Geografi Politik

132
Geografi Politik (1) Definisi Geografi Politik * Konsepsi Geografi Politik Mendefinisikan Geografi Politik dan ruang lingkupnya merupakan tugas yang sulit, sebab sasaran dan tujuannya berubah seiring dengan sifat Geografi Politik yang berubah sebagai suatu disiplin. Tetapi Geografi Politik yang muncul selalu saja lebih dari sekedar aspek politik dari kajian- kajian geografis kontenporer. Ada suatu jalinan umum dalam semua Geografi Politik yang didasarkan atas perhatian terhadap negara-negara sebagai entitas teritorial. Hasilnya adalah analisis-analisis kekuasaan dengan ruang yang terfokus, yang terpusat pada negara. Penafsiran dan analisis Geografi Politik dapat dimulai dari pengkajian yang berpangkal pada aktivitas politik manusia. Politik berasal dari bahasa Yunani “Polis” berarti kota yang berstatus negara. Segala aktivitas polis untuk kelestarianya disebut Politica. Politik pada hakekatnya “The art and science of government”. Pada karya Il Principle yang diterbitkan tahun 1513, Machiavelli dalam Haryomataram (1972), mengemukakan “Politic Is Power”. Politik adalah daya upaya memperoleh kekuasaan, penggunaan atau menghambat penggunaannya.Politik dilakukan dalam rangka menjamin kehidupan negara, dimana kekuasaan (political power) berpusat pada pemerintahan negara yang bersangkutan. Oleh karena iu, maka perjuangan politik pasa akhirnya ditujukan untuk 1

Transcript of Geografi Politik

Geografi Politik (1)Definisi Geografi Politik* Konsepsi Geografi PolitikMendefinisikan Geografi Politik dan ruang lingkupnya merupakan tugas yang sulit, sebab sasaran dan tujuannya berubah seiring dengan sifat Geografi Politik yang berubah sebagai suatu disiplin. Tetapi Geografi Politik yang muncul selalu saja lebih dari sekedar aspek politik dari kajian-kajian geografis kontenporer. Ada suatu jalinan umum dalam semua Geografi Politik yang didasarkan atas perhatian terhadap negara-negara sebagai entitas teritorial. Hasilnya adalah analisis-analisis kekuasaan dengan ruang yang terfokus, yang terpusat pada negara.Penafsiran dan analisis Geografi Politik dapat dimulai dari pengkajian yang berpangkal pada aktivitas politik manusia. Politik berasal dari bahasa Yunani Polis berarti kota yang berstatus negara. Segala aktivitas polis untuk kelestarianya disebut Politica. Politik pada hakekatnya The art and science of government. Pada karya Il Principle yang diterbitkan tahun 1513, Machiavelli dalam Haryomataram (1972), mengemukakan Politic Is Power. Politik adalah daya upaya memperoleh kekuasaan, penggunaan atau menghambat penggunaannya.Politik dilakukan dalam rangka menjamin kehidupan negara, dimana kekuasaan (political power) berpusat pada pemerintahan negara yang bersangkutan. Oleh karena iu, maka perjuangan politik pasa akhirnya ditujukan untuk menguasai pemerintahannya. Jika politik diartikan sebagai pendistribusian kekuasaan (power) serta kewenangan (rights) dan tanggung jawab (responsibilities) dalam kerangka mencapai tujuan politik (nasional), maka Geografi Politik berupaya mencari hubungan antara konstelasi geografi dengan pendistribusian tersebut diatas. Hal ini disebabkan karena bagaimanapun juga pendistribusian itu harus ditebarkan pada hamparan geografi yang memiliki ciri-ciri ataupun watak yang tidak homogen diseluruh wilayah negara. Inilah cirinya yang ditengarai sebagai sebab mengapa efek dan efektivitas pendistribusian itu terhadap masyarakat juga tidaklah homogen sifatnya, yang disebabkan oleh dampak dan intensitas pendistribusian yang bervariasi diseluruh wilayah negara.* Konsepsi GeopolitikIstilah Geopolitik pertama kali digunakan oleh Rudolf Kjllen, seorang ahli politik dari Swedia pada tahun 1899-1905. sebagai cabang dari Geografi Politik, Geopolitik fokus pada perkembangan dan kebutuhan akan ruang bagi suatu negara. Geopolitik mengkombinasikan teorinya Friedrich Ratzels tentang perkembangan alami sebuah negara dengan Heartland Theory (teori kawasan inti) dari Sir Halford J. Mackinders untuk membenarkan praktek-praktek yang bersifat ekspansionis dari beberapa negara.Geopolitik merupakan pengembangan dari Geografi Politik, dimana negara dipandang sebagai satu organisasi hidup yang berevolusi secara spatial dalam kerangka memenuhi kebutuhan masyarakat bangsanya atau tuntutan kebutuhan akan Lebensraum. Lebensraum (ruang hidup) yang secara eksplisit dikaitkan dengan perkembangan budaya bangsa teritorial dengan perluasan, dan yang kemudian digunakan memberikan legalisasi akademik untuk ekspansi imperialis dari negara Jerman di tahun 1930-an. Ditangan para pemikir Jerman saat itu, khususnya Haushofer, Geopolitik berkembang dengan pesat sebagai satu cabang ilmu pengetahuan dimana kekuasaan (politik) dan ruang (raum) merupakan anasir sentralnya. Sehingga kemudian Haushofer menamakan Geopolitik sebagai satu science of the state yang mencakup bidang-bidang politik, geografi (ruang), ekonomi, sosiologi, antropologi, sejarah dan hukum dan pertama kali diuraikan dalam bukunya yang terkenal Macht und Erde (kekuasaan/ power dan dunia).* Geostrategi Geostrategi merupakan strategi dalam memanfaatkan kondisi geografi negara untuk menentukan tujuan dan kebijakan. Geostrategi merupakan pemanfaatan lingkungan untuk mencapai tujuan politik. Geostrategi juga merupakan metode mewujudkan cita-cita proklamasi.Geostrategi juga untuk mewujudkan, mempertahankan integrasi bangsa dalam masyarakat majemuk dan heterogin. * Penjelasan Istilah 1. Geostrategi: suatu strategi dalam memanfaatkan kondisi lingkungan untuk mewujudkan cita-cita proklamasi dan tujuan nasional; 2. Sistem kehidupan nasional adalah himpunan berbagai kelembagaan hidup bangsa sebagai sistem (ipoleksosbudhankam) sebagai subsistem yang dilengkapi dengan norma, nilai dan aturan; 3. Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa berisi keuletan, ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi ancaman baik datang dari luar maupun dari dalam. 4. Cita-cita nasional kondisi yang lebih cerah dimasa depan sesuai dengan keinginan luhur yang terkandung dalam falsafah bangsa. 5. Kepentingan nasional dari aspek keamanan dan kesejahteraan Kepentingan nasional adalah kepentingan bangsa dan negara untuk mewujudkan stabilitas nasional bidang politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Pembangunan nasional adalah semua kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh negara atau pemerintah yang bertujuan untuk mengadakan pembangunan fisik, sikap mental dan modernisasi pemikiran bagi seluruh bangsa dan rakyat Indonesia.1. Keamanan adalah suatu kondisi yang dirasakan oleh masyarakat, mengenai ketenteraman, ketertiban, keselamatan dan kemampu-an untuk mengadakan pertahanan. 2. Kesejahteraan adalah suatu kondisi yang didapat oleh masyarakat dimana terdapat rasa kecukupan, kecerdasan, kesehatan, ketaqwaan dan kemudahan untuk mendapatkan fasilitas pelayanan.* Konsepsi Ruang dalam Geografi PolitikRuang merupakan inti dari Geografi Politik, sebab menurut Haushofer dan pengikutnya ruang merupakan wadah dinamika politik dan militer. Dengan demikian sesungguhnya Geopolitik merupakan cabang ilmu pengetahuannya yang mengaitkan. ruang dengan kekuatan fisik dan manusia, dimana pada kenyataannya kekuatan politik selalu menginginkan penguasaan ruang dalam arti ruang pengaruh, atau sebaliknya, penguasaaan ruang secara de facto dan de jure merupakan legitimasi dari kekuasaan politik. Penguasaan ruang atau ruang pengaruh demikian itu pada intinya sesungguhnya merupakan satu fenomena spatial dari ruang itu sendiri. Jika ruang pengaruh diperluas maka akan ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. dan kerugian akan menjadi lebih besar lagi apabila hal itu dicapai melalui perang. Sumbangan Marxis menafsirkan politik negara dalam hal aliansi-aliansi kelas berbasis pada ruang. Dari perspektif yang lebih kultural bangsa-bangsa dan nasionalisme telah dikaji dalam hal keterkaitan khusus kepada tampat. Tambahan pula sistem dunia Geografi Politik telah dibangun dimana negara-negara dan bangsa-bangsa dilihat sebagai bagian dari perkembangan sosial dan ruang sistem dunia modern.* Makna Penting Batas Bagi NegaraBatas digunakan untuk menentukan kepemilikan publik atau swasta dengan menentukan lokasi yang tepat di permukaan bumi yang terbedakan dari yang lain. Batas juga digunakan untuk menandai fungsional dan berhubungan dengan hukum batasan politik suatu negara. Pengaturan batas merupakan karakteristik dari era sejarah modern yang terpusat pada negara-negara yang muncul baik diperlukan perlindungan terhadap serangan dan eksistensi kedaulatan negara. Garis batas yang ditetapkan oleh negara atau daerah, untuk menetapkan tata ruang yang luas. Hal ini dapat berkontribusi untuk identitas nasional dan rasa memiliki mengetahui satu dari tempat. Secara historis, benda alam seperti sungai dan gunung melayani keperluan ini. Dalam kaitan dengan konsep ruang, batas wilayah kedaulatan negara (boundary) amatlah penting di dalam dinamika hubungan antara negara/ antarbangsa, karena batas antar negara atau delimitasi sering menjadi penyebab konflik terbuka. Sungguhpun demikian penentuan delimitasi telah diatur dalam berbagai konvensi internasional, akan tetapi latar belakang sejarah setiap bangsa/ negara dapat memberikan nuansa politik tertentu yang mengakibatkan penyimpangan dalam menarik garis boundary tadi, dan akhirnya bertabrakan dengan negara lain. Kasus konflik teritorial diantara negara-negara berkembang adalah contoh yang amat sangat nyata, sebab boundary yang ditetapkan oleh penguasa kolonial tidaklah sejalan dengan sejarah bangsa dan dengan aspirasi politik dari bangsa yang telah menjadi merdeka. Perbatasan menggambarkan batasan-batasan sebagai satu kesatuan politis atau yurisdiksi sah tentang undang-undang atau aturan dari pemerintah suatu negara atau sub-national negara yang mengatur masalah administratif wilayah. Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan international. Dalam konstitusi suatu negara sering dicantumkan pula penentuan batas wilayah. Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional.* Pengaruh Letak Bagi Negara1. Letak dalam makna Accesibility Accesibility atau asesibilitas artinya keterjangkuan (mudah-sukarnya dicapai). Sebaliknya ada negara yang lokasinya di pinggiran seperti negara Singapura dan Malaysia misalnya makna lokasi sentral dan periferis jelas menentukan perkembangan negara yang bersangkutan. Itu Sebabnya berhubungan dengan penduduk, transportasi, ekonominya dan sebagainya.Letak sentral tak perlu berarti terjepit yang serba melemahkan, sebaliknya letak periferis belum tentu serba menguntungkan. Contohnya di Eropa Barat, letak Jerman itu akan sentral, tetapi justru akhirnya menakutkan karena dari abad ke abad justru menguatkan dirinya dengan berbagai cara. Kini letak sentralnya yang membahayakan tetangga-tetangganya itu sudah dapat dikendalikan.2. Letak StrategisStrategis mula-mula berarti menguntungkan bagi peperangan, tetapi kini selain makna politis dan militer juga dapat ekonomis. Contohnya letak selat Giblatar, teluk Dadonella dan Basporus, Pulau Malta dan terusan Suez. Semuanya strategis dalam hubungannya dengan laut Tengah yang seringkali merupakan ajang permainan politik negara-negara setempat dan para adikuasa. Contoh lain kawasan yang letaknya strategis adalah kawasan laut Cina Selatan. Kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur lintas laut perdagangan internasional), sehingga menjadikan kawasan itu mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerjasama.3. Perubahan Nilai Letak Meskipun lokasi sesuatu tempat di permukaan bumi itu adalah tetap akan tetapi nilai politisnya serta implikasi lokatifnya dapat berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman.Para geograf yang mempelajari masalah-masalah negara harus selalu memperhitungkan hal-hal yang dapat mengubah nilai lokasi:a. Akibat kemajuan teknologi transportasi sehingga jarak spasial dapat dikecilkan secara mengagumkan, segala yang berjauhan dapat didekatkan dengan akibat yang positif maupun negatif.b. Pola persebaran pusat-pusat milter. Poilitik secara global (internasional) dapat bergeser atau berganti.* Pengaruh Iklim Terhadap NegaraDeterminisme iklim memegang pandangan bahwa lingkungan fisik menentukan kondisi sosial-budayanya. Orang-orang yang meyakini pandangan ini mengatakan bahwa manusia secara ketat ditentukan oleh stimulus-respon (lingkungan iklim-perilaku) dan tidak menyimpang.Kehidupan manusia bertalian erat dengan iklim. Iklim menentukan jenis pangan yang diusahakan melalui pertanian setempat, iklim juga mempengaruhi gaya hidup manusia. Vitalitas manusia yang mendorong pencapaiannya secara kultural juga memiliki latar belakang iklim tertentu. Kekuasaan politik ternyata juga berkaitan dengan iklim wilayah yang menguntungkan. Tentang iklim ini kemudian diperjelas dengan pendapat E. Huntington yang terkenal dengan aliran determinisme geografis, dalam bukunya Civilization and Climate (1915) yang menyebutkan bahwa semua kebudayaan bangsa yang pernah muncul dalam sejarah atau yang dapat dianggap maju ekonominya, terletak di daerah-daerah yang mempunyai iklim sedang. Elsworth Huntington memaknai iklim makna secara luas, mempengaruhi kehidupan manusia melalui tiga cara: (a) membatasi gerakan manusia; (b) menjadi faktor utama dalam mengontrol wujud dan jenis-jenis kebutuhan materiil manusia, yakni pangan, sandang dan papan; (c) secara langsung berpengaruh atas kesehatan dan energi manusia.

