepada seluruh staf pengajar pada Program Studi

Sosiologi Pedesaan IPB, penulis ucapkan terimakasih atas ilmu yang diberikan

kepada penulis baik di dalam maupun di luar berlangsungnya perkuliahan.

xi

Tak lupa kepada Dr. Satyawan Sunito, penulis menaruh rasa hormat dan

simpatik atas kesediannya menjadi Penguji Luar Komisi dan memberikan

masukan dalam proses berlangsungnya Ujian Akhir tesis ini. Penulis juga

menyampaikan terimakasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku

Utara atas kesempatan belajar yang diberikan, dan kepada Pimpinan Sekolah

Pascasarjana IPB yang telah memungkinkan penulis memperoleh dukungan dana

BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional selama dua tahun.

Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada Baginda Sultan Ternate

Drs. H. Mudaffar Syah, MSi dan Permaisuri Ratu Boki Nita Budhi Susanty sebagai

guru keduanya dengan caranya sendiri telah memotivasi penulis selama menempuh

pendidikan S2. Penulis sadari ketika berinteraksi dengan beliau berdua banyak hal

yang penulis pelajari terutama bagaimana menjadi seorang intelektual praksis dan

bersahaja dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya. Demikian pun dengan Bung

Abdon Nababan, penulis ucapkan terimakasih atas diskusi-diskusinya selama penulis

bergabung di AMAN. Terima kasih juga penulis haturkan kepada Bpk. Ir. Hein

Namotemo selaku Bupati Halmahera Utara dan sekaligus Ketua Dewan AMAN

wilayah Maluku Utara, Bpk. H. Burhan Abdurrahman, SH selaku Walikota Ternate,

Bpk. Ir. Arifin Djafar, MBA selaku Walikota Ternate sekaligus Ketua Dewan Pakar

Kesultanan Ternate, Bpk. H. Taslim Badarudin, SH. MM selaku Kabandara Sultan

Babullah Ternate, Dopolo Ngaruha Kesultanan Ternate, serta seluruh masyarakat adat

Kesultanan Ternate yang telah membantu dan berjuang bersama penulis.

Kepada informan dan responden penulis di Tafure, Tabam, Sango dan

Tarau diantaranya Bung Ely, Kimalaha Labuha, Kimalaha Payahe, Nyira Sanga

Isa, Nyira Tafure, Om Ade, Om Daud, Bung Sarmin, serta lainnya dengan tidak

menyebut satu per satu, ucapan terimakasih penulis sampaikan atas informasi dan

data yang diberikan sesuai kebutuhan penelitian. Terimakasih kepada Bapak Ilyas

Bayau beserta keluarga yang telah berkenaan meminjamkan satu kamar di

rumahnya sebagai tempat penulis untuk menyelesaikan catatan lapangan dan

beristirahat disaat merasa lelah. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih atas

segala dukungan dan bantuan langsung maupun tidak langsung dari kawan-kawan

Panpel Festival Legu Gam 2008-2010, diantaranya Bpk. Hi, Rusdi Huesn, Bung

Ridwan (Ahong), Rahmat Hidayat, Ko Min, Zain Tomagola, Marina, Opa Hama, dll,

yang tidak sempat penulis sebutkan semuanya.

xii

Begitupun penulis ucapkan terimakasih atas kebersamaan dan dukungannya

selama ini kepada teman-teman kuliah di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB (Siti

Masitoh, Awaludin Hamzah, Witra, Husen Asa’di, dan Septri). Kepada kawan-kawan

penulis yang berkiprah sebagai dosen di UMMU Ternate, serta Ucapan Terima Kasih

yang tidak terhingga kepada Bpk. Dr. Kasman H. Ahmad selaku Rektor UMMU

Ternate atas izinnya kepada penulis untuk melanjutkan studi selama ini.

Akhirnya, kepada teman-teman penulis yang tak dapat disebutkan satu per

satu, penulis ucapkan terima kasih atas masukan, saran, dan kritikannya saat bersama

penulis, terutama Bung Jusmun Moid, Msi. dll.

Last but not least, penulis ucapkan terima kasih setulusnya kepada sang

isteri tercinta beserta anak-anak kami: Nia dan Nanda (Almarhuma) Nando,

Widya, Putri, Intan, yang tidak saja memberi dukungan moril dan spirit yang

menyemangati penulis dalam melanjutkan studi di negeri seberang. Semoga

atmosfer seperti ini terus bertahan dan menjadi pijakan untuk meniti buih

perjalanan hidup yang masih panjang. Dan biarlah komitmen serta kesejatian

hidup yang akan menuntun arah perjalanan hidup ini.

Bogor, Agustus 2010

Rinto TaibNRP. A.152050031

xiii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Ternate, pada tanggal 23 Mei 1979 dari

Ayah Taib Hi. Abdurrachman, SPd dan Ibu Djaitun S. Petta, Am.Pd. Penulis

anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan dasar, hingga sekolah

menengah atas diselesaikan di Kota kelahiran. Pada tahun 1996 penulis

terdaftar sebagai Mahasiswa Sosiologi Fisipol pada Universitas Pattimura

Ambon. Tahun 1999 diterima sebagai Mahasiswa jurusan Sosiologi Fisipol

Universitas Sam Ratulangi Manado hingga memperoleh Gelar Sarjana

Sosiologi (S1) Unsrat Manado di tahun 2001.

Kegiatan penelitian ilmiah yang pernah dilakukan diantaranya:

Membangun Daerah Pasca konflik di Sulawesi Tengah, Maluku Utara &

Maluku, bersama Tim Peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga

Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta. Pernah terlibat dalam penelitian

Lapang Potensi Ekonomi (Baseline Economic Survey / BLS) dan penelitian

16 komoditi agroindusteri berorientasi ekspor (SIABE) atas kerjasama BI

bersama LP3M IPB).

Aktif menulis di berbagai media lokal diantaranya: surat kabar harian

Malut Post, Ternate Pos, tabloid kampus (Jelajah UMMU), jurnal ilmiah

ilmu-ilmu sosial (Kawasa UMMU), Cermin Reformasi serta aktif dalam

berbagai kajian, diskusi, dan seminar lokal, nasional dan internasional, baik

sebagai peserta maupun narasumber. Selain beberapa artikel yang telah

dipublikasi pada jurnal dan surat kabar juga telah di publikasi pada beberapa

buku yaitu antara lain: ”Petani dalam Pusaran Negara dan Penguasa: Catatan

Pendampingan atas Konflik Tanah Ulayat di Ternate Maluku Utara (dalam

Jalan Panjang Perdamaian: PTD-UNDP Maluku Utara, Ternate, 2007) serta

Ekspansi Kapitalisme dan Perlawanan Revolusioner Sultan Babullah (dalam

Jejak Portugis di Maluku Utara: Ombak, Yogyakarta, 2007). Menulis buku

Ternate: Sejarah, Kebudayaan dan Pembangunan Perdamaian Maluku Utara

(2008).

xiv

Di bidang seni, sebagai penanggungjawab Komunitas Seni Gumutu

(KSG) yang merupakan salah satu kelompok seni teater di Maluku Utara.

Selain aktif menjadi Tenaga edukatif (Dosen) pada Fisip UMMU Ternate,

pernah menjabat Sekretaris Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisip UMMU

Ternate, Anggota Tim Perumus Hari Lahir Kota Ternate, juga direktur

eksekutif Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

(LEPPSEK–Maluku Utara).

Rutinitas tugas dalam lembaga Kesultanan Ternate yang pernah

dilakukan adalah sebagai Ketua Semiloka Nasional Legu Gam Moloku Kie

Raha 2008 pada tanggal 12 April di Amara International Hotel. Koordinator

Seminar dan Dialog Budaya utusan Kesultanan Ternate pada Festival Keraton

Nusantara VI Gowa-Makassar 14-17 November 2008, Narasumber dalam

Serasehan Nasional Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat

berkerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI, Departemen Sosial RI dan

KOMNAS HAM, dengan topik: Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat

Hukum Adat Melalui Pemenuhan Hak-hak Konstitusionalnya, Jakarta 13-14

Desember 2008. Selain itu, sebagai Koordinator Lembaga Kebudayaan

Rakyat-Moloku Kie Raha (LEKRA-MKR), Dewan Pakar Kesultanan Ternate

sekaligus Perumus Draft Ranperda No. 13 tentang Perlindungan Hak-hak

Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan Ternate.

xv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

DAFTAR TABEL

DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR SINGKATAN

PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2. Perumusan Masalah .................................................................................... 7

1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 9

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 10

2.1. Konflik Pertanahan dan Pembangunan di Indonesia ................................ 10

2.2. Karakteristik Petani .................................................................................... 16

2.3. Masyarakat Adat ........................................................................................ 20

2.4. Analisis tentang Gerakan Sosial Baru ........................................................ 28

2.5. Hipotesis Pengarah ..................................................................................... 39

2.6. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 39

METODE PENELITIAN................................................................................... 44

3.1. Strategi Penelitian ....................................................................................... 44

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 45

3.3. Penentuan Subjek Kasus ............................................................................. 47

3.4. Teknik Pengumpulan Data.......................................................................... 48

3.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ......................................................... 49

3.6. Kesulitan yang Dihadapi ............................................................................. 50

3.7. Sistimatika Penulisan .................................................................................. 50

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN.............................................................. 52

4.1. Gambaran Umum Provinsi Maluku Utara .................................................. 52

4.2. Kondisi Geografis dan Karakteristik Lokasi Penelitian.............................. 53

4.3. Struktur Sosial Penduduk ........................................................................... 56

xvi

KONFLIK PEMBANGUNAN DAN

GERAKAN SOSIAL BARU ............................................................................ 59

5.1. Akar Konflik Maluku Utara ....................................................................... 59

5.2. Faktor-faktor Penyebab Sengketa .............................................................. 66

5.2.1. Perubahan Struktur Soaial - Ekonomi ......................................... 71

5.2.2. Dampak Lingkungan .................................................................. 76

5.3. Ikhtisar ...................................................................................................... 80

TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN

DARI PETANI MENJADI MASYARAKAT ADAT ...................................... 82

6.1. Ideologi Utama dan Aktor Pentng Gerakan Petani ................................... 82

6.2. Isu-isu yang Diusung sebagai ”Roh” Perlawanan Petani ........................... 92

6.2.1. Hak atas Tanah Adat yang Bersifat Tetap ........................................ 92

6.2.2. Hak atas Tanah Adat yang Bersifat Sementara................................. 98

6.3. Posisi Petani ditengah Pusaran Negara dan Penguasa ............................... 102

6.4. Intervensi Pemerintah, Respon Petani dan Dampak Gerakan

di Tengah Arus Kepentingan ..................................................................... 112

6.5. Ikhtisar ...................................................................................................... 122

INVOLUSI GERAKAN AGRARIA

7.1. Masa Pra Kemerdekaan .............................................................................. 124

7.2. Masa Kemerdekaan .................................................................................... 130

7.3. Infolusi Gerakan Agraria ............................................................................ 137

PENUTUP

8.1. Kesimpulan ................................................................................................ 141

8.2. Saran ........................................................................................................... 143

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Matriks Gerakan Perlawanan Petani dari Masa ke Masa ............................. 87

2. Matriks Perubahan Identitas Gerakan

dari ”Petani” menjadi ”Masyatarakat adat” ................................................. 90

3. Matriks Kapasitas Gerakan Agraria Dalam Setiap

Episode Kekuasaan Rezim ........................................................................... 138

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah ......................................... 42

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Matrriks Kebutuhan Data ............................................................................. 149

2. Panduan Pertanayaan Wawancara ................................................................. 151

3. Kuesioner Terbuka ....................................................................................... 153

4. Panduan Observas ........................................................................................ 155

5. Panduan Diskusi Kelompok Terfokus .......................................................... 156

6. Surat Keterangan Hak Cocatu ...................................................................... 157

7. Peta Lokasi Penelitian .................................................................................. 158

xx

DAFTAR SINGKATAN

A M A N : Aliansi Masyarakat Adat NusantaraB R I : Bank Rakyat IndonesiaG S B : Gerakan Sosial BaruI P : Indegeneous PeoplesN I C A : Netherlands Indies Civil AdministrationN I T : Negara Indonesia TimurR I : Republik IndonesiaR M S : Republik Maluku SelatanR I S : Republik Indonesia SerikatT N I : Tentara Nasional IndonesiaV O C : Vereenigde Oost - Indische CompagnieC D : Community DevelopmentC O : Community OrganozationD P D : Dewan Perwakilan DaerahF G D : Focus Group DiscussionH A M : Hak Asasi ManusiaL B H : Lembaga Bantuan HukumL K B H : Lembaga Konsultasi dan Bantuan HukumL S M : Lembaga Swadaya MasyarakatN G O : Non Government OrganizationP E R D A : Peraturan DaerahP P : Peraturan PemerintahS D A : Sumber Daya AlamS A M M U R A I : Solidaritas Mahasiswa Maluku Utara Untuk

Rakyat IndonesiaT P A Tempat Pembuangan AkhirU U : Undang-UndangU U P A : Undang-Undang Pokok Pembaruan AgrariaU M M U : Universitas Muhammadiyah Maluku Utara

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu konflik sosial yang mengemuka dan terjadi hampir diseluruh

pelosok republik ini adalah konflik tanah dan pembangunan, yang berkaitan

dengan penggunaan tanah untuk aktivitas pembangunan itu sendiri seperti

pembangunan lapangan terbang Sultan Babullah di Ternate Maluku Utara saat ini.

Tanah dan pembangunan merupakan dua entitas yang tak dapat dipisahkan.

Secara sederhana dapat dikatakan tak ada pembangunan tanpa tanah.

Pembangunan selalu membutuhkan tapak untuk perwujudan proyek-proyek, baik

yang dijalankan oleh instansi dan perusahaan milik pemerintah maupun

perusahaan swasta.

Dengan dalih bahwa proyek pembangunan itu adalah proyek kepentingan

nasional, maka kewajiban rakyat pemilik tanah termasuk petani dan masyarakat

adat untuk merelakan hak penguasaan mereka atas tanah demi berdirinya sebuah

proyek pembangunan. Slogan pembangunan yang masih akrab ditelinga kita

"berkorban untuk pembangunan" menjadi upaya untuk memotivasi rakyat

pemilik tanah agar rela mengorbankan, bahkan semacam kewajiban agar rakyat

tidak perlu menuntut ganti rugi yang tinggi terhadap tanah yang sudah

dicadangkan bagi sebuah proyek pembangunan. UUPA tahun 1960 telah

melegitimasi dan memberikan wewenang kepada negara untuk mengambil

keputusan, mengontrol, mengelola penggunaan dan peruntukkan tanah dan

membuat aturan mengenai hal tersebut termasuk untuk pembangunan sebuah

proyek.

Selain itu, berdasarkan ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam misalnya antara lain

menyebutkan bahwa pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus

dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: menghormati supremasi hukum

dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum,

mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya

manusia Indonesia, mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi

2

dan optimalisasi partisipasi rakyat, mengupayakan keseimbangan hak dan

kewajiban negara, pemerintah, masyarakat dan individu, melaksanakan

desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi,

kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan

pengelolaan sumber daya agraria (SDA).

Idealnya, dalam mengimplementasikan wewenang negara dalam

suatu proyek pembangunan, aparatur negara tidak boleh berbuat

sewenang-wenang. Realitas kesewenag-wenangan ini sangatlah bertolak

belakang dengan kebijakan-kebijakan penyelenggaraan negara dalam

pembangunan nasional untuk membawa rakyat Indonesia kepada

masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana selama ini dicita-citakan

oleh mayoritas rakyat di negeri ini.

Mereka perlu mengutamakan kepentingan rakyat seperti kemakmuran

dan kesejahteraannya. Bila sebaliknya maka, masalah pembangunan sangat

sulit dilepaskan kaitannya dengan kepentingan dan kekuasaan. apabila yang

terlibat dalam konflik pembangunan tersebut melibatkan massa rakyat

(petani) disatu sisi dan pemerintah (Pemda) pada sisi yang lain, meskipun

secara hukum berada pada posisi yang kuat, tapi karena tak ada daya tawar

politiknya, maka kekalahan selalu menjadi hal yang diterima oleh masyarakat

(petani).1

Pembangunan sering disamakan dengan pertumbuhan ekonomi,

dimana modal diinvestasikan melalui siklus umum produksi – distribusi

– konsumsi. Dewasa ini kita menyaksikan implementasi dari model

pertumbuhan ekonomi ini – yang biasa dikenal dengan kapitalisme -

terjadinya pemusatan kepenguasaan atas tanah yang luar biasa. Ini

berlangsung melalui dua mekanisme utama: pasar dan intervensi negara.

Intervensi negara dalam kepenguasaan atas tanah ini dapat kita lihat

pada contoh kasus perluasan pembangunan lapangan terbang bandara

1Disinilah nampaknya titik pangkal dari semua soal vang muncul dalam masalah pertanahan (DadangJuliantara dan Angger Jati Wijaya, 1995: 85). Dalam kenyataannya masalah konflik tanah untukkepentingan proyek pembangunan, sering memicu timbulnya permasalahan yang cukup kompleksadalah masalah ganti rugi yang tidak adil yang ditentukan secara paksa dan sepihak dari negara.

3

Sultan Babullah di Ternate yang terus menimbulkan posisi lain dari

pemusatan ini adalah melepasnya akses dan kontrol masyarakat petani

lokal atas tanah yang dikuasai sebelumnya.

Pengendalian ide-ide dan pelaksanaan pembangunan yang didominasi

oleh negara akhirnya menempatkan masyarakat dalam posisi yang

bersebarangan dengan negara, baik dalam makna sebagai subjek dari

pembangunan ataupun sebagai korban dari pembangunan yang dirancang

oleh negara. Termasuk didalamnya adalah segala bentuk penerimaan,

perlawanan, dan atau penolakan terhadap ide-ide pelaksanaan pembangunan

itu maupun terhadap aparatur negara.

Model kepenguasaan oleh negara tidak semata berdasar pada persoalan

sosial - ekonomi yang terkait dengan ganti rugi, melainkan pula merupakan

wujud dari model pembangunan politik otoritarian yang berkonsekuensi pada

segala macam organisasi yang memiliki akses dan kontrol terhadap tanah harus

merubah diri agar tunduk terhadap pelbagai implementasi dari otoritarianieme.

Dalam hal ini, berbagai cara yang digunakan oleh institusi politik otoritarian

adalah penggunaan instrumen hukum, manipulasi dan kekerasan. Intinya adalah

bahwa ideologi "rapid growd economy" melalui pilar utama yakni modernisasi,

melakukan delegitimasi terhadap pemilikan tanah-tanah komunal sehingga

konflik tanah antara masyarakat petani vs pemerintah hingga saat inipun belum

menemukan solusi yang dipandang adil bagi masyarakat petani.

Fenomena inilah menunjukkan bahwa praktek pembangunan dengan

menggunakan negara sebagai alat legitimasi atas kepenguasaan tanah demi

pembangunan yang sebelumnya menjadi milik masyarakat akhirnya

melahirkan konflik pembangunan yang memicu protes dikalangan

masyarakat dan memberi peluang lahirnya perlawanan rakyat “social

movement”. Meskipun mendapat tantangan dan protes dari berbagai pihak,

dalam kenyataannya sampai sekarang baik pemerintah dan pelaku

pembangunan masih dirasakan kurang adanya keberpihakan kepada

masyarakat adat pemilik tanah sehingga seringkali melahirkan lahirnya

gerakan perlawanan rakyat yang berbasiskan kaum tani sebagaimana yang

terjadi pada beberapa komunitas masyarakat di Ternate Maluku Utara saat

4

ini untuk melawan kebijakan pemerintah daerah dalam aktivitas proyek

perluasan pembangunan lapangan terbang.

Memang disadari bahwa aktivitas perluasan pembangunan bandara tersebut

juga sebagai salah satu kebutuhan akan moda transportasi yang tidak dapat

dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang dikelola dalam sistem

transportasi nasional. Pentingnya moda transportasi tersebut tercermin dari

semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta

barang dari dan ke seluruh pelosok tanah air bahkan antar negara. Di samping itu,

aktivitas perluasan pembangunan bandara tersebut juga berperan sebagai faktor

pendorong pertumbuhan daerah seperti Ternate Maluku Utara yang cukup

potensial untuk dikelola secara profesional dan optimal demi peningkatan kualitas

hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah ini tanpa mengabaikan aspek pelayanan

angkutan, keselamatan penumpang, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat serta

tidak menimbulkan dampak terjadinya konflik horizontal serta dampak ekologis

yang menyertainya. Dapat disebutkan beberapa dampak yang ditimbulkan akibat

aktivitas perluasan / pelebaran pembangunan Bandar Udara Sultan Babullah adalah

aspek sosial, budaya, ekologi dan kesehatan lingkungan bagi masyarakat adat

disekitar Bandara tersebut sehingga telah menyebabkan lahirnya gerakan sosial

sebagai manifestasi rasa ketidakpuasan masyarakat korban pembangunan tersebut.

Terkait dengan dampak ekologis dari perluasan / pelebaran pembangunan

Bandara ini, maka prinsip pembangunan berwawasan lingkungan merupakan salah

satu prinsip yang harus digunakan untuk mengukur dampak ekologis yang lebih

luas. Pengalaman pembangunan Bandar Udara di Indonesia selalu menunjukkan

bahwa setiap daerah memiliki karakteristik kewilayahan, kondisi sosial budaya

masyarakat setempat yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Sehingga perlu adanya kajian komprehensif atas setiap aspek kebijakan

pembangunan sebelum rencana pembangunan tersebut dilaksanakan. Hal ini

tentunya sangat diperlukan sebagai upaya pencegahan dini bagi munculnya konflik

horizontal bahkan tidak tertutup kemungkinan bagi berlangsungnya konflik

vertikal (antara rakyat vs negara) yang pada akhirnya semakin memperburuk

situasi yang diinginkan dari tujuan pencapaian pembangunan itu sendiri. Termasuk

didalamnya adalah adanya perhatian terhadap aspek pemberdayaan masyarakat di

sekitar wilayah Bandara tersebut sehingga menciptakan iklim kerjasama dan

5

meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga stabilitas operasional

penerbangan serta ikut memiliki akan berbagai fasilitas Bandara Udara tersebut.

Kondisi seperti ini tentunya sangat diperlukan sebagai upaya meminimalisir

terjadinya konflik akibat pembangunan itu sendiri yang telah menimbulkan

kehilangan lahan untuk bertani dan hilangnya hak ulayat mereka. Hal ini tentunya

harus diperhatikan karena dalam konteks kehidupan masyarakat tani,

pembangunan adalah kondisi eksternal yang menekan mereka sehingga seringkali

menimbulkan pemberontakan-pemberontakan atau memunculkan gerakan-gerakan

petani. Seperti pernah dikataakan oleh Landberger atau Alexandrov bahwa

permulaan suatu gerakan petani tidak hanya dengan sendirinya mewakili suatu

perubahan, tetapi merupakan suatu konsekuensi dari perubahan yang

mendahuluinya seperti halnya setiap kejadian historis. (Fauzi, 1997: 69). Segala

bentuk penerimaan, perlawanan dan penolakan masyarakat terhadap pembangunan

proyek fisik tersebut menyangkut hubungan sekelompok orang dengan tanahnya

yang merupakan tanggapan atas kebijakan negara yang menimbulkan perubahan-

perubahan struktur penguasaan, pemilikan dan penyewaan tanah, perubahan dalam

distribusi pendapatan dan status sosial dikalangan masyarakat setempat.

Segala tanggapan itu bisa ditempatkan sebagai bentuk tanggapan

masyarakat lokal terhadap perkembangan sosial masyarakat yang lebih luas

dan telah dipenuhi unsur-unsur budaya, politik dan ekonomi dominan. Disini

negara berperan sebagai agen inovatif dari perubahan dan juga berperan

sebagai agen perantara dan penetrasi unsur-unsur budaya, politik dan ekonomi

dominan, atau negara dan aparatusnya memiliki suatu kepentingan tersendiri

atas perubahan tersebut yang tidak harus sejalan atau mencerminkan aspirasi

rakyat, malah seringkali bertentangan dengan aspirasi dan kepentingan rakyat

sebagaimana yang terjadi di Ternate Maluku Utara.

Diketahui bahwa pihak pemerintah daerah propinsi dalam pembebasan

tanah tidak dilakukan secara jual beli biasa dengan berpatokan pada harga

umum yang berlaku merata di masyarakat, tetapi ditentukan secara sepihak

tanpa musyawarah dengan warga masyarakat pemilik tanah, dan dasar acuan

penetapan harga dasar tanah adalah harga dasar tanah yang ditetapkan oleh

pemerintah daerah propinsi yang nilainya sangat rendah yaitu sebesar Rp.

15.000,00 (lima belas ribu per meter) dengan jumlah total luas tanah yang

6

disengketakan adalah seluas + 1. 400.53..666 Ha. (satu juta empat ratus lima

puluh tiga ribu enam ratus enam puluh enam hektar).

Hal ini dianggap masyarakat tidak sesuai dengan harga yang berlaku

umum dipasaran. Dan rakyat pemilik tanah tidak berdaya menghadapinya,

karena posisi mereka baik secara ekonomi maupun politik lemah dalam

negosiasi/tawar menawar. Meskipun demikian, mereka tetap menuntut

pengambilalihan hak atas tanah mereka melalui tuntutan ke lembaga

legislatif dan eksekutif, baik ditingkat daerah maupun ketingkat pusat

(Jakarta), selain melakukan aksi-aksi protes lainnya hingga mewujud

gerakan sosial yang mendapat dukungan perluasan jejaring antara warga

masyarakat setempat dengan gerakan-gerakan yang bertujuan sama yaitu

para aktivis Ornop dan elemen mahasiswa, (dalam terminologi Touraine

disebut sebagai gerakan sosial baru) 2.

Dengan demikian maka, proses berlangsungnya gerakan sosial

masyarakat adat sesungguhnya merupakan indikator bahwa masyarakat adat

kini semakin kritis terhadap gejala perubahan, serta makin tinggi kesadaran

kritisnya dalam setiap fenomena sosial disekelilingnya, maka pembangunan

yang berkesinambungan dapat terwujud apabila masyarakat dapat

mendukung sepenuhnya, dan dukungan itu muncul apabila mereka

merasakan manfaat positif dari pembangunan tersebut terutama yang terkait

dengan pemenuhan kebutuhan hidup mendasar.

Gejala ini sangat menarik untuk diteliti, karena terlihat adanya paradoks

antara gambaran ideal yang ingin dicapai dengan kenyataan yang terjadi

dalam masyarakat. Masyarakat yang seharusnya mendukung pembangunan

atau ikut bangga dengan adanya lokasi proyek pembangunan yang berada

2Touraine (dlm. Victor Silaen, 2006: 30) mendefinisikan gerakan sosial baru sebagai gerakan sejumlahwarga masyarakat yang secara budaya terlibat dalam konflik sosial, yang tujuan dan strateginyamemiliki pertalian sosial dan rasionalitas sendiri. Fungsi mereka tak dapat dipahami dalam logikatatanaan kelembagaan yang ada, karena fungsinya yang menyimpaang benar-benar merupakantantangan bagi logika itu dan mentransformasikan hubungan sosial yang dicerminkan dandiperkuatnya. Sebagai perbandingan, Larana dkk. mengidentifikasi cirr-ciri gerakan sosial baru adalah:1). mentransendensikan struktur kelas; 2). memperlihatkan kemajemukan gagasan dan nilai-nilai; 3).memfokuskan pada isu budaya dan simbolik yang terkait dengan identitas daripada ekonomi; 4).hubungan antara individu dan ekonomi menjadi kabur; 5). melibatkan segi-segi pribadi dan keakrabanhidup manusia; 6). semangat anti kekerasan dan pembangkangan sipil; 7). terkait dengan krisiskredibilitas dan ruang partisipasi; 8). cenderung tersegmentasi, kabur dan terdesentralisasikan.

7

didaerahnya, ternyata bersikap sebaliknya, yaitu menentang secara terang-

terangan. Hal ini dapat ditelusuri dengan mengkaji faktor-faktor penyebab

konflik sosial apabila dikaitkan dengan rumusan masalah dalam penelitian

ini. Selain itu, yang menarik dari penelitian ini adalah peran lembaga adat

(Sultan) yang mampuh berperan sebagai figur netral ditengah upaya

masyarakat adat untuk mendapatkan hak-hak atas tanahnya. Sekali lagi perlu

diketahui bahwa tanah tersebut merupakan tanah milik Kesultanan (status

tanah adat) yang diberikan kepada masyarakat untuk diolah sebagai lahan

pertanian, sarana perumahan dan kebutuhan lainnya. Dalam posisinya

sebagai Sultan, rakyat seolah mendapatkan kekuatan khususnya dalam hal

penguasaan/pemilikan atas tanah, karena tidak ada pihak manapun termasuk

negara yang bisa mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya.

Hal ini terbukti ketika berlangsungnya beberapa bentuk aksi

masyarakat dalam menyuarakan aspirasi dan tuntutannya ke pihak

pemeerintah, terkesan seolah ”meminta restu” terlebih dahulu dari Sultan.

Namun disatu sisi, sang Sultan juga adalah anggota DPD-RI bersama

permaisurinya sebagai anggota DPR RI. Keberadaannya dalam instrumen

alat negara yang demikian, seringkali terkesan memperlemah corak

perlawanan dan pola hubungan yang terjalin diantara gerakan perlawanan

masyarakat lokal.

1.2. Perumusan Masalah

Berbagai penelitian telah dilakukan berbagai pihak untuk menemukan

penjelasan rasional dan ilmiah tentang latar munculnya gerakan masyarakat

adat. Sebuah pertanyaan besar yang selalu menjadi menarik atas persoalan

ini adalah mengapa masyarakat adat yang tinggal jauh dari daerah kota yang

sangat bersahaja dalam hidupnya menjadi kelas sosial yang sangat gigih dan

tak henti-hentinya melakukan gerakan perlawanan terhadap sistem

kekuasaan. Industrialisasi pembangunan ternyata turut menyumbang kepada

marjinalisasi masyarakat adat dan menaikkan jumlah masyarakat tani tak

berlahan. Dengan kata lain, hal ini tidak terlepas dari mekanisme

pelaksanaan kebijakan agraria yang bertumpu pada industrialisasi

pembangunan dan bersumber dari ideologi pertumbuhan ekonomi.

8

Pelaksanaan industrialisasi dan pembangunan tersebut akhirnya harus

berhadapan secara langsung dengan masyarakat adat yang memiliki basis

ekonomi bertani. Kebijaksanaan pembangunan selama ini telah menciptakan

adikuasa-adikuasa ekonomi dan persaingan bebas yang mengakibatkan

penindasan dari kelompok ekonomi kuat terhadap yang lemah, kecemburuan

sosial dan disparitas pendapatan yang tinggi di antara kelompok masyarakat.

Berbagai kebijakan negara dengan diterapkannya sistem yang sentralistis

dan yang menolak prinsip kerakyatan, telah mematikan semangat rakyat di

daerah untuk mampuh membuat keputusan sendiri; bahkan selanjutnya,

kebijaksanaan yang terpusat dan represif itu telah menciptakan rasa suka dan

tidak suka di antara rakyat, serta menimbulkan potensi konflik dikalangan

rakyat. Ekspresi konflik pembangunan di Ternate misalnya menunjukkan

bahwa dimensi persoalan pemanfaatan tanah demi pembangunan, sudah

tidak cukup hanya dipahami sebagai persoalan sengketa tanah “an sich”.

Sengketa tanah mengandung dimensi sistem ekonomi, politik, hukum dan

ekologi dalam akses dan kontrol atas tanah. Selain itu, konversi tanah pertanian

rakyat di Ternate yang menjadi lapangan terbang ini telah menyebabkan

perubahan struktur sosial ekonomi yaitu terhapusnya sumber mata pencaharian

dan perubahan struktur budaya lokal yang ditandai dengan hilangnya hak ulayat.

Dengan demikian maka lahirnya gerakan sosial juga merupakan wujud situasi

psikologis mereka ketika tatanan kehidupannya diperhadapkan dengan krisis

struktural dan kultural tersebut diatas. Atas dasar hal tersebut, maka

pertanyaan pokok yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana faktor-faktor penyebab munculnya gerakan-gerakan

perlawanan masyarakat terhadap perluasan pembangunan Bandara Udara

Sultan Babullah Ternate ?

2. Bagaimana proses terbentuk dan berkembangnya gerakan sosial baru di

Ternate serta kaitannya dengan isu-isu dampak lingkungan, dampak

sosial ekonomi dan isu-isu tentang tanah ulayat dan hak-hak masyarakat

adat ?

3. Sejauh mana gerakan petani dapat menjadi solusi untuk merebut hak-hak

petani sekaligus diandalkan sebagai wadah perjuangan nasib petani ?

9

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini

adalah untuk menjawab ketiga pertanyaan penelitian tersebut, yaitu:

1. Memahami faktor-faktor penyebab munculnya gerakan-gerakan

perlawanan rakyat terhadap perluasan pembangunan Bandara Udara

Sultan Babullah Ternate ?

2. Mengkaji dimensi proses terbentuk dan berkembangnya gerakan

sosial baru di Ternate serta kaitannya dengan isu-siu dampak

dilingkungan, dampak sosial ekonomi dan isu-isu tentang tanah

ulayat dan hak-hak masyarakat adat?

3. Mengetahui sejauh mana gerakan petani dapat menjadi solusi merebut

hak-hak petani sekaligus diandalkan sebagai wadah perjuangan nasib

petani ?

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab ketiga pertanyaan

penelitian tersebut, dengan harapan, apabila faktor-faktor penyebab

munculnya gerakan-gerakan perlawanan rakyat terhadap aktivitas

pembangunan sebagai respon atas permasalahan tersebut dapat dijawab,

maka konflik-konflik pembangunan berbasis masyarakat petani/adat versus

negara dikemudian hari dapat dikurangi.

Tujuan khusus penelitian ini ingin menjelaskan suatu gejala sosial yang

disebut gerakan sosial, baik dari segi struktur internal, proses terjadinya hubungan

dengan gerakan lainnya sehingga kita dapat menyelami kehendak masyarakat dan

pada gilirannya dapat lebih mengoptimalkan manfaat pembangunan bagi seluruh

lapisan masyarakat. Selain itu juga, dari sudut pandang akademik, kegiatan

penelitian ini juga bermaksud untuk mengembangkan teori-teori yang sudah ada

khususnya teori-teori gerakan sosial.

Peneliti akan berusaha membangun teori dari bawah tanpa melepaskan

dari kerangka teori yang sudah ada, sebab tanpa berpijak dari teori yang

sudah ada, maka peneliti bisa kehilangan arah. Bertolak dari teori gerakan

sosial yang sudah ada, peneliti berusaha membuat kategori, untuk melihat

apakah gerakan sosial masyarakat Tafure Ternate tersebut dapat dimasukkan

sebagai bentuk gerakan sosial baru atau bukan. Titik tolaknya adalah dengan

melihat ciri-ciri yang melekat pada gerakan sosial pada umumnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konflik Pertanahan dan Pembangunan di Indonesia

Dalam penelitian Ngadisah tentang Gerakan Sosial Politik di Papua

digunakan alur kesinambungan sebuah gerakan sosial, dari adanya konflik, ke

gerakan protes/perlawanan menuju terbentuknya gerakan sosial dan selanjutnya

berkolaborasi dalam gerakan politik. Ngadisah mengibaratkan seperti pohon,

gerakan sosial berasal dari suatu kondisi ketegangan sosial yang berperan sebagai

“lembaga” yang berpotensi menjadi “pohon” dengan sistemnya sendiri, yang bias

timbul, berkembang, atau mati.

Dalam kasus Mimika, kondisi yang melandasi timbulnyagerakan sosial adalah konflik yang sudah ada sebelumPTFI berdiri, kemudian bertambah kompleks (rumit)dengan kedatangan perusahaan pertambangan tersebut.Konflik ini diibaratkan sebagai akar dari “pohon” gerakansosial, protes ibarat sebagai batang dan gerakan adat ibaratranting dan daun. Puncak pertumbuhan gerakan sosialadalah terbentuknya kelompok kepentingan atau gerakanpolitik.

Permasalahan sengketa tanah dalam kasus pembangunan bandara antara

masyarakat tani Tafure dengan pihak Bandara Sultan Babullah Ternate tidak

lepas dari terjadinya konflik antara dua pihak. Konsep tentang konflik akan

digunakan peneliti untuk secara mendalam mencermati apa saja hal yang menjadi

harapan-harapan petani dan bagaimana keterbatasan kemampuan mereka dalam

mewujudkan harapan tersebut, sehingga akan diketahui sumber penyebab

terbentuknya gerakan petani di sana. Berikut ini peneliti akan menguraikan

tentang teori konflik. Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih

(individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-

sasaran yang tidak sejalan1.

1 Chris Mitchell dalam Simon, dkk., Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi UntukBertindak, Zed Books, Responding To Conflict (RTC), hal.4.

11

Teori transformasi konflik2 berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh

masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai

masalahmasalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini

adalah:

1. Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan

ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi.

2. Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-

pihak yang mengalami konflik.

3. Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan

pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.

Teori konflik dialektis3 meliputi point-point berikut ini:

1. Kepincangan pada distribusi sumber daya akan mempengaruhi keleluasaan

bagian-bagian suatu sistem sosial untuk mengungkapkan konflik kepentingan.

2. Kesadaran bahwa keabsahan sistem yang ada tidak mampu memenuhi

kebutuhan mereka. Adanya rasa rugi pada suatu golongan dan golongan yang

lebih rendah menyadari bahwa ada konflik kepentingan dengan para pihak

yang menguasai sebagian besar sumber-sumber daya yang tersedia. Hal itu

menyebabkan ketegangan yang terjadi dalam situasi masyarakat yang

dirugikan, perasaan terasing, kemampuan warga masyarakat untuk saling

berhubungan, dan kemampuannya untuk mengembangkan suatu ideologi

yang mempersatukan. Faktor-faktor tersebut memungkinkan mereka bersatu,

diperkuat dengan konsentrasi ekologis dan kesempatan mendapatkan

pendidikan.

3. Kelompok subordinat dalam sebuah sistem menyadari tentang kepentingan

kolektif dan upaya besar menjamin keabsahan pada distribusi sumber daya

yang terbatas, maka mereka bergabung dalam konflik terbuka melawan

kelompok dominan. Hal itu disebabkan oleh tidak adanya kemampuan

kelompok dominan untuk memanifestasikan kepentingan kolektif,

kesenjangan pada kelompok subordinat dari landasan absolut ke landasan

yang relatif, dan kemampuan kelompok subordinat untuk mengembangkan

struktur kepemimpinan politik.

2 Ibid., Simon Fisher, hal. 9.3 Baca uraian menurut Jonathan H. Turner dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini,

Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi, Sinar Grafika, 1988,hal.66-67.

12

4. Peningkatan kesatuan ideologi anggota kelompok subordinat pada sebuah

sistem, akan lebih mengembangkan struktur kepemimpinan politik mereka,

dan lebih dapat menentang kelompok dominan dan menundukkan sistem.

5. Upaya menentang dominan dan menundukkannya, meningkatkan kekerasan

dalam konflik.

6. Kehebatan konflik, akan mengakibatkan perubahan struktur dalam sistem dan

kemajuan pada redistribusi kelangkaan sumber daya.

Selanjutnya Georg Simmel mengembangkan teori konflik fungsional,

menurutnya terjadinya konflik tidak terelakkan dalam masyarakat. Simmel lebih

mengutamakan akibat-akibat konflik daripada perubahan sosial. Simmel menganggap

konflik sebagai pencerminan dari pertentangan kepentingan maupun naluri untuk

bermusuhan. Naluri demikian dapat meningkat karena ada pertentangan atau kurang

karena hubungan serasi maupun kasih sayang4.

Dalam proposisi-proposisi mengenai intensitas konflik, Simmel menyatakan

bahwa hakekat organisasi kelompok dan konteks struktural yang lebih luas dari

konflik akan mempengaruhi intensitas konflik. Namun dalam proposisi-proposisi

mengenai fungsi konflik. Simmel menyatakan bahwa intensitas konflik menyebabkan

terjadinya perubahan pada organisasi kelompok-kelompok yang bertikai, sehingga

meningkatkan perbedaan pola-pola organisasi dalam keadaan yang berbeda5.

Dalam sebuah paradigma gerakan yang semakin berkembang saat ini.

Proposisi-proposisi dari Simmel akan membantu dalam memahami realita pergeseran

karakteristik maupun orientasi gerakan akibat konflik dalam suatu sistem sosial.

Penguatan intensitas konflik akan mendorong terjadinya perubahanperubahan

paradigma gerakan untuk merealisasikan esensi dan tujuan gerakan. Simmel juga

mengadakan visualisasi terhadap suatu proses umpan balik resiprokal, suatu

organisasi kelompok pada titik tertentu menentukan intensitas konflik, yang

mempengaruhi organisasi kelompok, yang kemudian mempengaruhi konflik-konflik

selanjutnya, sehingga salah satu pihak atau pihak ketiga mampu mengakhiri konflik

tersebut. Dalam proses yang merupakan siklus umpan balik itu, suatu taraf intensitas

konflik yang tinggi menyebabkan terjadinya demarkasi batas-batas kelompok yang

jelas, kepemimpinan despotis apabila sebelumnya terjadi disintegrasi kelompok.

4 Ibid, Soerjono Soekanto, hal. 70.5 Ibid, Soerjono Soekanto, hal. 73.

13

Kecuali itu juga akan terjadi solidaritas internal apabila kelompok itu kecil dan

merupakan minoritas, serta kalau kelompok itu dalam posisi mempertahankan diri6.

Teori konflik dalam sosiologi mendapat banyak pengaruh dari tesis-

tesis oleh Marx tentang perkembangan masyarakat. Marx memandang

perkembangan masyarakat sebagai sebuah keniscayaan sejarah yang disebut

Materialisme Historis (Giddens, 1986). Di dalam doktrin materialisme

historis dinyatakan bahwa perkembangan masyarakat merupakan dialektika

(thesis-antiteis-sintesis) dari pertentangan-pertentangan internal yang berasal

dari mode of production. Mode of production inilah yang disebut sebagai

basis material yang terdiri dari dua tiang (Johnson dlm. Agusta, 2000).

Pertama, relation of production yang berupa hubungan sosial ekonomi yang

terjadi antara produsen dan non produsen dalam produksi ekonomis. Kedua,

Force of Production yang meliputi bahan mentah, perkakas dan instrumen,

dan pembagian kerja teknis. Jika tidak ada pembagian kerja teknis maka

disebut Means of production (alat-alat produksi).

Konflik dalam masyarakat terbentuk karena distribusi kewenangan:

(autaority) yang tidak merata. Kewenangan tidak melekat pada pribadi tetapi

pada sejumlah posisi. Atas dasar asusmsi tersebut maka, masyarakat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok super ordinat dan subordinat.

Proses sosial berlangsung atas kontrol dan paksaan pihak yang sedang

berkuasa terhadap yang subordinat. Kepentingan kelompok ordinat ialah

memelihara status quo sedangkan bagi kelompok subordinat adalah

perubahan. Semua orang yang berada dalam kelompoknya mempunyai

kepentingan dan perasaan yang sama untuk melakukan perubahan.

Dalam pandangan sosiologi Marx, konflik agrarian yang tersebar

merata di Indonesia sejak masuknya bangsa eropa yang dipahami sebagai

sengketa antar cara produksi di dalam formasi sosial kapitalis. Nuansa

konflik agrarian merupakan determinasi konflik cara produksi kapitalis

dengan subsisten manakala alat produksi yang dikuasai petani, yaitu tanah,

diambil alih oleh pihak pemerintah ataupun swasta untuk usaha komersial.

6 Ibid, Soerjono Soekanto, hal. 73.

14

Pemilikan dan penguasaan tanah merupakan faktor penting dalam setiap

masyarakat, apa pun model sistem sosial-ekonomi-politik yang dianut di

dalamnya. Kenyataan ini mendorong masyarakat untuk mempertahankan

hak-hak atas tanah dari setiap intervensi pihak luar termasuk negara. Dengan

dasar ini maka, seringkali terjadi persoalan pembangunan dan sengketa tanah

di Indonesia dengan melibatkan berbagai elemen negara baik pusat maupun

daerah. Dengan sendirinya setiap usaha pihak luar termasuk negara untuk

memiliki atau menguasai hak atas tanah di dalam suatu wilayah komunitas

lokal maka akan mendapat perlawanan dari masyarakat setempat, dan konflik

secara terbuka atau tersembunyipun tidak dapat dielakkan.

Mengenai lingkup agrarian, Sitorus membedakan menjadi objek agraria

dan subjek agrarian (Sitorus dalam Suhendar et al, 2002: 34-39). Objek

agrarian terdiri dari tanah, air, hutan, bahan tambang, dan udara. Dengan

objek inilah hubungan sosial ekonomi terbentuk menjadi kegiatan pertanian,

perikanan, perhutanan, pertambangan, dan kedirgantaraan. Sedangkan subjek

agrarian adalah pemanfaat sumber-sumber agrarian yang terdiri dari

komunitas (rumah tangga), pemerintah (wakil Negara), dan swasta

(perusahaan).

Ketiga subjek tersebut diatas merupakan gejala umum yang

menggambarkan bagaimana struktur anatomi permasalahan konflik

pembangunan dan sengketa agraria di Indonesia. Akan tetapi untuk kasus

Ternate, perlu kami tambahkan satu unsur lagi dalam pemerintahan (wakil

negara) yaitu pemerintahan kerajaan atau kesultanan sebagai insrumen

terpisah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara (dalam arti formal).

Pemisahan ini perlu dilakukan karena secara de jure maupun de facto,

eksistensi penyelenggaraan pemerintahan kesultanan Ternate dalam tatanan

masyarakat lokal hingga kini masih terus berlangsung pada segi yang lain,

terdapat juga peran negara.

Kenyataan ini seolah menunjukkan bahwa praktek negara bayangan

(shadow state)7 melalui penyelenggaraan pemerintahan kesultanan disatu sisi

7baca, Latar Historis: Otoritas Kesultanan Ternate dan Model Birokrasi Negara Bayangan

”shadow state”.

15

dan pemerintahan negara (RI) menjadi penyebab meluasnya dimensi

permasalahan petani dan masyarakat adat di daerah ini. Hubungan sosial

diantara unsur-unsur (subjek) tersebut membuahkan sengketa yang bernuansa

budaya, sosial, ekonomi dan politik, bahkan secara ideologis. Sebagaimana

dijelaskan oleh Aditjondro (Aditjondro dlm. Fauzi, 1999: 7-8) bahwa

ekspansi konflik agrarian sudah tidak bisa dipahami sebagai sengketa tanah

an sich. Sengketa tanah adalah akumulasi sengketa yang mendasar berupa

sengketa antar sistem ekonomi, mayoritas-minoritas, rakyat versus negara.

