Genome Evolution

77
GENOM EVOUTION MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Evolusi yang Dibina Oleh Prof. Dr. agr. Mohamad Amin, S.Pd., M.Si Oleh Kelompok 8/Kelas D: Husdiani Ningsih (140341807091) Nuril Maghfiroh (140341807614) W.F Edi Hunsen (140341807914)

description

makalah evolusi genom

Transcript of Genome Evolution

GENOM EVOUTION

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Evolusi

yang Dibina Oleh Prof. Dr. agr. Mohamad Amin, S.Pd., M.Si

Oleh Kelompok 8/Kelas D:

Husdiani Ningsih (140341807091)

Nuril Maghfiroh (140341807614)

W.F Edi Hunsen (140341807914)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

PASCASARJANA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

Maret 2015

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhir-akhir ini, genom hanya dapat dipelajari secara tidak langsung,

dengan penerapan sebagian dan terkadang tidak mewakili sekuen genom.

Keadaan mulai berubah dengan cepat sehingga keberadaan sekuen genom lengkap

telah ditemukan. Genom organel adalah yang pertama disekuensing; sekuen

mitokondria lengkap yang pertama (~17.000 bp) dikemukakan pada tahun 1981,

dan genom kloroplas yang pertama (~156.000 bp) pada tahun 1986. Sekuen

genom lengkap pertama pada organisme yang hidup bebas ialah eubacterium

Haemophilus influenzae (~1.830.000 bp), diselesaikan pada tahun 1995, diikuti

perubahan yang cepat dengan ditemukannya sekuen lengkap archaeon,

Methanococcus jannaschii (~1.660.000 bp), dan 16 kromosom ragi uniseluler,

Saccharomyces cerevisiae (~12.000.000 bp). Genom organisme multiseluler

lengkap pertama, pada nematoda Caenirhabditis elegans (~97.000.000 bp), yang

dilaporkan pada tahun 1998, dan proyek genom untuk Drosophila melanogaster,

manusia, tikus, padi, dan jagung diharapkan akan dilengkapi di masa pada masa

yang akan datang. Dalam pembahasan kali ini dikhususkan, untuk mempelajari

evolusi genom secara sederhana dengan menggunakan sekuen genom.

Pembahasan yang akan disajikan berisi empat topik yang berbeda. Topik

yang pertama adalah ukuran genom, yang mana sangat bervariasi antara

organisme. Bagaimana variasi ini dipertahankan, dan mekanisme apa yang dapat

meningkatkan atau menurunkan ukuran genom dalam menghasilkan variasi.

Selain itu, juga dibahas terkait informasi genetik yang termasuk di dalam genom.

Dapatkah genom berisi banyak gen DNA, atau genom terbuat dari sebagian besar

sekuen nongenik. Apakah fraksi nongenik memiliki fungsi, atau tidak. Terdapat

banyak pengulangan sekuen pada genom dan jika demikian apa fungsi dan pola

distribusi kromosom. Topik kedua yaitu masalah keteraturan gen dan dinamika

perubahan evolusi dalam keteraturan gen. Bagaimana distribusi gen di sepanjang

dan di antara kromosom. Mekanisme apa yang bertanggungjawab untuk

pembentukan kembali keteraturan gen selama evolusi. Topik ketiga berkaitan

dengan komposisi nukleotida dalam genom. Apakah ada heterogenitas dalam

komposisi di sepanjang daerah yang berbeda dari genom. Mekanisme apa yang

dapat menimbulkan perbedaan di daerah setempat dalam komposisi nukleotida.

Topik yang terakhir, berkaitan dengan evolusi kode genetik.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penjelasan adanya variasi ukuran genom di antara organisme?

2. Bagaimanakah penjelasan terkait dengan masalah keteraturan gen dan

dinamika perubahan evolusi dalam hubungannya dengan keteraturan gen?

3. Bagaimanakah penjelasan terkait komposisi nukleotida dalam genom?

4. Bagaimanakah penjelasan terkait dengan adanya peristiwa evolusi pada kode

genetik?

C. Tujuan

1. Menjelaskan adanya variasi ukuran genom di antara organisme.

2. Menjelaskan keteraturan gen dan dinamika perubahan evolusi dalam

hubungannya keteraturan gen.

3. Menjelaskan adanya komposisi nukleotida dalam genom.

4. Menjelaskan adanya peristiwa evolusi pada kode genetik

BAB II

PEMBAHASAN

A. Nilai C

Pada organisme haploid seperti bakteri, ukuran genom ditunjukkan oleh

jumlah total DNA di dalam genom. Pada organisme diploid ataupun poliploid,

ukuran genom didefinisikan sebagai jumlah DNA dalam genom haploid yang

tidak direplikasi, seperti pada inti sperma. Ukuran genom juga disebut dengan

nilai C, dimana C diartikan sebagai “konstan” atau “karakteristik” yang

menunjukkan bahwa ukuran genom haploid menunjukkan variabilitas

intraspesifik yang kecil yang cukup konstan dalam setiap spesies. Sebaliknya,

nilai C memiliki variasi yang luas dari spesies satu ke spesies yang lain baik pada

prokariot maupun eukariot.

Ukuran genom inti pada eukariot biasanya dalam satuan picograms (pg)

dari DNA (1pg=10-12 g). Genom terkecil prokariot umumnya dinyatakan dalam

satuan dalton, suatu unit dari atom relatif atau massa molekul. Ukuran dari genom

yang masih tergolong terkecil, serta ukuran spesifik untaian DNA, lebih sering

dinyatakan dalam base pairs (bp) atau kilobase pairs (Kb) dari DNA atau RNA

untai ganda (1 Kb = 1000 bp). Sekuens genom yang lengkap biasanya dinyatakan

dalam megabase pairs (1Mb = 1000 Kb). Faktor konversi ini ditunjukkan dalam

Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Faktor Konversi Ukuran Genom Organisme

UnitFaktor Konversi

Picograms Dalton Base PairsPicogram 1 6,02 x 1011 0,98 x 109

Dalton 1,66 x 10-12 1 1,62 x 10-3

Base Pair 1,02 x 10-9 618 1(Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

B. Evolusi Ukuran Genom pada Prokariot

Ukuran genom bakteri bervariasi, berkisar antara 20-30 kali dari ukuran

yang terlecil yaitu 6x105 bp pada beberapa intraseluler parasit obligat, sampai

lebih dari 107 bp pada beberapa spesies cyanobakteri (Tabel 2.2). Mollicutes, yang

tidak memiliki dinding sel dan prokariot terkecil yang hidup bebas dan mampu

melakukan reproduksi sendiri, umumnya memiliki ukuran genom yang sangat

kecil. Kelas Mollicutes terdiri dari enam marga, di antaranya Mycoplasma adalah

yang paling terkenal.

Tabel 2.2 Kisaran Nilai C pada Beberapa Prokariot.Taxon Kisaran ukuran genom

(Kb)Rasio (Tinggi/Rendah)

Bacteria 580 – 13,200 23 Mollicutes 580 – 2,200 4 Gram negativea 650 – 9,500 15 Gram positive (Firmicutes)

1,600 – 11,600 7

Cyanobacteria 3,100 – 13,200 4Archaea 1,600 – 4,100 3

Data diambil dari Caviler-Smith (1985), Romling et al. (1992), Carle et al. (1995), dan sumber lain.aKebanyakan dari kelompok paraphyletic(Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

Genom terkecil yang kita ketahui adalah pada patogen urogenital

Mycoplasma genitalium, yang mengandung sekitar 470 gen pengkode protein, 3

gen rRNA spesifik, dan 33 gen tRNA spesifik. Gen pembawa informasi yang

terkandung dalam genom M. genitalium dipercaya hanya sedikit yang lebih besar

dari jumlah minimal yang dibutuhkan untuk hidup. Sejumlah gen pada bakteri lain

kurang lebih pada kisaran 500 hingga 8000 (kira-kira berkisar 20 kali). Dengan

kata lain, variasi gen kira-kira hampir sama dengan variasi pada nilai C.

Rata-rata ukuran gen pengkode protein pada bakteri adalah sekitar 1 Kb,

ukuran fraksi gen pada genom diperkirakan berkisar antara 500 Kb hingga sekitar

104 Kb. Kita dapat menyimpulkan bahwa prokariot tidak mengandung DNA

nongenik dalam jumlah yang besar. Memang, mayoritas sekuen pengkode protein

pada spesies bakteri lebih banyak mencapai 87-94% dari genom, sehingga fraksi

nongenik nampak sedikit lebih kecil. Kecuali hingga sampai saat ini ialah pada

genom intraseluler parasit Rickettsia prowazekii, yang mengandung 24% DNA

noncoding. Untuk eubakteria mempunyai sekuens yang lengkap, ini

memungkinkan untuk memperhitungkan korelasi antara ukuran genom dan

jumlah genom (Gambar 2.1). Korelasi yang hampir sempurna menunjukkan

bahwa variasi pada ukuran genom bakteri dapat sepenuhnya dijelaskan oleh

jumlah gen. Korelasi yang sama nampak pada Archaea, tetapi saat ini data sangat

terbatas untuk menggambarkan kesimpulan pastinya.

Gambar 2.1 Hubungan antara jumlah gen dan ukuran genom pada sekuen lengkap spesies eubakteria dengan 12 genom sirkuler dan satu genom linier.

(Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

Genom bakteri dibagi menjadi 3 fraksi yaitu (1) DNA kromosomal, (2)

DNA yang berasal dari plasmid, dan (3) transposable elements. Fraksi

kromosomal mengandung gen pengkode protein yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan dan fungsi metabolisme (90-95%), pengaturan jarak dan jenis sinyal

(~5%), gen spesifik RNA (~1%), dan beberapa sekuen berulang, umumnya pada

urutan panjang beberapa pasang basa. Beberapa bakteri mungkin memiliki

plasmid sebagai elemen genetik ekstrakromosomal. Pada beberapa contoh, gen

diturunkan dari plasmid yang ditemukan menyatu pada koromosom bakteri.

Transposable elements umunya merupakan komponen dari genom bakteri.

Sebagai contoh, wild strain dari Eschericia coli mengandung 1-10 salinan pada

paling sedikit dari 6 tipe yang berbeda dari sekuen insersi (penyisipan). Fraksi

nongenik dari genom (termasuk sekuen insersi, plasmid dan bekteriofag) nampak

pada satu urutan yang ukurannya lebih kecil dari fraksi kromosom. Yang lebih

menarik, pada semua spesies bakteri yang memiliki sekuen genom yang lengkap,

ditemukan petunjuk untuk gen fungsional melalui transfer gen horisontal. Pada

banyak kasus, transfer gen horisontal telah disimpulkan melalui daerah unik pada

isi/kandungan GC dan pemakaian kodon.

Distribusi dari ukuran genom pada bakteri adalah diskontinu,

menunjukkan ujung mayor dengan nilai berkisar antara 0,8 x 106, 1,6 x 106, dan

4,0 x 106 bp, dan beberapa ujung minor pada 7,2 x 106 dan 8,0 x 106 bp. Distribusi

ini membawa Roley dan koleganya untuk mengusulkan bahwa genom yang besar

seperti pada E. coli dapat berkembang dari genom kecil melalui siklus yang

berurutan pada duplikasi genom. Meskipun begitu, ukuran genom sudah

terakumulasi. Ujung pada distribusi ini cenderung menghilang. Namun, seperti

kebanyakan data ukuran genom yang telah diakumulasi, puncak pada distribusi

cenderung menghilang sebagai kesenjangan dalam distribusi. Dalam serangkaian

studi yang lebih baru, Labedan dan Riley tidak menemukan adanya bukti untuk

duplikasi genom dalam evolusi sejarah E. coli. Saat ini, hanya bakteri gram-

negatif yang menunjukkan distribusi diskontinu.

Semenjak dikemukakan pembahasan antara ukuran genom dan filogeni

bakteri, hal ini mendukung bahwa bertambahnya ukuran genom secara

berkelanjutan terjadi pada garis keturunan bakteri (Wallace dan Morowitz 1973).

Penggunaan filogeni bakteri sebagai dasar untuk membandingkan sekuen rRNA,

Herdman (1985) menghubungkan perubahan dalam ukuran genom yang

dipergunakan dalam sejarah filogeni. Hasil penyelidikan ini mengindikasikan

bahwa bertambahnya ukuran genom terjadi secara independen atau bebas pada

beberapa garis keturunan bakteri. Menariknya, bahwa banyak pertambahan

ukuran genom terjadi secara kebetulan pada beberapa garis keturunan bakteri dan

pada spesifik waktu yang lain pada sejarah evolusi di bumi, yakni pada saat

jumlah oksigen di atmosfer bumi tidak dapat diperkirakan, kira-kira 1,8 milyar

tahun yang lalu.

