GERAKAN GUSDURIAN: KAKI PENGUSUNG GAGASAN GUS...

43
1 BAB I GERAKAN GUSDURIAN: KAKI PENGUSUNG GAGASAN GUS DUR Dalam bab ini penulis hendak memaparkan latar belakang dan urgensi penulis dalam melakukan penelitian terkait gerakan Gusdurian ini. Konsep bahwa “…setiap ide harus punya kaki” menjadi landasan penulis dalam melihat fenomena yang terjadi dalam gerakan Gusdurian, dimana gagasan besar Gus Dur haruslah ditopang oleh “institusi” salah satunya adalah gerakan Gusdurian yang memiliki basis jaringan yang begitu kuat. Tulisan-tulisan terdahulu yang membahas tentang gerakan sosial, jaringan, maupun kekuatan gagasan penulis tuangkan dalam sub-bab Tinjuan Pustaka untuk memperlihatkan orisinalitas dan keunikan penelitian ini. Landasan Konseptual berupa kajian tentang gerakan sosial baru dalam perspektif jaringan dan kiat mengelola jaringan menjadi kacamata yang membantu penulis dalam mengamati gerakan Gusdurian. Pembahasan terkait mengapa penulis memilih menggunakan metode etnografi juga penulis jabarkan di akhir bab ini. 1. 1. Gusdurian : Gerakan Membangkitkan Kembali Gagasan Gus Dur Seorang intelektual kenamaan, Soedjatmoko (dalam Mallarangeng, 2002), pernah berkata bahwa “..setiap ide harus punya kaki..”. Kalimat tersebut bermakna bahwa sehebat apapun olah pikir atau ide seseorang, tidak akan bermanfaat banyak jika tidak ditopang dengan perangkat pendukung, seperti organisasi kerja, sumber daya manusia yang handal, modal, dan teknologi. “Kaki dari setiap ide”, dimaknai oleh Soedjatmoko tidak lain adalah hadirnya perangkat-perangkat utama yang menjalankan realisasi gagasan. Gagasan memang tidak bisa dilihat secara konkrit, namun bisa menjadi resource besar dan begitu berpengaruh dalam banyak lini di ranah sosial politik bangsa. Gagasan sebagai sumber daya tentu saja tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Gagasan perlu ditopang oleh “kaki” berupa “institusi”. Konsep diatas menjadi kacamata yang penulis pakai dalam melihat fenomena munculnya sebuah gerakan dalam masyarakat yang coba mengusung

Transcript of GERAKAN GUSDURIAN: KAKI PENGUSUNG GAGASAN GUS...

1

BAB I

GERAKAN GUSDURIAN: KAKI PENGUSUNG

GAGASAN GUS DUR

Dalam bab ini penulis hendak memaparkan latar belakang dan urgensi penulis dalam melakukan penelitian terkait gerakan Gusdurian ini. Konsep bahwa “…setiap ide harus punya kaki” menjadi landasan penulis dalam melihat fenomena yang terjadi dalam gerakan Gusdurian, dimana gagasan besar Gus Dur haruslah ditopang oleh “institusi” salah satunya adalah gerakan Gusdurian yang memiliki basis jaringan yang begitu kuat. Tulisan-tulisan terdahulu yang membahas tentang gerakan sosial, jaringan, maupun kekuatan gagasan penulis tuangkan dalam sub-bab Tinjuan Pustaka untuk memperlihatkan orisinalitas dan keunikan penelitian ini. Landasan Konseptual berupa kajian tentang gerakan sosial baru dalam perspektif jaringan dan kiat mengelola jaringan menjadi kacamata yang membantu penulis dalam mengamati gerakan Gusdurian. Pembahasan terkait mengapa penulis memilih menggunakan metode etnografi juga penulis jabarkan di akhir bab ini.

1. 1. Gusdurian : Gerakan Membangkitkan Kembali Gagasan Gus Dur

Seorang intelektual kenamaan, Soedjatmoko (dalam Mallarangeng, 2002), pernah berkata bahwa “..setiap ide harus punya kaki..”. Kalimat tersebut bermakna bahwa sehebat apapun olah pikir atau ide seseorang, tidak akan bermanfaat banyak jika tidak ditopang dengan perangkat pendukung, seperti organisasi kerja, sumber daya manusia yang handal, modal, dan teknologi. “Kaki dari setiap ide”, dimaknai oleh Soedjatmoko tidak lain adalah hadirnya perangkat-perangkat utama yang menjalankan realisasi gagasan. Gagasan memang tidak bisa dilihat secara konkrit, namun bisa menjadi resource besar dan begitu berpengaruh dalam banyak lini di ranah sosial politik bangsa. Gagasan sebagai sumber daya tentu saja tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Gagasan perlu ditopang oleh “kaki” berupa “institusi”.

Konsep diatas menjadi kacamata yang penulis pakai dalam melihat

fenomena munculnya sebuah gerakan dalam masyarakat yang coba mengusung

2

spirit yang mewujud dalam berbagai gagasan dari sosok Abdurrahman Wahid (-

selanjutnya ditulis Gus Dur), yaitu gerakan Gusdurian. Gerakan Gusdurian

penulis lihat merupakan bentuk kaki yang mencoba menopang spirit, gagasan dan

ide besar sang sosok bapak bangsa. Gerakan yang menyebut dirinya sebagai

gerakan kultural ini penulis lihat sebagai bentuk gerakan sosial baru yang

berusaha mentransmisikan sumber daya berupa gagasan Gus Dur melalui berbagai

aktivitas pergerakannya, baik itu melalui aksi, media cetak, media elektronik,

seminar, diskusi dan pertemuan publik lainnya, dan berkembang hingga menjadi

gerakan sosial yang memiliki jaringan kuat dan solid.

Gerakan Gusdurian sendiri mulai muncul dan berkembang sejak tahun

2010, beberapa saat setelah Gus Dur berpulang. Dalam perkembangannya,

gerakan Gusdurian makin solid berkat kekuatan jaringan dan tetap konsisten

dalam mempertahankan karakteristiknya sebagai gerakan yang mengutamakan sisi

voluntarisme, berusaha mempertahankan sikap apolitis dari tindak politik praktis

dan menjaga informalitas dari sisi pengorganisasiannya.

Dewasa ini, politik ketokohan dimana sosok atau tokoh menjadi sentral

dalam isu sosial politik kembali menjadi sorotan di Indonesia1. Dari sosok atau

tokoh tersebut, gagasan dari tokoh tersebut menjadi hal yang begitu penting

karena gagasan yang dilandasi oleh spirit dan ideologi seseoranglah yang menjadi

landasan seseorang untuk melakukan suatu tindakan (Haryatmoko, 2014). Gus

1 Sesuai dengan survei hasil kerjasama UGM dengan University of Oslo yang dilakukan di 30 Kabupaten/kota di Indonesia melibatkan narasumber 592 aktivis pro demokrasi yang berlangsung sejak awal 2013 hingga awal tahun 2014. Ada empat temuan penting dari survei ini, diantaranya perkembangan demokrasi Indonesia mengarah pada politik berbasis pada tokoh atau ketokohan, khususnya mereka yang menduduki posisi publik seperti pimpinan daerah.

3

Dur sendiri adalah salah satu sosok yang dikenal luas masyarakat atas gagasan

dan berbagai pemikiran besarnya. Hingga saat inipun, dalam arena pemilihan

umum legislatif maupun pemilihan presiden 2014 misalnya, gagasan dari sosok

Gus Dur ternyata masih “laku dijual” guna kepentingan politis para caleg maupun

capres yang bertarung dalam pertarungan politis lima tahunan tersebut.2

Tidak dapat dipungkiri bahwa sosok Gus Dur hingga saat ini memang

masih berpengaruh dan menjadi panutan sebagian kalangan masyarakat Indonesia,

terlebih lagi warga di kalangan Nahdlatul Ulama, tempat dimana Gus Dur

dibesarkan. Hal ini menegaskan bahwa gagasan Gus Dur memang seakan ada

terus menerus dan tak lekang dimakan jaman. Walaupun Gus Dur sudah

meninggal, namun spirit, gagasan besar serta kebijakan politisnya yang dikenal

begitu demokatis dan pro terhadap keragaman bangsa masih begitu dirindukan,

khususnya saat melihat berbagai realita dimana bangsa Indonesia di berbagai segi

masih memperlihatkan sisi “out of the track”-nya.

Gagasan empat pilar kebangsaan yang diciptakan oleh para founding

fathers bangsa3 juga seakan sudah mulai luntur jika melihat tingginya intensitas

aktivitas masyarakat yang kian menunjukkan sisi intolerannya 4 . Di satu sisi,

2 Suara Nahdlatul Ulama (NU) misalnya, yang memiliki jumlah pengikut yang cukup signifikan di Indonesia, begitu diperebutkan suaranya dalam pemilihan umum dengan menggunakan nama besar sosok Gus Dur sebagai strategi penarik suara. Selain PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang merupakan partai yang “dibesarkan” oleh Gus Dur sendiri, perebutan suara NU dengan memanfaatkan nama Gus Dur juga dilakukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo-Hatta. 3 Empat pilar kebangsaan yang dimaksud adalah Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika 4 Sebut saja kasus pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin di Bogor serta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Philadelphia Bekasi yang sampai saat ini masih belum menemui titik terang. Sama halnya dengan maraknya isu provokasi antar etnis atau agama,

4

meningkatnya jumlah insiden kekerasan dan intoleransi dalam masyarakat dalam

10 (sepuluh) tahun terakhir dan disertai dengan penegakan hukum yang lemah,

membuat masyarakat sipil perlu berjuang sendiri untuk menekan keberlanjutan

fenomena yang meresahkan ini. Seiring waktu berjalan, gagasan Gus Dur kian

dirindukan dan menjadi urgent untuk kembali diperjuangkan.