Menurut Fauzi (1997), bahwa pengambilan tanah-tanah rakyat demi

pembangunan, dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penggusuran

dengan menggunakan kekerasan, penaklukan dan manipulasi ideologis

dengan cara-cara yang melanggar HAM. Beberapa cara yang sering

dilakukan untuk melepaskan hak penguasaan dan pemilikan tanah rakyat

antara lain adalah: a). Membuat kecelakaan massal seperti kebakaran, yang

kemudian wilayah tersebut tidak diijinkan lagi untuk dibangun oleh penghuni

yang lama; b). Mengembangkan calo-calo tanah yang beroperasi dari rumah

ke rumah yang lain, yang berisiko pada rendahnya perolehan harga pelepasan

hak atas tanah; c). Melakukan intimidasi, teror dan kekerasan fisik secara

langsung maupun tidak langsung, seperti menjadikan lokasi daerah yang akan

dibebaskan sebagai lokasi latihan perang-perangan bagi militer atau

melakukan tindak kekerasan pada salah satu tokoh masyarakat yang paling

keras mempertahankan hak-hak mereka atas tanah; d). Pemancangan pelang,

pematokan tanah, perataan tanah, dan pembuldoseran yang akan dijadikan

area proyek; e). Melakukan delegitimasi penguasaan tanah yang tidak

mempunyai bukti sertifikat formal atau mendelegitimasi sertifikat yang telah

dimiliki warga; f). Menetapkan ganti rugi tanah secara sepihak; g).

Memanipulasi tanda tangan persetujuan untuk pelepasan hak atas tanah; h).

Memberikan stigma sosial dan politik (seperti pemberian kode ET-Eks Tapol

atau PKI) dan mematikan hak-hak perdata rakyat yang berusaha

mempertahankan tanah yang akan diambil untuk kepentingan proyek; i).

Mengembangkan program bedol desa atau transmigrasi massal mereka yang

tanahnya diperluaskan untuk proyek-proyek raksasa.

16

2.2. Karakteristik Petani

Petani adalah seseorang, laki-laki maupun perempuan, yang secara sendiri,

sebagai bagian dari sebuah rumah tangga yang selanjutnya disebut sebagai

keluarga batih dan yang ikut tinggal satu atap dan makan satu dapur, sebagai

bagian dari paguyuban, maupun kelompok masyarakat hak adat, baik yang diam

di negara RI sebelum beradanya - sebagai kesatuan administrasi dan politik

maupun sesudahnya, memiliki maupun menguasai, mengawasi maupun

mengelola dan mengerjakan sebagai buruh, mengolah maupun mengembangkan

sumber-sumber daya agraria dengan tenaga kerja serta daya cipta pikirannya dan

asupan-asupan lainnya, sehingga menghasilkan sebagian maupun seluruh

kebutuhan-kebutuhan hidup, yang digunakan untuk melangsungkan maupun

mengembangkan diri dan keturunannya, dengan cara dikonsumsi, disimpan

maupun ditukarkan dengan berbagai kebutuhan lainnya, agar semakin

meningkatkan kelayakan hidupnya, semakin memberikan arti akan keberadaannya

sebagai manusia, serta menjaga kelestarian lingkungan dan keanekaragaman

hayati karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Pembagian petani di Indonesia dalam berbagai pengertian, sebagai berikut:

1. Petani pemilik penggarap, yang memiliki mengelola sendiri (dengan

tenaga keluarga dan/atau tenaga upahan dari luar) lahan pertaniannya.

2. Petani penyewa penggarap, yang menguasai lahan pertanian dari menyewa

dan mengelola sendiri (dengan menggunakan tenaga keluarga dan/atau

tenaga upahan dari luar) lahan pertaniannya tersebut.

3. Petani penggarap, yang menguasai lahan-pertanian berdasarkan hak

menggarap (menyakap) dengan perjanjian “bagi hasil” yang telah

disepakati dengan pemilik dan mengelola sendiri (dengan tenaga keluarga

sendiri dan/atau tanpa tenaga upahan dari luar) lahan pertaniannya

tersebut.

4. Petani pemilik bukan penggarap, yang memiliki lahan pertanian tetapi

tidak mengelolanya sendiri karena beberapa sebab seperti: disewakan,

digadaikan, disakapkan atau dibagi-hasilkan.

17

5. Buruh tani atau petani tak bertanah, yang hidup atau mata pencaharian

pokoknya dari sektor pertaniannya tetapi ia sendiri tidak memiliki dan/atau

menguasai sebidang tanah pun8.

Sejarah pemilikan tanah di Indonesia modern setidaknya telah dimulai

kira-kira abad ke-19. Itu menyangkut sejarah negosiasi di antara negara dan

masyarakat tentang pemilikan dan pengelolaan tanah. Pihak lain yang semakin

banyak mempengaruhi negosiasi ini adalah perusahaan-perusahaan transnasional

dalam era Orde Baru. Pemerintah Indonesia, meminjam perspektif James C. Scott

dengan ‘simplifikasi negara’ negara cenderung melegalisasi dan meregulasi

pengelolaan dan penguasaan tanah yang terlalu ketat dan seragam untuk

kepentingan sendiri, di tengah kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-

beda karena pluralitas kebudayaan9.

Dalam konteks struktural, Scott mengkaji tentang hubungan negara

dengan gerakan perlawanan petani sebagai berikut: “struktur agraris yang rapuh

dan eksplosif pada umumnya merupakan produk interaksi antara tiga kekuatan:

perubahan demografis, produksi untuk pasar, dan pertumbuhan negara. Arah

perkembangan demografis-pertambahan penduduk, okupasi semua tanah

pertanian-memperlemah kedudukan petani terhadap orang-orang yang menguasai

tanah…peranan negara sebagai pemaksa-kekuatan untuk memaksa pelaksanaan

kontrak-kontrak melalui pengadilan dan untuk mematahkan perlawanan kaum

tani-memungkinkan para pemilik tanah dan rentenir untuk merenggut

keuntungan-keuntungan yang sebesar-besarnya dari kedudukan mereka yang lebih

kuat10.

Peristiwa perlawanan petani di berbagai daerah pada era Orde Baru maupun

sesudahnya menunjukkan petani bukan masyarakat yang diam dan pasif. Revolusi

dapat mengalir dan berkekuatan besar di kalangan petani pedesaan dan menentukan

arah perubahan masyarakat. Kegagalan teori modernisasi pembangunan dalam

8 Totok Mardikanto, dan Sri Sutami, Pengantar Penyuluhan Pertanian:Dalam teori danPraktek, Lembaga Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (LSP3), Hapsara, Surakarta,1982, hal. 54-55

9 Dalam Anu Lounela dan R. Yando Zakaria, Berebut Tanah: Beberapa Kajian BerprespektifKampus dan Kampung, Insist, Jurnal Antropologi UI, Karsa (Lingkar untuk Pembaruan Desadan Agraria), 2002, hal.7

10 James Scott, Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, LP3ESJakarta, 1981, hal. 300.

18

menjalankan tugasnya sebagai pemicu gerakan adalah akar pemikiran sosial untuk

memahami revolusi dan realitas politik petani (sebagai kekuatan di masyarakat yang

acap diandaikan terbelakang tersebut).11

Penelitian mengenai gerakan petani menggunakan tiga pendekatan, yaitu

pendekatan moral-ekonomi, pendekatan historis dan pendekatan ekonomi-politik.

Pendekatan perspektif moral-ekonomi dipelopori oleh Wolf (1969), Scott

(1976), dan Migdal (1974). Pendekatan moral ekonomi menghubungkan gerakan

perlawanan petani dengan ancaman terhadap subsistensi atau keamanan

kesejahteraan mereka selama periode perubahan berlangsung. Pendekatan ini

secara jelas menginterpretasikan gerakan perlawanan petani yang dianggap

sebagai reaksi definitif terhadap penetrasi kapitalis untuk melindungi struktur

sosial ekonomi prakapitalis yang mereka miliki, secara nyata memberikan

kesejahteraan dan ketentraman kepada mereka. Masuknya kapitalisme pada suatu

komunitas petani ditentang keras, karena selain dianggap mengancam kepentingan

ekonomi mereka, juga dianggap akan mengancam pranata-pranata sosial budaya

yang mereka miliki. Menurut Wolf12:

“Peasant are averse to risk and focus on avoiding drops, noton maximizing profits. Opportunities for gain will beeschewed if such opportunities even slightly increase thechance of failing below the subsistence line”

Konsep yang tidak kalah pentingnya digunakan oleh pendekatan moral

ekonomi dalam menjelaskan gerakan petani adalah konsep struktur sosial dan

relasi social ekonomi yang terdapat pada masyarakat ini secara horizontal ditandai

oleh homogenitas yang tinggi dan secara vertikal ditandai oleh struktur yang

berbentuk kerucut. Dalam struktur kerucut ini, posisi puncak strata sosial diduduki

oleh kaum elit yang berjumlah sedikit, sedangkan struktur bawah yang jumlahnya

cukup banyak diduduki oleh petani penggarap dan buruh tani.

11Robert H. Bates dalam Zainuddin Maliki, Penaklukan Negara Atas Rakyat: Studi ResistensiPetani Berbasis Religio Politik Santri Terhadap Negarisasi, Gadjah Mada University Press,1999,hal. 33.

12 Wolf, E.J., Peasant Wars of Twentieth Century, New York: Harper & Rowy, 1969, hal 280,dalam Basrowi dan Sukidin, Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, InsanCendikia, 2003, hal. 2.

19

Dalam struktur masyarakat seperti ini, faktor kepemimpinan memegang

peranan penting, sedangkan jabatan pemimpin diduduki kelompok elit yang

berada pada posisi puncak dari struktur sosial vertikal yang ada tersebut.

Mengingat pentingnya faktor kepemimpinan dalam gerakan perlawanan petani ini

diasumsikan tidak akan dapat terjadi bila tidak ada pemimpin yang

menggerakkannya13.

Menurut Azhar bahwa status kepemilikan tanah merupakan kepemilikan

komunal atau kolektif. Status kepemilikan ini sebenarnya hanya ada pada tingkat

ideasional semata, sedangkan dalam praktiknya sebagian besar tanah yang ada

dikuasai oleh para tuan tanah. Namun karena hubungan produksi yang terjalin

antara tuan-tuan tanah dengan para petani penggarap dan buruh tani tidak

didasarkan pada perhitungan ekonomis semata, tetapi juga melibatkan aspek

spiritual, sosial, dan kultural di dalamnya, maka status kepemilikan tanah menjadi

kabur. Kekaburan inilah yang kemudian dipersepsikan sebagai milik bersama.

Dari penjelasan yang telah dikemukakan, dapat dilihat terdapat dua aspek pokok

yang menjadi pemicu gerakan petani menurut pendekatan moral ekonomi, yaitu:

1). gerakan ini merupakan reaksi defensif terhadap perubahan yang dianggap akan

mengancam kelangsungan hidup para petani yang berbeda dalam kondisi

subsisten dan 2) dalam gerakan petani, faktor pemimpin gerakan merupakan

faktor kunci dan pemimpin gerakan ini biasanya berasal dari kalangan elit desa

atau patron. Tanpa adanya pemimpin ini, gerakan para petani sulit terjadi14.

Dalam berbagai konflik pertanahan yang terjadi, umumnya rakyat yang

kehidupannya sangat tergantung sepenuhnya pada sumber daya alam

sekitarnya, seperti petani selalu berada pada posisi yang lemah. Fenomena

persoalan pembangunan dan konflik pertanahan di Indonesia hingga saat ini,

menurut Scott (1989, seperti dikutip Endang Suhendar & Yohana Budi

Winarni, 1998: 5) ialah munculnya kekuasaan negara serta semakin

merasuknya jeratan kapitalisme dan komersialisasi yang merupakan ancaman

terhadap pola subsistensi petani. Sementara kekuatan politik masyarakat

masih sangat lemah, akan menyebabkan konflik kepentingan untuk

menguasai sumber daya agraria.

13 Ipong S. Azhar, Radikalisme Petani…, Op.Cit., hal. 16-17.14 Ibid., hal.18.

20

Kondisi inilah yang mendorong lahirnya berbagai bentuk protes dalam

wujud gerakan sosial masyarakat petani sebagai perlawanan terhadap

kekuatan elit-elit pembangunan dan dominasi “negara”. Peran lainnya dari

aktor elit ditingkat lokal adalah LSM dan gerakan mahasiswa yang

menjadikan isu-isu pembangunan dan globalisasi sebagai alat untuk

membangkitkan kesadaran rakyat dari dominasi kekuatan dominan dan

eksploitasi kaum marginal.

Analisis sosial yang dijadikan pintu masuk penyadaran masyarakat tani

diarahkan pada kepentingan menganalisis kebijakan politik dan ekonomi

lokal yang berdampak pada meluasnya dimensi persoalan yang dihadapi.

Nilai-nilai yang ditanamkan pada masyarakat lokal melalui LSM dan gerakan

mahasiswa ini adalah ide-ide advokasi hukum, HAM dan pembebasan dari

jeratan kapitalisme yang menindas. Dengan demikian maka dapat

digambarkan bahwa anatomi dan pola hubungan antara elit pembangunan

baik ditingkat lokal maupun nasional cenderung bersifat konfliktual yang

melibatkan masyarakat petani lokal sebagai korban yang selalu dirugikan.

2.3. Masyarakat Adat

Masyarakat adat adalah istilah yang dipopulerkan oleh Ornop

(organisasi non pemerintah) di Indonesia untuk menterjemahkan kosa kata

"indigenous peoples / IP", sebuah istilah yang digunakan oleh ILO sebagai

sebutan bagi entitas "penduduk asli". ILO memang telah menaruh

perhatian terhadap isu IP sejak 1950-an. Dan perbincangan tentang

indigenous peoples semakin mendunia, setelah World Bank (WB) mulai

menjadikannya sebagai salah satu isu pokok dengan mengeluarkan

Operational Manual Statement (1982) serta Operational Directive (1991).

World Bank mendefenisikan indigenous peoples sebagai: "spektrum

kelompok sosial yang luas (meliputi indigenous ethnic minorities, tribal

groups, dan schedules tribes), yakni kelompok yang memiliki sebuah

identitas sosial dan kultural yang dapat dibedakan dari masyarakat

dominan, yang membuat mereka tidak diuntungkan dalam proses

pembangunan."

21

Di Indonesia, istilah indigenous peoples mulai diperkenalkan pada

pertemuan bertajuk "Lokakarya Pengembangan Sumberdaya Hukum

Masyarakat Adat Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam di dalam

Kawasan Hutan", tanggal 25 - 29 Mei 1993 di Toraja, Sulawesi Selatan.

Lokakarya menyepakati "masyarakat adat" sebagai terjemahan indigenous

peoples, serta merumuskan defenisi "masyarakat adat" sebagai "kelompok

masyarakat yang memiliki asal-usul (secara turun temurun) di wilayah

geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi,

sosial budaya dan wilayah sendiri". Rumusan defenisi inilah yang

digunakan kalangan Ornop sampai sekarang.

Akan tetapi belakangan, defenisi tersebut nampaknya mulai mendapat

kritikan, karena: Pertama, defenisi itu dinilai terlampau umum sehingga

menyulitkan pemakaiannya secara deduktif dalam pengalaman empirik;

Kedua, defenisi tersebut terkesan memahami masyarakat adat sebagai sesuatu

yang statis dan final, sehingga seolah-olah tidak mengalami pertumbuhan dan

perkembangan; Ketiga, dengan mengedepankan karakteristik "ketersendirian"

(sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, sosbud dan wilayah sendiri),

gerakan masyarakat adat bisa terjebak pada orientasi yang netral, yakni tidak

adanya orientasi keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu, misalnya keadilan

dan demokrasi.

Dari perspektif sosio-ekologis, kritik diatas cukup logis, karena entitas-

entitas masyarakat adat di Indonesia yang tergabung dalam jaringan Gerakan

Masyarakat Adat di bawah payung Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

(AMAN), ternyata cukup beragam dan menunjukkan dinamika perkembangan

yang berbeda-beda. Secara garis besar, entitas masyarakat adat tersebut dapat

dikelompokkan ke dalam 4 tipe:

Pertama, kelompok Masyarakat Kanekes di Banten dan Masyarakat

Kajang di Sulawesi Selatan, yang menempatkan diri sebagai "pertapa bumi".

Mereka percaya bahwa mereka adalah kelompok masyarakat "terpilih" yang

bertugas memelihara kelestarian bumi dengan berdoa dan hidup prihatin.

Pilihan hidup prihatin mereka dapat dilihat dari adat bertani, berpakaian, pola

konsumsi, dan lain-lain;

22

Kedua, kelompok masyarakat Kasepuhan dan masyarakat Suku Naga.

Kelompok ini pada dasarnya cukup ketat dalam memelihara dan menerapkan

adat-istiadat, tetapi masih membuka ruang yang cukup luas bagi adanya

hubungan-hubungan "komersil" dengan dunia luar;

Ketiga, kelompok masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam

(hutan, sungai, laut, dan lain-lain) dan mengembangkan sistem pengelolaan

sumber daya alam yang unik, tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat

untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan

masyarakat Kanekes maupun Kasepuhan. Masuk dalam kelompok ketiga ini,

antara lain: Masyarakat Dayak dan Penan di Kalimantan; Masyarakat Pakava

dan Lindu di Sulawesi Tengah; Masyarakat Dani dan Deponsoro di Papua

Barat; Masyarakat Krui di Lampung; dan Masyarakat Haruku di Maluku;

Keempat, kelompok masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan

pengelolaan sumber daya alam yang "asli" sebagai akibat dari penjajahan

yang telah berkembang selama ratusan tahun. Termasuk dalam kategori

kelompok ini adalah Masyarakat Melayu Deli yang bermukim di wilayah

perkebunan tembakau di Sumatera Utara. Mereka menyebut dirinya sebagai

rakyat penunggu.

Dari empat tipe kelompok masyarakat adat tersebut, tiga tipe kelompok

yang disebut pertama, boleh dibilang adalah kelompok masyarakat yang oleh

UU Kehutanan No. 41/1999 disebut sebagai "Masyarakat Hukum Adat",

yakni kelompok masyarakat yang masih memenuhi unsur-unsur: (a)

masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechts-gemeenschap); (b)

ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; (c) ada wilayah

hukum adat yang jelas; (d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya

peradilan adat, yang masih ditaati; (e) masih mengadakan pemungutan hasil

hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-

hari.17)

Sedangkan khusus untuk masyarakat adat yang masuk dalam tipe

kelompok ketiga, oleh Keputusan Presiden No. 111/1999 dan Keputusan

Mensos No. 67/2000, disebut sebagai "Komunitas Adat Terpencil" (KAT),

yakni kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang

23

atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi

maupun politik. Ciri-cirinya: (a) berbentuk komunitas kecil, tertutup dan

homogen; (b) pranata sosial bertumpu pada lembaga kekerabatan; (c) pada

umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau; (d) pada

umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten; (e) peralatan dan

teknologi sederhana; (f) ketergantungan kepada lingkungan dan sumber daya

alam setempat relatif tinggi; (g) terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi

dan politik. Eksistensi komunitas adat sesungguhnya telah tercantum dalam

sejumlah instrumen hukum nasional, meskipun disadari masih mengundang

banyak tafsir. Karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang secara eksplisit

mengatur berbagai hak yang melekat pada komunitas adat sebagai bagian

dari warga negara Indonesia.

Negara haruslah melindungi hak-hak masyarakatnya atas tanah. Dalam

kaitan ini, Prof. Dr. Soentandyo Wignjosoerbroto menulis ”Pengakuan oleh

negara atas hak-hak tanah masyarakat tani/adat pada hakekatnya adalah suatu

refleksi kesediaan para pengemban kekuasaan negara untuk mengakui

eksistensi masyarakat adat yang otonom. Dan kemudian juga untuk mengakui

hak-hak masyarakat itu atas tanah dan segenap sumber daya alam yang ada

diatas dan / atau di dalam tanah itu yang bernilai vital, untuk menjamin

kelestarian fisik dan non fisik masyarakat tersebut. 15

Jelas bahwa hak-hak ulayat setiap persekutuan hidup lokal demikian

merupakan basis materi dari hak-hak adat. Jadi bukan pada satu “kategori

kebudayaan”, atau “sub kebudayaan”, atau “etnisitas”, sebagaimana yang

banyak disalahtafsirkan selama ini. Dengan demikian, pengakuan dan

perlindungan atas hak-hak masyarakat adat tidaklah akan mengancam

kedaulatan Negara terlebih jika dikhawatirkan selama ini akan mengancam

keutuhan Negara atau menciptakan disintegrasi bangsa adalah merupakan

sebuah asumsi yang keliru karena hak masyarakat adat tidak terkait pada unit

otonomi kedaerahan, kategori budaya tertentu maupun etnisitas tertentu.

15Prof. Dr. Soentandyo Wignjosoerbroto (2003), Kebijakan Negara untuk mengakui atau tidakmengakui Eksistensi Masyarakat Adat. Berikut Hak-hak atas Tanahnya. Dalam Yando Zakaria(2003), Gelombang Perlawanan Rakyat: kasus-kasus gerakan sosial di Indonesia, Jogyakarta-Insist Press.

24

Dengan demikian, maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa

pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat atas tanah akan

mengancam integrasi nasional. Malah, jika mencermati gejala-gejala gerakan

sosial ditingkat akar rumput sebagai protes atas berbagai bentuk kebijakan

pertanahan oleh Negara dalam beberapa kurun waktu belakangan semenjak

bergulirnya era reformasi demokrasi 1998. Dalam konteks ini, penegasian

hak-hak masyarakat adat itulah yang menjadi titik pangkal munculnya

sentiment “anti Negara” seperti yang selama ini terjadi di beberapa daerah

bahkan di Jakarta sehingga pada taraf lebih lanjut seiring dengan menguatnya

peran sipil ketika berhadapan dengan Negara maka akan menjadi sebuah

kesadaran politik bersama di tingkat etnis yang bukan saja menjadi “bom

waktu” bagi munculnya konflik antara “masyarakat etnis” sebagai wujud

konflik horizontal melainkan juga menguatnya jaringan “melawan” Negara

yang merupakan manifestasi akumulasi konflik vertikal selama ini. Tentunya

kondisi seperti ini harus dihindari. Dengan kata lain, masyarakat adat telah

memiliki modal sosial dari budayanya sendiri. Baik untuk mempertahankan

kehidupannya, bahkan untuk menciptakan masa depan yang lebih sejahtera

dimasa-masa yang akan datang.

Maka, penegasian orgaisasi desa yang sejati dalam upaya menciptakan

masa depan yang lebih sejahtera sebagaimana dipraktekkan sejak

berkuasanya rezim Orba dalam program pembangunan hingga saat ini adalah

merupakan sebuah bentuk penghancuran terhadap berbagai sistem sosial

budaya lokal yang merupakan modal sosial sekaligus sebagai kekuatan

pembangunan itu sendiri sehingga jelas-jelas merugikan bagi eksistensi

masyarakat adat pada umumnya.

Jika realitas ini terus berlangsung maka, akan terbukti kekhawatiran

Prof. Soetandyo, bahwa “pembangunan” sebagai upaya menjadikan the old

tradisional societies (komunitas-komunitas masyarakat adat) sebagai a new

modern state (Negara-bangsa Indonesia) haruslah lebih berorientasi pada

upaya transformatif dan tidak transplantatif) misalnya, sebagaimana yang

dicirikan oleh penerapan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa)

Sebab, transplantasi yang bukan transformatif ini serta merta

25

mensubordinasikan the old societies itu ke bawah kontrol-kontrol the new

state, yang dengan segala tindakannya hampir selalu bermuatan politik dan

ekonomi daripada bermuatan motif sosial dan kultural. Akibatnya,

“pembangunan” yang hakekatnya untuk menciptakan kehidupan (seluruh

warga) menjadi lebih sejahtera, berjalan tanpa peduli pada dampak-dampak

yang destruktif pada tatanan-tatanan sosial dan budaya komunitas-komunitas

lokal. Terutama sekali komunitas masyarakat Adat.16 Dari segi kepentingan

pemerintah pusat, UU No. 5 Tahun 1979 tersebut jelas-jelas membawa

manfaat. Penetrasi pemerintahan pusat pada daerah-daerah pedesaan di

Indonesia, khususnya pada desa-desa di luar Jawa menjadi sangat nyata.

Keseragaman struktur desa bagi seluruh desa juga menguntungkan

pemerintahan pusat. Karena keseragaman itu memudahkan pemerintah pusat

untuk melakukan pembinaan dan fungsi pengawasan terhadap pemerintah

desa di seluruh Indonesia tanpa terkecuali. Sementara itu, masyarakat adat

justeru merasakan dampak perubahan yang begitu hebat akibat penerapan

Undang-undang tersebut, diantaranya:

1 Corak kesatuan territorial wilayah; hal ini kemudian terkait pada

property right; dan wewenang pengaturannya (misalnya pelepasan

hak berada ditangan Kepala Desa, manipulasi dan perseteruan antara

Kepala Desa dengan pimpinan adat atau dengan warga desa bukan

suatu yang jarang terjadi).

2 Corak persekutuan dan kesatuan sosialnya pun berubah. Ini secara

langsung berpengaruh pada mekansme sosial bagi penciptaan

solidaritas sosial.

3 Karena sebagai mesin sosial, desa mengalami perubahan nilai,

norma, hukum yang menjadi pedoman warga (dulu diciptakan

sendiri, sekarang menggunakan sesuatu yang sebenarnya asing,

sehingga tidak dimengerti, masyarakat menjadi teralienasi dan

menjadi warga yang merasa inferior-karena pengetahuan sendiri

ternyata tidak baik, terbukti dari tidak diakuinya dalam sistem

16Ibid

26

pemerintahan dan proses-proses pembangunan yang berlangsung.

Kondisi seperti ini jelas menimbulkan sikap-sikap “ekstrim” seperti

apatis, dispartisipatif, dan radikal kritis terhadap pembangunan dan

pemerintah, baik yang ada di daerah maupun di pusat. Sikap-sikap

tersebut biasa muncul secara terbuka dan mudah ditengarai atau

tersembunyi, yang sewaktu-waktu muncul sebagai persolan yang

sulit untuk dikendalikan.

4 Sistem nilai yang dipaksakan berlaku dan diterima oleh masyarakat

adat berdasarkan hukum nasional (tertulis) dirasakan tidak

memberikan rasa keadilan. Misalnya, program pemukiman kembali

dan regrouping (desanisasi) yang memberikan tanah bagi

pendatang, yaitu 2 ha untuk berkebun, 0,25 Ha untuk tapak rumah, 6

x 6 m Rumah, 0,25 lahan pertanian pangan. Pembagian ini dirasa

tidak adil karena masyarakat adat harus merelakan tanah-tanah

pribadi dan komunal yang lebih luas dan menjamin kelangsungan

hidupnya. Sementara luas tanah bagian yang baru tidak cukup untuk

memberikan jaminan atas kelangsungan hidupnya. Sebaliknya para

pendatang umumnya dari petani miskin di pulau Jawa yang tidak

memiliki tanah dianggap oleh masyarakat adat memperoleh tanah

yang bukan miliknya tetapi berasal dari kepemilikan adat atau

pertuanan.

5 Corak organisasi sosial desa khususnya dari aspek pemerintahannya,

perangkat pengaturannya, kepemimpinan, corak mekanisme-

mekanisme pengambilan keputusan dalam berbagai hal, termasuk

dalam penyelesaian perselisihan antara warganya.

6 Proses pemilihan pemimpin (termasuk persyaratannya); perangkat

pemerintahan; mekanisme / orientasi pertanggungjawaban (dulu ke

bawah berubah menjadi keatas); dan implikasinya pada corak /

sumber legitimasi pemimpin dalam komunitasnya.

7 Hilangnya pengetahuan-pengetahuan (termasuk sistem pengobatan)

dan teknologi yang arif terhadap lingkungan; akibatnya tekanan

pada SDA menjadi besar. Hal ini diperparah oleh kebijakan

27

pembangunan dalam pengadaan pangan yang “bias padi”. Sehingga,

karena dianggap inferior, bahan makanan non padi yang dikenal

masyarakat ditinggalkan (seperti ladang Sagu, dll).

Sebagai konsekuensi logis dari terjadinya perubahan tersebut maka, hal

ini sering menimbulkan konflik yang terus bergulir hingga mewujud pada

sebuah gerakan sosial. Gerakan sosial selalu dipahami sebagai wujud

perubahan dari bawah dimana dimulai antara tanggapan rakyat luas dari elit

sosial dan politik. Bagaimanapun gerakan sosial bisa juga digerakkan oleh

pimpinan untuk menciptakan solidaritas serta komitmen. Tipe gerakan sosial

menurut Harper adalah gerakan secara umum serta gerakan spesifik. Dalam

hal ini Harper ingin mengatakan bahwa salah satu variabel penyebab

perubahan sosial dalam suatu masyarakat adalah melalui gerakan sosial.

Gerakan perlawanan rakyat terkadang juga kurang memberi kesan akan

pentingnya peranan sebuah organisasi gerakan dalam mewujudkanya

melainkan bisa terjadi secara spontan dan sporadis. Hal ini merupakan

sebuah reaksi atas terganggunya struktur sosial, ekonomi dan kultur dalam

masyarakat. Secara sepintas, protes yang timbul hanya berkisar pada motif

ekonomi, khususnya mengenai ganti rugi tanah. Namun tidak mustahil bahwa

dibalik motif tersebut, ada terkandung motif sosial dan budaya. Akhirnya,

sasaran pembangunan yang mestinya mendatangkan kebahagiaan dan

kesejahteraan masyarakat malah melahirkan kesengsaraan, penderitaan, dan

ketdakpuasan yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan protes,

atau gerakan-gerakan perlawanan sebagai respon terhadap persoalan-

persoalan yang lahir dari proyek pembangunan sebagaimana lahirnya gerakan

sosial baru (GSB) masyarakat adat Tafure Ternate dalam sengketa

pembangunan dan perluasan terminal bandara Sultan Babullah Ternate saat

ini. Singkat kata, jika persalan konflik tanah yang selalu melekat dengan isu-

isu pembangunan tidak segera dituntaskan secara serius maka, rakyat negeri

ini akan terus berada pada kondisi ketidakstabilan sosial, politik dan

ekonomi.

28

2.4. Analisis tentang Gerakan Sosial Baru

Konon, menurut “ramalan” para futurolog, bahwa awal abad XXI ini

adalah era kebangkitan gerakan-gerakan rakyat. Artinya arus perubahan tidak

lagi tergantung kepada kepiawaian para agen perubahan yang senantiasa

merujuk pada kelompok elit suatu masyarakat melainkan melalui aksi-aksi

perlawanan gerakan rakyat yang terorganisasikan. Hal ini tentu saja bukan

tak berdasar.

Paling tidak, sejak dasawarsa 70-an pada abad XX silam, gerakan-

gerakan rakyat menandai perubahan-perubahan yang terjadi terutama di

Amerika Latin, Afrika dan Asia. Bangkitnya kekuatan rakyat kulit hitam di

Afrika Selatan dibawah Nelson Mandela berhasil mentransformasikan negeri

itu dari rezim apartheid yang dikutuk dunia, menjadi negara yang

menjunjung tinggi rekonsiliasi antara ras-ras yang bertentangan. Di Asia,

kekuatan rakyat menentang rezim otoriter telah menghadirkan Korea Selatan

yang maju dan demokratis, diikuti oleh people power yang menumbangkan

diktator Marcos dan mengubah wajah Filipina. Di ndonesia, kendati

reformasi masih bergulir setengah hati, Soeharto dengan Orbanya bisa

ditumbangkan oleh reaksi kolektif gerakan rakyat hingga kini beragam

agenda reformasi tersebut masih terus diperjuangkan termasuk diantaranya

agenda reforma agraria.

a. Definisi gerakan sosial

Blumer menyatakan gerakan sosial sebagai suatu kegiatan bersama untuk

menentukan suatu tatanan baru dalam kehidupan17. Kemunculan gerakan sosial

ditandai adanya kegelisahan akibat kesenjangan antara nilai-nilai harapan dan

kenyataan hidup sehari-hari. Maka itu, suatu kelompok masyarakat mendambakan

tatanan hidup yang baru, dengan membentuk sebuah gerakan yang terorganisir.

David F. Aberle mengatakan gerakan sosial adalah suatu usaha yang

terorganisir oleh sekelompok manusia untuk menimbulkan perubahan di hadapan

tekanan manusia lainnya. Hal ini dibedakan dari usaha-usaha individu secara murni

serta dibedakan pula dari aksi kerumunan. Gerakan yang demikian ini

17 Herbert Blumer, Social Movements, dalam Studies in Social Movements, edited by BarryMcLaughlin, New York: The Free Press, 1969, hal.8.

29

diklasifikasikan menurut jumlah perubahan (total atau parsial) serta menurut tempat

perubahan tertentu (pada sistem individu atau pada sistem supra induvidu tertentu) 18.

Ritzer dan kawan-kawannya19 mengidentifikasi bahwa ada lima karakteristik

yang terdapat pada suatu gerakan, yaitu:

1. Suatu gerakan melibatkan sebagian besar individu yang berusaha memprotes

suatu keadaan. Agar dapat dikategorikan sebagai suatu gerakan, maka usaha

sejumlah individu tadi harus memiliki persyaratan dasar dari suatu

organisasi.

2. Suatu gerakan harus mempunyai skope yang relatif luas. Gerakan tersebut

mungkin berawal dari skope yang kecil, tetapi akhirnya harus mampu

mempengaruhi sebagian warga masyarakat.

3. Gerakan tersebut dapat menggunakan berbagai macam taktik untuk

mencapai tujuannya. Taktik-taktik tadi bervariasi dari yang sifatnya tidak

menggunakan kekerasan sampai dengan yang menggunakan kekerasan.

4. Meskipun dalam gerakan didukung oleh individu-individu tertentu, namun

tujuan akhir dari gerakan tersebut adalah merubah kondisi yang ada pada

masyarakat.

5. Gerakan tersebut merupakan suatu usaha yang secara sadar dilakukan untuk

mengadakan perubahan, dan bagi mereka yang terlibat didalamnya mungkin

tidak menyadari segala tindakannya tetapi mereka tetap mengetahui tujuan

utama dari gerakan tadi.

Untuk memperinci suatu reaksi kolektif tergolong gerakan sosial

digunakan empat analisis, yaitu:

1). Tingkat kesadaran bersama tentang nasib yang dialami.;

2). Tingkat kolektivitas aksi baik dalam keluasan lingkup maupun

tingkat koordinasi dan organisasi aksi. Ukuran yang diajukan adalah

“kurang lebih“ tersebar meluas dan dimulai dari tingkat koordinasi

rendah sampai organisasi kompleks;

3). Memiliki orientasi instrumental dan ekspresif. Orientasi

instrumental berupa tujuan definitif diluar realitas aksi itu sendiri

18 David F. Aberle, A Clasification Of Social Movement, Aldine Publishing AberleCo;Chicago, 1996, hal 315 lihat juga Tom Bottomore, Sosiologi Politik, Bina Aksara, Jakarta,1983, hal 29-30.19

Dalam Haryanto, Gerakan Sosial Politik, Op.Cit.

30

seperti dalam penguasaan tanah. Orientasi ekspresif merupakan

wujud orisinil setiap aksi, seperti pembakaran sertifikat tanah.

Kedua orientasi itu melekat secara bersamaan dalam sebuah gerakan

sosial masyarakat serta kondisi yang memperlancar gerakan;

4). Tingkat eksklusifitas atas kerendahan status sosial, ekonomi dan

politik. Basis kerendahan status ini terkadang bercampur dengan motif

etnisitas/keagamaan yang kemudian menjadi ideologi anutannya.

Gerakan sosial sebagai kombinasi prinsip identitas, oposisi, dan

totalitas, dimana aktor sosial mengindentifikasikan diri mereka secara sosial.

Identifikasi diri ini menurut Laclau & Mouffe melihat bahwa hegemoni akan

muncul dalam situasi antagonisme dan menciptakan pertarungan hegemonik

di antara kelompok sosial yang melakukan resistensi. Langkah selanjutnya

adalah setiap aktor akan memahami identitas mereka melalui hubungan

antagonistik, karena antagonisme mengidentifikasikan musuh mereka.

Sebagai contoh, fakta bahwa masyarakat petani yang memiliki karakteristik

kultural yang cukup kental (adat) yang ”dirampas” tanahnya oleh negara

telah melahirkan hubungan antagonisme sehingga membuat masyarakat

petani (masyarakat adat) tersebut menganggap institusi “negara” beserta

aparaturnya sebagai musuh mereka, dan mengonstruksi identitas mereka.

Menurut CL Harper, (1989) bahwa gerakan sosial dapat dibedakan dari

bentuk-bentuk sosial lain sebab: (1) mereka selalu berada di luar kerangka

kelembagaan dalam kehidupan sehari-hari serta (2) terdapat beberapa

orientasi cara ke arah sebuah tingkat perubahan sosial.

b. Tahap perkembangan gerakan sosial

Dalam membahas muncul dan berkembangnya suatu gerakan digunakan konsep

‘value-added’ yang kemukakan oleh Smelser. Smelser menyatakan bahwa terdapat

enam tahapan dalam perkembangan suatu gerakan, meliputi: a) structural

conduciveness, b) structural strain, c) growth and spread of a generalized belief, d)

precipitating factors, e) mobilization of participants for action, and f) application of

social control. Enam tahap tersebut menunjukkan tahapan dari awal kemunculan

suatu gerakan sampai dengan berhasil atau tidaknya gerakan tersebut.

31

Berdasarkan konsep Smelser, enam tahapan tersebut dipadatkan menjadi lima

tahapan sebagai berikut: 20

Pertama: Pernyataan spontan tentang ketidakpuasan bersama. Suatu gerakan

berawal ketika orang merasa tidak puas terhadap struktur sosial yang ada. Sebagian di

antara mereka kemudian mengelompokkan diri dan menyatakan pandangannya

tentang ketidakpuasannya. Pada tahap ini suatu gerakan masih menampakkan diri

sebagai tindakan bersama yang bersifat spontan. Fungsi esensial dari tahap ini adalah

untuk menarik perhatian massa yang diharapkan dapat memberikan dukungan bagi

berlangsungnya suatu gerakan.

Kedua: Pemilihan pimpinan gerakan. Tahap ini berawal ketika beberapa

individu menyatakan bahwa perubahan yang diusulkan mempunyai peluang untuk

berhasil. Mereka ini biasanya akan berperan sebagai pimpinan gerakan, dan sebagai

pimpinan mereka mulai memberi arah bagi mempengaruhi tindakan para

pengikutnya. Adapun fungsi yang essensial dari tahap ini adalah diterimanya

beberapa individu sebagai pimpinan gerakan.

Ketiga: Transformasi tindakan tidak berstruktur menjadi tindakan terorganisir.

Tahap ini juga sering disebut sebagai periode pengorganisasian dan perencanaan.

Sehubungan dengan hal tersebut peran pemimpin pada tahap ini menjadi sangat

penting. Pimpinan harus mampu merumuskan tujuan gerakan secara menyeluruh, dan

mampu pula merumuskan tujuan-tujuan antara yang membimbing tercapainya tujuan

akhir dari suatu gerakan. Pada tahap ini pimpinan harus mampu merubah tindakan

yang spontan dan tidak terorganisir menjadi suatu gerakan yang teratur dan terarah

dengan baik. Selama periode ini pimpinan harus mampu memperkirakan berapa besar

dukungan yang diperlukan bagi berhasilnya gerakan, harus mampu

mengidentifikasikan masalah-masalah yang diperkirakan akan muncul sepanjang

perjalanan gerakan dan menetapkan strategi dalam menyelesaikannya, menetapkan

peran dan posisi dalam gerakan beserta orang-orang yang bertanggungjawab dalam

peran tadi, dan lain-lain tindakan yang dapat memberikan jaminan bagi berhasilnya

gerakan yang dipimpinnya. Ada pun esensi dari tahap ini adalah upaya yang

dilakukan oleh pimpinan gerakan untuk mentransformasikan tindakan yang spontan

dan tidak berstruktur menjadi tindakan yang lebih terarah dan terorganisir.

20 Haryanto, Ibid., hal.7.

32

Keempat: Konfrontasi dengan ‘lawan’ gerakan. Pada tahap ini gerakan sampai

pada puncak keseriusan dalam mengajukan tuntutan dan kepentingannya, serta

berupaya demi diterimanya tuntutan tadi. Pada periode ini gerakan berada dalam

posisi aktif melakukan tindakan untuk berhadapan dengan ‘lawannya’, yaitu pihak-

pihak yang akan mengalami kerugian apabila kondisi ‘status quo’ yang ada

diguncang oleh gerakan. Tahap ini dapat merupakan suatu periode yang singkat

apabila gerakan dan ‘lawannya’ dapat dengan segera menyelesaikan permasalahan

yang dihadapi; dan merupakan periode yang panjang apabila keduanya sama-sama

mempunyai kekuatan yang seimbang dan tidak ada pihak yang bersedia untuk

mengolah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Esensi yang ada pada

tahap ini adalah bahwa gerakan dalam posisi ‘action’ berhadapan dengan ‘lawannya’

dan berupaya memaksakannya untuk memenuhi tuntutan dan kepentingannya.

Kelima: Pencapaian hasil. Tahap ini merupakan periode di mana dapat

disaksikan apakah gerakan mampu atau tidak mencapai sasaran tujuan yang telah

dicanangkan sebelumnya. Dengan berakhirnya suatu gerakan, masyarakat akan

mengadaptasi pola tindakan yang baru yang muncul dari ‘persaingan’ antara gerakan

dan ‘lawannya’. Jika gerakan sukses biasanya diperlukan waktu yang cukup untuk

menyebarluaskan pola tindakan yang baru ke seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi

jika gerakan tidak berhasil, biasanya akan diikuti dengan tindakan pembubaran diri

dari para partisipan gerakan, dan tidak tertutup kemungkinan mereka akan

merumuskan kembali tujuan yang telah ditetapkan serta mencoba meraihnya melalui

gerakan yang baru sama sekali. Ringkasnya, tahap ini merupakan periode di mana

gerakan mampu atau tidak mencapai tujuannya.

Dalam perkembangan gerakan sosial hingga saat ini, terdapat tiga tipe

gerakan sosial. Singh21 menjelaskan secara garis besar tipe gerakan sosial, yaitu tipe

klasik, neo-klasik dan gerakan sosial baru. Pertama: Tipe klasik. Gerakan sosial tipe

klasik dilatarbelakangi oleh adanya pertentangan ideologi yaitu antara ideologi

Kapitalis dan Marxis. Faktor pendorong utama gerakan ini adalah dominasi para

pemilik modal atas kaum buruh, di mana berbagai sarana produksi dikuasai oleh

kaum pemodal. Dominasi ini melahirkan kemiskinan dan kesengsaraan bagi kaum

buruh. Tokoh gerakan ini, Karl Marx menganjurkan cara revolusi untuk memulihkan

hak-hak kaum proletar. Sasaran akhir perjuangannya adalah terciptanya masyarakat

21 Dalam Ngadisah, ibid., hal. 297.

33

tanpa kelas. Kedua: Tipe Neo-klasik, beberapa ciri menonjol dalam gerakan sosial

tipe ini adalah:

1. Berada dalam kerangka dialektis Marxis, yang dielaborasi dalam formasi

kelas, historis materialistis dan materialisme deterministis.

2. Gerakan dilandasi oleh rangsangan–rangsangan emosional seperti:

kegelisahan, kegembiraan, stress dan ketergantungan, sehingga melahirkan

perilaku spontan.

3. Ada nuansa politis, karena ada unsur perlawanan terhadap kelas tertentu.

4. Para aktor yang melibatkan diri dalam gerakan bukan orang-orang yang

secara objektif kekurangan.

Faktor pendorong terjadinya gerakan adalah ketimpangan kekuasaan yang

telah melahirkan ketegangan struktural. Ketimpangan terjadi karena ada dominasi

dari salah satu pihak yang melahirkan pula ketegangan status dan perasaan terampas

secara relatif (deprivasi relatif). Isue perjuangan yang dikembangkan adalah: harga

diri, revitalisasi dan munculnya “Ratu Adil”. Metode perjuangannya adalah dengan

pengerahan massa (crowd, riot, rebellion) atau aksi kolektif

Ketiga: Tipe gerakan sosial baru (New Social Movement). Sasaran

perjuangannya adalah membangun “Civil Society”, sedangkan faktor pendorong

utama gerakan ini adalah kontrol atau campur tangan negara yang terlalu besar atas

rakyatnya. Kontrol yang ketat yang telah mempersempit ruang publik dan untuk

membukanya perlu dikembangkan wacana otonomi dan kebebasan individu,

kolektivitas dan identitas. Beberapa ciri yang melekat pada gerakan ini antara lain:

1. Tidak mengikatkan diri pada ideologi tertentu.

2. Bersifat transnasional.

3. Menghasilkan “ends”

4. Aktor-aktor non-segmental, berasal dari grass root segala segmen.

5. Menolak pendekatan “collective behavior”

6. Organisasi dan komunikasi canggih (information is power).

7. Melawan diskriminasi

34

Merujuk pada Pichardo dan Singh, Menurut Suharko22 bahwa Ciri

menonjol GSB yang dianggap membedakannya dari gerakan sosial “lama”

atau tradisional, dapat diformulasikan sebagai berikut:

1. Ideologi dan Tujuan: GSB menanggalkan orientasi ideologis yang

kuat melekat pada gerakan sosial lama, sebagaimana sering

terungkap dalam ungkapan-ungkapan “anti kapitalisme”, “revolusi

kelas”. GSB menepis semua asumsi Marxian bahwa semua

perjuangan dan pengelompokan didasarkan atas konsep kelas.

Dengan penekanan pada isu-isu spesifik dan non materialistik, GSB

tampil sebagai perjuangan lintas kelas. Singh (2001) menambahkan

bahwa GSB pada dasarnya merupakan bentuk respon terhadap hadir

dan menguatnya dua institusi yang menerobos masuk ke hampir

semua relung kehidupan warga, yakni negara dan pasar. Karena itu,

GSB membangkitkan isu “pertahanan diri komunitas dan

masyarakat untuk melawan ekspansi aparat negara dan pasar yang

makin meningkat. Ekspresi terjelasnya mewujud dalam lahirnya

agen-agen yang memperjuangkan pengawasan dan kontrol sosial,

kaum urban marginal, aktivis lingkungan, kelompok anti otoritarian,

kaum anti rasisme, dan juga para feminis. GSB melawan tata sosial

dan kondisi yang didominasi oleh negara dan pasar dan menyerukan

sebuah kondisi yang lebih adil dan bermartabat.