Distribusi ukuran genom pada bakteri dapat dijelaskan melalui kombinasi

beberapa proses: (1) banyak gen independen dan duplikasi operon, (2) delesi

dalam skala kecil dan insersi, (3) transposisi duplikatif, (4) transfer horisontal gen

terutama dari plasmid dan bakteriofag, dan juga dari spesies lain, dan (5)

hilangnya ujung masif DNA dalam sebagian besar parasit.

C. Genom Minimal

Pencarian genom dari “wujud replikasi autonom terkecil” telah dimulai

pada akhir 1950an oleh Morowitz dan rekannya. Dimulai dengan mempelajari

Mollicutes, yang mana merupakan organisme seluler dengan genom terkecil dan

jumlah gen terkecil di alam. Tidak ada bukti, bagaimanapun juga bahwa 468 gen

pengkode protein dalam M. genitalium benar-benar mewakili kebutuhan minimal

untuk mempertahankan hidup. Terdapat kemungkinan bahwa derajat tertentu

redundansi genetik ada bahkan dalam genom yang paling efisien. Berikut ini akan

dijelaskan dua pendekatan untuk menyimpulkan set gen minimal untuk kehidupan

selular.

1. Pendekatan Analitis

Dasar rasionil di belakang metode anatisis Koonin dan Mushegian (1996)

dan Mushegian dan Koonin (1996a) sangat berterus-terang. Perkiraan awal

komplemen gen minimal dilakukan dengan mengidentifikasi himpunan semua gen

ortolog yang umum untuk sekelompok organisme. Salah satu contohnya,

mengenai perbandingan proteom E. coli, H. influenzae, dan M. genitalium,

ditunjukkan pada Gambar 2.2. Dari perbandingan tersebut, dapat disimpulkan

perkiraan gen minimal ialah 239 gen.

Gambar 2.2 Diagram venn ortolog yang umum untuk gen pengkode protein antara tiga spesies bakteri. M. genitalium dan H. influenzae memiliki 240 kesamaan

orthologs, M. genitalium dan E. coli memiliki 257, dan H. influenzae dan E. coli memiliki 1,128. Terdapat 239 orthologs yang umum untuk ketiga spesies. (Sumber:

Graur dan Hsiung Li, 1999)

Selain gen pengkode protein, beberapa gen vital lain harus disertakan

perangkat minimal. Gen ini tidak dapat diidentifikasi pada tahap pertama analisis

karena adanya fenomena “pemindahan gen nonorthologous”, yang salah satu

bentuk konvergen fungsionalnya terbawa ketika digunakan dalam protein yang

tidak mempunyai hubungan untuk menunjukkan beberapa fungsi yang vital

(Gambar 2.3). Sebagai contoh, fungsi enzim glikolitik phosphoglycerate mutase

dijalankan pada bakteri yang berbeda oleha dua jenis protein yang tidak

mempunyai hubungan satu sama lain. Salah satunya dikode oleh gen gpm dan

merupakan 2,3-biphosphoglycerate-dependent, dan yang lain dikode oleh yibO

dan merupakan 2,3-biphosphoglycerate-independent. Pada M. genitalium fungsi

phosphoglycerate mutase ditunjukkan oleh produk gen yibO, sedangkan dalam H.

influenzae fungsi yang sama ditunjukkan oleh protein yang dikode gen gpm.

Karena dua mutasi phosphoglycerate yang tidak berhubungan ini terletak pada

sekuennya sendiri, perpotongan dua perangkat proteom tidak mengandung

keduanya, meskipun begitu fungsi katalitiknya itu kemungkinan diperlukan untuk

hidup. Kira-kira dua dosin gen diketahui dilibatkan dalam pemindahan gen

nonorthologous, dan itu ditambahkan pada awal set minimal.

Gambar 2.3 Sebuah skenario hilangnya gen diferensial untuk perpindahan gen nonortholog. Berasal dari nenek moyang yang memiliki dua protein (lingkaran dan segitiga) melakukan fungsi serupa. Pengkodean gen salah satu dari mereka hilang dalam keturunan 1, sedangkan yang lainnya hilang dalam keturunan 2. hasilnya

adalah konvergensi fungsional. (Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

Akhirnya, gen yang muncul secara khusus pada bakteri parasit atau gen

yang menunjukkan fungsi redundan telah dihapus, ditunjukkan pada set gen

minimal dari 256 hen pada bakteri.

Dari pendekatan ini, set gen minimal yang telah ditemukan mencakup: (1)

sebuah sistem yang hampir sempurna dari translasi; (2) mesin replikasi DNA yang

hampir lengkap; (3) sebuah perangkat dasar dari gen untuk rekombinasi dan

perbaikan DNA; (4) sebuah perangkat transkripsi yang terdiri dari empat unit

RNA polimerase; (5) seperangkat besar protein penjaga; (6) sedikit gen pengkode

protein yang terlibat dalam metabolisme anaerob; (7) beberapa gen yang

mengkode enzim untuk lemak dan biosintesis kofaktor; (8) beberapa protein

transport pada transmembaran; dan (9) satu set dari 18 protein yang tidak

diketahui fungsinya. Yang perlu diperhatikan pada set minimal iniadalah bahwa

tidak terdapat mesin esensial untuk biosintesis asam amino dan nukleotida, yang

sebelumnya dipercaya sudah didapatkan dari lingkungan dalam bentuk “siap

pakai”.

2. Pendekatan Eksperimental

Sebuah pendekatan eksperimental untuk masalah genom minimal telah

dilaksanakan oleh Itaya (1995). Tujuh puluh sembilan lokus pengkode protein

terpilih secara acak pada bakteri gram positif Bacillus subtilis tersingkir melalui

mutagenesis (Gambar 2.4). Mutasi yang hanya pada 6 dari semua lokus membuat

B. subtilis tidak mampu tumbuh dan membentuk koloni, selama mutan istirahat 73

lokus mempertahankan kemampuannya untuk membelah. Hanya tiga dari enam

lokus pengkode protein yang telah diidentifikasi secara jelas fungsinya. Yaitu

dnaA dan dnaB, yang terlibat dalam inisiasi pada replikasi DNA, dan rpoD, yang

merupakan bagian hasil dari sintesis RNA.

Gambar 2.4 Lokasi genomik dari 79 lokus yang dipilih secara acak (baris) dalam Bacillus subtilis yang telah tersingkir oleh mutagenesis. Enam lingkaran yang solid

menunjukkan lokus yang yang harus ada, hanya tiga yang teridentifikasi. Data diambil dari Itaya (1995). (Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

Untuk memastikan gen yang tersingkir tersebut tidak mempengaruhi

pertumbuhan yang bukan bagian dari redundan famili multigen, Itaya (1995) juga

mengkonstruk bakteri dengan berbagai mutasi. Menariknya, bahkan ketika 33

lokus yang secara simultan lumpuh, bakteri dan turunannya mempertahankan

kemampuan mereka untuk membentuk koloni. Maka, 73 dari 79 gen diduga

benar-benar tidak diperlukan, sementara hanya sekitar 7,5% genom dianggap

diperlukan. Panjang genom B. subtilis adalah 4,2 x 106 bp, dan diasumsikan

bahwa perbandingan genom yang diperlukan dibanding gen yang tidak diperlukan

adalah sama, panjang genom yang diperlukan diperkirakan mencapai 4,2 x 106 x

0,075 = 3,2 x 105 bp. Dengan menggunakan 1,25 Kb sebagai ukuran rata-rata dari

gen pengkode protein, peroleh sebuah perkiraan set gen minimal dari

320.000/1.250 = 254 gen.

D. Miniaturisasi Genom

Beberapa kesimpulan umum telah dicapai pada pokok bahasan evolusi

morfologi. Pada perbandingannya, salah satu aturan terkecil yang jelas dapat

disimpulkan mencakup pengaruh dari tidak digunakannya tingkatan molekuler:

reduksi drastis pada ukuran genom (miniaturisasi genom) selalu diasosiasikan

dengan kehilangan fungsi. Khususnya, bentuk hidup berupa parasit atau

endosimbiotik yang ditemukan mempengaruhi ukuran genom secara mendalam

dan jika kita lihat sebelumnya, genom bakteri terkecil dimiliki oleh parasit

endoseluler.

Miniaturisasi genom dapat terjadi melalui dua proses: transfer gen atau gen

yang hilang. Pada penjelasan berikutnya akan dibahas mengenai reduksi ukuran

genom yang dikarenakan endosimbiosis dan parasit secara terpisah.

1. Reduksi Ukuran Genom yang Mengiringi Endosimbiosis

Miniaturisasi menyeluruh pada genom mengikuti kejadian endosimbiosis

yang memunculkan peristiwa pada mitokondria dan kloroplas. Beberapa organela

kemungkinan redundan dan hilang tanpa adanya penggantian melalui delesi;

lainnya ditransfer secara massal menuju genom inti. Sebagai contoh, inti genom

yeast mengandung sekitar 300 gen pengkode protein yang fungsinya secara

khusus pada mitokondria. Genom mitokondria ini, hanya mengandung 8 gen

pengkode protein. Kiranya, beberapa gen inti yang menghasilkan fungsi dalam

mitokondria dahulu merupakan bagian genom mitokondria, yang saat ini kapasitas

kodenya sangat terbatas. Meskipun genom mitokondria dengan kapasitas kode

terbesar, pada flagela heterotrop Reclimonas americana, hanya mengandung 62

gen pengkode protein, jauh lebih kecil dari jumlah gen yang dibutuhkan untuk

hidup.

Selain mitokondria dan kloroplas, banyak organela eukariotik lain yang

diturunkan melalui endosimbiosis di antara organisme independen. Margulis, dkk

(1979) mengajukan bahwa flagel, silia, dan organel yang lain dari sel motil

diturunkan dari spirochetes yang lalu diasosiakan bersimbiosis dengan nenek

moyang eukariot. Jika usulan tersebut ternyata benar, maka organel ini pasti telah

mengalami miniaturisasi genom maksimal yaitu, mereka telah kehilangan seluruh

genom mereka.

Contoh menarik reduksi genom yang mengikuti endosimbiosis mencakup

Chlorarachniophyta, sekelompok amoeba berflagel yang memperoleh kapasitas

fotosintesis dengan menelan dan mempertahankan flagel alga hijau (kelas

Ulvophyceae). Alga endosimbian mempertahankan kloroplas, nukleus,

sitoplasma, dan membran plasma. Sisa nukleus, yang disebut nukleomorph,

mengandung tiga kromosom linear kecil dengan jumlah total ukuran genom

haploid sekitar 380.000 bp, yang diketahui sebagai genom eukariot terkecil.

Genom nukleomorph merupakan intisari dari kepadatan: ruang rata-rata antara

gen yang berdekatan lebih 65 bp, beberapa gen overlap dan lainnya ditranskripsi,

dan gen tersebut di-disrupted oleh intron spliceosomal terkecil (18-20 bp) yang

pernah ditemukan. Seperti yang diharapkan, sebagian besar protein dalam

endosimbion akan diimpor dari host.

2. Reduksi Ukuran Genom pada Parasit

Parasitisme melibatkan hubungan yang intim antara dua organisme:

sebuah inang yang menyediakan banyak keperluan metabolik dan fisiologis bagi

yang lain, yaitu yang memparasit. Parasitisme selalu mengakibatkan kehilangan

fungsi genetik pada parasit dan sebagai akibatnya terjadi reduksi pada ukuran

genom. Sebagai contoh, tumbuhan Epiphagus virginiana, sebuah parasit relatif

nonfotosintesis dari lavender, basil, dan catnip, yang mempunyai genom kloroplas

sangat kecil (~70.000 bp) yang mengandung hanya 42 gen. Dapat dipahami,

semua gen untuk fotosintesis dan klororespirasi tidak tersedia. Belum jelas,

mengapa semua kloroplas yang dikode gen RNA polimerase, gen pengkode

protein ribosom dan banyak gen sepesifik tRNA akan hilang.

E. Ukuran Genom pada Eukariot dan Nilai C Paradox

Nilai C pada eukariot biasanya lebih besar daripada prokariot, tetapi ada

pengecualian. Contohnya, yeast S. cerrevisiae mempunyai genome yang

ukurannya hampir sama dengan beberapa bakteri gram positif, seperti

Streptomyces coelicolor dan S. rimosus, dan lebih kecil dari kebanyakan spesies

Cyanobacteria terutama genus Calothrix. Namun, karena genom inti eukariotik

berasal dari replikasi ganda sementara prokariota hanya memiliki satu, eukariota

dapat mengalami replikasi DNA dalam jumlah yang lebih besar dari DNA tiap

satuan waktu daripada prokariota.

Variasi nilai C pada eukariot jauh lebih besar daripada bakteri, dari 8,8 x

106 bp sampai 6,9 x 1011 bp, kira-kira 80.000 kali lipat (Tabel 2.3). Protista

uniseluler, terutama amoeba sarcodine menunjukkan variasi nilai C yang terbesar

melebihi kisaran 20.000 kali lipat. Dalam perbandingannya, rentangan dari nilai C

pada seluruh kingdom animalia, dari porifera sampai manusia, kira-kira hanya

3.000 kali lipat. Tiga kelas amniota (mamalia, burung, dan reptilia) tidak termasuk

diantara eukariot dalam variasi ukuran genom mereka yang kecil (hanya sampai

empat kali lipat). Untuk kelas yang lain, dari data nilai C yang ada, menunjukkan

variasi minimal 100 kali lipat.