Geografi Politik (2)Teori Geopolitik* Teori KekuasaanWawasan nasional dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang dianut oleh negara yang bersangkutan.1. Paham-paham Kekuasaana. Machiavelli (abad XVII)Sebuah negara itu akan bertahan apabila menerapkan dalil-dalil:1. Dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan segala cara dihalalkan2. Untuk menjaga kekuasaan rezim, politik adu domba (devide et empera) adalah sah.3. Dalam dunia politik, yang kuat pasti dapat bertahan dan menang.b. Napoleon Bonaparte (abad XVIII) Perang dimasa depan merupakan perang total, yaitu perang yang mengerahkan segala daya upaya dan kekuatan nasional. Napoleon berpendapat kekuatan politik harus didampingi dengan kekuatan logistik dan ekonomi, yang didukung oleh sosial budaya berupa ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa untuk membentuk kekuatan pertahanan keamanan dalam menduduki dan menjajah negara lain.c. Jendral Clausewitz (abad XVIII)Jendral Clausewitz sempat diusir pasukan Napoleon hingga sampai Rusia dan akhirnya dia bergabung dengan tentara kekaisaran Rusia. Dia menulis sebuah buku tentang perang yang berjudul Vom Kriegen (tentang perang). Menurut dia perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain. Buat dia perang sah-sah saja untuk mencapai tujuan nasional suatu bangsa.d. Fuerback dan HegelUkuran keberhasilan ekonomi suatu negara adalah seberapa besar surplus ekonominya, terutama diukur dengan seberapa banyak emas yang dimiliki oleh negara itu.e. Lenin (abad XIX)Perang adalah kelanjutan politik dengan cara kekerasan. Perang bahkan pertumpahan darah/ revolusi di negara lain di seluruh dunia adalah sah, yaitu dalam rangka mengkomuniskan bangsa di dunia.f. Lucian W. Pye dan SidneyKemantapan suatu sistem politik hanya dapat dicapai apabila berakar pada kebudayaan politik bangsa yang bersangkutan. Kebudayaan politik akan menjadi pandangan baku dalam melihat kesejarahan sebagai satu kesatuan budaya.Dalam memproyeksikan eksistensi kebudayaan politik tidak semata-mata ditentukan oleh kondisi-kondisi obyektif tetapi juga harus menghayati kondisi subyektif psikologis sehingga dapat menempatkan kesadaran dalam kepribadian bangsa.2. Teori Geopolitik (Ilmu Bumi Politik)Sebagaimana telah disisipkan dalam mata kuliah pengantar hubungan internasional, mahasiswa HI semestinya sudah menyadari bahwa disiplin hubungan internasional mendapat perhatian besar dari para pemikir utamanya sejak berakhirnya Perang Dunia II (1918-1945). Selain itu, hubungan internasional juga memperoleh sumbangan pemikiran utamanya realis pasca Perang Dingin (1991). Selama empat dekade tersebut, geopolitik dan geostrategi menjadi salah satu strategi digunakan oleh para analisis untuk mengukur kemampuan suatu negara dalam analisis tingkat negara (state level analysis dan macro level analysis) melalui atribut nasional suatu negara, yakni geografi. Kondisi fisik geografi juga menjadi faktor untuk menyusun kebijakan suatu negara dan bagaimana faktor-faktor geografi tersebut mempengaruhi hubungan antarnegara dan struggle for world domination. Geografi juga terkait dengan kandungan sumber daya alam suatu negara (Hudson, 2007).Akan tetapi pasca Perang Dingin dengan segala fenomena krusial yang mengikutinya seperti globalisasi, seolah mengaburkan konsep geopolitik dan geostrategi. Apakah benar demikian? Beberapa sarjana hubungan internasional menggambarkan bagaimana seakan-akan fenomena berakhirnya Perang Dingin dan globalisasi menjadi konsep yang mulai ditinggalkan. Salah satu sarjana yang mengilustrasikannya adalah Gearid Tuathail (seorang professor geografi Virginia Tech) dan Simon Dalby (Profesor Geografi Universitas Carleton, Kanada) (1998). Dalam bukunya berjudul Geopolitics and Rethinking, Gearid Tuathail menggunakan istilah geopolitik Perang Dingin (Cold War geopolitics) untuk membedakannya dengan geopolitik pasca Perang Dingin.Mengapa demikian? Gearid Tuathail menjelaskan bahwa konsep geopolitik saat itu telah mengalami pergeseran pusat kajian geopolitik. Gearid Tuathail tidak menyangkal bahwa seiring dengan berakhirnya Perang Dingin maka berakhir pula ide geopolitik yang melingkupinya kala itu. Misalnya, ide geopolitik Perang Dingin mengijinkan seorang ahli strategi mendapatkan wacana ilmiah guna mendukung karir birokrasinya selama kompleksitas dihasilkan oleh Perang Dingin, utamanya dalam bidang akademik dan industri militer yang saat itu sedang sangat populer. Konsep geopolitik di saat juga mencitrakan potensi ancaman dari pihak yang berseteru. Geopolitik Perang Dingin terbukti mampu menghadirkan ideologi politik pervasif yang powerful yang bertahan selama empat puluh tahun.Kelahiran konsep geopolitik berasal dari berbagai pemikiran oleh serangkaian sarjana geografi dan hubungan internasional, selama dekade terakhir mereka menginvestigasi geopolitik sebagai suatu fenomena budaya, politik, dan sosial daripada suatu manisfetasi world politics ( Tuathail and Dalby, 1998). Akan tetapi, Parker (1985) melengkapi bahwa geopolitik lebih dari sekedar fenomena kultural seperti telah dideskripsikan oleh tradisi geopolitik negarawan biasa. Lebih lengkap untuk mendeskripsikan konsep geopolitik paling dekat dengan ilmu hubungan internasional maka kita mesti merujuk pada James Burnham (1941), Friedrich Ratzel (1844-1904), dan Karl Haushofer (1869-1946) .a. Friedrich Ratzel (1844-1904)Dalam bukunya Politische Geographie (1897) dan Laws of the Spatial Growth of States (1986) berisi pondasi geopolitik. Ratzel, pendiri German School of Geopolitik menekankan bahwa state merupakan badan organis yang secara natural tumbuh (misal bertambah luas batasnya) seolah Ratzel berusaha menghubungkan teori seleksi alam Darwin tentang ruang melalui teori negara organis. Ia melihat ekspansi Amerika terhadap tanah Indian sebagai hal serupa ketika Jerman mengembangkan teritorinya sepanjang daratan Slavia, Eropa timur. Lebih lanjut, Ratzel menegaskan state tidak bersifat statis melainkan tumbuh secara natural, batas menjadi analogi sederhana dari kulit yang bisa meluruh. Untuk itu, Ratzel menjadi orang pertama yang memperkenalkan istilah lebensraum (livingspace). Salah satu kutipan Ratzel yang paling terkenal adalah: There is in this small planet, sufficient space for only one great state. b. James Burnham (1941) Burnham memainkan peran utama dalam mengembangkan geopolitik anti-kommunisme di era Perang Dingin. The Struggle for World (1947), pada awalnya dirancang sebagai studi rahasia untuk Office of Strategic Services (para pendahulu CIA) pada 1944, dan dimaksudkan untuk digunakan oleh delegasi Amerika Serikat pada Konferensi Yalta. Saat itu, dia bersikeras, sebuah aksioma geopolitik bahwa jika ada satu daya berhasil mengatur (Eurasia) Heartland dan hambatan luar, kekuatan itu pasti akan menguasai dunia. Mengikuti Mackinder, Burnham menyatakan bahwa Uni Soviet muncul sebagai kekukatan Heartland besar pertama, dengan besar, dengan penduduk yang terorganisir politis merupakan ancaman bagi seluruh dunia yang lain.c. Karl Haushofer (1896-1946) Karl Haushofer seorang Jendral Jerman yang menyuarakan kepentingan Jerman untuk memperluas tempat hidupnya dimana populasi Jerman dan sumber daya alam bisa diakomodasi. Selain itu, Haushofer juga menyatakan hegemoni regional yang sama dapat didirikan di sekitar negara kuat, misalnya ia mencontohkan Pan Germanism atau Pan-Europe milik Jerman.d. Sir Halford Mackinder (Konsep Wawasan Benua)Memasuki awal abad ke-19, hadir seorang tokoh terkemuka geopolitik kelahiran Inggris bernama Sir Halford Mackinder yang juga mendapat julukan sebagai intellectual architect dalam pemahaman prinsip keamanan internasional. Dia mengklasifikasikan dunia menjadi empat bagian yakni: 1. Heartland mencakup kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah (World Island); 2. Marginal Lands mencakup kawasan Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian besar daratan Cina; 3. Desert mencakup wilayah Afrika Utara dan yang terakhir, 4. Island or Outer Continents meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.Teori ahli Geopolitik ini menganut konsep kekuatan. Ia mencetuskan wawasan benua yaitu konsep kekuatan di darat. Ajarannya menyatakan; barang siapa dapat mengusai daerah jantung, yaitu Eropa dan Asia, akan dapat menguasai pulau dunia yaitu Eropa, Asia, Afrika dan akhirnya dapat mengusai dunia.e. Sir Walter Raleigh dan Alferd Thyer Mahan (Konsep Wawasan Bahari)Barang siapa menguasai lautan akan menguasai perdagangan. Menguasai perdagangan berarti menguasai kekayaan dunia sehinga pada akhirnya menguasai dunia.f. W. Mitchel, A. Seversky, Giulio Douhet, J.F.C. Fuller (Konsep Wawasan Dirgantara)Kekuatan di udara justru yang paling menentukan. Kekuatan di udara mempunyai daya tangkis terhadap ancaman dan dapat melumpuhkan kekuatan lawan dengan penghancuran dikandang lawan itu sendiri agar tidak mampu lagi bergerak menyerang.g. Nicholas J. SpykmanTeori daerah batas (Rimland) yaitu teori wawasan kombinasi, yang menggabungkan kekuatan darat, laut, udara dan dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan keperluan dan kondisi suatu negara.Akhirnya, dalam konseptualisasi geopolitik sebagai penalaran yang tersituasi, perspektif kritis juga berusaha untuk berteori sosio-spasial lebih luas dan keadaan technoterritorial pengembangan dan penggunaan. Sebagai rasionalitas praktis yang ditujukan untuk berpikir tentang ruang dan strategi dalam politik internasional, geopolitik secara historis sangat terlibat dalam apa yang Foucault (1991) mengistilahkan governmentalisasi negara. Pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa yang dimaksud dengan jalan menuju kebesaran nasional bagi negara ? (pertanyaan kunci untuk Alfred Mahan), Apa hubungan terbaik dari sebuah negara untuk wilayahnya dan bagaimana negara dapat tumbuh? (pertanyaan mendasar untuk Friedrich Ratzel), dan Bagaimana negara direformasi sehingga yang kerajaan dapat diperkuat (pertanyaan untuk Mackinder) adalah pertanyaan pemerintah praktis memotivasi para pendiri dari apa yang kita kenal sebagai klasik geopolitik. Sejarah dari pemecahan masalah praktis pengetahuan statis terikat dengan pembentukan negara dan kerajaan dan teknik kekuasaan yang memungkinkan bagi mereka untuk mengembangkan wilayah dan masyarakat untuk manajemen dan kontrol. ( Tuathail dan Dalby, 1998).

