Gerakan Islam Radikan Sebagai Gerakan Sosial

download Gerakan Islam Radikan Sebagai Gerakan Sosial

of 12

Transcript of Gerakan Islam Radikan Sebagai Gerakan Sosial

Pertemuan Ke-10 GERAKAN ISLAM RADIKAL SEBAGAI GERAKAN SOSIAL1

1. Suatu Pengantar Sejak tahun 2000, dunia menyaksikan kebangkitan radikalisme Islam di Asia Tenggara. Selain kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan dan Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) yang terlibat dalam penyanderaan sejumlah warga asing, radikalisme ini hampir identik dengan kemunculan sejumlah organisasi Islam di Indonesia seperti Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah (FKASWJ), Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Jamaah Islamiyah (JI) menyita paling banyak perhatian berkat keterlibatannya dalam sejumlah aksi teror di Indonesia yang menimbulkan banyak korban jiwa. Dalam tulisan ini Eric Hiariej , melihat radikalisme Islam sebagai gerakan sosial. Dari sisi gerakan sosial, dua pertanyaan relevan yang menjadi fokus perhatian adalah: (1) apa bentuk-bentuk aksi kolektif radikalisme Islam, dan (2) bagaimana aksi kolektif tersebut dipahami. Kedua pertanyaan mendasar inilah yang akan diuraiankan lebih lanjut dalam perkuliahan ini. 2. Pembingkaian Teoritik Dalam tradisi studi gerakan sosial aksi selalu dipahami sebagai alat untuk mencapai tujuan. V.I. Lenin di awal abad ke-20, aksi kerap dikaitkan dengan soal bagaimana para aktivis menginvestasikan sebagian besar tenaga dan pikirannya untuk mempertimbangkan dan memilih strategi yang paling menguntungkan dalam mencapai apa yang mereka cita-citakan. Radikalisme Islam di Asia Tenggara juga memahami aksi para aktivis Muslim garis keras sebagai upaya mewujudkan tujuan, yakni penerapan Sharia, pendirian sebuah negara Islam atau pendirian sebuah khilafah (Barton 2004; Wright-Neville 2004; Bubalo dan Fealy 2005; Fealey 2005; van Bruinessen 2002a; 2002b; Abuza 2002; 2004; Eliraz 2004).

1

Elaborasi Tulisan Eric Hiariej. Aksi dan Identitas Kolektif Gerakan Islam Radikal di Indonesia Sumber : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 14, Nomor 2, November 2010 (131-168)

[Mata Kuliah Gerakan Sosial : Abdul Kholek]