Tabel 2.3 Kisaran Nilai C pada Beberapa Kelompok Eukariot

Data dari Sparrow et al. (1972), Cavalier-Smith (1985), dan beberapa sumber lain.(Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

Menariknya, variasi interspesifik yang sangat besar dalam ukuran genom

diantara eukariotik tampaknya tidak berhubungan dengan kekomplekan

organisme atau jumlah kemungkinan gen yang dikode oleh organisme.

Contohnya, beberapa protozoa uniseluler memiliki lebih banyak DNA daripada

mamalia, yang diperkirakan lebih komplek. Organisme yang memiliki kemiripan

morfologi dan anatomi yang komplek (bawang dan lili, Paramecium aurelia dan

P. caudatum) menunjukkan luasnya perbedaan nilai C (Tabel 2.4). Kurangnya

kecocokan antara nilai C dan banyaknya perkiraan dari informasi genetik

membuat genom menjadi lebih dikenal dalam literatur sebagai nilai C paradox.

Nilai C paradox juga terbukti dalam perbandingan beberapa spesies (spesies yang

morfologinya sangat mirip antara yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat

dibedakan fenotipnya). Pada protista, bony fish, amfibi dan tanaman berbunga,

beberapa spesies tertentu memiliki perbedaan nilai C yang besar. Spesies yang

sesaudara memiliki banyak perbedaan dalam nilai C, meskipun menurut definisi

tidak ada perbedaan dalam kompleksitas organismik. Karena itu tidak dapat

diasumsikan bahwa organisme memiliki DNA kurang dari jumlah yang

dibutuhkan untuk fungsi-fungsi vitalnya, harusnya dijelaskan mengapa tampaknya

begitu banyak spesies mengandung kelebihan DNA yang cukup besar.

Tabel 2.4 Nilai C Beberapa Organisme Eukariot yang Diurutkan Berdasarkan Ukuran Genom

Pertanyaan pertama untuk mengklarifikasi apakah ada hubungan antara

ukuran genom dengan jumlah gen. Dengan kata lain, perbedaan khusus dalam

ukuran genom dapat disebabkan oleh DNA genik dan DNA nongenik? Jika

variasi nilai C disebabkan oleh gen, maka variasi nilai C dapat dibedakan ke

dalam 1) Jumlah protein-pengkode gen, 2) Ukuran protein, 3) Ukuran protein-

pengkode gen, 4) Jumlah dan ukuran gen lain dari protein pengkode.

Tentu saja, harus disadari bahwa dalam ketiadaan penentuan sekuen

genom yang sepenuhnya, pemastian jumlah gen dalam spesies menjadi tugas yang

sangat sulit. Pada gen pengkode protein, tugas ini diselesaikan dengan

menggunakan elektroforesis gel dua dimensi, protein dipisahkan oleh tekanan

pada dimensi pertama dan oleh titik isoelektrik (pH pada protein tidak bermuatan)

pada dimensi kedua. Hasilnya adalah kumpulan bintik yang ukurannya berbeda-

beda yang tersebar ke seluruh gel. Jumlah bintik tersebut akan membantu kita

dalam memperkirakan jumlah protein dalam sebuah sel. Pada kenyataannya

pemisahan tersebut sulit terjadi, biasanya bintik yang terbentuk tersebut kurang

jelas atau suram. Jumlah gen yang ditentukan dengan metode ini biasanya

diremehkan. Contohnya, jumlah protein-pengkode gen pada S. cerrevisiae telah

diperkirakan dengan elektroforesis dua dimensi sekitar 3.000. Jumlah protein-

pengkode gen bisanya dikenali dalam unting genom lebih dari dua kali (sekitar

6.200 gen). Meskipun demikian tetap dihunakan perkiraan yang berasal dari

beberapa metode untuk menyamakan tujuan, jumlah tersebut juga dapat

digunakan sebagai indikator relatif dari jumlah gen yang benar.

Jumlah protein pengkode gen pada eukariot biasanya hampir melebihi 50

kali lipat. Variasi ini tidak cukup jelas untuk menjelaskan mengenai 80.000 kali

lipat variasi dalam DNA inti. Jumlah gen berkorelasi positif dengan kompleksitas

sedangkan ukuran genom tidak. Variasi khusus pada rantai molekul mRNA

menjelaskan tentang nilai C paradox. Sementara perbedaan kecil pada daerah

pengkode dan non-pengkode diantara organisne yang berbeda, tidak ada

hubungannya dengan panjang gen dan ukuran genom. Contohnya mRNA hanya

sedikit lebih panjang pada organisme multiseluler daripada pada protista (1.400-

2.200 bp dibanding 1.200-1.500 bp). Meskipun demikian organisme dengan

genom yang lebih besar tidak selalu menghasilkan protein yang lebih besar.

Perbedaan pada ukuran gen (panjang intron dan daerah non-kode lainnya) tidak

dapat menunjukkan jumlah variasi pada ukuran genom. Gen hewan 3-7 kali lebih

panjang dibandingkan panjang rata-rata gen protista dan gen dari vertebrata 2-4

kali lebih besar daripada semua invertebrata, tidak ada hubungan antara ukuran

genome dan rata-rata panjang gen.

Mengenai jenis lain dari DNA genik, berkorelasi positif antara duplikat

dari beberapa RNA-gen spesifik dan ukuran genom. Korelasi tersebut tampak

pada ukuran genom dan jumlah copian dari gen yang tidak diterjemahkan yang

terlibat dalam replikasi kromosom segregasi, dan rekombinasi selama miosis dan

mitosis. Meskipun demikian gen hanya menyusun fraksi dari genom, misalnya

variasi pada jumlah RNA-gen spesifik dan gen yang tidak diterjemahkan tidak

dapat menjelaskan adanya variasi pada ukuran genom.

Cara lain untuk membandingkan jumlah gen antara dua genom adalah

membandingkan polysomal polyadenilated RNA complexity. Panjang total dari

berbagai molekul mRNA dihasilkan oleh suatu jaringan khusus. Perbandingan ini

juga menunjukkan tidak adanya korelasi antara jumlah gen dan ukuran genome.

Contohnya polysomal RNA complexity pada hati ayam adalah 2 x 10 nukleotida,

sedangkan polysomal RNA complexity pada hati tikus adalah setengah dari

jumlah pada hati ayam, walaupun pada kenyataannya ukuran genom pada tikus

lebih dari dua kali ukuran genom ayam.

Ringkasnya, fraksi DNA nongenic sebagai pelaku tunggal untuk nilai C

paradoks. Dengan kata lain, sebagian besar dari genom eukariotik terdiri dari

DNA yang tidak mengandung informasi genetik. Telah diperkirakan bahwa

jumlah DNA nongenic per genom bervariasi pada eukariotik sekitar 3.0 x 103 Kb

sampai 108 Kb (kisaran 300.000 kali lipat) dan tersusun kurang dari 30% sampai

99,998% dari genom.

F. Mekanisme untuk Peningkatan Global pada Ukuran Genom

Untuk menjelaskan keberadaan sejumlah besar DNA non-genic dalam

genom eukariota, terdapat proses yang dapat meningkatkan ukuran genom.

Peningkatan ukuran genom ada dua jenis, yaitu:

1. Peningkatan global, dimana seluruh genom atau kromosom diduplikasi

2. Peningkatan regional, dimana setiap bagian partikel sekuen digandakan untuk

generasi DNA repetitive

1. Poliploidisasi

Karena genom eukariota secara signifikan lebih besar daripada bakteri,

evolusi eukariota dari nenek moyang prokariota terlibat dalam peningkatan ukuran

genom. Ada beberapa mekanisme molekular yang meningkatkan ukuran genom.

Salah satu mekanisme tersebut adalah poliploidisasi, yaitu penambahan satu set

atau lebih kromosom pada set kromosom asli. Suatu organisme dengan sel yang

megandung empat salinan autosom disebut tetraploid, enam salinan disebut

hexaploid dan seterusnya. Gamet dari organisme poliploid tidak haploid, dan

organisme dengan autosom ganjil seperti tanaman pisang domestik triploid (Musa

acuminata) tidak dapat melakukan meiosis dan bereproduksi secara seksual.

Ada dua tipe utama poliploidi: allopoliploidi, yaitu kondisi yang timbul

dari kombinasi set kromosom genetik yang berbeda. Dan autopoliploidi, yaitu

penggandaan satu set kromosom dasar. Autotetraploidi (atau tetraploidi) adalah

duplikasi genom. Duplikasi genom terjadi sebagai konsekuensi dari kurangnya

pemisahan antara semua kromosom anakan hasil replikasi DNA.

Tetraploidi adalah kejadian mutasi umum di alam. Tetraploidi somatik

ditemukan pada hampir seluruh organisme, termasuk protisa, alga, tanaman,

molusca, serangga, dan mamalia. Namun selama sejarah evolusioner, tetraploidi

jarang ditemukan. Karena dalam banyak kasus, tetraploidi merusak. Efek

perusakan meliputi:

a. Perpanjangan waktu pembelahan sel

b. Peningkatan volume nukleus

c. Peningkatan jumlah pemisahan kromosom selama meiosis

d. Ketidakseimbangan genetik, dan

e. Gangguan dengan diferensiasi seksual ketika jenis kelamin organisme

ditentukan oleh salah satu rasio antara jumlah kromosom sex dan jumlah

autosom seperti pada Drosophila atau oleh urutan poliploid pada

Hymenoptera.

Dalam beberapa kasus, tetraploidi (atau tingkatan ploidi yang lebih tinggi)

nampaknya tidk berpengaruh pada fenotip. Sebagai contoh, diploid dan poliploid

spesies Chrysanthemum berbeda dalam kromosom nomor 18-198, namun mereka

hampir tidak bisa dibedakan satu sama lain. Hal serupa terjadi pada mawar

(Rosa), katak leptodaktil (Odontophrynus), dan ikan mas (Carasius). Anehnya

dalam beberapa kasus tetraploidisasi mungkin bermanfaat. Pada tumbuhan

misalnya, poliploidi mengurangi infertilitas hybrid dan menyebabkan hilangnya

ketidakcocokan diri, sehingga tanaman individual di tepi habitat dapat

berkembang biak dengan penyerbukan sendiri.

Dalam tetraploid yang baru terbentuk, tidak ada yang dapat berbicara

tentang peningkatan nilai C, karena nilai ini mengacu pada ukuran genom haploid

dan tidak tergantung pada tingkat ploidi. Namun, dua genom yang mengalami

mutasi, translokasi, penyusunan ulang kromosom, dan perubahan nomor

kromosom akhirnya akan menjadi genom single baru, situasi ini disebut

criptopoliploidi. Dengan kata lain, poliploid tidak akan dibedakan dari diploid.

Criptopoliploidi dapat menjelaskan banyak variasi ukuran genom pada tanaman,

amfibi, dan ikan bertulang.

Distribusi polimodal ukuran genom telah terdaftar pada beberapa

kelompok eukariota. Terutama pada monokotil, dimana ukuran genom

menunjukkan distribusi polimodal dengan puncaknya pada 0,60x106, 1,18x106,

4,51x106, dan 8.53x106 Kb (Gambar 2.5). Distribusi yang sama dapat diamati

pada Echinodermata, insekta, dan fungi, dan pada tingkat lebih rendah pada

amfibi dan ikan bertulang. Dengan demikian, duplikasi genom nampaknya

mnejadi mekanisme utama dalam mekanisme evousi ukuran genom pada

eukariota. Menariknya, masing-masing putaran duplikasi genom hanya

menyebabkan sebagian kecil DNA yang hilang, sehingga jumlah DNA setelah

setiap putaran meningkat dengan sedikir faktor.

Gambar 2.5 Distribusi frekuensi ukuran genom dalam 80 spesies rumput (family Poaceae). Puncak di distribusi multimodal ditandai dengan panah (Sumber: Graur

dan Hsiung Li, 1999)Mengingat bahwa genom mamalia sekitar 1.000 kali lebih besar dari

genom bakteri, dan dengan asumsi bahwa duplikasi genom bertanggung jawab

untuk pembesaran genom, dapat disimpulkan bahwa hanya sekitar sepuluh

putaran duplikasi genom yang diperlukan untuk memperbesar genom dari ukuran

bakteri primodial menjadi ukuran mamalia. Dengan cara lain, duplikasi genom

terjadi rata-rata sekali setiap 300-350 juta tahun. Jika kandungan DNA meningkat

secara terus-menerus dengan penambahan kecil potongan DNA melalui

transposisi atau unequal crossing over, maka tingkat pertumbuhan genom dari

ukuran bakteri menjadi ukuran mamalia seharusnya sekitar 6-7 nukleotida per

tahun.