Geografi Politik (3)Perkembangan Geopolitik* Geopolitik, Geostrategi dan Tatanan Dunia Baru Uneven Development bila diartikan adalah pembangunan tidak merata. Ini merupakan suatu istilah yang digunakan dalam teori Marxis dalam menunjukkan proses perubahan dunia oleh kapitalisme secara keseluruhan. Pembangunan yang tidak merata ini mencakup bidang ekonomi dan sosial. Ketidakmerataan pembangunan ini menyebabkan munculnya perbedaan secara sosial dan ekonomi. Hal ini menyebabkan semakin seringnya muncul istilah kaya dan mikin, borjuis dan proletar, negara dunia pertama dan ketiga, dan lain sebagainya. Kemiskinan karena pembangunan yang tidak merata, menurut Walt Whitman Rostow, disebabkan karena kurang terlibatnya partisipasi negara dalam perdagangan dunia. Untuk itu dibutuhkan harmonisasi sistem dalam perdagangan internasional agar semua negara dapat meraih keuntungan. Berbeda dengan teori Rostow, terdapat model core-pheripery yang berasumsi bahwa kemiskinan merupakan hasil dari keterlibatan negara di dalam ekonomi dunia. Ini menggambarkan suatu keterkaitan antara negara yang kaya dan yang miskin. Negara yang kaya (core) akan mendapat keuntungan dalam kapitalisme, sedangkan negara yang bergantung kepada negara lain atau negara miskin (periphery) akan menjadi semakin miskin karena persaingan. Digambarkan dalam model utara dan selatan, sebelah Utara adalah negara core sebagai pemegang kendali ekonomi internasonal dan sebelah selatan adalah negara periphery sebagai pengikut dan pasif. Terdapat tiga macam pembagian negara menurut Immanuel Wallerstein dalam teori strukturalisme, yaitu core, semi-peripheral dan peripheral. Negara core merupakan negara-negara yang dominan dan sebagian besar menganut sistem kapitalisme, contohnya seperti negara Amerika dan Inggris. Negara semi-peripheral merupakan negara-negara yang tingkat perekonomiannya cukup baik dan cukup berpengaruh, seperti Cina dan India. Negara peripheral merupakan negara-negara yang tingkat perekonomiannya masih dalam taraf berkembang, seperti negara-negara di kawasan Asia dan Afrika. Struktur ini mengakibatkan tidak dapat dihindarkannya proses kapitalisme oleh negara core kepada negara berkembang maupun negara miskin.Cerita pergulatan ekonomi ini berawal ketika terjadi peningkatan industrialisasi di kawasan Eropa yang kemudian mengawali munculnya kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugis pada tahun 1500-an. Begitu pula dengan Amerika yang sangat konsen pada pengembangan pertambangan emas dan perak serta mengembangkan pasar seluas-luasnya dan mencari bahan mentah sebanyak-banyaknya yang akhirnya juga ikut berpartisipasi dalam kegiatan kolonialisme di negara-negara kawasan Asia dan Afrika. Persaingan ekonomi semakin panas dengan munculnya Inggris sebagai pengembang produksi industri batubara, kapas dan besi. Negara-negara tersebut, saat itu dapat dikatakan sebagai negara core dan negara yang terkena penjajahan disebut negara periphery. Pada masa bipolar, Amerika dan Uni Soviet berperang secara tidak langsung untuk merebut gelar sebagai satu-satunya negara adidaya (core) di dunia. Perebutan Timur Tengah yang diketahui sebagai ladang minyak pun ikut meramaikan perang urat syaraf ini. Mereka menilai, barang siapa yang dapat menguasai ladang minyak maka akan dapat mengusai perekonomian dan politik dunia. Pada masa setelah Perang Dingin, Amerika tampak sebagai satu-satunya negara core yang telah mengalahkan Uni Soviet pada masa Bipolar. Ini menimbulkan tatanan ekonomi internasional yang baru dimana Amerika menguasai sebagian besar pasar dan menjadi tumpuan negara-negara kecil lainnya. Namun, perubahan konstelasi geopolitik global ini bukan merupakan jaminan akan terbentukanya tatana internasional yang seimbang, stabil dan aman bagi hubungan antar bangsa di dunia internasional. Dengan adanya unipolaritas, negaa lain dibuat menjadi tergantung dan tidak mandiri. Ini membuktikan bahwa keterlibatan negara membuat pembangunan menjadi tidak merata. Karena negara core akan selalu berusaha untuk menjadi yang utama dan tidak ingin negara lain makmur. Ia akan selalu berusaha menguasai keadaan, seperti halnya Amerika dalam melawan terorisme. Amerika membuat beberapa negara menjadi tersangka markas terorisme yang akhirnya menimbulkan spekulasi bahwa negara-negara berpenduduk Muslim dimasukan dalam kategori yang berpotensi sebagai kantong-kantong terorisme internasional. Semakin lama, negara yang dulunya disebut sebagai negara periphery kemudian muncul secara perlahan sebagai aktor baru dalam ekonomi dan politik internasional. Unipolaritas Amerika semakin diwarnai oleh ketakutan akan pemenang baru dalam dunia yang semakin maju. Negara-negara di kawasan Asia seperti Cina, Jepang, India, dan Korea Selatan perlahan memperlihatkan taringnya sebagai Macan Asia. Industri mereka berkembang pesat dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Produk Cina dan Jepang dengan cepat membanjiri pasar dunia, bahkan di Amerika produk-produk industri buatan Cina lebih diminati karena lebih murah dan alat elektronik serta otomotif Jepang sudah mulai menguasai sebagian pasar Amerika. Ini membuat tatanan dunia berubah dari unipolar menjadi multipolar. Sehinggga pusat kekuatan tidak hanya dimonopoli oleh Amerika lagi yang selama masa kepemimpinannya menerapkan prinsip unilateralisme dengan alibi menjadi polisi dunia yang berhak menentukan segalanya.Menurut para peneliti, inilah yang menyebabkan beberapa perubahan di tatanan dunia internasional. Beberapa kali terjadi pergantian poros yang mengakibatkan perubahan pandangan geopolitik dan geostrategi. Para aktor berusaha menepatkan negaranya dalam posisi poros utama dalam tatanan dunia dengan meilhat aspek-aspek geografi, politik dan ekonomi. Ini pula yang menyebabkan maraknya persaingan kapitalisme di negara-negara maju dan berkembang dan menimbulkan pembangunan dunia yang tidak merata. * Kajian Geopolitik dan Geostrategi Era Abad ke-21: Masih Relevankah?Geopolitik sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Swedia yang bernama Rudolf Kjellen pada tahun 1899-1905. Pada saat itu, geopolitik dipahami sebagai suatu imperial knowledge mengenai hubungan antara kondisi fisik bumi dan politik. Sebagai contoh adalah Jerman yang pada masa itu merupakan salah satu great powers menggunakan konsep Lebensraum sebagai justifikasi untuk mempeluas kekuasaannya. Contoh lain adalah Amerika Serikat yang berusaha untuk menguasai dunia dengan menggunakan sea power theory ala Mahan. Mahan menyatakan bahwa the path to national greatness lay in commercial and naval expansionism. All truly great powers were naval powers. Pemikiran-pemikiran geopolitik pada masa itu cenderung digunakan sebagai suatu ilmu tentang bagaimana negara-negara besar atau great powers menaklukkan negara lain atau suatu ilmu untuk menjelaskan fenomena imperialisme. Dengan kata lain, menurut Tuathail dalam bukunya The Geopolitics Reader era ini dinamakan dengan era imperialist geopolitics.Era berikutnya adalah pada saat Perang Dingin, atau dinamakan dengan cold war geopolitics. Era ini ditandai dengan kontes penyebaran pengaruh dan kontrol terhadap negara-negara lain serta sumber daya strategis antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kontes antar keduanya yang lebih dikenal dengan kontes ideologi ini menyebabkan sistem dunia menjadi bipolar. Geopolitik pada masa ini digunakan untuk menjelaskan fenomena sistem dunia yang bipolar tersebut dan bagaimana kedua negara besar tersebut menyebarkan pengaruhnya satu sama lain. Runtuhnya tembok Berlin dan jatuhnya Uni Soviet menandai berakhirnya kontes ideologi antar kedua negara tersebut. Hal tersebut menyisakan Amerika Serikat menjadi pemenang tunggal dalam kontes tersebut. Tak salah kemudian jika Fukuyama menyatakan berkhirnya Perang Dingin merupakan The End of History yaitu era ketika kontes ideologi liberalisme dan komunisme berakhir dan menyisakan liberalisme sebagai ideologi yang lebih baik.Berakhirnya Perang Dingin tak hanya menyisakan liberalisme sebagai ideologi tunggal, namun juga mengubah tatanan dunia yang semua bipolar menjadi multipolar. Hal ini dibuktikan dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru seperti Jepang, Cina, dan Uni Eropa yang nantinya diprediksi akan mampu mengimbangi kekuatan Amerika Serikat. Tidak hanya itu, pada tahun 1990-an saat Perang Dingin berakhir terjadi Perang Teluk yang melibatkan Irak dan koalisi internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Pasca Perang Teluk ini menurut Presiden Amerika Serikat George W. Bush disebut sebagai era new world order. Era new world order ini yang juga merupakan era berakhirnya abad ke-20 tak lagi diwarnai konflik-konflik perebutan wilayah atau pengaruh antar superpowers. Selain karena era new world order ini hanya menyisakan Amerika Serikat sebagai the only superpowers, menurut Samuel P. Huntington dalam thesisnya yang terkenal yaitu The Clash of Civilizations, konflik-konflik masa depan tidak lagi merupakan konflik ideologi atau konflik ekonomi melainkan konflik antar peradaban. Lebih lanjut Huntington menyatakan bahwa Nation states will remain the most powerful actors in world affairs, but the principal conflicts of global politics will occur between nations and groups of different civilizations.Adanya thesis Huntington ini menunjukkan bahwa konflik-konflik masa depan tak lagi berdasarkan pada kekuatan ekonomi maupun kondisi geografis saja melainkan pada peradaban itu sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi penulis terkait dengan judul tulisan ini. Lantas bagaimanakah kelanjutan studi geopolitik di abad ke-21? Apakah masih relevan untuk dipelajari?Untuk menjawab pertanyaan ini, harus dikembalikan dulu pada definisi geopolitik itu sendiri. Geopolitik terkadang dipahami sebagai suatu ilmu yang mempelajari keterkaitan antara kondisi geografis suatu negara dan perumusan kebijakan luar negerinya, berdasarkan definisi ini dapat dikatakan bahwa kajian geopolitik sudah lagi tak relevan mengingat sekarang ini banyak bermunculan aktor-aktor non-negara atau non-state actor dan juga isu-isu yang berkembang tak lagi menyangkut high-politics saja melainkan juga low-politics. Tetapi kalau geopolitik dipahami sebagai suatu ilmu yang berhubungan dengan pandangan komprehensif mengenai peta politik dunia, dapat dikatakan bahwa kajian geopolitik masih relevan. Kalau dalam era abad ke-19 geopolitik cenderung dipahami sebagai imperial knowledge hal itu dikarenakan adanya kesadaran bahwa dunia yang ditempati oleh negara-negara pada waktu itu merupakan closed political space seperti yang dinyatakan oleh MacKinder. Kemudian di era Perang Dingin geopolitik digunakan untuk menjelaskan kontes ideologi antara dua superpowers (Amerika Serikat dan Uni Soviet) karena pada waktu itu Perang Dingin diwarnai oleh perebutan pengaruh antar keduanya, sehingga dibutuhkan semacam geostrategi untuk dapat memenangkan kontes tersebut. Dan di era new world order ketika negara tak lagi menjadi aktor utama dalam hubungan internasional karena banyak bermunculannya non-state actors seperti MNC, NGO, dll dan isu-isu yang dibahas juga mulai bergeser dari isu-isu high-politics ke low-politics menyebabkan fokus kajian geopolitik ini senantiasa berubah. Seperti yang dinyatakan Tuathail bahwa Geopolitics is best understood in its historical and discursive context of use. Yang perlu ditekankan di sini adalah geopolitik menyangkut tentang bagaimana konteks keruangan (spatial) mempengaruhi perilaku negara-negara di dunia untuk bertarung dalam politik internasional.