Page 1

Wright-Neville, mengklasifi kasikan aktivis Muslim di Malaysia dan Indonesia menjadi activist, militant, dan terrorist. Wright-Neville menggunakan kategori ini untuk membedakan tiga macam agenda aksi; antara aksi yang bertujuan sekadar merubah kebijakan politik agar bernuansa Islami, yang bertujuan bukan saja untuk merubah kebijakan tapi juga untuk mengganti hierarki politik yang lebih berpihak pada umat Islam, dan yang bertujuan melakukan perubahan radikanterhadap tatanan sosial yang ada dengan menggunakan kekerasan. Kelemahan model instrumentalis sudah dibahas di banyak tempat (lihat, misalnya, Melucci 1985; 1989; 1996; Buechler 2000). Apa yang relevan bagi studi ini adalah cara aksi kolektif dipahami telah mengabaikan arti penting aspek kultural dalam gerakan sosial. Sebelum sebuah aksi dilakukan para aktivis, pada dasarnya, perlu merasa beberapa aspek kehidupannya terganggu dan merasa yakin dengan bertindak bersama mereka bisa mengatasi persoalannya. Tanpa perasaan bersama, yang menjadi basis kolektivitas gerakan, yang dibentuk oleh proses framing, ideologi dan identitas, sulit dibayangkan aksi kolektif bisa terwujud. Model instrumentalis, terutama yang terpengaruh teori aksi rasional yang dikembangkan Mancur Olson (1965), selalu melihat aksi kolektif dalam konteks kalkulasi untung-rugi. Yang terlupakan adalah pertimbangan rasional hanya bisa dilakukan jika para aktivis telah memiliki kesepakatan tentang ukuran sebuah rasionalitas (lihat Melucci 1989; 1996). Ukuran rasionalitas merupakan hasil konstruksi sosial yang tergantung pada bagaimana para aktivis mengenal dirinya sendiri, mengetahui apa yang sedang dilakukan dan mengenali lingkungan di luar dirinya. Proses internal sebuah gerakan yang berlangsung sebelum aksi kolektif ini adalah proses pembentukan identitas kolektif, yang mengambil jalan non-rasional, yakni jalan identifi kasi dengan kawan dan lawan. Dalam teori-teori gerakan sosial baru (GSB), identitas kolektif yang melahirkan rasa senasib sepenanggungan, rasa menghadapi musuh bersama dan rasa memiliki tujuan bersamayang membentuk ke-kita-an dari setiap gerakan sosialbukan saja menentukan bentuk dan berhasil tidaknyasebuah aksi, tapi juga bisa dipandang sebagai tujuan gerakan itu sendiri. Menurut teori GSB aksi bukan lagi sebuah awal dari sebuah ziarah untuk menuju tujuan tertentu, melainkan akhir dari sebuah proses pembentukan

[Mata Kuliah Gerakan Sosial : Abdul Kholek]

Page 2

kolektivitas sebuah gerakan. Tulisan ini tidak akan menjelaskan bentuk-bentuk aksi yang dilakukan kelompok-kelompok Islam radikal sebagai instrumen untuk mencapai tujuan. Setelah uraian tentang format aksi kolektif yang pernah dipraktikkan para aktivisnya dalam kurang lebih delapan tahun terakhir, tulisan ini akan mengajak pembaca memahami logika gerakan tersebut dengan mencermati proses pembentukan identitas kolektif. 3. Perkembangan Radikalisme Islam di Indonesia Radikalisme Islam dalam tulisan ini mengacu pada lima organisasi Islam garis keras di Indonesia yang muncul terutama setelah pengunduran diri Soeharto, yaitu Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah (FKASWJ) beserta sayap militernya Laskar Jihad (LJ), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jamaah Islamiyah (JI). Memperjelas mengenai kelima organisasi tersebut dapat lihat dalam tabel 1. Berikut ini : Tabel. 1 Organisasi Islam Garis Keras di IndonesiaOrganisasi HTI Waktu Pendirian Pertengahan 1980-an Tokoh utama Ismail Yusanto, Muhammad Khatah Abdullah Sungkar, Riduan Isamudin, Abdul Aziz Habib Rizieq Jafar Umar Thalib, Ayip Safruddin Abu Bakar Baasyir, Irfan Awwas, Muhammad Thalib Latar belakang pendirian Berkembang bersamaan dengan meningkatnya aktivisme Islam di kampuskampus besar di Jawa di era 1980an. Ketidakpuasan terhadap represi politik Orde Baru dan meningkatnya penindasan atas umat Islam di berbagai belahan dunia

JI

Awal 1990an

FPI

17 Agustus 1998 14 Februari 1998; April 2000 7 Agustus 2000

FKASWJ dan LJ

MMI

Reaksi terhadap meningkatnya demonstrasi mahasiswa yang menentang Habibie Respon terhadap kesulitan umat Islam akibat krisis ekonomi dan politik 19971998; respon terhadap konfl ik antaragama di Maluku Menyediakan wadah gerakan bagi semua aktivis Muslim pro penegakkan Sharia yang masih terfragmentasi

Sumber: Fealey (2004); Barton (2004); Batley (2003); Singh (2003); Jamhari dan Jahroni (2004)

[Mata Kuliah Gerakan Sosial : Abdul Kholek]