Semakin membesarnya kerinduan secara emosional akan sosok Gus Dur

membuat banyak elemen dalam masyarakat merasa perlu untuk “menghidupkan

kembali” spirit dan gagasan Gus Dur dalam kehidupan bermasyarakat. Berawal

dari kerinduan tersebut, muncul berbagai komunitas yang bermula dari rasa rindu,

ngefans, kagum dan mencintai sosok dan pemikiran Gus Dur. Komunitas mula-

mula yang ada di berbagai daerah ini mulai melakukan pergerakan namun masih

mengalami kesulitan dalam menentukan arah dan gerakannya masih bersifat

euphoria. Hingga pada akhirnya atas inisiatif dari murid-murid Gus Dur, perca di

berbagai daerah yang merupakan berbagai komunitas yang masih terserak tersebut

dijahit menggunakan benang berupa spirit Gus Dur, hingga akhirnya muncul

menjadi gerakan yang berusaha “menghidupkan” kembali sosok Gus Dur di

dunia. Adapun gerakan tersebut menamakan dirinya sebagai gerakan Gusdurian,

sebuah gerakan yang berusaha membangkitkan kembali sosok Gus Dur di dunia

melalui upaya merawat nilai-nilai, pemikiran-pemikiran dan melanjutkan

perjuangan Gus Dur di era kontemporer.

pembakaran rumah ibadah, bom bunuh diri di GBIS (Gereja Bethel Injil Sepenuh) Kepunton Solo, serta kerusuhan atas nama agama seperti kasus Ahmadiyah yang merebak beberapa saat lalu. Di sisi lain, negara hilang.

5

Belakangan ini, gerakan Gusdurian makin melebarluaskan sayapnya,

terlihat dari setidaknya 90 (sembilan puluh) sampai 100 (seratus)-an komunitas

yang tersebar di seluruh Indonesia bahkan kini merambah hingga ke luar negeri.

Dalam perkembangannya, gerakan yang pada awalnya timbul karena alasan

emosional ini akhirnya berkembang menjadi sebuah gerakan sosial baru yang

menempatkan kekuatan jaringan baik intern maupun antar komunitas sebagai

modal utamanya dalam perkembangan gerakan. Gerakan ini juga begitu menarik

karena menghasilkan banyak aksi dan pergerakan, terdiri dari beragam aktor yaitu

komunitas, individu dan lembaga, namun tetap berlandaskan dan diikat oleh satu

hal, yaitu spirit Gus Dur.

Upaya mengelola relasi antar berbagai aktor yang otonom dan kompleks

dalam rangka mengelola kepentingan bersama tentu membutuhkan adanya

aplikasi dari konsep-konsep manajemen yang mampu menjawab tantangan terkait

kompleksitas dan horizontalisme relasi dalam gerakan yang berbasis pada jejaring

ini. Penggunaan konsep jaringan disini tidak hanya sebagai cara pandang untuk

memahami fenomena kontemporer dalam gerakan Gusdurian, namun penulis

harap juga bisa menjadi strategi baru dalam pengelolaan kompleksitas relasi antar

aktor yang bisa dikembangkan.

Konsep jaringan sendiri didasarkan pada asumsi bahwa relasi para aktor

tersebut saling bergantung satu sama lain, dimana para aktor tidak bisa mencapai

tujuannya tanpa menggunakan sumber daya yang dimiliki oleh aktor lainnya.

Mekanisme saling ketergantungan ini berjalan melalui adanya pertukaran sumber

6

daya antar aktor. Aturan dan pola distribusi tersebut hanya bisa diubah dan

dikukuhkan lewat beragam interaksi dan negoisasi antar pelaku dalam jaringan

(Jones, Hersterlet dan Borgatti, 1997; dalam Pratikno, 2008). Beroperasinya

jejaring tidak berada dalam ruang yang hampa, namun ada struktur dengan norma

tertentu yang membatasi kebebasannya dalam melakukan tindakan. Dengan

berbagai interaksi konstitutif, mekanisme jaringan berpeluang sebagai cara

mengelola tindak bersama dalam mengelola sumber daya, sekaligus mengubah

dan mengarahkan beragam pola dalam struktur jaringan.

Karena struktur dalam jaringan dibangun melalui interaksi yang bersifat

sukarela dari para pelaku yang otonom, maka struktur yang dibangun bersifat

open-ended process dan tak jarang bersifat fluktuatif. Stabil atau tidaknya struktur

dalam jaringan ditentukan oleh tingkat interdependensinya, yakni melalui

mekanisme pertukaran sumber daya yang relatif tetap dan tidak tergantikan oleh

mekanisme lain dalam struktur jejaring (Pratikno, 2008). Konsekuensinya, relasi

yang terbangun bersifat konstitutif. Perilaku dan pilihan strategi yang diambil para

pelaku juga bisa dibentuk oleh adanya negosiasi yang terus menerus antar pelaku

dalam jaringan. Berdasar dari hal tersebut, penulis menggunakan kacamata teori

strukturasi Giddens serta berbekal 4 (empat) pola berjejaring menurut Diani

(2003) untuk melihat dan mengamati fenomena yang terjadi dalam gerakan

Gusdurian.

Mengetahui lebih dalam terkait dengan sisi pembentukan, pola berjejaring

apa yang digunakan serta bagaimana upaya gerakan Gusdurian dalam merawat

7

jaringan tentu menjadi pertanyaan yang menarik. Oleh karenanya, penulis merasa

tertantang untuk melakukan pengamatan mendalam terkait gerakan ini dengan

menggunakan metode etnografi yang memungkinkan peneliti untuk terlibat

langsung ke dalam aktivitas yang dilakukan gerakan Gusdurian, khususnya

Komunitas Gusdurian Yogyakarta.

Penelitian tentang gerakan Gusdurian ini begitu penting untuk dilakukan

karena penulis melihat bahwa pengungkapan pola dan pengelolaan jejaring dalam

gerakan sosial baru tergolong sebagai penelitian yang masih jarang dilakukan oleh

peneliti lain. Penelitian yang dilakukan terhadap gerakan Gusdurian ini juga

begitu menarik, mengingat akan keberadaan gerakan ini yang masih tergolong

berusia muda dan isu yang diusung tergolong ‘berbeda’ dari gerakan-gerakan

sosial yang ada selama ini, namun telah memiliki massa dan jaringan yang begitu

masif dan solid.

1. 2. Rumusan Permasalahan

Bagaimana pola berjejaring yang diterapkan oleh gerakan Gusdurian?

Bagaimana bentuk pengelolaan jaringan dalam gerakan Gusdurian sebagai

sebuah gerakan sosial baru berbasis jaringan yang mengusung gagasan

Gus Dur?

1. 3. Tujuan Penelitian

Untuk menambah khazanah pengetahuan baru terkait pola dan bentuk

pengelolaan jaringan dalam gerakan Gusdurian

8

Menjelaskan spirit dan gagasan Gus Dur yang menjadi landasan

terbentuknya gerakan Gusdurian

Menjelaskan bentuk manajemen jaringan yang diaplikasikan dalam

gerakan Gusdurian dan dinamika yang terjadi hingga menjadi gerakan

sosial baru berbasis jejaring yang masif dan solid.

1. 4. Tinjauan Pustaka

Tulisan yang membahas terkait keberadaan gagasan maupun spirit dalam

dinamika sosial, politik maupun ekonomi masih begitu jarang dijumpai.

Bersyukur, penulis bisa menemukan tulisan karya Rizal Mallarangeng yang

berjudul “Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992”, terbitan

Freedom Institute. Gambaran runtut dan ringkas terkait peran gagasan dalam

analisis ekonomi politik mengenai liberalisasi di Indonesia begitu baik dibingkai

oleh Mallarangeng. Tulisan ini juga menarik karena membedah perspektif lain

terkait dengan wacana baru ekonomi politik liberalisasi di Indonesia.

Memang benar jikalau Mallarangeng bukanlah orang pertama yang

mengungkap tentang pentingnya gagasan. Soedjatmoko misalnya, sempat

mengemukakan pendapatnya terkait gagasan, bahwa pada dasarnya “gagasan

punya kaki”. Karya Mallarangeng ini muncul sebagai sebuah studi empiris yang

membenarkan pendapat Soedjatmoko yang menekankan bahwa gagasan tidak

mungkin bisa berjalan sendiri, dan membutuhkan “institusi” sebagai “kaki” untuk

menopang gagasan tersebut. Oleh karenanya, peran gagasan juga harus dilihat

dalam konteks struktur ekonomi politik yang ada dan kendala yang dihadapi oleh

9

gagasan tersebut dalam wilayah politik yang dimasuki. Dalam konteks inilah,

Mallarangeng melihat bahwa peran gagasan terkait urgensi perlunya liberalisasi

ekonomi di Indonesia telah ditransmisikan oleh komunitas epistemis liberal.