2. Taktik dan Pengorganisasian: GSB umumnya tidak lagi mengikuti

model pengorganisasian serikat buruh industri dan model politik

kepartaian. GSB lebih memilih saluran diluar politik normal,

menerapkan taktik yang mengganggu, dan memobilisasi opini

publik untuk mendapatkan daya tawar politik. Para aktivis GSB juga

cenderung mempergunakan bentuk-bentuk demonstrasi yang sangat

dramatis dan direncanakan matang sebelumnya, lengkap dengan

kostum dan representasi simboliknya.

22Fadillah Putra (2006), Gerakan Sosial: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan, dan TantanganGerakan Sosial di Indonesia, Averroes Press. Hal. vii-x.

35

3. Struktur: GSB berupaya membangun struktur yang merefleksikan

bentuk pemerintah representatif yang mereka inginkan. GSB

mengorganisir diri dalam gaya yang mengalir dan tidak kaku untuk

menghindari bahaya oligarkisasi. Mereka berupaya merotasi

kepemimpinan, melakukan pemungutan suara untuk semua isu, dan

memiliki organisasi ad hoc yang tidak permanen. Mereka juga

mengembangkan format yang tidak birokratis sambil berargumen

bahwa birokrasi modern telah membawa kepada kondisi

dehumanisasi. Singkatnya, mereka menyerukan dan menciptakan

struktur yang lebih responsif kepada kebutuhan-kebutuhan individu,

yakni struktur yang terbuka, terdesentralisasi, dan non khirarkhis.

4. Partisipasi atau Aktor: Partisipan GSB berasal dari berbagai basis

sosial yang melintasi kategori-kategori sosial seperti gender,

pendidikan, okupasi dan kelas. Mereka tidak terkotakkan pada

penggolongan tertentu seperti kaum proletar, petani, dan buruh,

sebagaimana aktor-aktor gerakan sosial lama yang biasanya

melibatkan kaum marginal dan teralienasi. Para aktor GSB juga

berbeda dari gerakan sosial lama yang biasanya melibatkan kaum

marginal dan teralienasi. Ada kesan yang kuat bahwa partisipan

GSB umumnya berasal dari kalangan kelas menengah baru sebuah

strata sosial yang muncul belakangan yang bekerja di sektor-sektor

non-produktif (baca bukan industri pabrikan). Mereka yang

termasuk dalam kelompok ini umumnya tidak terikat oleh motif-

motif keuntungan korporasi. Mereka umumnya bekerja di sektor-

sektor yang sangat bergantung pada belanja negara seperti kaum

akademisi, seniman, agen-agen pelayanan kemanusiaan, dan mereka

umumnya merupakan kaum terdidik (Pichardo, 1997). Aktor-aktor

GSB sebagaimana dikemukakan oleh Claus Offe (1985), dicirikan

secara jelas oleh penolakan mereka terhadap basis identifikasi diri

yang mapan, yang dalam bahasa politik disebut sebagai “kiri” atau

“kanan”. “Liberal” atau “konservatif”.

36

5. Medan atau Area: Medan atau area aksi-aksi GSB juga melintasi

batas-batas region dari arus lokal hingga internasional. Isu-isu yang

menjadi kepedulian GSB melintasi sekat-sekat bangsa dan

masyarakat. Dalam hal ini GSB menunjukkan wajah trans manusia

dengan mendukung kelestarian alam dimana manusia merupakan

salah satu bagiannya. Ini secara jelas terpantul dari gerakan-gerakan

anti nuklir, ekologi, perdamaian, dan sebagainya, yang

menghemparkan kebersamaan warga dari beragam nasionalitas,

kebudayaan dan sistem politik (Singh, 2001).

Dengan ciri-ciri tersebut diatas, GSB menampakkan wajah gerakan

sosial yang plural. Pluralitas ini terpantul jelas dari bentuk-bentuk aksi GSB

yang menapaki banyak jalur, mencita-citakan beragam tujuan, dan

menyuarakan aneka kepentingan.

Baik gerakan sosial versi lama maupun GSB memiliki dasar-dasar

tujuan yang sama, yakni keinginan untuk melahirkan perubahan sosial

sebagaimana yang dicita-citakan. Namun demikian dari perkembangan

zaman, kemunculan GSB dianggap bisa mengisi ruang-ruang kosong yang

tidak terperhatikan oleh agenda-agenda gerakan sosial lama. GSB secara

prinsip bisa dilakukan tidak saja dalam kerangka global, melainkan penting

untuk mendesakkan isu-isu lokal yang kurang mendapat perhatian. Misalnya

isu tentang lingkungan sampai pada pengelolaan sumber alam yang timpang.

Gerakan sosial masyarakat Tafure Ternate misalnya memprotes

tentang proses pembangunan dan perluasan bandara sehingga mendapat

tanggapan luas dari elemen gerakan mahasiswa dan LSM secara luas.

Faktanya, tak ayal bahkan gerakan ini juga berujung pada penggunaan cara-

cara kekerasan. Tuntutan pengakuan hak ulayat, dan keadilan ekonomi juga

menjadi isu penting dibalik gerakan sosial tersebut. Rajendra Singh, Prasetyo

(2006) menyatakan beberapa karakteristik umum dalam GSB, yaitu23:

1. GSB menaruh konsepsi ideologis mereka pada asumsi bahwa

masyarakat sipil tengah meluruh, ruang sosialnya mengalami

23Ibid. Hal. 65-68.

37

penciutan dan aspek masyarakat sipil tengah digerogoti oleh

kemampuan kontrol negara. Karenanya, GSB membangkitkan isu

“pertahanan diri” komunitas dan masyarakat guna melawan

meningkatnya ekspansi aparatus negara agen-agen pengawasan dan

kontrol sosial. Beberapa isu yang sering diagendakan ke dalam GSB

adalah hamparan beragam perjuangan urban, ekologis, anti

otoritarian, anti institusionalitas, feminisme, anti rasis, etnik dan

regional. Dalam konteks ini maka medan perjuangannya bisa

bergerak melintasi wilayah kerja tradisional dari industri dan pabrik,

pertanian, dan peternakan. GSB menyerukan sebuah kondisi yang

adil dan bermartabat bagi konsepsi kelahiran, kedewasaan, dan

reproduksi mahluk manusia yang kreatif dan berseiring dengan

alam.

2. Secara radikal, GSB mengubah paradigma Marxis yang menjelaskan

konflik dan kontradiksi dalam istilah “kelas” dan konflik kelas.

Pikiran akademis kiri mengajukan gugatan pada sistem paparan

Marxis materialis tentang gerakan dan perubahan dalam masyarakat.

Sebuah gugatan atas disingkirkannya isu-isu gender, ekologi, ras,

kesukuan, dsb. Marxisme memandang semua bentuk perjuangan

kelas dan semua bentuk pengelompokan manusia sebagai

perkelompokan kelas. Banyak perjuangan kontemporer seperti anti

rasisme, perlucutan senjata, gerakan feminis dan lingkungan

bukanlah perjuangan kelas dan bukan cerminan sebuah gerakan

kelas. Ada penolakan umum “paradigma kelas” sebagai “general

theory” dalam ilmu-ilmu sosial. GSB mencari jawaban atas

pertanyaan yang terkait dengan perdamaian, perlucutan senjata,

polusi nuklir, perang nuklir; yang berhubungan dengan ketahanan

planet (bumi), ekologi, lingkungan, dan HAM. Komitmen mereka

melintasi paradigma kelas dan melampaui ketidakmampuan

penjelasan materialistik Marxis untuk menjawab gerakan baru

kontemporer ini.

38

3. Mengingat latar belakang kelas tidak menentukan identitas aktor

ataupun penopang aksi kolektif. GSB pada umumnya mengabaikan

model organisasi serikat buruh industri (Corz, 1982) dan model

politik kepartaian (Arato, 1981). Dengan beberapa pengecualian

seperti Kelompok Hijau Jerman dan partai Hijau, GSB umumnya

melibatkan politik akar rumput, aksi-aksi akar rumput, kerap

memprakarsai gerakan-mikro kelompok-kelompok kecil, membidik

isu-isu lokal dengan sebuah dasar institusi yang dibatasi. Dengan

demikian, GSB umumnya merespon isu-isu yang bersumber dari

masyarakat sipil, mereka membidik domain sosial “masyarakat

sipil” daripada perekonomian atau negara, membangkitkan isu-isu

sehubungan demoralisasi struktur kehidupan sehari-hari dan

memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk komunikasi dan identitas

kolektif.

4. Berbeda dengan gerakan sosial klasik, struktur GSB didefinisikan

oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak, orientasi dan oleh

heterogenitas basis sosial. Merujuk Touraine, dimasa lalu, kapasitas

sebuah masyarakat untuk memproduksikan dirinya adalah terbatas.

Ia dibatasi oleh atas perhitungan sebuah jaminan meta sosial

mengenai tatanan sosial, aturan ilahiah, hukum-hukum alam, evolusi

sejarah, termasuk meta sosial yang menandai pengertian modernitas.

Bentuk-bentuk aksi dan gerakan sosial menjadi plural, menapaki

banyak jalur, mencita-citakan beragam tujuan, dan menyuarakan

aneka kepentingan.

Lebih lengkap Offe menyatakan bahwa aktor atau partisipan GSB

berasal dari tiga sektor utama, yaitu24:

1. Kelas menengah baru;

2. Unsur-unsur kelas menengah lama (petani, pemilik toko, dan

penghasil karya seni) dan

24Ibid, Hal.68.

39

3. Orang-orang yang menempati posisi pinggiran yang tidak terlalu

terlibat dalam pasar kerja, seperti mahasiswa, ibu rumah tangga dan

para pensiunan.

Memahami tipologi aktor dan karakteristik GSB diatas, bagaimanapun

juga bisa dinyatakan bahwa GSB adalah sebuah tipe gerakan sosial.GSB

hadir untuk mengisi ruang-ruang kosong yang luput dari perhatian agenda

gerakan sosial klasik. Adanya prinsip visi, motivasi, dan tujuan berbeda

dibandingkan dengan gerakan sosial lama pada akhirnya juga melahirkan

strategi dan aksi yang baru dalam fenomena GSB ini.

2.5. Hipotesis Pengarah

Untuk sampai pada analisis tentang gerakan sosial masyarakat adat,

penelitian ini menggunakan hipotesis pengarah sekaligus sebagai pedoman

peneliti untuk menggali fakta dan data dilapangan, sesuai dengan pertanyaan

penelitian yang dirumuskan.

1. Lahirnya gerakan sosial mempunyai kaitan dengan kebijakan

perencanaan dan aktivitas pembangunan yang berjalan secara “linear”

dan “top down”.

2. Konteks sosial, ekonomi dan dan isu-isu tentang tanah ulayat dan hak-

hak masyarakat adat menyumbang sebagai reaksi atas persoalan

pembangunan yang berpengaruh terhadap dimensi permasalahan hidup

petani yang kemudian.

3. Karakter perlawanan masyarakat lokal terkait erat dengan konteks

permasalahan dan paradigma pembangunan skala nasional dan global.

2.6. Kerangka Pemikiran

Studi tentang gerakan sosial pada hakekatnya merupakan salah satu

bentuk kajian mengenai realitas konflik yang ada dalam masyarakat. Gerakan

sosial adalah suatu bentuk perilaku kolektif dimana ada sekelompok orang

yang penuh dedikasi, mengorganisasikan diri untuk meningkatkan atau

menentang perubahan (Ngadisah, 2003).

40

Agar diperoleh gambaran yang utuh tentang gerakan sosial, dengan

mengikuti Lofland, ada tujuh pertanyaan pokok yang perlu dikaji yaitu: aspek

kepercayaan (beliefs), organisasi (organization), sebab-sebab (causes), para

pengikut (participant), strategi (stategies), reaksi (reaction), dan akibat-

akibat (effects) (Lofland, 1996:99, dlm Ngadisah 2003:31). Dengan demikian

kesatuan analisis dalam penelitian ini adalah “lingkungan” situasi dimana

gerakan itu timbul yang meliputi lingkungan proyek pembangunan

(perluasan) lapangan terbang dan kelompok-kelompok masyarakat yang

terkena dampak proyek. Disamping menggambarkan sosok gerakan secara

internal, peneliti juga bermaksud melihat interaksi antara proyek

pembangunan bandara dengan masyarakat.

Dalam hubungan ini, Loffland (1996: 21) menjelaskan adanya prosedur

khusus yang terdiri dari 4 langkah dalam melakukan studi kasus tentang

gerakan sosial, yaitu : a). memilih kasus atau kasus-kasus apapun yang akan

dipelajari (diteliti); b). berpkir secara luas tentang bentuk-bentuk

pengumpulan atau kasus-kasus; c). mengajukan pertanyaan-pertanyaan ilmu

sosial tentang data; d). menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dari perspektif

sosiologis.

Ada gerakan sosial yang timbul dengan latar belakang konflik,

pertentangan atau ketegangan, ada pula karena adanya keinginan untuk

melakukan perubahan dari keadaan yang biasa. Namun demikian, kejadian

sosial dalam bentuk gerakan pada umumnya disebabkan karena konflik antara

kelompok masyarakat atau antara penguasa dengan rakyat. Konflik yang

gejalanya dapat ditangkap melalui pemunculan gerakan-gerakan sosial atau

bentuk-bentuk perilaku kolektif yang lain tidak dapat dijelaskan dengan

model linier karena banyak faktor didalamnya.

Faktor-faktor tersebut diantaranya bersumber dari dalam diri individu

maupun diluar diri individu “supra individual”. Hal ini sangat tergantung

pada momentum atau konteks sosial yang meliputinya. Konteks sosial yang

dimaksud adalah dampak dari pelaksanaan pembangunan proyek yang

berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap tatanan

kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat adat.

41

Dampak positif yang dirasakan secara langsung misalnya: meningkatnya

pendapatan masyarakat melalui terbukanya lapangan kerja baru karena

keterlibatannya dalam pembangunan proyek tersebut sehingga hal ini dapat

mengurangi ketergantungan masyarakat adat terhadap sumber daya alam.

Meskipun lapangan kerja tersebut lebih bersifat temporer karena berdasarkan

waktu penyelesaian proyek pembangunan tersebut. Sedangkan dampak negatifnya

adalah terjadinya krisis dalam struktur sosial-ekonomi dan budaya yang ditandai

dengan terbentuknya beberapa tipe baru kelompok sosial, munculnya elit baru

yang bermuara pada kesenjangan politik lokal, melemahnya peran lembaga adat

serta hilangnya mata pencaharian pokok keluarga yang sebelumnya bersumber

dari hasil pertanian dan perkebunan.

Perubahan ini tidak semata menimbulkan krisis ekonomi ditingkat

masyarakat, tidak juga sekedar menimbulkan krisis sosial politik ditingkat

lokal yang pada akhirnya bermuara pada terjadinya kerusuhan sosial berupa

konflik horizontal dikalangan masyarakat, tetapi juga telah menimbulkan

krisis kebudayaan lokal. Kondisi ini disebabkan oleh kelemahan struktural

serta menguatnya peran negara dalam ruang-ruang publik.

Kelemahan struktural ini berangkat dari kebijakan pemerintah dan

paradigma pembangunan yang dirasakan semakin jauh keberpihakannya dari

kepentingan masyarakat lokal. Lemahnya struktur sosial-politik ini juga

merupakan akibat dari penekanan pendekatan keamanan dengan penciptaan

kestabilan sosial-politik yang dipaksakan penguasa. Kestabilan ini dicapai

melalui cara-cara represip, menghilangkan semua unsur yang berpotensi

menjadi pesaing dari penguasa dan negara dengan cara apapun. Hal ini secara

sengaja dilakukan oleh penguasa untuk menciptakan kestabilan sosial-politik

negara. Kestabilan yang tercapai dengan rekayasa ini merupakan kestabilan

semu yang justru terus menyemai bibit perlawanan masyarakat itu sendiri.

Analisis dan kajian perlawanan masyarakat tani dapat dilakukan dengan

menggunakan tiga pendekatan yaitu bagaimana, mengapa, dan dalam kondisi

apakah sebuah gerakan sosial bisa muncul. Dalam konteks ini maka,

komunitas dipandang sebagai kompleks yang saling berinteraksi pada tiga

tingkat, yaitu ekonomi, politik, dan ideologi dimana kontradiksi berkembang

di dalam maupun antar aras.

42

Dimensi

Masalah

Petani

Secara

Umum

POLITIK : Tekanan struktural Akses Terhadap Input

Pertanian Peningkatan terhadap

Eksploitasi Kemerosotan Status

Sosial

Pengakuan danperlindungan atashak petani /masyarakat adat

Organisasi yangdibentuk dari produksiatas isu : Menggunakan isu

ganti rugi Menggunakan isu

hak ulayat Mengsistimatisasi

gerakan rakyat Memisahkan diri

dari strukturpemerintah

Membangkitkankesadaran budaya

EKONOMI :Pola Pertaniankonvensionalmenujudiversifikasijenis profesi

Pola pengelolaansumber-sumberagrarian

Ketergantunganpada kekuataneksternal (pasar,input pertanianmahal)

Dipengaruhi kontekspolitik Negara/global

Dipengaruhiideologi aktivis

Terkait konteks sosio-ekonomi dan politik(permasalahan) petani

Dipicukrisismoneter

Bentuk-bentukperjuangan : Pendekatan kultural Pendekatan

transformasigerakan rakyat

Mengubahperlawanan radikalmenjadi supremasihukum

Mempertahankanlogika dan asumsigerakan komunitas

Organisasimengalamikontinumperkembangan,focus pada isuadvokasi hakatas tanah

SOSIAL : Kehilangan tanah

pertanian Kehilangan

kapling rumahdan tempat rumah

Segregasi wilayahdan pudarnyasolidaritas sosial

BUDAYA, RELIGI : Kehilangan

identitas budayadan hak ulayat

Kehilangan tanahpemakaman dantempat ibadah

Memperkuat posisipetani menghadapidominasi negara dalamberbagai kebijakan,baik ekonomi danpolitik dalam bentukakses dan kontrol

GERAKAN PETANIMENJADI

MASYARAKATADAT

Melawan di bawahpayung slogan-sloganhak ulayat sambilmendefinisikan kembalislogan tersebut ke dalampengertian paradigmayang lebih berorientasike arah struktur keadilanhukum, HAM,partisipasi dantransparansi

People center Development

Production CenterDevelopment

Gambar 1. Kerangka Pemikiran dalam Pendekatan Masalah

43

Dari uraian diatas, pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana faktor-

faktor penyebab munculnya gerakan-gerakan perlawanan masyarakat

setempat terhadap perluasan pembangunan bandara udara Sultan Babullah

Ternate ? Bagaimana proses terbentuk dan berkembangnya gerakan sosial

baru tersebut serta kaitannya dengan isu-isu dampak dingkungan, dampak

sosial ekonomi dan isu-isu tentang tanah ulayat dan hak-hak masyarakat adat

? dan Bagaimana bentuk-bentuk penyelesaian terhadap berkembangnya

gerakan perlawanan rakyat terhadap perluasan pembangunan bandara udara

Sultan Babullah Ternate ?

Penelitian ini bermaksud memperdalam atau mengkaji dampak

pembangunan daerah (proyek fisik) dengan mengarahkan pada reaksi sosial

masyarakat adat terhadap dampak yang ditimbulkan dari proyek

pembangunan tersebut, khususnya dampak negatif.25 Jalinan aspek ekonomi,

politik dan ideologi harus dipahami sebagai basis pijakan untuk menganalisa

konteks sosial lahirnya gerakan sosial baru tersebut.

Penelitian ini akan mengkaji penyebab dan kemunculan lahirnya

gerakan, tujuan, strategi dan aktivitas jaringan yang dibangun serta

implikasinya terhadap persoalan yang dihadapi. Selain itu, karena konflik ini

bukan bersifat single variable, maka kajiannya tidak mungkin hanya dari satu

aspek saja. Misalnya aspek ekonomi semata (terkait dengan ganti rugi atas

konversi lahan), melainkan juga aspek sosial dan budaya lokal yang terkait

antara satu dengan yang lain. (Gambar 1).

25 Baik dampak negatif dan positif keduanya dilihat dari sudut pandang masyarakat setempat.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Strategi Penelitian

Mengingat penelitian ini mengambil tema “Konflik Pembangunan dan

Gerakan Sosial Baru (Upaya Memahami Perubahan Identitas Perjuangan dari

“Petani” menjadi “Masyarakat Adat)”, maka pembahasan dalam tulisan ini

menggunakan metode penelitian ilmu sosial yang terdiri atas beberapa

tahapan diantaranya adalah pengumpulan data (heuristik), kritik data,

interpretasi sumber, dan penulisan yang dilakukan dengan cara deskriptif

analisis. Penggunaan metode tersebut juga didukung dengan pendekatan ilmu

sosiologi, politik, antropologi dan ilmu hukum (hukum adat). Dengan

menggunakan analisis sosiologi, antropologi, ilmu politik dan ilmu hukum

dalam penulisan sejarah kritis, oleh Sartono Kartodirdjo disebut sebagai

pendekatan multidimensional yang memungkinkan tulisan dapat memberikan

keterangan yang lebih jelas dan realistis. Penelitian ini menggunakan jenis

pendekatan kualitatif dan strategi studi kasus karena kekhasan masalah dan

kemampuannya untuk menjelaskan fenomena sosial secara lebih mendalam

(Babie 2004).

Studi kasus merupakan salah satu kerangka kerja yang digunakan dalam

penelitian kualitatif. Sebagai suatu kategori desain penelitian, studi kasus

tidak mudah untuk dispesifikasi dari segi akurasi dan generalisasi. Meskipun

dari dua aspek itu masih bisa diperdebatkan, akan tetapi bila diikuti

pembahasan para ahli dalam metode kualitatif, nampak jelas bahwa

pemahaman atas makna, proses pemaknaan dan produksi makna sebagaimana

dibicarakan oleh interaksionisme simbolik, ethnometodologi dan ethnografi

praktis, semuanya mengarah pada penentuan objek yang spesifik. Hal ini

hanya dapat dipenuhi dengan penelitian studi kasus.

Studi kasus terdiri dari dua jenis yakni intrinsik dan instrumental.

Intrinsik menunjuk pada penelitian dimana obyek telah ada dan ditentukan

sebagai misal evaluasi program. Jika dalam penelitian itu terdapat pertanyaan

penelitian (research question) yang dibangun dari rumusan masalah,

45

sehingga perlu dipilih kasus tertentu, maka disebut studi kasus instrumental

(Stake 1995; 3). Dengan demikian karena penelitian ini terdapat pertanyaan

penelitian juga dibangun konsep secara jelas untuk menganalisis fakta sosial,

maka dapat dikategorikan sebagai studi kasus instrumental.

Dalam hubungan dengan studi kasus gerakan sosial di Ternate, model

studi kasus tunggal1 lebih cocok untuk diterapkan, karena kasus ini bersifat

spesifik, dimana pemunculannya terkait dengan keberadaan suatu proyek.

Disamping itu, sifat dari suatu gerakan sosial adalah berjalan menurut logika

sendiri, keluar dari realitas umum, sehingga untuk memahaminya perlu

melakukan interpretasi terhadap gejala-gejala yang muncul dengan

menggunakan “frame” orang-orang yang ada dalam gerakan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Maluku Utara, khususnya

pada masyarakat Tafure Ternate. Lokasi Penelitian jelasnya di kecamatan

Ternate Utara, Kota Ternate, yang dilakukan secara bertahap dari tahun 2005

hingga 2010. total waktu yang digunakan untuk melakukan penelitian lapang

berlangsung sekitar tiga tahun yaitu dimulai sejak 1 Juni 2007 hingga 1 Juni

2010. Dipilihnya Ternate sebagai lokasi penelitian karena alasan lemahnya

posisi rakyat dalam persoalan pertanahan merupakan hal yang historis, sejak

zaman pra kemerdekaan, kemerdekaan hingga kini.

Masyarakat adat Ternate terdiri dari 4 komunitas yakni Soa Sio,

Sangaji, Heku dan Cim yang tersebar pada 41 Soa (Kampung). Dengan

menggunakan kriteria terdapat masyarakat hukum adat yang masih taat

menerapkan hukum adat, terdapat institusi / lembaga adat, serta memiliki

wilayah masyarakat hukum adat sebagai tempat mencari kebutuhan hidup

sehari-hari.

1 Ada beberapa pilihan model studi kasus yang dapat diikuti, seperti yang dikemukakan olehRagin (1994: 93-103), dlm. Ngadiah, (2003: 26). Cara kerja penelitian kualitatif menekankanpada tiga macam model yaitu: induksi analitik, sampel teoritik dan studi kasus tunggal. Studikasus tunggal, bertujuan untuk membuat interpretasi terhadap fakta-fakta secara tepat.Interpretasi dan fakta adalah ”double fitted”, yakni suatu keadaan saling mempengaruhiantara interpretasi peneliti dengan fakta-fakta. Setiap interpretasi yang berbeda dilandasi olehkerangka pikir (frame) yang berbeda pula, sehingga banyak cara untuk memperkaya data gunamembantu peneliti menggali interkoneksi gagasan-gagasan melalui ”frame” yang berbeda,

46

Sebagaimana diketahui bahwa dalam aturan masyarakat lokal, tanah

merupakan milik raja yang diberikan secara cuma-cuma kepada rakyat tanpa

diperjualbelikan untuk dikelola dan dijaga secara otonom oleh setiap anggota

masyarakat lokal demi kelangsungan hidup mereka. Pada zaman dulu, tanah

juga menjadi sumber pendapatan kerajaan yang diambil dari upeti. Upeti

dalam pengertian umum dimaksudkan sebagai pemberian yang diberikan oleh

seseorang kepada raja, dapat bersifat mengikat.

Mengikat artinya menjadi kewajiban atas dasar kesetiaan/loyalitas

karena mendapatkan hak mengelola sumber daya tanah, atau karena

bersangkutan berada dalam perlindungan raja / Sultan. Hal ini berlanjut

ketika dominasi negara mulai memasuki ruang-ruang publik dimana semua

SDA diatur oleh negara termasuk tanah. Posisi rakyat yang lemah ini menjadi

semakin lemah dengan kurangnya dukungan perangkat hukum negara atau

peraturan perundang-undangan, bahkan sejumlah aturan main saling tumpang

tindih, tidak sesuai satu sama lain, dan tidak jarang menyimpang dari aturan

dasar yang di atasnya.

Apalagi dalam penerapannya dominasi kekuasaan dan otoritas negara

menjadi Iebih diutamakan. Karenanya berbagai perangkat yang ada seringkali

kehilangan vitalitasnya ketika berhadapan dengan birokrasi negara. Kondisi

ini tidak saja melahirkan perubahan struktur sosial dan perubahan struktur

budaya masyarakat lokal melainkan juga telah melahirkan tindakan progresif

massa melalui gerakan sosial ketika berhadapan dengan otoritas “negara”.

Dengan demikian pilihan terhadap Ternate sebagai daerah

penelitian sangat tepat karena adanya kekhasan masalah dengan kerangka

teoritis yang dibangun. Selain itu, permasalahan yang diteliti menjadi

semakin menarik karena telah berlangsung lama sejak tahun 1970 hingga

kini. Dalam penelitian ini peneliti terkosentrasi pada desa Tafure yang

bersentuhan langsung dengan lokasi proyek pembangunan bandar udara

Sultan Babullah Ternate. Selain itu, beberapa lembaga pendidikan baik

SD, SMP dan SMU bahkan 2 perguruan tinggi yang berada di bibir / sisi

bandara mengalami dampak yang sangat berpengaruh terhadap proses

belajar mengajar terlebih ketika pesawat mengalami landing dan take off.

47

3.3. Penentuan Subyek Kasus

Kelompok masyarakat petani sebagai unit analisis dipilih berdasarkan

kriteria ada tidaknya kegiatan yang berbasis konflik, dengan merujuk pada

tipe kelompok yang terbentuk karena anggota masyarakat petani tersebut

dihadapkan pada isu persoalan pembangunan dan konflik agraria. Subyek

kasus dipilih berdasarkan kesesuaian antara masalah yang akan diteliti

dengan subyek yang menjadi sumber informasi. Data digali dari sejumlah

informan kunci yang dianggap mengetahui keadaan dilokasi penelitian.

Pengumpulan informan dalam penelitian ini dilaksanakan dengan

menempatkan dua macam narasumber yaitu informan dan responden.

Informan adalah orang-orang yang dimintai keterangan tentang berbagai hal

yang diketahui tentang gerakan sosial dan setting sosialnya, sedangkan

responden adalah orang-oramg yang dimintai keterangan tentang pandangan,

sikap, persepsi, dan harapannya serta keterlibatannya dalam gerakan dan

ditetapkan secara “purposive“ dengan mencari orang-orang kunci“ yang

berada di “lingkaran“ gerakan. Mulai dari penggerak inti, pendukung dan

partisipan, simpatisan dan penentang.

Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 11 orang dan responden 47

orang. Responden dalam penelitian ini dibagi dalam beberapa kategori

menurut intensitas keterlibatannya dalam gerakan tersebut. Kelompok

responden terdiri atas: a). Para pemimpin gerakan (kelompok inti), terdiri

dari ketua lembaga adat, 3 orang; b). Orang-orang kepercayaan (pendukung

setia), pengurus lembaga adat, 3 orang; c). Pengikut biasa (partisipan), warga

masyarakat yang mendukung secara aktif, 8 orang; d). Orang marginal

(simpatisan), warga masyarakat yang mendukung secara pasif, 19 orang.

Di luar lingkaran orang-orang termasuk dalam kategori tersebut, turut

diwawancarai kelompok-kelompok masyarakat yang berada diluar lingkaran

terdiri atas: a). Kelompok orang yang tidak peduli terhadap gerakan dan

bersikap kompromistis dengan pihak proyek, 5 orang; b). Para penentang

gerakan 3 orang; c). Pendukung dari luar (LSM) 3 orang; d). Pemerintah +

pengelola bandara, 5 orang.

48

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam,

wawancara bebas dan mengamati secara langsung fenomena sosial. Hal ini

dilakukan untuk memperoleh data primer tentang dinamika masyarakat. Data-

data ini selanjutnya dituliskan langsung menjadi catatan harian yang akan

dijadikan bahan dasar untuk analisa. Wawancara mendalam dilakukan dengan

subyek kasus sebagai informan kunci yang telah ditentukan sebelumnya.

Wawancara dilakukan dengan dengan beberapa orang untuk satu topik dan

diulang kembali untuk mencocokkan data. Penyebaran koesioner untuk

mengetahui hal-hal yang bersifat umum yang berisi pertanyaan terbuka dalam

tujuan untuk menangkap data-data kualitatif.

Koesioner ini juga ditujukan kepada para responden yakni anggota

masyarakat yang terkena dampak secara langsung dari proyek perluasan

bandara di lokasi penelitian yang berisikan antara lain tentang status

kepemilikan tanah, proses ganti rugi pembebasan tanah, dampak sosial,

ekonomi dan budaya yang ditimbulkan sebagai dampak aktivitas

pembangunan / bandara tersebut. Sedangkan koesioner yang ditujukan untuk

narasumber (Pemda Propinsi dan Kota) berisi alasan pengembangan bandara,

mekanisme ganti rugi, hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses

perluasan bandara, upaya yang dilakukan Pemda.

Data primer diperoleh dengan menggunakan instrumen penelitian yang

terdiri dari panduan pertanyaan dan kuesioner singkat yang disusun

berdasarkan kebutuhan data. Selain data primer, juga dilakukan telaah

dokumen dari sejarah wilayah juga sejarah sosial ekonominya. Sejarah

berguna untuk menelusuri perkembangan desa dan wilayah penelitian.

Untuk data sekunder, peneliti mengambil laporan-laporan kegiatan

organisasi sekaligus untuk melakukan cross-cek data tersebut dengan data

lapang. Data sekunder juga diperoleh dari media komunikasi massa lokal

yang meliput aktivitas-aktivitas masyarakat tani Tafure dan aktivitas lembaga

kesultanan Ternate selama kurun waktu tertentu. Berbagai teknik dan strategi

pengambilan data ini dipergunakan untuk lebih mengarahkan dan

mempertajam informasi yang ingin diperoleh.

49

3.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Data yang berhasil dikumpulkan selanjutnya diproses melalui kegiatan

penyusunan satuan atau pemilahan data dalam bidang masing-masing. Data

yang telah tersusun tersebut selanjutnya diolah berdasarkan pada kerangka

analisis / kerangka pemikiran yang telah dirumuskan. Pengujian keabsahan

data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi yaitu, check, recheck,

and cross check terhadap data yang diperoleh.

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data yang ada untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding data tersebut (Moleong, 1998:178).

Teknik triangulasi merupakan prosedur pencocokan data melalui beberapa

sumber yang dan dapat dilakukan pada beberapa aspek penting dari data

yakni sumber data, metode, penyidik dan teori. Triangulasi menggunakan

sumber data yang dilakukan dengan jalan :

(1) membandingkan data hasil penelitian dengan hasil wawancara;

(2) membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan

apa yang dikatakan secara pribadi;

(3) membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatakan orang sepanjang waktu;

(4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan pendapat

dan pandangan orang lain;

(5) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan.

Pemeriksaan metode dilakukan melalui pengecekan pada data pertama,

kedua, dicocokkan dengan data ketiga dan seterusnya dengan data pertama

untuk memastikan kebenaran dari data. Hal itu dapat dilakukan melalui :

1). membandingkan fakta lapangan dengan data hasil wawancara;

2). membandingkan data hasil wawancara dengan isi dokumen yang

saling berkaitan;

3). mengecek keabsahan data yang diberikan antara informan-informan

yang datanya saling berkaitan.

50

3.6. Kesulitan yang Dihadapi

Bentuk kesulitan yang dihadapi seperti para narasumber yang sering

meninggalkan daerah untuk melakukan perjalanan dinas keluar daerah,

kesulitan untuk bertemu secara langsung dengan orang yang berkompeten

menjelaskan jalannya perluasan bandara dan dampaknya, ciri usaha perluasan

bandara dan problematikanya dan lain-lain sehingga peneliti harus berusaha

menemui staf yang diserahi tugas atau membidangi staf perencanaan

pelaksanaan proyek untuk memberikan keterangan seputar materi yang

ditanyakan.

3.7. Sistimatika Penulisan

Rancangan tesis ini terdiri atas tujuh bab dalam usahanya

menggambarkan Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Baru (Upaya

Memahami Perubahan Identitas Perjuangan dari “Petani” menjadi

“Masyarakat Adat”). Masing-masing bab mewakili fokus pembahasan yang

berbeda sehingga mempermudah pemahaman peneliti dan proses penelitian

ini.

Bab 1 “Pendahuluan” berisi pemaparan mengenai latar belakang,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.

Bab II “Tinjauan Pustaka” sarat dengan pendekatan teori tentang aspek

yang akan dikaji dalam kegiatan penenlitian ini. Gerakan sosial menjadi

bagian dari basis ide kesadaran kolektif yang melahirkan perilaku kolektif.

Perspektif perilaku kolektif ini mencoba untuk memperlihatkan bahwa

munculnya gerakan masyarakat petani adalah sebagai respon atas intervensi

pemerintah (negara) yang berdampak terhadap dimensi kehidupan

masyarakat petani secara umum. Bab ini memaparkan kerangka pemikiran

sebagai panduan analisis dalam penelitian tesis.

Bab III “Metode Penelitian” merupakan uraian tentang langkah-langkah

metodologis atau pendekatan lapang yaitu menyangkut: strategi penelitian, lokasi

dan waktu penelitian, unit analisis, teknik pengambilan data, dan teknik

pengolahan dan analisis data. Bab ini menggambarkan kearah mana alur

penelitian ini akan dibawa melalui rumusan pertanyaan penelitian.

51

Bab IV “Desktipsi Daerah Penelitian”. Bab ini menguraikan tentang

Gambaran umum Maluku Utara, Kondisi Geografis dan Karakteristik Lokasi

Penelitian, dan Struktur Sosial Penduduk.

Bab VI “Transformasi Identitas Gerakan dari Petani menjadi

Masyarakat Adat”. Bab ini mengetengahkan tentang Ideologi Utama dan

Aktor Penting Gerakan, Isyu-isyu yang diusung sebagai “Roh” Perlawanan

Petani, Posisi Petani di tengah Pusaran Negara dan Penguasa, Intervensi

Pemerintah, Respon Petani dan Dampak Gerakan di tengah Arus

Kepentingan.

Bab VII “Involusi Gerakan Agraria” Bab ini menguraikan tentang

analisis perjuangan atas nasib petani dalam setiap episode kekuasaan rezim

dan pengaruhnya terhadap perubahan prinsip-prinsip struktur agraria yang

berkeadilan.

Bab VII berjudul “Penutup”, menguraikan tentang rangkuman (review)

atas pokok penelitian dan hasil-hasil analisanya yang telah diuraikan pada

setiap bab sebelumnya, dan akhirnya ditutup dengan kesimpulan dan saran.

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Provinsi Maluku Utara

Sebagai salah satu provinsi kepulauan di Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang dibentuk sejak dikeluarkan Undang-undang No. 46 Tahun

1999 tentang pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan

Kabupaten Maluku Tenggara Barat serta diresmikan pada tanggal 12 Oktober

1999.1 kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2003,

Tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan

Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Provinsi Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan, yang terdiri dari

395 buah pulau besar dan kecil, sebanyak 64 pulau yang dihuni dan 331

pulau tidak dihuni dengan luas wilayah secara keseluruhan 140.366,32 Km2

dimana luas wilayah daratan 33.278 Km2 (23,72%). Luas wilayah perairan

seluas 106.977,32 Km2 (76,28%). Pulau-pulau yang tergolong besar antara

lain pulau Halmahera, (18.000 Km2), pulau Obi (3.900 Km2), pulau Taliabu

(3.195 Km2), pulau Bacan (2.878 Km2) dan pulau Morotai (2.325 Km2).

Jumlah penduduk provinsi Maluku Utara tahun 2002 adalah 794.024

jiwa, tahun 2003 sebanyak 849.346 jiwa, dengan rata-rata laju pertumbuhan

penduduk sebesar 2,16% / tahun. Dari jumlah penduduk tersebut, maka yang

tergolong Penduduk Usia Kerja (PUK) yang didefinisikan sebagai penduduk

yang berumur 15 tahun ke atas di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2004

berjumlah 562.653 jiwa yang terdiri dari perempuan 280.214 jiwa atau 49,8%

dan laki-laki berjumlah 282.439 jiwa atau 50,2%. Tahun 2006 berdasarkan

hasil proyeksi SUPAS2 2005 adalah 919.160 jiwa yang tersebar di 8

kabupaten/kota, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 180.354 jiwa yang

mendiami di kabupaten Halmahera Selatan.

1 Rencana Strategis (Renstra) Propinsi Maluku Utara tahun 2003/2007.

2 BPS Propinsi Maluku Utara dan Bappeda Propinsi Maluku Utara. Maluku Utara DalamAngka, 2007. p. 45.

53

Untuk transportasi udara, selain untuk membuka isolasi daerah

terpencil, juga mempertinggi aksesibilitas antar kota-kota penting inter dan

antar wilayah Maluku Utara. Keseluruhan jumlah bandara di Maluku Utara

sebanyak 11 buah yang terdiri dari Bandara Babullah dan bandara perintis

lainnya yaitu Kao, Galela, Bacan, Sanana, Morotai, Gebe, Buli, Gosowong,

Lili (Halmahera) dan Falabisahaya (P. Taliabu). Armada penerbangan yang

digunakan untuk melayani penumpang internal Maluku Utara adalah pesawat

kecil jenis Cassa. Beberapa masalah yang dihadapi oleh penerbangan perintis

ini adalah disamping rendahnya frekwensi penerbangan, kondisi bandara

perintis cukup memprihatinkan.

Dengan adanya bandara ini, kelancaran roda pemerintahan, mobilitas

pelaku ekonomi dan masyarakat dapat terselenggara sesuai dengan tingkat

kebutuhannya. Hal ini dapat dilihat pada frekuensi penerbangan dari dan ke

Bandar Babullah yang dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan dengan

frekuensi penerbangan tertinggi ke Manado dan Makassar yaitu rata-rata 20

kali per minggu, disusul Ambon dengan 6 kali perminggu dan Sorong 2 kali

perminggu.

4.2. Kondisi Geografis dan Karakteristik Lokasi Penelitian

Dasar hukum terbentuknya Kota Ternate adalah Undang-undang Nomor 11

tahun 1999, tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Ternate. Jumlah

kecamatan di wilayah administratif pemerintahan Kota Ternate pada saat

pembentukan adalah hanya 3 Kecamatan dengan 58 Desa/Kelurahan. Wilayah Kota

Ternate dengan luas wilayah 249,75 km2. Seluruh wilayah ini dikelilingi laut. Batas-

batas Kota Ternate adalah: a). sebelah Utara dengan laut Maluku; b). sebelah Selatan

dengan laut Maluku; c). sebelah Timur dengan selat Halmahera; d). sebelah Barat

dengan laut Maluku.

Wilayah Kota Ternate merupakan daerah kepulauan karena wilayahnya terdiri

dari delapan buah pulau, dimana lima pulau berukuran sedang, tiga pulau lainnya

berukuran kecil hingga sekarang belum dihuni penduduk. Pulau-pulau tersebut

adalah:

54

a. Pulau Ternate (110,7 km2 / dihuni)

b. Pulau Hiri (12,4 km2 / dihuni)

c. Pulau Moti (24,6 km2 / dihuni)

d. Pulau Mayau (78,4 km2 / dihuni)

e. Pulau Tifure (22,1 km2 / dihuni)

f. Pulau Maka (0,5 km2 / tidak dihuni)

g. Pulau Mano (0,5 km2 / tidak dihuni)

h. Pulau Gurida (0,55 km2 / tidak dihuni)

Pulau-pulau di wilayah kota Ternate terletak dalam lingkup yang

bergerak melalui kepulauan Filipina, Sangihe Talaud, dan Minahasa yang

dilingkupi lengkung Sulawesi dan Sangihe yang berwatak vulkanis.

Pertumbuhan penduduk Kota Ternate pada tahun 2000 berjumlah 152.097

jiwa dengan ratsio jenis kelamin laki-laki 76.347 jiwa dan perempuan 75.750

jiwa sedangkan pada tahun 2002 jumlah penduduk menjadi menurun

mencapai 120.865 jiwa, dengan ratsio jenis kelamin laki-laki 59.803 jiwa dan

perempuan 61.062 jiwa.

Terjadinya penurunan jumlah penduduk disebabkan karena program

repatriasi (pemulangan) pengungsi ke masing-masing daerah asal pasca

konflik horizontal bernuansa SARA yang terjadi pada akhir tahun 1999,

sedangkan angka pertumbuhan selama 10 tahun (1990-2000) mencapai 5,45 /

tahun.3 Angka kepadatan penduduk Kota Ternate adalah 4.323 jiwa Km2

(dengan jumlah kepadatan terbesar berada di wilayah Kecamatan Ternate

Selatan (1.832 orang/Km2) diikuti kecamatan Ternate Utara (2.111

orang/Km2), Kecamatan Pulau Ternate (169 orang/Km2) dan Kecamatan Moti

(211 orang/Km2).

Program prioritas pembangunan Kota Ternate adalah “Catur Program”

atau empat program prioritas, yaitu: a). reformasi administrasi pemerintahan;

b). peningkatan kualitas sumber daya manusia; c). pemberdayaan masyarakat;

d). peningkatan infrastruktur perkotaan. Sebagai daerah kepulauan, sumber

pendapatan kota Ternate bertumpuh pada sektor jasa (lebih 50% PDRB),

3 Profil Kabupaten/Kota, 2004. “Wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua” KementrianLingkungan Hidup. Hal 308.

55

disamping potensi sumber daya alam yang dimiliki. Penyebaran pendapatan

daerah meliputi sektor pertanian 13,34%; pertambagan galian 0,90%; industri

pengolahan 6,26%; listrik, gas dan air bersih 1,57%; bangunan 4,98%;

perdagangan, hotel/restoran 32,55%; pengangkutan dan komunikasi 13,77%;

keuangan, persewahan dan jasa perusahan 6,87%; dan jasa lainnya 19,76%.

Sektor pertanian kota Ternate didominasi oleh subsektor tanaman

perkebunan cengkih (komoditi ekspor) luas lahan 1578 ha dengan hasil

produksi 734 ton/tahun; kelapa dengan luas lahan 1373 ha dengan hasil

produksi 1.500 ton/tahun; tanaman pala dengan luas lahan 789 ha

menghasilkan 375 ton/tahun; subsektor perikanan dengan potensi luas

wilayah perairan atau laut 903,73 km2, memiliki potensi ekonomis tinggi,

yaitu ikan cakalang/tuna 5.038,73 ton produksi/tahun, ikan tongkol 1.309,3

ton/tahun, ikan layar/selar 1.027,3 ton/tahun, dan ikan kakap 219,4 ton.

Sedangkan subsektor kehutanan dikota Ternate tidak terdapat hutan produksi,

yang ada hanya area hutan lindung seluas 2.500 ha/tahun dan hutan konversi

seluas 13.000 ha.

Sebagai daerah penelitian, masyarakat Tafure Ternate memiliki

falsafah hidup yang dikenal ”Adat se Atorang” (sesuai dengan adat dan

aturan), memiliki institusi sosial dan budaya yang ditaati oleh anggota

masyarakatnya. Kewenangan institusi adat sampai saat ini masih eksis

terutama terhadap persoalan-persoalan perdata seperti perkawinan,

perceraian, pembagian waris, hibah, tanah yang diwakafkan dan bahkan ada

kasus pidana sebelum diselesaikan oleh peradilan formal, terlebih dahulu

diselesaikan oleh Sultan melalui perangkat adatnya.

Hal inilah yang mendorong kami untuk meneliti pada komunitas

masyarakat tani Tafure yang dikenal cukup kuat dalam mempertahankan

tradisi dan nilai-nilai adat yang dianut dimana masyarakatnya merupakan

komunitas masyarakat adat yang menjadi korban pembangunan dan perluasan

bandar udara Sultan Babullah.

56

4.3. Struktur Sosial Penduduk

Awal keberadaan masyarakat Tafure terbagi dalam susunan

masyarakat yang tradisional, meskipun penggolongan masyarakat tidak

setajam pembagian kasta-kasta, namun ada penggolongan yang bertolak atas

dasar keturunan. Dangan kata lain pembagian atau stratifikasi masyarakat

Ternate pada umumnya tidak bersifat fungsional. Soelarto4 melihat

stratifikasi sosial Masyarakat Ternate terdiri dari:

1. Golongan Jou: Golongan ini merupakan golongan istana yang terdiri

dari Sultan dan keluarganya sampai pada keturunan ketiga.

2. Golongan Dano-Dano: Yaitu golongan cucu Sultan dan anak-anak

yang dilahirkan dari putri sultan dan dengan orang dari luar istana.