Selama poliploidisasi, hilangnya duplikat gen trjadi sangat cepat. Sebagai

contoh, gandum Triticum aestivum adalah allohexaploid yang ada sekitar 10.000

tahun lalu. Dalam waktu yang singkat beberapa lokus rangkap tiga menghilang.

Diperkirakan bahwa proporsi enzim yang dihasilkan oleh lokus triplet, duplet, dan

tunggal pada gandum masing-masing 57%, 25%, dan 18%.

Poliploidi merupakan faktor penting dalam spesiasi. Khususunya

reproduksi seksual autotetraploid yang secara otomatis diisolasi dari nenek

moyang diploid karena menghasilkan gamet diploid, yang menggabungkan gamet

haploid dan diploid. Yang menghasilkan keturunan triploid. Organisme dengan

jumlah autosom ganjil tidak dapat bereproduksi secara seksual, sehingga

poliploidi menggambarkan mekanisme yang efektif untuk isolasi reproduksi.

2. Polisomi

Aneuploidi adalah kondisi dimana jumlah kromosom dalam sel bukan

merupakan kelipatan integral dari set haploid untuk spesies. Euploidi mengacu

pada jumlah kromosom yang merupakan kelipatan dari kromosom haploid.

Terkait dengan mekanisme yang bertanggung jawab untuk peningkatan ukuran

genom, ada dua tipe aneuploidi: duplikasi kromosom lengkap (polisomi), dan

duplikasi bagian utama dari kromosom (polisomi parsial).

Polisomi paling sering merugikan. Pada mamalia misalnya, terkait dengan

letalitas dan infertilitas. Pada manusia, contoh dari polisomi termasuk anomaly

seperti syndrome Down (trisomi 21), dan trisomi 18. Kerusakan parah dikaitkan

dengan polisomi parsial (misalnya cat-eyes syndrome). Oleh karena itu, duplikasi

kromosom lengkap atau sebagian tidak memberikan kontribusi yang signifikan

untuk meningkatkan ukuran genom.

3. Duplikasi pada Genom Yeast, Tetraploidi atau Regional

Saccharomyces cerevisiae telah lama diduga sebagai sebuah

cryptotetraploid. Secara sistematik, proteome yeast dicari untuk daerah duplikasi

(Gambar 2). Kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan dua daerah duplikasi

adalah:

a. Kesamaan sekuen antara dua daerah yang bergabung dengan kemungkinan

lebih kecil dari 10-18 secara kebetulan

b. Setidaknya ada tiga gen yang sama, dengan jarak antar gen kurang dari 50

Kb, dan

c. Konservasi sekuen gen orientasi relative gen. Menurut kriteria ini, telah

diidentifikasi 54 pasang daerah duplikasi non-overlapping mencakup sekitar

50% genom yeast (Gambar 2.6).

Gambar 2.6. Lokasi 54 daerah duplikasi non-overlapping (kotak padat) pada genom yeast. Dua salinan dari masing-masing daerah diplikasi diberi nomor yang sama di

bawah kotak masing-masing. Nomor tercantum dalam terjadinya kromosom. Jumlah gen homolog di masing-masing daerah duplikasi tercantum di atas kotak tersebut. Jumlah kromosom ditulis dalam angka romawi. (Sumber: Graur dan

Hsiung Li, 1999)

Ada dua kemungkinan penjelasan untuk pengamatan tersebut:

a. Daerah duplikasi dibentuk secara mandiri dengan banyak duplikasi regional

yang terjadi pada waktu yang berbeda selama evolusi S. cerevisiae, atau

b. Daerah duplikasi dibentuk secara bersamaan oleh kejadian tetraploidisasi,

dilanjutkan dengan penyusunan ulang genom dan hilangnya banyak gen

duplikat. Ada dua alasan untuk mendukung model yang terakhir; pertama, 50

daerah duplikasi mempertahankan orientasi yang sama dengan mengarah ke

sentromer. Kedua, berdasarkan distribusi poisson, 54 daerah duplikasi

diharapkan dapat menghasilkan sekitar tujuh daerah triplikasi.

S. cerevisiae merupakan tetraploid kuno, yang dibentuk melalui fusi dari

dua nenek moyang genom yeast diploid, masing-masing berisi sekitar 5.000 gen.

tetraploidisasi terjadi sekitar 100 juta tahun yang lalu pada nenek moyang empat

spesies Saccharomyces setelah penyimpangan dari S. kluyveri. Spesies baru itu

menjadi cryptotetraploid, dan sekitar 92% salinan duplikat gen hilang melalui

delesi atau penghapusan sekuen. Terdapat 70-100 gangguan pemetaan (misalnya

translokasi secara regional) yang disimpulkan dapat menjelaskan distribusi

kromosom yang terjadi saat duplikasi gen (Gambar 2.7).

Gambar 2.7 Skema nomor gen dan urutan evolusi gen dalam duplikasi genom seperti yeast. Sebuah genom skematis ditunjukkan dengan dua kromosom (satu kotak) dan 26 gen (A sampai Z). Huruf besar dan huruf kecil digunakan untuk

membedakan antara dua set asli kromosom. Pada tahap terakhir, efek dari peristiwa rekombinasi dalam dua gen paralogous ditampilkan. Kejadian ini

menghasilkan dua gen hybrid baru (E dan e ') dan urutan gen baru. (Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

4. Poliploidi dari Genom Vertebrata

Vertebrata memiliki gen lebih besar dari invertebrata. Gen tunggal

invertebrate biasanya berhubungan hingga empat gen vertebrata pada kromosom

yang berbeda. Nampaknya sekuen dari keempat salinan memiliki jarak yang sama

satu dengan yang lain. Pola ini pertama kali diamati untuk kelompok gen Hox,

tetapi menurut Spring (1977), fenomena ini adalah umum. Ia mengajukan

hipotesis, menurutnya munculnya vertebrata ini dimungkinkan oleh dua putaran

tetraploidisasi, sehingga terbentuk duplikasi empat genom. Dengan demikian,

vertebrata mungkin sebenarnya termasuk cryptoploid

G. Pemeliharaan DNA Non-genik

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memecahkan paradox nilai C.

Berikut ini adalah empat hipotesis dan bukti empiris yang bersangkutan:

1. Hipotesis

a. Hipotesis seleksionis, menegaskan bahwa DNA non-genik melakukan fungsi

penting, seperti regulasi global ekspresi gen. Menurut hipotesis ini, kelebihan

DNA adalah jelas, dan DNA sepenuhnya fungsional. Akibatnya, jika terjadi

delesi pada DNA akan merusak organisme.

b. Hipotesis netralis, menyatakan bahwa fraksi DNA non-genik pada genom

aukariotik kurang berfungsi secara genetik dan fisiologis. Ohno (1972)

menyebut DNA ini sebagai DNA sampah untuk menjelaskan ketidak

berfungsiannya. Menurut pandangan hipotesis ini, DNA non-genik hanya

merupakan hasil kebetulan semata selama proses evolusi dan tidak

mempengaruhi kemampuan organisme, tetapi ini akan diteruskan dari

generasi ke generasi yang tak terbatas.

c. Hipotesis seleksionis intragenomik, menganggap DNA non-genik sebagai

“parasit fungsional” atau “simbion genetik” yang terakumulasi dalam genom

dan secara aktif dikelola oleh seleksi intragenomik karena tingginya tingkat

reproduksi dibandingkan dengan fraksi genom. Hal itu umum terjadi untuk

menemukan istilah DNA selfish yang diterapkan untuk fraksi non-genik.

DNA selfish memiliki dua sifat yang berbeda:

1) Muncul ketika sekuen DNA menyebar dengan membentuk salinan diri

tambahan dalam genom, dan

2) Tidak membuat kontribusi khusus untuk kesehatan orgnisme inang, atau

bahkan merugikan

Mekanisme utama untuk mengikat DNA selfish adalah duplikasi transposisi

dan jenis DNA selfish yang paling banyak adalah elemen transposabel dan

retrotransposabel. Perbedaan krusial antara DNA selfish dengan DNA sampah

adalah DNA selfish mampu melakukan amplifikasi sendiri, sedangkan DNA

sampah melakukannya secara pasif dalam genom. Dengan demikian, DNA

sampah dipertahankan dalam populasi dengan pergeseran genetik acak,

sedangkan DNA selfish dikelola dengan tipe insersi-kuasi delesi-equilibrium,

dimana proses eliminasi dengan pemilihan DNA selfish terlalu lambat untuk

mengimbangi laju akumulasi. DNA selfish cenderung mengalami

peningkatan dalam genom. Namun tidak dapat meningkat tanpa batas waktu,

karena organisme dengan kelebihan jumlah DNA non-genik akan mengalami

metabolisme.

d. Hipotesis Nukleotipik, menghubungkan fungsi struktural untuk DNA non-

genik, yaitu fungsi yang tidak berhubungan dengan sifatnya yang membawa

informasi genetik. Salah satu skema nukleotipik tersebut telah diusulkan oleh

Cavalier-Smith (1978,1985a), yang berpendapat bahwa harus ada suatu

"kekuatan evolusi besar" yang mempertahankan genom besar. Hipotesis ini

menyatakan bahwa DNA bertindak sebagai "nukleoskeleton" yang

mempertahankan volume nukleus pada ukuran proporsional dengan volume

sitoplasma. Karena sel yang lebih besar membutuhkan inti yang lebih besar,

seleksi untuk volume sel tertentu secara sekunder akan menghasilkan pilihan

untuk ukuran genom tertentu. Menurut skema ini, kelebihan DNA

dipertahankan oleh seleksi, tetapi komposisi nukleotida dapat berubah secara

acak. Banyak fungsi nukleotipik tambahan telah dikaitkan dengan fraksi non-

genik, tapi semua hipotesis nukleotipik memiliki satu kesamaan; mereka

semua menganggap genom sebagai unit struktural dari arsitektur nukleus-

sebuah blok bangunan yang terbuat dari asam nukleat, bukan sekedar

pembawa informasi genetik.

2. Bukti

Sangat sedikit sekali bukti tentang hipotesis seleksionis. Bahkan,

kebanyakan indikasi menjelaskan bahwa sebagian besar apa yang sekarang

dianggap DNA non-genik memang tidak memiliki informasi genetik, dan dapat

dihapus tanpa efek fenotipik yang jelas. Oleh karena itu, kelebihan DNA pada

eukariota tidak menghasilkan sistem metabolisme sampai batas yang signifikan,

dan kebutuhan (misalnya, energi dan nutrisi) akan mempertahankan dan

mereplikasi sejumlah besar DNA non-genik yang tidak berlebihan. Namun, ada

beberapa kelemahan dalam mempertahankan sejumlah besar DNA non-genik.

Pertama, genom yang besar telah ditemukan menunjukkan sensitivitas yang lebih

besar untuk mutagen dari genom yang kecil. Kedua, memelihara dan mereplikasi

sejumlah besar DNA non-genik mempersulit atau membebani organisme tertentu,

terutama ketika sebagian besar genom adalah non-genik. Oleh karena itu dapat

diterima bahwa DNA nongenik hanya dapat terkumpul sampai kebutuhan untuk

organisme bereplikasi menjadi signifikan.

Sulit untuk membedakan antara hipotesis seleksionis intra genomik dan

hipotesis netralis dalam tingkatan konseptual, apalagi untuk menguji berdasarkan

data yang empirik. DNA selfish menjadi kontributor utama dari DNA non-genik,

meskipun ada mekanisme penting lainnya untuk menghasilkan DNA tersebut.

Namun, sebagian besar fraksi non-genik dari genom berasal dari DNA selfish

tidak lagi diterima. Banyak yang saat ini mengalami kondisi degenerasi elemen

transposabel, dimana dihadapkan pada kematian apabila tidak lagi mampu

melakukan transposisi.

Membedakan antara eksperimen DNA sampah dan penjelasan

nucleoskeletal memang cukup sulit, Pagel dan Johnstone (1992) mengusulkan dua

ekspektasi yang berasal dari masing-masing dua teori, bahwa harga utama dari

DNA sampah adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan penggandaan.

Organisme yang berkembang lebih lambat karena itu mungkin bisa

"mentoleransi" jumlah yang lebih besar dari DNA sampah, dan dengan demikian

korelasi negatif di seluruh spesies antara ukuran genom dan tingkat perkembangan

akan diperkirakan. Sebaliknya, perkiraan hipotesis nucleoskeletal adalah untuk

korelasi positif antara ukuran genom dan ukuran sel. Sayangnya, organisme

dengan sel yang besar juga cenderung berkembang secara perlahan, sedangkan

organisme yang lebih cepat tumbuh biasanya memiliki sel lebih kecil. Jadi,

menurut hipotesis DNA skeletal korelasi negatif antara tingkat perkembangan dan

nilai C juga diharapkan. Namun, menurut hipotesis nucleotypic, hubungan antara

tingkat perkembangan dan ukuran genom terjadi kemudian, sebagai akibat dari

hubungan antara tingkat perkembangan dan ukuran sel.