Geografi Politik (4)Geopolitik Modern* Geopolitik ModernJohn Agnew, bersama dengan rekannya Corbridge, mencoba memberikan teorema-teorema umum geopolitik yang akan memposisikannya sebagai ide sekaligus praksis. Hasilnya adalah sebuah teori hibrida dari geopolitik dan ekonomi politik, Ekonomi Geopolitik. Ekonomi Geopolitik didapatkan dengan cara menggabungkan pemikiran Lefebvre dari Perancis tentang Aktivitas Keruangan (Spatial Practice) dan Gambaran Keruangan (Representation of Space) dengan pemikiran Gramsci dari Italia tentang hegemoni. Geopolitik Modern yang tersifati secara ekonomi ini diyakini sebagai hasil aktivitas manusia, bukan sekedar given. Ia disadari sebagai filosofi negara, sebuah teknologi mental untuk memerintah.Henry Lefebvre mendefisiniskan Spatial Pratices sebagai Aliran, interaksi dan pergerakan material fisik, kedalam dan melintasi ruang; sebagai ciri fundamental dari produksi ekonomi dan reproduksi sosial. Sedangkan Representation of Space merupakan keseluruhan konsep, dan kode geografis yang digunakan untuk membicarakan dan memahami aktivitas keruangan. Mudahnya, aktivitas keruangan adalah bersifat material dan gambaran keruangan adalah wacana atas aktivitas keruangan.Anthonio Gramsci menggunakan konsep hegemony untuk menambal kekurangan analisa Karl Marx. Marx meramalkan bahwa revolusi proletariat menuju masyarakat sosialis akan terjadi di negara kapitalis paling maju. Sementara kenyataannya, revolusi tersebut malah terjadi di negara agraris, Rusia. Gramsci dari penjara Italia mempertanyakan, mengapa revolusi tersebut sulit dilakukan di Eropa Barat? Hegemoni yang merupakan konsep keunggulan kepemimpinan adalah jawabannya. Hegemoni dapat dipahami sebagai langkah eksploitasi dan alienasi struktural, bisa juga sebagai kondisi statis hubungan antar negara.Dari pembedaan Lefebvre dan konsep hegemoni Gramsci, Agnew dan Corbridge mencoba menjembataninya dengan relasi dialektis antara materi dan wacana, yang kemudian diatasnya dibangun dua istilah baru, yakni Orde Geopolitik dan Wacana Geopolitik. Orde geopolitik adalah aktivitas keruangan dalam ekonomi politik dunia. Order sebagai rutinitas aturan, institusi, aktivitas dan strategi, dimana ekonomi politik internasional bekerja dalam periode sejarah yang berbeda-beda; memerlukan karakteristik geografis. Antara lain, derajat relatif sentralitas teritorial negara atas aktivitas ekonomi dan sosial, hirarkhi negara, jangkauan ruang aktivitas negara-negara dan aktor lain, keterhubungan atau keterputusan ruang antar aktor, aktivitas keruangan yang didukung oleh teknologi informasi dan militer, dan peringkat kawasan tertentu ataupun negara-negara dominan tertentu dalam hal ancaman dominasi ataupun keamanan militer dan ekonomi.Dari karakteristik ini dapat kita simpulkan bahwa ada empat Orde Geopolitik semenjak istilah geopolitik sendiri lahir, yaitu Orde Inggris, Orde Persaingan antar Kerajaan, Orde Perang Dingin, Orde Liberalisme Transnasional. Dalam masing-masing orde tersebut terdapat hubungan hegemonik. Boleh jadi Orde geopolitik tidak memiliki satu negara hegemon, contohnya adalah Orde terakhir. Pasca Perang Dingin, dunia tidak dihegemoni oleh satu negara, akan tetapi beberapa negara kuat seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman, yang disatukan oleh Pasar Dunia dan institusi/ organisasi transnasional semacam Uni Eropa, WTO, IMF dan Bank Dunia. Orde Liberalisme Transnasional menjelaskan bahwa dunia sedang mengalami perkembangan universal, yaitu perluasan dan penambahan Pasar Kapitalis di seluruh dunia.Istilah kedua, Wacana geopolitik, merupakan Gambaran keruangan atas hegemoni yang terjadi di dunia. Gambaran tersebut didapat sebagai hasil pewacanaan para intelektual negara baik teoritisi maupun praktisi atas pembacaan maupun penulisan geografis dalam ekonomi politik internasional. Ada empat karakteristik Wacana geopolitik yang berupa mentalitas geopolitik. Pertama, adalah Visualisasi global, dimana dunia dipandang sebagai satu gambar yang dilihat dari satu sudut yang menguntungkan. Kedua, waktu dipahami dalam konsep ruang, diamana blok/ kompleks ruang dipisahkan dan diberi label sesuai atribut periode waktu, relatif terhadap pengalaman sejarah ideal salah satu blok/ komplek. Tiga, negara menjadi gambaran utama keruangan global, dengan asumsi bahwa negara memiliki power eksklusif atas wilayahnya (kedaulatan), bahwa hubungan domestik dan luar negeri merupakan bidang yang berbeda, bahwa batasan negara menjelaskan batasan masyarakat. Empat, pengejaran keunggulan oleh negara-negara dominan dalam sistem antar negara, dengan asumsi, bahwa power didapat dari keuntungan lokasi geografis, besar populasi, dan sumber daya alam, bahwa power adalah atribut yang digunakan untuk memonopoli dalam kompetisinya dengan negara lain.Senada dengan Orde geopolitik, Wacana geopolitik, berdasarkan karakteristiknya, juga terperiode dalam empat Wacana, yaitu Wacana Peradaban (abad 19), Wacana Alami (akhir abad 19 hingga akhir Perang Dunia II), Wacana Ideologi (Perang Dingin), dan Wacana Perbesaran (Post Cold War). Wacana perbesaran ini dapat dilihat pasca Perang Teluk II, dimana pemerintahan Clinton, sebagai salah satu hegemon dunia melakukan perluasan atas komunitas negara yang menerapkan demokrasi pasar. Hal tersebut dilakukan dengan mewacanakan konsep Liberalisme Transnasional dalam diskusi-diskusi pakar, perkuliahan para mahasiswa, dan pemberitaan media massa.Geopolitik Modern adalah pendekatan yang lebih relevan atas kondisi geopolitik dunia saat ini. Dimana negara-negara terkonsentriskan dalam hegemoni tersendiri, dengan satu rumpun wacana yang sama, globalisasi ekonomi kapitalis. Dimana negara-negara berusaha mencari power relatifnya atas negara lain/ hegemon lain, yang terdiri dari komponen fisik dan komponen ide/ wacana.* Geopolitik PostmodernPosmodern didefinisikan oleh Lyotard sebagai keraguan atas meta-narasi (kisah-kisah besar). Tokohnya antara lain Michel Foucault yang mengatakan bahwa power dan pengetahuan memiliki hubungan yang determinis. Ia juga menganggap bahwa tidak ada kebenaran diluar rezim kebenaran, aforismanya adalah bagaimana sebuah sejarah memiliki nilai kebenaran, apabila kebenaran itu sendiri memiliki sejarah? Tokoh lainnya adalah Jacques Derrida yang mengkonsepkan dekonstruksi dan pembacaan ganda atas wacana dan teks.Menurut Robert Rich, di era globalisasi dan transnasionalisme, geometri ekonomi ia gambarkan sebagai jaring-jaring global (Global Webs). Kebangsaan sebuah perusahaan tidak menjadi relevan; power dan kemakmuran mengalir cepat dalam jaring-jaring ekonomi tersebut, melalui efisiensi telekomunikasi dan transportasi. Teknologi informasi yang menciptakan hyper-reality menjadi sangat penting dalam geometri power yang baru.Lebih jauh, Manuel Castells menyatakan bahwa fungsi dan proses dominan di era informasi adalah jaringan kerja sosial baru (new network society). Jaringan tersebut menentukan morfologi sosial, dan tentu saja merubah secara substansial hasil dan proses bekerjanya produksi, pengalaman, power, dan kebudayaan. Ia juga menyebutkan bahwa kini dunia terskemakan dalam flows-webs-connectivity-network.Sedikit berbeda dengan teori jaringan Castells, Bruno Latour mengkonsepkan teori Aktor-Jaringan. Menurutnya, dunia ditinggali oleh kolektivitas manusia dan bukan manusia, yang membentuk lebih dari jaringan teknik ataupun sosial. Ilmu geografi, pemetaan, pengukuran, triangulasi, menurut teori aktor-jaringan, tidaklah berguna lagi. Ukuran universal atas kedekatan, jauh, dan skala tidak lagi berdasarkan ukuran-ukuran fisik, akan tetapi konektivitas jaringan. Jika geografi dikonsepkan ulang sebagai konektivitas, bukan lagi ruang, maka ruang sebenarnya yang berasal dari pemikiran tradisional hanyalah salah satu jaringan dari keseluruhan jaringan.Sementara itu T. Luke mencoba memperiodisasi narasi hubungan manusia dan alam serta perubahan lingkungan dan order. Menurutnya ada tiga periode, yaitu First nature, Second nature, dan Third nature. Dalam first nature, hubungan manusia dan alam tidak dimediasi oleh sistem teknologi yang kompleks. Orde keruangan bersifat organik dan corporeal/ hajatul udhowiyyah (sekedar memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh). Hubungan selanjutnya adalah manusia membuat teknologi artifisial melalui industri kapitalisme modern semenjak abad ke-18. Orde keruangan merupakan hasil rekayasa, yang ditandai dengan banyaknya kompleks perangkat keras yang senantiasa berevolusi. Di masa ketiga, orde keruangan dihasilkan oleh sistem saibernetis, segalanya menjadi elektronik dan digital. Hal ini disebabkan oleh kapitalisme yang berkembang cepat dan struktur informasi yang mengglobal. Geografi modern menjadi info-graf posmodern, yang bersifat telemetrik.Untuk mengkonsepkan Geopolitik Posmodern, Geard Tuathail mencoba menggabungkan keempat pandangan tersebut guna menjawab lima pertanyaan berikut:a. Bagaimana menggambarkan ruang global?Kini dengan kemajuan teknologi yang ada, dunia dapat digambarkan melalui simulasi yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Geografis dan teknologi visualisasi dan simulasi telemetrik lainnya. Kejadian di suatu tempat yang jauh dapat dilihat didengar dan dirasa oleh manusia dan pembuat kebijakan di tempatnya secara langsung. Hal ini disebabkan oleh konektivitasnya dengan teknologi. Kecepatan, kuantitas, dan intensitas informasi menjadi perhitungan utama dalam refleksi dan pembuatan kebijakan luar negeri.b. Bagaimana ruang global dipisahkan dalam blok indentitas dan perbedaan lainnya?Pandangan dunia Eucidian yang membatasi dunia dengan batasan fisik, kini tidak relevan lagi, terlebih dengan adanya globalisasi pasar dunia. Dunia hanya bisa dipisahkan berdasarkan globalisasi jaringan ekonomi produksi dan konsumsi. Hirarki keruangan modern digantikan binaritas keruangan wacana, yaitu liberal dan non-liberal (fundamentalis, revivaris).c. Bagaimana mengkonsepkan power global?Power di jaman modern terdiri dari GPS (Geografi, Populasi, dan Sumber Daya Alam). Melalui revolusi teknologi informasi, semuanya berubah menjadi telemetrik. Akhirnya dikenal konsep ISR (Informasi intelejen, Surveilance [observasi detail dari jarak jauh], dan Reconnaissance [Pengenalan ulang obyek]) dan C4I (Command, control, communications, computer processing, dan intelejen) untuk mendapatkan power relatif. Paradoks yang terjadi adalah hal ini akan mendekonstruksi keberadaan negara secara solid, sebab organisasi-organisasi hingga pribadi-pribadi mampu memiliki power tersebut.d. Bagaimana ancaman global diruangkan dan bagaimana strategi reaksi atas ancaman tersebut dikonsepkan?Pasca Perang Dingin, makna keamanan dan ancaman ditinjau kembali. Ia bukan lagi berasal dari musuh teritorial dimana konsep containment dan deterrence yang kaku diberlakukan. Ancaman-ancaman yang ada menjadi tidak pasti dan menyebar cepat. Ia muncul bukan dari teritorial, tapi muncul dalam bentuk terrorisme tanpa negara, sabotase, narco-terrorism, korupsi global, wabah penyakit, krisis kemanusiaan, kerusakan lingkungan, proliferasi senjata pemusnah massal, dll. Doktrin geostrategis telah berubah dalam acuan fleksibilitas dan kecepatan, akan tetapi ia masih harus dikompromikan dengan konsep teritorial. Dalam menghadapi ancaman tersebut, diambil kasus Amerika Serikat, dimana ia menerapkan dua konsep strategi pertahanan utama, yaitu kehadirannya diseluruh lautan, dan pameran/ peragaan militer. Kedepan, strategi bionik, bahkan cyborgtik akan dikembangkan untuk menangani masalah ini.e. Bagaimana aktor-aktor utama membentuk identitas dan konsep geopolitik?Geopolitik kontemporer menggunakan para pemimpin dan elit pemerintahan untuk membentuk kebijakan yang nantinya membentuk identifikasi dan konsep atas geopolitik, yaitu konsep geopolitical-man. Di masa kecanggihan teknologi, dunia akan menyaksikan bahwa kebijakan-kebijakan penting akan diambil oleh kolektif manusia dan bahkan kolektif cyborg dalam sebuah network ekonomi, sosial, dan politik.Dalam pandangan saya, geopolitik posmodern akan dirasakan oleh kebanyakan orang, hanya ada di awang-awang alias abstrak, ketimbang geopolitik modern yang memang berdasarkan penilaian rasional. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, posmodern terlalu membesar-besarkan runtuhnya ekonomi negara, dan globalisasi. Selain itu, ia juga terlalu deterministik dalam menilai perkembangan teknologi, sehingga tidak menilai moral dan nilai dasar manusia yang didapatkannya dalam kehidupan intrapersonal maupun interpersonal. Konsep network pun terlalu dibesar-besarkan apabila ditempatkan diluar konteks ekonomi dan sosial. Atas hal inilah geopolitik modern kemudian banyak dirasakan lebih nyata ketimbang pendekatan kalangan posmodern.