3. Golongan Rakyat: Mereka yang berada diluar golongan diatas

4. Golongan budak (berlaku pada masa dahulu)

Disamping ketiga golongan diatas terdapat golongan budak pada saat

itu karena belum beragama islam, serta mereka yang pernah melakukan

pemberontakan terhadap sultan tapi akhirnya dapat dikalahkan juga. Selain

stratifikasi diatas, juga terdapat pembagian masyarakat berdasarkan

kelompok kekerabatan berdasarkan marga atau Soa yang merupakan

kekerabatan murni masyarakat Ternate. Kelompok ini terdiri 4 suku yakni:

Soa Sio, Sangaji, Pembagian struktur kekerabatan masyarakat tersebut lebih

didasarkan pada kelompok Soa/Suku serta untuk menunjukan asal-usul

keberadaan mereka dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya Soa

melayu dan Soa Jawa sebagai representasi bahwa moyang mereka berasal

dari Melayu dan suku Jawa. Sebagai catatan5 asal usul Soa Jawa berasal dari

para ulama Jawa dan Tuban atau Gresik yang pada saat Sultan Zainal Abidin

(1484-1500) menuntut ilmu agama di pulau Jawa dan kembali ke Ternate

membawa mubaliq yang berasal dari daerah tersebut. Demikian halnya

dengan Soa Melayu, mereka dibawa oleh Sultan terdahulu ke Ternate dengan

jalan asimilasi melalui pernikahan dengan warga Ternate.

4 B. Soelarto, Sekelumit Monografi Daerah Ternate. Penerbit, Proyek Pengembangan MediaKebudayaan Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia,(tanpa tahun),, p. 52.

5 B. Soelarti, Seelumit Monografi....,, op. c it. p. 55.

57

Selain itu ada Soa/marga tertentu yang memiliki tugas dan tanggung

jawab dalam kerajaan Ternate. Mereka memiliki fungsi khusus seperti Soa

Heku dan Soa Cim yang mempunyai tugas kemiliteran dalam kerajaan,

namun mereka tidak mamiliki hak-hak khusus/istimewa (hak privelage).

Walaupun demikian, pada saat-saat tertentu seperti upacara-upacara adat

mereka diberikan pengutamaan seperti memberikan kesempatan untuk makan

bersama, sebagai pemangku adat dan tokoh agama ditempatkan pada bagian

ujung meja (bagian utama).

Pada sisi lain, Abdul Hamid6 menyebutkan bahwa stratifikasi

masyarakat adat Ternate terdiri dari empat kelompok besar yang berjumlah

42 suku bangsa dalam kedudukan di Gam Raha atau empat kekuasan besar.

Bilangan empat puluh dua dipilih menjadi angka empat dan dua dengan

pengertian filosofinya: empat merupakan empat pilar rumah besar, rumah

tempat hunian manusia dan dua adalah dua sosok manusia lelaki perempuan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini

masyarakat adat Tafure Ternate masih menghormati dan mengakui sistem

kekerabatan yang telah turun temurun berlaku dalam masyarakat. Begitu juga

dengan pengakuan terhadap para golongan Jou dan Dano sebagai kelompok

elit atau memiliki kedudukan atau kelompok terhormat dalam masyarakat.

Sedangkan kelompok budak sejak lama, serta akibat perkembangan

masyarakat, telah dihapus atau tidak di kenal lagi dalam masyarakat.

Desa Tafure didirikan tahun 1964, yang terdiri dari tiga dusun, yaittu

dusun Tafure, Akehuda, dan Tubo. Pada saat didirikan, Tafure merupakan

pusat pemerintahan dari tiga dusun tersebut dengan kepala desa pertamanya

adalah H. Achmad Ici yang menjabat sejak tahun 1964 hingga tahun 1984,

dengan jumlah peduduknya hingga tahun 2007 telah mencapai 7739 jiwa dan

di tahun 2008 menurun menjadi 4214 jiwa. Secara administratif Desa Tafure

berada dalam wilayah kecamatan Ternate Utara Kota Ternate. Desa Tafure

terletak di bagian Utara kota Ternate. Penamaan Tafure adalah berasal dari

Pulau Tifure yang merupakan sebuah kerajaan kecil di zaman dahulu namun

hingga kini telah “tenggelam”” oleh zaman. Dengan demikian maka

6 Abdul Hasan Hamid, Aroma Sejarah...., op. cit. p. 30.

58

masyarakat desa Tafure awal adalah hasil relokasi penduduk yang melarikan

diri dimasa kolonial Belanda dari Pulau Tifure ke Kerajaan Ternate. Menurut

pengakuan Madjid Bayau sebagai tokoh Adat setempat (Fanyira Tafure)

bahwa keberanian seorang Ratu Kerajaan Tifure yang membunuh pimpinan

Belanda diwilayah kerajaannya menimbulkan serangan balik yang

mengancam keselamatan diri dan warganya. Menghadapi ancaman tersebut,

sang Ratu terus meminta warga kerajaannya untuk exodus dan menetap di

Ternate dan hingga akhirnya mereka tetap bertahan hingga saat ini.

Wilayah desa Tafure terletak di pesisir pantai, sebelah Utara

berbatasan dengan desa Tabam, sebelah selatan berbatasan dengan desa

Akehuda, sebelah Timur berbatasan dengan desa Tubo, sebelah Barat

berbatasan dengan selat Halmahera. Luas keseluruhan wilayah Tafure 4050

km2. Kondisi jalan darat cukup baik dengan jarak tempuh 5 km menjadikan

Tafure mudah dijangkau, dari dan ke pusat kota Ternate sebagai pusat

ekonomi dan perdagangan di propinsi Maluku Utara.

Hal ini memberi peluang bagi masyarakat setempat dalam melakukan

segala bentuk aktivitas ekonomi. Dekatnya jarak dengan pusat kota serta

tersedianya sarana transportasi umum membuka kesempatan bagi penduduk desa

untuk melakukan interaksi dengan desa-desa sekelilingnya. Dengan kondisi tanah

yang cukup subur, menyebabkan mayoritas penduduk Tafure memiliki mata

pencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 735 orang/jiwa.

Kondisi tingkat pendidikan penduduk pada tahun 2009 berdasarkan

pendidikan SD/sederajat yang tamat 600 tidak tamat adalah 12 orang, Jumlah

penduduk yang tamat SLTP/sederajat 600 orang, tamat SLTA/sederajat 600

orang, tamat D I berjumlah 10 orang, D II 42 orang, D III 15 orang, SI 600 orang,

S2 15 orang. Rata-rata tingkat dan kualitas pendidikan masyarakat sangat rendah7.

Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan,

kualitas sumber daya tenaga pendidik yang rendah serta terbatasnya sarana dan

prasarana penunjang. Tentunya ini semua tidak terlepas dari kurangnya peran dan

perhatian pemerintah daerah setempat dalam memajukan dunia pendidikan,

kesehatans, dan lainnya.

7 Ibid.

BAB V

KONFLIK PEMBANGUNAN DAN GERAKAN SOSIAL BARU

Salah satu konflik yang terjadi di Indonesia pasca runtuhya

pemerintahan orde baru adalah yang terjadi di Maluku Utara. Akibat dari

konflik tersebut, baik dilihat dari jumlah korban langsung akibat kekerasan

telah menimbulkan ribuan korban jiwa manusia yang tak berdosa, (kematian

dan cacat badan), kerusakan sarana dan prasarana sosial-ekonomi (Rumah

penduduk, tempat ibadah dan sarana perekonomian), maupun trauma

psikologis yang diakibatkan. Selain itu juga telah terganggu sistem

pendidikan, mandeknya aktivitas ekonomi masyarakat, rusaknya hubungan-

hubungan sosial yang selama ini berkembang dalam masyarakat.

5.1. Akar Konflik Maluku Utara

Dampak negatif pelaksanaan pembangunan yang dirasakan pada era

reformasi adalah terjadinya konflik dibeberapa daerah serta menguatnya

gejala konflik baru, baik yang bersifat sosial-horisontal maupun yang

bersifat politik-vertikal, termasuk yang terjadi di Kota Ternate propinsi

Maluku Utara. Menguatnya gejala konflik ini harus dipandang sebagai salah

satu implikasi negatif dari kebijakan pembangunan dan hubungan pusat-

daerah yang tersentralisasi pada era terdahulu, serta melemahnya hubungan

sosial masyarakat.

Kerusuhan yang berkempanjangan dengan akar konflik yang selalu

berkembang secara eksplisit memberi indikasi bahwa potensi konflik internal

yang ada dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Maluku Utara telah

melemahkan kearifan budaya lokal. Dari hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh para peneliti, akar persoalan sumber konflik di Maluku Utara

tidaklah tunggal. Persoalan kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam

serta pertikaian elit politik dan birokrasi merupakan faktor pembungkus

”konflik agama” yang selama diyakini oleh sebagian besar masyarakat.

60

Dalam konteks lokal, setidaknya ada dua faktor penting yang mendasari

konflik di wilayah ini yaitu : (1) Rivalitas elit dalam merebutkan pengelolaan

sumberdaya alam dan jabatan-jabatan birokrasi serta politik, (2) Menguatnya

etnosentrisme sebagai alat untuk merebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik.

Agusalim Bujang menyebutkan akar masalah konflik Maluku Utara karena (1)

Adanya Upaya Kristenisasi di Maluku Utara, (2) Perebutan Wilayah Agama (3)

Perebutan sumberdaya Ekonomi/Tambang Emas PT. NHM, (4) Perebutan Kursi

Gubernur Maluku Utara (5) Keterlibatan Negera-Negara Luar.1

Tamrin Amal Tomagola menyebutkan 3 akar masalah konflik Maluku

Utara, yang meliputi kompetisi memperebutkan territorial agama; perebutan

tambang emas di Malifut dan perebutan jabatan Gubernur Maluku Utara.

Sedangkan Sri Yanuarti, dkk. Penyebab konflik meliputi: 2 (1) perseturuan

antara Ternate dan Tidore; (2) Eksistensi Wilayah Adat; (3) ketegangan

masalah agama; dan (3) Perebutan sumberdaya. Dari berbagai pendapat

terhadap diatas, menurut penulis akar penyebab konflik Maluku Utara

meliputi; a) Persaingan etnis; b) Perebutan wilayah dan sumberdaya alam; c)

Persaingan antara agama; d) Pemerataan distribusi sumberdaya

pemerintahan; e) Perebutan sumber daya politik (kekuasaan); f)

Ketidakadilan; g) Lemahnya peran lembaga adat lokal serta kearifan lokal

yang selama ini menjadi modal sosial. Melemahnya sosial capital, kemudian

dimanfaatkan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab (provokator)

melalui cara-cara yang sistematis dengan berbagai kepentingan oleh aktor

intelektual yang hampir dapat dipastikan sulit dijamah hukum.

Dengan demikian, maka menurut penulis bahwa konflik Maluku Utara

umumnya dan kota Ternate khususnya bukan semata-mata konflik agama,

akan tetapi terjadi dinamika konflik yang berawal dari perebutan (pengakuan)

wilayah adat dan sumberdaya politik (kekuasaan) dan ekonomi yang terbatas.

Salah satu konflik di Maluku Utara yang telah berlangsung lama hingga kini

adalah konflik pembangunan bandara Sultan Babullah Ternate.

1 Kasman Hi. Ahmad dan Herman Oesman (penyunting), Damai Yang Terkoyak, CatatanKelam Dari Bumi Halmahera. Podium-Madani Press. Ternate, 2000, Hlm. 120-123.

2 Yuniarti, Sri, dkk. 2004. Konflik Maluku Utara, Penyebab, Karakteristik dan PenyelesaianJangka Panjang. LIPI, Jakarta, 2004, hlm. 86-110.

61

Indikasi kuat dari pernyataan ini karena bagian Utara kota Ternate

dengan struktur sosial yang terkesan homogen dengan kultur masyarakat adat

yang cenderung menguat sehingga merupakan kawasan dengan tingkat

heterogenitas penduduk yang cukup rendah. Meskipun demikian, sejarah

sosial di kota ini menunjukkan bahwa konflik sosial merupakan hal yang

selalu muncul dalam bentuk perang suku maupun sengketa dalam bentuk

yang lain, terutama dengan kalangan yang dianggap “berlawanan” dengan

perangkat hukum adat setempat.

Berlangsungnya proyek pembangunan lapangan terbang sejak tahun

1970-an dengan demikian memanfaatkan tanah milik petani lokal untuk

proyek tersebut telah menjadi sumber konflik antara masyarakat sekitar

dengan pihak pelaksana proyek (Pemda). Disamping itu, operasi proyek

pembangunan tersebut juga menimbulkan dampak sosial, ekonomi dan

budaya yang luar biasa, sehingga masyarakat yang terkena dampaknya

merasa dirugikan.

Kenyataan ini menyebabkan konflik semakin menjadi meluas terutama

yang terkait dengan dampak yang ditimbulkan tersebut, dan untuk meredam

konflik dan protes yang dilakukan oleh petani dan masyarakat korban

pembangunan bandara tersebut maka pihak Pemerintah Daerah Propinsi

menyediakan dana untuk pembayaran ganti rugi bagi para pemilik tanah yang

telah dikonversi untuk proyek pembangunan tersebut. Kebijakan ini ternyata

tidak mampuh mengatasi konflik, karena model pengelolaannya tidak pernah

memuaskan semua pihak.

Meskipun model pengelolaan sudah diperbaiki, dari pengelolaan oleh

Pemda propinsi sampai dengan model pengelolaan dengan melibatkan tokoh

masyarakat setempat, ternyata belum memuaskan masing-masing pihak

bahkan melahirkan perpecahan dikalangan masyarakat sehingga

menimbulkan konflik-konflik baru (konflik budaya). Secara kultural,

pertemuan dua orientasi nilai budaya yang sangat kontras diwilayah seputar

proyek pembangunan juga menjadi sumber konflik budaya. Pada satu sisi ada

masyarakat sangat taat pada sistem hukum adat setempat, pada sisi yang lain

ada pelaksana proyek pembangunan dengan budaya industri modern dan

62

dalam perkembangannya lebih mendapat dukungan dari sebagian masyarakat

korban proyek pembangunan yang memilih sikap untuk menerima proses

ganti rugi dengan nilai yang dianggap tidak wajar dengan syarat adanya

pengakuan negara tentang status tanah sengketa sebagai tanah adat.

Sementara korban lainnya yang menolak ganti rugi karena dianggap ada

unsur manipulasi data dan dugaan pelanggaran hukum (KKN) yang dilakukan

oleh perwakilan masyarakat penyelesaian ganti rugi (Tim 6) dalam peoses

pembayaran ganti rugi tersebut. Bab ini membahas beberapa sumber konflik

baru yang bersumber dari proyek pembangunan bandara tersebut, yaitu

diantaranya terkait dengan dampak perubahan sruktur ekonomi dan kultural,

dampak lingkungan, dll.

Konflik bagi masyarakat Ternate khususnya di bagian Utara merupakan hall

yang biasa, yang ditunjukkan dengan kebiasaan perang dimana sebagian besar

pasukan tentara kerajaan Ternate berdomisili di wilayah ini. Kehadiran proyek

pembangunan bandara merupakan sumber konflik baru bagi beberapa desa seperti

yang telah disebutkan (Tafure, Tabam, Sango dan Tarau). Kegiatan proyek

pembangunan bandara sejak tahun 1970 telah menimbulkan perubahan sosial

yang sangat cepat dikawasan beberapa daerah sekitar bandara. Ini berarti faktor-

faktor material nampak lebih nyata pengaruhnya terhadap perubahan sosial karena

memerlukan penyesuaian sikap mental manusianya. Apalagi dengan adanya

perubahan lingkungan hidup yang berpengaruh langsung terhadap sumber mata

pencaharian penduduk sekitar bandara tersebut sehingga diperlukan kemampuan

adaptasi secara signifikan agar masyarakat tetap bisa bertahan hidup.

Perubahan yang begitu cepat melahirkan konflik-konflik sosial yang

begitu tajam, karena ketegangan meningkat. Meningkatnya ketegangan lebih

disebabkan karena situasi sosial yang telah ada yaitu selain karena perubahan

mata pencaharian penduduk disekitar bandara, juga karena dampak kebisingan

suara akibat penerbangan pesawat terbang yang berlangsung pada setiap saat.

Sebagai perusahaan modern pihak pengelola bandara dituntut untuk bertindak

secara rasional dalam menghadapi segala bentuk tuntutan masyarakat sekitar

sedangkan pihak masyarakat sekitar sangat lekat dengan nilai-nilai

tradisionalnya.

63

Sementara itu perubahan-perubahan tidak terhindarkan sehingga

masyarakat adat terasa makin sulit beradaptasi dengan situasi maupun

nilai-nilai baru. Akhirnya, perubahan dan konflik berjalan beriringan

sebagai suatu kenyataan yang tidak terhindarkan, yang dipicu oleh

kehadiran pembangunan proyek bandara Sultan Babullah Ternate yang

berdampak pada beberapa desa sekitar lokasi bandara tersebut.

Bagaimana konflik itu berproses? dapat dilihat dari tahap awal

perencanaan pembangunan bandara sampai tahap operasional dari

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan setelah proyek berjalan. Dalam

kaitannya dengan masyarakat sekitar bandara, dengan segala pasang

surutnya perusahaan ini seolah-olah tidak peduli terhadap masyarakat

korban pembangunan proyek bandara disekitarnya.

Baru setelah ada peristiwa aksi pemblokiran dan boikot aktivitas

penerbangan pada tanggal 01 Februari 2005 dan kemudian berulang

kembali pada tanggal 05 Desember 2006, kebijakan-kebijakan pihak

departemen perhubungan sebagai pengelola bandara mulai diarahkan

pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat khususnya

untuk mengakomodir tuntutan-tuntutan ganti rugi bagi masyarakat

pemilik lahan yang telah dijadikan sebagai lahan beroperasinya aktivitas

bandara. Langkah nyata ini ditandai dengan dikeluarkannya kebijakan

penyediaan dana ganti rugi bagi pihak penduduk sekitar yang menuntut

adanya ganti rugi atas lahan penduduk yang digunakan sejak awal

pembangunan proyek bandara hingga mengalami perluasan pada tahun-

tahun belakangan ini.

Peran lembaga adat kesultanan Ternate sangatlah lemah dalam

menanggapi persolan penyelesaian ganti rugi bagi masyarakat korban

pembangunan bandara tersebut. Indikasi ini dapat dibuktikan dengan

berbagai surat yang dikeluarkan oleh Sultan Ternate yang sekedar berupa

surat himbauan, baik kepada masyarakat korban untuk tidak terprovokasi

dengan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab maupun himbauan

kepada pihak pengelola bandara (kepala bandara).

64

Hal ini dapat dibuktikan dengan surat himbauan yang

ditandatangani oleh Sultan Ternate tertanggal 5 Mei 2009 No. 109/MKR-

KT/V/2009 perihal himbauan kepada Kepala Bandara Sultan Babullah

Ternate beserta pihak-pihak terkait agar menangguhkan pembayaran

ganti rugi lahan bandara dalam batas waktu yang belum ditentukan,

karena persoalan ini sedang diproses secara hukum. Semestinya lembaga

adat kesultanan melakukan negosiasi-negosiasi konkrit yang tidak

merugikan masyarakat sekitar bandara sembari aktif meciptakan

perdamaian.

Dalam perkembangannya, persoalan sengketa lahan bandara

tersebut ternyata tidak semata-mata terkait dengan tuntutan ganti rugi

semata melainkan tuntutan masyarakat adat yang menginginkan adanya

kejelasan atas pengakuan dan perlindungan atas hak-hak ulayatnya

(tanah). Hal ini terlihat jelas dalam pernyataan sikap kelompok

masyarakat yang menamakan diri sebagai Aliansi Masyarakat Peduli

Korban Pembangunan Bandara Sultan Babullah Ternate pada tanggal 30

Juli 2009 lalu. Lebih lengkapnya tentang isi dari pernyataan sikap

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan Perda No. 13 tahun 2009, Lembaran Daerah No. 45tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat AdatKesultanan Ternate serta mengacu pada kesepakatan bersama antarapemerintah dan masyarakat tertanggal 1 Februari 2005 bahwa lahanbandara Sultan Babullah Ternate adalah tanah “Kaha Kie se Kolano”(tanah adat), oleh karena itu maka pemerintah RI cq. PemerintahDaerah harus mengakui hak-hak masyarakat adat yang termasukpenyelesaian ganti rugi lahan bandara. Kepala Bandara harusmelibatkanSultanTernatesebagaipemangku adat.

2. Pihak bandara Sultan Babullah Ternate segera menangguhkansurat perintah membayar (SPM) sampai selesainya proses hukumdi pengadilan.

3. Pemerintah RI cq. Dirjen Perhubungan Udara bersama masyarakatpemilik lahan segera merevisi data dan kesepakatan bersama(MoU) yang sangat merugikan masyarakat pemilik lahan danmelecehkan lembaga adat Kesultanan ternate.

4. Polres kota Ternate bersama Polda Maluku Utara segeramenangkap oknum-oknum Tim 6 dan kroninya yang diduga kuatmelakukan penipuan, pembohongan dan penggelapan uang

65

berdasarkan laporan polisi No. Pol: LPB/331/V/2009/SPKtertanggal; 14 Mei 2009.

5. Ganti rugi lapangan sepak bola Ganefo harus segera direalisasi.6. Rekruitmen CPNS di lingkup Perhubungan Udara harus

transparan dan harus memprioritaskan anak daerah sekitarterutama masyarakat (Tafure, Tabam, Sango dan Tarau).

7. Setiap kegiatan proyek pembangunan Bandara harus melibatkantenaga kerja (buruh) dari masyarakat tersebut.

8. Apabila poin 1-7 tidak diakomodir maka kami akanmemboikot aktifitas bandara dengan melibatkan masyarakatadat kesultanan Ternate.

Demikian surat pernyataan sikap para demonstran yang ditujukan

kepada Menteri Perhubungan RI Cq. Dirjen Perhubungan Udara di Jakarta

yang ditandatangani oleh penanggungjawab aksi Ilyas Bayau. Sebulan

sebelumnya aksi tersebut diatas dilakukan tepatnya tanggal 15 Juni 2009,

Tim 4 penyelesaian ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate Bpk.

Ilyas Bayau selaku koordinator tim tersebut menyurat kepada Kapolres Kota

Ternate cq. Kasat Reskrim Polres Kota Ternate tentang laporan tindak pidana

Kriminal untuk menindak proses penyidikan kasus manipulasi dan

penggelapan uang ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate tahap I

yang berasal dari dana DIPA. T.A. 2006 Rp. 1.500.002.000,- (satu milyar

lima ratus juta dua ribu rupiah), yang berimbas pada 53 orang yang dirugikan

sebesar Rp. 149.250.000,- (seratus empat puluh sembilan juta dua ratus lma

puluh ribu rupiah).

Pembayaran tahap II berasal dari DIPA T.A. 2008 Rp.5.000.000.000,-

(lima milyar rupiah) yang menyebabkan 20 orang dirugikan dengan nilai

kerugian sebesar Rp.148.125.000,- (seratus empat puluh delapan juta seratus

dua puluh lima ribu rupiah). Hingga kini, proses penyidikan kasus manipulasi

dan penggelapan uang ganti rugi lahan bandara yang bersumber dari dana

DIPA tahap I dan II tersebut masih ditangani oleh pihak Polres Kota Ternate

yang telah melakukan pemanggilan terhadap beberapa oknum anggota

masyarakat yang diduga terlibat dalam tindakan kriminal tersebut bahkan

terindikasi juga kasus ini akan menyeret nama beberapa pejabat birokrasi

setempat.

66

5.2. Faktor-faktor Penyebab Sengketa

Faktor penyebab sengketa sumber daya alam berbasis tanah disebabkan

karena multi interpretasi dan ketidakadaan pegangan bersama dari berbagai

pihak tentang siapa yang berhak menguasai tanah dan sumber daya alam,

siapa yang berhak memanfaatkan, dan siapa pula yang berhak dalam

pengambilan keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber

daya alam tersebut3. Akibat dari ketidakjelasan tersebut sehingga masing-

masing pihak, pemerintah, perusahaan, saling mengklaim bahwa merekalah

yang lebih berhak dari pihak lain.

Dari hasil penelitian ini ditemukan berbagai potensi kerugian yang

dialami masyarakat sehingga melahirkan gerakan sosial di daerah penelitian

ini adalah hilangnya tanah pertanian, hilangnya kapling rumah, hilangnya

akses ke tanah hutan, hilangnya hak atas tanah adat, hilangnya rumah atau

tempat tinggal, hilangnya sumber mata pencaharian/pendapatan, hilangnya

lahan perkebunan, pemakaman, dll.

Kaitan dengan terjadinya konflik sumber daya alam, menurut Nyoman

Nurjaya bersumber dari persoalan-persoalan seperti:

1). Penguasaan, pemanfaatan, dan distribusi sumber daya alam yang

menjadi pendukung kehidupan manusia;

2). Ekspansi batas wilayah kehidupan suatu kelompok;

3). Kegiatan ekonomi masyarakat;

4). Kepadatan penduduk.

Sumber konflik tersebut sejalan dengan realitas konflik perebutan

sumberdaya alam (tanah) pada masyarakat hukum adat Tafure di Ternate

dengan pihak pengelola Bandara Sultan Babullah Ternate. Tanah-tanah yang

dimiliki sebagai tempat penghidupan sehari-hari telah diambil oleh pihak

Departemen Perhubungan sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam

sengketa tanah bandara tersebut dengan tidak memberikan ganti rugi

yang layak, akibatnya taraf kehidupan masyarakat secara ekonomi justru

menjadi terpuruk dan menjadi tidak sejahtera.

3 Iksan Malik, et. al. Op cit p. 337.

67

Kejadian ini semakin diperburuk dengan tidak adanya payung

hukum yang berpihak pada kepentingan masyarakat adat setempat

sehingga seolah tidak ada landasan hukum bagi masyarakat adat dalam

memperjuangkan dan menuntut pengakuan atas hak-hak ulayatnya.

Menurut masyarakat, keberadaan Bandara telah merampas hak tanah adat

mereka. Masyarakat adat Tafure merasa diperlakukan secara tidak adil

dan membuat mereka merasa terganggu karena bunyi rutinitas

penerbangan pesawat pada setiap harinya, yang diekspresikan dengan

berbagai aksi protes. Pihak bandara dianggap tidak menghargai hak-hak

adat mereka. Kompensasi ganti rugi yang diberikan dianggap tidak

sepadan dengan yang diharapkan. Ketidakberesan dalam merespon

tuntutan masyarakat telah ikut mendorong tindakan kolektif masyarakat

untuk merebut apa yang diklaim sebagai hak ulayat mereka selama ini.

Tuntutan pengakuan dan perlindungan keberadaan hak masyarakat

hukum adat mereka telah dilakukan dengan berbagai cara. Pilihan hukum

yang ditempuh baik berdasarkan hukum adat, maupun hukum negara telah

lama diperjuangkan dan terus dilakukan hingga saat ini demi

mempertahankan sejengkal tanah yang telah dikuasai. Perjuangan inipun tak

menjadi sia-sia dengan disahkannya Perda No. 13 tahun 2009 tentang

Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan

Ternate.

Upaya perjuangan tersebut karena adanya harapan bahwa bentuk

penyelesaian yang ditempuh akan memberikan hasil yang memuaskan dengan

kembalinya tanah adat mereka yang selama ini digunakan untuk bertani dan

bercocok tanam sebagai sumber utama mata pencaharian mereka yang

mendiami daerah sekitar bandara. Pemerintah sering memperhadapkan

masyarakat dalam setiap konflik pembangunan yang berbasis pada

penguasaan dan pemilikan sumber daya tanah dengan bukti-bukti yang

bersifat formal jika terjadi sengketa antara masyarakat dengan pemerintah

atau perusahaan, akibatnya komunitas masyarakat adat selalu berada pada

posisi yang dirugikan dan menjadi kalah karena harus diakui penguasaan

sumber daya tanah oleh masyarakat adat dilakukan secara tidak tertulis.

68

Pembuktian secara formal hak atas tanah menyebabkan nilai tawar

masyarakat adat dalam proses ganti rugi tanah semakin lemah, karena jika

masyarakat dan pihak bandara tidak mencapai kata sepakat, maka pemerintah

dalam hal ini secara yuridis dalam konteks hukum positif melalui berbagai

macam produk Undang-undang yang berpihak dan cenderung memperkuat

otoritas kewenangan negara dalam mengatur penguasaan dan pemilikan atas

tanah. Dengan demikian, maka pemberian ganti rugi kepada masyarakat

korban seolah mengedepankan peran pemerintah sebagai alat negara yang

cenderung memaksa masyarakat untuk tunduk dan takluk terhadap segala

bentuk kebijakan negara.

Dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5

Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat

Adat, dan lebih lanjut diperjelas dengan Surat Menteri Agraria/Kepala BPN

No. 400-2626 tanggal 21 Juni 1999 tentang Penyampaian Pedoman dan

Penjelasan Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, pemerintah berusaha untuk

memahami hal-hal yang berkaitan dengan hak ulayat. Menurut ketentuan

tersebut, yang dimaksud hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum

adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan

lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya

alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan

kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun

temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan

wilayah yang bersangkutan. Definisi ulayat menurut (versi) pemerintah ini

menunjukkan bahwa pemerintah memberikan persyaratan tertentu dalam

menentukan masih ada tidaknya hak ulayat dalam suatu daerah tertentu.

Peraturan ini menetapkan ada tiga syarat (unsur) yang harus dipenuhi

dalam menentukan masih ada atau tidaknya hak ulayat. yaitu:

a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang

masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga

bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan

menerapkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam kehidupannya sehari-

hari;

69

b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi

lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan

tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari;

c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu

terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan

dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh

para warga persekutuan tersebut.

Persyaratan di atas menunjukkan, pemerintah tidak secara tegas atau

bersifat setengah hati dalam mengakui keberadaan hak ulayat. Ini merupakan

dampak pola pikir masa lalu yang masih sentralistik, yaitu upaya ke arah

unifikasi hukum tanah masih sangat dominan. Upaya penyeragaman sistem

hukum tidaklah senantiasa buruk, namun tidak seharusnya pemerintah

memaksakan kehendaknya tanpa memperdulikan realitas yang ada di dalam

masyarakat adat di sejumlah daerah, terutama di luar pulau Jawa yang

selama Orde Baru telah dirusak dan dihancurkan.

Meskipun di dalam peraturan tersebut, memberikan wewenang kepada

daerah untuk mengadakan penelitian mengenai ada tidaknya hak ulayat atas

dasar tiga unsur dimaksud dengan cara mengikut sertakan pihak-pihak yang

berkepentingan dan pihak-pihak yang dapat menyumbangkan pemikiran dan

peranannya, seperti para ketua adat, para pakar adat, wakil lembaga swadaya

masyarakat dan wakil instansi yang bertanggung jawab mengenai

pengelolaan sumberdaya alam (misalnya instansi kehutanan dan perkebunan

yang berkaitan dengan tanah ulayat di kawasan hutan, begitu pula instansi

pertambangan, apabila tanah ulayat tersebut diperkirakan didalamnya

terkandung bahan pertambangan).

Pelaksanaan dari ketentuan tersebut di atur lebih lanjut dengan

peraturan daerah (Perda). Kebijakan pemerintah reformasi di bidang

pertanahan ini memang agak selangkah lebih maju dibandingkan pada era

Orde Baru. Akan tetapi ketentuan kebijakan ini tetap saja memposisikan hak

ulayat masyarakat adat pada posisi yang lemah, karena pengakuan ada

tidaknya hak ulayat ditentukan oleh penguasa di daerah.

70

Apalagi penguasa/pejabat beserta aparat di daerah sebagian besar masih

diduduki oleh orang-orang yang anti terhadap masyarakat adat. Meskipun

demikian, upaya pemerintah ini perlu disikapi secara arif oleh

penguasa/pejabat beserta aparat di daerah. Jika ini dapat dilakukan secara

baik dan penuh kearifan maka akan dapat mengurangi muncul konflik

pertanahan di masa mendatang.

Persoalan lain yang tidak kalah rumit dan kompleksnya, adalah

persoalan hak ulayat yang selama Orde Baru sebagian besar telah dikuasai

oleh negara dan swasta. Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5

Tahun 1999 antara lain menetapkan bahwa pelaksanaan hak ulayat

masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam peraturan tersebut

tidak lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkan

peraturan daerah sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum

dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA 1960, juga atas bidang-bidang

tanah yang pada saat ditetapkan peraturan daerah, merupakan bidang-bidang

tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan

hukum atau perseorangan, sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.

Ketentuan ini tentunya menimbulkan persoalan bagi masyarakat adat

untuk memperoleh keadilan terhadap tanahnya yang dirampas secara paksa

oleh negara sehingga konflik menjadi sesuatu yang sulit dihindari antara

masyarakat adat versus negara sebagaimana terjadi pada masyarakat adat

Tafute Ternate. Meskipun kebijakan ganti rugi telah ditempuh oleh pihak

pengelola bandara atau Departemen perhubungan propinsi Maluku Utara

sebagai upaya berdamai dengan masyarakat sekitar namun ternyata kebijakan

ini ternyata belum mampuh meredam konflik yang sudah lama terpendam,

bahkan menjadi sumber konflik baru.

Dari hasil penelitian ini juga ditemukan faktor-faktor lainnya selain

yang disebutkan diatas yang menjadi sumber penyebab terjadinya konflik

pertanahan yang merugikan masyarakat petani sekitar proyek pembangunan

bandara Sultan Babullah Ternate, yaitu :

71

5.2.1. Perubahan Struktur Sosial-Ekonomi

Berbicara mengenai dampak sosial ekonomi, sangat erat kaitannya

dengan dampak lingkungan fisik yaitu yang terkait dengan perubahan alih

fungsi lahan pertanian masyarakat yang diperuntukkan bagi proyek

pembangunan bandara, karena perubahan-perubahan sosial yang terjadi,

disamping karena pengaruh ide-ide, pengaruh fisik juga tidak dapat diabaikan

peranannya. Bahkan kehidupan sosial masyarakat Ternate secara keseluruhan

pada kawasan tertentu dipengaruhi langsung oleh perubahan lingkungan fisik.

Salah satu pengaruh nyata terhadap perubahan sosial ekonomi

masyarakat adat setempat adalah perubahan pola dan struktur mata

pencaharian mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu dengan

cara menjadi PKL di pasar-pasar tradisional bagi sebagian besar kaum

perempuannya sedangkan para lelaki harus terpaksa beralih profesi menjadi

buruh bangunan, supir angkot maupun truk, dll. Kondisi ini jelas sangat

berbeda dengan keadaan sebelumnya dimana sebagian besar dari kaum petani

perempuan bersama suaminya secara bersama-sama bekerja di kebun untuk

mengolah lahan pertanian mereka dengan beragam tanaman terutama yang

berhubungan dengan bahan-bahan makanan seperti singkong, buah-buahan

dan sayur-sayuran yang langsung dikonsumsi saat tibanya waktu panen guna

memenuhi kebutuhan pokok kehidupan mereka dan sebagiannya lagi untuk

dijual di pasar-pasar tradisional. Kehidupan mereka sangat tergantung pada

alam yang menyediakan bahan-bahan makanan untuk diambil secara

langsung pada saat itu.

Sebelum digunakan sebagai lahan proyek pembangunan bandara, lahan

itu adalah kebun singkong, pala, cengkeh, kelapa, serta beberapa tanaman

holtikultura lainnya. Dengan keberadaan hutan seperti inilah memungkinkan

mereka melakukan pola hidup peramu. Kebiasaan hidup masyarakat setempat

dengan ketegantungannya terhadap SDA seperti diatas misalkan singkong,

daunnya dimanfaatkan sebagai bahan sayur-sayuran sedangkan buahnya

untuk membuat makanan pokok yang disebut sagu, dan dari sagu ini pula

dapat diproses menjadi –popeda yang hingga kini masih menjadi makanan

khas masyarakat Ternate khususnya bahkan Maluku pada umumnya.

72

Sementara dari tumbuh-tumbuhan hutan diperoleh buah-buahan, obat-obatan,

serta kayu pembuat rumah. Bahan kayu pembuat rumah ini diperoleh dari

sumber tanaman pohon kelapa yang buahnya diproses menjadi minyak

goreng untuk dikonsumsi maupun untuk dijual.

Setelah proyek pembangunan bandara itu dilaksanakan maka sejak

tahun 1970, sebagian besar hutan primer tersebut menjadi disfungsional bagi

pemenuhan kebutuhan rakyat sekitar dan seluruh aktivitas tradisional

masyarakat sekitar berubah drastis. Secara fisik hutan rakyat (kebun) tersebut

telah berubah menjadi landasan pacu pesawat terbang sehingga tak dapat

digunakan lagi oleh masyarakat seperti semula. Padahal lahan tersebut

merupakan hak ulayat masyarakat dan mereka tahu betul akan hal tersebut.

Melihat hamparan luasnya lapangan terbang yang memusnahkan

tanaman, bagi masyarakat sekitar merupakan bencana yang akan mengganggu

kehidupan mereka dalam kurun waktu yang relatif lama. Tidak mudah bagi

mereka yang sudah demikian akrab dengan kehidupannya dengan alam tiba-

tiba beralih kebiasaan dan mata pencaharian. Oleh karena itu dalam

penelitian ini terlihat bahwa kesedihan mereka cukup dalam sehingga muncul

tuntutan untuk memulihkan tanah mereka seperti sedia kala meskipun hal ini

diakui mereka sangatlah sulit bahkan tak mungkin untuk dilakukan.

Sedikitnya terdapat beberapa dampak sosial yang dapat diidentifikasi

dari pembangunan proyek bandara Sultan Babullah Ternate, yaitu:

1.Akses masyarakat sekitar bandara ke hutan yang menjadi terhalang.

Oleh karena hak ulayat masyarakat sekitar masih terpelihara namun

diperhadapkan dengan kekuatan dominan negara yang begitu

menguat maka pendudukpun tak kuasa menerima resiko bahwa

sumber kehidupan mereka dari bertanam menjadi hilang sedangkan

untuk berganti mata pencaharian hal ini sangat sulit untuk dilakukan

karena terbatasnya ketrampilan dan wawasan. Disamping itu, upaya

untuk beradaptasi dengan lingkungan baru sangat lambat karena

terkait dengan orientasi nilai budaya dan kebiasaan hidup masyarakat

bersangkutan sehingga butuh proses yang sangat lama bagi mereka

untuk beradaptasi dengan lingkungan baru serta segala resikonya.

73

2. Ketergantungan terhadap alam bergeser kearah ketergantungan

terhadap proyek bandara. Salah satu resiko bahwa sumber kehidupan

mereka dari bertanam menjadi hilang sedangkan untuk berganti mata

pencaharian hal ini sangat sulit untuk dilakukan karena terbatasnya

ketrampilan dan wawasan, maka satu-satunya jalan yang dapat

dilakukan adalah menggantungkan kehidupan mereka pada profesi

sebagai buruh bagasi di bandara atau menjadi supir taxi bagi sebagian

besar kaum laki-laki penduduk sekitar sedangkan lainnya adalah

menjadi tukang jual karcis, dll. Meskipun kondisi ini dianggap bukan

jaminan pekerjaan yang ideal bagi mereka akan tetapi bagi sebagian

dari mereka merupakan pilihan hidup yang harus dijalani.

Ketergantungan kepada orang luar bagi masyarakat Tafure merupakan

perubahan sosial yang cukup signifikan karena secara tradisional

mereka adalah orang-orang bebas yang pada dasarnya mampuh

menentukan sendiri apa yang diinginkan. Sedangkan kini, mereka

terpaksa harus bersabar untuk menerima kesempatan dan peluang

pekerjaan yang memang sangat terbatas seperti jenis profesi yang

disebutkan diatas. Kekesalan yang bertumpuk sesungguhnya

merupakan sumber konflik antara penduduk sekitar dengan pihak

bandara.

3. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat Tafure dan

sekitarnya karena pengaruh alam yang bergeser kearah

ketergantungan terhadap pihak luar yang menyebabkan jati diri

penduduk setempat menjadi luntur bahkan terasing. Nilai-nilai

spritual yang berpengaruh sangat besar terhadap hakekat keberadaan

mereka sebagai manusia sangat terpengaruh oleh perubahan-

perubahan fisik dilingkungan mereka. Identitas mereka sebagai

komunitas masyarakat adat yang menyatu dengan alam menghilang

karena pemukimannya berpencar (dipindahkan dari lokasi asal)

seperti yang terjadi pada masyarakat Tafure yang harus terpecah

antara Akehuda dan Tubo yang secara spasial dipisahkan oleh batas

areal bandara yang begitu luas.

74

Dengan adanya pemisahan wilayah geografis seperti ini justeru turut

berpengaruh terhadap pola hubungan atau relasi sosial yang dulunya

bersifat berdekatan dengan sistem kekerabatan menjadi terpecah belah

dan cenderung mengedepankan individualisme sebagai manifestasi

perubahan spasial lingkungan pemukiman tersebut. Kondisi ini jelas

berpengaruh pada perubahan sosial budaya komunitas setempat.

5. Konsekuensi langsung dari perubahan spasial atau pemukiman yang

berpencar tersebut adalah memudarnya solidaritas organik atau sistem

kekerabatan komunitas sehingga menjadikan mereka sebagai pribadi-

pribadi yang “modern” meskipun prosesnya mengalami loncatan yang

begitu jauh sehingga dapat menimbulkan keputusasaan dan

ketidakpuasan yang berkepanjangan. Manifestasi dari kondisi ini

adalah timbulnya perilaku negatif dengan mengharapkan pemberian

terus-menerus untuk memperoleh materi secara gampang.

Dengan demikian, dampak yang ditimbulkan akibat perluasan Bandar

Udara Sultan Babullah Ternate sangat beragam dengan dilakukannya penggusuran

terhadap lahan masyarakat di sekitar lokasi bandara yang tidak semata

menimbulkan dampak lingkungan hidup melainkan juga melahirkan dampak

sosial dan gejolak politik dengan munculnya gerakan sosial baru di daerah

tersebut. Mulai dari dampak kesehatan, sosial budaya, politik, keamanan,

hilangnya kesempatan kerja dan lapangan kerja, perubahan pola konsumsi, akibat

tanah masyarakat digusur tingkat kebisingan pesawat terbang yang selalu

mengganggu kenyamanan hidup masyarakat sekitar.

Pada tahun 1970, karena pembangunan landasan pacu bandara Sultan

Babbullah Ternate dimulai maka penduduk beberapa Desa sekitar (Tafure,

Tabam, Sango, Tarau) pada saat itu menjadi terpecah pada beberapa wilayah

sekitar yang kemudian secara administratif pemerintahan disederhanakan oleh

pemerintah Kota Ternate. Akibat dari relokasi ini maka anggota masyarakat

penduduk sekitar menjadi terpecah belah menjadi beberapa desa yang pada waktu

sebelumnya mereka hidup bermukim secara bersatu padu, penuh kekeluargaan

dan kini terjadi pemekaran atau pemencaran dan letaknya relatif berjauhan satu

sama lainnya.

75

Situasi ini secara sosial budaya selain mengubah pola pemukiman, juga

berpengaruh terhadap organisasi sosial mereka. Akibat lebih lanjut adalah

makin memudarnya identitas diri sebagai orang adat Ternate. Salah satu bukti

memudarnya identitas diri orang Ternate adalah bahwa sebagian diantara

mereka tidak lagi bergantung atau mengikuti petunjuk-petunjuk dari para

pemangku adat di masing-masing desa setempat yang sebelumnya adalah

seratus persen tuntuk dan takluk mendengar, menghormati dan menghargai

para pemangku adat setempat.

Orang yang dianggap pemimpin adalah kepala desa, camat dan

walikota. Meskipun demikian, pada sebagian besar anggota masyarakatnya

masih tetap mengakui peran dari perangkat adat lokal dalam tatanan

kehidupan sosial politik masyarakat sehingga tidak mengherankan ketika

dalam praktek pemerintahan masyarakat seolah memperlihatkan adanya

dualisme model pemerintahan negara dengan model pemerintahan negara

bayangan (baca: shadow state).

Perubahan ikatan sosial juga terjadi yang ditunjukkan oleh makin

longgarnya ikatan solidaritas antara seluruh lapisan masyarakat setempat.

Mereka jarang sekali saling mengunjungi seperti yang pernah dilakukan

sebelumnya karena faktor segregasi wilayah sehingga berpengaruh pada

intensitas pertemuan diantara mereka. Melonggarnya ikatan sosial didalam

dan antar masyarakat sekitar juga disebabkan oleh makin luasnya pegaulan

mereka dengan kelompok sosial dari luar suku/etnis penduduk asli Tafure

Ternate yang beragam seperti suku Jawa, Bugis, Gorontalo, dan sebagainya

yang tinggal sementara di Tafure dan umumnya Mahasiswa dan pedagang.

Dari perspektif masyarakat, hilangnya tanah ulayat yang digunakan

untuk pembangunan bandara juga telah turut memperlemah lembaga sosial.

Bagi masyarakat Tafure yang bercorak agraris yang berpusat pada tanah,

sungguh berat beban psikologis mereka yang harus beralih profesi dan

mengganti mata pencaharian yang sudah dijalaninya secara turun temurun.

Sebagian orang Tafure justeru merasa stress dan kondisi seperti ini

tidak jauh berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya yang secara tiba-

tiba harus beralih mata pencaharian dan sistem budaya yang menyertainya.

76

Mata pencaharian terutama hasil alam terutama dari hutan / kebun secara

musiman, membawa kebiasaan ikutan seperti berkemah didaerah kebun

mereka pada waktu tertentu.

Kini mereka diarahkan untuk mengikuti kebiasaan hidup yang

diperkenalkan sebagai kebudayaan modern, yang berarti harus mengubah

cara-cara hidup yang lama dan tercerabut dari akar budaya yang menyatu

dengan alam. Budaya bertani modern mengharuskan adanya “treatment”

khusus bagi tanah agar menghasilkan, sedangkan budaya asli mereka tinggal

mengambil apa yang sudah disediakan atau tersedia di alam sekitarnya.

Ini berarti ada “keharusan” untuk memperlakukan tanah sebagai sumber

penghidupan mereka secara berbeda. Konsekuensinya, kebiasaan dan budaya

mereka juga harus berubah. Perubahan budaya sebenarnya satu gejala yang

umum terjadi pada setiap masyarakat namun bagi masyarakat Tafure,

perubahan ini menjadi beban yang sangat berat karena terjadi tanpa

diinginkan bahkan cenderung terjadi secara cepat dan radikal sehingga

hampir merubah semua tatanan kehidupan masyarakat.