Melalui komunitas ini, berbagai gagasan terkait liberalisasi ditransmisikan melalui

media cetak, media elektronik, seminar, diskusi, dan pertemuan publik lainnya.

Selain itu, gagasan juga berjalan dalam sebuah institusi besar yang

bernama lembaga pemerintahan. Dalam perspektif itulah, Mallarangeng dalam

bukunya ini melihat adanya liberalisasi ekonomi. Karya Mallarangeng seperti

diataslah yang coba penulis singkap logika berpikirnya dan penulis pinjam untuk

bisa merangkai dan menjawab rumusan masalah diatas. Gerakan Gusdurian coba

penulis kaitkan sebagai bentuk “kaki” yang coba menopang dan mentransmisikan

kembali gagasan besar Gus Dur.

Di sisi lain, tulisan mengenai gerakan memang dengan mudah dapat kita

jumpai di berbagai karya ilmiah ilmu-ilmu sosial, baik itu sosiologi, ilmu politik,

antropologi, sejarah, dan lain sebagainya. Namun penulis melihat bahwa

penelitian yang mencoba mengangkat gerakan Gusdurian sebagai gerakan

berbasis jaringan yang mendukung ide-ide Abdurrahman Wahid masih begitu

sedikit diteliti. Hal tersebut kemungkinan besar dikarenakan oleh gerakan

Gusdurian sendiri yang masih tergolong ‘baru’ di dunia pergerakan sosial

Indonesia. Melalui pencarian di berbagai jurnal online, referensi di perpustakaan,

maupun artikel di internet, penulis seringkali menemui kesulitan dalam

menemukan sesuatu hal yang berhubungan dengan gerakan Gusdurian.

Kebanyakan artikel di internet hanya sebatas mengemukakan profil gerakan saja,

10

tidak mendalam tentang latar belakang pembentukan, strategi terlebih manajemen

jaringan yang dilakukan gerakan Gusdurian. Bahkan di dalam situs resmi

Gusdurian, hanya dikemukakan sekedar profil umum yang menyatakan bahwa

gerakan Gusdurian adalah sebuah gerakan yang mencoba mewarisi pemikiran-

pemikiran atau ide-ide Abdurrahman Wahid. (Gusdurian, 2014)

Hampir sama dengan apa yang telah penulis sampaikan diatas, literatur

yang ada selama ini tentang Abdurrahman Wahid misalnya, juga hanya sekedar

membahas mengenai biografi atau pemikiran beliau semata, namun belum ada

yang mencoba mengaitkannya dengan pembentukan gerakan tertentu sebagai

upaya mengusung kembali ide-ide yang selama ini menjadi spirit beliau dalam

beraktivitas. Dalam banyak literatur, pemikiran Abdurrahman Wahid dianggap

tidak biasa, bahkan kadang menimbulkan pertentangan. Jika dilacak lebih lanjut,

dari segi kultural, sosok Abdurrahman Wahid memang melintasi tiga model

lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh

dengan etika yang serba formal, dan appreciate dengan budaya lokal; kedua,

budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya Barat

yang liberal, rasional, dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya

terinternalisasi dalam pribadi Abdurrahman Wahid membentuk sinergi. Hampir

tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Abdurrahman

Wahid. Sampai akhir hayatnya, Abdurrahman Wahid senantiasa berdialog dengan

semua watak budaya tersebut. Inilah, barangkali, anasir yang Abdurrahman

Wahid selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias

kontroversial (Al-Zastrouw, 1999).

11

Dalam sebuah tulisan berjudul Gus Dur Pelindung Minoritas, Emha Ainun

Nadjib memaparkan sepak terjang Gus Dur sebenarnya terletak dalam suatu grand

theory yang tidak sukar dipahami, yaitu (1) dalam perspektif universal, Gus Dur

bermaksud menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya. (2) dalam

konstelasi keindonesiaan, Gus Dur bermaksud menerapkan ideologi nasionalisme

yang habis-habisan, yakni dengan menomorsatukan apapun yang indikatif

terhadap primordialisme atau yang anti-nasionalisme, dan (3) dalam kaitannya

dengan Islam, Gus Dur –dengan segala resiko- berkehendak untuk melakukan

domestikasi atau pembumian nilai-nilai Islam dalam kerangka dan nuansa

kultural yang tak bersedia ditawar oleh segala “kegamangan teologis” apapun

(Nadjib, 1995).

Di lain sisi, penulis juga menemukan tulisan yang membahas keterkaitan

antara jaringan dan gerakan sosial, salah satunya adalah karya Sudiana Sasmita

(2008) tentang Greenpeace. Dalam tulisannya, dituliskan bahwa sejak awal

pendiriannya, Greenpeace relatif tidak berpusat pada seorang tokoh kharismatik.

Greenpeace di Indonesia seperti halnya Greenpeace di negara lain, memiliki pola

gerakan yang berbasis pada jaringan. Hal ini bisa dilihat dari kerja sama yang

dibangun oleh Greenpeace di Indonesia dengan lembaga-lembaga lain yang juga

concern dalam permasalahan lingkungan hidup. Misalnya saja kampanye

penyelamatan hutan Indonesia yang diadakan oleh Greenpeace Indonesia di Tugu

Proklamasi, Jakarta Pusat pada tanggal 16 Februari 2008. Aksi kampanye yang

merupakan bentuk keprihatinan terhadap rusaknya hutan Indonesia ini adalah

kerja sama Greenpeace Indonesia dengan berbagai pihak. Diantaranya adalah

12

dengan Komisi Lingkungan Hidup DPR, anggota DPD RI perwakilan Jakarta, dan

juga Yayasan Pitaloka milik artis Rieke Dyah Pitaloka. Keberadaan Greenpeace

Indonesia yang masih sangat muda menyebabkan Greenpeace Indonesia harus

banyak belajar kepada Greenpeace Asia Tenggara yang lebih dulu berdiri.

Adanya jaringan yang kuat di antara Greenpeace dan lembaga lain yang bergerak

dalam masalah lingkungan hidup, diharapkan akan mempermudah terciptanya

misi Greenpeace serta mempertahankan eksistensi Greenpeace di Indonesia.5

Terkait jejaring, penulis menemukan pustaka terkait yaitu buku Jaringan

Sosial Dalam Organisasi yang ditulis oleh Ruddy Agusyanto (2007). Buku ini

mencoba memperkenalkan kta akan sebuah pendekatan yang relatif baru di

Indonesia, yaitu analisis jaringan sosial dalam mengkaji kompleksitas struktur dan

perilaku organisasional guna memahami konflik, perubahan dan pengendalian,

dalam kehidupan berorganisasi. Agusyanto (2007) memaknai jaringan sosial

sebagai jaringan tipe khusus, dimana ada “ikatan” yang menghubungkan satu titik

ke titik lain dalam jaringan tersebut adalah hubungan sosial.

Agusyanto melihat bahwa pada dasarnya jaringan-jaringan sosial yang ada

pada masyarakat dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1) jaringan interest

(dimana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan sosial

bermuatan kepentingan), (2) jaringan sentiment (terbentuk dari hubungan sosial

yang bersifat emosional), dan (3) jaringan power (terbentuk dari hubungan sosial

yang bermuatan power). Dalam paparannya, tulisan ini memperlihatkan pula

5 Sasmita, Sudiana. 2008. Eksistensi Gerakan Greenpeace di Indonesia. Yogyakarta : Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM (tesis yang tidak diterbitkan)

13

adanya perbedaan yang cukup menonjol antara kajian organisasi dengan kajian

gerakan sosial. Gerakan sosial menurut Giddens merupakan suatu keberanian

untuk berusaha menstabilkan sebuah tata kehidupan yang baru (new order of life).

Tidak seperti organisasi, gerakan sosial tidak memiliki karakteristik, yaitu

mengoperasikan aturan-aturan atau hukum di dalam tempat-tempat terjadinya

peristiwa gerakan sosial dan menetapkan posisi-posisi (terkait hak dan kewajiban)

dari para anggotanya secara transparan. Dengan kata lain, suatu gerakan sosial

tidak secara jelas mendefinisikan posisi-posisi dan peran-peran serta menerapkan

sistem sanksi atas perilaku atau tindakan menyimpang para anggotanya.

Walaupun pada akhirnya tidak menutup kemungkinan bahwa gerakan sosial akan

melahirkan organisasi nantinya.

Tulisan-tulisan diatas penulis coba telusuri guna menemukan sisi lain yang

belum terkuak baik dalam penelitian atau tulisan sebelumnya. Dari berbagai

pustaka diatas, penulis secara umum belum menemukan tulisan atau karya ilmiah

lain yang mencoba menghubungkan antara gagasan Gus Dur dan gerakan berbasis

jaringan yang mengusungnya. Sehingga hal ini merupakan tantangan bagi penulis

untuk menghadirkan hal baru yang berbeda dari analisis tentang gerakan sosial

secara umum, yakni mengenai strategi pengelolaan jejaring gerakan sosial

Gusdurian yang mencoba mengusung gagasan besar Gus Dur.