Geografi Politik (5)Tantangan Geopolitik Abad 21* Geopolitik Global dan Ancaman Keamanan bagi Negara-Bangsa yang Berdaulat di Abad ke XXIPerubahan konstelasi geopolitik global setelah usainya Perang Dingin masih belum menunjukkan akan terbentuknya suatu tatanan internasional (international order) yang lebih menjanjikan kestabilan, keseimbangan, dan jaminan keamanan bagi negara dan warga masyarakat serta hubungan antar-bangsa di dunia. Kendatipun dipentas perpolitikan global tidak ada lagi ancaman konflik yang berskala universal, dilandasi oleh ideologi besar dan ditopang oleh kekuatan adikuasa dan blok persekutan negara-negara, sebagaimana Uni Soviet dengan blok dan ideologi totaliter komunisme, namun tidak berarti pada dewasa ini geopolitik global telah bebas dari ancaman yang destruktif. Pada kenyataannya, justru setelah terjadinya serangan teroris di New York dan Pentagon pada 11 September 2001, disusul dengan upaya perang melawan terorisme yang dilancarkan oleh Amerika Serikat, kita justru menyaksikan semakin rawan dan rentannya keamanan internasional, khususnya yang dialami dan dirasakan oleh negara-negara yang berada dalam lingkaran sasaran perang melawan terorisme tersebut. Kendatipun negara-negara tersebut secara formal dan menurut hukum internasional adalah termasuk dalam kategori negara-negara bangsa yang berdaulat dan, karenanya, berada dalam perlindungan hukum dan lembaga internasional, tetapi fakta yang terpampang di depan mata adalah semakin memudarnya kapasitas dan kemandirian mereka berhadapan dengan intervensi dan tekanan yang datang dari luar, khususnya negara adikuasa. Negara-negara bangsa yang berdaulat seperti Irak, Iran, Syria, Korut, dsb yang dimasukkan oleh Pemerintah AS di bawah Presiden Bush dalam kategori the axis of evil dan negara-negara berpenduduk Muslim yang dimasukan dalam kategori berpotensi sebagai kantong-kantong terorisme internasional, semuanya dalam situasi yang rawan (precarious) dan jauh dari kondisi ideal negara-negara bangsa (nation states) yang berdaulat sebagaimana dimaksud dalam hukum internasional. Kondisi yang tidak stabil, seimbang, dan aman pada skala global tersebut muncul dan marak karena dipicu oleh beberapa faktor. Yang terpenting antara lain adalah: 1) adanya kevakuman kekuatan penyangga setelah hilangnya kekuatan yang saling mengimbangi antara negara-negara adikuasa, dan 2) terjadinya pergeseran geopolitik dan geostrategis global menyusul munculnya kekuatan ekonomi dan politik baru yang memiliki visi serta strategi besar yang berbeda. Kevakuman tersebut, khususnya setelah runtuhnya Uni Soviet, membuka peluang bagi negara adidaya seperti AS untuk tampil menjadi kekuatan tunggal (unipolar) yang tak memiliki tandingan dan bahkan sekedar penyeimbang yang dapat mengerem ambisi hegemoninya dalam realitas politik global. Secara riil, kekuatan militer AS yang superior dalam teknologi dan didukung oleh anggaran pertahanan yang luar biasa besar telah diappropriasi secara maksimum oleh kaum neo-konservatif (neo-con) di pusat-pusat kekuasaan seperti White House, Capitol Hill, lembaga think tanks, dan media massa. Ditambah lagi dengan dorongan untuk menguasai ekonomi dunia dari para pemilik modal raksasa Amerika, maka ambisi hegemoni dan penciptaan seubuah kekaisaran dunia (Empire-making) seperti tak terbendung. Barry Rosen (2008) mengemukakan bahwa setelah Perang Dingin usai tampaknya ada kesepakatan dalam elit politik AS bahwa ancaman terbesar bagi negeri itu dalam jangka pendek adalah terhadap keselamatan diri (safety) dari terorisme yang datang dari luar. Mereka menuding khususnya 1). negara-negara Timteng dan Arab; 2). negara-negara jahat (rogue states); dan 3). negara-negara gagal (failed states). Menurut Michael Hardt dan Antonio Negri (2000, 2005), AS telah mengembangkan dirinya sebagai sebuah Empire tak ubahnya pada masa Kekaisaran Romawi (Roman Empire), namun dengan kekuatan dan cakupan pengaruh yang jauh lebih luas dan mendalam. Sementara itu menurut Chalmers Johnson (2005, 2006, 2008), AS, Empire-making yang telah berproses semenjak PD II tersebut saat ini sedang mengalami pukulan balik (blowback) yang, bisa jadi, akan mengakhiri kejayaannya karena ia berlawanan dengan khittah Republik yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan Konstitusi AS. Tak dapat disangkal bahwa ambisi Empire making tersebut telah memberikan sumbangan sangat besar bagi perkembangan konstelasi geopolitik global yang cenderung mengancam keamanan negara-negara berdaulat. Rosen menyebut adanya empat faktor utama yang memungkinkan AS untuk mengembangkan dominasi dan hegemoni serta ambisi Empire-making: 1). Unipolaritas (kekuatan tunggal) yang dimiliki AS semenjak berakhirnya Perang Dingin; 2). Maraknya politik identitas sebagai salah satu sumber utama konflik-konflik internasional; 3). Terjadinya penyebaran kekuatan politik dan militer di dunia karene munculnya aktor-aktor non-negara (non state actors); dan 4). Proses globalisasi yang memperkuat posisi kapitalisme menjadi satu-satunya sistem ekonomi dunia. Unipolaritas AS memungkinkan terjadinya monopoli kekuatan di seluruh dunia, baik dalam masalah anggaran pertahanan; teknologi alutsista militer; kekuatan nuklir dan WMD, dan kapasitas surveillance dan control aparat intelijen. Dengan adanya unipolaritas kekuatan tersebut, pengembangan sebuah Empire bukan lagi sebuah khayalan kosong. Bahkan, berbeda dengan Empire-empire sebelumnya, perwujudan dan perkembangan American Empire ini bisa jadi jauh lebih kokoh karena bukan saja didukung oleh kekuatan militer dan keberadaan pangkalan-pangkalan militer AS di seantero dunia, tetapi juga oleh disertai kekuatan surveillance serta kontrol yang terus menerus, baik dengan intelijen maupun teknologi telematika yang canggih. Sebagai ilustrasi, menurut Johnson (2008), pada sampai pada 2005, jumlah pangkalan AS di seluruh dunia adalah sejumlah 737 buah, terdiri dari yang besar 16, sedang 22, dan kecil 699. Pangkalan besar adalah yang membutuhkan anggaran di atas US $ 1.584 miliar, ukuran sedang adalah yang membutuhkan anggaran sekitar US $ 845 juta sampai US $ 1.584 miliar, ukuran kecil adalah yang membutuhkan anggaran di bawah US $ 845 juta. Pangkalan-pangkalan ini terbagi atas tiga jenis: 1. Basis Operasi Utama (Main Operation Bases, MBOs), seperti di Ramstein (Jerman), Kadena, Okinawa (Jepang), Aviano (Italia), Yongsan (Korsel), dsb.; 2. Pangkalan Operasi Terdepan (Forward Operation Sites, FOS) seperti di negara-negara Singapura, Honduras, Diego Garcia , dll. ; 3. Lokasi Pengamanan Terpadu (Comprehensive Security Locations, CLSs) atau pangkalan-pangkalan ukuran kecil yang disebar diberbagai wilayah untuk mendukung logistik ketika dibutuhkan. CLS inilah yang paling banyak jumlahnya dan tersebar di berbagai belahan dunia di Afrika, Amerika Latin, Timteng, dan Asia, khususnya di sekitar wilayah hot-spot konflik-konflik, seperti Ghana, Gabon, Chad, Mauritania, Mali, Maroko, Tunisia, Qatar, UEA, Pakistan, India, Thailand, Filipina dan Australia, dsb. Politik identitas yang menjadi salah satu faktor utama konflik-konflik di berbagai belahan dunia, termasuk agama, etnis, dan ras menjadi semacam raison d'etre bagi elit politik AS untuk melakukan intervensi atas nama kemanusiaan (humanitarianism) dan perlindungan HAM. Dukungan AS terhadap intervensi kemanusiaan di negara-negara seperti Bosnia, Kosovo, Somalia, Afghanistan, Israel, Palestina, Myanmar, dsb antara lain dilandasi oleh sentimen ideologis liberalisme dan humanisme yang memberikan pembelaan terhadap sistem demokrasi. Sebagaimana dikatakan oleh Menlu AS Condi Rice dalam majalah Foreign Affairs baru-baru ini, pembangunan negara demokrasi adalah komponen penting dan utama untuk kepentingan nasional kita. Argumen penegakan dan pengembangan demokrasi, sebagaimana yang dicitrakan oleh elite politik AS, menjadi bagian tak terpisahkan dari kepentingan nasional yang memberi legitimasi untuk intervensi. Dengan alasan itulah pendudukan terhadap Irak dan ancaman serangan terhadap Iran dan negara-negara yang dianggap jahat lainnya mendapat legitimasinya, selain dalam rangka perang melawan terorisme internasional. Penyebaran kekuatan, khususnya kekuatan militer, yang tidak hanya dimiliki oleh negara, tetapi juga oleh aktor-aktor non-negara (non-state actors), telah mengakibatkan semakin tidak stabilnya keamanan global dan memerlukan adanya semacam kekuatan polisi dunia. Aktor-aktor non-negara seperti Al-Qaeda, Hamas, Hezbollah, dan juga NGOs (non governmental organizations) ternyata telah mengancam kredibilitas negara yang secara konvensional dianggap sebagai pemilik monopoli alat-alat kekerasan. Perang Irak menunjukkan bahwa kekuatan anti AS yang notabene adalah para insurgen, dengan persenjataan yang mereka buat sendiri ternyata mampu melakukan perlawanan yang berjangka panjang dan menimbulkan korban yang cukup besar terhadap pasukan pendudukan yang didukung oleh persenjataan modern dan pasukan yang sangat terlatih. Hal ini menyebabkan AS dan sekutunya di Eropa sangat khawatir jika penyebaran tersebut tidak dapat dicegah dan dikontrol. Ini menjadi alasan bagi AS untuk melakukan kampanye perang melawan terror dan sekaligus menacapkan pengaruhnya di seluruh dunia. Demikian juga kiprah NGOs yang melakukan gerakan perlawanan terhadap perusakan lingkungan, WTO, proliferasi nuklir, dst. telah menjadi fakta dan kekuatan baru yang perlu diperhitungkan oleh negara. Kenyataan ini juga memberikan legitimasi bagi elit politik AS untuk lebih assertif dan proaktif dalam hubungan luar negeri. Perang melawan terorisme, tidak dapat lagi hanya diserahkan kepada "negara-negara" sahabat tetapi juga merasuk kepada elemen-elemen non-negara. Proses globalisasi, tak pelak lagi, ikut memperkuat akselerasi hegemoni AS melalui ekonomi dan perdagangan global. Melalui perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi, kapitalisme seolah menjadi sistem ekonomi dunia yang tak dapat dielakkan, bahkan untuk negara-negara yang semula menjadi pendukung utama sistem ekonomi sosialis dan komunis seperti Cina, Vietnam, dan Rusia. Globalisasi juga telah menghasilkan paradoks yang dapat mengancam hegemoni Empire. Misalnya, proses