Proses industrialisasi dimanapun selalu menjadi pendorong perubahan

sosial, dimana ada pihak-pihak yang memerintah setengah hati, ada pula yang

menolak. Bahkan, dampak sosial berupa perubahan-perubahan fisik maupun

struktur sosial ditanggapi oleh masyarakat disekitar areal pembangunan

bandara dengan rasa putus asah karena ketidakmampuannya mengikuti

perputaran roda industrialisasi menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

5.2.2. Dampak Lingkungan

Dampak adalah sebuah perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu

aktivitas yang bersifat alamiah, baik kimia, fisik maupun biologi. Dampak

adalah pengaruh sesuatu yang menimbulkan akibat benturan, benturan yang

cukup hebat sehingga menyebabkan perubahan.4 Dalam kajian tentang studi

pembangunan, dampak menjadi sebuah masalah yang bisa berkepanjangan

terlebih bila terkait dengan dampak negatif dari pembangunan itu sendiri.

4Hazairin (Lihat Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Eem Zulfajri, edisi revisi. Hal 234

77

Hal ini tentunya lebih disebabkan karena perubahan yang disebabkan

oleh pembangunan selalu lebih luas daripada yang menjadi sasarannya yang

direncanakan. Dampak lingkungan hidup yang dirasakan oleh penduduk

sekitar dari pembangunan bandara ini adalah pengaruh perubahan pada

lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan dari

aktivitas pembangunan yang menimbulkan pengaruh negatif berupa gangguan

pernapasan yang dialami oleh mayoritas penduduk sebagai akibat angkutan

material bandara. Tanah-tanah yang digunakan untuk dalam proses

penimbunan di areal bandara diangkut dari hasil galian sekitar areal kebun

rakyat yang diangkut ke bandara dengan menggunakan truk-truk angkutan

besar dengan kapasitas angkutan yang melebihi daya muat sehingga hampir

setiap hari selama beberapa tahun ini sangat meresahkan masyarakat yang

berada disekitar bandara maupun yang berada sepanjang jalur jalan raya.

Kegiatan pembangunan bandara tersebut yang semakin meningkat

mengandung resiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga

struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat

mengalami kerusakan sehingga turut menimbulkan dampak sosial lainnya.

Misalnya penggalian tanah dari beberapa areal kebun rakyat yang berada di

perbukitan menimbulkan bahaya longsor pada musim hujan terutama pada

beberapa titik yang menjadi lokasi pemukiman masyarakat.

Oleh karena itu, dalam aktivitas pembangunan seperti ini, perhatian

terhadap lingkungan hidup haruslah menjadi bahan pertimbangan utama

dalam melaksanakan sebuah perencanaan pembangunan. Pengelolaannya

mesti dilaksanakan dengan prinsip melestarikan fungsi lingkungan hidup

yang serasi, selaras dan seimbang untuk menunjang pembangunan

berwawasan lingkungan hidup bagi peningkatan mutu hidup manusia yang

berada dilokasi pembangunan tersebut. Hal ini perlu diantisipasi sejak dini

karena disadari bahwa makin meningkatnya upaya pembangunan yang

dilaksanakan saat ini telah menyebabkan makin meningkatnya dampak

ekologis bagi masyarakat luas. Langkah antisipatif ini sangat diperlukan

karena pada dasarnya semua kegiatan pembangunan akan menimbulkan

dampak terhadap lingkungan hidup.

78

Perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus

memuat perkiraan dampaknya terhadap lingkungan hidup guna dijadikan

pertimbangan apakah untuk rencana tersebut perlu dibuat analisis mengenai

dampak lingkungan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih

rinci tentang dampak negatif dan dampak positif yang akan timbul dari usaha

atau kegiatan tersebut, sehingga sejak dini telah dapat dipersiapkan langkah

untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkannya tersebut.

Meskipun setiap rencana pelaksanaan pembangunan wajib dilengkapi

dengan analisis mengenai dampak lingkungan, namun tetap ada

pengecualiannya karena hanya beberapa kegiatan tertentu saja yang

menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Yang dimaksud dengan

dampak penting tersebut adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar

yang diakibatkan oleh suatu kegiatan pembangunan sebagaimana yang terjadi

pada masyarakat Tafure dan sekitarnya saat ini.

Analisis mengenai dampak lingkungan ini merupakan bagian dari

proses perencanaan kegiatan yang menjadi pangkal tolak pengaturan dalam

prosedur perizinan lingkungan. Dalam upaya melestarikan kemampuan

lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan bertujuan untuk menjaga

agar kondisi lingkungan tetap berada pada suatu derajat mutu tertentu demi

menjamin kesinambungan pembangunan. Dari hasil penelitian ini,

diidentifikasi beberapa dampak yang penting untuk ditentukan antara lain:

a. Besarnya manusia yang terkena dampak: Suatu kegiatan umumnya

mempunyai sasaran, berapa jumlah manusia yang akan menikmati

dampak tersebut. Suatu kegiatan mempunyai dampak penting bila

jumlah manusia yang terkena dampak tetapi tidak termasuk yang

menikmati manfaat tersebut, jumlahnya sama atau lebih besar dari

yang menikmatinya. Kriteria lain adalah bila jumlah manusia yang

terkena dampak baik yang tidak maupun yang menikmati sasaran

manfaat kegiatan jumlahnya sama atau lebih besar dari yang tidak

terkena dampak. Hasil penelitian ini memperlihatkan banyaknya

jumlah penduduk yang terkena dampak negatif pembangunan

bandara tersebut.

79

b. Luas wilayah penyebaran dampak: Dampak lingkungan dari suatu

kegiatan pembangunan bandara ini menjadi penting untuk

dikemukakan bahwa sesungguhnya dampak tersebut tidak hanya

dirasakan oleh masyarakat Tafure saja melainkan dirasakan pula

oleh warga desa sekita proyek bandara lainnya seperti Tabam,

Sango Tarau, Akehuda dan Tubo, bahkan lebih luas lagi dampaknya

dirasakan pula oleh seluruh pemukiman masyarakat yang dilalui

oleh setiap kendaraan angkutan material yang diperlukan dalam

proyek pembangunan bandara tersebut. Debu yang mengganggu

masyarakat di sepanjang jalur yang dilalui angkutan kendataan milik

pihak bandara yang mengangkut material bangunan tersebut. Selain

itu juga, becek sebagai akibat dari tanah yang terlepas dari setiap

kendaraan angkutan material sangat meresahkan masyarakat

sepanjang jalan yang dilalui kendaraan tersebut.

c. Lamanya dampak berlangsung: Dampak kegiatan pembangunan

bandara ini menjadi penting untuk dilihat dampak tersebut

berlangsung pada seluruh tahap kegiatan pembangunan, baik pada

tahap prakonstruksi maupun tahap konstruksi ataupun pasca

konstruksi atau bila berlangsung minimal selama separuh dari umur

kegiatan. Hingga saat ini berbagai kondisi yang diuraikan tersebut

diatas masih terus terjadi dan diperkirakan akan memerlukan waktu

yang cukup lama bagi masyarakat sekitar untuk terbebas dari

dampak tersebut diatas.

d. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena

dampak: Dampak aktivitas pembangunan bandara tersebut menjadi

penting untuk dikemukakan karena dari hasil penelitian ini

ditemukan banyaknya komponen atau aspek lingkungan yang

terkena dampak, baik komponen sosial budaya, komponen abiotik,

maupun komponen biotik. Selain itu juga, sifat kumulatif dampak

tersebut: terkadang menjadi sangat berbahaya. Fenomena ini terjadi

karena dampak-dampak tersebut ditingkatkan derajat bahayanya

seiring dengan rutinitas aktivitas proyek bandara tersebut.

80

5.3. Ikhtisar

Paradigma pembangunan yang bersandar pada prinsip ekonomi semata

dengan mengabaikan aspek sosial budaya tempatan (lokal) ternyata

memberikan rangsangan bagi tumbuhnya perlawanan rakyat yang terkait

dengan kepentingan petani dan isu hak ulayat masyarakat adat. Ini artinya

bahwa faktor yang menyebabkan ketertindasan petani dan memicu lahirnya

perlawanan petani adalah ekonomi dan politik. Dua faktor ini dalam sejarahnya

menciptakan deretan permasalahan yang harus diselesaikan oleh petani. Disisi

lain, keberadaan dua faktor ini ternyata mampu memunculkan motivasi petani

untuk membangun aksi kolektif dan mengakumulasikan energi kolektif melalui

sebuah gerakan sosial baru.

Dalam beberapa peristiwa gerakan sosial sebagai langah protes

terhadap pembangunan dan perluasan areal bandara Sultan Babullah Ternate,

seolah memperlihatkan bahwa praktek pembangunan saat ini, sarat dengan

persengketaan (konflik). Konflik ini lebih didasarkan pada akar konflik

perebutan sumber daya agraria yang terbatas (tanah). Konflik inipun telah

berlangsung cukup lama, baik terjadi pada tataran persepsi, pengetahuan, tata

nilai, kepentingan dan akuan terhadap hak kepemilikan atas tanah yang

menjadi objek sengketa selama ini. Artinya bahwa spektrum sengketa itu

tidak hanya terbatas pada akuan hak-hak kepemilikan (penguasaan) dan

batas-batas yuridisnya. Intensitas konflik pun terjadi secara beragam

dikalangan masyarakat yang berangkat dari ketidaksetujuan, protes,

penentangan, perusakan sampai dengan pemboikotan aktivitas penerbangan

pesawat.

Konflik pembangunan yang berawal dari persoalan tanah sebagai

penyulut lahirnya Gerakan Sosial Baru memiliki tata nilai yang jika

diterjemahkan sebagai pemaknaan, maka tanah memiliki nilai yang berbeda

di mata setiap stakeholder. Bagi masyarakat adat (setempat), tanah

merupakan habitat tempat mereka menggantungkan kehidupan

perekonomiannya serta mengejewantahkan kehidupan budaya dan

spritualnya. Karena itu, mereka akan menjaganya karena hal demikianlah

yang dianggap akan menjamin keutuhan identitas masyarakatnya.

81

Sebenarnya otonomi daerah adalah jawaban untuk membangun

kepercayaan publik atas penyelenggaraan negara. Namun, bergesernya sistem

politik yang sentralistik ke desentralistik yang juga ternyata diikuti dengan

perilaku pejabat publik yang ada di daerah yang korup. Otonomi daerah telah

melahirkan “otoritarianisme” baru di daerah yang kemudian menjelma

menjadi ancaman kekerasan politik dan terjadinya akumulasi modal kepada

kelompok-kelompok tertentu.

Pembangunan yang digulirkan oleh pemerintah pusat dalam label

otonomi daerah tetapi dalam pelaksanaannya masih berkarakter top down

aprouch meski masih membuka ruang partisipasi yang “berlebihan” sehingga

lahirlah gerakan sosial baru. Munculnya gerakan-gerakan sosial yang terjadi

di Tafure Ternate pada khususnya, hampir memiliki pemicu dan inspirasi

gerakan yang serupa. Adapun pemicu konfliknya lebih disebabkan karena

berbagai potensi kerugian yang dialami masyarakat sehingga melahirkan

gerakan sosial yaitu hilangnya tanah pertanian, hilangnya kapling rumah,

hilangnya akses ke tanah hutan, hilangnya hak atas tanah adat, hilangnya

rumah atau tempat tinggal, hilangnya sumber mata pencaharian/pendapatan,

hilangnya lahan perkebunan, pemakaman, dampak kebisingan, polusi udara,

dll.

BAB VI

TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN DARI PETANI

MENJADI MASYARAKAT ADAT

Studi ini difokuskan untuk melihat secara lebih rinci tentang dinamika

gerakan agraria yang menggunakan strategi perubahan identitas perjuangan dari

”petani” menjadi ”masyarakat adat” sebagai strategi utamanya yang diharapkan

mampu menjadi suatu upaya untuk melakukan perubahan. Selain itu, studi ini

juga hendak melihat bagaimana mereka–sebagai kelompok gerakan–menghadang

gelombang pengaruh-pengaruh dari luar, khususnya kebijakan Negara, yang

dianggap merugikan hak-hak masyarakat tani dan masyarakat adat setempat.

6.1. Ideologi Utama dan Aktor Penting Gerakan Petani

Melemahnya otoritas tradisional yang diharapkan mampuh menjembatani

persoalan struktural yang dihadapi petani memaksa mereka untuk merubah bentuk

perjuangan dari petani menjadi masyarakat adat. Secara umum tujuan utama

petani ikut dalam sebuah gerakan sosial lebih bersifat pragmatif dan berorientasi

material, yakni hanya terpaku pada motif penguasaan tanah pertanian semata.

Tindakannya cenderung pada upaya paksa mengambil-alih tanah pertanian

sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para penguasa dan pengusaha terhadap

petani pada umumnya.

Wujud nyata dari derasnya tuntutan petani adalah unjuk rasa, maupun

aksi-aksi protes lainnya yang dilakukan dengan secara damai maupun dengan cara

kekerasan. Dalam banyak kasus unjuk rasa yang dilakukan oleh para petani yang

kehilangan tanahnya karena digunakan sebagai areal pembangunan bandara

Sultan Babullah di Tafure Ternate, para petani sering melaksanakan aksi

demonstrasi ke Polres Kota Ternate, DPRD Kota Ternate, Polda Maluku Utara,

dll. Mereka menuntut ganti rugi lahan yang dikuasai pemerintah daerah, seolah

memberi penjelasan aktual yang terkait dengan transformasi struktur gerakan

sosial petani.

83

Berbagai simbol perjuangan petani diproduksi berbasis pada rasa

ketidakadilan, sebagai bentuk reaksi terhadap stigma-stigma politik (tuduhan eks

PKI), tekanan fisik dan sosial-psikologis yang dialami oleh para orang tuanya

serta berbagai bentuk praktek-praktek yang merugikan petani lainnya. Dalam

kasus ini pula para petani selalu memegang teguh atas janji dan berbagai bentuk

kesepakatan penyelesaian sengketa pembangunan bandara tersebut yang telah

dibuat baik tertulis maupun tidak tertulis. Kerelaan sebagian petani untuk

memberikan tanahnya yang dijadikan sebagai bandara tersebut sejak awal adalah

karena mereka dijanjikan bahwa anak-anak mereka akan dipekerjakan sebagai

tenaga kerja PNS dilingkungan bandara tersebut. Namun seiring berjalannya

waktu mereka justeru dikhianati karena kebanyakan dari penduduk sekitar

bandara tak terkecuali masyarakat desa Tafure tidak diakomodir secara

memuaskan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang telah disebutkan diatas.

Selain itu juga, masyarakat sekitar bandara yang umumnya adalah

masyarakat adat Ternate merasa seolah telah diabaikan keberadaan institusi adat

dan nilai-nilai budaya mereka yang selama ini dipelihara sebagai akibat dari

hilangnya hak mereka atas tanah ulayat yang menurut mereka tidak saja memiliki

nilai ekonomis semata melainkan juga nilai sosial dan spritual, kondisi ini

akhirnya memaksa mereka untuk merubah identitas gerakan dari perlawanan

masyarakat tani menjadi masyarakat adat.

Hal ini tidak membuat semangat perjuangan petani semakin surut. Secara

internal, kondisi diri petani sudah semakin siap melakukan mobilisasi kolektif.

Berkembangnya konflik petani menjadi gerakan sosio-politik akibat dari berbagai

kesalahan pembangunan yang menyengsarakan petani. Cerita pilu tentang petani

yang kehilangan tanahnya semakin terdengar biasa di telinga para pemegang

otoritas karena sesunggunya petani merupakan tumbal dan menjadi bantalan

jalannya roda pembangunan. Perlakuan demikian justru menciptakan situasi

sengketa dan konflik pertanahan struktural yang akut. Kesadaran petani yang

semakin meningkat ditandai oleh upaya kolektif di berbagai komunitas dalam

menyelesaikan konflik agraria yang mereka alami selama ini melalui tahapan

kelompok-kelompok kepentingan berkembang menjadi gerakan tradisional yang

pada akhirnya menjadi gerakan sosial politik.

84

Terbukanya struktur peluang politik nasional dan lokal yang memberi

ruang bagi munculnya perubahan identitas perjuangan tersebut diatas pada

hakekatnya tidak terlepas dari :peran gerakan mahasiswa yang didukung oleh

segenap elemen organisasi masyarakat sipil (NGO). Ada persinggungan yang kuat

antara agenda gerakan reformasi mahasiswa dengan keinginan perjuangan lanjut

rakyat petani. Gerakan reformasi merupakan pintu pembuka berkembangnya

gerakan sosio-politik petani. Negara juga dihadapkan pada posisi kontrol politik

yang lemah terhadap setiap aksi terlebih ketika aksi kekerasan menjadi salah satu

bentuk bagian. Peluang politik ini dengan cepat direspon petani, karena mereka

sudah memiliki rasa kepekaan konfliktual sekaligus berperan sebagai oposisi.

Seiring bergulirnya reformasi yang merupakan era perubahan politik

penuh keterbukaan dari masa sebelumnya yang bercorak otoriter ke demokrasi,

ternyata tidak membawa dampak berarti bagi masyarakat petani Tafure untuk

mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Baik para elit politik, elit agama,

kalangan intelektual dan berbagai organisasi rakyat ternyata cenderung

membiarkan para petani bergerak dengan semangatnya sendiri dalam menuntut

hak yang selama ini diabaikan. Meskipun demikian hanya sedikit saja organisasi

mahasiswa (SAMURAI) dan sebuah lembaga bantuan hukum (LKBH UMMU)

yang melakukan advokasi dan pendampingan hukum bagi para petani dalam

perjuangan mereka. Sehingga seiring berjalannya waktu, semakin lama intensitas

perlawanan inipun semakin menurun.

Hasil kajian ini menemukan bahwa ketika sistem politik yang ada tidak

terbuka terhadap tuntutan-tuntutan rakyat, maka aktivitas gerakan sosial mungkin

agak kecil skalanya, tetapi radikal hal ini terlihat dari kronologis aksi demonstasi

yang mereka lakukan seringkali juga menggunakan kekerasan berupa

menghancurkan fasilitas bandara bahkan pernah menaburkan pecahan botol dan

gelas sepanjang landasan pacu bandara. Ketika struktur politik membuka peluang

bagi gerakan sosial mereka, aktivitas gerakannyapun cenderung menjadi lebih

besar, tetapi dan semakin radikal.

Pada masa Orde Baru tekanan politik sangat kuat sehingga petani yang

berani melawan benar-benar militan. Perilaku militansi petani dan kontrol politik

negara masih ada hingga saat ini membuat reaksi petani justru cenderung terbuka

85

dan lebih berani dibanding pada waktu-waktu sebelumnya. Ini jelas mungkin

berbeda dengan komunitas petani di berbagai wilayah konflik lainnya yang

beragam dalam merespon peluang-peluang politik yang ada. Hal ini terkait dengan

perbedaan pandangan tentang situasi yang mereka hadapi, kemungkinan resiko

yang akan mereka tanggung dan kemungkinan hasil yang akan mereka capai.

Dengan demikian, kalkulasi peta politik dan mengukur partisipasi bukan hanya

mempertimbangkan faktor obyektif (eksternal) tetapi juga dipengaruhi oleh faktor

subyektif. Faktor inipula dipertimbangkan petani korban pembangunan bandara

sehingga mengubah strategi dan taktik mereka untuk bagaimana melakukan

sebuah gerakan sosial yang dianggap lebih tepat dalam mencapai tujuannya.

Pertama, perubahan peluang politik di dalamnya masih tidak bebas dari

tekanan yang dapat menjadi mendorong atau menghambat berkembangnya

gerakan-gerakan petani. Fenomena di Tafure menunjukkan masih adanya tekanan-

tekanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam perjuangan petani. Hal ini

memberi tanda masih belum terbuka sepenuhnya peluang politik, yang dalam

beberapa kasus oleh petani masih dianggap memiliki konsekuensi negatif dan

bahkan mampu melemahkan gerakan-gerakan mereka.

Kedua, tekanan-tekanan politik berpengaruh terhadap menurunnya

aktivitas gerakan petani selanjutnya, khususnya terhadap petani yang ingin

memperoleh ganti rugi atas tanah mereka, identitas mereka didata oleh pihak

bandara untuk dipersulit dalam proses pembayaran ganti rugi sementara yang

tidak melakukan protes akan dimudahkan dalam segala bentuk pelayanan.

Fenomena ini memunculkan situasi perpecahan dalam tubuh anggota gerakan itu

sendiri. Mencermati gejala perpecahan yang terjadi dari dalam gerakan tersebut,

kesadaran sosial konfliktual petani berkembang menjadi kesadaran politik secara

umum dengan mengubah identitas gerakan dari gerakan petani menjadi gerakan

masyarakat adat. Hal ini dilakukan untuk mendapat simpati dan dukungan dari

komunitas petani diluar Tafure yang lahannya juga diambil alih untuk proyek

pembangunan bandara tersebut. Dengan adanya perubahan identitas gerakan

tersebut maka mulai bergulir dukungan para aktivis non petani (Mahasiswa:

SAMURAI dan HMI, LKBH) yang sudah memiliki kesadaran politik yang

matang, berdasarkan pengalaman praksis mereka.

86

Melalui proses pendampingan dan penyadaran bersama para pelaku non

petani, kesadaran politik rakyat petani dapat dibangun. Kerja bersama ini

merupakan proses dimana para petani dapat melakukan penilaian kembali atas

dirinya sendiri, pengalaman subyektif, peluang-peluang, dan kepentingan bersama

di antara mereka. Kesadaran politik petani tidak hanya memahami posisi marginal

rakyat petani baik secara sosial maupun secara politik sehingga memberi peluang

untuk mencari alternatif strategi gerakan lain untuk mencapai tujuan mereka.

Termasuk dengan mengubah identitas gerakan itu sendiri dari ”petani” menjadi

”masyarakat adat”.

Menurut Tilly1, kelompok-kelompok berbagai kekuatan identitas dalam

menjalin jaringan antar pribadi, antar anggota yang menunjukkan tingginya

organisasi dan kesiapan untuk dimobilisir. Dengan adanya solidaritas dan

komitmen awal antar organisasi petani di tingkat basis, maka jaringan di antara

mereka menyediakan dasar berlakunya insentif kolektif yang mereka harapkan

bersama. Konsep "bloc recruitment' ini dengan tersedianya solidaritas antar

kelompok/organisasi basis merupakan bentuk yang sangat efisien dari rekruitmen

dan nampak menjadi tipikal dari gerakan perubahan institusional skala besar.

Penguatan kesadaran politik petani dan aktualisasinya dalam mobilisasi

konsensus, formasi konsensus dan mobilisasi tindakan dalam gerakan petani tidak

terlepas dari peran utama para aktivis non petani. Sebelum era reformasi bergulir,

gerakan-gerakan para aktivis non petani masih dikonsentrasikan pada upaya

menjatuhkan kekuatan rezim Orde Baru. Pada waktu itu gerakan-gerakan mereka

juga melibatkan berbagai elemen rakyat bawah termasuk di dalamnya rakyat

petani. lsu persoalan petani disuarakan dalam ruang-ruang publik, tetapi upaya

untuk membantu gerakan rakyat petani secara langsung dalam penyelesaian

berbagai konflik pertanahan dan mengubah nasib mereka belum menghasilkan

cita-cita yang diimpikan. Lebih jelasnya tentang nasib petani dan perlawanannya

sepanjang sejarah negeri ini ikuti gambaran dalam tabel dibawah ini:

1 Bert Klandermans.1989. Social Movements and Resource Mobilization: The Europeanand the American Approach. In International Journal of Mass Emengencies and DisasterVol.4.

87

Tabel 1. Matriks Gerakan Perlawanan Petani dari Masa ke Masa

PeriodeWaktu

StatusTanah

KebijakanAgraria

Krisis Agraria Isu UtamaOrganisasiGerakan

Petani

FeodalismeTanah milikraja/bangsa

wan

Upeti(pajaktanah)

Rakyat tidakmemiliki kontrolatas tanah“kemiskinan ;konflik/perlawananrakyat (vertikal)

Eksploitasipetani

Tidakterorganisir(individual)

KolonialBelanda(1870-1941)

TanahmilikNegaradan ataudikuasaiperusahaan swasta

Tanampaksa;pajak tanahperkebunan

Rakyat tidakmemiliki kontrolatas tanah“kemiskinan;konflik/perlawananrakyat (vertikal)

Eksploitasipetani

Organisasilokal, informaldan sementara

KolonialJepang(1942-1945)

Tanahdikuasaisecara

individual

Redistribusitanah

Rakyat tidakmemiliki kontrolatas tanah“kemiskinan;konflik/perlawananrakyat (vertikal)

Eksploitasipetani

Organisasilokal, informaldan sementara

Orde Lama

Tanahdikuasaisecara

individual

Nasionalisasi perusahanasing

Land reform

Rakyat tidakmemiliki kontrolatas tanah“kemiskinan;konflik petanimiskin vs petanikaya (horizontal)

Antikolonialisme

Land reform

Organisasiformal, dibentukoleh partaipolitik (BTI,RTI, SAKTI,PETANI, STII)

Orde Baru

TanahmilikNegaradan ataudikuasaiperusahaan swasta

HPH,PMA/PMDN, PIR,HTI, dll

Rakyat tidakmemiliki kontrolatas tanah“kemiskinan;konflik tanah(vertikal)

Kemiskinanstruktural

Organisasiformal, dibentukdan didukungNegara (HKTI)

MasaReformasi

TanahmilikNegaradan ataudikuasaiperusahaan swasta

HPH,PMA/PMDN, PIR,HTI, dll

Rakyat tidakmemiliki kontrolatas tanah“kemiskinan ;konflik tanah(vertikal)

Kemiskinanstruktural

Organisasiformal, dibentukdan didukungOrnop,mahasiswa danpendukungdemokrasilainnya (SPI,PETANIMANDIRI,API, AGRA,SERTANI, dll)

88

Agenda gerakan reformasi pasca jatuhnya presiden Soeharto memang

sudah mereka siapkan karena telah diprediksi kuat bahwa Soeharto dalam waktu

dekat akan benar-benar jatuh. Termasuk di dalam agenda reformasi tersebut

adalah penguatan kesadaran sosial-konfliktual ke dalam kesadaran politik, karena

pelaku ini yang paling berpengaruh terhadap kemungkinan dilakukan mobilisasi

tindakan. Setelah presiden Soeharto lengser dan rezim Orde Baru dapat

dijatuhkan, kemudian para aktivis non petani mulai beralih pada pentingnya

membantu rakyat petani melalui gerakan-gerakan sosial petani. Dalam konstruksi

gerakan dari bawah, pada tahap awal dibuka "Pos Pengaduan" kasus rakyat petani

di berbagai lokasi. Pertama di LKBH UMMU dan kemudian di buka juga oleh

organ-organ mahasiswa di berbagai kampus sebagai pintu masuk (entry point)

untuk dapat melakukan advokasi lebih jauh terhadap rakyat petani.

Upaya ini yang oleh Klanderman (1984, 1988) disebut dengan "mobilisasi

konsensus' yang berbeda dengan "mobilisasi tindakan" dan Formasi konsensus".

Mobilisasi konsensus merupakan upaya sengaja yang dilakukan oleh para pelaku

non petani untuk menciptakan konsensus di antara berbagai komunitas petani

wilayah konflik untuk melakukan gerakan petani, atau sebagai prakondisi

dilakukanya "mobilisasi aksi". Mobilisasi konsensus dibagi dua, yakni dalam

konteks formasi potensial mobilisasi dalam masyarakat dan dalam konteks

mobilisasi tindakan. Konteks pertama menunjuk pada bangkitnya sekumpulan

predisposisi individual untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial, sedangkan

konteks kedua menunjuk pada aktivasi partisipan di dalam tindakan kolektif2.

Dalam gerakan sosio-politik petani, pandangan di atas pada dasarnya

menjelaskan keterkaitan antara sistem sosio-kultural oposisional petani dengan

mobilisasi sumber daya gerakan. Tetapi, peluang sistem sosio-kultural oposisional

petani tidak akan berarti dalam mobilisasi sumberdaya gerakan jika tidak

didukung oleh kesadaran politik petani, meskipun era reformasi sedang bergulir.

Hal ini secara umum terjadi karena kuatnya hegemoni dan dominasi, serta

pengalaman traumatik pada masa Orde Baru. Oleh karena itu unsur-unsur

sumberdaya gerakan sosio-politik harus dibangun terlebih dahulu dengan cepat

2Charles Tilly. 1978. Op.Cit.

89

melalui pengembangan unsur-unsur sistem sosio-kultural oposisional yang sudah

dimiliki petani termasuk system kelembagaan adat setempat yang perlu untuk

diperkuat peran dan fungsinya dalam tatanan kehidupan masyarakat luas.

Seperti yang dilakukan oleh SAMURAI pada awal tahun 2005 yang

melakukan pendampingan bersama petani untuk melakukan aksi boikot aktivitas

bandara Ternate sehingga merugikan pihak pengelola bandara ratusan juta rupiah.

Demikian pula yang dilakukan LKBH UMMU dengan menindaklanjuti berbagai

pengaduan rakyat petani yang dapat ditampung kemudian direspon dan

ditindaklanjuti dengan melakukan pendampingan dan penyadaran secara langsung

turun ke tengah-tengah rakyat, yakni ke wilayah komunitas petani konflik.

Beragam upaya dilakukan oleh LKBH UMMU, baik pada konstruksi

gerakan dari bawah maupun dari atas, di wilayah Komunitas rakyat petani

dilakukan diskusi identifikasi dan analisis kasus, perumusan tuntutan petani,

penyadaran sosial-politik melalui kegiatan pendampingan hukum bagi masyarakat

korban pembangunan bandara, selain itu juga melakukan aktivitas “diskusi

kampong” pada beberapa desa lainnya diluar Tafure untuk mengidentifikasi dan

merumuskan strategi bersama.

Disini petani dan non petani (sebagian masyarakat adat) mendiskusikan

berbagai hal yang mengakibatkan penderitaan petani dan tidak terselesainya

konflik pertanahan yang dialami selama ini. Kemudian dilakukan artikulasi

pemecahan masalah petani yang berhasil diidentifikasi, paling tidak berupa

rencana dan strategi tindakan kolektif yang dianggap dapat menyelesaikan

persoalan konflik pertanahan yang menguntungkan rakyat petani. Disinilah

kemudian muncul penguatan dan bahkan perubahan rumusan tuntutan-tuntutan

petani atas persoalan pertanahan yang dihadapi dan cara-cara yang tepat untuk

memperjuangkan tuntutan tersebut yaitu dengan merubah identitas gerakan dari

“petani” menjadi “masyarakat adat”. Oleh karena itu, peran para aktivis non

petani dalam peningkatan kesadaran politik dan mobilisasi sumberdaya petani

menjadi sangat menentukan. Ketika identitas kolektif petani tersebut sudah masuk

pada ranah gerakan sosio-politik dan mengalami perubahan identitas gerakan dari

“petani” menjadi “masyarakat adat” maka akan menjadi politik identitas yang

memungkinkan para petani untuk masuk dalam aktivitas sosial-politik.

90

Tabel 2. Matriks Perubahan Identitas Gerakan dari Petani menjadi MasyarakatAdat:

Ciri TaksonomiGerakan

Gerakan Petani Gerakan Masyarakat Adat

Basis Gerakan - Petani - Masyarakat adat

Semangat yangdisusung

- Menata kembalirelasi negara danmasyarakat,petani.

- Kearifan lokal, penegakan hukum adat- Pengakuan dan Perlindungan hak-hak

masyarakat adat- Kesadaran bahwa perubahan sosial yang

menjadi cita-cita gerakan sosial sangatditentukan oleh mobilisasi sumber dayayang meliputi faktor struktural, ketersediaansumber daya khusus, jaringan relasi, dll.

Ideologi Utama - Land reform - Hak ulayat dan hukum adat tempatan

Aktor-aktorpenting

- Petani - Petani, Masyarakat adat, Mahasiswa, LKBH

Respon terhadappemerintah

- Frustrasi kolektif- persamaan nasib

(susah, miskin,dll).

- Frustrasi kolektif- persamaan nasib (susah, miskin, dll).- Berjuang untuk otonomi, pluralitas dan

kebebasan tanpa menolak prinsip-prinsipegalitarian formal dari demokrasi,partisipasi politik, representasi publik padastruktur yuridis.

Isyu-isyu yangdiusung

- Menata kembalirelasi negara danmasyarakat petani

- Menata kembali relasi negara danmasyarakat adat

- Menciptakan ruang publik dalam wacanademokrasi.

- Pengakuan dan Perlindungan hak-hakmasyarakat adat.

Arena Konflik - Aksi Protes(Demonstrasi)

- Aksi Protes (Demonstrasi)

ModaGerakan/Tipe

Gerakan

- ReformistMovement:(mengubah istitusidan nilai)

- Reactonary Movement (berusahamengembalikan keadaan kedudukansebelumnya karena kecewa dengan keadaansosial yang sedang berjalan)

- Gerakan Ekspresif Gerakan Regresif- Gerakan Progresif- Gerakan Konservatif- Gerakan Utopian

DerajatRadikalisme

- Mempertimbang-kan keberadaanformal negara danekonomi pasar.

- Memperjuangkan otonomi kolektivitasidentitas dan orientasi.

Dampak Gerakan - Ganti rugi lahan - Terbitnya Perda No. 13 tentangPerlindungan Hak-hak adat dan BudayaMasyarakat Adat Ternate

Tabel diatas menunjukkan bahwa kesadaran politik petani dapat berkembang

dalam kerangka identitas kolektif, karena dikonstruksi dan dipelihara melalui

interaksi dalam komunitas gerakan petani itu sendiri kemudian berubah sesuai

peluang politik dan kemampuan mobilisasi sumber daya yang tersedia dan

peluang bagi perubahan identitas sebuah gerakan.

91

Studi ini menunjukkan bahwa gerakan petani dengan strategi utama dan

pertamanya pendudukan tanah yang dilakukan pada tahun 2005 telah

menunjukkan keberhasilan untuk membangun kekuatan sebuah gerakan sosial

baru yang sekaligus memperlihatkan kekuatan politik tertentu sehingga terdorong

untuk mengembangkan strategi berikutnya yang mereka sebut dengan merubah

strategi dan isu gerakan dari ”petani” menjadi masyarakat adat, yakni strategi

untuk memobilisasi opini publik yang mayoritasnya adalah masyarakat adat.

Untuk tahap pertama, kelompok gerakan ini memulainya dengan berusaha

menjadikan anggota-anggota dan pengurus aliansi mereka adalah para tokoh adat

setempat untuk menarik simpati khalayak dalam memperjuangkan isu hak ulayat

sebagai bentuk lain dari tuntutan ganti rugi atas tanah yang diperuntukkan bagi

pembangunan lahan bandara tersebut.

Merebut dukungan kepemimpinan informal di desa dianggap penting karena

dalam perhitungan mereka hal itu dapat “menyelamatkan” kepentingan mereka

dari persoalan tanah yang selama ini terjadi khususnya untuk memperoleh

dukungan masyarakat adat secara luas atas tanah-tanah yang sekarang tidak lagi

mereka kuasai.

Perubahan strategi perjuangan dari ”petani” menjadi ”masyarakat adat”

tersebut ditargetkan dapat memberikan perubahan kehidupan sosial di pedesaan,

dan lebih jauh lagi dalam rangka pembentukan komunitas dengan watak baru di

pedesaan. Diasumsikan bahwa pemimpin informal di desa-desa yang berasal dari

tokoh-tokoh adat akan dapat memberikan arahan atau dianggap lebih memiliki

kapasitas dalam memobilisasi opini publik terkait dengan nilai dari perjuangan

mereka bahwa sesungguhnya adalah benar adanya perjuangan mereka tidak

semata-mata memperjuangkan tuntutan ganti rugi semata melainkan upaya

memperjuangkan nilai kultural dan spritual dari tanah tersebut yang dikuasai

mereka selama ini. Ini sama halnya dengan orang Papua yang menyebut tanah

mereka seperti susu Ibu yang memiliki kedalaman dan hubungan batiniah3..

3Lihat Noer Fauzi. 2006. (Penyunting), Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Resist Book.Yogyakarta.

92

6.2. Isu-isu yang Diusungsebagai “Roh” Perlawanan Petani

Frame tindakan kolektif dalam gerakan petani dengan demikian

merupakan tindakan yang diorientasikan pada seperangkat kepercayaan, nilai-

nilai, dan makna-makna kultural yang mendukung berkembangnya kesadaran

politik, dan yang mengilhami sekaligus meligitimasi gerakan sosial baru tersebut.

Dalam kerangka ini pula maka isu-isu hak-hak tanah adat (ulayat) masyarakat adat

menjadi isu lain dari isu ekonomi seperti ganti rugi, dll. Isu tentang hak ulayat ini

dalam perkembangannya justeru lebih populer sehingga mampuh menggiring

opini publik ketimbang isu lainnya. Untuk memahami secara utuh tentang hak

penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan hukum adat, berikut penjelasannya:

6.2.1 Hak atas Tanah Adat yang Bersifat Tetap

Aha Kolano dan Raki Kolano

Aha Kolano secara terminologi berasal dari kata kaha yaitu tanah /

areal, sedangkan aha adalah hak atas tanah atau areal. Pada masyarakat adat

Ternate, hak Sultan atas sumber daya alam terdiri atas aha kolano (hak

sultan), raki kolano. Aha Kolano adalah hak Sultan atau areal tanah yang

ditanami tanaman sagu. Pada aha ini tidak ada tanaman lain selain tanaman

sagu4.

Sedangkan raki kolano merupakan hak yang dikuasai oleh raja dimana

diatas tanah tersebut ditanami dengan tanaman tahunan selain sagu, seperti

pala, cengkih, coklat, durian, bambu, kelapa, mangga, dll. Raki Jo ou

merupakan hak yang diberikan/dikuasai khusus oleh keluarga/keturunan

Sultan. Di atas tanah Raki Jo ou dapat ditanami oleh berbagai macam

tanaman yang dikehendaki oleh keluarga Sultan, misalnya dibuat dengan

batu, gunung dan pada umumnya dengan pohon yang disebut pohon galala

kuning. Terjadinya aha kolano dan raki kolano berdasarkan pewarisan

secara turun-temurun semenjak zaman dahulu kala hingga sekarang.

4 Wawancara dengan Bpk. Nyong Umar Mantan Kepala Desa Sango. Tgl. 13 Maret 2008.

93

Pihak yang dapat memanfaatkan aha kolano dan raki kolano harus

memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Masyarakat yang ingin memanfaatkan tanah tersebut harus merupakan

masyarakat hukum adat Ternate.

2. Masyarakat hukum adat yang dimaksud dan harus co ou ikhlas kie se

kolano (harus mempunyai pengabdian secara ikhlas kepada negeri dan

pemerintahan).

3. Harus mendapatkan izin oleh Sultan dalam bentuk Idin (fatwa) yang

dilafalkan secara lisan dihadapan partada dan yang bersangkutan

Jangka waktu pemanfaatan aha kolano dan raki kolano tidak dibatasi,

sepanjang eksistensi masyarakat hukum adat dan institusi kerajaan masih

ada, maka hal tersebut tetap melekat menjadi hak Sultan, yang

pengelolaannya diserahkan kepada partada. Jika partada yang diberikan

amanah untuk menjaga tanah tersebut meninggal dunia, maka keturunannya

dapat melanjutkan dengan status sama seperti pendahulunya yakni sebagai

penjaga tanah. Aha kolano dan raki kolano dapat dialihkan dengan cara

pemberian kepada Soa (marga) yang dikena dengan aha soa atau kepada

individu yang mempunyai pengabdian di kesultanan dengan nama aha

cocatu.

Terhadap aha kolano yang telah diberikan dengan aha soa, maka

tanah tersebut dilarang untuk diperjualbelikan, karena tanah tersebut hanya

diberikan kepada seseorang karena jabatannya (sangaji), sehingga jika yang

bersangkutan tidak lagi menduduki jabatan sebagai sangaji dalam soa

tersebut, maka hak pemanfaatan tanah beralih kepada Sangaji yang baru

ditunjukan beserta keturunannya. Sedangkan aha cocatu kepada pemegang

hak diberikan hak untuk menjual atas seizin Sultan. Aha Kolano dan Raki

Kolano juga dapat dialihkan (fuku se fodi) atau diperjual belikan kepada

pihak lain, jika tanah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum,

terutama pembangunan bagi masyarakat hukum adat yang berada dalam

wilayah adat Tafure-Ternate.

94

Aha Soa (Hak Marga)

Aha Soa (hak marga) adalah hak bersama (ulayat) yang diberikan

kepada suatu komunitas yang secara hukum tata negara adat diakui wilayah

hukum dan teritorial Soa. Soa dalam pengertian masyarakat adat Ternate

adalah suatu kelompok kekerabatan yang hidup dalam suatu daerah. Aha soa,

juga dapat diartikan sebagai hak meguasai yang ada pada masyarakat dan

bukan sebagai hak milik. Karena tanah memiliki fungsi sosial yang dikuasai

oleh pemimpin adat guna kemaslahatan masyarakat. Tanah yang dialihakan

haknya kepada Soa berfungsi untuk memenuhi hajat hidup orang banyak

(anggota Soa). Sebagai kepala Soa dia mempunyai tugas untuk melindungi

wilayah hukum hak Soa, terhadap penguasaan dari pihak manapun.

Batas Soa (bati) adalah wilayah yang telah ditetapkan oleh Sultan atas

wilayah kekuasaan yang diberikan. Saat ini menimbulkan kesulitan dalam

penentuan batas-batas Soa satu dengan lainnya disebabkan karena kebijakan

pemerintah yang telah membentuk sistem pemerintahan dengan

menyeragamkan Soa dengan desa. Pada masing-masing Soa memiliki norma,

pemimpin, anggota dan harta bersama yang diberikan oleh Sultan atas

pengabdiannya dalam melayani masyarakat serta kesetiaannya dalam

menjalankan perintah Sultan. Salah satu bentuk harta bersama adalah tanah

yang dikenal masyarakat dengan Aha Soa (tanah marga).

Bila dilihat dari mekanisme pengaturan aha Soa, maka hak adat atas

tanah ini sama dengan hak ulayat, dimana tanah dengan hak bersama yang

diatur penggunaannya oleh kerajaan melalui Sangaji/Fanyira sebagai

penguasa mewakili masyarakat.

Dengan demikian, tanah dalam wilayah Soa berada dalam kekuasaan

Kesultanan atau pemerintahan kerajaan yang diberikan kewenangan untuk

mengurusnya yaitu kepada Sangaji dan Fanyira ditingkatan Soanya, untuk

itu apapun yang dilakukan warga Soa atas tanah Soa, maka hak yang

diperoleh lebih bersifat sementara atau hak pakai. Karena hak Soa hanya

diberikan kepada Sangaji dan warganya (keturunan) yang bersifat sementara.

Jika yang bersangkutan tidak lagi memangku jabatan Sangaji, maka hak

mengaturnya ikut beralih kepada Sangaji yang telah ditunjuk oleh Sultan.

95

Uraian hak atas tanah yang dikuasai dengan istilah aha soa pada

masyarakat adat Tafure-Ternate terungkap, bahwa seluruh tanah yang ada

dalam wilayah masyarakat adat Ternate adalah tanah kesultanan, yang

diberikan kepada bala (rakyatnya) untuk dimanfaatkan bagi kehidupan

mereka. Tanah-tanah tersebut telah didistribusiakan berdasarkan hak yang

dimiliki, sehingga bagi mereka tidak ada tanah dalam wilayah Tafure bahkan

Ternate adalah tidak bertuan, artinya seluruh tanah yang ada, telah dikuasai

oleh pemiliknya berdasarkan jenjang hak yang diberikan. Walaupun dalam

kenyataannya batas-batas antara satu soa dengan soa yang lain semakin lama

terhapus akibat kebijakan pemerintah yang menyeragamkan sistem

pemerintahan desa, namun masyarakat percaya bahwa pada setiap Soa

memiliki batas teritorial satu dengan yang lain. Penentuan batas-batas Soa

tersebut dikembalikan kepada proses pemufakatan antar Soa yang berbatasan

tersebut, dan disaksikan oleh para pemuka adat dalam wilayah adatnya.

Aha Cocatu (Hak Individu)

Aha Cocatu adalah bidang tanah yang diperoleh karena pemberian

langsung Kolano. Biasanya diberikan kepada orang-orang yang telah berjasa

dalam menjalankan tugas-tugas kerajaan. Cocatu hanya diberikan oleh

Kolano, berdasarkan suatu izin dari Kolano. Aha Cocatu adalah hak yang

diperoleh seseorang atas tanah, yang hampir mendekati hak eidendom

menurut hukum perdata barat, kecuali bahwa Soa berhak menolak bila aha

cocatu itu dipindah tangankan pada orang asing. Anggota-anggota

memperoleh prioritas dalam meberi aha cocatu dan tidak harus atas izin

kepala Soa. Tapi kalau yang memberi itu orang diluar Soa maka harus

mendapat persetujuan kepala Soa.

Umumnya aha cocatu diberikan/dialihkan dalam bentuk tertulis yang

isinya membuat sejarah asal-usul tanah. Pemberian aha cocatu ini dapat

berbentuk penyerahan hak maupun dalam bentuk jual beli yang ditegaskan

dalam surat cocatu. Batas-batas serta luas tanah termasuk bagian yang tidak

terpisahkan dalam pemberian atau pelepasan hak. Bentuk surat cocatu dapat

dilihat sebagai berikut:

96

Bahwa paduka yang maha mulia As Sultan Tadjul Mashul biInajatillahil Mannan Siradjul Mulku Amiruddin IskandarMunnawarus Sadik wahua Minal Adlilin Syah Putra HadjiMuhammad Usman Chalifatul Rasul, Ku memegang urusanpemerintahan di daerah Maluku Istana Kerajaan Ternate, setelahku ijinkan kepada sekretaris imam juru tulis lamo haji Ismailuntuk membubuhi cap Maha Mulia diatas surat ini menjadi tandabukti kebenaran pada hari kemudian anak cucu sekalian tak dapatmerombak lagi.

Yaitu Kadhi tuan haji Asad telah beritahukan kepada juru tulislamo (sekretaris) minta ganti surat dari sebidang tanah yangterletak di belakang kampong Sangaji yang ia dapat beli padaSaharbadun (bibi sultan) dengan harga Rp. 60.Asal tanah tersebut bibi Sultan dapat kekasih dari bapaknyaSultan Al Mahfuds bi Inajatullahil Manan Siradjul MulkiAmiriddin Iskandar Muhammad Arsyad wahua minal adilinaSyah.

Tetapi tanah itu asalnya dahulu kepunyaan bapak muda dari datuksaya Kapten Laut Kecil Mudaffar ia beli pada tukang Abdjal laluia berikan kepada anaknya Dano Abdal, kemudian Dano Abdaljual kembali tanah itu kepada datukku Sultan Tadjul MulkuAmiriddin Iskandar Kaolaini syah dengan harga Rp. 48. hargamana Dano Abdal telah terima lalu ia (datukku) memeritahkankepada ngofanyira Tolangara Kamari, Chatib Sangaji bahran jurutulis Jusuf, Soseba batae Dano Abdal Dano Engge turut bersamauntuk ukur tanah itu, pula telah dipanggil kepada semua orangyang mempunyai tanah yang berbatasan dengan tanah itu untukmenerangkan batas-batas tanah tersebut, terdapat pada sebelah:Timur panjangnya 40 depa bersifat dengan tanah beli pada DanoKodja, Dano Abdal dan Chatif juru tulis Itji, sebelah utarapanjang 176, 5 depa bersifatan dengan barangka, baratpanjangnya 106 depa bersifatan dengan tanah beli pada bekasSadaha Kie, dan selatan panjang 158,5 depa bersifatan denganbarangka.