3. Spesies yang Sama Memiliki Ukuran Genom yang Berbeda

Terdapat perbedaan dalam ukuran genom antara organisme yang terkait erat,

dimana paradoks nilai C tidak dapat dijelaskan dengan menerapkan fungsi

nukleotipik, karena tidak adanya perbedaan nukleotipik. Yang tersisa hanyalah

dua kemungkinan mekanistik: baik ada perbedaan dalam tingkat akumulasi DNA

sampah, atau ada perbedaan dalam tingkat organisme berbeda yang

menghilangkan DNA sampah.

Untuk waktu yang cukup lama telah diketahui bahwa genom spesies

Drosophila mengandung pseudogen yang sangat sedikit (Vanin 1985;Weiner

dkk1986;. Wildf 1986). Baru-baru ini, Fetrovdkk (1996) dan Petrov dan Hartl

(1998) menemukan bahwa kematian Helenaretroposons akibat kehilangan DNA

pada tingkat yang luar biasa tinggi selama evolusi. Mereka menempatkan dua dan

keduanya, serta menyarankan bahwa maraknya pengahapusan daerah DNA yang

tidak mengikuti tingkat kendala selektif, dan mereka lebih lanjut terekstrapolasi

pada tingkat penghapusan yang berbeda, bukan tingkat akumulasi, yang dapat

menyebabkan perbedaan dalam ukuran genom antara taksa. Asumsi mereka

adalah bahwa tingginya tingkat penghapusan tidak terbatas pada elemen Helena

sendiri, tetapi bahwa fenomena tersebut yang berlaku umum untuk semua wilayah

seleksi yang tidak terbatas.

Untuk menguji asumsi ini, mereka membandingkan ukuran intron di antara

dua spesies Drosophila. D.virilis memiliki genom dua kali lebih besar dari D.

melanogaster (Moriyama etal. 1998). Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan

heterokromatin, tetapi bahkan jika faktor ini diperhitungkan, genom D.virilis

masih sekitar 36% lebih besar dari D melanogaster. Dalam perbandingannya 115

intron lengkap dikumpulkan dari 42 gen ortolog, mereka menemukan bahwa

perbedaan panjang intron antara kedua spesies Drosophila yang signifikan secara

statistik. Perbedaan panjang rata-rata antara intron D.virilis dan D.melanogaster

(masing-masing 394 dan 283; bp) adalah 39%, yang mengherankan dekat dengan

ukuran yang berbeda dalam fraksinonrepetitive antara genom. Dengan demikian,

tampaknya bahwa beberapa organisme lebih efisien dalam "membuang sampah"

dari yang lain (Petrov dan Hartl 1997).

H. Struktur Urutan yang Berulang dari Genom Eukariotik

Genom eukariotik ditandai dengan dua fitur utama, yaitu pengulangan

sekuen, dan komposisi kompartementalisasi menjadi fragmen yang berbeda

ditandai dengan komposisi nukleotida spesifik.

DNA berulang terdiri dari sekuen nukleotida dari berbagai panjang dan

komposisi yang terjadi beberapa kali dalam genom, baik bersama-sama atau

secara tersebar. Segmen DNA yang tidak berulang yang disebut sebagai salinan

tunggal atau DNA unik. Proporsi genom diambil oleh sekuens berulang sangat

bervariasi antara taksa. Dalam ragi, proporsi ini berjumlah sekitar 20% dari

genom. Pada hewan, proporsinya berkisar dari sekitar 5% pada nyamuk yang

tidak menggigit Chironomustetans untuk menuju 90% pada kadal

Necturusmasculosus. Pada mamalia, hingga 60% dari DNA adalah berulang. Pada

tumbuhan, proporsinya bisa melebihi 80%, dan nilai-nilai yang jauh lebih tinggi

juga telah terdaftar (Flavell, 1986).

Studi klasik kinetika reaksi reasosiasi DNA dengan Britten dan Kohne

(1968) menunjukkan bahwa genom eukariota tingkat tinggi dapat dibagi secara

kasar ke dalam empat fraksi (Gambar 2.8). Fraksi pertama disebut DNA foldback,

dan terdiri dari urutan palindromik yang dapat membentuk jepitan beruntai

struktur ganda segera setelah DNA terdenaturasi yang kemudian diizinkan untuk

renaturasi. Fraksi DNA foldback biasanya sangat kecil, meskipun di beberapa

organisme mungkin mencapai nilai lebih dari 10%.

Gambar 2.8 Sebuah profil reasosiasi DNA mamalia. DNA dimurnikan, dipotong, dilelehkan dengan panas ke dalam untai tunggal, dan kemudian dibiarkan

reasosiasi melalui pendinginan bertahap. Persentase reasosiasi DNA untai ganda pada sumbu vertikal ditunjukkan sebagai fungsi dari produk konsentrasi DNA dan

waktu (C0t) pada sumbu horisontal. (Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

Beberapa DNA hanya reanneals pada nilai C0t tinggi (dibaca "cot"). Fraksi

ini terdiri dari satu salinan sekuen, dan karena sifat pewarnaan dalam persiapan

karyological, kadang-kadang disebut sebagai eukhromatin. Di antara kurang lebih

dua definisi komponen genom, terdapat sekuens DNA yang reanneal sebesar nilai

C0t menengah. Ini adalah kebiasaan untuk membagi urutan ini ke dalam DNA

yang sangat repetitif dan DNA berulang menengah. Fraksi sangat berulang terdiri

dari urutan pendek, dari beberapa ratusan panjang nukleotida, yang diulang ribuan

bahkan jutaan kali. Dalam persiapan karyological, fraksi sangat berulang tampak

gelap dan sangat bernoda dan disebut heterokhromatin. Fraksi berulang tengah

terdiri lebih dari ratusan atau ribuan urutan pasangan basa rata-rata, yang muncul

dalam genom hingga ratusan kali. Terdapat suatu rangkaian dari kedua ukuran

pengulangan dan nomorpengulangan dalam genom. Oleh karena itu, istilah DNA

sangat repetitif dan DNA berulang tidak mewakili kelas DNA benar-benar

berbeda.

Pada pola pokok penyebaran pengulangan, fraksi berulang ditemukan terdiri

dari dua jenis families: lokasi sekuen berulang dan penyebaran sekuen berulang.

1. Lokasi Sekuen Berulang

Kebanyakan genom eukariotik mengandun gurutan DNA berulang secara

acak. Dalam beberapa spesies, lokasi pengulangan sekuen DNA dapat

menjelaskan keutamaan DNA dalam genom. Sebagai contoh, pada tikus kanguru,

Dipodomysordii, lebih dari 50% dari genom terdiri dari tiga sekuens berulang:

AAG2, 4x 109kali ;TTAGGG, 2,2 x109 kali, dan ACACAGCGGG, 1,2 x 109kali.

Tentu saja, families ini tidak sepenuhnya homogen tetapi berisi banyak varian

yang berbeda dari urutan konsensus dalam satu atau dua nukleotida. Sebagai

contoh, beberapa urutan dalam family "TTAGGG" sebenarnya TTAGAG.

Bahkan genom yang jauh lebih kecil mungkin berisi sebagian besarurutan

yang sangat berulang. Sebagai contoh, 40% dari genom Drosophilavirilis terdiri

dari tiga urutan yang sangat berulang: ACAAACT1,1x 107kali;ATAAACT, 3,6x

106kali dan ACAAATT, 3,6x 106 kali. Anehnya, 35% genom dari kode

pencetakan uniseluler, Absidiaglauca, yang hanya sembilan kali lebih besar dari

E. coli, tersusun dari DNA berulang.

Banyaknya lokasi sekuen berulang memiliki sebuah komposisi nukleotida

yang seragam yang menunjukkan bahwa, pada saat fraksionalisasi DNA genomik

dan pemisahan dengan gradien kerapatan, mereka membentuk satu atau lebih pita

tebal yang jelas dibedakan dari apusan yang diciptakan oleh fragmen DNA

lainnya dengan banyak komposisi heterogen. Pita yang berukuran jauh lebih berat

atau lebih ringan dari urutan genom lain, yang disebut DNA satelit. Beberapa

DNA satelit mungkin sangat kaya G+ C atau sangat kaya A +T; GC dalam

rentang satelit dari yang terendah 1% pada kepiting Cancergracilis dan C.

antenarius, sampai mencapai 73% pada patogen trypanasomal

Leishmaniainfantum dan nyamuk Chironomusplumosus. Genom mamalia

biasanya terdiri dari DNA satelit 5-30%. Jumlah DNA satelit pada tanaman dapat

mencapai 40% dari genom total.

Dalam beberapa spesies, urutan berulang yang tersusun secara tandem

ditemukan pada semua kromosom, sementara lainnya dibatasi pada lokasi

kromosom tertentu. Sebagai contoh, lebih dari 60% dari genom

Drosophilanasutoides terdiri dari DNA satelit, dan sebagian besar terlokalisasi

pada salah satu dari empat autosom dan kromosom Y (Gambar 2.9), yang

tampaknya mengandung dalam jumlah sedikit (Miklos 1985). Tidak semua lokasi

pengulangan DNA terdiri dari pengulangan pendek. Misalnya, paus pembunuh,

Orcinusorca, mengandung sekitar setengah juta kopi dari sekuen panjang

1.579bp, terhitung sekitar 15% dari genom (Widegren et al.1985).

Gambar 2.9 Sekuens DNAyang sangat repetitif (daerah hitam) yang sebagian besar terlokalisasi paling besar dari tiga autosom dan kromosom Y. (Sumber: Graur dan

Hsiung Li, 1999)

Berdasarkan bukti yang ada pada saat ini, dimungkinkanbahwa lokasi

sekuen berulang adalah tanpafungsi.Selain itu, adalah mungkin bahwa jumlah

lokasi sekuen berulang tidak menurunkan atau meningkatkan ketahanan individu.

Akibatnya, evolusi sekuens tersebut tidak dipengaruhi oleh seleksi alam. Jumlah

dan komposisi ini terulang secara bervariasi melalui mutasi seperti konversigen

dan pindah silang yang tidak merata, dan fiksasi dalam populasi terjadi melalui

hanyutan genetik secara acak. Konversi gen dan pindah silang yang tidak

merataakan menghasilkan dua hasil untuk sekuen ini: (1) urutan homogenitas,dan

(2) jumlah fluktuasi dari waktu ke waktu (Charlesworth et.al,1986). Ini juga telah

menyarankan bahwa tingkat pergantian lokasi sekuen berulang yaitu, susunan

yang ada akan dihapus oleh pindah silang yang tidak merata, sedangkan susunan

baru dapat terus menerus diciptakan oleh proses duplikasi DNA (Walsh,1987).

Usulan bahwa pengulangan sekuen secara tandem pada DNA sampah pada

dasarnya menunjukkan tidak adanya efek fenotipik. Selain itu, diasumsikan

bahwa kehadiran mereka atau tidak dalam jumlah yang bervariasi tidak

mempengaruhi keberadaan operator. Meskipun ini mungkin benar dalam

kebanyakan kasus, ada bukti yang berkaitan dengan serangkaian sekuen berulang

tertentu yang menunjukkan bahwa hal ini tidak selalu terjadi. Responden lokus

(Rsp) dalam populasi alami Drosophila melanogaster terdiri dari 20-2,500 salinan

dari sekuen kaya AT, panjang 120-bp- (Wu et al,1988). Dalam sebuah kompetisi

percobaan yang melibatkan populasi campuran yang terdiri dari lalat dengan 700

salinan pengulangan dan lalat dengan 20 copian, diamati bahwa frekuensi dari

lalat dengan 20 kali menurun seiring waktu (Wu et al,1989). Oleh karena itu,

disimpulkan bahwa lalat dengan 700 kopian memiliki keberadaan lebih tinggi dari

lalat dengan hanya 20 kopian. Kecuali untuk perannya dalam sistem distorsi

segregasi, fungsi lokus Rsp saat ini tidak diketahui, tetapi jelas bukan DNA

sampah, karena ketiadaan mempengaruhi keberadaan organisme. Namun, kami

tidak mengetahui adanya kasus lain di mana sekuen berulang secara tandem

ditunjukkan untuk mempengaruhi ketahanan.

2. Penyebaran Sekuen Berulang

Kelas keduadari pengulangan DNA terdiri dari urutan yang tersebar di

seluruh genom.Salinan dari penyebaran sekuen berulang ditemukan diintron,

mengapit daerah gen/daerah antargen, dan DNA nongenik.