globalisasi telah memunculkan dan memperkuat spirit nasionalisme dan sentimen-sentimen lokal/ indigenous yang semula terpisah-pisah di berbagai wilayah dunia menjadi menyatu akibat terciptanya jejaring (networking) pada tataran global. Politik identitas yang parochial lantas dapat ditransformasikan menjadi perjuangan bersama dan global. Ini terlihat pada gerakan-gerakan anti-kemapanan dan globalisasi yang menggunakan instrument yang sama yang dipakai untuk memperkokoh kekuasaan negara dan korporasi global itu sendiri. Lebih jauh, konsep kedaulatan (sovereignty) sebagaimana yang dikenal secara konvensional, kehilangan relevansinya karena jejaring global telah menembus batas-batas geografis dan politis. Dengan dalih melindungi kepentingan nasional dan ekonomi pasar bebas, maka AS merasa berkewajiban untuk meningkatkan jangkauan global (global reach) nya. Intervensi langsung maupun tak langsung, pemakaian tekanan diplomasi maupun militer dan intelijen, menjadi bagian tak terpisahkan dalam upaya mempertahankan kepentingan nasional tersebut. Namun demikian, proses Empire-making tersebut di atas bukan berarti tidak menghadapi kendala-kendala serius, sebab konstelasi dunia pasca Perang Dingin juga menyaksikan munculnya kekuatan baru seperti Cina dan India di Asia, Iran di Timteng, dan Brazil di Amerika Latin, yang bukan tidak mungkin akan berkembang sebagai contenders atau pesaing yang dapat menyetop jangkauan global AS. Perlu diingat pula, bahwa setelah kolapsnya Empire Soviet, Rusia juga telah melakukan berbagai penyesuaian dalam geopolitik dan geostrateginya dengan melakukan pendekatan terhadap negara-negara di laut Kaspia dan Asia Tengah. Pendekatan baru dengan Iran dan Cina yang dilakukan oleh Rusia juga merupakan indikasi terjadinya pergeseran tersebut dengan konskuensi strategis yang signifikan. Bahkan negara seperti Jepang yang selama ini memiliki kedekatan strategis dan kaitan kepentingan ekonomis dengan AS ternyata telah pula melakukan berbagai penyesuaian strategis manakala ia melihat perkembangan Cina dan Korsel sebagai dua raksasa yang sedang menggeliat bangun, bukan saj secara ekonomi tetapi juga militer. Khusus dalam hal Cina yang mengalami pertumbuhan ekonomi secara menakjubkan selama dua dasawarsa, tak pelak lagi, telah menjadi salah satu kekuatan pesaing utama bagi AS dan dampaknya telah dan sedang dirasakan oleh negara-negara di kawasan Asia Timur, termasuk ASEAN dan Australia. Percepatan ekonomi Cina, ternyata diikuti oleh pemacuan sistem pertahanan strategis dan peningkatan kapasitas persenjataan, termasuk nuklir, pada beberapa waktu terakhir. Pembangunan dan beberapa kali uji coba senjata jelajah berhulu ledak nuklir oleh Cina menunjukkan kemampuan untuk mencapai sasaran jauh melampaui perbatasan negara itu, sehingga cukup mengkhawatirkan negara seperti Australia dan Jepang serta AS sendiri. Anggaran militer Cina pada 2007 telah mencapai jumlah sekitar US $ 139 miliar yang tentu saja membuat AS merasa was-was. Menlu Rice, misalnya, menyatakan bahwa AS khawatir terhadap pembangunan yang sangat cepat dalam sistem alutsista dengan teknologi tinggi yang dilakukan Cina, karena kurangnya transparansi dalam bidang pembelanjaan militer, doktrin dan tujuan strategis negeri Tirai Bambu tersebut. (2008). Di kawasan Timteng, Iran muncul menjadi pihak yang sangat diuntungkan secara strategis dari perkembangan konflik di kawasan setelah serangan AS di Irak dan Afghanistan sejak 2003. Hilangnya lawan-lawan utama seperti rezim Saddam Hussein dan Taliban memungkinkan rezim Mullah di Iran melakukan ekspansi pengaruh politik di kawasan serta menjadi penantang utama Israel dalam geopolitik baru, sekaligus ancaman terhadap kepentingan AS, khususnya jalur supply minyak, di masa depan. Pergeseran geopolitik dan strategis ini tentu akan berdampak bagi proses akselerasi Empire-making AS dan dominasi sekutunya, Israel, di Timteng sehingga masih terbuka kemungkinan eskalasi konflik di kawasan tersebut yang dapat merembet sampai di Asia Selatan. Kemungkinan serangan pre-emptive terhadap Iran yang dipergunakan sebagai bargaining chip oleh Pemerintahan Bush terhadap rezim di Teheran bisa jadi akan terealisasi apabila pihak terakhir itu gagal dalam mencari solusi kompromi dalam masalah pembangunan PLTN yang telah menjadi isu internasional beberapa tahun belakangan. Konstelasi geopolitik global di atas jelas akan menjadi tantangan serius bagi negara-negara berdaulat di kawasan Asia Tenggara, khususnya negara yang terbuka dan luas seperti Indonesia. Jika selama empat dasawarsa terakhir kawasan ini dapat menghindarkan diri dari konflik-konflik antar negara, hal tersebut merupakan suatu prestasi luar biasa dari ASEAN dan anggota-anggotanya. Namun demikian, adalah keliru apabila menganggap ancaman terhadap keamanan bukan persoalan utama dan penting dalam kondisi geopolitik global yang sedang berubah dan belum menunjukkan adanya stabilisasi dan arah yang jelas. Justru menurut hemat saya, negara besar dan utama seperti Indonesia harus mewaspadai perkembangan munculnya model ancaman keamanan baru yang dihasilkan oleh proses Empire-making dari negara adikuasa seperti AS serta bangkitnya aktor-aktor baru dalam geopolitik dan startegi global. Lebih-lebih jika di dalam negeri sendiri, perkembangan masyarakat sebagai akibat demokratisasi dan globalisasi akan mempengaruhi proses dan pertumbuhan serta perkembangan ancaman terhadap keamanan negara. Munculnya aktor non-negara yang memiliki kapasitas dan jejaring secara internasional, misalnya, sudah barang tentu harus dipertimbangkan dan dikaji secara lebih komprehensif, khusunya dikaitkan dengan perubahan geopolitik global seperti yang dipaparkan sebelumnya.Negara-negara yang berdaulat tidak lagi dapat bersikap taken it for granted dalam menghadapi ancama keamanan yang datang dari luar. Mereka tidak dapat lagi hanya mengandalkan pada kekuatan sendiri dalam menghadapi ancaman-ancaman yang makin rumit serta bervariasi sumbernya. Suatu strategi besar (grand strategy) baru dalam geopolitik dan geostrategi sangat diperlukan untuk dapat melindungi keberadaan dan keberlangsungannya dalam suatu kondisi yang tidak stabil dan rawan serta dibawah bayang-bayang suatu proses Empire-making. Sinergi-sinergi baru antara komponen-komponen negara, masyarakat sipil, dan kekuatan eksternal yang memiliki kesamaan visi dalam geopolitik dan geostrategis menjadi sine qua non di abad ke XXI.

Geografi Politik (6)9 Mitos Geopolitik1. Populasi dunia telah terlalu banyak (Overpopulated)Pertumbuhan populasi yang meningkat sering dituding sebagai sebab langkanya pangan. Kesimpulan ini diyakini sebagai sebab adanya kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial kemasyaratan. Pembangunan ekonomi di dunia ketiga tidak akan berhasil apabila angka pertumbuhan populasi tidak dikontrol. Itu sebabnya lembaga internasional dan pemerintahan mengembangkan dan menerapkan strategi untuk mengontrol angka pertumbuhan di dunia ketiga. Meledaknya angka populasi ini dinamai over yang berimplikasi pada penggunaan sumber daya yang habis-habisan untuk menunjang besarnya pertumbuhan populasi tersebut dan mengakibatkan ketidakstabilan global.Ketika asumsi-asumsi tersebut dicermati, maka tampaklah bahwa populasi bukanlah kambing hitam yang selama ini dipercaya, namun justru agenda politik yang menyebabkan bencana dibanyak belahan dunia. Agenda ini bermaksud untuk mengalihkan masyarakat awam dari faktor penyebab yang sesungguhnya yaitu gaya hidup, konsumerisme, pemiskinan, dan penindasan dunia ketiga oleh dunia barat.Negeri-negeri maju seperti Jepang, Rusia, Jerman, Swiss dan Eropa Timur saat ini mengalami dilema seperti menurunnya tingkat pertumbuhan penduduk karena rendahnya angka kelahiran. Negara-negara di Barat lainnya juga pasti akan mengalami penurunan populasi kalau saja tidak adanya imigrasi dari penduduk negeri lainnya. 2. Intervensi Barat terhadap konflik Balkan di tahun 1990-an adalah untuk menolong umat IslamSerangan NATO pada Yugoslavia di tahun 1993 sering ditampilkan dunia barat sebagai akibat keraskepalanya rezim Yugoslavia untuk menerima rencana perdamaian terutama pada penolakan Yugoslavia terhadap masuknya pasukan pemelihara perdamaian di Kosovo. Intervensi Barat yang berujung pada pemboman beruntun terhadap Yugoslavia oleh NATO selalu dijadikan bukti oleh NATO bahwa Perang melawan Teror saat ini bukanlah perang melawan Islam. Sebab, dunia Barat menyatakan bahwa ia akan menyerang siapapun demi misi kemanusiaan, bahkan kalau perlu menyelamatkan muslim Kosovo dari kebengisan Yugoslavia di tahun 1993. Kenyataan geopolitik sebenarnya tidak seperti itu. Ketidakstabilan Balkan di tahun 1990-an sebenarnya dipicu oleh keinginan kuat oleh Amerika untuk mengurangi pengaruh Rusia, menaikkan ketergantungan Eropa pada Amerika, dan memberikan legitimasi baru pada NATO, yang telah kehilangan fungsi sejak berakhirnya Perang Dingin (runtuhnya Uni Soviet dan Pakta Warsawa).3. Dunia akan segera kehabisan minyakPersaingan untuk meraih supremasi kekuasaan antara Jerman dan Inggris pada awal abad ke-20 memaksa kedua negara tersebut berlomba mencari bahan bakar pengganti batu bara untuk menjalankan mesin perang. Ditemukannya ladang minyak di Timur Tengah di tahun 1920-an memicu berawalnya abad teknologi baru, perubahan tatanan masyarakat dan berpindahnya keseimbangan kekuatan global.Pada akhirnya, bahan bakar berbasis fosil akan habis. Hingga berakhirnya abad ke-20, kemungkinan habisnya minyak belum dibahas karena masih banyak cadangan minyak yang belum ditemukan. Teknologi untuk menyalakan pesawat tempur, tank, dan mobil masih dirancang untuk menggunakan bahan bakar fosil, terlepas dari tingginya harga minyak.Puncak produksi minyak terjadi ditahun 1970-an dimana separuh dari cadangan minyak yang ada telah terkonsumsi. Namun kenyataan ini tidak begitu diindahkan pada masa tahun 1970-an. Kini, semua dunia khawatir bahwa minyak akan segera habis, suatu fakta sumber kepusingan geopolitik. Tanpa terkejut lagi, isu habisnya minyak bumi sebenarnya adalah penanda isu politik yang jauh lebih dalam.Bahwa dunia akan segera kehabisan minyak adalah alasan Barat untuk menutupi kerakusannya. Ketika