Kemudian waktu teteku Chalifat menjadi Sultan antara 4 bulanlebih menghadap Sultan dan angkat sumpah jual tanah itu kepadateteku sudah serahkan pada nenekku Boki Maryam sudah terimadengan sempurna. Kemudian baru teteku berikan tanah itu kepadabibi saya seperti tersebut diatas dan bibi saya setelah menerimapemberian dan sudah menguasai tanah itu dan telah serahkanharganya kepada bibiku Saharbanun yang telah menerima dengansempurna, hanya pergantian surat tanah belum dibuat pada waktuitu. Sampai saat aku dinobatkan menjadi sultan antara 10 tahunbaru Kadli tua minta ganti surat tanah tersebut.

97

Jadilah tanah tersebut tetap selama-lamanya menjadi milikKadli tua haji As Ad tersebut, sampai pada anak cucu. Bilapada hari kemudian anak cucu dari bibiku Saharbanun, baiklaki-laki maupun perempuan menaruh kecurigaan danmenyebut-nyebut nama tanah itu tidak boleh sekali-kali danmenjadi harga mutlak karena penjualan dan pembelian telahsempurna dengan bukti tanda cap Sultan yang tercantun diatassurat ini dan yang si penjual dan bertanda tangan pada akhirsurat ini menjadi tanda kerajaan pada hari kemudian anak cucusekalian tak dapat merombak lagi sampai hari kiamat.Surat aha cocatu ini dikeluarkan pada hari ahad tanggal 2 Safartahun 1335 dan cap dan ditandatangani oleh Imam Juru tulisLamo atas nama Sultan.

Dari penjelasan-penjelasan tentang Aha Soa, Aha Kolano dan Raki

Kolano, maka disimpulkan bahwa hak menguasai ada pada masyarakat

melalui pengawasan Sultan. Walaupun pemanfaatan tanah telah diatur

penggunaan dan pemanfaatan menurut hukum adat sebagai pedoman

tingkah laku warga masyarakat, namun dalam kehidupan keseharian

tidak menutup kemungkinan terjadi ketidakharmonisan. Kondisi ini

mengharuskan warga masyarakat untuk kembali pada falsafah adat se

atorang, guna menjalin tali silaturrahmi kekerabatan yang terganggu

tersebut, karena keharmonisan dalam hubungan sosial merupakan

harapan yang harus dijaga oleh siapapun.

Keharmonisan hubungan masyarakat ini juga tercermin dalam

penguasaan hak atas tanah yang dikenal dengan Aha Cocatu.

Walaupun dalam masyarakat adat Ternate mengenal hak komunal (aha

kolano dan aha soa) terhadap anggota masyarakat diberikan hak

individu untuk mengolah atau membuka tanah. Untuk memperoleh aha

cocatu maka yang bersangkutan harus mempunyai pertalian darah atau

mempunyai hubungan kekerabatan dengan kelompok masyarakat adat,

namun tidak menutup kemungkinan aha cocatu ini diberikan kepada

orang luar pertalian darah seperti pendatang untuk memperoleh hak.

Orang luar dapat memperoleh cocatu dengan cara jual-beli, tukar-

menukar, sewa-menyewa, kerjasama pengolahan maupun pemberian

kepada yang bersangkutan karena dianggap telah melakukan pengabdian

atau berjasa dalam masyarakat adat maupun kesultanan.

98

6.2.2. Hak atas Tanah Adat yang Bersifat Sementara

Selain hak atas tanah yang bersifat tetap, pada masyarakat adat Tafure

juga dikenal dengan hak-hak yang bersifat sementara. Walaupun demikian

hak tersebut dapat menjadi hak yang bersifat tetap, jika pemegang hak

memanfaatkan dan memelihara secara terus-menerus. Pada hak yang bersifat

sementara dapat terjadi secara bertahap yakni diawali dengan kegiatan

melakukan tolagumi, kemudian hak safa, ruba banga dan pada akhirnya

menjadi hak jurame. Namun pada kondisi tertentu pentahapan memperoleh

hak diatas dapat ditiadakan, misalnya langsung mengusahakan tanah tersebut

dan menjadi hak safa atau ruba banga. Adapun hak-hak yang bersifat

sementara tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Hak Tolagumi (hak memotong tali)

Hak tolagumi merupakan hak yang bersifat sementara yang dapat

diperoleh oleh masyarakat hukum adat. Hak ini biasanya dilakukan pada saat

seseorang yang menolak membongkar hutan dengan hak safa atau hak ruba

banga. Tolagumi ini dilakukan karena diyakini oleh masyarakat, bahwa

hutan yang hendak dimanfaatkan tersebut memiliki kekuatan magis, sehingga

diperlukan izin dari penguasa hutan. Untuk menghormati penghuni atau

penjaga hutan tersebut, maka masyarakat menyiapkan sesajian dan

pembacaan doa agar penghuni hutan tersebut tidak marah dan mengganggu

kegiatan perombakan hutan tersebut. Sesajian biasanya dibuat dari nasi

kuning dan telur, dimasukkan kedalam tempat yang terbuat dari tanah liat,

kemudian pemuka agama atau adat membacakan doa-doa agar dalam

melakukan pembukaan hutan tidak ada kendala maupun gangguan dari

makhluk halus.

Hak tolagumi selain dapat dilakukan oleh warga masyarakat adat

setempat, juga dapat dilakukan oleh orang lain diluar komunitas. Namun jika

orang luar yang akan melakukan pembongkaran hutan maka yang

bersangkutan harus mendapatkan izin dari pemuka adat dimana wilayah

hutan itu berada dengan catatan yang bersangkutan harus tinggal bersama

dengan komunitas masyarakat adat dalam wilayah hutan tersebut, serta harus

memanfaatkan tanah tersebut dengan sebaik-baiknya.

99

Hak Safa

Safa dalam bahasa Indonesia berarti sayat, menyayat, mengupas, mengiris,

sedangkan hak safa adalah hak yang diberikan kepada masyarakat adat maupun

orang luar untuk membuka hutan atau mengambil hasil hutan. Menurut Rusli

Andi Atjo, hak safa adalah hak utama (mengenai damar) yang ditandai dengan

cara safa yaitu pohon-pohon damar dihikal/dikuliti/dikupas/disayat. Orang yang

pertama memberi tanda itulah yang mempunyai hak untuk mengambil/memiliki

hasil damar, demikian pula keluarganya berhak atas hasil damar tersebut5

Bagi orang pertama yang membuka tanah atau melakukan safa, maka

ia mempunyai hak pertama. Yang diperoleh disini bukan disebabkan karena

membuka tanah, tetapi dengan melakukan safa, maka seseorang telah

meletakkan dasar hukum bagi dirinya untuk menguasai sebidang tanah yang

dinamakan hak safa. Berdasarkan hak safa inilah seseorang memperoleh hak

pertama mengolah sebidang tanah. Bila seseorang menemukan tanda safa

diatas sebidang tanah maka dengan sendirinya dia mengetahui bahwa telah

ada orang lain yang membuka tanah di tempat tersebut, akan tetapi jika hak

safa seseorang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, maka hak itu

kembali kepada Soa. Bagi yang memiliki hak safa hanya ada dua jalan, yakni

mengolah tanah dengan hak safa yang ada padanya, atau menyerahkan

kepada anggota Soa yang lainnya.

Ruba Banga (membuka lahan)

Ruba banga berarti membuka lahan. Hak ini terjadi bila seorang

warga dengan seizin kepala persekutuan, dengan maksud untuk membuka

lahan yang belum dipunyai hak orang lain (hutan belukar). Dalam hutan

tersebut kemudian dengan cara memotong tali atau kayu sebagai tanda, maka

yang bersangkutan telah memiliki hak safa. Sedangkan dari hak safa

tersebut, lantas yang bersangkutan melakukan penebangan pohon dan

sekaligus membersihkan areal tersebut untuk menanami tanaman, maka ia

telah diberikan hak ruba banga. Dengan demikian maka ruba banga adalah

hak untuk membuka hutan/lahan dengan cara ditebang.

5 Rusli Andi Atjo, Kamus....., op. cit. pp. 136

100

Untuk menghindari sengketa dalam komunitas, maka ruba banga hanya

diberikan kepada seseorang setelah yang bersangkutan telah melakukan tolagumi

dan hak safa. Ruba banga dapat diberikan atau dialihkan kepada pihak lain, jika ada

izin dari orang yang melakukan tolagumi atau hak safa. Pada hak ruba banga

dikenal batas waktu atau dikenal dengan kadaluarsa. Untuk pemegang hak ruba

banga tidak memanfaatkan lahan dengan menanami tanaman perkebunan atau tidak

mengerjakan tanah/lahan yang telah dibuka tersebut, maka yang bersangkutan dapat

hilang hak ruba banganya. Tanda terjadinya kadaluarsa hak ruba banga bila lahan

yang telah dibuka (lahan kosong) tersebut kembali ditumbuhi semak belukar atau

pepohonan. Sebagai catatan, bahwa terjadinya hak ruba banga dapat dilakukan

tanpa melalui proses perolehan hak melalui tata cara yang dilakukan pada hak safa.

Hak Jurame

Jurame adalah hak seseorang atau sebidang tanah yang pernah

diusahakan dan telah ditanam dengan tanaman musiman seperti kacang,

jagung, ubi, pisang, dll. Terjadinya hak jurame disebabkan karena orang

yang membuka lahan (ruba banga) yang meninggalkan atau tidak melakukan

proses penanaman dan menyebabkan tumbuhnya pohon-pohon diatas

tanah/lahan. Ditinggalkannya tanah dengan hak jurame oleh pemiliknya

dimaksudkan agar tanah tersebut memiliki kesuburan dengan cara

ditinggalkan ditumbuhi rumput dan pepohonan. Sistem pemulihan lahan yang

dipraktekkan pada masyarakat adat Tafure dilakukan secara tradisional, tanpa

menggunakan zat kimia seperti pupuk dan sebagainya, namun dengan cara

meninggalkan tanah tersebut maka kesuburan tanah akan kembali normal.

Masyarakat percaya bahwa penyuburan tanah dengan menggunakan

zat-zat kimia akan dapat merusak lingkungan sekitarnya. Menurut Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Maluku Utara6, hak jurame merupakan

sebidang tanah yang telah tumbuh pohon-pohon kecil, sebagai bekas kebun

tanaman bulanan oleh seseorang. Jadi jurame adalah tanah yang sementara

diistrahatkan untuk pemulihan kesuburannya. Tanah jurame ini ditandai

dengan adanya:

6 Ibid, op. cit. hal. 71-72.

101

1. Songa, yaitu suatu tanda melekatkan rumput pada pohon-pohon di

dalam lokasi tersebut.

2. Tolagumi: yaitu memotong tali pada pohon untuk membuka lahan.

3. Tamako Maace: bekas kapak pada pohon besar sebagai tanda

4. Ruba banga, adalah hak melakukan pembongkaran hutan.

Setelah terjadinya Songa, Tolagumi, Tamako Maace dan Ruba banga,

maka orang yang melakukan kegiatan tersebut harus melaporkan kepada

kepala Soa/kampung bahwa ia pernah melakukan songa, tolagumi atau

tamako maace diatas tanah atau hutan dimaksud. Adapun hak songa,

tolagumi dan tamako maace tersebut hanyalah berlaku selama 3 bulan dan

apabila telah melewati 3 bulan yang bersangkutan tidak melanjutkan

usahanya, maka batal hak-hak tersebut.

Terjadinya hak jurame pertama-tama setelah melakukan ruba banga,

diatas tanah tersebut ditanami dengan tanaman bulanan seperti padi tadah

hujan, kacang, jagung, ubi sebanyak 2 sampai dengan 3 kali panen (kurun

waktu 1 tahun – 11/2 tahun setelah membuka lahan), kemudian pemegang hak

jurame meninggalkan tanah tersebut agar kembali memiliki kesuburan. Di

atas tanah jurame selain dapat ditanami dengan tanaman bulanan, juga

tanaman jangka panjang seperti kelapa, cengkih, pala dll. Hak jurame yang

dikerjakan secara terus-menerus, maka tanah tersebut menjadi hak milik dari

orang yang melakukan jurame, dan dapat juga hak tersebut kembali kepada

Soa, jika si pemilik meninggal dunia dan tidak meninggalkan keturunan, atau

tanah tersebut diperlukan Soa seperti untuk membangun fasilitas umum, dll.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanah adat adalah tanah

persekutuan, setiap anggota dapat memperoleh hak untuk menggunakannya,

serta terhadap tanah-tanah tertentu (aha cocatu) dapat diwariskan kepada

keturunannya, dan dalam mewujudkan haknya ia terikat pada aturan-aturan

yang sudah ada. Dengan kata lain bahwa tanah adat merupakan suatu

konsepsi abstrak karena dalam kenyataan istilah yang digunakan untuk

menggambarkan adanya jenis hak ini cukup beragam, karena hak ini

berhubungan dengan jenis tanah yang dikuasai, status tanah, jenis tanaman

yang tumbuh, siapa yang memiliki, cara memperoleh, dan diakui atau

tidaknya hak tersebut dalam masyarakat.

102

6.3. Posisi Petani di Tengah Pusaran Negara dan Penguasa

Pada masa Orde Baru7, kelompok-kelompok kepentingan petani di Ternate

menurut ciri-cirinya cenderung berupaya menyelesaikan persoalan konflik

pembangunan sesuai dengan prosedur yang ada dan berhubungan dengan para

pemegang otoritas negara. Kelompok-kelompok kepentingan tersebut berpeluang

berkembang menjadi gerakan sosial ketika mampu menggerakkan anggotanya

dalam bentuk perilaku atau tindakan-tindakan kolektif namun itu terjadi secara

spontan dan sangat bersandar pada momentum sehingga proses kejadiannya

terjadi secara tiba-tiba tanpa ada koordinasi dan konsolidasi yang matang diantara

para elit dan pelaku gerakan. Tindakan kolektif yang dilakukan cenderung keluar

dari tata aturan dan proses normal atau lebih mengandalkan pada aksi massa untuk

mencapai tujuannya8.

Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok kepentingan tersebut

menjadi gerakan tradisional, karena berbagai upaya penyelesaian persoalan tanah

yang dilakukan melalui mekanisme institusional termasuk melalui bantuan

advokasi hukum dari LSM meskipun hal ini berakhir dengan tidak memuaskan,

memakan waktu lama dan tidak ada kejelasan dan kepastian. Upaya lobbi dan

negosiasi dengan pemerintah kabupaten Maluku Utara (sebelum daerah ini

dimekarkan menjadi Provinsi) dan perusahaan (penerbangan) untuk dapat

mengakomodir warga sekitar bandara sebagai PNS namun tetap tidak

diperbolehkan.

7Pada mass Orde Baru banyak komunitas petani di Ternate termasuk Tafure yang tidak maumembentuk kelompok kepentingan hingga melakukan gerakan perlawanan. Hal inidisebabkan karena pendekatan represif yang dipraktekkan oleh negara menimbulkan rasatakut dikalangan petani untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan sehingga yangterjadi hanyalah perlawanan ”tersamar” melalui forum-forum diskusi terbatas. Sebaliknya,banyak juga kelompok kepentingan yang sudah terbentuk kemudian bubar sehinggaperjuanganya menjadi mentah dan berhenti tanpa hasil karena tanpa dukungan yang nyata..

8Menurut Michael Schwartz dan Shuva Paul, terdapat dua faktor kunci yang membedakanantara kelompok kepentingan dan gerakan sosial. Pertama, kelompok kepentinganselalu berhubungan dengan para pemegang otoritas yang diberi mandat secarainstitusional dan mengikuti prosedur institusional yang ada untuk mencapai tujuannya.Sedangkan gerakan sosial dapat melakukan itu, tetapi juga melakukan tindakantindakankolektif yang merusak aturan dan mengacaukan proses normal dalam upaya untukmencapai tujuanya. Kedua, kelompok kepentingan dapat menyerukan konstituennyauntuk aktif mendukung, tetapi modus operandi utamanya (dan barangkali eksklusif)adalah interaksi antara pemimpinya dengan para pemegang otoritas institusional.Sedangkan gerakan sosial lebih mengandalkan mobilisasi massa konstituen untuk mencapaitujuannya (Aldon D. Morris dan Carol McClurg Mueller (editor's). 1992. Op.Cit., hal. 221).

103

Artinya, para pemegang otoritas cenderung menolak dan mempertahankan

status quo dengan tetap memperkuat hegemoni dan mengandalkan pendekatan

keamanan. Situasi tersebut memungkinkan kesadaran kolektif petani untuk

melakukan perlawanan atau berkembang menjadi kesadaran konfliktual-

oposisional9. Kegagalan petani menggunakan pendekatan institusional

memungkinkan beralih menggunakan pendekatan non institusional yang

diwujudkan dalam gerakan tradisional. Sebagai gerakan tradisional berarti masih

mengandalkan tara cara, model kepatutan terhadap tokoh informal, struktur

organisasi, data-data dan strategi sederhana serta diwarnai oleh menejeman

otoritas tradisi lokal yaitu lembaga adat setempat.

Gerakannya masih berskala lokal atau dilokalisir secara terpisah-pisah

dalam batas wilayah komunitas tertentu, lebih didasarkan pada kesadaran sosial

konfliktual (belum sampai pada kesadaran politik) dan lebih ditujukan untuk

mencapai kepentingan material daripada untuk merubah kebijakan agraria.

Perilaku kolektif tradisional ini cenderung terpaksa dilakukan sebagai upaya

bertahan (seperti keinginan memperoleh ganti rugi yang adil dan transparan dalam

proses pembayaran ganti rugi tersebut, dll.

Pada sisi lain terdapat indikasi semakin menguatnya ikatan solidaritas,

loyalitas dan komitmen moral yang semuanya menjadi pertanda telah disituasikan

identitas kolektif petani. Dalam gerakan tradisional, antar petani di masing-masing

wilayah komunitas konflik semakin kuat dalam pendefinisian bersama tentang

siapa "kita (in-groups)" dan siapa "pihak lawan (out-groups)"10. Mereka telah

melakukan proses interaktif dan dalam pendefinisian bersama (konstruksi,

negosiasi, aktivasi dan formasi) berkaitan dengan orientasi aksi kolektif,

menginterpretasikan peluang dan tekanan-tekanan dimana aksi kolektif tersebut

dilakukan11.

9 Aldon D. Morris dan Carol McClurg Mueller (editors). 1992. Ibid., hal. 55.10 Hank Johnston dan Bert Klandermans (editors). 1995. Op.Cit., hal.44.

11Pada mass Orde Baru banyak komunitas petani di Ternate termasuk Tafure yang tidak maumembentuk kelompok kepentingan hingga melakukan gerakan perlawanan. Hal inidisebabkan karena pendekatan represif yang dipraktekkan oleh negara menimbulkan rasatakut dikalangan petani untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan sehingga yangterjadi hanyalah perlawanan ”tersamar” melalui forum-forum diskusi terbatas. Sebaliknya,banyak juga kelompok kepentingan yang sudah terbentuk kemudian bubar sehinggaperjuanganya menjadi mentah dan berhenti tanpa hasil karena tanpa dukungan yang nyata..

104

Selain itu juga perasaan curiga terhadap partisipasi kelompok luar justeru

menjadi semakin lebih besar karena dilandasi oleh rasa takut ketika

diperhadapkan pada kenyataan jikalau ada intervensi pihak asing yang merugikan

eksistensi keberlanjutan komunitasnya. Berkembangnya kelompok kepentingan

menjadi gerakan sosial tradisional -nenunjukkan kepercayaan (belief) bersama

tentang hak penguasaan atas tanah secara adat dan non adat) diperkuat, semakin

kuatnya ikatan solidaritas dan komitmen moral, formasi dan aktivasi konfliktual,

upaya reaktif petani dalam bentuk aksi-aksi perlawanan dari cara damai hingga

amuk massa (expressive violence). Kepercayaan kolektif tersebut selalu

direkonstruksi selama konflik berlangsung hingga dalam gerakan petani secara

massive dikemudian hari. Dalam konteks waktu, sesuai dengan pandangan

Smelser, kepercayaan umum (generalized beliefs) menurut alas hak yang diyakini

benar oleh petani sudah ada dalam jangka waktu lama dan selalu diaktifkan sesuai

dengan perkembangan kondisi yang memungkinkan12. Ini berarti bahwa sandaran

sebuah gerakan tak luput dari momentum yang dianggap tepat untuk diwujudkan.

Kepercayaan kolektif atau collective belief (menurut istilah Klandermans)

tersebut berkembang dalam berbagai ruang seperti melalui proses interaksi antar

pribadi, di dalam ruang-ruang publik setempat, dan dalam proses meningkatnya

kesadaran selama episode tindakan kolektif13. Berangkat dari logika dan asumsi

gerakan sosial ”tradisional” maka partisipan dalam perilaku kolektif petani Tafure

tidak selalu berasal dari anggota komunitas wilayah terkena dampak

pembangunan bandara melainkan juga oleh para pelaku non petani dan para

anggota masyarakat dari luar desa Tafure yang disatukan secara kultural.

Terdapat banyak kelompok kepentingan dalam proses pengadaan

tanah untuk perluasan bandara Sultan Babullah Ternate, disini dapat

diketahui bahwa pembentukan panitia pengadaan tanah tidak sesuai

dengan yang ditetapkan dalam Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional

No. 1 tahun 1993.

12Niel Smelser. 1962. Theory of Collective Behavior. New York: Free Press, Collier-MacmillanLimited, London, hal.292.

13Bert Klandermans dalam Aldon D. Morris dan Carol McClurg Mueller (editor’s). 1992.Op.Cit, hal. 99.

105

Dalam peraturan ini ditetapkan bahwa syarat pembentukan panitia

pengadaan tanah sebanyak 9 (sembilan) orang yang terdiri dari berbagai

unsur/instansi, namun dengan otonomi daerah melalui kewenangan yang

diberikan dalam Kepres No. 34 tahun 2003, Pemerintah daerah justru

membentuk tim kerja (bukan panitia) pengadaan tanah yang unsur-

unsurnya tidak terkait dengan proses pengadaan tanah yang akan

dilakukan.

Bahkan keterlibatan BPN Kota sebagai instansi teknis yang

memiliki pengetahuan terhadap status tanah di daerah tidak dilibatkan.

Akibatnya pasca pembangunan/perluasan bandara Sultan Babullah

tersebut menimbulkan konflik dikalangan masyarakat adat serta tuntutan

ganti rugi atas tanah yang telah diambil.14 Contoh lain adalah proses izin

lokasi, sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur atau

mengganti proses dan format administrasi yang berkaitan dengan

pemberian izin lokasi, namun Pemda dalam proses pemberian izin lokasi

sering membuat format sendiri, tidak berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku, padahal format yang berlaku masih

menggunakan ketentuan yang ditetapkan oleh BPN yakni PMNA/KBPN

No. 3 tahun 1999 tentang izin lokasi. Dapat dikatakan bahwa, dengan

Kepres 34 tahun 2003 permasalahan bidang pertanahan menjadi

kewenangan Pemerintah Daerah, namun peraturan tekhnis untuk

penjabaran lebih lanjut masih mengacu pada ketentuan perundang-

undangan yang selama ini ditetapkan oleh BPN, dimana secara struktural

BPN merupakan lembaga vertikal non departemen.

Melalui surat Keputusan Kepala BPN No. 2 tahun 2003 yang

dikeluarkan pada tanggal 28 Agustus 2003 memberikan penjabaran

melalui Norma Standar dan Mekanisme Ketata-laksanaan Kewenangan

Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota. Khusus terhadap penetapan dan penyelesaian tanah

ulayat, dinyatakan bahwa hak ulayat dan yang serupa dengan itu dari

14 Hasil wawancara Kepala BPN, pada tanggal 2 Agustus 2007 di Kantor BPN Kota Ternate.

106

masyarakat hukum adalah kewenangan yang menurut hukum adat

dimiliki oleh masyarakat hukum adat tertentu atau wilayah tertentu yang

merupakan lingkungan para warga yang mengambil manfaat dari sumber

daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan

hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah,

batiniah, turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat

tersebut dengan wilayah yang bersangkutan yang diklaim sebagai tanah

adat oleh masyararakat.

Tanah yang dimaksud adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat

hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat. Begitu pula masyarakat

yang dimaksud adalah sekelompok orang yang terkait dalam tatanan

hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena

kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Untuk

mengantisipasi tuntutan yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat atas

tanah mereka, maka pemerintah dengan Keputusan Kepala BPN No. 3 tahun

2003 mengeluarkan standar penyelesaian masalah hak ulayat (hak-hak adat).

Mengacu pada UU No. 5 tahun 1960 tentang UUPA dan Peraturan Mentri

Negara Agraria / KBPN Nomor 5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesian

masalah hak ulayat masyarakat hukum adat, dengan mekanisme standar

melalui tiga tahap, yakni tahap persiapan, pelaksanaan dan pelaporan.

Pada tahap persiapan, Walikota menerima permohonan dari

masyarakat yang memenuhi standar adanya hak ulayat, kemudian

membentuk panitia peneliti yang keanggotannya terdiri dari para pakar

hukum adat, masyarakat hukum adat, LSM dan instansi terkait; Pada

tahap pelaksanaan, Waikota dan panitia peneliti melakukan

rapat/pertemuan persiapan, melaksanakan penelitian yang meliputi

keberadaan masyarakat adat, adanya wilayah dan hubungan antara

masyarakat adat dengan wilayahnya. Setelah itu mempublikasikan hasil

penelitian, dan menampung saran pendapat melalui seminar, lokakarya,

dan lain-lain. Melaksanakan dengar pendapat umum dalam rangka

penyiapan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang penetapan

tanah ulayat.

107

Menerbitkan Perda tentang tanah ulayat, mengusulan pemetaan dan

pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor BPN Kota,

menangani masalah tanah ulayat melalui musyawarah/mufakat, serta apabila

tidak terjadi kata sepakat, permasalahan diselesaikan melalui jalur

pengadilan. Tahap pelaporan, hasil penelitian kemudian Bupati/Walikota

menyampaikan laporan kepada Pemerintah Pusat cq. BPN Pusat melalui BPN

Provinsi Maluku Utara.

Pada tingkat lokal, sampai saat ini pemerintah Kota Ternate belum

memiliki produk hukum daerah dalam bidang pertanahan, terutama yang

berkaitan dengan hak-hak masyarakat hukum adat. Masing-masing

instansi yang mengurus masalah pertanahan, bekerja secara sektoral

tanpa ada koordinasi satu dengan yang lain, padahal permasalahan hak

atas tanah masyarakat hukum adat melibatkan berbagai instansi terkait.

Asumsi ini bukanlah berangkat dari logika yang tidak berdasar karena

pada kenyataannya sebagaimana yang terjadi dilapangan.

Hingga kini, belum ada satu Perdapun yang mengatur tentang

bidang pertanahan di Maluku Utara secara umum maupun Ternate

khususnya. Menurut Dr. Husen Alting: “Ada anggapan dalam kalangan

pemerintah daerah, jika tanah adat diidentifikasi, maka akan

bermunculan klaim tanah adat oleh masyarakat adat yang akhirnya akan

menghambat proses pembangunan di Kota Ternate terutama bagi

investor”15 Realitas polemik bandara yang selama ini terjadi seolah

membenarkan asumsi ini, bahkan polemik bandara seolah menjadi

representasi persolan sengketa tanah adat yang terjadi di Maluku Utara.

Berbeda halnya dengan institusi pemerintah daerah yang memiliki

kewenangan mengimplementasi otonomi pertanahan belum dilakukan secara

nyata, namun BPN Kota Ternate sebagai lembaga vertikal yang berada di

daerah, tetap melakukan pelayanan administrasi pertanahan, termasuk

terhadap permohonan/penetapan hak atas tanah yang berasal dari masyarakat

hukum adat.

15 Hasil wawancara dengan Dr. Husen Alting, (Direktur Lembaga Mitra Lingkungan / LMLMaluku Utara, tanggal 11 Ferbruari 2008.

108

BPN Kota Ternate sebagai lembaga teknis cukup memberikan

apresiasi terhadap perlindungan hak masyarakat hukum adat. Misalnya dalam

hal pengakuan aha cocatu, BPN tetap mengakui adanya tanah hak

masyarakat hukum adat, karena dari sejarah pemerintahan sebelumnya Kota

Ternate merupakan daerah kerajaan dengan sistem pemerintahan swapraja,

dimana pemberian hak atas tanah umumnya berdasarkan hukum adat.

Walaupun demikian, pada kasus tertentu diterapkan perlindungan

hukum yang bersyarat terhadap hak masyarakat adat, terutama setelah

berlakunya UUPA, maka BPN Kota Ternate tunduk kepada peraturan

perundang-undangan yang mengatur pemberian tanah. Terhadap tanah

masyarakat hukum adat, pemberian hak dilakukan dengan dua cara,

yakni pemberian berdasarkan ketentuan pemberian hak atas tanah negara

(Kepmen Agraria/KBPN No. 9 tahun 1999), dan terhadap tanah yang

berdasarkan hukum adat menggunakan ketentuan konversi dalam UUPA

dan Peraturan Mentri Agraria No. 2 tahun 1981.

Tanah adat yang dikonversi terlebih dahulu dilakukan penelitian

terhadap data fisik dan data hukum yang terdapat pada surat pemberian

hak, yang dikeluarkan oleh pemerintah swapraja maupun oleh Sultan.

Jika ditemukan data dilapangan sesuai dengan keterangan yang termuat

dalam surat tersebut, maka dalam proses pemberian hak, BPN akan

melakukan berdasarkan ketentuan konversi.

Namun pada umumnya surat cocatu yang dijadikan dasar bagi

masyarakat hukum adat untuk mendapatkan tanah, tidak memiliki

kejelasan dari segi luas tanah dan batas-batasnya. Luas tanah dalam

cocatu umumnya tidak menggunakan ukuran meter, akan tetapi

menggunakan ukuran depa (bentang tangan), hal ini menyebabkan terjadi

kesulitan dalam menentukan luas tanah berdasarkan ukuran meter. Bagi

BPN Kota Ternate, tanah yang dikuasai masyarakat hukum adat dengan

surat cocatu tetap diakui, sepanjang surat tersebut dikeluarkan sebelum

tahun 1960 dan jika setelah tahun 1960 maka tanah tersebut dianggap

sebagai tanah negara.

109

Seiring dengan tuntutan kepastian hak bagi masyarakat berdasarkan

hukum negara, termasuk tanah yang dikuasai berdasarkan hukum adat,

langkah yang dilakukan oleh BPN sebelum dilakukan proses permohonan

sertifikat tanah adat, terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan pihak

kesultanan atau pemuka adat, guna memperjelas status tanah, sekaligus

memberikan informasi adanya tanah adat yang akan dilakukan proses

sertifikat. Koordinasi ini dilakukan untuk menghindari timbulnya

permasalahan dikemudian hari. Akibat banyak tanah dikuasai dengan sistem

hukum adat, menyebabkan kewajiban bagi masyarakat untuk melakukan

pendaftaran tanah yang dikuasai, karena mereka masih memegang prinsip

bahwa tanah tersebut adalah tanah bersama, sehingga terlebih dahulu harus

mendapat izin dari Sultan atau pemuka adat setempat.

Ide pendaftaran tanah melalui proses sertifikasi selama ini telah

menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat adat. Pihak yang

mendukung pendaftaran ini berpendapat, bahwa dengan adanya kepastian hak

atas tanah adat (melalui proses sertifikasi) dapat menghilangkan sumber

konflik serta sesuai dengan tuntutan institusi hukum negara maupun

perkembangan zaman modern. Sebaliknya dari pihak yang menolak

berpendapat, bahwa jika tanah adat didaftarkan, maka tindakan ini

merupakan awal kehancuran bagi masyarakat hukum adat dan hak-hak

tradisionalnya termasuk sistem kekerabatannya.16

Masyarakat adat tidak memiliki sejarah dalam proses pendaftaran

tanah. Salah satu ciri yang menonjol dari masyarakat hukum adat adalah

sebagai hukum yang tidak tertulis. Karena itu, Sihombing menyebutkan

bahwa hukum tanah adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah

yang hidup dalam masyarakat hukum adat pada masa lampau dan masa kini,

serta ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara otentik

(berdasarkan hukum negara) atau tertulis, kemudian pula ada yang

didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis.17

16 Erizal Jamal, Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan Pada Komunitas Lokalhttp://www.psedeptan.go.id/hasil%20penelitian struktur dan dinamika.htm

17 Sihombing. Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia. Toko GunungAgung. Jakarta, 2005, p. 67.

110

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagi masyarakat adat Tafure,

sertifikat bukanlah suatu alat untuk dijadikan sebagai jaminan perlindungan

terhadap hak-hak adat. Bagi mereka selama tidak ada kekuasaan yang lebih

tinggi dalam masyarakat hukum adat, maka perlindungan dan pertahanan

kedudukan dan hak-hak tersebut (wilayah hukum) diperoleh dari kekuatan

pembelaan sendiri atau melalui saling hormat-menghormati hak masing-

masing.

Pengakuan sesama masyarakat telah memberikan kepastian hukum

dalam penguasaan hak atas tanah. Masyarakat hukum adat beranggapan

bahwa di samping kekuatan yang dimiliki dalam masyarakat, terdapat

pemuka adat (tokoh adat) yang ditugaskan untuk melindungi hak-hak

mereka. Pada segi yang lain, perlindungan hukum yang diberikan BPN

kepada masyarakat hukum adat atas tanah, selain melalui ketentuan konversi

hak, juga dilakukan dengan berdasarkan pada ketentuan pemberian hak atas

tanah negara.

Hal ini dilakukan, karena keterbatasan pembuktian hak masyarakat

adat, terutama berkaitan dengan batas dan luas tanah yang kurang jelas dalam

surat pemberian hak atas tanah adat, serta prosedur pemberian hak dengan

menggunakan ketentuan konversi hak melalui Kepmen Agraria/KBPN No. 9

tahun 1999, dimana tanah yang dikuasai dengan hukum adat dianggap

sebagai tanah negara, dengan maksud agar perlindungan hak masyarakat

hukum adat melalui hukum negara dapat diberikan dan tidak mendapatkan

hambatan.

Berbelitnya proses pemberian hak atas tanah masyarakat hukum adat

dalam konteks hukum negara, ini menunjukkan bahwa negara/pemerintah

masih setengah hati untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap

hak masyarakat adat. Baik konstitusi, Undang-undang maupun peraturan

pelaksanaan yang lebih rendah, memberikan pengakuan dan perlindungan

bersyarat, berlapis serta bertentangan dengan peraturan satu dengan yang

lainnya. Kekacauan substansi peraturan perundang-undanagan dalam bidang

agraria, telah menepatkan masyarakat adat pada posisi yang lemah dan tidak

berdaya ketika berhadapan dengan negara.

111

Menurut Husen Alting, upaya menciptakan rasa aman dalam

pemilikan dan penguasaan tanah masyarakat hukum adat, maka harus segera

memberikan jaminan kepastian hak dan perlindungan hukum bagi

pemiliknya. Perlu dilakukan sinkronisasi dan perubahan perundang-undangan

yang berpihak pada perlindungan hak masyarakat hukum adat, sebelum

meluasnya tuntutan-tuntutan politis yang akan mengancam keutuhan NKRI.

Bentuk pengakuan yang harus diberikan dengan cara, mengukuhkan

masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak atas tanah dan memberikan

kesempatan memanfaatkan sumberdaya tanah berdasarkan kearifan yang

dimiliki.

Pengukuhan tersebut dilakukan terhadap semua jenis hak-hak atas

tanah yang saat ini telah dikuasai oleh masyarakat hukum adat; (baik yang

sudah terputus hubungan hukumnya maupun yang masih eksis), baik

terhadap hak-hak individu, maupun hak-hak komunitas (hak ulayat). Dengan

kata lain, perlu mewujudkan pula hubungan yang seimbang antara negara

dengan masyarakat hukum adat, dalam pengelolaan sumber daya alam

sekaligus memberikan kepastian hukum atas pola-pola penguasaan dan

pemanfatan yang telah dilakukan.18

Prinsip-prinsip kearifan adat yang berbasis komunitas haruslah

dipandang sebagai social capital dan memiliki potensi sosial-budaya yang

perlu dipertahankan dan dikembangkan, diperkaya, serta diperkuat melalui

perlindungan dalam penataan sebagai landasan baru menuju perubahan

kebijakan yang tepat untuk tujuan keberlanjutan ekologis. Melalui peran dan

tindakan yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat adat dengan

kearifan lokal yang dimiliki dalam pengelolaan sumberdaya alam, maka tidak

berlebihan untuk mengatakan bahwa masa depan keberlanjutan hidup kita

sebagai bangsa berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara

kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang sudah

terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai

komunitas dan sekaligus menyangga layanan alam untuk kebutuhan makhluk

lainnya secara lebih luas.

18 Husen Alting, Pengakuan....., op. cit. pp. 352-353.

112

6.4. Intervensi Pemerintah, Respon Petani dan Dampak Gerakandi Tengah Arus Kepentingan

Fenomena penyelesaian ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah

Ternate yang buntutnya terjadi aksi boikot aktifitas penerbangan dibandara

Sultan Babullah Ternate pada tanggal 01 Pebruari 2005 kemudian ditanggapi

pemerintah dengan mengakomodir tuntutan masyarakat, namun

penyelesaiannya, tidak memenuhi keinginan dan tuntutan kalangan

masyarakat itu sendiri yang mana dengan diterbitkannya nota kesepakatan

(MoU) tertanggal 01 Pebruari 2005 dimana tim (wakil masyarakat) yang

dibentuk bukan atas ditunjuk berdasarkan musyawarah dari masyarakat, telah

ikut menandatangani MoU tersebut tanpa mengetahui lebih dulu isi dari

kesepakatan itu, sehingga dapat merugikan masyarakat ahli waris misalnya

didalam pasal 5 MoU ayat (1) “Cara pembayaran harga tanah sebagaimana

tersebut pada pasal 2 dan 3 dilakukan secara bertahap dan dimulai pada tahun

anggaran 2006 serta dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Ayat (2)

pembayaran sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan tahapan-tahapan

selanjutnya akan diprogramkan / diusulkan oleh pemerintah sampai terlunasi

seluruh harga tanah.”

Menurut pemahaman masyarakat korban bahwa pengertian dari dua

ayat tersebut diatas adalah penafsirannya tidak jelas jangka waktu sampai

kapan. Belakangan diketahui oleh masyarakat pemilik tanah maka

dipertanyakan hal itu kepada tim dan oleh tim memberikan penjelasan bahwa

pada saat terjadinya penandatanganan MoU, mereka (Tim) diarahkan ke

Terminal bandara disaat Dirjen Tekhnik Perhubungan Udara beserta

rombongannya akan berangkat dengan pesawat kembali ke Jakarta.19 Menurut

masyarakat korban bahwa satu hal yang lebih janggal lagi didalam MoU

adalah bahwa ternyata pihak Kesultanan tidak dilibatkan didalam

penyelesaian ganti rugi pembayaran, justru melibatkan anggota Komisi II

DPR RI, Komisi A DPRD Propinsi dan Komisi A DPRD II Kota Ternate.

19 Penjelasan Hi. Jailan Habsi (Ketua Tim 6) pada saat wawancarai penulis tgl 3 Agustus 2007 dikediamannya Tabam-Ternate.

113

Realisasi dari pembayaran ganti rugi yang telah dilaksanakan

walaupun belum tuntas, ditinjau dari kelayakannya berdasarkan hak maka

perlu menyimak UU. PA No. 5 Tahun 1960 pasal 18 sebagai berikut; Untuk

kepentingan umum, termasuk kepentigan bangsa dan negara serta

kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan

memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang. belumlah sepadan dengan apa yang diterima oleh masyarakat

pemilik lahan secara bertahap tanpa jelas jangka waktunya.

Semakin berlarut-larutnya penyelesaian ganti rugi dan ketidak-pastian

sehingga oleh masyarakat pemilik tanah telah membuat pernyataan sikap

penolakan kepada tim kuasa dan pembentukan tim kuasa yang baru,

selanjutnya memberi kuasa kepada Sultan Ternate untuk mengurus sampai

tuntas. Perihal pernyataan sikap tersebut, dilampirkan dengan surat

pemberitahuan kepada Menteri Perhubungan cq Dirjen Perhubungan Udara di

Jakarta tertanggal 20 Juni 2006 dengan tembusan-tembusannya meliputi

Gubernur Maluku Utara, ketua DPRD Propinsi, Walikota Ternate, Ketua

DPRD II Kota, Camat Kota Ternate Utara, dll.

Kecemasan masyarakat dengan ketidakpastian akan sangat rentan

sekali berpotensi terjadinya pertkaian dalam masyarakat. Namun

kenyataannya kepala bandara berdasarkan koordinasinya dengan pemerintah

Kota telah nekad mengambil untuk melakukan pembayaran secara bertahap

dan entah alokasi besar kecilnya jumlah uang yang diterima oleh tiap pemilik

berdasarkan apa? Sebelumnya diterbitkannya surat perintah membayar (SPM)

oleh kepala bandara (Kabandara), sekelompok masyarakat mendatangi

kabandara di ruang kerjanya menyampaikan persoalan data yang tidak valid

yang diusulkan oleh tim dengan maksud pembayaran ditangguhkan dulu

sebelum merevisi data dan mempertanyakan legitimasi tim yang

mengusulkan data tersebut. Inilah awal dari terpecahnya tim masyarakat yang

dikenal dengan tim 6 disatu sisi dan tim 4 pada sisi yang lain yang masing-

masing dari keduanya adalah sama-sama merupakan perwakilan dari

masyarakat petani.

114

Masyarakat juga mempertanyakan soal dasar dari pembayaran tersebut

dilakukan, namun tidak mendapatkan jawaban yang pasti dan oleh Kabandara

masyarakat dipersilahkan mempertanyakan kepada pihak pemerintah kota.

dari pemerintah kota yang diwakili oleh H.Amas Dinsie (Wakil Walikota

Ternate) memberikan keterangan bahwa pembayaran tersebut bukan atas

dasar dari petunjuk baik dari Dirjen Perhubungan maupun menteri

Perhubungan, akan tetapi Pemerintah Kota dan Kabandara berkoordinasi

dengan Dinas Perhubungan mengembil kebijakan untuk melakukan

pembayaran. Lanjut kata H.Amas bahwa ini adalah seperti rezeki jatuh dari

langit, jadi harus mengambilnya, kata beliau pula tidak usah mempersoalkan

tentang data fiktif dan pemotongan ilegal yang dilakukan oleh tim, karena

persoalan itu adalah urusan akhirat. 20

Mencermati kronologis pembayaran yang dilakukan, terkesan adanya

unsur pemaksaan oleh pihak tertentu, oleh karena itu kelompok masyarakat

melakukan presure ke Polda Maluku Utara dan mendapat respon sangat baik

dengan membuat surat pemblokiran ke kantor BRI dan KPKN untuk

dipending pembayaran sampai batas waktu yang belum ditentukan.

kecurigaan tentang adanya unsur pemaksaan dalam pembayaran itu sangat

beralasan karena pada saat Kapolda berkunjung ke luar negeri, kesempatan

itu tidak disia-siakan untuk dilakukan pembayaran di Bank Mandiri.

Pada hari pertama dilakukan pembayaran di Bank Mandiri telah

terjadi sedikit pertikaian mulut diantara masyarakat pemilik lahan dengan tim

yang memaksakan untuk melakukan pemotongan dari bagian yang diterima.

Melihat situasi yang rentan sekali terjadinya pertikaian yang lebih besar

maka pembayaran kemudian ditunda oleh pimpinan Bank Mandiri dan

selanjutnya pembayaran dilakukan ke secara bergiliran dengan membuka

rekening kartu ATM. Giliran hari pertama ke masyarakat Sango sempat

terjadi pertikaian diantara warga karena terkait dengan orang yang bukan

pemilik ikut mendapatkan jatah bagian sementara ada pemilik ahli waris yang

tidak didaftarkan oleh tim.

20 Penjelasan Ilyas Bayau, SE (Ketua Tim 4) pada saat wawancarai penulis tgl 5 Agustus 2007 dikediamannya Tabam-Ternate.

115

Berlanjut pada hari kedua giliran masyarakat Tabam dan terjadi

perkelahian yang menyebabkan dua orang warga menjadi korban

penganiayaan. Oleh karena situasi semakin memanas maka masyarakat

Tafure mendapat giliran pada hari berikut dibatalkan, namun ternyata

pengalihan pembayaran dilakukan dari rumah ke rumah secara sembunyi-

sembunyi. Ada kesan terburu-buru dalam pelaksanaan pembayaran ganti rugi

lahan Bandara yang mengharuskan tahap pertama harus tuntas sebelum tahun

2007, sehingga pentahapan selanjutnya diprogramkan kembali pada tahun

anggaran berikutnya, demikian hingga kini pembayaran ganti rugi tersebut

masih belum pasti karena tidak ada ketegasan didalam MoU sebagaimana

disebutkan sebelumnya. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa realisasi

pembayaran pada tahap pertama, uang yang sudah diterima oleh sebagian

besar masyarakat berfariasi antara Rp 2 juta sampai dengan yang paling

tertinggi Rp 5 juta per pemilik lahan. Oleh pemilik lahan uang itu kemudian

dibagikan lagi per keluarga ahli waris didalam keluarganya.

Menurut penjelasan Bapak Abdul Madjid Bayau yang merupakan

seorang pemangku adat Tafure menyatakan dalam sebuah wawancara dengan

penulis bahwa:

“Uang yang kami peroleh tersebut sangatlah kecil biladibandingkan dengan luas lahan yang dimiliki masyarakat.Uang tersebut jangankan dibagikan kepada sanak saudaraahli waris, dipakai buat hajatan Tahlilan sebagai bentukritual keagamaan demi keselamatan keluarga itupun tidakcukup sehingga wajar bila masyarakat korban pembangunanbandara yang rela menerima ganti rugi secara pasrah tidakmau bila proses pembayarannya dilakukan secara bertahapmelainkan secara langsung lunas. Apakah artinya uangsebesar itu diterima bila dibandingkan dengan kehilangantanah dan kebun pertaniannya sebagai penunjang hiduphari-hari. 21

21 Penjelasan Bpk. Madjid Abdullah (Fanyira / tokoh adat masyarakat Tafure) pada saat wawancaraipenulis tgl 2 Juni 2007 di kediamannya Tafure Ternate.