Page 3

Protes juga bisa dipahami sebagai cerminan identitas kolektif. Sementara para pengamat mengenal sebuah gerakan dengan melihat dan membaca protes-protes yang dilakukan, para aktivis menggunakan aksinya untuk mengaksentuasi keberadaan dirinya. Selain itu memandang protes dengan cara ini memudahkan pemahaman terhadap bentuk-bentuk aksi yang seringkali tidak ada hubungannya sama sekali dengan tujuan gerakan. Bentuk aksi kolektif kelompok Islam radikal cukup beragam, dari penggunaan kekerasan dan serangan mematikan sampai pawai massa dan protes damai. Dalam delapan tahun terakhir kebangkitan gerakan ini identik, di antaranya, dengan serangkain bom dan ledakan di berbagai tempat di tanah air. Penggunaan sarana mematikan bukan fenomena baru dalam tradisi Islam garis keras di Indonesia. Di sekitar awal 1980-an, misalnya, peledakan sejumlah fasilitas umum dikaitkan dengan aktivitas sisa-sisa anggota Darul Islam (DI). Tabel 1.2 Data Pemboman dan Peledakan yang Berkaitan dengan JI Sejak 1999Lokasi Masjid Istiqlal Kediaman Duta Besar Filipina Tigapuluh delapan Gereja (Pemboman Malam Natal) Gereja HKBP dan Gereja Santa Ana Atrium Mall Gereja Petra Gudang Kedutaan Besar AS (sebuah ledakan granat) Sari Club dan Paddys Caf (Bom Bali I) Gedung konsulat pemerintah AS Gedung konsulat pemerintah Filipina Gedung PBB Bandara Internasional Soekarno-Hata Lapangan parkir gedung parlemen Hotel J.W. Marriot Gedung Kedutaan Besar Australia Nyomans caf, Mandegas caf and R.ajas restaurant (Bom BaliII) Kota Jakarta Jakarta Riau , Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusatenggara Barat Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Bali Bali Sulawesi Utara Jakarta Jakarta Jakarta Jakarata Jakarta Bali Waktu April 1999 Agustus 2000 Desember 2000

Juli 2001 Agustus 2001 November 2001 September 2002 Oktober 2002 Oktober 2002 Oktober 2002 April 2003 April 2003 Juli 2003 Agustus 2003 September 2004 Oktober 2005

Sumber: Tempo (14 Januari 2001-22 Februari 2005).

[Mata Kuliah Gerakan Sosial : Abdul Kholek]

Page 4

4. Identitas Kolektif Islam Radikal Aksi kelompok Islam radikal karenanya merupakan ekspresi kesatuan internal tertentu. Elemen kesatuan internal ini diciptakan melalui dua proses framing: Pertama, dengan mendefenisikan siapa dirinya dan siapa musuhnya, dan Kedua, dengan menguraikan persoalan-persoalan yang tengah dihadapi dan bagaimana mengatasinya. 1) Identitas Gerakan : a) Cenderung menganggap dirinya sebagai pembela Islam (terminologi yang digunakan FPI sebagai nama organisasi), yakni pembela ajaran-ajaran islam yang terkontaminasi dan pembela orang-orang Muslim yang diserang. b) Kelompok radikal merasa sebagai kelompok yang dipilih (oleh Tuhan), sebagai satu-satunya harapan yang tersisa bagi umat dan memiliki tanggung jawab yang besar untuk menegakkan kehormatan Islam. c) Percaya bahwa dia dan segelintir kaum Muslimin terpanggil untuk berjihad melawan bangsa teroris (yakni, AS dan negara-negara Barat)Bangsa yang telah memulai peperangan terhadap kaum Muslimin. d) Para aktivis radikal percaya bahwa mereka diwajibkan dan bersedia memikul tanggung jawab mengimplementasikan Sharia, mendirikan negara Islam dan mempraktikkan jihad dan dakwah. e) MMI, HTI dan JI menganggap rezim politik yang berlaku Indonesia tidak sah dari sudut pandang Islam dan harus diganti dengan cara damai maupun dengan menggunakan kekerasan dengan sebuah sistem baru yang tunduk sepenuhnya pada Sharia f) Pemahaman historis jihad dan dakwah adalah dua metode yang digunakan dalam menegakkan Islam. Menegaskan bahwa Nabi Muhammad menggunakan dua metode ini ketika Nabi menyebarkan ajaran-ajaran Islam di Mekah (dengan dakwah) dan di Madinah (dengan jihad). Karena itu bagi Jibril, seorang Muslim tidak diperbolehkan meninggalkan jihad dan dakwah. g) Para aktivis menunjuk krisis multi-dimensional, krisis di segala aspek kheidupan, sebagai sebab utama kerusakkan. Secara garis besar, persoalannya adalah menurunnya moralitas masyarakat. Kelompok Islam