beberapa negara mulai panik mencari minyak, maka terbukalah keburukan Barat dalam hal konsumsi minyak ini. Dunia Barat telah mengkonsumsi 50% dari sumber daya alam terpenting abad ke-21, tapi hanya memproduksi kurang dari 25% saja. Kerakusan Barat ini jauh melampaui kebutuhan Cina dan India terhadap energi. Khususnya, AS hanya memproduksi 8% minyak, namun mengkonsumsi 25% jumlah minyak yang ada.Ketika konsumsi AS meningkat, maka kompetisi untuk memperebutkan sumber energi akan semakin ketat. Ini yang menyebabkan Tanah timur Tengah semakin penting, terutama Irak, untuk diduduki demi minyak.4. Dunia Ketiga menjadi miskin karena tidak cukupnya jumlah pangan di duniaBanyak sekali organisasi yang telah meneliti sebab musabab kemelaratan seperti kurangnya sumber daya alam, efek cuaca lokal, hingga kurangnya penerapan demokrasi. Prinsipnya tidak ada semacam persetujuan dikalangan ahli sosiologi dan lembaga penelitian mengenai penyebab utama kemiskinan dan kemelaratan. Anehnya, semua sepakat, bahwa jalan keluarnya adalah penerapan kapitalisme dan adanya pasar bebas. Padahal kalau saja kita lihat secara umum situasi negara dunia ketiga, beberapa faktor berikut adalah penyebab utama pemiskinan yang ada sekarang.Fungsi IMF dan Bank Dunia dengan kebijakan perubahan strukturalnya yang terkenal telah menyengsarakan negeri klien seperti Pakistan, Turki, Indonesia, Bangladesh dan Mesir. Solusi yang diberikan lembaga keuangan internasional tersebut awalnya diperkirakan akan menyelamatkan negara-negara tersebut adalah dengan metoda perdagangan. Kenyataannya banyak sekali kendala yang dipasang oleh negara-negara maju supaya negara-negara berkembang tidak akan pernah bisa berkembang. Artinya, barang-barang yang diproduksi negara-negara maju harus diimpor oleh negara miskin. Memang teorinya sederhana, bahwa perdagangan akan meningkatkan kesejahteraan negara miskin. Itu sebabnya sektor swasta dilihat sebagai kunci pemicu pertumbuhan ekonomi dan penghilangan kemiskinan.Contohnya, Pakistan membutuhkan investasi di bidang kesehatan, pendidikan dan infrastruktur sebelum ia mampu berkompetisi secara global. Namun, IMF dan Bank Dunia justru menyuruh pemerintah Pakistan untuk mengurangi subsidi dibidang-bidang diatas dan meningkatkan fokus ke arah ekspor. Kedua lembaga keuangan tersebut menyuruh Pakistan untuk berkompetisi melawan sektor swasta internasional yang jauh lebih kuat. Itu sebabnya, pertumbuhan ekonomi Pakistan malah semakin terpuruk.Afrika juga dipaksa untuk untuk membayar hutang, sebagaimana terjadi semasa kolonial dulu. Hutang Afrika terjadi secara semena-mena dengan pemberian hutang milyaran dollar dengan bunga yang sangat tinggi. Hutang Afrika juga termasuk hutang yang diberikan negara maju semasa pemerintahan diktator, dimana dana pinjaman itu dihamburkan dengan sepengetahuan negara-negara donor/ pemberi hutang. Afrika Selatan, contohnya, mewarisi hutang semasa apartheid sekitar 46 milyar dollar. Pemerintahan baru Afrika Selatan yang berkuasa setelah Apartheid berakhir, dipaksa untuk membayar hutang masa lalunya (atau hutang yang digunakan untuk membiayai penindasannya sendiri). Di tahun 1998 ACTSA (Gerakan Afrika Selatan) memperkirakan bahwa hutang sebesar 18 milyar dollar digunakan untuk membiayai kebijakan apartheid dan 28 milyar dollar adalah hutang yang ditanggung negara-negara tetangga Afrika Selatan untuk membiayai program untuk menghadapi destabilisasi atau imbas dari kebijakan apartheid, dimana berkisar sekitar 74% dari total hutang Afrika.Negara berkembang akan selalu menjadi miskin akibat kebijakan negara Barat. Jelasnya, bukan karena kekurangan pangan tetapi justru oleh konsumsi yang berlebihan oleh masyarakat Barat (yaitu sekitar 20% dari populasi dunia), namun menghabiskan 80% dari produksi pangan.5. PBB menegakkan Hukum Internasional untuk mengatur hubungan dan menyelesaikan konflik internasionalPBB didirikan ditahun 1945 untuk menyelamatkan generasi berikut dari derita peperangan. Sejak itu, tidak kurang 250 konflik tercetus yang membuktikan kegagalan PBB dalam meraih tujuan didirikannya. Barat, dan juga para pembuat kebijakan dunia ketiga, melihat PBB sebagai institusi netral (tidak bias) yang terdiri dari 200 negara anggota, yang menjunjung tinggi nilai internasional, aksi multilateral, demokrasi, pluralisme, sekularisme, kompromi, dan hak asasi manusia.Padahal, PBB sebenarnya adalah alat eksploitasi yang terlihat dari struktur organisasinya yang membiarkan penindasan yang dilakukan oleh kekuatan kolonial yang kini menjadi anggota tetap Dewan Keamanannya. Banyak peristiwa yang menunjukkan kelemahan PBB, seperti invasi Irak, penerapan hukum secara selektif pada Israel, kegagalan pembantaian Muslim di Serbia, dan pembersihan etnis di Rwanda.6. Dunia Ketiga harus meliberalisasi ekonominya supaya berkembangDalam tiga abad terakhir, Kapitalisme telah mendominasi pembangunan internasional dan memonopoli perkembangan ekonomi serta memaksa diterapkannya kebijakan-kebijakannya pada dunia. Macan ekonomi Asia seperti Cina, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hongkong sering dikutip sebagai contoh sukses negara yang mengadopsi liberalisme sehingga berhasil meraih kemajuan. IMF dan Bank Dunia memproklamirkan industrialisasi dan ide ekonomi liberal akan mentransformasi ekonomi tradisional dan masyarakat. Pengaruh seperti ini akan menetapkan negara-negara miskin dalam jalur perkembangan sejalan dengan pengalaman negara-negara maju semasa revolusi industri dulu.Kemiskinan adalah fakta yang ada pada mayoritas penduduk dunia. 3 milyar jiwa hidup dibawah 2 dollar per hari, sedangkan 1,3 milyar jiwa lainnya hidup kurang dari 1 dollar per hari. 1,3 milyar jiwa hidup tanpa air bersih, 3 milyar jiwa hidup di lingkungan yang tidak sehat dan 2 milyar jiwa tidak memiliki akses penggunaan listrik. Liberalisme justru menjadi sebab ketimpangan kesejahteraan dan pemiskinan bagi mayoritas penduduk dunia. Banyak sekali survei yang menunjukkan bahwa liberalisme adalah biang kemelaratan. Tanggal 7 Desember 2006 adalah hari diluncurkannya laporan internasional yang dikeluarkan oleh Institut Global untuk Penelitian Perkembangan Ekonomi milik PBB. Hasilnya cukup mencengangkan bahwa penduduk dunia yang kaya (sekitar 1% dari total penduduk bumi) menguasai 40% dari aset kekayaan dunia dan 10% dari populasi dunia menguasai 85% dari total asset dunia. Liberalisme telah dan akan terus membiarkan dunia Barat untuk menghisap kekayaan dunia ini. Liberalisme juga tidak akan pernah berpihak pada dan menaikkan derajat kaum miskin, dan justru menjadi alat pemiskinan. Maka penerusan kebijakan ekonomi liberal di dunia ketiga adalah biang kemelaratan yang berkelanjutan.7. Pemanasan global akibat pembangunan Cina dan IndiaPemanasan global dan perubahan cuaca berarti penambahan suhu rata-rata secara global. Kejadian alam dan aktifitas manusia diduga sebagai kontributor perubahan suhu secara global. Hal ini terjadi karena adanya efek rumah kaca dimana naiknya suhu diakibatkan terperangkapnya jenis gas di atmosfir tertentu seperti karbon dioksida (CO2).Setiap beberapa tahun, ilmuwan bidang cuaca pada Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Suhu (IPCC) milik PBB mengeluarkan laporan yang menjelaskan secara detil perubahan cuaca yang terjadi. Secara garis besar, laporan ini menyarankan adanya penurunan emisi. Panel ini terdiri dari ratusan peneliti dunia. Di awal tahun 2007, IPCC telah mengeluarkan laporan ke-4 yang menyimpulkan bahwa mereka semakin yakin bahwa aktifitas manusia adalah penyebab kenaikan suhu Pemahaman tentang pemanasan dan penurunan suhu mulai lebih baik sejak laporan Third Assessment Report (Evaluasi Ke-3), yang memberikan keyakinan bahwa aktifitas manusia sejak taun 1750 memberikan efek perubahan cuaca yang cenderung memanas. Definisi tentang keyakinan merujuk ke tingkat kepastian hingga 90% tepat (di tahun 2001, baru 66% tepat).Dari segi sejarah emisi, negara-negara industrialis berkontribusi terhadap 80% dari total terperangkapnya CO2 di atmosfir. Sejak tahun 1950, AS telah mengeluarkan emisi sebesar 50,7 milyar ton karbon, sementara Cina (yang penduduknya 4,6 kali lebih banyak dibanding AS) dan India (yang populasinya 3,5 kali lebih banyak) mengeluarkan hanya sekitar 15,7 dan 4,2 milyar ton, secara berurut. Tiap tahun lebih dari 60% emisi industri global berasal dari negara-negara industri, dimana hanya memiliki 20% populasi penduduk dunia.8. Umat Muslim dunia tidak menginginkan IslamSelama bertahun-tahun, Barat selalu mengatakan bahwa Muslim di seluruh dunia menginginkan demokrasi dan kebebasan ketimbang Islam. Mereka juga mengatakan bahwa hanya kaum minoritas Muslim saja seperti di Pakistan dan Afganistan yang menginginkan Islam sedangkan mayoritas umat Islam mengagumi dunia Barat dan ingin hidup dibawah naungan kapitalisme. Namun kini, adalah kaum Muslim modernis yang menyatakan bahwa dunia Muslim tidak ingin Islam dan tidak akan pernah siap untuk Islam. Ironisnya, Barat malah mulai menyadari bahwa ternyata Islamlah yang dirindukan oleh umat Muslim dan Barat berjuang keras untuk menghadapi setiap kemungkinan ancaman kebangkitan Islam.9. Israel tidak pernah terkalahkan dan terbukti dengan kemenangannya di 4 perang, maka dunia Islam harus menerima kenyataan ini bahwa keberadaan Israel adalah suatu keniscayaanSejak berdiri di tahun 1948, Israel dan militernya selalu diliputi mitos sebagai kekuatan yang tak terkalahkan. Menariknya, mitos tersebut tidak dimotori oleh Israel sendiri tapi justru oleh para pemimpin pengkhianat yang menguasai umat Islam.Kinerja militer Israel pada perang 1948, 1956, 1967, dan 1973 melawan umat Islam sering dikutip sebagai superioritas militer Israel. Implikasinya, konflik melawan Israel secara langsung sering dianggap oleh negara-negara Arab sebagai strategi yang tidak menguntungkan, sehingga mereka terpaksa untuk bernegosiasi dengan Israel. Konsekuensi dari negosiasi tentunya adalah pengakuan terhadap kedaulatan dan keberadaan Israel melalui proses perdamaian. Dalam merangkum fakta kekuatan militer Israel, kita perlu mengingat pertanyaan penting: Apa tujuan pembuatan dan penyebaran mitos ini? Yaitu agar Yahudi dapat berkuasa di dunia.