1. 5. Landasan Konseptual

1. 5. 1. Gerakan Sosial Baru Bercorak Kultural

14

Mengenal lebih dalam terkait gerakan kultural tentu tidak bisa dilepaskan

dari basisnya sebagai gerakan sosial yang tumbuh di masyarakat. Gerakan sosial

yang tumbuh di kalangan masyarakat pada umumnya bisa disebut sebagai suatu

gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut

perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintah. Dari hal tersebut,

terlihat bahwa tuntutan perubahan tersebut muncul karena kebijakan yang

diberikan oleh pemerintah tidak lagi sesuai dengan konteks masyarakat yang ada

saat ini atau bisa saja kebijakan yang ada bertentangan dengan kehendak sebagian

besar masyarakat.

Sebelumnya, kita mengenal ada dua macam gerakan sosial, yaitu old

social movement dan new social movement. Old social movement merupakan

gerakan yang berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan sisi materi dan

biasanya terkait dengan ketimpangan ekonomi dan atau kelas pada suatu

kelompok, seperti kelompok petani atau buruh (Triwibowo, 2006). Old social

movement lebih mengarah pada masalah-masalah ketenagakerjaan, keanggotaan

massa yang memiliki kelas-kelas dan anti-kolonialisme. Dalam perspektif ini,

gerakan lahir karena dukungan dari mereka yang terisolasi di masyarakat dan

cerminan dari perjuangan kelas di sekitar proses produksi sehingga sering terkait

dengan kasus yang menimpa para buruh.

Di lain sisi, new social movement atau gerakan sosial baru merupakan tipe

gerakan sosial yang memiliki tampilan karakter yang baru atau unik dimana

gerakan ini lebih berpusat pada tujuan-tujuan non material. Gerakan ini

menekankan pada perubahan-perubahan dalam gaya hidup atau kebudayaan

15

daripada mendorong perubahan-perubahan spesifik dalam kebijakan publik atau

perubahan ekonomi (Nash, 2005). Dalam kajian ini, konsep Gerakan Sosial Baru

akan digunakan untuk melihat fenomena yang terjadi pada gerakan Gusdurian,

baik itu dari proses pembentukan maupun strategi yang digunakan dalam

mencapai tujuan. Gerakan Gusdurian dapat dilihat sebagai sebuah bentuk new

social movement tatkala unsur-unsur gerakan ini sesuai dengan karakteristik yang

melekat dalam suatu bentuk gerakan sosial baru, yang antara lain karakteristiknya

adalah:

1. Mendorong perubahan dalam gaya hidup dan kebudayaan (Nash, 2005)

2. Memiliki karakteristik yang baru, dan terkesan unik (Nash, 2005)

3. Tampil sebagai perjuangan lintas kelas, memobilisasi opini publik untuk

mendapatkan daya tawar politik (Suharko, 2006)

4. Mengorganisasikan diri dalam suatu bentuk yang cair (Suharko, 2006),

struktur organisasi bersifat partisipatoris dan terdesentralisasi (Nuraini, -)

5. Partisipannya melintasi berbagai kategori sosial (Suharko, 2006)

6. Aksi gerakan menapaki banyak jalur, mencitakan beragam tujuan, dan

menyuarakan banyak kepentingan (Singh, 2001)

7. Berawal dari ketidakpuasan terhadap suatu hal (Dobusch, 2008)

8. Melakukan proses persuasi menggunakan berbagai tekanan dengan

melakukan aksi-aksi nyata dan proses framing. (Dobusch, 2008)

9. Ada proyek kebijakan bersama, ada keyakinan atas suatu prinsip bersama,

dan ada tujuan yang hendak dicapai bersama (Dobusch, 2008)

10. Kritis terhadap ideologi modern dan gagasan “kemajuan” (Nuraini, -)

16

Dalam upaya mencapai tujuannya, gerakan sosial memiliki beragam corak

yang bisa diaplikasikan. Ada 4 (empat) corak yang biasa dilakukan oleh gerakan

sosial. Hal yang bisa diterapkan adalah (1) menggunakan cara kekerasan, dengan

bentuk ekstrem seperti gerakan bersenjata, kemudian ada gerakan sosial yang

bercorak tanpa kekerasan (non violence), seperti melakukan diplomasi, dan

penggunaan saluran politik lainnya. Berikutnya, (3) gerakan sosial bisa bercorak

melakukan kombinasi diantara keduanya, dengan mengkombinasikan antara

penggunaan cara-cara non kekerasan dan cara-cara menggunakan kekerasan.

Corak terakhir (4) yang bisa digunakan adalah menggunakan corak kultural, yang

berusaha membangun isu untuk melakukan penyadaran pada masyarakat luas

tentang wacana tertentu.

Gerakan kultural adalah sebuah corak dalam gerakan sosial dimana

gerakan ini berusaha membangun isu untuk melakukan penyadaran kepada

masyarakat luas secara terus menerus, simultan, berupa ajakan yang bersifat non-

kekerasan. Gerakan ini menggunakan siasat budaya, gerakan diam, dan

menggunakan simbol-simbol anti kekerasan lainnya. Pengorganisasian ini

berdasarkan isu yang sedang berkembang. Gerakan yang bercorak cultural ini

begitu diperlukan untuk mendorong perubahan paradigma masyarakat dalam

memandang arti penting sebuah isu atau masalah yang ada dalam masyarakat.

Tren baru gerakan bercorak kultural adalah berupaya menyebarkan wacana

melalui media massa, maupun media sosial.

17

1. 5. 2. Melihat Gerakan Sosial Sebagai Sebuah Jaringan

Untuk mempercepat usaha dalam mencapai tujuan dan sekaligus upaya

mengelola relasi antar berbagai aktor yang otonom dan kompleks dalam rangka

mengelola kepentingan bersama, banyak hal yang bisa dilakukan oleh gerakan

sosial, salah satunya adalah dengan membentuk jaringan. Jaringan dalam gerakan

sosial memegang peranan yang begitu penting. Melihat gerakan sosial sebagai

sebuah jaringan dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk jaringan informal yang

didasarkan pada pandangan dan solidaritas bersama untuk menggerakkan isu

bersama, melalui berbagai bentuk perlawanan yang bersifat terus menerus.

Jaringan sendiri dimaknai sebagai jalinan antara dua aktor atau lebih yang secara

sadar dibentuk dan dimaksudkan sebagai metode utama untuk mencapai tujuan

yang disepakati bersama. Jalinan ini bisa bersifat sementara, namun juga bisa

bersifat tetap. Jaringan yang bersifat sementara biasanya bersifat taktis, namun

jaringan permanen lebih bersifat strategis dan lazimnya terlembaga karena

dimaksudkan untuk mencapai tujuan membutuhkan waktu yang relatif lama. 6

Salah satu hal yang bisa dicapai terkait keterlibatan jaringan dalam

gerakan adalah bahwa (1) jejaring yang ada mempengaruhi kontribusi individu

dalam membentuk aksi kolektif, (2) bagaimana pola dari hubungan

interorganisasional merefleksikan pola aksi kolektif yang berbeda dan

mengakibatkan sirkulasi sumber daya baik di lingkungan pergerakan itu sendiri

maupun antara organisasi gerakan dengan sistem politik yang ada, serta (3)

6 Nuraini, Atikah. Managemen Pengetahuan Untuk Kerja-kerja Gerakan. Pusat Dokumentasi dan Informasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

18

bagaimana konsep dan teknik berjejaring digunakan untuk membangkitkan sedikit

alasan dari konsep kunci dari relasi antara gerakan dengan proses politik yang

lebih luas.7

Jaringan sosial sendiri dapat dimaknai sebagai suatu jaringan tipe khusus,

dimana “ikatan” yang menghubungkan satu titik ke titik lainnya dalam jaringan

adalah hubungan sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau

tidak, yang menjadi anggota jaringan sosial adalah manusia atau sekumpulan

kelompok, organisasi, instansi, pemerintah atau bahkan negara (Agusyanto, 2007).

Dalam jaringan sendiri, ada beberapa komponen yang harus dipenuhi, antara lain

(1) Ada sekumpulan orang, objek atau kejadian; minimal berjumlah tiga satuan

yang berperan sebagai terminal (pemberhentian). Biasanya direpresentasikan

dengan titik-titik (aktor atau node), (2) Adanya seperangkat ikatan –baik yang

nampak atau tidak nampak- yang menghubungkan satu titik ke titik-titik lainnya

dalam jaringan. (3) Adanya arus (dalam diagram digambarkan dengan ‘anak

panah’).

Di dalam sebuah jaringan, ada prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi,

antara lain (Agusyanto, 2007):

1. Ada pola tertentu. Sesuatu yang mengalir dari titik satu ke titik-titik

lainnya, saluran atau jalur yang harus dilewati tidak terjadi secara acak,

artinya bisa memilih sekehendaknya (secara acak).

7 Diani, Mario. 2003. Network and Social Movements : A Research Programme in Social Movement and Networks: Relational Approaches to Collective Action. New York, US : Oxford University Press

19

2. Rangkaian ‘ikatan-ikatan’ tersebut menyebabkan sekumpulan titik yang

ada bisa dikategorikan atau digolongkan sebagai ‘satu kesatuan’ yang

berbeda dengan ‘satu kesatuan’ yang lain.