[Mata Kuliah Gerakan Sosial : Abdul Kholek]

Page 5

radikal, seperti disebut di atas, biasanya mengasosiasikan imoralitas dengan tempat-tempat seperti diskotek dan panti pij at dan secara terbuka mencerca apa yang mereka lihat sebagai ketidakseriusan pemerintah mengambil tindakan. h) Kelompok Islam ini juga memperhatikan masalah-masalah ekonomi dan politik di luar isu konvensional tersebut. Para aktivis bicara tentang persoalan seperti meningkatnya kemiskinan dan hutang luar negeri untuk menunjukkan krisis ekonomi. 2) Konstruksi Musuh : a) Musuh adalah apa yang sama-sama dimiliki oleh para aktivis gerakan ini dan lewat keberadaannya bahkan sekalipun sebagai hasil rekaan semata. Mereka bisa mengerti apa yang sedang mereka lakukan. Seperti disebut di atas, untuk membenarkan aksinya, kelompok radikal, mendefinisikan kembali makna jihad dengan cara membuat perbedaan dari terminonolgi terorisme yang dikembangkan musuhnya. b) Musuh menegaskan batas yang memungkinkan para aktivis menarik garis tegas antara diri dan lingkungannya. Garis ini dengan mudah bisa ditemukan dalam, misalnya, penampilan fisik. c) Imej tentang musuh sering digambarkan sebagai penghalang upaya menerapkan Sharia dan mendirikan negara Islam. Memerangi musuh karenanya menjadi tujuan penting dan tak terhindarkan dalam rangka jihad dan dakwah. Kelompok radikal bahkan percaya sederetan persoalan yang dibicarakan di atas sebagian merupkan hasil karya musuh-musuh Islam yang dengan sengaja menghalangi setiap upaya menegakkan otoritas Allah di muka bumi. 3) Wujud Musuh : a) Kristen; Kristen pada dasarnya merepresentasikan agama yang menentang Islam. Para aktivis radikal mengutip dan menginterpretasikan kembali ayatayat Al-Quran untuk membenarkan sikap permusuhannya terhadap Kristen dan memotret ke-Kristen-an sebagai musuh abadi sampai akhir zaman. Dengan cara yang serupa, imej tentang Kristen sering diasosiasikan dengan

[Mata Kuliah Gerakan Sosial : Abdul Kholek]