Terdapat dua kategori utama dari penyebaran sekuen berulang: pengulangan

sekuens berupa tandem yang sederhana dan pengulangan yang berseling. Tabel

2.5 menunjukkan klasifikasi pengulangan sekuen berupa tandem yang sederhana

sesuai dengan ukuran dari unit yang berulang, jumlah tiap susunan unit berulang,

dan lokasi genom dari susunan tandem. Perhatikan lokasi sekuen berulang pada

sebagian besar satelit dan mini satellites, meskipun sebagian kecil dari

minisatellites tersebar. Telah diperkirakan bahwa terdapat 300.000 trinucleotide

dan tetra nucleotide pengulangan tandem pendek pada genom manusia atau satu

susunan setiap 10 Kb genom DNA (Beckmann dan Weber,1992). Umumnya

mikrosatelit manusia terdiri dari pengulangan dinukleotida CA.Terdapat sekitar

50.000 salinan mikrosatelit dalam genom manusia yaitu, satu susunan setiap 30

Kb (Hudson et al,1992).

Tabel 2.5 Klasifikasi Pengulangan Sekuen

Genom manusia juga berisi empat kelas utama pengulangan yang

berseling: (1) SINEs, (2) LINEs, (3) seperti retrovirus dan elemen

retrotransposon, dan (4) DNA yang dimediasifosil transposabel. Kelimpahan dan

distribusi relatif genom dari kelas-kelas pengulangan yang berseling ditunjukkan

pada gambar 2.10.

Gambar 2.10 Kelimpahan relatif dan distribusi genom manusia melalui kelas pengulangan yang berseling pada daerah dengan kandungan GC.Distribusi hampir

komplementer dengan pengulangan dari Alu dan LINE1. (Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

Genom manusia mengandung dua families, LINE1 (LI) dan LINE2 (L2).

Terdapat sekitar 600.000 pengulangan LI dalam genom manusia, atau sekitar 15%

dari genom. Family LI telah aktif dalam genom mamalia sebelum terjadinya

perbedaan antara marsupial dan placentals. Asal dari family L2 jauh lebih kecil

(~271.000 pengulangan) yang mungkin sangat kuno, kemungkinan besar

terjadinya perbedaan amfibi dari vertebrata amniote. Sekitar 95% dari semua

urutan LI tersebut dipotong di ujung 5 dan tidak ditranskripsi atau retrotransposed.

Tingkat perbedaan urutan LI antara spesies jauh lebih besar dari pada derajat

perbedaan antara salinan LI yang sejenis. Sebagai contoh, urutan LI dari tikus dan

manusia rata-rata berbeda satu sama lain sekitar 30%, dibandingkan dengan

perbedaan sebuah sekuen dari sekitar 4% dalam tikus (Hutchison et al,1989).

Elemen L1 yang rusak berkembang jauh lebih cepat dari pada elemen yang

masih utuh. Selain itu, garis keturunan evolusi dari sekuen L1 yang rusak tidak

mengandung cabang, yang menunjukkan bahwa elemen-elemen tidak mampu

melakukan replikasi transposisi. Kemudian berbentuk pseudogen dari retroposons,

di mana kendala fungsional tidak lagi beroperasi, dan dengan demikian mengikuti

asimilasi komposional dan lamanya pembatasan sampai mereka tidak lagi dikenal

sebagai LINEs. Faktanya bahwa sebagian sekuen L1 yang rusak menyiratkan

bahwa penyebaran elemen L1 dalam genom tergantung pada sejumlah kecil

elemen sumber. Akibatnya, elemen L1 dalam genom sangat homogen dan tingkat

pergantian sekuens sangat tinggi. Memang, pada hewan pengerat telah

diperkirakan bahwa lebih dari setengah dari elemen L1 hanya 3 juta tahun atau

bahkan lebih muda.

Genom manusia juga mengandung dua families SINE, 7SL yang diturunkan

family Alu, dengan sekitar 1.100.000 salinan atau 10% dari genom, dan tRNA

yang diturunkan family MIR, dengan sekitar 400.000 salinan. Pada daftar

pengulangan berseling yang lengkap dalam genom manusia juga harus disebutkan

elemen-retrovirus dan retrotransposon (~5% dari genome), sisa-sisa elemen DNA

transposabel (~2%), dan sekitar 60.000 salinan tidak terklasifikasi dari

pengulangan berseling (~1%). Kesimpulannya, lebih dari sepertiga dari genom

manusia berasal dari mobile elements dari beberapa families. Keutamaan

pengulangan sekuen berseling tersebut, tidak lagi memiliki kemampuan untuk

berpindah.

3. Urutan yang Berulang: Penyebab Variasi dalam Ukuran Genom

Seperti disebutkan sebelumnya, komponen utama dari paradoks nilai C

adalah kenyataan bahwa organisme yang secara morfologis dan anatomis mirip

menunjukkan nilai C yang sangat berbeda. Ini lebih jelas dari pada dalam

perbandingan antara spesies yang termasuk dalam genus yang sama. Perbedaan

dalam ukuran genom dapat dijelaskan oleh perbedaan dalam pecahan berulang.

Dari hewan pengerat seperti Ctenomys (tuco-tucos), untuk tanaman seperti Avena

(gandum), dan Hylobates (gibbon) sampai Drosophila, setiap spesies congeneric

berbeda satu sama lain nilai C-nya, perbedaan dapat sepenuhnya dijelaskan oleh

pengulangan fraksinongenic dari genom, sering pula dengan perbedaan dalam

jumlah pengulangan tandem sederhana. Selain itu, setiap kali takson ditemukan di

mana ukuran genom jauh lebih kecil dari taksa yang terkait, kami selalu

menemukan bahwa perbedaan adalah sepenuhnya karena sekuens berulang.

Sebagai contoh, beberapa kelelawar memiliki genom yang sekitar 50% ukuran

mamalia eutherian lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh kurangnya

mikrosatelit AT dan GC, yang pada mamalia lain tersedia cukup. Demikian juga,

kurangnya variasi ukuran genom relatif pada burung (Tabel 8.3) dapat disebabkan

kelangkaan mikrosatelit pada genom burung.

I. Mekanisme Untuk Meningkatkan Daerah Dalam Ukuran Genom

Peningkatan regional dalam ukuran genom dapat dijelaskan dengan

beberapa mekanisme. Duplikasi transposition adalah salah satu mekanisme yang

telah diketahui yang bisa menghasilkan sekuens berulang yang terpisah.

Mekanisme lainnya menghasilkan lokasi sekuen berulang. Telah disarankan

bahwa seluruh pengulangan fraksi DNA pertengahan pada eukariotik berasal dari

elemen transposable. Sebagian besar elemen tidak lagi bisa berpindah karena telah

mengalami kerusakan akibat mutasi atau insersi pada elemen yang lain.

Peristiwa pindah silang yang tidak merata kemungkinan merupakan

mekanisme yang bertanggungjawab terhadap peningkatan dan jumlah salinan dari

satelit dan minisatelit. Meskipun demikian, fakta peristiwa pindah silang yang

tidak merata ini biasanya menghasilkan sekuens yang terdiri dari pengulangan

panjang. Dilain pihak, beberapa lokasi sekuen berulang seperti mikrosatelit dan

pengulangan tandem yang pendek.

Ditemukan adanya bukti bahwa jumlah salinan pada lokus minisatelit bisa

mengalamai peningkatan dengan cepat. Contohnya pada manusia, sebuah lokus

MS32 terdiri dari 600 pengulangan. Sedangkan pada monyet purba, lokus

homolog terdiri dari 3-4 pengulangan. Karakter terakhir agaknya mewakili

keadaan nenek moyang dan jumlah ulangan yang tinggi pada manusia mewakili

keadaan sekarang. Amplifikasi DNA mengacu pada setiap mekanisme yang

meningkatkan jumlah salinan gen atau sekuen DNA untuk tingkat karakteristik

organisme. Khususnya, amplifikasi DNA yang mengacu pada peristiwa yang

terjadi dalam kehidupan suatu organisme dan menyebabkan peningkatan secara

tiba-tiba dalam jumlah salinan dari sekuen DNA. Dalam hal ini dibedakan

menjadi 2 amplifikasi, yaitu amplifikasi vertikal dan amplifikasi horisontal.

Amplifikasi vertikal mengacu pada proses yang melalui pelipat gandaan sekuen

tertentu di luar kromosom. Amplifikasi horisontal mengacu pada proses

penciptaan beberapa salinan dari sekuen DNA tertentu dan penggabungannya

dalam genom yang diwariskan dari organisme.

Salah satu metode yang dapat menjelaskan mekanisme amplifikasi ialah

model rolling circle dari replikasi DNA (Gambar 2.11). Tipe replikasi ini

digunakan dalam amplifikasi gen rRNA pada oosit Amphibi. Dalam hal ini,

amplifikasi melibatkan pembentukan salinan extrachromosomal sirkuler sekuen

DNA, yang kemudian dapat menghasilkan banyak unitextrachromosomal

tambahan yang mengandung pengulangan tandem dari urutan asli. Jika unit

tersebut menjadi terintegrasi kembali ke dalam kromosom, akan ada tambahan

genom yang terdiri dari urutan berulang yang identik.

Gambar 2.11. Model Rolling Circle dari Amplifikasi Gen pada Oosit Amphibi. rRNA kromosomal disusun dalam susunan tandem yang berisi bagian transkripsi (hitam) dan daerah nontranskripsi (putih). Amplifikasi melibatkan pembentukan salinan ekstrakromosom sirkuler yang berisi jumlah variabel pengulangan, yang

kemudian diamplifikasi melalui beberapa putaran dari replikasi rolling circle. Keperiodikan akan berubah mengikuti amplifikasi rolling circle. (Sumber: Graur

dan Hsiung Li, 1999)

J. Distribusi Gen

Kita hanya berhubungan dengan porsi DNA yang mungkin atau mungkin

juga tidak memiliki fungsi, tetapi jika tetap bekerja, fungsi tersebut pasti bukan

protein- pengkode satu.Dimana protein yang mengkode gen? Kita akan membahas

5 isu yang berhubungan: (1) Jumlah gen, (2) lokasi gen genom, (3) Kepadatan

gen, (4) variabilitas jumlah kromosom, dan (5) Proses evolusi mempengaruhi

urutan gen.

1. Berapa banyak gen yang ada, dimana letaknya dan apakah kita

membutuhkannya?

Tiga organisme eukariotik yang digunakan untuk menjawab pertanyaan

tersebut :Yeast roti, Saccharomyces ceerevisiae, dan nematoda Caenorhabditis

elegans yang seluruh genomnya telah disekuensing.bagaimanapun organisme ini

tidak mewakili keseluruhan organisme eukariotik semenjak genom mereka dipilih

untuk disekuensing karena ukurannya kecil. Saccharomyces cerevisiae memiliki

lebih dari 6000 gen-gen pengkode protein yang menyebar merata diantara 16

kromosom, contohnya jumlah gen-gen pada tiap kromosom sebanding dengan

panjangnya (Gambar 2.12).

Gambar 2.12 Hubungan antara jumlah gen dan panjang kromosom pada Saccharomyces cerevisiae. Sedikit variasi disekitar garis regresi mengindikasikan bahwa gen didistribusikan merata

diantara 16 kromosom. (Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

Disisi lain tidak terjadi distribusi gen sepanjang kromosom. Terdapat daerah

dengan densitas gen yang tinggi dan rendah (Gambar 2.13). Pada Caenorhabditis

elegans terdapat lebih dari 19.000 gen terdistribusi antara 6 kromosom dengan

panjang total sekitar 97 Mb. Distribusi kromosom kurang seragam daripada yeast,

dengan kromosom X memiliki kepadatan gen terendah daripada kromosom yang

lain.

Gambar 2.13 Periodisitas kerapatan gen sepanjang kromosom 11 pada Saccharomyces cerevisiae.

(Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

Pengetahuan mengenai genom organisme multiseluler sangatlah

terbatas.Bagaimanapun juga sebagian besar genom belum tentu berisi informasi

pengkode protein.Jika kita mengurangi dari panjang semua genome sekuen

berulang, semua pseudogen, semua intron dan semua daerah intergenik sangat

sedikit yang tersisa. Pada manusia, eksperimen hibridisasi RNA-DNA masa

lampau telah menunjukkan bahwa banyak gen yang bukan pengkode protein di

dalam fraksi berulang dari genom dan bahkan di dalam fraksi DNA yang unik

hanya sekitar 3% dari DNA yang ditranskripsikan. Dengan menggunakan data

pemetaan transkripsi, Gardiner memperkirakan bahwa kurang dari 10% genom

manusia merupakan gen.

Distribusi gen pengkode protein diantara kromosom manusia sangat tidak

merata. Beberapa kromosom seperti kromosom 1, 19 dan 20 diprediksi sangat

kaya akan gen, lainnya kromosom 4 dan 18 mungkin tersusun banyak sparser

informasi genetik. Contohnya Kromosom 19 yang kaya akan gen diperkirakan

mengandung 2000 gen di dalam daerah eukromatik sekitar 60 juta pasang basa.

Kepadatan gen mencapai 0,03 gen/Kb. Kita mencatat bahwa nilai ini terlalu

tinggi bahkan untuk kromosom 19, apalagi untuk kromosom yang lain. Terdapat 3

alasan utama untuk statemen tersebut yaitu: (1) hanya derah eukromatin yang

telah diperhitungkan, (2) beberapa gen mungkin kenyataannya berupa pseudogen,

dan (3) seperti dikatakan sebelumnya, kromosom 19 merupakan kromosom

dengan kepadatan gen yang tinggi.