3. Ikatan-ikatan yang menghubungkan satu titik ke titik-titik lainnya harus

bersifat relatif permanen (ada unsur waktu, yaitu masalah ‘durasi’).

4. Ada ‘hukum’ yang mengatur saling keterhubungan masing-masing titik

dalam jaringan, ada hak dan kewajiban yang mengatur masing-masing titik

(anggota), hubungan titik yang satu terhadap titik yang lain, hubungan

semua titik dengan titik-titik pusat dan lain sebagainya. Hukum atau aturan

ini yang melengkapi bahwa sekumpulan titik-titik (aktor / node) tersebut

bisa digolongkan sebagai satu-kesatuan yang spesifik, yang berbeda

dengan satu-kesatuan lainnya.

Jaringan sosial yang ada dalam masyarakat apabila ditinjau dari tujuan

hubungan sosial yang membentuknya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Jaringan interest (jaringan kepentingan), dimana hubungan-hubungan

sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang

bermuatan kepentingan, bermuara pada ‘tujuan-tujuan’ tertentu yang ingin

dicapai oleh para pelaku. Tindakan dan interaksi yang terjadi dalam

jaringan tipe ini selalu dievaluasi berdasar tujuan-tujuan relasional.

Pertukaran (negosiasi) yang terjadi dalam jaringan kepentingan ini diatur

oleh kepentingan-kepentingan para pelaku dan serangkaian norma yang

sangat umum.

20

2. Jaringan sentiment (jaringan emosi), yang terbentuk atas dasar

hubungan-hubungan sosial yang bermuatan emosi, dimana hubungan

sosial itu sendiri menjadi tujuan tindakan sosial. Struktur sosial yang

dibentuk oleh hubungan-hubungan emosional ini cendrung lebih mantap

atau permanen. Sehingga muncul mekanisme yang berfungsi menjamin

stabilitas struktur yang ada sehingga hubungan-hubungan sosial semacam

ini bisa dinilai semacam norma-norma yang dapat membatasi suatu

tindakan sosial yang cenderung mengganggu kepermanenan struktur

jaringan tersebut. Dengan demikian, ada sejumlah kompleks nilai dan

norma yang ditegakkan atas struktur hubungan guna memelihara

keberlangsungannya. Dalam tipe ini, solidaritas juga memegang peranan

yang begitu penting.

3. Jaringan power, dimana hubungan-hubungan sosial yang

membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan power.

Dalam jaringan ini, konfigurasi-konfigurasi saling keterhubungan antar

pelaku didalamnya sudah diatur sedemikian rupa. Tipe ini muncul saat

pencapaian tujuan yang telah ditargetkan butuh tindakan kolektif, dan

konfigurasi keterhubungan antar pelakunya dibuat permanen. Jaringan ini

harus memiliki pusat power, yang secara terus menerus mengkaji ulang

kinerja unit-unit sosialnya dan memolakan kembali strukturnya untuk

peningkatan efisiensinya.

21

Mendefinisikan gerakan sosial sebagai sebuah jaringan dapat diartikan

bahwa gerakan sosial adalah jejaring interaksi-interaksi informal diantara

pluralitas individu-individu, kelompok-kelompok atau asosiasi-asosiasi yang

terikat dalam sebuah pertentangan politis atau kultural, dalam basis identitas

kolektif bersama8. Menggunakan pendekatan gerakan sosial sebagai jaringan akan

memudahkan kita untuk menangkap keunikan gerakan tersebut jika dibandingkan

dengan bentuk aksi kolektif lainnya. Gerakan sosial begitu menarik dan berbeda

karena terdiri dari aktor independen formal yang menempel pada konteks

kelokalan yang spesifik, mengemban identitas, nilai dan orientasi yang spesifik,

mengejar tujuan yang spesifik dan objektif, namun dalam waktu yang sama

terhubung dalam berbagai bentuk kerjasama nyata dan atau bentuk pengakuan

satu sama lain dalam sebuah ikatan yang melebihi dari aksi protes atau kampanye

semata. Kita mencoba memfokuskan diri lebih daripada sekedar melihat dinamika

pergerakan sosial yang merupakan hubungan antara jaringan informal, identitas

kolektif dan konflik.

Menggunakan jejaring sebagai perspektif, pada saat yang sama kita akan

mendapat manfaat yang signfikan lebih daripada saat kita menggunakan teori

yang sudah ada, serta memungkinkan kita untuk engage dalam sebuah dialog

yang baik terkait gerakan sosial. Terkait dengan teori mobilisasi sumber daya,

melihat gerakan sebagai jaringan memungkinkan kita untuk bangkit dari

kecenderungan untuk memperlakukan gerakan sebagai bentuk organisasi yang

8 Diani, Mario. 1992. Analysing Social Movement Networks in M. Diani and R. Eyerman (eds.), Studying Collective Action. Newbury Park/London: Sage.

22

khusus atau istimewa, oleh karena untuk menunjukkan isu dari hubungan antara

gerakan, partai-partai, dan kelompok kepentingan dari perspektif yang berbeda.

1. 5. 2. 1. Konsep Interdependensi Antar Aktor dan Logika Strukturasi ala

Giddens (1984)

Berangkat dari fenomena horizontalisme relasi antar aktor, teori jaringan

didasarkan pada asumsi bahwa relasi para aktor tersebut saling bergantung satu

sama lain (interdependence). Dalam makna yang lebih operasional, bisa dimaknai

bahwa para aktor tidak bisa mencapai tujuannya jikalau tidak menggunakan

sumber daya yang dimiliki oleh aktor lainnya. Mekanisme saling ketergantungan

ini berjalan melalui adanya pertukaran sumber daya antar aktor. Selanjutnya,

interaksi dan mekanisme pertukaran sumber daya dalam jaringan tersebut

berlangsung secara kontinyu, dalam jangka waktu yang lama dalam kehidupan

sehari-hari (Rhodes, 1997; Rhodes dan Marsh, 1992). Distribusi sumber daya

antar pelaku jaringan secara bertahap akan mengubah pola-pola interaksi para

pelaku dalam jaringan dan menimbulkan relasi yang bersifat inter-locking. Namun

pada saat yang sama, aturan dan pola distribusi tersebut hanya bisa diubah dan

dikukuhkan lewat beragam interaksi dan negoisasi antar pelaku jaringan tersebut

(Jones, Hersterlet dan Borgatti, 1997; dalam Pratikno, 2008).

Dalam operasi analisisnya, rangkaian interaksi yang terbangun dalam

jejaring disebut dengan permainan (games) antar aktor (Kickert dan Koppenjan,

1999). Beroperasinya jejaring tidak berada dalam ruang yang hampa, namun ada

struktur dengan norma tertentu yang membatasi kebebasannya dalam melakukan

23

tindakan. Dengan berbagai interaksi konstitutif, mekanisme jaringan berpeluang

sebagai cara mengelola tindak bersama (collective action) dalam mengelola

sumber daya, sekaligus mengubah dan mengarahkan (to steer) beragam pola

dalam struktur jaringan (network structuring).

Struktur

B

A C E

D

Aktor-aktor Jaringan

Gambar 1.1: Pola relasi dualitas dalam jaringan dan munculnya relasi konstitutif antar aktor dalam jaringan9

Karena struktur dalam jaringan dibangun melalui interaksi yang bersifat

sukarela dari para pelaku yang otonom, maka struktur yang dibangun bersifat

open-ended process dan tak jarang bersifat fluktuatif. Stabil atau tidaknya struktur

dalam jaringan ditentukan oleg tingkat interdependensinya, yakni melalui

mekanisme pertukaran sumber daya yang relatif tetap dan tidak tergantikan oleh

mekanisme lain dalam struktur jejaring.10 Konsekuensinya, relasi yang terbangun

bersifat konstitutif. Perilaku dan pilihan strategi yang diambil para pelaku juga

9 Pratikno, 2008. Manajemen Jaringan dalam Perspektif Strukturasi, Jurnal Administrasi Kebijakan Publik, Volume 12 No 1, Mei 2008, Hal 4 10 Ibid, hal. 10

24

bisa dibentuk oleh adanya negosiasi yang terus menerus antar pelaku dalam

jaringan. Model relasi struktur dan agensi yang konstitutif ini dikenal sebagai

dualitas struktur dalam epistemologi strukturasi Giddens (1984) sebagaimana

terlihat dalam gambar dibawah:

LegitimasiDominasiSignifikasi

SanksiKekuasaanKomunikasi

Intepretasi NormaFasilitas

Gugus Struktur

Interaksi

Sarana

Menurut Giddens, setiap struktur besar memiliki 3 (tiga) gugus struktur

yang membangunnya (Giddens, 1984:29), yaitu:

Struktur signifikasi : terkait skema simbolik dan wacana

Struktur dominasi : mencakup skema penguasaan atas orang

(politik) dan barang (ekonomi)

Struktur legitimasi : terkait skema aturan normatif dalam tata

hukum atau aturan main

Bagan 1.2 : Logika strukturasi Giddens (1984)

25

Giddens melihat bahwa stabilitas dan fluktuasi struktur jaringan akan

ditentukan oleh keseimbangan relasi dalam tiga gugus tersebut. Terbentuk dan

berubahnya struktur jaringan terjadi lewat hubungan dualitas antara struktur

jaringan dan tindakan yang dilakukan oleh para pelaku jaringan. Kapasitas

melakukan steering akan menjadi kekuatan yang krusial dalam perspektif

strukturasi dalam manajemen jaringan. Dengan perspektif strukturasi, manajemen

jaringan bukan hanya menjadi metode untuk melakukan relasi, namun juga

memberi kekuatan arahan pada bagaimana kolektivitas aktor dalam jaringan

melakukan kapasitas transformatifnya (restructuring).