Page 6

Perang Salib. Imej ini memprovokasi para aktivis gerakan yang pada dasarnya selalu berorientasi pada masa lalu Islam (Lihat Eliraz 2004). b) Musuh berbahaya lainnya adalah Zionis dan Barat (lihat Thalib 2001; Awwas 2001; Al-Anshari 2002; Aziz 2004; lihat juga Nurdi 2005; Saidi dan Ridyasmara 2006). Dalam dunia Islam radikal di Indonesia sentiment anti-Yahudi relatif baru. Sekalipun ukuran komunitas Yahudi di Negara ini terlalu kecil untuk diperhitungkan secara politik, para aktivis radikal secara serius menempatkanya di deretan musuh-musuh Islam paling utama, sebagian karena mereka percaya seperti itulah yang disebut dalam Al-Quran. Alasan lainnya adalah Zionis merepresentasikan Israel yang kekejamannya, sebagai contoh, atas Palestina dipandang oleh kelompok seperti JI sebagai penghinaan terhadap warga Muslim seluruh dunia (lihat Batley 2003). AS berada di posisi paling penting ketika kelompok Islam radikal mengkonstruksikan Barat sebagai musuh berbahaya berikutnya. Sentimen anti-Amerika yang berkembang beberapa waktu belakangan sebagian besar berkaitan dengan perang yang dilancarakan pemerintah AS di Afghanistan dan Iraq. Perang tersebut membenarkan retorika aktivis radikal bahwa AS berniat menghancurkan dunia Islam. c) Negera; Musuh diperpanjang dengan memasukkan aktor-aktor lain seperti pemerintah, angkatan bersenjata, polisi, partai politik, LSM, politisi, figur nasional, intelektual. Dalam konteks ini orang Muslim sendiri bisa menjadi subjek yang harus diperangi atau setidaknya dicurigai bila mereka mempertanyakan ke-Islam-an kelompok radikal atau memeluk teologi yang berbeda dari apa yang dianut para aktivis radikal. Dalam konteks Indonesia kontemporer kelompok aktivis yang terkenal dengan nama Islam Liberal mewakili imajinasi aktivis radikal tentang orang Muslim yang berbahaya. Kelompok ini mencakup sejumlah intelektual Muslim yang menekankan arti penting peran rasio dan membela individualisme dalam interpretasi Al-Quran dan Hadis. Aktivis Islam radikal menyalahkan cara berpikir ini sebagai sebuah bentuk pengingkaran terhadap Allah, menyebut mereka sebagai sekuler dan menuduh mereka telah disusupi oleh

[Mata Kuliah Gerakan Sosial : Abdul Kholek]

Page 7

kepentingan Kristen, Zionis dan Barat (lihat Al-Anshari 2003; Thalib, M. et al. 2004). 5. Catatan Penutup Fokus tulisan ini adalah bentuk aksi kolektif yang dilakukan kelompok Islam radikal di Indonesia dan proses pembentukan identitas kolektif gerakan. Secara umum aktivis radikal terlibat dalam empat tipe aksi. Mereka melakukan peledakan di tempat-tempat seperti gereja, bangunan yang berkaitan dengan negara-negara Barat dan fasilitas-fasilitas yang paling sering dikunjungi orang-orang Barat; melakukan kampanye melawan prostitusi, pornografi , obat-obat terlarang, minuman keras dan perjudian; dan menggelar sejumlah pawai massa dan protes jalanan. Aksi kolektif kelompok ini bisa dilihat sebagai ekspresi dan performa dari sebuah identitas Islam radikal yang dihasilkan oleh sebuah proses internal mengkonstruksikan ke-kita-an gerakan. Dalam rangka mengenali dirinya sendiri, para aktivis memotret kelompoknya sebagai warga Muslim paling orisinal yang memiliki kewajiban mulia mewujudkan penerapan Sharia dan mendirikan otoritas politik Islam dan melakukan jihad dan dakwah untuk memperjuangkan tujuan tersebut. Para aktivis percaya misi suci ini dari sisi keduniawian bisa dibenarkan untuk menanggulangi krisis sosioekonomi di Indonesia seiring krisis moneter pada 1997-1998. Kelompok Islam radikal juga mengenali dirinya dan menilai tinggi misi sucinya sebagai sesuatu yang riil dan penting dengan mengkonstruksikan musuhmusuh Islam. Musuh paling penting adalah Kristen, diikuti oleh Barat dan Yahudi. Warga Negara Indonesia keturunan Cina dan Komunis, sepertI halnya kelompok Islam Liberal, juga dipandang sebagai musuhmusuh yang tak kalah berbahayanya.