116

Polemik ganti rugi lahan Bandara Sultan Babullah yang memicu aksi

boikot aktifitas penerbangan pada tanggal 5 Desember 2006 yang lalu sampai

saat ini belum ada tindak lanjut dari pemerintah. Ada 8 butir tuntutan yang

telah disampaikan dalam aksi tim 4 yang dilaksanakan pada tanggal 5

Desember 2006 tersebut tampaknya hingga kini belum ada follow up dari

pemerintah yang memuaskan bagi masyarakat. Menurut tim 4 bahwa Indikasi

tindak pidana yang telah dilakukan oleh tim 6 beserta “konco-konconya” pun

tidak ada presure dari polres selaku aparat penegak hukum di kota Ternate.

Dalam konteks ini pula maka supremasi hukum yang menjadi

kewenangan utama intitusi penegak hukum di daerah mestilah proaktif dalam

merespon persolan ini sesulit apapun keputusan/ketegasan hukum yang akan

diambil adalah merupakan bentuk pembelajaran dan penyadaran kepada

masyarakat agar taat kepada equality before the law (persamaan di hadapan

hukum). Dengan demikian konsekuensi logisnya adalah efek jera yang

dirasakan oleh pelaku yang akan menjadi teladan dan contoh masyarakat luas

untuk turut menegakkan kepastian hukum (due of law).

Polres kota Ternate menurut Ilyas Bayau sepertinya mandul, padahal

instansi tersebut merupakan lembaga pengayom hukum dalam masyarakat.

Banyak data yang merupakan bukti disertai para saksi yang menunggu untuk

dimintai keterangan seperti dilaporkan oleh tim 4 hingga saat ini belum ada

tanda-tanda penyelidikan. Dari pihak pemerintah sendiri terkesan

mengabaikan inti dari permasalahan yang sebenarnya. Misalnya pertemuan

tertutup yang telah diadakan di kedaton kesultanan Ternate yang dihadiri

oleh para pejabat pemerintah kota Ternate, Badan Pertanahan Negara (BPN),

Polda Maluku Utara, kepala Bandara Sultan Babullah Ternate hanya

membicarakan ganti rugi yang selanjutnya diserahkan kepada Sultan Ternate.

Sedangkan tuntutan masyarakat seperti yang tertuang dalam surat

pernyataan sikap, ketidak absahan Nota Kesepahaman (MoU) dan

pembayaran secara bertahap yang dipaksakan yang mana telah menimbulkan

banyak masalah, tidak disinggung sama sekali oleh pihak pemerintah dalam

rapat tertutup tersebut. Untuk lebih jelasnya di sini dicantumkan isi dari

pernyataan sikap sbb:

117

1. Berdasarkan kesepakatan bersama antara pemerintah dan masyarakat

pada tgl 1 februari 2005, butir a. Tentang lahan Bandara Sultan

Babullah Ternate adalah tanah “Aha Kie Se Kolano”, oleh karena itu

pemerintah RI, Cq. Pemerintah Daerah harus mengakui hak-hak

masyarakat adat sesuai dengan undang-undang.

2. Segera Tim Ditjen Perhubungan Udara bersama pemerintah Kota

Ternate dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk duduk satu

meja bersama Kesultanan Ternate dalam menyelesaikan soal ganti

rugi hak ulayat masyarakat adat pada lahan Bandara Sultan Babullah

Ternate.

3. Segera dilakukan revisi kesepakatan bersama (MoU).

4. Kepada Polda Maluku Utara untuk sergera menangkap oknum-

oknum Tim 6 yang diduga kuat melakukan penipuan data dan

pemerasan kepada masyarakat dengan dalih pemotongan 10% dan

pungutan-pungutan lainnya.

5. Pembangunan terminal baru harus mengakomodir Tenaga Kerja di

sekitar Bandara.

6. Segera tertibkan taksi yang beroperasi di bandara dan jangan ada

pungutan-pungutan liar terhadap para sopir taksi.

7. Dishub Kota Ternate harus menempatkan petugas/warga korban

pembangunan bandara sebagai juru parkir.

8. Tenaga honorer pada bandara agar segera diangkat menjadi PNS.

9. Bila poin 1 s/.d 8 tidak diakomodir maka kami akan boikot bandara

dalam batas waktu yang tidak ditentukan.

Menurut Ilyas Bayau22, bahwa hasil dari pertemuan tertutup tgl 28

desember 2006 tersebut, pihak pemerintah kota maupun BPN bungkam atau

aksi tutup mulut pada saat dikejar oleh wartawan. Sehari setelah pertemuan

itu ahirnya Drs.Hi.Amas Dinsie (wakil walikota) dan Isnain Hi.Ibrahim

(kabag pemerintahan Pemkot Ternate) memberikan penjelasan sekitar hasil

pertemuan.

22 Ibid.

118

Lebih lanjut Menurut Ilyas Bayau23 bahwa latar belakang status tanah

sengketa tersebut mengandung berbagai kejanggalan bila dikaji secara

cermat. Hal ini berdasarkan sertifikat dengan nomor 03 tahun 1991 tertanggal

27 juni 1991, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

Pertama : Tanah yang digunakan oleh bandara Sultan Babullah adalah

sejak tahun 1970, sedangkan sertifikat dengan nomor 03 tahun 1991

dikeluarkan pada tahun 1991. Nah selama kurang lebih 21 tahun hak

masyarakat atas tanah tersebut dimana ?

Kedua : Dasar status sertifikat tersebut adalah Hak Pakai. Berbicara hak

pakai berarti ada hak miliknya. Jika tanah tersebut mutlak milik rakyat,

seharusnya ada perjanjian jual beli atau hibah dari masyarakat selaku pemilik

tanah. Atau jika tanah tersebut milik Kolano maka koordinasinya dengan

Kolano selaku Sultan Ternate. Namun setelah dikonfirmasi dengan Sultan

Ternate, ternyata Sultan tidak mengetahui keberadaan sertifikat tersebut.

Ketiga : kepemilikan hak pakai sertifikat tersebut adalah Departemen

Perhubungan RI berkedudukan di Jakarta. Apakah patut sebuah Departemen

tanpa ganti rugi yang layak telah mengambil hak rakyat yang sebelumnya

menjadi sumber dan penunjang kehidupan sehari-hari seperti yang

diamanatkan didalam UUPA Nomor 5 tahun 1960? Lebih lanjut Menurut

Ilyas Bayau bahwa:

”........Seharusnya Isnain Ibrahim selaku pejabat pemerintahmemihak kepada kepentingan rakyat, bukan memberikankomentar yang memojokkan rakyat turut membodohi rakyatyang nota bene jauh dari jangkauan hukum. Bila ternyata parapejabat pemerintah masih bersikukuh mempertahankan egonyamelalui MoU yang merupakan sebuah pembohongan publikdan jebakan disertai penjelasan tentang status tanah yangmembingungkan masyarakat maka membuka peluang untukaksi babak selanjutnya yang akan lebih dahsyat dari aksisebelumnya. Instrumen yang dimainkan oleh oknum pejabatpemerintah terkesan mengadu domba masyarakat adat, terlebihlagi mengabaikan Sultan Ternate selaku pemangku adat.

23 Ibid.

119

Konflik yang melibatkan pemerintah daerah, pengelola bandara dan

masyarakat adat Tafure tersebut telah diupayakan berbagai upaya negosiasi oleh

Pemda setempat dengan masyarakat adat, namun negosiasi tersebut tidak

membawa perubahan sikap pemerintah untuk dapat memenuhi tuntutan

masyarakat. Berbagai upaya protes terhadap kebijakan pembangunan dan

perluasan areal bandara hingga kini terus dilakukan baik melalui aksi ekstra

parlementer hingga berbagai upaya hukum lainnya terus dilakukan.

Diantaranya, penuntutan untuk dilibatkannya lembaga adat kesultanan

Ternate dalam polemik konflik pembangunan tersebut hingga pada persoalan

penyelesaian ganti rugi yang dinilai sarat dengan penyelewenagan dana dan

dugaan manipulasi data hingga dugaan korupsi yang dilakukan oleh

sebagaian tim perwakilan penyelesaian ganti rugi lahan bandara tersebut dan

hingga kini proses legal action tersebut sedang ditangani Polres Kota Ternate

yang dalam perkembangan proses penyidikannya dinilai tidak transparan oleh

masyarakat pelapor (Tim 4) selaku perwakilan masyarakat penyelesian ganti

rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate.

Hal ini terbukti dengan hasil riset kami yang menemukan sejumlah

dokumentasi melalui pemberitaan media lokal yang memperlihatkan

ketidakjelasan penyelesaian proses hukum di Polres Ternate bagi pihak

pelapor yang dalam hal ini masyarakat korban pembangunan dan perluasan

areal lahan bandara tersebut.

Terkait dengan persoalan tersebut, Tim 4 penyelesian ganti rugi lahan bandara

Sultan Babullah Ternate pernah melayangkan sebuah press release tentang dugaan

manipulasi dan penggelapan dana ganti rugi lahan bandara Sultan Babullah Ternate ke

Malut Post sebuah koran lokal terkemuka di Maluku Utara yang kemudian diterbitkan

beritanya pada sehari kemudian edisi Kamis tanggal 21 Januari 2010 bahwa Tim 6

melakukan pembohongan publik dengan mencantumkan nama Sultan Ternate

kedalam komposisi Tim diserta tanda tangan dan cap Kolano (Kesultanan). Hal

ini dilakukan agar pertama: untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka

masih diakui karena Yang Mulia Sultan telah bergabung dalam Tim 6 meskipun

hal ini tidak benar, kedua: untuk meyakinkan kepada pihak bandara unruk

mengurus pencairan dana ganti rugi lahan bandara tahap ketiga.

120

Oleh karenanya, kami Tim 4 selaku Tim yang didukung oleh Sultan

Ternate menghimbau kepada kepala bandara Sultan Babullah Ternate untuk

menghentikan pencairan dana tahap ketiga penyelesaian ganti rugi lahan bandara

Sultan Babullah Ternate sampai proses hukum ini selesai. Sebelumnya, Tim 4

juga pernah menyurat ke Kapolres Ternate perihal pelimpahan laporan tertanggal

11 Januari 2010 sebagai wujud ketidakpuasan mereka terhadap kinerja Polres

Ternate yang dianggap lamban bahkan terkesan “dipolitisir” karena perkara

tersebut melibatkan beberapa elit pejabat eksekutif dan legislatif pusat maupun

daerah sehingga proses penyidikan tersebut sengaja dihambat.

Menanggapi surat tersebut, pihak polres Ternate langsung memanggil

Tim 4 perwakilan masyarakat dalam penyelesaian ganti rugi lahan bandara

Sultan Babullah Ternate untuk membicarakan permohonan pelimpahan

laporan yang mereka ajukan. Dalam pertemuan tersebut, pihak polres Ternate

meminta kepada pelapor untuk menangguhkan niatnya melimpahkan kasus

tersebut ke Polda Maluku Utara. Pihak Polres meminta kepada Tim 4 untuk

membuat laporan dugaan korupsi ke Polda Maluku Utara terkait manipulasi

dan penggelapan dana ganti rugi yang dilakukan oleh Tim 6 pada

pembayaran tahap pertama sebesar 1, 5 milyar rupiah pada tahun 2006 dan

tahap kedua pada tahun 2009 sebesar 5 milyar rupiah.

Banyak penduduk lokal lainnya yang membawa ingatan kebencian dan

ketidakpercayaan terhadap pihak pengelola bandara. Selain itu juga kondisi

ini diperburuk dengan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat lokal

manakala tuntutan mereka agar pihak bandara bersedia untuk mengangkat

status honorer beberapa pegawainya yang berasal dari masyarakat sekitar

lokasi bandara untuk diangkat sebagai pegawai tetap (PNS) yang

diperjuangkan pada tahun-tahun terakhir melalui jalur dialog bahkan hearing

bersama DPRD Kota Ternate dengan pemerintah kota Ternate pada tahun

2003 hingga berlanjut kemudian pada tahun 2004 akan tetapi tidak

membuahkan hasil apapun. Faktor-faktor inilah yang turut memberi warna

dan mempengaruhi proses pembentukan gerakan sosial sebagaimana yang

terjadi pada tahun 2005 sebagai manifestasi ketidakpuasan yang dihadapi

oleh masyarakat petani.

121

Menurut Kepala bandara Sultan Babullah Ternate dalam sebuah

wawancara menyatakan bahwa24:

“......peristiwa awal terjadinya protes ganti rugi lahan bandaraSultan Babullah Ternate adalah ketika dalam sebuah undanganhajatan masyarakat, mantan kepala bandara (sebelumnya)pernah menjajanjikan kepada masyarakat Tafure bahwa beliauakan memperjuangkan putra daerah selitar Bandara yangsedang honor di kantor Bandara untuk segera diangkat menjadiPNS. Namun seiring berjalannya waktu dan setiap momenrekrutmen CPNS, tak seorangpun yang dijanjikan lolos dalampengangkatan CPNS tersebut. Hal ini memicu kemarahanwarga sekitar bandara yang bermula dari Tafure hingga meluaspada beberapa tempat sekitar lainnya seperti Sango, Tarau danTabam.

Dalam konteks inilah perilaku kolektif mulai muncul secara

spontanitas meskipun diakui bersandar pada momentum yakni disaat

rekrutmen CPNS tersebut. Gerakan sosial baik yang bersifat sementara atau

permanen, didahului oleh perilaku kolektif (colektive behavior) sebagai

wujud adanya ketidakpuasan terhadap kondisi sosial. Namun demikian,

orang-orang yang bergabung kedalam tindakan massa tidak selalu

mempunyai tujuan yang sama. Motivasi mereka terjun dalam gerakan sangat

beragam pula, ada yang benar-benar dilandasi idealisme yang yang tinggi

untuk suatu tujuan yang bersifat non materi, ada pula yang mencari

keuntungan materi. Diatas motivasi yang beraneka ragam itu, sumber

persoalan timbulnya gerakan sosial di Ternate adalah kehadiran Bandara.

Jika di masa Orde Baru terjadinya konflik pertanahan umumnya antara

rakyat dengan pemerintah pusat dan pemilik modal nasional/asing, maka kini

telah bergeser menjadi konflik pertanahan antara rakyat dengan pemerintah

daerah dan pemilik modal. Keadaan ini kemungkinan di masa depan ada

kecenderungan pihak pemerintah daerah untuk meniadakan hak ulayat.

Mengapa demikian, pemerintah daerah dipacu untuk mendapatkan sumber

pendapatan sebanyak mungkin, sehingga adanya hak ulayat dan sistem

pemerintahan adat dirasakan sebagai penghalang.

24 Wawancara dengan Bpk. Taslim Badarudin di ruang kerjanya pada tanggal 16 Desember 2010.

122

Apa yang telah dilakukan pemerintah menyangkut kasus-kasus atau

konflik pertanahan antara masyarakat adat dengan pemerintah dan swasta (pemilik

modal), baik kasus konflik pertanahan peninggalan Orde Bam maupun kasus

konflik tanah yang muncul pada era reformasi; belum mendapat penanganan yang

serius. Karenanya kasus-kasus konflik/sengketa/perkara tanah di Indonesia pada

era reformasi masih tetap semarak dan masih tetap mengundang perhatian.

Studi ini juga menemukan data perkara tanah di Pengadilan Negeri

Ternate sejak tahun 1998 sampai dengan bulan Januari 2010 menangani

perkara perdata tanah sebagai berikut: Pada tahun 1998 jumlah perkara

perdata yang masuk 11 kasus tanah; kemudian pada tahun 1999 jumlah

perkara perdata yang masuk 14 kasus tanah; berikutnya tahun 2000 jumlah

perkara perdata yang masuk 8 kasus perkara tanah; Tahun 2001 jumlah

perkara yang masuk 9 kasus tanah; dan pada tahun 2002 jumlah perkara

perdata yang masuk 7 kasus tanah, pada tahun 2003 jumlah perkara perdata

yang masuk 8 kasus tanah, pada tahun 2004 jumlah perkara perdata yang

masuk 2 kasus tanah, pada tahun 2005 jumlah perkara perdata yang masuk 3

kasus tanah, pada tahun 2006 jumlah perkara perdata yang masuk 5 kasus

tanah, pada tahun 2007 jumlah perkara perdata yang masuk 1 kasus tanah

yang sementara diproses di tingkat kasasi. pada tahun 2008 jumlah perkara

perdata yang masuk 10 kasus tanah, dan sementara diproses ditingkat

Banding/kasasi berjumlah 4 perkara. Sedangkan pada tahun 2009-2010

jumlah perkara perdata yang masuk 10 kasus tanah, dan sementara diproses

ditingkat Banding/kasasi berjumlah 1 perkara. Sejumlah sumber perkara

tersebut diatas lebih didominasi oleh persoalan warisan keluarga serta

sertifikat ganda yang menempatkan BPN sebagai tergugat.

6.5. Ikhtisar

Hak penguasaan atau pemilikan atas tanah bagi petani merupakan

insentif bagi masyarakat adat yang diberikan pihak kesultanan Ternate yang

didasarkan pada pertimbangan latar belakang budaya, sejarah, maupun bukti

nyata kinerja yang telah ditunjukkan oleh masyarakat petani setempat

terhadap otoritas tradisional selama ini.

123

Namun demikian, dalam sebarang pola hak penguasaan atau

pemilikan, sumber daya alam termasuk tanah pada kenyataannya juga selalu

melekat hak-hak publik yang tidak dapat ditransfer kepada kelompok

masyarakat tertentu, misalnya tanah untuk pembangunan bandara, sekolah,

RSU, dll. Karena itu, tidak ada satu pihak pun (termasuk negara, swasta, dan

masyarakat adat) yang berhak menampik atau meniadakan hak-hak publik

tersebut. Sehingga perlu dikaji strategi penyelesian konflik secara dini untuk

tidak terulang terjadi dimasa-masa akan datang.

Secara strategis, penyelesaian konflik harus mengacu kepada usaha

untuk memajukan, dan bukan untuk memenangkan satu pihak dan

mengalahkan pihak lain. Dalam konflik pembangunan bandara di Ternate,

dijumpai metode penyelesaian yang mengandung bias kepentingan. Dalam

konteks ini pula maka semestinya, penyelesaian konflik patut menghindarkan

diri dari berbagai bias kepentingan sebagaimana yang terjadi selama ini,

sehingga resolusi merupakan keputusan yang demokratik, adil dan setara. Hal

ini akan terwujud bila dibukanya ruang dialog bagi kedua belah pihak untuk

mencari jalan keluar dari persoalan yang terjadi karena hingga saat ini, proses

penyelesaiannyapun belum terwujud dan yang terjadi hanyalah “masa jedah”.

Kondisi ini dapat dipastikan bahwa pada suatu ketika konflik ini bisa

saja terjadi dengan eskalasi yang lebih tinggi. Konflik yang dimaksud adalah

mengenai tujuan dan / atau ideologis, yaitu terkait dengan tuntutan

masyarakat adat untuk mendapat pengakuan dan perlindungan atas hak-hak

ulayat termasuk juga hak pemilikan dan penguasaan atas tanah adat yang

selama ini dipertahankan. Konflik ideologis seperti ini sulit dicari jalan

keluarnya bahkan tidak akan menemukan resolusinya kecuali oleh

kehancuran ideologi salah satu pihak. Oleh sebab itu, manajemen kolaboratif

merupakan pilihan pola pemgelolaan yang paling dianggap ideal bagi semua

pihak. Dalam manajemen kolaboratif, masyarakat petani bertindak sebagai

pelaku yang mendayagunakan dan sekaligus memelihara sumber daya,

sedangkan pemerintah mestinya memfasilitasinya secara bijaksana.

BAB VII

INVOLUSI GERAKAN AGRARIA

Menurut Geertz konsepsi “Involusi” mengandung arti kiasan sekaligus

perbandingan sebagaimana digambarkan Sayogyo1, involusi terjadi karena adanya

gerak realitas yang mandeg atau macet yang ditunjukkan tidak adanya kemajuan

hakiki. Jika pun ada gerak, misalnya orang berjalan, berlari atau menunjukkan

gerakan lain di dalam lingkungan air, tidak ada gerakan yang menghasilkan

kemajuan. Orang tetap berada di tempat yang sama, misalnya di perairan, berenang

di tempat menjaga diri agar tidak tenggelam tanpa mencapai tujuan lain.

Gerakan-gerakan petani di Ternate sejak zaman pra kemerdekaan, hingga

reformasi saat ini masih terus berada pada kondisi yang involutif. Gerakan-

gerakan petani tersebut terus dilakukan baik ketika menghadapi sistem

kolonilaisme bangsa asing, rezim orde lama, orde baru hingga era reformasi saat

ini yang membuka peluang begitu besar namun hasilnya tetap saja tidak

mengubah nasib petani. Memang disadari bahwa setiap rezim kondisi iklim

politik berbeda antara satu sama lainnya yang dapat meningkatkan atau

menurunkan derajat radikalisme, isu yang diusung, tipe/model gerakan serta

dampak gerakannya. Tetapi perbedaan itu hanyalah sebatas bentuk adaptasi petani

dengan gerakan agrarianya dalam setiap ruang politik dan waktu yang berbeda.

Nasib petani tetap saja menjadi pihak yang dimarginalkan.

7.1 Masa Pra Kemerdekaan

Awal kedatanganya, Portugis dianggap pihak Ternate sebagai sekutu yang

akan membantunya melakukan ekspansi politik ekonomi terhadap daerah

sekitarnya. Pada tahun 1512, Portugis di bawah pimpinan Antonio Abrew dan

Fransisco Serrao, tiba di Banda dan Hitu. Hal ini terdengar oleh Kolano Ternate,

Bayan Sirullah, yang dengan segera mengutus adiknya, Kaicil Darwis, ke Hitu

untuk mengundang orang Portogis ke Ternate. Fransisco Serrao kemudian

1 Clifford Geertz, 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta. BhrataraKrya Aksara., hal. xxiii.

125

menetap di Ternate setelah ia diangkat oleh Kolano Ternate menjadi Kapitan

Jenderal dan penasihat Sultan. 2

Kericuhan mulai terjadi pada waktu Portugis campur tangan urusan

pemerintahan dalam negeri, termasuk dalam hal penataan hubungan produksi,

distribusi atas tanah dan sumber daya agraria lainnya dengan harapan kedudukan

mereka akan lebih teguh dan dapat mendominasi situasi politik-ekonomi terutama

penguasaan atas sumber daya alam di seluruh wilayah kerajaan ini.3

Sultan Khairun (1537-1570), Kolano ke-25 atau Sultan ke-7 Ternate, yang

selama ini sangat toleran dalam beragama dan banyak memberi kemudahan pada

misi Jesuit, dikhianati oleh Portugis, dibunuh secara keji di dalam benteng

Gamlamo. Akibatnya sangat tragis, bukan hanya bagi keberadaan Portugis di

Maluku, tetapi juga pada misi Jesuit. Ketika Sultan Babbullah (1570-1584), anak

Sultan Khairun dilantik menggantikan bapaknya, ia bersumpah menuntut balas

pada Portugis atas kematian bapaknya. Sultan Babullah bertekad akan berjuang

hingga tak seorang Portugis pun ada di Ternate.

Setelah berhasil mengusir orang Portugis pada tanggal 29 Desember 1575,

Sultan Babbulah pindah ke benteng Gam Lamo yang diubahnya menjadi istana

kerajaan. Ia hidup dan memerintah di sana dalam keadaan penuh kecemerlangan.

Dibawah Sultan Babbullah, wilayah Kesultanan Ternate meliputi 92 pulau (belum

lagi terhitung pulau-pulau karang dan pulau lain-lain yang tidak didiami orang)

yang membentang luas, di sebelah utara meliputi pulau Mindanao dan Saranggani;

di sebelah Selatan, sampai dengan pulau Solor; di sebelah Barat meliputi seluruh

pesisir Timur Sulawesi dari bagian Utara hingga Selatan Tenggara; bagian pesisir

Timur berbatasan dengan Irian Barat. Pada waktu itu Sultan Baabullah telah

mempersatukan hampir seluruh Maluku. Kehidupan para petani diwilayah

kekuasaan kesultanan Ternate menjadi lebih baik tanpa ada intervensi dari

Portugis lagi dalam tata kelola sumber daya agraria. Inilah zaman keemasan

Kesultanan Ternate yang dipimpin oleh Sultan Babulah.

2 Willard, Hanna dan Des Alwi. 1996. Ternate dan Tidore: Masa Lalu Penuh Gejolak. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, hal. 12

3 Irza Arnyta Djafaar. 2007. Jejak Portugis di Maluku Utara, Ombak, Yogyakarta, hal. 32

126

Berakhirnya kekuasaan politik kolonial Portugis di Ternate, Spanyol

kemudian meneruskan jejak Portugis untuk melakukan penjajahan kepada

masyarakat Ternate hingga pada tahun 1606 Spanyol menyerang Ternate dari

tempat bercokolnya di Tidore yang menyebabkan Sultan Said Barakati ditangkap

dan diasingkan ke Manila. Untuk menghadapi kekuatan Spanyol maka Sultan

Ternate (Sultan Mudaffar I) mengadakan perjanjian dengan Belanda yang tiba

kemudian pada tanggal 26 Juni 1607. Isi perjanjian tersebut adalah4:

1. Belanda berkewajiban membantu Ternate mengusir Spanyol dan diberi

wewenang penuh untuk mengatur perencanaan dan pelaksanaannya.

Semua biaya perang akan ditentukan besarnya oleh Dewan Hindia dan

akan dibebankan kepada Ternate.

2. Garnisum Belanda yang dibentuk akan ditempatkan dalam daerah

kekuasaan Kesultanan dan akan dibiayai oleh Kesultanan.

3. Belanda berjanji akan melindungi kawula Kesultanan Ternate, baik yang

ada di Ternate maupun di daerah seberang laut yang masuk ke dalam

lingkup kerajaan - seperti Buru, Kambelo, Mau, Sangir Talaut, Moro dan

Mindanao – serta mencegah agar rakyat Ternate tidak memberikan

kepatuhannya kepada Spanyol.

4. Kesultanan Ternate tidak akan menjual rempah-rempahnya kepada bangsa

manapun atau kepada siapapun, kecuali kepada Belanda.

5. Tanpa persetujuan kedua belah pihak, tidak boleh diadakan perdamaian

dengan Spanyol, termasuk Kesultanan Tidore.

6. Belanda diizinkan membangun benteng di dekat perkampungan Melayu;

Untuk memperkuat dan memperbesar kekuatan Belanda maka dalam tahun

1609 diadakan lagi suatu perjanjian guna memerkuat dan memperbaharui

perjanjian tahun 16075. Perjanjian lain juga dilakukan pada 1638, dimana untuk

bisa mengetatkan monopolinya VOC bersedia mengakui kedaulatan Ternate atas

semua daerah Islam di Maluku (Seram, Hitu, dan Ulias) serta menggaji raja

Ternate sebesar 4000 real per tahun, dengan imbalan sebuah persetujuan agar

4 Francois Valentijn dalam M. Adnan Amal, 2007. “Menelusuri Kelahiran Kota Ternate”,Laporan Rumusan Hasil Seminar Sejarah Lahirnya Kota Ternate 2003, Tim Perumus, Ternate8-9 Juli 2003, hlm. 65.

5 Ibid, hal. 44

127

”penyelundupan” cengkih dihentikan, semua saudagar dari Jawa dan Makassar

dilarang beroperasi di wilayahnya, dan VOC diberi kekuasaan de facto atas

Maluku Selatan6. Dalam perundingan tanggal 31 Januari 1652 antara Sultan

Mandar Syah beserta pembesar-pembesar kesultanan dengan VOC dan

pejabatnya tentang penebangan dan pemusnahan pohon-pohon cengkih ditolak

oleh beberapa Sangadji di Halmahera Utara yang masih berada dalam lingkup

wilayah adat kesultanan Ternate, sepanjang yang menyangkut daerah mereka.

Alasan penolakannya sederhana; mereka tidak dilibatkan dalam

perundingan yang menghasilkan persetujuan itu. Mereka menuntut agar suatu

perundingan bilateral yang menyangkut dengan mereka kembali dibuka dan

pesertanya cukup antara para Sangadji itu dengan VOC, tanpa perlu melibatkan

Sultan Ternate. Selain itu, Sultan Mandar Syah7 juga membuat pejanjian dengan

VOC pada tanggal 31 Januari 1653 yang isinya adalah8:

1. Kesultanan Ternate tidak boleh mengangkat Salahakan baru untuk

kawasan Hoamoal, dan sejak perjanjian ini ditandatangani, wilayah

tersebut langsung berada di bawah pemerintahan VOC di Ambon.

2. Sultan Ternate memberi izin kepada VOC untuk menebang semua pohon

cengkih yang terdapat dalam Wilayah Kesultanan Ternate, termasuk di

Hoamoal dan pulau-pulau sekitarnya.

3. VOC kan membayar ganti rugi setiap tahun kepada Sultan dan Pejabat-

pejabat Kesultanan Ternate, dengan rincian sebagai berikut: a). Untuk

Sultan: 2.000 ringgit; b). Kaicil Kalamata 500 ringgit; c). Para pembesar

Kesultanan sebesar 1.500 ringgit (dibagi rata diantara mereka); d). Para

Sangadji Makian sebesar 500 ringgit (dibagi rata diantara mereka).

4. Kompeni akan melakukan pelayanan untuk menebang pohon-pohon

cengkih, dan sebagai ganti rugi Kesultanan Ternate akan memperoleh

12.000 ringgit tiap tahun.

5. Pulau Mayau dan Tifure akan dikembalikan kepada Kesultanan Ternate.

6 Djoko Sunaryo et al, “Bulan Sabit di Bawah Rerimbunan Cengih: Islamisasi Ternate atauTernateisasi Islam? dalam Sukardi Syamsudin dan Basir Awal (Editor), Moejarahloku KieRaha Dalam Perspektif Bufaya dan Sejarah Masuknya Islam. HPMT, 2003, hal. 147.

7 Sultan ini pada tahun 1950 dikudeta sehingga melarikan diri ke benteng VOC dan kemudiandiamankan di Batavia, lihat Djoko Sunaryo et al, Ibid, hal. 170.

8 Francois Valentijn dalam M. Adnan Amal, loc. cit....hal. 65.

128

Pada tanggal 12 Oktober 1676, dibawah pemerintahan Sultan Kaicil Sibori

Amsterdam dilakukan perundingan dengan VOC tentang daerah seberang laut

Ternate di kepulauan Ambon dan Maluku Tengah. Isi perjanjian tersebut adalah:

a). Wilayah seberang laut Kesultanan Ternate di Kepulauan Ambon di gabungkan

kedalam Propinsi; b). Akan diangkat penguasa-penguasa khusus di Pulau Buru,

Ambalau, Buano dan Kelang. Pada masa Sultan Kaicil Sibori Amsterdam,

dilakukan pertempuran melawan Belanda namun berhasil dipadamkan oleh

Belanda. Sebagai akibatnya, Sultan terpaksa menandatangani persetujuan dengan

Belanda yang isinya9: a). Hak Gubernur VOC untuk duduk dalam Dewan

Kerajaan Ternate; b). Semua eksekusi hukuman mati harus dengan persetujuan

VOC; c). Setiap pergantian Sultan harus dengan persetujuan VOC. Sejak

berlakunya perjanjian tersebut, Ternate praktis kehilangan kedudukannya.

Kewenangan dasar kerajaan ini dalam pengangkatan Sultan, penarikan dan

penentuan, telah dikuasai oleh Kompeni. Dengan demikian, status de jure

Kesultanan ini tidak lebih dari sebuah kerajaan vazal Pemerintahan VOC10.

Setelah traktat London 1824 dilakukan reorganisasi pemerintahan oleh

Belanda yang didasarkan pada persetujuan antara Sultan Ternate dan Sultan

Tidore dengan Belanda (G.J. van der Capellen) pada tanggal 3 mei 1817 yang

dilangsungkan di benteng Oranje. Dalam persetujuan ini antara lain dinyatakan

bahwa11: a). Kesultanan Ternate dan Tidore mengakui kekuasaan tertinggi dan

kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda yang berlaku atas kedua Kesultanan

Tersebut; b). Kedua Kesultanan itu menyatakan seluruh wilayah Kesultanannya

menjadi wilayah Pemerintah Hindia Belanda, dan berjanji membantu Gubernemen bila

terjadi perang dengan menyediakan sarana dan personil secara bersama; c). Kedua

Kesultanan berjanji tidak akan membuat perjanjian atau perikatan apapun tanpa

izin Gubernemen dan keduanya tidak akan membuat peraturan-peraturan

perdagangan dalam negeri; d). Kedua Kesultanan itu mengakui hak-hak

Gubernemen atas pegawai-pegawai pribumi yang berada dibawah kewenangan

Sultan. Dalam keadaan darurat. Sultan harus membantu Gubernemen dengan

tenaga dan sarana yang diperlukan.

9 Ibid....hal. 85.10 Ibid....hal. 85.11 Ibid....hal. 93.

129

Dengan penandatanganan perjanjian tersebut, Ternate – demikian pula

Tidore – resmi menjadi Kesultanan dalam lingkungan kekuasaan pemerintah

kolonial hindia Belanda, dan kemerdekaan serta kedaulatan keduanyapun

berakhir12. Meskipun demikian, dalam urusan penerapan hukum adat yang terkait

dengan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah masih terus berlangsung

digunakannya instrumen hukum adat setempat. Sebelum tahun 1912 terdapat hak

atas tanah yang disebut dengan eto. Eto berarti bagian. Eto adalah tanah yang

diberikan oleh Sultan kepada Pejabat Kesultanan seperti Sangadji, Kimalaha, dan

Fanyira dalam kedudukan mereka selaku pembantu Sultan. Oleh para pejabat

tersebut tanah itu dibagikan kepada rakyat yang dianggap berjasa. Hak eto ini

tidak berlaku turun-temurun karena sewaktu-waktu dapat dicabut kembali

apabila13: a). Pemegang eto terbukti menanam tanaman umur panjang; b).

Pemegang eto terbukti membuat kesalahan, malas atau berkhianat; c). Eto tersebut

hendak dimanfaatkan/digarap oleh para pejabat pembantu Sultan

Pada tahun 1912 diadakan rapat para Sultan dari keempat Kesultanan yang

ada (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo). Hasil keputusan dari rapat tersebut

adalah bahwa tanah-tanah eto yang masih kosong dan tidak digarap dinyatakan

hapus. Tanah tersebut diserahan kepada pemerintah Desa untuk kepentingan desa,

yaitu dijadikan kebun-kebun desa bersangkutan. Tanah-tanah yang ditanami

dengan umur panjang maka oleh pemerintah diberikan kepada rakyat penggarap

dengan semacam hak pakai14. Selain itu, diwilayah Swapraja terdapat tanah-tanah

bekas hier contract (HC) yaitu tanah yang disewakan kepada orang-orang Cina

dan Arab. Tanah-tanah yang disewakan tersebut berada di wilayah Swapraja

Ternate tetapi oleh yang menguasainya minta didaftarkan kepada pemerintah

Belanda sebagai HC dengan masa sewa selama 10 tahun. Masa sewa HC ini

umumnya berakhir pada tahun 1930 dan 195715.

12 Ibid....hal. 94.13 Masyhud Ashari, 2008. Laporan Hasil Penelitian: Status Tanah-tanah Kesultanan Ternate di

Provinsi Mluku Utara, “Tinjauan Juridis Hukum Tanah Nasional”. DPPM-UII, Yogyakarta,hal. 54-55.

14 Ibid......hal. 55.15 Ibid......hal. 56.

130

7.2. Masa Kemerdekaan

Pada masa awal Orde Lama situasinya telah berubah dari situasi

sebelumnya yang berada di masa penjajahan bangsa asing. Pada masa awal

kemerdekaan secara nasional terjadi proses nasionalisasi perkebunan kolonial.

Tetapi secara substantif terpinggirkannya akses petani miskin di pedesaan dalam

penguasaan sumber-sumber agraria tetap tidak jauh berbeda dengan suasana

dizaman kolonialisme. Persoalan agraria di awal kemerdekaan merupakan periode

transisi dari kolonialisme ke developmentalisme.

Masa transisi ini bersamaan dengan periode revolusi Indonesia dengan

kebijakan agraria yang masih didominasi oleh kepentingan elit politik

(pertarungan partai politik) dan elit ekonomi. Konflik kepentingan antar para elit

menyebabkan munculnya konflik agraria vertikal dan kemudian bergeser menjadi

konflik horizontal antar petani miskin dan tuan tanah. Proses perebutan tanah

pertanian pada masa ini merupakan bentuk dari Vandreform spontan' yang

dilakukan oleh petani yang dahulunya tergusur16.

Kemudian berhasil disahkan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang oleh

banyak pihak berbasis pada semangat land reform yang populis. Tetapi, dalam

praktek masih dianggap gagal karena masih banyak tanah pertanian yang belum

didistribusikan dan masih banyak rakyat petani miskin yang tidak memiliki tanah.

Program land reform nampaknya merupakan bagian dari permainan panggung

sandiwara dari skenario pihak luar yang dimainkan oleh para elit politik yang

berwujud perang tanding saling berebut kekuasaan dengan basis ideologi yang

berbeda secara diametral antara sosialisme dan kapitalisme.

Pada masa Orde Lama, dengan disahkannya UUPA Nomor 5 Tahun 1960

merupakan upaya memodernisir kebijakan agraria nasional dengan tidak

mengabaikan keberadaan kepemilikan tanah ulayat masyarakat adat. Skenario

struktur legitimasi hukum ini lebih dekat dengan sosialisme, dan karena itu

mendapat dukungan dari PKI. Sebaliknya, justru skenario tersebut merupakan

penghalang bagi jalannya kapitalisme.

16 Mansour Fakih. 1995. Tanah, Rakyat dan Demokrasi, Yogyakarta: Forum LSM, hat. 5.

131

Setelah keluarnya UUPA, meskipun dinyatakan bahwa tanah-tanah

Swapraja atau bekas Swapraja dinyatakan sebagai tanah negara, namun dalam

praktek penggunaan tanah oleh pemerintah kota Ternate dilakukan dengan

meminta Izin kepada Sultan. Beberapa contoh dapat dikemukakan seperti

pembangunan tempat pembuangan akhir (TPA). Selain itu pembangunan beberapa

fasilitas umum seperti Universitas Khairun dan beberapa Mesjid serta Gereja di

Ternate juga dilakukan dengan meminta izin kepada Sultan. Atas pembangunan

tersebut Sultan meminta agar diberikan ganti rugi tanaman kepada masyarakat

yang telah melakukan penggarapan diatas tanah tersebut17.

Selain itu, kewenangan Sultan atas tanah-tanah Swapraja tersebut masih

terlihat dalam hal pemberian tanah kepada pihak tertentu. Contohnya adalah

pemberian tanah oleh Sultan kepada adik kandungnya seluas lebih kurang 11 ha.

Tanah diberikan melalui Cocatu lisan pada tahun 2005 terletak di Salero (Jere

Madehe) Kecamatan Ternate Utara. Penyelesaian tanah-tanah bekas Swapraja

Ternate sebagaimana diatur dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 tidak dilaksanakan

sebagaimana mestinya. Di dalam PP tersebut diatur bahwa tanah-tanah bekas

Swapraja peruntukannya dibagi 318:

a. Sebagian untuk kepentingan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah;

b. Sebagian untuk penguasa atau ahli waris penguasa dari Swapraja atau

bekas Swapraja tersebut; dan

c. Sebagian diberikan kepada rakyat yang membutuhkan melalui program

redistribusi tanah.

Dalam kenyataannya tanah-tanah bekas Swapraja tersebut tidak ada yang

diberikan kepada ahli waris penguasa dari Swapraja. Sebagian dari tanah tersebut

ada yang diretribusikan kepada masyarakat setempat, yaitu retribusi tahun 1984 di

desa Hate Bicara Halmahera Barat; tahun 1992 di desa Susupu Tacim. Balisoang

Jailolo Halmahera Barat; tahun 1993 di Mandowong di Bacan Halmahera Selatan

dan tahun 1994 di Falabisahaya di Kabupaten Kepualauan Sula.

17 Masyhud Ashari, 2008. Laporan Hasil Penelitian: Status Tanah-tanah Kesultanan Ternate diProvinsi Mluku Utara, “Tinjauan Juridis Hukum Tanah Nasional”. DPPM-UII, Yogyakarta,hal. 58.

18 Ibid....hal. 58-59

132

Setelah berlakunya UUPA maka tanah-tanah yang terdapat Cocatu (surat

pemberian hak oleh Sultan) dikonversi menjadi hak milik. Pelaksanaan konversi

tersebut tidak terdapat di pulau Ternate dan hanya ditemukan di pulau Tidore.

Keterangan lain mengatakan bahwa di Halmahera Barat, pendaftaran hak atas

tanah yang memiliki Cocatu- yang dikeluarkan sebelum tahun 1960 diproses

melalui penegasan hak, sementara itu Cocatu yang dikeluarkan setelah tahun 1960

diproses melalui pemberian hak.

Pemberian hak atas tanah di wilayah Kesultanan Ternate dilakukan dengan

mengkategorikan tanah-tanah Kesultanan Ternate sebagai tanah negara – sebagian

ditempuh melalui Konversi atau kegiatan proyek yaitu PRONA pada tahun 1982

di desa Moya Ternate dan di desa Tafure sebagai tempat dilakukannya penelitian

ini pada tahun 1984. Kedua kegiatan tersebut yaitu Redistribusi dan PRONA

meskipun dilakukan pada tanah-tanah kesultanan Ternate namun tidak meminta

izin kepada Sultan Ternate.

Sultan dalam Sistem hukum tanah Ternate merupakan kepala

pemerintahan yang memiliki kewenangan publik sehingga proses penyelesaian

tanah-tanah yang berada dalam kewenangannya tunduk pada Diktum keempat

UUPA jo PP Nomor 224 tahun 1961. Mengingat ketentuan PP Nomor 224 tahun

1961 yang menegaskan bahwa tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang dengan

ketentuan Diktum IV huruf A UUPA beralih kepada negara diberi peruntukkan

sebagian untuk kepentingan pemerintah, sebagian untuk mereka yang langsung

dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas tanah itu dan sebagian itu

dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan, menururt ketentuan dalam peraturan

ini; maka perlu dilakukan kompensasi dimaksud kepada pihak kedaton Ternate19.

Soa sebagai persekutuan adat memberikan kewenangan publik kepada Soa

untuk melakukan pengaturan penguasaan dan pemanfaatan atas tanah di masing-

masing Soa. Oleh karena itu Aha Soa merupakan tanah ulayat bagi masing-masing

Soa dan pengaturannya tunduk pada hukum tanah adat setempat. Dalam sistem

hukum tanah nasional, Soa dumungkinkan sebagai subjek hak atas tanah,

meskipun untuk itu perlu dilakukan pengaturan tentang keberaan Soa sebagai

subjek hak atas tanah.

19 Ibid....hal. 63-64

133

Tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan memberikan kewenangan

perdata kepada yang menguasainya. Oleh karena itu proses pendaftaran hak-hak

atas tanah tersebut ditempuh melalui konversi hak (penegasan hak) jika memiliki

Cocatu, dan tanah-tanah yang dikuasai tanpa memiliki Cocatu diproses melalui

pengakuan hak, perorangan maupun kelompok yang memungkinkan sebagai

subjek hak atas tanah sehingga tidak menimbulkan persoalan dalam pengaturan

penguasaan hak atas tanah oleh perorangan. Pada kenyataannya telah banyak

tanah-tanah kesultanan Ternate yang diberikan kepada pemerintah daerah Maluku

Utara dan pemerintah Kota Ternate, oleh karena itu penyelesaian hak atas tanah

tersebut perlu dilakukan sesuai ketentuan hukum tanah nasional yang berlaku.

Demikian pula atas perorangan yang diberikan oleh kedatonTernate.

Praktek kapitalisme yang ditandai dengan developmentalisme di Ternate

lebih terlihat mulai tahun 1970-an yaitu ketika dilaksanakannya pembangunan

lahan bandara Sultan Babullah Ternate yang telah berakibat pada hilangnya hak

atas tanah yang dikuasai dan dikelola masyarakat lokal secara turun temurun

kemudian diambil alih oleh para penguasa negara hingga akhirnya mulai lahirlah

protes dan perlawanan yang berlangsung sejak tahun 1970-an hingga saat ini.

Perlawanan rakyat terjadi secara akumulatif dan menyebar di beberapa wilayah

areal bandara tersebut. Selama masa Orde Baru, perlawanan rakyat petani selalu

menimbulkan ketakutan dan dampak yang sangat merugikan bagi rakyat bahkan

nyawa bisa menjadi taruhan sehingga kondisi rakyat petani benar-benar tertekan.

Sementara itu, upaya untuk menyelesaikan persoalan tanah pertanian yang

memperhatikan kepentingan kehidupan rakyat petani semakin diabaikan dan tidak

diselesaikan secara tuntas. Gerakan rakyat petani pada masa ini hanya sebatas

gelombang-gelombang kecil yang tclah mampu menyentuh pusat kekuasaan

sehingga tidak mampu merubah struktur dominasi negara yang hegemonik

Dampak negatif pelaksanaan pembangunan yang dirasakan pada era reformasi

adalah terjadinya konflik agraria dibeberapa daerah serta menguatnya gejala

konflik baru, baik yang bersifat sosial-horisontal maupun yang bersifat politik-

vertikal, termasuk yang terjadi di Ternate Maluku Utara.

134

Menguatnya gejala konflik ini harus dipandang sebagai salah satu

implikasi negatif dari kebijakan pembangunan dan hubungan pusat-daerah yang

tersentralisasi pada era orde baru, serta melemahnya hubungan sosial masyarakat.

Salah satu konflik agraria yang menguat di Indonesia pada pasca runtuhya

pemerintahan orde baru adalah yang terjadi pada masyarakat tani Tafure.

Akibat dari konflik tersebut adalah masyarakat menjadi kehilangan lahan

dan kehilangan sumber mata pencaharian serta hilangnya hak ulayat masyarakat

adat, maupun trauma psikologis yang diakibatkan. Selain itu juga telah terganggu

sistem pendidikan, mandeknya aktivitas ekonomi masyarakat, rusaknya

hubungan-hubungan sosial, kekerabatan dan kemanusiaan yang selama ini

menjadi referensi bersama dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di Tafure dan

sekitarnya akibat segregasi wilayah pemukiman yang dibatasi oleh talud bandara.

Konflik agraria (tanah) yang terjadi di Maluku Utara secara umum dan

terjadi besar-besaran yang berdampak luas bagi masyarakat Maluku Utara

umumnya dan Kota Ternate di era reformasi adalah konflik perebutan lahan

pertambangan pada tahun 1999 antara Suku Kao dan Malifut (Makian) di daerah

beroperasinya perusahaan pertambangan Nusa Halmahera Mineral (NHM).