1. 5. 2. 2. Pola-pola Gerakan Sosial dalam Berjejaring ala Diani (2003)

Dalam melihat gerakan sosial sebagai sebuah jaringan, kita perlu

mengidentifikasi struktur dari jaringan gerakan sosial, lalu mengelaborasikan

model teoritis yang tepat untuk menjelaskan pola berjejaring tertentu dan atau

jabatan atau posisi aktor-aktor tertentu yang spesifik dalam gerakan sosial. Untuk

melakukan hal tersebut, kita perlu menggunakan kerangka berupa dua dimensi

utama dari jaringan: (1) pertentangan diantara struktur yang terdesentralisasi dan

struktur yang hierarkis, serta (2) struktur yang terbagi kedalam ruas-ruas dan

terbentuk menyerupai jala / jaring (Gerlach dan Hine, 1970). Adapun empat pola

berjaring yang didapat Diani (2003) melalui pengamatan empiris tersebut adalah:

1. Pola Movement Cliques

26

Gambar 1.2 : Pola jaringan bertipe Movement Cliques

Sebuah kelompok kecil ( a Clique ), adalah sebuah kelompok yang

terdesentralisasi, jaringannya berbentuk menyerupai jala, dimana setiap simpul

berdekatan satu sama lain. Seringkali dikaitkan dengan ikatan-ikatan yang terlalu

banyak dalam pola pergerakannya, yang dalam gilirannya memberi kesan bahwa

pola hubungan pertaliannya kuat, dan memiliki modal yang kuat untuk

membangun dan mempertahankan jaringan. Pola ini juga memperlihatkan adanya

hubungan keterkaitan dan kerjasama yan terjalin amat baik diantara simpul-simpul

dalam jejaring yang menghasilkan high reticulation dan null segmentation.

Kelompok ini juga termasuk jaringan yang terdesentralisasi dimana tidak ada

kesempatan pada setiap aktor untuk mengontrol pertukaran sumber daya antara

anggota jejaring.

2. Pola Policephalous Movement

27

Gambar 1. 3. Pola jaringan bertipe Policephalous Movement (Diani, 2003)

Pola ini memperlihatkan sebuah struktur yang tersentralisasi namun

terbagi dalam segmentasi. Dengan membandingkan dengan pola lainnya, pola

jaringan semacam ini tersegmentasi secara parsial, yang mengakibatkan jarak

antara beberapa aktor relatif jauh. Kehadiran dari hubungan horizontal antara

aktor semi-peripheral (bukan aktor utama) mengesankan upaya yang sungguh-

sungguh untuk melakukan aksi kolektif tanpa mendelegasikan tugas penting

kepada segelintir aktor sentral. Meskipun demikian, pola jejaring ini relatif

tersentralisasi, dimana beberapa aktor (A dan B) terhubung dengan lebih banyak

link daripada aktor lainnya dan berada dalam posisi terbaik untuk mengontrol flow

dalam jejaring tersebut.

3. Pola Wheel or Star Structure

28

Gambar 1. 4. Pola jaringan bertipe Wheel atau Star Structure (Diani, 2003)

Jejaring yang berbentuk seperti roda mengkombinasikan bentuk yang

sangat terpusat namun dengan segmentasi yang rendah. Dalam pola ini, sebuah

posisi sentral mengkoordinasi pertukaran sumberdaya dalam jaringan dan

bertindak sebagai linking point diantara komponen peripheral yang tidak secara

langsung berhubungan satu sama lain. Pemegang posisi tersebut seakan sungguh

berpengaruh dalam jaringan, terkait pengumpulan dan meredistribusi sumber

daya. Kurangnya pertukaran sumberdaya secara horizontal pada bagian peripheral

dan sedikitnya simpul yang dihasilkan mengesankan adanya low level of

investment dalam pembangunan jaringan yang bulat dan kuat. Salah satu

karakteristik menonjol dari pola ini adalah adanya sebuah pola instrumental dari

jejaring, dengan hampir semua aktor menginvestasikan sumberdaya yang sedikit

dalam proses pembentukan jejaring.

4. Pola Segmented, Decentralized Network

29

Gambar 1. 5. Pola jaringan bertipe Segmented and Decentralized Network (Diani, 2003)

Model ini merefleksikan gaya atomistic dalam jaringan. Sungguh sulit

untuk memahami keberadaan jaringan dalam kasus ini, karena masing-masing

aktor mengoperasikan dirinya sendiri maupun membangun kolaborasi kecil

diantara mereka dalam menanggapi isu-isu spesifik. Mereka tidak bisa atau

bahkan segan untuk membangun perluasan jaringan. Mereka memfokuskan diri

pada area yang spesifik dan terbatas, dan menolak upaya calon pemimpin jaringan

untuk mengkoordinasi aksi mereka menuju sasaran proyek yang lebih luas.

1. 5. 3. Strategi Mengelola Jaringan: Game Management dan Network

Structuring

Hal yang menjadi tantangan berikutnya bagi gerakan sosial adalah dalam

mengelola jejaring atau relasi antar aktornya yang bersifat otonom dalam rangka

mengelola kepentingan bersama11 , dan bagaimana cara agar para aktor dalam

11 Pratikno, 2008. Manajemen Jaringan dalam Perspektif Strukturasi, Jurnal Administrasi Kebijakan Publik, Volume 12 No 1, Mei 2008, Hal 4

30

jaringan melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam

rangka menjawab permasalahan tersebut, maka muncul teori manajemen jaringan

karena melihat terbentuknya relasi antar jaringan tersebut muncul karena adanya

suatu rasa ketergantungan. Ketergantungan ini muncul karena adanya kesadaran

pada masing-masing aktor bahwa pada dasarnya mereka tidak sepenuhnya

memiliki sumber daya yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan dan

mungkin saja sumber daya tersebut hanya dimiliki oleh aktor lain.

Manajemen jaringan merupakan salah satu dari bermacam bentuk

pengaturan dalam berjejaring yang berimplikasi positif dalam mempercepat suatu

penyelesaian masalah bersama atau bahkan dalam proses penyusunan kebijakan.

Adapun kegiatan dari manajemen jaringan sendiri terdiri dari12:

1. Adanya intervensi pada pola yang sudah ada atau restrukturisasi relasi

jaringan

2. Melanjutkan kondisi untuk bekerjasama : membangun konsensus

3. Penyelesaian masalah bersama.

Adapun dalam upaya memanajemen jaringan tersebut dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain adalah:

a. Jumlah aktor

Dalam hal ini, semakin banyak aktor yang terlibat dalam interaksi,

maka akan makin sulit untuk mencapai kesepakatan. Namun di sisi lain,

keterlibatan banyak aktor juga kadang menghasilkan kerjasama yang baik, 12 W.J.M Kickert dan J.F.M Koppenjan, Public Management and Network Management: An Overview, dalam Walter J.M Kickert, et., al., eds., Managing Complex Networks “Strategies for Public Sector”, Hal. 44

31

sehingga jumlah pelaku kadangkala tidak menjadi penentu. Dalam rangka

mencapai tujuan, kadangkala terjadi proses mengeluarkan para aktor yang

“tidak dibutuhkan” (aktivasi selektif) bahwa dalam suatu proses hanya

berusaha melibatkan orang-orang yang benar-benar dibutuhkan dalam

jaringan, namun hal tersebut tidak selalu berujung mulus, karena adanya

rasa saling ketergantungan diantara sesama aktor.

b. Keberagaman dalam jaringan

Keberagaman dalam jejaring bergantung pada bermacam sifat

aktor yang berperan didalamnya. Dalam hal ini, manajemen jaringan

berusaha melakukan pendekatan yang berbeda terhadap setiap aktor dalam

jejaring. Upaya mempengaruhi beragam aktor disesuaikan dengan tingkah

laku spesifiknya.

c. Sifat tertutup dari jaringan

Konsep ini berawal dari teori sistem yang berarti bahwa mereka

tidak menerima berbagai input dari lingkungannya, namun mereka

memproses input yang datang dari luar tersebut dengan caranya sendiri.

Manajemen jaringan berusaha memanfaatkan kapasitas sistem self

management sehingga sistem diatur dengan memperhatikan tekanan dan

sumber daya yang minimal. Manajemen jaringan kemudian melakukan

penyeimbangan antara tekanan sosial dan berbagai perbedaan kepentingan

yang mengakibatkan aktor-aktor dan sistem sosial mengakomodir diri

mereka sendiri.

d. Konflik kepentingan

32

Adanya aksi bersama pasti menimbulkan suatu kepentingan. Pada

kondisi dimana kepentingan muncul atau bahkan bertentangan, maka

konsensus tidak akan tercapai karena kurangnya alternatif dan adanya

konflik. Pernyataan tersebut adalah pandangan para strukturalis, dimana

kepentingan ditetapkan dan dilekatkan pada tujuan deviasi dari sumber

daya dalam jaringan. Konflik kepentingan-kepentingan diartikan oleh para

aktor itu sendiri, jadi manajemen jaringan sebaiknya difokuskan pada

pengaruh dari maksud kepentingan tersebut.

e. Biaya

Ada biaya yang dikeluarkan dalam upaya manajemen jaringan.