Kepadatan gen dan pemanjangan fraksi gen, terlihat berkorelasi negatif

dengan ukuran genom (Gambar 2.14). Pada Mycoplasma genitalium 0.8 gen/Kb.

Kerapatan menurun menjadi 0.6 gen/Kb pada E. coli, yang memiliki genom 8 kali

lebih besar. Pada Eukariota, kerapatan mendekati 0.5 gen/Kb pada yeast dan 0.2

gen/Kb pada Caenorhabditis yang memiliki genom 8 kali lebih besar. Perkiraan

kita kerapatan gen pada organsime lain adalah kurang pasti, tetapi jelas memiliki

kecenderungan yang sama. Contoh kerapatan gen pada Arabidopsis thaliana

adalah 0.2 gen/Kb dalam daerah kaya gen pada kromosom 1, tetapi hanya 0.03

gen/Kb pada eukromatin pada sebagian besar kromosom kaya gen pada manusia.

Tetapi nilai terakhir tidak cukup baik untuk membandingkan dengan perkiraan

kepadatan Alu pada kromosom yang sama (1,1 elemen/Kb).

Gambar 2.14 Hubungan antara fraksi gen dan ukuran genom. (Sumber: Graur dan Hsiung Li,

1999)

Pada umumnya genom tumbuhan seperti beras, jagung, dan (gandum)

barley sebagian besar protein pengkode gen dikelompokkan dalam segmen DNA

yang panjang (secara kolektif disebut gen space) yang mewakili sebagian kecil

(12-24%) dari genom inti, dipisahkan oleh hamparan luas daerah kosong-gen.

K. Evolusi Kromosomal

Tidak ada ukuran umum mengenai kompleksitas ukuran biologi.dua

kemungkinan kandidat adalah sejumlah preotein kode-gen dan “kekayaan dan

variasi morfologi serta tingkah laku”. Tidak ada alasan untuk menduga bahwa

sejumlah gen meningkat sejalan dengan waktu evolusinya. Bagaimanapun bukti

empirik mengindikasikan bahwa pada beberapa garis keturunan/silsilah

kompleksitas gen meningkat secara pesat. Ini menunjukkan bahwa jumlah gen

tidak meningkat terus-menerus selama evolusi, tetapi meningkat dalam tahap-

tahap yang berbeda. Tahap terbesar terjadi pada saat transisi dari prokariot

menjadi eukariot dan saat transisi dari invertebrata menjadi vertebrata.Tahap

pertama dianggap telah difasilitasi oleh penemuan dari nukleosom, mengingat

pada tahap kedua dengan penyebaran metilasi gen sebagai mekanisme untuk

mengontrol ekspresi gen pada seluruh genom.

Akhir-akhir ini perkiraan yang dapat dipercaya mengenai jumlah gen

berdasarkan sampling sekuens/urutan besar dikumpulkan. Data ini

mengindikasikan bahwa sejumlah gen memang meningkat dan terjadi pada tahap

quantum. Pada faktanya terdapat suatu kejadian yang dimungkinkan secara tepat

merupakan waktu dimana tahap quantum terjadi. Pada hewan terjadi “lompatan ke

depan yang besar” pada jumlah gen yang kadang-kadang terjadi pada masa

silurian sebelum terjadinya perbedaan vertebrata tetapi setelah perbedaan kordata

(invertebrata) (Gambar 2.15).

Gambar 2.15 Perkiraan jumlah gen pada spesies bakteri, fungi, invertebrata, dan vertebrata. (Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

Meskipun kenyataannya sitogenetik merupakan sebuah disiplin ilmu yang

lebih tua dari pada bio molekuler. Kita tahu sangat sedikit tentang evolusi

kromosom melebihi deskriptif fenomenologi. Bagaimanapun dengan kedatangan

era genomik, kita memulai untuk mengumpulkan beberapa wawasan ke dalam

isu-isu seperti evolusi sejumlah kromosom dan dinamika dari penataan kembali

urutan gen.

1. Kromosom, Plasmid dan Episom

Organisme dan organel tersusun atas dua jenis materi genetik: kromosom

dan elemen ekstrakromosom. DNA kromosomal berisi gen-gen yang sedikitnya

beberapa darinya tidak penting. Elemen ekstrakromosomal disisi lain berisi

informasi genetik meskipun mungkin memiliki efek fenotip yang penting, tidak

dibutuhkan pada semua kondisi. Antara efek 2 fenotipik yang diketahui paling

baik dari elemen ekstrakromosomal adalah : 1. Antibiotik, logam berat dan tahan

panas, 2. Virulensi dan patogenitas, 3 . autotrofi,dan 4. Kelenturan antigen.

Kelas utama dari elemen2 ekstrakromosomal adalah pllasmid dan episom.

Plasmid adalah molekul ekstrakromosomal yang secara sendiri bereplikasi dari

genom ekstrakromosomal. Plasmid ada semata-mata dalam sebuah tempat sendiri

dan bereplikasi secara independen dari kromosom.Rata-rata replikasinya mungkin

lebih tinggi dari DNA kromosom.

Genom plasmid dapat berupa sirkuler atau linier, dan ukuran yang berbeda-

beda dari 1000 nukleotida yang disebut kriptik plasmid hingga 400 kb (giant

plasmid). Episom berisi hanya informasi genetik non esensial, tetapi mereka

mampu berada diantara dua tempat: secara independen bereplikasi dalam sebuah

sel atau terintegrasi dalam sebuah kromosom. Contoh episom : profage virus.

2. Evolusi sejumlah kromosom pada Prokariot

Sebagian besar bakteri tersusun atas kromosom tunggal.Genus Brucella

merupakan kelompok bakteri gram negatif yang bersifat patoggen terhadap

manusia dan hewan yang salah satu spesiesnya kita temukan mengandung

kromosom tunggal atau ganda. Contohnya B. Melitensis yang patogen pada biri-

biri/domba dan kambing dan memiliki kromosom sirkular berukuran 2,100 Kb

dan 1,150 Kb. Pada spesies Brucella yang lain yang memiliki dua kromosom,

ukurannya mungkin berbeda misalnya 1,850 Kb dan 1,350 Kb pada B. Suis.

Sangat menarik bahwa ukuran kromosom tunggal pada rantai kromosom hampir

sama seperti ukuran total kromosom untuk dua rantai kromosom.

Kondisi yang hampir sama juga ditemukan pada anggota lain dari subdivisi

α proteobakteria. Rhodobacter sphaeroides, bakteri fotosintetik fakultatif

ditemukan memiliki dua kromosom sirkulaar yang sesungguhnya (3,000 dan

900Kb) yang masing-masing mengandung gen yang penting untuk fungsi

metabolik.

Sangat menarik, genom dari Methanococcus jannaschii, archaeon pertama

yang diurutkan secara lengkap ditemukan tersusun atas tiga elemen fisik yang

berbeda: (1) Kromosom sirkular besar sekitar 1,700 Kb berisi 1,700 gen pengkode

protein, (2) elemen besar 60 Kb, berisi 43 daerah yang diprediksi pengkode

protein, dan (3) elemen kecil sekitar 17 nKb dengan kapasitas pengkode 12

protein. Kita tidak mengetahui apakah dua elemen terakhir tersebut merupakan

kromosomal atau ekstrakromosomal.

Dengan menggunakan protokol laboratorium yang rumit, Itaya dan Tanaka

berehasil membagi kromosom bakteri menjadi dua subgenom replikasi

independen. Penemuan ini mengindikasikan bahwa evolusi sejumlah kromosom

pada bakteri mungkin dipotong oleh adanya mutasi daripada seleksi terhadap

multikromosom.

3. Variasi Sejumlah Kromosom pada Eukariotik

Pada serangga, n bervariasi antara 1 (semut Australia_Myrmecia pilosula)

hingga hampir 250 pada kupu-kupu Lysandra atlantica.Pada tumbuhan, dalam

famili tunggal (Asteraceae) kita menemukan bahwa n bervariasi dari 2 pada

Haplopappus gracilis hingga kira-kira 90 pada Senecio robertii-friesii. Pada

mamalia yang memiliki jarak ukuran genom yang sangat sempit (tabel 8.3),

nbervariasi dari 5 pada Ctenomys steinbachi hingga 102 pada Tympanoctomys

barrerae. Anehnya jumlah kromosom tidak semuanya berkorelasi pada konten

DNA.

L. Mekanisme Perubahan Urutan dan Distribusi Gen diantara Kromosom

Berdasar posisi seentromer, kromosom eukariotik dibedakan menjadi 3

jenis: Telosentrik, Akrosentrik dan Metasentrik (Gambar 2.16).

Gambar 2.16 Klasifikasi kromosom eukariotik berdasarkan posisi sentromer (lingkaran). (Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

Banyak proses yang menyebabkan perubahan urutan gen (Gambar 2.17).

Pembalikan kromosom termasuk rotasi segmen 180o, dengan hasil bahwa urutan

gen untuk segmen merupakan kebalikan dengan mematuhi urutan aslinya.

Terdapat dua jenis inversi/pembalikan: Perisentrik dan parasentrik. Pada awalnya,

segmen mengalami pembalikan termasuk sentromer. Delesi kromosom mungkin

terjadi secara teminal atau interstisial.Sebagai alternatifnya, bagian kromosom

mungkin di duplikasi. Suatu proses yan dahulu kita sebut sebagai bagian polisomi.

Kromosom mungkin juga dieliminasi, suatu proses yang hanya terjadi pada sel

somatik arthropoda. Pada akhirnya kromosom berpisah menjadi dua dan tiap

kromosom hasil pemisahan memiliki kehidupan independen. Proses ini hanya

dapat terjadi jika kromosom berdifusi dengan sentromer, contohnya jika selama

mitosis dan meiosis,benang spindel menarik dan mengaitkan pada beberapa situs

sepanjang ukuran kromosom.

Gambar 2.17 Sebuah kromosom dengan 5 gen yan mungkin menyebabkan beberapa proses penataan ulang gen. (Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

Kromosom yang berbeda mungkin mengubah informasi genetik melalui

proses yang demikian seperti translokasi resiprok dan non resiprokal, dan fusi

sentrik (Gambar 2.18). berdasarkan tipe pembalikan kromosom dalam prosesnya,

fusi sentrik mungkin atau juga mungkin tidak disertai hilangnya gen. Reduksi

sejumlah kromosom oleh fusi terlihat seperti kejadian evolusi berulang.

Gambar 2.18 Contoh perubahan informasi genetik antara 2 kromosom nonhomolog. (Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

1. Penghitungan kejadian penataan Ulang Urutan Gen

Untuk mempelajari evolusi panataan ulang urutan gen kita harus mampu

memperkirakan sejumlah peristiwa seperti inversi, transposisi, dan delesi yang

penting dalam merubah urutan gen pada genom hingga yang lainnya. Metode

sederhana yang disebut Metode Reduksi Penjajaran, kita melakukian

penghitungan sehingga disebut Jarak Pemeriksaan Evolusi (dilambangkan E)

antara dua genom, A dan B. E memiliki dua komponen: Jarak Delesi (D) dimana

nomor terendah delesi atau insersi diperlukan oleh genom A dan B untuk

memiliki set gen yang serupa, sekalipun pada urutan yang berbeda, dan Jarak

Penataan ulang (R), contohnya sejumlah kecil inversi dan transposisi diperlukan

untuk merubah urutan gen A menjadi urutan gen B.

E = D + R

Untuk perkiraan E, kita menggunakan tiga prosedur sederhana geometrik:

Delesi, Bundling (ikat) dan inversi (Gambar 2.19). pertama kita hubungkan gen

yang homolog dengan suatu garis. Pada tahap ini kita membedakan antara

pasangan homolog yang memiliki persamaan orientasi dan relatif diinversikan

pada satu dan lainnya. Prosedur Delesi: semua gen yang tidak muncul pada salah

satu dari dua genom dihilangkan. Dengan demikian, D sama dengan jumlah

segmen yang dipindahkan. Pada kasus ini kita menghilangkan 5 gen tetapi hanya

2 segmen, sehingga D = 2.

Gambar 2.19 Tiga prosedur geometrik dasar yang menyertakan metode reduksi penjajaran untuk menyimpulkan sejumlah penataan ulang urutan gen antara dua

genom. (Sumber: Graur dan Hsiung Li, 1999)

2. Penataan Ulang Urutan Gen pada Bakteri

Karena bakteri sungguh dibatasi dalam rekombinasi dan karena banyak gen

mereka berfungsi sebagai unit (operon), evolusi bakteri dikarakterisasikan oleh

stabilitas spasial dan temporal dari urutan gen. Dengan penyelesaian sekuensing

genom bakteri pertama, bagaimanapun ini menjadi jelas bahwa urutan gen bakteri

adalah bebas/apa saja tetapi dikonservasi. Untuk menggambarkan kekurangan

dari konservasi dibandingkan urutan gen antara haemphilus influenzae dan

Mycoplasma genitalium. 184 gen ortolog antara 2 spesies.