[Mata Kuliah Gerakan Sosial : Abdul Kholek]

Page 8

Daftar Rujukan :1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Abas, N. (2005). Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI. Jakarta: Grafindo. Abdala, U. A. (ed). (2003). Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana. Yogyakarta: Elsaq Press. Abuza, Z. (2002). Tentacles of Terror: Al Qaedas Southeast Asian Network. Contemporary Southeast Asia. Abuza, Z. (2004). Muslims, Politics, and Violence in Indonesia: An Emerging Jihadist-Islamist Nexus? NBR Analysis, Vol. 15 No.3, pg. 5-55. Al-Anshari, F. (2002). Saya Teroris? Sebuah Pleidoi. Jakarta: Republika. Al-Anshari, F. (2003). Melawan Konspirasi JIL. Yogyakarta: Pustaka Al-Furqan. Aragon, L. V. (2001). Communal Violence in Posso, Central Sulawesi: Where People Eat Fish and Fish Eat People. Indonesia, Vol.72, pg.45-79. Awwas, I.S. (2004). Pengadilan Teroris: Klarifi kasi dan Dusta yang Terungkap di Persidangan. Yogyakarta: Wihdah Press. Aziz, A. (2004). Imam Samudra: Aku Melawan Teroris. Solo: Jazeera. Baasyir, A. B. (2001). Sistem Kaderisasi Mujahidin dalam Mewujudkan Masyarakat Islam. Dalam I.S. Awwas (ed). Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakkan Syariah Islam. Yogyakarta: Wihdah Barton, G. (2004). Indonesias Struggle: Jemaah Islamiyah and the Soul of Islam. Sydney: University of New South Wales Press. Batley, B. (2003). The Complexities of Dealing with Radical Islam in Southeast Asia: A Case Study of Jemaah Islamiyah. Canberra: Strategic and Defence Studies Centre, Australian National University. Bhabha, H. (1994). The Location of Culture. Oxford and New York: Routledge. Bubalo, A. dan Fealey, G. (2005). Between the Global and the Local: Islamism, the Middle East, and Indonesia. Analysis Paper Nomor dalam The Brookings Project on U.S. Policy Towardsthe Islamic World. Washington, D.C. Buechler, S. M. (2000). Social Movements in Advanced Capitalism: The Political Economy and Cultural Construction of Social Activism. New York dan Oxford: Oxford University Press. Calhoun, C. (ed). (1994). Social Theory and the Politics of Identity. Oxford, UK dan Cambridge, US: Blackwell. Castells, Manuel. (2004). The Power of Identity, The Information Age: Economy, Society and Culture Vol. II. Malden, Mass., Oxford dan Carlton, Vic.: Blackwell. Davis, M. (2002). Laskar Jihad and the Political Position of Conservative Islam in Indonesia. Contemporary Southeast Asia, Vol. 24 No.1. Della Porta, D dan Diani, M. (2006). Social Movements: An Introduction. Oxford dan Malden, Mass.: Blackwell. Ecip, S. S. (1999). Menyulut Ambon: Kronologi Merambatnya Berbagai Kerusuhan Lintas Wilayah Indonesia. Bandung: Mizan. Eder, K. (1985). The New Social Movements: Moral Crusades, Political Pressure Groups, or Social Movements? Social Research. Eliraz, G. (2004). Islamic Radicalism in Indonesia: The Global and Historical Contexts. Review of Indonesian and Malaysian Aff airs, Vol. 38 No.1, pg. 123-71.