Dengan pengenalan dan penggunaan ‘the know-how’ dimana kelompok

beraktifitas, dengan persepsi permasalahan serta interaksinya, secara

singkat dengan kapasitas ‘self regulating’ jaringan, dimungkinkan dapat

meminimalisir biaya manajemen jaringan. Manajemen jaringan harus

diselaraskan sebisa mungkin dengan kapasitas pengaturan diri jaringan

tersebut.

f. Pengaruh kondisi sosial politik

Glasbergen menyatakan dalam konteks makro, lingkungan dapat

mempengaruhi fungsi jaringan atau bahkan mengancam keberadaan

jaringan. Faktor sosial dan politik mungkin mendukung atau mengganggu

proses interaksi dalam jaringan. Proses-proses yang terjadi dalam jaringan

dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan lingkungan jaringan.

Jaringan menjadi terbuka, aturan permainan dan persepsi menjadi berubah

33

dan kondisi dimana terjadi interaksi akan berubah drastis pula. Akibatnya

proses interaksi akan menjadi tidak seperti yang diharapkan atau terhenti.

Hal tersebut mungkin dapat dihindari bila solusi diselesaikan dengan baik

melalui proses-proses yang baik dalam penyusunan suatu keputusan

bersama, dan akan diterima oleh lingkungan sosial politik yang lebih luas.

g. Komitmen dan kekuatan kepemimpinan

Kapasitas aktor yang menunjukkan kepemimpinannya dalam

berinteraksi menentukan sukses atau tidaknya manajemen jaringan. Jadi

dalam manajemen jaringan, untuk menunjukkan kualitas kepemimpinan,

dibuktikan dengan terbentuknya konsensus dalam interaksi dan adanya

dukungan ide dalam organisasi. Dengan kata lain, kesuksesan manajemen

jaringan sangat bergantung pada kualitas kekuatan kepemimpinan dan

kekuatan komitmen yang dilakukan oleh perwakilan dari organisasi

terkait.

Ada 2 (dua) tipe dalam manajemen jaringan yaitu Game Management

(fokus pada relasi antar aktor) dan Network Structuring (fokus pada upaya

mengubah struktur jaringan yang ada) 13 . Lebih jelasnya bahwa Game

Management ini bertujuan untuk menyatukan persepsi antar aktor yang otonom,

sehingga dapat menyelesaikan permasalahan. Dalam prakteknya, Game

Management terbagi atas 5 (lima) aktifitas antara lain14

13 Pratikno, 2008. Manajemen Jaringan dalam Perspektif Strukturasi, Jurnal Administrasi Kebijakan Publik, Volume 12 No 1. Mei 2008, Hal 9 14 Edwar Juliartha. 2009. Manajemen Jaringan, Jurnal Ilmu Sosial Universitas Islam Riau, Edisi April, 2009, Hal 6.

34

a. Network Activation : suatu upaya pengaktifan jaringan yang

dilakukan untuk mengaktifkan interaksi para aktor agar bekerja sama,

sehingga akan terjadi penjaringan potensi secara selektif, sesuai kebutuhan

yang akan dicapai.

Network activation termasuk memicu proses interaksi untuk

penyelesaian masalah khusus atau untuk mencapai tujuan. Dalam konteks

ini, Scharpf menyebutkan tentang ‘Aktifasi Selektif’ yang mengkaitkan

identifikasi dan aktifasi kebutuhan kelompok untuk menyelesaikan

masalah atau tugas khusus. Menurut Frend, konteks ini difokuskan pada:

1. Aktifasi aktor yang terlibat dalam jaringan, dikaitkan dengan

penelusuran isu untuk pengambilan keputusan.

2. Jumlah dan sifat informasi yamg diperlukan15.

b. Arranging Interaction : suatu upaya yang dilakukan para aktor

untuk mengatur diri mereka sendiri dalam berinteraksi dalam jaringan.

Aktor menyusun strategi kerja sama untuk meminimalisir sikap

oportunistik partisipan dengan menggalang interaksi, yaitu membuat

kesepakatan dan menyusun suatu aturan sehingga partisipan memahami

tujuan, peraturan, dan prosedurnya. Elemen penting dari Arranging

Interaction adalah menyiapkan mekanisme regulasi konflik yang

menentukan seberapa jauh tindakan harus diambil dan bagaimana caranya

agar berpedaan pendapat dapat disatukan16.

15 W.J.M Kickert dan J.F.M Koppenjan, Public Management and Network Management: An Overview, dalam Walter J.M Kickert, et. al., eds,, Managing Complex Networks “Strategies for Public Sector”, Hal. 47 16 Ibid. Hal 48

35

c. Brokerage : Upaya penyatuan ide – ide dari para aktor yang

berinteraksi yang dilakukan oleh seorang perantara. Hal ini biasa

dilakukan meskipun belum ada solusi penyatuan ide – ide antar aktor,

namun tujuannya sudah sama.

Brokerage merupakan perpaduan antara masalah solusi dan para

aktor. Manajemen jaringan adalah pemandu mediasi yang berperan

sebagai perantara atau peran pengganti. Peran penting seorang broker

adalah mengatasi dan memanfaatkan keberagaman ide, pandangan dan

solusi dalam jaringan yang tidak dapat diselesaikan oleh para aktor.

Dengan menciptakan keberagaman tersebut, akan mudah bagi para broker

untuk mencari solusi yang dapat diterima oleh semua aktor. Pada waktu

yang bersamaan aktivitas broker mempunyai kontribusi yang signifikan

dalam penyelesaian konflik dengan menerapkan koalisi masalah yang

membuat konflik17.

d. Facilitating Interaction : suatu upaya untuk terus menciptakan

kondisi yang mendukung jalannya interaksi, dimana fasilitator

memberikan pengawasan dalam berinteraksi agar tercipta konsensus antar

aktor.

Secara umum, manajemen jaringan berperan menciptakan kondisi

yang mendukung strategi membangun konsensus di dalam proses

interaksi. Manager jaringan berperan sebagai fasilitator / manager proses.

Fasilitasi meliputi banyak aktifitas untuk meningkatkan pemahaman isu

17 Ibid. Hal 48

36

yang dilontarkan, keberagaman ide, kemampuan untuk mengapresiasi

pandangan setiap partisipan dan dedikasinya untuk bergabung dalam

proses penyelesaian masalah18.

e. Mediation : upaya menjembatani sebuah konflik dalam jaringan

karena ego dari aktor, karena masing – masing persepsi tidak dapat

dipecahkan/ disatukan.

Mediasi dan Arbitrasi harus dibedakan dari fasilitasi karena

keduanya dilakukan pada saat terjadi konflik dan proses interaksi

berlangsung emosional atau tegang. Mediasi diterapkan dalam kelompok

tetapi tidak terlibat dalam konflik dan tidak berhubungan dengan

kelompok–kelompok lain yang berseteru dengan kelompok yang

bersangkutan. Jadi, selama proses, mediator harus independen. Mediasi

dapat terjadi secara spontan, namun sebagai alternatifnya seorang aktor

dapat ditunjuk sebagai mediator dalam kelompok19.

Selanjutnya, Network Structuring, strategi ini tidak sama dengan Game

Management yang cenderung mengamati interaksi antar actor. Network

Structuring cenderung mengamati ruang lingkup interaksi antar aktor yaitu

struktur tatanan jaringan, dimana suatu ruang beserta tata aturannya mencoba

mempengaruhi aktor–aktor di dalam jaringan untuk bekerja sama. Dalam

prakteknya, kegiatan Network Structuring 20 antara lain dperlihatkan dengan:

18 Ibid. Hal 49 19 Ibid. Hal 50 20 Edwar Juliartha, “Manajemen Jaringan”, Jurnal Ilmu Sosial Universitas Islam Riau, April, 2009, Hal 7.

37

a. Influencing Formal Policy: upaya mempengaruhi kebijakan formal

dalam jejaring.

b. Influencing Interrelationship: Upaya yang dilakukan untuk

mempengaruhi pola interaksi sehingga membentuk suatu pola baru

untuk mencapai efisiensi.

c. Influencing Value, Norm, and Perception: upaya mempengaruhi nilai,

norma dan persepsi dari lembaga.

d. Mobilisasi Koalisi: membentuk suatu koalisi lembaga baru untuk

mendapatkan kekuatan baru.

e. Management of Chaos : pergantian pemimpin yang lama dengan

pemimpin yang baru dalam sebuah interaksi jaringan. Hal ini untuk

mendukung adanya sinergisitas dalam berinteraksi.

Ada 3 (tiga) hal yang menjadi inti dari network structuring yaitu

reframing, repotition, dan reconstitution. Reframing adalah upaya untuk

mempengaruhi persepsi aktor dalam struktur, tindakan tersebut dilakukan karena

ketika satu individu berbeda persepsi maka, lembaga tersebut tidak akan berjalan.

Reframing ini dilakukan karena individu–individu sudah terikat dalam lembaga.