3. Penataan Ulang Urutan Gen pada Eukariotik

Mempelajari penataan ulang urutan gen pada eukariotik lebih lengkap dan

tidak terbatas dari pada bakteri untuk beberapa alasan. Pertama, genom eukariotik

mengandung banyak gen berulang, dan memutuskan apakah dua gen dari dua

organisme tersebut merupakan ortolog atau paralog sungguh lengkap. Kedua,

penataan ulang urutan gen termasuk perpindahan dan perubahan informasi antara

kromosom sangat baik seperti di dalam kromosom. Ketiga, urutan gen terlihat

sangat tidak stabil. Contohnya: gen dari kromosom 1 manusia ditemukan pada 9

kromosom yang berbeda pada tikus. Eukariot memiliki sejumlah besar gen dari

pada prokariot.

Perbandingan antara multikromosom organisme, sangat tepat dengan

mendefinisikan beberapa istilah yang mungkin membantu kita memecahkan

masalah perpindahan gen diantara kromosom. Synteny merupakan kejadian dua

atau lebih gen dalam kromosom yang sama. Conserved Synteny merupakan dua

atau lebihgen homolog yang disintesis pada dua spesies.Conserved Linkaged

menyinggung pada konservasi keduanya, baik synteny dan urutan gen dalam gen

homolog antar spesies.Disrupted Synteny merupakan kasus dimana dua gen

ditempatkan dalam kromosom yang sama dalam satu spseies tetapi ortolog

mereka ditempatkan pada kromosom yang berbeda pada spesies kedua. Jadi jelas

bahwa disrupted synteny juga akan dihitung sebagai disrupted linkage.

4. Urutan Gen sebagai Karakter Filogenetik

Ahli biologi evolusioner menggambarkan peningkatan keistimewaan

struktural dari genom seperti urutan gen sebagai penanda filogenetik. Tetapi,

peningkatan nilai penataan ulang urutan gen dan nilai variasi antara keturunan

evolusi merupakan berita buruk untuk rekonstruksi filogenetik berdasarkan urutan

gen. Contohnya dalam mempelajarai urutan gen mitokondria pada 137 spesies

burung mennunjukkan bahwa evolusi paralel dalam urutan gen merupakan

kejadian yang biasa dan urutan gen yang sama mungkin muncul secara

independen. Karena ketidak sempurnaan properti filogenetik dan sulitnya dalam

merekonstruksi urutan pada kejadian awal penataan ulang urutan gen, pohon

filogeni didasarkan pada seringnya urutan gen mengadung kekeliruan yang jelas.

M. Konten GC pada Bakteria

Antara genom eubakteria (termasuk genom organel), memiliki persentase

guanin dan sitosin/konten GC yang bervariasi antara 25% hingga 75%.Pada

banyak kasus, konten GC terlihat berhubungan dengan filogeni, dengan hubungan

dengan bakteri memiliki konten GC yang serupa (Gambar 2.20).

Gambar 2.20. Konten GC pada beberapa genom eubakteria. (Sumber: Graur dan

Hsiung Li, 1999)

Terdapat dua jenis hipotesis yang penting untuk menjelaskan variasi konten

GC pada bakteri.Gambaran seleksi memandang konten GC sebagai bentuk

adaptasi dengan kondisi lingkungan.Contohnya , pasangan G:C lebih stabil dari

pada pasangan A:T karena penambahan ikatan hidrogen, oleh karena itu mungkin

hubungan antara konten GC dan suhu pada bakteri yang mengarahkan. Studi awal

rupanya untuk mengindikasi bahwa pada bakteri termofilik yan mendiami relung

sangat panas, terdapat pemakaian yang istimewa dari asam amino yang dikode

oleh kodon yang kaya akan GC (misalnya: alanin dan arginin) dan tidak

menggunakan asam amino yang dikode oleh kodon yang kekurangan GC seperti

serin dan lisin. Pada studi yang ekstensive tidak ditemukan hubungan antara

konten GC dengan pertumbuhan temperatur yang optimal.

Skenario seleksi yang lain dengan menggunakan radiasi UV sebagai

tenaga selektif. Sejak dimer T-T sensitif terhadap radiasi, mikroorganisme pada

lapisan permukaan atas tanah, yang mengarahkan pada cahaya matahari,

seharusnya memiliki konten GC yan kebih tinggi daripada bakteri yang tidak

diarahkan, misalnya bakteri intestinal.

Gambaran mutasi melibatkan dugaan pola mutasi untuk menjelaskan

variasi konten GC.Berdasarkan gambaran ini, konten GC spesies bakteri

menunjukkan keseimbangan antara (1) rata-rata substitusi dari G/C menuju T/A,

ditunjukkan sebagai u; dan (2) rata-rata substitusi dari A/T menuju G/C,

ditunjukkan sebagai v.

N. Chirochores

Perbedaan dalam arah untai leading dan untai lagging dari DNA yang

direplikasi bisa dihasilkan dalam untai dengan pola mutasi bebas.Dalam ketiadaan

dari beberapa seleksi kecenderungan diantara dua untai, perbedaan dalam pola

dari kesalahan replikasi mungkin awal perbedaan dari pola substitusi. Selama

waktu evolusi, perbedaan mungkin terakumulasi ke frekuensi kesetimbangan

dalam masing-masing untai yang berbeda dari frekuensi harapan dibawah kondisi

kecenderungannya, misalnya f A=f T dan f C=f G (Bab 4). Standart deviasi dari

kecepatan mutasi yang sama antara dua untai diukur dengan menggunakan

sebuah variabel yang disebut skew, Sx=y, yang merupakan sebuah ukuran dari

ketidak samaan antara frekuensi dari nukleotida X dan Y dalam sebuah untai.

Perhitungannya adalah:

Sx=y=fx−fyfx+ fy

Lobry (1996c) memeriksa tiga genom bakteri dan menemukan penyimpangan

yang sangat jelas dari f C= f G. Hal ini tidak mengejutkan. Hal yang mengejutkan

adalah distribusi ruang dari skew. Penyimpangan SC=G secara tiba-tiba berubah

arah dari asal dan ujung dari replikasi.

Perubahan dalam nilai SC=G pada awal dari replikasi membuktikan sebuah

kejituan yang umum dalam bakteri yang mana mereka telah digunakan dengan

sukses untuk mengidentifikasi asal dari replikasi dalam spesies yang kurang dari

persetujuan sekuen yang dijaga ketepatan identifikasinya sebelumnya.Genom

bakteri dibagi menjadi 2 segmen dengan sebuah celah simetri dalam sebuah

bagian rangkaian dari nukleotida komplemen, sebagian besar C dan G, di antara

dua untai.Dalam kesamaan dengan isochores yang disebutchirochores.Dua

kemungkinan penjelasan-penjelasan untuk menjelaskan keberadaan dari

chirochores.

Hipotesis seleksionis dari Forsdyke yang menyatakan bahwa ada tekanan

selektif global pada genom yang serupa dari oligonukleotid-oligonukleotid

komplemen yang dekat yang mungkin berasal dari struktur sekunder, seperti

‘jepit’ untai ganda, untuk menjaga genom melawan temperatur yang dapat

merusak. Bagaimanapun, dalam sebuah studi dar Gltier dan Lobry menemukan

tidak ada bukti untuk tekanan selektif yang mungkin mempengaruhi struktur

chorichores.Penjelasan yang paling masuk akal sepertinya ada kecenderungan

mutasi.Ada dua bukti untuk pernyataan ini. Pertama, batasan antara chirochores-

chirochores bertepatan dengan asal atau akhir dari replikasi, dan hal ini memberi

kesan sebuah hubungan dengan proses dari replikasi dan perbaikan DNA. Yang

kedua, kecenderungan relatif dari S =G = 0 yang lebih besar dari daerah antara dan

posisi kodon ketiga kemudian untuk posisi pertama dan kedua kodon,

sebagaimana diharapkan jika sebuah perkiraan adalah mutational.

O. PERISTIWA EVOLUSI PADA KODE GENETIK

1. Distribusi Gen dan Eklemen Genetik lainnya diantara Isokor

Posisi isokor manusia dan vertebrata lain pada banyak genom ditentukan

banyak metode. Hampir 30% semua gen manusia merupakan komponen berat

(H3) yg hanya mewakili 3-5% genom. Sangat jarang gen panjang pada isokor

yang kaya GC. Perbedaan daerah gen yang kaya dan miskin GC hampir

seluruhnya dijelaskan oleh intron, yang rata 3x lebih panjang di daerah miskin

GC.Banyak kasus, terjadi penempelan gen pada fragmen DNA yang memiliki

konten GC mirip dengan gen itu sendiri.Melalui degradasi acak fragmen membuat

preparasi DNA, jarak sempit dari komposisi fragmen pembawa gen menunjukkan

bahwa komposisi basa nitrogennya homogen seperti fragmen mereka sendiri.

Observasi ini untuk isolasi gen dan pengelompokan gen, mengindikasikan bahwa

isokor itu berukuran besar jika dibandingkan dengan klaster gen yg diperiksa,

beberapa berukuran 40Kb atau lebih.Ini mnunjukkan bahwa isokor lebih besar

dari 300 Kb. Kadang gen ditemukan pada fragmen yang menutupi jarak level GC

yang lebar. Ini bisa terjadi jika gen pemeriksa berada dekat dengan batas antara

dua isokor, sehingga kerusakan acak menghasilkan fragmen pembawa gen dengan

komposisi berbeda.

Korelasi positif antara level GC pada gen, ekson dan intron dan level GC

pada daerah DNA yang besar dimana mereka menempel. Berlawanan dengan

klaster α dan β globin pada manusia berisi GC rendah.β dan gen globin seperti β

mengandung GC rendah dan menempel pada daerah yang miskin GC. Sedangkan

αdan gen globin seperti α, pada sisi yang lain merupakan dearah kaya GC dan

menempel pada daerah tersebut. Konten GC yangberada pada derah pengkode

memelihara lebih tinggi daripada yang berada di daerah sisi (gb. 8.32).level GC

pada posisi kodon ketiga lebih merata daripada yang berada pada daerah intron,

yang berbelok lebih tinggi daripada yang berada di daerah sisi ujung 5 dan 3.

2. Asal Dari Isokor

Asal dari isokor yang kaya GC masih sebagai misteri atau kontroversi.

Cenderung merupakan segmen DNA panjang (300Kb atau lebih) salah satu dari

GC yang kaya /GC miskin, tidak ditempatkan pada variasi GC, seperti yang

diperiksa diantara daerah variasi gen. Bernardi dkk, mengusulkan bahwa isokor

muncul sebagai keuntungan yang fungsional. Ini telah diklaim bahwa pada darah

cacing, sebuah peningkatan konten GC dapat melindungi DNA, RNA, dan protein

dari kerusakan pemanasan.In imerupakan hipotesis seleksionis.

Wolfe dkk, mengusulkan bahwa isokor muncul dari dugaan mutasi yang

berkaitan dengan perubahan komposisi pada “pool” prekursor nukleotida selama

replikasi DNA germline. Isokor yang kaya GC dibawa pada replicon yang

mereplikasi pada awal siklus sel germline, selama prekursor “pool” memiliki

konten GC yang tinggi, dengan demikian memiliki kecenderungan untuk mutasi

menjadi GC. Isokor yang kaya AT, disisi lain direplikasi lebih lambat dalam

siklus sel, ketika prekursor nukleotida memiliki konten AT yang tinggi. Ini

disebut hipotesis Mutasi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Variasi ukuran genom di antara organisme sangat bervariasi. Variasi ini dapat

dilihat dari nilai C yang menentukan ukuran genom tiap-tiap organisme.

2. Keteraturan gen dan dinamikan perubahan evolusi dalam hubungannya

dengan keteraturan gen melibatkan berbegai hal, yaitu jumlah gen, lokasi gen

genom, kepadatan gen, variabilitas jumlah kromosom, dan bagaimana

mekansime evolusi yang mempengaruhi urutan gen.

3. Kelebihan DNA dipertahankan oleh seleksi, tetapi komposisi nukleotida

dapat berubah secara acak. Banyak fungsi nukleotipik tambahan telah

dikaitkan dengan fraksi non-genik, tapi semua hipotesis nukleotipik memiliki

satu kesamaan; mereka semua menganggap genom sebagai unit struktural

dari arsitektur nukleus- sebuah blok bangunan yang terbuat dari asam nukleat,

bukan sekedar pembawa informasi genetik.

4. Peristiwa evolusi pada kode genetik melibatkan distribusi gen dan elemen

genetik lainnya diantara isokor. Posisi isokor manusia dan vertebrata lain

pada banyak genom ditentukan banyak metode. Hampir 30% semua gen

manusia merupakan komponen berat (H3) yg hanya mewakili 3-5% genom.