Geografi Politik (7)Geopolitik AS* Geopolitik Amerika Serikat dalam Penguasaan Minyak Dunia* Ambisi Amerika dalam Mencari DaerahAmerika sebagai negara adidaya terlihat sangat rakus akan emas hitam atau minyak. Cina saat ini menjadi pesaing utama Amerika di bidang ekonomi, ekonomi Cina naik tajam. Amerika tidak ingin tersaingi oleh siapapun sehingga akan berbuat apapun untuk mempertahankan kedigdayaannya. Saat ini harga minyak dunia naik sampai dengan 98 USD per barrel hampir pada batas psikologis 100 USD per barrel. Bisa dibayangkan jika harga minyak sampai dengan angka tersebut maka akan terjadi resesi ekonomi seperti halnya yang terjadi pada tahun 1973-1980-an. Keinginan Amerika untuk mengeruk minyak memang terlihat sangat jelas, dengan dimasukkannya minyak kedalam National Security Policy karena negara ini merupakan pengimpor minyak terbesar, apa jadinya jika Amerika kehabisan minyak, perekonomian mereka akan jatuh. Pada tahun 2025 diperkirakan cadangan minyak di Timur Tengah akan menurun, belum lagi konflik antara pemerintahan Amerika dengan rakyat Timur Tengah yang menentang kebijakan-kebijakan luar negeri AS. Ketakutan AS jika Timur Tengah mengembargo minyak ke AS membuat AS mencari daerah baru yang bisa dijadikan tambang minyak. Salah satunya adalah Asia Tengah dan Myanmar yang diperkirakan masih menyimpan cadangan minyak hingga 30 tahun mendatang. Secara geopolitik, Cina tidak ingin kehilangan pengaruhnya di Myanmar, oleh sebab itu Cina akan mempertahankan keterlibatannya dalam menangani kasus Myanmar, karena Myanmar mempunyai latar belakang yang sama dengan Cina. Disamping ingin mendapatkan keuntungan dari minyak yang berada di Teluk Bengala.* Soft Diplomacy IranKekuatan Amerika saat ini belum ada yang menandingi, adanya kegelisahan Rusia atas hegemoni AS di Asia Tengah membuat Rusia mencoba untuk membentuk kekuatan baru dengan merangkul negara-negara yang selama ini tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Amerika. Dikuasainya Afghanistan, Uzbekistan, Tajkistan dan negara Asia Tengah lainnya, telah membuat Rusia harus waspada. Negara-negara yang pernah menjadi bagian dari Rusia kini sudah mulai diambilalih oleh Amerika, terlihat dari ditempatkannya pasukan Amerika di negara-negara bekas Soviet tersebut. Pasca terjadinya kehancuran gedung WTC, Amerika terus mencari mastermind pengahancur gedung tersebut, Osama bin Laden. Dengan slogan melawan terorisme diam-diam AS juga merancang strategi untuk bisa mendapatkan wilayah jajahan baru yang kaya akan sumber minyak. Negara-negara yang dianggap tidak setuju dengan kebijakan AS itu maka dianggap teman teroris yang berarti harus dimusnahkan. Iran salah satunya, padahal pasca penghancuran WTC, Iran merupakan negara pertama yang mengungkapkan belasungkawa. Namun apa yang terjadi Presiden Bush mengatakan bahwa Iran merupakan axis of evil atau poros setan, yang terjadi saat ini sebagai polisi dunia AS berupaya keras mengatakan pembangunan instalasi nuklir Iran akan digunakan untuk pembuatan senjata pemusnah massal. Jika pada akhirnya nanti Rusia-Iran-China bersatu untuk melakukan kerjasama dalam pengembangan minyak maka akan dua kekuatan besar di dalam kancah politik global AS dan aliansi Rusia-China-Iran. Di dalam mengambil kebijakan politiknya, Amerika menggunakan teori dari Ratzel yang mengatakan negara seperti akan berkembang, yang kuat akan hidup dan yang lemah akan mati, oleh sebab itu Amerika selalu mempertahankan eksistensinya sebagai negara adidaya, mereka tidak ingin ada pesaing. Kekuatan ekonomi Cina sepuluh tahun mendatang akan kembali menurun demikian diungkapkan oleh ekonom George Soros yang disebut-sebut sebagai biang krisis moneter di Asia pada tahun 1997. Keberadaan Iran sebagai negara yang berani melawan kekuatan Amerika disambut baik oleh Rusia. Berawal dari pembangunan instalasi nuklir di Iran membuat pemerintah Amerika gerah karena merasa tersaingi, bukan hanya itu, penyebutan Iran sebagai axis of evil (poros kejahatan) semakin membuat hubungan Iran dengan AS * Geopolitik AS di IrakMemasuki awal abad ke-19, hadir seorang tokoh terkemuka geopolitik kelahiran Inggris bernama Sir Halford Mackinder yang juga mendapat julukan sebagai intellectual architect dalam pemahaman prinsip keamanan internasional. Dia mengklasifikasikan dunia menjadi empat bagian yakni: 1. Heartland mencakup kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah (World Island); 2. Marginal Lands mencakup kawasan Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian besar daratan Cina; 3. Desert mencakup wilayah Afrika Utara dan yang terakhir, 4. Island or Outer Continents meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.* IroniIronisnya, reputasi nama besar Mackinder yang dianggap sebagai ahli geopolitik yang dapat diekspresikan ke dalam kehidupan dunia politik dan strategi kondisi geografis, menjadi tercela yang cukup mendalam dikarenakan gagasannya telah memberikan pengaruh yang sangat kuat kepada Nazi Jerman. Satu hal yang perlu dicatat juga bahwa pandangan Mackinder telah memberikan suatu acuan toleransi yang cukup akurat untuk memahami hubungan kontemporer antara Amerika dan Soviet setelah Perang Dunia II. Perubahan politik dan ekonomi international mengalami pergerakan yang dinamis sehingga seringkali pergesekan atau friksi antar kepentingan nasional dari setiap negara. Sejak minyak menjadi satu-satunya komoditas yang sangat strategis bagi kehidupan manusia dan semakin sulit diketemukan cadangan minyak baru di wilayah negara konsumen itu sendiri, diiringi permintaan yang terus meningkat, kawasan Timur Tengah menjadi ajang perebutan pengaruh bagi negara konsumen seperti Amerika, Inggris, Rusia, Jerman, Italia, Prancis, Cina, Jepang dan tentunya negara-negara industri lainnya untuk mendapatkan akses jaminan suplai minyak.Berbagai cara dilakukan oleh negara-negara Barat untuk mendapatkan hubungan kerja sama negara penghasil minyak di kawasan Heartland. Begitu tinggi tingkat ketergantungan suplai minyak dari kawasan ini, negara-negara Barat berupaya untuk membuat kebijakan "arm sales dan security assistance" kepada negara-negara yang mempunyai kemampuan atas jaminan pembayarannya seperti Arab Saudi, Iran, Kuwait, Oman, UAE, Bahrain dan Iraq. Dominasi penjualan berbagai ragam peralatan perang dari Amerika dan Inggris setelah Perang Dunia II mulai tergeser dengan Prancis, Jerman, Rusia, Italia. Setelah adanya oil shock 73 dan 79, kompetisi untuk pemasaran persenjataan dengan teknologi yang mutakhir semakin meningkat, terutama dari Rusia dan Prancis yang menjualnya ke Irak. Tidak ketinggalan juga dengan Jerman yang berupaya melakukan kerjasama di bidang pertahanan dan keamanan dengan Arab Saudi. Prancis telah melakukan kontrak untuk pembangunan teknologi nuklir sebesar US$ 275 juta sehingga dicurigai oleh negara tetangganya mempunyai ambisi menjadi pusat pembangkit persenjataan nuklir. Begitu juga dengan Italia yang berkeinginan untuk mengeksport teknologi nuklir beserta materialnya ke Baghdad. (Energy Security in the 80s: The Response of US Allies, Frans R. Bax, analis politik CIA). Apa latar belakang upaya penjualan alat-alat persenjataan militer oleh negara-negara Barat yang begitu menggebu di kawasan ini? Keseluruhannya itu semata-mata untuk mengimbangi pembayaran impor minyak (oil bills) dan disisi lain tidak ketinggalan juga tentunya untuk mendukung industri pertahanan. Henry Kissinger menyebut kebijakan ini "recycle petrodollar" yang mulai diterapkan setelah mengalami oil shock tahun 1973. Amerika Serikat telah memperlihatkan kepada dunia bahwa menjaga kawasan Timur Tengah yang stabil merupakan bagian dari pelaksanaan panggilan kepentingan nasional yang vital. * Keberpihakan AS Ketergantungan atas impor minyak dari kawasan ini 45% dari total konsumsi dalam negeri. Langkah inisiatif untuk mendamaikan Israel dengan Palestina telah mendapat sambutan yang luar biasa oleh para sekutunya. Langkah itu berarti menurunkan ketegangan politik antar-negara Arab dengan Israel, sehingga dapat menurunkan juga tingkat kekhawatiran kemungkinan terganggunya jaminan suplai minyak. Namun, di satu sisi keberpihakan Amerika terhadap Israel juga sangat transparan. Terbukti sewaktu diadakan pertemuan antar Amerika dengan sekutunya di Venice tahun 1980, Presiden Carter mengatakan secara terbuka "United States would veto any European attempt to push a UN resolution supporting Palestinian self-determination". (Hal yang sama ternyata tidak dilakukan oleh Amerika terhadap Indonesia ketika ada yang mengusulkan self determination untuk Timor Timur, apalagi setelah adanya konfirmasi penemuan cadangan minyak yang sangat besar di Celah Timor). Doktrin Carter yang dicanangkan pada waktu itu bahwa kawasan Persia merupakan a vital interest of the United States kemudian diikuti dengan suatu pernyataansecara terbuka: "An attempt by outside force to gain control on the Persian Gulf region will be regarded as an assault on the vital interest of the Untied States of America, and such an assault will be repelled by any means necessary, including military force". Yangsangat dikhawatirkan oleh Amerika Serikat yakni adanya saingan dari negara lain yang masuk ke kawasan Timur Tengah untuk melakukan perjanjian ekonomi bilateral yang sifatnya jangka panjang dalam bentuk barter alat persenjataan militer dengan minyak, government-to-government contract. Data dari para geologis terkemuka, Irak mempunyai potensi kandungan minyak sebesar 112 miliar barel yang berarti menempati urutan kedua penghasil minyak terbesar setelah Arab Saudi. Jenis minyak dari Irak yakni Basrah Light dan Kirkuk yang mempunyai karakter tersendiri, sweet crude oil, kandungan sulfurnya sangat rendah dan meskipun tidak termasuk dalam bagian OPEC basket price, dalam perdagangan international jenis minyak dari Irak sangat mahal dan juga mempunyai pengaruh untuk penentuan harga internasional. Dengan potensi ini, negara-negara konsumen berlomba-lomba untuk melakukan kerja sama ekonomi dengan Irak. Tampaknya hal itu telah terjadi dan berkembang dalam lima tahun terakhir ini dengan adanya perjanjian bilateral antara Irak dengan Rusia, Prancis, Jerman dan Cina. Rusia telah melakukan kontrak suplai minyak jangka panjang dengan Irak; Cina melakukan penjualan peralatan militer terhadap Irak yang dikompensasikan dengan jaminan suplai minyaknya; Prancis telah mendapatkan konsesiminyak yang mempunyai potensi sangat besar. Kondisi ekonomi Irak sangat memprihatinkan. Semenjak diberlakukannya program Oil For food Security Council Resolution 986 (UN-SC 986) setelah perang teluk tahun 1991, membuat ketidakberdayaan ekonomi Irak untuk memiliki purchasing power dalam perdagangan internasional. Salah satu upaya Irak untuk mendapatkan ekstra devisa yakni dengan Rusia telah diupayakan penyelundupan melalui jalur rahasia, namun dapat digagalkan oleh tim pengawas dari PBB yang dipimpin Amerika. Begitu ketatnya pengawasan itu, terkesan setiap barrel yang keluar dari Irak dicatat oleh petugas pengawas PBB. Sanksi ekonomi terhadap Irak oleh PBB sejak tahun 1991 tampaknya sudah memakan korban cukup banyak yang diakibatkan penyakit radang paru-paru, sakit pernapasan dan kekurangan gizi. Departemen Kesehatan Irak mencatat sampai akhir tahun 2000 telah meninggal dunia sebanyak 1.300.867 orang, 500 ribu di antaranya anak-anak. Berbagai organisasi HAM internasional menilai bahwa sanksi ekonomi ini telah melanggar Geneva Convention 12-08-49, termasuk protokol tambahan yang telah dikeluarkan pada tahun 1977. (Oil for Food, Siapa yang Diuntungkan? SP, Mei 2000, DDP). Perkembangan terakhir dari tim investigasi PBB sampai batas waktu yang telah ditentukan, belum ditemukan adanya indikasi Irak memiliki WMD seperti yang telah dicurigai oleh Amerika. Hasil sementara investigasi ini membuat Jerman dan Prancis menarik dukungan Amerika untuk menyerang Irak, kemudian disusul dengan Rusia, Italia dan Cina. Mereka telah mempertimbangkan bahwa perang bukanlah merupakan jalan terbaik, yang nantinya akan memicu reaksi negatif terhadap perang internasional melawan teroris. Kalau Amerika bersikeras untuk menyerang Irak, dukungan utama yang pasti akan datang dari Inggris dan sudah pasti tidak ketinggalan Australia, seperti yang selalu terjadi di berbagai tempat. Bagi negara-negara yang mundur dari dukungan terhadap Amerika untuk bergabung dalam Perang Teluk II telah mempelajari dengan seksama bahwa nantinya bila pecah perang di Irak akan menambah instabilitas politik negara-negara Islam di Timur Tengah dan biasanya akan diikuti dengan kekacauan suplai minyak sehingga dapat mengakibatkan tingginya harga minyak. Kalau sampai ini terjadi, selanjutnya akan bermuara pada resesi ekonomi dunia. Jalan yang terbaik pada saat