Repotition, yaitu merubah pemimpin lembaga lama ke yang baru. Reconstitution

yaitu upaya merubah tata aturan interaksi dalam lembaga21. Melalui mekanisme

manajemen jaringan ini, hubungan horizontal antara pemerintah dan masyarakat

dalam menentukan arah kehidupan negara agar lebih terkoordinasi dan lebih bisa

mencapai tujuan.

21 Ibid. hal 8

38

1. 6. Metode Penelitian

1. 6. 1. Bentuk Penelitian

Berdasarkan jenisnya, penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang

menggunakan metode etnografi. Pemilihan etnografi disini karena peneliti ingin

mencoba menjelaskan dan mengintepretasikan suatu kebudayaan, yaitu kelompok

sosial Gusdurian yang eksis di masyarakat. Peneliti menguji kelompok (gerakan)

Gusdurian dan mencoba mempelajari karakteristik, pola membentuk jaringan, dan

cara memelihara jejaring dalam gerakan yang tercermin dalam keseharian yang

ada di kelompok tersebut. Penulis memilih etnografi sebagai metode penelitian,

karena:

Hasil penelitian lebih sistematis, karena dalam wawancara etnografi,

etnografer selalu mengarahkan informannya agar tetap pada tujuan awal

wawancara.

Sumber didapat dari sumber primer (diperoleh dari pelaku).

Penelitian dilakukan secara alami, berdasar pada kegiatan sehari–hari

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba meleburkan diri pada keseharian

dan pergerakan komunitas Gusdurian, dan mencoba menggali data dan informasi

secara mendalam atau menyeluruh mengenai fenomena yang ada pada komunitas

tersebut. Dalam observasi yang dilakukan, peneliti mencoba mempelajari arti dari

tingkah laku, bahasa, dan interaksi kebudayaan yang terjadi dalam kelompok

Gusdurian. Peneliti mendapatkan informasi dengan cara mengamati suatu

fenomena yang terjadi dalam Gusdurian dengan ikut serta berinteraksi dalam

39

situasi yang sebenarnya, dan berusaha memberikan penilaian terhadap pola

penyebaran yang terjadi, baik itu berupa keseharian dalam kehidupan sehari-hari,

peristiwa yang terjadi, dan topik-topik atau fenomena yang berhubungan dengan

karakteristik serta strategi pengelolaan jejaring dalam gerakan yang menjadi topik

penelitian.

1. 6. 2. Teknik Pengumpulan Data

Sebelum melakukan penelitian dengan fokus kajian ini, peneliti telah

mengikuti beragam aktivitas yang dilakukan oleh gerakan Gusdurian sejak medio

2012. Berawal dari kekaguman terhadap gagasan Gus Dur, penulis coba masuk,

mengikuti dan berperan aktif dalam gerakan Gusdurian sehingga secara langsung

atau tidak, penulis sudah mengikuti keseharian, mengantongi nama-nama

responden utama dan memiliki kontak serta link dari para narasumber utama dari

penelitian ini.

Setelah rencana penelitian ini disetujui, peneliti langsung melakukan gerak

cepat dengan terjun untuk melakukan penelitian pendahuluan dengan

mewawancarai beberapa subjek penelitian dan informan. Dengan tujuan, dalam

penelitian ini, peneliti mendapatkan bekal awal untuk mengetahui siapa saja

informan kunci, dan subjek penelitian yang nantinya dapat dihubungi dan

diwawancarai lebih lanjut. Kehadiran peneliti dalam gerakan Gusdurian disini

dapat dilihat dari langkah peneliti mengikuti beragam aktivitas pergerakan, serta

mewawancari key informan untuk mencari informasi terkait gerakan Gusdurian.

40

Pada awal penerjunan, peneliti sempat menemui Ahmad Jay, seorang

pengurus harian gerakan Gusdurian sekaligus menjabat sebagai koordinator

bagian Program Development gerakan Gusdurian yang saat ditemui oleh penulis

pada pertengahan bulan April 2014 menyatakan bahwa ada beberapa informan

kunci yang dapat ditemui guna mengetahui seluk-beluk tentang gerakan tersebut,

antara lain Alissa Wahid (putri pertama Gus Dur, sekaligus sebagai koordinator

utama gerakan Gusdurian), Sdri. Ita Khoiriyah (Tata Khoiriyah / staff bidang

komunikasi dan informasi gerakan Gusdurian) dan Sdri. Wahyuni Widyaningsih

(bagian Program Development gerakan Gusdurian). Dalam pertemuan tersebut,

peneliti juga mencoba meminta izin dan membuat rencana jadwal kegiatan

penelitian sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dengan informan, serta

menyiapkan segala peralatan yang diperlukan seperti alat perekam, kamera, buku

catatan.

Berikutnya, penulis terjun ke lapangan, mengikuti seluruh kegiatan

gerakan Gusdurian (bahkan mengikuti beragam acara yang dihadiri oleh

penggerak Gusdurian diluar event jaringan Gusdurian) untuk mencari data-data

pokok. Kemudian peneliti memilah data-data yang diperoleh dari berbagai

narasumber maupun data kepustakaan baik itu berupa data primer maupun data

sekunder yang sekiranya sesuai untuk menguatkan argumen penulis sebelumnya

yang mampu menjelaskan cara berjejaring gerakan sosial ini. Penggalian data

melalui situs internet dan sosial media juga menjadi salah satu tumpuan penulis

untuk mendapatkan data sekunder, khususnya terkait pergerakan komunitas lain

yang tersebar diseluruh nusantara, bahkan luar negeri.

41

Dalam penelitian ini, peneliti melebur dan mencoba masuk dalam

keseharian gerakan Gusdurian, dan melihat aktivitasnya sampai pada lingkup

yang paling rinci. Peneliti memilih untuk terlibat aktif dan menjadi volunteer

dalam setiap aksi yang dilakukan oleh Komunitas Gusdurian Yogyakarta.

Pemilihan komunitas Gusdurian Yogyakarta tentu bukan tanpa arti, karena dalam

Gusdurian Yogyakarta juga bernaung sebagian besar anggota Sekretariat Nasional

Gerakan Gusdurian yang menjadi titik pusat dalam gerakan berbasis jaringan ini.

Keterlibatan aktif penulis juga bisa membawa penulis kedalam berbagai forum

penting Sekretariat Nasional yang digelar di Jogja.

Dalam setiap kesempatan, peneliti berusaha untuk mengumpulkan

artefak, bukti fisik dan lain sebagainya sebagai bukti dan rekaman akan aktivitas

yang ada dalam kelompok tersebut. Selain itu, peneliti juga melakukan kerja

lapangan seperti melakukan observasi, wawancara, dan cara lain dalam

pengembangan deskripsi aturan budaya dalam kelompok guna menentukan pola

hubungan sosial antar anggota kelompok yang mengatur pola perilaku individu

dalam kelompok tersebut.

Dalam pelaksanannya, peneliti melakukan langkah-langkah pengumpulan

data dan analisis data sebagai berikut (Spradley, 1997) :

1. Menetapkan informan

Dalam menetapkan informan, peneliti mencoba untuk mengetahui

budaya miliknya dengan baik, karena hal itu akan menjadi fokus dalam

pertanyaan, keterlibatan langsung, suasana budaya yang tidak dikenal,

biasanya akan semakin menerima tindak budaya sebagaimana adanya, dia

42

tidak akan basa-basi, memiliki waktu yang cukup, dan bersifat non-

analitis.

2. Melakukan wawancara

Pada saat wawancara, peneliti berusaha untuk menginformasikan

tujuan, penjelasan etnografis, dan penjelasan pertanyaan.

3. Membuat catatan etnografis.

Catatan berupa laporan ringkas, berupa sebuah laporan yang

diperluas, jurnal lapangan, dan perlu diberikan analisis atau interpretasi.

4. Mengajukan pertanyaan deskriptif

5. Melakukan analisis wawancara etnografis.

Analisis dikaitkan dengan simbol dan makna yang disampaikan

informan. Tugas peneliti adalah memberi sandi simbol-simbol budaya

serta mengidentifikasikan aturan-aturan penyandian dan mendasar.

6. Membuat analisis domain.

Peneliti membuat istilah pencakup dari apa yang dinyatakan

informan. Istilah tersebut seharusnya memiliki hubungan semantis yang

jelas.

7. Mengajukan pertanyaan struktural.

Pertanyaan yang diajukan adalah untuk melengkapi pertanyaan

deskriptif.

8. Mengajukan pertanyaan kontras.

Peneliti mengajukan pertanyaan yang kontras untuk mencari

makna yang berbeda.

43

9. Membuat analisis komponen.

Analisis ini penulis dilakukan ketika dan setelah di lapangan, untuk

menghindari manakala ada hal-hal yang masih perlu ditambah, segera

dilakukan wawancara ulang kepada informan.

10. Menemukan tema-tema budaya.

Penentuan tema budaya ini boleh dikatakan merupakan puncak

analisis etnografi. Keberhasilan seorang peneliti dalam menciptakan tema

budaya, berarti keberhasilan dalam penelitian.

11. Menulis etnografi.

Penulis menuliskan laporan etnografi secara deskriptif, dengan

bahasa yang cair dan lancar dengan mengusahakan agar benar-benar dapat

menggambarkan kasus yang dipilih dalam benak setiap pembaca.