[Mata Kuliah Gerakan Sosial : Abdul Kholek]

Page 9

24. Fealey, G. (2004). Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival? Southeast Asian Aff airs, pg. 104-121. Goodwin, J dan Jasper, J.M. (ed). (2003). The Social Movement Reader: Cases and Concepts. 25. Habermas, J. (1981). New Social Movements. Telos, Vol.49, pg. 33-7. 26. Hall, S. dan du Gay, P. (ed). (1996). Questions of Cultural Identity. London, Thousand Oaks and New Delhi: Sage. 27. Hasan, N. (2002). Faith and Politics: The Rise of the Laskar Jihad in the Era of Transition in Indonesia. Indonesia, Vol. 73, pg. 145-69. 28. Hizbut Tahrir Indonesia. (2002). Selamatkan Indonesia dengan Syariah. A booklet published by Hizbut Tahrir Indonesia. 29. Husaini, A. dan N. Hidayat. (2002). Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Jakarta: Gema Insani Press. 30. ICG. (2001). Indonesia: Violence and Radical Muslims. Dalam Indonesia Briefi ng, Jakarta/Brussels, 10 Oktober. 31. ICG. (2002a). Indonesia: The Search for Peace in Maluku. Dalam ICG Asia Report No. 31. 32. ICG. (2002b). Al-Qaeda in Southeast Asia: The Case of the Ngruki Network in Indonesia. Dalam Asia Briefi ng, Jakarta/Brussels 8 Agustus. 33. Australian Embassy Bombing. Dalam Asia Report No. 92. 34. Inglehart, R. (1990). Values, Ideology, and Cognitive Mobilization in New Social Movements. Dalam R. Dalton dan M. Kuechler (ed).Challenging the Political Order: New Social and Political Movements in Western Democracies. New York: Oxford University Press. 35. Jaiz, H. A. dan Bashori, A.H. (2004). Menangkal Bahaya JIL dan FLA. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 36. Jamhari dan Jahroni, J. (2004). Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Radical Salafi Movements in Indonesia). Jakarta: Rajawali Press. 37. Kastor, R. (2000). Konspirasi Politik RMS dan Kristen Menghancurkan Ummat Islam di Ambon-Maluku: Mengungkap Konfl ik Berdarah antar Ummat Beragama dan Suara Hati Warga Muslim yang Teraniaya. Yogyakarta: Wihdah Press. 38. Lane, M. (1985). The Tanjung Priok Incident: Simmering Discontent Bubbles Over. Inside Indonesia, Vol. 4, Maret, pg. 2-8. 39. Marty, M.E. dan Appleby, R.S. (ed). (1994). Accounting for Fundamentalisms: The Dynamic Character of Movements. Chicago dan London: University of Chicago Press 40. Marty, M.E. dan Appleby, R.S. (ed). (1995). Fundamentalisms Comprehended. Chicago dan London: University of Chicago Press. 41. McAdam, D., McCarthy, J.D. dan Zald, M.N. (ed). (1996). Comparative Perspectives on Social Movements: Political Opportunities, Mobilizing Structures, and Cultural Framings. Cambridge: Cambridge University Press. 42. McCarthy, J.D., dan Zald, M.N. (1973). The Trend of Social Movements in America: Professionalization and Resource Mobilization. Morristown, NJ: General Learning Press. 43. McCarthy, J.D. dan Zald, M.N. (1977). Resource Mobilizations and Social Movements: A Partial Theory. American Journal of Sociology, Vol.82 No.6, pg. 1212-1241.

[Mata Kuliah Gerakan Sosial : Abdul Kholek]