Konflik ini awalnya terjadi di teluk Kao, Halmahera Utara pada tahun 1999,

dengan puncaknya ketika pada tanggal 26 Mei tahun 1999 pemerintah pusat

mengeluarkan PP 42 tahun 1999 tentang Pembentukan Kecamatan

Makian/Malifut dimana dalam PP tersebut menggabungkan 16 Desa pendatang

dari suku Makian digabungkan dengan 5 Desa asli suku Kao dan Jailolo.

Permasalahan yang muncul dengan pemberlakukan PP 42, warga Kao

merasa sebagai bentuk pencaplokan wilayah/tanah adat mereka, karena wilayah

Malifut merupakan bagian dari wilayah adat yang dipinjamkan sementara kepada

warga Malifut akibat meletusnya Gunung Kie Besi di Pulau Makian yang

kemudian pada tahun 1975 Pemerintah Tk II Maluku Utara dengan persetujuan

DPRD memindahkan warga Makian Pulau dengan cara bedol pulau ke Daerah

Malifut. Sedangakan warga Malifut menganggap bahwa tanah yang mereka

duduki selama mengungsi merupakan hak miliknya, karena diberikan oleh

pemerintah pada saat ancaman meletus Gunung Berapi Kie Besi yang berada di

pulau Makian tersebut.

135

Respon warga Kao dan Malifut terhadap PP 42 sangat beragam,

masyarakat Kao mendesak pencabutan terhadap PP 42 karena dianggap seabagai

suatu bentuk pencaplokan hak atas tanah adat, sedangkan warga Malifut

memaksakan untuk diberlakukan peraturan tersebut sebagai salah satu bentuk

kepastian hak atas tanah dan sumberdaya alam. Realitas ini menunjukan bahwa

pemerintah dalam menetapkan suatu kebijakan kurang memperhatikan masyarakat

kecil yang hidup disekitar wilayah pembangunan tersebut. Realitas ini sama

halnya dengan yang dialami oleh masyarakat tani Tafure Ternate yang hingga kini

berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan.

Konflik agrarian yang terkait dengan pembangunan bandara di Ternate

sedang berlangsung hingga saat ini dan konflik ini telah menoreh berbagi luka dan

kesedihan. Masyarakat berharap ke depan yang situasi harus lebih lebih baik dan

menjadi kesadaran bersama untuk berdamai serta menghargai nilai-nilai tradisi

lokal termasuk hak ulayat mereka. Namun harapan masyarakat, tidak semudah

membalik telapak tangan, tantangan selalu dihadapi dengan terjadinya perubahan

konstalasi hubungan sosial dan politik didaerah yang pada akhirnya akan selalu

menghantui masyarakat.

Konflik sumberdaya agraria ini akan terus berlangsung seiring dengan

banyaknya kuasa aktivitas pembangunan yang berlangsung di Maluku Utara tidak

terkecuali di daerah penelitian ini sehingga perubahan tersebut telah menghilangkan

hak-hak masyarakat disekitarnya dengan pemberian ganti rugi yang tidak

manusiawi. Penciptaan situasi yang kondusif pasca konflik tidak terlepas dari

bantuan berbagai lembaga nasional mapun internasional di Maluku Utara. UNDP

sebagai salah satu lembaga donor internasional selama ini sangat konsen dan

berperan untuk mengupayakan pemulihan dan pencegahan konflik di Maluku Utara

dengan berbagai program yang dilaksanakan, salah satunya melalui program Peace

Trough Development (perdamaian melalui pembanguan).

Sebagai fasilitator, PTD dilaksanakan dengan tujuan pengembangan

kapasitas pemerintah dan masyarakat madani dalam merumuskan dan

melaksanakan kebijakan dan program dibidang pembangunan yang tanggap krisis.

Tindaklanjut dari tujuan tersebut maka PTD berupaya untuk memberikan penguatan

kepada pemerintah dalam perencanaan yang sensitif konflik guna menuju pada tata

136

pemerintahan yang lebih baik. Tentunya apa yang telah dilakukan sangat besar

manfaatnya dan menyentuh langsung akar permasalahan dalam kehidupan

masyarakat, termasuk pada masyarakat petani di Tafure Ternate yang pernah

diberikan pelatihan dan pendampingan hukum terkait dengan konflik bandara yang

hingga kini belum selesai.

Sebagaimana diketahui bahwa persoalan tanah pertanian yang

disengketakan oleh masyarakat Tafure terjadi secara akumulatif, massive dan

menyebar di seluruh wilayah sekitar bandara tersebut. Bahkan terjadi gerakan

sosio-politik petani yang dilakukan secara terorganisir dengan baik yang berbeda

dengan gerakan petani sebelumnya dan terjadi peningkatan kualitatif gerakan. Ini

berarti bahwa pintu jalan masuk landreform atas inisiatif rakyat sudah mulai

terbuka.

Akan tetapi sangat disayangkan bahwa kekuatan kapasitas gerakan

tersebut tidak berlangsung lama. Pasca upaya ganti rugi yang dilakukan oleh

pemerintah daerah, kapasitas gerakan dan organisasi gerakan petani menjadi

melemah dan para pelaku strategis gerakan mulai menurun derajat

radikalismenya. Tujuan ideologis gerakan yang sangat berpihak pada perbaikan

nasib petani semakin dibuat berjarak dengan tujuan politik dan ekonomi yang

menjadi kepentingan sesaat para pelaku strategis gerakan. Tujuan pragmatis

sebagian petani dalam memperoleh biaya ganti rugi menimbulkan perpecahan

dikalangan anggota gerakan. Akibatnya, dimana-mana terjadi pembagian ganti

rugi lahan yang kacau, muncul para “raja” kecil, dll. Semua itu membawa suatu

kondisi bahwa konflik agraria masih rentan terjadi.

Suatu fenomena yang masih kuat muncul di permukaan adalah selain

belum nampak adanya tanda-tanda upaya penyatuan persepsi antar pelaku

strategis petani dan pemerintah daerah, juga belum nampak adanya upaya

menyatukan gerak langkah antar pelaku strategis organisasi gerakan petani itu

sendiri. Semakin menurunnya kapasitas organisasi gerakan petani bukan hanya

berdampak pada kacaunya pembagian ganti rugi lahan, tetapi juga berdampak

pada semakin menurunnya ikatan solidaritas, komitmen moral dan jaringan

(networks) gerakan antara para pelaku strategis petani dan non petani.

137

7.3. Involusi Gerakan Agraria

Secara lebih jelas kapasitas gerakan agraria di Ternate dari setiap episode

kekuasaan rezim yang satu ke episode kekuasaan rezim berikutnya sebagaimana

tampak pada Tabel 7.1. Fenomena yang terjadi di Ternate tidak meskipun

memiliki karakteristik khusus tetap tidak terlepas dari fenomena sirkuit kekuasaan

agraria secara nasional, karena terdapat keterkaitan antara fenomena makro

nasional dan mikro daerah. Fenomena feodalisme masa kejayaan kesultanan

Ternate tempo dulu kondisinya justru lebih baik dengan otoritas tradisionalnya

dan hasil pertanian ekspor (cengkih dan pala) dibanding yang terjadi di Jawa

dengan sistem pertanian sawah dan hasil pertanian tanaman pangan.

Meskipun di Ternate terjadi dua lapis struktur kekuasaan (kesultanan dan

adat) tetapi daya tekannya secara ekonomi terhadap rakyat tidak sampai

menyentuh pada ranah kebutuhan ontologis petani. Perlawanan petani Ternate

pada masa kekuasaan kesultanan Ternate tempo dulu nyaris tidak terjadi sama

sekali hingga masa kolonialisme Portugis, Belanda dan Jepang justeru yang

terjadi adalah lebih tampak pada perlawanan untuk mengembalikan posisi otoritas

tradisional (adat) Kesultanan yang diintervensi oleh pihak kolonial itu sendiri.

Perlawanan Sultan Babullah adalah jawaban atas hal ini sebagaimana dijelaskan

pada bagian sebelumnya.

Fenomena gerakan rakyat menjalang berakhirnya kekuasaan kolonial

Belanda sudah mengarah pada fenomena yang lebih umum dialami oleh

masyarakat tingkat nasional, seperti menentang kolonialisme, feodalisme (sistem

marga stelsel) dan kapitalisme (perusahaan perkebunan modal asing).

Menyimak fenomena gerakan rakyat petani dalam memperoleh kesetaraan

dan keadilan agraria yang terjadi dalam Setiap episode kekuasaan rezim

sebagaimana tampak pada Tebel 7.1 di bawah ini seolah menunjukkan bahwa

penyelesaian persoalan agraria (tanah) bagi rakyat petani tidak cukup hanya

diatasi dengan gerakan-gerakan rakyat bawah yang berjalin secara sinergis antara

petani dan non petani. Peran lembaga negara dalam hal ini sangat menentukan

karena otoritas dalam struktur dominasi agraria adalah berada padanya.

138

Tabel 3. Matriks Kapasitas Gerakan Agraria Dalam Setiap Episode KekuasaanRezim.

Periode

Waktu

Status Tanah Kebijakan

Agraria

Krisis

AgrariaIsu Utama Gerakan

Petani

NasibRakyatPetani

Feodalisme Tanah dikua- Upeti (pajak Rakyat tidak Eksploitasi Kolektif tradi- Tidak adasai Sultan dan tanah dan memiliki kon- petani dan sional, radikal berubahanotoritas hasil bumf) trol atas tanah; kooptasi dan lokal. yang berartimasyarakat kemiskinan; otoritas terhadapadat konflik

horizontal danvertikal

tradisional kesejahteraan petani

Kolonialism Tanah milik Tanam pak- Rakyat tidak Eksploitasi Kolektif Tidak adanegara danatau dikuasai

sa; pajaktanah Per-

memiliki kon-trol atas tanah;

petani dankooptasi

tradisional,radikal dan

perubahanyang berarti

perusahaan kebunan kemiskinan: otoritas lokal. terhadapswasta konflik

horizontal (adudomba) danvertikal

tradisional Kesejahteraan petani

Orde Tanah dikua- Nasionalisa Rakyat tidak Anti koloni- Organisasi for- Tidak adaLama sai secara si perusa- memiliki alisme; Land mal bentukan perubahan

individual haan asing: kontrol atas reform Partai Politik yang berartiLand reform tanah; kemiskinan; (nasional); terhadap

Konflik horizontal Kolektiftradisional danlokal.

kesejahteraanpetani

Orde Tanah dikua- HPH, Rakyat tidak Kemiskinan Kolektif Tidak adaBaru sai oleh nega-

ra dan atauperusahaan

PMA,FMDN, memiliki struktural;PIR, HTI, dll. kontrol atas tanah; Pengakuan

Kemiskinan; hak atas tanah

tradisional danlokal.

perubahanyang berartiterhadap

swasta Konflik vertikal kesejahteraanpetani

Reformasi/ Tanah dikuasai HPH, Rakyat tidak Kemiskinan Kolektif Tidak adaTransisidemokrasi

oleh negaradan atau

PMA/PMDN,PIR, HTI, dll.

Memiliki kontrol

atas tanah;Struktural;Pengakuan

tradisionaldan lokal;

perubahanyang berarti

perusahaan Kemiskinan hak atas Organisasi terhadapswasta Structural; tanah; Mar- gerakan Kesejahteraan

Konflik vertikal ginalisasi; moderen petaniDiskriminasi (nasional)

Peran lembaga negara dalam posisinya secara politik harus konsisten

dengan terbukanya peluang-peluang politik bagi partisipasi para pelaku strategis

elemen subyek agraria baik dari masyarakat petani maupun dari perusahaan.

Partisipasi politik para pelaku strategis dalam ranah institusi negara harus bisa

berjalan mengarah pada hubungan simbiosis dalam merekonstruksi sifat-sifat

struktur signifikasi, struktur dominasi dan struktur legitimasi. Struktur signifikasi

agraria diwujudkan melalui praktek komunikasi dialogis, struktur dominasi

sumberdaya otoritatif (politik) dan alokatif (ekonomi) agraria diwujudkan melalui

praktek kekuasaan, dan struktur legitimasi agraria diwujudkan melalui kebijakan

agraria.

139

Semua gerakan agraria yang terjadi di Ternate dalam setiap episode

kekuasaan rezim dengan jelas tidak menunjukkan kapasitasnya dalam merubah

sifat-sifat struktural SSA sesuai persyaratan di atas. Persoalan pertanahan dan

gerakan-gerakan agraria nampaknya bukan hanya menyangkut persoalan lokal

melainkan merupakan persoalan nasional bahkan global. Oleh karena itu,

persoalan petani dan gerakan agraria di Ternate paling tidak secara historis dalam

bebeberapa hal dapat ditarik dalam skala persoalan dan dalam ruang yang lebih

luas, yakni pada gerakan agraria tingkat nasional.

SSA pada masa feodalisme dalam potret historis di Ternate tidak

mencengkeram kehidupan petani sebagaimana daerah kesultanan lainnya di

Indonesia dimana tanah pertanian dIkuasai oleh Sultan, para bangsawan dan para

pemuka adat. Bahkan rakyat sewaktu-waktu dapat dimobilisir harta kekayaan dan

tenaganya untuk kepentingan para penguasa. Semakin banyak lapisan kekuasaan

supra lokal maka semakin besar (berlipat) pula beban rakyat yang harus

ditanggung untuk memenuhi kepentingan penguasa. Semakin kuatnya hubungan

antara otoritas tradisional lokal dengan otoritas supra lokal, maka semakin lebar

pula ruang pemisah SSA dan gerakan petani semakin sulit untuk merubahnya.

Kondisi di Ternate menunjukkan sebaliknya, Sultan, para bangsawan dan

para pemuka adat mengatur dan mendistribusikan hak penguasaan dan pemilikan

atas tanah berdasarkan hokum adat setempat kepada seluruh masyarakat petani di

setiap kampong (Soa) sehingga pemanfaatan atas sumber-sumber agrarian (tanah)

menjadi terbagi habis secara merata pada seluruh lapisan masyarakat petani dalam

masing-masing wilayah adatnya (Soa).

Meskipun demikian, menghadapi politik dan hukum agraria yang begitu

hebat pada masa kolonial, masyarakat tidak selalu bersikap adaptif terhadap

keberlakuan SSA dominan dan bahkan bersikap reaktif melawan. Mereka secara

terns menerus melakukan perlawanan melalui ideologi tandingan melawan

dominasi kolonialisme dan kapitalisme di pedesaan. Menurut Sartono (1984)

terdapat empat unsur ideologis dalam setiap pemberontakan kaum petani, yaitu

millerianisme (ajaran akan datangnya jaman keemasan), mesianisme (kepercayaan

kepada ratu adil), nativisme (gerakan kembali ke abad kuno) dan perang suci

(ajaran untuk berjihad).

140

Pemberontakan petani atas dasar perang suci tidak saja terjadi di Jawa,

terkait dengan jumlah penduduk yang memeluk agama Islam dan banyaknya

penjajah yang beragama lain. Peristiwa perlawanan masyarakat Ternate mengusir

Portugis dan Belanda misalnya merupakan salah satu contoh perlawanan

masyarakat atas dasar ideologi agama yang didengungkan sebagai perang

melawan kaum kafir. Di Ternate nampaknya perlawanan terhadap kolonial lebih

karena dorongan ideologi nativisme, yakni kembalinya tata kehidupan masyarakat

berdasarkan sistem adat yang telah lama dikoyak-koyak oleh spirit dan praktek

kolonialisme dan kapitalisme agraria.

Setelah kemerdekaan, eksistensi petani menjadi sangat penting artinya bagi

keberlangsungan hidup masyarakat karena peranannya sebagai penyokong

ekonomi dan kemandirian bangsa di bidang pangan maupun sebagai lumbung

suara dalam setiap momen pesta demokrasi (pemilu). Meskipun demikian, di era

Orde Lama, para petani masih tetap tidak memiliki akses dan kontrol yang berarti

terhadap penguasaan dan pemilikan atas tanah. Gerakan petani berhasil

dilumpuhkan, karena terjebak pada ideologi kelas yang dikembangkan oleh partai

politik dan petani berhasil menjadi instrumen mobilisasi untuk kepentingan partai.

Kondisi tersebut terus terjadi hingga pada masa Orde Baru kondisi petani

semakin tertekan, sumber daya tanah sebagai tumpuan kehidupan utama

masyarakat petani banyak yang diambilalih/ dibebaskan oleh para penguasa

negara dengan dalih untuk kepentingan "pembangunan" sebagaimana yang

dialami oleh masyarakat Tafure Ternate saat ini. Proses pengambil-alihan tanah

masyarakat (adat) untuk kepentingan usaha perkebunan para pemodal asing sudah

terjadi pada kolonial Portugis, Belanda hingga Jepang. Pemindahan penguasaan

atas tanah menjadi lebih hebat pada era “developmentalisme” dibawah rezim

Orde Baru hingga era reformasi saat ini.

PENUTUP

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Gerakan petani Tafure Ternate yang tergabung dalam AMPKB (Aliansi

Masyarakat Peduli Korban Bandara) lahir pasca runtuhnya Orde Baru. Terbukanya

katup demokrasi dan kebebasan menyuarakan berbagai tuntutan kepentingan

merupakan kondisi yang mendukung bagi bangkitnya masyarakat petani untuk

mengorganisir diri mlakukan gerakan sosial politik. Faktor penyebab munculnya

gerakan sosial masyarakat petani Tafure adalah karena berbagai potensi kerugian

yang dialami masyarakat sehingga melahirkan gerakan sosial yaitu hilangnya

tanah pertanian, hilangnya kapling rumah, hilangnya akses ke tanah hutan,

hilangnya hak atas tanah adat, hilangnya rumah atau tempat tinggal,

hilangnya sumber mata pencaharian/pendapatan, hilangnya lahan

perkebunan, pemakaman, dampak kebisingan, polusi udara, dll.

Fenomena gerakan petani Tafure Ternate disebabkan oleh: Pertama, kondisi

sosial ekonomi masyarakat. Kondisi ekonomi yang terbatas disebabkan hilangnya

penghasilan dan mata pencaharian mereka yang mayoritas sebagai petani.

Ketidakmampuan itu menyebabkan masyarakat tidak dapat mengakses pendidikan

yang lebih tinggi, kesehatan, pemukiman yang layak, dan untuk mempunyai alternatif

usaha lain selain bekerja sebagai buruh bangunan, supir angkutan, PKL, dll. Keadaan

ekonomi yang kurang menimbulkan pola sosial di masyarakat khususnya kaum

perempuan menjadi “berhutang”, adanya pola tersebut menunjukkan masyarakat

memang sangat tergantung aktivitas pertanian yang selama ini menyokong kehidupan

mereka, namun kini mereka kehilangan semua itu.

Kedua, ketika krisis melanda Indonesia, kebutuhan petani Tafure akan tanah

pertanian semakin tinggi akibat hilang atau menyempitnya kesempatan-kesempatan

kerja lain di perkotaan. Sebelum krisis, kadang-kadang persoalan kebutuhan akan

tanah ini sedikit teredam, karena kesempatan kerja dan peluang berusaha di kota

sebagai pekerjaan sampingan selain bertani dapat dijadikan pengganti atas kehilangan

atau makin kecilnya kesempatan kerja di desa mereka.

142

Proses terbentuknya gerakan sosial petani di Tafure didasarkan pada persamaan

nasib dan keinginan untuk melakukan perubahan. Dalam ranah ini manajemen

organisasi belum sepenuhnya berjalan dengan baik seperti pengarsipan, keuangan,

dan pembagian tugas. Keberadaan organisasi gerakan ini dari terbentuknya sampai

perkembangan selanjutnya tidak lepas dari keterlibatan kelompok pendamping non

petani, diantaranya dari masyarakat adat Kesultanan Ternate umunya, LKBH UMMU

dan kelompok mahasiswa (SAMURAI dan HMI). Kelebihan kedua kelompok yang

disebutkan terakhir adalah mempunyai jaringan yang kuat sehingga mempermudah

mereka dalam menjalankan gerakan protes (ke pihak-pihak terkait) dan penyelesaian

kasus, selain itu mereka mempunyai militansi perjuangan yang diperlukan.

Model atau tipe gerakan sosial yang dilakukan masyarakat petani Tafure dapat

dikategorikan ke dalam tipe antara neo-klasik menuju gerakan sosial baru.

Selanjutnya dari sisi efektifitas, dalam jangka pendek organisasi gerakan petani

belum mendapat hasil yang maksimal. Tuntutannya atas pengembalian hak tanah adat

menemui kendala yaitu lemahnya posisi petani dalam segi bukti hak kepemilikan

tanah, maupun perpecahan dalam struktur internal gerakan itu sendiri. Meskipun

demikian derajat radikalisme gerakan semakin mengalami peningkatan ketika

persoalan sengketa lahan tersebut digiring ke isyu-isyu tuntutan pengakuan dan

perlindungan hak-hak atas tanah adat sebagai implikasi dari transformasi ideologi

gerakan dari “petani” menjadi “masyarakat adat”.

Dinamika gerakan petani dari setiap masa menunjukkan perjalanan yang

hampir senada. Pada masa Soeharto, pemerintah melakukan tekanan yang sangat kuat

terhadap munculnya gerakan perlawanan petani. Tindakan ini menghambat

perjuangan petani dalam menuntut hak kepemilikan atas tanahnya yang diambil alih

negara sehingga setiap organisasi yang dibentuk di tingkat lokal dianggap sebagai

bentuk perlawanan terhadap negara. Transformasi ideologi dan isyu dari tuntutan

ganti menjadi gerakan kultural (pengakuan hak ulayat) ini ternyata mampuh

mensikapi persoalan struktural yang dialami petani. Meskipun demikian, hingga saat

ini kondisi nasib petani Tafure belum juga berubah. Ini juga merupakan fenomena

umum yang berlaku bagi setiap gerakan perlawanan petani di negeri ini, dimana

masih banyak gerakan petani yang hasilnya masih tetap mengambang.

143

Saran

Gerakan petani merupakan bagian dari gerakan sosial. Seiring waktu tipologi

gerakan petani mengalami perubahan corak perjuangan. Awal mula gerakan

perlawanan bersifat insidental, tidak terorganisir, tidak sistematis, individual, dengan

derajat radikalisme yang tidak menimbulkan akibat-akibat revolusioner. Selanjutnya

gerakan perlawanan mulai menemukan jati dirinya untuk bergerak secara

terorganisir, kolektif dan mempunyai visi dan misi yang mampu membawa perubahan

atas nasib mereka, termasuk perubahan sikap kebijakan pihak yang berkuasa. Dari

aspek ini;

Kepada kelompok gerakan petani penulis mengharapkan militansi yang

dibangun bukan saja terbentuk karena perjuangan pemenuhan tuntutan pada pihak

Pemda atau pengelola bandara tapi lebih dari itu militansi untuk pemberdayaan

anggota gerakan tentang kemandirian organisasi secara bertahap dan menjadikan

wadah gerakan sebagai sarana pendidikan politik unruk mengawal aspirasi mereka,

demokratisasi, pendidikan, dan partisipasi politik untuk mewujudkan civil society di

level desa. Hal pertama, kemandirian ekonomi dapat dilakukan dengan membangun

usaha produktif seperti home industry, usaha simpan pinjam yang bekerjasama

dengan pemerintah maupun LSM. Hal kedua dilakukan dengan upaya melibatkan

partisipasi anggota dalam mekanisme demokratisasi di tingkat desa, dan membuka

diri terhadap peran lembaga tradisional (kesultanan) terutama dalam fungsinya di

level desa (Soa) yang bukan hanya menggiring massa petani yang nota bene

masyarakat adat untuk dimobilisasi secara politis ketika tiba momen Pemilu.

Fungsi dan peran lembaga kesultanan dan pranata lembaga adat lainnya

mestinya: 1) sebagai representasi kelompok kepentingan di masyarakat yang

mengartikulasikan kepentingan masyarakat petani; 2) kelompok mediasi antara

pemerintah dan masyarakat untuk menggolkan tuntutan, mengontrol kinerja

pemerintah, dan mendorong kebijakan agar sampai ke masyarakat petani; 3)

melakukan pengkaderan politik dan rekrutmen untuk membina kader pemimpin yang

berkualitas yang berasal dari kalangan masyarakat petani sehingga mereka memiliki

akses yang lebih terhadap penentuan masa depan nasib mereka.

144

Kepada pemerintah, hal yang perlu dilakukan adalah pembaruan politik hukum

agraria yang tidak mengundang high social cost, di mana konflik-konflik agraria

banyak bermunculan yang dikhawatirkan sebagai bibit persemaian disintegrasi

bangsa. Sudah saatnya pembangunan agraria mempunyai keberpihakan kepada rakyat

kecil, dengan melakukan pemerataan penguasaan, penggunaan, pemanfaatan dan

pemeliharaan tanah dan kekayaan alam untuk pembangunan sosial.

Pemerintah perlu menciptakan dan mendukung program pengembangan

ekonomi untuk masyarakat termarginal yaitu masyarakat adat yang merasa

kehilangan nilai-nilai yang dulu mereka miliki dan nilai-nilai harapan, termasuk

memperhatikan dan memperbaiki kondisi sosial ekonominya. Pemerintah daerah

dalam konteks otonomi daerah seharusnya memberikan kompensasi atas lahan yang

disengketakan berupa pembayaran ganti rugi atas tanah yang wajar serta memberi

insentif permodalan sehingga masyarakat petani dapat hidup mandiri melalui jenis

diversifikasi usaha produktif non pertanian lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Araf, Al & Puryadi Aman. 2002. Perebutan Tanah. Lappera. Yogyakarta.

Afrizal, MA. 2006. Sosiologi Konflik Agraria. Andalas University Press.

Alting, Husen. 2006. Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat AdatAtas Tanah di Maluku Utara. Disertasi Univ. Brawijaya, Malang.

Andi, Rusli Atjo, 1996. Kamus Ternate Indonesia. Ambon.

Ashari, Masyhud. 2008. Laporan Hasil Penelitian: Status Tanah-tanah KesultananTernate di Provinsi Mluku Utara. DPPM-UII, Yogyakarta.

Budiman, A. 1995. Teori-Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia. Jakarta.

Babie, E. 2004. The Practies Of Social Research, Wadsworth, Belmonth

Bakri, Muhammad. 2007. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara. Citra MediaHukum, Jakarta.

Harper, Charles L. 1989. Exploring Social Change. New Jersey: Prentice Hall.

Clammer, John. 2003. Neo-Marxisme Antropologi. Sadasiva. Yogyakarta.

Djafaar, Irza Arnyta. 2007. Jejak Portugis di Maluku Utara, Ombak, Yogyakarta.

Fauzi, Noer. (editor). 2005. Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga. ResistBook, Yogyakarta.

……….., Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Insist Press,Yogyakarta.

……….., (penyunting). 1997. Tanah dan Pembangunan. Pustaka SinarHarapan, Jakarta.

Fakih, Mansour, 1998. Petani dan Penguasa. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

............... 1995. Tanah, Rakyat dan Demokrasi. Forum LSM. Yogyakarta.

Geerzt, C. 1976. Involusi Pertanian “Perubahan Ekologis Pertanian DiIndonesia. Terdj. IPB, Bogor.

Gunanegara, SH, Dr. 2008. Rakyat & Negara dalam Pengadaan Tanah untukPembangunan. PT. Tatanusa, Jakarta.

Harper, Charles L. 1989. Exploring Social Change. New Jersey: Prentice Hall.

Harsoyo, 2010. Involusi Gerakan Agraria dan Nasib Petani. Disertasi IPB,Bogor.

146

Jamal, Erizal. Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan Pada Komunitas Lokalhttp://www.psedeptan.go.id/hasil penelitian struktur dan dinamika.htm

Kartodirdjo, S. 1984. Pemberontakan Petani Banten. Pustaka Jaya, Jakarta.

Kartodirdjo, S dan Suryo J., 1991, Sejarah perkebunan di Indonesia, Adityamedia, Jogjakarta.

Klandermans. Bert. 1989. Social Movements and Resource Mobilization: TheEuropean and the American Approach. In International Journal of MassEmengencies and Disaster Vol.4.

Lauer, Robert H. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta:Penerbit Rineka Cipta.

Laclau, Ernesto & Mouffe, Chantal, 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis.Resist Book, Yogyakarta.

Lofland, John. 2003. Protes: Terdj. Insist Press, Yogyakarta.

Maleong, Lexi J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung, PenerbitRemaja Rosda Karya.

Maliki, Zainudin. 1999. Penaklukan Negara Atas Rakyat. Gadjah MadaUniversity Press.

Mahardika, Timur. 2000. Gerakan Massa. Lappera, Yogyakarta.

Mirsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial. Resist Book, Yogyakarta.

Nader, L. Dan Todd, H.F, 1978. The Disputing Procces Law in ten Societies.Colombia University Press. New York.

Nirwana, Irwan. 2003. Landreform di Desa. Read Book, Yogyakarta.

Ngadiah, MA. Dr. 2003. Konflik Pembangunaan dan Gerakan Sosial Politikdi Papua. Pustaka Raja, Yogyakarta.

Putra, Fadillah, dkk. (2006), Gerakan Sosial. Averroes Press.

Purwandari, Heru, 2006. Perlawanan Tersamar Organisasi Petani. ThesisIPB, Bogor.

Puryadi, Awan & Al Araf. 2002. Perebutan Tanah. Lappera, Yogyakarta.

Roxborough, 1986, Teori-teori Keterbelakangan, LP3ES, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 2005. (Makalah). Hukum Adat dalam Negara KesatuanRepublik Indonesia. Lokakarya Nasional Inventarisasi MasyarakatAdat, Kerjasama Mahkamah Konstitusi, Komnas HAM, Depdagri,4-6 Juni 2005, Jakarta.

Ritzer George, 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.Rajawali, Jakarta.

147

Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.

.............., 1994. The Sociology of Social Change. Oxford: BlackwellPublishers.

Sihombing. 2005. Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum TanahIndonesia. Toko Gunung Agung. Jakarta.

Sumardjono, Maria S.W. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosialdan Budaya. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Suhendar, Endang, dkk. (penyunting). 2002. Menuju Keadilan Agraria.Yayasan Akatiga Bandung..

Suharko, Ph. D.2006. Gerakan Sosial. Averroes Press, Malang.

Simarmata, Rikardo. 2002. Kapitalisme Perkebunan dan Konsep PemilikanTanah Oleh Negara. Insist Press, Yogyakarta.

Silaen, Victor. 2006. Gerakan Sosial Baru. Ire Press, Yogyakarta.

Sodiki, Achmad. 1999. Politik Hukum Agraria; Univikasi ataukah PluralismeHukum. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang.

Suhendar, Endang dan Winarni, Bud, Yohana. 1998. Petani dan KonflikAgrari. Yayasan Akatiga, Bandung.

Stake, R., E., 1995, The Art of Case Study Research, Sage Publication

Saifudin, Fedyani, Achmad. 1986. Konflik dan Integrasi. CV. Rajawali,Jakarta.

Soelarto, B. (tanpa tahun). Sekelumit Monografi Daerah Ternate. Penerbit,Departemen Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia.

Stake, R., E. 1995. The Art of Case Study Research, Sage Publication.

Sihombing. Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia. TokoGunung. Jakarta

Sumardjono, S.W. Maria, Dr. 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya. Kompas, Jakarta.

Smelser. Niel. 1962. Theory of Collective Behavior. New York: Free Press,Collier-Macmillan Limited, London.

Triwibowo, Darmawan, (editor). 2006. Gerakan Sosial: Wahana CivilSociety bagi Demokratisasi. LP3ES Jakarta.

Tjondronegoro, S. M. P. dan Wiradi, Gunawan, penyunting. 2008. Dua AbadPenguasaan Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. YOI. Jakarta.

Untoro dan Masruschah. 1995. (editor) Tanah Rakyat dan Demokrasi.Yogyakarta. Forum LSM – LPSM DIY.

148

Wertheim, W.F. 1999, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, StudiPerubahan Sosial. Yogjakarta, Tiara Wacana.

Wiradi, G. 2001. Tonggak-Tonggak perjalanan Kebijakan Agraria diIndonesia. Lappera, Jogjakarta.

Wolf. Eric R. 1966. Petani “Suatu Tinjauan Antropologis” Terdj., YIIS,Jakarta.

Wahyudi, Dr. 2005. Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani. UMMPress, Malang.

............., 2004. Perang Petani. Insist Press, Yogyakarta.

Wahono, Francis et al. 2003. Gelombang Perlawanan Rakyat. Insist Press,Yogyakarta.

Willard, Hanna dan Des Alwi. 1996. Ternate dan Tidore: Masa Lalu PenuhGejolak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Zakaria, R. Yando & Loumela Anu, (editor). 2002. Berebut Tanah. InsistPress, Yogyakarta.

149

Lampiran: 1. Matriks Kebutuhan Data: Konsep, Panduan Wawancara, Metodedan Sumber Data.

No. Kebutuhan Data :Konsep

Rincian Pertanyaan Carapengambilan data

1.

2.

3.

4.

Sejarah GerakanPetani

Tujuan gerakan

Kemandirian gerakan

Konflik & Perpecahandalam gerakan.

- Tahun dan teampat deklarasi.- Aktor Pemrakarsa (petani, non petani).- Sebab-sebab munculnya gerakan.- Sumberdaya, mobilisasi, materi & non

materi.- Faktor pendukung & penghambat

gerakan.- Perkembangan jaringan dengan

organisasi non petani.

- Apa saja tujuan jangka pendek danjangka panjang yang ingin dicapai.

- Bagaimana tujuan itu dirumuskan- Apa alasan yang mendasari perumusan

tujuan.- Apakah pernah terjadi perubahan

rumusan tujuan.- Siapa saja aktor utama yang terlibat

dalam setiap perumusan tujuan.- Apa saja faktor pendukung dan

penghambatnya.- Posisi-posisi sosial apa saja yang akan

dan sudah dicapai.- Sumberdaya ekonomi apa saja yang

akan dan sudah dicapai.

- Siapa saja yang menentukan dalampengambilan keputusan

- Adakah pihak lain yang berperandalam pengambilan keputusan.

- Siapa saja konstituen yang berperandalam gerakan.

- Dari mana saja dana diperoleh untukmenunjang aktivitas gerakan.

- Apakah pernah terjadi konflik dalamgerakan.

- Siapa saja yang terlibat dalam konflik.- Bagaimana konflik tersebut

berlangsung.

- Wawancaramendalampenelusurandokumen sejarahpendirianorganisasi.

- Sumber data:para aktor,pelaku sejarahyang terlibatdalamperkembangangerakan petani,

- Wawancara:mendalampenelusurandokumen sejarahpendirianorganisasi.

- Sumber data:para aktor,pelaku gerakanpetani,

Metode:Wawancara,dokumentasi.Sumber data:- Utama: pengurus

organisasipetani.

- Pendukung:Ornop,organisasipetani,Mahasiswa

Metode:Wawancara,dokumentasi.Sumber data:- Utama: pengurus

organisasipetani.

- Pendukung:Ornop,

150

5. Perubahan IdentitasGerakan

- Faktor apa saja yang menyebabkanterjadinya perubahan identitasgerakan.

- Apakah terjadi perubahan jumlahanggota gerakan.

- Semangat yang diusung.- Ideologi utama.- Aktor-aktor penting.- Respon terhadap pemerintah.- Isu-isu yang didukung.- Arena konflik.- Tipe gerakan.- Derajat radikalisme.- Dampak gerakan.

organisasipetani,Mahasiswa

Metode:Wawancara,dokumentasi.Sumber data:- Utama: pengurus

organisasipetani.

- Pendukung:Ornop,organisasipetani,Mahasiswa

151

Lampiran: 2. Panduan Pertanyaan Wawancara

I. Faktor Penyebab dan Proses Gerakan Sosial Petani1. Apa yang diangap benar itu digunakan untuk menentang realitas. Termasuk

dalam pengertian kepercayaan adalah: ideologi, doktrin, pandangan, harapan,kerangka berpikir, wawasan dan perspektif.- Realitas apa yang mereka tuntut/pertentangkan- Siapa yang dianggap lawan dan siapa yang diteladani- Perubahan sosial secara total atau parsial- Pada tingkat individual atau supra individual (politik, ekonomi & budaya).

2. Bagaimana cara orang-orang yang mempunyai “pandangan” yang sama, yangdiarahkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.- Bagaimana orang-orang diorganisasikan/cara-cara mengorganisasikan.- Bagaimana proses pengambilan keputusan (sentralistik/desentralistik)- Adakah pembagian kerja didalam organisasi gerakan- Kriteria apa yang digunakan untuk menentukan orang-orang yang ditangani- Cara memelihara agar orang-orang tetap melaksanakan tugasnya.- Cara-cara memperoleh dana bagi gerakannya- Organisasi bersifat sementara atau permanen

3 Sebab-sebab atau variabel-variabel apa yang berpengaruh terhadap gerakan sosial.- Bagaimana dan kapan gerakan sosial dimulai/dibentuk- Mengapa gerakan itu muncul. Secara teoritik ada 16 variabel yang

berpengaruh, yaitu :a. Perubahan dan Ketimpangan Sosialb. Kesempatan politikc. Campur tangan negara terhadap kehidupan wargad. Kemakmuran (yang menimbulkan deprivasi ekonomi)e. Konsentrasi geografis dan Identitas kolektiff. Persepsi-persepsi ketidakadilang. Solidaritas antar kelompokh. Krisis kekuasaani. Melemahnya kontrol kelompok yang dominanj. Adanya pemimpink. Jaringan komunikasil. Integrasi jaringan diantara para pembentuk potensialm. Adanya situasi yang memudahkan para pembentuk potensialn. Kemampuan memprsatukan

II. Proses Gerakan Perlawanan Rakyat serta isu-isu yang diusung1. Bagaimana keikutsertaan keanggotaan gerakan dalam arti yang paling lemah,

sampai yang paling kuat.- Mengapa orang ikut dalam gerakan- Sampai seberapa jauh keterlibatannya dalam organisasi- Siapa yang menjadi pendukung gerakan- Bagaimana menyosialisaikan gerakan kepada pengikutnya.

2. Hubungan yang terjalin diantara gerakan-gerakan perlawanan rakyat:- Siapa yang berinisiatif membangun gerakan- Karakteristik kelompok seperti apa yang dapat menjadi anggota gerakan

152

- Bentuk hubungan antara gerakan perlawanan rakyat (kerjasama, anggota)- Keuntungan yang diperoleh diantara organisasi gerakan dari hubungan yang terbina- Pola hubungan yang dikembangkan dan alasan mengapa pola tersebut yang dipilih- Adakah potensi konflik yang kemungkinannya akan muncul dari pola hubungan

antara gerakan3. Sejarah pembentukan afiliasi dan bentuk ”sumbangan” dari setiap organisasi terafiliasi

- Siapa yang berinisiatif- Bagaimana profil dari masing-masing organisasi- “sumbangan” berbentuk materil- “sumbangan” berbentuk non materil

III. Perubahan identitas gerakan bila dikaitkan dengan Solusi PermasalahanPetani

1. Strategi apa yang digunakan untuk melakukan sesuatu dalam rangkamencapai tujuan gerakan.- Usaha-usaha apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan gerakan- Apa tujuan utama dari setiap strategi yang digunakan- Dalam mencapai tujuan itu, lebih menekankan pada perubahan institusi-

institusi sosial ataukah dengan mengubah identitas gerakan.- Strategi yang digunakan bersifat terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.- Menggunakan taktik serangan frontal atau pengkisan- ”Pendirian” mereka dinyatakan secara halus melalui aksi protes atau kekerasan- Mekanisme taktik yang digunakan terhadap kelompok sasaran persuasi,

negosiasi atau paksaan.2. Bagaimana tanggapan atau reaksi kalangan luar terhadap perubahan identitas

gerakan.- Reaksi penguasa (pemerintah)- Reaksi elit lokal (tokoh adat)- Reaksi media- Reaksi sesama antara anggota gerakan (petani dan non petani).

153

Lampiran: 3. Kuesioner Terbuka

Kuesioner No:...................A DATA DIRI Kode1. Nama dan Alamat Organisasi2. Waktu didirikan : Tgl. Bln. Tahun.3. Legal Status formal terdafatar di pemerintah

InformalKeterangan lain:

4. Bentuk organisasi lainnya, sebutkan :1. jaringan2. asosiasi3. federasi

5. Juamlah anggota : OrganisasiDusunDesa

6. Jumlah anggota PeroranganRumah Tangga

7. Bagaimana ciri anggota gerakan (dapat lebih dari satu)Organisasi Pok tani dalam konflikOrganisasi Pok tani kegiata produksi/ekonomiOrganisasi Pok tani perempuanLain-lain

Keterangan : .............B PROSES PEMBENTUKAN8. Mengapa organisasi ini didirikan, apa latar belakangnya9. Apakah ada peran pendamping dalam proses pembentukan

10. Siapa pendamping tersebut11. Kendala yang dihadapi dalam proses pembentukanC TUJUAN ORGANISASI

12. Apa tujuan awal pembentukan orgaanisasi ini13. Apakah ada perubahan tujuan semenjak organisasi ini dibentuk & sebab

perubahan: Tidak ada perubahanAda perubahan

14. Kapan perubahan tersebut terjadi:15. Apa peruabahan tujuan tersebut:16. Mengapa terjadi perubahan tujuan:D KEGIATAN ORGANISASI

17. Apa sajakah kegiatan organisasi saat ini:Teknologi produksi Kesehatan masyarakatPermodalan/simpan-pinjam Pendidikan hukum & politikPemasaran produk Advokasi kepentingan petaniPendidikan & Pelatihan Mempengaruhi kebijakan

Aksi massa untuk hak petaniLain-lain

Keterangan :18. Apakah terjadi perubahan aktivitas gerakan, terangkan19. Mengapa terjadi perubahan kegiatan20. Apakah ada bentuk kegiatan yang memperbesar partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan sumber daya alam21. Apakah ada bentuk kegiatan dalam rangka memperkuat hak masyarakat terhadap

tanah dan sumber daya alam

154

E STRATEGI ORGANSISASI &PERUBAHAN IDENTITAS GERAKAN

22. Strategi apa saja yang dikembangkan untuk mencapai tujuan23. Perubahan strategi yang terkait dengan perkembangan gerakan petani24. Kapan terjadi perubahan strategi tersebut25. Mengapa terjadi perubahan strategi tersebutF HUBUNGAN ANTARA ORGANISASI GERAKAN PETANI DENGAN

JARINGAN GERAKAN LAINNYA26. Peran gerakan non petani (lembaga adat)

(Bisa lebih dari satu)Manajemen JejaringDana Legitimasi PolitikTeknologi & Informasi Pendampingan hukumPendidikan hukum Advokasi kepentingan petaniLain-lain Organisator & Koordinator

Keterangan :27. Apa kewajiban organisasi gerakan lainnya bila bergabung dengan organisasi

gerakan petani28. Apakah kelompok tani mempunyai mekanisme formal untuk menyalurkan

aspirasinya29. Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan di tingkat organisasi petani dan

hubungannya dengan afiliasi kelompok lain dalam sebuah gerakan bersamaG KERJASAMA & NET-WORKING30. Apakah organisasi gerakan petani mengembangkan jaringan pergerakannya

dengan pihak lain ?Ya Tidak

31. Bagaimana bentuk hubungan dengan pihak-pihak tersebut32. Apa pengaruh jaringan gerakan rakyat lainnya dengan organisasi gerakan petani33. Apa pengaruh jaringan terhadap aktivitas gerakan petaniH DAMPAK GERAKAN34. Apakah ada contoh-contoh nyata dari hasil gerakan ?35. Prmasalahan yang dihadapi di dalam organisasi petani ?36. Permasalahan yang dihadapi dari dalam maupun dari luar ?37. Apa hambatan struktural dan hambatan kultural yang dihadapi ?

155

Lampiran: 4. Panduan Observasi

PANDUAN OBSERVASI

A. Petunjuk : Observasi dilakukan oleh peneliti secara langsung dilokasikajian, selanjutnya peneliti diharuskan melakukan pencatatanhasil observasinya dengan alat pencatatan manual maupun alatbantu yang dapat merekam serta mencatat kejadian yangberkaitan dengan substansi kajian yang dilakukan. Catatansingkat ditulis dalam lembaran yang kosong dibawah kotakaspek-aspek yang diobservasi, untuk dikembangkan kemudianmenjadi laporan.

B. Observasi Partisipasi :Hasil Observasi :Hari / Tanggal :

Aspek-aspek yang diamati:

1. Kondisi Fisik Responden :a. Kondisi rumah / tempat tinggalb. Perlengkapan rumah tangga yang dimilikic. Kondisi kesehatan fisik / jasmanid. Kondisi lingkungan

2. Kondisi Ekonomi Responden :a. Ketersediaan Makananb. Luas kepemilikan lahan pertanianc. Jenis dan jumlah tanamand. Aktivitas kerja sehari-hari / produktivitas kerja

3. Kondisi Sosial Respondena. Hubungan dengan tetanggab. Hubungan dengan sesama anggota keluargac. Hubungan dengan aparat pemerintahan

5. Potensi dan Sumber Daya yang dimiliki

156

Lampiran: 5. Panduan Diskusi Kelompok Terfokus

PANDUAN DISKUSI KELOMPOK TERFOKUS(FOCUS GROUP DISCUSSION)

A. Petunjuk : FGD dilakukan dipimpin oleh peneliti termasuk ketikamengajukan pertanyaan, hasilnya dicatat oleh enumerator.Catatan singkat ditulis dalam ruangan yang kosong dibawahkotak pernyataan kemudian dikembangkan menjadi laporan.

B. Lokasi Wawancara :Hari / Tanggal :Status dan jabatan yang hadir :

Subjek Kajian : ....... orangTokoh masyarakat :Aparat pemerintah :

Petugas Diskusi :

Tugas Nama Instansi Tanda TanganPemimpin DiskusiPencatat Diskusi

Aspek-aspek yang didiskusikan:1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi sikap petani terhadap pembangunan

proyek tersebut ?2. Langkah-langkah apa yang dilakukan petani untuk mencapai tujuan yang

diinginkan sebagai bentuk reaksi terhadap pembangunan proyek tersebut ?3. Kondisi yang dirasakan petani selama pembangunan proyek tersebut

berlangsung ?4. Variabel–variabel apa yang berpengaruh terhadap perubahan identitas

gerakan ?5. Bagaimana mengikutsertakan seluruh massa rakyat petani untuk

mendukung aksi protes tersebut ?6. Bagaimana cara atau metoda sebagai bentuk strategi gerakan yang dipakai

untuk mencapai tujuan yang diinginkan ?7. Bagaimana tanggapan atau reaksi pihak luar terhadap gerakan sosial petani

tersebut ?8. Kendala atau hambatan yang dihadapi petani dalam melakukan

perlawanan terhadap pembangunan proyek tersebut ?

157

Lampiran: 6. Surat Keterangan Hak Cocatu

158

Lampiran: 7. Peta Lokasi Penelitian