Page 10

44. Melucci, A. (1985). The Symbolic Challenge of Contemporary SocialMovements. Social Research, Vol. 52 No. 4, pg. 789-815. 45. Melucci, A. (1989). Nomads of the Present: Social Movements and Individual Needs in Contemporary Society. London: Hutchison Radius. 46. Melucci, A. (1996). Challenging Codes: Collective Action in the Information Age. Cambridge, New York dan Melbourne: Cambridge University Press. 47. Nasution, A. H., Bawazier, F., Umar, H., Hasyim, Y. dan Mahendra, Y.I. (ed). (2000). Mewaspadai Bankitnya Komunisme. Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. 48. Nurdi, H. (2005). Jejak Freemason dan Zionis di Indonesia. Jakarta: Cakrawala. 49. Off e, C. (1985). New Social Movements: Challenging the Boundaries of Institutional Politics. Social Research, Vol. 52 No.4, pg. 816-868. 50. Olson, M. (1965). The Logic of Collective Action. Cambridge US: Harvard University Press. 51. Pakulski, J. (1991). Social Movements: The Politics of Moral Protest. Melbourne: Longman Cheshire. Pizzorno, A. (1978). Political Exchange and Collective Identity in Industrial. 52. Confl ict. Dalam C. Crouch dan A. Pizzorno (ed). The Resurgence of Class Confl ict in Western Europe. New York: Holmes & Meier. 53. Purnomo, A. (2003). FPI Disalahpahami (FPI Misunderstood). Jakarta: Mediatama Indonesia. 54. Roy, O. (2004). Globalised Islam: The Search for New Ummah. London: Hurst and Company. 55. Saidi, R. dan Ridyasmara, R. (2006). Fakta dan Data Yahudi di Indonesia. Jakarta: Khalifa. 56. Shoelhi, M. (2002). Laskar Jihad Kambing Hitam Konfl ik Maluku. Jakarta: Puzam. 57. Singh, B. (2003). ASEAN, Australia and the Management of the Jemaah Islamiyah Threat. Canberra: Strategic and Defence Studies Centre, Australian National University. 58. Sirry, M. A. (ed). (2004). Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Paramadina dan Asia Foundation. 59. Sivan, E. (1995). The Enclave Culture. Dalam M. E. Marty dan R. S. Appleby (ed). Fundamentalisms Comprehended. Chicago dan London: University of Chicago Press. 60. Snow, D.A., Sopule, S.A. dan Kriesi, H. (ed). (2004). The Blackwell Companion to Social Movements. Malden, MA-US, Oxford, UK dan Carlton, VIC-AUS: Blackwell. 61. Thalib, J. U. (2001). Laskar Jihad Ahlus Sunnah wal Jamaah Mempelopori Perlawanan terhadap Kedurjanaan Hegemoni Salibis-Zionis Internasional di Indonesia. Yogyakarta: DPP Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah, Divisi Penerangan. 62. Thalib, M., Awwas, I.S., Syakur, M.S., dan Al-Anshari, F. (2004). Kekafiran Berfi kir Sekte Paramadina. Yogyakarta: Wihdah Press. 63. Tibi, B. (1998). The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder. Berkeley, Los Angeles dan London: University of California Press. 64. Tilly, C. (1986). The Contentious French. Cambridge US: Harvard UniversityPress. Touraine, A. (1985). An Introduction to the Study of Social Movements. Social Research, Vol. 52 No.4, pg. 749-788.

[Mata Kuliah Gerakan Sosial : Abdul Kholek]

Page 11

65. Umam, S. (2006). Radical Muslims in Indonesia: The Case of Jafar Umar Thalib and the Laskar Jihad. Explorations in Southeast Asian Studies, Vol. 6 No.1, pg. 1-26. 66. Van Bruinessen, M. (2002a). Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia. South East Asia Research, Vol. 10 No.2, pg. 117-154. 67. Van Bruinessen, M. (2002b). The Violent Fringes of Indonesias Radical Islam. ISIM Newsle& er, Vol.11, Desember, pg. 7. 68. Van Klinken, G. (2001). The Maluku Wars: Bringing Society Back In.Indonesia, Vol.71, pg. 1-26. 69. Wright-Neville, D. (2004). Dangerous Dynamics: Activists, Militants and Terrorists in Southeast Asia. Pacifi c Review, Vol. 17 No.1, pg. 27-46. 70. Yunanto, S. (2003). Militant Islamic Movements in Indonesia and South-East Asia. Jakarta: Friedrich-Ebert-Sti$ ung and RIDEP Institute.

[Mata Kuliah Gerakan Sosial : Abdul Kholek]

Page 12